Anda di halaman 1dari 45

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Penelitian Terdahulu

Penelitian tentang Giri Kedaton sudah pernah dilakukan para ahli baik secara

individual maupun kelembagaan. Penelitian itu diantaranya sudah diterbitkan dalam

bentuk buku, jurnal ilmiah, maupun masih dalam bentuk laporan penelitian. Beberapa

hasil penelitian terdahulu dapat digunakan sebagai pendukung, literatur, dan yang

paling penting adalah untuk membedakan kajian ini dengan hasil kajian yang sudah

pernah ada sebelumnya. Penelitian terdahulu berbeda dengan penelitian yang sedang

dilakukan ini, diantaranya; penelitian terdahulu belum satupun yang membahas

konstruksi pemimpin (leader) atas tradisi Giri Kedaton sebagai identitas sosial budaya

masyarakat Kabupaten Gresik. Adapun beberapa penelitian tentang Giri Kedaton itu

antara lain:

1. Akhmad Andi Saputra, et.al. (2015)

Akhmad Andi Saputra (2015) menulis tentang Giri Kedaton berjudul “Vitality

of Giri Kedaton Site as a Religious Tourism Attraction in Sidomukti Village,

Kebomas, Gresik.” Tulisan ini dimuat dalam Journal of Indonesian Tourism and

Development Studies, E-ISSN: 2338-1647. Saputra dalam penelitian ini menyatakan

bahwa Situs Giri Kedaton merupakan warisan budaya yang memiliki nilai historis

beragam, terutama sejarah penyebaran Islam dan pemerintahan di Gresik sejak abad

ke-15 M. Situs Giri Kedaton adalah kerajaan yang didirikan oleh Sunan Giri dan

beliau menjabat sebagai raja Giri pada 1487 M sampai dengan tahun 1506 M. Saat ini

Giri Kedaton berubah menjadi objek wisata budaya di sektor wisata religi atau ziarah.

14
Pada 2002 sampai dengan 2005, pemerintah daerah melakukan kegiatan pelestarian

dan konservasi di situs Giri Kedaton sebagai upaya untuk melestarikannya.

Penelitian yang dilakukan oleh Saputra (2015) ini bertujuan untuk

mengidentifikasi karakteristik serta untuk mengukur pentingnya situs Giri Kedaton

sebagai paket wisata religi. Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa situs

Giri Kedaton memiliki fungsi pendukung sebagai wisata religi tetapi masih ada

kekurangan infrastruktur dan fasilitas yang memadai termasuk area parkir dan fasilitas

untuk aktivitas ekonomi. Lamanya kunjungan wisatawan hanya 1 sampai dengan 3

jam dan frekuensi kunjungan yang rendah menunjukkan bahwa situs Giri Kedaton

memiliki daya tarik wisata yang terbatas, artinya situs Giri Kedaton belum dikenali

oleh sebagian besar pengunjung. Tingkat kunjungan ke situs Giri Kedaton rendah

karena para wisatawan menilai aspek infrastruktur tidak cukup untuk mendukung

situs ini sebagai objek wisata religius.

2. Ahwan Mukarrom (2007)

Terdapat tiga masalah pokok yang dibahas dalam disertasi berjudul

“Kebatinan Islam di Jawa Timur: Studi atas Naskah Sarupane Barang ing Kitab

Ingkang Kejawen miwah Suluk miwah Kitab sarto Barqoh ing Pura Giri Kedaton.”

Disertasi ini ditulis dalam perspektif Sejarah Kebudayaan yang membahas antara

lain: pertama, kondisi sosial budaya Jawa Timur, dalam hal ini diwakili oleh

masyarakat Majapahit akhir atau pada masa peralihan, yakni pada saat tersusunnya

naskah Sarupane Barang ing Kitab Ingkang Kejawen miwah Suluk miwah Kitab

sarto Barqoh ing Giri Pura Kedaton, sebagai setting kontek penyusunan naskah.

Kedua, corak kebatinan Jawa yang terdapat dalam teks Sarupane Barang, sebagai

suatu perwujudan sistem kepercayaan masyarakat pada masa peralihan. Ketiga,

15
interelasi antara kondisi kehidupan beragama masyarakat pada masa peralihan itu

dengan teks Sarupane Barang (Mukarrom, 2007).

Simpulan dari penelitian Ahwan Mukarram antara lain; Pertama, pada abad ke

15-16 M, masyarakat membutuhkan semacam referensi baru sebagai acuan untuk

mengatur kembali tatanan masyarakat. Referensi tersebut dibutuhkan karena

terutama pasca Hayam Wuruk telah terjadi semacam krisis multidimensi. Krisis ini

meliputi bidang politik pemerintahan, bidang ekonomi, budaya, dan khususnya

keagamaan. Hal ini bersamaan dengan mulai tersebarluasnya agama Islam di

wilayah-wilayah ini. Masa-masa tersebut ditandai dengan menurunnya kualitas di

semua sektor kehidupan yang meliputi sektor politik, ekonomi, budaya, dan

beragama, dalam hal ini Hindu-Budha yang selama ini menjadi dasar moral ikatan

kesetiaan rakyat dan pemerintah kepada penguasa pusat (Mukarrom, 2007).

Kedua, intrik internal berebut kekuasaan serta konsep sinkretisme Hindu-

Budha di satu sisi telah mengurangi kepercayaan rakyat pada pemerintah pusat, dan

di sisi lain telah membingungkan rakyat pada umumnya dalam menjalani kehidupan

keagamaan yang selama ini menjadi alat perekat kesetiaan pada raja. Hal ini

menyebabkan rakyat mengambil pola baru untuk mengekspresikan kehidupan

keberagamaan mereka dengan sikap baru, yakni dengan kembali kepada javanisme

(prasejarah), dan sedapat mungkin masih menggunakan konsep kehinduan dan

kebudhaan. Sementara situasi dan kondisi krisis ini berlangsung, di beberepa wilayah

Majapahit menjadi lebih terbuka bagi masuknya pendatang asing, misalnya India,

Arab maupun Cina. Hal ini karena pemerintah pusat sudah lelah dalam urusan intrik

internalnya.

Ketiga, pada periode akhir Majapahit telah terjadi proses timbal balik antara

Islam di satu pihak dengan budaya rohaniah Jawa di lain pihak. Dengan kata lain

16
telah terjadi suatu proses Islamisasi Jawa dan Jawanisasi Islam. Sedangkan dalam

pendekatan tekstual, meletakkan naskah Sarupane Barang sebagai karya kebatinan

yang memiliki keunikan tersendiri baik dalam substansi ajaran maupun dalam cara

menjelaskan atau menyampaikan pesan ajaran (explanatory system) kepada

masyarakat masa peralihan (Mukarram, 2007). Penelitian ini melihat Giri Kedaton

dalam sudut sejarah kebudayaan Islam. Sudut pandang sejarah kebudayaan mampu

melihat Giri Kedaton dalam sisi ruang dan waktu.

3. Nurhadi (1982)

Nurhadi, peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional melakukan

penelitian berjudul “Tata Ruang Pemukiman Giri Sebuah Hipotesa Atas Hasil

Penelitian di Giri, Gresik, Jawa Timur.” Nurhadi menulis bahwa Giri merupakan

sebuah kota pusat pemerintahan dan administrasi, serta tempat tinggal raja.

Pemukiman Giri dapat direkonstruksi dari nama desa lama (toponim) yang

menunjukkan tempat pemukiman berdasarkan status sosial, profesi, dan pembatasan

wilayah (Nurhadi, 1982). Toponim yang menunjukkan pemukiman kelompok

masyarakat atas dasar status sosialnya, misalnya: Kedaton, Punggawan, Kemodinan.

Toponim yang menunjukkan pemukiman kelompok masyarakat atas dasar profesi,

misalnya: Kepandeyan, Kajen, Jraganan. Toponim yang menunjukkan suatu

pembatasan wilayah tertentu, misalnya: Kebonan, Kebondalem, Alun-alun,

Pasargede, Telogojero, Tambakboyo.

Laporan penelitian Nurhadi juga menyebutkan bahwa perkembangan kota Giri

selanjutnya mengalami pasang surut dan perubahan pola tata kota karena dipengaruhi

oleh kaum agamawan, politik pemerintahan, hingga para pedagang. Masa awal Giri

sebagai sebuah kota sangat dipengaruhi oleh konsep keagamaan. Pemukiman

berorientasi pada kedaton sebagai pusat pemerintahan, tempat tinggal raja, tempat

17
tinggal Sunan Giri, dan pusat pendidikan agama Islam. Nama-nama dusun di sekitar

Giri Kedaton hingga saat ini menggunakan nama kuno, seperti Kedaton, Punggawan,

Kemodinan, Kebonan, Kebondalem, Alun-alun, Pasargede, Telogojero, Tambakboyo.

Pada perkembangan selanjutnya tata kota Giri sangat dipengaruhi oleh tokoh

pemerintahan dan para pedagang yang telah mengganti kekuatan tokoh agama dan

pemerintahan. Pemukiman Giri berorientasi di Giri Gajah dan Klangonan

Sunan Giri sangat berperan besar dalam menyebarkan agama Islam dan

pemerintahan dengan mendirikan pesantren dan pusat pemerintahan di Giri Kedaton.

Dari Giri Kedaton inilah Sunan Giri mempunyai pengaruh cukup besar baik di Jawa

maupun luar Jawa. Terbukti banyak kerajaan menjalin hubungan dengan Giri dan para

santri dari berbagai daerah di Nusantara seperti Madura, Banjarmasin, Ternate,

Tidore, Makassar, Bima datang ke Giri untuk belajar agama Islam (Nurhadi, 1982).

Giri sebagai pusat pemerintahan berakhir pada tahun 1681 M karena dikalahkan oleh

Amangkurat II dari kerajaan Mataram di Jawa Tengah yang bekerjasama dengan

Belanda.

4. Tim Peneliti dan Penyusun (1991)

Penelitian tentang Gresik pernah dilakukan oleh tim peneliti dan penyusun

dari Pemerintah Daerah Tingkat II Gresik tahun 1991. Penelitian berjudul “Gresik

dalam Perspektif Sejarah dan Hari Jadi” ini ditulis untuk kepentingan penentuan Hari

Jadi Kabupaten Gresik. Sesuai dengan judul dan tujuannya, maka isi buku ini fokus

pada dasar-dasar historis lahirnya sebuah kota. Peneliti juga banyak mengungkap

tinjauan-tinjauan umum meliputi tinjauan teoritis kota dalam perspektif sejarah,

tinjauan sosial budaya, tinjauan ekonomi, sedangkan lahir dan perkmbangan

pemerintahan memperoleh porsi yang sangat kurang. Melalui pembacaan buku ini

dapat diketahui kelahiran sebuah kerajaan Giri Kedaton, meskipun kurang tegas dasar

18
pemikirannya. Kurang tegasnya pemikiran ini ditadai dengan hasil penentuan Hari

Jadi Kabupaten Gresik yang diperoleh melalui voting dalam siding DPRD Kabupaten

Gresik tahun 1991 (Tim Peneliti, 1991).

Penentuan Hari Jadi Kabupaten Gresik tanggal 9 Maret 1487 M merupakan

keputusan politik. Dikatakan demikian karena penentuan hari jadi ini merupakan hasil

voting dalam lembaga DPRD Tingkat II Kabupaten Gresik. Terdapat tiga pilihan saat

itu; pertama Gresik lahir didasarkan atas temuan Prasasti Karangbogem tahun 1387

M, kedua; didasarkan pada prasasti Malik Ibrahim (1419 M), dan ketiga didasarkan

sumber sejarah tradisional Babad Gresik, yaitu berdirinya Kerajaan Giri Kedaton

tanggal 9 Maret 1487 M. Opsi ketiga inilah yang dipilih dalam sidang penentuan hari

jadi tersebut dengan alasan bahwa opsi ketiga ini Gresik sudah memenuhi syarat

sebagai sebuah kota berdasarkan teori dari Collingwood.

5. Wahyu Utomo (2011)

Kajian lainnya dilakukan oleh Danang Wahju Utomo dari Balai Pelestarian

Peninggalan Purbakala Jawa Timur pada tahun 2011 berjudul “Gresik: Sebuah

Catatan Perjalanan Sejarah Islam.” Tulisan ini memeberikan gambaran umum Gresik

melalui pendekatan arkeologi. Gresik dijelaskan berdasarkan temuan prasasti-prasasti

yang terdapat di Gresik. Sisi arkeologis akan menjadi bahan penting dalam

rekonstruksi sejarah Giri Kedaton.

Wahyu Utomo (2011) menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa sebagai

sebuah “imperium kekuasaan” Kerajaan Giri Kedaton pun beralih dari satu dinasti ke

dinasti yang lain. Berdasakan sumber Babad Gresik diawali pemerintahan Sunan Giri

(1487-1506), Sunan Dalem (1506-1545), Sunan Sedomargi (1545-1548), dan Sunan

Prapen (1548-1625). Ada perbedaan angka tahun periodesasi pemerintahan di Giri

Kedaton berdasarkan Babad Gresik dengan yang disusun J.A.B. Wisselius (dalam

19
Historisch Onderzoek, Naar de Geestelijke en Wereldlijke: Suprematie van Grisse op

Midden en Oost Java). Menurutnya periodesasi pemerintahan di Giri Kedaton adalah

sebagai berikut: Sunan Giri (1487-1511), Sunan Dalem (1511-1551), Sunan

Sedomargi (1551-1553), Sunan Prapen (1553-1587), Sunan Kawis Guwo (1587-

1601), Panembahan Kawis Guwo (1601-1614), Panembahan Agung (1614-1638),

Panembahan Mas Witana (1638-1660), Pangeran Puspa Ita (1660-1680), Pangeran

Wirayadi (… -1703), Pangeran Singonegoro ( … -1725), dan dinasti Giri Kedaton

yang terakhir adalah Pangeran Singosari (… -1743) adalah rangkaian imperium yang

telah berjasa membangun tonggak pemerintahan kerajaan di Giri Kedaton. Segala

kebesaran yang pernah diraih dinasti-dinasti tersebut pantaslah untuk dikenang. Pada

saat Pangeran Puspa Ita berkuasa di Giri Kedaton, wilayah Gresik sendiri sebenarnya

telah mengalami era baru pemerintahan yaitu ketika berubah menjadi Kabupaten

Gresik (1660-1744) disebut Kanoman dan Kabupaten Sidayu (1675-1910) disebut

Kasepuhan. Jadi diduga ketika para pangeran masih berkuasa, Giri Kedaton sudah

tidak memiliki pengaruh secara politis dan digantikan peranannya dengan

pemerintahan kabupaten (Gresik dan Sidayu).

Mengutip Serat Centhini, Wahyu Utomo menjelaskan bahwa raja Majapahit

menganggap Giri Kedhaton sebagai saingan beratnya. Oleh karena itu, raja Majapahit

ini melakukan dua kali penaklukan terhadap Kewalian Giri. Pertama pada masa

Kanjeng Sunan Giri I dan kedua pada masa Kanjeng Sunan Giri Prapen. Kewalian

Giri dianggap telah menjadi kekuatan tandingan yang hendak menyaingi wibawa dan

kekuasaan istana Majapahit. Serangan pertama ini gagal total karena kuatnya

pertahanan Giri Kedaton. Atas keberhasilan mempertahankan salah satu pusat syiar

Islam di Jawa, maka Sunan Kalijaga mengusulkan untuk memberikan gelar Prabu

Satmata.

20
Di kalangan Wali Sanga, Sunan Giri juga dikenal sebagai ahli politik dan

ketatanegaraan. Ia pernah menyusun peraturan ketataprajaan dan pedoman tata cara di

keraton. Pandangan politiknyapun dijadikan rujukan. Ketika Raden Fatah melepaskan

diri dari Majapahit, Sunan Giri dipercaya untuk meletakkan dasar-dasar kerajaan

masa perintisan atau ahlal-halli wa al-‘aqd di Bintoro.

6. Aminuddin Kasdi (2005)

Penelitian terkait dengan Giri Kedaton dilakukan oleh guru besar sejarah

Unesa, Aminuddin Kasdi berjudul “Kepurbakalaan Sunan Giri: Sosok Akulturasi

Kebudayaan Indonesia Asli, Hindu-Budha dan Islam Abad 15-16 M.” Penelitian yang

dilakukan oleh Aminuddin Kasdi ini menyebutkan bahwa adanya kepurbakaan pada

komplek Sunan Giri disebabkan oleh tiga faktor.

Pertama, adanya toleransi Islam dalam masalah kebudayaan, kemudian

menyebabkan dipermudahnya akulturasi kebudayaan yang dijumpainya. Bahkan tidak

jarang Islam membolehkan penggunaan budaya-budaya yang lebih tua untuk

kepentingan Islam, misalnya budaya-budaya lama masih digunakan dalam bangunan-

bangunan masa Islam.

Kedua, pandangan masyarakat Jawa pada kedudukan wali yang sangat tinggi.

Hal itu didasarkan bahwa menurut masyarakat Jawa pada umumnya, para wali itu

diyakini sebagai manusia yang dikasihi oleh Allah SWT. Status para wali dalam

masyarakat Jawa dapat dikatakan selain menggantikan kedudukan pendeta Hindu-

Budha dari masa sebelum Islam, juga kedudukan para penguasa yang dianggap

sebagai titisan atau penjelmaan dewa. Ditinjau dari kuatnya pengaruh Hindu-Budha

dalam perkembangan kebudayaan Jawa, tidak mustahil kata wali sanga berasal dari

kata sangha dari perbedaharaan Budhis, berarti ikatan/jamaah para pendeta atau biksu

Budha.

21
Ketiga, adanya persamaan antara intisari ajaran kebatinan Hindu-Budha dan

ajaran kebatinan Islam yang dianggap berbau mistik. Ajaran ini selain diajarkan oleh

Hamzah Fansuri, Samsuddin al-Sumatrani, dan Siti Jenar di Jawa (Kasdi, 2005).

Menurut Aminuddin Kasdi bahwa komplek Sunan Giri sebagai salah satu dari

komplek makam para wali, meliputi komplek makam dan bangunan masjid.

Meskipun ada kemungkinan bahwa bangunan makam Sunan Giri telah mengalami

perubahan beberapa kali, terbukti pada profil bagian depan masjid memuat angka

tahun 1544 M dan 1857 M, diduga kronologi itu merupakan pembinaan kembali

masjid di komplek Giri. Adapun bangunan tertua atau aslinya yang terdahulu

mestinya didirikan di sekitar permulaan zaman Islam, tegasnya di sekitar permulaan

abad XVI M. Namun demikian, meskipun komplek Sunan Giri merupakan suatu

komplek yang berasal dari zaman Islam, serta untuk kepentingan Islam, yaitu sebagai

tempat pemakaman dan beribadah, yaitu sembahyang (salat), tetapi pengaruh unsur-

unsur kebudayaan dari zaman prasejarah maupun dari zaman Hindu-Budha masih

jelas tampak, baik ditinjau dari jiwa maupun seni bangunan atau arsitekturnya (Kasdi,

2005)

Penelitian Aminuddin Kasdi juga menjelaskan bahwa kehadiran peziarah ke

makam-makam para wali, khususnya makam Sunan Giri dengan membawa dan

menabur bunga, maksudnya untuk memohon berkah, karamah dan syafaat agar yang

dicita-citakan terkabul, banyak rizki, dikaruniai keturunan, panjang umur,

keselamatan, dan lain-lain yang merupakan kelanjutan dari pemujaan terhadap arwah

leluhur (Kasdi, 2005).

Komplek makam Sunan Giri sebagai suatu peninggalan Islam kuna dari

permulaan Islam di Jawa, ternyata tidak membawa unsur-unsur baru, yaituunsur-

unsur budaya dari negara-negara Islam di luar Indonesia (Kasdi, 2005). Dalam

22
menerima dan mengembangkan budaya Islam, diantaranya seni bangunan, relief, dan

strukturnya, baik unsur-unsur dari bangunan prasejarah, maupun unsur-unsur seni

budaya dari zaman Hindu-Budha sesuai dengan kepentingan umat Islam.

7. Mudlofar (2002)

Penelitian dilakuan oleh Mudlofar berjudul “Babad Giri Kedaton: Kajian

Sejarah Gresik Berdasarkan Naskah Kuno.” Penelitin ini merupakan tugas akhir S2

Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya, tahun

2002. Penelitian ini mengambil teks Babad Giri Kedaton (BGK) sebagai objek kajian.

BGK ini menarik bagi penelitian bahasa, sastra, sejarah, adat, agama Islam,

pandangan hidup, cara berpikir, nilai-nilai budaya, dan nilai-nilai sosial.

Temuan penting dalam penelitian Mudlofar (2002) antara lain: Pertama,

temuan terhadap bahasa Jawa Baru seperti tertuang dalam teks BGK akan

memberikan sumbangan terhadap pengetahuan sejarah perkembangan dan keragaman

bahasa Jawa khususnya Bahasa Jawa Baru Dialek Pasisiran. Kedua, temuan struktur

teks BGK akan memberikan kontribusi bagi pemahaman konvensi jenis karya sastra

sejarah atau babad. Selain itu, temuan analisis struktur tersebut juga akan memberikan

dasar yang kuat bagi penelitian BGK dengan pendekatan yang lain, misalnya,

pendekatan mimesis, sosiologis, pragmatis, dan sebagainya. Ketiga, suntingan naskah

BGK ini akan dapat digunakan sebagai sumber bagi para peneliti selanjutnya, baik

dari sudut sastra maupun sejarah.

Penelitian Mudlofar ini dapat memberikan kontribusi praktis. Implikasi praktis

penelitian ini ialah utamanya bagi usaha penyusunan kebijakan yang terkait dengan

strategi pemberdayaan potensi sumber-sumber wisata di daerah, khususnya potensi

wisata sumber-sumber sejarah di Gresik. Sunan Giri adalah tokoh sejarah sekaligus

tokoh agama yang tergabung dalam Wali Sanga. Dengan demikian, peninggalan

23
bentuk-bentuk budayanya akan menjadi potensi yang memikat bagi setiap orang, baik

aspek ritual maupun budayanya, untuk berdatangan ke Giri atau Gresik (Mudlofar,

2002). Oleh sebab itu menurut Mudlofar potensi tersebut perlu dibina dan

dikembangkan, khususnya bagi pemerintah daerah Kabupaten Gresik, dalam rangka

melestarikan peninggalan khasanah budaya bangsa.

8. Susanto

Susanto dalam disertasinya berjudul “Gaya Hidup, Identitas, dan Eksistensi

Masyarakat dan Kebudayaan Surakarta Tahun 1871-1940” adalah kajian sejarah

dengan pendekatan sosiologi. Penelitian ini mengkaji tentang perubahan masyarakat

Surakarta dalam dalam kurun waktu dari tahun 1871 hingga 1940. Secara kultural

proses itu dapat dirumuskan sebagai proses perubahan dari bentuk budaya reflektif,

praktik budaya kanonikal, hingga munculnya kesadaran budaya emansipatif.

Dalam penelitian ini digunakan metode sejarah, sementara pendekatan yang

dipakai adalah pendekatan sosial dan budaya dengan menerapkan alat analisis berupa

konsep masyarakat majemuk. Langkah ini dimaksud untuk memahami ikatan benang

merah atas fakta perubahan masyarakat dan kebudayaan Surakarta yang terjadi selama

periode 1871-1940. Dalam penelitian ini dihasilkan sintesis yang dapat dideskripsikan

bahwa masyarakat Surakarta pada paruh kedua abad XIX hingga paruh pertama abad

XX merupakan bentuk masyarakat majemuk yang muncul sebagai produk kultural

dan politik dari praktik kolonialisme abad XIX dan awal abad XX di Indonesia.

Bentuk masyarakat ini didukung terutama oleh kalangan elite yang berasal dari

beberapa etnis seperti pribumi Jawa, Eropa, Indo, dan Timur Asing, terutama Cina

dan Arab.

Masyarakat majemuk Surakarta ini pada awal abad XX mengalami

ketidakstabilan ketika salah satu komponennya yaitu komunitas Eropa berupaya

24
mendominasi dengan menerapkan budaya kanonikal dalam bentuk praktik

standarisasi di bidang bahasa, hukum dan pengadilan. Praktik ini sempat

menimbulkan resistensi. Dalam perkembangannya masyarakat Surakarta dapat

memperoleh kestabilan ketika ciri kemajemukan kultural diwujudkan kembali. Dalam

segi historiografi penelitian ini berhasil menemukan beberapa hal baru, yaitu bahwa

masyarakat Surakarta selama periode 1871-1940 tidak berkembang secara linier

melainkan mengalami dinamika perubahan. Selain itu terbukti bahwa Surakarta pada

masa kolonial tidak selalu berada dibawah pengaruh Eropa. Pada akhir paruh pertama

abad XX kota ini justru menampakkan tatanan sosio-kultural sebagai masyarakat

majemuk dengan identitas budaya Jawa yang dominan.

9. Syafwan Razi (2013)

Syafwan Razi (2013) dalam disertasinya berjudul “Konstruksi Identitas

Agama dan Budaya Etnis Minangkabau di Daerah Perbatasan Perubahan Identitas

dalam Interaksi Antar etnis di Rao Kabupaten Pasaman Sumatera Barat” membahas

tentang munculnya perubahan identitas agama dan etnis di daerah perbatasan di

Sumatera Barat. Fokus penelitian adalah pada interaksi antar etnis, antara orang-orang

Minangkabau dan kelompok etnis lain di daerah perbatasan Rao, Pasaman.

Penelitian ini menemukan bahwa hubungan sosial di daerah perbatasan terjadi

dalam bentuk hubungan individu antara masyarakat Minangkabau dengan orang-

orang Mandailing. Komunitas ini terlibat dalam proses kontak budaya, konflikatau

persaingan, akomodasi, asimilasi, adaptasi, akulturasi, negosiasi dan kontestasi dalam

interaksi sosial mereka.

Penelitian ini menegaskan bahwa proses interaksi memengaruhi perubahan

identitas agama dan budaya. Pembangunan budaya etnis Minangkabau dan budaya

agama di daerah perbatasan membentuk identitas baru yang merupakan sintesis dari

25
proses panjang interaksi sosial. Pembangunan identitas agama dan budaya

membentuk model pencegahan konflik agama dan etnis.

10. Fazrul Hamidy (2013)

Fazrul Hamidy (2013) melakukan penelitian disertasi berjudul “Tabot sebagai

Identitas dan Branding Kota Bengkulu” Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh

Fazrul ini adalah sesuai dengan realitasempirik yaitu fenomena kegiatan Tabot yaitu

kegiatan upacara ritualberkabung atas wafatnya Hussain cucu dari Rasululah SAW

tiap tanggal 1hingga 10 Muharam setiap tahunnya ini dimaknai oleh masyarakat

sebagaisimbol masyarakat kota Bengkulu.

Hasil dari wawancara dengan berbagaisumber terpercaya sebagai informan

hingga dianalisis menggunakan teori kontruksi sosial perspektif Bergerian melalui 3

dialektika yaitu pertama analisis internal, bagaimana nilai budaya dan nilai sosial

terkontruksi dari sisi dalammasyarakat seperti ideologi atau agama karena kegiatan

ritual ini merupakansalah satu kegiatan ideologi atau agama Islam dari masyarakat

kota Bengkulu.Kedua proses ekternal, bagaimana identitas tersebut dalam

terkontruksi danterbentuk dari pihak luar seperti pengetahuan (stock of Knowledge)

dan modernity. Ketiga yaitu proses Identitas Sosial terkontruksi dari objektivitas

dengan tujuan empirik yaitu Tabot sebagai City Branding atau ciri khas darikota

Bengkulu dengan kegiatan kultural tersebut.

11. Muhammad Ichwan (2013)

Muhammad Ichwan (2013) arkeolog dari BP3 Trowulan Mojokerto

melakukan penelitian terhadap sumberdaya arkeologi di kawasan Giri, Kecamatan

Kebomas, Kabupaten Gresik, Provinsi Jawa Timur. Tujuan penelitian adalah untuk

26
mengetahui nilai penting, memberikan usulan solusi kepada stakeholder dalam

pengelolaan, baik berupa model maupun teknisnya.

Kawasan ini pada abad 15-17 M merupakan kota pusat pemerintahan Giri,

tempat tinggal raja, dan pusat pendidikan agama Islam awal di Jawa. Sumberdaya

arkeologi di kawasan Giri yaitu situs kompleks makam Sunan Giri, Masjid Besar

Ainul Yaqin Sunan Giri, kompleks makam Sunan Prapen, situs Giri Kedaton, dan

kompleks makam Tanggungbaya, makam Puteri Campa. Nilai penting yang

dikandung adalah nilai penting sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, kebudayaan,

agama, dan pariwisata. Namun demikian, pengelolaan saat ini masih perlu dievaluasi

dan harus dikelola secara benar sesuai dengan aturan yang termaktub dalam Undang

Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, Undang

Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan, dan

Piagam Mufakat 21 tentang Pembinaan dan Pengembangan Peran Serta Masyarakat

dalam Penyelenggaraan Kepariwisataan Indonesia yang Berwawaskan Keagamaan.

Kegiatan pengelolaan meliputi penelitian, pelestarian, dan pemanfaatan.

Penelitian dilakukan pada semua kegiatan pelestarian dan pemanfaatan. Usulan

pelestarian meliputi: perlindungan, penyelamatan, pengamanan, zonasi, pemeliharaan,

pemugaran, perawatan, penataan lingkungan, revitalisasi, pemantauan, dan

pengawasan. Karakteristik sumberdaya arkeologi di kawasan Giri yang bersifat sakral

dan living monument maka usulan pemanfaatan yang tepat adalah sebagai destinasi

wisata religi. Pemanfaatan sumberdaya arkeologi harus berwawasan pelestarian dan

perlindungan dengan asas keselarasan dan keseimbangan. Pengelolaan dilaksanakan

dalam wadah bersama dengan melibatkan tiga pilar stakeholder yaitu elemen

pemerintah, masyarakat, akademisi, dan menempatkan pemerintah sebagai sektor

yang memimpin. Ada dua usulan model organisasi pengelolaan, petama, berskala

27
mikro dengan memusatkan satu cagar budaya saja yaitu di kawasan Giri, dan kedua,

berskala makro dengan memberikan perhatian tidak hanya sumberdaya arkeologi di

kawasan Giri saja, tetapi kawasan cagar budaya yang bersifat sakral dan living

monument di wilayah Kabupaten Gresik sebagai keseluruhan dengan menempatkan

sumberdaya arkeologi di kawasan Giri sebagai unggulannya (Ichwan, 2013).

Hasil penelitian terdahulu tentang Giri Kedaton maupun penelitian objek

kajian lain dengan topik yang hampir sama dilakukan dengan sudut pandang kajian

masing-masing, antara lain; Ichwan, Mudlofar, Saputra dan Limantoro

(Budaya/Pariwisata), Mukarrom, Nurhadi dan Utomo (Arkeologi), Tim Peneliti dan

Penyusun, Suyanti, Prasetyo, Sabaryanto, dan Kasdi (Sejarah), Fazlur Hamidy,

Syafwan Razi dan Susanto (Sosiologi). Relevansi penelitian di atas kaitannya dengan

penelitian ini yaitu memberikan data-data yang penting untuk mempertajam kajian.

Secara metodologi dan teoritis penelitian-penelitian tersebut di atas berbeda

dengan penelitian ini. Perbedaan itu diantaranya; hasil penelitian terdahulu belum ada

yang membahas tentang tradisi Giri Kedaton sebagai identitas masyarakat Kabupaten

Gresik dalam kajian ilmu sosial dan ilmu politik. Selain hal tersebut, penelitian ini

difokuskan pada proses konstruksi sosial yang terjadi pada tokoh-tokoh kunci

masyarakat, sehingga tradisi Giri Kedaton dapat dikuatkan sebagai identitas

masyarakat Kabupaten Gresik melalui perspektif teori konstruksi Berger. Beberapa

penelitian terdahulu yang sudah disebutkan di atas dapat dipastikan belum pernah

dilakukan oleh peneliti lain dengan topik dan pendekatan teoritik yang sama, yaitu

yang membahas tentang Tradisi Giri Kedaton sebagai identitas masyarakat Gresik

dalam perspektif teori konstruksi sosial Peter L. Berger, karenanya orosinalitas

penelitian ini dapat dijamin.

28
Hamidy
Susanto (Branding)
(Identitas)

Syafwan Razi
(Identitas)

M. Ichwan
(Wisata Religi)

KONSTRUKSI PEMIMPIN ATAS TRADISI GIRI KEDATON SEBAGAI IDENTITAS SOSIAL


BUDAYA MASYARAKAT KABUPATEN GRESIK

Gambar 1.1. Peta Penelitian Terdahulu (Olahan Peneliti).

B. Konsep Tradisi

1. Pengertian Tradisi

Menurut Pietr Sztompka, substansi dan isi semua yang diwarisi masyarakat

dari masa lalu, semua yang disalurkan kepada masyarakat melalui proses sejarah

merupakan warisan sosial. Di tingkat makro, semua yang diwarisi masyarakat dari

beberapa fase proses historis terdahulu merupakan warisan historis dan di tingkat

mezo, apa saja yang diwarisi komunitas atau kelompok dari fase kehidupannya

terdahulu merupakan warisan kelompok serta di tingkat mikro, warisan pribadi

merupakan apa saja yang diwarisi individu dari biografinya terdahulu. Bila proses

sosial berlanjut dan terus berlangsung dalam jangka panjang maka setiap fase,

termasuk fase kini, tentulah dibentuk ulang dan dipengaruhi oleh semua fase

29
terdahulu sejak fase awal proses sosial, sehingga apa yang terjadi dalam masyarakat

merupakan akumulasi awal kehidupan manusia sebagai hasil keseluruhan sejarahnya

(Sztompka, 2004).

Tradisi mencakup kelangsungan masa lalu di masa kini, sehingga

kelangsungan masa lalu di masa kini mempunyai dua bentuk; material dan gagasan,

atau objektif dan subjektif. Oleh karena itu tradisi dapat dimaknai sebagai keseluruhan

benda material dan gagasan yang bersal dari masa lalu namun di masa kini masih ada,

yakni belum dihancurkan, dirusak, dibuang, atau dilupakan. Kaitannya dengan

penelitian ini adalah bahwa tradisi Giri Kedaton di Kabupaten Gresik sangat terkait

dengan sejarah di masa lalu, dimana kegiatan tersebut merupakan akumulasi dari

semua kegiatan dalam rangka mengingat kejayaan Gresik di masa lalu. Oleh karena

itu, apa yang nampak dan terjadi dalam tradisi tersebut merupakan proses sejarah

yang panjang hingga masih nampak dan berjalan di masa kini.

Dilihat dari aspek benda material berarti benda material yang menunjukkan

dan mengingatkan kaitan khususnya dengan kehidupan masa lalu, yakni dalam hal ini

bangunan atau benda cagar budaya yang diduga peninggalan Kerajaan Giri Kedaton,

baik berupa puing bangunan istana maupun benda lainnya, sehingga sebagian besar

peninggalan kebendaan tersebut kemudian diduplikasi sebagai sarana tradisi. Dilihat

dari aspek gagasan yang meliputi keyakinan, kepercayaan, simbol, norma, nilai,

aturan, dan ideologi, harus muncul dalam peran dan lakon sebagai bagian untuk

melegitimasikan masa lalu yang berdampak di era sekarang.

2. Kemunculan Tradisi

Menurut Sztompka, sebuah tradisi lahir pada saat ketika orang menetapkan

sebuah fragmen tertentu dari warisan masa lalu sebagai tradisi, sehingga tradisi

berubah ketika orang memberikan perhatian khusus pada fragmen tradisi tertentu dan

30
megabikan fragmen yang lain, oleh karena itu sebuah trisidi akan bertahan dalam

masa tertentu dan mungkin hilang jika benda material dibuang dan gagasan ditolak

atau dilupakan serta tradisi mungkin pula hidup atau muncul kembali setelah sekian

lama terpendam (Sztompka, 2004).

Ada dua cara tradisi dilahirkan, cara pertama ia muncul dari bawah melalui

mekanisme kemunculan secara spontan dan tak diharapkan serta melibatkan rakyat

banyak. Misalnya, perhatian, ketakziman, kecintaan, dan kekaguman yang kemudian

disebarkan melalui berbagai cara akan mempengaruhi banyak orang, sehingga sikap-

sikap tersebut berubah menjadi perilaku dalam bentuk upacara, penelitian, dan

pemugaran peninggalan purbakala serta menafsir ulang keyakinan lama. Kekaguman

dan tindakan individual menjadi milik bersama dan berubah menjadi fakta sosial

sesungguhnya (Sztompka, 2004), begitulah tradisi dilahirkan.

Cara kedua, sebuah tradisi dapat muncul dari atasan melalui cara paksaan,

sehingga sesuatu yang dianggap sebagai tradisi dipilih dan dijadikan perhatian umum

atau dipaksakan oleh individu yang berpengaruh, maka seorang raja memungkinkan

untuk memaksakan tradisi dari dinastinya kepada rakyat (Sztompka, 2004). Dalam hal

ini, ada kemungkinan bahwa tradisi Giri Kedaton yang sudah berjalan cukup lama dan

eksistensinya disebabkan oleh paksaan seorang penguasa kepada rakyat (pegawai

rendahan) di bawahnya. Maka tidak mengherankan jika tradisi tersebut cukup

mengakar di Kabupaten Gresik sebagai bagian dari identitas kota santri.

3. Fungsi Tradisi

Secara umum tradisi berfungsi sebagai berikut: 1) menyediakan blue print

untuk bertindak (tradisi kesenian, kerajinan, pengobatan, atau profesi), contoh peran

yang harus diteladani (tradisi kepahlawanan, kepemimpinan kharismatik, orang suci,

atau nabi), pandangan mengenai pranata sosial (tradisi monarki, konstitualisme,

31
parlementarisme), polaorganisasi (tradisi pasar, demokrasi, atau kolonialisme),

gambaran tentang masyarakat rujukan (tradisi masyarakat Yunani Kuno atau tradisi

Barat); 2) memberikan legitimasi terhadap pendagan hidup, keyakinan, pranata, dan

aturan yang sudah ada; 3) menyediakan simbol identitas kolektif yang meyakinkan,

memperkuat loyalitas primordial terhadap bangsa, komunitas dan kelompok; dan 4)

membantu menyediakan tempat pelarian dari keluhan, ketidakpuasan, dan

kekecewaan kehidupan yang modern.

C. Kajian Teori

1. Teori Identitas

1.1. Pengertian Identitas

Secara epistimologi, kata identitas berasal dari kata identity, yang berarti (1)

kondisi atau kenyataan tentang sesuatu yang sama, suatu keadaan yang mirip satu

sama lain; (2) kondisi atau fakta tentang sesuatu yang sama di antara dua orang atau

dua benda; (3) kondisi atau fakta yang menggambarkan sesuatu yang sama di antara

dua orang (individualitas) atau dua kelompok atau benda; (4) Pada tataran teknis,

pengertian epistimologi di atas hanya sekedar menunjukkan tentang suatu kebiasaan

untuk memahami identitas dengan kata “identik”, misalnya menyatakan bahwa

“sesuatu” itu mirip satu dengan yang lain (Liliweri, 2007).

Kamus Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan kata identitas

dan kata sosial sebagai berikut: identitas adalah: ciri-ciri atau keadaan khusus

seseorang; atau jati diri. Sedangkan kata “sosial” didefinisikan sebagai yang

“berkenaan dengan masyarakat”. Dengan demikian kata identitas sosial sebagai ciri

atau keadaan sekelompok masyarakat tertentu. Identitas menunjukkan cara-cara di

mana individu dan kolektivitas-kolektivitas dibedakan dalam hubungan dengan

individu dan kolektivitas lain (Jenkins, 2008)

32
Identitas sebagai satu unsur kunci dari kenyataan subjektif dan sebagaimana

semua kenyataan subjektif, berhubungan secara dialektif dengan masyarakat,

sehingga identitas dibentuk oleh proses-proses sosial (Berger, 1990). Sejak awal

proses identitas setiap individu seluruhnya diresepi oleh sejarah masyarakat, dan

karena itu dari permulaan mengandung dimensi sosial dan budaya..

Identitas dibagi menjadi tiga bentuk yaitu:identitas budaya, identitas sosial dan

identitas diri atau pribadi (Liliweri, 2007).

1. Identitas Budaya

Identitas budaya merupakan ciri yang muncul karena seseorang merupakan

anggota dari sebuah kelompok etnik tertentu, meliputi pembelajaran tentang dan

penerimaan tradisi, sifat bawaan, bahasa, agama, dan keturunan dari suatu

kebudayaan.

2. Identitas Sosial

Pengertian identitas harus berdasarkan pada pemahaman tindakan manusia

dalam konteks sosialnya. Identitas sosial adalah persamaan dan perbedaan, mengenai

personal dan sosial, mengenai apa yang dimiliki secara bersama-sama dengan

beberapa orang dan apa yang membedakan antara yang satu dengan lainnya (Barker,

2003). Pembicaraan tentang identitas, maka tidak terleoas juga dengan identitas

kelompok sosial. Kelompok sosial adalah suatu sistem sosial yang terdiri dari

sejumlah orang yang berinteraksi satu sama lain dan terlibat dalam satu kegiatan

bersama atau sejumlah orang yang mengadakan hubungan tatap muka secara berkala

karena mempunyai tujuan dan sikap bersama; hubungan-hubungan yang diatur oleh

norma-norma; tindakan-tindakan yang dilakukan disesuaikan dengan kedudukan

(status) dan peranan (role) masing-masing dan antara orang-orang itu terdapat rasa

ketergantungan satu sama lain (Ibrahim, 2003)

33
3. Identitas Diri

Identitas umumnya dimengerti sebagai suatu kesadaran akan kesatuan dan

kesinambungan pribadi, suatu kesatuan unik, yaitu kesatuan dan kesinambungan yang

mengintegrasikan semua gambaran diri, baik yang diterima dari orang lain maupun

yang diimajinasikan sendiri tentang apa dan siapa dirinya serta apa yang dapat

dibuatnya dalam hubungan dengan diri sendiri dan orang lain. Identitas diri seseorang

juga dapat dipahami sebagai keseluruhan ciri-ciri fisik, disposisi yang dianut dan

diyakininya serta daya-daya kemampuan yang dimilikinya. Kesemuanya merupakan

kekhasan yang membedakan orang tersebut dari orang lain dan sekaligus merupakan

integrasi tahap-tahap perkembangan yang telah dilalui sebelumnya.

1.2. Proses Terbentuknya Identitas Sosial

Richard Jenkins mengambil intisari Turner 1987 tentang identitas sosial

dengan mengatakan bahwa kategorisasi sosial menghasilkan identitas sosial dan

perbandingan sosial yang dapat saja berakibat positif atau negatif terhadap evaluasi

diri (Jenkins, 2008). Identitas sosial merupakan bagian dari konsep diri seseorang

yang didasarkan pada identifikasinya dengan sebuah bangsa kelompok etnis, gender

atau afiliasi sosial lainnya. Identitas sosial sangat penting karena memberi perasaan

pada sesseorang bahwa dirinya memiliki tempat dan kedudukan dalam dunia. Tanpa

identitas sosial, kebanyakkan dari kita akan merasa seperti kelereng yang

mengelinding bebas dan tanpa saling terkait antara satu dengan yang lain dalam

semesta (Wade, 2009).

Michael A. Hogg mengatakan proses identitas sosial terjadi dalam 3 tahapan

yakni: Social categorization, Depersonalization, dan Prototype yang menjelaskan dan

menentukan perilaku. Social categorization berdampak pada definisi diri, perilaku.

Persepsi prototype yang menjelaskan dan menentukan perilaku. Ketika

34
ketidakmerataan identitas ini terjadi, maka konsepsi tentang diri dan sosialnya juga

tidak jelas. Prototype adalah konstruksi sosial yang terbentuk secara kognitif yang

disesuaikan dengan pemaksilan perbedaan yang dimiliki oleh kelompok lainnya.

Depersonalisasi adalah proses di mana individu menginternalisasikan bahwa orang

lain adalah bagian dari dirinya atau memandang dirinya sendiri sebagai contoh dari

kategori sosial yang dapat digantikan dan bukannya individu yang unik (Hogg, 2004).

1.3. Fungsi Identitas Sosial

Pada dasarnya setiap individu selalu berlomba memiliki identitas yang positif

di mata kelompok lain untuk mendapatkan pengakuan dari pihak lain sehingga

nantinya mendapatkan suatu persamaan sosial (social equality). Menurut Laker dalam

keadaan di mana individu ataupun kelompok merasa identitasnya sebagai anggota

suatu kelompok kurang berharga maka akan muncul fenomena misidentification yaitu

upaya mengidentifikasi pada identitas/kelompok lain yang dipandang lebih baik

(Susetyo, 2007).

Turner dan Tajfel mengamati bahwa orang berjuang untuk mendapatkan atau

mempertahankan identitas sosial yang positif dan ketika identitas sosial dipandang

tidak memuaskan, mereka akan bergabung dengan kelompok di mana mereka merasa

lebih nyaman atau membuat kelompok di mana mereka sedang tergabung sebagai

tempat yang lebih menyenangkan (Turner, 2008). Hal ini mengartikan bahwa fungsi

identitas sosial seseorang atau kelompok orang adalah untuk membantu menemukan

jati diri dan rasa percaya diri yang lebih tinggi, efisien, efektif dan dialektif. Dialektif

yang dimaksudkan adalah menyangkut dialog atau pembahasan penemuan jati diri

identitas sosial. Sehingga identitas sosial juga membantu seseorang untuk mengenali

dirinya darimana ia berasal melalui cara berpikir dan bertindak. Hal ini kemudian

membentuk seseorang menjadi agen sosial, artinya menandakan bahwa seseorang

35
tidak sendirian, tetapi ada orang di sekelilingnya, dengan dukungan dan solidaritas

dari pihak lain dan kelompoknya sendiri.

1.4. Komponen Pembentuk Identitas Sosial

Dinamika identitas sosial lebih lanjut, ditetapkan secara lebih sistematis oleh

Tajfel dan Turner pada tahun 1979. Mereka membedakan tiga proses dasar

terbentuknya identitas sosial, yaitu social identification, social categorization, dan

social comparison.

a. Social Identification

Ellemers menyatakan bahwa identifikasi sosial, mengacu pada sejauhmana

seseorang mendefinisikan diri mereka (dan dilihat oleh orang lain) sebagai anggota

kategori sosial tertentu. Posisi seseorang dalam lingkungan, dapat didefinisikan sesuai

dengan “categorization” yang ditawarkan. Sebagai hasilnya, kelompok sosial

memberikan sebuah identification pada anggota kelompok mereka, dalam sebuah

lingkungan sosial. Ketika seseorang teridentifikasi kuat dengan kelompok sosial

mereka, mereka mungkin merasa terdorong untuk bertindak sebagai anggota

kelompok, misalnya dengan menampilkan perilaku antar kelompok yang

diskriminatif. Aspek terpenting dalam proses identification ialah seseorang

mendefinisikan dirinya sebagai anggota kelompok tertentu. Hogg & Abrams juga

menyatakan bahwa dalam identifikasi, terdapat pengetahuan dan nilai yang melekat

dalam anggota kelompok tertentu yang mewakili identitas sosial individu. Selain

untuk meraih identitas sosial yang positif, dalam melakukan identifikasi, setiap orang

berusaha untuk memaksimalkan keuntungan bagi dirinya sendiri dalam suatu

kelompok.

36
b. Social Categorization

Ellemers menyatakan bahwa categorization menunjukkan kecenderungan

individu untuk menyusun lingkungan sosialnya dengan membentuk kelompok-

kelompok atau kategori yang bermakna bagi individu. Sebagai konsekuensi dari

categorization, perbedaan persepsi antara unsur-unsur dalam kategori yang sama

berkurang, sedangkan perbedaan antara kategori (out group) yang lebih ditekankan.

Dengan demikian, categorization berfungsi untuk menafsirkan lingkungan sosial

secara sederhana. Sebagai hasil dari proses categorization, nilai-nilai tertentu atau

stereotip yang terkait dengan kelompok, dapat pula berasal dari individu anggota

kelompok itu juga. Kategorisasi dalam identitas sosial memungkinkan individu

menilai persamaan pada hal-hal yang terasa sama dalam suatu kelompok. Adanya

social categorization menyebabkan adanya self categorization. Self categorization

merupakan asosiasi kognitif diri dengan kategori sosial yang merupakan keikutsertaan

diri individu secara spontan sebagai seorang anggota kelompok.

c. Social Comparison

Ketika sebuah kelompok merasa lebih baik dibandingkan dengan kelompok

lain, ini dapat menyebabkan identitas sosial yang positif. Identitas sosial dibentuk

melalui perbandingan sosial. Perbandingan sosial merupakan proses yang dibutuhkan

untuk membentuk identitas sosial dengan memakai orang lain sebagai sumber

perbandingan, untuk menilai sikap dan kemampuan antara seseorang dengan lainnya.

Melalui perbandingan sosial, identitas sosial terbentuk melalui penekanan perbedaan

pada hal-hal yang terasa berbeda pada ingroup dan outgroup, dalam perbandingan

sosial, individu berusaha meraih identitas yang positif jika individu bergabung dalam

ingroup. Keinginan untuk meraih identitas yang positif dalam identitas sosial ini

merupakan pergerakan psikologis dari perilaku individu dalam kelompok. Proses

37
perbandingan sosial menjadikan seseorang mendapat penilaian dari posisi dan status

kelompoknya.

1.5. Teori Identitas Sosial

Menurut Jenkins (2008) bahwa terdapat banyak pertanyaan tentang identitas

dan penentuan identitas (identifikasi). Bagaimana seseorang tahu siapa dirinya, dan

sebaliknya bagaimana seseorang saling mengenal?; Bagaimana seseorang merasa

dirinya sebagai individu yang unik dengan kesadaran bahwa seseorang itu selalu dan

berada di mana-mana, kita berbagi aspek identitas dengan banyak orang (orang lain)?

Pemahaman tentang identitas sosial, Richard Jenkins mengawali pemahaman

kata identitas dari sudut etimologi. Kamus Inggris Oxford menawarkan akar kata

Latin identitas dari idem (sama) dan dua makna dasar. Pada kesamaan objek, seperti

pada A1 adalah identik dengan A2, tetapi tidak identik dengan B1. Aanalogi tersebut

mungkin dipakai untuk menerangkan identitas seseorang tidak sama persis dengan

identitas orang lain, begitu pula identitas kelompok/sosial. Selaras atau

berkesinambungan dari waktu ke waktu yang merupakan dasar untuk menangkap dan

menetapkan kepastian dan kekhasan dari sesuatu. Dalam pembentukan identitas

sosial, Jenkins berpendapat bahwa:

1. Identitas individual dan kolektif berkembang secara sistematis, dan berkembang

atas keterlibatan satu sama lain.

2. Identitas individu dan kolektif merupakan prodak interaksional “eksternal” yang

diidentifikasikan oleh orang lain sebagai identifikasi “internal”.

3. Proses terjadinya identitas dihasilkan baik dalam wacana-narasi, retorika dan

representasi dan dalam materi, seringkali bersifat sangat praktis, yang merupakan

konsekuensi dari penetapan identitas (Jenkins, 2008).

38
Jenkins menambahkan bahwa baik dari sudut manapun, pengertian identitas

selalu melibatkan dua kriteria yaitu: perbandingan baik antara orang-orang ataupun

hal-hal yang berhubungan dengan kesamaan dan perbedaan (Jenkins, 2008).

Dilanjutkan Jenkins bahwa dalam ruang lingkup identitas sosial, maka ada dua subjek

yang dijadikan pusat perhatian, yakni identitas sosial secara individu dan kolektif. Di

sisi lain, identifikasi identitas kolektif adalah memunculkan citra kuat orang-orang

yang dalam beberapa hal (subjek) tampaknya mirip satu sama lain (Jenkins, 2008).

Dengan melibatkan aspek sosial dan psikologis, teori identitas sosial menyediakan

piranti analisis bagi berbagai persoalan-persoalan yang terkait dengan fenomena-

fenomena kehidupan kolektif, beserta berbagai dampak yang diakibatkan (Jenkins,

2008).

Memperhatikan aspek sosial dan psikologis, teori identitas sosial menyediakan

piranti analisis bagi berbagai persoalan-persoalan terkait dengan fenomena-fenomena

kehidupan kolektif, beserta berbagai dampak yang dihasilkan. Persoalan yang relevan,

berkesinambungan untuk dianalisis lewat teori identitas sosial seperti: muculnya

identitas kolektif, dan kolektif dalam kelompok yang digemari, solidaritas kelompok

dan lain-lain. Penjelasan akan fenomena-fenomena seperti itu diberikan secara

memadai oleh teori identitas sosial yang berhubungan juga dengan perubahan sosial,

gerakan protes sosial, dan lain-lain.

Kajian ini juga diperkuat teori identitas dari Manuel Castells (2010). Dalam

salah satu triloginya yaitu “The Power of Identity” disebutkan bahwa

keberadaan identitas akan bisa terbentuk hanya ketika ada internalisasi. Oleh

karena itu asumsi yang dibangun oleh Castells, karena berangkatnya identitas ini

dari internalisasi, yang mempengaruhi identitas adalah proses pemaknaan dari

aturan yang telah ditetapkan oleh satu institusi. Konstruksi identitas sendiri dalam

39
prosesnya sangat bergantung pada beberapa hal, diantaranya bersumber dari

konteks sejarah, geografi, biologi, institusi produktif dan reproduktif, memori

kolektif, fantasi personal, kekuasaan dan juga sisi-sisi keagamaan. Sehingga dalam

era informasi (information age) seperti sekarang ini menurut Castells, tidak hanya

akan melahirkan masyarakat jaringan (network societies) semata, tetapi juga

turut mempengaruhi perubahan dalam berbagai bidang, termasuk di dalamnya

bidang politik, budaya, ekonomi, dan juga kebudayaan.

Dalam menjelaskan proses konstruksi sosial atas identitas, Manuel Castells

dalam The Power of Identity menuliskannya dalam tiga proposisi. Pertama,

Legitimazing Identity, yang mana diperkenalkan oleh institusi yang dominan

dalam satu masyarakat. Institusi inilah yang kemudian melakukan rasionalisasi atas

identitas yang ingin mereka internalisasikan kepada anggota masyarakat melalui

simpul aktor-aktornya. Kedua, Resistance Identity, yang mana terjadi ketika

aktor-aktor merasa bahwa proses legitimizing identity mengalami penurunan nilai.

Sehingga dengan kondisi yang demikian akhirnya membawa mereka untuk

melakukan suatu tindakan oposisi atas proses legitimizing identity yang dilakukan

oleh institusi dominan. Pada tahapan ini, lantas mereka akan mencoba untuk

membangun pemakanaan baru akan identitas. Munculnya identitas baru ini yang

lantas melahirkan adanya politik identitas dalam satu tatanan masyarakat. Ketiga,

Project Identity, akan terjadi ketika aktor-aktor sosial berusaha untuk membangun

identitas baru yang mendefiniskan mereka kembali dalam posisinya di tengah-tengah

masyarakat dan selain itu juga berusaha untuk melakukan transformasi pada struktur

sosial yang ada. Manuel Castells dalam proposisinya menjelaskan melalui contoh

gerakan-gerakan feminisime yang mengalami metamorfosis dari waktu ke waktu

40
yaitu dengan adanya pendefinisian baru atas identitas yang melekat pada mereka

(Najib, 2013).

2. Teori Kontruksi Sosial Petter L. Berger

Dua istilah dalam sosiologi pengetahuan Berger adalah kenyataan dan

pengetahuan. Berger dan Luckman mulai menjelaskan realitas sosial dengan

memisahkan pemahaman kenyataan dan pengetahuan. Realitas diartikan sebagai suatu

kualitas yang terdapat di dalam realitas-realitas yang diakui sebagai memiliki

keberadaan (Being) yang tidak tergantung pada kehendak kita sendiri. Sedangkan

pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata dan

memiliki karakteristik yang spesifik (Berger, 1990).

Kajian teori konstruksi memandang keberadaan suatu realitas sosial dilihat

dari hasil konstruksi sosial dan kebenaran suatu realitas sosial bersifat nisbi, yang

dapat dilihat dari tiga hal yang meliputi: Pertama dilihat dari penejelasan ontologism,

realitas yang dikontruksikan itu berlaku sesuai kontek spesifik yang dinilai relevan

oleh pelaku sosial. Kedua, ditinjau dari kontek epistemologis bahwa pemahaman

tentang suatu realitas merupakan produk interaksi antara peneliti dan objek yang

diteliti. Dalam hal ini teori kontruktivis bersifat transaksional atau subjektif. Ketiga

dilihat dari kontek aksiologi, yaitu peneliti sebagai fasilitator yang menjembatani

keragaman subjektivitas pelaku sosial (Hamidy, 2013).

Peta teori ilmu-ilmu sosial memasukkan teori konstruktivis ke dalam rumpun

paradigma definisi sosial (Ritzer, 2001). Paradigma definisi sosial merupakan salah

satu dari tiga paradigma dalam sosiologi. Dua paradigma lainnya adalah paradigma

fakta sosial (klasik) dan paradigma perilaku sosial. Teori konstruktivis berada di

dalam perspektif interpretative (penafsiran) yang memiliki tiga varian, yaitu interaksi

simbolik, teori-teori fenomenologis, dan hermeneutik.

41
Landasan teori kontruksionis dipelopori oleh Petter L. Berger dan Thomas

Luckman yang menulis karya dan menghasilkan tesis mengenai konstruksi sosial atas

realitas (Eriyanto, 2004). Berger dan Luckman menjelaskan bahwa teori konstruksi

sosial berada diantara teori fakta sosial dan definisi sosial, dimana dalam teori fakta

sosial, struktur sosial yang eksislah yang penting, manusia adalah produk dari

masyarakat dan persepsi manusia ditentukan oleh struktur yang ada dalam

masyarakat. Instititusional, norma, struktur dan lembaga sosial mempengaruhi

perilaku invidu manusia. Menurut teori definisi sosial, manusia yang membentuk

masyarakat, manusia digambarkan sebagai entitas yang otonom yang dapat

melakukan pemaknaan dan membentuk masyarakat, sehingga yang membentuk

realitas, menyusun institusi dan norma yang ada adalah manusia (Hamidy, 2013).

Berger dan Luckman menyakini secara subtansif bahwa realitas merupakan

hasil ciptaan manusia yang kreatif melalui kekuatan kontruksi sosial terhadap dunia

sosial di sekelilingnya. Pemikiran tersebut berakar pada konsep definisi sosial yang

melihat teori sosial sebagai hasil konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu

sebagai manusia bebas, sehingga seorang individu menjadi sosok penentu dalam

mengkontruksi dunia sosial yang dikehendakinya. Dalam banyak hal, manusia

memiliki kebebasan dalam bertindak di luar batas pranata dan kontrol struktur sosial,

yakni individu memaknai dunia sosialnya berupa respon-respon pada stimulus dalam

dunia kognitifnya, sehingga dalam proses sosial, seorang individu dianggap tercipta

dari realitas sosial yang relatif bebas di dalam dunia sosial (Hamidy, 2013).

Jika diamati, terdapat beberapa asumsi dasar dari teori konstruksi sosial

menurut Berger dan Luckmann, yakni: realitas adalah produk ciptaan manusia yang

kreatif melalui kekuatan konstuksi sosial terhadap lingkungan sosial sekelilingnya;

hubungan antara pemikiran manusia dan kontek sosial bersifat berkembang dan

42
dikembangkan; kehidupan dalam masyarakat sifatnya konstruksi terus menerus;

antara realitas dan pengetahuan adalah dua hal yang berbeda, dimana realitas diartikan

sebagai kualitas yang terdapat dalam kenyataan yang memiliki keberadaan (being)

yang tidak bergantung kepada kehendak diri kita sendiri, sedangkan pengetahuan

didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas itu nyata dan berkarakteristik (Hamidy,

2013). Menurut Berger dan Luckmann, institusi dalam masyarakat tercipta dan eksis

karena tindakan manusia, sehingga meskipun masyarakat dan institusi sosial terlihat

objektif, namun kenyataanya adalah dibangun secara subjektif melalui interaksi.

Objektivitas muncul manakala terjadi penegasan berulang oleh orang lain yang

memiliki definisi subjektif yang sama. Oleh karena itu pada tingkat generalisasi

paling tinggi, manusia menciptakan dunia dalam makna simbolis yang universal yang

memberi legitimasi dan mengatur bentuk-bentuk sosial serta memaknai pada berbagai

ranah kehidupan.

Atas pengaruh Hegel tentang tesis-antitesis-sintesis, Berger menemukan

konsep yang dapat menghubungkan antara yang subjektif dan objektif melalui tiga

konsep dialektika: eksternalisasi adalah proses penyesuain diri denagan dunia sosio

kultural sebagai produk manusia; objektivasi adalah proses interaksi sosial dalam

dunia inter subjektif yang dilembagakan atau menagalami institusionalisasi; dan

internalisasi adalaah proses dimana indvidu mengidentifikasi diri di tengah-tengah

lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial yang dinaungi individu tersebut

(Hamidy, 2013).

Proses dialektika domensi objektif dikaitkan dengan peran media dalam

melihat realita akan menghasilkan dua hal, yakni kelembagaan dan legitimasi.

Kemunculan lembaga dalam prespektif Berger terjadi ketika kegiatan manusia

mengalami pembiasaan, yakni setiap tindakan yang sering diulangi menjadi suatu

43
pola yang dapat direprodukasi dan dipahami oleh pelakunya sebagai pola yang

dimaksud itu. Sementara itu legitimasi mengasilkan konsep baru yang berfungsi untuk

mengintegrasikan makna-makna yang sudah diberikan pada proses kelembagaan yang

berkelainan, sehingga pada akhirnya legitimasi dapat membuat objektivasi dan masuk

akal secara subjektif (Hamidy, 2013).

Menurut Berger dan Luckmann, terdapat dua objek pokok realitas yang

berkenaan dengan pengetahuan, yakni realitas subjektif dan realitas objektif. Realitas

subjektif berupa pengetahuan individu. Disamping itu, realitas subjektif merupakan

konstruksi definisi realitas yang dimiliki individu dan dikonstruksi melalui peoses

intrnalisasi. Realitas subjektif yang dimilik masing-masing individu merupakan basis

untuk melibatkan diri dalam proses eksternalisasi, atau proses interaksi sosial dengan

individu lain dalam sebuah struktur sosial. Melalui proses eksternalisasi itulah

individu secara kolektif berkemampuan melakukan objektivikasi dan memunculkan

sebuah konstruksi realitas objektif yang baru (Polomo, 2010), sedangkan realitas

objektif dimaknai sebagai fakta sosial. Disamping itu realitas objektif merupkan suatu

kompleksitas definisi realitas serta rutinitas tindakan dan tingkah laku yang telah

mapan terpola, yang kesemuanya dihayati oleh individu secara umum sebagai fakta.

Berger dan Luckmann mengatakan institusi masyarakat tercipta dan

dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia. meskipun institusi

sosial dan masyarakat terlihat nyata secara objektif, namun pada kenyataan semuanya

dibangun dalam definisi subjektif melalui proses interaksi. Objektivitas baru bisa

terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh orang lain yang

memiliki definisi subjektif yang sama. Pada tingkat generalitas yang paling tinggi,

manusia menciptakan dunia dalam makna simbolis yang universal, yaitu pandangan

hidupnya yang menyeluruh, yang memberi legitimasi dan mengatur bentuk-bentuk

44
sosial serta memberi makna pada berbagai bidang kehidupan. Pendek kata, Berger

dan Luckmann mengatakan terjadi dialektika antara individu menciptakan masyarakat

dan masyarakat menciptakan individu. Proses dialektika ini terjadi melalui

eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi (Bungin, 2008).

Teori konstruksi sosial dalam gagasan Berger mengandaikan bahwa agama

sebagai bagian dari kebudayaan, merupakan konstruksi manusia. artinya terdapat

proses dialektika ketika melihat hubungan masyarakat dengan agama, bahwa agama

merupakan entitas yang objektif karena berada diluar diri manusia. dengan demikian

agama, agama mengalami proses objektivasi, seperti ketika agama berada didalam

teks atau menjadi tata nilai, norma, aturan dan sebagainya. Teks atau norma tersebut

kemudian mengalami proses internalisasi kedalam diri individu, sebab agama telah

diinterpretasikan oleh masyarakat untuk menjadi pedomannya. Agama juga

mengalami proses eksternalisasi karena ia menjadi acuan norma dan tata nilai yang

berfungsi menuntun dan mengontrol tindakan masyarakat (Berger, 1990).

Ketika msyarakat dipandang sebagai sebuah kenyataan ganda, objektif dan

subjektif maka ia berproses melalui tiga momen dialektis, yakni eksternalisasi,

objektivasi, dan internalisasi. Dengan demikian, bisa dipahami bahwa realitas sosial

merupakan hasil dari sebuah konstruksi sosial karena diciptakan oleh manusia itu

sendiri.

Masyarakat yang hidup dalam konteks sosial tertentu, melakukan proses

interaksi secara simultan dengan lingkungannya. Dengan proses interaksi, masyarakat

memiliki dimensi kenyataan sosial ganda yang bisa saling membangun, namun

sebaliknya juga bisa saling meruntuhkan. Masyarakat hidup dalam dimensi-dimensi

dan realitas objektif yang dikonstruksi melalui momen eksternalisasi dan objektivasi,

dan dimensi subjektif yang dibangun melalui momen internalisasi. Momen

45
eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi tersebut akan selalu berproses secara

dialektis. Proses dialektika ketiga momen tersebut, dalam konteks ini dapat dipahami

sebagai berikut:

2.1. Proses Sosial Momen Eksternalisasi

Proses eksternalisasi merupakan salah satu dari tiga momen atau triad

dialektika dalam kajian sosiologi pengetahuan. Proses ini diartiakan sebagai suatu

proses pencurahan kedirian manusia secara terus menerus ke dalam dunia, baik dalam

aktivitas fisik maupun mentalnya. Atau dapat dikatakan penerapan dari hasil proses

internalisasi yang selama ini dilakukan atau yang akan dilakukan secara terus menerus

kedalam dunia, baik dalam aktivitas fisik maupun mentalnya. Termasuk penyesuaian

diri dengan produk-produk sosial yang telah dikenalkan kepadanya. Karena pada

dasarnya sejak lahir individu akan mengenal dan berinteraksi dengan produk-produk

sosial. Sedangkan produk sosial itu sendiri adalah segala sesuatu yang merupakan

hasil sosialisasi dan interaksi didalam masyarakat.

Proses Eksternalisasi adalah suatu keharusan antropologis, sehingga tatanan

sosial merupakan sesuatu yang telah ada mendahului setiap perkembangan organism

individu. Tatanan sosial yang terjadi secara terus-menerus dan selalu diulang ini

merupakan pola dari kegiatan yang bisa mengalami proses pembiasaan (habitualisasi).

Tindakan-tindakan yang dijadikan pembiasaan ini tetap mempertahankan sifatnya

yang bermakna bagi individu dan diterima begitu saja. Pembisaan ini membawa

keuntungan psikologis karena pilihan menjadi dipersempit dan tidak perlu lagi setiap

situasi didefinisikan kembali langkah demi langkah. Dengan demikian akan

membebaskan akumulasi ketegangan-ketegangan yang diakibatkan oleh dorongan-

dorongan yang tidak terarah. Proses pembiasaan ini mendahului setiap pelembagaan.

46
Manusia menurut pengetahuan empiris kita, tidak bisa dibayangkan terpisah dari

pencurahan dirinya terus menerus kedalam dunia yang ditempatinya (Berger, 1991).

Manusia merupakan sosok makhluk hidup yang senantiasa berdialektika

dengan lingkungan sosialnya secara simultan. Eksternalisasi merupakan momen

dimana seseorang melakukan adaptasi diri terhadap lingkungan sosialnya. Dunia

sosial, kendati merupakan hasil dari aktivitas manusia, namun ia menghadapkan

dirinya sebagai sesuatu yang bersifat eksternal bagi manusia, sesuatu yang berada di

luar diri manusia.

Realitas dunia sosial yang mengejawantah, merupakan pengalaman hidup

yang bisa dijadikan sebagai dasar seseorang untuk membentuk pengetahuan atau

mengkonstruksi sesuatu. Realitas sosial, juga mengharuskan seseorang untuk

memberikan responnya. Respon seseorang terhadap pranata-pranata sosial yang ada,

bisa berupa penerimaan, penyesuaian maupun penolakan. Bahasa dan tindakan

merupakan sarana bagi seseorang untuk mengkonstruksi dunia sosio-kulturalnya

melalui momen eksternalisasi ini. secara sederhana momen eksternalisasi dapat

dipahami sebagai proses visualisasi atau verbalisasi pikiran dari dimensi batiniah ke

dimensi lahiriah. Eksternalisasi merupakan proses pengeluaran gagasan dari dunia ide

ke dunia nyata.

Dalam momen eksternalisasi, realitas sosial ditarik keluar individu. Didalam

momen ini, realitas sosial berupa proses adaptasi dengan teksteks suci, kesepakatan

ulama, hukum, norma, nilai dan sebagainya yang hal itu berada diluar diri manusia.

sehingga dalam proses konstruksi sosial melibatkan momen adaptasi diri atau

diadaptasikan antara teks tersebut dengan dunia sosio-kultural. Adaptasi tersebut

dapat melalui bahasa, tindakan dan pentradisian yang dalam khazanah ilmu sosial

disebut interpretasi atas teks atau dogma. Karena adaptasi merupakan proses

47
penyesuaian berdasar atas penafsiran, maka sangat dimungkinkan terjadinya variasi-

variasi adaptasi dan hasil adaptasi atau tindakan pada masing-masing individu.

2.2. Proses Sosial Momen Objektivasi

Objektivasi ialah proses mengkristalkan kedalam pikiran tentang suatu objek,

atau segala bentuk eksternalisasi yang telah dilakukan dilihat kembali pada kenyataan

di lingkungan secara objektif. Jadi dalam hal ini bisa terjadi pemaknaan baru ataupun

pemaknaan tambahan. Proses objektivasi merupakan momen interaksi antara dua

realitas yang terpisahkan satu sama lain, manusia disatu sisi dan realitas sosiokultural

disisi lain. kedua entitas yang seolah terpisah ini kemudian membentuk jaringan

interaksi intersubjektif. Momen ini merupakan hasil dari kenyataan eksternalisasi

yang kemudian mengejawantah sebagai suatu kenyataan objektif yang sui generis,

unik.

Pada momen ini juga ada proses pembedaan antara dua realitas sosial, yaitu

realitas diri individu dan realitas sosial lain yang berada diluarnya, sehingga realitas

sosial itu menjadi sesuatu yang objektif. Dalam proses konstruksi sosial, proses ini

disebut sebagai interaksi sosial melalui pelembagaan dan legitimasi. Dalam

pelembagaan dan legitimasi tersebut, agen bertugas menarik dunia subjektifitasnya

menjadi dunia objektif melalui interaksi sosial yang dibangun secara bersama.

Pelembagaan akan terjadi manakala terjadi kesepahaman intersubjektif atau hubungan

subjek-subjek (Syam, 2005).

Selain itu, objektivitas dunia kelembagaan adalah objektivasi yang dibuat dan

dibangun oleh manusia. proses dimana produk-produk aktivitas manusia yang di

eksternalisasikan itu memperoleh sifat objektive adalah objektivitas. Dunia

kelembagaan merupakan aktivitas manusia yang diobjektivasikan dan begitu pula

halnya dengan setiap lembaganya (Berger, 1990). Masyarakat adalah produk dari

48
manusia. Berakar dalam fenomena eksternalisasi yang pada gilirannya didasarkan

pada konstruksi biologis manusia itu. Transformasi produk-produk ini ke dalam suatu

dunia tidak saja berasal dari manusia, tetapi yang kemudian menghadapi manusia

sebagai suatu faktasitas diluar dirinya, adalah diletakkan dalam konsep objektivitas.

Dunia yang diproduksi manusia yang berada diluar sana memiliki sifat realitas yang

objektif. Dan dapat juga dikatakan bahwa masyarakat merupakan aktivitas manusia

yang diobjektivasikan (Berger, 1991). Didalam konstruksi sosial momen ini terdapat

realitas sosial pembeda dari realitas lainnya. Objektivasi ini terjadi karena adanya

proses eksternalisasi. Ketika dalam proses eksternalisasi semua cirri-ciri dan simbol

dikenal oleh masyarakat umum.

2.3. Proses Sosial Momen Internalisasi

Internalisasi adalah individu-individu sebagai kenyataan subjektif menafsirkan

realitas objektif. Atau peresapan kembali realitas oleh manusia, dan

mentransformasikannya sekali lagi dari struktur-struktur dunia objektif kedalam

struktur-struktur dunia subjektif. Pada momen ini, individu akan menyerap segala hal

yang bersifat objektif dan kemudian akan direalisasikan secara subjektif. Internalisasi

ini berlangsung seumur hidup seorang individu dengan melakukan sosialisasi. Pada

proses internalisasi, setiap indvidu berbeda-beda dalam dimensi penyerapan. Ada

yang lebih menyerap aspek ekstern, ada juga juga yang lebih menyerap bagian intern.

Selain itu, selain itu proses internalisasi dapat diperoleh individu melalui proses

sosialisasi primer dan sekunder.

Soaialisasi Primer merupakan sosialisasi awal yang dialami individu masa

kecil, disaat ia diperkenalkan dengan dunia sosial pada individu. Sosialisasi sekunder

dialami individu pada usia dewasa dan memasuki dunia publik, dunia pekerjaan

dalam lingkungan yang lebih luas. Sosialisasi primer biasanya sosialisasi yang paling

49
penting bagi individu, dan bahwa semua struktur dasar dari proses sosialisasi

sekunder harus mempunyai kemiripan dengan struktur dasar sosialisasi primer

(Berger, 1990).

Dalam proses sosialisasi, terdapat adanya significant others dan juga

generalized others. Significant others begitu significant perannya dalam

mentransformasi pengetahuan dan kenyataan objektif pada individu. Orang-orang

yang berpengaruh bagi individu merupakan agen utama untuk mempertahankan

kenyataan subjektifnya. Orang-orang yang berpengaruh itu menduduki tempat yang

sentral dalam mempertahankan kenyataaan. Selain itu proses internalisasi yang

disampaikan Berger juga menyatakan identifikasi. Internalisasi berlangsung dengan

berlangsungnya identifikasi. Si anak mengoper peranan dan sikap orang-orang yang

mempengaruhinya. Artinya ia menginternalisasi dan menjadikannya peranan atas

sikapnya sendiri. Dalam akumulasi proses pengenalan dunianya, si anak akan

menemukn akumulasi respon orang lain terhadap tindakannya. Dimana si anak mulai

mengeneralisasi nilai dan norma atas akumulasi respon orang lain ini. abstraksi dari

berbagai peranan dan sikap orang-orang yang secara konkrit berpengaruh dinamakan

orang lain pada umumnya/generalized others (Berger, 1990).

Adapun fase terakhir dari proses internalisasi ini adalah terbentuknya identitas.

Identitas dianggap sebagai unsur kunci dari kenyataan subjektif, yang juga

berhubungan secara dialektis dengan masyarakat. Identitas dibentuk oleh proses-

proses sosial. Begitu memperoleh wujudnya, ia dipelihara, dimodifikasi, atau malahan

dibentuk ulang oleh hubungan-hubungan sosial. Bentuk-bentuk proses sosial yang

terjadi mempengaruhi bentuk identitas seorang individu, apakah identitas itu

dipertahankan, dimodifikasi atau bahkan dibentuk ulang. Identitas merupakan suatu

fenomena yang timbul dari dialektika antara individu dengan masyarakat (Berger

50
1990). Ketiga proses yang ada tersebut akan terus berjalan dan saling berkaitan satu

sama yang lain, sehingga pada prosesnya semua kan kembali ke tahap internalisasi

dan begitu seterusnya. Hingga individu dapat membentuk makna dan perilaku baru

apabila terdapat nilai-nilai baru yang terdapat didalamnya.

Berdasarkan penjelasan dari teori Peter L. Berger dan Thomas Luckman.

Maka dapat diketahui bahwa individu merupakan produk sekaligus pencipta pranata

sosial. Melalui aktivitas kreatifnya, manusia mengkonstruksikan masyarakat dan

berbagai aspek lainnya dari kenyataan sosial. Kenyataan sosial yang diciptakannya itu

lalu mengkonfrontasi individu sebagai kenyataan eksternal dan objektif. Individu lalu

menginternalisasikan kenyataan ini sedemikian rupa sehingga menjadi bagian dari

kesadarannya. Bahwa di luar terdapat dunia sosial objektif yang membentuk individu-

individu, dalam arti manusia adalah produk dari masyarakatnya. Realitas yang

objektif ini dipantulkan oleh orang lain dan diinternalisir melalui proses sosialisasi

oleh individu pada masa kanak-kanak, dan disaat mereka dewasa merekapun tetap

menginternalisir situasi-situasi baru yang mereka temui dalam dunia sosialnya. Oleh

karena itu dalam memahami suatu konstruksi sosial diperlukan tiga tahapan penting

yaitu eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi.

Peneliti memilih teori konstruksi sosial atas realitas Peter Berger dan Thomas

Luckman karena pada dasarnya konsep yang dikemukakan dalam teori tersebut sangat

relevan dengan realitas yang kajian ini. Peneliti melakukan pengkajian secara

mendalam terhadap makna Tradisi Giri Kedaton yang dibangun oleh pemimpin

(leader). Dalam kontek teori konstruksi sosial Berger bahwa pada dasarnya realitas

yang terdapat di dalam masyarakat dikonstruksi oleh masyarakat itu sendiri. Dalam

hal ini realitas makna Tradisi Giri Kedaton dibangun oleh pemimpin (leader) dan

51
masyarakat pendukungnya secara simultan sebagaimana digambarkan Berger melalui

triad dialektikanya yaitu melalui proses eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi.

3. Hermenuetik William Dilthey

Teori konstruktivis berada di dalam perspektif interpretative (penafsiran) yang

memiliki tiga varian, yaitu interaksi simbolik, teori-teori fenomenologis, dan

hermeneutik (Hamidy, 2013). Dari tiga varian tersebut, penelitian ini menggunakan

varian hermeneutik Dilthey. Pendekatan hermeneutik digunakan untuk

menginterpretasikan data-data sejarah. Menurut Engkus Kuswarno (2008) dalam

bukunya “Etnografi Komunikasi” mengatakan bahwa hermeneutik adalah cabang

filsafat yang menguji teori tentang pemahaman dan penafsiran. Selanjutnya, dia juga

mengatakan bahwa sebuah proses dipandang sebagai sesuatu yang sirkuler, jadi orang

hanya dapat memahami sesuatu dalam kaitannya dengan bagian-bagiannya, namun

bagian-bagian tersebut juga hanya dapat dipahami dari keseluruhannya.

Secara etimologis, hermeneutik berasal dari bahasa Yunani “Hermeneuein”

yang berarti menafsirkan, kata bendanya “Hermenia” dapat diartikan sebagai

penafsiran atau interpretasi (Steve JM, 2008). Dalam mitologi Yunani, kata

hermeneutik sering dikaitkan dengan tokoh bernama Hermes, seorang utusan yang

mempunyai tugas menyampaikan pesan Dewa Jupiter kepada manusia. Tugas

menyampaikan pesan berarti juga menerjemahkan ucapan para dewa ke dalam bahasa

yang dapat di mengerti manusia. Penerjemahan sesungguhnya identik dengan

penafsiran. Dari situ kemudian pengertian kata hermeneutika memiliki kaitan dengan

sebuah penafsiran atau interpretasi (Saidi, 2008). Terdapat banyak tokoh dalam

Hermeneutika, misalnya Friedrich Ernst Schleiermacher, Wilhelm Dilthey, Martin

Heidegger, Hans George Gadamer, Jurgen Habermas, dan Paul Ricoeur. Penelitian ini

menggunakan hermeneutika yang dikemukakan oleh Wilhelm Dilthey.

52
Wilhelm Dilthey adalah seorang filsuf Jerman. Ia terkenal dengan riset

historisnya dalam bidang hermeneutik. Ia berambisi menyusun dasar epistemologis

baru bagi pertimbangan sejarah tentang pemahaman yang memandang dunia sebagai

wajah interior dan eksterior. Ia sangat tertarik pada karya-karya Schleiermacher.

Kehidupan intelektualnya tertanam pada kemampuan dalam menggabungkan teologi

dan kesusastraan dengan karya-karya kefilsafatan, serta kagum pada karya

terjemahaan dan interpretasinya atas dialog Plato (Steve JM, 2008). Pemikiran

Dilthey banyak dipengaruhi oleh pemikiran Plato dan Schleiermacher. Dia

memandang hidup dan kehidupan adalah sebuah proses yang sedang berlangsung,

suatu entitas yang secara kodrat mengalir. Sejarah tidak dapat dipahami kecuali

melalui teori-teori dan sebaliknya teori juga tidak dapat dipahami kecuali melalui

sejarah. Menurut Dilthey, hermenuetik sendiri pada dasarnya bersifat menyejarah,

berarti bahwa makna itu sendiri tidak pernah berhenti pada satu masa saja, tetapi

selalu berubah menurut modifikasi sejarah.

Dilthey berambisi untuk meyusun sebuah dasar epistemologis bagi ilmu

kemanusiaan, terutama ilmu sejarah. Tantangan yang dihadapi Dilthey adalah

bagaimana menempatkan penyelidikan sejarah supaya sejajar dengan penelitian

ilmiah dalam bidang ilmu alam. Perbedaan objek kedua ilmu ini cukup mencolok.

Bila ilmu kemanusiaan mengenal dua dimensi eksterior dan interior bagi objeknya,

maka ilmu alam hanya mengenal dimensi eksterior (Sumaryono, 1999). Dilthey

menganjurkan penggunaan hermeneutika, sebab baginya, hermeneutika adalah dasar

dari Geisteswissenschaften. Berkenaan dengan keterlibatan individu dalam kehidupan

masyarakat yang hendak dipahaminya, diperlukan bentuk pemahaman yang khusus.

Hermeneutika Dilthey berkisar pada tiga unsur yaitu Verstehen (memahami), erlebnis

53
(dunia pengalaman batin) dan Ausdruck (ekspresi hidup). Ketiga unsur ini saling

berkaitan dan saling mengandaikan.

Erlebnis adalah kenyataan sadar keberadaan manusia dan merupakan

kenyataan dasar hidup dari mana segala kenyataan dieksplisitkan. Dalam erlebnis

hidup merupakan realitas fundamental yang teralami secara langsung, sehingga belum

memunculkan pembedaan subjek dan objek. Erlebnis adalah basis kenyataan bagi

munculnya imaginasi, ingatan dan pikiran (Ankersmit, 1987. Juga lihat Poespoprodjo,

1987). Ia ada sebelum ada refleksi dan sebelum ada pemisahan subjek dan objek.

Ausdruck atau ekspresi adalah ungkapan kegiatan jiwa. Ekspresi muncul

dalam berbagai bentuk tindakan. Ada beberapa bentuk ekspresi; Pertama, ekspresi

yang isinya telah tetap dan identik, seperti, rambu-rambu lalu lintas. Kedua, ekspresi

tingkah laku manusia. Tingkah laku ini bisa individual atau serangkaian tindakan

yang panjang. Ketiga, ekspresi spontan, seperti tersenyum, tertawa, kagum dan

seterusnya. Ekspresi ini merupakan ungkapan perasaan yang kadang dangkal, dan

kadang sangat dalam (Poespoprodjo, 1987). Sementara itu verstehen atau pemahaman

adalah suatu proses mengetahui kehidupan kejiwaan lewat ekspresi-ekspresinya yang

diberikan pada indera. Memahami adalah mengetahui yang dialami orang lain, lewat

suatu tiruan pengalamannya. Dengan kata lain verstehen adalah menghidupkan

kembali atau mewujudkan kembali pengalaman seseorang dalam diriku.

Ilmu kemanusiaan, khususnya sejarah (minat khusus Dilthey), tidak akan

memperoleh pengetahuan yang dicari tanpa mempergunakan verstehen atau

pemahaman yang membedakannya dari ilmu alam. Manusia sebagai objek pengertian

dalam ilmu kemanusiaan memiliki kesadaran. Hal ini memungkinkan bagi

penyelidikan tentang alasan-alasan tersembunyi dibalik perbuatannya yang dapat

diamati. Seseorang dapat memahami perbuatan dengan mengungkap pikiran, perasaan

54
dan keinginannya. Ilmu kemanusiaan tidak hanya mampu mengetahui apa yang telah

diperbuat manusia tetapi juga pengalaman batin (erlebnis), pikiran, ingatan, keputusan

nilai dan tujuan yang mendorongnya berbuat (Sills, 1972). Perbuatan atau tindakan

merupakan ekspresi jiwa manusia, ide dan arti yang diharapkan oleh individu maupun

masyarakat, yang berupa kata, sikap, karya seni dan juga lembaga-lembaga sosial.

Kita akan memahami ekspresi (ausdruck) dengan menghayati kembali dalam

kesadaran kita sendiri, penghayatan yang menimbulkan ekspresi tadi.

Peneliti ilmu kemanusiaan harus berusaha seperti hidup dalam objeknya, atau

membuat objek hidup dalam dirinya. Dengan penghayatan tersebut akan memudahkan

munculnya verstehen atau pemahaman. Dalam konteks ilmu sejarah, dengan

menghayati kembali masa lampau, sejarawan akan memperluas dan membuat

berkembang kepribadiannya, menggabungkan pengalaman pada masa lalu ke dalam

pengalaman masa kini (Anskersmit, 1987). Setiap pengalaman baru, demikian

Dilthey, menurut isinya ditentukan oleh semua pengalaman yang sampai pada saat itu

kita miliki; sebaliknya, pengalaman baru itu memberi arti dan penafsiran baru kepada

pengalaman-pengalaman lama. Bila seorang peneliti ingin mengerti perbuatan pelaku

sejarah yang berupa ekspresi-ekspresi (ausdruck), maka ia harus merekonstruksikan

kesatuan dan kebersatuannya dengan pengalaman batin (erlebnis) (Anskersmit, 1987).

Menurut Dilthey bahwa dengan merekonstruksikan pengalaman hidup seorang pelaku

sejarah ke dalam batin seorang peneliti akan dihasilkan efek yang sama seperti halnya

pelaku sejarah mengalaminya pada waktu itu.

Verstehen atau memahami adalah kegiatan memecahkan arti tanda-tanda

ekspresi yang merupakan manifestasi hidup atau hasil kegiatan jiwa. Verstehen adalah

proses di mana kehidupan mental diketahui melalui ekspresinya yang ditangkap oleh

panca indera. Walaupun demikian ekspresi tersebut lebih dari sekedar kenyataan fisik,

55
karena ia dihasilkan oleh kegiatan jiwa (Poespoprodjo, 1987). Proses memahami dan

menginterpretasi seperti yang dikehendaki oleh Dilthey di atas memerlukan beberapa

persyaratan. Bila persyaratan ini tidak terpenuhi maka menjadi sulit bagi proses

pemahaman dan interpretasi (Bertens, 1981). Persyaratan pertama adalah bahwa

peneliti harus membiasakan diri dengan proses-proses psikis yang memungkinkan

suatu makna. Untuk mengerti tentang kecemasan, cinta, harapan dibutuhkan

kemampuan pengalaman akan hal tersebut. Untuk itu bagi Dilthey, hermeneutika

perlu juga dilengkapi dengan studi psikologi deskriptif. Syarat kedua adalah

pengetahuan tentang konteks. Untuk mengerti suatu bagian memerlukan pengetahuan

tentang keseluruhan. Suatu kata hanya bisa dimengerti dalam konteks yang lebih luas,

demikian juga tindakan manusia juga hanya bisa dipahami melalui konteks yang lebih

luas. Syarat ketiga adalah pengetahuan tentang sistem sosial dan kultural yang

menentukan gejala yang kita pelajari. Untuk mengerti suatu kalimat harus mengetahui

konteks aturan main dalam bahasa yang bersangkutan. Syarat iniberkaitan erat dengan

syarat kedua. Studi tentang satu pemikiran menghendaki konteks karya-karya yang

lain, dan studi tentang karya menghendaki konteks sosial-historis yang lebih luas.

Meskipun orang menyadari keadaaan dirinya sendiri melalui ekspresi orang

lain namun orang masih dirasa perlu untuk membuat interpretasi atas ekspresi atau

ungkapan tersebut. Dan hermeneutik hanya akan bekerja jika ekspresi atau ungkapan-

ungkapan tersebut tidak asing atau sudah kita kenal. Jika ungkapan tidak mengandung

sesuatu yang bersifat ganjil atau misteri, maka hermeneutika menjadi tidak perlu.

Demikian juga bila sama sekali asing maka hermeneutika menjadi tidak mungkin

(Sumaryono, 1997). Pada satu sisi tidak bisa dihindari bahwa interpretasi terhadap

ekspresi untuk menemukan kebertautannya dengan erlebnis senantiasa melibatkan apa

yang disebut lingkar hermeneutik. Terlalu sulit dideskripsikan secara logis ketat

56
kapan suatu pemahaman tercapai. Suatu bagian hanya dapat dipahami melalui

keseluruhan, sementara suatu keseluruhan hanya dapat dipahami melalui bagian.

Seorang peneliti hanya dapat memahami pikiran-pikiran hanya dengan menunjuk

situasi yang membangkitkan pikiran itu. Sedang situasi yang membangkitkan pikiran

tersebut hanya dapat dipahami berdasarkan apa yang sudah dipikirkan.

Pemahaman dan makna senantiasa bergantung pada hubungannya dan

merupakan bagian dari situasi. Hal ini selalu terkait dengan perspektif dan situasi

historis. Kenyataan adanya lingkaran dalam proses pemahaman mengungkapkan

bahwa masing-masing bagian mengandaikan yang lain sehingga konsepsi pemahaman

tanpa pengandaian tidak memiliki dasar faktual. Tapi bukan berarti hermeneutika ini

menjadi proses semaunya. Setidaknya Dilthey menekankan beberapa hal yang bisa

dianggap sebagai aturan main sebuah hermeneutika.

Dilthey sangat menekankan “kedekatan batin” yang memberikan ciri khas

pada “pengalaman yang hidup” (Lived experience). Pengalaman inilah yang menjadi

objek sesungguhnya dari hermeneutika. Pengalaman-pengalaman hidup kita sehari-

hari tidak dapat seluruhnya disebut sebagai “pengalaman yang hidup”. Hanya

pengalaman yang bisa memberi “kedekatan batin” terhadap masa lalu dan masa depan

saja yang bisa disebut sebagai “pengalaman yang hidup” (Sumaryono, 1987). Untuk

memperoleh interpretasi dan pemahaman dalam ilmu kemanusiaan, khususnya

sejarah, setidaknya ada tiga langkah dalam pengopresian hermeneutika. Pertama,

memahami sudut pandang atau gagasan asli pelaku. Kedua, memahami arti atau

makna kegiatan-kegiatan mereka pada hal-hal yang secara langsung berhubungan

dengan peristiwa sejarah. Ketiga, menilai peristiwa tersebut berdasarkan gagasan

yang berlaku pada saat peneliti masih hidup.

57
Langkah ini sebenarnya hanya eksplisitisasi dari pemikiran Dilthey tentang

prinsip dasar hermeneutik, bahwa ketika peneliti merekonstruksi kembali dalam

batinnya pengalaman-pengalaman seorang pelaku sejarah, maka ia mampu

memahami pelaku tersebut. Memahami mengandung arti bahwa “dalam keadaan

serupa, aku sendiri juga akan berbuat dan berpikir demikian.” (Ankersmit, 1987).

Untuk bisa memahami pelaku sejarah, peneliti menggunakan pengalamannya pada

masa kini untuk bisa masuk ke dalam kulit pengalaman pelaku sejarah.

Berdasarkan penjelasan di atas, untuk menganalisis rumusan masalah pertama

dalam penelitian ini yang menjadi objek interpretasi dalam penelitian ini adalah teks

tertulis dari berbagai sumber sejarah, baik itu sumber primer maupun sekunder. Untuk

menerjemahkan dan menginterpretasikan aspek-aspek tersebut, peneliti harus

menginduksi biografi pelaku sejarah, dalam hal ini adalah raja-raja Giri Kedaton

terkait dengan topik penelitian, dan banyak tokoh lainnya dalam lingkup topik ini.

Jadi, kegunaan hermeneutik atau interpretasi dalam penelitian ini adalah untuk

memahami objek dalam konteks ruang dan waktu dimana objek tersebut berada,

terkait di dalamnya keseluruhan aspek kondisi sosial, ekonomi, budaya, pandangan

hidup maupun sejarahnya.

58

Anda mungkin juga menyukai