Anda di halaman 1dari 9

School of Rock: Bandung

Foto: Pribadi (Besok Libur Kolektif x UMM Itenas, 2020)

Kolaborasi Boy Fadzri dan Chairul Rachman untuk Rumus Magazine

Bagi segelintir orang kampus tak hanya lembaga produksi intelektual muda, lebih dari
itu kampus berperan sebagai sarana aktualisasi diri. Kampus menjadi sebuah ruang
interaktif yang tidak hanya menghasilkan talenta tetapi juga melahirkan budaya. Geliat
semacam ini tak pernah padam. Setiap generasi punya cara tersendiri merespon
segala bentuk tuntutan zaman, namun tak semua generasi sadar untuk
mendokumentasikannya. Dengan berbagai macam permasalahan setiap generasi
menjadi agen budaya bagi setiap generasinya sendiri.

Banyak budaya telah dihasilkan oleh mahasiswa sebagai respon atas gejolak
yang timbul dari balik pagar kampus, tak terkecuali di Bandung. Kota metropolitan
dengan beragam latar belakang sosial-budaya yang kompleks. Beberapa dari budaya
tersebut juga beririsan dengan kegiatan berkesenian termasuk musik. Meski sudah ada
unit formal yang mewadahi minat dan bakat mahasiswa, tetapi wadah tersebut tidak
cukup menampung semangat serta imajinasi kawanan yang liar.

Tentu itu bukan yang pertama, bukan pula sekedar dongeng “aa-aa” biasa.
Sebuah catatan mengenai romantisme dunia kampus pernah ditulis Jimi Multazam,
Haikal Azizi, Frau dan Is dalam kolom School Of Rock, catatan tersebut dimuat salah
satu majalah ternama asal Paman Sam, Rolling Stones. Penanda zaman itu berisikan
cerita pengalaman mereka selama mengenyam pendidikan atau keterlibatannya dalam
peristiwa kerumuman yang terjadi di kampusnya masing-masing.

Dalam tulisan tersebut, digambarkan suasana kerumunan pemuda-pemudi yang


haus kreasi, ditambah liarnya imajinasi, juga upaya menghibur diri dari penatnya
aktivitas kampus. Desakan hormon endorfin itulah yang disinyalir mendorong
munculnya perilaku kolektif. Mereka dan kawan-kawan di sekelilingnya menjadi salah
satu generasi yang beruntung karena dapat mengabadikan suatu gerakan yang terjadi
di zamannya. Thursday Noise, Kamis Kobra, dan lain-lain adalah sederet nama yang
pernah lahir dari penatnya kehidupan mahasiswa di zaman itu. Menurut Le Bon,
seorang ahli psikoanalisis, gerakan kolektif hadir karena adanya stimulus seperti situasi
sosial, ketegangan struktural, menyebarnya suatu kepercayaan umum, sebab tertentu
dan atau adanya mobilisasi.

Lalu bagaimana rupa gerakan tersebut hari ini?

Tahun 2015 ditandai dengan lahirnya sebuah entitas bernama Mulyono, kawanan yang
terbentuk secara tidak sengaja dari Kampus Institut Teknologi Bandung. Cerita Mulyono
berawal dari lawatan Eggy Rhesa ke kampus Universitas Padjadjaran. Bersamaan
dengan itu di sana sedang berlangsung Rock n Fakk, sebuah pertunjukan musik,
pameran, dan lapakan yang dibuat secara swadaya untuk menyambut grup musik asal
kota Malang yang sedang mengadakan tour. Singkat cerita, Eggy mulai mendambakan
kegiatan serupa di kampusnya.
“Yang melatarbelakangi Mulyono lahir adalah kurangnya panggung musik, dan akhirnya
ingin membuat acara sendiri. Saat itu, saya dibantu oleh anggota dari unit mahasiswa
Apres dan seorang mahasiswa seni rupa dari rekomendasi dosen saya, Om Fikri. yang
juga memiliki acara musik yaitu Lazy Fest. Nama Mulyono juga diberikan oleh Om Fikri,
singkatan dari Musik dan Lagu You Know.” Ujar Eggy, seorang pria yang gemar
menulis puisi.

Eggy bukan mahasiswa Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) yang
setidaknya pernah mendengar gaharnya Kamis Kobra atau chaosnya Lazy Fest dari
kakak tingkatnya. Dia adalah mahasiswa Sekolah Bisnis dan Manajemen, yang mana
lingkungannya terbilang patuh pada doktrin almamater. Slogan putra-putri terbaik
bangsa membuat Eggy jengah. Dia menilai bahwa kawan-kawan satu almamaternya
cenderung kaku saat bersosialisasi di masyarakat.

“Stigma tentang anak ITB dari luar dengan yang dirasain di kampus itu beda.
Arogansinya tinggi, tiap hari ‘putra-putri terbaik bangsa’ sampai eneg. Tapi saat
bersosialisasi dengan yang di luar, gak ngaruh label ITB ini tuh [...]. Mayoritas lulusan
ITB saat dilempar untuk bersosialisasi itu kaku, gak luwes, itu dalam konteks sosial di
masyarakat. Kalau di bidang pekerjaan oke lah mereka bisa survive,” tutur Eggy, saat
ditemui kami dalam keadaan narsis, mengenakan patch bertuliskan President Musik
dan Lagu You Know.

Mengendarai sebuah pick up, Eggy mengambil sound system pinjaman dari
kawannya di Jatinangor. Logistik lainnya secara swadaya dijalankan temannya di
Kampus. Sebagian lainnya dipercayai menyiapkan kebutuhan publikasi dan
dokumentasi, lengkap dengan menggarap sebuah instalasi tv yang menjadi ciri khas
mereka di setiap helatannya. Ruang-ruang kampus diaktifkan untuk panggung tak
berpembatas, menghapus sekat antarpementas dan penonton. Seiring berjalannya
waktu dan konsistensi, Mulyono tumbuh menjadi ruang bersama bagi para kreator dan
apresiator. Mulyono sukses mencuri perhatian sekaligus melibatkan banyak pihak, tak
hanya mahasiswa ITB tetapi juga masyarakat umum. Dengan Mulyono, Eggy dan
kawan-kawan berhasil membangun stigma yang lebih luwes di masyarakat.

Dari sinilah cikal bakal kolektif musik kampus tumbuh subur di tanah Paris Van
Java. Walau pengaruhnya tidak sesignfikan yang dibayangkan, namun Mulyono
menjadi yang pertama sejak kurun waktu 2015 hingga hari ini. Pasca Mulyono eksis,
kantung-kantung kolektif musik mulai tersebar di banyak kampus di kota Bandung.
Gerakan ini serupa virus yang menyebar begitu luas walaupun tidak menular secepat
COVID-19. Gelombangnya pun tak sebesar Electronic Dance Music di masa itu, tetapi
sukses menjadi sebuah gelombang alternatif.

Lain kampus tentu lain cerita, Tim Rumus berkesempatan menemui Fikri, salah
satu motor komplotan 6.30, kolektif musik yang lahir pada 2016. 6.30 lahir tanpa izin
dari peliknya birokrasi kampus Institut Teknologi Nasional (ITENAS). Kepada kami, Fikri
mengaku bahwa peran kampus melalui unit kegiatan mahasiswa terlalu birokratik.
Saking birokratiknya, untuk urusan musik saja secara tidak resmi diseleksi.

“ide awalnya membuat gigs kolektif 6.30 itu karena ada budaya-budaya yang
dibenturkan oleh pihak kampus. Kaya dulu di ITENAS kok gampang-gampang aja bikin
gigs dadakan. Makin kesini kok makin susah.” Ujar pemuda yang akrab disapa Mbe ini.

Perjalanan 6.30 yang berhasil menggelar gigs di tengah birokrasi kampus yang
menyebalkan tentu bukan perkara mudah. Acap kali kawanan 6.30 mendapat ancaman
dari pihak kampus. Mulai dari skors hingga pengurangan masa studi pernah mereka
alami. Namun hal itu tidak menyurutkan semangat mereka untuk tetap berulah di
kampus. Bagi mereka membuat sebuah pertunjukkan musik tidak sekedar perkara
senang-senang belaka, di sanalah tempat mereka melepas penat, berbagi keresahan,
bersosialisasi sekaligus mengaktualisasi diri mereka. Bak pasir yang digenggam sangat
erat kemudian berangsur meluap, menjadi analogi yang tepat untuk menggambarkan
kisah kolektif 6.30. Semakin dipersulit, mereka semakin liar dan tak terkendali.
Dari Itenas, tak ada salahnya kita tawaf di kampus berlambang Ka’bah. Jika
kalian berkesempatan mengelilingi Universitas Islam Bandung, kalian akan melihat
pemandangan yang kontras antara dominasi teteh-teteh berkerudung dan segelintir
pemuda berpenampilan serba hitam, dengan baju Seringai, Komunal atau Rajasinga
yang dibalut dengan jaket kulit atau rompi denim dipenuhi patch. Merekalah
gerombolan yang kami kenal dengan julukan Nu Penting Ngabret alias Nutingret.

Di sana hingar-bingar hiburan memang cenderung terbatas, sebab pertunjukkan


musik dan seni pada umumnya biasa digelar hanya untuk melengkapi program kerja
himpunan mahasiswa atau fakultas. Kondisi kampus yang tak begitu luas juga padatnya
kegiatan akademis dan keagamaan, mengharuskan beberapa dari acara tersebut
digelar di luar kampus. Perjalanan Nutingret dimulai saat segelintir mahasiswa berbagi
pengalamannya menghadiri pentas musik bawah tanah. Kondisi dan pengalaman
tersebut memantapkan mereka untuk membuat pentas serupa di kampusnya.

“Suntuk kalau dikampus hanya sekedar nongkrong, tapi kita tidak mencipta suatu
produk atau karya.” Lugas, Nutingret sejak maba.

Nutingret berhasil menggelar helatan pertamanya bertajuk Rock The Casbah


pada tahun 2017, tajuk yang sama dengan salah satu nomor kepunyaan band punk
asal Inggris, The Clash. Tajuk yang tegas menggambarkan lanskap sosio-kultural
muslim yang dominan di kampusnya. Seiring perjalanannya, Nutingret kerap menggelar
acara dengan tajuk dan urgensi yang berbeda. Nutingret menjadi salah satu kolektif
yang berkontribusi dalam helatan Festival Kampung Kota. Festival yang digelar untuk
memperingati resistensi warga Tamansari yang tengah berjibaku mempertahankan
ruang hidup mereka. Selain itu, mereka juga pernah berbagi panggung dengan Aliansi
Rakyat Anti Penggusuran, memperingati hari ibu dengan Mom’s Day yang bertujuan
untuk menghimpun donasi, juga gerakan solidaritas lainnya. Saat disinggung mengenai
irisannya dengan pergerakan sosial, begini respon mereka.
“urang ada disitu karena punya sikap solidaritas untuk membantu keberlangsungan hal
itu. Kalau maneh tidak berkontribusi lebih, ya maneh gak bisa ngasih impact terhadap
lingkungan yang lebih luas,” pungkas Lugas yang disetujui oleh Lutfi.

Kesadaran akan solidaritas itu terus tumbuh seiring perjalanan dan


perkembangan orang-orang di balik Nutingret. Nilai-nilai yang dibawa melalui personal
di dalamnya secara tidak langsung membentuk Nutingret dalam melihat pentas musik
melalui kacamata sosial. Selain untuk bersenang-senang, gigs musik kolektif juga dapat
menjadi sebuah produk untuk memahami makna solidaritas yang tersirat di setiap
kegiatannya.

Semangat kolektif di kampus nampaknya telah meluas ke arah Buahbatu, salah


satu daerah yang akrab dengan hiruk pikuk perkotaan. Semangat itu dinamakan
Musicturn. Sebuah kawanan yang dipertemukan di kampus Institut Seni Budaya
Indonesia (ISBI) pada 2017 lalu.

Musicturn lahir sebagai respon atas sempitnya ruang berkreasi khususnya musik
di kampus dan Buahbatu. Unit Kegiatan Mahasiswa yang khusus mewadahi minat
bermusik kawan-kawan di kampus itu telah lama mati. Selain itu, gigs-gigs musik
seringnya bertebaran di tengah, barat dan utara kota kembang. Hadirnya Musicturn di
tengah-tengah Buahbatu menjadi sebuah komitmen untuk setidaknya merespon apa
yang sedang terjadi di tempat-tempat lain, sekaligus menjadi penyeimbang bagi peta
persebaran acara musik independen yang sedang bergeliat.

“Oke jadi gini, awalnya sih pengen bikin ruang musik di sekitaran buahbatu, karena
pada tahun 2017 ke bawah beberapa kawan yang nge-band atau nonton band itu kalo
ga ke daerah sekitar bandung tengah ya ke utara atau barat kalo ngomongin wilayah
seringnya event musik di Bandung pada saat itu.” imbuh Sendy dalam kesempatan
korespondennya dengan kami.
Di awal perjalanannya, Musicturn mengusung genre world music atau sebuah
kolaborasi antara corak musik barat dan timur. Hal itu bertujuan untuk sekedar
memperkenalkan kembali corak musik tradisi yang pada saat itu terhimpit dominasi
corak musik barat. Maklum di kota Bandung sendiri pasca meletusnya dominasi musik
balada, musik bergenre stoner mulai merangsak ke permukaan hingga mendominasi
pamflet-pamflet microgigs. Memperkenalkan kembali musik tradisi, bagi mereka
merupakan sebuah tongkat estafet. Sebab menurut mereka pada tahun 2001 isitlah
world music memang pernah melekat di lingkungan kesenian. Walaupun seiring
perkembangannya genre world music tidak menjadi sebuah keharusan bagi mereka
saat menggelar acara musik.

Dari Buahbatu kami mengajak kalian untuk bergeser ke Timur. Perbatasan


antara Bandung dan Kabupaten Sumedang. Tepatnya di Jatinangor, sebuah
kecamatan yang mendadak penuh sesak sejak ekspansi berkala kampus Universitas
Padjadjaran dan ITB yang dimulai pada tahun 1983. Jatinangor memang dikenal
sebagai salah satu wilayah pendidikan terpadu, diapit oleh Institut Pendidikan Dalam
Negeri, Institut Teknologi Bandung, Universitas Padjadjaran dan Institut Koperasi
Indonesia (IKOPIN). Wajar bila akhirnya mahasiswa tumpah ruah ke wilayah tersebut.
Selain itu, Jatinangor juga ditetapkan sebagai Kawasan Metropolitan Bandung Raya
pada tahun 2015.

Manusia dengan berbagai latar belakang juga kepentingan hilir-mudik ke


Jatinangor. Akses jalan yang terbilang jauh ke pusat kota membuat Jatinangor memiliki
kehidupannya sendiri. Banyaknya mahasiswa yang menetap di Jatinangor, membuat
kebutuhan akan sarana hiburan melonjak tak terkecuali musik. Bahkan meluap hingga
ruang-ruang alternatif termasuk ke dalam kampus. Bila tidak bisa menyewa studio
karena alasan penuh dan dompet menipis, lorong-lorong kampus dan sekretariat unit
kegiatan mahasiswa kerap menjadi korban. Bermodal terminal dan amplifier, main
musik di kampus bisa sepuasmu tanpa perlu khawatir dompet jebol. Bahkan sampai
kulitmu kapalan karena ngulik gitar atau tanganmu berotot karena main drum. Asal
satu, kamu harus mengenal satpamnya.
Begitulah kiranya aktivitas mahasiswa di beberapa fakultas Universitas
Padjadjaran. Terutama bagi mereka penghuni teras gedung dekanat Fakultas Ilmu
Komunikasi. Di sanalah tempat gerombolan mahasiswa yang resah akan minimnya
sarana hiburan di Jatinangor. Teras Kolektif mereka daulat sebagai sebuah nama yang
dinilai dapat merepresentasikan obrolan selepas kelas. Teras Kolektif memang bukan
acara musik mandiri dan tak terlembaga pertama di Fikom Unpad. Masih dalam medio
2015-an, Rock n Fakk pernah berlangsung selama tiga volume di sana. Walaupun para
pelakunya tak banyak berubah, namun Teras Kolektif berumur lebih panjang.

“Awal mulanya mahasiswa yang nongkrong di Teras kurang hiburan, akhirnya bikin lah
hiburan sendiri karena ke Bandung jauh. Akhirnya maksimalkan aja apa yang ada di
Nangor, ditambah kan anak-anak juga punya band yang pengen main gaada space,”
Fauzan, Teras Kolektif.

Sejak tahun 2017, Teras Kolektif rutin menggelar hajatannya satu kali setiap
semester. Mereka memiliki konsentrasi pada band dan musisi satu generasi yang fit-in
dengan semangat yang sama, sekaligus memberi ruang serta kesempatan bagi
mereka. Bertempat di Amphiteater Fikom Unpad, lapangan berbentuk setengah
lingkaran serta dikelilingi tribun di hadapan panggung, membuat lokasi pertunjukan
terasa seperti Pompeii, wahana yang panas bagi para gladiator moshpit. Wall of Death,
circlepit, stagediving, dan ragam ekspresi lainnya menjadi bagian pertunjukan segelintir
penonton yang khidmat dari atas tribun. Selain sajian musik dan panasnya area
moshpit, Teras Kolektif tak pernah absen menyuguhkan buah tangan berupa khamr
khas Teras Kolektif. Pengunjung bisa mendapatkannya dengan syarat membawa
tumbler dan menukarkan secarik puisi. Sesekali racikan tersebut disodorkan melalui
selang dari atas panggung. Tak jarang banyak yang tumbang karena terlalu lelah
berdansa atau terlalu banyak menenggak racikan jus tersebut.

Dari volume ke volume, gaung Teras Kolektif tak hanya terdengar bagi mereka
yang menetap di Jatinangor. Jumlah pengunjungnya semakin bertambah mulai dari
Jatinangor, Bandung dan sekitarnya. Beberapa dari mereka bahkan rela datang dari
luar provinsi. Cerita tentang liarnya Pompeii dari kaki Gunung Manglayang, menjadikan
Jatinangor salah satu destinasi musik yang menyenangkan untuk dikunjungi.

Nama-nama diatas mungkin hanya segelintir entitas kolektif yang lahir dari balik
kampus dan masih eksis hingga hari ini. Bukan tidak mungkin di sudut-sudut kampus
lain gerakan serupa juga tumbuh subur. Kemunculannya yang spontan dan bahkan
tidak terduga, memungkinkan gerakan itu dapat berakhir kapan saja. Keberlanjutannya
menjadi sangat rentan mengingat setiap tahunnya kampus mengalami pergantian
mahasiswa yang keluar-masuk menduduki bangku perkuliahan. Sekalipun berada di
luar kampus, perilaku kolektif semacam ini tidak selalu melibatkan komitmen. Menurut
ahli sosiologi Milgran dan Touch, perilaku kolektif adalah perilaku yang lahir secara
spontan, relatif, tidak terorganisir, bahkan tidak terduga, kelangsungannya tidak
terencana dan bergantung pada stimulus timbal balik antar pelakunya.

Lagi-lagi, catatan semacam ini kami buat sebagai bentuk pengingat zaman di
mana mereka semua pernah memulainya dan dapat berakhir kapan saja. Melalui
interaksi yang padat, kantung-kantung semacam ini menjadi pusaran perkembangan
sosial-budaya sekaligus wahana bermain dan belajar untuk menghasilkan gagasan-
gagasan baru yang juga pesat.

Anda mungkin juga menyukai