Anda di halaman 1dari 41

KONSENTRASI LOGAM BERAT (Pb, Cu, dan Zn)

TERLARUT DAN TERSUSPENSI DI MUARA BUNGIN, JAWA


BARAT

RAYHANA SHIFA MEDINA

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN


FAKULTAS PERIKANAN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2020
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Konsentrasi Logam


Berat (Pb, Cu, dan Zn) Terlarut dan Tersuspensi di Muara Bungin, Jawa Barat
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2020

Rayhana Shifa Medina


NIM C54150008
ABSTRAK
RAYHANA SHIFA MEDINA. Konsentrasi Logam Berat (Pb, Cu, dan Zn)
Terlarut dan Tersuspensi di Muara Bungin, Jawa Barat. Dibimbing oleh TRI
PRARTONO dan MOCHAMAD TRI HARTANTO.

Muara Bungin merupakan daerah aliran sungai (DAS) Citarum yang


mendapatkan masukan limbah antropogenik dari aktivitas domestik, pertanian dan
perikanan berupa logam berat. Polutan tersebut dapat larut di kolom air dan
terakumulasi pada padatan tersuspensi. Penelitian ini bertujuan menentukan
kapasitas adsorpsi dan indeks kelarutan logam (Pb, Cu, dan Zn). Penelitian ini juga
menentukan konsentrasi logam berat terlarut dan tersuspensi serta menganalisis
karakteristik fisika-kimia estuari. Logam berat dianalisis menggunakan Atomic
Absorption Spectrofotometry (AAS). Perairan Muara Bungin termasuk ke dalam
tipe estuari tercampur sempurna berdasarkan stratifikasi salinitas secara vertikal.
Konsentrasi Pb terlarut berkisar antara 0.0015-0.003 mg/l dan tersuspensi sebesar
0.053-0.356 mg/kg, sedangkan Cu terlarut berkisar antara 0.006-0.064 mg/l dan
tersuspensi sebesar 0.019-0.277 mg/kg. Konsentrasi Zn terlarut berkisar antara
0.017-0.028 mg/l dan tersuspensi sebesar 0.127-4.681 mg/kg. Kapasitas adsorpsi
logam Pb, Cu, dan Zn secara berurutan ialah Pb>Zn>Cu sebesar
98.9%>93.9%>66.6%, sedangkan indeks kelarutan berturut-berturut ialah
Cu>Zn>Pb sebesar 33.4%>6%>1%. Logam berat Pb, Cu, dan Zn di Muara Bungin
memiliki konsentrasi tersuspensi lebih tinggi dibandingkan terlarut dan berpotensi
terendapkan ke dasar perairan.

Kata kunci: logam berat, estuari, kapasitas adsorpsi, indeks kelarutan, Muara
Bungin.
ABSTRACT

RAYHANA SHIFA MEDINA. Concentrations of Dissolved and Suspended


Particulate Matter Heavy Metals (Pb, Cu, and Zn) in Bungin Estuary, West Java.
Supervised by TRI PRARTONO and MOCHAMAD TRI HARTANTO.

Muara Bungin is part of Citarum River tributaries that has anthropogenic


input of pollutants from various activities (domestic, agriculture and fisheries) such
as heavy metals. These pollutants tend to dissolve in the water column and
accumulate in suspended particulate matters. This characteristic has led to concerns
the adsorption capacity and solubility index of heavy metals (Pb, Cu, and Zn) in
this research. This research also to determine the concentration of heavy metals
between dissolved and suspended particulate matter and to analyze the physical-
chemical characteristics estuary. Concentrations of heavy metals were measured
using Atomic Absorption Spectrophotometry (AAS). Muara Bungin was a well-
mixed estuary based on vertical salinity stratification. Concentration of dissolved
and suspended Pb ranged between 0.0015-0.003 mg/l and 0.053-0.335 mg/kg, while
dissolved and suspended Cu was between 0.006-0.064 mg/l and 0.019-0.277 mg/kg.
Concentration of dissolved and suspended Zn was between 0.017-0.028 mg/l and
0.127-4.681 mg/kg. The sequential adsorption capacity of Pb> Zn> Cu was 98.9%>
93.9%> 66.6%, while the solubility index of Cu> Zn> Pb was 33.4%> 6%> 1%.
The concentrations of suspended heavy metals such as Pb, Cu, and Zn in Muara
Bungin were greater than their dissolved and potentially settle on the bottom.

Keywords: heavy metal, estuary, adsorption capacity, dissolved transport index,


Muara Bungin.
KONSENTRASI LOGAM BERAT (Pb, Cu, dan Zn)
TERLARUT DAN TERSUSPENSI DI MUARA BUNGIN, JAWA
BARAT

RAYHANA SHIFA MEDINA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ilmu Kelautan
pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2020
Judul Skripsi : Konsentrasi Logam Berat (Pb, Cu, dan Zn) Terlarut dan Tersuspensi
di Muara Bungin, Jawa Barat
Nama : Rayhana Shifa Medina
NIM : C54150008

Disetujui oleh

Dr. Ir. Tri Prartono M.Sc Mochamad Tri Hartanto S.Pi., M.Si
Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr. Ir.I Wayan Nurjaya, M.Sc


Ketua Departemen

Tanggal Lulus: 18 Mei 2020


PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Juni 2019 ini ialah logam
berat, dengan judul Konsentrasi Logam Berat (Pb, Cu, dan Zn) Terlarut dan
Tersuspensi di Muara Bungin, Jawa Barat. Penulis ucapkan terimakasih kepada :
1. Bapak Dr. Ir. Tri Prartono M.Sc dan Bapak Mochamad Tri Hartanto,
S.Pi., M.Si selaku pembimbing yang telah membimbing dan memberi
arahan, serta saran hingga penulis dapat mencapai tahap ini.
2. Kedua orang tua tercinta, Bapak Irawan Palgunadi dan Ibu Indawaty Ali,
serta adik tersayang, M. Anas Adela yang tak henti-hentinya memberikan
semangat, doa, dan kasih sayang kepada penulis hingga hari ini.
3. Tim Asisten Oseanografi Kimia (Dina, Erika, Azizul, Mayrani, dan
Nadya) dan Oseanografi Fisika (Alvia, Dilfi, dan Iven) Ilmu dan
Teknologi Kelautan 2017 yang memberikan saran dan masukan kepada
penulis selama penyelesaian tugas akhir.
4. Tim Penelitian Muara Gembong baik dosen, teknisi dan rekan rekan yang
telah memberi kesempatan serta bantuan mulai dari materil, moril serta
ilmu dari awal hingga akhir pelaksanaan kegiatan
5. Rahma Aprilian, Destiana Safitri, dan Puspita Rahayu yang selalu
memberikan dukungan selama proses penyelesaian tugas akhir.
6. Dina Aprilia, Erika Oktavia, dan Aulia Rahma yang membantu dan
memberikan dukungan selama masa perkuliahan.
7. Teman-teman Ilmu dan Teknologi Kelautan angkatan 52 (Latimeria) yang
telah menemani dan memberikan semangat selama masa perkuliahan.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2020

Rayhana Shifa Medina


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 1
METODE 2
Waktu dan Tempat 2
Alat dan Bahan 2
Sumber Data 3
HASIL DAN PEMBAHASAN 7
Kondisi Fisik Kimia Lingkungan 7
Konsentrasi Logam Berat Terlarut dan Partikulat 13
Adsorpsi-Desorpsi Logam Berat 17
SIMPULAN DAN SARAN 19
Simpulan 19
Saran 19
DAFTAR PUSTAKA 19
LAMPIRAN 13
RIWAYAT HIDUP 15
DAFTAR TABEL

1 Alat dan bahan dalam pengambilan sampel dan analisis laboratorium 3


2 Tipe pasang surut berdasarkan bilangan Formzahl (F) 6
3 Kecepatan (rata-rata, maksimum, minimum) dan arah arus di 7
Stasiun 9

DAFTAR GAMBAR
1 Lokasi pengambilan data dan sampel air di Muara Bungin, Bekasi, 2
2 Pasang surut di Muara Bungin pada bulan Juli (Sumber data : BIG) 8
3 Sebaran melintang suhu (℃) dari hulu ke hilir di Muara Bungin pada
bulan Juli 10
4 Sebaran melintang salinitas (psu) dari hulu ke hilir di Muara Bungin 11
5 Total padatan tersuspensi (mg/l) di Muara Bungin pada bulan Juli 12
6 pH di Muara Bungin pada bulan Juli 12
7 Oksigen Terlarut (mg/l) di Muara Bungin pada bulan Juli 13
8 Konsentrasi logam berat Pb terlarut (mg/l) dan tersuspensi (mg/kg) di
Muara Bungin 14
9 Konsentrasi logam berat Cu terlarut (mg/l) dan tersuspensi (mg/kg) di
Muara Bungin 16
10 Konsentrasi logam berat Zn terlarut (mg/l) dan tersuspensi (mg/kg) di
Muara Bungin 17
11 Kapasitas adsorpsi logam Pb, Cu, dan Zn di Muara Bungin 18
12 Indeks kelarutan logam Pb, Cu, dan Zn di Muara Bungin 18

DAFTAR LAMPIRAN
1 Titik koordinat stasiun pengambilan data 23
2 Diagram stratifikasi tipe estuari (Tomczak 2003) 23
3 Debit air Muara Bungin (Sosrodarsono dan Takeda 1987) 23
4 Kapasitas Adsorpsi (KA) dan Indeks Kelarutan (DTI) Muara Bungin
(Sanusi 2006) 24
5 Kecepatan dan arah arus di lokasi penelitian 24
6 Grafik analisis tipe estuari Muara Bungin 25
7 Konsentrasi logam berat (terlarut dan tersuspensi) di lokasi penelitian
25
8 Baku mutu konsentrasi logam untuk biota menurut KepmenLH No.51
(2004) dan Asean Marine Water Quality Criteria (1999) 25
9 Kapasitas adsorpsi (KA) dan Indeks Kelarutan (DTI) logam di lokasi
penelitian 26
10 Tabel kualitas air di lokasi penelitian 26
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Polutan seperti logam berat yang masuk ke laut dapat mencemari lingkungan
laut dan berbahaya bagi organisme. Menurut Hutagalung (1984) peningkatan kadar
logam berat dapat terjadi apabila limbah perkotaan, pertambangan, pertanian dan
perindustrian yang mengandung logam berat masuk ke lingkungan laut. Jenis-jenis
limbah yang umumnya paling banyak mengandung logam berat adalah limbah
industri, karena banyak dimanfaatkan sebagai katalisator, bahan aditif, fungisida
dan sebagai bahan baku.
Estuari merupakan tempat akumulasi pertama semua polutan yang diangkut
oleh air sungai. Air sungai yang mengandung limbah logam mengalami proses
fisika-kimiawi yang dapat merubah fase logam pada kolom air. Dua bentuk
keberadaan logam berat di kolom perairan yaitu terlarut (fase liquid) dan partikulat
(fase solid). Interaksi antara logam berat dengan lingkungan perairan menentukan
karakter logam melalui proses adsorpsi-desorpsi, deposisi-resuspensi, dan
penyebarannya.
Estuari dicirikan dengan wilayah perairan semi-tertutup yang mendapat
intrusi air tawar dan air laut serta menyebabkan perbedaan nilai salinitas. Tingginya
nilai salinitas pada perairan dapat meningkatkan kekuatan ionik pada partikel
(Chester 1990). Kekuatan ionik yang bertambah menghasilkan gaya tarik-menarik
antar partikel sehingga terkumpulnya suatu materi yang disebut floc (gumpalan).
Semakin besar floc maka akan semakin mudah terendapkan di dasar perairan.
Padatan tersuspensi dapat mengadsorpsi logam dari kolom air dan berperan sebagai
indikator yang merefleksikan kondisi real-time pencemaran air lebih baik daripada
sedimen (Zhu et al. 2005). Perairan estuari diduga mampu memfilter bahan
kontaminan berupa logam berat yang diangkut dari daratan menuju laut melalui
perubahan dari fase terlarut menjadi fase partikel (Teuchies et al. 2013).
Muara Bungin merupakan estuari dangkal yang terletak di antara Kabupaten
Bekasi dan Kabupaten Karawang, Jawa Barat dan merupakan salah satu estuari dari
Sungai Citarum di Kecamatan Muara Gembong. Sebagian besar mata pencaharian
penduduk Muara Bungin adalah sebagai nelayan tangkap dan budidaya yang
kemudian dijual ke daerah Muara Angke, Ancol, dan Cilincing. Kawasan pesisir
didominasi lahan tambak dengan komoditas utama yaitu kepiting, udang, dan ikan.
Logam berat umumnya terdapat di perairan dalam konsentrasi rendah. Logam
tersebut dapat bersifat non-esensial (tidak diperlukan dalam sistem fisiologis
organisme) seperti timbal (Pb) dan dapat bersifat esensial yaitu, tembaga (Cu) dan
seng (Zn) diperlukan dalam sistem fisiologis organisme. Namun demikian,
keduanya hanya dibutuhkan dalam konsentrasi yang kecil, dan akan bersifat racun
pada konsentrasi yang tinggi (Puspasari 2006).

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan menganalisis karakteristik fisik-kimia estuari dan


menentukan konsentrasi logam (Pb, Cu, dan Zn) terlarut, tersuspensi, kapasitas
2

adsorpsi (Adsorption Capacity) serta indeks kelarutan (Dissolved Transport Index)


unsur logam di di Muara Bungin.

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli hingga September 2019. Waktu
dan lokasi pengambilan sampel air dilakukan di perairan Muara Bungin, Bekasi,
Jawa Barat pada 14 Juli 2019 sebanyak 7 stasiun (Gambar 1). Pengolahan data dan
analisis laboratorium dilakukan selama bulan Juli hingga Oktober 2019. Analisis
logam berat (Pb, Cu, dan Zn) terlarut serta tersuspensi dilakukan di Laboratorium
Produktivitas Lingkungan (Proling) Departemen MSP IPB dan Laboratorium
Oseanografi Departemen ITK IPB.

Gambar 1 Lokasi pengambilan data dan sampel air di Muara Bungin, Bekasi,
Jawa Barat

Alat dan Bahan

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah sampel air di Muara
Bungin. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini secara spesifik
disajikan pada Tabel 1.
3

Tabel 1 Alat dan bahan dalam pengambilan sampel dan analisis laboratorium
No Alat dan Bahan Fungsi
1 GPS Hand Alat penentu koordinat titik sampling
2 Conductivity Temperature Depth Alat pengukur suhu dan kedalaman
3 Electromagnetic Current Meter Alat pengukur arus laut
4 Van Dorn Bottle Sampler Alat sampling air
5 pH Meter Alat pengukur arus laut pH
6 DO Meter Alat pengukur oksigen terlarut
7 Botol polyetilin Wadah sampel air
8 Oven Mengeringkan kertas saring
9 Timbangan Analitik Menimbang bobot kertas saring
10 Pompa Vakum (Vacuum Pump) Memfilter sampel air
11 Desikator Mendinginkan kertas saring
12 Penangas panas (Hot plate) Mendestruksi sampel larutan tersuspensi
13 Mortar dan Alu Menghaluskan sampel tersuspensi
14 Kertas saring 0.45 µm Memisahkan sampel zat terlarut dan
zat tersupensi
15 Gelas beker Wadah memanaskan larutan
16 Pipet Volumetrik Memindahkan larutan
17 Labu ukur Wadah sampel
18 AAS tipe Graphite furnace Mengukur konsentrasi logam berat
19 Akuades Mengencerkan sampel
20 Larutan APDC Mengekstraksi logam dalam sampel air
21 Larutan MIBK Melarutkan logam yang bersifat organik
22 Larutan HNO3 Mengawetkan sampel air
Melarutkan ikatan kompleks logam berat

Sumber Data

Data kedalaman, arus, debit, suhu, salinitas, kekeruhan, derajat keasaman


(pH), oksigen terlarut, partikel tersuspensi (TSS), logam berat baik terlarut maupun
tersuspensi menggunakan data primer atau data hasil pengukuran lapang,
sedangkan data pasang surut dan kedalaman menggunakan data sekunder dari
Badan Informasi Geospasial (BIG) yang dapat diakses melalui website
http://tides.big.go.id .

Prosedur Penelitian

Pengambilan Contoh Air


Pengambilan sampel air di permukaan menggunakan Van Dorn Bottle
Sampler yang terbuat dari bahan Poly Vinyl Klorida (PVC) berukuran 2 liter.
Prinsip alat ini adalah mengambil air sesuai kedalaman yang ditentukan secara
4

horizontal. Sampel air dimasukkan ke dalam botol sampel High Density Polyetilene
(HDPE) berukuran 1 liter yang telah dibersihkan dan disimpan dalam kotak
pendingin pada suhu 4 °C sesuai standar APHA (2014) agar sampel tidak
terkontaminasi untuk dilanjutkan analisis laboratorium.

Analisis Partikel Tersuspensi Total (TSS)


Analisis partikel tersuspensi dilakukan berdasarkan prosedur APHA (2014).
Sampel air laut sebanyak 500 ml disaring menggunakan filter selulose dengan
ukuran 0.45 µm. Filter selulose sebelumnya dalam kondisi bersih, kering, dan telah
diukur berat awalnya. Selanjutnya filter selulose hasil penyaringan dikeringkan
dalam penangas panas dengan suhu sebesar 103 °C sampai 105 °C selama 1 jam.
Filter selulose didinginkan dalam desikator dan ditimbang untuk didapatkan berat
akhir menggunakan timbangan analitik. Partikel tersuspensi total (TSS) dihitung
dengan persamaan (1).

𝑊𝑎−𝑊𝑖
TSS = (1)
𝑉

dimana :
TSS = Partikel tersuspensi total (mg/l)
𝑊𝑎 = Berat awal sampel/berat sebelum diovenkan (mg)
𝑊𝑖 = Berat akhir sampel/berat setelah diovenkan (mg)
𝑉 = Volume air yang disaring (l)

Analisis Logam Berat Terlarut


Analisis logam berat terlarut mengikuti prosedur APHA (2014). Contoh air
laut sebanyak 500 ml disaring menggunakan filter selulosa dengan ukuran 0.45 μm
dan selanjutnya ditambahkan asam nitrat (HNO3) pekat sampai pH <2 lalu
diekstraksi dengan 1.5 ml APDC dan 25 ml MIBK. Hasil ekstraksi dalam fase
organik diukur nilainya dengan mengguankan AAS Graphite Furnace dengan
deteksi limit 0.001 ppm. Konsentrasi logam berat (C) dihitung dengan
menggunakan persamaan (2).

𝐶 = 𝐴 𝑥 𝑉𝑝 (2)

dimana :
C = Konsentrasi logam dalam sampel (mg/l atau ppm)
A = Konsentrasi logam dalam larutan uji (mg/l)
Vp = Faktor pengenceran (jika dilakukan pengenceran)

Analisis Logam Berat Partikulat


Logam berat partikulat dianalisis berdasarkan prosedur (APHA 2014).
Sampel partikel tersuspensi yang tersaring bersama kertas saringnya dikeringkan
dalam oven pada suhu 105 ºC selama 1 jam, kemudian didinginkan dalam desikator
lalu ditimbang beratnya. Kertas saring dimasukkan ke dalam gelas beker ukuran
100 ml lalu ditambahkan 5 ml HNO3 dan tutup dengan kaca penutup, lalu
dipanaskan dengan penangas panas pada suhu 90 sampai 100 ºC hingga volume
5

larutan sampel 1–2 ml kemudian didinginkan. Ketika larutan sampel telah dingin,
sebanytak 2–10 ml HNO3 dan 2–10 ml HClO4 ke dalam larutan sampel secara
perlahan lalu penghancuran (digest) dilanjutkan hingga larutan homogen. Larutan
didinginkan dan disaring ke dalam labu takar polyetilin volume 100 ml. Labu takar
polyetilin sebelumnya telah dibilas dengan akuades. Selanjutnya larutan sampel
dikocok dan siap diukur konsentrasi logam beratnya dengan Atomic Absorption
Spectrometry (AAS) Graphite Furnace. Konsentrasi logam berat (C) dihitung
dengan menggunakan persamaan (3).

𝐴 𝑥 𝑉 𝑥 𝑉𝑝
𝐶= (3)
𝐵

dimana :
C = Konsentrasi logam dalam sampel (mg/kg atau ppm)
A = Konsentrasi logam dalam larutan uji (mg/l)
B = Berat sampel (kg)
V = Volume penetapan akhir (l)
Vp = Faktor pengenceran (jika dilakukan pengenceran)

Analisis Data

Parameter Oseanografi
Data arus diperoleh dari pengukuran insitu pada setiap stasiun selama 3 kali
pengulangan untuk mendapatkan nilai rata-rata kecepatan dan arah arus. Titik
koordinat masing-masing stasiun terdapat pada Lampiran 1. Data tipe estuari
didasarkan pada analisis data rasio nilai salinitas permukaan (Ss) dengan salinitas
dasar (Sb) terhadap nilai Normalized Distance, yaitu rasio jarak (J0) antara stasiun
acuan dengan stasiun pengamatan yang dibandingkan dengan jarak total (JN).
Berdasarkan hasil tersebut dapat diklasifikasikan tipe estuari mengacu pada
Tomczak (2003) yang mengklasifikasikan tipe estuari berdasarkan stratifikasi
salinitasnya, yaitu estuari baji garam, estuari berstratifikasi tinggi, estuari
bestratifikasi rendah, dan estuari tercampur sempurna (Lampiran 2).
Data debit sungai diperoleh dari perhitungan debit sungai yang terdiri dari
komponen kecepatan rata-rata arus, lebar sungai, dan kedalaman sungai
berdasarkan data insitu. Titik koordinat pengambilan data debit sungai berada di
107° 4.8’ 20.52” BT 5° 59.4’ 0.72” LS yang lokasinya dekat dengan pintu air Muara
Bungin. Perhitungan data debit sungai mengacu pada Sosrodarsono dan Takeda
(1993) dengan rincian analisis data yang terlampir (Lampiran 3). Data kedalaman,
salinitas, suhu, oksigen terlarut, TSS, dan pH diperoleh dari pengukuran insitu pada
masing-masing stasiun. Pengolahan data menggunakan Microsoft Excel untuk
mendapatkan grafik setiap parameter yang dikaji.
Data pasang surut diperoleh dari data prediksi pasang surut online Badan
Informasi Geospasial (BIG) selama 15 hari (rataan per satu jam) dari tanggal 1 Juli
hingga 15 Juli 2019 dan konstanta pasang surut harmonik. Titik koordinat untuk
data pasang surut berada di 107° 5’ 41.94” BT 5° 55’ 36.13” LS. Data diolah
menggunakan Microsoft Excel untuk mendapatkan grafik pasang surut, tunggang
pasut, dan nilai bilangan Formzahl (F). Tunggang pasut merupakan selisih antara
6

elevasi muka air laut pada saat pasang tertinggi dengan surut terendah, sedangkan
nilai F menentukan tipe pasang surut yang dapat dilihat pada persamaan (4) menurut
(Pond and Pickard 1983).

K1+O1
F= (4)
M2+S2

dimana :
F = Bilangan Formzahl
K1 = Unsur pasut tunggal utama yang disebabkan gaya tarik matahari (m)
O1 = Unsur pasut tunggal utama yang disebabkan gaya tarik bulan (m)
M2 = Unsur pasut ganda utama yang disebabkan oleh gaya tarik bulan (m)
S2 = Unsur pasut ganda utama yang disebabkan oleh gaya tarik matahari (m)

Tabel 2 Tipe pasang surut berdasarkan bilangan Formzahl (F)


Bilangan Formzahl (F) Tipe Pasang Surut
0.00 < F = 0.25 Ganda
0.25 < F = 1.50 Campuran cenderung ganda
1.50 < F = 3.00 Campuran cenderung tunggal
F > 3.00 Tunggal
Sumber : Pond dan Pickard (1983)

Logam Berat Terlarut dan Tersuspensi


Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan membandingkan data 3 jenis
logam yang terukur antar stasiun pengamatan. Pengolahan data menggunakan
Microsoft Excel dan disajikan dalam bentuk grafik. Data yang digunakan
merupakan hasil pengukuran logam menggunakan instrumen AAS yang
selanjutnya dianalisis kapasitas adsorpsi dan indeks kelarutannya.

Kapasitas Adsorpsi dan Indeks Kelarutan


Kapasitas adsorpsi logam dihitung berdasarkan rasio antara konsentrasi
logam tersuspensi dan konsentrasi logam total. Nilai kapasitas adsorpsi (Adsorption
Capasity) dihitung dengan persamaan (5).

[[𝐿]𝐴𝑑𝑠𝑜𝑟𝑝𝑠𝑖 ]
KA= x 100% (5)
[𝐿]𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙

dimana :
KA = Kapasitas Adsorpsi (%)
[L] Adsorpsi = Elemen kimia teradsorpsi partikel (ppm)
[L] Total = Jumlah elemen kimia teradsorpsi dan terlarut (ppm)

Adapun nilai Indeks Kelarutan atau DTI (Dissolved Transport Index), yang
merupakan nilai rasio antara konsentrasi logam terlarut dengan konsentrasi logam
total menggunakan persamaan (6) dengan perhitungan analisis data yang terlampir
(Lampiran 4) mengacu pada (Sanusi 2006):
7

[𝐿]𝑇𝑒𝑟𝑙𝑎𝑟𝑢𝑡
Indeks Kelarutan = x100% (6)
[𝐿]𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙

dimana :
IK = Indeks Kelarutan (%)
[L] Terlarut = Elemen kimia terlarut (ppm)
[L] Total = Jumlah elemen kimia dan terlarut (ppm)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Fisik Kimia Lingkungan

Profil Kedalaman
Kedalaman perairan dapat memengaruhi mekanisme pelepasan dan
penenggelaman logam berat melalui proses reaksi fase terlarut dan partikel.
Perairan dengan kedalaman yang dangkal proses proses resuspensi sedimen dapat
dengan mdah terjadi yang selanjutnya dapat berpotensi melepas logam berat yang
terikat di sedimen ke dalam kolom air (Maslukah 2006). Hasil penelitian yang
dilakukan bertepatan dengan kondisi musim kemarau menunjukkan bahwa
kedalaman di wilayah sungai hingga mulut estuari cenderung relatif dangkal
dengan kisaran nilai 0.8–2.0 m (Lampiran 1). Tidak terdapat perubahan kedalaman
yang siginifikan dari bagian hulu estuari (head of estuary) hingga menuju ke arah
mulut estuari (mouth of estuary). Bagian relatif dalam terdapat pada Stasiun M7
yang berada di bagian pantai depan (foreshore) dengan kedalaman 5.2 m.
Berdasarkan data reanalysis oleh BIG, kedalaman pantai depan bagian Utara Muara
Bungin berkisar 1–11 m (Gambar 1).

Pasang Surut
Proses pasang surut berperan penting sebagai gaya pembangkit dalam
proses percampuran di estuari dan menyebabkan material tersuspensi ke dalam
kolom air. Selain itu, masuknya massa air laut menyebabkan salinitas di wilayah
estuari bervariasi. Hasil data reanalisis pasang surut selama 15 hari pada bulan Juli
di Muara Bungin memperoleh bilangan Formzahl sebesar 4.1 yang termasuk
pasang surut harian tunggal (diurnal tide) (Pond and Pickard 1983), yaitu dalam
sehari dapat terjadi satu kali pasang dan satu kali surut. Menurut Alimuddin (2015),
perairan Muara Gembong memiliki nilai bilangan Formzahl sebesar 6.25 sehingga
termasuk kategori pasang surut diurnal.
Periode pasang surut dapat menentukan karakteristik perairan, salah satunya
ialah durasi percampuran yang terjadi intensif dan berlangsung lama. Berdasarkan
data reanalisis, tunggang pasut yang terdapat di Muara Bungin sebesar 1.02 m.
Peningkatan tunggang pasut berakibat pada meningkatnya material suspensi karena
resuspensi sedimen dasar ke kolom air (Dyer dan Orth 1994). Tunggang pasut yang
besar dapat memicu erosi batuan di wilayah pesisir. Menurut penelitian oleh Rosen
(1977) di Teluk Chesapeake, nilai tunggang pasut yang tinggi memiliki laju erosi
8

kecil, sedangkan nilai tunggang pasut yang rendah memiliki laju erosi yang lebih
besar. Hal ini dikarenakan peningkatan volume air di wilayah dengan tunggang
pasut yang tinggi memiliki probabilitas yang minim dalam mengerosi batuan di
darat sehingga penurunan nilai tunggang pasut berakibat pada erosi batuan jangka
panjang. Material batuan yang terkikis dapat menyuplai logam berat di perairan.

Gambar 2 Pasang surut di Muara Bungin pada bulan Juli (Sumber data : BIG)

Arus
Arus berpengaruh dalam menentukan karakteristik fisik perairan khususnya
proses transportasi dan percampuran material yang dapat menyebabkan pelepasan
logam berat melalui material tersuspensi yang masuk ke kolom air. Nilai kecepatan
arus di Muara Bungin berkisar 0.005–0.306 m/s. Pengambilan data dilakukan saat
pasang air laut yang ditandai dengan arah arus dominan ke wilayah hulu estuari
(Lampiran 5). Arus di Muara Bungin didominasi oleh arus pasang surut, hal ini
dibuktikan dengan adanya proses melemahnya arus pasang di wilayah bagian
tengah estuari.
Menurut (Geofana 2012), arus di Kecamatan Muara Gembong cenderung
dipengaruhi oleh arus pasang surut. Perubahan morfologi estuari memicu gesekan
semakin besar dan menghambat aliran arus pasang surut yang masuk ke dalam
muara. Arah dan kecepatan arus menentukan pergerakan, transpor dan
pengendapan material padatan yang terdapat di perairan. Material dengan ukuran
9

yang kecil (suspensi) bersifat akan mudah ditransportasikan dan mengendap pada
perairan dengan kecepatan arus yang relatif lemah.

Tabel 3 Kecepatan arus (rata-rata, maksimum, minimum) di 7 Stasiun pada bulan


Juli 2019 di Muara Bungin
Kecepatan (m/s)
Stasiun
Maksimum Minimum Rata-rata
1 M1 (S. Citarum) 0.023 0.009 0.017
2 M2 0.010 0.003 0.006
3 M3 0.014 0.001 0.005
4 M4 0.038 0.006 0.023
5 M5 0.087 0.056 0.073
6 M6 0.362 0.271 0.306
7 M7 (Laut) 0.317 0.251 0.286

Debit Sungai
Debit sungai dapat dipengaruhi oleh morfologi estuari dan menentukan
transport material padatan tersuspensi di estuari. Data debit sungai diperoleh
dengan mengukur volume air yang masuk ke wilayah Muara Bungin per satuan
waktu (Lampiran 2). Lokasi pengukuran debit sungai dilakukan pada Stasiun M2
yang dekat dengan pintu masuk air dari aliran Sungai Citarum. Nilai debit sungai
yang masuk ke Muara Bungin sebesar 0.02 m3 /s. Volume aliran yang masuk
mengangkut material padatan dan berpotensi mengandung material elemen kimia
seperti logam berat. Perubahan kedalaman yang signifikan di Stasiun M1 hingga
Stasiun M2 mengakibatkan perlambatan arus yang membawa aliran masuk ke
dalam estuari. Hal ini diiringi pengambilan data yang dilakukan saat Musim Timur
dengan curah hujan yang rendah sehingga debit aliran sungai yang masuk estuari
relatif sedikit.

Suhu
Profil melintang suhu permukaan berkisar antara 28.2–31.6°C. Muara Bungin
adalah perairan dangkal yang memiliki karakter massa air relatif homogen dari
permukaan hingga ke dasar pada masing-masing stasiun (Gambar 4). Suhu relatif
tinggi terdapat pada estuari bagian tengah (Stasiun M3 hingga Stasiun M5)
dibandingkan wilayah estuari bagian hulu dan yang mengarah ke laut lepas.
Pengaruh arus pasang surut yang lemah mengakibatkan massa air terperangkap di
stasiun tersebut sehingga menghambat sirkulasi antara pasokan air laut dengan suhu
yang lebih dingin dengan suhu air sungai yang lebih hangat. Pasang surut air laut
mempengaruhi suhu perairan dan terlihat nyata pada perairan estuari (Kinne 1964)
Di sisi lain, suhu berpengaruh pada toksisitas logam berat. Peningkatan suhu
berperan dalam meningkatkan akumulasi logam berat berdasarkan tingkat
kelarutannya. Menurut (Happy et al. 2012), suhu yang tinggi dapat memicu polutan
berupa material terlarut lebih mudah larut ke dalam kolom air. Kecenderungan
peningkatan desorpsi logam berat dari partikel ke dalam kolom air terjadi akibat
dari kenaikan suhu, sedangkan sebaliknya suhu yang rendah cenderung akan
10

meningkatkan adsorpsi logam berat terlarut ke permukaan partikel (Kubilay et al.


2007).

Gambar 3 Sebaran melintang suhu (℃) dari hulu ke hilir di Muara Bungin pada
bulan Juli

Salinitas
Estuari dicirikan sebagai wilayah percampuran massa air tawar dengan air
laut yang mengakibatkan bertambahnya salinitas (Chester 1990). Profil melintang
sebaran salinitas di Muara Bungin menunjukkan salinitas yang terukur berada pada
kisaran antara 8–35 psu (Gambar 4). Pola penyebaran salinitas yang terjadi
bervariasi secara horizontal dimana salinitas terendah di bagian hulu (Stasiun M1).
Salinitas tertinggi terdapat di bagian tengah estuari (Stasiun 4 hingga Stasiun 5) dan
menurun di wilayah muka pantai (Stasiun M6) hingga ke arah laut. Tidak terdapat
stratifikasi salinitas secara vertikal namun homogen pada permukaan hingga ke
dasar pada seluruh stasiun pengamatan. Hal ini diduga karena minimnya aliran air
tawar saat Musim Timur dan diiringi melemahnya arus yang masuk ke dalam
estuari.
Peningkatan nilai salinitas terjadi pada estuari bagian tengah (Stasiun M4)
yang diduga kuat adanya pembentukan salt plug di stasiun pengamatan. Proses
evaporasi pada Musim Timur berakibat pada pembentukan daerah pembatas di
wilayah estuari yang memiliki salinitas lebih tinggi dibandingkan laut (Herschy
2012). Namun, karakteristik estuari yang dinamis juga dapat memungkinkan
adanya flluktuasi salinitas di estuari, hal ini dikarenakan salinitas dipengaruhi
beberapa faktor antara lain seperti instrusi air laut, run-off, kedalaman, evaporasi,
dan dinamika aliran permukaan (Stewart 2002).
Salinitas berpengaruh pada mekanisme adsorpsi-desorpsi logam berat. Air
laut yang masuk ke wilayah estuari memiliki salinitas tinggi dengan kekuatan ionik
yang besar sehingga berakibat pada pembentukan floc (gumpalan) dan
menghasilkan agregat lalu mengendap di sedimen. Beberapa logam pada salinitas
rendah mengalami desorpsi, sebaliknya pada salinitas tinggi mengalami adsorpsi.
Menurut Burton dan Liss (1976), logam berat secara optimum mengalami adsorpsi
pada kisaran salinitas 5-25 psu.
11

Gambar 4 Sebaran melintang salinitas (psu) dari hulu ke hilir di Muara Bungin
pada bulan Juli

Menurut Chester (1990), tipe estuari menentukan perilaku logam berat di


perairan. Berdasarkan analisis tipe estuari menurut Tomczak (2003), tipe estuari di
Muara Bungin pada bulan Juli termasuk kategori estuari tercampur sempurna (well-
mixed estuary). Hasil rasio salinitas permukaan dengan salinitas dasar (Ss/Sb)
dibandingkan dengan jarak normalitas (normalized distance) di Muara Bungin
berkisar 0.8– 1.0 dari Stasiun M1 hingga Stasiun M7 (Lampiran 6). Normalized
distance adalah jarak stasiun pengamatan sepanjang estuari dibandingkan jarak
stasiun acuan yang dibedakan berdasarkan nilai panjangnya.
Tipe estuari ini didominasi oleh arus pasang surut dibandingkan dengan
instrusi air tawar yang masuk ke estuari. Berdasarkan kondisi tersebut, air laut yang
masuk dan berada di dasar karena dominansinya yang tinggi mampu
mrnghomogenisasi air tawar yang ada di permukaan sehingga perairan menjadi
tercampur secara vertikal (Ji 2017). Tipe estuari ini memiliki kandungan air laut
yang lebih tinggi sehingga potensi penenggelaman polutan berupa material
tersuspensi menjadi lebih besar. Menurut Najamuddin (2018), estuari tercampur
sempurna cenderung mengalami proses flokulasi yang intensif akibat dari pengaruh
air laut dengan salinitas tinggi yang mendominasi wilayah estuari.

Total Padatan Tersuspensi (TSS)


Secara alami, padatan tersuspensi berperan sebagai media masuknya polutan
logam berat ke perairan. Total padatan tersuspensi (TSS) di Muara Bungin berkisar
6–423 mg/l. Konsentrasi TSS meningkat dari hulu (Stasiun M1) ke arah mulut
estuari dan menurun di wilayah laut (Gambar 5). Dapat dilihat bahwa distribusi TSS
dipengaruhi oleh dinamika dan morfologi perairan. Pengaruh arus yang cukup kuat
dan mobilitas kapal nelayan pada kedalaman dangkal di estuari bagian hilir
mengakibatkan pergolakan material dari sedimen dasar (Stasiun M5 hingga Stasiun
M6). Arus dan gaya pasang surut yang kuat berperan pada proses pengadukan di
dasar perairan sehingga terjadi resuspensi material ke kolom air (Satriadi dan
Widada 2004). Selain erosi batuan yang diangkut oleh aliran air sungai, banyaknya
inputan material padatan yang berasal dari limbah rumah tangga, aktivitas tambak,
dan detritus memberikan pengaruh besar dalam peningkatan TSS di perairan.
12

450

Padatan Tersuspensi Total mg/l


400
350
300
250
200
150
100
50
0
M1 M2 M3 M4 M5 M6 M7
Stasiun

Gambar 5 Total padatan tersuspensi (mg/l) di Muara Bungin pada bulan Juli

Derajat Keasaman (pH)


Hasil pengamatan pH di stasiun pengamatan pada bulan Juli menunjukkan
nilai pH yang relatif sama dengan kisaran sebesar 7.1–8.0 (Gambar 6). Kisaran pH
ini terjadi saat Musim Timur karena banyaknya air laut yang masuk ke estuari
sehingga perairan bersifat alkalis/basa. Menurut penelitian Happy et al. (2012),
nilai pH pada Daerah Aliran Sungai Citarum bervariasi dengan kisaran antara 6–8
pada bulan Mei. Kandungan pH yang rendah dapat berdampak pada peningkatan
toksisitas senyawa kimia seperti logam berat (Radulescu et al. 2014).
Perubahan pH berpengaruh pada adsorpsi logam melalui mekanisme
pertukaran ion. Pertukaran ion menentukan interaksi antara larutan dengan
permukaan partikel. Saat pH rendah (asam) kelarutan logam berat terlarut akan
semakin tinggi, sebaliknya sata pH tinggi (basa) kelarutan logam berat terlarut akan
menurun sehingga mudah teradsorpsi oleh partikel (Sanusi 2006). Kisaran pH yang
diperoleh sesuai dengan proses adsorpsi logam sebagaimana Hatje et al. (2003)
menyatakan logam berat mengalami adsorpsi optimum pada kisaran pH 7.5-8.

8
7
6
5
pH

4
3
2
1
0
M1 M2 M3 M4 M5 M6 M7
Stasiun

Gambar 6 pH di Muara Bungin pada bulan Juli


13

Oksigen Terlarut (DO)


Oksigen terlarut (DO) berpengaruh pada proses pertukaran zat hasil oksidasi-
reduksi bahan pencemar secara alami. Sumber DO ialah difusi O 2 dan fotosintesis
fitoplankton. DO di Muara Bungin yang terukur berkisar 6.6–12.9 mg/l.
Peningkatan DO tertinggi ditemukan pada bagian hulu estuari (Stasiun M2 hingga
Stasiun M4) dan relatif homogen di stasiun-stasiun yang lain. Hal ini berbeda
dengan penelitian Sugiyanti dan Astuti (2018) bahwa, DO di Sungai Citarum
berkisar 7.47–8.28 mg/l. Peningkatan oksigen terlarut di Muara Bungin khususnya
pada Stasiun M2 hingga M4 diindikasikan aktivitas fotosintesis yang menghasilkan
banyak oksigen daripada konsumsinya untuk respirasi pada siang hari sehingga
perairan mengalami kondisi supersaturasi (lewat jenuh) (Jeffries dan Mills 1996).
Saturasi oksigen ditentukan oleh faktor suhu dan salinitas. Perubahan nilai salinitas
yang siginifikan pada stasiun pengamatan diduga juga mengakibatkan oksigen
terlarut yang terdeteksi pada DO meter mencapai nilai kelarutan maksimum.
Menurut penelitian Atkinson (2007), pelepasan logam berat ke kolom air terjadi
saat kondisi DO rendah dan mudah teradsorpsi pada kondisi DO yang tinggi.

14

12
Oksigen Terlarut mg/l

10

0
M1 M2 M3 M4 M5 M6 M7
Stasiun

Gambar 7 Oksigen Terlarut (mg/l) di Muara Bungin pada bulan Juli

Konsentrasi Logam Berat Terlarut dan Partikulat

Timbal (Pb)
Kandungan Pb terlarut di Muara Bungin cenderung fluktuatif dari hulu estuari
hingga ke wilayah mulut estuari dengan kisaran sebesar 0.0001–0.0017 mg/l
(Gambar 8). Peningkatan Pb terlarut terjadi pada Stasiun M1 dan wilayah estuari
bagian bawah khususnya Stasiun M5 sebesar 0.0009 mg/l dan 0.0017 mg/l.
Konsentrasi Pb terlarut telah banyak ditemukan di berbagai contoh air. Sebagai
contoh, konsentrasi Pb terlarut di Teluk Jakarta berkisar 0.001–0.0037 mg/l
(Haryati 2013), sedangkan di Muara Banjir Kanal Barat mencapai 0.0040 mg/l
(Maslukah 2006). Nilai baku mutu logam Pb terlarut menurut Keputusan
Kementerian Lingkungan Hidup No. 51 (2004) yaitu 0.008 mg/l dan Asean Marine
14

Water Quality Area (1999) yaitu 0.0085 mg/l, sehingga kandungan Pb terlarut di
Muara Bungin masih di bawah baku mutu pada seluruh stasiun penelitian.
Keberadaan logam Pb di suatu perairan dapat berasal dari proses alami
(weathering) dan aktivitas manusia seperti limbah transportasi, pertanian, dan
rumah tangga. Aktivitas perahu tambangan (eretan) di sepanjang sungai
mengangkut kendaraan yang menggunakan logam Pb pada bahan bakarnya.
Menurut Gusnita (2011), hasil pembakaran Tetra Ethyl Lead (TEL) dan
Tetramethyl Lead (TML) pada bahan bakar kendaraan mengandung logam Pb yang
diemisikan ke udara. Selain itu, limbah pertanian dan rumah tangga juga
berpengaruh pada peningkatan Pb di lingkungan perairan. Kandungan plumbum
(Pb) pada penggunan pestisida (Hartini 2011) dan limbah rumah tangga berupa aki,
baterai, dan plastik pembungkus makanan yang mengandung Pb dalam volume
besar terdekomposisi dan masuk lewat aliran tanah (Samsiyah et al. 2019).
Berbeda dengan konsentrasi Pb terlarut di atas, konsentrasi Pb tersuspensi
memiliki konsentrasi yang lebih tinggi di seluruh stasiun dimana Pb tersuspensi di
Muara Bungin secara umum relatif sama kecuali pada Stasiun M1. Konsentrasi Pb
di Stasiun M2 hingga M7 berkisar 0.0524–0.1040 mg/kg, sedangkan konsentrasi
Pb tersuspensi tertinggi di Stasiun M1 (Sungai Citarum) yaitu 0.3552 mg/kg
(Gambar 8). Asma (2010) menyatakan bahwa konsentrasi Pb tersuspensi di aliran
Sungai Citarum mencapai 3.142 mg/kg pada bulan September. Konsentrasi Pb
teruspensi pada wilayah estuari seringkali lebih tinggi dibandingkan Pb terlarut.
Tingginya Pb tersuspensi tertinggi pada Stasiun M1 disebabkan oleh flokulasi
logam yang dipengaruhi faktor fisika-kimia dan proses biologis. Stasiun M1
memiliki salinitas rendah dikarenakan oleh input air tawar di lokasi tersebut.
Menurut Tsai et al. (1987), kation Ca2+ yang terdapat pada air tawar memiliki
kapasitas pembentukan floc (gumpalan) yang besar secara kimiawi. Flokulasi yang
terjadi secara terus-menerus akan mengendapkan logam ke dasar perairan. Pb
dominan dalam bentuk partikulat pada salinitas 35 psu (Sanusi et al. 2005), dan
umumnya berbentuk gugus kompleks hidroksi dan karbonat (Valenta et al. 1987).

Gambar 8 Konsentrasi logam berat Pb terlarut (mg/l) dan tersuspensi (mg/kg) di


Muara Bungin
15

Tembaga (Cu)
Kandungan Cu terlarut cenderung meningkat hingga wilayah mulut estuari
dengan kisaran nilai berkisar 0.0063–0.0253 mg/l dan menurun di Stasiun M7
sebesar 0.0077 mg/l sehingga diindikasikan adanya masukan Cu yang lebih tinggi
dari darat. Peningkatan konsentrasi Cu terlarut tertinggi terdapat pada Stasiun M3
yaitu 0.0644 mg/l (Gambar 10). Penelitian logam Cu terlarut telah banyak
dilakukan di berbagai wilayah diantaranya ialah konsentrasi Cu terlarut di Muara
Gembong yang berkisar 0.158–0.29 mg/l (Asma 2010) dan di Teluk Jakarta
berkisar 0.001–0.005 mg/l (Kusuma 2015). Nilai baku mutu logam Cu terlarut
menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.51 (2004) sebesar 0.008 mg/l
dan Asean Marine Water Quality Criteria (1999) sebesar 0.0029 mg/l. Kandungan
logam Cu terlarut di Muara Bungin pada beberapa stasiun khususnya wilayah
estuari berada di atas baku mutu yang ditetapkan. Konsentrasi Cu terlarut sebesar
0.01mg/l dapat mengakibatkan kematian fitoplankton dan pada kisaran 0.17-1.0
mg/l dapat mematikan crustacea (Lestari dan Edward 2004).
Kenaikan konsentrasi Cu terlarut yang terjadi di wilayah mulut estuari
ditandai dengan adanya aktivitas transportasi kapal nelayan yang keluar-masuk di
wilayah estuari. Cat pelapis antifouling yang digunakan untuk mencegah kerusakan
kapal dapat mengandung tembaga atau timah (Gerlach 1981). Selain itu, kandungan
Cu yang tinggi pada Stasiun M3 diakibatkan oleh buangan limbah rumah tangga di
sekitar stasiun pengamatan. Logam Cu biasa digunakan pada alat rumah tangga
sebagai pelapis (plating) dan berperan sebagai konduktor listrik yang baik (Bradl
2005). Sumber alami utama Cu yaitu melalui proses weathering sehingga
kandungan logam Cu di perairan sangat variatif dan berkaitan dengan jenis geologi
batuan.
Berbeda dengan konsentrasi Cu terlarut, konsentrasi Cu tersuspensi di Muara
Bungin relatif menurun dari hulu (Stasiun M1) hingga ke wilayah mulut estuari
(Stasiun M5) dengan kisaran nilai sebesar 0.0165–0.2752 mg/kg dan meningkat
kembali hingga Stasiun M7 sebesar 0.0561 mg/kg. Umumnya, konsentrasi Cu
tersuspensi lebih besar dibandingkan Cu terlarut namun berbanding terbalik pada
beberapa stasiun pengamatan. Kandungan logam Cu tersuspensi telah banyak
ditemukan di berbagai wilayah seperti penelitian sebelumnya oleh Maslukah (2006)
di Muara Banjir Kanal Barat yang memiliki konsentrasi Cu tersuspensi jauh lebih
rendah sebesar 13.33 mg/kg. Pelepasan dan penenggelaman logam dipengaruhi
oleh kualitas perairan salah satunya adalah pH. Saat kondisi alkalis, logam berat Cu
akan lebih mudah terpresipitasi dan mengendap sebagai tembaga hidroksida dan
tembaga karbonat di dasar perairan (Effendi 2003).
Konsentrasi Cu tersuspensi tertinggi terdapat di Stasiun M1 yaitu 0.2752
mg/kg, hal ini dikarenakan percampuran massa air tawar dan air laut di Sungai
Citarum menghasilkan turbulensi dan mengakibatkan tubrukan antar partikel.
Partikel yang saling bertubrukan membentuk floc (gumpalan). Kumpulan floc akan
membentuk agregat dan ketika massanya semakin berat akan terdeposisi ke dasar.
Logam Cu cenderung lebih besar dalam bentuk partikulat, namun pada beberapa
stasiun lebih dominan dalam bentuk terlarut. Cu mudah hilang dalam kondisi
terlarut, dan mudah teradsorpsi ke dalam partikel sehingga konsentrasinya lebih
tinggi di dalam fase partikulat (Clark 1986).
16

Gambar 9 Konsentrasi logam berat Cu terlarut (mg/l) dan tersuspensi (mg/kg) di


Muara Bungin

Seng (Zn)
Konsentrasi Zn terlarut di Muara Bungin relatif seragam dengan kisaran nilai
sebesar 0.0186–0.0274 mg/l walaupun ada yang sedikit lebih rendah di Stasiun M3
dan Stasiun M7 dengan konsentrasi terendah yaitu 0.0159 mg/l (Gambar 9). Logam
Zn terlarut telah banyak ditemukan di berbagai wilayah seperti konsentrasi Zn
terlarut di Muara Gembong berkisar 0.127–0.988 mg/l, sedangkan di Muara Banjir
Kanal Barat berkisar 0.001–0.002 mg/l (Maslukah 2006). Nilai baku mutu logam
Zn terlarut menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.51 (2004) dan Asean
Marine Water Quality Criteria (1999) sebesar 0.05 mg/l, sehingga konsentrasi Zn
terlarut di Muara Bungin masih di bawah baku mutu pada seluruh stasiun.
Menurut Morse et al. (1993), konsentrasi Zn terlarut di estuari lebih besar
dibandingkan laut mencapai 0.025 mg/l. Umumnya, Zn adalah logam berat yang
melimpah di alam dan dihasilkan dari proses weathering maupun antropogenik.
Sumber alami Zn adalah erosi batuan yang mengandung Zn seperti sulfida
sphalerite (ZnS) partikulat (Neff 2002). Aktivitas tambak di sepanjang aliran Muara
Bungin dapat menjadi sumber Zn di perairan. Limbah pupuk tambak mengandung
unsur hara mikro yaitu logam Zn. Pupuk fosfat mengandung logam berat salah
satunya adalah Zn (Bradl 2005). Kelarutan seng dan oksidanya di dalam air relatif
rendah namun seng dapat mudah larut dengan klorida dan sulfat sehingga kadar
seng sangat dipengaruhi oleh bentuk senyawa pengikatnya (Effendi 2003).
Konsentrasi Zn tersuspensi lebih tinggi dibandingan Zn terlarut di seluruh
stasiun penelitian dimana Zn tersuspensi relatif menurun dari estuari hulu (Stasiun
M1) hingga ke mulut estuari (Stasiun M5) dengan nilai berkisar 0.0993–4.6532
mg/kg dan meningkat di wilayah laut sebesar 1.1801 mg/kg (Gambar 9).
Berdasarkan penelitian Asma (2010) di muara Sungai Citarum, Zn tersuspensi
mencapai 20.78–78.65 mg/kg pada bulan September. Faktor yang memengaruhi
perilaku logam Zn di perairan salah satunya ialah pH. Perairan dengan pH <7
memicu kelarutan logam Zn, sedangkan semakin tingginya alkalinitas perairan (pH
17

7–7.5) mengakibatkan Zn terhidrolisis dan membentuk Zn(OH)2 yang bersifat tidak


larut (Sanusi 2006).
Konsentrasi Zn tersuspensi yang tinggi di Stasiun M1 dikarenakan flokulasi
logam pada zona mixing saat salinitas (<15 psu). Turbulensi yang terjadi
mengakibatkan tubrukan antar partikel yang intensif sehingga terjadi adsorpsi dari
elemen terlarut. Logam berat mudah membentuk floc jika berikatan dengan partikel
tersuspensi (<0.45µm) (Ongley et al. 1992). Adsorpsi logam berat ke dalam partikel
terjadi karena konsentrasi TSS yang tinggi dan luas permukaan partikel material
partikulat. Padatan tersuspensi yang berukuran kecil memiliki luas permukaan yang
luas sehingga mudah menyerap logam terlarut (Hatje et al. 2003).

Gambar 10 Konsentrasi logam berat Zn terlarut (mg/l) dan tersuspensi (mg/kg) di


Muara Bungin

Adsorpsi-Desorpsi Logam Berat

Kapasitas Adsorpsi dan Indeks Kelarutan Logam Berat


Hasil perhitungan kapasitas adsorpsi logam di stasiun pengamatan
menunjukkan bahwa kapasitas adsorpsi untuk ketiga logam yaitu Pb 97.3–99.9%;
Cu 37–97.7%, dan Zn 79.4–99.5% dengan nilai rata-rata yaitu Pb 98.9%; Cu
66.6%; dan Zn 98.9% (Gambar 12). Berdasarkan hasil tersebut nilai adsorpsi logam
secara berurutan adalah Pb>Zn>Cu. Kapasitas adsorpsi logam terhadap elemen
terlarut memiliki nilai yang berbeda di setiap perairan. Adsorpsi logam dipengaruhi
oleh salinitas, sifat kimia logam, dan konsentrasi padatan tersuspensi (Burton dan
Liss 1976). Selain faktor salinitas, komposisi mineral pada bahan organik penyusun
padatan tersuspensi juga berperan penting dalam adsorpsi logam berat. Faktor
tersebut juga memengaruhi penentuan kelarutan logam berat berdasarkan indeks
kelarutannya.
18

100

80
Persentase (%)

60
Pb
40 Cu
Zn
20

0
M1 M2 M3 M4 M5 M6 M7
Stasiun

Gambar 11 Kapasitas adsorpsi logam Pb, Cu, dan Zn di Muara Bungin

100

80
Persentase (%)

60
Pb
40 Cu
Zn
20

0
M1 M2 M3 M4 M5 M6 M7
Stasiun

Gambar 12 Indeks kelarutan logam Pb, Cu, dan Zn di Muara Bungin

Hasil perhitungan indeks kelarutan logam di Muara Bungin untuk ketiga


logam yaitu Pb 0.1–2.7%; Cu 2.6–63%; dan Zn 0.5–20.6% dengan nilai rata-rata
yaitu Pb 1%; Cu 33.4%; Zn 6% (Gambar 13) sehingga nilai indeks kelarutan logam
secara berurutan adalah Cu>Zn>Pb. Berdasarkan kedua hasil tersebut, dapat
disimpulkan bahwa logam dengan kapasitas adsorpsi yang tinggi akan memiliki
indeks kelarutan yang rendah, begitupun sebaliknya. Akan tetapi, indeks kelarutan
logam di setiap perairan memiliki nilai yang berbeda bergantung pada sifat kimia
pada masing-masing logam.
19

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Tipe estuari Muara Bungin termasuk ke dalam estuari tercampur sempurna


dengan karakteristik fisik-kimia perairan yang secara umum memengaruhi
terjadinya proses adsorpsi logam berat khususnya parameter salinitas pada stasiun
dengan salinitas rendah. Perairan Muara Bungin telah terdeteksi logam berat Pb,
Cu, dan Zn di kolom air dengan konsentrasi tersuspensi lebih tinggi dibandingkan
terlarut di seluruh stasiun dan berpotensi terendapkan ke dasar perairan.

Saran

Kajian logam berat di Muara Bungin dapat dilakukan lebih baik dengan
adanya penelitian lanjutan mengenai logam berat di estuari dengan penambahan
parameter DO menggunakan metode DO winkler serta memperhatikan variasi
salinitas dan komposisi bahan organik partikulat sehingga dapat diketahui proses
adsorpsi-desorpsi logam di estuari
.

DAFTAR PUSTAKA

[APHA]. American Public Health Association. 2014. Standard Method for The
Examination of Water & Wastewater: 22nd Edition. New York (US):
American Public Health Association and Water Environment Federation.
[MENLH]. 2004. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun
2004 (Lampiran 3) tentang Baku Mutu Air Laut. Jakarta (ID): KLH.
[MENLH]. 2010. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.1 Tahun 2010
tentang Tata Laksana Pengendalian Pencemaran Air. Jakarta (ID): KLH.
Alimuddin.2015. Alternatif bangunan penanggulangan abrasi di Pantai Muara
Gembong, Bekasi[skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
Asean Marine Water Quality Criteria. 1999. Contextual Framework, Principles,
Methodology and Criteria for 18 Parameters. The Canadian Executing
Agency, EVS Environment Consultants, and Departement of Malaysia.
Asma IS. 2010. Adsorpsi unsur logam berat oleh padatan tersuspensi di estuari
Muara Gembong, Bekasi [Tesis]. Bogor(ID): Insitut Pertanian Bogor.
Atkinson AC, Jolley DF, Simpson SL. 2007. Effect of overlying water pH,
dissolved oxygen, salinity, and sediment disturbances on metal release and
sequestration from metal contaminated marine sediments. Chemosphere. 69 :
1428–1437.
Bradl HB. 2005. Heavy Metals in the Environment. Neubrucke (DE) : University
of Applied Sciences Trier.
Burton JD dan Liss PS. 1976. Estuarine Chemistry. London (GB): Academic Press.
20

Chester R. 1990. Marine Geochemistry. London (GB): Unwin Hyman Ltd.


Clark RB. 1986. Marine Pollution. Oxford (GB) : Clarendon Press.
Dyer KR dan Orth RJ. 1994. Changes in Fluxes in Estuaries: Implications from
Science to Management. Plymouth (GB): University of Plymouth.
Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air. Yogyakarta (ID): Kanisius.
Geofana A. 2012. Pengamatan dan analisis data pasut dan arus di kawasan pesisir
Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat[skripsi].
Bandung (ID) : Insitut Teknologi Bandung.
Gerlach SA. 1981. Marine Pollution. New York (US): Springer-Verlag.
Gusnita D. 2012. Pencemaran logam berat timbal (Pb) di udara dan upaya
pengahpusan bensin bertimbal. Berita Dirgantara. 13(3):95–101.
Happy AR, Masyamsir, Dhahiyat Y. 2012. Distribusi kandungan logam Berat Pb
dan Cd pada kolom air dan sedimen daerah aliran Sungai Citarum hulu.
Jurnal Perikanan dan Kelautan. 3(3):175–182.
Hartini E. 2011. Kadar plumbum (Pb) dalam umbi bawang merah di Kecamatan
Kersana Kabupaten Brebes. Jurnal Visikes. 10(1):69–75.
Haryati A. 2013. Sebaran logam berat timbal (Pb) terlarut dan tersuspensi di
perairan Teluk Jakarta[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Hatje V, Payne TE, Hill DM, McOrist G, Birch GF, Szymczak R. 2003. Kinetics
of trace element uptake and release by particles in estuarine waters: effects of
pH, salinity, and particle loading. Environment International. 29:619–629.
Herschy RW. 2012. Ecological Threat to Lakes and Reservoirs In: Bengtsson L,
Herschy RW, Fairbridge RW (eds) Encyclopedia of Lakes and Reservoirs.
Dordrecht (NL) : Springer.
Hutagalung HP. 1984. Logam berat dalam lingkungan laut. Oseana. 9(1):11–20.
Ji ZG. 2017. Hydrodynamics and Water Quality: Modeling Rivers, Lakes, and
Estuaries, 2nd (ed). Hoboken (USA) : John Wiley & Sons.
Jeffries M dan Mills D. 1996. Freshwater ecologies, Principles, and Application.
Chichester (UK) : John Wiley and Sons.
Kinne O. 1964. Marine Ecology. A Comprehensive Integrated Treatise on Life in
Oceans and Coastal Water. New York (US): Willey Interscience, John
Willey and Sons Ltd.
Kubilay ș, Gürkan R, Savran A, Șahan T. 2007. Removal of Cu(II), Zn(II) and
Co(II) ions from aqueous solutions by adsorption onto natural bentonite.
Adsorpstion. 13:41–51.
Kusuma AH. 2015. Variabilitas senyawa logam berat (Pb, Cu, Cd, Ni, dan Zn)
terlarut dan sedimen di Perairan Teluk Jakarta[tesis]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Lestari dan Edward.2004. Dampak pencemaran logam berat terhadap kualitas air
laut dan dan sumberdaya perikanan (studi kasus kematian massal ikan-ikan
di teluk jakarta). Makara Sains.8(2):52–58.
Maslukah L. 2006. Konsentrasi logam berat Pb, Cd, Cu, Zn, dan pola sebarannya
di Muara Banjir Kanal Barat, Semarang[tesis]. Bogor (ID) : Insitut Pertanian
Bogor.
Maslukah L. 2013. Hubungan antara konsentrasi logam berat Pb, Cd, Cu, Zn
dengan bahan organik dan ukuran butir dalam sedimen di Estuari Banjir
Kanal Barat, Semarang. Buletin Oseanografi Marina. 2:55–62.
21

Morse JW, Presley BJ, Taylor RJ, Benoit G, Santschi P. 1993. Trace metal
chemistry of Galveston Bay : water, sediment, and biota. Marine
Environment Research. 36:1–37.
Neff JM. 2002. Bioaccumulation in Marine Organisms : Effect of Contaminants
from Oil Well Produced Water. London (GB) : Elsevier.
Ongley ED, Krishnappan BG, Droppo IG, Rao SS, Maguire RJ. 1992. Cohesive
sediment tranport : emerging issues for toxic chemical management.
Hydrobiologia. 235:177–187.
Pond S dan Pickard GL. 1983. Introductory Dynamical Oceanography, Second
Edition. Canada (US): University of British Columbia.
Puspasari R. 2006. Logam dalam ekosistem perairan. Bawal. 1(2):43–47.
Radulescu C, Dulama ID, Stihi C, Ionita I, Chilian A, Necula C, Chelarascu ED.
2014. Determination of Heavy Metal Levels in Water and Therapeutic Mud
by Atomic Absorption Spectrometry. Romanian Journal in Physics. 59(9–
10):1057–1066).
Rosen PS. 1977. Increasing shoreline erosion rates with decreasing tidal range in
the Virginia Chesapeake Bay. Chesapeake Science. 18(4) : 383–386.
Rositari R dan Rahayu SK. 1994. Sifat-Sifat Estuari dan Pengelolaannya. Oseana.
19(3):21–31.
Sanusi SH, Fitriati M, Haeruddin. 2005. Peranan padatan tersuspensi mereduksi
logam berat Hg, Pb, dan Cd terlarut dalam kolom air Teluk Jakarta. Ilmu
Kelautan. 10(2): 72–77.
Sanusi HS 2006. Kimia Laut. Proses Fisika Kimia Laut dan Interaksinya dengan
Lingkungan. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor.
Samsiyah N, Moelyaningrum AD, Ningrum PT. 2019. Garam indonesia
berkualitas : studi kandungan logam berat timbal (Pb) pada garam. Jurnal
Ilmiah Perikanan dan Kelautan. 1(11):43–48.
Sari HJS, Kirana JFA, Guntur. 2017. Analisis kandungan logam berat Hg dan Cu
terlarut di Perairan Wonorejo, Pantai Timur Surabaya. Jurnal Pendidikan
Geografi. 22(1):1–9.
Satriadi A dan Widada S. 2004. Distribusi muatan padatan tersuspensi di Muara
Sungai Bodri, Kabupaten Kendal. Ilmu Kelautan. 9(2):101–107.
Sosrodarsono S dan Takeda K. 1993. Hidrologi untuk Pengairan. Jakarta (ID) : PT.
Pradnya Paramita.
Stewart RH. 2002. Introduction to Physical Oceanography. Texas (US) : Texas
University.
Sugiyanti Y dan Astuti LP. 2018. Respon oksigen terlarut terhadap pencemaran dan
pengaruhnya terhadap keberadaan sumberdaya ikan di Sungai Citarum.
Jurnal Teknologi Lingkungan. 19(2): 203–2012.
Teuchies J, Vandenbuwaene W, Carpentier R, Bervoets L, Temmerman S, Wang
C, Maris T, Cox TJS, Braeckel AV, Meire P. 2013. Estuaries as filters: the
role of tidal marshes in trace metal removal. Metal Removal in Estuaries. 8 :
1–11.
Tomczak M dan Godfrey JS. 2003. Regional Oceanography: An Introduction, 2nd
improved edition. Delhi (IND) : Daya Publishing House.
Tsai CH, Iacobellis S, Lick W. 1987. Flocculation of fine-grained take sediments
due to a uniform shear stress. Journal Great Lakes Research. 13:135–146.
22

Valenta PR, Breder L, Mart, Rützel H. 1987. Distribution of Cd and Pb between


dissolved and particulate phases in estuaries. Toxicology Environment
Chemistry. 14: 129–141.
Zhu GW, Chi QQ, Qin BQ, Wang WM. 2005. Heavy-metal contents in suspended
solids of Meiliang Bay, Taihu Lake and its environmental significances.
Journal of Environmental Sciences.17:672–675.
23

LAMPIRAN

Lampiran 1 Titik koordinat stasiun pengambilan data


Titik Koordinat
No Nama Stasiun Kedalaman (m)
Bujur (BT) Lintang (LS)
1 M1 (S. Citarum) 107.0857 -5.9912 2
2 M2 107.0857 -5.9909 1
3 M3 107.0896 -5.984 1.2
4 M4 107.0901 -5.9763 1.1
5 M5 107.0936 -5.9576 1.2
6 M6 107.0991 -5.9383 0.8
7 M7 (Laut) 107.0808 -5.9049 5.2

Lampiran 2 Diagram stratifikasi tipe estuari (Tomczak 2003)

Lampiran 3 Debit air Muara Bungin (Sosrodarsono dan Takeda 1987)


Perhitungan debit air Muara Bungin
Rumus :

Q=AxV

Keterangan :
Q = Debit sungai (m3/s)
A = Luas penampang melintang (m2)
V = Kecepatan rata-rata arus (m/s)
24

A=bxh

Keterangan :
b = Lebar sungai (m)
h = kedalaman sungai (m)

dimana b = 3.224, h = 1, sehingga didapat nilai A = 3.224 m2

V = 0.6 x 10-2 m/s


Q = 0.6 x 10-2 x 3.224 = 0.019344 m3/s ~ 0.02 m3/s

Lampiran 4 Kapasitas Adsorpsi (KA) dan Indeks Kelarutan (DTI) Muara Bungin
(Sanusi 2006)
Perhitungan Kapasitas Adsorpsi dan Indeks Kelarutan Muara Bungin
Rumus :

[[𝐿]𝐴𝑑𝑠𝑜𝑟𝑝𝑠𝑖 ]
KA= x 100%
[𝐿]𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙

Keterangan :
KA = Kapasitas Adsorpsi (%)
[L] Adsorpsi = Elemen kimia teradsorpsi partikel (ppm)
[L] Total = Jumlah elemen kimia teradsorpsi dan terlarut (ppm)

dimana C teradsorpsi = 0.355160333 ppm, C terlarut = 0.0008846 ppm, ρ air laut = 1025
kg/m3 , dan ρ air = 1000 kg/m3.

[L] Adsorpsi = 0.355160333 ppm x 1025 kg/m3


[L] Terlarut = 0.0008846 ppm x 1000 kg/m3
[L] Total = [L] Adsorpsi + [L] Terlarut
= 364.923941325 ~ 364.9 ppm·kg/m3

sehingga didapat nilai KA = 99.8 % dan DTI = 0.25%

Lampiran 5 Kecepatan dan arah arus di lokasi penelitian

Kecepatan (m/s)
Stasiun Arus (°)
Maksimum Minimum Rata-rata
M1 0.023 0.009 0.017 32
M2 0.010 0.003 0.006 191
M3 0.014 0.001 0.005 173
M4 0.038 0.006 0.023 205
M5 0.087 0.056 0.073 179
M6 0.362 0.271 0.306 323
M7 0.317 0.251 0.286 86
25

Lampiran 6 Grafik analisis tipe estuari Muara Bungin

Lampiran 7 Konsentrasi logam berat (terlarut dan tersuspensi) di lokasi penelitian

Konsentrasi Logam
Pb Cu Zn
Stasiun
Terlarut Tersuspensi Terlarut Tersuspensi Terlarut Tersuspensi
(mg/l) (mg/kg) (mg/l) (mg/kg) (mg/l) (mg/kg)
M1 0.0009 0.35512 0.0063 0.2752 0.0235 4.6532
M2 0.0006 0.0604 0.0082 0.0468 0.0274 0.6982
M3 0.0003 0.0524 0.0644 0.0379 0.0159 0.7633
M4 0.0009 0.0694 0.0120 0.0216 0.0251 0.4258
M5 0.0017 0.0610 0.0198 0.0165 0.0257 0.0993
M6 0.0011 0.0772 0.0253 0.0242 0.0234 0.2532
M7 0.0001 0.1040 0.0077 0.0561 0.0186 1.1801

Lampiran 8 Baku mutu konsentrasi logam untuk biota menurut KepmenLH No.51
(2004) dan Asean Marine Water Quality Criteria (1999)

Batas Mutu Konsentrasi Logam (ppm)


No Logam
KepmenLH AMWQC
1 Pb (Timbal) 0.008 0.0085
2 Cu (Tembaga) 0.008 0.0029
3 Zn (Seng) 0.05 0.05
26

Lampiran 9 Kapasitas adsorpsi (KA) dan Indeks Kelarutan (DTI) logam di lokasi
penelitian

Logam
Stasiun Pb Cu Zn
KA (%) DTI (%) KA (%) DTI (%) KA (%) DTI (%)
M1 99.8 0.2 97.7 2.3 99.5 0.5
M2 99.1 0.9 85.0 15.0 96.2 3.8
M3 99.4 0.6 37.0 63.0 98.0 2.0
M4 98.7 1.3 64.2 35.8 94.4 5.6
M5 97.3 2.7 45.5 54.5 79.4 20.6
M6 98.6 1.4 48.9 51.1 91.5 8.5
M7 99.9 0.1 88.0 12.0 98.4 1.6

Lampiran 10 Tabel kualitas air di lokasi penelitian

Parameter
Stasiun
DO (mg/l) pH Salinitas (psu) Suhu (℃) TSS (mg/l)
M1 6.6 7.2 8 30.8 6
M2 12.9 7.1 28 31.6 48
M3 12.6 7.7 33 31.6 46
M4 12.6 7.8 35 31.4 75
M5 7.6 7.8 33 31.6 423
M6 7.2 7.9 31 28.8 170
M7 7.0 7.9 31 28.2 28
27

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sheffield, pada tanggal 29 Mei 1997


dari pasangan Bapak Irawan Palgunadi dan Ibu Indawaty Ali.
Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Tahun 2015
penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas di
SMAIT Al-Kahfi Bogor. Pada tahun yang sama penulis diterima
masuk di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor melalui
jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri
(SNMPTN).
Selama masa perkuliahan di Institut Pertanian Bogor, penulis memperoleh
beasiswa PPA IPB dan pernah menjadi Asisten mata kuliah Oseanografi Kimia tahun
ajaran 2018/2019. Penulis juga aktif dalam kegiatan organisasi kemahasiswaan Badan
Eksekutif Mahasiswa Program Pendidikan Kompetensi Umum (BEM PPKU) sebagai
Staff Departemen Budaya Seni periode 2015/2016 serta Badan Eksekutif Mahasiswa
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (BEM FPIK) sebagai Staff Departemen Budaya
Olahraga Seni periode 2016/2017, kepanitiaan Pekan Seni Olahraga Perikanan
(PORIKAN) 2017 divisi kestari, Fisheries Marine Art Contest (FMAC) 2016 sebagai
sekretaris, Ekspedisi HIMITEKA (2018) divisi dana usaha dan sponsorship, Indonesia
Marine Summit (2017) sebagai dana usaha dan sponsorship. Bulan Juli-Agustus 2018
penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata Tematik (KKN-T) di Desa Pangumbahan,
Kecamatan Ciracap, Kabupaten Sukabumi.
Penulis melakukan penelitian dengan judul Konsentrasi Logam (Pb, Cu, Zn)
Terlarut dan Tersuspensi di Muara Bungin, Jawa Barat sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar sarjana di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor di bawah bimbingan Bapak Dr. Ir. Tri Prartono M.Sc dan Bapak Mochamad Tri
Hartanto S.Pi., M.Si.

Anda mungkin juga menyukai