Anda di halaman 1dari 32

Suksesi dan Berpindahnya Ibukota Mataram (01)

Poligami Senopati Picu Referendum Adipati Pati

Kusno S. Utomo  •  12 Jun 2019

Kerajaan Mataram baru saja menundukkan Kadipaten Madiun. Ekspansi militer Tentara Nasional
Mataram (TNM) meraih sukses besar. Operasi militer itu dipimpin langsung Raja Mataram
Panembahan Senopati.

Wilayah Mataram bukan saja bertambah luas. Namun Senopati juga mendapatkan putri
boyongan. Sekar Kedhatonatau putri kinasih  Adipati Madiun Pangeran Timur kepincut dengan
kewibawaan Senopati.

Retno Dumilah, sang Sekar Kedhaton  itu jatuh hati. Upayanya mempertahankan Kadipaten Madiun
kandas. Padahal Retno Dumilah telah dibekali pusaka kerajaan yang ngedap-edapi. Keris Kanjeng
Kyai Gumarang. Keris warisan Keraton Demak  konon sekarang tersimpan di Kadipaten Pakualaman.

Kehebatan keris Kyai Gumarang itu runtuh dengan diplomasi Senopati. Ada deal  politik yang
dibangun. Senopati bersedia menikahi Retno Dumilah. Cucu Sultan Trenggana itu diangkat sebagai
permaisuri. Nantinya anak laki-laki dari perkawinan tersebut menjadi  calon penerus takhta.
Namanya Pangeran Pringgalaya.

Kedudukan Retno Dumilah sebenarnya merupakan permaisuri kedua. Jauh sebelumnya, Senopati
telah menetapkan Raden Ayu Waskitajawi atau Ratu Mas sebagai permaisuri. Ratu Mas ini putri dari
Ki Penjawi, adipati pertama Pati. Perkawinan Senopati-Ratu Mas melahirkan Raden Mas Jolang.

Ki Penjawi terhitung masih saudara sepupu ayah Senopati, Ki Ageng Pemanahan. Keduanya bersama
Ki Juru Mertani asal usulnya dari Selo, Grobogan. Trio Selo ini mengawali karir militer sebagai prajurit
pasukan khusus Kerajaan Demak.

Pasukan khusus itu dipimpin Joko Tingkir atau Mas Karebet.  Karir militer Trio Selo itu makin moncer
saat Joko Tingkir bertakhta menjadi Sultan Hadiwijaya di Pajang. Mereka dipercaya memimpin
pasukan Pajang. Menumpas aksi makar Adipati Jipang Panolan Arya Penangsang. Aksi makar Arya
Penangsang berhasil dipadamkan. Sebagai kompensasinya, alas Mentaok atau Mataram diberikan
kepada Pemanahan. Sedangkan Ki Penjawi mendapatkan bumi Pati.

Keputusan Senopati berpoligami dengan mengangkat dua orang permaisuri merisaukan hati Adipati
Pragola. Anak Ki Penjawi itu melanjutkan kepemimpinan Kadipaten Pati, menggantikan ayahnya.
Secara terus terang Pragola merasa khawatir. Kedudukan kakaknya, Ratu Mas, bakal tergeser dan
tergusur oleh Retno Dumilah. Otomatis posisi keponakannya, Jolang, sebagai putra mahkota juga
terancam.

Pragola menilai Senopati telah mencederai komitmen dan janji-janji politiknya. Operasi militer
menggempur Madiun dibantu penuh pasukan Pati. Darah dan keringat pasukan belum kering. Koalisi
itu tiba-tiba dikacaukan oleh keputusan sepihak Senopati. Mengakomodasi lawan politik dalam
koalisi.

Sepulang dari Madiun, pasukan Pati tidak ikut balik ke Mataram. Beberapa kali rapat kabinet
kerajaan digelar Senopati. Adipati Pragola memilih absen. Dia mangkir dengan berbagai alasan.
Pragola menolak sowan ke Kuthagedhe, ibukota Mataram.
Di pendapa Kadipaten Pati, Pragola justru mengadakan pisowanan. Dia mengundang para pejabat
sipil, militer, dan saudagar Pati. Adipati Pragola mengeluarkan maklumat. Dia mengumumkan
referendum kepada rakyatnya.

Kadipaten Pati menyatakan pisah dengan Negara Kesatuan Kerajaan Mataram. Pati tidak lagi tunduk
di bawah Mataram. Keputusan Adipati Pragola memisahkan diri dari Mataram  mengundang reaksi
keras Senopati. Dia mengeluarkan perintah menumpas aksi sparatis Pati.

Raden Mas Jolang, putra Senopati yang juga keponakan Adipati Pragola, diperintahkan memimpin
tentara Mataram. Tugas Jolang hanya satu. Menindak tegas aksi makar sang paman.
(yog/zl/bersambung)
Suksesi dan Sejarah Berpindahnya Ibukota Mataram (02)

Dua Perwira Tinggi Makar terhadap Hanyakrawati

Radar Jogja13 Jun 2019

Kusno S. Utomo

Menjelang ajal menjemput, Panembahan Senopati membuat testimoni terkait pewaris takhta.
Semula calonnya adalah Pangeran Pringgalaya. Dia putra Senopati  dari permaisuri kedua asal
Madiun Retno Dumilah. Dari garis keturunan Pringgalaya masih terhitung cicit Raja Demak Sultan
Trenggana.

Janji Senopati diucapkan saat menikahi Retno Dumilah akhirnya dianulir. Gara-garanya, pendiri
Dinasti Mataram itu mengaku mendapatkan wangsit. Isinya, Mataram menjadi kerajaan besar jika
dipimpin Raden Mas (RM) Jolang.

Siapakah Jolang? Dia merupakan anak Senopati dengan permaisuri pertama Ratu Mas. Ibu Jolang
masih trah Ki Penjawi. Wangsit itu diklaim berasal dari dawuh (perintah) para leluhur Mataram.

Karena itu wajib ditaati. Dawuh  itu kemudian dituangkan dalam bentuk sabdaraja. Dengan adanya
bisikan gaib itu, Senopati merasa punya dasar mistik mengingkari janjinya dengan Retno Dumilah.

Penetapan Jolang sebagai raja baru diumumkan adik Senopati, Pangeran Mangkubumi. Saat
mengumumkan dekrit kerajaan disertai satu ancaman. Siapa saja yang tidak setuju dianggap
melakukan kraman.  Alias makar.

Jolang akhirnya bertakhta dengan gelar Panembahan Hanyakrawati. Situasi pascawafatnya Senopati
membuat Mataram menghadapi krisis politik. Intrik naiknya Jolang  membuat kecewa banyak pihak.
Apalagi kepemimpinan Jolang dianggap lemah. Rasa tidak puas terus disuarakan para petinggi
Mataram.

Pertama dimulai oleh Adipati Demak Pangeran Poeger. Dia memulai aksi melepaskan diri dari
Mataram pada 1602. Gerakannya berpusat di utara Pegunungan Kendeng. Poeger merupakan kakak
tiri Hanyakrawati.  Dia lahir dari selir Senopati yang bernama Nyai Adisara.

Selama Senopati bertakhta, Poeger merupakan salah satu perwira tinggi di lingkungan Tentara
Nasional Mataram (TNM). Poeger terlibat dalam beberapa kali operasi militer ke Jawa Tengah dan
Jawa Timur.

Rasa tidak puas juga disuarakan Pangeran Jagaraga. Sama seperti Poeger, Jagaraga merupakan salah
satu perwira tinggi kerajaan. Dia adalah anak kesembilan Senopati dari  istri selir asal Kajoran.

Setelah pensiun dari dinas militer Mataram, Jagaraga dikaryakan menjadi adipati Panaraga. Aksi
makar Jagaraga berhasil dipadamkan. Jagaraga akhirnya ditahan dan diasingkan di Pulau
Nusakambangan.

Aksi makar terhadap Hanyakrawati itu menandakan adanya ontran-ontran   di balik suksesi Dinasti
Mataram. Konflik timbul akibat rasa tak puas para pangeran. Khususnya terhadap Sabdaraja
Senopati yang menetapkan Jolang sebagai penggantinya.

Dampaknya kenaikan takhta Jolang mendapatkan penolakan dari internal kerajaan. Terutama dari
adik-adik raja atau rayi-rayi dalem. Ini berdampak pada instabilitas Mataram selama beberapa
waktu.
Hanyakrawati disibukkan pekerjaan menangkap dan menahan para pelaku makar. Akibatnya, raja
kedua Mataram itu tak banyak melakukan ekspansi keluar daerah. Hanyakrawati juga harus
menghadapi Kadipaten Surabaya. Upaya menaklukan Surabaya akhirnya disusun pada 1608.(yog/
bersambung)
Suksesi dan Sejarah Berpindahnya Ibukota Mataram (03)

Penobatan Wuryah Didiskualifikasi MK

Radar Jogja14 Jun 2019

Kusno S. Utomo

Krisis politik di Mataram terus berlangsung di era Panembahan Hanyakrawati. Masa


kepemimpinannya terbilang relatif pendek. Dia memerintah selama 12 tahun. Pada 1601-1613.

Raja kedua Mataram itu meninggal karena diseruduk banteng saat berburu di Hutan Krapyak daerah
Kedu, Magelang. Hanyakrawati kemudian populer dengan sebutan Sinuhun Seda Krapyak. Raja yang
meninggal di Hutan Krapyak. Dia juga bergelar Susuhunan Anyakrawati.

Sebelum kejadian tragis itu Hanyakrawati seakan-akan seperti mendapatkan firasat. Dia menggelar
rapat kabinet. Sejumlah pejabat kerajaan seperti Pepatih Dalem (perdana menteri) Adipati
Mandaraka, Panglima Tentara Nasional Mataram Pangeran Purbaya, dan para pangeran diundang.

Dalam pisowanan ageng  itu Hanyakrawati mengaku mendapatkan wangsit. Ada bisikan gaib dari
para leluhurnya. Dia diminta mengangkat Raden Mas (RM) Jatmika alias Rangsang sebagai pewaris
takhta.

Sabdaraja yang diucapkan Hanyakrawati itu rupanya menimbulkan persoalan serius. Sebab, dia
pernah berjanji mengangkat RM Wuryah sebagai calon penggantinya. RM Wuryah anak dari
permaisuri pertama (Ratu Kulon). Ibunya bernama Raden Ayu Lungayu. Asalnya dari Kadipaten
Panaraga.

Sedangkan Rangsang terlahir dari Ratu Adi dari Pajang. Saat itu status ibunya belum permaisuri.
Ayahnya masih menjadi pangeran biasa. Sebaliknya, Wuryah lahir ketika ayahnya sudah bertakhta.
Usia keduanya terpaut jauh. Saat Hanyakrawati wafat, Wuryah baru 8 tahun dan Rangsang telah
berumur 20.

Keputusan Hanyakrawati menggeser posisi putra mahkota itu mengundang polemik. Di internal
kerajaaan terbelah dalam dua kubu. Ada yang pro dan kontra. Pihak yang tidak setuju diwakili
Pepatih Dalem Mandaraka, keluarga Adipati Panaraga, maupun pejabat-pejabat senior kerajaan.

Mereka kompak menilai raja telah ingkar janji. Ucapannya plin plan. Tidak dapat dipegang. Seorang
pemimpin harus satu kata dengan perbuatan. Ini sesuai ungkapan  sabda pandita ratu tan kena
wola-wali.

Komitmen menjadikan Wuryah sebagai penerus takhta Mataram harus dilaksanakan. Apalagi
Wuryah adalah anak sulung dari permaisuri pertama. Jauh lebih punya hak ketimbang Rangsang.

Sebaliknya, pendukung Ratu Adi yang belakangan diangkat menjadi permaisuri kedua atau Ratu
Wetan disokong panglima perang Pangeran Purbaya. Juga Adipati Pajang berikut jaringan massa
yang besar. Mereka berasal dari kadipaten-kadipaten bawahan Mataram.

Kubu ini beralasan sabdaraja harus dilaksanakan. Perdebatan tidak ada titik temu. Polarisasi kedua
kelompok sulit dielakkan. Negara Kesatuan Kerajaan Mataram yang didirikan Panembahan Senopati
terancam pecah.
Situasi makin parah. Pendukung Rangsang mengancam menggelar aksi people power. Mereka
hendak melakukan tapa pepe di alun-alun. Kubu ini mengampanyekan sabdaraja  harga mati. Tidak
dapat ditawar apalagi didiskon. Pendukung Wuryah meladeni dengan mengadakan aksi tandingan.
Sama-sama turun ke jalan.

Menyikapi itu, Pepatih Dalem Mandaraka mengusulkan dibentuk mahkamah kerajaan (MK).
Tugasnya mencari solusi atas krisis politik itu. MK diharapkan menjadi juru adil. Anggotanya tokoh-
tokoh kerajaan yang dianggap kredibel.

Hasilnya kemudian disepakati Wuryah tetap dilantik. Gelarnya Adipati Martapura. Namun usia
takhtanya hanya berlangsung sehari. Penobatannya kemudian didiskualifikasi. Wuryah akhirnya
digantikan Rangsang. Putusan MK itu disetujui kedua kubu.

Pengukuhan Martapura berlangsung 4 Oktober 1613. Sore harinya setelah pelantikan itu, Martapura
menyatakan mengundurkan diri. Takhta diserahkan kepada kakaknya sesuai wasiat almarhum
ayahnya.

Rangsang kemudian naik takhta bergelar Panembahan Agung Hanyakrakusuma. Gelar itu diubah
menjadi susuhunan. Sebelum akhirnya berganti lagi menjadi Sultan Agung Hanyakrakusuma. Setelah
turun takhta, Martapura akhirnya tersingkir dari percaturan politik. Dia memilih mengasingkan diri
menjadi Raden Santri di Gunung Pring, Muntilan, Magelang.(yog/rg/bersambung)
Suksesi dan Sejarah Berpindahnya Ibukota Mataram (04)

Hoax Menyerang Adipati Martapura

Radar Jogja15 Jun 2019

Kusno S. Utomo

PENOBATAN Raden Mas (RM) Wuryah sebagai raja ketiga Mataram dengan gelar Adipati Martapura
telah didiskualifikasi mahkamah keraton (MK). Posisinya kembali menjadi pangeran biasa. Masa
jabatannya sebagai raja hanya berlangsung sehari. Pagi dikukuhkan. Sorenya turun dari takhta.

Lengsernya Martapura ini merupakan kekalahan politik kubu Adipati Mandaraka dan Adipati
Panaraga. Mandaraka adalah nama lain dari Ki Juru Mertani. Dia merupakan penasihat kerajaan
sejak era Panembahan Senopati. Saat Hanyakrawati, ayahanda Martapura wafat, Mandaraka
menjabat pepatih dalem. Semacam perdana menteri.

Kubu Mandaraka itu harus kompromi dengan kelompok Pangeran Purbaya. Adik tiri Hanyakrawati ini
menjabat panglima Tentara Nasional Mataram (TNM). Bersama Adipati Pajang, Purbaya menjadi 
pendukung utama RM Rangsang.

Sejarah mencatat, kubu pro Rangsang sukses mendongkel kedudukan Martapura. Rangsang naik
takhta menjadi Panembahan Agung Hanyakrakusuma. Kelak lebih populer dengan gelar Sultan
Agung Hanyakrakusuma.

Kompromi politik harus ditempuh dengan pertimbangan tiga hal. Demi menjaga keutuhan,
persatuan, dan kesatuan Negara Kesatuan Kerajaan Mataram (NKKM). Mandaraka tidak ingin NKKM
yang dibangunnya susah payah bersama mendiang Ki Ageng Pemanahan dan Panembahan Senopati
pecah.

Gara-gara antarketurunan Senopati terlibat perang saudara. Berebut takhta. Itu harus dihindari.
Begitu komitmen tokoh yang dikenal ahli strategi ini. Ki Juru Mertani ikut membidani reformasi dan
transformasi kekuasaan dari Pajang ke Mataram pada 1587.  Semua berjalan mulus. Tidak ada
pertumpahan darah. Dia ingin itu juga terjadi di setiap suksesi Mataram.

Upaya kompromi Ki Juru Mertani itu harus dibayar mahal. Martapura bukan hanya tersingkir dari
panggung politik. Dia ikut diasingkan dan terdepak dari lingkaran kekuasaan. Sejak Sultan Agung
bertakhta, framing tentang sosok Martapura segera dibangun. Penobatannya sebagai raja ketiga
Mataram tidak diakui di sejarah ketatanegaraan Mataram. Sejumlah tokoh dan juru bicara istana
melancarkan opini secara masif.

Bahkan dalam serat maupun babad Martapura digambarkan  sosok yang terganggu ingatannya. Dia
diberitakan mengalami sakit kejiwaan sejak belia. Demikian  serat dan babad  yang ditulis di era
kekuasaan Sultan Agung.

Karena itu, Martapura dinyatakan tidak layak menyandang gelar raja. Informasi yang
cenderung hoax  itu terus dikembangkan. Diproduksi berulang-ulang. Serat Nitik Sultan Agung juga
menyebutkan yang pantas menjadi putra mahkota seharusnya Rangsang. Bukan Martapura.
Alasannya, dia putra tertua dari Hanyakrawati. Lahir dari permaisuri kedua, Ratu Adi.

Tentang pengangkatan Martapura ditulis sebagai pejabat putra mahkota. Tujuannya guna
menghindari kekosongan kekuasaan. Serat Nitik menyebutkan, saat penobatan Martapura,
Rangsang sedang mengadakan kunjungan kerja ke luar daerah.
Sedangkan di Babad Sengkala diceritakan, rakyat di alun-alun menyambut suka ria penobatan
Martapura. Saat pisowanan  ageng, Adipati Mandaraka lantas membisiki raja baru itu. Dia dinasihati
agar menyerahkan takhta kepada kakaknya, Rangsang. Itu sesuai wasiat  mendiang ayahandanya.

Babad Tanah Jawi memberitakan, Martapura menderita sakit ingatan musiman dan suka memakan
makhluk yang masih hidup.  Karena itu, Martapura dinilai berhalangan dan tidak mampu untuk
memerintah Mataram.(yog/bersambung)
Suksesi dan Sejarah Berpindahnya Ibukota Mataram (06)

Krisis Legitimasi Dijawab dengan Pindahkan Istana

17 Jun 2019

Kusno S. Utomo

Suksesi Sultan Agung Hanyakrakusuma menggantikan ayahnya, Panembahan Hanyakrawati,


merupakan  bentuk suksesi yang menyimpang. Seharusnya takhta itu menjadi hak Raden Mas (RM)
Wuryah atau Adipati Martapura.

Meski lebih  berhak, realita politik berkata lain. RM Rangsang, nama muda Sultan Agung,  berhasil
menjadi pemenang dalam kemelut suksesi di Mataram. Kenaikan takhta raja Mataram tersebut 
sejak awal tidak berjalan lancar.

Awal pemerintahan Sultan Agung menghadapi berbagai serangan kubu oposisi. Khususnya dari kubu
Patih Mandaraka. Penasihat politik Mataram sejak era Senopati itu sedari awal tidak berada di kubu
Rangsang. Ki Juru Mertani, sebutan lain dari Mandaraka, lebih berpihak ke Wuryah. Mandaraka
berpegang pada paugeran.  Juga janji politik yang pernah diucapkan Hanyakrawati.

Sultan Agung menghadapi krisis legitimasi. Tidak semua elite kerajaan mendukungnya. Kubu Wuryah
menuding ada rekayasa politik di balik putusan mahkamah keraton (MK) yang memenangkan
Rangsang.

Ada skenario yang telah disiapkan. Aktor politik yang bermain disebut-sebut Pangeran Purbaya. Dia
menjabat panglima perang Tentara Nasional Mataram (TNM). Purbaya juga ahli di bidang telik sandi.

Tokoh lain yang sering pasang badan untuk Sultan Agung adalah Tumenggung Singaranu. Dia juga
punya jam terbang dalam operasi-operasi militer. Ketika menghadapi kubu Wuryah, Singaranu
langsung tampil ke depan. Dia beberapa kali pindah jabatan. Sesuai kepentingan saat menghadapi
lawan politik.

Tak heran Singaranu mendapat julukan pejabat serbabisa. Dia selalu berada di dekat Sultan Agung.
Ke mana pun Sultan Agung pergi, di situ pasti ada Singaranu. Sebaliknya, Purbaya lebih banyak
bermain di balik layar. Sesuai dengan latar belakangnya. Mantan pejabat telik sandi.

Kritik lain yang dilontarkan kubu Wuryah adalah dominasi pengaruh ibu suri alias Ratu Hadi di
pemerintahan. Berbagai serangan itu membuat Sultan Agung kedodoran. Serangan oposisi agak
berkurang setelah tahun ketiga.

Momentumnya usai Patih Mandaraka wafat. Sultan Agung tidak menunjuk Tumenggung
Mandurareja, anak Mandaraka, sebagai pengganti. Namun jabatan pepatih dalem dipercayakan
kepada Singaranu. Sang pejabat serbabisa.

Untuk memulihkan legitimasi di depan rakyat, Singaranu memerintahkan juru warta istana dan
kantor berita Kerajaan Mataram membuat opini. Wuryah diberitakan tidak layak menjadi raja.
Karena terganggu ingatannya. Itu antara lain termuat di Serat Nitik.

Sultan Agung juga meluncurkan proyek besar. Berupa agresi militer ke wilayah timur. Misalnya ke
Wirasaba, Lasem, Pasuruan, Tuban, dan Surabaya. Selain itu, pada tahun kelima, Sultan Agung mulai
memikirkan memindahkan istana. Dia perlu membangun ibu kota baru. Alasannya, Kotagede sudah
cukup padat. Dia juga ingin mengikis bayang-bayang ayah dan kakeknya.
Dengan memindahkan ibu kota, Sultan Agung ingin membangun legitimasi yang utuh. Sekaligus
mengalihkan perhatian agar masalah suksesi tak lagi dipersoalkan. Dia memilih Kerta sebagai calon
ibu kota baru.  Pengganti Kotagede. Letaknya kurang lebih 5 km selatan ibu kota lama. Pemilihan
Kerta sesuai survei Badan Perencanan Pembangunan Nasional Kerajaan Mataram. Lagi-lagi badan
tersebut dikepalai Singaranu.

Sultan Agung bersama para pejabat Mataram beberapa kali meninjau ke Kerta. Pembangunan calon
ibu kota dimulai 1618. Bersamaan dengan itu juga diadakan pengukuran tanah di Desa Pamutihan
untuk kadipaten, kediaman putra mahkota. Tahun berikutnya, Sultan Agung mulai menempati Kerta.

Dalam Babad Sangkala ditulis Ingkang Sinuhun awit ngadaton ing Kerta. Namun Ibu Suri (Ratu Hadi)
masih tetap tinggal di Kotagede. (Ibu Dalem taksih wonten ing Kuta Agung).  Meski demikian,
keraton belum dapat dikatakan sempurna. Bangsal Prabayeka yang menjadi tempat tinggal Sultan
Agung dibangun 1620.

Setahun kemudian Ibu Suri pindah ke Kerta. (Boyongipun Ibu Dalem dateng Kerta). Prosesi
pindahnya ibukota berlangsung 1622 dengan ditandai pagelaran wayang kulit. Pembangunan
kediaman putra mahkota baru selesai pada 1626. (Kanjeng Pangeran Arya Mataram pindah dateng
Kerta).(yog/er)
Suksesi dan Sejarah Berpindahnya Ibukota Mataram (7)

Di Istana Baru, Diam-Diam Menerima Orang Belanda

Kusno S. Utomo  •  18 Jun 2019

SETELAH menempati ibu kota baru, Sultan Agung kerap tampil ke publik. Dari utusan Belanda pada
1622, 1623, dan 1624 yang mengunjungi Mataram memberikan gambaran tentang Istana Kerta.

Kesan pertama yang diperoleh orang Eropa terhadap Sultan Agung bahwa dia tidak dapat dianggap
remeh. “Wajahnya kejam. Kaisar dengan dewan penasihatnya memerintah dengan keras
sebagaimana sebuah negara besar,” demikian kesaksian pengusaha Balthasar van Eyndhoven yang
pernah berkunjung ke Mataram.

Sedangkan Dr H de Haen menyebut Sultan Agung seorang yang berada di puncak kehidupannya.
Usianya antara 20-30 tahun. Berbadan bagus. Sedikit lebih hitam dari rata-rata orang Jawa. Hidung
kecil dan tidak pesek. Mulut datar serta agak besar, kasar dalam bahasa dan lamban bila  berbicara.
Berwajah tenang, bulat, dan tampaknya cerdas. Memandang sekelilingnya seperti singa.

Sultan Agung berkopiah dari kain linen di kepala. Kopiah tersebut dipastikan kuluk putih. Pakaian
kain batik berwarna putih biru. Keris di badan bagian depan dan sabuk dari emas. Jari-jarinya terlihat
cincin intan gemerlapan.

Sifat Sultan Agung rupanya menarik perhatian utusan Belanda. Sultan Agung digambarkan punya
sifat ingin tahu. Tegas dan haus dengan pengetahuan. Sultan Agung pertama-tama bertanya soal
peta dunia agar bisa mengetahui letak Negeri Belanda, Inggris, dan Spanyol.

Dia bertanya nama-nama gubernur jenderal Belanda. Sultan Agung mengomentari aksara Belanda.
Menurut dia, butuh waktu tiga tahun bagi dirinya belajar membaca dan mengerti bahasa Belanda.

Gambaran seputar Keraton Kerta diperoleh dari kunjungan utusan Belanda Jan Vos. Dia
mengunjungi Kerta pada 9 September 1624. Dia melihat alun-alun yang dikelilingi pagar kayu
disusun dalam bentuk wajik. Di alun-alun dia diterima Tumenggung Baureksa dan Tumenggung
Tegal. Jan Vos kemudian diajak masuk istana bertemu raja.

Jan Vos diterima di Bangsal Kencana. Jan Vos duduk agak jauh dari Sultan Agung. Di belakang raja
terlihat 10 orang laki-laki. Di sebelah kanan duduk kakak beradik Adipati Mandurareja dan Upa
Santa. Keduanya adalah keturunan Ki Juru Mertani. Penasihat politik Panembahan Senopati, kakek
Sultan Agung.

Utusan Belanda itu duduk di atas tanah tanpa alas bersama Tumenggung Baureksa dan Tumenggung
Tegal. Selama pertemuan Jan Vos tak melihat seorang pun  wanita.   Dia sempat bertanya kepada
Tumenggung Tegal kenapa tidak ada wanita di sekitar raja. Padahal selama ini raja selalu dilayani
banyak wanita.

Tumenggung Tegal menjelaskan, waktu itu Jan Vos berada di tempat raja mengadakan pembicaraan
yang bersifat sangat rahasia. Masalah penting diselesaikan di tempat itu sehingga tak ada pelayan-
pelayan wanita.(yog/rg/bersambung)
Suksesi dan Sejarah Berpindahnya Ibukota Mataram (8)

Mengganti Gelar dengan Sebutan Susuhunan

Radar Jogja 19 Jun 2019

Raja-raja Mataram sedari awal berkuasa tak pernah menggunakan gelar sultan. Raja pertama
Danang Sutawijaya memilih sebutan panembahan. Maknanya orang yang disembah. Gelar
lengkapnya Panembahan Senopati ing Ngalaga.

Senopati merasa tak percaya diri memakai sebutan sultan. Pertimbangannya, meski Mataram
melanjutkan Dinasti Pajang, Senopati bukan keturunan langsung raja Pajang Sultan Hadiwijaya. Dia
hanya berstatus anak angkat. Gelar panembahan kemudian yang menjadi pilihan.

Sebutan panembahan dilanjutkan penggantinya Raden Mas (RM) Jolang. Panembahan


Hanyakrawati, demikian gelarnya saat jumeneng sebagai raja kedua Mataram. Hanyakrawati
bertakhta selama 12 tahun, dari 1601-1613. Kekuasaannya yang relatif singkat menjadi persoalan
saat menunjuk pengganti. Suksesi Mataram menghadapi polemik.

Sebelum meninggal, Hanyakrawati mendengarkan ramalan Sunan Tembayat. Mataram menjadi


kerajaan besar jika dipimpin RM Rangsang, anak sulung Hanyakrawati. Ketika Rangsang naik takhta,
dia memutuskan tetap memakai gelar panembahan. Kompletnya Panembahan Agung
Abdulrakhman.

Gelar panembahan digunakan selama 11 tahun. Tujuh tahun setelah pembangunan ibu kota baru di
Kerta, gelar panembahan itu ditanggalkan. Rangsang kemudian memakai sebutan susuhunan. Yakni
Susuhunan Agung Hanyakrakusuma. Nama Hanyakrakusuma sama yang digunakan Sunan Bonang.

Penggunaan gelar susuhunan itu dipakai setelah Mataram mengalahkan Madura pada 1624.
Proklamasi pemakaian gelar baru diadakan pada Garebek Pasa pada 15 Agustus 1624. Tahun itu
merupakan kenaikan takhta yang sebenarnya bagi Susuhunan Agung. Di istana baru itu, Rangsang
benar-benar merasakan sebagai raja.

Susuhunan berasal dari kata suhun yang berarti punji. Jadi susuhunan berarti yang dipunji atau
ditaruh di atas kepala.  Gelar susuhunan atau sunan itu juga dipakai para pemuka agama. Lebih-lebih
para wali. Mereka dihormati dan mendapatkan penghormatan yang tinggi. Para wali punya
pengaruh luas dan kekuasaan yang besar. Mereka merupakan raja-raja di daerahnya. Setara dengan
daerah Mataram asli. Tak heran para wali ini menggunakan gelar sebagaimana raja-raja di masa lalu.

Ambil contoh Sunan Giri memakai gelar Prabu Setmata. Bahkan dalam Babad Tanah Jawi, Sunan Giri
ditulis sebagai raja-pandita. Sedangkan Sunan Bonang bergelar Prabu Nyakrakusuma. Nama itulah
yang diadopsi raja Mataram Susuhunan Agung Hanyakrakusuma. Memakai gelar susuhunan ini bagi
Rangsang jauh lebih mentereng dibandingkan sebutan panembahan.

Penggunaan gelar susuhunan ternyata belum memuaskan hati raja keempat Mataram ini. Dia
mendengar raja Banten yang merupakan rivalnya memakai gelar sultan. Karena itu, pada 1641 atau
17 tahun setelah memakai sebutan susuhunan dia kembali mengubah gelar. Dari Susuhunan Agung
menjadi Sultan Mataram.

Gelar Sultan Agung seperti yang dewasa ini kita kenal sesungguhnya baru muncul pasca Perjanjian
Giyanti 13 Februari 1755. Nama tersebut ditemukan di redaksi babad yang disusun di era raja
Surakarta Susuhunan Paku Buwono III pada 1749-1788.
Gelar sultan ini menggambarkan ketataan raja pada agama. Di usia tuanya Sultan Agung menaruh
perhatian terhadap agama. Setiap tahun dia mengikuti upacara gerebek. Dia  memelopori
perubahan bangunan masjid di Jawa yang dilengkapi dengan serambi. (zam/zl/bersambung)
Suksesi dan Sejarah Berpindahnya Ibukota Mataram (9)

Melumpuhkan Lawan dengan Perkawinan Politik

Radar Jogja20 Jun 2019

Kusno S. Utomo

Operasi militer Sultan Agung Hanyakrakusuma menginvansi ke beberapa daerah di Jawa Timur dan
Jawa Barat meraih sukses besar. Mataram menguasai hampir seluruh Pulau Jawa. Minus Banten dan
Batavia. Kasultanan Banten sejak lama menjadi rival Mataram. Sedangkan Batavia berada di bawah
penguasaan VOC.

Di barat, Kasultanan Cirebon telah lama menjadi mitra yang loyal. Salah satu permaisuri Sultan
Agung asalnya dari kasultanan tersebut. Selain Cirebon, kekuasan Mataram meluas hingga Karawang
dan Sumedang.

Ke timur,  Mataram berhasil melumpuhkan Wirasaba, Lasem, Pasuruan, Tuban, dan Blambangan.
Disusul Madura dan Surabaya. Operasi militer berlangsung sejak 1614.  Tepatnya setahun setelah
Sultan Agung bertakhta.

Operasi militer terus berjalan hingga 1624. Sebagian besar tentara Mataram adalah buruh dan
petani yang dimobilisasi. Mereka  dipersenjatai. Mobilisasi biasa diadakan pada musim kemarau.

Dari banyak daerah di timur yang susah ditembus adalah Kerajaan Surabaya. Saking sulitnya, operasi
penyerbuan Mataram berlangsung hingga tiga kali. Kegagalan menundukan Surabaya pernah dialami
Panembahan Hanyakrawati, ayah Sultan Agung.

Surabaya baru menyerah ke Mataram pada 1625. Meski menjadi bawahan Mataram, Sultan Agung
menerapkan kebijakan yang lunak. Pangeran Pekik, putra Adipati Surabaya, dibiarkan berkuasa di
daerahnya. Bahkan Pekik diundang secara khusus datang ke ibu kota Mataram di Kerta pada 1628.

Tumenggung Sepanjang yang menjadi bupati bawahan Mataram di Surabaya diberi tugas mengawal
Pekik pergi ke Mataram. Selama  Kadipaten Surabaya kosong, Tumenggung Alap-Alap ditunjuk
menjadi pelaksana tugas (Plt) bupati Surabaya. Tugasnya menjaga pemerintahan tetap berjalan
dengan baik.

Rombongan Pekik sempat singgah di Butuh, Surakarta. Saat bermalam di makam Raja Pajang Sultan
Hadiwijaya, Pekik mendapatkan wangsit. Salah satu cucunya akan berkuasa di Mataram. Gelarnya
Hamangkurat atau Amangkurat. Sang cucu itu membangun keraton di hutan Wanakerta, barat
Pajang. Cucu Pekik itu bergelar Hamangkurat II atau Amangkurat Amral.

Sampai di Kerta, Pekik diterima dengan senang hati oleh Sultan Agung. Dia diminta menetap di
Mataram. Pekik menempati kediaman yang kemudian disebut Ndalem Kasurabayan.

Tak lama kemudian, Sultan Agung menganugerahkan adik kandungnya, Ratu Pandansari, menjadi
istri Pekik.  Di mata Sultan Agung, Pekik punya garis keturunan yang tinggi. Dia masih keturunan
ketujuh Raden Rahmat. Atau Sunan Ampel.

Perkawinan politik antara Mataram dengan Surabaya mengingatkan kisah kakek Sultan Agung,
Panembahan Senopati, saat menaklukkan Kadipaten Madiun. Putri Madiun Retno Dumilah
ditaklukkan dengan cara dinikahi.
Hubungan Sultan Agung dengan Pekik tak sebatas kakak ipar. Keduanya kemudian besanan. Putra
Mahkota Mataram Raden Mas (RM) Sayidin menikah dengan putri Pekik dari istri terdahulu.
Sebelum menikahi Ratu Pandansari.

Sayidin kemudian menggantikan ayahnya. Bergelar Susuhunan Hamangkurat Agung atau


Amangkurat I. Perkawinan Amangkurat I dengan putri Surabaya melahirkan Amangkurat II.  Dengan
begitu,  Amangkurat II merupakan cucu Sultan Agung dan Pekik.

Sesuai wangsit yang diterima di Butuh, cucu Pekik, Amangkurat II, memindahkan ibu kota Mataram
dari Kerta ke Kartasura pada 1680. Kartasura menjadi ibu kota Mataram ketiga setelah Kotagede dan
Plered. Dinasti Mataram bertakhta di Kartasura dari 1680-1743.(yog/rg/bersambung)
Suksesi dan Sejarah Berpindahnya Ibu kota Mataram (10)

Awal Perang Bebuyutan Trah Surabaya vs Semarang

Radar Jogja21 Jun 2019

Kusno S. Utomo

SULTAN Agung menderita sakit. Selama beberapa hari tim dokter Istana Mataram memberikan
perawatan khusus. Sakitnya raja Mataram itu terdengar ke telinga adiknya, Ratu Pandansari. Istri
Pangeran Pekik itu bergegas membezuk.

Memasuki kediaman raja,  Pandansari melihat sang kakak tengah terbaring. Usut punya usut,
penyakit yang diderita Sultan Agung lebih bersifat psikis. Dia merasa jengkel dengan manuver  Sunan
Giri Kawis Guwa.

Penerus takhta Kasunanan Giri Kedhaton itu menolak mengakui kekuasaan Sultan Agung. Giri
menjadi satu-satunya kerajaan yang menjadi oposisi melawan Mataram. Juga satu-satunya daerah
yang belum bisa ditaklukan Sultan Agung.

Kondisi itu merisaukan hati sang Sultan. Bagi Mataram sebenarnya tak begitu sulit menyerbu Giri.
Namun ada hambatan psikologis bagi Sultan Agung. Di masa lalu, Giri Kedhaton sangat dihormati
raja-raja Jawa.

Puncaknya di masa Sunan Giri Prapen pada 1548-1605. Sunan Giri Prapen adalah orang yang
melantik Joko Tingkir menjadi raja Pajang bergelar Sultan Hadiwijaya.  Dia menjadi mediator
pertemuan Hadiwiya dengan adipati se-Jawa Timur pada 1568. Hasilnya, para adipati bersedia
mengakui Pajang sebagai penerus Kasultanan Demak.

Sunan Giri Prapen juga mendamaikan perang antara Panembahan Senopati melawan Adipati
Surabaya Jayalengkara pada 1588. Perang itu dilatarbelakangi penolakan Jayalengkara bersama para
adipati se-Jawa Timur terhadap kekuasaan Mataram.

Melihat sejarah itu, Sultan Agung bimbang harus menggebuk Giri. Dia takut  kualat.  Namun
penguasa Mataram itu merasa jengkel mendengar kritik para pendukung Sunan Giri. Mereka
menuding Sultan Agung terlalu ambisius. Memperluas daerah kekuasaanya sekaligus  membangun
infrastruktur. Khususnya infrastruktur di Kerta, ibu kota Mataram pascapindah dari Kotagede.
Akibatnya, upeti dan pajak dari daerah bawahan dinaikkan berlipat-lipat.

Jengkel tapi tak kuasa bertindak. Begitulah suasana batin yang dihadapi Sultan Agung. Setelah
menahan diri beberapa waktu, dia menemukan ide. Menghadapi keturunan Wali Sanga harus
keturunan Wali Sanga.

Pangeran Pekik, adik ipar sekaligus besannya merupakan keturunan ketujuh dari Raden Rahmat yang
kelak menjadi Sunan Ampel. Sebelum menjadi wali, Sunan Giri Prapen pernah belajar di Ngampel
Denta, pesantren milik kakek moyang Pekik.

Dengan begitu, kedudukan Pekik setara dengan Kawis Guwa. Didampingi istrinya, Ratu Pandansari,
Pekik akhirnya berangkat ke Giri. Memimpin angkatan perang Mataram menyerbu Giri. Operasi
penaklukan berlangsung pada 1636. Giri akhirnya bisa ditaklukkan. Raja sekaligus pendeta itu
berhasil ditangkap. Dia dibawa ke Mataram dengan ditandu.

Kekalahan Giri membuat keturunannya menjadi kocar-kacir. Tiga orang anaknya: Jayengresmi,
Jayengsari, dan Rancangkapti menjadi buron. Jayengresmi akhirnya ditangkap saat menyamar
dengan nama Amongraga. Karena dianggap membahayakan stabilitas politik Mataram, dia dilempar
ke laut oleh Sultan Agung.

Jejak keturunan Giri yang tercerai berai itu ada yang kawin dengan keturunan Panembahan Kajoran.
Penguasa Kajoran merupakan cabang dari keturunan Pajang. Putri Kajoran itu di masa mudanya
bernama Wiratsari. Dia banyak menghabiskan masa mudanya di Semarang. Tak heran dia juga
dikenal sebagai putri Semarang.

Kelak putri Semarang itu diangkat menjadi permaisuri Susuhunan Amangkurat I, pengganti Sultan
Agung.  Statusnya permaisuri. Sama dengan kedudukan putri Surabaya, anak Pangeran Pekik.
Amangkurat I punya dua permaisuri. Ratu Kulon (putri Surabaya) dan Ratu Wetan (putri Semarang).

Dari putri Surabaya itu lahir Raden Mas (RM) Rakmat. Nantinya naik takhta menjadi Amangkurat II.
Sedangka putri Semarang melahirkan RM Drajad. Atau Pangeran Poeger yang bertakhta sebagai
Paku Buwono I.  Antara Amangkurat II dan Paku Buwono I hingga keturunannya kelak terlibat perang
suksesi  berkepanjangan. Kejadiannya saat ibu kota Mataram telah berpindah ke Kartasura.

Trah Surabaya dan Semarang itu menjadi musuh bebuyutan. Beberapa ratus tahun kemudian kisah
itu terulang. Namun  di lapangan bola. Era 1990-an, Persebaya harus menghadapi lawan tangguh
PSIS Semarang saat memperebutkan juara perserikatan.(yog/rg)
Suksesi dan Sejarah Berpindahnya Ibu kota Mataram (11)

Menggeser Permaisuri, Menggusur Putra Mahkota

Radar Jogja22 Jun 2019

Kusno S. Utomo

KEKUASAAN Sultan Agung Hanyakrakusuma berlangsung dari 1613-1646. Selama lebih 32 tahun
berkuasa, raja keempat Mataram itu meraih sukses gemilang. Kewibawaan Mataram sebagai negari
besar diakui negara-negara tetangga. Jumlah negara taklukan terus bertambah.

Meski ke luar mencatat berbagai keberhasilan, Sultan Agung menghadapi persoalan internal
menyangkut suksesi. Ini persis yang dihadapi dua pendahulunya. Kakeknya, Panembahan Senopati,
dan ayahandanya, Panembahan Hanyakrawati.

Masalah selalu sama dan cenderung terulang. Raja yang bertakhta selalu bimbang dan berubah
pikiran saat menetapkan garwa padmi   atau istri utama yang putranya berhak menjadi pewaris
takhta.

Sejak Senopati, raja Mataram selalu mengangkat dua garwa padmi   atau permaisuri. Yakni Ratu
Kulon dan Ratu Wetan. Untuk garwa ampeyan  atau priyantun dalem alias selir tidak perlu dihitung.
Raja Mataram biasa punya banyak garwa ampeyan. Di awal-awal Mataram berdiri, anak
dari selir  tak punya hak menjadi calon putra mahkota.

Secara adat maupun protokoler, Ratu Kulon adalah istri utama. Kedudukannya mengalahkan Ratu
Wetan. Demikian pula anak laki-laki dari Ratu Kulon. Lebih mendapatkan prioritas dibandingkan anak
dari Ratu Wetan. Itu teori yang berlaku di atas kertas.

Namun realita yang terjadi justru kebalikan. Sejak suksesi Senopati ke Hanyakrawati, berlanjut
Hanyakrawati ke Sultan Agung dan Amangkurat I menggantikan Sultan Agung, kenyataannya
berbicara lain. Kedudukan Ratu Kulon sering kali tergeser oleh Ratu Wetan. Begitu pula anaknya.
Begitu ibundanya tergeser, sang anak yang mulanya menjadi kandidat ikut tergusur.

Ada dua alasan yang menjadi latar belakang pergeseran kedudukan permaisuri. Pertama, raja yang
bertakhta beralasan mendapatkan wangsit. Dawuh (perintah) dari Gusti Allah melalui para
leluhurnya. Kedua, karena asal usul darah atau trah permaisuri.

Ambil contoh saat Senopati memutuskan mengangkat Raden Mas (RM) Jolang sebagai pewaris
takhta. Keputusan diambil di detik-detik akhir menjelang Senopati wafat.

Senopati mengaku mendapatkan wangsit. Jolang lah nantinya yang akan menjadi raja yang
membawa kebesaran Mataram. Selain itu, ibunda Jolang, Raden Ayu (RAy) Waskitajawi atau Ratu
Mas merupakan keturunan Ki Penjawi dari Pati.

Trah Penjawi dinilai lebih unggul dibandingkan Trah Madiun, asal usul Retno Dumilah, permaisuri
Senopati lainnya. Semula kedudukan Retno Dumilah merupakan Ratu Kulon. Tergesernya Retno
Dumilah menjadikan peluang anaknya, Pangeran Pringgalaya, ikut tergusur. Senopati bertakhta
selama 14 tahun dari 1587-1601.

Sejarah kembali terulang di masa Jolang berkuasa. Raja dengan gelar Panembahan Hanyakrawati ini
bertakhta dari 1601-1613. Dia terlihat gamang menentukan calon pengganti. Kedudukan Ratu
Lungayu dari Panaraga tiba-tiba digeser oleh Ratu Hadi, putri Pangeran Benawa dari Kasultanan
Pajang.
Nasib anak Lungayu, RM Wuryah, lebih tragis. Naik takhta menjadi raja Mataram hanya selama
sehari. Kemudian didiskualifikasi. Wuryah yang bergelar Adipati Martapura harus lengser. Anak Ratu
Hadi, RM Rangsang jumeneng ratu. Rangsang adalah nama muda Sultan Agung.

Dari sisi bobot, bibit, bebet, keturunan Pajang jelas lebih tinggi dari Panaraga. Penguasa Mataram
agaknya perlu legitimasi semacam ini. Sebab dari asal usulnya  penguasa Mataram adalah keturunan
petani dari Sela, Grobogan.

Karena itu, raja yang hendak bertakhta harus punya keunggulan. Trahing kusuma, rembesing madu,
wijining atapa, tedhaking andana warih. Keunggulan terkait silsilah dan asal usul. Seorang raja yang
diangkat mesti dari keturunan ningrat atau bangsawan, pertapa atau alim ulama, berwawasan
agama, dan berasal dari keturunan pilihan utama.

Pertimbangan inilah yang dipakai Sultan Agung saat memilih RM Sayidin menjadi penerus takhtanya.
Ratu Batang, ibunda Sayidin, masih trah Ki Juru Mertani. Di masa lalu Juru Mertani adalah penasihat
politik Mataram era Senopati. Namanya cukup kesohor dan dihormati.

Ratu Batang mulanya berkedudukan sebagai Ratu Wetan. Sedangkan Ratu Kulon, merupakan putri
Panembahan Cirebon. Dari perkawinan ini lahir RM Syahwawrat. Kedudukan Syahwawrat tergusur
karena posisi ibunya lebih dulu tergeser. Sayidin kemudian naik takhta menjadi raja bergelar
Susuhunan Amangkurat I. Trah Juru Mertani dinilai lebih unggul dibandingkan trah
Cirebon.(yog/bersambung)
Suksesi dan Sejarah Berpindahnya Ibu kota Mataram (13)

Lobi Gadis Cantik Pemicu Krisis Politik

Radar Jogja24 Jun 2019

Kusno S. Utomo

KEGAGALAN Tentara Nasional Kerajaan Mataram menggebuk benteng VOC di Batavia membawa
dampak serius. Khususnya bagi stabilitas politik bagi kerajaan yang beribukota di Pleret ini. Apalagi
Sultan Agung Hanyakrakusuma mengambil beberapa kebijakan yang mengundang kekecewaan
sejumlah elite kerajaan.

Misalnya keputusan Sultan Agung menghukum mati beberapa perwira tinggi tentara yang dinilai
gagal menembus benteng kompeni. Sultan Agung dua kali melakukan pengepungan benteng
kompeni.

Pertama, pada 1628. Operasi ini antara lain melibatkan Tentara Nasional Angkatan Laut Mataram
yang dipimpin Tumenggung Baureksa. Selain menjabat kepala staf angkatan laut, Baureksa juga
menjadi bupati Kendal. Baureksa gugur bersama anaknya dalam misi tersebut.

Namun beberapa perwira tinggi lainnya selamat. Mereka seperti Adipati Mandurareja dan Kiai
Adipati Upa Santa. Keduanya merupakan keturunan Ki Juru Mertani. Seperti diketahui Juru Mertani
termasuk tokoh kharismatik Mataram.

Dia punya andil besar saat mendirikan Mataram. Juru Mertani boleh dibilang termasuk founding
fathers Kerajaan Mataram bersama Ki Ageng Pemanahan, ayah Panembahan Senopati atau  kakek
buyut Sultan Agung.

Mandurareja dan Upa Santa harus menghadapi pengadilan atas perintah raja. Keduanya dieksekusi
mati dengan cara dipenggal kepalanya. Sedangkan pengikut-pengikutnya ditusuk dengan tombak
dan keris. Eksekusi dipimpin Tumenggung Sura Agul-Agul yang menjabat jaksa agung Kerajaan
Mataram.

Eksekusi mati terhadap keturunan patih Mataram itu menimbulkan keresahan di kalangan rakyat.
Sebab, Mandurareja dan Upa Santa merupakan cucu tokoh pejuang kemerdekaan Mataram sewaktu
melawan Pajang. Protes dan demo muncul di mana-mana.  Melihat situasi  itu, juru bicara istana
membuat klarifikasi.

Raja dinyatakan tidak bertanggung jawab terhadap pembunuhan dengan cara kekerasan terhadap
dua perwira tinggi Mataram tersebut. Sultan Agung seolah-olah berkata yang dimaksudkan bukan
membunuh Mandurareja dan Upa Santa. Tapi pengikut-pengikutnya.

Tumenggung Sura Agul-Agul harus menebus kekeliruan fatal itu. Dia bersama banyak bangsawan
Mataram lainnya kemudian dihukum mati. Para bangsawan itu dijatuhi hukuman karena gagal
merebut kemenangan.

Pengepungan kedua ke Batavia berlangsung 1629. Hasilnya pasukan Mataram kembali gagal. Meski
demikian, Tumenggung Singaranu bernasib lebih baik. Raja tidak memberikan hukuman
sebagaimana dialami Mandurareja dan Upa Santa. Padahal Singaranu adalah panglima pasukan
Mataram.

Ada cerita di balik lunaknya sikap Sultan Agung. Untuk mendapatkan pengampunan, Singaranu
sengaja mengirimkan istri, selir, dan anak-anaknya. Mereka secara khusus menghadap raja. Salah
satu putri Singaranu dikenal cantik dan manis. Penampilan anak gadis Singaranu  itu melebihi istri-
istri raja. Dia berhasil mengetuk hati Sultan Agung.  Lobi politik  Singaranu lewat anak gadisnya yang
cantik berjalan cukup efektif.

Istri dan anak-anak Singaranu diizinkan pulang. Ayah mereka selamat dari hukuman. Demikian pula
kedudukan Singaranu. Posisinya sebagai  pepatih dalem (semacam perdana menteri) tetap
dipertahankan. Nasib serupa dialami Raden Arya Wiranata yang lolos dari hukuman. Juga Kiai Adipati
Singenep.

Kebijakan Sultan Agung itu mengundang kritik elite-elite kerajaan. Khususnya dari para pendukung
Trah Juru Mertani. Mereka menuding raja menerapkan hukum yang tebang pilih. Hukum terbukti
tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Tak pelak kondisi ini melahirkan krisis politik berkepanjangan.

Mengetahui itu, Sultan Agung secara berangsur-angsur mengurangi peran Singaranu. Tumenggung
Danupaya ditunjuk sebagai pelaksana tugas (Plt)  pepatih dalem.  Langkah itu tetap saja tidak
menolong. Situasi Mataram terus diliputi ketegangan.(yog/fj/bersambung)
Suksesi dan Sejarah Berpindahnya Ibu kota Mataram (14)

Reuni Ulama Berujung Gerakan Ganti Sultan

Radar Jogja25 Jun 2019

Kusno S. Utomo

KEKALAHAN dua kali pasukan Mataram dari VOC membawa implikasi  luas. Mataram dilanda
berbagai krisis. Mataram mengalami krisis multidimensi. Mulai politik, ekonomi meluas menjadi
krisis kepercayaan. Terutama terhadap kepemimpin Sultan Agung.

Krisis ekonomi dipicu kebijakan Sultan Agung. Operasi militer ke Batavia pada 1628 dan 1629
menguras anggaran pendapatan dan belanja Mataram (APBM) . Kas negara menipis. Ditambah,
ekspor beras, gula Jawa, dan produk pertanian lainnya tekor. Kosongnya kas itu ditutup menteri
keuangan Mataram dengan cara menaikan pajak dan upeti. Beban rakyat menjadi berat. Kehidupan
semakin susah.

Di sisi politik, Sultan Agung menerapkan hukum yang dinilai tebang pilih. Terhadap pejabat yang
gagal saat operasi militer pertama pada 1628 dikenakan hukuman keras. Mereka dihukum mati.
Ditebas lehernya.

Korbannya antara lain cucu Ki Juru Mertani. Yakni Tumenggung Mandurareja dan Kiai Adipati Upa
Santa. Juru Mertani adalah tokoh legendaris Mataram. Figurnya sangat dihormati. Namun
keturunannya mendapatkan perlakuan tak adil. Rakyat bersimpati luar biasa.

Sebaliknya, terhadap Tumenggung Singaranu, raja menerapkan hukum berbeda. Operasi militer
kedua pada 1629 juga gagal. Namun Singaranu sebagai komandan diampuni. Posisinya di istana tidak
diutik-utik.

Akibatnya, kegelisahan rakyat makin luas. Kondisi itu rupanya dibaca  kelompok-kelompok yang kritis
terhadap Mataram. Antara lain ulama-ulama dari Tembayat, Klaten. Mereka keturunan Sunan
Pandanaran. Sejak lama Tembayat tidak begitu disukai rezim Mataram. Mereka lebih berkiblat pada
Kasultanan Pajang yang berkuasa sebelum Mataram.

Ulama Tembayat atau Sunan Bayat menganggap secara spiritual lebih tinggi dari raja Mataram. Ini
karena raja-raja Jawa mendapatkan kekuasaan setelah mendapatkan legitimasi ulama. Contohnya
Sultan Hadiwijaya. Raja Pajang ini berkuasa berkat dukungan Sunan Bayat dan Sunan Prapen dari
Giri. Begitu pula raja-raja Mataram. Mereka berutang budi pada Sunan Kalijaga dan Sunan Giri.

Karena itu, ulama-ulama dari Tembayat itu memelopori gerakan menentang raja. Sudah saatnya
Sultan Mataram diganti. Ide  gerakan Ganti Sultan itu mengemuka saat syawalan di daerah Taji,
Prambanan.

Syawalan itu sekaligus menjadi ajang reuni. Pesertanya dari berbagai daerah. Rata-rata alumni
Tembayat. Sebagian lagi datang dari Giri Kedhaton. Para ulama itu menilai Sultan Agung terlampau
ambisius memperluas daerah kekuasaannya.

Sebelumnya, mereka juga melakukan jajak pendapat bertanya kepada rakyat. Caranya dengan
menyamar sebagai pengemis. Mereka membujuk rakyat agar memihak kelompok ini. Konsolidasi
kekuatan Ganti Sultan itu berpusat di 27 desa sekitar Prambanan.
Sebelum gerakan itu membesar telah tercium badan telik sandi Mataram. Sultan Agung
memerintahkan Kepala Bhayangkara Mataram Pangeran Purbaya menangkap ulama-ulama dari
Tembayat. Mereka langsung ditahan dan dikenakan pasal makar.

Penangkapan terhadap ulama Tembayat itu mengundang reaksi keras. Meredam aksi-aksi itu Sultan
Agung memutuskan mengadakan pendekatan ke Tembayat. Sultan Agung melakukan ziarah ke
makam Sunan Tembayat.

Kunjungan raja Mataram itu dinilai langka. Sebab, Tembayat tidak mendapatkan tempat istimewa di
mata Mataram. Makam Sunan Tembayat lebih banyak mendapatkan perhatian dari orang-orang
kecil, pedagang, dan perajin. Bagi Sultan Agung kunjungan ke makam keramat itu merupakan
pengorbanan harga diri dan dilakukan karena keterpaksaan.

Usai kunjungan itu Sultan Agung memerintahkan diadakan pemugaran makam. Gapura dan
beberapa bangunan pendapa dibangun. Kondisi makam Tembayat diperindah. Kontraktor dan para
pekerjanya khusus didatangkan dari Mataram.(yog/fj/bersambung)
Suksesi dan Sejarah Berpindahnya Ibu kota Mataram (15)

Pengaruh Permaisuri Siapkan Pewaris Takhta

Radar Jogja, 26 Jun 2019

Kusno S. Utomo

PERSOALAN pelik yang dihadapi raja-raja Jawa adalah menyiapkan calon pengganti. Suksesi selalu
mengundang masalah. Tidak pernah berjalan mulus. Rupanya penentu calon pewaris takhta tidak
semata-mata di tangan raja. Ada kekuatan di samping raja yang  punya pengaruh kuat. Kekuatan itu
terletak pada figur permaisuri.

Ini pula yang terjadi di era Sultan Agung. Keberhasilan Sultan Agung memimpin Mataram  tidak
dapat dilepaskan dari sosok Ratu Batang. Dia putri Adipati Batang Upasanta. Karir Upasanta di
Mataram adalah seorang perwira tinggi militer. Dia berpengalaman dalam beberapa operasi
penaklukan.

Sebagai putri pejabat militer, karakter Ratu Batang ikut terbentuk. Figurnya dikenal keras dan tegas.
Tapi semanak.  Biasa bicara ceplas-ceplos. Pejabat-pejabat Mataram sering kena semprot.  Ini
membuat banyak petinggi kerajaan merasa keder   bertemu Kanjeng Ratu, begitu dia akrab disapa.

Selain putri adipati, Ratu Batang dikenal seorang wanita karir. Dia punya banyak usaha di daerah
asalnya. Dia eksportir mebel dari Jepara, rotan, dan pemilik aneka usaha pertanian. Ratu Batang
punya wawasan yang luas. Dia biasa bertemu duta-duta negara asing saat mendampingi ayahnya.
Ratu Batang hobi mengadakan kunjungan kerja ke berbagai daerah.

Perannya di Mataram semakin kuat saat Sultan Agung mereposisi kedudukan permaisuri. Awalnya
kedudukan Ratu Batang adalah permaisuri kedua atau Ratu Wetan. Permaisuri utama ditempati Ratu
Kulon dari Cirebon. Namun belakangan terjadi konflik antara raja dengan putri Cirebon. Ratu
Kulon dikebonake alias dikeluarkan dari keraton. Posisinya digantikan Ratu Batang.

Dengan kedudukan sebagai Ratu Kulon, peran Ratu Batang semakin kuat. Khususnya ikut
menyiapkan anaknya, Raden Mas (RM) Sayidin menjadi penerus takhta. Persiapan dimulai
dengan skrining pejabat Mataram. Lembaga ditata ulang. Pejabat banyak yang digeser. Tidak sedikit
yang dicopot. Kerabat kerajaan yang dinilai  menghalangi langsung dipreteli kewenangannya. Ratu
Batang betul-betul menjadi sosok berpengaruh.

Setelah semua dianggap beres, Sayidin mulai ditampilkan ke publik pada 1637. Dia dikenalkan
sebagai putra mahkota. Untuk lebih mendekatkan dengan rakyat, Sayidin diminta aktif di berbagai
kegiatan. Dia dipasrahi memimpin berbagai lembaga kerajaan. Antara lain paguyuban saudagar
Mataram. Membidani pembangunan pasar-pasar rakyat dan ikut beragam pendidikan
kepemimpinan. Guru yang ditunjuk adalah tokoh sepuh, Tumenggung Mataram. Agar Sayidin benar-
benar siap memimpin.

Dalam perjalanannya terjadi insiden yang mencederai karir politik Sayidin. Dia terlibat affair. Sayidin
dilaporkan melarikan istri tercantik dari Tumenggung Wiraguna. Istri Wiraguna itu mantan artis dan
selebritis Mataram. Kejadian itu membuat heboh. Wiraguna langsung mengadu ke Sultan Agung.

Saat menghadap atasannya, Wiraguna tidak sendirian. Dia mengajak adik kandung Sayidin, Pangeran
Alit. Dia berharap Sultan Agung menjadi murka dan mencopot kedudukan putra mahkota. Kemudian
menggantikannya dengan Pangeran Alit.(yog/rg/bersambung
Suksesi dan Sejarah Berpindahnya Ibu kota Mataram (16)

Rekonsiliasi Putra Mahkota dengan Kubu Oposisi

Radar Jogja27 Jun 2019

Kusno S. Utomo

Sultan  memutuskan mengurung diri selama 40 hari. Raja tidak menampakkan aktivitas ke publik.
Raja berdiam diri di Ndalem Prabayeksa.

Kondisi itu menimbulkan keresahan di elite istana. Sultan kemudian memanggil Wiraguna dan Alit.
Raja memberikan wejangan sekaligus teguran. Para pelapor dinilai bertindak tidak bijaksana.

Sultan mengingatkan bahaya yang diterima para pelapor jika kelak putra mahkota naik takhta. Lagi
pula hal yang jamak seorang pangeran muda berbuat nakal. Sekali-sekali jajan di luar.

Teguran tajam juga diberikan kepada Sayidin. Sebelum memanggil putra mahkota, Sultan lebih dulu
bertukar pikiran dengan permaisuri, Ratu Batang. Sayidin diberi nasihat agar bertindak lebih
bijaksana. Dia minta lebih rendah diri. Menjaga kehormatan sebagai putra raja.

Di sini peran penting Ratu Batang.  Permaisuri yang akrab disapa Kanjeng Ratu benar-benar figur
sentral di Mataram. Setiap langkah terkait kerajaan, Sultan selalu mengajak bicara sang istri.

Beberapa kebijakan strategis diketahui dari pemikiran Kanjeng Ratu. Misalnya penataan pejabat di
lingkungan istana. Sejumlah pejabat Mataram berhasil menggapai posisi penting berkat restu
Kanjeng Ratu.

Sebaliknya,  beberapa pejabat lain harus rela terpental dari kedudukannya. Gara-gara
enggan ngabiyantara(sowan/menghadap) ke  Ndalem Kulon, kediaman Ratu Kulon, kedudukan resmi
Ratu Batang selaku permaisuri utama raja.

Pengaruh Ratu Batang sulit terbantahkan saat raja menggelar sidang guna mengadili perkara putra
mahkota. Jauh sebelum sidang, Ratu Batang telah menasihati Sayidin agar mengundurkan diri dari
segala aktivitas politik selama beberapa waktu.

Pertimbangannya demi meredam aksi-aksi kelompok oposisi yang mengincar kedudukan putra
mahkota. Termasuk adiknya, Pangeran Alit, yang telah berkoalisi dengan Wiraguna dan elite
kerajaan lainnya.

Nasihat sang ibu itu dituruti. Di depan sidang Sayidin menyatakan mundur dari segala jabatan di
istana. Dia kemudian menetap di rumah gurunya, Tumenggung Mataram. Dia juga memerintahkan
pengikutnya mengembalikan istri muda Wiraguna dengan tandu ditutup kain linen warna putih
sebagai perlambang duka.

Di rumah Wiraguna tak bisa menahan amarah. Dia menghunus keris dan membunuh istrinya dengan
lima hingga enam tusukan. Mendengar kejadian itu, putra mahkota sedih. Dia tidak mau bergaul
dengan perempuan selama tiga tahun 1637-1640.

Menunjukkan rasa salahnya, Sayidin mencukur rambutnya dan menyerahkan kepada rakyatnya.
Sultan Agung merasa puas dengan kearifan putra mahkota. Sebaliknya, raja marah dan mencela
keberingasan Wiraguna. Anak buahnya itu dinilai bertindak bodoh.

Atas masukan permaisuri, Sultan memanggil Sayidin pulang ke istana. Hak politiknya dipulihkan. 
Ratu Batang berhasil menginisiasi rekonsiliasi putra mahkota dengan lawan-lawan politiknya. Putra
mahkota balik ke posisinya, tanpa ada kegaduhan. Semua berkat kepiawaian sang ibunda. Ratu
Batang menunjukkan kelasnya sebagai politikus berpengaruh di balik layar.(yog/rg/bersambung)
Suksesi dan Sejarah Berpindahnya Ibu kota Mataram (17)

Peralihan Takhta, Meriam Disiagakan di Istana

Radar Jogja28 Jun 2019

Kusno S. Utomo

SULTAN Agung benar-benar memikirkan mekanisme peralihan takhta kepada penggantinya bisa
berjalan mulus.  Jangan ada gejolak. Apalagi  demo, tapa pepe alias berjemur di alun-alun dari kubu
yang kontra. Ujung-ujungnya justru membuat elite Mataram terbelah.

Pengalaman  pernah dirasakannya saat menggeser takhta sang adik, Raden Mas (RM) Wuryah. Kala
itu, harus dibentuk mahkamah keraton (MK). Tujuannya, agar proses alih takhta dari Wuryah kepada
dirinya punya legitimasi. Sultan Agung tak ingin dituding berbuat curang kepada adiknya. Harus
diakui, takhta itu awalnya bukan menjadi haknya.

Menyadari itu, Sultan Agung tidak ingin peristiwa kurang mengenakkan itu menimpa putra mahkota.
Sedari awal, Sultan Agung didampingi permaisuri Ratu Kulon alias Ratu Batang mengantisipasi segala
kemungkinan yang terjadi. Persiapan dilakukan selama  setahun. Khususnya saat Sultan Agung mulai
menderita sakit. Tanda-tanda akan wafatnya raja itu telah terbaca sejak dirinya menolak minum
obat.

Sultan Agung segera mengeluarkan sabdaraja  atau perintah raja. Isinya aturan mencegah perebutan
takhta antara RM Sayidin, sang putra mahkota melawan adik kandungnya Pangeran Alit.

Selain itu, raja juga menaruh curiga dengan kakak sulungnya Pangeran Purbaya. Sang kakak
berpotensi melakukan kudeta. Ini karena posisinya sangat strategis. Panglima tentara merangkap
kepala bhayangkara negara.

Karena itu, Sultan Agung memanggil para pembantu setianya. Mereka seperti Tumenggung
Wiraguna dan Pangeran Surabaya. Sultan Agung meminta dukungan agar pilihannya mengangkat
Sayidin disetujui. Wiraguna dan Pangeran Surabaya diminta memperkuatnya.

Mencegah terjadinya aksi-aksi di luar istana, sejumlah pejabat Mataram ditahan di dalam istana.
Pangeran Alit, Pangeran Purbaya, dan pejabat kerajaan lainnya tidak dizinkan  meninggalkan istana.
Semua gerbang dijaga ketat. Tak ada rakyat yang bisa mendekat.

Semua kekuatan tentara dan bhayangkara Mataram disiagakan. Meriam disiapkan di depan istana.
Gudang senjata dijaga. Tidak boleh ada senjata keluar tanpa ada perintah  istana. Situasi Mataram
benar-benar tegang.

Tak lama kemudian, Sultan Agung wafat. Peristiwanya pada awal Februari 1646. Raja keempat
Mataram ini memerintah selama 32 tahun. Dari 1613 hingga 1645. Dia memindahkan ibu kota
Mataram dari Kotagede ke Kerta pada 1618. Ibu kota baru  resmi ditempati pada 1622. Dengan
begitu, Kerta menjadi ibu kota kedua Mataram selama 22 tahun.

Di bawah pengawalan ketat pasukan pengamanan raja (paspamraja), Sayidin diumumkan sebagai
pengganti. Dia menjadi raja baru. Gelarnya ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Ing Ngalaga
Mataram. Kelak kemudian dikenal dengan sebutan Susuhunan Hamangkurat Agung atau
Amangkurat I.

Setelah pengumuman itu, semua regol dibuka. Proses pemakaman raja dimulai. Sultan Agung
dikebumikan di Imogiri. Sejarahnya, pembangunan makam di atas bukit itu berhubungan dengan
pengangkatan Sultan Agung menjadi Susuhunan. Momentumnya setelah mengalahkan Madura
1624.

Dahulu kala hanya para wali yang berhak atas gelar susuhunan. Usaha melestarikan pengaruh para
wali di bidang spiritual dilakukan dengan memakamkan jenazahnya di atas bukit. Kebiasaan ini
berlangsung sejak masa Hindu Jawa. Sultan Agung meniru itu. Dia memutuskan membangun makam
di atas  bukit untuk dirinya maupun keturunannya.

Pembangunan makam berlangsung antara 1629-1630. Berdekatan dengan tahun-tahun petaka,


1628-1629 saat dua kali gagal menyerbu benteng VOC di Batavia. Dengan  karya besar membangun
makam Imogiri, Sultan Agung  ingin memulihkan kewibawaan yang hilang akibat peristiwa
pengepungan Batavia. (zam/rg)
Suksesi dan Sejarah Berpindahnya Ibu kota Mataram (18)

Pangeran Alit Menolak Masuk Kabinet

Radar Jogja29 Jun 2019

Kusno S. Utomo

Setelah Sultan Agung wafat, raja yang baru memperlihatkan diri di depan publik. Putra mahkota
hadir di Bangsal Sitihinggil. Di tempat ini raja yang bergelar Susuhunan Ing Ngalaga Mataram
menerima ucapan selamat.

Raden Mas (RM) Sayidin yang telah berubah nama menjadi Sinuhun Hamangkurat Agung atau
Amangkurat I juga mendengarkan sumpah dan janji setia seluruh jiwa raga dari para pejabat tinggi
Mataram. Baik sipil maupun militer. Ucapan serupa juga disampaikan dari kerabat kerajaan.

Salah satunya dari Pangeran Purbaya. Kakak mendiang Sultan Agung atau pakdhe   dari raja baru itu
memohon agar Susuhunan berkenan memberikan perhatian pada keturunannya. Khususnya bagi
anak dan cucu Purbaya.

Di era Sultan Agung, Purbaya menjabat panglima Tentara Nasional Kerajaan Mataram (TNKM)
merangkap kepala bhayangkara negara. Dua posisi yang strategis menyangkut pertahanan dan
keamanan negara.

Sebagai bagian dari kerabat, anak dan cucu Purbaya mengucapkan janji sumpah setia. Susuhunan
diminta agar mengikuti jejak ayahnya. Kerabat baik adik, kakak, maupun paman Sultan Agung semua
diakomodasi. Mendapatkan posisi masing-masing di kerajaan dan tidak yang ditinggal. Karena itu, di
era Sultan Agung, para kerabat kerap memberikan nasihat dan masukan yang baik kepada raja.

Usai pengucapan sumpah setia itu, para kerabat, pejabat hingga abdi dalem Mataram menghampiri
Susuhunan sambil jalan merangkak. Atau  laku dodok   untuk kemudian mencium kaki raja.
Namun laku dodok   maupun cium kaki tidak diminta Susuhunan kepada adiknya, Pangeran Alit.

Jauh sebelum peralihan takhta itu antara Sayidin dengan adiknya terlibat rivalitas yang keras.
Keduanya sama-sama mengincar singgasana Keraton Mataram. Keduanya juga saling menggalang
dukungan. Mengetahui polarisasi itu, Sultan Agung tidak ingin elite dan rakyat Mataram terpecah.

Maka Sultan Agung menyusun aturan suksesi secara cermat. Tujuannya agar tidak timbul kegaduhan
maupun kudeta pascakematiannya. Benar suksesi dari Sultan Agung kepada penggantinya berjalan
mulus.

Setelah semua proses pengucapan janji dan sumpah setia hingga mencium kaki raja selesai,
Susuhunan Amangkurat I segera menyampaikan pidato politik. Dalam pernyataannya, raja baru
menegaskan komitmennya. Dia berjanji melanjutkan cita-cita ayahnya yang belum terwujud.

Amangkurat I berjanji menghormati semua pejabat kerajaan di era ayahanya. Penghormatan


dilakukan lebih daripada yang lain. Dia juga menaikan pangkat luar biasa kepada sejumlah pejabat.
Di antaranya Tumenggung Wiraguna.

Baru setelah itu selesai, gerbang kerajaan segera dibuka. Upacara pengangkatan raja kelima
Mataram dinyatakan rampung. Raja baru masuk kembali ke keraton. Susuhunan tidak balik ke
kediamannya Ndalem Kadipaten, namun langsung tinggal di Ndalem Prabayeksa   yang menjadi
tempat tinggal raja.
Meski kakaknya telah diangkat sebagai raja baru, Pangeran Alit tetap melanjutkan sikap politiknya.
Dia menolak masuk dalam kabinet Amangkurat I. Dia memutuskan tetap berada di luar
pemerintahan.

Pangeran Alit memimpin oposisi Mataram. Dalam sikapnya, adik raja ini menegaskan menghormati
semua proses transisi kekuasaan dari ayahnya kepada kakaknya. Namun dia tidak secara eksplisit
menerima penetapan Sayidin sebagai pemimpin baru Mataram. Barisan oposisi tetap menghendaki
Alit memegang janjinya. Tidak masuk dalam koalisi pemerintahan baru. (zam/rg)
Suksesi dan Sejarah Berpindahnya Ibu kota Mataram (20)

Raja Baru Menyingkirkan Oposisi dan Memburu Ulama

Radar Jogja01 Jul 2019

Kusno S. Utomo

Susuhunan Amangkurat I tak dapat melupakan kejadian yang membuat reputasi politiknya
tersungkur. Gara-gara laporan Tumenggung Wiraguna, Tumenggung Danupaya dan adik
kandungnya, Pangeran Alit, dirinya harus absen dari panggung politik. Kejadiannya telah berlalu 10
tahun lalu.

Amangkurat I yang saat itu masih berstatus putra mahkota. Dia kesandung kasus perempuan. Putra
mahkota dilaporkan selingkuh dengan istri tercantik Wiraguna. Kasusnya kemudian diadukan
Wiraguna kepada ayahnya, Sultan Agung. Langkah Wiraguna itu didukung adiknya dan guru
spiritualnya, Danupaya. Kedudukan putra mahkota nyaris dicopot.

Kini putra mahkota telah resmi memimpin Mataram. Sebagai raja baru, Amangkurat telah
memetakan siapa saja kawan dan lawan politiknya. Apalagi dari laporan Badan Telik Sandi Mataram,
Wiraguna, Danupaya dan Alit masih sering menggelar berbagai pertemuan. Termasuk dengan
kalangan ulama. Khususnya dari Tembayat yang selama ini kritis terhadap kekuasaan Mataram.

Amangkurat mencurigai mereka sedang menyusun gerakan. Sewaktu-waktu gerakan itu dapat saja
mendongkel posisinya. Tak ingin terlambat, Amangkurat I menyusun strategi. Dia memerintahkan
agar Wiraguna dan Danupaya disingkirkan. Caranya dengan mengirimkan ke mancanegara.
Memimpin pasukan Mataram ke Blambangan.

Itu menyusul serangan orang-orang Bali terhadap Blambangan. Pasukan Mataram harus segera
bertindak. Rebut kembali Blambangan sebelum lepas dari pangkuan ibu pertiwi.

Berangkatlah Wiraguna dan Danupaya memimpin ribuan pasukan Mataram. Operasi militer ke
Blambangan sebenarnya semata-mata demi menyingkirkan Wiraguna dan Danupaya dari lingkaran
kekuasaan. Kedua tokoh oposisi itu harus dibuang jauh.

Saat dua sekutu politiknya berangkat ke Blambangan, Alit didatangi Tumenggung Pasingsingan dan
anaknya Agrayuda. Keduanya memprovokasi Alit merebut takhta kakaknya. Alasannya, kerajaan
sedang sepi. Sebagian besar pejabat militer sedang ke Blambangan. Sisanya lagi sibuk mengawasi
pembangunan calon ibu kota baru di Pleret.

Alit akhirnya terbujuk. Belum lagi terlaksana, rencana itu diketahui Kepala Bhayangkara Mataram
Pangeran Purbaya. Kemudian melaporkan ke raja. Amangkurat I memerintahkan menangkap
Pasisingan dan Agrayuda.

Setelah ditangkap, keduanya langsung dieksekusi mati. Ditebas lehernya. Kepala Pasisingan dan
Agrayuda diserahkan kepada raja. Tak lama kemudian, Amangkurat I mengundang adiknya. Kepala
Pasisingan dan Agrayuda dilemparkan di depan Alit. Raja berkomentar begitulah nasib orang-orang
yang akan menjadikan dirimu raja. Pangeran Alit mengelak. Dia mengaku semua itu bukan
gagasannya. Tapi ide Pasingsingan.

Raja memaafkan adiknya. Namun memerintahkan agar semua pengikutnya diserahkan kepada raja.
Alit menyanggupi. Dia menemui para pengikutnya. Pengikut Alit yang berjumlah 300 orang
menangis. Merekaemohon agar penyerahan kepada raja dibatalkan. Mereka khawatir nasibnya
sama dengan Pasisingan dan anaknya.
Alit merasa iba. Dia kemudian memerintahkan para pengikutnya menyiapkan senjata. Melanjutkan
rencana menguasai istana. Lagi-lagi rencana ini tercium penguasa. Amangkurat I memerintahkan
pasukan pengamanan raja (paspamraja) tidak melawan adiknya.

Namun saat tiba di istana, pasukan Alit tidak kompak. Tinggal enam orang yang benar-benar setia.
Lainnya sudah ngacir lebih dulu sebelum  sampai istana. Terjadi insiden di depan keraton. Tersulut
emosi Alit membunuh Adipati Sampang Demang Melaya dengan kerisnya, Kyai Brongot Setan Kober.

Setelah terbunuhnya Alit, para ulama yang mendukungnya mulai diburu. Sangkaannya hendak
bertindak makar. Nasib Wiraguna dan Danupaya lebih tragis. Dua pejabat tinggi yang telah
berusia sepuh itu gugur di medan laga. (kus/zam/fj)

Anda mungkin juga menyukai