Anda di halaman 1dari 4

SIANG DI TERIK MATAHARI; Menggugat Dunia Pendidikan

Siang, 14.30 waktu setempat. Saya menyetop sebuah angkot. Sudah ada tiga orang.
Siang meranggas. Matahari terik memanggang. Laju angkot terhenti dan naiklah empat
orang siswa berseragam khas SMU. Lalu angkot kembali melaju membelah lalu lintas di
sebuah kota di siang yang kering. Tiba-tiba,

“Eh, gimana sih potongan rambutku ini, bagus’kan ?”, kata salah satu siswa SMU sambil
mengelus rambut model flat ion rebonding (FIR)-nya; gaya rambut yang meniru bintang
seri film Meteor Garden1; lurus, lentur dan rata sehingga akan melambai-lambai tertiup
angin. Tampaknya baru keluar dari salon. Semerbak aroma salon memang kental.
“Bagus, modis kok. Kan lagi zamannya kayak gitu !”
“Iya, cuma ati-ati, kalo gak cocok ama kream-nya bisa rusak. Patah-patah…!”
“Enggak deh, kan mas anu udah kasih jaminan. Kalo rusak dia tanggungjawab…”
“Iya, lagipula kan pake sistem Bi Ionic. Mahal sih, tapi kan lebih bagus. Gue juga oke tuh,
besok gantian anter yaa …”
“…..?”
“…..!”
“Eh CD Britney Spears terbaru udah beli ?”
“…..!”
“…..?”
“…..!”

Celotehan dunia remaja. Gaya bicara, pakaian walau dibalut seragam namun adanya
atribut lain yang dikenakan jelas mendeskripsikan dari level mana mereka berasal. Tidak
dipungkiri, gaya hidup di kota metropolitan yang hedonis-kapitalistik turut mewarnai
tingkah-polah mereka. Siapa bilang ABG (termasuk pelajar) tidak punya uang lebih
ekstrem lagi miskin ? Suatu diskusi kelompok pelajar sebuah majalah remaja yang
disponsori salah satu merek pakaian yang terkenal saat memeriksa tas pelajar, atas
seizin yang empunya tentunya, menemukan dompet berkelas yang isinya beberapa
lembar uang Rp. 10.000 – Rp. 20.000, ATM, kartu kredit, peralatan kosmetik berkelas
internasional, telpon genggam bahkan tasnya pun ikutan bermerk ! Tak heran, industri
hiburan; musik, film sampai gaya hidup; mode pakaian, rambut dari perusahaan lokal
sampai internasional rata-rata 75% pangsa pasarnya adalah remaja (Kompas, Minggu
Juni 2002). Bayangkan zaman saya dulu yang cuma seribu lima ratus perak per minggu
plus ongkos dan jajan pangsit ! Ironis.

Tidak, bukan itu yang saya persoalkan. Karena itu memang konsekuensi sosial dari
perkembangan sebuah kota yang berbanding lurus dengan kompleksitas pola dan gaya
hidup (AB Susanto, Potret-potret Gaya Hidup Metropolis, Buku Kompas, Mei 2001).

1
Artikel ini disusun 2007 era K-Pop mulai merambah kaum muda Indonesia
Yang saya persoalkan adalah kesadaran humanisme dan solidaritas sosial dari seorang
siswa/pelajar terhadap lingkungan sosialnya. Sebab, terus-terang, saya miris. Saat
angkot berhenti di traffic light (lampu merah ), saat suara sumbang diiringi kecrek kerop
botol (tutup kaleng botol) dilantunkan seorang bocah usia belasan bahkan mungkin
sepuluh tahunan meminta receh, siswi-siswi itu tidak berpaling atau sekedar memberi
perhatian apalagi memberi recehan sekedar bukti kepedulian. Celotehan riang khas ABG
kota besar tetap berlanjut diiringi nyanyian bocah yang juga terus mengalun sumbang
sampai angkot kembali merayap pelan.

Ah mereka meminta atau mengemis atau mengamen bukan cuma untuk makan, lebih
sering untuk mabuk, ngelem, main play station, dingdong jadi percuma ! Saya kira
stigma negatif seperti itu bukan hal yang luar biasa juga bukan muncul dari remaja tapi
juga kita. Jangan naif.

Nah, tulisan ini bukan memperdebatkan diskriminatif status sosial antar mereka. Tapi
dalam konteks ini, yang saya persoalkan adalah empati, simpati dan solidaritas sosial
dari pelajar sebagai anak manusia yang sedang didik untuk menjadi bagian dari
kompleksitas masyarakat.

Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang punya dimensi sebagai mahluk sosial.
Rasa cinta, kasih sayang kepada sesama, empati, solidaritas dan nilai-nilai humanistik
lainnya adalah perwujudan dari dimentinya tersebut. Semua diinternalisasikan dalam
keluarga dan juga sekolah sebagai lingkungan binaan. Sekolah adalah sarana
penginternalisasikan nilai-nilai kemanusiaan itu karena siswa/siswi dibelajarkan untuk
memahami dunia dengan keserbanekaragamannya. Lalu, kenapa, apa apa yang salah,
apa yang kurang dari sistem pendidikan kita sehingga siswa/siswi (bukan cuma kasus di
atas) cenderung tergagap, pesimis, apatis bahkan anarkhis menyikapi persoalan sosial
dalam tingkat sederhana sekalipun ?

Beratus artikel, diskusi, seminar sampai kebijakan-kebijakan publik memang sudah


mencermati situasi itu. Reformasi bidang pendidikan perlu segera dilakukan karena
ternyata mutu pendidikan Indonesia bukan cuma kehilangan orientasi tetapi juga kalah
bersaing sangat jauh dengan pendidikan di negara jiran terdekat. Akhirnya, polemik
tersebut sampai pada sintensa, salah satunya pendidikan pluraristik-multikultur yang
diharapkan tidak hanya berbicara persoalan dunia pendidikan beserta input –
outputnya tapi juga mampu meminimalisir persoalan konflik vertikal-horizontal yang
sering melanda bangsa ini.

Pendidikan Pluraris-Multikultur seperti yang digagas Muhamad Ali, seorang pemerhati


pendidikan yang kemudian ditanggapi oleh pemerhati lainnya Ahmad Fuad Fanani
menekankan pentingnya penanaman sekaligus pembumian nilai toleransi, empati,
simpati dan solidaritas sosial. Dan kelanjutan dari pendidikan model itu adalah
pembebasan dari segala bentuk kezaliman, ketidakadilan, status quo dan politisasi
rakyat kecil (Kompas, 26 Juni – 4 Juli 2002).
Indonesia adalah negara dengan tingkat plurarisme suku, agama dan ras tertinggi dunia
namun belakangan ini realitas itu malah sering menjadi pemicu konflik sosial bahkan
pada beberapa kasus semakin menggaristebalkan diskriminatif dalam tatanan
masyarakat. Padahal, seperti kata Suwarsih Warnaen (Stereotif Etnis Dalam Masyarakat
Multietnis, Gramedia 2002), plurarisme bukan sesuatu yang negatif apalagi absurd,
justru sebaliknya asset yang bisa dimanfaatkan dengan menciptakan dialog, toleransi
dan nilai-nilai kemanusiaan untuk tercapainya hal yang dicita-citakan. Kebudayaan dan
masyarakat adalah dinamika yang terus berlangsung seiring dengan perkembangan
zaman dan lingkungan. Keberagaman masyarakat dan kebudayaan harus dikonsepsikan
secara positif karena pada dasarnya tujuan dari penciptaan setiap kebudayaan adalah
proses peningkatan harkat dan martabat manusia dalam segala aspek kehidupannya.
Oleh karena itu, dikotomi dalam berbagai sektor kehidupan bukan untuk dikritisi secara
negatif tapi untuk dipahami. Kaya-miskin, pria-wanita, tua-muda memang berbeda
tetapi bukan untuk dibeda-bedakan.

Pembelajaran (teori dan aplikasi) nilai positif dari pluralistik perlu segera direalisasikan
sekaligus dikawinkan dengan ideologi pembebasan hak azasi manusia. Hal ini bisa
dilakukan lewat tahapan pemahaman pluraristik karena perbedaan bukanlah hal yang
negatif tetapi adalah keunikan yang punya nilai positif. Percayalah, kebersamaan jauh
lebih indah ketimbang keberpihakan.

Output dari model pembelajaran itu adalah sikap toleransi yang dialogtis sehingga akan
memunculkan nilai-nilai humanistik; saling pengertian, kasih sayang, menghargai
keberagaman, perbedaan pendapat dan lain-lain. Sebaliknya, pemahaman keberagaman
yang sempit menjadikan siswa akan berpola pikir cupat, etnosentris, chauvinistik bahkan
hedonis-kapitalistik.

Ada beberapa kondisi yang diperlukan agar model pendidikan pluraristik dengan cita-
cita luhurnya dapat berjalan. Pertama dukungan dari pendidik dan anak didik yang harus
mampu berperan sebagai rausyan fikr – dalam bahasa Ali Syari’ati atau seorang
intelektual organik dalam bahasa Antonio Gramsci; peran yang tidak hanya bersibuk-ria
dengan kajian intelektual di sebuah menara gading instutisi pendidikan tapi terus
bergelut dalam dinamikanya.

Kedua pelibatan stake holder yang bukan di dunia pendidikan namun punya korelasi
dengan pendidikan seperti pengusaha yang memerlukan sumber daya manusia (SDM)
berkualitas, pakar yang punya misi income of knowledge generating dan pihak lainnya.

Ketiga metode pengajaran yang tidak monoton komunikasi satu arah menjadi diskusi.
Penyampaian materi tidak melulu text book tetapi realita yang ada dalam kehidupan
sehari-hari. Untuk mendukung metode itu, guru juga siswa tentunya perlu menambah
wawasan dan ketrampilan dengan membaca, mengundang tokoh atau pakar untuk
berdiskusi, mengundang pekerja sektor informal (buruh, satpam, tukang parkir, anak
jalanan, pengamen, petani) yang ada di lingkungan tentang bagaimana mereka hidup,
bekerja dan memanfaatkan sedikit uang untuk hidup.

Metode pembelajaran juga jangan melulu di ruang terbatas. Dunia luar adalah
laboratorium hidup dengan jutaan mahluk hidup – mati yang siap dipelajari secara
nyata. Gratis lagi. Berikan siswa kebebasan untuk memahaminya melalui studi
lapangan. Suara minor yang kerap muncul, kegiatan ini akan membebani siswa karena
harus mengeluarkan uang. Hal itu bisa terjadi jika imajinasi kita tentang studi lapangan
adalah keluar daerah, darmawisata dan kegiatan mubazir lain. Yang perlu diingat,
sumber ilmu ada dimana-mana. Mengunjungi korban bencana, bhakti sosial masyarakat
miskin di kota dan desa-desa yang ada di pelosok, mengunjungi lembaga-lembaga
bergerak di bidang ilmiah dan kemanusiaan seperti rumah-rumah singgah, pusat
pengkajian sains, sosial, budaya dan sastra. Siswa akan berlangsung bersentuhan
dengan dunia nyata bukan cuma guru atau buku yang abstrak apalagi media televisi
yang penuh imajinatif-konsumtif penuh jebakan.

Model pembelajaran yang tidak text book serta studi keluar mutlak diperlukan karena
belajar sebagai proses akan melibatkan aktivitas fisik dan mental (kognitif) yang
keberhasilannya sangat tergantung pada hasil interaksi siswa dan lingkungan (Dwi Sunu
W. Pebruanto, M.Ed, Newsletter Yayasan Indonesia Sejahtera, volume 2, issue 2, Juli
2002).

Terakhir kebijakan politik. Semua ide, inovasi dan pola-pola imajinasi yang dinamistik
lainnya tak akan menjadi konkrit tanpa ada dukungan kebijakan politik. Dan untuk
kategori ini, silahkan Bapak/Ibu yang terhormat merefleksikan. Karena, percayalah,
tanpa restrukturisasi yang didukung semua pihak, dunia pendidikan hanya akan menjadi
ajang pamer gemerlapnya dunia ABG yang datang dari berbagai strata ekonomi dengan,
sudah pasti, strata terendah selalu menjadi pecundang sebagai konsekuensinya.
Ekstremnya, berhasil ataupun gagal dalam berpendidikan, hanya akan menghasilkan
sekelompok penyamun (dalam tanda kutip) untuk melanggengkan gaya hidup hedonis-
kapitalistik.

Ups hampir terlewat. Bergegas saya turun dan menyerahkan selembar ribuan. Angkot
melaju lagi. Saat mengambil lembaran kertas tadi, ujung jari saya menyentuh logaman.
Saya lupa kalau ada uang receh. Ah, semoga ada banyak orang yang masih punya nurani,
semoga masih ada orang yang memberi sekedar recehan uang buatnya bertahan hidup.
Semoga……... !

Imam Suyudi

Anda mungkin juga menyukai