Pembimbing:
Oleh:
201820401011123
Kelompok G31
2019
Evidence based medicine
merupakan istilah baru penerapan epidemiologi klinik dalam pelayanan pasien. Sedang
epidemiologi klinik adalah penerapan prinsip epidemiologi populasi untuk pelayanan klinis
pasien. Fletcher dan Fletcher (2005) dalam buku‖ Clinical Epidemiology: The Essentials‖
epidemiology to the care of patient”. Sedang epidemiologi klinik (clinical epidemiology) sudah
dikenal 50 tahun yang lalu ketika John R Paul mendefinisikan epidemiologi klinik “a marriage
decision making in the individual case which is the daily fare of clinical medicine” –
epidemiologi klinik adalah perkawinan antara konsep kuantitatif yang digunakan ahli
epidemiologi untuk mempelajari penyakit pada populasi dan pengambilan keputusan pada
individu kasus yang merupakan kegiatan sehari-hari kedokteran klinis (Last, 1988). Definisi
tersebut mengisyaratkan, epidemiologi klinik merupakan ilmu yang berasal dari dua disiplin
―clinical‖ karena epidemiologi klinik bertujuan membantu klinisi untuk membuat keputusan
klinis dengan lebih baik untuk pelayanan pasien, menyangkut diagnosis, kausa, prognosis, terapi,
konsep, dan metode yang digunakan untuk membuat keputusan klinis pasien diadopsi dari
populasi, epidemiologi klasik) adalah “the study of the distribution and determinants of health-
related states or events in specified populations, and the application of this study to control of
health problems” - Epidemiologi adalah ―ilmu tentang distribusi dan determinan keadaan atau
peristiwa terkait kesehatan pada populasi tertentu, dan penerapannya untuk mengendalikan
masalah kesehatan. Epidemiologi klinik disebut ―epidemiology‖ karena masalah klinis individu
pasien diamati, dikuantifikasi, dan dianalisis dalam konteks populasi yang melatari pasien.
Berbeda dengan pendekatan pelayanan biomedis yang tidak ditujukan spesifik kepada masing-
masing pasien, maupun pendekatan klinis yang mengindividualisasi masalah klinis pasien tanpa
mengindividualisasi pelayanan pasien menurut konteks yang melatari pasien. Konteks pasien
kesalahan dalam menentukan diagnosis, kausa, prognosis, atau terapi kepada pasien karena
kegagalan klinisi untuk mengindividualisasi pasien, yaitu pengabaian klinisi terhadap elemen
lingkungan, perilaku, dan preferensi pasien yang penting dalam merencanakan pelayanan yang
tepat.
EBM bertujuan membantu klinisi memberikan pelayanan medis yang lebih baik agar
diperoleh hasil klinis (clinical outcome) yang optimal bagi pasien, dengan cara memadukan bukti
terbaik yang ada, keterampilan klinis, dan nilainilai pasien (Gambar 1). Penggunaan bukti ilmiah
terbaik memungkinkan pengambilan keputusan klinis yang lebih efektif, aman, bisa diandalkan
(reliable), efisien, dan costeffective. Dua strategi digunakan untuk merealisasi tujuan EBM.
Pertama, EBM mengembangkan sistem pengambilan keputusan klinis berbasis bukti terbaik,
yaitu bukti dari riset yang menggunakan metodologi yang benar. Metodologi yang benar
diperoleh dari penggunaan prinsip, konsep, dan metode kuantitatif epidemiologi. Pengambilan
keputusan klinis yang didukung oleh bukti ilmiah yang kuat memberikan hasil yang lebih bisa
diandalkan Dengan menggunakan bukti-bukti yang terbaik dan relevan dengan masalah pasien
atau sekelompok pasien, dokter dapat memilih tes diagnostik yang berguna, dapat mendiagnosis
penyakit dengan tepat, memilih terapi yang terbaik, dan memilih metode yang terbaik untuk
mencegah penyakit. Beberapa dokter mungkin berargumen, mereka telah menggunakan ―bukti‖
dalam membuat keputusan. Apakah ―bukti‖ tersebut merupakan bukti yang baik? Tidak.
―Bukti‖ yang diklaim kebanyakan dokter hanya merupakan pengalaman keberhasilan terapi
yang telah diberikan kepada pasien sebelumnya, nasihat mentor/ senior/ kolega, pendapat pakar,
―bukti‖ yang diperoleh secara acak dari artikel jurnal, abstrak, seminar, simposium. ―Bukti‖ itu
merupakan informasi bias yang diberikan oleh industri farmasi dan ―detailer obat‖. Sebagian
dokter menelan begitu saja informasi tanpa menilai kritis kebenarannya, suatu sikap yang disebut
―gullible‖ yang menyebabkan dokter ―poorly-informed‖ dan tidak independen dalam membuat
keputusan medis.
Bukti ilmiah terbaik yang ada perlu dipadukan dengan keterampilan/ keahlian klinis
dokter. Keterampilan klinis diperoleh secara akumulatif seorang klinisi melalui pendidikan,
pengalaman klinis, dan praktik klinis. Keterampilan klinisi yang tinggi diwujudkan dalam
berbagai bentuk, khususnya penentuan diagnosis yang lebih akurat dan efisien, pemilihan terapi
yang lebih bijak, yang memperhatikan preferensi pasien. Pengalaman dan keterampilan klinis
dokter merupakan komplemen penting bagi buktibukti, yang diperlukan untuk menghasilkan
pelayanan medis yang efektif. Tetapi penggunaan pengalaman dan keterampilan klinis saja tidak
menjamin pelayanan medis yang dapat diandalkan. Paradigma baru EBM mengajarkan,
pembuatan keputusan klinis yang baik tidak cukup jika hanya didasarkan pada pengalaman klinis
yang tidak sistematis, intuisi, maupun alasan patofisiologi, khususnya jika masalah klinis pasien
penyakit ke pelayanan medis berorientasi pasien (patient-centered medical care). Selama lebih
dari 80 tahun sccara kasat mata terlihat kecenderungan bahwa praktik kedokteran telah terjebak
―fragmented‖ dalam memandang dan mengatasi masalah klinis pasien. Dengan pendekatan
reduksionis, bukti-bukti yang dicari adalah bukti yang berorientasi penyakit, yaitu ―surrogate
end points‖, intermediate outcome, bukti-bukti laboratorium, bukannya bukti yang bernilai bagi
pasien, bukti-bukti yang menunjukkan perbaikan klinis yang dirasakan pasien. EBM bertujuan
meletakkan kembali pasien sebagai ―principal‖ atau ―pusat‖ pelayanan medis. EBM
mengembalikan fokus perhatian bahwa tujuan sesungguhnya pelayanan medis adalah untuk
membantu pasien hidup lebih panjang, lebih sehat, lebih produktif, dengan kehidupan yang
bebas dari gejala ketidaknyamanan. Implikasi dari re-orientasi praktik kedokteran tersebut, bukti-
bukti yang dicari dalam EBM bukan bukti-bukti yang berorientasi penyakit (Disease-Oriented
Evidence, DOE), melainkan bukti yang berorientasi pasien (Patient-Oriented Evidence that
Matters, POEM). Di samping itu, paradigma EBM mengingatkan kembali pentingnya hubungan
antara pasien sebagai ‗principal‘ dan dokter sebagai ‗agent‘ yang dibutuhkan untuk
sense of being known. Praktik EBM menuntut dokter untuk mengambil keputusan medis
bersama pasien (shared decision making), dengan memperhatikan preferensi, keprihatinan, nilai-
nilai, ekspektasi, dan keunikan biologis individu pasien. Sistem nilai pasien meliputi
pertimbangan biaya, keyakinan agama dan moral pasien, dan otonomi pasien, dalam menentukan
pilihan yang terbaik bagi dirinya. Guyattt et al. (2004) mengingatkan dalam editorial BMJ, ―...
Because clinicians' values often differ from those of patients, even those who are aware of the
evidence risk making the wrong recommendations if they do not involve patients in the decision
making process ". Bukti klinis eksternal bisa memberikan informasi tentang pilihan yang lebih
baik untuk suatu terapi, tetapi tidak bisa menggantikan hak pasien, sistem nilai pasien, preferensi
pasien, dan harapan pasien, tentang cara yang baik untuk mengatasi masalah klinis pasien.
Alasan rasional, bukti eksternal yang terbaik yang dihasilkan riset merupakan inferensi yang
bersifat umum di tingkat populasi. Karena bersifat umum maka bukti tersebut tidak bisa
mengabaikan keunikan masing-masing individu pasien ketika sebuah tes diagnostik atau terapi
Ada beberapa alasan perlunya EBM, dua alasan utama sebagai berikut. Pertama, jumlah
publikasi medis tumbuh sangat cepat, sehingga para dokter dan mahasiswa kedokteran
kewalahan untuk mengidentifikasi bukti yang relevan, berguna, dan dapat dipercaya. Bukti riset
yang dipublikasikan sangat banyak jumlahnya. Hampir dua juta artikel kedokteran diterbitkan
setiap tahun. Padahal, “not all evidences are created equal”. Tidak semua artikel hasil riset
memberikan bukti-bukti dengan kualitas dan validitas (kebenaran) yang sama. Suatu intervensi
diagnostik maupun terapetik yang efektif dalam memberikan perbaikan klinis kepada pasien bisa
pada saat yang sama mengandung risiko kerugian dan biaya bagi pasien. Selain itu tidak semua
bukti dibutuhkan untuk pasien dalam praktik klinis. Karena itu para dokter dan tenaga kesehatan
profesional lainnya perlu mengasah keterampilan untuk memilah dan memilih bukti-bukti terbaik
yang bisa memberikan informasi yang relevan dan terpercaya, dengan cara yang efektif,
produktif, dan efisien (cepat). Teknologi informasi memberikan kontribusi besar bagi
singkat. Dalam dua dekade terakhir telah dilakukan upaya untuk mengembangkan, mensintesis,
menata bukti-bukti pada berbagai database hasil riset, yang bisa digunakan secara online untuk
membantu membuat keputusan klinis. MedLine (PubMed), dan Embase, merupakan contoh
database hasil riset primer kedokteran yang telah dipublikasikan. Cochrane Library merupakan
contoh database hasil riset sekunder (systematic-review/ meta-analysis) yang mensintesis hasil
riset primer dengan topik sama. Pada saat yang sama para ahli epidemiologi mengembangkan
strategi untuk menemukan, mengevaluasi, dan menilai kritis tes diagnostik, terapi, dan aplikasi
lainnya, untuk mendukung praktik EBM. Metode EBM memudahkan para dokter untuk
mendapatkan informasi kedokteran yang dapat dipercaya dari database primer dan sekunder.
Kegiatan EBM meliputi proses mencari dan menyeleksi bukti dari artikel hasil riset,
kedokteran dan praktisi yang memberikan pelayanan medis. Muncul keprihatinan para
stakeholders tentang mutu pelayanan kesehatan. WHO dalam Laporan Tahunan Kesehatan
Dunia 2008 ―Primary Health Care – Now More Than Ever‖, mengemukakan lima masalah
serius pelayanan kesehatan di dunia: (1) inverse care; (2) impoverishing care; (3) fragmented
care; (4) unsafe care; (5) misdirected care (WHO, 2008). Sistem pelayanan kesehatan yang
bertajuk ―To Err Is Human‖ mengingatkan pentingnya mengatasi berbagai masalah pelayanan
medis yang terjadi di negara maju dan negara berkembang. Berbagai masalah tersebut mencakup
penggunaan prosedur diagnostik yang tidak memiliki nilai informasi, terapi yang tidak efektif,
biaya pelayanan kesehatan yang tinggi, pelayanan berkualitas rendah, kesalahan dalam praktik
medis (medical error), pelayanan medis yang tidak manusiawi, pengambilan keputusan klinis
tanpa dasar bukti ilmiah riset yang kuat. Berbagai masalah tersebut sebagian besar bisa diatasi
jika dokter menerapkan prinsip EBM. Per definisi EBM merupakan pendekatan baru dalam
Sebuah strategi yang efisien untuk menerapkan EBM adalah strategi ―push and pull‖.
Dengan ―PUSH‖ (JUST IN CASE) dimaksudkan, bukti-bukti riset terbaik tentang masalah
klinis pasien yang sering atau banyak dijumpai di tempat praktik secara proaktif dicari dan
dipelajari SEBELUM pasien mengunjungi praktik klinis, lalu bukti-bukti tersebut disimpan ke
dalam file atau memori dokter. Dengan ―PULL‖ (JUST IN TIME) dimaksudkan, buktibukti
riset terbaik yang tersimpan dalam file atau memori dokter ―ditarik‖, diambil, dan digunakan
KETIKA pasien mengunjungi praktik klinis. Intinya, praktik EBM terdiri atas lima langkah
(Tabel 1)
Kelima langkah EBM bisa disingkat ―5A‖: asking, acquiring, appraising, applying,
seorang dokter memberikan pelayanan medis kepada pasien hampir selalu timbul pertanyaan di
dalam benaknya tentang diagnosis, kausa, prognosis, maupun terapi yang akan diberikan kepada
pasien. Sebagian dari pertanyaan itu cukup sederhana atau merupakan pertanyaan rutin yang
(2) Apakah gejala dan tanda yang terbanyak dijumpai tentang malaria?
umum yang lazim dikemukakan oleh mahasiswa kedokteran, misalnya fisiologi dan pato-
fisiologi penyakit. Bagi kebanyakan dokter praktik, pertanyaan latar belakang mudah dijawab
dengan menggunakan pengetahuan yang diperoleh dari pendidikan dokter, pengalaman praktik
klinis, mengikuti seminar, continuing medical education (CME), membuka buku teks, ataupun
FOREGROUND QUESTIONS. Banyak pertanyaan klinis lainnya yang sulit dijawab, yang tidak
memadai untuk dijawab hanya berdasarkan pengalaman, membaca buku teks, atau mengikuti
seminar. Pertanyaan yang sulit dijawab disebut pertanyaan latar depan (foreground questions).
Pertanyaan latar depan bertujuan untuk memperoleh informasi spesifik yang dibutuhkan
untuk membuat keputusan klinis. Contoh pertanyaan klinis yang sulit dijawab/ foreground
questions:
(1) Apakah vaksin MMR (mumps, measles, rubella) menyebabkan autisme pada anak,
(2) Apakah skrining kanker prostat, baik dengan teknik ‗digital rectal examination‘
(DRE) ataupun tes darah ‗prostate-specific antigen‘ (PSA), berguna untuk menurunkan
mortalitas spesifik kanker prostat, menurunkan mortalitas semua kausa, meningkatkan kualitas
mencegah rekurensi demam rematik dan infeksi streptokokus tenggorok? Manakah yang lebih
(4) Manakah yang lebih akurat, magnetic resonance imaging (MRI) atau computed
tomography (CT) scan, untuk mengidentifikasi stroke kecil multipel di dalam otak?
(5) Bagaimana efektivitas antigen H. pylori feses dibandingkan dengan endoskopi untuk
(6) Manakah yang lebih baik, implantasi lensa intra-okuler multifokal atau monofokal
menurunkan ketergantungan pada kacamata, mengurangi kesilauan dan sensitivitas kontras, pada
(7) Manakah yang lebih efektif, doxapram intravena atau methylxanthine (misalnya,
theophylline, aminophylline atau caffeine) intravena untuk pengobatan apnea pada bayi
prematur?
(9) Apakah PRO 140, suatu antibodi buatan laboratorium untuk memblok reseptor CCR5
pada sel CD4, efektif dan aman untuk mengobati pasien yang terinfeksi HIV-1?
mortalitas dan morbiditas orang dewasa dan anak dengan infeksi HIV?
prognosis, efektivitas dan kerugian terapi, tidak memadai dan tidak dibenarkan jika diperoleh
jawabnya hanya berdasarkan mengikuti seminar, membaca tinjauan pustaka dan buku teks.
Pertanyaan latar depan memerlukan upaya yang lebih sistematis untuk menjawabnya, dengan
menggunakan bukti-bukti dari sumber database hasil riset yang otoritatif dan terpercaya
kebenarannya. Jawaban yang benar atas pertanyaan latar depan memerlukan keterampilan dokter
untuk menilai kritis kualitas bukti hasil riset. Bukti-bukti terbaik dan terkini untuk menjawab
pertanyaan latar depan diperoleh dari aneka sumber data base hasil riset yang bisa diakses
Agar jawaban yang benar atas pertanyaan klinis latar depan bisa diperoleh dari database, maka
pertanyaan itu perlu dirumuskan dengan spesifik, dengan struktur terdiri atas empat komponen,
contoh, seorang dokter menghadapi pasien laki-laki berusia 30 tahun dengan keluhan nyeri
abdomen akut. Dokter itu masih ragu tentang kebenaran diagnosis yang dibuat setelah
melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dia ingin mengetahui tes diagnostik yang baik
yang bisa membantu membuat diagnosis dengan lebih meyakinkan. Pertanyaan klinis yang baik
dirumuskan dengan spesifik sebagai berikut, “Manakah yang lebih baik, computed tomography
(CT) atau ultrasonografi untuk mendiagnosis apendisitis pada laki-laki usia 30 tahun dengan
nyeri abdomen akut?” Patient and problem Pertanyaan klinis perlu mendeskripsikan dengan jelas
karakteristik pasien dan masalah klinis pasien yang dihadapi pada praktik klinis. Karakteristik
pasien dan masalahnya perlu dideskripsikan dengan eksplisit agar bukti-bukti yang dicari dari
database hasil riset relevan dengan masalah pasien dan dapat diterapkan, yaitu bukti-bukti yang
berasal dari riset yang menggunakan sampel pasien dengan karakteristik serupa dengan pasien/
populasi pasien yang datang pada praktik klinik. Keserupaan antara karakteristik demografis,
morbiditas, klinis, dari sampel penelitian dan pasien yang datang pada praktik klinik penting
Jika karakteristik kedua populasi berbeda, maka bukti-bukti yang dicari tidak dapat diterapkan,
atau dapat diterapkan dengan pertimbangan yang hati-hati dan bijak (conscientious and judicious
judgment). Masalah klinis yang dihadapi dokter dan perlu dijawab dengan metode EBM perlu
dirumuskan dengan jelas apakah mengenai kausa/ etiologi penyakit pasien, akurasi tes
Intervention Pertanyaan klinis perlu menyebutkan dengan spesifik intervensi yang ingin
diketahui manfaat klinisnya. Intervensi diagnostik mencakup tes skrining, tes/ alat/ prosedur
diagnostik, dan biomarker. Intervensi terapetik meliputi terapi obat, vaksin, prosedur bedah,
konseling, penyuluhan kesehatan, upaya rehabilitatif, intervensi medis dan pelayanan kesehatan
lainnya.
Tetapi intervensi yang dirumuskan dalam pertanyaan klinis bisa juga merupakan paparan
(exposure) suatu faktor yang diduga merupakan faktor risiko/ etiologi/ kausa yang
mempengaruhi terjadinya penyakit/ masalah kesehataan pada pasien. Intervensi bisa juga
manfaat suatu tes diagnostik, maka akurasi tes diagnostik itu perlu dibandingkan dengan
keberadaan penyakit yang sesungguhnya, tes diagnostik yang lebih akurat yang disebut rujukan
standar (standar emas), atau tes diagnostik lainnya. Hanya dengan melakukan perbandingan
maka dapat disimpulkan apakah tes diagnostik tersebut bermanfaat atau tidak bermanfaat untuk
dilakukan. Sebagai contoh, jika hasil tes diagnostik mendekati keberadaan penyakit yang
sesungguhnya, atau mendekati hasil tes diagnostik standar emas, maka tes diagnostik tersebut
memiliki akurasi yang baik, sehingga bermanfaat untuk dilakukan. Demikian pula untuk menarik
kesimpulan tentang efektivitas terapi, maka hasil dari pemberian terapi perlu dibandingkan
dengan hasil tanpa terapi. Jika terapi memberikan perbaikan klinis pada pasien, tetapi pasien
tanpa terapi juga menunjukkan perbaikan klinis yang sama, suatu keadaan yang disebut ‗efek
plasebo‘, maka terapi tersebut tidak efektif. Pembanding yang digunakan tidak harus tanpa
intervensi (―do nothing‖) ataupun plasebo. Pembanding bisa juga merupakan intervensi
alternatif atau terapi standar yang digunakan selama ini (―status quo‖). Jenis pembanding yang
digunakan sangat penting untuk dicermati karena sangat mempengaruhi kesimpulan dan
penerapan temuan. Contoh, sebuah terapi baru mungkin memberikan perbaikan klinis cukup
besar dan secara statistik signifikan ketika dibandingkan dengan tanpa terapi. Dinyatakan dalam
ukuran efek terapi yang disebut NNT (number needed to treat), terapi baru mungkin memiliki
NNT cukup rendah sehingga cukup efektif dibandingkan dengan plasebo. Tetapi terapi baru
sesungguhnya tidak memberikan perbaikan inkremental klinis dengan cukup besar dan secara
statistik tidak signifikan jika dibandingkan dengan terapi standar. Jika efek terapi dinyatakan
dalam NNT, terapi baru mungkin memiliki NNT yang tidak cukup kecil untuk bisa disebut
efektif jika dibandingkan dengan terapi lama (standar). Bila dalam aspek kerugian (harm,
adverse events) serta biaya yang diakibatkan oleh terapi baru dan terapi standar sama, maka tidak
ada alasan untuk menyimpulkan terapi baru lebih baik daripada terapi standar.
Outcome Efektivitas intervensi diukur berdasarkan perubahan pada hasil klinis (clinical
outcome). Konsisten dengan triad EBM, EBM memandang penting hasil akhir yang berorientasi
Patient-oriented outcome dapat diringkas menjadi ―3D‖: (1) Death; (2) Disability; dan
(3) Discomfort. Intervensi medis seharusnya bertujuan untuk mencegah kematian dini, mencegah
1. Death. Death (kematian) merupakan sebuah hasil buruk (bad outcome) jika terjadi dini
atau tidak tepat waktunya. Contoh, balita yang mati akibat dehidrasi pasca diare, kematian
mendadak (sudden death) yang dialami laki-laki usia 50 tahun pasca serangan jantung,
sehari-hari di rumah, di tempat bekerja, melakukan aktivitas sosial, atau melakukan rekreasi.
Contoh, kebutaan karena retinopati diabetik pada pasien diabetes melitus, hemiplegi pasca
serangan stroke, merupakan kecacatan yang seharusnya bisa dihindari. Kecacatan mempengaruhi
kualitas hidup pasien, diukur dengan QALY (quality-adjusted life year), DALY (disability-
mual, sesak, gatal, telinga berdenging, cemas, paranoia, dan aneka gejala lainnya yang
mengganggu kenyamanan kehidupan normal manusia, dan menyebabkan penderitaan fisik dan/
atau psikis manusia. Contoh, dispnea pada pasien dengan asma atau kanker paru, merupakan
ketidaknyamanan yang menurut ekspektasi pasien penting, yang lebih penting untuk diatasi
daripada gambaran hasil laboratorium yang ditunjukkan tentang penyakit itu sendiri.
Ketidaknyamanan merupakan bagian dari kualitas hidup pasien. Bukti yang digunakan dalam
EBM adalah bukti yang bernilai bagi pasien (Patient Oriented Evidence that Matters, “POEM”),
bukan bukti yang berorientasi penyakit (Disease Oriented Evidence, ―DOE‖). Bukti yang
berorientasi penyakit meliputi bukti prematur (premature evidence), ―surrogate end points‖, atau
glycohemoglobin, volume akhir diastolik ventrikel kiri, persentase stenosis arteri koroner,
saturasi O2, ukuran tumor, waktu operasi, dan sebagainya. Perlu dicamkan bahwa bukti tentang
penyakit tidak identik dengan bukti perbaikan klinis pasien. Hasil riset menunjukkan, sering kali
bukti penyakit ( hasil pemeriksaan laboratorium) tidak berkorelasi atau berkorelasi lemah dengan
bukti perbaikan klinis pasien. Contoh, terapi antihipertensi menurunkan tekanan darah dan
kematian. Jadi bukti penyakit sesuai dengan bukti tentang pasien. Sebaliknya pemberian
contraction) yang ditunjukkan oleh EKG. Tetapi encainide memiliki efek inotropik negatif,
meningkatkan mortalitas pasien, meningkatkan risiko aritmia fatal Jadi bukti tentang penyakit
bertentangan dengan bukti tentang pasien . Demikian pula prostate specific antigen (PSA)
mampu mendeteksi dini kanker prostat, tetapi tidak memberikan dampak yang signifikan bagi
Langkah 2: Mencari Bukti Setelah merumuskan pertanyaan klinis secara terstruktur, langkah
berikutnya adalah mencari bukti-bukti untuk menjawab pertanyaan tersebut. Bukti adalah hasil
dari pengamatan dan eksperimentasi sistema. Jadi pendekatan berbasis bukti sangat
mengandalkan riset, yaitu data yang dikumpulkan secara sistematis dan dianalisis dengan kuat
setelah perencanaan riset (Banta 2003). Bukti ilmiah yang dicari dalam EBM memiliki ciri-ciri
―EUREKA‖ - Evidence that is Understandable, Relevant, Extendible, Current and Appraised –
yaitu bukti yang dapat dipahami, relevan, dapat diterapkan/ diekstrapolasi, terkini, dan telah
dilakukan penilaian.
Judul lazimnya mengindikasikan variabel yang diteliti (baik intervensi maupun variabel
hasil yang diteliti), populasi sasaran, dan setting/ lokasi penelitian. Jadi judul artikel
sesungguhnya sudah bisa mengisyaratkan apakah artikel yang bersangkutan relevan dan akan
menjawab pertanyaan klinis (―PICO‖). Jika judul tidak relevan dengan praktik klinis, artikel
tersebut tidak perlu dibaca, dan klinisi bisa meneruskan pencarian bukti dari artikel lainnya.
Sebaliknya jika relevan dengan praktik klinis, klinisi perlu membaca abstrak artikel.
(berisi latar belakang dan tujuan), SUBJECT/ MATERIAL AND METHODS (subjek/ materi
dan metode), RESULTS (hasil), dan CONCLUSIONS (kesimpulan). Jika isi abstrak
mengindikasikan bahwa artikel itu tidak menjawab pertanyaan klinis (―PICO‖) dan/ atau
menggunakan metode dasar yang tidak benar, maka teruskan dengan mencari bukti dari artikel
lainnya. Sebaliknya jika relevan, maka lakukan penilaian kritis (critical appraisal) menyangkut
―VIA‖ (validity, importance, acceptability) bukti-bukti pada artikel tersebut. Editorial berguna
untuk dibaca, karena mengulas dan memberi komentar atau kritik terhadap artikel asli, sehingga
memberikan konteks masalah klinis. Editorial biasanya merujuk kepada artikel dari sejumlah
jurnal lain, sehingga merupakan sinopsis (ringkasan) dari publikasi artikel asli, dan memaparkan
isu yang perlu mendapat perhatian khusus. Sumber Bukti Keberhasilan menerapkan EBM sangat
tergantung pada ketersediaan bukti terbaik dan terkini. Dokter membutuhkan akses cepat
terhadap bukti tentang diagnosis, terapi, dan pencegahan penyakit atau masalah kesehatan
pasien. Idealnya bukti tersebut sesuai dengan karakteristik dan konteks individu pasien atau
populasi, dan sumberdaya yang ada pada pemberi pelayanan kesehatan. Lalu di mana sebaiknya
dokter mencari bukti? Buku teks bukan merupakan sumber bukti yang baik untuk foreground
questions, karena umumnya kedaluwarsa dan hanya memadai untuk background questions.
Sumber bukti yang dianjurkan untuk foreground questions adalah sumber yang berbasis artikel
riset yang dipublikasikan, yang valid (benar) dan aktual (terkini). Bukti yang disediakan lebih
mudah untuk digunakan jika secara eksplisit merupakan hasil dari proses penyiapan dan
penyajian untuk menjawab masalah klinis pasien, berbasis ringkasan sejumlah artikel dan kajian
riset. Sumber bukti klinis dapat dibagi menjadi dua kategori: sumber primer dan sumber
sekunder. Sumber bukti primer adalah bukti dari riset asli. Sumber sekunder adalah bukti dari
ringkasan arau sintesis dari sejumlah riset asli. Mengembangkan model hirarki organisasi
―Sintesis‖ (kajian sistematis pada level berikutnya), ―Sinopsis‖ (deskripsi singkat dari artikel
dan kajian jurnal EBM), dan ―Sistem‖ (sistem pendukung keputusan berbasis komputer yang
menghubungan karakteristik individu pasien dengan bukti yang relevan, terletak pada puncak
hirarki). Hirarki tersebut menunjukkan tingkat kesiapan bukti dan kecepatan penggunaan bukti.
menyarankan klinisi untuk menggunakan model hirarki ―4s‖ dalam mencari bukti,
berturut-turut dimulai dari ―sistem‖, ―sinopsis‖, ―sintesis‖, diakhiri dengan ―studi‖. Makin
tinggi sumber bukti pada hirarki, makin dekat bukti yang dipersiapkan dan disajikan dengan
pertanyaan klinis yang dihadapi klinisi pada praktik klinis, makin cepat dan relevan klinisi dalam
mendapatkan bukti. Meski demikian penggunaan model ―4S‖ perlu dilakukan dengan hati-hati.
Haynes (2006) sendiri dengan mengutip kata-kata George Box, seorang statistikawan industri,
―All models are wrong, some are useful‖, mengingatkan bahwa tidak ada model yang sempurna.
Semua model adalah salah, tetapi beberapa berguna. Demikian pula model hirarki ―4S‖
memiliki kekurangan terlalu menyederhanakan hubungan antara berbagai sumber pelayanan
informasi klinis tersebut. Model ―4S‖ sebaiknya dipahami sebagai gambaran tentang tingkat
kemudahan pelayanan informasi dari masing-masing sumber bukti untuk digunakan. Sebagai
contoh, ―sistem‖ dan ―sinopsis‖ merupakan sumber pelayanan informasi yang memang secara
eksplisit dipersiapkan dan disajikan untuk menjawab pertanyaan klinis spesifik yang dibutuhkan
klinisi. Karena itu ―sistem‖ dan ―sinopsis‖ memberikan keuntungan lebih cepat untuk bisa
digunakan oleh klinisi. Tetapi klinisi perlu mencermati siapa yang membuat ringkasan (sinopsis).
Reputasi pembuat ringkasan menentukan validitas (kebenaran) bukti/ informasi. Klinisi perlu
memilih sumber ―sistem‖ dan ―sinopsis‖ yang otoritatif/ kredibel. ‖Sintesis‖ dan ―studi‖ tidak
secara khusus dipersiapkan untuk memberikan pelayanan informasi klinis, karena itu klinisi
perlu mengolah dan menyesuaikan informasi yang diperoleh dengan masalah klinis pasien.
Dalam hal validitas (kebenaran) bukti, ―sintesis‖ yaitu ―systematic review‖ dan ―meta-
analisis‖, merupakan sumber bukti yang paling otoritatif/ kredibel. Tetapi kualitas ―systemtic
review‖ dan ―meta-analisis‖ juga tergantung dari kualitas masing-masing ―studi‖ yang dikaji.
Bukti yang diberikan ―systematic review‖ dan ―meta-analisis‖ perlu dianalisis dengan kritis
(critical appraisal) sebelum diterapkan pada praktik klinis. Sistem. Dengan ―sistem‖
dimaksudkan sistem informasi klinis berbasis komputer yang mengintegrasikan dan meringkas
semua bukti riset yang penting dan relevan dengan masalah klinis spesifik pasien. Informasi
yang tersedia dalam sistem merupakan hasil dari proses kajian yang secara eksplisit dilakukan
untuk menyediakan bukti baru yang berasal dari artikel pada jurnal. ―Sistem‖ diperbarui jika
tersedia bukti riset yang baru dan penting. Sumber bukti ―sistem‖ meliputi: BMJ Clinical
penting dari sebuah atau sejumlah riset asli dan kajian. ―Sinopsis‖ merupakan sumber
berikutnya jika tidak tersedia ―sistem‖. ―Sinopsis‖ disebut juga Clinically Appraised Topics
(CATs), memberikan informasi dengan topik yang dibutuhkan untuk menjawab masalah klinis di
tempat praktik. CATs merupakan ringkasan sebuah atau sejumlah studi dan temuan-temuannya
yang dapat dikaji dan digunakan oleh klinisi di kemudian hari. Sebuah CATs terdiri atas judul
artikel, kesimpulan yang disebut ―Clinical Bottom Line‖, pertanyaan klinis, ringkasan hasil,
komentar, tanggal publikasi studi, dan sitasi yang relevan Judul sinopsis biasanya dinyatakan
dalam kalimat deklaratif atau interogatif untuk memperjelas temuan. Sebagai contoh, beberapa
dan sebagainya. Sumber bukti ―sinopsis‖ meliputi ACP [American College of Physicians]
Pertanyaan klinis dapat dirumuskan dengan ―PICO‖: ―Pada anak berusia 12 tahun dengan
demam, apakah pemberian ibuprofen lebih efektif daripada parasetamol untuk menurunkan
3. Comparison: Parasetamol
4. Outcome: Penurunan demam Dengan mengetik kata kunci ibuprofen pada Search BETs,
diperoleh sinopsis dengan judul ―Ibuprofen is probably better than paracetamol in reducing
fever in children‖ (Gambar 6). Sinopsis tersebut berisi ringkasan dari 6 artikel yang relevan,
terdiri dari 3 artikel dari Medline dan 3 artikel dari EMBASE. Enam artikel terpilih dari hasil
penelusuran ratusan artikel dari Medline, EMBASE, CINAHL, dan Cochrane library.
Kesimpulan (―Clinical Bottom Line‖) pada BestBETs menyebutkan, kedua antipiretika efektif
untuk menurunkan suhu anak dengan demam. Ibuprofen menunjukkan durasi aksi yang lebih
panjang, dan efektivitasnya dalam menurunkan suhu dapat ditingkatkan dengan dosis yang lebih
tinggi. Sintesis. ―Sintesis‖ merupakan ringkasan sistematis dan terinci dari hasil sejumlah riset
tunggal, sehingga disebut kajian sistematis (systematic review). Kajian sistematis yang
dinyatakan dengan ukuran kuantitatif disebut meta-analisis. Kajian sistematis memberikan bukti
bernilai paling tinggi dari ―4S‖. Tetapi klinisi tetap perlu melakukan penilaian kritis terhadap
bukti-bukti kajian sistematis. Karena kualitas kajian sistematis tergantung dari masing-masing
studi primer/ asli yang dikaji (Schranz dan Dunn, 2007). Sumber bukti ―sintesis‖ meliputi
melalui dabase Medline, Ovid EBMR, EvidenceBased Medicine / ACP Journal Club, dan lain-
lain. Bagian dari Cochrane Library yang memberikan pelayanan database kajian sistematis
studi primer/ asli (sebagian besar randomized controlled trials /RCT, clinical controlled trials,
dan sebagian kecil studi observasional). Hasil investigasi berbagai riset primer lalu disintesis
dengan membatasi bias dan kesalahan random. Hasil kajian sistematis dari Cochrane Reviews
disajikan dalam Abstract dan Summary. Abstract terdiri atas Background, Objectives, Search
strategy, Selection criteria, Data collection and analysis, Main results, Authors‘ conclusions.
Sedang Summary intinya mirip abstract, hanya saja dinarasikan dalam format yang mudah
dicerna.
EBM merupakan praktik penggunaan bukti riset terbaik yang tersedia (best available
evidence). Tetapi „not all evidences are created equal”- tidak semua sumber bukti memberikan
kualitas bukti yang sama. Dokter dituntut untuk berpikir kritis dan menilai kritis bukti (critical
appraisal). Nilai bukti ditentukan oleh dua hal: (1) Desain riset; dan (2) Kualitas pelaksanaan
riset. Tidak semua desain riset memberikan bukti yang sama kuatnya. Karena itu berdasarkan
desain riset, dikenal ―hirarki bukti desain riset‖. Sebagai contoh, ada kecenderungan di antara
dokter untuk bersikap paternalistik dan mengekor pendapat pakar (expert opinion) ketika
membuat keputusan masalah klinis yang cukup kompleks. Apakah pendapat pakar memiliki nilai
tinggi sebagai sebuah bukti ilmiah? Tidak. Dalam aspek efektivitas terapi, bukti yang memiliki
nilai tertinggi (excellent evidence) berasal dari kajian sistematis (systematic review) dari
sejumlah randomized controlled trial (RCT), dan bukti yang buruk (poor evidence) berasal dari
pendapat pakar. Tentang bukti yang buruk Evans (2003) menggambarkannya sebagai berikut
―... This level of evidence provides a poor basis for clinical practice and is at serious risk of
error or bias. Additionally, while this evidence can help in determining research priorities,
because there is a greater risk that it may be wrong, and therefore misleading, it is ranked below
other forms of evidence‖. Di samping desain riset, kualitas pelaksanaan riset juga menentukan
kualitas bukti. Sebagai contoh, jika pengumpulan data pada RCT dilakukan dengan sembrono,
tentu bukti yang dihasilkan dari RCT merupakan bukti yang buruk. Secara formal penilaian kritis
(critical appraisal) perlu dilakukan terhadap kualitas bukibukti yang dilaporkan oleh artikel riset
pada jurnal. Intinya, penilaian kritis kualitas bukti dari artikel riset meliputi penilaian tentang
buktibukti klinis tentang etiologi, diagnosis, terapi, prognosis, pencegahan, kerugian, yang akan
digunakan untuk pelayanan medis individu pasien, disingkat “VIA”. Validity Setiap artikel
laporan hasil riset perlu dinilai kritis tentang apakah kesimpulan yang ditarik benar (valid), tidak
mengandung bias. Bias adalah kesalahan sistematis (systematic error) yang menyebabkan
kesimpulan hasil riset yang salah tentang akurasi tes diagnosis, efektivitas intervensi, akurasi
prognosis, maupun kerugian/ etiologi penyakit. Validitas (kebenaran) bukti yang diperoleh dari
sebuah riset tergantung dari cara peneliti memilih subjek/ sampel pasien penelitian, cara
mengukur variabel, dan mengendalikan pengaruh faktor ketiga yang disebut faktor perancu
(confounding factor). Kesalahan sistematis yang dilakukan peneliti dalam memilih sampel pasien
sehingga sampel kelompok-kelompok yang dibandingkan tidak sebanding dalam distribusi faktor
perancu, atau sampel yang diperoleh tidak merepresentasikan populasi sasaran penelitian,
sehingga diperoleh kesimpulan yang salah (bias, tidak valid) tentang akurasi tes diagnostik, efek
intervensi, atau kesimpulan tentang faktor risiko/ etiologi/ kausa penyakit atau akibat-akibat
Kesalahan sistematis yang dilakukan peneliti pada berbagai fase pengumpulan data
memasukkan data penelitian, menganalisis data, sehingga diperoleh kesimpulan yang salah (bias,
tidak valid) tentang akurasi tes diagnostik, efektivitas intervensi, atau hubungan antara faktor
risiko/ etiologi/ kausa dan penyakit atau akibat penyakit, disebut bias informasi (bias observasi,
bias pengukuran). Kegagalan peneliti dalam mengendalikan faktor ketiga yang memiliki
pengaruh independen terhadap variabel hasil yang diteliti, yang disebut faktor perancu
(confounding factor), sehingga diperoleh kesimpulan yang salah (bias, tidak valid) tentang
akurasi tes diagnostik, kefektifan intervensi, atau hubungan antara faktor risiko/ etiologi/ kausa
dan penyakit atau akibat penyakit, disebut kerancuan (confounding). Untuk memperoleh hasi
riset yang benar (valid), maka sebuah riset perlu menggunakan desain studi yang tepat. Sebagai
contoh, jika bukti yang diinginkan menyangkut efektivitas dan keamanan intervensi terapetik,
maka bukti yang terbaik berasal dari kajian sistematis/ meta-analisis dari randomized, triple-
blind, placebo-controlled trial (RCT), yaitu eksperimen random dengan pembutaan ganda dan
follow-up yang cukup untuk melihat hasil yang diinginkan. Di pihak lain, testimoni (pengakuan)
pasien, laporan kasus (case report), bahkan pendapat pakar, memiliki nilai rendah sebagai bukti,
karena efek plasebo (yaitu, perbaikan kesehatan yang dapat dihasilkan oleh intervensi medis
palsu), bias yang timbul ketika mengamati atau melaporkan kasus, dan kesulitan dalam
memastikan siapa yang bisa disebut pakar, dan sebagainya. Importance Bukti yang disampaikan
oleh suatu artikel tentang intervensi medis perlu dinilai tidak hanya validitas (kebenaran)nya
tetapi juga apakah intervensi tersebut memberikan informasi diagnostik ataupun terapetik yang
substansial, yang cukup penting (important), sehingga berguna untuk menegakkan diagnosis
ataupun memilih terapi yang efektif. Suatu tes diagnostik dipandang penting jika mampu
mendiskriminasi (membedakan) pasien yang sakit dan orang yang tidak sakit dengan cukup
substansial, sebagaimana ditunjukkan oleh ukuran akurasi tes diagnostik, khususnya Likelihood
Ratio (LR). Jika sebuah tes mengklasifikasikan sakit di antara orang-orang yang sakit dan yang
tidak sakit dalam proporsi sama, maka tes diagnostik tersebut tidak memberikan informasi
apapun untuk memperbaiki diagnosis, sehingga merupakan tes diagnostik yang tidak penting dan
tidak bermanfaat untuk dilakukan. Suatu intervensi medis yang mampu secara substantif dan
konsisten mengurangi risiko terjadinya hasil buruk (bad outcome), atau meningkatkan
probabilitas terjadinya hasil baik (good outcome), merupakan intervensi yang penting dan
berguna untuk diberikan kepada pasien. Perubahan substantif yang dihasilkan oleh suatu
intervensi terhadap hasil klinis (clinical outcome) pada pasien, disebut signifikansi klinis
(kemaknaan klinis). Perubahan konsisten yang dihasilkan oleh suatu intervensi terhadap hasil
klinis pada pasien, disebut signifikansi statistik (kemaknaan statistik). Suatu intervensi disebut
penting hanya jika mampu memberikan perubahan yang secara klinis maupun statistik
signifikan, tidak bisa hanya secara klinis signifikan atau hanya secara statistik signifikan. Ukuran
efek yang lazim digunakan untuk menunjukkan manfaat terapi dalam mencegah risiko terjadinya
hasil buruk adalah absolute risk reduction (ARR), relative risk reduction (RRR), dan number
needed to treat (NNT). Ukuran efek yang lazim digunakan untuk menunjukkan manfaat terapi
dalam meningkatkan kemungkinan terjadinya hasil baik adalah absolute benefit increase (ABI),
relative benefit increase (RBI), dan number needed to treat (NNT). Setiap intervensi medis di
samping berpotensi memberikan manfaat juga kerugian (harm). Ukuran efek yang digunakan
untuk menunjukkan meningkatnya risiko terjadi kerugian oleh suatu intervensi medis adalah
rasio risiko (RR), odds ratio (OR), absolute risk increase (ARI), relative risk increase (RRI), dan
number needed to harm (NNH). Applicability Bukti yang valid dan penting dari sebuah riset
hanya berguna jika bisa diterapkan pada pasien di tempat praktik klinis. ‗Bukti terbaik‘ dari
sebuah setting riset belum tentu bisa langsung diekstrapolasi (diperluas) kepada setting praktik
klinis dokter. Untuk memahami pernyataan itu perlu dipahami perbedaan antara konsep efikasi
(efficacy) dan efektivitas (effectiveness). Efikasi (efficacy) adalah bukti tentang kemaknaan efek
yang dihasilkan oleh suatu intervensi, baik secara klinis maupun statistik, seperti yang
ditunjukkan pada situasi riset yang sangat terkontrol. Situasi yang sangat terkontrol sering kali
tidak sama dengan situasi praktik klinis sehari-hari. Suatu intervensi menunjukkan efikasi jika
efek intervensi itu valid secara internal (internal validity), dengan kata lain intervensi itu
memberikan efektif ketika diterapkan pada populasi sasaran (target population) (Gambar 9).
Agar intervensi efektif ketika diterapkan pada populasi yang lebih luas, yang tidak hanya
meliputi populasi sasaran tetapi juga populasi eksternal (external population), maka intervensi
kemaknaan efek yang dihasilkan oleh suatu intervensi, baik secara klinis maupun statistik,
sebagaimana ditunjukkan/ diterapkan pada dunia yang nyata („the real world‟). Efektivitas
(irregularity) dan ketidakpastian (uncertainty), meskipun pada lingkungan yang sangat terkontrol
alias terkendali intervensi itu mungkin efektif. Kemampuan penerapan intervensi dipengaruhi
oleh banyak faktor, misalnya kesesuaian Antara karakteristik populasi pasien dalam riset dan
pasien di tempat praktik, kesesuaian antara variabel hasil yang diteliti dalam riset dan hasil yang
diinginkan pada pasien (perbaikan klinis), akseptabilitas dan kepatuhan pasien, keamanan
perbandingan dengan alternatif intervensi lainnya, preferensi pasien, akseptabilitas sosial, dan
penerapan intervensi. Dokter bekerja di dunia nyata, bukan dunia maya atau ―dunia lain‖.
riset yang menemukan efektivitas intervensi, dengan kata lain intervensi yang efektif ketika
diterapkan pada populasi umum (populasi eksternal), maka temuan riset itu dikatakan memiliki
Berdasarkan fakta tersebut maka dalam praktik EBM, „bukti efektivitas‟ („evidence of
klinis dengan struktur ―PICO‖, diakhiri dengan penerapan bukti intervensi yang memperhatikan
aspek ―PICO‖ – patient, intervention, comparison, dan outcome. Selain itu, penerapan bukti
praktik klinis. Patient Tiga pertanyaan perlu dijawab tentang pasien sebelum menerapkan
intervensi:
1. Apakah pasien yang digunakan dalam penelitian memiliki karakteristik yang sama
2. Apakah hasil intervensi yang akan diberikan sesuai dengan keinginan maupun
menggunakan intervensi?
Prinsip EBM adalah memberikan pelayanan yang berpusat kepada pasien (patient-
centered care). Klinisi perlu memperhatikan kesesuaian karaktersistik pasien yang digunakan
dalam riset dan pasien yang dihadapi di tempat praktik klinis. Jika peneliti menggunakan pasien
berspektrum luas sehingga memiliki karakteristik yang sama/ serupa dengan pasien di tempat
praktik, maka bukti riset bisa diterapkan. Tetapi pada banyak kasus tidak seperti itu. Tidak jarang
peneliti menerapkan kriteria inklusi dan eksklusi pada sampel pasien yang diteliti, suatu
kebiasaan yang kontraproduktif, sehingga sampel pasien yang diteliti menjadi sangat spesifik dan
berspektrum sempit. Jika pasien yang diteliti berspektrum sempit dan memiliki karakteristik
yang berbeda dengan pasien di tempat praktik, maka klinisi harus melakukan pertimbangan
seksama dan terbaik untuk memutuskan apakah bukti riset tersebut bisa diterapkan. Bagaimana
cara menentukan bahwa suatu intervensi bisa/ tidak bisa diterapkan pada pasien di tempat
praktik?
Apakah menggunakan rumus statistik? Perlu diingat bahwa banyak orang memiliki
pandangan yang salah tentang statistik dan berharap terlalu banyak kepada statistik, seolah
semua masalah bisa dan lebih baik jika diselesaikan dengan cara statistik. Cara berpikir sesat
tersebut menyebabkan sering kali terjadi statistical misuse, yaitu salah penggunaan statistik,
ataupun statistical abuse, yaitu sengaja menyalahgunakan statistik untuk suatu niat yang tidak
baik, misalnya membohongi pembaca. Dalam konteks Efektivitas (effectiveness) adalah “the
quality of being able to bring about an effect”, atau “producing a decided or decisive effect”.
Efektivitas adalah kemampuan untuk menghasilkan efek yang diinginkan. Intervensi yang
rasional untuk digunakan adalah intervensi yang efektivitasnya didukung oleh bukti yang valid,
hasil (statistically significant), dan dapat diterapkan (applicable). Efektivitas berbeda dengan
efikasi. Efektivitas lebih realistis daripada efikasi. Intervensi yang menunjukkan efektivitas
memiliki kemungkinan lebih besar untuk bisa diterapkan pada pasien di tempat praktik klinis
menerapkan bukti: 1. Apakah terdapat kesesuaian antara pembanding/ alternatif yang digunakan
oleh peneliti dan pembanding/ alternatif yang dihadapi klinisi pada pasien di tempat praktik?
memperhatikan kesesuaian antara pembanding/ alternatif yang digunakan oleh peneliti dan
pembanding/ alternatif yang dihadapi klinisi pada pasien di tempat praktik. Peneliti dalam
sebuah riset bisa menggunakan pembanding yang sama sekali tidak mendapatkan intervensi
(―do nothing‖), pembanding yang mendapatkan plasebo (menyerupai intervensi tetapi tidak
memiliki bahan aktif alias inert), atau pembanding yang mendapatkan intervensi lainnya,
misalnya terapi standar. Kesesuaian antara pembanding dalam riset dan pembanding yang
dihadapi pada pasien menentukan efikasi dan efektivitas intervensi ketika diterapkan kepada
pasien. Sebuah terapi baru yang ditemukan tidak lebih efektif ketika dibandingkan terapi standar
tidak berarti tidak efektif untuk diberikan kepada pasien jika dibandingkan dengan tidak
memberikan terapi apapun kepada pasien. Terapi baru tersebut bisa saja digunakan sebagai
pengganti (substitute) terapi standar dengan efektivitas yang serupa dengan terapi standar.
manfaat dan kerugian dari melakukan intervensi. Sebuah intervensi yang memberikan manfaat
(benefit, utility) hampir selalu memberikan kerugian yang tidak diinginkan (harm) dan biaya.
Biaya adalah nilai ekonomi dari sumberdaya yang dibutuhkan untuk menyediakan dan
penggunaan suatu sitostatika, stigma akibat menjalani suatu tes diagnostik, dapat dipandang dan
dinilai oleh pasien secara kuantitatif sebagai suatu biaya, disebut ―intangible cost‖. Baik
manfaat maupun kerugian dan biaya secara kuantitatif dan kualitatif perlu diperbandingkan.
Besarnya manfaat dan kerugian intervensi bervariasi, mulai dari sangat kecil (negligible) hingga
sangat substansial. Prinsip EBM, intervensi yang dapat diterapkan adalah intervensi yang
―doing more good than harm‖. Ketiga, pengambilan keputusan klinis hakikatnya adalah
menentukan pilihan dari berbagai alternatif intervensi. Klinisi harus memilih antara memberikan
atau tidak memberikan intervensi, atau memilih sebuah dari beberapa alternatif intervensi. Jadi
klinisi harus membandingkan manfaat dan kerugian dari masing-masing alternatif, dan
menentukan pilihan sebuah dari beberapa alternatif intervensi. Pada beberapa situasi,
Prinsipnya, alternatif yang dipilih adalah alternatif yang menujukkan rasio kerugian
(biaya) dan manfaat, atau ―cost-effectiveness ratio‖ (CER), yang lebih rendah. Dengan kata lain,
pilih alternatif yang lebih banyak memberikan manfaat (good) dibandingkan dengan kerugian
2. Apakah hasil intervensi yang akan diberikan sesuai dengan keinginan dan kebutuhan
3. Apakah pasien memandang manfaat dari intervensi lebih penting daripada kerugian
yang diakibatkannya?
Prinsip EBM, hasil yang diharapkan dari suatu intervensi adalah hasil yang berorientasi pada
pasien. Pengambilan keputusan klinis harus memperhatikan nilai-nilai dan ekspektasi pasien.
Menerapkan bukti riset terbaik dengan mengabaikan nilai-nilai dan preferensi pasien dapat
menyebabkan lebih banyak mudarat (harm) daripada manfaat (benefit, utility) kepada pasien.
Karena itu pengambilan keputusan klinis untuk pasien tidak bersifat ‗take-itor-leave it‘ yang
Demikian pentingnya nilai-nilai dan hak pasien, sehingga pengambilan keputusan bersama
mempertimbangkan nilai-nilai pasien bisa dipandang suatu praktik EBM yang baik. Contoh,
pemberian kemoterapi yang agresif untuk melawan kanker harus memperhatikan preferensi dan
toleransi pasien terhadap ketidaknyamanan, kerugian (harm), ketidakpastian hasil, dan biaya
pada suatu kanker bisa memperpanjang hidup pasien tiga bulan lebih lama, penerapan
kemoterapi tergantung dari preferensi pasien untuk memilih antara waktu hidup yang lebih lama
atau menghindari penderitaan dan kerugian akibat kemoterapi itu. Kelayakan Lima pertanyaan
perlu dijawab berkaitan dengan kelayakan (feasibility) intervensi yang akan diberikan kepada
pasien:
berhasil?
intervensi? 4. Jika intervensi tersedia di lingkungan pasien/ di tempat praktik, apakah intervensi
5. Apakah konteks sosial-kultural pasien menerima penggunaan intervensi yang akan diberikan
kepada pasien?
Kelayakan (feasibility) adalah “the quality of being doable” atau “capable of being done
with means at hand and circumstances as they are”. Kelayakan menunjukkan sejauh mana
intervensi bisa dilakukan dengan metode yang ada dan pada lingkungan yang diperlukan.
Meskipun sebuah intervensi efektif, tepat (appropriate) untuk diterapkan kepada individu pasien,
sesuai dengan kebutuhan pasien, penerapan intervensi tergantung dari kelayakan, yaitu
ketersediaan sumber daya di lingkungan praktik klinis. Contoh, sebuah intervensi terbukti
efektif, memberikan lebih banyak manfaat daripada mudarat, dan secara sosio-kultural diterima
oleh pasien. Tetapi intervensi tidak tersedia di lingkungan pasien, atau tersedia tetapi pasien
tidak mampu membayar biaya intervensi. Intervensi tersebut tentu tidak fisibel untuk dilakukan.
Intervensi fisibel untuk dilakukan jika terdapat pihak ketiga yang membayar biaya pelayanan
EBM. Penerapan EBM belum berhasil jika klinisi membutuhkan waktu terlalu lama untuk
mendapatkan bukti yang dibutuhkan, atau klinisi mendapat bukti dalam waktu cukup singkat
tetapi dengan kualitas bukti yang tidak memenuhi ―VIA‖ (kebenaran, kepentingan, dan
EBM. Kedua, melakukan audit keberhasilan dalam menggunakan bukti terbaik sebagai dasar
praktik klinis. Audit klinis adalah “a quality improvement process that seeks to improve patient
care and outcomes through systematic review of care against explicit criteria and the
implementation of change". Dalam audit klinis dilakukan kajian (disebut audit) pelayanan yang
telah diberikan, untuk dievaluasi apakah terdapat kesesuaian antara pelayanan yang sedang/ telah
diberikan (being done) dengan kriteria yang sudah ditetapkan dan harus dilakukan (should be
done). Jika belum/ tidak dilakukan, maka audit klinis memberikan saran kerangka kerja yang
dibutuhkan agar bisa dilakukan upaya perbaikan pelayanan pasien dan perbaikan klinis pasien.
Ketiga, mengidentifikasi area riset di masa mendatang. Kendala dalam penerapan EBM
merupakan masalah penelitian untuk perbaikan implementasi EBM di masa mendatang. Hasil
evaluasi kinerja implementasi EBM berguna untuk memperbaiki penerapan EBM, agar
penerapan EBM di masa mendatang menjadi lebih baik, efektif, dan efisien. Jadi langkahlangkah
EBM sesungguhnya merupakan fondasi bagi program perbaikan kualitas pelayanan kesehatan