Pembimbing:
dr. Moch. Ma’roef, Sp. OG
Oleh:
Rafdian Janitra Hadi
201820401011131
Kelompok L31
Evidence based medicine (EBM) adalah pengintegrasian antara (1) bukti ilmiah
berupa hasil penelitan yang terbaik dengan (2) kemampuan klinis dokter serta (3)
Geddes (2000) menyatakan bahwa EBM adalah strategi yang dibuat berdasarkan
pengembangan teknologi informasi dan epidemiologi klinik dan ditujukan untuk dapat
menjaga dan mempertahankan ketrampilan pelayanan medik dokter dengan basis bukti
secara seksama, ekplisit dan bijaksana dalam pengambilan keputusan untuk tatalaksana
mendapatkan hasil pelayanan yang optimal dan kualitas hidup yang lebih baik.
Praktek EBM itu sendiri banyak juga dicetuskan oleh adanya pertanyaan2
textbook) tentang hal-hal di atas sudah sangat tidak adekuat pada saat
sangat kurang.
Di sini mengandung arti bahwa bukti-bukti ilmiah tersebut harus berasal dari
penelitian yang dapat diukur dan dinilai secara obyektif (misalnya tekanan
metode pengukuran yang dapat menghindari resiko “bias” dari penulis atau
peneliti.
2. Clinical expertise.
memperkirakan kemungkinan manfaat dan resiko (risk and benefit) dari bentuk
intervensi yang akan diberikan. Keterampilan klinik ini hendaknya juga disertai
dengan pengenalan secara baik terhadap nilai-nilai yang dianut oleh pasien
3. Patient values.
Setiap pasien, dari manapun berasal, dari suku atau agama apapun, tentu
pengobatan yang diterimanya. Hal ini harus dipahami benar oleh seorang klinisi
atau praktisi medik, agar setiap upaya pelayanan kesehatan yang dilakukan,
Pada tahun 2000 Sackett et al. (2000) mendefinisikan EBM: “the integration of
best research evidence with clinical expertise and patient values” – EBM adalah
integrasi bukti-bukti riset terbaik dengan keterampilan klinis dan nilai-nilai pasien.
B. Tujuan EBM
EBM bertujuan membantu klinisi memberikan pelayanan medis yang lebih baik
agar diperoleh hasil klinis (clinical outcome) yang optimal bagi pasien, dengan cara
memadukan bukti terbaik yang ada, keterampilan klinis, dan nilai- nilai pasien. Dua
sistem pengambilan keputusan klinis berbasis bukti terbaik, yaitu bukti dari riset yang
keputusan klinis yang didukung oleh bukti ilmiah yang kuat memberikan hasil yang
lebih bisa diandalkan (BMJ Evidence Centre, 2010). . Kedua, EBM mengembalikan
fokus perhatian dokter dari pelayanan medis berorientasi penyakit ke pelayanan medis
pelayanan medis adalah untuk membantu pasien hidup lebih panjang, lebih sehat, lebih
produktif, dengan kehidupan yang bebas dari gejala ketidaknyamanan. Implikasi dari
re-orientasi praktik kedokteran tersebut, bukti- bukti yang dicari dalam EBM bukan
pandangan yang independen dalam membuat keputusan klinis, dan bersikap kritis
terhadap klaim dan kontroversi di bidang kedokteran. Praktik EBM menuntut dokter
untuk mengambil keputusan medis bersama pasien (shared decision making), dengan
memperhatikan preferensi, keprihatinan, nilai-nilai, ekspektasi, dan keunikan biologis
individu pasien. Sistem nilai pasien meliputi pertimbangan biaya, keyakinan agama
dan moral pasien, dan otonomi pasien, dalam menentukan pilihan yang terbaik bagi
dirinya.
Catatan:
kepada pasien hampir selalu timbul pertanyaan di dalam benaknya tentang diagnosis,
kausa, prognosis, maupun terapi yang akan diberikan kepada pasien. Sebagian dari
pertanyaan itu cukup sederhana atau merupakan pertanyaan rutin yang mudah dijawab,
yang tidak memadai untuk dijawab hanya berdasarkan pengalaman, membaca buku
teks, atau mengikuti seminar. Pertanyaan yang sulit dijawab disebut pertanyaan latar
diagnosis, prognosis, terapi, dapat juga berkaitan dengan resiko efek iatrogenik,
Idealnya setiap issue yang muncul hendaknya bersifat spesifik, berkaitan dengan
kondisi pasien saat masuk, bentuk intervensi terapi yang mungkin, dan luaran
Pada saat ini terdapat lebih dari 25.000 jurnal biomedik di seluruh dunia yang dapat di-
mengakses internet.
Dalam tahap ini seorang klinisi atau praktisi dituntut untuk dapat melakukan penilaian
(appraisal) terhadap hasil-hasil studi yang ada. Tujuan utama dari penelaahan kritis ini
adalah untuk melihat apakah bukti-bukti yang disajikan valid dan bermanfaat secara
klinis untuk membantu proses pengambilan keputusan. Hal ini penting, mengingat
dalam kenyataannya tidak semua studi yang dipublikasikan melalui majalah (jurnal-
Untuk mampu melakukan penilaian secara ilmiah, seorang klinisi atau praktisi harus
memahami metode yang disebut dengan “critical appraisal” atau “penilaian kritis”
yang dikembangkan oleh para ahli dari Amerika Utara dan Inggris. Critical appraisal
artikel yang kita peroleh memenuhi kriteria sebagai artikel yang dapat digunakan untuk
acuan.
Menilai Kritis Bukti penilaian kritis kualitas bukti dari artikel riset meliputi penilaian
pencegahan, kerugian, yang akan digunakan untuk pelayanan medis individu pasien,
disingkat VIA.
A. Validity
Validitas (kebenaran) bukti yang diperoleh dari sebuah riset tergantung dari
cara peneliti memilih subjek/ sampel pasien penelitian, cara mengukur variabel,
(confounding factor)
B. Importance
(membedakan) pasien yang sakit dan orang yang tidak sakit dengan cukup
khususnya Likelihood Ratio (LR). Suatu intervensi medis yang mampu secara
kepada pasien
C. Applicability
Bukti yang valid dan penting dari sebuah riset hanya berguna jika bisa
diterapkan pada pasien di tempat praktik klinis. Efikasi (efficacy) adalah bukti
tentang kemaknaan efek yang dihasilkan oleh suatu intervensi, baik secara
klinis maupun statistik, seperti yang ditunjukkan pada situasi riset yang sangat
terkontrol.
Dengan mengidentifikasi bukti-bukti ilmiah yang ada tersebut, seorang klinisi dapat
saja pada Skenario 1 diputuskan untuk segera memulai terapi dengan warfarin. Ini tentu
saja didasarkan pada pertimbangan resiko dan manfaat (risk-benefit assessment) yang
klinis dengan struktur PICO, diakhiri dengan penerapan bukti intervensi yang
A. Patient
intervensi:
C. Comparison
menerapkan bukti:
diakibatnya?
D. Outcome
Evidence level 1a, misalnya, merupakan evidence yang diperoleh dari meta-analisis
terhadap berbagai uji klinik acak dengan kontrol (randomized controlled trials).
Evidence level 1a ini dianggap sebagai bukti ilmiah dengan derajat paling tinggi yang
Tahap ini harus dilakukan untuk mengetahui apakah current best evidence yang
digunakan untuk pengambilan keputusan terapi bermanfaat secara optimal bagi pasien,
dan memberikan resiko yang minimal. Termasuk dalam tahap ini adalah
mengidentifikasi evidence yang lebih baru yang mungkin bisa berbeda dengan apa
yang telah diputuskan sebelumnya. Tahap ini juga untuk menjamin agar intervensi
yang akhirnya diputuskan betul-betul memberi manfaat yang lebih besar dari resikonya
(“do more good than harm”). Rekomendasi mengenai keputusan terapi yang paling
baik dibuat berdasarkan pengalaman klinik dari kelompok ahli yang menyusun
pedoman pengobatan.