Anda di halaman 1dari 67

KONSEP

ANDRAGOGI
ANI NUR FAUZIAH, SKM, M.Kes
PENDAHULUAN

ANDRAGOGY:KONSEP PEMBELAJARAN ORANG DEWASA


1. Knowles menjelaskan bahwa pada awalnya pengetahuan
tentang pendidikan (belajar) banyak diambil dari studi-studi
yang dilakukan terhadap anak-anak dan hewan dalam belajar.

2. lahirlah istilah “paedagogy” yang berasal dari kata dalam


bahasa Yunani “paid” yang berarti anak-anak, dan “agogos” yang
berarti memimpin.

3. paedagogy secara khusus diartikan sebagai seni mengajar


anak-anak. Namun pada perkembangannya, istilah paedagogy
sering diartikan sebagai ilmu dan seni mengajar/mendidik
secara umum.
Sedangkan subyek pendidikan yang dihadapi
sekarang adalah orang dewasa yang memiliki
karakteristik yang berbeda dengan anak-anak dalam
belajar. Metode belajar yang diterapkan pada orang
dewasa hendaknya membantu mereka untuk belajar
(learn how to learn). Pendekatan ini kemudian
disebut dengan “andragogy” yang berasal dari kata
“andra” yang berarti pria/orang dewasa. Istilah
tersebut pertama kali dicetuskan oleh Alexander
Kapp pada tahun 1883 untuk menjelaskan teori
pendidikan dari Plato.
PERBEDAAN ANDRAGOGI
DAN PEDAGOGI
a. Konsep diri
Konsep diri seorang anak-anak adalah bahwa dirinya tergantung
pada orang lain. Namun pada saat ia menjadi dewasa, ia menjadi
semakin sadar dan merasa bahwa ia dapat membuat keputusan
untuk dirinya sendiri. Di samping itu, orang dewasa biasanya
telah memiliki rasa tanggung jawab, baik terhadap dirinya mereka
sendiri maupun terhadap orang lain. Perubahan konsep diri
ini berimplikasi pada hubungan antara pendidik dengan peserta
didik. Pada andragogy, hubungan tersebut lebih bersifat saling
membantu. Sementara pada paedagogy, hubungan tersebut lebih
didominasi (ditentukan) oleh pendidik dan bersifat mengatur
peserta didik.
PERBEDAAN ANDRAGOGI
DAN PEDAGOGI
b. Pengalaman
Dari sisi pengalaman, orang dewasa lebih banyak mempunyai
pengalaman daripada anak-anak. Oleh karena itu, dalam
andragogy, pengalaman dinilai sebagai sumber belajar yang
cukup kaya. Untuk dapat mendayagunakan pengalaman sebagai
bahan belajar maka dalam proses pembelajaran digunakan teknik
komunikasi dua arah, seperti: diskusi, permainan, simulasi, dan
lain-lain. Sementara dalam paedagogy cenderung pada
komunikasi searah, semacam: ceramah, kuliah, indoktrinasi,
menguasai bacaan, dan sebagainya. Hal ini tidak lepas dari
karakter anak-anak yang masih sedikit pengalaman sehingga
perlu „diisi‟ pengalaman baru oleh pendidik dengan cara di atas
PERBEDAAN ANDRAGOGI
DAN PEDAGOGI
c. Arah belajar
Pendidikan sering dipandang sebagai upaya mempersiapkan peserta
didik untuk masa depan. Pada andragogy, belajar lebih dipandang
sebagai pemecahan masalah daripada pemberian pelajaran.
Orientasinya adalah penemuan situasi yang lebih baik ataupun
pengembangan terhadap kenyataan saat ini. Jadi, belajar dalam
andragogy adalah memecahkan persoalan „hari ini‟. Sedangkan dalam
pada paedagogy, belajar lebih merupakan penyimpulan informasi yang
dipelajari sekarang namun digunakan pada suatu hari kelak (bersifat
jangka panjang). Itulah sebabnya ketika masih anak-anak, kita
tidak pernah tahu untuk apa kita harus belajar matematika, bahasa,
sejarah, agama, dan lain-lain. Kita baru merasakan manfaatnya setelah
kita dewasa.
PERBEDAAN ANDRAGOGI
DAN PEDAGOGI
d. Kesiapan untuk belajar
Perbedaan mendasar yang lain adalah dalam proses pemilihan
isi/materi pelajaran. Dalam andragogy, peserta didik yang
memutuskan apakah yang hendak dipelajari sesuai dengan
kebutuhannya. Dengan demikian, tugas pendidik dalam
andragogy adalah sebagai fasilitator, yaitu:
mengidentifikasi kebutuhan peserta didik, serta membentuk
program dan kelompok belajar sesuai minat peserta didik.
Sedangkan dalam paedagogy, pendidik yang memutuskan isi
pelajaran dan bertanggung jawab terhadap proses pemilihan
isi pelajaran serta waktu kapan diajarkan.
DAUR BELAJAR ANDRAGOGI

Mengalami

Menerapkan mengungkapkan

Menyimpulkan menganalisis
KONSEP EBM AND
CRITICAL APPRAISAL
ANI NUR FAUZIAH, SKM, M.Kes
EVIDENCE BASED MEDICINE
Gagasan gerakan penggunaan bukti ilmiah terbaik
untuk praktik kedokteran klinis dikemukakan
pertama kali oleh Profesor Archie Cochrane pada
1972. Cochrane adalah seorang ahli epidemiologi
Inggris yang menjabat Direktur Medical Research
Council Epidemiology Research Unit di Cardiff,
Inggris. Dalam bukunya berjudul ―Effectiveness and
Efficiency: Random Reflections on Health Services‖,
Cochrane mengemukakan gagasan evidence
based medicine (CorpBlack, 2010).
CRITICAL APPRAISAL

Pada tahun 1981 Dr. David Sackett dan para pakar


epidemiologi klinik lainnya pada McMaster University,
Toronto, Kanada, mempublikasikan strategi
pemanfaatan bukti riset untuk praktik kedokteran
dalam sejumlah artikel pada Canadian Medical
Association Journal (CMAJ). Salah satu strategi itu
disebut critical appraisal‖. Critical appraisal
(penilaian kritis) tentang kekuatan bukti dan
interpretasi yang benar bukti riset merupakan salah satu
langkah penting yang digunakan dalam praktik EBM
dewasa ini
EVIDENCE BASED MEDICINE
Pada tahun 1982 terbit untuk pertama kali
buku teks epidemiologi klinik yang sangat
populer berjudul “Clinical Epidemiology: The
Essentials”. Buku tersebut ditulis oleh Robert
Fletcher dan Suzanne Fletcher, profesor
epidemiologi pada Harvard Medical School,
Boston, Massachussetts, AS. Buku itu mengulas
semua konsep dan metode kuantitatif
epidemiologi yang digunakan dalam praktik
evidence-based medicine, meliputi
abnormalitas, diagnosis, frekuensi, risiko,
prognosis, terapi, pencegahan, kesalahan
sistematis, peran peluang, kausasi, dan
kajian sistematis (systematic review).
EVIDENCE BASED MEDICINE

Pada tahun 1990 Dr Gordon Guyatt, pakar


epidemiologi klinik pada McMaster
University, memperkenalkan istilah baru
“evidence-based medicine” (EBM). Menurut
Guyatt, EBM merupakan paradigma baru
praktik kedokteran yang menekankan
penggunaan bukti kuat hasil riset,
keterampilan klinis, nilai dan preferensi
pasien untuk pengambilan keputusan klinis
(Evidence-Based Medicine Working Group,
1992).
EVIDENCE BASED MEDICINE
Pada tahun 1991 terbit sebuah buku teks epidemiologi
klinik berjudul “Clinical Epidemiology: A Basic Science
for Clinical Medicine”. Buku itu sering dianggap “kitab
suci” epidemiologi klinik, ditulis oleh pakar epidemiologi
klinik McMaster University, yaitu David Sackett, Brian Haynes,
Gordon Guyatt, dan Peter Tugwell. Halaman 366-367 buku itu
memuat daftar pertanyaan esensial yang harus dijawab
klinisi ketika melakukan penilaian kritis terhadap
bukti riset, baik tentang akurasi tes diagnostik,
skrining, efektivitas dan keamanan terapi, faktor
prognostik yang memperburuk/ memperbaiki akibat
penyakit, kausasi, kualitas pelayanan kesehatan,
analisis ekonomi, maupun kajian sistematis
(systematic review) (Sackett et al., 1991).
EVIDENCE BASED MEDICINE
Pada tahun 2000 Sackett et al. (2000)
mendefinisikan EBM: “the integration of best
research evidence with clinical expertise
and patient values” – EBM adalah integrasi
bukti-bukti riset terbaik dengan
keterampilan klinis dan nilai-nilai pasien.
Ketiga elemen itu disebut triad EBM
TRIAD EBM

Bukti klinis terbaik yang tersedia

KEADAAN
KLINIS PASIEN
YANG LEBIH
Ketrampilan BAIK Nilai dan ekspektasi
Klinisi pasien
TUJUAN EBM
EBM bertujuan membantu klinisi memberikan pelayanan
medis yang lebih baik agar diperoleh hasil klinis (clinical
outcome) yang optimal bagi pasien, dengan cara
memadukan bukti terbaik yang ada, keterampilan klinis,
dan nilai-nilai pasien.
Penggunaan bukti ilmiah terbaik memungkinkan
pengambilankeputusan klinis yang lebih efektif, aman,
bisa diandalkan (reliable), efisien, dan cost-effectiv
STRATEGI EBM
Dua strategi digunakan untuk merealisasi tujuan EBM.
Pertama, EBM mengembangkan sistem pengambilan
keputusan klinis berbasis bukti terbaik, yaitu bukti dari
riset yang menggunakan metodologi yang benar.
Metodologi yang benar diperoleh dari penggunaan prinsip,
konsep, dan metode kuantitatif epidemiologi. Pengambilan
keputusan klinis yang didukung oleh bukti ilmiah yang kuat
memberikan hasil yang lebih bisa diandalkan (BMJ Evidence
Centre, 2010). Dengan menggunakan bukti-bukti yang
terbaik dan relevan dengan masalah pasien atau
sekelompok pasien, dokter dapat memilih tes diagnostik
yang berguna, dapat mendiagnosis penyakit dengan tepat,
memilih terapi yang terbaik, dan memilih metode yang
terbaik untuk mencegah penyakit.
MENGAPA PERLU EBM
Ada beberapa alasan perlunya EBM, dua alasan utama
sebagai berikut. Pertama, jumlah publikasi medis tumbuh
sangat cepat, sehingga para dokter dan mahasiswa
kedokteran kewalahan untuk mengidentifikasi bukti yang
relevan, berguna, dan dapat dipercaya (Del Mar et al.,
2004). Bukti riset yang dipublikasikan sangat banyak
jumlahnya. Hampir dua juta artikel kedokteran
diterbitkan setiap tahun. Padahal, “not all evidences are
created equal”. Tidak semua artikel hasil riset memberikan
bukti-bukti dengan kualitas dan validitas (kebenaran)
yang sama. Suatu intervensi diagnostik maupun terapetik
yang efektif dalam memberikan perbaikan klinis kepada
pasien bisa pada saat yang sama mengandung risiko
kerugian dan biaya bagi pasien. Selain itu tidak semua
bukti dibutuhkan untuk pasien dalam praktik klinis.
Karena itu para dokter dan tenaga kesehatan profesional
lainnya perlu mengasah keterampilan untuk memilah dan
memilih bukti-bukti terbaik yang bisa memberikan
informasi yang relevan dan terpercaya, dengan cara yang
efektif, produktif, dan efisien (cepat).
MENGAPA PERLU EBM?
Kedua, melunturnya “trust” (kepercayaan) masyarakat
terhadap integritas pelayanan kedokteran dan praktisi
yang memberikan pelayanan medis. Muncul keprihatinan
para stakeholders tentang mutu pelayanan kesehatan.
WHO dalam Laporan Tahunan Kesehatan Dunia 2008
―Primary Health Care – Now More Than Ever‖,
mengemukakan lima masalah serius pelayanan kesehatan
di dunia: (1) inverse care; (2) impoverishing care; (3)
fragmented care; (4) unsafe care; (5) misdirected care
(WHO, 2008). Sistem pelayanan kesehatan yang
‗fragmented‘ membawa akibat yang tidak diinginkan:
inefisiensi, ketidakefektifan, ketidakadilan, komoditisasi,
komersialisasi, deprofesionalisasi, depersonalisasi, dan
ketidakpuasan terhadap pelayanan kesehatan (Stange,
2009).
LANGKAH EBM
Kelima langkah EBM bisa disingkat ― 5A‖: asking, acquiring,
appraising, applying, assessing. :
 Langkah 1 Rumuskan pertanyaan klinis tentang pasien, terdiri
atas empat komponen: Patient, Intervention, Comparison, dan
Outcome
 Langkah 2 Temukan bukti-bukti yang bisa menjawab pertanyaan
itu. Salah satu sumber database yang efisien untuk mencapai tujuan
itu adalah PubMed Clinical Queries.
 Langkah 3 Lakukan penilaian kritis apakah bukti-bukti benar
(valid), penting (importance), dan dapat diterapkan di tempat praktik
(applicability)
 Langkah 4 Terapkan bukti-bukti kepada pasien. Integrasikan hasil
penilaian kritis dengan keterampilan klinis dokter, dan situasi unik
biologi, nilai-nilai dan harapan pasien
 Langkah 5 Lakukan evaluasi dan perbaiki efektivitas dan efisiensi
dalam menerapkan keempat langkah tersebut
PRINSIP-PRINSIP EBM
ANI NUR FAUZIAH, SKM, M.Kes
5 PRINSIP EBM DALAM PUSTAKA OBAT
1. Dapat merumuskan pertanyaan permasalahan klinis
menggunakan PICO (Patients, Intervention,
Comparative, Outcome).
2. Dapat menentukan kata kunci / key word yang diambil
dari pertanyaan klinis sebagai dasar pencarian pustaka
obat
3. Dapat menentukan sumber pustaka obat baik primer,
sekunder, tersier sesuai permasalahan klinis
4. Dapat menentukan penilaian pustaka obat valid atau
tidak dengan melakukan critical appraisal
5. Dapat menentukan apakah pustaka obat dapat
menjawab permasalahan dengan menggunakan dasar
EBHC (Evidence Based Health Care)
TIPE PERTANYAAN KLINIS

Berdasarkan isi :
1. Diagnosis : Bagaimana diagnosis hipertensi?
2. Terapi : Apa terapi terbaik untuk hipertensi?
3. Etiologi : Apa penyebab demam tifoid?
4. Prognosis : Bagaimana perkembangan diabetes
yang tidak terkontrol
TIPE PERTANYAAN KLINIS

Berdasarkan format ;
1. Pertanyaan untuk hal yang mendasar /
background : Apa terapi terbaik untuk diare
anak
2. Pertanyaan lanjutan /foreground/PICO :
Apakah bawang putih dapat digunakan
sebagai terapi hipertensi ?
RUJUKAN SUMBER INFORMASI
BERDASAR TIPE PERTANYAAN
TIPE PERTANYAAN PENELITIAN TERBAIK YANG
DISARANKAN
Terapi RCT, Cohort,Case control,
Case series
Diagnosis Prospective, blind comparison
to agold standard
Prognosis Cohort study, case control,
case series
Pencegahan RCT, cohort study, case
control
Biaya Economic analysis
MENENTUKAN KATA KUNCI
Kasus : seorang pasien datang ke apotik
tempat praktik anda, pasien tersebut ingin
menurunkan tekanan darahnya dengan
mengkonsumsi bawang putih dan
harapannya bawang putih dapat
menggantikan obat (diuretik) yang selama
ini digunakan dan dapat mengontrol
tekanan darahnya
PENYELESAIAN
A. Menyusun PICO : P=hipertensi, I=bawang putih,
C=diuretik, O= hipertensi terkontrol
B. Menyusun pertanyaan klinis : apakah bawang putih dapat
menurunkan hipertensinya yang selama ini
menggunakan terapi diuretik
C. Tipe pertanyaan : terapi
D. Kata kunci : mengganti kata kunci dengan bahasa inggris
yaitu hypertension, garlic, diuretic, manage hypertension
E. Masukkan dalam database untuk mencari sumber
informasi yang sesuai dengan permasalahan klinis pasien
MEMILIH SUMBER PUSTAKA OBAT
BERDASAR SUMBER DATA

A. PUSTAKA PRIMER : sumber pustaka yang


informasinya kita peroleh langsung dari
peneliti . Contoh : jurnal penelitian, skripsi,
tesis, desertasi
B. PUSTAKA SEKUNDER : kumpulan tentang
penelitian orang lain, digunakan untuk
mengakses literatur primer. Contoh : prosiding,
majalah publikasi, pubmed.
C. PUSTAKA TERSIER : ulasan penulis
digabungkan dengan pengalaman dan
penelitian-penelitian lain yang mendukung.
Contoh: text.book, guideline, monograph,
micromedex
Sumber pustaka obat di internet
1) www.bmj.com berisi literatur obat untuk setting
pelayanan dokter umum. Sejak tahun 2006
berbayar
2) www.nejm.org alamat obat untuk mendapatkan
pustaka obat tentang efikasi, safety dan review
klinis. Cocok untuk belajar dasar-dasar klinis
bersifat gratis akses.
3) www.nlm.nih.gov atau www.pubmed.com
sumber pustaka obat yang paling penting
karena paling lengkap.
SUMBER PUSTAKA OBAT DI INTERNET
4). www.fda.gov alamat website resmi dari Food and
Drag administration Amerika Serikat berisis
informasi keamanan obat.
5). www.cdc.gov merupakan website milil AS yang
mengkolaborasikan informasi yang berguna untuk
kesehatan termasuk promosi kesehatan, pencegahan
penyakit, kecelakaan dan cacat
6). www.guideline.gov berisi kumpulan pedoman terapi
yang dapat dijadikan rujukan untuk memilih terapi
terbaik bagi pasien.
SUMBER PUSTAKA OBAT BERDASAR
TINGKAT KEPERCAYAAN
1. Level 1 : RCT
2. Level 2: Cohort studies
3. Level 3: Case controlled studies
4. Level 4: Case series
5. Level 5: Case Report or Expert opinion
TUGAS
Buatlah kasus dan langkah penyelesaiannya sesuai
dengan contoh yang ada !
BAB VI
PENERAPAN EBM

ANI NUR FAUZIAH, SKM, M.Kes


LANGKAH-LANGKAH EBM

1. Rumuskan pertanyaan klinis tentang pasien, terdiri atas empat


komponen: Patient, Intervention, Comparison, dan Outcome
2. Temukan bukti-bukti yang bisa menjawab pertanyaan itu. Salah satu
sumber database yang efisien untuk mencapai tujuan itu adalah PubMed
Clinical Queries.
3. Lakukan penilaian kritis apakah bukti-bukti benar (valid), penting
(importance), dan dapat diterapkan di tempat praktik (applicability)
4. Terapkan bukti-bukti kepada pasien. Integrasikan hasil penilaian kritis
dengan keterampilan klinis dokter, dan situasi unik biologi, nilai-nilai
dan harapan pasien
5. Lakukan evaluasi dan perbaiki efektivitas dan efisiensi dalam
menerapkan keempat langkah tersebut
1. PERTANYAAN KLINIS : PICO
PATIENT
 Pertanyaan klinis perlu mendeskripsikan → karakteristik pasien dan
masalah klinis pasien yang dihadapi pada praktik klinis. Karakteristik
pasien dan masalahnya perlu dideskripsikan dengan eksplisit agar bukti-
bukti yang dicari dari database hasil riset relevan dengan masalah pasien
dan dapat diterapkan, yaitu bukti-bukti dari riset yang menggunakan
sampel pasien dengan karakteristik serupa dengan pasien/ populasi
pasien yang datang pada praktik klinik.

 Keserupaan antara karakteristik demografis, morbiditas, klinis, dari


sampel penelitian dan pasien yang datang pada praktik klinik penting
untuk diperhatikan, karena mempengaruhi kemampuan penerapan bukti-
bukti (applicability). Jika karakteristik kedua populasi berbeda, maka bukti-
bukti yang dicari tidak dapat diterapkan, atau dapat diterapkan dengan
pertimbangan yang hati-hati dan bijak (conscientious and judicious
judgment).
PICO

INTERVENTION
 Pertanyaan klinis perlu menyebutkan dengan spesifik intervensi yang ingin
diketahui manfaat klinisnya. Intervensi diagnostik mencakup tes skrining,
tes/ alat/ prosedur diagnostik, dan biomarker. Intervensi terapetik meliputi
terapi obat, vaksin, prosedur bedah, konseling, penyuluhan kesehatan,
upaya rehabilitatif, intervensi medis dan pelayanan kesehatan lainnya.

 intervensi yang dirumuskan dalam pertanyaan klinis bisa juga merupakan


paparan (exposure) suatu faktor yang diduga merupakan faktor risiko/
etiologi/ kausa yang mempengaruhi terjadinya penyakit/ masalah
kesehataan pada pasien. Intervensi bisa juga mempengaruhi terjadinya
akibat-akibat penyakit, seperti kematian, komplikasi, kecacatan pada
pasien.
PICO
COMPARISON
 Prinsipnya, secara metodologis untuk dapat menarik kesimpulan tentang
manfaat suatu tes diagnostik, maka akurasi tes diagnostik itu perlu
dibandingkan dengan keberadaan penyakit yang sesungguhnya.

 tes diagnostik yang lebih akurat yang disebut rujukan standar (standar
emas), atau tes diagnostik lainnya dengan melakukan perbandingan maka
dapat disimpulkan apakah tes diagnostik tersebut bermanfaat atau tidak
bermanfaat untuk dilakukan.
PICO
COMPARISON
 Demikian pula untuk menarik kesimpulan tentang efektivitas terapi, maka
hasil dari pemberian terapi perlu dibandingkan dengan hasil tanpa terapi.
Jika terapi memberikan perbaikan klinis pada pasien, tetapi pasien tanpa
terapi juga menunjukkan perbaikan klinis yang sama, suatu keadaan yang
disebut efek plasebo maka terapi tersebut tidak efektif.
 Pembanding yang digunakan tidak harus tanpa intervensi (―do nothing‖)
ataupun plasebo. Pembanding bisa juga merupakan intervensi alternatif
atau terapi standar yang digunakan selama ini (status quO). Jenis
pembanding yang digunakan sangat penting untuk dicermati karena sangat
mempengaruhi kesimpulan dan penerapan temuan
PICO
OUTCOME
Efektivitas intervensi diukur berdasarkan perubahan pada hasil klinis
(clinical outcome). Konsisten dengan triad EBM (ketrampilan klinisi, bukti
klinis terbaik yg tersedia, nilai dan ekspektasi pasien0, EBM memandang
penting hasil akhir yang berorientasi pasien (patient-oriented outcome) dari
sebuah intervensi medis (Shaugnessy dan Slawson, 1997). Patient-oriented
outcome dapat diringkas menjadi ―3D : (1) Death; (2) Disability; dan (3)
Discomfort. Intervensi medis seharusnya bertujuan untuk mencegah
kematian dini, mencegah kecacatan, dan mengurangi ketidaknyamanan.
DEATH

 merupakan sebuah hasil buruk (bad outcome)


jika terjadi dini atau tidak tepat waktunya.
Contoh, balita yang mati akibat dehidrasi
pasca diare, kematian mendadak (sudden
death) yang dialami laki-laki usia 50 tahun
pasca serangan jantung, merupakan kematian
dini yang seharusnya bisa dicegah.
DISABILITY

 adalah ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-


hari di rumah, di tempat bekerja, melakukan aktivitas sosial,
atau melakukan rekreasi. Contoh, kebutaan karena retinopati
diabetik pada pasien diabetes melitus, hemiplegi pasca
serangan stroke, merupakan kecacatan yang seharusnya bisa
dihindari. Kecacatan mempengaruhi kualitas hidup pasien,
diukur dengan QALY (quality-adjusted life year), DALY
(disability-adjusted life year), HYE (healthy years equivalent),
dan sebagainya.
DISCOMFORT

 Discomfort (ketidaknyamanan) merupakan gejala-gejala


seperti nyeri, mual, sesak, gatal, telinga berdenging, cemas,
paranoia, dan aneka gejala lainnya yang mengganggu
kenyamanan kehidupan normal manusia, dan menyebabkan
penderitaan fisik dan/ atau psikis manusia. Contoh, dispnea/
sesak nafas pada pasien dengan asma atau kanker paru,
merupakan ketidaknyamanan yang menurut ekspektasi
pasien penting, yang lebih penting untuk diatasi daripada
gambaran hasil laboratorium yang ditunjukkan tentang
penyakit itu sendiri. Ketidaknyamanan merupakan bagian dari
kualitas hidup pasien.
BUKTI DALAM EBM

Bukti yang digunakan dalam EBM adalah bukti yang


bernilai bagi pasien (Patient Oriented Evidence that
Matters, “POEM”), bukan bukti yang berorientasi
penyakit (Disease Oriented Evidence, ―DOE‖)
BUKTI DALAM EBM

Perlu dicamkan bahwa bukti tentang penyakit tidak identik


dengan bukti perbaikan klinis pasien. Hasil riset
menunjukkan, sering kali bukti penyakit ( hasil
pemeriksaan laboratorium) tidak berkorelasi atau
berkorelasi lemah dengan bukti perbaikan klinis pasien.
2. MENCARI BUKTI
Setelah merumuskan pertanyaan klinis secara terstruktur, langkah
berikutnya adalah mencari bukti-bukti untuk menjawab pertanyaan
tersebut. Bukti adalah hasil dari pengamatan dan eksperimentasi
sistematis (McQueen dan Anderson 2001).
Jadi pendekatan berbasis bukti sangat mengandalkan riset, yaitu
data yang dikumpulkan secara sistematis dan dianalisis dengan
kuat setelah perencanaan riset (Banta 2003). Bukti ilmiah yang
dicari dalam EBM memiliki ciri-ciri ―EUREKA - Evidence that is
Understandable, Relevant, Extendible, Current and Appraised –
yaitu bukti yang dapat dipahami, relevan, dapat diterapkan/
diekstrapolasi, terkini, dan telah dilakukan penilaian (Mathew, 2010).
2. MENCARI BUKTI
Judul lazimnya mengindikasikan variabel yang
diteliti (baik intervensi maupun variabel hasil yang
diteliti), populasi sasaran, dan setting/ lokasi
penelitian. Jadi judul artikel sesungguhnya sudah
bisa mengisyaratkan apakah artikel yang
bersangkutan relevan dan akan menjawab
pertanyaan klinis (―PICO‖). Jika judul tidak relevan
dengan praktik klinis, artikel tersebut tidak perlu
dibaca, dan klinisi bisa meneruskan pencarian
bukti dari artikel lainnya. Sebaliknya jika relevan
dengan praktik klinis, klinisi perlu membaca
abstrak artikel.
2. MENCARI BUKTI
ABSTRACT (abstrak) jurnal kedokteran umumnya terstruktur,
terdiri atas BACKGROUND (berisi latar belakang dan tujuan),
SUBJECT/ MATERIAL AND METHODS (subjek/ materi dan
metode), RESULTS (hasil), dan CONCLUSIONS (kesimpulan).
Jika isi abstrak mengindikasikan bahwa artikel itu tidak
menjawab pertanyaan klinis (―PICO‖) dan/ atau
menggunakan metode dasar yang tidak benar, maka
teruskan dengan mencari bukti dari artikel lainnya.
Sebaliknya jika relevan, maka lakukan penilaian kritis (critical
appraisal) menyangkut ―VIA‖ (validity, importance,
acceptability) bukti-bukti pada artikel tersebut.
3. MENILAI KRITIS BUKTI
 Nilai bukti ditentukan oleh dua hal: (1) Desain riset; dan (2) Kualitas pelaksanaan
riset.
 Tidak semua desain riset memberikan bukti yang sama kuatnya. Karena itu
berdasarkan desain riset, dikenal ―hirarki bukti desain riset‖. Sebagai contoh, ada
kecenderungan di antara dokter untuk bersikap paternalistik dan mengekor
pendapat pakar (expert opinion) ketika membuat keputusan masalah klinis yang
cukup kompleks. Apakah pendapat pakar memiliki nilai tinggi sebagai sebuah bukti
ilmiah? Tidak. Dalam aspek efektivitas terapi, bukti yang memiliki nilai tertinggi
(excellent evidence) berasal dari kajian sistematis (systematic review) dari sejumlah
randomized controlled trial (RCT), dan bukti yang buruk (poor evidence) berasal
dari pendapat pakar. Tentang bukti yang buruk Evans (2003) menggambarkannya
sebagai berikut ―... This level of evidence provides a poor basis for clinical
practice and is at serious risk of error or bias. Additionally, while this evidence can
help in determining research priorities, because there is a greater risk that it may
be wrong, and therefore misleading, it is ranked below other forms of evidence‖
3. MENILAI KRITIS BUKTI
 Di samping desain riset, kualitas pelaksanaan riset juga
menentukan kualitas bukti. Sebagai contoh, jika
pengumpulan data pada RCT dilakukan dengan sembrono,
tentu bukti yang dihasilkan dari RCT merupakan bukti yang
buruk.
 Secara formal penilaian kritis (critical appraisal) perlu
dilakukan terhadap kualitas buki-bukti yang dilaporkan
oleh artikel riset pada jurnal. Intinya, penilaian kritis
kualitas bukti dari artikel riset meliputi penilaian tentang
validitas (validity), kepentingan (importance), dan
kemampuan penerapan (applicability) bukti-bukti klinis
tentang etiologi, diagnosis, terapi, prognosis,
pencegahan, kerugian, yang akan digunakan untuk
pelayanan medis individu pasien, disingkat “VIA”.
VALIDITY
 Setiap artikel laporan hasil riset perlu dinilai kritis tentang apakah kesimpulan yang
ditarik benar (valid), tidak mengandung bias. Bias adalah kesalahan sistematis
(systematic error) yang menyebabkan kesimpulan hasil riset yang salah tentang
akurasi tes diagnosis, efektivitas intervensi, akurasi prognosis, maupun kerugian/
etiologi penyakit.
 Validitas (kebenaran) bukti yang diperoleh dari sebuah riset tergantung dari
cara peneliti memilih subjek/ sampel pasien penelitian, cara mengukur variabel,
dan mengendalikan pengaruh faktor ketiga yang disebut faktor perancu
(confounding factor). Kesalahan sistematis yang dilakukan peneliti dalam
memilih sampel pasien sehingga sampel kelompok-kelompok yang
dibandingkan tidak sebanding dalam distribusi faktor perancu, atau sampel
yang diperoleh tidak merepresentasikan populasi sasaran penelitian, sehingga
diperoleh kesimpulan yang salah (bias, tidak valid) tentang akurasi tes
diagnostik, efek intervensi, atau kesimpulan tentang faktor risiko/ etiologi/
kausa penyakit atau akibat-akibat penyakit, disebut bias seleksi.
VALIDITY
 Kesalahan sistematis yang dilakukan peneliti pada berbagai fase pengumpulan
data penelitian, sejak mendesain instrumen, mengukur/ mengamati variabel,
mencatat dan memasukkan data penelitian, menganalisis data, sehingga diperoleh
kesimpulan yang salah (bias, tidak valid) tentang akurasi tes diagnostik, efektivitas
intervensi, atau hubungan antara faktor risiko/ etiologi/ kausa dan penyakit atau
akibat penyakit, disebut bias informasi (bias observasi, bias pengukuran).
 Kegagalan peneliti dalam mengendalikan faktor ketiga yang memiliki pengaruh
independen terhadap variabel hasil yang diteliti, yang disebut faktor perancu
(confounding factor), sehingga diperoleh kesimpulan yang salah (bias, tidak valid)
tentang akurasi tes diagnostik, kefektifan intervensi, atau hubungan antara faktor
risiko/ etiologi/ kausa dan penyakit atau akibat penyakit, disebut kerancuan
(confounding).
VALIDITY
 Untuk memperoleh hasi riset yang benar (valid), maka sebuah riset perlu
menggunakan desain studi yang tepat. Sebagai contoh, jika bukti yang diinginkan
menyangkut efektivitas dan keamanan intervensi terapetik, maka bukti yang terbaik
berasal dari kajian sistematis/ meta-analisis dari randomized, triple-blind,
placebo-controlled trial (RCT), yaitu eksperimen random dengan pembutaan ganda
dan pembanding plasebo, dengan penyembunyian (concealment) hasil randomisasi,
serta waktu follow-up yang cukup untuk melihat hasil yang diinginkan. Di pihak lain,
testimoni (pengakuan) pasien, laporan kasus (case report), bahkan pendapat pakar,
memiliki nilai rendah sebagai bukti, karena efek plasebo (yaitu, perbaikan
kesehatan yang dapat dihasilkan oleh intervensi medis palsu), bias yang timbul
ketika mengamati atau melaporkan kasus, dan kesulitan dalam memastikan siapa
yang bisa disebut pakar, dan sebagainya.
IMPORTANCE
 Bukti yang disampaikan oleh suatu artikel tentang intervensi medis perlu dinilai tidak
hanya validitas (kebenaran)nya tetapi juga apakah intervensi tersebut memberikan
informasi diagnostik ataupun terapetik yang substansial, yang cukup penting (important),
sehingga berguna untuk menegakkan diagnosis ataupun memilih terapi yang efektif.
 Suatu tes diagnostik dipandang penting jika mampu mendiskriminasi
(membedakan) pasien yang sakit dan orang yang tidak sakit dengan cukup
substansial, sebagaimana ditunjukkan oleh ukuran akurasi tes diagnostik,
khususnya Likelihood Ratio (LR). Jika sebuah tes mengklasifikasikan sakit
di antara orang-orang yang sakit dan yang tidak sakit dalam proporsi sama,
maka tes diagnostik tersebut tidak memberikan informasi apapun untuk
memperbaiki diagnosis, sehingga merupakan tes diagnostik yang tidak
penting dan tidak bermanfaat untuk dilakukan.
IMPORTANCE
Suatu intervensi medis yang mampu secara substantif dan konsisten
mengurangi risiko terjadinya hasil buruk (bad outcome), atau
meningkatkan probabilitas terjadinya hasil baik (good outcome),
merupakan intervensi yang penting dan berguna untuk diberikan kepada
pasien. Perubahan substantif yang dihasilkan oleh suatu intervensi
terhadap hasil klinis (clinical outcome) pada pasien, disebut signifikansi
klinis (kemaknaan klinis). Perubahan konsisten yang dihasilkan oleh suatu
intervensi terhadap hasil klinis pada pasien, disebut signifikansi statistik
(kemaknaan statistik). Suatu intervensi disebut penting hanya jika mampu
memberikan perubahan yang secara klinis maupun statistik signifikan,
tidak bisa hanya secara klinis signifikan atau hanya secara statistik
signifikan. Ukuran efek yang lazim digunakan untuk menunjukkan
manfaat terapi dalam mencegah risiko terjadinya hasil buruk adalah
absolute risk reduction (ARR), relative risk reduction (RRR), dan number
needed to treat (NNT).
IMPORTANCE
 Ukuran efek yang lazim digunakan untuk menunjukkan manfaat
terapi dalam meningkatkan kemungkinan terjadinya hasil baik
adalah absolute benefit increase (ABI), relative benefit increase
(RBI), dan number needed to treat (NNT).
 Setiap intervensi medis di samping berpotensi memberikan
manfaat juga kerugian (harm). Ukuran efek yang digunakan untuk
menunjukkan meningkatnya risiko terjadi kerugian oleh suatu
intervensi medis adalah rasio risiko (RR), odds ratio (OR),
absolute risk increase (ARI), relative risk increase (RRI), dan
number needed to harm (NNH).
APPLICABILITY
 Bukti yang valid dan penting dari sebuah riset hanya berguna jika bisa
diterapkan pada pasien di tempat praktik klinis. ‗Bukti terbaik‘ dari
sebuah setting riset belum tentu bisa langsung diekstrapolasi (diperluas)
kepada setting praktik klinis dokter. Untuk memahami pernyataan itu
perlu dipahami perbedaan antara konsep efikasi (efficacy) dan efektivitas
(effectiveness). Efikasi (efficacy) adalah bukti tentang kemaknaan efek
yang dihasilkan oleh suatu intervensi, baik secara klinis maupun statistik,
seperti yang ditunjukkan pada situasi riset yang sangat terkontrol. Situasi
yang sangat terkontrol sering kali tidak sama dengan situasi praktik klinis
sehari-hari. Suatu intervensi menunjukkan efikasi jika efek intervensi itu
valid secara internal (internal validity), dengan kata lain intervensi itu
memberikan efektif ketika diterapkan pada populasi sasaran (target
population)
APPLICABILITY
 Agar intervensi efektif ketika diterapkan pada populasi yang lebih luas, yang tidak hanya
meliputi populasi sasaran tetapi juga populasi eksternal (external population), maka
intervensi tersebut harus menunjukkan efektivitas. Efektivitas (effectiveness)
adalah bukti tentang kemaknaan efek yang dihasilkan oleh suatu
intervensi, baik secara klinis maupun statistik, sebagaimana ditunjukkan/
diterapkan pada dunia yang nyata („the real world‟).

 Efektivitas menunjukkan manfaat praktis-pragmatis dari sebuah intervensi ketika


diterapkan pada lingkungan pelayanan dokter yang sesungguhnya, di mana banyak
terdapat ketidakteraturan (irregularity) dan ketidakpastian (uncertainty), meskipun pada
lingkungan yang sangat terkontrol alias terkendali intervensi itu mungkin efektif.
APPLICABILITY
 Kemampuan penerapan intervensi dipengaruhi oleh banyak faktor,
misalnya kesesuaian antara karakteristik populasi pasien dalam
riset dan pasien di tempat praktik, kesesuaian antara variabel hasil
yang diteliti dalam riset dan hasil yang diinginkan pada pasien
(perbaikan klinis), akseptabilitas dan kepatuhan pasien, keamanan
(jangka pendek maupun jangka panjang), biaya, cost-effectiveness,
fisibilitas (kelayakan), perbandingan dengan alternatif intervensi
lainnya, preferensi pasien, akseptabilitas sosial, dan sebagainya.
Pertimbangan semua faktor tersebut diperlukan untuk
menentukan kemampuan penerapan intervensi.
4. MENERAPKAN BUKTI
 PATIENT
A. Apakah pasien yang digunakan dalam penelitian memiliki karakteristik yang sama
dengan pasien di tempat praktik?
B. Apakah hasil intervensi yang akan diberikan sesuai dengan keinginan maupun
kebutuhan sesungguhnya (real need) pasien?
C. Bagaimana dampak psikologis-sosial-kutural pada pasien sebelumnya dalam
menggunakan intervensi?
4. MENERAPKAN BUKTI
INTERVENTION
1. Apakah intervensi memiliki bukti efektivitas yang valid?
2. Apakah intervensi memberikan perbaikan klinis yang signifikan?
3. Apakah intervensi memberikan hasil yang konsisten?

Efektivitas adalah kemampuan untuk menghasilkan efek yang diinginkan. Intervensi


yang rasional untuk digunakan adalah intervensi yang efektivitasnya didukung oleh
bukti yang valid, memberikan perbaikan klinis secara substansial (clinically
significant), menunjukkan konsistensi hasil (statistically significant), dan dapat
diterapkan (applicable).
4. MENERAPKAN BUKTI
COMPARISON
A. Pertama, penerapan intervensi perlu memperhatikan kesesuaian antara
pembanding/ alternatif yang digunakan oleh peneliti dan pembanding/ alternatif
yang dihadapi klinisi pada pasien di tempat praktik. Peneliti dalam sebuah riset
bisa menggunakan pembanding yang sama sekali tidak mendapatkan intervensi
(―do nothing‖), pembanding yang mendapatkan plasebo (menyerupai intervensi
tetapi tidak memiliki bahan aktif alias inert), atau pembanding yang mendapatkan
intervensi lainnya,

B. misalnya terapi standar. Kesesuaian antara pembanding dalam riset dan


pembanding yang dihadapi pada pasien menentukan efikasi dan efektivitas
intervensi ketika diterapkan kepada pasien..
4. MENERAPKAN BUKTI
COMPARISON
B. Kedua, pengambilan keputusan untuk menerapkan intervensi medis perlu membandingkan
manfaat dan kerugian dari melakukan intervensi. Sebuah intervensi yang memberikan
manfaat (benefit, utility) hampir selalu memberikan kerugian yang tidak diinginkan (harm) dan
biaya.
Biaya adalah nilai ekonomi dari sumberdaya yang dibutuhkan untuk menyediakan dan
melakukan intervensi. Kerugian (disutility) akibat intervensi, misalnya depresi akibat
penggunaan suatu sitostatika, stigma akibat menjalani suatu tes diagnostik, dapat dipandang
dan dinilai oleh pasien secara kuantitatif sebagai suatu biaya, disebut ―intangible cost. Baik
manfaat maupun kerugian dan biaya secara kuantitatif dan kualitatif perlu diperbandingkan.
Besarnya manfaat dan kerugian intervensi bervariasi, mulai dari sangat kecil (negligible)
hingga sangat substansial. Prinsip EBM, intervensi yang dapat diterapkan adalah intervensi
yang ―doing more good than harm.
4. MENERAPKAN BUKTI
COMPARISON
C. Ketiga, pengambilan keputusan klinis hakikatnya adalah menentukan pilihan dari berbagai alternatif
intervensi. Klinisi harus memilih antara memberikan atau tidak memberikan intervensi, atau memilih
sebuah dari beberapa alternatif intervensi. Jadi klinisi harus membandingkan manfaat dan kerugian dari
masing-masing alternatif, dan menentukan pilihan sebuah dari beberapa alternatif intervensi.

Pada beberapa situasi, menentukan pilihan dari beberapa alternatif pilihan bisa dilakukan dengan mudah,
karena terdapat perbedaan yang mencolok manfaat dan kerugian dari alternatif-alternatif pilihan tersebut,
dengan perbedaan yang jelas tentang probabilitas untuk terjadinya manfaat atau kerugian dari masing-
masing alternatif itu.

Tetapi praktik kedokteran sering kali berlangsung pada konteks yang kompleks, ireguler, dan tidak pasti.
Implikasinya tidak mudah untuk membuat keputusan klinis dengan tepat dan meyakinkan. Pada situasi
tersebut pengambilan keputusan medis yang optimal memerlukan proses formal yang disebut analisis
keputusan (decision analysis).
4. MENERAPKAN BUKTI
OUTCOME
1. Apakah hasil intervensi yang diharapkan pasien?
2. Apakah hasil intervensi yang akan diberikan sesuai dengan keinginan dan kebutuhan
sesungguhnya (real need) pasien?
3. Apakah pasien memandang manfaat dari intervensi lebih penting daripada kerugian
yang diakibatkannya?
Prinsip EBM, hasil yang diharapkan dari suatu intervensi adalah hasil yang
berorientasi pada pasien. Pengambilan keputusan klinis harus memperhatikan
nilai-nilai dan ekspektasi pasien. Menerapkan bukti riset terbaik dengan
mengabaikan nilai-nilai dan preferensi pasien dapat menyebabkan lebih banyak
mudarat (harm) daripada manfaat (benefit, utility) kepada pasien. Karena itu
pengambilan keputusan klinis untuk pasien tidak bersifat ‗take-it-or-leave it‘ yang
ditentukan semaunya dokter (‗provider-driven‘) tanpa memberikan opsi kepada
pasien. Demikian pentingnya nilai-nilai dan hak pasien, sehingga pengambilan
keputusan bersama pasien-dokter untuk tidak menerapkan intervensi yang
terbukti efektif karena mempertimbangkan nilai-nilai pasien bisa dipandang suatu
praktik EBM yang baik.
5. EVALUASI KINERJA EBM
Kinerja penerapan EBM perlu dievaluasi, terdiri atas
tiga kegiatan sebagai berikut (Hollowing dan Jarvik,
2007).
Pertama, mengevaluasi efisiensi penerapan langkah-
langkah EBM. Penerapan EBM belum berhasil jika
klinisi membutuhkan waktu terlalu lama untuk
mendapatkan bukti yang dibutuhkan, atau klinisi
mendapat bukti dalam waktu cukup singkat tetapi
dengan kualitas bukti yang tidak memenuhi ―VIA‖
(kebenaran, kepentingan, dan kemampuan penerapan
bukti)
5. EVALUASI KINERJA EBM
Kedua, melakukan audit keberhasilan dalam menggunakan bukti
terbaik sebagai dasar praktik klinis. Dalam audit klinis dilakukan
kajian (disebut audit) pelayanan yang telah diberikan, untuk dievaluasi
apakah terdapat kesesuaian antara pelayanan yang sedang/ telah
diberikan (being done) dengan kriteria yang sudah ditetapkan dan
harus dilakukan (should be done).

Jika belum/ tidak dilakukan, maka audit klinis memberikan saran


kerangka kerja yang dibutuhkan agar bisa dilakukan upaya perbaikan
pelayanan pasien dan perbaikan klinis pasien. Ketiga, mengidentifikasi
area riset di masa mendatang. Kendala dalam penerapan EBM
merupakan masalah penelitian untuk perbaikan implementasi EBM di
masa mendatang

Anda mungkin juga menyukai