Anda di halaman 1dari 15

EVIDENCE BASED MEDICINE

Pembimbing :

Prof. Dr. Djamhoer Martaadisoebrata, dr., SpOG(K), MSPH

Oleh :

FUTIHA ARABIA

SubDivisi Obstetri dan Ginekologi Sosial

Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/

RSUP Dr. Hasan Sadikin

Bandung

2017
Evidence based medicine
Pendahuluan

Semakin berkembangnya teknologi informatika yang dapat dilihat dari


semakin pesatnya perkembangan bioinformatika dan teknologi informasi yang
mempunyai kontribusi besar pada munculnya era ledakan informasi ilmiah yang
secara mendasar merubah cara dokter mendefinisikan, mendiagnosis, memberikan
terapi, dan mencegah penyakit. Semakin pesatnya perkembangan informasi tentang
cara melakukan praktik kedokteran dan perubahan informasi juga sangat membantu
dokter didalam mencari dan mengambil informasi catatan catatan medis elektronik
melalui internet. Dari semuanya tersebut, tujuan utama dari seorang dokter adalah
mengobati pasien sampai pasien benar - benar sembuh. Oleh karena itu, maka
berkembanglah seni kedokteran yang sangat diperlukan dalam praktik kedokteran
yang berbasis ilmiah atau yang sering disebut dengan Evidence Based Medicine.

Evidence-based medicine (EBM) atau “kedokteran berbasis bukti" mulai


dikembangkan oleh para pakar epidemiologi klinis pada awal dasawarsa 1990-an. Bila
kita melakukan pencarian dengan mesin pencari Pubmed, sampai dengan tahun 1991
tidak terdapat satu pun istilah evidence-based medicine atau EBM. Pada tahun 1992,
baru ada 2 artikel yang mengandungistilah EBM. Namun, jumlah tersebut kemudian
meningkat menjadi lebih dari 1000 artikel pada tahun 2000, dan tahun-tahun
berikutnya terus meningkat dengan sangat pesat.

Dalam waktu yang relatif singkat konsep EBM telah merambah ke seluruh
penjuru dunia. Meskipun ada awalnya terdapat kontroversi tentang konsep EBM,
namun dengan berjalannya waktu, hanya dalam waktu beberapa tahun sudah terjadi
kesepakatan umum bahwa praktik EBM merupakan keniscayaan. Semua jurnal
kedokteran telah mengadopsi konsep EBM, semua fakultas kedokteran dan rumah
sakit besar di seluruh dunia telah berupaya untuk menerapkan praktik EBM, dan
kursus serta lokakarya EBM tetap berlangsung di seluruh dunia sampai sekarang EBM
juga telah masuk ke dalam kurikulum pendidikan kedokteran umum, spesialis, serta
subspesialis. Banyak program kesehatan lain yang serta-merta juga menggunakan
paradigma EBM, termasuk pembuatan panduan praktik klinis, health technology
assessment, audit klinis, keselamatan pasien, dan seterusnya. EBM juga telah menjadi
baku dalam penetapan kebijakan kesehatan di banyak negara.

PENGERTIAN EBM

EBM adalah suatu teknik yang digunakan untuk pengambilan keputusan dalam
mengelola pasien dengan mengintegrasikan tiga faktor yaitu

 ketrampilan dan keahlian klinik dari dokter


 kepentingan pasien
 bukti ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan

Dengan kata lain EBM adalah cara untuk membantu dokter dalam membuat keputusan
saat merawat pasien sesuai dengan kebutuhan pasien dan keahlian klinis dokter
berdasarkan bukti-bukti ilmiah.

Definisi Menurut Sackett et al. Evidence based medicine (EBM) adalah suatu
pendekatan medik yang didasarkan pada bukti-bukti ilmiah terkini untuk kepentingan
pelayanan kesehatan pasien. Dengan demikian, dalam prakteknya, EBM memadukan
antara kemampuan dan pengalaman klinik dengan bukti-bukti ilmiah terkini yang
paling dapat dipercaya. Pengertian lain dari evidence based medicine (EBM) adalah
proses yang digunakan secara sistematik untuk menemukan, menelaah/mereview, dan
memanfaatkan hasil-hasil studi sebagai dasar dari pengambilan keputusan klinik. Jadi
secara lebih rincinya lagi, EBM merupakan perpaduan antara (1) buktibukti ilmiah,
yang berasal dari studi yang terpercaya (best research evidence); dengan (2) keahlian
klinis (clinical expertise) dan (3) nilai-nilai yang ada pada masyarakat (patient values).
Melalui evidence based medicine kita mengadakan survei tentang keluhan sejumlah
penderita. Melalui evidence based medicine kita mengadakan survei tentang kelainan
fisik sejumlah penderita penyakit tertentu. Selain mensurvei keluhan dan kelainan fisik
penderita, melaui evidence based medicine kita juga dapat mensurvei hasil terapinya.
Kategori Evidence Based menurut WHO
a. Evidenve-based Medicine adalah pemberian informasi obat-obatan berdasarkan bukti
dari penelitian yang bisa dipertanggungjawabkan. Temuan obat baru yang dapat saja
segera ditarik dan perederan hanya dalam waktu beberapa bulan setelah obat tersebut
dipasarkan, karena di populasi terbukti memberikan efek samping yang berat pada
sebagian penggunanya.
b. Evidence-based Policy adalah satu sistem peningkatan mutu pelayanan kesehatan dan
kedokteran (Clinical Governance): suatu tantangan profesi kesehatan dan kedokteran di masa
mendatang
c. Evidence based kebidanan adalah pemberian informasi kebidanan berdasarkan bukti dari
penelitian yang bisa dipertanggungjawabkan.
d. Evidence based report adalah merupakan bentuk penulisan laporan kasus yang baru
berkembang ,memperlihatkan bagaimana hasil penelitian dapat diterapkan pada semua
tahapan penatalaksanaan pasien.

PARADIGMA PRAKTIK SEBELUM ERA EBM

Bila kita menengok apa yang dilakukan oleh dokter angkatan lama dalam
melaksanakan praktiknya, secara umum dapat kita gambarkan sebagai beriku,. setelah
seseorang menempuh pendidikan dokter selama 6-7 tahun, ia akan berpraktik
melayani masyarakat. Dalam melaksanakan praktik tersebut tentu banyak masalah
yang ditemukan, oleh karena apa yang dipelajari dan dilatih selama pendidikan (baik
dokter umum, spesialis, maupun subspesialis) hanya merupakan sebagian kecil dari
masalah yang ditemukan dalam praktik. Bagaimana menegakkan diagnosis yang
akurat, memberikan terapi yang tepat, serta memberikan penjelasan kepada pasien dan
keluarga tentang prognosis pasien merupakan tiga masalah utama yang ditemukan
dalam praktik sehari-hari.

Sebelum era EBM, hal yang lazim dilakukan untuk memecahkan masalah yang
ditemukan dalam praktik adalah:

 Menggunakan pengalaman pribadi sebelumnya

 Berkonsultasi dengan konsultan, senior, atau sejawat lain.


 Menggunakan logika dan akal sehat (common sense)

 Membaca buku ajar, handbook, panduan, bahkan catatan kuliah semasa dalam
pendidikan.

 Mengikuti pendidikan kedokteran berkelanjutan (PKB)

 Mereka yang beruntung dapat membaca artikel asli dari jurnal, namun yang
dibaca hanya Results-nya saja, atau bahkan Abstract-nya saja.

Apa yang dilakukan oleh para dokter tersebut tidak salah, khususnya bila dilihat dari
perspektif ketersediaan fasilitas pada saat itu. Namun pemecahan masalah tersebut
amat tidak memadai karena alasan-alasan berikut: Pengalaman pribadi dengan banyak
kasus memiliki segi positif dan “tidak tergantikan”. Seorang dokter senior yang telah
berpengalaman puluhan tahun dapat diharapkan lebih cepat dan tepat menegakkan
diagnosis tumor trofoblastik gestasional ketimbang dokter yang baru lulus. Ahli bedah
ahli kandungan yang telah ratusan kali melakukan operasi histerektomi akan
melaksanakan tugasnya lebih rapi dan lebih baik daripada yang baru melakukannya
beberapa kali. Demikian pula dokter ahli kandungan yang biasa menangani pasien
kanker akan lebih baik dan lengkap memberikan penjelasan prognosis kepada pasien
dan keluarganya ketimbang yang baru menangani pada beberapa kasus. Oleh karena
itulah dalam praktik EBM pengalaman merupakan bagian dari kompetensi yang
penting. Namun pengalaman pribadi dengan beberapa

Pendekatan di atas pada akhirnya secara sadar telah menafikan hasil penelitian yang
telah dibuat dengan susah payah dan telah dipublikasi dalam pelbagai jurnal
kedokteran, baik yang umum, spesialistik, maupun subspesialistik. Akibatnya sampai
kuartal keempat abad yang lalu dikatakan bahwa hanya ada 10-20% praktik
kedokteran yang didasarkan pada evidence. Tidak adanya kerangka yang
menganjurkan agar setiap praktisi harus memperbaharui pengetahuan dengan
membaca jurnal mutakhir yang relevan dengan bidangnya telah mengakibatkan dua
hal yang sama buruknya:

 Banyak hasil penelitian yang telah dipublikasi dan sebenarnya dapat


dimanfaatkan secara luas dalam praktik untuk menolong pasien dengan
penyakit tertentu, ternyata tidak dimanfaatkan atau terlambat dimanfaatkan
dalam praktik. Salah satu contoh adalah surfaktan yang sangat efektif untuk
penyakit membran hialin (hyaline membrane disease) pada bayi prematur,
bukti ilmiah yang amat pentingini baru digunakan oleh para dokter anak dalam
praktik belasan tahun setelah uji klinis yang pertama dipublikasi.

 Banyak hal yang sudah diteliti dan terbukti tidak benar, namun masih saja
dilaksanakan dalam tata laksana pasien. Contohnya adalah pemberian
antibiotik rutin pada bayi dan anak dengan diare akut, suatu hal yang tidak
perlu bahkan berbahaya. Contoh lain adalah penggunaan fetal elektrik
monitoring pada perempuan yang akan bersalian - yang terbukti hanya
menambah biaya tanpa memberikan outcome yang lebih baik kepada ibu
maupun bayinya.

Mengapa diperlukan EBM?

EBM diperlukan karena perkembangan dunia kesehatan begitu pesat dan bukti
ilmiah yang tersedia begitu banyak. Pengobatan yang sekarang dikatakan paling baik
belum tentu ‘[beberapa tahun kedepan masih juga paling baik. Sedangkan tidak semua
ilmu pengetahuan baru yang jumlahnya bisa ratusan itu kita butuhkan. Karenanya
diperlukan EBM yang menggunakan pendekatan pencarian sumber ilmiah sesuai
kebutuhan akan informasi bagi individual dokter yang dipicu dari masalah yang
dihadapi pasiennya disesuaikan dengan pengalaman dan kemampuan klinis dokter
tersebut. Pada EBM dokter juga diajari tentang menilai apakah jurnal tersebut dapat
dipercaya dan digunakan.

APA LANGKAH-LANGKAH MELAKUKAN EBM?

1. Pasien Mulailah dari pasien, bisa berupa :

 Masalah klinis apa yang dimiliki pasien kita


 Pertanyaan yang dikemukakan oleh pasien
kita sehubungan dengan perawatan
penyakitnya

2. Pertanyaan Masalah dari pasien seperti tersebut no 1


kemudian dibuat pertanyaan
3. Sumber Mulailah melakukan pencarian sumber journal
melalui internet untuk menjawab pertanyan
tersebut
4. Evaluasi Evaluasi apakah jurnal yang kita peroleh cukup
valid , penting dan bisa diaplikasikan
5. Pasien Aplikasikan temuan berdasarkan bukti ilmiah
tersebut ke pasien dengan mempertimbangkan
kepentinga atau kebutuhan pasien dan
kemampuan klinis dokter
6. Evaluasi Evaluasi hasil perawatan pasien tersebut

Contoh
Seorang wanita Ny S , 28 th G1P0A0 hamil 36 minggu datang ke dokter ingin
konsultasi mengenai cara-cara melahirkan. Ibu S. mempunyai pengalaman kakaknya
divakum karena kehabisan tenaga mengejan , anaknya saat ini 6 tahun menderita
epilepsi dan kakaknya harus dijahit banyak pada saat melahirkan.Ia tidak mau
melahirkan divakum.Dia mendengar tentang teknik yang
menggunakan forsep.Dia bertanya yang mana yang lebih aman untuk ibu dan bayi.
Maka kata kunci dari pertanyaan yang mungkin diajukan adalah:

 Pasien : melahirkan,kala II lama


 Intervensi : vakum
 Comparison : forcep
 Outcome : aman untuk ibu dan bayi
EVIDENCE BASED MEDICINE DALAM OBSTETRI GINEKOLOGI
SOSIAL

Obstetri Ginekologi Sosial atau ObGinSos” adalah ilmu yang mempelajari


hubungan timbal balik antara alat dan fungsi reproduksi dengan lingkungannya,
terutama lingkungan sosial. Dalam kesehari-hariannya, ObGinSos mempunyai
pengertian “Kompetensi Organisatoris Manajerial dengan memperhatikan Etika
Tatanan Pelayanan Kesehatan Reproduksi yang efektif dan efisien, yang didukung
oleh sifat kepemimpinan, sesuai dengan keadaan lingkungan masyarakatnya.

Secara “makro”, ObGinSos harus dapat menyelesaikan masalah besar dalam


masyarakat. melalui gagasan “Hospital without a Wall”, didukung dengan semangat
kerja berdasarkan kemitraan dan lintas sektoral. Dengan lain perkataan, ObGinSos
dalam skala makro, tidak berbeda dengan Ilmu Kesehatan Masyarakat atau Public
Health, khusus dalam bidang Obstetri Ginekologi:

Pada skala makro, ObGinSos mengakui tentang adanya faktor resiko yang bersifat
sosial. seperti umur dan paritas. Dengan menggunakan Strategi Pendekatan Resiko,
kita dapat menghilangkan atau mengurangi faktor resiko tersebut dengan upaya
promotif dan preventif agar tidak/kurang bermanifestasi dalam keluhan dan gejala
klinik.

Sedangkan secara “mikro”, harus bisa menyelesaikan masalah individu melalui


falsafah pelayanan “Biomedispsikososiospiritual”, di mana di dalamnya sudah
tercakup unsur “CURE dan “CARE” secara proporsional. Ini tidak lain adalah Ilmu
Kedokteran Klinik, khusus dalam bidang ObGin. Pelayanan ini merupakan upaya
kuratif dan rehabilitatif yang bersifat individual atau Patient centred.

Kehamilan dan melahirkan dapat menimbulkan risiko kesehatan yang besar,


termasuk perempuan yang tidak mempunyai masalah kesehatan sebelumnya. Kira-kira
40% ibu hamil (bumil) mengalami masalah kesehatan yang berkaitan dengan
kehamilan, dan 15% dari semua bumil menderita komplikasi jangka panjang atau yang
dapat mengancam jiwa. Oleh karena itu, pengenalan mengenai pencegahan dan
penanganan yang terbukti dapat dijalankan (evidence based) bisa melindungi
keselamatan ibu dan bayinya. Penggunaan kebijakan dari bukti terbaik ( evidence
based ) yang tersedia sehingga tenaga kesehatan bidan dan pasien mencapai keputusan
yang terbaik, mengambil data yang diperlukan dan pada akhirnya dapat menilai pasien
secara menyeluruh dalam memberikan pelayanan.

Dalam beberapa tahun terakhir kita sering mendengar tentang Evidence based.
Evidence based artinya berdasarkan bukti. Artinya tidak lagi berdasarkan pengalaman
atau kebiasaan semata. Semua harus berdasarkan bukti. Bukti inipun tidak sekedar
bukti tapi bukti ilmiah terkini yang bisa dipertanggungjawabkan.
Evidence based kebidanan adalah pemberian informasi kebidanan berdasarkan
bukti dari penelitian yang bisa dipertanggungjawabkan. Praktek kebidanan sekarang
lebih didasarkan pada bukti ilmiah hasil penelitian dan pengalaman praktek terbaik
dari para praktisi dari seluruh penjuru dunia. Rutinitas yang tidak terbukti manfaatnya
kini tidak dianjurkan lagi.
Hal ini terjadi karena llmu Kedokteran berkembang sangat pesat. Temuan dan
hipotesis yang diajukan pada waktu yang lalu secara cepat digantikan dengan temuan
baru yang segera menggugurkan teori yang ada sebelumnya. Sementara hipotesis yang
diujikan sebelumnya bisa saja segera ditinggalkan karena muncul pengujian-pengujian
hipotesis baru yang lebih sempurna. Sebagai contoh, jika sebelumnya diyakini bahwa
episiotomi merupakan salah satu prosedur rutin persalinan khususnya pada
primigravida, saat ini keyakinan itu digugurkan oleh temuan yang menunjukkan
bahwa episiotomi secara rutin justru sering menimbulkan berbagai permasalahan yang
kadang justru lebih merugikan bagi quality of life pasien. Demikian pula halnya
dengan temuan obat baru yang dapat saja segera ditarik dan perederan hanya dalam
waktu beberapa bulan setelah obat tersebut dipasarkan, karena di populasi terbukti
memberikan efek samping yang berat pada sebagian penggunanya.
Bukti ini juga mempunyai tingkat kepercayaan untuk dijadikan sebagai
evidence based. Untuk tingkat paling tinggi (Ia) adalah hasil penelitian dengan meta
analisis dibawahnya atau level Ib adalah hasil penelitian dengan randomized control
trial, Iia non randomized control trial, IIb adalah hasil penelitianeksperimen, lalu hasil
studi observasi (III) dan terakhir expert opinion, clinical experience (IV). Untuk
mendapatkan bukti ini bisa diperoleh dari berbagai macam hasil penelitian yang telah
dipublikasikan oleh berbagai macam media, itulah evidence base. Melalui paradigma
baru ini maka setiap pendekatan medik barulah dianggap accountable apabila
didasarkan pada temuan-temuan terkini yang secara medik, ilmiah, dan metodologi
dapat diterima.
Tidak semua EBM dapat langsung diaplikasikan oleh semua professional
kebidanan di dunia. Oleh karena itu bukti ilmiah tersebut harus ditelaah terlebih
dahulu, mempertimbangkan manfaat dan kerugian serta kondisi setempat seperti
budaya, kebijakan dan lain sebagainya

Manfaat Evidence Based dalam praktik Kebidanan


Praktik berdasarkan penelitian merupakan penggunaaan yang sistematik,
ilmiah dan eksplisit dari penelitian terbaik saat ini dalam pengambilan keputusan
tentang asuhan pasien secara individu. Hal ini menghasilkan asuhan yang efektif dan
tidak selalu melakukan intervensi. Kajian ulang intervensi secara historis
memunculkan asumsi bahwa sebagian besar komplikasi obstetri yang mengancam
jiwa bisa diprediksi atau dicegah. Intervensi harus dilaksanakan atas dasar indikasi
yang spesifik, bukan sebagai rutinitas sebab test-test rutin, obat, atau prosedur lain
pada kehamilan dapat membahayakan ibu maupun janin. Dokter yang terampil harus
tahu kapan ia harus melakukan sesuatu dan intervensi yang dilakukannya haruslah
aman berdasarkan bukti ilmiah.
Dengan pelaksanaan praktik asuhan kebidanan yang berdasarkan evidence
based tersebut tentu saja bermanfaat membantu mengurangi angka kematian ibu hamil
dan risiko-risiko yang dialami selama persalinan bagi ibu dan bayi serta bermanfaat
juga untuk memperbaiki keadaan kesehatan masyarakat. Praktek kebidanan
sekarang lebih didasarkan pada bukti ilmiah hasil penelitian dan pengalaman praktek
terbaik dari para praktisi dari seluruh penjuru dunia, rutinitas yang tidak terbukti
manfaatnya kini tidak dianjurkan lagi.
Kondisi kesehatan reproduksi (kespro) di Indonesia masih memprihatinkan,
terutama kalau dilihat dari proses dan hasil akhirnya. Kespro merupakan gabungan
dari Obstetri Ginekologi Klinik (ObGinKl) dan Obstetri Ginekologi
Sosial(ObGinSos). ObGinKl merupakan pelaksanaan Clinical Medicine dalam ObGin
dengan sasaran individu, sedangkan ObGinSos, karena sasarannya masyarakat,
mempunyai nuansa Ilmu Kesehatan Masyarakat atau Public Health. Di dalam
ObGinKl, dengan segala kekurangannya, EBM itu mungkin bisa berperan. Tiap kali
seorang dokter mengelola seorang penderita, tujuannya tidak lain untuk

menghilangkan penyakit, atau paling sedikit mengurangi keluhannya. Di samping itu,


harus pula

diperhatikan pula kepuasan, kenyamanan, harapan dan rasa optimisme penderita. Agar
tujuannya itu bisa tercapai, dia harus membuat diagnosis dan menyarankan cara
pengobatan yang tepat. Kedua keputusannya ini disebut Clinical decision atau
Keputusan Klinik.

Keputusan klinik itu, harus merupakan hasil analisis yang matang, gabungan dari
kemampuan intelek akademis profesional dalam mencari dan menilai data, serta
kemampuan untuk mengkomunikasikan keputusan klinik tersebut kepada
penderita/keluarga secara baik. Pola pikir atau paradigma ini sebetulnya sudah dikenal
sejak jaman Hipocrates, disebut sebagai Clinical Medicine atau Kedokteran Klinik.
Sesuai dengan perkembangan ilmu dan bioteknologi, paradigma ini makin
berkembang, sampai saat sekarang yang disebut Kedokteran Modern.
Perkembangannya, tidak terlepas dari adanya bukti-bukti atau Evidence baru sebagai
hasil dari Penelitian Klinik.

Pada dasarnya, semua ilmu, agar bisa bermanfaat, harus terdiri dari tiga bagian
besar, yaitu Wawasan, Kebijakan dan Kompetensi' Dalam wawasan, kita berbicara
tentang pengertian, tujuan, ruang lingkup dan garapan, serta kegunaannya bagi umat
manusia. Tetapi wawasan dan kompetensi saja tidak cukup, karena masih diperlukan
arahan atau rambu-rambu berupa suatu Kebijakan, agar penggunaan ilmu dan
ketrampilan itu benar-benar berguna bagi penderita, dengan efek samping yang
seminimal mungkin, baik dilihat dari segi fisik, mental maupun sosial. Di dalam dunia
Kedokteran Klinik, yang disebut Kebijakan itu, dibuat oleh Para Klinisi, dan dikenal
dengan nama Protokol Tetap Pengelolaan Penyakit. Di kalangan mahasiswa
kedokteran atau calon-calon spesialis, istilah ini lebih dikenal dengan nama Protokol
Tetap.

Seorang dokter yang menggunakan ilmu dan Protap untuk penyakit tertentu tanpa
memperhatikan manusianya, kurang menunjukkan sikap profesionalnya. Seperti di
katakan oleh Sasso penyakit itu terjadi karena adanya gangguan dalam keseimbangan.
Tugas dokter adalah untuk mengembalikan keseimbangan tersebut, memerangi
disharmoni dan ketidakseimbangan, dan menerima serta menyadari keterbatasan
kemampuan (Ekspertis) kedokteran sebagai keterbatasan alamiah dalam memanipulasi
manusia. Menurut pendapatnya, praktek kedokteran dari dahulu sampai sekarang
selalu dipandu oleh prinsip-prinsip Etika. Secara tradisi, Ekspertis dan Etika selalu
merupakan kesatuan, sebab :

Ekspertis tampa Etika, tidak akan membahagiakan penderita, sedangkan Etika tanpa
Ekspertis, tidak akan efektif dan harus disadari bahwa Ekspertis kita itu mempunyai
keterbatasan.

Yang dimaksud dengan Ekspertis itu tidak lain adalah penguasaan Protap yang
digunakan dalam Clinical Medicine

Apa yang diuraikan oleh Sass, tidak berbeda dengan pendapat Siswomihardjo KW
yang mengatakan bahwa :

Etika dan Moral dalam penerapan dan pengembangannya, tanpa didukung ilmu
pengetahuan dan teknologi, menjadikan Etika dan Moral itu sebagai suatu barang
jadi yang sudah MANDHEG dalam kebekuan normatif dan dogmatis. Sebaliknya,
ilmu dan teknologi yang berkembang tampa dukungan Etika dan Moral akan menjadi
kontraproduktif bahkan menjadi sesuatu yang destruktif

Untuk mengurangi kelemahan Protap yang bersifat Nisbi itu, kita para dokter, harus
terus menerus menyempurnakannya secara dinamis, sesuai dengan perkembangan
ilmu dan bioteknologi

Tugas dokter adalah untuk mengurangi ketidakpastian itu, melalui kemampuan


pengumpulan data pengetahuan kedokteran dan daya nalar klinis untuk membuat
diagnosis dan rencana terapi yang dibutuhkan penderita. Proses pengurangan
ketidakpastian itu dan upaya yang konsisten untuk membuat keputusan klinik yang
baik, disebut sebagai Clinical Judgment. Digabung dengan sikap empati, pengakuan
hak otonomi penderita, komunikasi yang baik dan beneficence, Clinical Judgment itu
disebut dan merupakan the “Art of Medicine”. Art atau Seni itu dianggap sebagai
suatu “proses intuitif”, yang sulit untuk dianalisa. Karena itu mereka mengatakan
bahwa

Evidence Based Medicine aims at the reduction of uncertainty

EBM itu adalah integrasi antara Clinical Expertise, Best Research Evidence dan
Personal Values. Apa yang dimaksud dengan Personal Values itu?

Menurut Sackett cs, Personal Values itu adalah :

The preferences, concerns and expectation each patient brings to a clinical encounter
and which must be integrated into clinical decision, if they are to serve the patients

Dengan pengintegrasian ketiga elemen ini, dokter dan penderita membuat kesepakatan
dalam membuat diagnosis dan terapi, yang pada gilirannya, akan berpengaruh
terhadap hasil pengobatan dan Quality of Life(QOL).

Kalau kita bicara tentang personal values dan QOL, berarti yang dipikirkan bukan
hanya masalah Penyakitnya saja, yang mempunyai nilai Nalar Murni, tetapi para
dokter itu memikirkan juga tentang Manusia-nya yang Sakit, yang mempunyai nuansa
Rasa yang bersifat “Intuitif dan berdasarkan Nurani (Art). Dengan demikian berarti
bahwa Art itu mempunyai tempat di dalam EBM

Jadi sebetulnya apa keuntungan dari EBM itu? Karena EBM itu merupakan
hasil nalar murni, maka peranannya adalah untuk menawarkan Protokol atau
Kebijakan Baru terhadap suatu penyakit, yang pada gilirannya, bisa membuat
Clinical Decision atau Keputusan Klinik yang baik.

Seperti telah diterangkan di atas, bahwa EBM dalam Public Health(PH) mungkin
bisa berperan dalam Health Promotion dan dapat memberikan kontribusi dalam Health
Promotion dan Disease Prevention. Karena menurut Sackett, EBM itu ditujukan untuk
individual patient, sedangkan menurut Cid Ruzafa, peranan EBM dalam PH sangat
terbatas, maka peranan EBM dalam ObGinSos skala makro, secara teoritis, akan
terbatas pula. Untuk itu, kita memerlukan kajian lebih lanjut. Bagaimana dengan skala
mikro? Pendekatan secara Biopsikososiospiritual itu tidak lain dari pendekatan clinical
medicine yang sudah kita kenal. Bio ditujukan kepada Penyakitnya dengan
menggunakan Iptek dan Ketrampilan yang mutakhir (CURE), yang berdasarkan Nalar
Murni(IQ), sedangkan Psikososiospiritual, ditujukan kepada Manusia yang Sakit yang
dilandasi oleh Rasa, bagaimana CURE yang baik itu, diberikan kepada orang yang
sakit secara holistik dan paripurna(IQ dan EQ).

Kesimpulan

Siklus praktik EBM menghendaki agar setiap saat menghadapi masalah dalam
praktik, kita harus melakukan langkah-langkah berikut: (1) memformulasi masalah
klinis menjadi pertanyaan yang dapat dijawab, (2) mencari bukti untuk menjawab
pertanyaan tersebut, (3) melakukan penilaian kritis terhadap bukti, dan (4)
menerapkan bukti-bukti tersebut terhadap pasien. Sedangkan praktik EBM sendiri
merupakan interseksi dari 3 komponen yakni (1) kompetensi dokter, (2) bukti ilmiah
yang sahih, penting, dan dapat diterapkan, dan (3) nilai-nilai pada pasien. Bila seorang
dokter secara konsisten melakukan langkah-langkah tersebut, maka hasil akhir yang
diharapkan adalah perilaku belajar mandiri seumur hidup dan kemauan untuk terus
belajar demi peningkatan kualitas pelayanan yang berkelanjutan. Simpulannya,
evidence-based medicine tidak lebih dari kerangka untuk menggunakan secara
sistematis hasil penelitian terkini yang sahih dan penting, serta relevan dengan nilai-
nilai yang ada pada pasien.

EBM dalam Public Health(PH) mungkin bisa berperan dalam Health


Promotion dan dapat memberikan kontribusi dalam Health Promotion dan Disease
Prevention. Tidak semua EBM dapat langsung diaplikasikan oleh semua professional
kebidanan di dunia. Oleh karena itu bukti ilmiah tersebut harus ditelaah terlebih
dahulu, mempertimbangkan manfaat dan kerugian serta kondisi setempat seperti
budaya, kebijakan dan lain sebagainya.
Daftar Pustaka

1. Martaadisoebrata D. Profesi Dokter, Perspektif Indonesia. Ed I YBPSP,


Jakarta, 2010.
2. Siswomihardjo KW. “Etika Sosial dalam Perspektif Kehidupan Masyarakat
Akamdemis”. PerNas I Bioetika dan Humaniora, 17-19 Agustus 2000,
Yogyakarta.

3. Jenicek M. Epidemiology, evidence -based medicine, and evidence-based


public health. J Epidemiol, 1997 Dec.7(4): 187-97.
4. Brown MM, Bron GC, Sharma S evidenced based to value based medicine.
Am Med Assoc 2005.www-ama-assn.org.
5. Baugust A, Haycox A, Sartain SA, Maxwell MJ, Todd P. Economic evaluation
of an acute pediatric hospital at home clinical trial.Arch Dis child.
2002;87:489-92
6. Amiruddin R dkk. Why Read Papers At All?, Evidence Based Public
Health/medicine. Posted on May 27, 2007. Filed under: epidemiologi
kontemporer I.
7. Martaadisoebrata M. Perkembangan Obstetri Ginekologi Sosial. Materi Kuliah
pada peserta (K) ObGinSos, Senter Bandung.
8. Hicky S, Robert H. Evidence-Based Medicine. Neither Good Evidence nor
Good Medicine. Orthomoleculer Medicine New Service, December 7: 2011
9. Pande Putu Januraga. Evidence Based Medicine-Evidence Based Public
Health-Evidence Based Health Policy, August 26 2007.
10. Sass HM. Bioethics. Its Philosophical Basis and Application: Bioethics, Issues
and Perspectives, 1999, Pan American Health Organization, USA.

Anda mungkin juga menyukai