Anda di halaman 1dari 34

EVIDENCE BASED MEDICINE (EBM)

Pembimbing:

dr. Moch. Ma’roef, Sp. OG

Oleh:

Depta Ketinda Paraton

201820401011123

Kelompok G31

SMF ILMU KEBIDANAN DAN PENYAKIT KANDUNGAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH JOMBANG

2019
Evidence based medicine

Banyak kalangan yang tidak mengetahui bahwa evidence-based medicine sesungguhnya

merupakan istilah baru penerapan epidemiologi klinik dalam pelayanan pasien. Sedang

epidemiologi klinik adalah penerapan prinsip epidemiologi populasi untuk pelayanan klinis

pasien. Fletcher dan Fletcher (2005) dalam buku‖ Clinical Epidemiology: The Essentials‖

menegaskan, ―Evidence-based medicine is a modern term for the application of clinical

epidemiology to the care of patient”. Sedang epidemiologi klinik (clinical epidemiology) sudah

dikenal 50 tahun yang lalu ketika John R Paul mendefinisikan epidemiologi klinik “a marriage

between quantitative concepts used by epidemilogists to study disease in populations and

decision making in the individual case which is the daily fare of clinical medicine” –

epidemiologi klinik adalah perkawinan antara konsep kuantitatif yang digunakan ahli

epidemiologi untuk mempelajari penyakit pada populasi dan pengambilan keputusan pada

individu kasus yang merupakan kegiatan sehari-hari kedokteran klinis (Last, 1988). Definisi

tersebut mengisyaratkan, epidemiologi klinik merupakan ilmu yang berasal dari dua disiplin

induk – kedokteran klinis (clinical medicine) dan epidemiologi (epidemiology). Disebut

―clinical‖ karena epidemiologi klinik bertujuan membantu klinisi untuk membuat keputusan

klinis dengan lebih baik untuk pelayanan pasien, menyangkut diagnosis, kausa, prognosis, terapi,

maupun pencegahan. Epidemiologi klinik disebut ―epidemiology‖ karena semua prinsip,

konsep, dan metode yang digunakan untuk membuat keputusan klinis pasien diadopsi dari

prinsip, konsep dan metode kuantitatif epidemiologi populasi Epidemiologi (epidemiologi

populasi, epidemiologi klasik) adalah “the study of the distribution and determinants of health-

related states or events in specified populations, and the application of this study to control of

health problems” - Epidemiologi adalah ―ilmu tentang distribusi dan determinan keadaan atau
peristiwa terkait kesehatan pada populasi tertentu, dan penerapannya untuk mengendalikan

masalah kesehatan. Epidemiologi klinik disebut ―epidemiology‖ karena masalah klinis individu

pasien diamati, dikuantifikasi, dan dianalisis dalam konteks populasi yang melatari pasien.

Berbeda dengan pendekatan pelayanan biomedis yang tidak ditujukan spesifik kepada masing-

masing pasien, maupun pendekatan klinis yang mengindividualisasi masalah klinis pasien tanpa

menghubungkannya dengan populasi pasien, pendekatan epidemiologi klinik

mengindividualisasi pelayanan pasien menurut konteks yang melatari pasien. Konteks pasien

penting diperhitungkan untuk menghindari ―contextual error‖. ―Contextual error‖ adalah

kesalahan dalam menentukan diagnosis, kausa, prognosis, atau terapi kepada pasien karena

kegagalan klinisi untuk mengindividualisasi pasien, yaitu pengabaian klinisi terhadap elemen

lingkungan, perilaku, dan preferensi pasien yang penting dalam merencanakan pelayanan yang

tepat.

Apa tujuan EBM ?

EBM bertujuan membantu klinisi memberikan pelayanan medis yang lebih baik agar

diperoleh hasil klinis (clinical outcome) yang optimal bagi pasien, dengan cara memadukan bukti

terbaik yang ada, keterampilan klinis, dan nilainilai pasien (Gambar 1). Penggunaan bukti ilmiah

terbaik memungkinkan pengambilan keputusan klinis yang lebih efektif, aman, bisa diandalkan

(reliable), efisien, dan costeffective. Dua strategi digunakan untuk merealisasi tujuan EBM.

Pertama, EBM mengembangkan sistem pengambilan keputusan klinis berbasis bukti terbaik,

yaitu bukti dari riset yang menggunakan metodologi yang benar. Metodologi yang benar

diperoleh dari penggunaan prinsip, konsep, dan metode kuantitatif epidemiologi. Pengambilan

keputusan klinis yang didukung oleh bukti ilmiah yang kuat memberikan hasil yang lebih bisa

diandalkan Dengan menggunakan bukti-bukti yang terbaik dan relevan dengan masalah pasien
atau sekelompok pasien, dokter dapat memilih tes diagnostik yang berguna, dapat mendiagnosis

penyakit dengan tepat, memilih terapi yang terbaik, dan memilih metode yang terbaik untuk

mencegah penyakit. Beberapa dokter mungkin berargumen, mereka telah menggunakan ―bukti‖

dalam membuat keputusan. Apakah ―bukti‖ tersebut merupakan bukti yang baik? Tidak.

―Bukti‖ yang diklaim kebanyakan dokter hanya merupakan pengalaman keberhasilan terapi

yang telah diberikan kepada pasien sebelumnya, nasihat mentor/ senior/ kolega, pendapat pakar,

―bukti‖ yang diperoleh secara acak dari artikel jurnal, abstrak, seminar, simposium. ―Bukti‖ itu

merupakan informasi bias yang diberikan oleh industri farmasi dan ―detailer obat‖. Sebagian

dokter menelan begitu saja informasi tanpa menilai kritis kebenarannya, suatu sikap yang disebut

―gullible‖ yang menyebabkan dokter ―poorly-informed‖ dan tidak independen dalam membuat

keputusan medis.

Bukti ilmiah terbaik yang ada perlu dipadukan dengan keterampilan/ keahlian klinis

dokter. Keterampilan klinis diperoleh secara akumulatif seorang klinisi melalui pendidikan,

pengalaman klinis, dan praktik klinis. Keterampilan klinisi yang tinggi diwujudkan dalam

berbagai bentuk, khususnya penentuan diagnosis yang lebih akurat dan efisien, pemilihan terapi

yang lebih bijak, yang memperhatikan preferensi pasien. Pengalaman dan keterampilan klinis

dokter merupakan komplemen penting bagi buktibukti, yang diperlukan untuk menghasilkan

pelayanan medis yang efektif. Tetapi penggunaan pengalaman dan keterampilan klinis saja tidak

menjamin pelayanan medis yang dapat diandalkan. Paradigma baru EBM mengajarkan,

pembuatan keputusan klinis yang baik tidak cukup jika hanya didasarkan pada pengalaman klinis

yang tidak sistematis, intuisi, maupun alasan patofisiologi, khususnya jika masalah klinis pasien

yang dihadapi kompleks .


Kedua, EBM mengembalikan fokus perhatian dokter dari pelayanan medis berorientasi

penyakit ke pelayanan medis berorientasi pasien (patient-centered medical care). Selama lebih

dari 80 tahun sccara kasat mata terlihat kecenderungan bahwa praktik kedokteran telah terjebak

pada paradigma ―reduksionis‖, yang memereteli pendekatan holistik menjadi pendekatan

―fragmented‖ dalam memandang dan mengatasi masalah klinis pasien. Dengan pendekatan

reduksionis, bukti-bukti yang dicari adalah bukti yang berorientasi penyakit, yaitu ―surrogate

end points‖, intermediate outcome, bukti-bukti laboratorium, bukannya bukti yang bernilai bagi

pasien, bukti-bukti yang menunjukkan perbaikan klinis yang dirasakan pasien. EBM bertujuan

meletakkan kembali pasien sebagai ―principal‖ atau ―pusat‖ pelayanan medis. EBM

mengembalikan fokus perhatian bahwa tujuan sesungguhnya pelayanan medis adalah untuk

membantu pasien hidup lebih panjang, lebih sehat, lebih produktif, dengan kehidupan yang

bebas dari gejala ketidaknyamanan. Implikasi dari re-orientasi praktik kedokteran tersebut, bukti-

bukti yang dicari dalam EBM bukan bukti-bukti yang berorientasi penyakit (Disease-Oriented

Evidence, DOE), melainkan bukti yang berorientasi pasien (Patient-Oriented Evidence that

Matters, POEM). Di samping itu, paradigma EBM mengingatkan kembali pentingnya hubungan

antara pasien sebagai ‗principal‘ dan dokter sebagai ‗agent‘ yang dibutuhkan untuk

penyembuhan. ―Healing requires relationships—relationships which lead to trust, hope, and a

sense of being known. Praktik EBM menuntut dokter untuk mengambil keputusan medis

bersama pasien (shared decision making), dengan memperhatikan preferensi, keprihatinan, nilai-

nilai, ekspektasi, dan keunikan biologis individu pasien. Sistem nilai pasien meliputi

pertimbangan biaya, keyakinan agama dan moral pasien, dan otonomi pasien, dalam menentukan

pilihan yang terbaik bagi dirinya. Guyattt et al. (2004) mengingatkan dalam editorial BMJ, ―...

Because clinicians' values often differ from those of patients, even those who are aware of the
evidence risk making the wrong recommendations if they do not involve patients in the decision

making process ". Bukti klinis eksternal bisa memberikan informasi tentang pilihan yang lebih

baik untuk suatu terapi, tetapi tidak bisa menggantikan hak pasien, sistem nilai pasien, preferensi

pasien, dan harapan pasien, tentang cara yang baik untuk mengatasi masalah klinis pasien.

Alasan rasional, bukti eksternal yang terbaik yang dihasilkan riset merupakan inferensi yang

bersifat umum di tingkat populasi. Karena bersifat umum maka bukti tersebut tidak bisa

mengabaikan keunikan masing-masing individu pasien ketika sebuah tes diagnostik atau terapi

akan diterapkan pada masing-masing individu pasien.

Mengapa Perlu EBM?

Ada beberapa alasan perlunya EBM, dua alasan utama sebagai berikut. Pertama, jumlah

publikasi medis tumbuh sangat cepat, sehingga para dokter dan mahasiswa kedokteran

kewalahan untuk mengidentifikasi bukti yang relevan, berguna, dan dapat dipercaya. Bukti riset

yang dipublikasikan sangat banyak jumlahnya. Hampir dua juta artikel kedokteran diterbitkan

setiap tahun. Padahal, “not all evidences are created equal”. Tidak semua artikel hasil riset

memberikan bukti-bukti dengan kualitas dan validitas (kebenaran) yang sama. Suatu intervensi

diagnostik maupun terapetik yang efektif dalam memberikan perbaikan klinis kepada pasien bisa

pada saat yang sama mengandung risiko kerugian dan biaya bagi pasien. Selain itu tidak semua

bukti dibutuhkan untuk pasien dalam praktik klinis. Karena itu para dokter dan tenaga kesehatan

profesional lainnya perlu mengasah keterampilan untuk memilah dan memilih bukti-bukti terbaik

yang bisa memberikan informasi yang relevan dan terpercaya, dengan cara yang efektif,

produktif, dan efisien (cepat). Teknologi informasi memberikan kontribusi besar bagi

perkembangan EBM. Komputer dan perangkat lunak database memungkinkan kompilasi


sejumlah besar data. Internet memungkinkan akses data dan informasi secara masif dalam waktu

singkat. Dalam dua dekade terakhir telah dilakukan upaya untuk mengembangkan, mensintesis,

menata bukti-bukti pada berbagai database hasil riset, yang bisa digunakan secara online untuk

membantu membuat keputusan klinis. MedLine (PubMed), dan Embase, merupakan contoh

database hasil riset primer kedokteran yang telah dipublikasikan. Cochrane Library merupakan

contoh database hasil riset sekunder (systematic-review/ meta-analysis) yang mensintesis hasil

riset primer dengan topik sama. Pada saat yang sama para ahli epidemiologi mengembangkan

strategi untuk menemukan, mengevaluasi, dan menilai kritis tes diagnostik, terapi, dan aplikasi

lainnya, untuk mendukung praktik EBM. Metode EBM memudahkan para dokter untuk

mendapatkan informasi kedokteran yang dapat dipercaya dari database primer dan sekunder.

Kegiatan EBM meliputi proses mencari dan menyeleksi bukti dari artikel hasil riset,

menganalisis dan menilai bukti, dan menerapkan bukti kepada pasien.

Kedua, melunturnya “trust” (kepercayaan) masyarakat terhadap integritas pelayanan

kedokteran dan praktisi yang memberikan pelayanan medis. Muncul keprihatinan para

stakeholders tentang mutu pelayanan kesehatan. WHO dalam Laporan Tahunan Kesehatan

Dunia 2008 ―Primary Health Care – Now More Than Ever‖, mengemukakan lima masalah

serius pelayanan kesehatan di dunia: (1) inverse care; (2) impoverishing care; (3) fragmented

care; (4) unsafe care; (5) misdirected care (WHO, 2008). Sistem pelayanan kesehatan yang

‗fragmented‘ membawa akibat yang tidak diinginkan: inefisiensi, ketidakefektifan,

ketidakadilan, komoditisasi, komersialisasi, deprofesionalisasi, depersonalisasi, dan

ketidakpuasan terhadap pelayanan kesehatan . Institute of Medicine (IOM) dalam laporan

bertajuk ―To Err Is Human‖ mengingatkan pentingnya mengatasi berbagai masalah pelayanan

medis yang terjadi di negara maju dan negara berkembang. Berbagai masalah tersebut mencakup
penggunaan prosedur diagnostik yang tidak memiliki nilai informasi, terapi yang tidak efektif,

biaya pelayanan kesehatan yang tinggi, pelayanan berkualitas rendah, kesalahan dalam praktik

medis (medical error), pelayanan medis yang tidak manusiawi, pengambilan keputusan klinis

tanpa dasar bukti ilmiah riset yang kuat. Berbagai masalah tersebut sebagian besar bisa diatasi

jika dokter menerapkan prinsip EBM. Per definisi EBM merupakan pendekatan baru dalam

memberikan pelayanan kesehatan,

Langkah langkah EBM

Sebuah strategi yang efisien untuk menerapkan EBM adalah strategi ―push and pull‖.

Dengan ―PUSH‖ (JUST IN CASE) dimaksudkan, bukti-bukti riset terbaik tentang masalah

klinis pasien yang sering atau banyak dijumpai di tempat praktik secara proaktif dicari dan

dipelajari SEBELUM pasien mengunjungi praktik klinis, lalu bukti-bukti tersebut disimpan ke

dalam file atau memori dokter. Dengan ―PULL‖ (JUST IN TIME) dimaksudkan, buktibukti

riset terbaik yang tersimpan dalam file atau memori dokter ―ditarik‖, diambil, dan digunakan

KETIKA pasien mengunjungi praktik klinis. Intinya, praktik EBM terdiri atas lima langkah

(Tabel 1)
Kelima langkah EBM bisa disingkat ―5A‖: asking, acquiring, appraising, applying,

assessing. Langkah 1: Merumuskan pertanyaan klinis BACKGROUND QUESTIONS. Ketika

seorang dokter memberikan pelayanan medis kepada pasien hampir selalu timbul pertanyaan di

dalam benaknya tentang diagnosis, kausa, prognosis, maupun terapi yang akan diberikan kepada

pasien. Sebagian dari pertanyaan itu cukup sederhana atau merupakan pertanyaan rutin yang

mudah dijawab, disebut pertanyaan latar belakang (background questions)

Contoh pertanyaan klinis yang mudah dijawab/ background questions:

(1) Bagaimana cara mendiagnosis tuberkulosis paru?

(2) Apakah gejala dan tanda yang terbanyak dijumpai tentang malaria?

(3) Bagaimana cara hiperkolesterolemia meningkatkan risiko pasien untuk mengalami

infark otot jantung?

(4) Apakah penyebab hiperbilirubinemia?

(5) Apakah kontra-indikasi pemberian kortikosteroid?


Pertanyaan latar belakang dikemukakan untuk memperoleh pengetahuan medis yang bersifat

umum yang lazim dikemukakan oleh mahasiswa kedokteran, misalnya fisiologi dan pato-

fisiologi penyakit. Bagi kebanyakan dokter praktik, pertanyaan latar belakang mudah dijawab

dengan menggunakan pengetahuan yang diperoleh dari pendidikan dokter, pengalaman praktik

klinis, mengikuti seminar, continuing medical education (CME), membuka buku teks, ataupun

membaca kajian pustaka.

FOREGROUND QUESTIONS. Banyak pertanyaan klinis lainnya yang sulit dijawab, yang tidak

memadai untuk dijawab hanya berdasarkan pengalaman, membaca buku teks, atau mengikuti

seminar. Pertanyaan yang sulit dijawab disebut pertanyaan latar depan (foreground questions).

Pertanyaan latar depan bertujuan untuk memperoleh informasi spesifik yang dibutuhkan

untuk membuat keputusan klinis. Contoh pertanyaan klinis yang sulit dijawab/ foreground

questions:

(1) Apakah vaksin MMR (mumps, measles, rubella) menyebabkan autisme pada anak,

sehingga sebaiknya tidak diberikan kepada anak?

(2) Apakah skrining kanker prostat, baik dengan teknik ‗digital rectal examination‘

(DRE) ataupun tes darah ‗prostate-specific antigen‘ (PSA), berguna untuk menurunkan

mortalitas spesifik kanker prostat, menurunkan mortalitas semua kausa, meningkatkan kualitas

hidup, sehingga dibenarkan untuk dilakukan?


(3) Manakah yang lebih efektif, penisilin intramuskuler atau penisilin per oral untuk

mencegah rekurensi demam rematik dan infeksi streptokokus tenggorok? Manakah yang lebih

baik, injeksi penisilin tiap 2-3 minggu atau tiap 4 minggu?

(4) Manakah yang lebih akurat, magnetic resonance imaging (MRI) atau computed

tomography (CT) scan, untuk mengidentifikasi stroke kecil multipel di dalam otak?

(5) Bagaimana efektivitas antigen H. pylori feses dibandingkan dengan endoskopi untuk

mendeteksi infeksi H. pylori?"

(6) Manakah yang lebih baik, implantasi lensa intra-okuler multifokal atau monofokal

standar, untuk memperbaiki ketajaman visus, meningkatkan kepuasan subjektif penglihatan,

menurunkan ketergantungan pada kacamata, mengurangi kesilauan dan sensitivitas kontras, pada

pasien pasca ekstraksi katarak?

(7) Manakah yang lebih efektif, doxapram intravena atau methylxanthine (misalnya,

theophylline, aminophylline atau caffeine) intravena untuk pengobatan apnea pada bayi

prematur?

(8) Apakah akupunktur efektif dan aman untuk mengobati depresi?

(9) Apakah PRO 140, suatu antibodi buatan laboratorium untuk memblok reseptor CCR5

pada sel CD4, efektif dan aman untuk mengobati pasien yang terinfeksi HIV-1?

(10)Apakah suplemen mikronutrien multipel efektif dan aman untuk mengurangi

mortalitas dan morbiditas orang dewasa dan anak dengan infeksi HIV?

Pertanyaan latar depan tentang keakuratan diagnosis, kebenaran kausa, keakuratan

prognosis, efektivitas dan kerugian terapi, tidak memadai dan tidak dibenarkan jika diperoleh
jawabnya hanya berdasarkan mengikuti seminar, membaca tinjauan pustaka dan buku teks.

Pertanyaan latar depan memerlukan upaya yang lebih sistematis untuk menjawabnya, dengan

menggunakan bukti-bukti dari sumber database hasil riset yang otoritatif dan terpercaya

kebenarannya. Jawaban yang benar atas pertanyaan latar depan memerlukan keterampilan dokter

untuk menilai kritis kualitas bukti hasil riset. Bukti-bukti terbaik dan terkini untuk menjawab

pertanyaan latar depan diperoleh dari aneka sumber data base hasil riset yang bisa diakses

melalui web, misalnya, PIER, ACP Journal, Cochrane Library (www.nelh.nhs.uk/cochrane.asp),

Evidence Based Medicine (www.ebm.bmjjournals.com/), Bandolier (www.ebandolier. com/),

dan perpustakaan elektronik/e-library, misalnya, PubMed (www.pubmed.gov), National

Electronic Library for Health (www.nelh.nhs.uk/).

Agar jawaban yang benar atas pertanyaan klinis latar depan bisa diperoleh dari database, maka

pertanyaan itu perlu dirumuskan dengan spesifik, dengan struktur terdiri atas empat komponen,

disingkat ―PICO‖: 1. Patient and problem 2. Intervention 3. Comparison 4. Outcome Sebagai

contoh, seorang dokter menghadapi pasien laki-laki berusia 30 tahun dengan keluhan nyeri

abdomen akut. Dokter itu masih ragu tentang kebenaran diagnosis yang dibuat setelah

melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dia ingin mengetahui tes diagnostik yang baik

yang bisa membantu membuat diagnosis dengan lebih meyakinkan. Pertanyaan klinis yang baik

dirumuskan dengan spesifik sebagai berikut, “Manakah yang lebih baik, computed tomography

(CT) atau ultrasonografi untuk mendiagnosis apendisitis pada laki-laki usia 30 tahun dengan

nyeri abdomen akut?” Patient and problem Pertanyaan klinis perlu mendeskripsikan dengan jelas

karakteristik pasien dan masalah klinis pasien yang dihadapi pada praktik klinis. Karakteristik

pasien dan masalahnya perlu dideskripsikan dengan eksplisit agar bukti-bukti yang dicari dari

database hasil riset relevan dengan masalah pasien dan dapat diterapkan, yaitu bukti-bukti yang
berasal dari riset yang menggunakan sampel pasien dengan karakteristik serupa dengan pasien/

populasi pasien yang datang pada praktik klinik. Keserupaan antara karakteristik demografis,

morbiditas, klinis, dari sampel penelitian dan pasien yang datang pada praktik klinik penting

untuk diperhatikan, karena mempengaruhi kemampuan penerapan bukti-bukti (applicability).

Jika karakteristik kedua populasi berbeda, maka bukti-bukti yang dicari tidak dapat diterapkan,

atau dapat diterapkan dengan pertimbangan yang hati-hati dan bijak (conscientious and judicious

judgment). Masalah klinis yang dihadapi dokter dan perlu dijawab dengan metode EBM perlu

dirumuskan dengan jelas apakah mengenai kausa/ etiologi penyakit pasien, akurasi tes

diagnostik, manfaat terapi, kerugian (harm) dari terapi, atau prognosis.

Intervention Pertanyaan klinis perlu menyebutkan dengan spesifik intervensi yang ingin

diketahui manfaat klinisnya. Intervensi diagnostik mencakup tes skrining, tes/ alat/ prosedur

diagnostik, dan biomarker. Intervensi terapetik meliputi terapi obat, vaksin, prosedur bedah,

konseling, penyuluhan kesehatan, upaya rehabilitatif, intervensi medis dan pelayanan kesehatan

lainnya.

Tetapi intervensi yang dirumuskan dalam pertanyaan klinis bisa juga merupakan paparan

(exposure) suatu faktor yang diduga merupakan faktor risiko/ etiologi/ kausa yang

mempengaruhi terjadinya penyakit/ masalah kesehataan pada pasien. Intervensi bisa juga

merupakan faktor prognostik yang mempengaruhi terjadinya akibat-akibat penyakit, seperti

kematian, komplikasi, kecacatan, dan sebagainya (bad outcome) pada pasien.

Comparison Prinsipnya, secara metodologis untuk dapat menarik kesimpulan tentang

manfaat suatu tes diagnostik, maka akurasi tes diagnostik itu perlu dibandingkan dengan

keberadaan penyakit yang sesungguhnya, tes diagnostik yang lebih akurat yang disebut rujukan

standar (standar emas), atau tes diagnostik lainnya. Hanya dengan melakukan perbandingan
maka dapat disimpulkan apakah tes diagnostik tersebut bermanfaat atau tidak bermanfaat untuk

dilakukan. Sebagai contoh, jika hasil tes diagnostik mendekati keberadaan penyakit yang

sesungguhnya, atau mendekati hasil tes diagnostik standar emas, maka tes diagnostik tersebut

memiliki akurasi yang baik, sehingga bermanfaat untuk dilakukan. Demikian pula untuk menarik

kesimpulan tentang efektivitas terapi, maka hasil dari pemberian terapi perlu dibandingkan

dengan hasil tanpa terapi. Jika terapi memberikan perbaikan klinis pada pasien, tetapi pasien

tanpa terapi juga menunjukkan perbaikan klinis yang sama, suatu keadaan yang disebut ‗efek

plasebo‘, maka terapi tersebut tidak efektif. Pembanding yang digunakan tidak harus tanpa

intervensi (―do nothing‖) ataupun plasebo. Pembanding bisa juga merupakan intervensi

alternatif atau terapi standar yang digunakan selama ini (―status quo‖). Jenis pembanding yang

digunakan sangat penting untuk dicermati karena sangat mempengaruhi kesimpulan dan

penerapan temuan. Contoh, sebuah terapi baru mungkin memberikan perbaikan klinis cukup

besar dan secara statistik signifikan ketika dibandingkan dengan tanpa terapi. Dinyatakan dalam

ukuran efek terapi yang disebut NNT (number needed to treat), terapi baru mungkin memiliki

NNT cukup rendah sehingga cukup efektif dibandingkan dengan plasebo. Tetapi terapi baru

sesungguhnya tidak memberikan perbaikan inkremental klinis dengan cukup besar dan secara

statistik tidak signifikan jika dibandingkan dengan terapi standar. Jika efek terapi dinyatakan

dalam NNT, terapi baru mungkin memiliki NNT yang tidak cukup kecil untuk bisa disebut

efektif jika dibandingkan dengan terapi lama (standar). Bila dalam aspek kerugian (harm,

adverse events) serta biaya yang diakibatkan oleh terapi baru dan terapi standar sama, maka tidak

ada alasan untuk menyimpulkan terapi baru lebih baik daripada terapi standar.
Outcome Efektivitas intervensi diukur berdasarkan perubahan pada hasil klinis (clinical

outcome). Konsisten dengan triad EBM, EBM memandang penting hasil akhir yang berorientasi

pasien (patient-oriented outcome) dari sebuah intervensi medis.

Patient-oriented outcome dapat diringkas menjadi ―3D‖: (1) Death; (2) Disability; dan

(3) Discomfort. Intervensi medis seharusnya bertujuan untuk mencegah kematian dini, mencegah

kecacatan, dan mengurangi ketidaknyamanan.

1. Death. Death (kematian) merupakan sebuah hasil buruk (bad outcome) jika terjadi dini

atau tidak tepat waktunya. Contoh, balita yang mati akibat dehidrasi pasca diare, kematian

mendadak (sudden death) yang dialami laki-laki usia 50 tahun pasca serangan jantung,

merupakan kematian dini yang seharusnya bisa dicegah.

2. Disability. Disability (kecacatan) adalah ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas

sehari-hari di rumah, di tempat bekerja, melakukan aktivitas sosial, atau melakukan rekreasi.

Contoh, kebutaan karena retinopati diabetik pada pasien diabetes melitus, hemiplegi pasca

serangan stroke, merupakan kecacatan yang seharusnya bisa dihindari. Kecacatan mempengaruhi

kualitas hidup pasien, diukur dengan QALY (quality-adjusted life year), DALY (disability-

adjusted life year), HYE (healthy years equivalent), dan sebagainya.

3. Discomfort. Discomfort (ketidaknyamanan) merupakan gejala-gejala seperti nyeri,

mual, sesak, gatal, telinga berdenging, cemas, paranoia, dan aneka gejala lainnya yang

mengganggu kenyamanan kehidupan normal manusia, dan menyebabkan penderitaan fisik dan/

atau psikis manusia. Contoh, dispnea pada pasien dengan asma atau kanker paru, merupakan

ketidaknyamanan yang menurut ekspektasi pasien penting, yang lebih penting untuk diatasi

daripada gambaran hasil laboratorium yang ditunjukkan tentang penyakit itu sendiri.
Ketidaknyamanan merupakan bagian dari kualitas hidup pasien. Bukti yang digunakan dalam

EBM adalah bukti yang bernilai bagi pasien (Patient Oriented Evidence that Matters, “POEM”),

bukan bukti yang berorientasi penyakit (Disease Oriented Evidence, ―DOE‖). Bukti yang

berorientasi penyakit meliputi bukti prematur (premature evidence), ―surrogate end points‖, atau

hasil antara (intermediate outcome) , misalnya hepatitis B surface antigen, kadar

glycohemoglobin, volume akhir diastolik ventrikel kiri, persentase stenosis arteri koroner,

saturasi O2, ukuran tumor, waktu operasi, dan sebagainya. Perlu dicamkan bahwa bukti tentang

penyakit tidak identik dengan bukti perbaikan klinis pasien. Hasil riset menunjukkan, sering kali

bukti penyakit ( hasil pemeriksaan laboratorium) tidak berkorelasi atau berkorelasi lemah dengan

bukti perbaikan klinis pasien. Contoh, terapi antihipertensi menurunkan tekanan darah dan

kematian. Jadi bukti penyakit sesuai dengan bukti tentang pasien. Sebaliknya pemberian

antiaritmia (misalnya, ecainide) menurunkan kontraksi ventrikel dini (premature ventricular

contraction) yang ditunjukkan oleh EKG. Tetapi encainide memiliki efek inotropik negatif,

meningkatkan mortalitas pasien, meningkatkan risiko aritmia fatal Jadi bukti tentang penyakit

bertentangan dengan bukti tentang pasien . Demikian pula prostate specific antigen (PSA)

mampu mendeteksi dini kanker prostat, tetapi tidak memberikan dampak yang signifikan bagi

penurunan mortalitas karena kanker prostat maupun penyebab lainnya

Langkah 2: Mencari Bukti Setelah merumuskan pertanyaan klinis secara terstruktur, langkah

berikutnya adalah mencari bukti-bukti untuk menjawab pertanyaan tersebut. Bukti adalah hasil

dari pengamatan dan eksperimentasi sistema. Jadi pendekatan berbasis bukti sangat

mengandalkan riset, yaitu data yang dikumpulkan secara sistematis dan dianalisis dengan kuat

setelah perencanaan riset (Banta 2003). Bukti ilmiah yang dicari dalam EBM memiliki ciri-ciri
―EUREKA‖ - Evidence that is Understandable, Relevant, Extendible, Current and Appraised –

yaitu bukti yang dapat dipahami, relevan, dapat diterapkan/ diekstrapolasi, terkini, dan telah

dilakukan penilaian.

Judul lazimnya mengindikasikan variabel yang diteliti (baik intervensi maupun variabel

hasil yang diteliti), populasi sasaran, dan setting/ lokasi penelitian. Jadi judul artikel

sesungguhnya sudah bisa mengisyaratkan apakah artikel yang bersangkutan relevan dan akan

menjawab pertanyaan klinis (―PICO‖). Jika judul tidak relevan dengan praktik klinis, artikel

tersebut tidak perlu dibaca, dan klinisi bisa meneruskan pencarian bukti dari artikel lainnya.

Sebaliknya jika relevan dengan praktik klinis, klinisi perlu membaca abstrak artikel.

ABSTRACT (abstrak) jurnal kedokteran umumnya terstruktur, terdiri atas BACKGROUND

(berisi latar belakang dan tujuan), SUBJECT/ MATERIAL AND METHODS (subjek/ materi
dan metode), RESULTS (hasil), dan CONCLUSIONS (kesimpulan). Jika isi abstrak

mengindikasikan bahwa artikel itu tidak menjawab pertanyaan klinis (―PICO‖) dan/ atau

menggunakan metode dasar yang tidak benar, maka teruskan dengan mencari bukti dari artikel

lainnya. Sebaliknya jika relevan, maka lakukan penilaian kritis (critical appraisal) menyangkut

―VIA‖ (validity, importance, acceptability) bukti-bukti pada artikel tersebut. Editorial berguna

untuk dibaca, karena mengulas dan memberi komentar atau kritik terhadap artikel asli, sehingga

memberikan konteks masalah klinis. Editorial biasanya merujuk kepada artikel dari sejumlah

jurnal lain, sehingga merupakan sinopsis (ringkasan) dari publikasi artikel asli, dan memaparkan

isu yang perlu mendapat perhatian khusus. Sumber Bukti Keberhasilan menerapkan EBM sangat

tergantung pada ketersediaan bukti terbaik dan terkini. Dokter membutuhkan akses cepat

terhadap bukti tentang diagnosis, terapi, dan pencegahan penyakit atau masalah kesehatan

pasien. Idealnya bukti tersebut sesuai dengan karakteristik dan konteks individu pasien atau

populasi, dan sumberdaya yang ada pada pemberi pelayanan kesehatan. Lalu di mana sebaiknya

dokter mencari bukti? Buku teks bukan merupakan sumber bukti yang baik untuk foreground

questions, karena umumnya kedaluwarsa dan hanya memadai untuk background questions.

Sumber bukti yang dianjurkan untuk foreground questions adalah sumber yang berbasis artikel

riset yang dipublikasikan, yang valid (benar) dan aktual (terkini). Bukti yang disediakan lebih

mudah untuk digunakan jika secara eksplisit merupakan hasil dari proses penyiapan dan

penyajian untuk menjawab masalah klinis pasien, berbasis ringkasan sejumlah artikel dan kajian

riset. Sumber bukti klinis dapat dibagi menjadi dua kategori: sumber primer dan sumber

sekunder. Sumber bukti primer adalah bukti dari riset asli. Sumber sekunder adalah bukti dari

ringkasan arau sintesis dari sejumlah riset asli. Mengembangkan model hirarki organisasi

pelayanan informasi klinis yang disebut ―4S‖(Gambar 4)


Model hirarki bukti ―4S‖ terdiri atas ―Studi‖ (riset asli, terletak pada dasar hirarki),

―Sintesis‖ (kajian sistematis pada level berikutnya), ―Sinopsis‖ (deskripsi singkat dari artikel

dan kajian jurnal EBM), dan ―Sistem‖ (sistem pendukung keputusan berbasis komputer yang

menghubungan karakteristik individu pasien dengan bukti yang relevan, terletak pada puncak

hirarki). Hirarki tersebut menunjukkan tingkat kesiapan bukti dan kecepatan penggunaan bukti.

menyarankan klinisi untuk menggunakan model hirarki ―4s‖ dalam mencari bukti,

berturut-turut dimulai dari ―sistem‖, ―sinopsis‖, ―sintesis‖, diakhiri dengan ―studi‖. Makin

tinggi sumber bukti pada hirarki, makin dekat bukti yang dipersiapkan dan disajikan dengan

pertanyaan klinis yang dihadapi klinisi pada praktik klinis, makin cepat dan relevan klinisi dalam

mendapatkan bukti. Meski demikian penggunaan model ―4S‖ perlu dilakukan dengan hati-hati.

Haynes (2006) sendiri dengan mengutip kata-kata George Box, seorang statistikawan industri,

―All models are wrong, some are useful‖, mengingatkan bahwa tidak ada model yang sempurna.

Semua model adalah salah, tetapi beberapa berguna. Demikian pula model hirarki ―4S‖
memiliki kekurangan terlalu menyederhanakan hubungan antara berbagai sumber pelayanan

informasi klinis tersebut. Model ―4S‖ sebaiknya dipahami sebagai gambaran tentang tingkat

kemudahan pelayanan informasi dari masing-masing sumber bukti untuk digunakan. Sebagai

contoh, ―sistem‖ dan ―sinopsis‖ merupakan sumber pelayanan informasi yang memang secara

eksplisit dipersiapkan dan disajikan untuk menjawab pertanyaan klinis spesifik yang dibutuhkan

klinisi. Karena itu ―sistem‖ dan ―sinopsis‖ memberikan keuntungan lebih cepat untuk bisa

digunakan oleh klinisi. Tetapi klinisi perlu mencermati siapa yang membuat ringkasan (sinopsis).

Reputasi pembuat ringkasan menentukan validitas (kebenaran) bukti/ informasi. Klinisi perlu

memilih sumber ―sistem‖ dan ―sinopsis‖ yang otoritatif/ kredibel. ‖Sintesis‖ dan ―studi‖ tidak

secara khusus dipersiapkan untuk memberikan pelayanan informasi klinis, karena itu klinisi

perlu mengolah dan menyesuaikan informasi yang diperoleh dengan masalah klinis pasien.

Dalam hal validitas (kebenaran) bukti, ―sintesis‖ yaitu ―systematic review‖ dan ―meta-

analisis‖, merupakan sumber bukti yang paling otoritatif/ kredibel. Tetapi kualitas ―systemtic

review‖ dan ―meta-analisis‖ juga tergantung dari kualitas masing-masing ―studi‖ yang dikaji.

Bukti yang diberikan ―systematic review‖ dan ―meta-analisis‖ perlu dianalisis dengan kritis

(critical appraisal) sebelum diterapkan pada praktik klinis. Sistem. Dengan ―sistem‖

dimaksudkan sistem informasi klinis berbasis komputer yang mengintegrasikan dan meringkas

semua bukti riset yang penting dan relevan dengan masalah klinis spesifik pasien. Informasi

yang tersedia dalam sistem merupakan hasil dari proses kajian yang secara eksplisit dilakukan

untuk menyediakan bukti baru yang berasal dari artikel pada jurnal. ―Sistem‖ diperbarui jika

tersedia bukti riset yang baru dan penting. Sumber bukti ―sistem‖ meliputi: BMJ Clinical

Evidence (http://www.clinicalevidence. com), UpToDate (http://www.uptodate.com), PIER: The

Physician‘s Information and Education Resource (http://pier.acponline.org/index.html), WebMD


(http://webmd.com)denan koneksi ke ACP Medicine (www.acpmedicine.com), dan Bandolier

(http:// www.ebandolier.com/). Sinopsis. ―Sinopsis‖ (abstrak) merupakan ringkasan temuan

penting dari sebuah atau sejumlah riset asli dan kajian. ―Sinopsis‖ merupakan sumber

berikutnya jika tidak tersedia ―sistem‖. ―Sinopsis‖ disebut juga Clinically Appraised Topics

(CATs), memberikan informasi dengan topik yang dibutuhkan untuk menjawab masalah klinis di

tempat praktik. CATs merupakan ringkasan sebuah atau sejumlah studi dan temuan-temuannya

yang dapat dikaji dan digunakan oleh klinisi di kemudian hari. Sebuah CATs terdiri atas judul

artikel, kesimpulan yang disebut ―Clinical Bottom Line‖, pertanyaan klinis, ringkasan hasil,

komentar, tanggal publikasi studi, dan sitasi yang relevan Judul sinopsis biasanya dinyatakan

dalam kalimat deklaratif atau interogatif untuk memperjelas temuan. Sebagai contoh, beberapa

judul sinopsis dari database BestBETs:

1. ‗‗Antibiotics do not lead to general improvement in upper respiratory tract‖,

2. ―Ibuprofen is probably better than paracetamol in reducing fever in children‖,

3. ―Is continuous positive airway pressure effective in bronchiolitis?‖,

dan sebagainya. Sumber bukti ―sinopsis‖ meliputi ACP [American College of Physicians]

Journal Club (http://www.acpjc.org) , EBM (http://ebm. bmj.com), CATs

(www.cebm.jr2.ox.ac.uk), POEMs (www.infopoems.com), BestBETS (www.bestbets.com).

Pertanyaan klinis dapat dirumuskan dengan ―PICO‖: ―Pada anak berusia 12 tahun dengan

demam, apakah pemberian ibuprofen lebih efektif daripada parasetamol untuk menurunkan

demam?‖. Struktur ―PICO‖ dari pertanyaan klinis sebagai berikut:

1. Patient and problem: Anak usia 12 tahun, manfaat terapi


2. Intervention: Ibuprofen

3. Comparison: Parasetamol

4. Outcome: Penurunan demam Dengan mengetik kata kunci ibuprofen pada Search BETs,

diperoleh sinopsis dengan judul ―Ibuprofen is probably better than paracetamol in reducing

fever in children‖ (Gambar 6). Sinopsis tersebut berisi ringkasan dari 6 artikel yang relevan,

terdiri dari 3 artikel dari Medline dan 3 artikel dari EMBASE. Enam artikel terpilih dari hasil

penelusuran ratusan artikel dari Medline, EMBASE, CINAHL, dan Cochrane library.

Kesimpulan (―Clinical Bottom Line‖) pada BestBETs menyebutkan, kedua antipiretika efektif

untuk menurunkan suhu anak dengan demam. Ibuprofen menunjukkan durasi aksi yang lebih

panjang, dan efektivitasnya dalam menurunkan suhu dapat ditingkatkan dengan dosis yang lebih

tinggi. Sintesis. ―Sintesis‖ merupakan ringkasan sistematis dan terinci dari hasil sejumlah riset

tunggal, sehingga disebut kajian sistematis (systematic review). Kajian sistematis yang

dinyatakan dengan ukuran kuantitatif disebut meta-analisis. Kajian sistematis memberikan bukti

bernilai paling tinggi dari ―4S‖. Tetapi klinisi tetap perlu melakukan penilaian kritis terhadap

bukti-bukti kajian sistematis. Karena kualitas kajian sistematis tergantung dari masing-masing

studi primer/ asli yang dikaji (Schranz dan Dunn, 2007). Sumber bukti ―sintesis‖ meliputi

Cochrane Library (http://www3. interscience.wiley. com/ cgi-bin/mrwhome/106568753/HOME)

dan DARE www.york.ac.uk/inst/crd/welcome.htm). Tetapi kajian sistematis bisa juga diperoleh

melalui dabase Medline, Ovid EBMR, EvidenceBased Medicine / ACP Journal Club, dan lain-

lain. Bagian dari Cochrane Library yang memberikan pelayanan database kajian sistematis

adalah Cochrane Reviews. Cochrane Reviews menginvestigasi dan mengumpulkan sejumlah

studi primer/ asli (sebagian besar randomized controlled trials /RCT, clinical controlled trials,

dan sebagian kecil studi observasional). Hasil investigasi berbagai riset primer lalu disintesis
dengan membatasi bias dan kesalahan random. Hasil kajian sistematis dari Cochrane Reviews

disajikan dalam Abstract dan Summary. Abstract terdiri atas Background, Objectives, Search

strategy, Selection criteria, Data collection and analysis, Main results, Authors‘ conclusions.

Sedang Summary intinya mirip abstract, hanya saja dinarasikan dalam format yang mudah

dicerna.

EBM merupakan praktik penggunaan bukti riset terbaik yang tersedia (best available

evidence). Tetapi „not all evidences are created equal”- tidak semua sumber bukti memberikan

kualitas bukti yang sama. Dokter dituntut untuk berpikir kritis dan menilai kritis bukti (critical

appraisal). Nilai bukti ditentukan oleh dua hal: (1) Desain riset; dan (2) Kualitas pelaksanaan

riset. Tidak semua desain riset memberikan bukti yang sama kuatnya. Karena itu berdasarkan

desain riset, dikenal ―hirarki bukti desain riset‖. Sebagai contoh, ada kecenderungan di antara

dokter untuk bersikap paternalistik dan mengekor pendapat pakar (expert opinion) ketika

membuat keputusan masalah klinis yang cukup kompleks. Apakah pendapat pakar memiliki nilai

tinggi sebagai sebuah bukti ilmiah? Tidak. Dalam aspek efektivitas terapi, bukti yang memiliki

nilai tertinggi (excellent evidence) berasal dari kajian sistematis (systematic review) dari

sejumlah randomized controlled trial (RCT), dan bukti yang buruk (poor evidence) berasal dari

pendapat pakar. Tentang bukti yang buruk Evans (2003) menggambarkannya sebagai berikut

―... This level of evidence provides a poor basis for clinical practice and is at serious risk of

error or bias. Additionally, while this evidence can help in determining research priorities,

because there is a greater risk that it may be wrong, and therefore misleading, it is ranked below

other forms of evidence‖. Di samping desain riset, kualitas pelaksanaan riset juga menentukan

kualitas bukti. Sebagai contoh, jika pengumpulan data pada RCT dilakukan dengan sembrono,
tentu bukti yang dihasilkan dari RCT merupakan bukti yang buruk. Secara formal penilaian kritis

(critical appraisal) perlu dilakukan terhadap kualitas bukibukti yang dilaporkan oleh artikel riset

pada jurnal. Intinya, penilaian kritis kualitas bukti dari artikel riset meliputi penilaian tentang

validitas (validity), kepentingan (importance), dan kemampuan penerapan (applicability)

buktibukti klinis tentang etiologi, diagnosis, terapi, prognosis, pencegahan, kerugian, yang akan

digunakan untuk pelayanan medis individu pasien, disingkat “VIA”. Validity Setiap artikel

laporan hasil riset perlu dinilai kritis tentang apakah kesimpulan yang ditarik benar (valid), tidak

mengandung bias. Bias adalah kesalahan sistematis (systematic error) yang menyebabkan

kesimpulan hasil riset yang salah tentang akurasi tes diagnosis, efektivitas intervensi, akurasi

prognosis, maupun kerugian/ etiologi penyakit. Validitas (kebenaran) bukti yang diperoleh dari

sebuah riset tergantung dari cara peneliti memilih subjek/ sampel pasien penelitian, cara

mengukur variabel, dan mengendalikan pengaruh faktor ketiga yang disebut faktor perancu

(confounding factor). Kesalahan sistematis yang dilakukan peneliti dalam memilih sampel pasien

sehingga sampel kelompok-kelompok yang dibandingkan tidak sebanding dalam distribusi faktor

perancu, atau sampel yang diperoleh tidak merepresentasikan populasi sasaran penelitian,

sehingga diperoleh kesimpulan yang salah (bias, tidak valid) tentang akurasi tes diagnostik, efek

intervensi, atau kesimpulan tentang faktor risiko/ etiologi/ kausa penyakit atau akibat-akibat

penyakit, disebut bias seleksi.

Kesalahan sistematis yang dilakukan peneliti pada berbagai fase pengumpulan data

penelitian, sejak mendesain instrumen, mengukur/ mengamati variabel, mencatat dan

memasukkan data penelitian, menganalisis data, sehingga diperoleh kesimpulan yang salah (bias,

tidak valid) tentang akurasi tes diagnostik, efektivitas intervensi, atau hubungan antara faktor
risiko/ etiologi/ kausa dan penyakit atau akibat penyakit, disebut bias informasi (bias observasi,

bias pengukuran). Kegagalan peneliti dalam mengendalikan faktor ketiga yang memiliki

pengaruh independen terhadap variabel hasil yang diteliti, yang disebut faktor perancu

(confounding factor), sehingga diperoleh kesimpulan yang salah (bias, tidak valid) tentang

akurasi tes diagnostik, kefektifan intervensi, atau hubungan antara faktor risiko/ etiologi/ kausa

dan penyakit atau akibat penyakit, disebut kerancuan (confounding). Untuk memperoleh hasi

riset yang benar (valid), maka sebuah riset perlu menggunakan desain studi yang tepat. Sebagai

contoh, jika bukti yang diinginkan menyangkut efektivitas dan keamanan intervensi terapetik,

maka bukti yang terbaik berasal dari kajian sistematis/ meta-analisis dari randomized, triple-

blind, placebo-controlled trial (RCT), yaitu eksperimen random dengan pembutaan ganda dan

pembanding plasebo, dengan penyembunyian (concealment) hasil randomisasi, serta waktu

follow-up yang cukup untuk melihat hasil yang diinginkan. Di pihak lain, testimoni (pengakuan)

pasien, laporan kasus (case report), bahkan pendapat pakar, memiliki nilai rendah sebagai bukti,

karena efek plasebo (yaitu, perbaikan kesehatan yang dapat dihasilkan oleh intervensi medis

palsu), bias yang timbul ketika mengamati atau melaporkan kasus, dan kesulitan dalam

memastikan siapa yang bisa disebut pakar, dan sebagainya. Importance Bukti yang disampaikan

oleh suatu artikel tentang intervensi medis perlu dinilai tidak hanya validitas (kebenaran)nya

tetapi juga apakah intervensi tersebut memberikan informasi diagnostik ataupun terapetik yang

substansial, yang cukup penting (important), sehingga berguna untuk menegakkan diagnosis

ataupun memilih terapi yang efektif. Suatu tes diagnostik dipandang penting jika mampu

mendiskriminasi (membedakan) pasien yang sakit dan orang yang tidak sakit dengan cukup

substansial, sebagaimana ditunjukkan oleh ukuran akurasi tes diagnostik, khususnya Likelihood

Ratio (LR). Jika sebuah tes mengklasifikasikan sakit di antara orang-orang yang sakit dan yang
tidak sakit dalam proporsi sama, maka tes diagnostik tersebut tidak memberikan informasi

apapun untuk memperbaiki diagnosis, sehingga merupakan tes diagnostik yang tidak penting dan

tidak bermanfaat untuk dilakukan. Suatu intervensi medis yang mampu secara substantif dan

konsisten mengurangi risiko terjadinya hasil buruk (bad outcome), atau meningkatkan

probabilitas terjadinya hasil baik (good outcome), merupakan intervensi yang penting dan

berguna untuk diberikan kepada pasien. Perubahan substantif yang dihasilkan oleh suatu

intervensi terhadap hasil klinis (clinical outcome) pada pasien, disebut signifikansi klinis

(kemaknaan klinis). Perubahan konsisten yang dihasilkan oleh suatu intervensi terhadap hasil

klinis pada pasien, disebut signifikansi statistik (kemaknaan statistik). Suatu intervensi disebut

penting hanya jika mampu memberikan perubahan yang secara klinis maupun statistik

signifikan, tidak bisa hanya secara klinis signifikan atau hanya secara statistik signifikan. Ukuran

efek yang lazim digunakan untuk menunjukkan manfaat terapi dalam mencegah risiko terjadinya

hasil buruk adalah absolute risk reduction (ARR), relative risk reduction (RRR), dan number

needed to treat (NNT). Ukuran efek yang lazim digunakan untuk menunjukkan manfaat terapi

dalam meningkatkan kemungkinan terjadinya hasil baik adalah absolute benefit increase (ABI),

relative benefit increase (RBI), dan number needed to treat (NNT). Setiap intervensi medis di

samping berpotensi memberikan manfaat juga kerugian (harm). Ukuran efek yang digunakan

untuk menunjukkan meningkatnya risiko terjadi kerugian oleh suatu intervensi medis adalah

rasio risiko (RR), odds ratio (OR), absolute risk increase (ARI), relative risk increase (RRI), dan

number needed to harm (NNH). Applicability Bukti yang valid dan penting dari sebuah riset

hanya berguna jika bisa diterapkan pada pasien di tempat praktik klinis. ‗Bukti terbaik‘ dari

sebuah setting riset belum tentu bisa langsung diekstrapolasi (diperluas) kepada setting praktik

klinis dokter. Untuk memahami pernyataan itu perlu dipahami perbedaan antara konsep efikasi
(efficacy) dan efektivitas (effectiveness). Efikasi (efficacy) adalah bukti tentang kemaknaan efek

yang dihasilkan oleh suatu intervensi, baik secara klinis maupun statistik, seperti yang

ditunjukkan pada situasi riset yang sangat terkontrol. Situasi yang sangat terkontrol sering kali

tidak sama dengan situasi praktik klinis sehari-hari. Suatu intervensi menunjukkan efikasi jika

efek intervensi itu valid secara internal (internal validity), dengan kata lain intervensi itu

memberikan efektif ketika diterapkan pada populasi sasaran (target population) (Gambar 9).

Agar intervensi efektif ketika diterapkan pada populasi yang lebih luas, yang tidak hanya

meliputi populasi sasaran tetapi juga populasi eksternal (external population), maka intervensi

tersebut harus menunjukkan efektivitas. Efektivitas (effectiveness) adalah bukti tentang

kemaknaan efek yang dihasilkan oleh suatu intervensi, baik secara klinis maupun statistik,

sebagaimana ditunjukkan/ diterapkan pada dunia yang nyata („the real world‟). Efektivitas

menunjukkan manfaat praktis-pragmatis dari sebuah intervensi ketika diterapkan pada

lingkungan pelayanan dokter yang sesungguhnya, di mana banyak terdapat ketidakteraturan

(irregularity) dan ketidakpastian (uncertainty), meskipun pada lingkungan yang sangat terkontrol

alias terkendali intervensi itu mungkin efektif. Kemampuan penerapan intervensi dipengaruhi

oleh banyak faktor, misalnya kesesuaian Antara karakteristik populasi pasien dalam riset dan

pasien di tempat praktik, kesesuaian antara variabel hasil yang diteliti dalam riset dan hasil yang

diinginkan pada pasien (perbaikan klinis), akseptabilitas dan kepatuhan pasien, keamanan

(jangka pendek maupun jangka panjang), biaya, cost-effectiveness, fisibilitas (kelayakan),

perbandingan dengan alternatif intervensi lainnya, preferensi pasien, akseptabilitas sosial, dan

sebagainya. Pertimbangan semua faktor tersebut diperlukan untuk menentukan kemampuan

penerapan intervensi. Dokter bekerja di dunia nyata, bukan dunia maya atau ―dunia lain‖.

Karena itu keputusan untuk menggunakan/ tidak menggunakan intervensi perlu


mempertimbangkan faktorfaktor yang mempengaruhi efektivitas (effectiveness) intervensi. Suatu

riset yang menemukan efektivitas intervensi, dengan kata lain intervensi yang efektif ketika

diterapkan pada populasi umum (populasi eksternal), maka temuan riset itu dikatakan memiliki

validitas eksternal (external validity).

Berdasarkan fakta tersebut maka dalam praktik EBM, „bukti efektivitas‟ („evidence of

effectiveness‟) lebih bernilai daripada „bukti efikasi‟ („evidence of efficacy‟)

Langkah 4: Menerapkan Bukti Langkah EBM diawali dengan merumuskan pertanyaan

klinis dengan struktur ―PICO‖, diakhiri dengan penerapan bukti intervensi yang memperhatikan

aspek ―PICO‖ – patient, intervention, comparison, dan outcome. Selain itu, penerapan bukti

intervensi perlu mempertimbangkan kelayakan (feasibility) penerapan bukti di lingkungan

praktik klinis. Patient Tiga pertanyaan perlu dijawab tentang pasien sebelum menerapkan

intervensi:

1. Apakah pasien yang digunakan dalam penelitian memiliki karakteristik yang sama

dengan pasien di tempat praktik?

2. Apakah hasil intervensi yang akan diberikan sesuai dengan keinginan maupun

kebutuhan sesungguhnya (real need) pasien?

3. Bagaimana dampak psikologis-sosial-kutural pada pasien sebelumnya dalam

menggunakan intervensi?

Prinsip EBM adalah memberikan pelayanan yang berpusat kepada pasien (patient-

centered care). Klinisi perlu memperhatikan kesesuaian karaktersistik pasien yang digunakan

dalam riset dan pasien yang dihadapi di tempat praktik klinis. Jika peneliti menggunakan pasien

berspektrum luas sehingga memiliki karakteristik yang sama/ serupa dengan pasien di tempat
praktik, maka bukti riset bisa diterapkan. Tetapi pada banyak kasus tidak seperti itu. Tidak jarang

peneliti menerapkan kriteria inklusi dan eksklusi pada sampel pasien yang diteliti, suatu

kebiasaan yang kontraproduktif, sehingga sampel pasien yang diteliti menjadi sangat spesifik dan

berspektrum sempit. Jika pasien yang diteliti berspektrum sempit dan memiliki karakteristik

yang berbeda dengan pasien di tempat praktik, maka klinisi harus melakukan pertimbangan

seksama dan terbaik untuk memutuskan apakah bukti riset tersebut bisa diterapkan. Bagaimana

cara menentukan bahwa suatu intervensi bisa/ tidak bisa diterapkan pada pasien di tempat

praktik?

Apakah menggunakan rumus statistik? Perlu diingat bahwa banyak orang memiliki

pandangan yang salah tentang statistik dan berharap terlalu banyak kepada statistik, seolah

semua masalah bisa dan lebih baik jika diselesaikan dengan cara statistik. Cara berpikir sesat

tersebut menyebabkan sering kali terjadi statistical misuse, yaitu salah penggunaan statistik,

ataupun statistical abuse, yaitu sengaja menyalahgunakan statistik untuk suatu niat yang tidak

baik, misalnya membohongi pembaca. Dalam konteks Efektivitas (effectiveness) adalah “the

quality of being able to bring about an effect”, atau “producing a decided or decisive effect”.

Efektivitas adalah kemampuan untuk menghasilkan efek yang diinginkan. Intervensi yang

rasional untuk digunakan adalah intervensi yang efektivitasnya didukung oleh bukti yang valid,

memberikan perbaikan klinis secara substansial (clinically significant), menunjukkan konsistensi

hasil (statistically significant), dan dapat diterapkan (applicable). Efektivitas berbeda dengan

efikasi. Efektivitas lebih realistis daripada efikasi. Intervensi yang menunjukkan efektivitas

memiliki kemungkinan lebih besar untuk bisa diterapkan pada pasien di tempat praktik klinis

daripada intervensi yang menunjukkan efikasi.


Comparison Tiga pertanyaan perlu dijawab tentang aspek perbandingan untuk

menerapkan bukti: 1. Apakah terdapat kesesuaian antara pembanding/ alternatif yang digunakan

oleh peneliti dan pembanding/ alternatif yang dihadapi klinisi pada pasien di tempat praktik?

2. Apakah manfaat intervensi lebih besar daripada mudarat yang diakibatnya?

3. Apakah terdapat alternatif intervensi lainnya? Pertama, penerapan intervensi perlu

memperhatikan kesesuaian antara pembanding/ alternatif yang digunakan oleh peneliti dan

pembanding/ alternatif yang dihadapi klinisi pada pasien di tempat praktik. Peneliti dalam

sebuah riset bisa menggunakan pembanding yang sama sekali tidak mendapatkan intervensi

(―do nothing‖), pembanding yang mendapatkan plasebo (menyerupai intervensi tetapi tidak

memiliki bahan aktif alias inert), atau pembanding yang mendapatkan intervensi lainnya,

misalnya terapi standar. Kesesuaian antara pembanding dalam riset dan pembanding yang

dihadapi pada pasien menentukan efikasi dan efektivitas intervensi ketika diterapkan kepada

pasien. Sebuah terapi baru yang ditemukan tidak lebih efektif ketika dibandingkan terapi standar

tidak berarti tidak efektif untuk diberikan kepada pasien jika dibandingkan dengan tidak

memberikan terapi apapun kepada pasien. Terapi baru tersebut bisa saja digunakan sebagai

pengganti (substitute) terapi standar dengan efektivitas yang serupa dengan terapi standar.

Kedua, pengambilan keputusan untuk menerapkan intervensi medis perlu membandingkan

manfaat dan kerugian dari melakukan intervensi. Sebuah intervensi yang memberikan manfaat

(benefit, utility) hampir selalu memberikan kerugian yang tidak diinginkan (harm) dan biaya.

Biaya adalah nilai ekonomi dari sumberdaya yang dibutuhkan untuk menyediakan dan

melakukan intervensi. Kerugian (disutility) akibat intervensi, misalnya depresi akibat

penggunaan suatu sitostatika, stigma akibat menjalani suatu tes diagnostik, dapat dipandang dan

dinilai oleh pasien secara kuantitatif sebagai suatu biaya, disebut ―intangible cost‖. Baik
manfaat maupun kerugian dan biaya secara kuantitatif dan kualitatif perlu diperbandingkan.

Besarnya manfaat dan kerugian intervensi bervariasi, mulai dari sangat kecil (negligible) hingga

sangat substansial. Prinsip EBM, intervensi yang dapat diterapkan adalah intervensi yang

―doing more good than harm‖. Ketiga, pengambilan keputusan klinis hakikatnya adalah

menentukan pilihan dari berbagai alternatif intervensi. Klinisi harus memilih antara memberikan

atau tidak memberikan intervensi, atau memilih sebuah dari beberapa alternatif intervensi. Jadi

klinisi harus membandingkan manfaat dan kerugian dari masing-masing alternatif, dan

menentukan pilihan sebuah dari beberapa alternatif intervensi. Pada beberapa situasi,

menentukan pilihan dari beberapa alternatif pilihan.

Prinsipnya, alternatif yang dipilih adalah alternatif yang menujukkan rasio kerugian

(biaya) dan manfaat, atau ―cost-effectiveness ratio‖ (CER), yang lebih rendah. Dengan kata lain,

pilih alternatif yang lebih banyak memberikan manfaat (good) dibandingkan dengan kerugian

(harm) yang diakibatkannya.

Outcome Tiga pertanyaan perlu dijawab bertalian dengan hasil:

1. Apakah hasil intervensi yang diharapkan pasien?

2. Apakah hasil intervensi yang akan diberikan sesuai dengan keinginan dan kebutuhan

sesungguhnya (real need) pasien?

3. Apakah pasien memandang manfaat dari intervensi lebih penting daripada kerugian

yang diakibatkannya?

Prinsip EBM, hasil yang diharapkan dari suatu intervensi adalah hasil yang berorientasi pada

pasien. Pengambilan keputusan klinis harus memperhatikan nilai-nilai dan ekspektasi pasien.

Menerapkan bukti riset terbaik dengan mengabaikan nilai-nilai dan preferensi pasien dapat
menyebabkan lebih banyak mudarat (harm) daripada manfaat (benefit, utility) kepada pasien.

Karena itu pengambilan keputusan klinis untuk pasien tidak bersifat ‗take-itor-leave it‘ yang

ditentukan semaunya dokter (‗provider-driven‘) tanpa memberikan opsi kepada pasien.

Demikian pentingnya nilai-nilai dan hak pasien, sehingga pengambilan keputusan bersama

pasien-dokter untuk tidak menerapkan intervensi yang terbukti efektif karena

mempertimbangkan nilai-nilai pasien bisa dipandang suatu praktik EBM yang baik. Contoh,

pemberian kemoterapi yang agresif untuk melawan kanker harus memperhatikan preferensi dan

toleransi pasien terhadap ketidaknyamanan, kerugian (harm), ketidakpastian hasil, dan biaya

penggunaan kemoterapi tersebut. Meskipun bukti menunjukkan, pemberian kemoterapi agresif

pada suatu kanker bisa memperpanjang hidup pasien tiga bulan lebih lama, penerapan

kemoterapi tergantung dari preferensi pasien untuk memilih antara waktu hidup yang lebih lama

atau menghindari penderitaan dan kerugian akibat kemoterapi itu. Kelayakan Lima pertanyaan

perlu dijawab berkaitan dengan kelayakan (feasibility) intervensi yang akan diberikan kepada

pasien:

1. Apakah intervensi tersedia di lingkungan pasien/ di tempat praktik?

2. Apakah tersedia sumberdaya yang dibutuhkan untuk mengimplementasi intervensi dengan

berhasil?

3. Apakah tersedia klinisi/ tenaga kesehatan profesional yang mampu mengimplementasikan

intervensi? 4. Jika intervensi tersedia di lingkungan pasien/ di tempat praktik, apakah intervensi

terjangkau secara finansial (affordable)?

5. Apakah konteks sosial-kultural pasien menerima penggunaan intervensi yang akan diberikan

kepada pasien?
Kelayakan (feasibility) adalah “the quality of being doable” atau “capable of being done

with means at hand and circumstances as they are”. Kelayakan menunjukkan sejauh mana

intervensi bisa dilakukan dengan metode yang ada dan pada lingkungan yang diperlukan.

Meskipun sebuah intervensi efektif, tepat (appropriate) untuk diterapkan kepada individu pasien,

sesuai dengan kebutuhan pasien, penerapan intervensi tergantung dari kelayakan, yaitu

ketersediaan sumber daya di lingkungan praktik klinis. Contoh, sebuah intervensi terbukti

efektif, memberikan lebih banyak manfaat daripada mudarat, dan secara sosio-kultural diterima

oleh pasien. Tetapi intervensi tidak tersedia di lingkungan pasien, atau tersedia tetapi pasien

tidak mampu membayar biaya intervensi. Intervensi tersebut tentu tidak fisibel untuk dilakukan.

Intervensi fisibel untuk dilakukan jika terdapat pihak ketiga yang membayar biaya pelayanan

medis, misalnya Jamkesmas.

5 Evaluasi Kinerja EBM


Kinerja penerapan EBM perlu dievaluasi, terdiri atas tiga kegiatan sebagai berikut

(Hollowing dan Jarvik, 2007). Pertama, mengevaluasi efisiensi penerapan langkah-langkah

EBM. Penerapan EBM belum berhasil jika klinisi membutuhkan waktu terlalu lama untuk

mendapatkan bukti yang dibutuhkan, atau klinisi mendapat bukti dalam waktu cukup singkat

tetapi dengan kualitas bukti yang tidak memenuhi ―VIA‖ (kebenaran, kepentingan, dan

kemampuan penerapan bukti). Kedua contoh tersebut menunjukkan inefisiensi implementasi

EBM. Kedua, melakukan audit keberhasilan dalam menggunakan bukti terbaik sebagai dasar

praktik klinis. Audit klinis adalah “a quality improvement process that seeks to improve patient

care and outcomes through systematic review of care against explicit criteria and the

implementation of change". Dalam audit klinis dilakukan kajian (disebut audit) pelayanan yang

telah diberikan, untuk dievaluasi apakah terdapat kesesuaian antara pelayanan yang sedang/ telah

diberikan (being done) dengan kriteria yang sudah ditetapkan dan harus dilakukan (should be

done). Jika belum/ tidak dilakukan, maka audit klinis memberikan saran kerangka kerja yang

dibutuhkan agar bisa dilakukan upaya perbaikan pelayanan pasien dan perbaikan klinis pasien.

Ketiga, mengidentifikasi area riset di masa mendatang. Kendala dalam penerapan EBM

merupakan masalah penelitian untuk perbaikan implementasi EBM di masa mendatang. Hasil

evaluasi kinerja implementasi EBM berguna untuk memperbaiki penerapan EBM, agar

penerapan EBM di masa mendatang menjadi lebih baik, efektif, dan efisien. Jadi langkahlangkah

EBM sesungguhnya merupakan fondasi bagi program perbaikan kualitas pelayanan kesehatan

yang berkelanjutan (continuous quality improvement).

Anda mungkin juga menyukai