Anda di halaman 1dari 12

EVIDENCE BASED MEDICINE DAN PERKEMBANGAN OBGINSOS

Atjo Adhmart

Angka kematian ibu dan bayi merupakan tolok ukur dalam menilai derajat
kesehatan suatu bangsa. Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) menunjukkan
Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia masih cukup tinggi. Menurut SDKI tahun 2013
terdapat sebanyak 359 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup. Penyebab langsung
kematian ibu di Indonesia seperti halnya di negara lain adalah perdarahan, infeksi, dan
eklampsia. Selain itu faktor penting lainnya yang berpengaruh terhadap kematian ibu
melahirkan antara lain pemberdayaan perempuan yang tidak begitu baik, latar belakang
pendidikan, sosial ekonomi keluarga, lingkungan masyarakat dan politik. Tingginya angka
kematian ibu di Indonesia salah satunya juga dikarenakan kurangnya perhatian suami
terhadap ibu hamil dan melahirkan.

Berdasarkan tingginya angka kematian ibu yang dialami sebagian besar negara
berkembang, maka WHO menetapkan salah satu usaha yang sangat penting untuk dapat
mencapai peningkatan pelayanan kesehatan reproduksi yang menyeluruh dan terpadu yaitu
dilaksanakannya praktik berdasar pada evidence-based. Dimana praktik-praktik kesehatan
reproduksi secara ilmiah telah dibuktikan dan dapat digunakan sebagai dasar praktik
terbaru yang lebih aman dan diharapkan dapat mengendalikan pelayanan kesehatan
reproduksi sehingga mampu memberikan pelayanan yang lebih bermutu dengan tujuan
menurunkan angka kematian ibu. Agar tujuannya itu bisa tercapai harus ditegakkan
diagnosis dan pengobatan yang tepat. Kedua keputusannya ini disebut Keputusan Klinik.

Keputusan klinik itu, harus merupakan hasil analisis yang matang, gabungan dari
kemampuan intelek akademis professional dalam mencari dan menilai data, serta
kemampuan untuk mengkomunikasikan keputusan klinik tersebut kepada pasien secara
baik. Pola pikir atau paradigma ini sebetulnya sudah dikenal sejak zaman Hippocrates,
disebut sebagai Clinical Medicine atau Kedokteran Klinik. Sesuai dengan perkembangan
ilmu dan bioteknologi, paradigma ini disebut Kedokteran Modern. Perkembangannya tidak
terlepas dari adanya bukti-bukti atau evidence baru sebagai hasil dari penelitian klinik.
Menurut Sackett et al. (1996) Evidence Based Medicine (EBM) adalah suatu
pendekatan medik yang didasarkan pada bukti-bukti ilmiah terkini utuk kepentingan
pelayanan kesehatan pasien, sedang Gaddes (2000) menyatakan bahwa Evidence Based
Medicine adalah strategi yang dibuat berdasarkan pengembangan teknologi informasi dan
epidemiologi klinik dan ditujukan untuk dapat menjaga dan mempertahankan ketrampilan
pelayanan medik dokter dengan basis bukti medis yang terbaik. Pengertian lain dari
evidence-based adalah proses yang digunakan secara sistematik untuk menemukan,
menelaah, mereview, dan memanfaatkan hasil-hasil studi sebagai dasar dari pengambilan
keputusan klinik.

Dengan demikian, EBM dapat diartikan sebagai pemanfaatan bukti ilmiah secara
seksama, eksplisit dan bijaksana dalam pengambilan keputusan untuk tatalaksana pasien.
Artinya mengintegrasikan kemampuan klinik individu dengan bukti ilmiah terbaik yang
diperoleh dari penelusuran informasi secara sistematis. Bukti ilmiah itu tidak dapat
menetapkan kesimpulan sendiri, melainkan membantu menunjang penalataksanaan pasien.
Integrasi penuh dari komponen-komponen ini dalam proses pengambilan keputusan akan
meningkatkan probabilitas untuk mendapatkan hasil pelayanan yang optimal dan kualitas
hidup yang lebih baik.

Praktik EBM itu sendiri banyak juga dicetuskan oleh adanya pertanyaan-pertanyaan
pasien tentang efek pengobatan, kegunaan pemeriksaan penunjang, prognosis penyakitnya,
atau penyebab kelainan yang dideritanya. EBM membutuhkan ketrampilan khusus,
termasuk didalamnya kemampuan untuk melakukan penelusuran literatur secara efisien dan
melakukan telaah kritis terhadap literatur tersebut menurut aturan-aturan yang telah
ditentukan.

Langkah-langkah dalam proses EBM adalah sebagai berikut :

1. Diawali dengan identifikasi masalah dari pasien atau yang timbul selama proses
tatalaksana penyakit pasien.
2. Dilanjutkan dengan membuat formulasi pertanyaan dari masalah klinis tersebut.
3. Pilihlah sumber yang tepat untuk mencari jawaban yang benar bagi pertanyaan tersebut.
4. Lakukan telaah kritis terhadap literatur yang didapatkan untuk menilai validitas
(mendekati kebenaran), pentingnya hasil penelitian itu serta kemungkinan
penerapannya pada pasien.
5. Setelah mendapatkan hasil telaah kritis, integrasikan bukti tersebut dengan kemampuan
klinik anda dan preferensi pasien yang seharusnya mendapatkan probabilitas
pemecahan masalah pelayanan pasien yang lebih baik.
6. Evaluasi proses penatalaksanaan penyakit/masalah pasien anda. Apakah berhasil atau
masih memerlukan tindakan lain?

Kemampuan menelaah secara kritis terhadap suatu artikel dengan tata cara tertentu
sudah dikenal sejak lama, namun EBM memperkenalkan tata cara telaah kritis
menggunakan lembar kerja yang spesifik untuk tiap jenis penelitian (diagnostik, terapi,
prognosis, metaanalisis, dan lain-lain). Tiga hal penting sebagai patokan telaah kritis yaitu :

1. Validitas penelitian, yang dapat dinilai dari metodologi/bahan dan cara.


2. Pentingnya hasil penelitian yang dapat dilihat dari bagian hasilo penelitian.
3. Aplikabilitas hasil penelitian tersebut pada lingkungan kita, yang dapat dinilai dari
bagian diskusi artikel tersebut.

Praktik EBM adalah suatu proses yang panjang dan berkelanjutan, melakukan
pembelajaran dan analisis berdasarkan masalah yang timbul dari pasien dan karenanya bisa
menemukan informasi yang penting dalam aspek diagnosis, terapi, prognosis, atau aspek
lainnya dari pelayanan kesehatan, antara lain pedoman pengobatan, prosedur tetap (protap),
dan sebagainya. Melalui proses ini diharapkan juga praktisi klinik akan memfokuskan
topik bacaannya pada masalah yang terkait dengan pasien. Sebagian ahli beranggapan
bahwa EBM mengubah kebiasaan para dokter untuk menilai sebuah artikel dari membaca
abstraknya saja, menjadi suatu kebiasaan menelaah secara kritis suatu artikel untuk
kepentingan pasien dan dengan sendirinya memperluas basis pengetahuan.

Revolusi dalam bidang Genom, memungkinkan diberikannya obat yang paling tepat
untuk orang-orang tertentu, bukan saja dalam aktivitasnya, tetapi juga cara menghindarkan
efek samping. Pelayanan medik berdasar informasi genom disebut Personalised Medicine.
Manfaat yang dapat diperoleh dari EBM antara lain keamanan bagi tenaga
kesehatan karena intervensi yang diberikan berdasarkan bukti ilmiah, meningkatkan
kompetensi, memenuhi tuntutan dan kewajiban sebagai profesional dalam memberikan
pelayanan yang bermutu, serta memenuhi kepuasan pasien. EBM merupakan keterpaduan
antara bukti-bukti ilmiah yang berasal dari studi yang terpercaya (best research evidence),
keahlian klinis (clinical expertice), dan nilai-nilai yang ada pada masyarakat (patient
value). EBM sangat penting peranannya pada dunia Obginsos karena dapat mencegah
tindakan yang tidak diperlukan atau tidak bermanfaat bahkan merugikan bagi pasien.

Obginsos adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara alat dan
fungsi reproduksi dengan lingkungannya, terutama lingkungan sosial. Secara “makro”,
Obginsos harus dapat menyelesaikan masalah besar dalam masyarakat melalui gagasan
“Hospital without a Wall”, didukung dengan semangat kerja berdasarkan kemitraan dan
lintas sektoral. Dengan lain perkataan, Obginsos dalam skala makro, tidak berbeda dengan
Ilmu Kesehatan Masyarakat atau Public Health, khususnya dalam bidang Obstetri
Ginekologi. Pada skala makro, Obginsos mengakui tentang adanya faktor risiko yang
bersifat sosial, seperti umur dan paritas, sehingga dapat menghilangkan atau mengurangi
faktor risiko tersebut dengan upaya promotif dan preventif, agar tidak/kurang
bermanifestasi dalam keluhan dan gejala klinik.

Sedangkan secara “mikro”, harus bisa menyelesaikan masalah individu melaui


falsafah pelayanan “Biomedikopsikososiospiritual”, dimana di dalamnya sudah tercakup
unsur “Cure” dan “Care” secara proporsional. Pelayanan ini merupakan upaya kuratif dan
rehabilitatif yang bersifat individual dengan pendekatan Clinical Medicine.

Jenicek mengatakan bahwa EBM dalam Public Health (PH) mungkin bisa berperan
dalam health promotion, sedangkan menurut Cid Ruzafa et al. EBM dalam PH mungkin
dapat memberikan kontribusi dalam health promotion dan disease prevention. Karena
menurut Sackett, EBM ditujukan untuk individual patient, sedangkan menurut Cid Ruzafa,
peranan EBM dalam PH sangat terbatas, maka peranan EBM dalam Obginsos skala makro,
secara teoritis akan terbatas pula. Untuk itu, kita memerlukan kajian lebih lanjut.
Antenatal Care berdasarkan Evidence Based Madicine (EBM)

A. Fokus Lama Antenatal Care :


1. Mengumpulkan data dalam upaya mengidentifikasi ibu hamil yang berisiko tinggi
dan merujuknya untuk mendapatkan asuhan khusus.
2. Temuan-temuan fisik (TB, BB, ukuran pelvik, edema kaki, posisi dan presentasi
janin di bawah usia 36 minggu dan sebagainya) yang memperkirakan kategori
risiko ibu.
3. Pendekatan risiko mempunyai prediksi yang buruk karena kita tidak bisa
membedakan ibu yang akan mengalami komplikasi dan yang tidak. Banyak ibu
yang digolongkan dalam kelompok risiko tinggi tidak pernah mengalami
komplikasi, sementara mereka telah memakai sumber daya yang cukup mahal dan
jarang didapat. Penelitian menunjukkan bahwa pemberian asuhan khusus pada ibu
yang tergolong dalam kategori risiko tinggi terbukti tidak dapat mengurangi
komplikasi yang terjadi.
4. Pada ibu hamil risiko rendah tidak diberi pengetahuan tentang risiko tinggi, tidak
dipersiapkan mengatasi kegawatdaruratan obstetri dan memberi keamana palsu
sebab banyak ibu yang tergolong kelompok risiko rendah mengalami komplikasi
tetapi tidak pernah diberitahu bagaimana cara mengetahui dan apa yang dapat
dilakukannya.
5. Pelajaran yang dapat diambil dari pendekatan risiko adalah bahwa setiap ibu hamil
berisiko mengalami komplikasi yang sangat tidak bisa diprediksi sehingga setiap
ibu hamil harus mempunyai akses asuhan kehamilan dan persalinan yang
berkualitas. Karenanya fokus antenatal care perlu diperbaharui agar asuhan
kehamilan lebih efektif dan dapat dijangkau oleh setiap ibu hamil.

B. Pembaharuan Antenatal Care :


1. Membantu setiap bumil dan keluarganya membuat perencanaan persalinan
(petugas kesehatan yang terampil, tempat bersalin, nutrisi yang baik selama hamil,
persiapan perlengkapan ibu dan bayi).
2. Melakukan skrining/penapisan kondisi-kondisi yang memerlukan persalinan di
rumah sakit (riwayat seksio sesar, riwayat obstetri buruk, dan sebagainya).
3. Mendeteksi dan menangani komplikasi (preeklampsia, perdarahan pervaginam,
anemia berat, tuberkulosis, malaria, dan sebagainya).
4. Membantu setiap bumil dan keluarganya mempersiapkan diri menghadapi
komplikasi (deteksi dini, menentukan orang yang akan membuat keputusan, dana
kegawatdaruratan, komunikasi, transportasi dan donor darah).
5. Mendeteksi kehamilan ganda setelah usia kehamilan 28 minggu, letak dan
presentasi abnormal setelah 36 minggu.
6. Memberikan imunisasi Tetanus Toxoid untuk mencegah kematian karena tetanus.
7. Memberikan suplemen zat besi dan asam folat untuk mencegah anemia.

C. Issue-Issue Terkini dalam Antenatal Care :


1. Pemberdayaan Perempuan
a. Status perempuan dalam masyarakat masih rendah.
b. Kesehatan reproduksi, dimana seorang perempuan mengalami hamil,
melahirkan serta nifas yang berisiko menyebabkan kematian.
c. Kurangnya modal dalam upaya pemeliharaan kesehatan.
d. Faktor sosial budaya, ekonomi, pendidikan, pelayanan kesehatan, dan lain-lain.
2. Keterlibatan klien dalam perawatan diri sendiri (self care)
Kesadaran dan tanggung jawab klien terhadap perawatan diri sendiri selama hamil
semakin meningkat. Klien tidak lagi hanya menerima dan mematuhi anjuran
petugas kesehatan secara pasif. Kecenderungan saat ini klien lebih aktif dalam
mencari informasi, berperan secara aktif dalam perawatan diri dan mengubah
perilaku untuk mendapatkan outcome kehamilan yang lebih baik. Kemampuan
klien dalam merawat diri sendiri dipandang sangat menguntungkan baik bagi klien
maupun sistem pelayanan kesehatan karena dapat menekan biaya perawatan.
3. Antenatal care pada usia kehamilan dini
Data statistik mengenai kunjungan antenatal care trimester pertama menunjukkan
peningkatan yang signifikan. Hal ini sangat baik sebab memungkinkan profesi
kesehatan mendeteksi dini dan segera menangani masalah-masalah yang timbul
sejak awal kehamilan. Kesempatan untuk memberikan pendidikan kesehatan
tentang perubahan perilaku yang diperlukan selama hamil juga lebih banyak.
4. Praktik yang berdasarkan bukti (evidence-based practice)
Praktik kebidanan sekarang lebih didasarkan pada bukti ilmiah hasil penelitian dan
pengalaman praktik terbaik dari para praktisi di seluruh dunia. Rutinitas yang tidak
terbukti manfaatnya kini tidak dianjurkan lagi. Sesuai dengan evidence-based
practice, pemerintah telah menetapkan program kebijakan antenatal care sebagi
berikut :
a. Kunjungan antenatal :
Dilakukan minimal 4 kali selama kehamilan.
b. Pemberian suplemen mikronutrien :
Tablet Fe dan asam folat diberian selama 90 hari (3 bulan). Ibu harus dinasehati
agar tidak meminumnya bersama the/kopi agar tidak mengganggu
penyerapannya.
c. Imunisasi TT 0,5 cc :
Dilakukan 5 kali dengan interval dan perlindungan seumur hidup sampai 99%.
d. Perhitungan DJJ :
Dahulu perhitungan DJJ adalah 15 detik dikalikan 4. Tapi sekarang perhitungan
dilakukan selama 1 (satu) menit penuh.
5. Evidence Based Medicine (EBM) dalam Praktik Kehamilan
a. Diet rendah garam mengurangi kejadian hipertensi.
Fakta : hipertensi bukan karena retensi garam.
b. Membatasi hubungan seksual untuk mencegah abortus dan kelahiran prematur.
Fakta : dianjurkan untuk memakai kondom agar sel semen yang mengandung
prostaglandin tidak kontak langsung dengan organ reproduksi yang dapat
memicu kontraksi uterus.
c. Pemberian kalsium untuk mencegah kram pada kaki.
Fakta : kram pada kaki bukan semata-mata disebabkan oleh kekurangan
kalsium.
d. Diet air es dapat mencegah bayi besar. Minum es atau minuman dingin diyakini
menyebabkan janin membesar atau membeku sehingga dikhawatirkan bayi akan
sulit keluar pada waktu persalinan.
Fakta : sebenarnya yang menyebabkan bayi besar adalah makanan yang bergizi
baik dan faktor keturunan.

Dukungan Persalinan berdasarkan Evidence Based Medicine (EBM)

Dukungan persalinan adalah suatu asuhan yang sifatnya mendukung yaitu kegiatan
yang bersifat aktif dan ikut serta selama proses persalinan yang merupakan suatu standar
pelayanan kebidanan, dimana ibu dibebaskan untuk memilih pendamping persalinan sesuai
keinginannya, misalnya suami atau keluarga terdekat yang mengerti tentang dirinya.
Adapun jenis dukungan persalinan adalah :

1. Dukungan persalinan yang bersifat fisik adalah dukungan langsung berupa pertolongan
langsung yang diberikan oleh suami atau keluarga kepada ibu bersalin.
2. Dukungan persalinan yang bersifat emosional adalah dukungan berupa kehangatan,
kepedulian maupun ungkapan empati yang menimbulkan keyakinan bahwa ibu merasa
dicintai dan diperhatikan oleh suami atau keluarga yang pada akhirnya berpengaruh
kepada keberhasilan persalinan.

Persalinan adalah saat menegangkan dan menggugah emosi bagi ibu dan keluarga.
Persalinan menjadi saat yang menyakitkan dan menakutkan bagi ibu, karena itu pastikan
bahwa setiap ibu mendapatkan asuhan saying ibu selama persalinan. Asuhan ibu yang
dimaksud berupa dukungan emosional dari suami dan keluarga untuk berada di samping
ibu selama proses persalinan dan kelahiran.

Suami dianjurkan untuk melakukan peran aktif dalam mendukung ibu dan
mengidentifikasi langkah-langkah yang mungkin untuk kenyamanan ibu. Hargai keinginan
ibu untuk menghadirkan teman atau saudara untuk menemaninya. Dukungan suami dalam
proses persalinan akan memberi efek pada sistem limbic ibu yaitu dalam hal emosi, dimana
emosi ibu yang tenang akan menyebabkan sel-sel neuronnya akan mensekresi hormon
oksitosin yang reaksinya akan menyebabkan kontraktilitas uterus pada akhir kehamilan
untuk kelahiran. Pendampingan merupakan keberadaan seseorang yang mendampingi atau
terlibat langsung sebagai pemandu persalinan, dimana yang terpenting adalah dukungan
yang diberikan pendamping persalinan selama kehamilan, persalinan, dan nifas agar proses
persalinan yang dilaluinya berjalan dengan lancer dan memberi kenyamanan bagi ibu
(Sholihah, 2004).

Pendampingan persalinan yang tepat harus memahami peran apa yang dilakukan
dalam proses persalinan nanti. Peran suami yang ideal diharapkan dapat jadi pendamping
secara aktif dalam proses persalinan. Harapan terhadap suami ini tergantung dari tingkat
kesiapan suami menghadapi proses kelahiran secara langsung. Ada tiga jenis peran yang
dapat dilakukan oleh suami selama proses persalinan yaitu peran sebagai pelatih, teman
satu tim, dan peran sebagai saksi (Bobak dan Lowdermilk, 2002).

Peran sebagai pelatih diperlihatkan suami secara aktif dalam membantu proses
persalinan istri, pada saat kontraksi hingga selesai persalinan. Beberapa dukungan yang
diberikan suami dalam perannya sebagai pelatih antara lain memberikan bantuan teknik
pernapasan yang efektif dan memberikan pijatan di daerah punggung. Selain itu suami juga
dapat memberikan dorongan spiritual dengan ikut berdoa (Smith, 1999).

Hasil penelitian Kainz dan Eliasson (2010) terhadap 67 ibu primigravida di Swedia
menunjukkan bahwa peran aktif suami yaitu membantu bidan untuk memantau
peningkatan rasa nyeri, mengontrol adanya pengurangan nyeri, dan mengontrol kontraksi.
Selain itu, para suami juga memberikan bantuan untuk menjadi advokat ketika ibu ingin
berkomunikasi selama proses persalinan. Dalam kondisi ini, kehadiran suami akan sangat
membantu jika suami peka dengan apa yang ingin dikatakan istrinya dan berusaha
menyampaikannya kepada bidan.

Tingkatan peran kedua adalah peran sebagai teman satu tim, ditunjukkan dengan
tindakan suami yangmembantu memenuhi permintaan ibu selama proses persalinan. Peran
ini biasanya sebagai pembantu dan pendamping ibu, seperti memberikan posisi yang
nyaman, memberikan minum, menemani ibu ketika pergi ke kamar kecil, memegang
tangan dan kaki, menyeka keringat dan membantu ibu dalam pemilihan posisi yang
nyaman saat persalinan. Bentuk dukungan yang menggunakan sentuhan menunjukkan
ekspresi psikologis dan emosional suami yaitu rasa peduli, empati dan simpati terhadap
kondisi ibu yang sedang merasakan nyeri hebat dalam proses persalinan (Smith, 1999).

Sementara itu, dukungan psikologis dan emosional yang diberikan oleh suami
antara lain membantu menenangkan ibu dengan kata-kata yang memberikan penguatan
positif seperti memberi dorongan semangat mengedan saat mengedan serta memberikan
pujian atas kemampuan ibu saat mengedan. Ibu dapat merasakan ketenangan dan
memdapat kekuatan yang hebat kletika suaminya menggenggam tangannya (Kainz dan
Eliasson, 2010).

Suami yang hanya berperan sebagai saksi menunjukkan keterlibatan yang kurang
dibandingkan peran sebagaim pelatih atau teman satu tim. Dalam berperan sebagai saksi,
suami hanya memberikan dukungan emosi dan moral saja (Bobak dan Lowdermilk, 2002).
Biasanya suami tetap memperhatikan kondisi ibu, tetapi sering kali suaminya hanya
menunggu istri di luar ruang persalinan. Perilaku ini ditunjukkan suami karena mereka
yakin tidak banyak yang dapat mereka lakukan, sehingga menyerahkan sepenuhnya kepada
penolong persalinan. Alaasan suami memilih peran hanya sebagai saksi karena kurangnya
kepercayaan diri atau memang kehadirannya kurang diinginkan oleh istri.

Berdasarkan bukti ilmiah, pendampingan selama proses persalinan dapat


memberikan manfaat, seperti :

1. Ikut bertanggung jawab mempersiapkan kekuatan mental istri dalam menghadapi


persalinan, memberi rasa tenang dan penguat psikis bagi istri.
2. Selalu ada bila dibutuhkan, kedekatan emosi suami-istri bertambah, menumbuhkan
naluri kebapakan, suami akan lebih menghargai istri.
3. Membantu keberhasilan inisiasi menyusu dini (IMD), pemenuhan nutrisi dan
membantu mengurangi nyeri saat persalinan.
4. Waktu persalinan lebih singkat, intervensi lebih sedikit dan hasil persalinan dan
kelahiran lebih baik.
Kesimpulan

Paradigma baru yang berdasarkan Evidence Based Medicine terkini, terbukti dapat
mencegah dan mengurangi komplikasi yang sering terjadi pada kehamilan dan persalinan.
Hal ini memberi manfaat yang nyata dan mampu membantu upaya penurunan angka
kematian ibu dan bayi baru lahir.

Banyak pro dan kontra yang timbul dalam penerapan EBM di bidang Obginsos ini,
namun tampaknya pengenalan dan pendalaman Evidence Based Medicine merupakan
keharusan bagi praktisi klinik, khususnya bagi mereka yang ingin meningkatkan
keberhasilan pelayanan Kesehatan Reproduksi.
Daftar Pustaka

1. Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI). Laporan Pendahuluan Survei


Demografi Indonesia. BKKBN : 2013 Okt 7; Jakarta.
2. Sackett D. Evidence Based Medicine: How to Practice and Teach EBM. 2nd Ed.
Churchill Livingstone; 2000.
3. Bordley DR. Evidence Based Medicine: A Powerfull Educational Tool for Clerkship
Education. American Journal of Medicine 1997; 102(5):427-32.
4. Covel DG, Uman CG, Manning PR. Information Needs in Office Practice: are They
being Met? Annuals of of Internal Medicine 1995; 103(4):596-9.
5. Oscheroff JA, Forsythe DE, Buchanan BG, Bankowitz RA, Blumenfeld BH, Miller
RA. Physicians’ Information Needs: Analysis of Questions Posed During Clinical
Teaching. Annuals of Internal Medicine 1991; 114(7):576-81.
6. Martaadisoebrata D. Evidence Based Medicine Dalam Obstetri Ginekologi Sosial. In :
Obstetri Ginekologi Sosial Wawasan, Kebijakan, Kompetensi. Bandung : Departemen
Obgin FK Unpad RS Dr. Hasan Sadikin; 2012.p.102-33.
7. Depkes RI. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik
Indonesia; 2007.
8. Saifuddin AB. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal Dan Neonatal.
Jakarta : YBP Sarwono Prawirohardjo; 2007.
9. Djami EUM. Isu Terkini Dan Evidence Based Dalam Praktek Kebidanan. Wordpress
2013.
10. Sarlita D. Dukungan Persalinan Berdasarkan Evidence Based Dalam Asuhan
Kebidanan Intranatal. Blogspot 2014.
11. Sholihah L. Persiapan dan Strategi Menghadapi Persalinan Sehat dan Alamiah.
Jakarta : Diva Press; 2004.
12. Bobak IM, Jensen MD, Lowdermilk DL. Perry SE. Maternity Nursing 6th Ed. Elsevier
Health Sciences; 2002.
13. Smith MJ. A place for the partner? Expectations and experiences of support during
childbirth. Midwifery 1999; 15 (2) : 101-108. Doi : 1-.1016/ S0266-6138(99)90006 – 2.
14. Kainz G, Eliasson M, von Post I. The child’s father, an important person for the
mother’s well – being during the childbirth : a hermeneutic study. Health Care for
Woman International 2010; 31 (7) : 621m – 35. Doi:10.1080/07399331003725499.

Anda mungkin juga menyukai