0003-MUSTAKIM-BAB II - (Revisi-Ok)
0003-MUSTAKIM-BAB II - (Revisi-Ok)
KAJIAN PUSTAKA
A. Penelitian Terdahulu
Penelitian tentang Giri Kedaton sudah pernah dilakukan para ahli baik secara
bentuk buku, jurnal ilmiah, maupun masih dalam bentuk laporan penelitian. Beberapa
hasil penelitian terdahulu dapat digunakan sebagai pendukung, literatur, dan yang
paling penting adalah untuk membedakan kajian ini dengan hasil kajian yang sudah
pernah ada sebelumnya. Penelitian terdahulu berbeda dengan penelitian yang sedang
konstruksi pemimpin (leader) atas tradisi Giri Kedaton sebagai identitas sosial budaya
masyarakat Kabupaten Gresik. Adapun beberapa penelitian tentang Giri Kedaton itu
antara lain:
Akhmad Andi Saputra (2015) menulis tentang Giri Kedaton berjudul “Vitality
Kebomas, Gresik.” Tulisan ini dimuat dalam Journal of Indonesian Tourism and
bahwa Situs Giri Kedaton merupakan warisan budaya yang memiliki nilai historis
beragam, terutama sejarah penyebaran Islam dan pemerintahan di Gresik sejak abad
ke-15 M. Situs Giri Kedaton adalah kerajaan yang didirikan oleh Sunan Giri dan
beliau menjabat sebagai raja Giri pada 1487 M sampai dengan tahun 1506 M. Saat ini
Giri Kedaton berubah menjadi objek wisata budaya di sektor wisata religi atau ziarah.
14
Pada 2002 sampai dengan 2005, pemerintah daerah melakukan kegiatan pelestarian
sebagai paket wisata religi. Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa situs
Giri Kedaton memiliki fungsi pendukung sebagai wisata religi tetapi masih ada
kekurangan infrastruktur dan fasilitas yang memadai termasuk area parkir dan fasilitas
jam dan frekuensi kunjungan yang rendah menunjukkan bahwa situs Giri Kedaton
memiliki daya tarik wisata yang terbatas, artinya situs Giri Kedaton belum dikenali
oleh sebagian besar pengunjung. Tingkat kunjungan ke situs Giri Kedaton rendah
karena para wisatawan menilai aspek infrastruktur tidak cukup untuk mendukung
“Kebatinan Islam di Jawa Timur: Studi atas Naskah Sarupane Barang ing Kitab
Ingkang Kejawen miwah Suluk miwah Kitab sarto Barqoh ing Pura Giri Kedaton.”
Disertasi ini ditulis dalam perspektif Sejarah Kebudayaan yang membahas antara
lain: pertama, kondisi sosial budaya Jawa Timur, dalam hal ini diwakili oleh
masyarakat Majapahit akhir atau pada masa peralihan, yakni pada saat tersusunnya
naskah Sarupane Barang ing Kitab Ingkang Kejawen miwah Suluk miwah Kitab
sarto Barqoh ing Giri Pura Kedaton, sebagai setting kontek penyusunan naskah.
Kedua, corak kebatinan Jawa yang terdapat dalam teks Sarupane Barang, sebagai
15
interelasi antara kondisi kehidupan beragama masyarakat pada masa peralihan itu
Simpulan dari penelitian Ahwan Mukarram antara lain; Pertama, pada abad ke
terutama pasca Hayam Wuruk telah terjadi semacam krisis multidimensi. Krisis ini
semua sektor kehidupan yang meliputi sektor politik, ekonomi, budaya, dan
beragama, dalam hal ini Hindu-Budha yang selama ini menjadi dasar moral ikatan
Budha di satu sisi telah mengurangi kepercayaan rakyat pada pemerintah pusat, dan
di sisi lain telah membingungkan rakyat pada umumnya dalam menjalani kehidupan
keagamaan yang selama ini menjadi alat perekat kesetiaan pada raja. Hal ini
keberagamaan mereka dengan sikap baru, yakni dengan kembali kepada javanisme
kebudhaan. Sementara situasi dan kondisi krisis ini berlangsung, di beberepa wilayah
Majapahit menjadi lebih terbuka bagi masuknya pendatang asing, misalnya India,
Arab maupun Cina. Hal ini karena pemerintah pusat sudah lelah dalam urusan intrik
internalnya.
Ketiga, pada periode akhir Majapahit telah terjadi proses timbal balik antara
Islam di satu pihak dengan budaya rohaniah Jawa di lain pihak. Dengan kata lain
16
telah terjadi suatu proses Islamisasi Jawa dan Jawanisasi Islam. Sedangkan dalam
yang memiliki keunikan tersendiri baik dalam substansi ajaran maupun dalam cara
masyarakat masa peralihan (Mukarram, 2007). Penelitian ini melihat Giri Kedaton
dalam sudut sejarah kebudayaan Islam. Sudut pandang sejarah kebudayaan mampu
3. Nurhadi (1982)
penelitian berjudul “Tata Ruang Pemukiman Giri Sebuah Hipotesa Atas Hasil
Penelitian di Giri, Gresik, Jawa Timur.” Nurhadi menulis bahwa Giri merupakan
sebuah kota pusat pemerintahan dan administrasi, serta tempat tinggal raja.
Pemukiman Giri dapat direkonstruksi dari nama desa lama (toponim) yang
selanjutnya mengalami pasang surut dan perubahan pola tata kota karena dipengaruhi
oleh kaum agamawan, politik pemerintahan, hingga para pedagang. Masa awal Giri
berorientasi pada kedaton sebagai pusat pemerintahan, tempat tinggal raja, tempat
17
tinggal Sunan Giri, dan pusat pendidikan agama Islam. Nama-nama dusun di sekitar
Giri Kedaton hingga saat ini menggunakan nama kuno, seperti Kedaton, Punggawan,
Pada perkembangan selanjutnya tata kota Giri sangat dipengaruhi oleh tokoh
pemerintahan dan para pedagang yang telah mengganti kekuatan tokoh agama dan
Sunan Giri sangat berperan besar dalam menyebarkan agama Islam dan
Dari Giri Kedaton inilah Sunan Giri mempunyai pengaruh cukup besar baik di Jawa
maupun luar Jawa. Terbukti banyak kerajaan menjalin hubungan dengan Giri dan para
Tidore, Makassar, Bima datang ke Giri untuk belajar agama Islam (Nurhadi, 1982).
Giri sebagai pusat pemerintahan berakhir pada tahun 1681 M karena dikalahkan oleh
Belanda.
Penelitian tentang Gresik pernah dilakukan oleh tim peneliti dan penyusun
dari Pemerintah Daerah Tingkat II Gresik tahun 1991. Penelitian berjudul “Gresik
dalam Perspektif Sejarah dan Hari Jadi” ini ditulis untuk kepentingan penentuan Hari
Jadi Kabupaten Gresik. Sesuai dengan judul dan tujuannya, maka isi buku ini fokus
pada dasar-dasar historis lahirnya sebuah kota. Peneliti juga banyak mengungkap
pemerintahan memperoleh porsi yang sangat kurang. Melalui pembacaan buku ini
dapat diketahui kelahiran sebuah kerajaan Giri Kedaton, meskipun kurang tegas dasar
18
pemikirannya. Kurang tegasnya pemikiran ini ditadai dengan hasil penentuan Hari
Jadi Kabupaten Gresik yang diperoleh melalui voting dalam siding DPRD Kabupaten
keputusan politik. Dikatakan demikian karena penentuan hari jadi ini merupakan hasil
voting dalam lembaga DPRD Tingkat II Kabupaten Gresik. Terdapat tiga pilihan saat
itu; pertama Gresik lahir didasarkan atas temuan Prasasti Karangbogem tahun 1387
M, kedua; didasarkan pada prasasti Malik Ibrahim (1419 M), dan ketiga didasarkan
sumber sejarah tradisional Babad Gresik, yaitu berdirinya Kerajaan Giri Kedaton
tanggal 9 Maret 1487 M. Opsi ketiga inilah yang dipilih dalam sidang penentuan hari
jadi tersebut dengan alasan bahwa opsi ketiga ini Gresik sudah memenuhi syarat
Kajian lainnya dilakukan oleh Danang Wahju Utomo dari Balai Pelestarian
Peninggalan Purbakala Jawa Timur pada tahun 2011 berjudul “Gresik: Sebuah
Catatan Perjalanan Sejarah Islam.” Tulisan ini memeberikan gambaran umum Gresik
yang terdapat di Gresik. Sisi arkeologis akan menjadi bahan penting dalam
sebuah “imperium kekuasaan” Kerajaan Giri Kedaton pun beralih dari satu dinasti ke
dinasti yang lain. Berdasakan sumber Babad Gresik diawali pemerintahan Sunan Giri
Kedaton berdasarkan Babad Gresik dengan yang disusun J.A.B. Wisselius (dalam
19
Historisch Onderzoek, Naar de Geestelijke en Wereldlijke: Suprematie van Grisse op
yang terakhir adalah Pangeran Singosari (… -1743) adalah rangkaian imperium yang
kebesaran yang pernah diraih dinasti-dinasti tersebut pantaslah untuk dikenang. Pada
saat Pangeran Puspa Ita berkuasa di Giri Kedaton, wilayah Gresik sendiri sebenarnya
telah mengalami era baru pemerintahan yaitu ketika berubah menjadi Kabupaten
Kasepuhan. Jadi diduga ketika para pangeran masih berkuasa, Giri Kedaton sudah
menganggap Giri Kedhaton sebagai saingan beratnya. Oleh karena itu, raja Majapahit
ini melakukan dua kali penaklukan terhadap Kewalian Giri. Pertama pada masa
Kanjeng Sunan Giri I dan kedua pada masa Kanjeng Sunan Giri Prapen. Kewalian
Giri dianggap telah menjadi kekuatan tandingan yang hendak menyaingi wibawa dan
kekuasaan istana Majapahit. Serangan pertama ini gagal total karena kuatnya
pertahanan Giri Kedaton. Atas keberhasilan mempertahankan salah satu pusat syiar
Islam di Jawa, maka Sunan Kalijaga mengusulkan untuk memberikan gelar Prabu
Satmata.
20
Di kalangan Wali Sanga, Sunan Giri juga dikenal sebagai ahli politik dan
diri dari Majapahit, Sunan Giri dipercaya untuk meletakkan dasar-dasar kerajaan
Penelitian terkait dengan Giri Kedaton dilakukan oleh guru besar sejarah
Kebudayaan Indonesia Asli, Hindu-Budha dan Islam Abad 15-16 M.” Penelitian yang
dilakukan oleh Aminuddin Kasdi ini menyebutkan bahwa adanya kepurbakaan pada
Kedua, pandangan masyarakat Jawa pada kedudukan wali yang sangat tinggi.
Hal itu didasarkan bahwa menurut masyarakat Jawa pada umumnya, para wali itu
diyakini sebagai manusia yang dikasihi oleh Allah SWT. Status para wali dalam
Budha dari masa sebelum Islam, juga kedudukan para penguasa yang dianggap
sebagai titisan atau penjelmaan dewa. Ditinjau dari kuatnya pengaruh Hindu-Budha
dalam perkembangan kebudayaan Jawa, tidak mustahil kata wali sanga berasal dari
kata sangha dari perbedaharaan Budhis, berarti ikatan/jamaah para pendeta atau biksu
Budha.
21
Ketiga, adanya persamaan antara intisari ajaran kebatinan Hindu-Budha dan
ajaran kebatinan Islam yang dianggap berbau mistik. Ajaran ini selain diajarkan oleh
Hamzah Fansuri, Samsuddin al-Sumatrani, dan Siti Jenar di Jawa (Kasdi, 2005).
Menurut Aminuddin Kasdi bahwa komplek Sunan Giri sebagai salah satu dari
komplek makam para wali, meliputi komplek makam dan bangunan masjid.
Meskipun ada kemungkinan bahwa bangunan makam Sunan Giri telah mengalami
perubahan beberapa kali, terbukti pada profil bagian depan masjid memuat angka
tahun 1544 M dan 1857 M, diduga kronologi itu merupakan pembinaan kembali
masjid di komplek Giri. Adapun bangunan tertua atau aslinya yang terdahulu
abad XVI M. Namun demikian, meskipun komplek Sunan Giri merupakan suatu
komplek yang berasal dari zaman Islam, serta untuk kepentingan Islam, yaitu sebagai
tempat pemakaman dan beribadah, yaitu sembahyang (salat), tetapi pengaruh unsur-
unsur kebudayaan dari zaman prasejarah maupun dari zaman Hindu-Budha masih
jelas tampak, baik ditinjau dari jiwa maupun seni bangunan atau arsitekturnya (Kasdi,
2005)
makam-makam para wali, khususnya makam Sunan Giri dengan membawa dan
menabur bunga, maksudnya untuk memohon berkah, karamah dan syafaat agar yang
keselamatan, dan lain-lain yang merupakan kelanjutan dari pemujaan terhadap arwah
Komplek makam Sunan Giri sebagai suatu peninggalan Islam kuna dari
unsur budaya dari negara-negara Islam di luar Indonesia (Kasdi, 2005). Dalam
22
menerima dan mengembangkan budaya Islam, diantaranya seni bangunan, relief, dan
7. Mudlofar (2002)
Sejarah Gresik Berdasarkan Naskah Kuno.” Penelitin ini merupakan tugas akhir S2
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya, tahun
2002. Penelitian ini mengambil teks Babad Giri Kedaton (BGK) sebagai objek kajian.
BGK ini menarik bagi penelitian bahasa, sastra, sejarah, adat, agama Islam,
temuan terhadap bahasa Jawa Baru seperti tertuang dalam teks BGK akan
bahasa Jawa khususnya Bahasa Jawa Baru Dialek Pasisiran. Kedua, temuan struktur
teks BGK akan memberikan kontribusi bagi pemahaman konvensi jenis karya sastra
sejarah atau babad. Selain itu, temuan analisis struktur tersebut juga akan memberikan
dasar yang kuat bagi penelitian BGK dengan pendekatan yang lain, misalnya,
BGK ini akan dapat digunakan sebagai sumber bagi para peneliti selanjutnya, baik
penelitian ini ialah utamanya bagi usaha penyusunan kebijakan yang terkait dengan
wisata sumber-sumber sejarah di Gresik. Sunan Giri adalah tokoh sejarah sekaligus
tokoh agama yang tergabung dalam Wali Sanga. Dengan demikian, peninggalan
23
bentuk-bentuk budayanya akan menjadi potensi yang memikat bagi setiap orang, baik
aspek ritual maupun budayanya, untuk berdatangan ke Giri atau Gresik (Mudlofar,
2002). Oleh sebab itu menurut Mudlofar potensi tersebut perlu dibina dan
8. Susanto
Surakarta dalam dalam kurun waktu dari tahun 1871 hingga 1940. Secara kultural
proses itu dapat dirumuskan sebagai proses perubahan dari bentuk budaya reflektif,
dipakai adalah pendekatan sosial dan budaya dengan menerapkan alat analisis berupa
konsep masyarakat majemuk. Langkah ini dimaksud untuk memahami ikatan benang
merah atas fakta perubahan masyarakat dan kebudayaan Surakarta yang terjadi selama
periode 1871-1940. Dalam penelitian ini dihasilkan sintesis yang dapat dideskripsikan
bahwa masyarakat Surakarta pada paruh kedua abad XIX hingga paruh pertama abad
dan politik dari praktik kolonialisme abad XIX dan awal abad XX di Indonesia.
Bentuk masyarakat ini didukung terutama oleh kalangan elite yang berasal dari
beberapa etnis seperti pribumi Jawa, Eropa, Indo, dan Timur Asing, terutama Cina
dan Arab.
24
mendominasi dengan menerapkan budaya kanonikal dalam bentuk praktik
segi historiografi penelitian ini berhasil menemukan beberapa hal baru, yaitu bahwa
melainkan mengalami dinamika perubahan. Selain itu terbukti bahwa Surakarta pada
masa kolonial tidak selalu berada dibawah pengaruh Eropa. Pada akhir paruh pertama
dalam Interaksi Antar etnis di Rao Kabupaten Pasaman Sumatera Barat” membahas
Sumatera Barat. Fokus penelitian adalah pada interaksi antar etnis, antara orang-orang
orang Mandailing. Komunitas ini terlibat dalam proses kontak budaya, konflikatau
identitas agama dan budaya. Pembangunan budaya etnis Minangkabau dan budaya
agama di daerah perbatasan membentuk identitas baru yang merupakan sintesis dari
25
proses panjang interaksi sosial. Pembangunan identitas agama dan budaya
Identitas dan Branding Kota Bengkulu” Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh
Fazrul ini adalah sesuai dengan realitasempirik yaitu fenomena kegiatan Tabot yaitu
kegiatan upacara ritualberkabung atas wafatnya Hussain cucu dari Rasululah SAW
tiap tanggal 1hingga 10 Muharam setiap tahunnya ini dimaknai oleh masyarakat
dialektika yaitu pertama analisis internal, bagaimana nilai budaya dan nilai sosial
terkontruksi dari sisi dalammasyarakat seperti ideologi atau agama karena kegiatan
ritual ini merupakansalah satu kegiatan ideologi atau agama Islam dari masyarakat
dan modernity. Ketiga yaitu proses Identitas Sosial terkontruksi dari objektivitas
dengan tujuan empirik yaitu Tabot sebagai City Branding atau ciri khas darikota
Kebomas, Kabupaten Gresik, Provinsi Jawa Timur. Tujuan penelitian adalah untuk
26
mengetahui nilai penting, memberikan usulan solusi kepada stakeholder dalam
Kawasan ini pada abad 15-17 M merupakan kota pusat pemerintahan Giri,
tempat tinggal raja, dan pusat pendidikan agama Islam awal di Jawa. Sumberdaya
arkeologi di kawasan Giri yaitu situs kompleks makam Sunan Giri, Masjid Besar
Ainul Yaqin Sunan Giri, kompleks makam Sunan Prapen, situs Giri Kedaton, dan
agama, dan pariwisata. Namun demikian, pengelolaan saat ini masih perlu dievaluasi
dan harus dikelola secara benar sesuai dengan aturan yang termaktub dalam Undang
Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, Undang
dan living monument maka usulan pemanfaatan yang tepat adalah sebagai destinasi
dalam wadah bersama dengan melibatkan tiga pilar stakeholder yaitu elemen
yang memimpin. Ada dua usulan model organisasi pengelolaan, petama, berskala
27
mikro dengan memusatkan satu cagar budaya saja yaitu di kawasan Giri, dan kedua,
kawasan Giri saja, tetapi kawasan cagar budaya yang bersifat sakral dan living
kajian lain dengan topik yang hampir sama dilakukan dengan sudut pandang kajian
Syafwan Razi dan Susanto (Sosiologi). Relevansi penelitian di atas kaitannya dengan
penelitian ini yaitu memberikan data-data yang penting untuk mempertajam kajian.
dengan penelitian ini. Perbedaan itu diantaranya; hasil penelitian terdahulu belum ada
yang membahas tentang tradisi Giri Kedaton sebagai identitas masyarakat Kabupaten
Gresik dalam kajian ilmu sosial dan ilmu politik. Selain hal tersebut, penelitian ini
difokuskan pada proses konstruksi sosial yang terjadi pada tokoh-tokoh kunci
penelitian terdahulu yang sudah disebutkan di atas dapat dipastikan belum pernah
dilakukan oleh peneliti lain dengan topik dan pendekatan teoritik yang sama, yaitu
yang membahas tentang Tradisi Giri Kedaton sebagai identitas masyarakat Gresik
28
Hamidy
Susanto (Branding)
(Identitas)
Syafwan Razi
(Identitas)
M. Ichwan
(Wisata Religi)
B. Konsep Tradisi
1. Pengertian Tradisi
Menurut Pietr Sztompka, substansi dan isi semua yang diwarisi masyarakat
dari masa lalu, semua yang disalurkan kepada masyarakat melalui proses sejarah
merupakan warisan sosial. Di tingkat makro, semua yang diwarisi masyarakat dari
beberapa fase proses historis terdahulu merupakan warisan historis dan di tingkat
mezo, apa saja yang diwarisi komunitas atau kelompok dari fase kehidupannya
merupakan apa saja yang diwarisi individu dari biografinya terdahulu. Bila proses
sosial berlanjut dan terus berlangsung dalam jangka panjang maka setiap fase,
termasuk fase kini, tentulah dibentuk ulang dan dipengaruhi oleh semua fase
29
terdahulu sejak fase awal proses sosial, sehingga apa yang terjadi dalam masyarakat
(Sztompka, 2004).
kelangsungan masa lalu di masa kini mempunyai dua bentuk; material dan gagasan,
atau objektif dan subjektif. Oleh karena itu tradisi dapat dimaknai sebagai keseluruhan
benda material dan gagasan yang bersal dari masa lalu namun di masa kini masih ada,
penelitian ini adalah bahwa tradisi Giri Kedaton di Kabupaten Gresik sangat terkait
dengan sejarah di masa lalu, dimana kegiatan tersebut merupakan akumulasi dari
semua kegiatan dalam rangka mengingat kejayaan Gresik di masa lalu. Oleh karena
itu, apa yang nampak dan terjadi dalam tradisi tersebut merupakan proses sejarah
Dilihat dari aspek benda material berarti benda material yang menunjukkan
dan mengingatkan kaitan khususnya dengan kehidupan masa lalu, yakni dalam hal ini
bangunan atau benda cagar budaya yang diduga peninggalan Kerajaan Giri Kedaton,
baik berupa puing bangunan istana maupun benda lainnya, sehingga sebagian besar
dari aspek gagasan yang meliputi keyakinan, kepercayaan, simbol, norma, nilai,
aturan, dan ideologi, harus muncul dalam peran dan lakon sebagai bagian untuk
2. Kemunculan Tradisi
Menurut Sztompka, sebuah tradisi lahir pada saat ketika orang menetapkan
sebuah fragmen tertentu dari warisan masa lalu sebagai tradisi, sehingga tradisi
berubah ketika orang memberikan perhatian khusus pada fragmen tradisi tertentu dan
30
megabikan fragmen yang lain, oleh karena itu sebuah trisidi akan bertahan dalam
masa tertentu dan mungkin hilang jika benda material dibuang dan gagasan ditolak
atau dilupakan serta tradisi mungkin pula hidup atau muncul kembali setelah sekian
Ada dua cara tradisi dilahirkan, cara pertama ia muncul dari bawah melalui
mekanisme kemunculan secara spontan dan tak diharapkan serta melibatkan rakyat
disebarkan melalui berbagai cara akan mempengaruhi banyak orang, sehingga sikap-
sikap tersebut berubah menjadi perilaku dalam bentuk upacara, penelitian, dan
dan tindakan individual menjadi milik bersama dan berubah menjadi fakta sosial
Cara kedua, sebuah tradisi dapat muncul dari atasan melalui cara paksaan,
sehingga sesuatu yang dianggap sebagai tradisi dipilih dan dijadikan perhatian umum
atau dipaksakan oleh individu yang berpengaruh, maka seorang raja memungkinkan
untuk memaksakan tradisi dari dinastinya kepada rakyat (Sztompka, 2004). Dalam hal
ini, ada kemungkinan bahwa tradisi Giri Kedaton yang sudah berjalan cukup lama dan
3. Fungsi Tradisi
untuk bertindak (tradisi kesenian, kerajinan, pengobatan, atau profesi), contoh peran
31
parlementarisme), polaorganisasi (tradisi pasar, demokrasi, atau kolonialisme),
gambaran tentang masyarakat rujukan (tradisi masyarakat Yunani Kuno atau tradisi
aturan yang sudah ada; 3) menyediakan simbol identitas kolektif yang meyakinkan,
C. Kajian Teori
1. Teori Identitas
Secara epistimologi, kata identitas berasal dari kata identity, yang berarti (1)
kondisi atau kenyataan tentang sesuatu yang sama, suatu keadaan yang mirip satu
sama lain; (2) kondisi atau fakta tentang sesuatu yang sama di antara dua orang atau
dua benda; (3) kondisi atau fakta yang menggambarkan sesuatu yang sama di antara
dua orang (individualitas) atau dua kelompok atau benda; (4) Pada tataran teknis,
dan kata sosial sebagai berikut: identitas adalah: ciri-ciri atau keadaan khusus
seseorang; atau jati diri. Sedangkan kata “sosial” didefinisikan sebagai yang
“berkenaan dengan masyarakat”. Dengan demikian kata identitas sosial sebagai ciri
32
Identitas sebagai satu unsur kunci dari kenyataan subjektif dan sebagaimana
sehingga identitas dibentuk oleh proses-proses sosial (Berger, 1990). Sejak awal
proses identitas setiap individu seluruhnya diresepi oleh sejarah masyarakat, dan
Identitas dibagi menjadi tiga bentuk yaitu:identitas budaya, identitas sosial dan
1. Identitas Budaya
anggota dari sebuah kelompok etnik tertentu, meliputi pembelajaran tentang dan
penerimaan tradisi, sifat bawaan, bahasa, agama, dan keturunan dari suatu
kebudayaan.
2. Identitas Sosial
dalam konteks sosialnya. Identitas sosial adalah persamaan dan perbedaan, mengenai
personal dan sosial, mengenai apa yang dimiliki secara bersama-sama dengan
beberapa orang dan apa yang membedakan antara yang satu dengan lainnya (Barker,
2003). Pembicaraan tentang identitas, maka tidak terleoas juga dengan identitas
kelompok sosial. Kelompok sosial adalah suatu sistem sosial yang terdiri dari
sejumlah orang yang berinteraksi satu sama lain dan terlibat dalam satu kegiatan
bersama atau sejumlah orang yang mengadakan hubungan tatap muka secara berkala
karena mempunyai tujuan dan sikap bersama; hubungan-hubungan yang diatur oleh
(status) dan peranan (role) masing-masing dan antara orang-orang itu terdapat rasa
33
3. Identitas Diri
kesinambungan pribadi, suatu kesatuan unik, yaitu kesatuan dan kesinambungan yang
mengintegrasikan semua gambaran diri, baik yang diterima dari orang lain maupun
yang diimajinasikan sendiri tentang apa dan siapa dirinya serta apa yang dapat
dibuatnya dalam hubungan dengan diri sendiri dan orang lain. Identitas diri seseorang
juga dapat dipahami sebagai keseluruhan ciri-ciri fisik, disposisi yang dianut dan
kekhasan yang membedakan orang tersebut dari orang lain dan sekaligus merupakan
perbandingan sosial yang dapat saja berakibat positif atau negatif terhadap evaluasi
diri (Jenkins, 2008). Identitas sosial merupakan bagian dari konsep diri seseorang
yang didasarkan pada identifikasinya dengan sebuah bangsa kelompok etnis, gender
atau afiliasi sosial lainnya. Identitas sosial sangat penting karena memberi perasaan
pada sesseorang bahwa dirinya memiliki tempat dan kedudukan dalam dunia. Tanpa
identitas sosial, kebanyakkan dari kita akan merasa seperti kelereng yang
mengelinding bebas dan tanpa saling terkait antara satu dengan yang lain dalam
34
ketidakmerataan identitas ini terjadi, maka konsepsi tentang diri dan sosialnya juga
tidak jelas. Prototype adalah konstruksi sosial yang terbentuk secara kognitif yang
lain adalah bagian dari dirinya atau memandang dirinya sendiri sebagai contoh dari
kategori sosial yang dapat digantikan dan bukannya individu yang unik (Hogg, 2004).
Pada dasarnya setiap individu selalu berlomba memiliki identitas yang positif
di mata kelompok lain untuk mendapatkan pengakuan dari pihak lain sehingga
nantinya mendapatkan suatu persamaan sosial (social equality). Menurut Laker dalam
suatu kelompok kurang berharga maka akan muncul fenomena misidentification yaitu
(Susetyo, 2007).
Turner dan Tajfel mengamati bahwa orang berjuang untuk mendapatkan atau
mempertahankan identitas sosial yang positif dan ketika identitas sosial dipandang
tidak memuaskan, mereka akan bergabung dengan kelompok di mana mereka merasa
lebih nyaman atau membuat kelompok di mana mereka sedang tergabung sebagai
tempat yang lebih menyenangkan (Turner, 2008). Hal ini mengartikan bahwa fungsi
identitas sosial seseorang atau kelompok orang adalah untuk membantu menemukan
jati diri dan rasa percaya diri yang lebih tinggi, efisien, efektif dan dialektif. Dialektif
yang dimaksudkan adalah menyangkut dialog atau pembahasan penemuan jati diri
identitas sosial. Sehingga identitas sosial juga membantu seseorang untuk mengenali
dirinya darimana ia berasal melalui cara berpikir dan bertindak. Hal ini kemudian
35
tidak sendirian, tetapi ada orang di sekelilingnya, dengan dukungan dan solidaritas
Dinamika identitas sosial lebih lanjut, ditetapkan secara lebih sistematis oleh
Tajfel dan Turner pada tahun 1979. Mereka membedakan tiga proses dasar
social comparison.
a. Social Identification
seseorang mendefinisikan diri mereka (dan dilihat oleh orang lain) sebagai anggota
kategori sosial tertentu. Posisi seseorang dalam lingkungan, dapat didefinisikan sesuai
mendefinisikan dirinya sebagai anggota kelompok tertentu. Hogg & Abrams juga
menyatakan bahwa dalam identifikasi, terdapat pengetahuan dan nilai yang melekat
dalam anggota kelompok tertentu yang mewakili identitas sosial individu. Selain
untuk meraih identitas sosial yang positif, dalam melakukan identifikasi, setiap orang
kelompok.
36
b. Social Categorization
kelompok atau kategori yang bermakna bagi individu. Sebagai konsekuensi dari
berkurang, sedangkan perbedaan antara kategori (out group) yang lebih ditekankan.
secara sederhana. Sebagai hasil dari proses categorization, nilai-nilai tertentu atau
stereotip yang terkait dengan kelompok, dapat pula berasal dari individu anggota
menilai persamaan pada hal-hal yang terasa sama dalam suatu kelompok. Adanya
merupakan asosiasi kognitif diri dengan kategori sosial yang merupakan keikutsertaan
c. Social Comparison
lain, ini dapat menyebabkan identitas sosial yang positif. Identitas sosial dibentuk
untuk membentuk identitas sosial dengan memakai orang lain sebagai sumber
perbandingan, untuk menilai sikap dan kemampuan antara seseorang dengan lainnya.
pada hal-hal yang terasa berbeda pada ingroup dan outgroup, dalam perbandingan
sosial, individu berusaha meraih identitas yang positif jika individu bergabung dalam
ingroup. Keinginan untuk meraih identitas yang positif dalam identitas sosial ini
37
perbandingan sosial menjadikan seseorang mendapat penilaian dari posisi dan status
kelompoknya.
dan penentuan identitas (identifikasi). Bagaimana seseorang tahu siapa dirinya, dan
dirinya sebagai individu yang unik dengan kesadaran bahwa seseorang itu selalu dan
berada di mana-mana, kita berbagi aspek identitas dengan banyak orang (orang lain)?
kata identitas dari sudut etimologi. Kamus Inggris Oxford menawarkan akar kata
Latin identitas dari idem (sama) dan dua makna dasar. Pada kesamaan objek, seperti
pada A1 adalah identik dengan A2, tetapi tidak identik dengan B1. Aanalogi tersebut
mungkin dipakai untuk menerangkan identitas seseorang tidak sama persis dengan
berkesinambungan dari waktu ke waktu yang merupakan dasar untuk menangkap dan
representasi dan dalam materi, seringkali bersifat sangat praktis, yang merupakan
38
Jenkins menambahkan bahwa baik dari sudut manapun, pengertian identitas
selalu melibatkan dua kriteria yaitu: perbandingan baik antara orang-orang ataupun
Dilanjutkan Jenkins bahwa dalam ruang lingkup identitas sosial, maka ada dua subjek
yang dijadikan pusat perhatian, yakni identitas sosial secara individu dan kolektif. Di
sisi lain, identifikasi identitas kolektif adalah memunculkan citra kuat orang-orang
yang dalam beberapa hal (subjek) tampaknya mirip satu sama lain (Jenkins, 2008).
Dengan melibatkan aspek sosial dan psikologis, teori identitas sosial menyediakan
2008).
kehidupan kolektif, beserta berbagai dampak yang dihasilkan. Persoalan yang relevan,
identitas kolektif, dan kolektif dalam kelompok yang digemari, solidaritas kelompok
memadai oleh teori identitas sosial yang berhubungan juga dengan perubahan sosial,
Kajian ini juga diperkuat teori identitas dari Manuel Castells (2010). Dalam
keberadaan identitas akan bisa terbentuk hanya ketika ada internalisasi. Oleh
karena itu asumsi yang dibangun oleh Castells, karena berangkatnya identitas ini
aturan yang telah ditetapkan oleh satu institusi. Konstruksi identitas sendiri dalam
39
prosesnya sangat bergantung pada beberapa hal, diantaranya bersumber dari
kolektif, fantasi personal, kekuasaan dan juga sisi-sisi keagamaan. Sehingga dalam
era informasi (information age) seperti sekarang ini menurut Castells, tidak hanya
dalam satu masyarakat. Institusi inilah yang kemudian melakukan rasionalisasi atas
melakukan suatu tindakan oposisi atas proses legitimizing identity yang dilakukan
oleh institusi dominan. Pada tahapan ini, lantas mereka akan mencoba untuk
membangun pemakanaan baru akan identitas. Munculnya identitas baru ini yang
lantas melahirkan adanya politik identitas dalam satu tatanan masyarakat. Ketiga,
Project Identity, akan terjadi ketika aktor-aktor sosial berusaha untuk membangun
masyarakat dan selain itu juga berusaha untuk melakukan transformasi pada struktur
sosial yang ada. Manuel Castells dalam proposisinya menjelaskan melalui contoh
40
yaitu dengan adanya pendefinisian baru atas identitas yang melekat pada mereka
(Najib, 2013).
keberadaan (Being) yang tidak tergantung pada kehendak kita sendiri. Sedangkan
dari hasil konstruksi sosial dan kebenaran suatu realitas sosial bersifat nisbi, yang
dapat dilihat dari tiga hal yang meliputi: Pertama dilihat dari penejelasan ontologism,
realitas yang dikontruksikan itu berlaku sesuai kontek spesifik yang dinilai relevan
oleh pelaku sosial. Kedua, ditinjau dari kontek epistemologis bahwa pemahaman
tentang suatu realitas merupakan produk interaksi antara peneliti dan objek yang
diteliti. Dalam hal ini teori kontruktivis bersifat transaksional atau subjektif. Ketiga
dilihat dari kontek aksiologi, yaitu peneliti sebagai fasilitator yang menjembatani
paradigma definisi sosial (Ritzer, 2001). Paradigma definisi sosial merupakan salah
satu dari tiga paradigma dalam sosiologi. Dua paradigma lainnya adalah paradigma
fakta sosial (klasik) dan paradigma perilaku sosial. Teori konstruktivis berada di
dalam perspektif interpretative (penafsiran) yang memiliki tiga varian, yaitu interaksi
41
Landasan teori kontruksionis dipelopori oleh Petter L. Berger dan Thomas
Luckman yang menulis karya dan menghasilkan tesis mengenai konstruksi sosial atas
realitas (Eriyanto, 2004). Berger dan Luckman menjelaskan bahwa teori konstruksi
sosial berada diantara teori fakta sosial dan definisi sosial, dimana dalam teori fakta
sosial, struktur sosial yang eksislah yang penting, manusia adalah produk dari
masyarakat dan persepsi manusia ditentukan oleh struktur yang ada dalam
perilaku invidu manusia. Menurut teori definisi sosial, manusia yang membentuk
realitas, menyusun institusi dan norma yang ada adalah manusia (Hamidy, 2013).
hasil ciptaan manusia yang kreatif melalui kekuatan kontruksi sosial terhadap dunia
sosial di sekelilingnya. Pemikiran tersebut berakar pada konsep definisi sosial yang
melihat teori sosial sebagai hasil konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu
sebagai manusia bebas, sehingga seorang individu menjadi sosok penentu dalam
memiliki kebebasan dalam bertindak di luar batas pranata dan kontrol struktur sosial,
yakni individu memaknai dunia sosialnya berupa respon-respon pada stimulus dalam
dunia kognitifnya, sehingga dalam proses sosial, seorang individu dianggap tercipta
dari realitas sosial yang relatif bebas di dalam dunia sosial (Hamidy, 2013).
Jika diamati, terdapat beberapa asumsi dasar dari teori konstruksi sosial
menurut Berger dan Luckmann, yakni: realitas adalah produk ciptaan manusia yang
hubungan antara pemikiran manusia dan kontek sosial bersifat berkembang dan
42
dikembangkan; kehidupan dalam masyarakat sifatnya konstruksi terus menerus;
antara realitas dan pengetahuan adalah dua hal yang berbeda, dimana realitas diartikan
sebagai kualitas yang terdapat dalam kenyataan yang memiliki keberadaan (being)
yang tidak bergantung kepada kehendak diri kita sendiri, sedangkan pengetahuan
didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas itu nyata dan berkarakteristik (Hamidy,
2013). Menurut Berger dan Luckmann, institusi dalam masyarakat tercipta dan eksis
karena tindakan manusia, sehingga meskipun masyarakat dan institusi sosial terlihat
Objektivitas muncul manakala terjadi penegasan berulang oleh orang lain yang
memiliki definisi subjektif yang sama. Oleh karena itu pada tingkat generalisasi
paling tinggi, manusia menciptakan dunia dalam makna simbolis yang universal yang
memberi legitimasi dan mengatur bentuk-bentuk sosial serta memaknai pada berbagai
ranah kehidupan.
konsep yang dapat menghubungkan antara yang subjektif dan objektif melalui tiga
konsep dialektika: eksternalisasi adalah proses penyesuain diri denagan dunia sosio
kultural sebagai produk manusia; objektivasi adalah proses interaksi sosial dalam
(Hamidy, 2013).
melihat realita akan menghasilkan dua hal, yakni kelembagaan dan legitimasi.
mengalami pembiasaan, yakni setiap tindakan yang sering diulangi menjadi suatu
43
pola yang dapat direprodukasi dan dipahami oleh pelakunya sebagai pola yang
dimaksud itu. Sementara itu legitimasi mengasilkan konsep baru yang berfungsi untuk
berkelainan, sehingga pada akhirnya legitimasi dapat membuat objektivasi dan masuk
Menurut Berger dan Luckmann, terdapat dua objek pokok realitas yang
berkenaan dengan pengetahuan, yakni realitas subjektif dan realitas objektif. Realitas
konstruksi definisi realitas yang dimiliki individu dan dikonstruksi melalui peoses
untuk melibatkan diri dalam proses eksternalisasi, atau proses interaksi sosial dengan
individu lain dalam sebuah struktur sosial. Melalui proses eksternalisasi itulah
sebuah konstruksi realitas objektif yang baru (Polomo, 2010), sedangkan realitas
objektif dimaknai sebagai fakta sosial. Disamping itu realitas objektif merupkan suatu
kompleksitas definisi realitas serta rutinitas tindakan dan tingkah laku yang telah
mapan terpola, yang kesemuanya dihayati oleh individu secara umum sebagai fakta.
dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia. meskipun institusi
sosial dan masyarakat terlihat nyata secara objektif, namun pada kenyataan semuanya
dibangun dalam definisi subjektif melalui proses interaksi. Objektivitas baru bisa
terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh orang lain yang
memiliki definisi subjektif yang sama. Pada tingkat generalitas yang paling tinggi,
manusia menciptakan dunia dalam makna simbolis yang universal, yaitu pandangan
44
sosial serta memberi makna pada berbagai bidang kehidupan. Pendek kata, Berger
proses dialektika ketika melihat hubungan masyarakat dengan agama, bahwa agama
merupakan entitas yang objektif karena berada diluar diri manusia. dengan demikian
agama, agama mengalami proses objektivasi, seperti ketika agama berada didalam
teks atau menjadi tata nilai, norma, aturan dan sebagainya. Teks atau norma tersebut
kemudian mengalami proses internalisasi kedalam diri individu, sebab agama telah
mengalami proses eksternalisasi karena ia menjadi acuan norma dan tata nilai yang
objektivasi, dan internalisasi. Dengan demikian, bisa dipahami bahwa realitas sosial
merupakan hasil dari sebuah konstruksi sosial karena diciptakan oleh manusia itu
sendiri.
memiliki dimensi kenyataan sosial ganda yang bisa saling membangun, namun
dan realitas objektif yang dikonstruksi melalui momen eksternalisasi dan objektivasi,
45
eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi tersebut akan selalu berproses secara
dialektis. Proses dialektika ketiga momen tersebut, dalam konteks ini dapat dipahami
sebagai berikut:
Proses eksternalisasi merupakan salah satu dari tiga momen atau triad
dialektika dalam kajian sosiologi pengetahuan. Proses ini diartiakan sebagai suatu
proses pencurahan kedirian manusia secara terus menerus ke dalam dunia, baik dalam
aktivitas fisik maupun mentalnya. Atau dapat dikatakan penerapan dari hasil proses
internalisasi yang selama ini dilakukan atau yang akan dilakukan secara terus menerus
kedalam dunia, baik dalam aktivitas fisik maupun mentalnya. Termasuk penyesuaian
diri dengan produk-produk sosial yang telah dikenalkan kepadanya. Karena pada
dasarnya sejak lahir individu akan mengenal dan berinteraksi dengan produk-produk
sosial. Sedangkan produk sosial itu sendiri adalah segala sesuatu yang merupakan
sosial merupakan sesuatu yang telah ada mendahului setiap perkembangan organism
individu. Tatanan sosial yang terjadi secara terus-menerus dan selalu diulang ini
merupakan pola dari kegiatan yang bisa mengalami proses pembiasaan (habitualisasi).
yang bermakna bagi individu dan diterima begitu saja. Pembisaan ini membawa
keuntungan psikologis karena pilihan menjadi dipersempit dan tidak perlu lagi setiap
dorongan yang tidak terarah. Proses pembiasaan ini mendahului setiap pelembagaan.
46
Manusia menurut pengetahuan empiris kita, tidak bisa dibayangkan terpisah dari
pencurahan dirinya terus menerus kedalam dunia yang ditempatinya (Berger, 1991).
dirinya sebagai sesuatu yang bersifat eksternal bagi manusia, sesuatu yang berada di
yang bisa dijadikan sebagai dasar seseorang untuk membentuk pengetahuan atau
dipahami sebagai proses visualisasi atau verbalisasi pikiran dari dimensi batiniah ke
dimensi lahiriah. Eksternalisasi merupakan proses pengeluaran gagasan dari dunia ide
ke dunia nyata.
momen ini, realitas sosial berupa proses adaptasi dengan teksteks suci, kesepakatan
ulama, hukum, norma, nilai dan sebagainya yang hal itu berada diluar diri manusia.
sehingga dalam proses konstruksi sosial melibatkan momen adaptasi diri atau
dapat melalui bahasa, tindakan dan pentradisian yang dalam khazanah ilmu sosial
disebut interpretasi atas teks atau dogma. Karena adaptasi merupakan proses
47
penyesuaian berdasar atas penafsiran, maka sangat dimungkinkan terjadinya variasi-
variasi adaptasi dan hasil adaptasi atau tindakan pada masing-masing individu.
atau segala bentuk eksternalisasi yang telah dilakukan dilihat kembali pada kenyataan
di lingkungan secara objektif. Jadi dalam hal ini bisa terjadi pemaknaan baru ataupun
realitas yang terpisahkan satu sama lain, manusia disatu sisi dan realitas sosiokultural
disisi lain. kedua entitas yang seolah terpisah ini kemudian membentuk jaringan
yang kemudian mengejawantah sebagai suatu kenyataan objektif yang sui generis,
unik.
Pada momen ini juga ada proses pembedaan antara dua realitas sosial, yaitu
realitas diri individu dan realitas sosial lain yang berada diluarnya, sehingga realitas
sosial itu menjadi sesuatu yang objektif. Dalam proses konstruksi sosial, proses ini
menjadi dunia objektif melalui interaksi sosial yang dibangun secara bersama.
Selain itu, objektivitas dunia kelembagaan adalah objektivasi yang dibuat dan
halnya dengan setiap lembaganya (Berger, 1990). Masyarakat adalah produk dari
48
manusia. Berakar dalam fenomena eksternalisasi yang pada gilirannya didasarkan
pada konstruksi biologis manusia itu. Transformasi produk-produk ini ke dalam suatu
dunia tidak saja berasal dari manusia, tetapi yang kemudian menghadapi manusia
sebagai suatu faktasitas diluar dirinya, adalah diletakkan dalam konsep objektivitas.
Dunia yang diproduksi manusia yang berada diluar sana memiliki sifat realitas yang
objektif. Dan dapat juga dikatakan bahwa masyarakat merupakan aktivitas manusia
yang diobjektivasikan (Berger, 1991). Didalam konstruksi sosial momen ini terdapat
realitas sosial pembeda dari realitas lainnya. Objektivasi ini terjadi karena adanya
proses eksternalisasi. Ketika dalam proses eksternalisasi semua cirri-ciri dan simbol
struktur-struktur dunia subjektif. Pada momen ini, individu akan menyerap segala hal
yang bersifat objektif dan kemudian akan direalisasikan secara subjektif. Internalisasi
ini berlangsung seumur hidup seorang individu dengan melakukan sosialisasi. Pada
yang lebih menyerap aspek ekstern, ada juga juga yang lebih menyerap bagian intern.
Selain itu, selain itu proses internalisasi dapat diperoleh individu melalui proses
kecil, disaat ia diperkenalkan dengan dunia sosial pada individu. Sosialisasi sekunder
dialami individu pada usia dewasa dan memasuki dunia publik, dunia pekerjaan
dalam lingkungan yang lebih luas. Sosialisasi primer biasanya sosialisasi yang paling
49
penting bagi individu, dan bahwa semua struktur dasar dari proses sosialisasi
(Berger, 1990).
menemukn akumulasi respon orang lain terhadap tindakannya. Dimana si anak mulai
mengeneralisasi nilai dan norma atas akumulasi respon orang lain ini. abstraksi dari
berbagai peranan dan sikap orang-orang yang secara konkrit berpengaruh dinamakan
Adapun fase terakhir dari proses internalisasi ini adalah terbentuknya identitas.
Identitas dianggap sebagai unsur kunci dari kenyataan subjektif, yang juga
fenomena yang timbul dari dialektika antara individu dengan masyarakat (Berger
50
1990). Ketiga proses yang ada tersebut akan terus berjalan dan saling berkaitan satu
sama yang lain, sehingga pada prosesnya semua kan kembali ke tahap internalisasi
dan begitu seterusnya. Hingga individu dapat membentuk makna dan perilaku baru
Maka dapat diketahui bahwa individu merupakan produk sekaligus pencipta pranata
berbagai aspek lainnya dari kenyataan sosial. Kenyataan sosial yang diciptakannya itu
lalu mengkonfrontasi individu sebagai kenyataan eksternal dan objektif. Individu lalu
kesadarannya. Bahwa di luar terdapat dunia sosial objektif yang membentuk individu-
individu, dalam arti manusia adalah produk dari masyarakatnya. Realitas yang
objektif ini dipantulkan oleh orang lain dan diinternalisir melalui proses sosialisasi
oleh individu pada masa kanak-kanak, dan disaat mereka dewasa merekapun tetap
menginternalisir situasi-situasi baru yang mereka temui dalam dunia sosialnya. Oleh
karena itu dalam memahami suatu konstruksi sosial diperlukan tiga tahapan penting
Peneliti memilih teori konstruksi sosial atas realitas Peter Berger dan Thomas
Luckman karena pada dasarnya konsep yang dikemukakan dalam teori tersebut sangat
relevan dengan realitas yang kajian ini. Peneliti melakukan pengkajian secara
mendalam terhadap makna Tradisi Giri Kedaton yang dibangun oleh pemimpin
(leader). Dalam kontek teori konstruksi sosial Berger bahwa pada dasarnya realitas
yang terdapat di dalam masyarakat dikonstruksi oleh masyarakat itu sendiri. Dalam
hal ini realitas makna Tradisi Giri Kedaton dibangun oleh pemimpin (leader) dan
51
masyarakat pendukungnya secara simultan sebagaimana digambarkan Berger melalui
hermeneutik (Hamidy, 2013). Dari tiga varian tersebut, penelitian ini menggunakan
filsafat yang menguji teori tentang pemahaman dan penafsiran. Selanjutnya, dia juga
mengatakan bahwa sebuah proses dipandang sebagai sesuatu yang sirkuler, jadi orang
penafsiran atau interpretasi (Steve JM, 2008). Dalam mitologi Yunani, kata
hermeneutik sering dikaitkan dengan tokoh bernama Hermes, seorang utusan yang
menyampaikan pesan berarti juga menerjemahkan ucapan para dewa ke dalam bahasa
penafsiran. Dari situ kemudian pengertian kata hermeneutika memiliki kaitan dengan
sebuah penafsiran atau interpretasi (Saidi, 2008). Terdapat banyak tokoh dalam
Heidegger, Hans George Gadamer, Jurgen Habermas, dan Paul Ricoeur. Penelitian ini
52
Wilhelm Dilthey adalah seorang filsuf Jerman. Ia terkenal dengan riset
baru bagi pertimbangan sejarah tentang pemahaman yang memandang dunia sebagai
terjemahaan dan interpretasinya atas dialog Plato (Steve JM, 2008). Pemikiran
memandang hidup dan kehidupan adalah sebuah proses yang sedang berlangsung,
suatu entitas yang secara kodrat mengalir. Sejarah tidak dapat dipahami kecuali
melalui teori-teori dan sebaliknya teori juga tidak dapat dipahami kecuali melalui
berarti bahwa makna itu sendiri tidak pernah berhenti pada satu masa saja, tetapi
ilmiah dalam bidang ilmu alam. Perbedaan objek kedua ilmu ini cukup mencolok.
Bila ilmu kemanusiaan mengenal dua dimensi eksterior dan interior bagi objeknya,
maka ilmu alam hanya mengenal dimensi eksterior (Sumaryono, 1999). Dilthey
Hermeneutika Dilthey berkisar pada tiga unsur yaitu Verstehen (memahami), erlebnis
53
(dunia pengalaman batin) dan Ausdruck (ekspresi hidup). Ketiga unsur ini saling
kenyataan dasar hidup dari mana segala kenyataan dieksplisitkan. Dalam erlebnis
hidup merupakan realitas fundamental yang teralami secara langsung, sehingga belum
memunculkan pembedaan subjek dan objek. Erlebnis adalah basis kenyataan bagi
munculnya imaginasi, ingatan dan pikiran (Ankersmit, 1987. Juga lihat Poespoprodjo,
1987). Ia ada sebelum ada refleksi dan sebelum ada pemisahan subjek dan objek.
dalam berbagai bentuk tindakan. Ada beberapa bentuk ekspresi; Pertama, ekspresi
yang isinya telah tetap dan identik, seperti, rambu-rambu lalu lintas. Kedua, ekspresi
tingkah laku manusia. Tingkah laku ini bisa individual atau serangkaian tindakan
yang panjang. Ketiga, ekspresi spontan, seperti tersenyum, tertawa, kagum dan
seterusnya. Ekspresi ini merupakan ungkapan perasaan yang kadang dangkal, dan
kadang sangat dalam (Poespoprodjo, 1987). Sementara itu verstehen atau pemahaman
diberikan pada indera. Memahami adalah mengetahui yang dialami orang lain, lewat
pemahaman yang membedakannya dari ilmu alam. Manusia sebagai objek pengertian
54
dan keinginannya. Ilmu kemanusiaan tidak hanya mampu mengetahui apa yang telah
diperbuat manusia tetapi juga pengalaman batin (erlebnis), pikiran, ingatan, keputusan
nilai dan tujuan yang mendorongnya berbuat (Sills, 1972). Perbuatan atau tindakan
merupakan ekspresi jiwa manusia, ide dan arti yang diharapkan oleh individu maupun
masyarakat, yang berupa kata, sikap, karya seni dan juga lembaga-lembaga sosial.
Peneliti ilmu kemanusiaan harus berusaha seperti hidup dalam objeknya, atau
membuat objek hidup dalam dirinya. Dengan penghayatan tersebut akan memudahkan
Dilthey, menurut isinya ditentukan oleh semua pengalaman yang sampai pada saat itu
kita miliki; sebaliknya, pengalaman baru itu memberi arti dan penafsiran baru kepada
sejarah ke dalam batin seorang peneliti akan dihasilkan efek yang sama seperti halnya
ekspresi yang merupakan manifestasi hidup atau hasil kegiatan jiwa. Verstehen adalah
proses di mana kehidupan mental diketahui melalui ekspresinya yang ditangkap oleh
panca indera. Walaupun demikian ekspresi tersebut lebih dari sekedar kenyataan fisik,
55
karena ia dihasilkan oleh kegiatan jiwa (Poespoprodjo, 1987). Proses memahami dan
persyaratan. Bila persyaratan ini tidak terpenuhi maka menjadi sulit bagi proses
kemampuan pengalaman akan hal tersebut. Untuk itu bagi Dilthey, hermeneutika
perlu juga dilengkapi dengan studi psikologi deskriptif. Syarat kedua adalah
tentang keseluruhan. Suatu kata hanya bisa dimengerti dalam konteks yang lebih luas,
demikian juga tindakan manusia juga hanya bisa dipahami melalui konteks yang lebih
luas. Syarat ketiga adalah pengetahuan tentang sistem sosial dan kultural yang
menentukan gejala yang kita pelajari. Untuk mengerti suatu kalimat harus mengetahui
konteks aturan main dalam bahasa yang bersangkutan. Syarat iniberkaitan erat dengan
syarat kedua. Studi tentang satu pemikiran menghendaki konteks karya-karya yang
lain, dan studi tentang karya menghendaki konteks sosial-historis yang lebih luas.
lain namun orang masih dirasa perlu untuk membuat interpretasi atas ekspresi atau
ungkapan tersebut. Dan hermeneutik hanya akan bekerja jika ekspresi atau ungkapan-
ungkapan tersebut tidak asing atau sudah kita kenal. Jika ungkapan tidak mengandung
sesuatu yang bersifat ganjil atau misteri, maka hermeneutika menjadi tidak perlu.
Demikian juga bila sama sekali asing maka hermeneutika menjadi tidak mungkin
(Sumaryono, 1997). Pada satu sisi tidak bisa dihindari bahwa interpretasi terhadap
yang disebut lingkar hermeneutik. Terlalu sulit dideskripsikan secara logis ketat
56
kapan suatu pemahaman tercapai. Suatu bagian hanya dapat dipahami melalui
situasi yang membangkitkan pikiran itu. Sedang situasi yang membangkitkan pikiran
merupakan bagian dari situasi. Hal ini selalu terkait dengan perspektif dan situasi
tanpa pengandaian tidak memiliki dasar faktual. Tapi bukan berarti hermeneutika ini
menjadi proses semaunya. Setidaknya Dilthey menekankan beberapa hal yang bisa
pada “pengalaman yang hidup” (Lived experience). Pengalaman inilah yang menjadi
hari tidak dapat seluruhnya disebut sebagai “pengalaman yang hidup”. Hanya
pengalaman yang bisa memberi “kedekatan batin” terhadap masa lalu dan masa depan
saja yang bisa disebut sebagai “pengalaman yang hidup” (Sumaryono, 1987). Untuk
memahami sudut pandang atau gagasan asli pelaku. Kedua, memahami arti atau
57
Langkah ini sebenarnya hanya eksplisitisasi dari pemikiran Dilthey tentang
serupa, aku sendiri juga akan berbuat dan berpikir demikian.” (Ankersmit, 1987).
masa kini untuk bisa masuk ke dalam kulit pengalaman pelaku sejarah.
dalam penelitian ini yang menjadi objek interpretasi dalam penelitian ini adalah teks
tertulis dari berbagai sumber sejarah, baik itu sumber primer maupun sekunder. Untuk
menginduksi biografi pelaku sejarah, dalam hal ini adalah raja-raja Giri Kedaton
terkait dengan topik penelitian, dan banyak tokoh lainnya dalam lingkup topik ini.
Jadi, kegunaan hermeneutik atau interpretasi dalam penelitian ini adalah untuk
memahami objek dalam konteks ruang dan waktu dimana objek tersebut berada,
58