Atjo Adhmart
Angka kematian ibu dan bayi merupakan tolok ukur dalam menilai derajat
kesehatan suatu bangsa. Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) menunjukkan
Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia masih cukup tinggi. Menurut SDKI tahun 2013
terdapat sebanyak 359 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup. Penyebab langsung
kematian ibu di Indonesia seperti halnya di negara lain adalah perdarahan, infeksi, dan
eklampsia. Selain itu faktor penting lainnya yang berpengaruh terhadap kematian ibu
melahirkan antara lain pemberdayaan perempuan yang tidak begitu baik, latar belakang
pendidikan, sosial ekonomi keluarga, lingkungan masyarakat dan politik. Tingginya angka
kematian ibu di Indonesia salah satunya juga dikarenakan kurangnya perhatian suami
terhadap ibu hamil dan melahirkan.
Berdasarkan tingginya angka kematian ibu yang dialami sebagian besar negara
berkembang, maka WHO menetapkan salah satu usaha yang sangat penting untuk dapat
mencapai peningkatan pelayanan kesehatan reproduksi yang menyeluruh dan terpadu yaitu
dilaksanakannya praktik berdasar pada evidence-based. Dimana praktik-praktik kesehatan
reproduksi secara ilmiah telah dibuktikan dan dapat digunakan sebagai dasar praktik
terbaru yang lebih aman dan diharapkan dapat mengendalikan pelayanan kesehatan
reproduksi sehingga mampu memberikan pelayanan yang lebih bermutu dengan tujuan
menurunkan angka kematian ibu. Agar tujuannya itu bisa tercapai harus ditegakkan
diagnosis dan pengobatan yang tepat. Kedua keputusannya ini disebut Keputusan Klinik.
Keputusan klinik itu, harus merupakan hasil analisis yang matang, gabungan dari
kemampuan intelek akademis professional dalam mencari dan menilai data, serta
kemampuan untuk mengkomunikasikan keputusan klinik tersebut kepada pasien secara
baik. Pola pikir atau paradigma ini sebetulnya sudah dikenal sejak zaman Hippocrates,
disebut sebagai Clinical Medicine atau Kedokteran Klinik. Sesuai dengan perkembangan
ilmu dan bioteknologi, paradigma ini disebut Kedokteran Modern. Perkembangannya tidak
terlepas dari adanya bukti-bukti atau evidence baru sebagai hasil dari penelitian klinik.
Menurut Sackett et al. (1996) Evidence Based Medicine (EBM) adalah suatu
pendekatan medik yang didasarkan pada bukti-bukti ilmiah terkini utuk kepentingan
pelayanan kesehatan pasien, sedang Gaddes (2000) menyatakan bahwa Evidence Based
Medicine adalah strategi yang dibuat berdasarkan pengembangan teknologi informasi dan
epidemiologi klinik dan ditujukan untuk dapat menjaga dan mempertahankan ketrampilan
pelayanan medik dokter dengan basis bukti medis yang terbaik. Pengertian lain dari
evidence-based adalah proses yang digunakan secara sistematik untuk menemukan,
menelaah, mereview, dan memanfaatkan hasil-hasil studi sebagai dasar dari pengambilan
keputusan klinik.
Dengan demikian, EBM dapat diartikan sebagai pemanfaatan bukti ilmiah secara
seksama, eksplisit dan bijaksana dalam pengambilan keputusan untuk tatalaksana pasien.
Artinya mengintegrasikan kemampuan klinik individu dengan bukti ilmiah terbaik yang
diperoleh dari penelusuran informasi secara sistematis. Bukti ilmiah itu tidak dapat
menetapkan kesimpulan sendiri, melainkan membantu menunjang penalataksanaan pasien.
Integrasi penuh dari komponen-komponen ini dalam proses pengambilan keputusan akan
meningkatkan probabilitas untuk mendapatkan hasil pelayanan yang optimal dan kualitas
hidup yang lebih baik.
Praktik EBM itu sendiri banyak juga dicetuskan oleh adanya pertanyaan-pertanyaan
pasien tentang efek pengobatan, kegunaan pemeriksaan penunjang, prognosis penyakitnya,
atau penyebab kelainan yang dideritanya. EBM membutuhkan ketrampilan khusus,
termasuk didalamnya kemampuan untuk melakukan penelusuran literatur secara efisien dan
melakukan telaah kritis terhadap literatur tersebut menurut aturan-aturan yang telah
ditentukan.
1. Diawali dengan identifikasi masalah dari pasien atau yang timbul selama proses
tatalaksana penyakit pasien.
2. Dilanjutkan dengan membuat formulasi pertanyaan dari masalah klinis tersebut.
3. Pilihlah sumber yang tepat untuk mencari jawaban yang benar bagi pertanyaan tersebut.
4. Lakukan telaah kritis terhadap literatur yang didapatkan untuk menilai validitas
(mendekati kebenaran), pentingnya hasil penelitian itu serta kemungkinan
penerapannya pada pasien.
5. Setelah mendapatkan hasil telaah kritis, integrasikan bukti tersebut dengan kemampuan
klinik anda dan preferensi pasien yang seharusnya mendapatkan probabilitas
pemecahan masalah pelayanan pasien yang lebih baik.
6. Evaluasi proses penatalaksanaan penyakit/masalah pasien anda. Apakah berhasil atau
masih memerlukan tindakan lain?
Kemampuan menelaah secara kritis terhadap suatu artikel dengan tata cara tertentu
sudah dikenal sejak lama, namun EBM memperkenalkan tata cara telaah kritis
menggunakan lembar kerja yang spesifik untuk tiap jenis penelitian (diagnostik, terapi,
prognosis, metaanalisis, dan lain-lain). Tiga hal penting sebagai patokan telaah kritis yaitu :
Praktik EBM adalah suatu proses yang panjang dan berkelanjutan, melakukan
pembelajaran dan analisis berdasarkan masalah yang timbul dari pasien dan karenanya bisa
menemukan informasi yang penting dalam aspek diagnosis, terapi, prognosis, atau aspek
lainnya dari pelayanan kesehatan, antara lain pedoman pengobatan, prosedur tetap (protap),
dan sebagainya. Melalui proses ini diharapkan juga praktisi klinik akan memfokuskan
topik bacaannya pada masalah yang terkait dengan pasien. Sebagian ahli beranggapan
bahwa EBM mengubah kebiasaan para dokter untuk menilai sebuah artikel dari membaca
abstraknya saja, menjadi suatu kebiasaan menelaah secara kritis suatu artikel untuk
kepentingan pasien dan dengan sendirinya memperluas basis pengetahuan.
Revolusi dalam bidang Genom, memungkinkan diberikannya obat yang paling tepat
untuk orang-orang tertentu, bukan saja dalam aktivitasnya, tetapi juga cara menghindarkan
efek samping. Pelayanan medik berdasar informasi genom disebut Personalised Medicine.
Manfaat yang dapat diperoleh dari EBM antara lain keamanan bagi tenaga
kesehatan karena intervensi yang diberikan berdasarkan bukti ilmiah, meningkatkan
kompetensi, memenuhi tuntutan dan kewajiban sebagai profesional dalam memberikan
pelayanan yang bermutu, serta memenuhi kepuasan pasien. EBM merupakan keterpaduan
antara bukti-bukti ilmiah yang berasal dari studi yang terpercaya (best research evidence),
keahlian klinis (clinical expertice), dan nilai-nilai yang ada pada masyarakat (patient
value). EBM sangat penting peranannya pada dunia Obginsos karena dapat mencegah
tindakan yang tidak diperlukan atau tidak bermanfaat bahkan merugikan bagi pasien.
Obginsos adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara alat dan
fungsi reproduksi dengan lingkungannya, terutama lingkungan sosial. Secara “makro”,
Obginsos harus dapat menyelesaikan masalah besar dalam masyarakat melalui gagasan
“Hospital without a Wall”, didukung dengan semangat kerja berdasarkan kemitraan dan
lintas sektoral. Dengan lain perkataan, Obginsos dalam skala makro, tidak berbeda dengan
Ilmu Kesehatan Masyarakat atau Public Health, khususnya dalam bidang Obstetri
Ginekologi. Pada skala makro, Obginsos mengakui tentang adanya faktor risiko yang
bersifat sosial, seperti umur dan paritas, sehingga dapat menghilangkan atau mengurangi
faktor risiko tersebut dengan upaya promotif dan preventif, agar tidak/kurang
bermanifestasi dalam keluhan dan gejala klinik.
Jenicek mengatakan bahwa EBM dalam Public Health (PH) mungkin bisa berperan
dalam health promotion, sedangkan menurut Cid Ruzafa et al. EBM dalam PH mungkin
dapat memberikan kontribusi dalam health promotion dan disease prevention. Karena
menurut Sackett, EBM ditujukan untuk individual patient, sedangkan menurut Cid Ruzafa,
peranan EBM dalam PH sangat terbatas, maka peranan EBM dalam Obginsos skala makro,
secara teoritis akan terbatas pula. Untuk itu, kita memerlukan kajian lebih lanjut.
Antenatal Care berdasarkan Evidence Based Madicine (EBM)
Dukungan persalinan adalah suatu asuhan yang sifatnya mendukung yaitu kegiatan
yang bersifat aktif dan ikut serta selama proses persalinan yang merupakan suatu standar
pelayanan kebidanan, dimana ibu dibebaskan untuk memilih pendamping persalinan sesuai
keinginannya, misalnya suami atau keluarga terdekat yang mengerti tentang dirinya.
Adapun jenis dukungan persalinan adalah :
1. Dukungan persalinan yang bersifat fisik adalah dukungan langsung berupa pertolongan
langsung yang diberikan oleh suami atau keluarga kepada ibu bersalin.
2. Dukungan persalinan yang bersifat emosional adalah dukungan berupa kehangatan,
kepedulian maupun ungkapan empati yang menimbulkan keyakinan bahwa ibu merasa
dicintai dan diperhatikan oleh suami atau keluarga yang pada akhirnya berpengaruh
kepada keberhasilan persalinan.
Persalinan adalah saat menegangkan dan menggugah emosi bagi ibu dan keluarga.
Persalinan menjadi saat yang menyakitkan dan menakutkan bagi ibu, karena itu pastikan
bahwa setiap ibu mendapatkan asuhan saying ibu selama persalinan. Asuhan ibu yang
dimaksud berupa dukungan emosional dari suami dan keluarga untuk berada di samping
ibu selama proses persalinan dan kelahiran.
Suami dianjurkan untuk melakukan peran aktif dalam mendukung ibu dan
mengidentifikasi langkah-langkah yang mungkin untuk kenyamanan ibu. Hargai keinginan
ibu untuk menghadirkan teman atau saudara untuk menemaninya. Dukungan suami dalam
proses persalinan akan memberi efek pada sistem limbic ibu yaitu dalam hal emosi, dimana
emosi ibu yang tenang akan menyebabkan sel-sel neuronnya akan mensekresi hormon
oksitosin yang reaksinya akan menyebabkan kontraktilitas uterus pada akhir kehamilan
untuk kelahiran. Pendampingan merupakan keberadaan seseorang yang mendampingi atau
terlibat langsung sebagai pemandu persalinan, dimana yang terpenting adalah dukungan
yang diberikan pendamping persalinan selama kehamilan, persalinan, dan nifas agar proses
persalinan yang dilaluinya berjalan dengan lancer dan memberi kenyamanan bagi ibu
(Sholihah, 2004).
Pendampingan persalinan yang tepat harus memahami peran apa yang dilakukan
dalam proses persalinan nanti. Peran suami yang ideal diharapkan dapat jadi pendamping
secara aktif dalam proses persalinan. Harapan terhadap suami ini tergantung dari tingkat
kesiapan suami menghadapi proses kelahiran secara langsung. Ada tiga jenis peran yang
dapat dilakukan oleh suami selama proses persalinan yaitu peran sebagai pelatih, teman
satu tim, dan peran sebagai saksi (Bobak dan Lowdermilk, 2002).
Peran sebagai pelatih diperlihatkan suami secara aktif dalam membantu proses
persalinan istri, pada saat kontraksi hingga selesai persalinan. Beberapa dukungan yang
diberikan suami dalam perannya sebagai pelatih antara lain memberikan bantuan teknik
pernapasan yang efektif dan memberikan pijatan di daerah punggung. Selain itu suami juga
dapat memberikan dorongan spiritual dengan ikut berdoa (Smith, 1999).
Hasil penelitian Kainz dan Eliasson (2010) terhadap 67 ibu primigravida di Swedia
menunjukkan bahwa peran aktif suami yaitu membantu bidan untuk memantau
peningkatan rasa nyeri, mengontrol adanya pengurangan nyeri, dan mengontrol kontraksi.
Selain itu, para suami juga memberikan bantuan untuk menjadi advokat ketika ibu ingin
berkomunikasi selama proses persalinan. Dalam kondisi ini, kehadiran suami akan sangat
membantu jika suami peka dengan apa yang ingin dikatakan istrinya dan berusaha
menyampaikannya kepada bidan.
Tingkatan peran kedua adalah peran sebagai teman satu tim, ditunjukkan dengan
tindakan suami yangmembantu memenuhi permintaan ibu selama proses persalinan. Peran
ini biasanya sebagai pembantu dan pendamping ibu, seperti memberikan posisi yang
nyaman, memberikan minum, menemani ibu ketika pergi ke kamar kecil, memegang
tangan dan kaki, menyeka keringat dan membantu ibu dalam pemilihan posisi yang
nyaman saat persalinan. Bentuk dukungan yang menggunakan sentuhan menunjukkan
ekspresi psikologis dan emosional suami yaitu rasa peduli, empati dan simpati terhadap
kondisi ibu yang sedang merasakan nyeri hebat dalam proses persalinan (Smith, 1999).
Sementara itu, dukungan psikologis dan emosional yang diberikan oleh suami
antara lain membantu menenangkan ibu dengan kata-kata yang memberikan penguatan
positif seperti memberi dorongan semangat mengedan saat mengedan serta memberikan
pujian atas kemampuan ibu saat mengedan. Ibu dapat merasakan ketenangan dan
memdapat kekuatan yang hebat kletika suaminya menggenggam tangannya (Kainz dan
Eliasson, 2010).
Suami yang hanya berperan sebagai saksi menunjukkan keterlibatan yang kurang
dibandingkan peran sebagaim pelatih atau teman satu tim. Dalam berperan sebagai saksi,
suami hanya memberikan dukungan emosi dan moral saja (Bobak dan Lowdermilk, 2002).
Biasanya suami tetap memperhatikan kondisi ibu, tetapi sering kali suaminya hanya
menunggu istri di luar ruang persalinan. Perilaku ini ditunjukkan suami karena mereka
yakin tidak banyak yang dapat mereka lakukan, sehingga menyerahkan sepenuhnya kepada
penolong persalinan. Alaasan suami memilih peran hanya sebagai saksi karena kurangnya
kepercayaan diri atau memang kehadirannya kurang diinginkan oleh istri.
Paradigma baru yang berdasarkan Evidence Based Medicine terkini, terbukti dapat
mencegah dan mengurangi komplikasi yang sering terjadi pada kehamilan dan persalinan.
Hal ini memberi manfaat yang nyata dan mampu membantu upaya penurunan angka
kematian ibu dan bayi baru lahir.
Banyak pro dan kontra yang timbul dalam penerapan EBM di bidang Obginsos ini,
namun tampaknya pengenalan dan pendalaman Evidence Based Medicine merupakan
keharusan bagi praktisi klinik, khususnya bagi mereka yang ingin meningkatkan
keberhasilan pelayanan Kesehatan Reproduksi.
Daftar Pustaka