Produktivitas Kelapa Sawit (Elaeis Guinensis Jacq) di Beberapa Topografi Lahan di PT.
Evans Lestari Desa Suro Muara Beliti.
Productivity of Oil Palm (Elaeis Guinensis Jacq) in Several Land Topography at PT. Evans
Lestari, Suro Village, Muara Beliti.
ABSTRAK
Kelapa sawit (Elaeis guineensisJacq) adalah salah satu tanaman perkebunan yang mempunyai
peran penting bagi subsektor perkebunan dan sebagai penghasil minyak nabati yang menjadi
komoditas ekspor unggulan indonesia. Produksi kelapa sawit berhubungan erat dengan
kemiringan lahan, kadar air tanah, serta kandungan pasir dan debu di dalam tanah. Penelitian
bertujuan untuk mengetahui produktivitas kelapa sawit pada beberapa topografi lahan di PT
Evans Lestari berlokasi di Desa Suro Kecamatan Muara Beliti Kabupaten Musi Rawas.
Penelitian ini telah dilaksanakan pada kebun PT. Evan Lestari di Desa Suro Kecamatan Muara
Beliti Kabupaten Musi Rawas. Penelitian ini di laksanakan selama 3 bulan, dimulai dari bulan
Maret sampai dengan Mei 2022. Penelitian ini menggunakan metode penelitian survey dengan
pemilihan lokasi secara sengaja yaitu Perkebunan PT Evans Lestari yang memiliki Varietas
Kelapa Sawit Yaitu Damimas. Parameter yang diamati yaitu Kandungan Klorofil, Jumlah Bunga
Per Satu Priode, Jumlah Pelepah Per Satu Priode, Jumlah Tandan Buah Per Satu Priode, Berat
Tandan Buah. Pertumbuhan dan produksi tanaman kelapa sawit dipengaruhi oleh letak lahan dan
kemiringan lereng. Posisi lahan dibagian bawah lereng menunjukan pertumbuhan yang lebih
baik dari bagian atas lereng. Kemiringan lereng datar sampai agag landau (0-8%) menunjukan
pertumbuhan dan produksi yang lebih baik dari pada yang curam (15-25%). Pada posisi lahan
yang berada dibawah lerenng dengan kemiringan 15-25% (curam) memberikan pertumbuhan dan
produksi yang baik.
Kata kunci : Topografi Lahan, PT Evans Lestari, Produktivitas Kelapa Sawit.
2
ABSTRACT
Oil palm (Elaeis guineensis Jacq) is one of the plantation crops that has an important role
for the plantation sub-sector and as a producer of vegetable oil which is Indonesia's leading
export commodity. Oil palm production is closely related to land slope, soil moisture content,
and sand and dust content in the soil. This study aims to determine the productivity of oil palm
on several land topography at PT Evans Lestari located in Suro Village, Muara Beliti District,
Musi Rawas Regency. This research has been carried out at PT. Evan Lestari in Suro Village,
Muara Beliti District, Musi Rawas Regency. This research was carried out for 3 months, starting
from March to May 2022. This study used a survey research method with a deliberate selection
of locations, namely PT Evans Lestari Plantation which has Palm Oil Varieties, namely
Damimas. Parameters observed were chlorophyll content, number of flowers per one period,
number of midribs per one period, number of fruit bunches per one period, weight of fruit
bunches. The growth and production of oil palm plants are influenced by the location of the land
and the slope. The position of the land at the bottom of the slope shows better growth than the
top of the slope. The slope of the flat to slightly sloping slopes (0-8%) shows better growth and
production than the steep (15-25%). In the position of land that is under a slope with a slope of
15-25% (steep) provides good growth and production.
Keywords: Land Topography, PT Evans Lestari, Oil Palm Productivity.
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kelapa sawit (Elaeis guineensisJacq) adalah salah satu tanaman perkebunan yang mempunyai
peran penting bagi subsektor perkebunan dan sebagai penghasil minyak nabati yang menjadi
komoditas ekspor unggulan indonesia. Prospek perkembangan industry kelapa sawit saat ini
sangat pesat dimana terjadi peningkatan baik luas areal maupun produksi kelapa sawit seiring
dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat. Pada Tahun 2018, luas areal perkebunan kelapa
sawit tercacat mencapai 14.326.350 hektar.(Direktorat jenderal perkebunan, 2019). Berdasarkan
data Statistik Perkebunan Indonesia Komoditas Kelapa Sawit dari Tahun 2017 sampai dengan
2019 hasil produksi kelapa sawit terjadi peningkatan dari tahun ketahun, dimana pada tahun
2018 hasil produksi sebesar 40.567,230 ton/tahun, sedangkan pada tahun 2019 hasil produksi
meningkat menjadi 42.869,429 ton/tahun (Statistik Perkebunan Indonesia Komoditas Kelapa
Sawit, 2019).
Produktivitas Tandan Buah Segar (TBS) dan Minyak Mentah Kelapa Sawit (CPO) per
hektar perkebunan kelapa sawit adalah indicator terpenting dalam mengukur efisiensi dan
efektivitas perkebunan. Produktivitas minyak perkebunan kelapa sawit yang dicapai pada saat
bersamaan juga bias dipergunakan sebagai alat ukur apakah industri perkebunan yang
dibudidayakan itu berkelanjutan secara ekonomis. Keberlanjutan perkebunan kelapa sawit jangka
panjang ditentukan oleh system produksi tanaman kelapa sawit yang berkaitan dengan best
practices management (Weng, 2005). Produktivitas kelapa sawit ditentukan oleh dua factor
utama yaitu penerapan budaya teknis dan kesesuaian lahan. Oleh karena itu pengelolaan
budidaya yang tepat dan identifikasi kelas kesesuaian lahan sangat penting untuk diperhatikan.
Dengan mengetahui kelas kesesuaian lahan, maka dapat dilakukan perkebunan untuk perbaikan
nutrisi, pengelolaan hasil samping serta sustainability selama periode penanaman 25-30 tahun
3
sehingga produksi kelapa sawit meningkat (Khalid et al., 2000 ). Penerapan teknis budidaya
yang kurang optimum pada tanaman belum menghasilkan (TBM) terjadi antara lain pada
kegiatan penanaman kelapa sawit, penanaman LCC sebagai tanaman penutup tanah, pemupukan,
pengendalian gulma, pengendalian hama dan penyaki, serta persiapan panen. Kesalahan teknis
pada TBM secara langsung atau tidak langsung member dampak pada pertumbuhan dan
perkembangan tanaman pada masa TM. Hal ini menjadi factor penyebab rendahnya
produktivitas tanaman.
Penanaman pada areal dengan topografi curam memungkinkan terjadinya erosi yang
mengakibatkan lapisan tanah atas semakin tipis. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya
penurunan perkembangan bunga dan fruit set, serta penurunan produktivitas tanaman
(Harjowigeno, 1993). Semakin tinggi derajat kemiringan pada lereng maka bidang runtuh pada
lereng akan semakin besar pula. Dari pengukuran diperoleh sudut runtuh untuk lereng dengan
kemiringan 30o adalah 26,56o .Keruntuhan lereng dengan kemiringan yang kurang dari 40o
terjadi pada bagian kaki lereng, sedangkan keruntuhan di bagian kaki hingga puncak lereng
terjadi pada lereng dengan kemiringan lebih dari 60o .Kadar air pada lereng meningkat 30%
hingga 47% akibat rembesan. Peningkatan kadar air tanah ini menyebabkan berkurangnya kuat
geser tanah berkisar 2% hingga 19,5%. Secara umum bahwa kuat geser tanah mengalami
penurunan akibat rembesan air (Muntohar, 2006). Arsyad (1982) mengajukan klasifikasi
kesesuaian lahan sebanyak 6 kelas yaitu: lahan kelas I yang tergolong sangat baik, lahan kelas II
yang sesuai untuk segala jenis pertanian, kelas III sesuai dengan hambatan kerusakan yang lebih
besar, kelas IV sesuai dengan hambatan yang lebih besar disbanding kelas III, kelas V tidak
sesuai dan kelas VI tidak sesuai yang lebih parah dibanding kelas V. Pada penelitian mengenai
kopi yang ditanam pada kemiringan berbeda diketahui bahwa hubungan antara ketinggian tempat
terhadap jumlah biji merah adalah rendah. Untuk hubungan antara kemiringan lereng terhadap
jumlah biji merah adalah rendah sedangkan hubungan antara kemiringan lereng terhadap berat
biji merah adalah rendah dan hubungan antara kemiringan lereng terhadap berat biji kering
adalah rendah (Sihite et al., 2015). Ketinggian tempat dan kemiringan lereng secara parsial
menurunkan produksi karet, namun secara bersama-sama tidak mempengaruhi produksi karet.
(Andrian et al., 2014.
Produksi kelapa sawit berhubungan erat dengan kemiringan lahan, kadar air tanah, serta
kandungan pasir dan debu di dalam tanah. Berat tandan buah segar (TBS) kepala sawit menurun
masing-masing 0,4 dan 0,7 kg untuk setiap kenaikan 1% kemiringan lahan dan 1% kandungan
pasir di dalam tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lahan dengan kemiringan di atas 15%
sebaiknya tidak digunakan untuk penanaman kelapa sawit tanpa adanya tindakan konservasi
(Pambudi , 2010).
Produktivitas kelapa sawit pada kemiringan lereng 0-8 % lebih tinggi dibandingkan
kelerengan 8-15 % dan 15- 25 %, hal ini dikarenakan lahan dengan kelerengan 0-8% lebih landai
dari lereng lainnya. Semakin curam lereng maka kandungan bahan organik semakin rendah, hal
ini disebabkan besarnya pengaruh erosi karena intensifnya erosi terjadi di lereng yang curam.
Semakin sering terjadi erosi maka lapisan atas (top soil) tanah akan berkurang karena ikut
terhanyut oleh erosi dan aliran permukaan.( Riyanti et al 1994 ).
Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian
“Produktivitas Kelapa Sawit (Elaeis Guinensis Jacq) Di Beberapa Topografi Lahan Di PT.
Evans Lestari Desa Suro Muara Beliti”. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan
4
rekomendasi kepada pihak perusahaan dan masyarakat Kabupaten Musi Rawas serta
terkhususnya masyarakat Desa Suro dalam menentukan kemiringan lahan terbaik untuk
dikembangkan dan dibudidayakan oleh masyarakat diwilayah tersebut.
c. Topografi lokasih penelitian terdiri dari tiga yaitu, 0-8 Datar, 8-15 Landai, 15-25 Agak
Curam
d. Data penelitian diambil pada periode panen Maret sampai Mei
e. Morfologi meliputi lima peubah yaitu, kandungan klorofil, jumlah pelepah, jumlah
bunga/Priode, jumlah buah/priode, berat buah.
f. Data penunjang yaitu analisis tanah, tinggi tanaman, panjang pelepah, curah hujan
bulanan selama 6 tahun terakhir, data suhu dosis pupuk yang diberikan, indek luas daun.
Hasil
No Paubah yang diamati 0-8%
Terendah Tertinggi Rerata
1 Kandungan Klorofil (daun) 4,2 5,4 4.86
2 Jumlah Bunga (buah) 5.33 6.5 5.86
3 Jumlah Pelepah (buah) 5.83 6.83 6.32
4 Jumlah Tandan Buah (buah) 3.33 5,00 4.25
5 Berat Tandan Buah (kg) 10.4 22.9 15.8
Hasil
Hasil
No Paubah yang diamati 15-25%
Terendah Tertinggi Rerata
1 Kandungan Klorofil (daun) 3.6 5.3 4.49
2 Jumlah Bunga (buah) 4.83 6,50 5.14
3 Jumlah Pelepah (buah) 5,50 6.33 5.83
4 Jumlah Tandan Buah (buah) 2,50 4.67 3.31
5 Berat Tandan Buah (kg) 7.7 14.9 11.5
Berdasarkan Lampiran 5 dan Gambar 4.1.2. menunjukan bahwa jumlah bunga per pohon
berkisar antara terendah 4,83 sampai tertinggi 6.50 dan rata-rata 5.67 bunga dengan standar
daviasi 0.38 bunga. Jumlah tertinggi terdapat pada kemiringan 0-8% dan jumlah terendah
terdapat pada kemiringan 15-25%
3.1.3 Jumlah Pelepah (buah)
Hasil pengamatan jumlah pelepah per pohon disajikan pada lampiran 6. Data tertinggi,
terendah dan rata-rata pada kemiringan disajikan pada Gambar 3.1.3
9
Berdasarkan Lampiran 7 dan Gambar 3.1.4 menunjukan bahwa jumlah tandan buah per
pohon berkisar antara terendah 2.50 sampai tertinggi 5.17 buah dan rata-rata 3.91 buah
dengan standar daviasi 0.55 buah. Jumlah tertinggi terdapat pada kemiringan 8-15% dan Jumlah
terendah terdapat pada kemiringan 15-25%.
10
(BPTP) Bengkulu, menunjukan bahwa kemiringan 0-8% memiliki kadar air 0,06%, N 0,26%. P
8,5% K 9,4%. Kemiringan 8-15% memiliki kadar air 4,28%, N 0,28%. P 21,4% K 39,4%. Dan
kemiringan 15-25% memiliki kadar air 3,85% N 0,27% P 10,2% K 9,0. Data curah hujan
bulanan 5 tahun terakhir dapat ditampilkan pada lampiran Curah hujan di lokasi penelitian, dari
2017 sampai 2021 curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Maret tahun 2017 adalah 639,00 mm
dan curah hujan terendah terjadi pada bulan Oktober tahun 2015 yaitu 2,00 mm. Jumlah bulan
basa dari tahun 2013 sampai 2021 adalah 48 bulan dan bulan kering 48 bulan. Data suhu selama
satu tahun terakhir pada tahun 2020 Suhu tertinggi pada bulan April yaitu 24.76 °C, terendah
pada bulan Desember yaitu 23.7 °C, dan suhu rata- rata pada tahun 2021 yaitu 24.28°C. Data
pupuk yaitu urea 1 kg/tanaman, rp 1,80 kg/tanaman, MOP 1,80 kg/tanaman, borate 0,8
kg/tanaman, Kieserite 1,40 kg/tanaman
3.1 Pembahasan
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap kemiringan lahan menunjukan bahwa pada
kemiringan lahan 0-8% memberikan hasil terbaik pada semua paubah yang diamati. Hal ini
diduga semakin landai lahan yang digunakan maka kondisi lahan lebih stabil dibandingkan lahan
yang lebih curam. Syakir (2010). Bahwa pada lahan – lahan yang landai atau kemiringan kurang
lebih 15% maka kondisi fisik tanah akan lebih baik dan lebih stabil dalam mempertahankan sifat
fisiknya terutama lapisan topografi terhadap erosi dan juga pencucian hara tanah yang lebih
landai akan samakin kecil dibandingkan dengan lahan yang lebih curam.
Topografi datar merupakan areal lahan yang sesuai untuk tanaman kelapa sawit. Dalam
pengolahan tanaman baik dalam bentuk perawatan, pada areal ini lebih mudah dibandingkan
dengan areal dengan topografi lainnya seperti miring, karena pada topografi datar sudut
kemiringannya tidak ada sehingga pola tanam terlihat jelas dan tinggi tanaman seragam.
Pada areal ini merupakan tempat yang paling disukai oleh pekerja, karena areal ini tidak
terlalu sulit sehingga tenaga yang dibutuhkan oleh para pemanen untuk memotong dan
mengangkut buah ke TPH tidak terlalu banyak. Selain pemanen, pemberondol juga merupakan
pekerjaan yang paling penting sebab jika tidak ada pemberondol maka losses yang terjadi akan
semakin tinggi sehingga pemberondol sangat diperlukan dalam proses pemanenan.
Ditinjau dari losses yang terjadi di areal datar persentase kehilangan produksi relatif lebih
rendah, dari data yang telah penulis analisis losses yang terjadi pada areal datar terdapat pada
item manajemen panen dan manajemen rawat. Hal tersebut dapat dilihat dari data yang telah
diperoleh dan telah dianalisis rata-rata yang terdapat pada areal kemiringan lahan datar 0-8%
Topografi curam merupakan areal yang dikategorikan sebagai areal yang berat. Ditinjau dari
kesesuaian lahan, tanaman sawit membutuhkan areal yang bertopografi datar namun dapat juga
diusahakan ditanam pada areal yang bertopografi curam dengan batasan toleransi kemiringan
maksimal 15 derajat. Lebih dari batas toleransi tersebut dapat juga diusahakan namun
membutuhkan biaya yang relatif besar. Hal ini disebabkan karena adanya perlakuan-perlakuan
khusus pada areal yang bertopografi curam, seperti pembuatan teras, tapak kuda dan jalan bantu
yang membutuhkan biaya yang besar
Menurut Yahya at el. (2010) bahwa perbedaan kemiringan lahan akan menyebabkan
perbedaan dalam mempertahankan stabilitas lahan. Pada lahan - lahan yang landai potensi
kerusakan tanah akibat erosi semakin kecil, turunya kandungan bahan organik dan unsur hara
lainya semakin kecil serta ketersedian air tanah bagi tanaman lebih maksimal sehingga
pertumbuhan dan produksi tanaman akan lebih baik.
12
Asdak. et al. (2002) menyatakan bahwa tingkat kemiringan lahan berpengaruh pada laju erosi
dan kecepatan lepasnya partikel tanah akibat terbawa arus permukaan. Semakin landai lahan
maka laju erosi akan rendah dan lepasnya partikel tanah serta kandungan bahan organik hara
tanah akibat run off ( aliran permukaan ) semakin rendah sehingga terjadi ini menyebabkan
tanaman lebih stabil pertumbuhan dan produksinya.
Pada lahan miring terjadi run off yaitu pencucian tanah oleh air menuju ke bawah, sebab air
mengalir mencari tempat yang lebih rendah atau lebih bawah. Pada lahan miring sifatnya yang
runoff ini selain rendah terjadi pencucian pupuk juga berakibat pada hilangnya tanah lapisan atas
(top soil). Bila hilangnya tanah top soil ini terjadi terus menerus maka kesuburan tanahnya
rendah dan akan berpengaruh pada produksi. Sehingga untuk menghindari hal tersebut maka
harus dilakukan usaha konservasi pengawetan tanah secara mekanik yaitu dengan membuat
tapak kuda, teras individu dan teras bersambung. Pada lahan miring dengan kemiringan 2° - 4°
dibuatkan tapak kuda pada tempat – tempat tertentu. Pada lahan yang kemiringannya 5°- 20°
harus dibuatkan tapak kuda. Pada lahan dengan kemiringan 21° - 40° harus dibuatkan teras
kontur, namun dilokasi penelitian hal tersebut belum terlaksana secara optimal. Hal inilah yang
menyebabkan produktivitas pada lahan miring kurang baik dibandingkan produktivitas pada
lahan datar. Pada daerah rendahan diberi perlakuan tapak timbun. Dilihat dari cara budidayanya
terdapat perbedaan antara lahan datar dan lahan miring. Perbedaan tersebut antara lain pada
lahan datar tanaman ditanam langsung tanpa ada perlakuan tertentu, sedangkan pada lahan
miring dibuatkan tapak kuda. Pada lahan datar arah jalan panen dibuat berbentuk zig – zag yang
jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan sesuai dilokasi.
Hasil pengamatan menunjukan bahwa pada kemiringan lahan 15-25% memberikan hasil
yang terendah pada paubah kandungan klorofil, jumlah bunga, jumlah pelepah, jumlah tandan
buah dan berat tandan buah. Hal ini diduga bahwa pada kemiringan 15-25% lahan tidak stabil
karena pencucian hara bahan organik dan pelepasan partikel tanah sangat tinggi akibat erosi,
menurut Yahya et al., (2010) lahan – lahan yang terlalu miring cenderung curam biasanya
erosinya akan lebih tinggi sehingga akan berpengaruh pada lepasnya partikel tanah dan
tercucinya bahan organik dan hara yang dibutuhkan tanaman, sehingga tanaman tidak mampu
tumbuh dan berproduksi secara maksimal yang disebabkan kurangnya nutrisi akibat tercuci pada
saat terjadinya erosi tanah.
Hasil penelitian Sitepu (2007) menyatakan bahwa kemiringan lahan lebih dari 15% akan
mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman turutama pada pertumbuhan jumlah daunya
lambat, pembentukan bunga juga terlambat. Kartasapoetra., (1991), menyatakan bahwa selama
terjadinya aliran permukaan datar, maka akan terjadi pengendapan – pengendapan dari tanah
bagian atas yang terbuka erosi. Hal tersebut menyebabkan perbedaan sifat fisik kimian dan
biologi tanah yang berbeda, sehingga pertumbuhan dan perkembangan tanaman akan lebih baik
dibagian bawah lereng
1. Pertumbuhan dan produksi tanaman kelapa sawit dipengaruhi oleh letak lahan dan
kemiringan lereng. Posisi lahan dibagian bawah lereng menunjukan pertumbuhan yang
lebih baik dari bagian atas lereng
2. Kemiringan lereng datar sampai agag landau (0-8%) menunjukan pertumbuhan dan
produksi yang lebih baik dari pada yang curam (15-25%)
3. Pada posisi lahan yang berada dibawah lerenng dengan kemiringan 15-25% (curam)
memberikan pertumbuhan dan produksi yang baik.
4.2 Saran
Pada kebun kelapa sawit dengan kemiringan di atas 25% dianjurkan upaya konservasi
tanah seperti pembuatan teras, lorak, tapak kuda, penutupan permukaan tanah dengan cover crop
untuk mengurangi tingkat laju erosi.
DAFTAR PUSTAKA
Andrian. 2014. Pengaruh Ketinggian Tempat Dan Kemiringan Lereng Terhadap Produksi Karet.
Anwar. 2014. Budidaya Teknis dan Produktivitas Kelapa Sawit Dibeberapa Perkebunan
Dikalimantan Timur.
Arsyad. 1982. Dasar-dasar Ilmu Tanah Universitas Lampung.
Corley, R.H.V., and P.B. Tinker. 2016. The Oil Palm (Four Edition).Wiley-Blacweel
Direktorat jenderal Perkebunan. 2019. Statistik Perkebunan Indonesia Komoditas Kelapa Sawit,
Sekretariat Direktorat Jendral Perkebunan.
Harjowigeno. 1993. Dinamika hara Tanah Dan Pertumbuhan Kelapa Sawit Kinerja Dalam
Kaitannya Dengan Praktek Pengolaan Residu Setelah Penanaman Kembali Minyak
Perkebunan Kelapa Sawit.
Khalid. 2000. Dinamika Hara Tanah Dan Pertumbuhan Kelapa Sawit Kinerja Dalam Kaitannya
Dengan Praktek Pengelolaan Residu Setela Penanaman Kembali Minyak Perkebunan
Kelapa Sawit.
LLP, Tim Pengembangan Materi. 2010. Buku Pintar Mandor (BPM) Seri Budidaya Tanaman
Kelapa Sawit. Edisi Revisi. Lembaga Pendidikan Perkebunan.
Lubis, R.E. dan Widanarko, Agus. 2011. Buku Pintar Kelapa Sawit. Opi Nofiandi;Penyunting.
Agro Media Pustaka. Jakarta
Lubis, R.E. dan Widanarko, Agus. 2011. Buku Pintar Kelapa Sawit. Opi Nofiandi;Penyunting.
Agro Media Pustaka. Jakarta.
Mangoensoekarjo dan Semangun.2003. Morfologi Tanaman Kelapa Sawit. Erlangga. Jakarta.
Muntohar. 2006. Pengaruh Rembesan Dan Kimiringan Lereng Terhadap Lereng Keruntuhan.
Mustafa, H. M. 2004. Teknik Berkebun Kelapa Sawit. Adicitra Karya Nusa. Yogyakarta.
Nuryartono. 2016. Produktivitas Faktor Total Analisis Produksi Kelapa Sawit Diindonesia
Pambudi. 2010. Hubungan Antara Beberapa Karateristik Fisik Lahan Dan Produksi Kelapa
Sawit.
Riyanti, M.D. Erodibilitas Dan Prakiraan Tingkat Erosi Tanah.
Salmiyati. 2014. Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit Pengaruh Terhadap Produktivitas
Tandan Buah Segar (TBS)
Sastrosayono, S. 2003. Budidaya Kelapa Sawit. Purwokerto. Agromedia Pustaka. 176 hal.
14
Sihite.2015. Hubungan Ketinggian Tempat Dan Kemiringan Lereng Terhadap Produksi Kopi
Arabika.
Sunarko, 2007. Petunjuk Praktis Budidaya dan Penggelolaan Kelapa Sawit. Jakarta : Agro Media
Pustaka.
Sunarko, 2007. Petunjuk Praktis Budidaya dan Penggelolaan Kelapa Sawit. Jakarta : Agro Media
Pustaka.
Sunarko.2009. Budidaya Tanaman Kelapa Sawit. Kalisius.Jakarta.
Tim Penulis PS. 1997. Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Bogor.
Weng. 2005. Praktek Yang Dikembangkan dan Pembangunan Perkelanjutan Kelapa Sawit Jurnal
Industry Penilitian Kelapa Sawit
LAMPIRAN
Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian
DAYA HASIL
15
Lampiran 3. Kondisi Topografi PT. Evans Lestari Yang Terletak Di Desa Suro Muara
Beliti
1 0-8 Datar
2 8-15 Landai
\
20
Varietas damimas
No Tinggi Tanaman
1 3.23
2 3.32
3 3.26
4 3.3
5 3.29
6 3.25
7 3.35
8 3.38
9 3.27
10 3.31
11 3.32
12 3.26
13 3.36
14 3.43
15 3.31
16 3.35
Rata-Rata 3.31
Tertinggi 3.43
Terendah 3.23
gi
Terenda
2.2
h
Jan Feb Mar Apr Mei Mei Jul Agu Sep Okt Nov Des
87.9 86.3 87.5 87.5 88.6 88 86.6 84.5 83.6 86.8 87.9 86.5