Anda di halaman 1dari 144

MUSLIM MILENIAL

38 Catatan & Kisah Wow


Dari Muslim Zaman Now

Subhan Setowara Fahd Pahdepie Oki Setiana Dewi Feby Indirani Irfan Amalee
Rowan Gould Brynna Rafferty-Brown Yanuardi Syukur Lusia Efriani Kiroyan Suratno
Hilman Latief Rita Pranawati Aan Rukmana Bernando J Sujibto Ai Fatimah Nur Fuad
Farinia Fianto Wahyudi Akmaliyah Muhammad Adam Ala’i Nadjib Syamsul Arif Galib
Ridwan Al-Makassary Elis Zuliati Anis Sari Narulita Ahmad Romzi Sari Wulandari
Melati Adidamayanti Lis Safitri Eneng Elis Aisah Muslihati Nurjanni Astiyanti
Rosnida Sari Ikfina Maufuriyah Misthohizzaman Siti Nur Hidayati Hasan Basri
Ratih Arruum Listiyandini Ahmad Imam Mujadid Rais Bambang Arif Rahman

Kata Pengantar Prof Firmanzah (Rektor Universitas Paramadina)


Kata Sambutan Yanuardi Syukur (Ketua Forum Alumni MEP)
Prolog Subhan Setowara (Inisiator dan Editor Buku)

Bagian I
Ketika Dakwah Menyentuh Ruang Kekinian
 Ngaji ‘Zaman Now’ ala Generasi Milenial (Muhammad Adam)
 Gaya Belajar Agama, Dari Konvensional ke Digital (Rita Pranawat i)
 Sanad Keilmuan di Tengah Ustadz Google dan Pengajian Online (Ala’i Nadjib)
 Ketika Otoritas Dakwah Berubah Haluan (Ai Fatimah Nur Fuad)
 Dunia Entertainment dan Lika-liku Dakwah Kekinian (Oki Setiana Dewi)
 Sufi Milenial, Dzikir dalam Karya Kekinian (Melati Adidamayanti)
 Santri Kekinian: Kurikulum ala Cambridge, Studi Banding ke Jepang (Bambang
Arif Rahman)

Bagian II
Arena Bermain Itu Bernama Media Sosial
 Berdakwah via Media Sosial, Berbagi Inspirasi (Lusia Efriani Kiroyan)
 Media Online dan Matinya Otoritas Pengetahuan? (Wahyudi Akmaliyah)
 Media Sosial Sebagai Narasi Kebajikan Milenial (Elis Zuliati Anis)
 Jihad Digital, Jalan Dakwah Santri Milenial (Ahmad Romzi)
 Crowdfund dan Generasi Milenial di Indonesia (Hilman Latief)
 Empati Digital Bagi Generasi Milenial (Farinia Fianto)
 Millenials’ Parenting, Tantangan Pengasuhan di Era Digital (Ikfina Maufuriyah)

Bagian III
Muslim Milenial dan Gaya Hidup Kekinian
 Milenialay, Sebuah Tantangan Islam Hibrida (Bernando J. Sujibto)
 Fashion Muslimah Indonesia yang Kian Kekinian (Lis Safitri)
 Muslimah Ngehits di Tengah Geliat Modest Fashion (Nurjanni Astiyanti)
 Musik dan Identitas di Era Milenial (Misthohizzaman)
 Gaya Hidup Sehat ala Muslim Milenial (Ratih Arruum Listiyandini)
 Pelancong Muslim dan Wisata Muslim Friendly (Sari Wulandari)
 Konsumerisme, Godaan Generasi Milenial (Sari Narulita)

1
Bagian IV
Menjadi Milenial, Menjadi Lebih Bermakna
 Mengajarkan “Kedalaman” untuk Generasi Milenial (Aan Rukmana)
 Yang Mengubah, Yang Menggugah (Fahd Pahdepie)
 Kiprah Politik Generasi Langgas (Ahmad Imam Mujadid Rais)
 Muslim Milenial dan Budaya Menulis (Yanuardi Syukur)
 Menguatkan Daya Kritis Milenial Rural (Eneng Elis Aisah)
 Generasi Milenial, How “Green” Can You Go? (Mohammad Hasan Basri)
 Cara Milenial Menjadi Superhero Lingkungan Hidup (Siti Nur Hidayati)

Bagian V
Cara Kekinian Suarakan Perdamaian
 Mari Bermain, Mari Narasikan Perdamaian (Irfan Amalee)
 Relaksasi Beragama, Sebuah Pendekatan Dari dan Untuk Muslim Milenial
(Feby Indirani)
 Anak-Anak Muda & Kerentanan Ekstremisme-Kekerasan (Suratno)
 Dialog Lintas Agama Model Kekinian ala Muslim Makassar (Syamsul Arif Galib)
 Islam Transnasional dan Generasi Muslim Milenial di Tanah Papua (Ridwan Al-
Makassary)
 Kaum Muda Aceh dan Relasi Antarumat Beragama (Rosnida Sari)
 Literasi Budaya, Kikis Benih-Benih Disharmoni (Muslihati)

Epilog Rowan Gould & Brynna Rafferty-Brown (Program Manager MEP)

2
Kata Sambutan
Ketua Forum Alumni MEP

Buku Muslim Milenial yang ada di hadapan pembaca ini merupakan satu
dari sekian banyak kolaborasi para alumni Muslim Exchange Program
(MEP), sebuah program yang diiniasi oleh Pemerintah Australia sejak
tahun 2002 yang memberangkatkan tokoh muda Muslim dari kedua negara
untuk bertemu dengan berbagai kalangan guna menguatkan kemitraan dan
people to people contact yang sangat penting bagi harmoni antarkedua
negara.
Buku ini merupakan buku ketiga yang dikolaborasikan para alumni MEP
dalam satu tahun terakhir. Buku pertama, Hidup Damai di Negeri
Multikultur: Pengalaman Peserta Pertukaran Tokoh Muda Muslim Australia-
Indonesia (Gramedia, 2017) telah terbit, tersebar dari Aceh sampai Papua
dan dari Perth hingga Canberra, diluncurkan di Kedubes Australia, serta
dibedah di Jakarta dan Makassar. Sementara itu buku kedua, Islam
Kontemporer di Indonesia dan Australia (PPIM Jakarta dan Australia
Awards Indonesia, 2017) yang ditulis bersama para alumni Australia
lainnya, juga telah dibedah di FISIP UIN Jakarta yang dirangkaikan dengan
presentasi ala TED Talks dengan menghadirkan pembicara dari Australia
dan Indonesia yang sangat menarik.
Setelah bedah buku Islam Kontemporer itu, tercetuslah ide dari saudara
Subhan Setowara yang kemudian diamanahkan menjadi project leader
penulisan buku tersebut yang koordinasinya dilakukan via Whatsapp “MEP
Alumni” yang aktif, dinamis, produktif, serta tak lupa humoris. Subhan
secara serius kemudian menggarap naskahnya, menghubungi para
penulis, mengedit, serta menjadikan buku ini siap untuk diterbitkan.
Pertemuan untuk membahas naskah pun digelar secara terbatas, dengan
keinginan untuk mendapatkan masukan agar naskahnya ini diterbitkan
secara lebih baik dan dapat menjadi salah satu rujukan dalam kajian-kajian
tentang Muslim Milenial.
Kehadiran buku ini diharapkan dapat memperkaya kajian dan bacaan
tentang Muslim Milenial yang saat ini hangat dibahas berbagai kalangan.
Tentu saja, tiap generasi umat manusia pasti punya ciri khas, alias
pembeda dengan generasi sebelumnya, salah satunya karena faktor
lingkungan yang berubah begitu cepat. Dalam dua dekade terakhir, dunia
kita memang sedang mengalami akselerasi terutama dalam teknologi
informasi yang menjadikan apa-apa yang tidak aktif menjadi ketinggalan,
bahkan ditinggalkan oleh zaman.

3
Atas nama Forum Alumni MEP Australia-Indonesia, kami mengucapkan
selamat kepada seluruh penulis yang telah berkontribusi dalam buku bagus
ini, dan kepada penerbit diucapkan terimakasih atas kesediaan untuk
menerbitkan buku ini. Mari kita terus mencermati dan belajar dari
perkembangan zaman, salah satunya dengan melihat geliat Muslim
Milenial yang terus dinamis dan inovatif.

Jakarta, 8 Januari 2018


Ketua Forum Alumni MEP Australia-Indonesia,
Yanuardi Syukur

4
Prolog
Tentang Muslim Milenial dan Kiprah Mereka

Oleh SUBHAN SETOWARA

PADA tahun 2020-2030, Indonesia akan merasakan bonus demografi.


Menurut prediksi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN) RI, pada dekade tersebut, sebanyak 70 persen warga Indonesia
berada di usia produktif, yaitu antara 15 hingga 64 tahun. Hanya 30 persen
saja yang berusia tidak produktif, yakni 14 tahun ke bawah dan 65 tahun ke
atas.
Tentu saja, bonus demografi berdampak pada meningkatnya jumlah
generasi muda, atau lebih tepatnya, generasi milenial. Siapakah generasi
milenial itu? Peneliti Neil Howe dan William Strauss dalam buku Millennials
Rising: The Next Great Generation (Vintage Books, 2000) mendefinisikan
generasi milenial sebagai mereka yang terlahir antara 1982 hingga kira-kira
20 tahun setelahnya.
Subhan Setowara adalah pendiri
Peace Literacy Network (PeaceLink ) Secara lebih khusus, dalam teori
dan sek retaris Pusat Studi Islam dan generasi Strauss-Howe, millennial
Filsafat Universitas Muhammadiyah saeculum terbagi empat generasi,
Malang (UMM). Pada 2017, ia yaitu generasi baby boom (terlahir
menjuarai k ompetisi esai antara 1943-1960), generasi X
k emanusiaan yang diadak an oleh (1961-1981), generasi Y atau
International Committee of the Red
milenial (1982-2004) dan generasi
Cross (ICRC) dan Qureta. Subhan
adalah inisiator buk u Muslim Milenial.
Z atau homelanders (sejak 2005).
Buk u ini memuat pandangan para Dari sini tampak jelas, generasi
alumni Muslim Exchange Program milenial (Y) pada 2020 memasuki
(MEP) Australia tentang fenomena usia paling produktif (antara 16
k aum muda Muslim Indonesia di era sampai 38 tahun). Bahkan hingga
k ek inian. Baginya, Muslim milenial satu dan dua dekade ke depan,
harus berperan menebar k ebajik an peran generasi ini bakal kian
dan menyuarak an perdamaian. menentukan.
Dalam konteks Indonesia, gaya hidup milenial telah memiliki pengaruh
besar terhadap berbagai aspek kehidupan personal dan publik; sosial,
budaya, hingga ekonomi, politik bahkan agama. Yang paling terasa, yaitu
meningkatnya peran media sosial, di mana generasi milenial menjadi
penggerak utamanya.
Peran media sosial, misalnya, berdampak luas pada geliat ekonomi kreatif
dengan meningkatnya ragam profesi berbasis digital entrepreneurship
memanfaatkan situs online, youtube, instagram, twitter, facebook hingga
aplikasi messenger seperti line dan whatsapp. Sementara dalam dunia
politik, media sosial menjadi ruang personal branding dan attention seeker
yang khas milenial.

5
Menariknya, di berbagai belahan dunia, riset tentang generasi milenial
telah banyak berkembang. Selain buku yang disebut di atas, beberapa
yang cukup populer yaitu riset Boston Consulting Group (BCG) dan
University of California Berkeley pada 2011 tentang generasi milenial
Amerika. Atau riset Pew Research Center berjudul Millennials: A Portrait of
Generation Next pada 2010. Demikian pula The Center for Generational
Kinetics yang berbasis di Texas-AS melalui situs genhq.com yang intens
melakukan penelitian terkini tentang generasi milenial dan generasi Z.
Ada juga riset yang fokus pada Muslim milenial, misalnya oleh Tabah
Foundation Uni Emirat Arab pada 2016 berjudul Muslim Millennial Attitudes
on Religion and Religious Leadership. Buku Generation M: Young Muslims
Changing the World karya penulis Muslimah Inggris Shelina Zahra
Janmohamed yang juga terbit pada 2016 menarik pula disimak.
Di Indonesia, riset dan publikasi tentang generasi milenial mulai banyak
dilakukan, namun masih agak sulit mencari referensi secara spesifik
tentang Muslim milenial. Padahal,
Indonesia merupakan negara dengan
jumlah populasi Muslim terbesar di Muslim milenial Indonesia
dunia. Menurut data terkini Central memiliki posisi amat
Intelligence Agency, jumlah umat Islam strategis di masa depan.
Indonesia mencapai kisaran 225 juta Tak hanya dalam konteks
jiwa, jauh melampaui negara-negara nasional, namun juga
Muslim seperti Iran, Turki, Mesir, internasional. Muslim
maupun negara-negara di Jazirah milenial di negeri ini dapat
Arab. Proporsi Muslim Indonesia juga mengangkat citra Islam
sangat signifikan, yaitu 87% dari total Indonesia agar menjadi
penduduk Indonesia. kiblat dunia dalam
Menilik fakta tersebut, Muslim milenial mewujudkan masyarakat
Indonesia memiliki posisi amat yang damai, tenteram dan
strategis di masa depan. Tak hanya harmoni.
dalam konteks nasional, namun juga
internasional. Muslim milenial di negeri
ini dapat mengangkat citra Islam Indonesia agar menjadi kiblat dunia dalam
mewujudkan masyarakat yang damai, tenteram dan harmoni.
Sebenarnya, citra tersebut sudah diakui dunia. Dua dekade lalu, berbagai
media internasional memuji Islam Indonesia sebagai potret ideal
masyarakat Muslim. Salah satunya media massa ternama berbasis di
Amerika Serikat, Newsweek, yang pada 1996 melabelkan Islam Indonesia
sebagai Islam with a smiling face, yaitu Islam dengan wajah yang
tersenyum. Saat itu Newsweek begitu terpukau dengan corak umat
beragama di Indonesia, sehingga menyebutnya sebagai: everyone was
kind; everyone was moderate; everyone respected humanistic values and a
harmonious life.
Menariknya, tujuh tahun lalu, tepatnya pada 2011, Indonesianis Martin van
Bruinessen mengulas kembali label itu dalam papernya dengan sebuah
pertanyaan: What happened to the smiling face of Indonesian Islam?

6
Dalam tulisannya itu, Martin tampak resah dengan gerakan Islam Indonesia
yang semula identik dengan visi kebangsaan dan kemanusiaan, menjadi
gerakan yang cenderung lebih politis dan partisan. Karena itulah, Martin
mempertanyakan kembali: apa gerangan yang terjadi dengan wajah Islam
Indonesia yang tersenyum itu?
Di sinilah Muslim milenial Indonesia dapat mengambil peran. Saat ini, di
sekeliling kita, narasi kebencian tampak begitu nyata. Terhampar jelas
melalui ujaran-ujaran, argumentasi-argumentasi, serta komentar-komentar
di linimasa yang dijejali kekerasan verbal dan visual. Dengan potensi yang
demikian besar, kaum muda Muslim Indonesia diberikan pilihan.
Membiarkan narasi kebencian itu
memperluas ruang geraknya, atau
menghadirkan narasi tandingan, Penulis buku ini adalah para
melalui viralisasi kebajikan ala pemimpin muda Muslim
generasi milenial. Indonesia yang sama-sama
Ikhtiar Para Tokoh Muda pernah didelegasikan selama
dua pekan di Australia.
Buku ini merupakan salah satu ikhtiar Mereka berbeda profesi dan
dari Forum Alumni Muslim Exchange aktivitas, namun punya
Program (MEP) Australia untuk kesamaan; muda, energik,
menghadirkan narasi kebajikan itu. bervisi perdamaian, dan
Penulis buku ini adalah para senang berkolaborasi untuk
pemimpin muda Muslim Indonesia kebajikan. Beberapa penulis
yang sama-sama pernah bahkan tidak saja memotret
didelegasikan selama dua pekan fenomena Muslim milenial di
untuk berdialog dengan komunitas Indonesia. Merekalah
Muslim, organisasi lintas-iman dan fenomena itu sendiri.
lintas-budaya, serta pekerja media
dan pengambil kebijakan di Australia.
Para penulis berbeda profesi dan aktivitas, namun punya kesamaan; muda,
energik, bervisi perdamaian, dan senang berkolaborasi untuk kebajikan.
Beberapa penulis bahkan tidak saja memotret fenomena Muslim milenial di
Indonesia. Merekalah fenomena itu sendiri. Sebutlah nama-nama seperti
Fahd Pahdepie, Oki Setiana Dewi, Irfan Amalee, Feby Indirani dan Lusia
Efriani Kiroyan. Kiprah mereka menarik, inspiratif dan kekinian. Karena itu,
saya sebagai inisiator meminta mereka tak hanya menulis isu-isu seputar
kaum milenial, namun sekaligus mengisahkan lika-liku dan pengalaman
mereka, agar bisa menginspirasi banyak kalangan, terutama generasi
muda.
Fahd Pahdepie adalah penulis novel trilogi Rumah Tangga (2015), Jodoh
(2015) dan Sehidup Sesurga (2016). Di tahun 2017, ia kembali menulis
novel Angan Senja Senyum Pagi (2017) dan Hijrah Bang Tato (2017).
Novel-novelnya selalu menjadi best-seller dengan pasar pembaca utama
anak muda. Novel yang disebut terakhir bahkan akan diangkat ke layar
lebar oleh Soraya Intercine Films. Menariknya, Hijrah Bang Tato ini
berangkat dari kisah nyata dan merupakan kontra-narasi terhadap

7
radikalisme. Selain menulis, Fahd juga seorang sociopreneur dan pencetus
Gerakan Umrah Gratis.
Sementara Oki Setiana Dewi sudah sangat dikenal sebagai aktris,
selebgram dan trendsetter busana Muslimah. Selain di dunia selebritas,
Oki juga aktif berdakwah dan terlibat dalam forum akademik dan kegiatan
kemanusiaan. Sembari kuliah S3 Kajian Islam di UIN Jakarta, pada 2017
Oki terlibat dalam beberapa program seperti #ATileforSeville (program
pembangunan masjid agung dan pusat kajian Islam di Sevilla, Spanyol),
Life of Muslim in Germany oleh Goethe Institute, Orasi Indonesia Bersatu
Bela Palestina, Aliansi Kemanusiaan untuk Rohingya, Top 10 Fundraiser
Pesawat Indonesia R80, dan masih banyak lagi.
Sedangkan Irfan Amalee dan Feby Indirani berupaya menyuarakan
perdamaian dengan cara kekinian. Irfan bergerak melalui media
permainan, mulai dari buku-buku anak hingga boardgame for peace.
Kiprahnya membuat Irfan masuk dalam daftar 500 Muslim paling
berpengaruh di dunia (The World’s 500 Most Influential Muslims) versi
Royal Institute for Islamic Studies Amman Yordania pada 2010 dan 2011.
Di sisi lain Feby, terutama melalui novel-novelnya, hadir dengan gerakan
dan kampanye Relaksasi Beragama. Feby ingin Muslim Indonesia tak
terlalu tegang dalam beragama, dengan tagline-nya; Relax, It's Just
Religion.
Kisah Lusia Efriani Kiroyan tak kalah menarik. Melalui Yayasan Cinderella
from Indonesia (YCFI) yang didirikannya, Lusia membangun ‘prison
industry’, yaitu industri berbasis pemberdayaan narapidana (napi). Lebih
dari 500 napi wanita telah ia berdayakan agar mandiri secara ekonomi. Tak
heran jika Lusia meraih sejumlah penghargaan di antaranya Inspiring
Woman 2017 versi Majalah Femina dan AXA Mandiri, Kick Andy Heroes
2016, Inspiring Women 2016 versi Tabloid Nova, The Most Powerful
Women 2015 versi Majalah Her World, dan masih banyak lagi.
Selain nama-nama di atas, karya dan kiprah para penulis lain tentu tak
layak dilewatkan; Yanuardi Syukur, penulis 60 buku non-fiksi yang
mengulas soal tradisi menulis generasi milenial; Hilman Latief, Ketua
Badan Pengurus PP Lazismu yang mengungkap fenomena crowdfund di
kalangan muda; Ahmad Imam Mujadid Rais, Direktur Riset Maarif Institute
yang menulis soal kiprah politik kaum muda Indonesia; Lis Safitri, seorang
dosen, guru dan pekerja kreatif yang mengurai tren fashion Muslimah
Indonesia dari masa ke masa; dan tulisan-tulisan menarik lainnya.
Membaca buku ini, serasa berselancar menyusuri alam pikiran kekinian
yang segar dan bergizi. Layak disantap. Saya sudah jatuh cinta pada buku
ini sebelum ia terbit. Itulah yang saya rasakan ketika membaca,
menyunting dan meresapi kata demi kata para tokoh muda itu. Sekarang,
waktunya Anda membaca. Selamat menikmati!

8
Bagian I
Ketika Dakwah
Menyentuh Ruang Kekinian

9
Ngaji ‘Zaman Now’ ala Generasi Milenial

Oleh MUHAMMAD ADAM

Kemajuan teknologi informasi membuat pola pembelajaran di dunia Islam


berubah secara signifikan. Pendekatan-pendekatan lama yang
konvensional dan menoton tak lagi disukai masyarakat dan mulai
ditinggalkan. Salah satu pendekatan penting yang saat ini perlu diadaptasi
pembelajaran Islam adalah inkorporasi nilai-nilai Islam dalam ruang digital.
Alasannya logis. Jumlah penduduk Indonesia kini didominasi usia produktif
dengan kecenderungan yang amat tinggi terhadap teknologi. Menurut
laporan Tetra Pak Index 2017, terdapat sekitar 132 juta pengguna internet
di Indonesia, dan sebagian besar di antaranya adalah pengguna aktif
media sosial (medsos).
Sementara itu survei Center for
Muhammad Adam meraih Master of Strategic and International Studies
Education dari Flinders University
(CSIS) pada Agustus 2017 tentang
Australia pada 2016. Sewak tu
mahasiswa, Adam meraih beasiswa
“Orientasi Sosial, Ekonomi dan
Indonesia English Language Study Politik Generasi Milenial” juga
Program (IELSP) di Ohio University, menunjukkan, sekitar 54.3%
USA, tahun 2010. Saat ini Adam milenial mengaku setiap hari
bek erja di Kedutaan Besar Australia membaca media online (dari total
sebagai program officer DFAT- 600 sampel). Data ini menjadi
Governance and Human Development bukti, betapa penting teknologi
Branch. Di tulisan ini, Adam memotret digital sebagai ruang dakwah yang
fenomena dak wah digital yang massif dan strategis. Dibutuhkan
diperank an para ustadz k ek inian, strategi dan pendekatan berbeda
seperti Ust Abdul Somad dan Ust
dalam berdakwah di era digital ini.
Hanan Attak i. Baginya, jik a tak ingin
ditinggalk an jamaah, ngaji ‘zaman Beberapa ustadz terbukti mampu
now’ memang harus sadar digital. menarik hati masyarakat karena
dakwahnya yang sadar digital.
Sebut saja Ustadz Abdul Somad dari Pekanbaru yang happening di tahun
2017. Padahal, jika diperhatikan, Ust Somad jarang tampil di televisi-
televisi nasional seperti halnya dai-dai kondang pada generasi
sebelumnya.
Ust Somad berasal jauh dari ibu kota di mana industri media mainstream
berpusat. Kesempatan terekspos media tentu lebih kecil. Faktanya, hampir
semua warganet mengenal Ust Somad. Jutaan pengguna medsos
mengonsumsi ceramahnya. Selain faktor pembawaan yang sederhana dan
gaya yang nyentrik, rahasia popularitas Ust Somad adalah pelibatan media
digital yang digarap serius untuk berdakwah.
Tak tanggung-tanggung, Ust Somad memiliki tim media khusus yang selalu
siap merekam, mengolah, lalu menyebarkannya via medsos. Bahkan, tak

10
sedikit penikmat pengajian Ust Somad yang mengedit ceramahnya menjadi
potongan-potongan video pendek. Sengaja dipilih bagian-bagian yang
memuat poin-poin penting, yang menggugah emosi dan spiritual. Ditambah
lagi kemampuan mereka memberi judul video yang provokatif dan eye-
catching. Tak heran jika video-video Ust Somad mendapat views mencapai
puluhan ribu hingga jutaan.
Berdasarkan temuan AJP-Media, tim media Ust Somad mampu meraup
rupiah hingga 50 juta setiap bulannya dari youtube, lantaran jumlah
pelanggan setianya yang mencapai ratusan ribu. Hal itu secara kasat mata
bisa dilihat dari subscribers kanal youtube Tafaqquh, yang aktif
mengunggah video-video ceramah Ust Somad. Per Desember 2017,
subscribers kanal itu melampaui 128k.
Selain strategi digital, permainan citra ustadz juga memiliki daya tarik
tersendiri bagi kalangan milenial. Misalnya, penampilan ustadz yang gaul
cenderung lebih mudah diterima
kalangan muda. Contoh yang pas
dalam konteks ini yaitu Ustadz Hanan
Attaki dari Aceh, yang saat ini Permainan citra ustadz
berdomisili di Bandung. memiliki daya tarik
tersendiri bagi kalangan
Gaya Ust Hanan dengan topi kupluk, milenial. Gaya Ustadz
kemeja flanel, dan celana kasual Hanan Attaki dengan topi
menjadi strategi jitu memikat kaum kupluk, kemeja flanel, dan
milenial. Mungkin tampak tak biasa celana kasual menjadi
bagi dai mainstream, karena umumnya strategi jitu memikat
penceramah tampil serba putih, kalangan ini. Ust Hanan
berjubah, atau dengan sarung dan paham betul selera kaum
peci hitam. Saya yakin, apa yang Muslim milenial,
dilakukan Ust Hanan bukan sekadar karenanya ia berupaya
faktor pribadi, tapi sebagai upaya tampil sesuai konteks.
adaptasi budaya pop khas era digital.
Karena zaman kian kekinian, milenial
tak suka kebiasaan monoton. Mereka lebih suka melawan tradisi, anti-
establishment. Ust Hanan paham betul selera kaum Muslim milenial,
karenanya ia berupaya tampil sesuai konteks. Tak heran jika kemudian Ust
Hanan memiliki jamaah setia yang tidak kalah banyaknya dibanding Ust
Somad, terutama dari kalangan remaja.
Selain Ust Hanan dan Ust Somad, kanal youtube AmmarTV juga menarik
dicermati. Kanal ini per Desember 2017 memiliki lebih dari 300k
subscribers. Kanal ini benar-benar sadar digital, karena mampu
memadukan dakwah dan bisnis melalui medsos. Mereka menyadari,
banyak generasi Muslim milenial yang senang dengan anak muda pandai
mengaji dengan lantunan suara indah seperti Muzammil Hasballah.
Dengan rekaman-rekaman al-Quran yang diunggah, menurut AJP-Media,
kanal AmmarTV mampu menghasilkan uang hingga 250 juta per bulan.

11
Pada level internasional, ada Ustadz Nouman Ali Khan yang
memanfaatkan teknologi dalam berdakwah. Pendiri Bayyinah Institute yang
berbasis di Amerika Serikat ini memiliki pengikut dari seluruh dunia. Ia
sering diundang ceramah di berbagai negara. Pertanyaannya, apa yang
membuat Ust Nouman memiliki panggung dakwah di berbagai belahan
dunia?
Selain penguasaan bahasa Inggris dan kemampuan menyederhanakan
linguistik al-Quran bagi kalangan awam, pemanfaatan media digital
sebagai sarana dakwah yang telah ia lakukan bertahun-tahun menjadi
rahasia sukses dakwahnya. Nouman intens melakukan seminar via website
(webinar) mengangkat beragam topik, utamanya tema-tema dakwah
dengan logika sederhana dan mudah dipahami.
Tantangan Dai ‘Zaman Now’
Zaman berubah dengan sangat cepat. Batas geografis tak lagi menjadi
penghalang berinteraksi dan
berkomunikasi. Kejadian yang
sedang berlangsung (live) bisa Ada kelompok yang
dinikmati siapa saja, kapan saja dan memanfaatkan media digital
dari mana saja. Sebut saja live untuk menyampaikan
streaming via facebook ceramah pemahaman ekstrem dan
Ustadz Adi Hidayat di Masjid Al-Ihsan memecah belah umat.
Jakapermai Kota Bekasi. Terciduknya kelompok
penyebar hoax Seracen
Ceramah Ust Adi tidak hanya adalah salah satu bukti,
dinikmati mereka yang hadir secara bagaimana agama menjadi
fisik saja. Ada puluhan ribu jamaah alat kepentingan
‘gaib’ lainnya yang menikmati materialistik dan politik.
ceramahnya. Belajar dan bertanya
secara interaktif dengan sang ustadz
menggunakan perangkat
smartphone. Tidak berlebihan jika dikatakan, masyarakat Muslim sekarang
begitu senang mengaji bersama ustadz ‘Google’. Karena begitulah
faktanya.
Dalam situasi ini, para dai memang dituntut inovatif dan kreatif dalam
berdakwah. Dari sisi konten dibutuhkan kemampuan menyuguhkan materi-
materi kontemporer dan selaras zaman. Persoalan umat zaman sekarang
kian kompleks, mulai dari urusan ibadah hingga politik dan ekonomi.
Dibutuhkan kemampuan menjawab berbagai persoalan ‘zaman now’.
Hemat saya, para ulama dan cendekiawan Muslim harus hadir memberikan
petunjuk dan solusi. Jika tidak, umat akan mencari sendiri di dunia maya.
Faktanya, ada kelompok yang memanfaatkan media digital untuk
menyampaikan pemahaman ekstrem dan memecah belah umat.
Terciduknya kelompok penyebar hoax Seracen adalah salah satu bukti,
bagaimana agama menjadi alat kepentingan materialistik dan politik.
Di sinilah tantangan para tokoh Muslim menghadirkan pemikiran-pemikiran
moderat yang disebar di dunia maya. Kemasan materinya juga harus

12
dibungkus dengan pesan-pesan pendek, kreatif dan sederhana. Ciri
milenial Indonesia adalah tidak suka yang panjang dan monoton. Survei
terkini CSIS menunjukkan, minat baca tulis milenial Indonesia sangat
rendah.
Menurut survei itu, hanya 5,3% milenial minat membaca dan 0,8% minat
menulis dari total 600 sampel. Kondisi ini menantang para pendidik dan
penceramah mengubah materi panjang dan rumit menjadi menarik dan
singkat. Misalkan video-video singkat yang menjawab persoalan umat atau
melalui infografis yang didesain eye-catching.
Pola pembelajaran sudah berubah. Toa mesjid dan mushalla tak lagi satu-
satunya media memanggil orang mendengar pengajian. Sekarang, telepon
genggam yang mungil jauh lebih berkuasa. Jika dulu orang dilarang
menggunakan telepon genggam saat pengajian, sekarang justru
dianjurkan. Saat pengajian berlangsung, ratusan status disebar di medsos
berisi poin penting yang disampaikan ustadz di majelis tersebut. Status-
status itu kemudian dibaca puluhan ribu pengguna medsos lainnya. Karena
itu, cara melihat telepon genggam harus diubah dari 'pengganggu' menjadi
alat yang membawa 'pengaruh'.
Tempat orang belajar sudah berpindah dari balai pengajian, masjid dan
musholla ke dunia maya. Mereka belajar mengaji di mana saja, tidak
terbatas di masjid dan majelis pengajian. Saat mengantri di bank,
menunggu jadwal penerbangan, atau sedang dalam perjalanan, orang
dengan mudah mengeksplor kebutuhan Islam mereka.
Jika ustadz, guru ngaji, para penceramah atau dai tidak jeli melihat
perubahan ini. Jika mereka tidak mempersiapkan strategi-strategi jitu untuk
bersahabat (bukan melawan arus) dengan dunia digital, maka hanya
masalah waktu, mereka akan ditinggalkan jamaah. Karena ngaji ‘zaman
now’ memang berbeda. Ngaji ‘zaman now’ haruslah kekinian.

13
Gaya Belajar Agama, Dari Konvensional ke
Digital

Oleh RITA PRANAWATI

Perubahan sosial begitu cepat merambah berbagai aspek kehidupan kita.


Teknologi menjadi salah satu faktor penentu perubahan itu. Ia
mempengaruhi kehidupan masyarakat, terutama anak muda yang memang
amat dekat dengan teknologi, khususnya teknologi komunikasi. Mereka
yang dalam konteks kekinian disebut sebagai generasi milenial.
Kekhasan generasi milenial adalah kelekatannya dengan media sosial
(medsos) dan dunia digital. Tak heran jika seluruh aspek kehidupan
mereka tak pernah lepas dari gawai. Berdasarkan “Survei Penetrasi dan
Perilaku Pengguna Internet Indonesia” yang dilakukan Asosiasi
Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2016, sekitar 75%
generasi milenial menggunakan
Rita Pranawati adalah k omisioner internet, dan 97% di antaranya
sek aligus wak il k etua Komisi memanfaatkannya untuk medsos.
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Selain itu, 81% menyetujui medsos
periode 2017-2022. Ia meraih Master sebagai sarana berdakwah.
of Arts di bidang sosiologi dari
Monash University Australia dan Dunia dalam genggaman. Kira-kira
Magister Agama dari Interdisciplinary begitulah gambaran generasi ini.
Islamic Studies UIN Syarif Mereka mencari informasi dan
Hidayatullah Jak arta. Di tulisan ini, belajar apa saja dari internet.
Rita mengungk ap gaya belajar agama Sejak belia, mereka sudah teramat
anak muda milenial yang bergeser,
dekat dan familiar dengan layar
dari k onvensional k e digital. Anak
muda yang begitu lek at dengan media
sentuh dan gawai. Gawai ibarat
sosial, menurutnya, sangat menyuk ai kotak ajaib tempat mereka
k onten dak wah yang instan, prak tis bertanya apapun. Informasi bisa
dan menyenangk an, dengan musik didapat tanpa saringan, tanpa
dan visual yang menggugah emosi. filter. Baik hal-hal positif maupun
negatif. Dunia tanpa batas, dunia
tak terkendali. Begitulah Anthony Giddens menggambarkan. Bahwa
interaksi sosial antar manusia dapat dipengaruhi kejadian-kejadian di
tempat lain, melintasi batas ruang dan waktu.
Generasi milenial tentu saja merasakan betul dampak itu. Banyak anak
muda milenial yang merujuk pada sumber-sumber digital dalam beragama,
baik dalam mencari informasi kegamaan, maupun untuk berdakwah.
Tulisan ini akan membahas bagaimana generasi milenial memanfaatkan
kelekatannya dengan dunia digital dalam mencari informasi keagamaan.
Sumber Belajar Agama Anak Muda
Dari perbincangan saya dengan 51 aktivis usia 17 hingga 24 tahun pada
rentang waktu akhir September hingga akhir Oktober 2017 di Jakarta, saya

14
menemukan bahwa 90 persen anak muda aktif menggunakan medsos,
minimal facebook dan atau instagram. Mereka juga terbiasa mencari
sumber informasi keagamaan dari youtube.
Mengapa anak muda milenial senang menggunakan medsos dalam
mencari informasi keagamaan? Sebagian menjawab, lantaran
menggunakan media sosial lebih simpel, tidak ribet, dan memberikan
jawaban secara cepat kebutuhan mereka. Mereka tak perlu lagi pergi
bertanya untuk menemukan jawaban atas rasa penasaran mereka akan
suatu masalah agama yang ingin diketahui.
Dari metode mencari informasi pengetahuan agama ala generasi milenial
tersebut, ada beberapa prinsip yang terlihat. Pertama, situasi instan. Ketika
sedang penasaran, saat itu pula anak muda milenial ingin segera
mendapat jawabannya. Ketika harus bertanya ke guru, kyai atau ustadz,
mereka tidak selalu langsung mendapat informasi yang diharapkan. Masih
ada jeda waktu yang dibutuhkan bagi mereka untuk mendapatkan jawaban.
Sedangkan dengan bertanya via search engine, saat itu pula mereka
menemukan jawaban.
Kedua, mereka mencari informasi Ketika sedang penasaran,
keagamaan berbasis kebutuhan. saat itu pula anak muda
Ketika mencari topik tertentu, misalnya milenial ingin mendapat
tentang bagaimana membayar zakat, jawabannya. Ketika harus
mereka cukup mengetikkan kata-kata bertanya ke guru, kyai atau
“membayar zakat” pada search engine ustadz, masih ada jeda
lalu segera keluar berbagai tulisan waktu yang dibutuhkan
tentang cara membayar zakat. untuk mendapatkan
Pengetahuan yang didapatkan jawaban. Sedangkan
berbasis kebutuhan ini membuat anak dengan bertanya via search
muda merasakan nyaman karena rasa engine, saat itu pula mereka
ingin tahunya cepat terjawab. menemukan jawaban.
Dalam situasi ini, tidak ada paksaan
harus belajar bagian dari ilmu agama
lain. Misal jika sedang ingin tahu tentang membayar zakat, maka ia tak
perlu mendapatkan penjelasan tentang sholat jenazah. Berbeda sekali
dengan situasi pengajian tatap muka. Isi pengajiannya belum tentu sesuai
dengan harapan yang ingin diketahui. Apalagi, jika model pengajian tak lagi
kekinian ala anak muda. Situasi ini sangat mungkin kian menjauhkan anak
muda dari pengajian formal.
Ketiga, mencari informasi keagamaan di medsos lebih praktis. Misalkan
anak muda tidak bisa hadir di pengajian yang ingin mereka ikuti, maka
mereka dapat mengikuti pengajian itu secara live di instagram maupun
facebook. Bagi anak muda milenial, mereka tidak perlu menghabiskan
waktu bermacet-macet untuk pergi ke seorang ustadz. Generasi muda ini
cukup mengikuti dan menonton dari medsos di manapun dan kapanpun.
Mereka dapat menonton video itu jika saat luang.

15
Keempat, belajar agama dengan bahagia. Begitulah anak muda milenial.
Mereka mencari yang sesuai dengan hatinya, termasuk yang membuat
mereka happy dan fun. Ketika mereka merasa sudah cocok dengan ustadz
tertentu, mereka tinggal menjadi follower instagram ustadz tersebut.
Mereka dengan sukarela mencari informasi tentang tokoh idola. Mereka
juga akan mencari kanal youtube dari ustadz yang dianggap cocok
pendapatnya dengan pola pikir mereka. Mereka dengan aktif mencari
informasi tentang ustadz dan ustadzah idolanya karena mereka melakukan
itu dengan senang hati.
Dari Konvensional ke Digital
Anak muda milenial terlihat memiliki kecenderungan berbeda dalam hal
pilihan otoritas keagamaan. Meskipun pengajian klasik, mulai dari
pengajian dalam kelompok kecil di masjid, pengajian rutin, dan pengajian
akbar masih didatangi, namun membuka medsos untuk mencari sumber
informasi belajar agama lebih sering dilakukan.
Dengan kemudahan teknologi, anak muda milenial di Jakarta juga dengan
mudah mendapatkan broadcast di mana pengajian ustadz idola mereka
akan dilakukan. Beberapa aktivis,
misalnya, mengaku rajin mendatangi
sebuah masjid di salah satu mall di Mereka sangat
Blok M Jakarta Selatan karena merasa dimudahkan dengan
cocok dengan ustadz tertentu. teknologi untuk belajar
agama melalui pilihan-
Dari tren cara mencari sumber belajar pilihan yang tersedia di
agama, anak muda milenial mulai medsos dan ruang digital.
menggeser otoritas keagamaan Video pendek berdurasi
konvensional ke arah digital. Mereka kisaran satu menit dari
sangat dimudahkan dengan teknologi ustadz atau ustadzah idola
untuk belajar agama melalui pilihan- dengan iringan musik yang
pilihan yang tersedia di medsos dan menyentuh menjadi pilihan
search engine. Video pendek berdurasi
yang mengena di hati.
kisaran satu menit dari ustadz atau
ustadzah idola dengan iringan musik
yang menyentuh menjadi pilihan yang
mengena di hati mereka. Visual di medsos menggambarkan secara hidup
bagaimana pengajian berlangsung. Penggambaran visual ini lebih mudah
diterima oleh generasi milenial.
Anak muda milenial memilih ustadz idola di antaranya terpengaruh teman-
temannya, atau secara tak sengaja menemukan ustadz yang dianggap
cocok ketika mencari di search engine. Soal isinya seperti apa dan
bagaimana belum menjadi syarat dalam memilih sumber belajar agama.
Padahal jika menilik isinya, tak semua ustadz atau grup dakwah yang
diikuti itu mendorong ke arah Islam rahmatan lil ‘alamin.
Berdasarkan observasi saya di lapangan, salah satu ustadz yang disebut
oleh seorang aktivis organisasi kerohanian Islam (Rohis) adalah ustadz
yang menyebut musik itu haram. Seorang aktivis perempuan bahkan

16
mengunggah video dari seorang ustadz terkenal yang mengungkapkan
bahwa bagi perempuan, sekolah dan bekerja yang menghasilkan uang
bukanlah jalan yang perlu dicari di dunia.
Menurut ustadz yang banyak menjadi idola anak muda itu, sholat lima
waktu, puasa Ramadhan dan melayani suaminya adalah kunci surga. Dari
sekian banyak aktivis yang saya wawancarai, tidak banyak aktivis yang
merasa perlu berhati-hati atau menanyakan kembali pada ustadznya
sebuah tontonan di medsos. Menurutnya, kebenaran dari tayangan
tersebut tak perlu diverifikasi.
Melihat masifnya dakwah di medsos, sudah seharusnya para aktivis
menyadari bahwa perlu pembekalan literasi media yang baik bagi anak
muda. Anak muda perlu dibekali bagaimana modus operandi medsos
bekerja. Sikap kritis, berpikir logis, menanyakan ulang, melakukan
komparasi, sangat dibutuhkan generasi muda dalam mencari sumber
informasi keagamaan.
Counter narasi pun penting dilakukan kalangan Muslim moderat sebagai
alternatif media pilihan panutan anak muda. Alih-alih menambah ilmu
agama, jika tersesat di jalan lain, anak-anak muda yang mengakses ilmu
agama via digital bisa saja terjerumus pada gerakan radikal yang tidak
sejalan dengan Islam yang progesif. Wallahu a’lam bis-showab.

17
Sanad Keilmuan di Tengah Ustadz Google dan
Pengajian Online

Oleh ALA’I NADJIB

Pada zaman digital dan era medsos seperti sekarang ini, dunia ada dalam
kotak persegi panjang yang dapat digenggam setiap saat, handphone.
Darinya, manusia melihat apa yang terjadi di belahan dunia yang bermil-mil
jauhnya. Menjadi sangat dekat. Tak hanya bisa disaksikan, tapi juga bisa
menghadirkannya dalam ruang kehidupan kita. Seperti ingin menikmati
kuliner, ingin berlibur atau membeli barang-barang yang dibutuhkan.
Dengan hanya “nutul” layar kaca itu, semua akan sampai depan pintu
rumah, tak perlu bermacet-macet atau mengantri.
Pertanyaannya, apakah semua relasi manusia saat ini berwujud digital?
Dan apakah media digital itu bisa menyelesaikan semuanya? Salah satu
relasi manusia adalah proses belajar. Harus diakui, saat inipun proses
belajar mengajar sudah banyak berbasis e-learning. Begitu pula dengan
gelaran ilmiah; konferensi, seminar,
Ala’i Nadjib adalah peraih gelar dialog, dan interview yang tidak
master di bidang k ajian Islam dari menyaratkan tatap muka langsung.
Leiden University Belanda dan saat Revolusi teknologi telah banyak
ini tengah menempuh studi dok toral membuat manusia lebih mudah
di UIN Syarif Hidayatullah Jak arta. dengan urusannya.
Selain mengajar di FISIP UIN dan
STAINU Jak arta, Ala’i juga menjabat Lantas, bagaimana dengan belajar
wak il k etua PP Lak pesdam PBNU. agama? Jika dulu kita harus datang
Di tulisan ini, Ala’i menyoal rujuk an pada guru, ustadz atau kyai untuk
k alangan milenial dalam belajar bertanya soal agama, maka peran
Islam yang k erapk ali disandark an itu sekarang banyak digantikan oleh
pada hasil penelusuran google. ustadz google. Ya, google. Dengan
Baginya, k ecenderungan ini hanya mengetikkan kata kunci di
membuat pengetahuan agama yang
mesin pencarian, topik yang kita
diperoleh menjadi tidak utuh dan
tanpa sandaran sanad k eilmuan
inginkan langsung muncul begitu
yang k ok oh. saja. Sangat mudah bukan?
Sekarang ini, semangat mencari
dan berbagi ilmu agama via online sedang ngetren. Mereka bisa
menuliskan, merekamnya dan mengunggahnya di youtube atau dengan
cara siaran langsung, live streaming.
Karena mudahnya akses belajar agama, mudahnya mencari jawaban atas
persoalan keagamaan, kita menjadi seperti berbelanja di pasar bebas. Kita
ibarat datang ke supermarket yang menjajakan dagangannya. Bedanya,
barang-barang yang dijual di supermarket sudah selected dan konsumen
mudah memilihnya karena kasat mata.

18
Berbeda dengan pengetahuan agama yang bersifat ilahiyah, sehingga
terbuka akan ruang penafsiran. Karena keterbukaannya ─yang sebenarnya
sudah terjadi sejak zaman dulu─ para pengakses mendapat banyak
argumentasi keagamaan yang amat beragam. Dari yang bertutur lembut
hingga yang bernada tinggi, sehingga tampak seperti marah-marah, seolah
benar sendiri. Bila beruntung, konsumen juga bisa berdialog online,
langsung dengan sang ustadz.
Dulu, setiap proses pencarian ilmu agama, ada perjumpaan antara guru
dan murid. Bahkan, terhadap informasi yang diterima, terkadang perlu
dikonfirmasi hingga bertahun-tahun. Muhaddist agung, Imam Bukhari
misalnya, lebih dari 16 tahun berkeliling untuk memastikan kedudukan,
kepastian dan kebenaran suatu berita dari Nabi SAW.
Bandingkan dengan generasi zaman sekarang yang begitu mudah mem-
forward kabar berita nyaris tanpa klarifikasi. Berita-berita yang di-share itu
meliputi berbagai jenis informasi, termasuk soal agama. Pegalaman
penulis, banyak pembaca yang langsung percaya ketika membaca kabar
berita baru. Apalagi, jika tidak ada yang mengklarifikasinya. Kemudahan
akses informasi via gawai itulah faktor penyebabnya. Kemajuan teknologi
agaknya telah mengikis ruang-ruang
sakral dan privat menjadi sangat terbuka.
Siapa saja bisa mengakses. Inilah pasar Ulama besar Imam Syafií
bebas itu. Ironisnya, sejumlah media bias mengatakan, tiada ilmu
pemberitaannya, sangat bergantung tanpa sanad. Sementara
siapa pemiliknya. Bukan lagi itu Imam al-Tsauri
mengedepankan kaidah-kaidah menganalogikan,
jurnalistik. menuntut ilmu tanpa
Bagaimana dengan pengetahuan sanad bagaikan
agama? Sektor ini pun tak luput dari seseorang yang ingin
kecenderungan tersebut. Masyarakat menaiki atap rumah
terkotak-kotak dengan ustadz idolanya tanpa tangga.
masing-masing. Sering pula muncul,
labelling terhadap ustadz atau tokoh
tertentu hanya didasari status-status orang yang tidak menyukainya, bukan
dari referensi pengetahuan agama. Pendek kata, agamaku dari guru digital
dan status online.
Dialog tak lagi terjadi antara sang murid dan sang guru, lantaran para
pembelajar agama itu nyaris tidak mengalami perjumpaan dengan gurunya.
Seringkali penulis jumpai, dalam informasi-informasi keagamaan itu, sang
ustadz hanya menampilkan foto dirinya, atau malah tidak sama sekali.
Hanya tanya, lalu jawab. Jarang juga di media sosial seorang ustadz atau
ustadzah menjelaskan latar pendidikannya. Kalau pun ditampilkan,
pembaca mungkin tak sempat membacanya. Karena yang mereka
perlukan, hanyalah jawaban atas masalah keagamaan yang mereka
gusarkan.
Benarkah dalam belajar agama, seseorang harus mempunyai sambungan
pengetahuan yang bisa dipertanggungjawabkan? Jawabnya tentu saja ya.

19
Pengetahuan yang diperoleh hendaknya tersambung sampai pada Nabi
SAW. Karena dari sanalah pengetahuan agama pertama kali diperoleh.
Ulama besar Imam Syafií mengatakan, tiada ilmu tanpa sanad. Begitupun
kata sang Imam al-Tsauri, “Menuntut ilmu tanpa sanad bagaikan
seseorang yang ingin menaiki atap rumah tanpa tangga.”
Selama ini, mungkin kita hanya mengenal sanad dalam literatur hadis.
Sanad dimaksudkan sebagai hasil pelacakan otentik terhadap perawi atas
kekuatan perolehan matan atau redaksi hadis dari Nabi SAW. Sanad juga
bisa dimaksudkan sebagai ketersambungan pengetahuan dari seseorang
kepada gurunya, hingga pada Nabi SAW.
Menuntut ilmu di zaman milenial dianggap tidak praktis kalau harus selalu
bertemu sang ustadz. Apalagi, rasa ingin tahu anak muda itu begitu kuat,
dan harus segera menemukan jawabannya. Keingintahuan generasi
milenial ini dijawab pasar bebas digital dengan google yang
menghidangkan santapan spiritual yang siap dilahap pembacanya.
Namun, muatan-muatan spiritual itu
bisa saja menghadirkan interpretasi-
interpretasi yang berbeda-beda. Menuntut ilmu di zaman
Persoalan agama tidaklah cukup milenial dianggap tidak
dengan bacaan-bacaan bebas di praktis kalau harus selalu
dunia online. Hal itu karena sang bertemu sang ustadz.
ustadz seringkali meninggalkan teks- Apalagi, rasa ingin tahu
teks bacaan itu begitu saja dan tak anak muda itu begitu kuat.
bisa didialogkan. Kalaupun ada menu Keingintahuan generasi ini
tanya jawab online, para ustadz itu dijawab pasar bebas digital
pun tidak selalu bisa online dan dengan google yang
langsung menjawab pertanyaan- menghidangkan santapan
pertanyaan mereka. spiritual yang siap dilahap
pembacanya.
Apa yang tersurat dalam bacaannya
kadang belum bisa dipahamkan,
karena itu perlu ditanyakan.
Kehadiran ustadz atau guru dipandang penting, agar seseorang tidak
berguru kepada benda mati. Almarhum Habib Munzir bin Fuad al-Musawa
(wafat 2013) pemimpin majelis dakwah yang banyak digandrungi anak-
anak muda itu pernah memberi nasehat tentang pentingnya guru;
“Orang yang berguru kepada buku saja maka ia tidak akan menemukan
kesalahannya. Karena buku tidak dapat menegur, sedangkan guru bisa
menegur jika ia salah. Jika tidak paham, ia bisa bertanya. Sebaliknya, pada
sebuah buku, jika pembacanya tidak faham, ia mungkin hanya terikat pada
pemahamannya sendiri. Karena itu, seseorang haruslah punya guru,
tempat ia bertanya. Guru juga bisa menegurnya jika ia salah memahami.”
Guru bukan saja soal kekayaan ilmu tapi juga soal keteladanan. Kita tak
hanya mempelajari pengetahuan yang dimilikinya, tapi juga perilaku dan
keteladanannya. Artinya, kecenderungan bertanya soal agama via medsos

20
tanpa mencermati siapa yang membawanya dan mengkonfirmasi isinya
merupakan hal-hal yang mestinya dihindarkan.
Kyai Online, Santri Online
Kini, seiring kemajuan zaman, sang ustadz bisa menjumpai komunitas
online murid-muridnya, tanpa harus didatangi ke majelis pengajian atau ke
rumahnya. Lihatlah model pengajian online dengan kyai online (KO). Ambil
contoh Ulil Abshar Abdalla dengan pengajian kitab Ihya Ulumudin-nya,
yang melakukan kopi darat dengan santri-santri onlinenya.
Di sinilah sanad online bertemu, karena pengajaran agama sangat mudah
diakses, gurunya bisa ditemui, kapabel dan bisa merespon murid-
muridnya. Sang murid atau santri juga bisa bertanya di mana dan
bagaimana gurunya atau dainya memperoleh ilmu pengetahuan.
Berikut ini beberapa leaflet yang menunjukkan trend ngaji online:

Atau ajakan mengaji seperti ini:

Demikianlah gairah generasi milenial mengaji sekarang ini. Tantangan ini


perlu dijawab dengan tepat, dengan menyediakan guru-guru mengaji yang
dapat terpercaya sanad keilmuan dan silsilah gurunya. Agar pengajian
agama benar-benar menjadi rahmat bagi semesta. Wallahu a’lam bish-
shawab.

21
Ketika Otoritas Dakwah Berubah Haluan

Oleh AI FATIMAH NUR FUAD

Dakwah merupakan bagian penting dalam Islam. Sepanjang sejarah Islam,


setelah wafatnya para nabi dan rasul, tugas dakwah diemban para ulama
yang mumpuni dan teruji di bidang ilmu-ilmu keagamaan. ‘Al-ulama’
waratsatu al-anbiya’, ulama adalah pewaris para nabi. Demikian hadist nabi
yang menunjukkan bahwa ulama memiliki otoritas keagamaan yang kuat
setelah nabi Muhammad SAW.
Peran ulama amatlah penting untuk memberikan wawasan keislaman yang
komprehensif di kalangan Muslim. Sebagai rujukan dan tempat bertanya
umat, ulama haruslah orang-orang yang otoritatif dalam berdakwah; yaitu
mereka yang telah mendalami keilmuan Islam dalam jangka waktu cukup
lama dan tidak instan, dari sanad atau lembaga pendidikan keagamaan
terpercaya. Selain kedalaman ilmu, mereka juga haruslah berkepribadian
Islami yang tercermin dalam kata dan laku sehingga bisa menjadi tauladan
bagi masyarakat luas.
Namun, di era digital, dakwah
Ai Fatimah Nur Fuad meraih PhD di terus mengalami transformasi.
University of Leeds, Inggris, pada Baik dari aspek penyampai pesan
2017. Minat utama riset dosen maupun kontennya. Bagaimana
UHAMKA ini adalah Islamisme,
gerak an dak wah k ontemporer dan
tidak, di era ini, banjir saluran
peran Islam di ruang publik . Ai juga informasi keagamaan tak bisa
pernah mengik uti program Religion dihindari. Terlebih melalui sosial
and Society: a Dialogue (RSD) di media (sosmed) seperti instagram,
Amerik a Serik at pada 2008. Di tulisan facebook, youtube, twitter, line,
ini, Ai mengangk at tentang maupun link-link pesan instan di
bergesernya otoritas k eagamaan di grup-grup whatsapp. Konten-
era digital, utamanya lantaran konten agama menyebar tanpa
munculnya fenomena yang ia sebut filter.
sebagai ‘Islam pamflet’. Yak ni Islam
dengan k emasan sederhana, singk at, Alhasil, banyak ‘ulama instan’
dan menarik , yang k emudian menjadi bermunculan dan menjadi populer
k omoditas yang lak u diperjualbelik an.
lantaran saluran-saluran itu. Para
‘ulama instan’ dengan segala
‘pengetahuan agama’ yang dibawanya itu bermunculan tanpa kontrol dan
telah sukses menciptakan ‘Islam pamflet’; yakni Islam yang dikemas
sederhana, singkat dan menarik. Persis seperti pesan di pamflet. ‘Islam
pamflet’ sudah menjadi komoditas yang diperjualbelikan, baik dalam
industri hiburan maupun kegiatan-kegiatan keagamaan di tengah
masyarakat Muslim Indonesia.
Para penerima pesan dakwah (mad’u), terutama generasi muda di
perkotaan banyak yang tertarik mendengarkan dan mempraktekkan ‘Islam
pamfet’ ini. Mereka menjadikan ‘ulama instan’ hasil olahan medsos itu

22
sebagai rujukan utama dalam keseharian mereka. Sayangnya, sejumlah
pesan itu tak senantiasa sejalan dengan nilai-nilai Islam yang berlandaskan
al-Qur’an, hadits dan nafas Islam yang rahmatan lil-‘alamin.
Kecenderungan ‘Islam pamflet’ ini terutama sekali sangat berpengaruh
pada kalangan muda Muslim atau populer disebut generasi milenial. Hal ini
terjadi karena peran medsos amat kuat dan tak terpisahkan dalam
keseharian mereka. Menurut survei Center for Strategic and International
Studies (CSIS) pada 2017, generasi muda Indonesia adalah generasi
muda yang paling aktif di medsos dibanding negara-negara lain di Asia,
yaitu sebesar 87,4%.
Selain itu, survei the Wahid Foundation (2016) terhadap 1.600 siswa di
wilayah Jabodetabek juga memperkuat temuan CSIS tersebut. Sebanyak
38% siswa SMA sederajat yang aktif di kegiatan rohani Islam (Rohis)
mengunakan instagram setiap hari dan 14% di antaranya menggunakan
linkedin setiap hari.
Temuan ini membuktikan, betapa kuat
Mengembalikan peran
pengaruh medsos bagi Muslim milenial.
sumber keagamaan yang
Hal ini tentu berdampak terhadap pola
otoritatif di tengah
pikir dan perilaku sosial keagamaan
derasnya globalisasi
mereka. Sekaligus menunjukkan,
informasi di kalangan
bahwa sumber tertulis (buku, buletin,
Muslim milenial sangatlah
majalah), media audio visual (radio,
penting. Dari sisi generasi
televisi, CD/VCD/DVD) dan sumber
milenial, mereka harus
lisan (ustadz/muballigh/da’i) yang
‘disadarkan’ agar peka
otoritatif tetapi gagap teknologi (gaptek)
memilih ustadz atau ulama
dan gagap medsos sudah
yang mumpuni di
terpinggirkan. Tergantikan oleh mereka
bidangnya.
yang sadar medsos. Seperti
dikemukakan Zuly Qodir (2017),
generasi medsos adalah generasi yang
mudah dihinggapi rasa bosan untuk membaca dan mempelajari hal rumit.
Apalagi buku tebal dan tak menarik.
Karenanya, mengembalikan peran sumber keagamaan yang otoritatif di
tengah derasnya globalisasi informasi di kalangan Muslim milenial
sangatlah penting. Dari sisi generasi milenial, mereka harus ‘disadarkan’
agar peka memilih ustadz atau ulama yang mumpuni di bidangnya. Ulama
yang juga memiliki wawasan kemasyarakatan dan keindonesiaan serta
sudah terbiasa terjun langsung di tengah masyarakat menjadi mujahid
dakwah yang mendidik, mengajarkan dan menyebarkan pesan Islam
ramah dan damai bersumberkan pada al-Qur’an dan sunnah.
Selain itu, ulama ini juga pada saat yang sama memiliki sikap istiqomah
dalam menjaga moralnya di ruang publik. Karena saat ini, kita bisa
temukan ‘ulama’ yang hanya fasih dan merdu mengumandangkan ayat-
ayat suci al-Qur’an dan menyampaikan pesan-pesan sunnah, tetapi abai
dan lalai mempraktekannya dalam kehidupan sehari-hari.

23
Bagi ulama maupun ustadz zaman now, adalah penting untuk tak hanya
bisa berdakwah secara konvensional dari mimbar ke mimbar, dari
pengajian ke pengajian. Tetapi juga menguasai medsos dan ikut
menggunakannya dalam menyampaikan pesan dakwah yang akurat dan
mendalam namun cukup mudah dicerna generasi milenial. Peran ulama
yang seperti ini akan mengantarkan generasi milenial menjadi generasi
yang cerdas, religius, dan bertanggung jawab dalam ikut membangun
masyarakat dan bangsa indonesia yang nyaman dan damai bagi semua
kalangan.

24
Dunia Entertainment dan Lika-liku Dakwah
Kekinian

Oleh OKI SETIANA DEWI

Terekam kuat dalam ingatanku, usai aku dan teman-teman terpilih menjadi
pemeran dalam film Ketika Cinta Bertasbih (2008). Sebuah audisi film yang
konon diikuti sekitar 7000 orang dari seluruh penjuru Indonesia. Satu
persatu kami diminta bersumpah oleh sang penulis, Habiburrahman El
Shirazy.
Al-Quran diletakkan di atas kepala kami. Kami diminta menyebut nama
Allah, seraya berjanji menjaga tutur kata, tingkah laku dan cara berbusana
agar menjadi contoh terbaik masyarakat. Sebuah pernyataan yang cukup
panjang. Tiap bait kubaca dengan suara dan hati bergetar.
Saat itu usiaku masih 19 tahun. Jujur, aku tak paham apa yang akan terjadi
selanjutnya kala itu. Aku hanya anak kos dari kampung yang tiba-tiba
diminta berjanji menjadi teladan
Oki Setiana Dewi adalah pemeran masyarakat. Nyatanya, janji itulah
film Ketik a Cinta Bertasbih yang
meraih penghargaan Ak tris
yang kemudian menjadi guide kami
Pendatang Baru Terbaik dan Ak tris saat menggeluti
Pendatang Baru Wanita Terfavorit di dunia entertainment.
ajang Indonesia Movie Awards 2010. Benar adanya. Hidupku berubah
Saat ini Ok i tengah menyelesaik an S3 sekejap mata. Dari gadis tak
bidang k ajian Islam di UIN Syarif
Hidayatullah Jak arta. Di tulisan ini,
dikenal menjadi sangat populer.
Ok i mengisahk an lik a-lik u Tiba-tiba saja, wajahku menghiasi
perjalanannya saat pertama k ali billboard di jalan-jalan, majalah
bergelut dengan dunia entertainment. hingga layar kaca. Terlebih, film itu
Berdasark an pengalamannya, Ok i manyabet lima penghargaan
menilai dunia entertainment sebagai sekaligus pada Indonesia Movie
lahan dak wah strategis k arena film Awards 2010.
dan tayangan televisi memilik i
jangk auan audiens yang sangat luas. Aku sendiri meraih dua
penghargaan di ajang itu; sebagai
aktris pendatang baru terbaik dan aktris pendatang baru wanita terfavorit.
Masih kuingat wajahku yang menunduk, tatkala puluhan blitz kamera
tertuju padaku, mencoba mengabadikan segala gerak-gerikku. “Siapa aku
kini ya Rabb,” bisikku lirih.
Perlahan, aku, si gadis belasan tahun itu, larut dalam permenungan.
Tergugah oleh kesadaran, menelusuri arti diciptakannya diriku. Terlintas
surat Adz-Dzariyat ayat 56, bahwa Allah menciptakan manusia untuk
menyembah-Nya. Juga surat Al-Baqoroh ayat 30, bahwa hidup kita
hanyalah teruntuk menjadi khalifah di muka bumi.
Seringkali aku menangis pada Allah, hingga kini. Saat misalnya di sebuah
acara, begitu banyak orang hendak berfoto, sangat ingin dekat atau

25
sekadar bersalaman denganku. Kalimat lirihku, “Ini kedudukanku di dunia.
Bagaimana posisiku di mata-Mu ya Rabb. Aku dikenali oleh mereka.
Apakah aku dikenali oleh penduduk langit-Mu ya Rabb." Airmata yang
hendak menetes segera kuhapus cepat-cepat, seraya memberikan
senyuman pada mereka.
Aku ingat kisah Uwais Al-Qorni. Miskin, berpenyakit kulit, tak dikenali
siapapun. Tapi begitu meninggal dunia, berbondong orang entah darimana
datangnya, ramai mengantar jenazahnya. Merekalah para malaikat. Uwais
Al-Qorni tak cukup dikenal penduduk bumi, tapi masyhur di penduduk langit
karena kesalehannya. Lantas, bagaimana akhir hidupku nanti?
Permenungan ini membawaku pada hikmah. Aku harus istiqomah taat
pada-Nya. Aku dan seluruh hamba Allah berkewajiban terus menuntut ilmu
dan menyampaikannya. Ya, menyampaikan. Kita semua adalah dai dan
daiyah. Jika tak ingin merugi, kita
semua diminta berdakwah. Menebar
kebajikan, dengan cara kita masing- Menjadi populer atau tak
masing. Itulah filosofi dakwah. populer adalah pilihan.
Kedua-duanya baik jika
“Demi masa. Sesungguhnya manusia dipergunakan dengan baik.
benar-benar dalam kerugian, kecuali Mereka yang tak dikenal,
orang-orang yang beriman dan beramal sangat terjaga kezuhudan
saleh dan nasehat-menasehati agar dan keikhlasannya. Mereka
menaati kebenaran dan nasehat-
yang terkenal punya
menasehati supaya menetapi
kekuatan melakukan
kesabaran.” (Qs. Al-‘Ashr: 1-3).
perubahan. Suara-suara
Nouman Ali Khan menganalogikan ayat mereka cepat didengar,
ini dengan seseorang yang pingsan kehadiran mereka
dan tenggelam di laut dalam. Lalu ia dinantikan.
sadar (beriman). Ia pun berenang
sekuat tenaga ke permukaan untuk
menyelamatkan diri (beramal saleh). Tiba-tiba saja, ia tak bisa berenang ke
atas. Kakinya terikat seutas tali, terlilit dengan seorang temannya di bawah.
Teman yang dalam keadaan pingsan.
Ia pun lantas membangunkan temannya. Berusaha menyadarkannya
(menasehati dalam kebenaran). Saat temannya terbangun, mereka pun
bersama-sama berenang menuju permukaan. Namun, sang teman merasa
lelah dan memilih tenggelam saja. Seseorang ini pun memintanya bersabar
(menasihati dalam kesabaran), berjuang agar bisa selamat bersama-sama.
Ya, kita tak bisa menjadi baik sendiri. Menjadi saleh sendiri. Kita pun punya
kewajiban mengajak orang lain. Kita semua hanya “aktris dan aktor”-Nya
yang diberi peran berbeda oleh Allah. Namun tujuannya sama. “Kalian
adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia. Menyuruh pada yang
makruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman pada Allah..." (Qs. Ali
Imran: 110).
Melalui film, sinetron atau program baik di televisi, berapa juta orang bisa
berubah dalam beberapa jam saja. Nyatanya, tak semua orang senang

26
baca kitab, senang ke masjid mendengar ceramah. Ini fakta di era milenial.
Dengan menonton tayangan dakwah, misalnya, dalam sekejap pesan
terekam dalam memori. Bukan mustahil menjadi jalan baginya untuk
berhijrah.
Menjadi populer atau tak populer adalah pilihan. Kedua-duanya baik jika
dipergunakan dengan baik. Mereka yang tak dikenal, sangat terjaga
kezuhudan dan keikhlasannya. Mereka yang terkenal punya kekuatan
melakukan perubahan. Suara-suara mereka cepat didengar, kehadiran
mereka dinantikan.
Itulah sebab, harus ada yang berdakwah melalui dunia entertainment.
Chairul Umam, sutradara film Ketika Cinta Bertasbih pernah berucap,
"Harus ada Muslim profesional yang menjadi produser, Muslim yang
menjadi sutradara, penulis, sampai aktris dan aktornya. Karena kita
memiliki pesan yang harus disampaikan. Bukan sekadar berkarya
mengejar keuntungan."
Seorang penulis Palestina, Noura
Film yang memuat pesan
Mansour, menyebut bahwa media
mulia memerlukan apresiasi
visual seperti film dan tayangan
positif dari masyarakat. Jika
televisi merupakan instrumen narasi
banyak yang nonton, iklan
paling populer karena memiliki pun banyak yang masuk.
jangkauan audiens paling luas dan Produser mendapat
beragam. Film senantiasa berupaya
keuntungan, lalu membuat
mengambil hati dan pikiran
film bergenre serupa. Kalau
penontonnya, yang pada gilirannya
film tidak laku, wajar jika
menaruh simpati pada karakter-
produser lebih suka
karakter yang berperan di dalamnya
membuat film hantu-
(Middle East Monitor, 2015).
hantuan, dibumbui
Lebih jauh, Noura Mansour perempuan berpakaian
mencontohkan bagaimana terbuka.
sejumlah film Hollywood kerapkali
memanfaatkan emosi audiens
untuk melakukan propaganda. Misalnya film American Sniper (2014) yang
secara terbuka menampilkan karakter orang Arab sebagai tidak beradab,
kasar dan tak punya rasa kasih sayang. Film lain, seperti World War Z
(2013) dan Teenage Mutant Ninja Turtles (2014) juga melakukan hal
serupa, tapi dengan cara tidak begitu terbuka. Lantaran film-film itu ditonton
kalangan sangat luas, sudah tentu hal itu sedikit banyak telah
mempengaruhi pikiran masyarakat dunia.
Karena itulah, film yang memuat pesan mulia memerlukan apresiasi positif
dari masyarakat. Jika banyak yang nonton, iklan pun banyak yang masuk.
Produser mendapat keuntungan, lalu membuat film bergenre serupa. Kalau
film tidak laku, wajar jika produser lebih suka membuat film hantu-hantuan,
dibumbui perempuan berpakaian terbuka. Karena itu masih digemari.
Pasarnya jelas.

27
Sebuah pertanyaan pernah kulontarkan pada beberapa teman aktris dan
aktor. "Kalau kalian diberi peran melakukan adegan atau berpakaian tak
patut misalnya. Apakah kalian lakukan?" Jawaban pun terbagi dua. "Cmon
Oki. Aktris dan aktor haruslah profesional. Aktor dan aktris yang baik bisa
berperan apa saja. Berubah-ubah karakter pada tiap karyanya. Kamu tahu
itu kan?" Sebagian teman lain mengatakan, "Tak bisa. Bagiku menjadi
aktor atau aktris bukan sekadar pekerjaan. Aku mengemban misi dakwah
pada setiap apa yang kulakukan."
Ya, mereka yang bergelut di dunia entertainment tak bisa disamaratakan.
Dakwah saya dan teman-teman di dunia hiburan tentu tak mudah.
Beragam karakter, cara berpikir, gaya hidup, dengan segala pengaruhnya
mengitari kami. Kami berupaya sekuat tenaga agar tak terwarnai,
melainkan harus mewarnai. Itulah. Dari lubuk hatiku yang terdalam, mohon
dukung kami bila kami benar, ingatkan kami bila kami salah.
Ala kulli hal, aku tetaplah aku. Hamba Allah yang mungkin saat ini
ditakdirkan menjadi contoh, sesuai janjiku dan teman-temanku kala itu.
Neno Warisman pernah berkata pada kami, "Kelak mungkin kau akan
banyak dicintai penduduk bumi. Mereka melihatmu. Ingatlah, tutur katamu,
perbuatanmu, caramu berpakaian, semua mengandung visi dan misi. Ada
pesan-pesan Allah yang harus disampaikan dalam setiap tindakan."
Dengan segala keterbatasan, aku bersama teman-teman tertatih-tatih.
Tiada henti berhijrah, terus-menerus memperbaiki diri. Kadang terjatuh
karena lupa dan khilaf, untuk bangkit lagi menuju ketaatan. Senantiasa
berdoa, semoga Allah terus menolong dan membimbing kami. Apapun
peran kita, semoga selalu bermanfaat bagi orang lain. Khairun-nas
anfa’uhum lin-nas.

28
Sufi Milenial, Dzikir dalam Karya Kekinian

Oleh MELATI ADIDAMAYANTI

Sufi Hutata
Suka merenungi hidup dan berpikir kritis? Yuk kunjungi medsos Hujan
Tanda Tanya (Hutata). Temukan beraneka jawaban yang digarap ilmiah,
menarik plus ngepop. Jangan lewatkan video “Kenapa Kita Bohong”, “Inilah
Penyebab Orang Pamer Kemewahan di Media Sosial” yang bikin kita
senyum miris, atau “Tips Belajar Matematika dan IPA yang Ampuh” yang
meluaskan cakrawala.
Di balik Hutata ada Syarif Rousyan Fikri (25 th), pemuda cerdas yang
nyaris meraih PhD dari Nanyang Technological University, sebelum usia
25. Kenapa ia tertarik menekuni sains, teknologi dan bisnis digital? “Saya
kuliah di kampus Teknik. Di sana banyak mendapat pelajaran, mengikuti
lomba-lomba dan bergaul dengan profesor, pejabat, dan pengusaha besar.
Saya jadi tahu kalau kemajuan
Melati Adidamayanti meraih gelar suatu bangsa mustahil tanpa sains
Master of Development Management dan teknologi. Saya ingin membuat
di Asian Institute of Management, sains dan teknologi lebih mudah
Manila. Ia berpengalaman sebagai dipahami masyarakat, salah
jurnalis, penerjemah, editor, peneliti,
satunya melalui medsos.”
k onsultan dan pek erja sosial.
Pengalaman k erjanya termasuk Gairah Fikri belajar dan berkarya
mengelola proyek buk u-buk u dan dinyalakan kedekatan padaNya
pendidik an k emanusiaan di sebagai sufi. Termotivasi orang tua,
International Committee of the Red ia mengikuti tarekat
Cross (ICRC). Di tulisan ini, Melati
Naqsabandiyah, “Ada yang tidak
mengangk at tentang sufi-sufi muda
yang menghadirk an spiritualitas lengkap dengan sholat yang saya
dalam k erja, k arya dan k iprahnya. pelajari dari kecil, meski tumbuh di
Jiwa-jiwa sufi merek a terpancark an lingkungan agamis. Saya mencari
dalam ruang sosial, digital dan cara mengingat Tuhan. Di tarekat
entrepreneurship. saya temukan, lebih dari itu. Saya
pikir, mencari tarekat hanya bisa
dilakukan dengan upaya memurnikan hati dari kesombongan supaya
hidayahNya bisa masuk. Selain itu harus sungguh-sungguh mencari,
berpedoman syariat Islam. Di zaman ini orang semakin haus spiritualitas,
namun tak jarang terjerumus pada materialisme spiritual atau spiritualisme
yang melenceng dari Islam. Maka dari itu, kita perlu banyak berdoa,
mencari guru yang jelas silsilah keilmuannya dan tidak mengajarkan yang
melanggar syariat.”
Fikri lebih mendukung sufi bergaul daripada menyendiri, “Sufi sejati selalu
berusaha bermanfaat bagi semesta, sebagaimana dicontohkan Rasul.
Sedemikian pentingnya memberi manfaat sampai-sampai memudahkan
urusan seorang Muslim lebih disukai daripada beriktikaf di masjid.”

29
Meski mengundurkan diri dan tidak menyelesaikan studi doktoralnya, Fikri
tak putus asa dan malah menemukan banyak pelajaran berharga, "Dari
proses panjang studi PhD 4,5 tahun, saya berusaha memahami. Apakah
saya belajar untuk ilmu atau mengejar penghargaan manusia? Akhirnya
saya menyadari bahwa kebanyakan yang kita perjuangkan mati-matian
hanyalah alat. Padahal alat bukanlah tujuan utama. Ketika satu alat rusak,
kita dapat mencari alat lain. Tapi, ketika kita tidak tahu tujuan kita, di situlah
bencana. Saya bertanya-tanya, apa yang bisa saya perbaiki dan syukuri?
Kebanyakan kegagalan dalam hidup ini terjadi karena urusan kita dengan
Tuhan belum beres. Soal kemungkinan studi lagi, tentu saja ada.”
Ke depannya, pengagum pemikiran Joichi Ito ini bertekad membuat
perubahan-perubahan kecil di dunia pendidikan supaya orang-orang lebih
bahagia dalam belajar dan berkarya.
“Syukur-syukur kalau suatu saat bisa
membuat sekolah, universitas, dan Fikri lebih mendukung sufi
bisnis berbasis riset,” citanya. bergaul daripada
Sufi Sushi menyendiri. Baginya, sufi
sejati selalu berusaha
Meski jatuh bangun, ada bermanfaat bagi semesta,
kebahagiaan ketika jujur menekuni sebagaimana dicontohkan
passion karuniaNya. Itu dialami Rasul. Sedemikian
Septian Pradipta Rumiyanto (29 th) pentingnya memberi
yang kini menekuni Japanese Cuisine manfaat sampai-sampai
dan mengembangkan Yoiki Sushi di memudahkan urusan
Surabaya. Padahal sebelumnya, ia seorang Muslim lebih
sempat belajar di perguruan tinggi disukai daripada beriktikaf
negeri bergengsi dan sempat di masjid.
mengalami konflik batin juga dengan
orang tua. Bagi Dipta, dapur bagai
surga yang terus memanggil. Pindah
kuliah, dalam masa training ia jatuh cinta dengan Japanese Cuisine,
karena membutuhkan cita rasa dan teknik keterampilan tinggi.
“Sejak awal memutuskan jadi tukang masak, saya nggak melihat dari gaji.
Saya cuma pingin jalanin yang saya senangin. Nggak ada yang instan. Ini
pelajaran yang saya petik dari almarhum Papa. Setelah tiga tahun bekerja,
beberapa pelanggan berjilbab bertanya, ‘Mas ini pake sake mirin nggak?’.
Saya pikir, ‘Lho kenapa, toh ini arak masak. Nggak memabukkan’. Semakin
sering pertanyaan muncul, sahabat membantu menanyakan pada Kyainya.
Ternyata walaupun sake mirin tidak memabukkan tapi dilarang. Bisa
dibilang saya termasuk Muslim yang buruk, tapi soal rejeki, saya nggak
mau ada kandungan hal-hal yang dilarang Allah, khawatir nggak barokah.”
Dari situ Dipta ditantang sahabatnya untuk membuka usaha sushi sendiri
dengan bahan dan proses yang terjamin kehalalannya.
Setelah Yoiki Sushi lahir, Dipta menikah dan dikaruniai seorang putri.
”Ternyata alhamdulillah bisnis saya mengalami penurunan. Sahabat
mengajak ke satu pondok pesantren besar di Surabaya. Saya mulai sadar,
hidup ini harus seimbang akhirat dunia. Kalau nurutin dunia nggak akan

30
ada habisnya. Saya bergabung dengan Majelis Dzikir Al-Khidmah.
Beberapa pintu mulai dibukaNya; saya mendapat beasiswa coaching Teh
Irma Rahayu, bertambah luas jaringan Yoiki Sushi dengan dibantu
fotografer handal, dan kemudahan bertransaksi online.”
“Ketika terjun sebagai pengusaha saya niatkan bismillah mugi-mugi
istiqomah dalam menjaga kualitas, halal tanpa bahan sake+mirin+alkohol.
Sewaktu membuat sushi dan saus, saya bacakan shalawat atau surat-surat
pendek. Setelah ikut majelis dzikir dan banyak diskusi dengan ustadz di
pondok, saya belajar menyikapi permasalahan demi permasalahan dengan
lebih arif dan bijak,” senyumnya. Uniknya, Dipta sempat diundang kampus
terkenal yang dulu ditinggalkannya, untuk menjadi pembicara tentang kiat-
kiat keuletan.
Jiwa-jiwa Sufi Kian Dibutuhkan
Ibu Badriyah Fayumi lahir dan tumbuh dari keluarga pesantren Nahdlatul
Ulama yang sangat akrab dengan tasawuf dan tarekat. Ia pernah menjabat
sebagai anggota DPR RI dari Partai
Kebangkitan Bangsa tahun 2004-
2009 dan Ketua Komisi Perlindungan Di era milenial ini, semakin
Anak Indonesia periode 2012-2014. penting menghadirkan Allah
Sejak tahun 2003 aktif sebagai dalam kehidupan. Dengan
Redaktur Ahli Majalah NooR, dan gadget di tangan, tantangan,
kini mengelola Pesantren Mahasina ujian dan godaan tidak harus
Darul Quran Wal Hadist di Pondok kita keluar dari kamar.
Gede, Bekasi. Awal tahun 2017 Makanya, jiwa-jiwa sufi kian
beliau mengukir prestasi sebagai dibutuhkan. Gemerlap dunia
Ketua Tim Pengarah Kongres Ulama jangan membuat kita
Perempuan pertama di dunia yang tergulung di dalamnya,
dihadiri 15 negara. namun sebagai alat
“Saya memaknai tasawuf dengan mendekatkan diri pada Allah.
menghadirkan Allah dalam
kehidupan; dari mana kita berangkat
dan ke mana kita menuju. Tarekat itu salah satu tapi bukan satu-satunya
cara. Orang bisa bertasawuf dengan cara apapun. Kadang kala orang
menemukan Allah itu justru melalui ruang dan pergaulan yang ‘sangat
sekuler’.”
“Di era milenial ini, semakin penting menghadirkan Allah dalam kehidupan,
karena dengan gadget di tangan, tantangan, ujian dan godaan itu tidak
harus kita ke luar dari kamar. Makanya, jiwa-jiwa sufi semakin dibutuhkan.
Artinya orang hidup tetap dalam alam modern, tapi melihat kemajuan dan
gemerlap dunia bukan sebagai tujuan atau sesuatu yang membuat
tergulung di dalamnya, namun menjadikan dunia seisinya sebagai alat
mendekatkan diri pada Allah.”
“Saya mengapresiasi anak-anak muda yang zuhud,” tutur beliau lembut.
“Yang mengikuti tarekat biasanya berusia matang. Tapi jiwa-jiwa sufi
banyak dimiliki anak-anak dan remaja belia, hidupnya penuh ibadah, hafal

31
Al-Quran dan Hadits dan berakhlak baik. Dia sendiri mungkin tidak merasa
sebagai sufi, makanya jiwa-jiwa sufi perlu ditanamkan dari dini. Bagi
mereka yang masuk tarekat tidak boleh berhenti berproses, apalagi
menuhankan tarekat dan memandang orang di luar tarekat tidak dekat
dengan Tuhan.”
Mengenai hubungan antarmanusia dan relasi gender dalam dunia sufi,
“Sufi biasanya memandang semua manusia sama sebagai hamba Allah,
sesuai tauhid yang hanya menuhankan Allah. Bukan menuhankan atau
memperbudak manusia. Tidak ada diskriminasi ras, gender, subordinasi
kelas. Cara berpikir sufistik itu melihat dunia dipenuhi dengan cinta. Cinta
Allah yang mengisi seluruh ruang hidup.”

32
Santri Kekinian: Kurikulum ala Cambridge,
Studi Banding ke Jepang

Oleh BAMBANG ARIF RAHMAN

Inovasi pembelajaran di pondok pesantren telah bergerak sedemikian


cepat seiring perubahan zaman. Para santri di zaman milenial ini tak lagi
bergelut melulu dengan kitab-kitab kuning klasik dan kajian-kajian
keislaman tradisional. Mereka juga melangkah maju dengan mengikuti
metode dan materi pembelajaran yang tidak terbayangkan sebelumnya
akan dilakukan oleh para santri dan dunia pesantren.
Jika di masa lalu para santri identik dengan belajar ilmu-ilmu keislaman
saja, maka pada perkembangan selanjutnya mereka juga mulai mengenal
pembelajaran ilmu-ilmu yang dikategorikan sebagai ilmu sekuler, semisal
Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Biologi, dan lain-lain. Pada
masa sekarang, mereka melangkah
Bambang Arif Rahman adalah guru lagi dengan mempelajari materi dan
dan k epala SMA Pondok Pesantren menggunakan metode
Modern Assalaam Surak arta. Selain pembelajaran yang sangat kekinian
meraih gelar MA di bidang studi dan tidak kalah dengan kolega
Islam di University of Leeds Inggris,
mereka di luar pesantren.
saat ini Bambang tengah menempuh
program dok toral di IDEC Hiroshima Tulisan ini hendak memaparkan
University Jepang. Di tulisan ini, beberapa rekaman tentang model
Bambang menelusuri inovasi pembelajaran terbaru yang terjadi di
pendidik an di sejumlah pesantren di sejumlah pesantren, yang bersifat
Indonesia yang menurutnya telah
sangat kekinian. Beberapa yang
mengadopsi gaya belajar yang
k ek inian. Di antaranya yaitu saya coba potret di antaranya;
penerapan k urik ulum Cambridge Japan Overseas Study, Robotic
yang prestisius dan terstandar Games Challenge, dan Cambridge
internasional, hingga program studi Curriculum Program.
banding k e luar negeri.
Japan Overseas Study
Nampaknya, hanya belajar dalam kungkungan tembok kompleks kampus
seluas hampir 10 hektar selama 24 jam setiap hari tidaklah cukup bagi para
santri Pondok Pesantren Modern Islam (PPMI) Assalaam di Pabelan,
Surakarta, Jawa Tengah. Di akhir 2017 ini mereka melakukan studi
banding yang tidak tanggung-tanggung, yaitu ke Negeri Sakura, Jepang.
Selama seminggu mereka membuktikan langsung hal-hal yang sering
mereka dengar bahwa Jepang, pada tahap tertentu, adalah negara yang
bermuatan nilai-nilai keadaban Islam, meskipun sangat sedikit Muslim-nya.
Mereka belajar tentang kebersihan, ketertiban, dan kerapian di negara itu,
seperti yang sering dianjurkan dalam ajaran Islam pada bab thaharah di
pesantren.

33
Lebih menarik lagi, sebagai komitmen kebangsaan, pesantren ini
mengenalkan dan mendemonstrasikan musik Anklung dari Jawa Barat dan
tari Saman dari Aceh di sebuah SMA di Ibaraki, Osaka. Tentu saja para
santriwati yang mendominasi peserta program ini tampil dengan busana
Islam berjilbab model Indonesia, sehingga kolega mereka di SMA tersebut
bisa sedikit banyak mengerti tentang Islam.
Robotic Games Challenge
Tak kalah dari program pembelajaran santri Assalaam, beberapa santri dari
Pondok Pesantren Mamba’us Sholihin Blitar dan Muhammadiyah Boarding
School Prambanan Yogyakarta pada November 2017 mengikuti lomba
robot yang terdiri dari soccer championship, maze solving, following the
line, dan Sumo RC. Padahal, robot dan dunia santri seakan-akan
merupakan dua dunia yang berbeda. Namun toh pada saat sekarang ini
bukanlah hal yang aneh jika kedua dunia tersebut pada akhirnya bertemu.
Pada ajang ini, para santri tersebut dengan terampil memainkan jari-
jemarinya pada remote control untuk mengendalikan robot-robot
rakitannya. Berlomba adu cepat dan adu kuat dengan robot-robot kolega
mereka di luar pondok. Bahkan, lebih menariknya lagi, lomba robot yang
diikuti para santri dari dua pesantren tersebut tidak dilakukan di Indonesia,
melainkan di Osaka Jepang. Lawannya pun bukan hanya dari anak-anak
sekolah non-pesantren dari Indonesia. Ada juga dari Malaysia dan
Singapura.
Cambridge Curriculum Program
Sungguh unik memang, di
Berikutnya, pembelajaran kekinian di tengah kentalnya tradisi
pesantren yang sifatnya agak lebih pesantren salaf dengan
formal, yang masuk dalam kurikulum baca kitab, barzanji,
sekolah harian, yakni penerapan yasinan dan tahlilan, ada
kurikulum Cambridge. Di luar dunia sekelompok santri yang
pesantren, kurikulum Cambridge sudah pembelajaran sekolah
jamak diketahui masyarakat. Meskipun hariannya mengikuti
demikian, tidak semua sekolah mampu kurikulum Cambridge.
melaksanakan dan menerapkan model Kurikulum yang berbiaya
kurikulum ini kecuali sekolah-sekolah relatif mahal untuk ukuran
swasta unggulan dan favorit, terutama Indonesia.
sekolah swasta internasional.
Akan tetapi, ada beberapa pesantren
yang berani mencoba menerapkan kurikulum yang berasal dari Inggris ini.
Bahkan di antara sedikit pesantren ini adalah pesantren yang dikategorikan
pesantren salafiyah, yaitu Pondok Pesantren Bumi Shalawat di Tulangan,
Sidoarjo, Jawa Timur.
Sungguh unik memang, di tengah kentalnya tradisi pesantren salaf dengan
baca kitab, barzanji, yasinan dan tahlilan, ada sekelompok santri yang
pembelajaran sekolah hariannya mengikuti kurikulum Cambridge.
Kurikulum yang berbiaya relatif mahal untuk ukuran Indonesia, dan
berpengantar bahasa Inggris untuk beberapa materi pelajaran utama

34
seperti Matematika, Biologi, dan Science. Kurikulum ini menjanjikan
lulusannya untuk dapat melanjutkan studinya ke sekolah dan perguruan
tinggi favorit di luar negeri, terutama di negara-negara maju yang
berbahasa Inggris, jika memiliki sertifikat kelulusannya.
Semua fenomena ini semakin meneguhkan bahwa pesantren telah
berubah sedemikian rupa menyesuaikan perkembangan zaman, dan akan
selalu mampu beradaptasi dengannya tanpa harus meninggalkan nilai-nilai
keislaman. Justru sebaliknya, nilai-nilai pendidikan Islam di pesantren saat
ini menarik minat pihak luar menjadi sumber inspirasi.
Dalam hal penerimaan mahasiswa baru misalnya. Saat ini marak sekali
Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang membuka akses penerimaan
mahasiswa barunya lewat jalur tahfidz al-Qur’an (kemampuan hafalan al-
Quran). Biasanya, bagi santri yang hafal al-Quran minimal 20 juz, maka
diberi kesempatan untuk masuk ke
PTN bersangkutan tanpa tes untuk
fakultas-fakultas tertentu. Sedangkan Pendidikan pesantren
jika santri tersebut mampu semakin peka zaman.
menghafalkan al-Quran secara lengkap Kurang tepat bila para
30 juz, PTN-PTN tersebut biasanya santri selalu dilabeli orang-
membebaskan tes masuk untuk seluruh orang kuno kampungan
fakultasnya. yang hanya belajar dan
Hal itu dikarenakan PTN-PTN tersebut pandai tentang ajaran-
percaya bahwa jika seseorang mampu ajaran Islam tradisional
menghafalkan al-Quran sebanyak 20 saja. Lebih parah lagi, jika
juz atau 30 juz, maka diyakini anak santri dan pesantren
tersebut juga akan mudah menguasai dianggap sarang
berbagai mata kuliah yang diajarkan di radikalisme Islam.
PTN itu. Tentu saja, banyak pro kontra
terhadap kebijakan ini. Akan tetapi,
sejauh ini belum ditemukan indikasi bahwa mereka yang melewati jalur ini
kemudian bermasalah.
Demikianlah sekilas gambaran, betapa para santri di zaman sekarang
inipun telah mampu mengikuti model dan cara pembelajaran kolega-kolega
mereka di luar pesantren. Sehingga, kurang tepat bila para santri selalu
dilabeli sebagai orang-orang kuno kampungan yang hanya belajar dan
pandai tentang ajaran-ajaran Islam tradisional saja.
Lebih parah lagi, jika dianggap bahwa santri dan pesantren adalah sarang
radikalisme Islam. Dari paparan di atas, sangatlah jelas bahwa santri
milenial telah berdiri sejajar dan seiring dengan para pelajar di luar
pesantren. Mereka telah meyesuaikan diri dan menerapkan berbagai
model pembelajaran kekinian.

35
Bagian II
Arena Bermain Itu
Bernama Media Sosial

36
Berdakwah via Media Sosial, Berbagi Inspirasi

Oleh LUSIA EFRIANI KIROYAN

Hasil temuan We Are Social Media Company di awal 2017 mengungkap,


Indonesia merupakan negara dengan pertumbuhan jumlah pengguna
internet terbesar di dunia. Dari 88 juta pengguna internet di awal 2016
hingga 132 juta warganet di awal 2017. Jumlah itu merupakan lebih dari
separuh (51%) penduduk Indonesia, yaitu 262 juta jiwa. Sementara 79%
dari total warganet merupakan pengguna aktif media sosial (medsos), yaitu
106 juta jiwa.
Hal itu menjadi bukti, medsos telah masuk dalam ruang kehidupan
masyarakat Indonesia, terlebih generasi muda. Hasil survei Asosiasi
Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2016 menunjukkan,
lebih dari 80% warganet berada di
Lusia Efriani Kiroyan adalah rentang usia 20 hingga 29 tahun.
pendiri Yayasan Cinderella from Fakta ini yang membuat saya
Indonesia (YCFI) yang telah
percaya, medsos bisa menjadi lahan
memberdayak an lebih dari 500
dakwah sekaligus berbagi inspirasi.
narapidana wanita agar mandiri
secara ek onomi. Lusia meraih Saya pertama kali bergelut dengan
sejumlah penghargaan di antaranya medsos pada 2009. Medsos
Inspiring Woman 2017 versi Majalah pertama saya adalah facebook.
Femina dan AXA Mandiri, Kick Andy
Sejak awal menggunakan facebook,
Heroes 2016, Inspiring Women
2016 versi Tabloid Nova, The Most
saya lebih banyak mengunggah
Powerful Women 2015 versi foto-foto kegiatan sosial saya di
Majalah Her World, dan masih Batam. Di kota itu, saya membina
banyak lagi. Di tulisan ini, Lusia sejumlah usaha kecil menengah
mengisahk an pengalamannya (UKM), termasuk di antaranya
dalam menggunak an media sosial ‘prison industry’, yaitu industri
untuk motivasi, menebar inspirasi, berbasis pemberdayaan narapidana
dan perubahan sosial. (napi).
Dari berbagai unggahan atas aktivitas-aktivitas sosial saya di facebook,
saya akhirnya mendapat kesempatan belajar di Amerika Serikat (AS)
melalui International Visitor Leadership Program (IVLP) di tahun 2011.
Sejak saat itu, saya kian gencar mengunggah foto-foto kegiatan sosial
saya, dengan harapan semakin banyak teman-teman yang ikut berbuat
kebaikan dan mendukung kegiatan-kegiatan sosial saya.
Sepulang dari AS, saya meluncurkan sebuah buku di tahun 2012 berjudul
“Cinderella from Indonesia”. Buku yang memuat catatan harian saya
selama belajar di AS. Foto-foto saya selama belajar di AS juga saya
unggah di facebook. Tujuan saya adalah untuk memotivasi anak-anak
muda agar giat melakukan kebaikan sejak usia belia.

37
Di tahun itu pula, saya mendapat kesempatan belajar di Australia melalui
Australia Indonesia Muslim Exchange Program (MEP). Sebagai muallaf,
program ini seperti ‘durian runtuh’ buat saya. Saya bisa berkunjung ke
Melbourne, Shepparton, Canberra dan Sydney untuk bertemu dan
berdialog dengan umat Islam Australia yang berasal dari beragam etnis
dan negara.
Sejak saat itu, saya terus memanfaatkan medsos untuk menebar kebaikan.
Buat saya, menulis adalah cara termudah bagi seorang muallaf untuk
berdakwah. Prinsip saya, setiap hari saya akan menulis tentang satu
kebaikan agar bisa menginspirasi warganet.
Saya juga sangat merasakan, bagaimana medsos begitu berdampak pada
kecepatan karier saya. Saya meraih banyak penghargaan, baik dari dalam
negeri maupun luar negeri, di antaranya karena faktor medsos. Ternyata
penilaian para reviewers dan interviewers didasarkan pada konsistensi kita
melakukan aksi dan mempunyai
karya nyata. Dan itu semua bisa
dilihat di akun medsos kita maupun Yayasan Cinderella from
via googling. Coba saja klik Indonesia (YCFI) ini awalnya
“Cinderella Indonesia” atau “Batik saya dirikan untuk membantu
Girl”, maka dengan mudah akan para single parent dengan
Anda temukan ratusan artikel dan anak-anak tidak mampu,
gambar tentang kegiatan-kegiatan karena saya juga seorang
saya. single parent. Saya membantu
mereka agar punya keinginan
Dua kata kunci itu merupakan inti dari
untuk berusaha dan tidak
sociopreneurship yang saya
bergantung pada orang lain.
kembangkan. Pada 2012, saya
Jadi saya memberikan
mendirikan Yayasan Cinderella from
bantuan modal pada para ibu
Indonesia (YCFI). Yayasan ini
anak jalanan. Ibu-ibu yang
awalnya dibuat untuk membantu para
belajar juga membawa anak
single parent dengan anak-anak yang
mereka. Jadilah saya ikut
tidak mampu, karena saya juga
mengasuh anak-anak mereka.
seorang single parent. Saya ingin
membantu sesama single parent
agar mereka punya keinginan untuk
berusaha, tidak bergantung pada orang lain. Jadi saya memberikan
bantuan modal pada para ibu anak jalanan. Ibu-ibu yang belajar juga
membawa anak mereka. Jadilah saya ikut mengasuh anak-anak mereka.
Sementara “Batik Girl” merupakan boneka barbie berbusana batik yang
menjadi produk andalan YCFI. Boneka nan cantik ini bernuansa khas
nusantara dengan pasar global. Boneka ini sudah melanglang buana
hingga Australia dan Amerika. Yang menarik, baju batik boneka tersebut
merupakan karya para napi perempuan yang tengah menjalani hukuman di
lembaga pemasyarakatan (lapas). Napi dari kasus penyalahgunaan
narkoba itu saya berdayakan agar kegiatan mereka bermanfaat. Sejauh ini
saya telah memberdayakan lebih dari 500 napi wanita dan 100 anak

38
jalanan untuk membuat kue dan boneka agar mereka mandiri secara
ekonomi.
Hingga 2017 ini, sudah empat penjara di Batam dan di Bali yang saya bina.
Di lapas-lapas itu, para napi wanita membuat baju-baju batik untuk boneka
barbie yang sudah disiapkan. Mereka mendesain baju dan segala
aksesorisnya. Di akhir 2017 ini, ada 1000 baju batik barbie yang diproduksi
para napi. Dengan cara ini, selain mendapat keterampilan, mereka juga
mendapat penghasilan. Mereka akan dibayar atas pekerjaannya.

Sebanyak 1000 boneka batik ini selanjutnya akan dibagikan pada anak-
anak penderita kanker dan disabilitas di seluruh ASEAN. Selanjutnya,
jumlah boneka batik saya targetkan bisa mencapai sepuluh ribu. Untuk
tahap pertama, boneka akan dibagikan di Indonesia, Singapura, Malaysia,
Brunei Darussalam dan Myanmar pada Maret-April 2018. Pada Februari
2018 saya juga akan roadshow ke
Melbourne dan Darwin untuk
mempromosikan program ini. Berhubung belakangan
yang sedang kekinian
Berhubung belakangan yang sedang adalah instagram, saya pun
kekinian adalah instagram, saya pun mulai merambah instagram.
mulai merambah instagram. Sejak aktif Sejak aktif mengunggah
mengunggah aktivitas saya di aktivitas saya di instagram,
instagram, hasilnya luar biasa. hasilnya luar biasa.
Networking saya semakin luas. Networking saya semakin
Banyak jurnalis dari berbagai negara luas. Banyak jurnalis dari
yang akhirnya tertarik dengan aktivitas berbagai negara yang
saya. Sejak menggunakan instagram akhirnya tertarik dengan
pula, saya menjadi lebih sering meraih aktivitas saya. Sejak
penghargaan. menggunakan instagram
Beberapa penghargaan yang pernah pula, saya menjadi lebih
saya raih di antaranya The Most sering meraih penghargaan.
Powerful Women 2015 versi Majalah
Her World, Kick Andy Heroes 2016,
Inspiring Women 2016 versi Tabloid Nova, 50 Inspiring Women in
Indonesia 2016 versi Majalah Her World, dan Inspiring Woman 2017 versi
Majalah Femina & AXA Mandiri. Saya juga dua kali menjadi pemenang
kompetisi Young Southeast Asian Leaders Initiative (YSEALI) pada 2014
dan 2015. Pada YSEALI Summit 2015 di Kuala Lumpur, Malaysia, bahkan
saya mendapat kesempatan bertemu Presiden Barrack Obama.
Dari cerita di atas, semoga para pembaca bisa terinspirasi. Bahwa dengan
mengunggah cerita kebaikan atau kegiatan-kegiatan sosial di medsos bisa
membawa dampak positif, tidak hanya bagi diri kita sendiri, tetapi juga
untuk sekitar kita. Saya punya aturan main dalam bermedsos; hanya
kebaikan yang boleh muncul di akun medsos saya. Segala kritik, complain
dan keluh kesah tidak boleh muncul di medsos saya. Karena saya ingin
berdakwah dengan hati melalui teknologi.

39
Kalau Anda lihat akun medsos saya, Anda mungkin akan heran, setiap hari
ada saja kegiatan saya. Bahkan, saya bisa mengunggah 3-8 tulisan atau
foto-foto kegiatan tiap harinya. Hal itu merupakan bagian dari komitmen
saya sebagai seorang Muslim agar bisa memanfaatkan teknologi untuk
kebaikan.
Di akun-akun medsos saya, Anda juga akan melihat begitu banyak foto
saya di luar negeri. Apakah saya kaya? Apakah saya banyak uang?
Jawabannya tidak. Saya bisa ke luar negeri setiap tahun karena karya
saya, yaitu “Cinderella Indonesia” dan “Batik Girl”, mudah diakses melalui
medsos. Semoga cerita saya ini bisa menginspirasi para pembaca.

40
Media Online dan Matinya Otoritas
Pengetahuan?

Oleh WAHYUDI AKMALIAH

Kehadiran media online dengan jejaring media sosial yang tumbuh tidak
hanya menginterupsi kehadiran media cetak, melainkan juga munculnya
pengetahuan-pengetahuan baru di luar institusi riset dan lembaga kampus.
Kehadiran mereka tidak hanya menantang, tetapi juga menggerogoti media
cetak dan juga institusi riset melalui kanal pengetahuannya, baik itu buku
ataupun jurnal.
Meskipun tampak dangkal dengan adanya kecepatan sebagai acuan,
media online, terlepas dari kualitasnya, mengubah pola orang
mengkonsumsi pengetahuan. Pasar ini kemudian ditangkap dengan
tumbuhnya media-media online baru di luar detik.com, yang sebelumnya
sudah tumbuh terlebih dahulu. Misalnya, Kompasiana, Tirto, Beritagar,
Indoprogress, Mojok, Geotimes,
Wahyudi Akmaliah adalah peneliti Qureta, Remotivi, Locita, Interidea,
di Lembaga Ilmu Pengetahuan Alif, Basa-Basi, dan lain sebagainya.
Indonesia (LIPI). Ia meraih master di
bidang cultural studies di Universitas Dengan ciri khas masing-masing
Sanata Dharma Yogyak arta (2008) sebagai platform pembeda yang
dan MA International Peace Studies diambil, mereka ini tumbuh dengan
di The United Nations-mandated memiliki pembacanya masing-
University for Peace (UPeace) masing. Adanya sistem media sosial
Kosta Rik a (2010). Di tulisan ini,
sebagai jaringan yang
Wahyudi mengulas peran media
online yang dalam banyak hal telah
menghubungkan dan berinteraksi,
mengambil alih otoritas daya sebar media-media online ini
pengetahuan yang secara begitu cepat. Mereka masuk ke
tradisional dik uasai institusi riset dan dalam ruang-ruang privat melalui
lembaga k ampus. Fenomena yang pesan online seperti WhatsApp,
menuntut para ak ademisi untuk Instagram, dan Line.
menerjemahk an ilmu dalam platform
yang lebih k ek inian. Beberapa kampus luar negeri
mencoba mengadaptasi situasi ini.
Misalnya, kampus Australian National University (ANU), untuk konteks
studi sosial dan politik, membuat kanal www.newmandala.org, membahas
mengenai isu-isu terkini dengan tinjauan Asia Tenggara sebagai perspektif.
Sementara itu, University of Melbourne membuat situs
indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au, membahas khusus sosial, politik,
dan ekonomi Indonesia.
Situs ini juga menyajikan audio visual melalui podcast terkait dengan
wawancara para ahli tentang Indonesia mengenai isu-isu tertentu.
Meskipun tidak mendalam seperti buku dan artikel jurnal, dengan analisis
kritis, terbitan-terbitan dari dua situs tersebut mencoba memberikan situasi

41
sosial politik terkini di Indonesia dan juga Asia Tenggara. Dengan sadar,
dua situs ini menjembatani antara ranah akademik dan tulisan populer
untuk sampai ke publik lebih luas.
Secara lebih luas, mempopulerkan temuan-temuan akademik sebenarnya
sudah ada theconversation.com yang memiliki cakupan luas bidang studi,
tidak hanya terbatas ilmu sosial dan kemanusiaan. Serupa dengan dua
kampus sebelumnya, hal yang sama juga dilakukan oleh Kyoto Review of
Southeast Asia dan Inside Indonesia.
Di tengah situasi tersebut, bagaimana situs-situs lembaga riset di Indonesia
ataupun kampus beradaptasi di tengah kecepatan teknologi platform media
semacam ini? Saya belum melihat adanya keseriusan ke arah sana.
Kalaupun ada, persoalan individu, struktur, dan sumber-sumber keuangan
seringkali menjadi alasan utama mengapa mereka tidak bisa beradaptasi.
Selain itu, kondisi ini yang lebih parah,
adanya birokratisasi pengetahuan
yang membadan, mereka masih Lambatnya institusi yang
merasa menjadi pusat pengetahuan memiliki otoritas
dengan mendefinisikan sendiri pengetahuan dalam
kategori-kategori pengetahuan yang beradaptasi kemudian
dibuat sendiri olehnya. Meskipun diambil alih oleh individu-
kenyataannya, alih-alih dibaca, individu baru tanpa cantelan
informasi yang disuguhkan justru jauh dengan institusi-institusi
tertinggal dengan aturan birokrasi dan ataupun kampus-kampus
mekanisme pola penanganan seperti ternama. Dengan perspektif
media lama yang diterapkan. yang jauh lebih segar,
mereka menjadi semacam
Akibatnya, lambatnya institusi yang mikro selebriti dalam dunia
memiliki otoritas pengetahuan dan juga pengetahuan yang mulai
kampus dalam beradaptasi ini dikenal orang banyak.
kemudian diambil alih oleh individu-
individu baru tanpa adanya cantelan
dengan institusi-institusi ataupun
kampus-kampus ternama. Dengan perspektif yang jauh lebih segar,
mereka menarasikan peristiwa-peristiwa dengan analisis tajam yang tak
kalah penting dengan institusi yang memiliki otoritas pengetahuan.
Melalui proses ketekunan untuk terus menulis dan menulis, mereka
menjadi semacam mikro selebriti dalam dunia pengetahuan, khususnya
ilmu sosial, yang mulai dikenal orang banyak. Dalam konteks politik,
misalnya, netizen sedikit menjadikan rujukan analis-analis politik baik dari
kampus ataupun institusi riset. Bahkan mereka lebih menjadikan Denny
Siregar dan Eko Kunthadi, sekadar contoh, rujukan. Memang, ada
beberapa sosok akademisi yang beradaptasi dalam dunia digital, namun
jumlah mereka tidak banyak, seperti Sumanto Al Qurtuby, Nadirsyah
Hosen, dan Mun'im Sirry.
Teknologi informasi sedang mengarah ke dunia semacam ini. Jika institusi
riset dan kampus tidak bisa beradaptasi dengan platform ini, mohon jangan

42
salahkan para mahasiswa dan mahasiswinya jika kemudian mereka
menertawakan para dosennya yang masih menggunakan referensi buku
usang tanpa menjelaskan dengan konteks kekinian di tengah isu baru yang
terus bergulir.
Ini juga berlaku kepada lembaga riset yang ingin menjadi riset kelas dunia,
namun pengelolaannya dan bahkan proses kerja-kerja akademiknya masih
berjalan secara manual. Dengan demikian, langkah apa yang mesti
dilakukan oleh lembaga riset dan kampus agar mereka bisa melaju? Bagi
saya, jalan awal itu sederhana dan tidak usah muluk-muluk.
Langkah pertama, perbaiki situsnya dengan mengurangi dan
menambahkan informasi sekiranya sudah tidak cocok. Kedua, melakukan
pemutakhiran situs. Meskipun dibuat oleh profesional IT dan diisi dengan
memori cukup besar, jika tidak ada pemutakhiran informasi, itu sama saja
membuat iklan yang sudah tidak
layak barangnya dikonsumsi tapi
masih saja dipamerkan. Mengapa memperbaiki situs?
Di tengah tingginya akses
Ketiga, berikan kesempatan anak-
orang Indonesia terhadap
anak muda di lembaga mereka
internet, situs menjadi
bekerja untuk mengisinya dengan
semacam identitas sebuah
tulisan-tulisan mereka dengan
lembaga riset ataupun
menempatkan juga senior
kampus. Sebesar apapun
berpengalaman sebagai editor terkait
gedung kampus ataupun
proses kurasi.
lembaga riset, sementereng
Mengapa memperbaiki situs? Di apapun para lulusan, sarjana
tengah tingginya akses orang dan penelitinya, jika situsnya
Indonesia terhadap internet, situs ini jelek, akan meruntuhkan
menjadi semacam identitas sebuah pandangan orang pertama
lembaga riset ataupun kampus. kali mencarinya di google.
Sebesar apapun gedung sebuah
kampus ataupun lembaga riset,
sementereng apapun para lulusan, para sarjana dan penelitinya, jika
situsnya jelek, akan meruntuhkan pandangan orang pertama kali
mencarinya di google.
Situs sebagai bentuk promosi diri ini juga dilakukan oleh para sarjana S3 di
Amerika Serikat. Selain menarasikan dirinya dan capaian-capaian
akademik yang telah dihasilkan, serta disertasi yang sedang dituliskan,
mahasiswa S3 di Amerika Serikat juga bercerita mengenai riset-riset apa
yang sedang mereka kerjakan. Ketika mereka melamar pekerjaan, yang
pertama kali dilihat di sini kemudian adalah pencarian melalui mesin
Google dan situsnya sebagai pintu pembuka untuk mengenal lebih jauh
dengan calon pelamar.
Di tengah situasi ini, apakah mereka mau berubah? Saya yakin
jawabannya, iya. Meskipun apabila ditanyakan waktunya, yaitu kapan, hal
itu seperti Menunggu Godot; kita menunggu atas sesuatu yang tak pernah
terwujud.

43
Media Sosial Sebagai Narasi Kebajikan Milenial

Oleh ELIS ZULIATI ANIS

Masyarakat Indonesia sangat keranjingan media sosial (medsos) seperti


facebook, twitter, instagram, dan youtube. Generasi milenial Indonesia
menjadikan gawai dan internet sebagai bagian penting hidup mereka.
Menariknya, tren penggunaan medsos di Indonesia tak hanya untuk
bersenang-senang atau narsis belaka, tetapi juga menjadi sarana
perubahan sosial.
Dukungan warganet dalam bentuk “koin keadilan” untuk korban malpraktek
Prita Mulyasari dengan tagar #KoinUntukPrita adalah salah satu
contohnya. Mereka tidak saling kenal tapi tergerak untuk membantu Prita.
Contoh populer lainnya adalah kampanye warganet yang menjadi trending
topic di twitter dengan tagar
Elis Zuliati Anis adalah mantan #KamiTidakTakut, #IndonesiaUnite,
Ketua PW Ik atan Pelajar #PrayForJakarta, dan
Muhammadiyah (IPM) Jawa Tengah #SafetyCheckJkt sebagai narasi
yang saat ini tengah menempuh S3 perlawanan menyusul serangan
jurusan Media and Communication bom Sarinah di Jakarta pada Januari
di University of Western Australia. 2016. Di samping itu, meme tukang
Sebelumnya ia bek erja sebagai
sate yang terus berjualan di area
Media and Communication
Specialist pada Indonesian 100 meter dari lokasi bom juga
Consortium for Religious Studies sempat viral di kalangan warganet.
(ICRS). Di tulisan ini, Elis mengulas Dalam konteks ini, generasi milenial
sejumlah anak muda yang tentu saja punya cara yang khas
memanfaatk an media sosial sebagai
dalam memanfaatkan medsos untuk
sarana menepis prasangk a dan
k ebencian. Harapan Elis, ak an ada berjejaring, berbagi inspirasi, dan
lebih banyak lagi generasi milenial melakukan perubahan sosial. Hal itu
Indonesia yang menjadi inspirator tak lepas dari karakteristik mereka
k ebajik an, harmoni dan perdamaian. yang identik dengan generasi yang
melek teknologi, bergantung pada
fasilitas komunikasi daring, memiliki rasa percaya diri tinggi dan
multitasking.
Generasi milenial juga rajin menyerap segala informasi dari internet,
termasuk berita dan topik harian yang sedang ngetren. Teman facebook
mereka paling banyak dibandingkan generasi sebelumnya. Klik, like,
comment, dan share, itulah aktivitas mereka. Foto-foto selfie dan narsis tak
luput menghiasi akun medsos mereka. Seorang teman (23 tahun)
menceritakan, ia selalu mencari info awal mengenai tempat-tempat yang
akan ia kunjungi, termasuk melihat foto-foto keren dari traveller
sebelumnya. Dia kemudian membayangkan sudut foto yang
instagrammable untuk diunduh di medsos. Ada juga yang memanfaatkan
fasilitas live video.

44
Selain keahlian berselancar di dunia digital, seringkali kaum milenial ini
menerima stigma negatif seperti memiliki ego tinggi, asosial, hedonis dan
menjunjung kebebasan (brilio.net). Untungnya, dalam konteks Indonesia,
berbeda dengan negara Barat,
budaya komunal masih kuat di
masyarakat. Setidaknya, masih Gita Savitri adalah selebgram
banyak kita temukan individu dan dan penyampai pesan yang
kelompok generasi milenial yang efektif. Bahasanya santai dan
bergerak di berbagai bidang untuk tidak menggurui.
Indonesia yang lebih baik. Komunikasinya interaktif dan
.Gita Savitri Devi, 25 tahun, adalah pesannya mudah dicerna. Gita
satu contoh inspirator Muslim juga banyak mengajak teman-
milenial Indonesia yang mendunia. teman membincangkan isu-isu
Youtuber berjilbab yang memiliki terbaru, misalnya soal hoax
lebih dari 280k subcribers di dan ujaran kebencian. Di
youtybe dan 470k followers di kesempatan lain, Gita
Instagram ini (per Desember 2017) meminta followernya
memiliki passion memotivasi anak- menuliskan tentang mimpi-
anak muda akan pentingnya mimpi mereka dan kemudian
pendidikan. Hal itu tercermin dalam dibahas di vlognya.
pesan-pesannya di blog, instagram,
hingga vlog di youtube. Video-video
Gita di Youtube selalu menghibur, menginspirasi, mengedukasi, dan
bahkan menjadi ‘cermin’ para followernya. Video Gita sangat beragam, di
antaranya tentang bertutur kata di
dunia daring, konstribusi untuk
Indonesia, studi di Jerman, Islam
di Jerman, Islam di media sosial,
“Muslim ban” di Amerika,
crowdfunding, kegiatan
keseharian, hoax, ujaran
kebencian, dan masih banyak lagi.
Gita adalah selebgram dan
penyampai pesan yang efektif.
Bahasanya santai dan tidak
menggurui. Komunikasinya juga
interaktif dan pesannya mudah
dicerna. Gita juga banyak
mengajak teman-teman
membincangkan isu-isu terbaru,
misalnya soal hoax dan ujaran
kebencian. Di kesempatan lain,
Gita meminta followernya
menuliskan tentang mimpi-mimpi
mereka dan kemudian dibahas di
vlognya. Lebih dari 1000 followers
Gita mengomentari video tersebut.

45
Gita menceritakan perjalanan mimpi-mimpinya, saat-saat ia merasa up and
down, menyadari krisis yang dialaminya, dan mulai mempertanyakan lagi
identitasnya. Ia juga berkisah tentang momen titik baliknya. Dari akun
youtube Gita, beberapa followers memberikan pendapatnya:
“Aku seneng banget kalau kak Gita lagi bicara enaaakkk banget
dengerinnya, terus kak Gita kalau bicara mesti yang berbobot dan
informatif, keren bangeett deehhhgg youtuber favorit aku nih!” (Yustisya
Amarin).
“Hanya 12 menit 39 detik bisa buat orang2 semangat lagi jalanin idup.”
(Desti Destiana).
“Ketika pikiran yang terbuka, kecerdasan beropini, dan artikulasi yang
bagus menjadi satu. terbaik lah kakak ini. jadi motivator aja, kak.” (Isa
Imanuddin).
Penulis buku “Rentang Kisah” yang tengah kuliah di Jerman ini selalu
menekankan pentingnya sikap terbuka bagi anak-anak muda. Beberapa
kali Gita bilang, penting banget anak-anak muda punya prinsip dan visi
kehidupan yang jelas. Menurutnya, anak-anak muda mesti menyadari di
luar sana memang ada perbedaan. Mesti saling bicara dan saling peduli,
terlepas dari latar belakang agama dan kebangsaan.
Gita telah membuka ruang sangat lebar bagi milenial untuk belajar berpikir
kritis dan lebih memahami persoalan sosial di masyarakat. Gita juga
menampik stigma negatif milenial sebagai generasi yang asosial.
Sebaliknya, Gita justru menekankan pentingnya konstribusi generasi
milenial bagi Indonesia.
Secara khusus, Gita membuat video dan mendatangkan B.J. Habibie
melalui skype dan memotivasi kalangan milenial akan arti penting
konstribusi ke masyarakat. Dan tentu, Gita tak termasuk generasi
Strawberry, generasi masa kini yang kelihatan sangat menawan dari luar,
namun mudah rapuh dan tak tahan kritik. Gita sangat santai menanggapi
kritik yang dialamatkan padanya di medsos.
Gita adalah satu dari 27 anak muda yang masuk nominasi Youtube Creator
for Change, proyek youtube inisiasi global dalam menangkal ujaran
kebencian, ekstremisme dan xenofobia. Gita membuat video eksperimen
dengan tiga orang dari latar belakang berbeda. Kemudian masing-masing
diminta melihat foto-foto orang yang berbeda di instagram, lalu dimintai
kesan pertama (first impression).
Foto-foto tersebut adalah foto-foto anak muda yang bertato, lalu foto
perempuan yang memakai rok dari banner nasi uduk, dan yg terakhir, foto
waria. Mereka kemudian memberikan komentar spontan seperti, “aneh aja
sih”, “anaknya sok”, “anak nakal ya kak?”, “cowok kok kayak gitu, “aku pilih
gak temenan ama dia”.
Kemudian Gita mendatangkan ketiga orang dalam foto instagram tersebut.
Merekapun berkenalan dan menemukan beberapa kesamaan hobi. Dari
bahasa tubuhnya, terlihat mereka asyik ngobrol dan suasana cair. Persepsi

46
mereka pun tampak berubah setelah bertemu dan bicara langsung.
Komentar mereka di akhir video itu, “kita harus ketemu orangnya
langsung”, “lebih baik kita cari persamaannya aja daripada perbedaannya”,
“dialog itu penting banget, bisa kayak gini”, “harus lebih berempati dan
saling mendengar” (sumber: kanal youtube Gita Savitri Devi).
Contoh anak muda lainnya yaitu Zulfirman Rahyatel, aktivis Indonesia Non-
Violence Study Circles Network (INVSCN) yang berasal dari Indonesia
Timur. Zulfirman adalah satu dari 10 anak muda dari berbagai negara yang
menerima penghargaan “Emerging Young Leader Awards” di Amerika
Serikat tahun 2016. Penghargaan tersebut didapatnya karena kiprahnya
yang luar biasa dalam gerakan perdamaian dan lintas iman di Maluku.
Saya mengenal Zulfirman ketika ia ikut program Interfaith Youth Pilgrimage
(IYP), program sepuluh hari perjalanan antariman di Yogyakarta. Zulfirman
dibesarkan di Ambon semasa konflik. Stigma yang ia dapatkan adalah
Muslim dan Kristen itu musuh. Pada program itu, selain mengunjungi
tempat ibadah dan berdialog dengan tokoh lintas agama, para peserta
diberi kesempatan tinggal satu malam (live in) dalam keluarga yang
berbeda agama di kota kecil Salatiga. Tujuannya, agar bisa secara
langsung mengenal satu sama lain, menghilangkan kecurigaan dan
menumbuhkan empati.
Pada kesempatan itu, Zulfirman merasa gundah. Ingatannya kembali pada
masa rusuh ketika kerabatnya terbunuh. Tapi dengan segala sambutan
hangat dan keterbukaan keluarga jemaat, serta diskusi panjang dari hati ke
hati, ia melupakan kegundahannya dan merasakan kedamaian dalam
perbedaan. Melihat kota Salatiga yang masyarakatnya rukun dan damai, ia
berupaya agar komunitasnya tak akan lagi terkotak-kotak oleh luka masa
lalu.
Sementara itu, secara kelembagaan, di Indonesia ada banyak organisasi
bervisi perdamaian yang melibatkan generasi milenial. Misalnya saja
Peace Generation Indonesia (PGI) yang dididirikan Eric Lincoln dan Irfan
Amalee, tokoh muda kreatif yang aktif membuat konten-konten damai di
medsos untuk perdamaian. Dalam banyak kegiatannya, PGI mengubah
kesan beringas menjadi damai. Misalnya acara Rock the Peace yang
dimainkan anak-anak pesantren dan berkolaborasi dengan musisi dari
Amerika. PGI juga membuka ruang bagi milenial dalam literasi media
melalui komik yang dibuat oleh Amalee.
Lembaga lainnya, berbasis universitas, Indonesian Consortium for
Religious Studies (ICRS), juga bervisi perdamaian. Program terbarunya,
Interfaith New Generation and Initiative (INGAGE), bekerjasama dengan
Lutheran World Federation (LWF), memberikan ruang dialog bagi anak-
anak muda di Medan, Manado dan Ambon, termasuk mereka yang
menganut agama lokal.
Selain Interfaith Journey dan penekanan kesadaran akan hak asasi
manusia (HAM), program ini mengusung pentingnya literasi media sosial
bagi anak-anak muda, utamanya bagaimana mereka menyadari privasi

47
dalam bermedsos. Di akhir program, para peserta membagikan
pengalaman mereka via medsos. Sebagai tindak lanjut, mereka aktif
menggelar berbagai program untuk menjembatani perbedaan dan
membangun perdamaian.
Sebagai penutup, saya ingin mengutip postingan Gita di instagram; “Gue
rasa secara garis besar mimpi kita sama, yaitu ingin negara kita bisa
makmur, yang membedakan hanyalah bagaimana masing-masing dari kita
mencoba menjadikan itu sebagai kenyataan”. Semoga, akan lebih banyak
lagi generasi milenial Indonesia yang menjadi inspirator kebajikan, dengan
caranya masing-masing, sehingga bisa menghadirkan perubahan sosial
untuk Indonesia yang lebih damai dan harmoni.

48
Jihad Digital, Jalan Dakwah Santri Milenial

Oleh AHMAD ROMZI

Lebih dari setengah abad lalu, Herbert Marshall McLuhan dalam bukunya
The Gutenberg Galaxy (University of Toronto Press, 1962) telah sesumbar
soal global village. McLuhan meramalkan, akan hadir suatu masa di mana
masyarakat disatukan oleh perkembangan teknologi. Di masa itu, informasi
sangat cepat diakses, sifatnya terbuka, dimensi jarak dan waktu menjadi
lebur. Itulah yang ia sebut sebagai global village, desa global.
Ramalan McLuhan mewujud nyata di era media-media baru saat ini. Istilah
media-media baru (new media) muncul pada awal abad ke-21, di mana
engangement masyarakat pada teknologi digital sangat kuat dan
digunakan di seluruh aspek kehidupan manusia. Dalam perkembangannya,
era ini memunculkan tren baru dalam komunikasi antar manusia, yaitu
dengan hadirnya media sosial
Ahmad Romzi adalah Ketua Bidang (medsos).
Hubungan Internasional PB PMII
2017-2019, Direk tur Pendidik an Al- Lalu, bagaimana media-media baru
Shighor Foundation, dan co-founder berbasis teknologi itu hadir
Arus Informasi Santri Nusantara memenuhi kebutuhan spiritual
(AIS Nusantara). Saat ini Romzi seseorang? Lebih jauh lagi,
tengah menyelesaik an studi bagaimana aktivitas digital
masternya di bidang Pendidik an
Islam di Universitas Islam Jak arta
mempengaruhi praktik beragama
(UIJ). Di tulisan ini, Romzi seseorang?
mengungk ap inisiasi sejumlah anak Teknologi dan agama acapkali
muda lulusan pesantren dalam dianggap sebagai dua hal yang tak
menggerak k an digitalisasi dak wah.saling terkait. Bahkan,
Termasuk di antaranya mendirik an
madrasah-madrasah yang sadar
perkembangan teknologi
digital seperti madrasah desain dan kadangkala dipandang sebagai
madrasah fotografi dan videografi. penghambat dan penyebab
kelalaian beribadah. Namun, dalam
banyak hal, internet juga memiliki dampak positif bagi aktivitas beragama.
Sebagai contoh, banyak warganet yang menggunakan dunia siber sebagai
media menjalankan ibadah seperti zakat, infak dan sedekah, qurban,
aqiqah dan sebagainya. Informasi seputar tata cara ibadah dan hukum
Islam juga bisa diakses via internet.
Di sisi lain, akses tanpa batas membuat arus informasi di internet menjadi
tidak terkontrol. Organisasi ekstremis semisal Islamic State of Iraq and
Syria (ISIS) misalnya, menyadari betul kesempatan ini. Media digital
mereka manfaatkan untuk menyebarkan atau membangun jejaring teror.
Saat ini, lone-wolf atau pelaku teror yang bergerak sendiri sangat
meresahkan. Mereka bergerak tanpa komando dan melakukannya karena
terhasut konten radikal di internet. Karena itu, counter speech atau kontra

49
narasi radikalisme menjadi tantangan besar yang harus segera dijawab
para pegiat dakwah digital.
Literasi Digital, Solusi Dakwah Kekinian
Manfaat, peluang, dan tantangan media-media baru dalam gerakan
dakwah di Indonesia mengharuskan pegiat dakwah digital untuk menyusun
strategi khusus. Salah satunya adalah literasi digital. Paul Gilster, yang
pertama kali memunculkan istilah literasi digital memaknai literasi digital
sebagai “the ability to understand and use information in multiple formats
from a wide variety of sources when it is presented via computers”. Literasi
digital merupakan kemampuan memahami dan menggunakan informasi
dalam berbagai format dari beragam sumber yang disajikan.
Terdapat empat kompetensi inti yang mencirikan cerdas digital perspektif
Gilster, yaitu kemampuan pencarian internet, navigasi hypertext, evaluasi
konten dan penyusunan pengetahuan. Dalam ranah keagamaan,
kompetensi ini sangat membantu warganet dalam memilah informasi
sehingga terhindar dari kesesatan ideologis.
Dengan kata lain, kemampuan teknis ini mendorong seseorang untuk tidak
menelan mentah-mentah informasi yang disajikan situs atau akun medsos
tertentu. Tetapi, si pengguna akan mencari tautan berita atau referensi
informasi tersebut. Banyaknya berita bohong atau hoax yang beredar di
medsos saat ini umumnya terjadi karena kurangnya kompetensi
masyarakat akan literasi digital.
Dalam aktivitas dakwah digital, empat kompetensi ini sangat penting
dimiliki baik oleh penyedia maupun pengakses informasi. Sosialisasi dan
pendidikan penggunaan medos bagi warganet Muslim harus lebih
ditingkatkan lagi. Penyadaran akan pentingnya literasi digital juga menjadi
solusi kongkrit untuk segera diupayakan.
Ijtihad Kolektif Santri Milenial
Dua dekade lalu, saat internet mulai ramai digunakan, para agamawan
maupun institusi keagamaan mulai bergerak untuk meramaikan dunia
digital untuk berdakwah. Di Indonesia, lahirnya portal berita maupun situs
keagamaan semisal NU Online (nu.or.id), konsultasisyariah.com,
arrahmah.co, muhammadiyah.or.id menandai mulainya keterlibatan
masyarakat dan organisasi keislaman dalam ruang dakwah digital.
Kemunculan portal kegamaan online ini sangat signifikan bagi warganet
Muslim yang membutuhkan berita kagamaan dan perpustakaan online
yang menyajikan ragam kajian keagamaan.
Kemudian, lahirlah fenomena medsos, di mana eksposur masyarakat
dalam menggunakan internet semakin tinggi dan rentang usia pengguna
internet semakin lebar. Dalam menggunakan medsos, masyarakat
dimanjakan dengan kecepatan informasi dan kemungkinan untuk secara
interaktif melakukan komunikasi instan. Hal ini membuat penyedia
informasi keagamaan online menghadapi lebih banyak tantangan.

50
Di antaranya, pengguna medsos secara umum lebih muda ketimbang
pengguna platform online lainnya. Hal ini menuntut penyedia informasi
untuk menyederhanakan konten agar lebih mudah dicerna oleh pembaca.
Selain itu, pengguna medsos menuntut inovasi dalam penyajian informasi,
bukan lagi melulu tulisan, tapi juga dalam bentuk video, infografis, gambar
dan suara.
Pada 2016, saya dan beberapa anak muda lulusan pesantren menginisiasi
lahirnya Arus Informasi Santri Nusantara (AIS Nusantara). Dengan visi
“Digitalisasi Dakwah Pondok Pesantren”, berdirinya AIS Nusantara
bertujuan untuk mengisi ruang medsos dengan konten Islam ramah, bukan
Islam marah. Yaitu Islam yang merangkul, bukan memukul. Islam yang
mengajak bukan mengejek.
Konten keagamaan yang AIS Nusantara tawarkan secara utuh disesuaikan
untuk warganet usia muda di bawah 25 tahun. Penyajian informasi pun
dibuat lebih variatif dengan menggunakan ragam format yang lebih eye-
catching dan modern. Selama periode satu tahun sejak berdiri, AIS
Nusantara menunjukkan telah mampu berkontribusi dalam
menyemarakkan dakwah digital.
Saat ini AIS Nusantara memiliki lebih dari 700 anggota yang tersebar di
sepuluh regional provinsi dan secara komulatif dapat menjangkau sekitar
lima juta pengguna medsos. Jangkauan ini tentunya masih sangat sedikit
mengingat pengguna aktif medsos di Indonesia mencapai lebih dari 120
juta jiwa.
Dalam praktiknya, AIS Nusantara menerjemahkan konten keagamaan dari
kitab-kitab klasik Islam (turats) menjadi bentuk yang lebih sederhana
dengan media yang lebih variatif. Kemudian, produk tersebut
disebarluaskan melalui akun-akun pada beragam platform medsos.
Misalnya, @haditspedia, @kajiantafsir, @fiqihekonomi @fiqihperempuan,
@fiqihibadah, @kajianakhlak dan lain-lain.
AIS Nusantara secara berkala juga mengajak para pengguna medsos
untuk turut berkontribusi secara aktif dalam mengampanyekan nilai-nilai
keislaman melalui berbagai cara unik seperti penggunaan tagar tertentu,
kompetisi pembuatan poster, pengunggahan foto serentak pada momen
tertentu, dan sebagainya. Beberapa akun populer yang giat melakukan
aktivitas ini adalah @alasantri, @cahpondok, @ala_nu,
@sabdaperubahan, @santriputrihits, @pesantrenstory, @santrionline, dan
lain-lain.
Tidak sebatas online, AIS Nusantara juga memiliki beberapa program
offline dalam upaya menggugah kesadaran dan meningkatkan kapasitas
santri dalam dakwah digital. Contohnya, Madrasah Literasi Digital,
Madrasah Desain, Madrasah Fotografi dan Videografi, dan Madrasah
Dakwah Digital. Alumni dari madrasah-madrasah ini kemudian
dikelompokkan dalam beberapa komunitas kreatif. Karena selain untuk
meningkatkan kecerdasan literasi digital, tujuan lain dari program tersebut
adalah agar para santri juga aktivis keagamaan tidak hanya menjadi

51
konsumen informasi di medsos, tapi juga menjadi pembuat konten dakwah
digital.
Ala kulli hal, jihad santri sebagai kelompok masyarakat terdidik ilmu agama
dan bagian dari warga digital (digital native) adalah untuk memenangkan
pertempuran di medan dakwah digital. Dalam dunia digital, istilah izzul
Islam wal Muslimin (kemenangan Islam dan kaum Muslimin) bukan soal
menjadi trending topic di medsos, tapi lebih dari itu, adalah saat dunia
digital dipenuhi nuansa Islam yang rahmatan lil alamin serta warganet
Muslim mampu menjadi pembaca cerdas dan memiliki kompetensi literasi
digital.

52
Crowdfund dan Generasi Milenial di Indonesia

Oleh HILMAN LATIEF

Mungkin tidak terbanyangkan sebelumnya, bahwa model gerakan filantropi


akan mengalami pergeseran begitu cepat. Dewasa ini, peran kaum muda,
khususnya yang disebut generasi milenial (kerap juga disebut Gen-Y),
dalam gerakan filantropi, mulai menggeliat. Mereka anak-anak muda itu
bukan saja kelompok yang penuh inisiasi, dedikasi dan inovasi dalam
merumuskan solusi terhadap problem sosial di sekitarnya, tetapi juga
mampu menggunakan cara-cara yang khas anak muda saat ini, yaitu
kesadaran teknologi.
Banyak orang mungkin menyaksikan bagaimana akrabnya anak-anak
muda zaman sekarang dengan gadget (laptop, mobile phone, tab) dan
alat-alat komunikasi pintar lainnya yang memungkinkan mereka untuk
masuk dunia media sosial secara
Hilman Latief adalah Ketua Badan lebih lekat. Uniknya, generasi inilah
Pengurus PP Lazismu dan Wak il yang kemudian mampu
Rek tor Universitas Muhammadiyah memproyeksikan media sosial untuk
Yogyak arta (UMY) Bidang perubahan sosial melalui pelbagai
Kemahasiswaan dan Alumni. Ia bentuk penggalangan dana.
meraih gelar dok tor di Utrech
University Belanda dan gelar master Tentu, generasi milenial bukanlah
di Michigan State University penentu teknologi digital, tetapi
Amerik a Serik at. Di tulisan ini, mereka merupakan penikmat utama
Hilman memotret fenomena dari teknologi ini, bahkan sejak usia
penggalangan dana berjamaah masih sangat muda. Karena itu,
(crowdfund) yang belak angan
jangan heran bila kemudian
banyak diinisiasi generasi muda
Indonesia melalui platform online. generasi milenial mampu
Marak nya gerak an crowdfund, bagi membangun inovasi dan rumusan
Hilman, menunjuk k an adanya platform perubahan sosial dengan
k esadaran sosial dan gairah menggunakan teknologi digital.
mewujudk an sociopreneurship. Indonesia, uniknya, menjadi salah
satu negara dengan penggunaan
internet atau alat komunikasi pintar terbanyak di dunia. Dunia filantropi saat
ini, terutama di Indonesia, tidak bisa dipisahkan dari kontribusi generasi
milenial.
Cara berpikir mereka sudah “connecting” satu sama lain dengan mudah.
Cara memandang sebuah persoalan sudah mampu menggunakan “zoom”
untuk melihat lebih dekat sebuah masalah dan menyelesaikan satu bagian
sederhana. Cara mereka melihat “networking” juga sangat unik dan
menjangkau kalangan yang secara geografis jauh dari kehidupan fisik
mereka. Mereka meyakini bahwa setiap orang di generasi ini menyimpan
data, angan-angannya dan bahkan uangnya di area “cloud”. Pada saat
yang sama, anak-anak muda itu sadar bahwa setiap orang, khususnya

53
masyarakat di perkotaan dan kelas menengah setiap saat “online”. Karena
itu, harus ada cara mendekati masyarakat sekarang untuk terlibat dalam
perubahan sosial dengan tempat, isu dan waktu yang pas, dan proses
yang singkat untuk terlibat.
Kesadaran Sosial dan Crowdfund
Apa itu crowdfund? Sederhananya, istilah itu digunakan untuk menyebut
sebuah upaya menggalang dana sumbangan, biasanya jumlahnya kecil-
kecil, dari banyak orang dengan cara yang cepat dan efektif. Gerakan
dalam bentuk crowdfund biasanya bersifat instan dan cepat untuk
menyelesaikan masalah yang kasat mata, kritis dan perlu penyelesaian
dengan segera.
Di Indonesia, terdapat beberapa platform crowfund yang belakangan cukup
mewarnai dunia media sosial di Indonesia, seperti KitaBisa, Wujudkan,
AyoPeduli, GandengTangan, Akseleren, dan sebagainya. Memang, tidak
semua platform crowdfund yang ada di Indonesia bisa berjalan mulus dan
berkembang pesat. Tetapi, dalam beberapa tahun terakhir ini sudah bisa
dilihat bagaimana platform itu bergerak dan membiayai proyek-proyek
sosial, bisnis, kewirausahaan sosial, kemanusiaan, pendidikan dan
sebagainya.
Maraknya platform crowdfund menunjukkan bahwa ada gairah yang
semakin kuat di kalangan kaum muda untuk mendorong terwujudnya
kewirausahaan sosial. Kita lihat bagaimana corak proyek-proyek yang
didanai platform seperti KitaBisa, Wujudkan, AyoPeduli, GandengTangan,
atau Akseleren. Bila dilihat dari situasnya, KitaBisa sudah mendanai
berbagai proyek sosial yang mungkin belum banyak dilirik lembaga-
lembaga filantropi formal lainnya yang ada di Indonesia saat ini.
Di bidang pendidikan, KitaBisa memfasilitasi berbagai kebutuhan dana
yang diminta oleh perorangan ataupun lembaga, misalnya untuk
membiayai anak-anak keluarga miskin, beasiswa, renovasi sekolah. Di
bidang sosial, mereka dapat menggalang dana untuk kemanusiaan dan
memberi bantuan untuk keluarga miskin. Di bidang ekonomi dan teknologi,
mereka dapat menghubungkan antara orang-orang yang baru punya niat
bisnis, baru menelurkan gagasan dengan orang-orang yang memiliki
modal. Tentu dengan teknologi digital.
Dengan tingkat kreativitas mereka yang unik, terbuka dan sangat mondial,
generasi milenial dapat menjadi ujung tombak dalam menguatkan gerakan
filantropi di masa depan. Dalam konteks filantropi Islam, tentu ada banyak
lembaga filantropi yang sudah mapan saat ini, sebut saja Dompet Dhuafa,
Rumah Zakat, Institut Zakat Indonesia, Daarut Tauhid, Yayasan Dana
Sosial Al-Falah, Rumah Yatim, dan sebagainya. Namun, dalam bayangan
saya, bila generasi milenial tidak banyak dilibatkan, tentu lembaga-lembaga
filantropi “mapan” sebagaimana disebut di atas akan tergeser.
Tak heran, bila saat ini banyak lembaga filantropi mulai menggandeng
platform-platform baru yang dilahirkan generasi milenial agar bisa selaras
dengan dunia saat ini (yang populer di Indonesia dengan sebutan “zaman

54
now”). Model crowdfund yang ditawarkan oleh pemuda-pemuda kreatif saat
ini sudah “beyond infak” dalam pengertian konvensional yang menyisir
kelompok masyarakat agamis, tetapi sudah mampu menyisir kelompok-
kelompok khusus dalam konteks kelas sosial yang beragam.
Karena serba digital, tawaran crowdfund model kaum muda generasi
milenial juga serba terbuka, mendorong akuntabilitas publik yang lebih
baik. Para donatur atau penyumbang akan ter-update setiap saat berapa
penghimpunan dana yang diperolehnya dalam kurun waktu tertentu, dan
berapa banyak penerima manfaat dari proses penggalangan dana yang
dilakukan mereka. Tentu tidak semua platform crowdfund bisa berjalan
sukses, karena meyakinkan publik dalam waktu lama butuh energi dan
keuletan. Apalagi, publik saat ini yang juga sudah akrab dengan teknologi
digital akan cepat bosan. Tak heran, beberapa model gerakan filantropi
dalam bentuk corwdfund juga harus jatuh bangun untuk tetap eksis, dan
konsisten melakukan update teknologi, wacana, SDM, dan update
program.
Mungkin ada satu PR yang juga tidak mudah yang harus diselesaikan dan
pasti dihadapi oleh gerakan filantropi model seperti ini, yakni menjaga
keberlanjutan dan mempreservasi dampak perubahan yang diidamkan.
Sebagaimana karakter orang berkerumun yang cepat bubar, maka agenda
jangka panjang dan khusus dari model-model crowdfund agak sulit untuk
dirumuskan, dan apalagi untuk diukur dampaknya.
Menjadi dinamis dan lincah itu penting, tetapi konsistensi dan keuletan
memahami satu masalah dan memberikan solusi yang berdampak luas
juga sangat perlu dilakukan. Apalagi masalah sosial, ekonomi, pendidikan,
budaya yang dihadapi masyarakat kita kompleks dan butuh pendekatan
multidimensi untuk menyelesaikannya. Bantuan dari banyak orang penting,
tetapi menjaga komitmen agar orang tetap “setia” menjadi mitra, tidak kalah
pentingnya. Menyelesaikan persoalan secara cepat dan instan mungkin
dibutuhkan, tetapi melakukan langkah agar masalah yang sama tidak
muncul kembali perlu ketekunan.
Dunia digital, yang kadang serba instan, memang sangat membantu untuk
mempercepat proses pengembangbiakan informasi, termasuk dalam
gerakan filantropi. Namun, selain generasi milenial yang serba online, mutu
dampak yang diidamkan dari gerakan filantropi sangat bergantung kepada
mereka yang bekerja “offline”. Saya yakin, generasi milenial pun masih
harus banyak belajar untuk memadukan dunia online dan offline. Indonesia
zaman now sangat butuh keduanya.

55
Empati Digital bagi Generasi Milenial

Oleh FARINIA FIANTO

It takes a village to raise a child. Itulah peribahasa dari benua Afrika perihal
konsep pendidikan dan pengasuhan anak, di mana semua elemen
masyarakat (dan juga negara) berperan penting dan bertanggung jawab
membesarkan seorang anak. Tentu saja, tantangan setiap zaman dan
generasi sungguh berbeda.
Tantangan terbesar dalam pengasuhan dan pendidikan generasi milenial di
era digital adalah mengatasi ancaman konten negatif di internet, seperti
pornografi, berita bohong (hoax), ujaran kebencian (hate speech),
penipuan (scam dan fraud), kecanduan (addiction), perundungan (bullying)
dan pemangsa anak (child predator).
Terlebih, berdasarkan rilis Kementerian Kominfo, banyak pelaku dan
korban fenomena di atas berasal
Farinia Fianto adalah direk tur dari generasi milenial, di mana
pelak sana International Center for mereka rentan menyebarkan
Islam and Pluralism (ICIP). Ia informasi yang tidak dapat
pernah ak tif di Litbang Kompas
dipertanggungjawabkan
Gramedia Group, mengajar di UIN
Syarif Hidayatullah Jak arta, dan kesahihannya (Generasi Millenial
menjadi country facilitator pada Paling Rentan dengan Bahaya
International Institute for the Study Hoax, kominfo.go.id, 9 Januari
of Islam in the Modern World (ISIM) 2017). Belum lagi, fenomena gagal
Belanda. Ia meraih MA Islamic move on pemilihan presiden 2014
Studies dari Leiden University. Di dan pemilihan kepala daerah DKI
tulisan ini, Farinia menek ank an Jakarta 2017 yang melahirkan
pentingnya literasi digital yang maraknya nyinyirisme di kalangan
diiringi dengan empati. Baginya, warganet.
dengan marak nya k onten hoax dan
ujaran k ebencian di internet, empatiRentannya generasi milenial
digital perlu menjadi pilar utama. terpapar ancaman konten negatif
tentu saja amat meresahkan, karena
masa depan bangsa menjadi taruhannya. Edukasi adalah satu-satunya
cara mengatasi masalah ini. Baik pemerintah maupun masyarakat
menyadari hal itu. Sejatinya, setiap zaman memiliki tantangan berbeda
dalam mendidik dan membesarkan generasinya. Namun, revolusi teknologi
tak ayal telah menghadirkan perubahan pola pikir, perilaku dan budaya
yang drastis dan signifikan.
Pergeseran teknologi membawa begitu banyak manfaat bagi manusia
dalam menyelesaikan rutinitasnya. Akan tetapi, di saat bersamaan,
sejumlah bahaya mengintai. Selain bahaya internet, masalah lainnya yaitu
kesenjangan pola pikir, perilaku dan budaya antara generasi milenial
sebagai digital netizen dengan generasi sebelumnya sebagai digital
migrant.

56
Pada tingkat tertentu, kesenjangan ini acapkali menyebabkan salah paham
yang berujung pada munculnya konflik antar generasi. Jika isu ini
diacuhkan, tentu akan menimbulkan implikasi serius karena generasi
milenial merasa dikekang dan tidak didukung. Begitu pula sebaliknya,
generasi digital migrant merasa tak dihormati dan dihargai.
Persoalan lain yang menjadi akar dari ancaman teknologi digital adalah
persepsi orang tentang internet atau dunia virtual. Banyak yang
beranggapan dunia virtual tidaklah sama dengan dunia keseharian,
sehingga berimplikasi terhadap perilaku mereka di dunia virtual.
Realitanya, seseorang bisa saja memiliki dua kepribadian bertolak
belakang antara di kehidupan sehari-hari dan di dunia virtual.
Tak sedikit yang menciptakan persona dan imaji yang merupakan
perwujudan impian atau obsesinya yang tak bisa diwujudkan di dunia
keseharian. Kebebasan dan keterbukaan yang ditawarkan internet dan
media sosial membuat sebagian orang terjebak euforia. Terlebih, belum
ada hukum dan sanksi setimpal bagi mereka yang tidak bertanggung jawab
di dunia virtual.
Untuk menjawab tantangan dan problema tersebut, literasi informasi media
dan digital pun didesain, dikembangkan dan dikampanyekan berbagai
elemen masyarakat dan pemerintah. Literasi digital adalah kecakapan
menggunakan media digital yang beretika dan bertanggung jawab dalam
memperoleh dan mengakses informasi untuk mencari serta
mengaplikasikan solusi atas permasalahan yang dihadapi.
Berpikir kritis menggunakan akal sehat (common sense) adalah kunci
aktivitas literasi. Namun cerdas literasi digital belumlah cukup. Banyak
warganet yang cukup literat namun masih saja terjebak dalam penyebaran
ujaran kebencian, berita bohong, dan nyinyirisme.
Literasi digital perlu menyertakan empati digital sebagai pilar utama selain
berpikir kritis. Apa itu empati digital? Menurut pakar komunikasi Central
Connecticut State University Dr Yonty Friesem, empati digital adalah
sebuah kemampuan kognitif dan emosional untuk menjadi reflektif dan
bertanggung jawab secara sosial saat menggunakan media digital.
Sejatinya, tidak ada perbedaan mencolok antara “empati digital” dan
“empati (konvesional)” dalam kehidupan sehari-hari. Keduanya sama-sama
merujuk pada kemampuan kognitif, emosi, dan afeksi seseorang dengan
memposisikan dirinya sebagai orang lain sehingga mampu mengenali
perasaan dan emosi yang dialami orang lain.
Literasi digital secara holistik menekankan pada aplikasi berpikir kritis,
berakal sehat dan berempati. Yakni membuka diri, menyelami perspektif
lain sehingga mampu memahami dan merasakan dari perspektif berbeda,
yang pada gilirannya memunculkan sikap dan karakter yang berintegritas
dan humanis.
Berangkat dari kutipan it takes a village to raise a child, dalam konteks era
digital tantangannya ialah bagaimana mendidik dan mengasuh anak

57
menjadi tugas dan tanggung jawab kolektif semua kalangan. Mulai dari
tataran paling besar yaitu negara (bahkan mungkin warga dunia) hingga
unit terkecil yakni individu. Bukan hanya tanggung jawab orang tua dan
guru. Terlebih, jika hanya dibebankan pada orang tua semata.
Semua elemen harus terlibat aktif mempersiapkan dan membekali generasi
milenial dalam kehidupan sosial dengan merujuk kepada etik, norma dan
kearifan, baik itu yang bersifat lokal maupun universal. Nilai-nilai agama
dan kearifan lokal dapat menjadi code of conduct dalam berinteraksi dan
bersosialisasi di internet dan media sosial. Nilai-nilai itu lalu didesain,
dikembangkan dan disosialisasikan secara konstan agar mudah
diaplikasikan. Perlu ditekankan bahwa teknologi sejatinya hanyalah agar
perolehan informasi dan proses komunikasi menjadi mudah dan efektif.
Singkatnya, memperkuat empati digital harus dilakukan dalam tiga tataran,
yakni keluarga, sekolah dan masyarakat. Negara dalam hal ini pemerintah
tentu saja harus hadir dan memfasilitasi penguatan literasi digital yang
holistik dalam undang-undang dan kebijakan. Pada tataran keluarga, perlu
dikembangkan tradisi berdiskusi antar anggota keluarga tentang nilai dan
tata krama yang berlaku universal dan di mana saja. Tekankan pada
seluruh anggota keluarga bahwa prestasi yang hakiki adalah dengan
menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesama dan lingkungan. Bukan
dengan capaian artifisial seperti seberapa banyak pengikut (followers) dan
likes di jejaring sosial.
Pada tataran sekolah, warga sekolah perlu dibiasakan berpikir kritis dan
praktik bersosialisasi, termasuk sosialisasi di dunia virtual untuk
menumbuhkan empati digital. Pada tataran masyarakat, perlu
dikembangkan sanksi sosial hingga perlindungan hukum. Penegakan
hukum dan undang-undang tentang apa itu kejahatan siber, bagaimana
kriterianya, dan apa saja sanksinya perlu dipertegas dan diberlakukan
terhadap pelaku.
Membangun budaya debat dan kritik konstruktif didasari sifat tabayyun
merupakan bagian dari empati digital. Konsep menghormati dan
menghargai pendapat yang dicontohkan para imam mazhab juga
semestinya menjadi landasan bagi generasi Muslim milenial dalam
membangun dan memperkuat kultur berargumentasi. Selain itu, generasi
milenial juga perlu didorong untuk aktif terlibat dalam berbagai perjumpaan
dan pertemanan, hingga memiliki aktivitas bersama dalam dunia
keseharian dan dunia virtual.
Tekankan bahwa media sosial adalah sarana membangun jejaring untuk
memperkuat persaudaraan, bukan sebaliknya. Dengan terus mengedukasi
generasi milenial mengenai literasi digital dan empati digital, ancaman dan
bahaya internet pun tentu dapat dikurangi secara signifikan sekaligus akan
memperkuat karakter dan integritas menghadapi era persaingan bebas.

58
Millenials’ Parenting, Tantangan Pengasuhan di
Era Digital

Oleh IKFINA MAUFURIYAH

Generasi milenial merupakan generasi yang mengalami gradasi episode


hidup secara konvensional pada masa kecil hingga remaja awal, dan
mengalami masa revolusi teknologi digital setelahnya. Dengan pergerakan
kondisi yang berbeda tersebut (tradisional-modern) generasi milenial
(generasi Y) memiiki keuntungan dibanding generasi sebelumnya (baby
boomers dan generasi X) dan generasi setelahnya (generasi Z dan Alfa).
Sebagai Muslim, generasi milenial yang mengalami pola asuh baby
boomers dan generasi X serta memiliki keturunan generasi Z dan Alfa ini,
memiliki beberapa keuntungan sekaligus tantangan.
Generasi milenial adalah generasi produktif yang melek teknologi
informasi. Generasi ini mengalami
Ikfina Maufuriyah adalah pengasuh dua masa hidup yang cukup
Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari bertolak belakang. Semasa kecil,
Jepara sek aligus guru MTs di generasi ini relatif mengalami
yayasan tersebut. Ia merupak an co- kondisi sosial yang bersifat
founder Yayasan Semai yang
tradisional meski teknologi
mengelola PAUD dan SD Ink lusi. Ia
juga merupak an co-founder
informasi sudah mulai berkembang,
organisasi lintas-iman Jalin Damai seperti televisi, majalah populer,
dan sek retaris lembaga Dialogue, dan komputer. Generasi ini masih
Empathic Engagement and sempat mengalami asyiknya
Peacebuilding (DEEP) Yogyak arta. permainan tradisional di masa kecil
Di tulisan ini, Fina mengulas mereka; bersosialisasi dengan
tantangan pengasuhan yang dihadapi tetangga dan teman sebaya serta
generasi milenial, baik merek a aktivitas-aktivitas lain yang
sebagai yang diasuh maupun melahirkan interaksi sosial yang
sebagai pengasuh. Diak uinya, seru dan akrab.
k ehadiran media digital sangat
mempengaruhi pola pengasuhan. Komunikasi tatap muka terjadi di
segala situasi. Bahkan pertemanan
yang jauh, semisal sahabat pena, pun hanya difasilitasi oleh korespondensi
surat menyurat yang memakan waktu berminggu-minggu proses
pengiriman. Hal ini memberikan keuntungan, bahwa relasi manusia benar-
benar terjadi secara intensif. Kondisi ini membuat pengasuhan yang
diberikan orangtua (sebagai baby boomers dan generasi X) memiliki
kualitas interaksi yang kuat, tanpa adanya distraksi dari gadget.
Berbeda dengan saat ini, kemudahan aktivasi gadget dan aksesibilitas
internet 24/7 membuat interaksi tatap muka yang intens yang sarat makna
dan kelekatan (attachment) cukup terganggu. Namun pada sisi lain,
orangtua milenial dengan mudah mendapatkan akses informasi yang
melimpah dalam menjalankan pengasuhan dan pendidikan anak. Ketika

59
anak sakit, ketika perlu inspirasi membuat aktivitas dan kreativitas di
rumah, ketika ingin membeli baju untuk anak, dan bahkan ketika sedang
lapar dan malas memasak pun kelompok milenial langsung menggunakan
internet sebagai problem solving. Terlepas benar tidaknya atau baik
buruknya informasi yang didapat.
Dalam banyak hal, kemudahan akses dan layanan dapat meningkatkan
kualitas hidup manusia, namun orangtua milenial perlu memiliki
kemampuan filterisasi informasi sehingga dapat memberikan pengasuhan
secara positif dan mutual. Hasil temuan Pew Research Center berjudul A
Portrait of Generation Next (2010) menunjukkan, meski hidup pada era
yang berbeda dari generasi orangtua mereka, generasi milenial
memandang tinggi nilai pengasuhan. Lebih dari separuh responden bahkan
mengatakan, menjadi orang tua adalah hal paling penting dalam hidup
mereka. Hal ini menunjukkan, meski lahir dari kelompok generasi berbeda,
generasi baby boom, X dan Y (milenial) memiliki kesamaan dalam menilai
pengasuhan dalam keluarga.
Keuntungan selanjutnya, generasi ini memiliki kemampuan menggunakan
teknologi informasi sehingga bisa lebih adaptable ketika mengasuh
generasi setelahnya yang jauh lebih melek gadget. Namun, bila
keuntungan ini tidak dikelola dengan baik, banyak yang justru akan tetap
terjebak sebagai pengguna teknologi yang pasif dan tidak kritis. Bahkan tak
jarang yang justru menggunakan medsos hanya untuk narsis dan ruang
eksistensi diri.
Di balik keuntungan itu, ada pula sejumlah tantangan yang harus dihadapi
generasi milenial dalam pengasuhan, baik statusnya sebagai anak maupun
sebagai orang tua. Sebagai anak, generasi milenial memiliki orangtua
(baby boomers dan generasi X) yang secara umum tidak melek teknologi
informasi. Berbeda dengan orangtuanya, generasi milenial mengalami
masa digital booming pada usia belia (remaja). Ketimpangan ini kerap
memicu konflik dan gesekan antar generasi. Ketidakmampuan orangtua
dalam mengikuti derasnya arus informasi dan teknologi membuat pola
relasi tidak seimbang. Sehingga terkadang, pengasuhan dan komunikasi
agak terhambat.
Generasi milenial cenderung memiliki perhatian terhadap pandangan orang
lain, dan lebih berorientasi membangun identitas atau branding melalui
medsos, termasuk bagaimana pola asuh yang ia berikan pada anak-
anaknya. Sering memposting aktivitas anak, apa saja yang diberikan pada
anak, hingga memposting kegiatan family time menunjukkan bahwa
orangtua milenial membutuhkan perhatian dan pandangan positif dari
orang lain.
Tantangan berikutnya adalah soal kemampuan menggunakan internet,
terutama medsos secara bijaksana. Generasi milenial yang mengalami
perkembangan teknologi secara luar biasa mengalami euforia dalam
aksesibilitas informasi dan komunikasi. Namun terkadang mereka
kehilangan empati pada orang lain, lantaran kurangnya interaksi tatap
muka. Medsos pun menjadi etalase prestasi, ragam aktivitas, wisata,

60
promosi, bahkan wadah penyampai gagasan yang sangat mudah diakses,
beserta luasnya jangkauan audiens.
Kebebasan sirkulasi informasi dan komunikasi kadangkala melemahkan
kemampuan filterisasi dan kontrol diri terhadap apa yang keluar dan apa
yang masuk. Individu kerap mengalami ketidakmampuan regulasi diri dan
memahami batas-batas etika. Tidak mengherankan bila banyak sekali
masalah yang diributkan di medsos yang sebenarnya amat dangkat dan
sepele. Menyadari tantangan ini, orangtua dapat menerapkan pola asuh
kolaboratif demokratis sehingga nilai-nilai pengasuhan sampai pada anak,
namun dengan tetap menghargai otonomi mereka.
Tantangan berikutnya adalah mengenai pola asuh generasi milenial
terhadap generasi berikutnya (generasi Z dan Alfa). Dalam mengasuh
generasi Z dan Alfa yang basis teknologinya lebih advanced, tentu
orangtua milenial memerlukan teknik yang berbeda dari pengasuhan
orangtua mereka. Oleh karena generasi Z dan Alfa merupakan kelompok
yang mengenal gadget dan media digital sejak lahir (digital native),
orangtua milenial dituntut memiliki kemampuan lebih dalam mengasuh.
Anak-anak yang lahir sebagai generasi Z dan Alfa boleh jadi menyukai hal-
hal instan dan kurang sabar dalam berproses. Apalagi yang membutuhkan
daya juang tinggi dan kegigihan (adversitas). Tentunya orangtua milenial
tetap perlu mengupayakan agar anak-anaknya bisa berproses di masa-
masa sulit agar tahu pentingnya daya juang dan kegigihan.
Pengasuhan di era digital sungguh menantang dan penuh liku. Memahami
bahwa ‘kids jaman now’ tidak hanya memperoleh informasi dari orangtua,
membuat orangtua milenial menyadari, bahwa kolaborasi dan kerjasama
dengan anak menjadi poin krusial dalam pengasuhan. Pengasuhan tak lagi
dipandang sebagai aktivitas satu arah, namun merupakan interaksi lintas
generasi yang dinamis dan multiarah.

61
Bagian III
Muslim Milenial
dan Gaya Hidup Kekinian

62
Milenialay, Sebuah Tantangan Islam Hibrida

Oleh BERNANDO J. SUJIBTO

Istilah milenial semakin santer hadir ke tengah dinamika sosiokultural


kehidupan kita, baik sebagai diskursus ilmu pengetahuan ataupun sekadar
canda ria (play, making fun). Kedua ranah ini sama-sama mencari ruang
pengakuan dengan ragam ekspresi masing-masing demi menyedot
partisipasi audien atau ─bagi yang terakhir─ melakukan banyak cara demi
mendapatkan follower atau go viral.
Sebelum masuk lebih jauh bermain-main dengan dunia milenial, saya ingin
menegaskan satu perspektif bahwa milenial adalah momentum, tanda dan
nama bagi kurun milenium ketiga, bukan sebuah teori. Pada dirinya tumbuh
subur konspirasi, polarisasi, dekonstruksi dan, pada tahap tertentu, dapat
melampaui semua yang ternamai.
Milenial, harus diakui, belum
Bernando J. Sujibto meraih mempunyai kerangka epistemologis
Master Sosiologi di Selçuk ataupun paradigma teoristis yang
University, Turk i dan k ini mengajar
sanggup membingkai wacana-
di UIN Sunan Kalijaga, Yogyak arta.
Sewak tu k uliah S1 pernah
wacana milenial secara menyeluruh.
mendapatk an beasiswa studi Ia masih akan beroperasi di ranah
Language and Culture Program di postmodernisme dengan beragam
University of South Carolina, USA variannya. Ciri utama, sebagai
tahun 2010. Sejak mahasiswa ak tif fondasi generasi milenial, adalah
menulis di media nasional dan dunia digital alias virtual dengan
sejumlah buk u. Di tulisan ini, Sujibto memanfaatkan media sosial sebagai
mengulas fenomena yang ia sebut basis dan platform gerakan.
sebagai milenialay; k ombinasi k ata
milenial dan alay. Baginya, generasi Generasi milenial sedang dan akan
ini masih terjebak dalam ruang mengalami suatu kurun di mana
permainan dan sensasi, k arenanya setiap aktivitas biasa dan bahkan
perlu menemuk an mak na dan nyinyir otomatis terhubung langsung
k edalaman nilai. dengan dunia virtual, ke jaringan
media sosial. Proses
uploading/updating (istilah milenial untuk transmisi dan transformasi) sudah
melampaui front stage dan back stage dalam dramaturginya Erving
Goffman, tapi esensi dari tindakan tersebut bisa dipandang sebagai
serentetan pertunjukan drama. Di sana realitas didistorsi dan bahkan
ternegasi, digantikan oleh citra melalui proses simulasi. Tindakan personal
seseorang dituntut untuk mencitrakan suatu di luar dirinya.
Generasi milenial bergerak massif dalam wilayah virtual di mana kesadaran
kritis kalah oleh luapan emosi dan hamburan opini. Gerakan sosial virtual
didominasi pengelolaan isu yang lebih memanfaatkan emosi dan opini
daripada kesadaran faktual yang berpijak pada ilmu pengetahuan.
Sehingga, tidak aneh jika muncul sindikat produksi hoax bernama Saracen

63
di tengah-tengah kehidupan kita. Dalam konteks ini lahirlah post-truth, anak
kandung langsung milenial.
Post-truth menandai era di mana kita memproduksi pemahaman dan
pengetahuan bercampur baur dengan keinginan (desire) dan feelings yang
melampaui fakta-fakta objektif yang semestinya menjadi dasar atas
tindakan kesadaran pada makna. Nezar Patria, editor-in-chief harian
Jakarta Post sekaligus salah satu anggota Dewan Pers, seperti dikutip
dalam geotimes.co.id, menyebut post-truth sebagai kondisi ketika informasi
bohong atau palsu (hoax) dipakai untuk menyalakan bara emosi dan
sentimen publik. Saracen, sebagai sindikat terstruktur, menjadi contoh
paling tepat diperkenalkan di sini.
Kehadiran Saracen pasti berada di luar nalar sehat dan kemanusiaan kita.
Tapi, harus disadari bahwa era milenial beroperasi melawan (tidak
menghiraukan) legitimasi, grand narration, kebenaran, ataupun fakta-fakta
empiris dengan memainkan resistensi dan chaos! Mereka menggunakan
resistensi dan chaos sebagai permainan dan making fun. Karena generasi
ini adalah generasi bermain, generasi milenialay!
Milenialay
Alay (kepanjangan “anak layangan” atau “anak lebay”) adalah istilah yang
paling tepat menegosiasikan play dan making fun di era milenial. Padanan
paling banyak dipakai adalah lebay yang dalam common sense kita berarti
adalah suatu yang dilebih-lebihkan, hiperbola. Ketika seorang disebut alay,
di waktu bersamaan ada unsur lebay yang tak bisa ditangkis. Istilah ini bagi
saya sangat tepat untuk menggambarkan simulacra, yaitu proses
menghadirkan tindakan yang pada dirinya tak ada orisinalitas.
Tindakan sosial dari setiap personal generasi milenial sarat rekayasa yang
kehadirannya selalu berlumur gimmick. Ustadz-ustadz seleb hasil produksi
media massa televisi ataupun media sosial seperti youtube adalah contoh
yang bisa dihadirkan. Karena pada dirinya tidak ada orisinalitas (seperti
kapasitas, karakter dan ilmu pengetahuan), maka yang muncul adalah
kinerja tipu muslihat. Jadi jangan terkejut jika mereka kemudian belepotan
error yang fatal.
Saya semakin yakin mengimbuhi lay (alay) untuk lema milenial (menjadi
milenialay) khususnya setelah mengenal Bahasa Turki dan menemukan
kata alay dalam kamus bahasa mereka. Alay berarti mocking, olok-olok,
gülünç (tertawaan), dan eğlence (senang-senang). Bentuk kata kerjanya
menjadi alay etmek yang mempunyai arti kurang lebih sama, dengan
tambahan arti yang semakin kuat untuk saya hadirkan dalam pembahasan
kali ini, yaitu making fun of dan making game of.
Milenialay adalah era di mana alay dan lebay berkompromi sebagai
perayaan dan sekaligus olok-olok terhadap gaya hidup yang lahir dari
proses alay etmek. Milenialay mengandaikan permainan dan simulasi
sebagai basis tindakan di mana fakta dan proses verifikasi dan cara kerja
ilmu pengetahuan tidak dibutuhkan. Mereka hanya butuh tutorial untuk
bergerak dan menjalankan aktivitasnya. Melenialay menjadi ruang terbuka

64
bagi post-truth dengan memfasilitasi pasca-nalar (post-logic) di mana
pertukaran informasi dikemas sebagai gosip dan berita burung, bukan
sebagai hasil dari proses jurnalisme.
Dalam situasi seperti itu logika menjadi lumpuh, sementara permainan
semakin ampuh. Di era milenialay, durasi semakin pendek dan gugusan
utama adalah display: susul-menyusul, saling melipat dan hapus-
menghapus. Kita tengah menghadapi sebuah penggalan era age of lost
meaning, sebuah fase sejarah di mana kita tidak lagi butuh “makna”,
melainkan “sensasi”.
Islam Hibrida
Lantas, bagaimana Islam menghadapi situasi era milenialay dan
bagaimana mempertahankan otoritasnya? Ini pertanyaan rumit karena
otoritas doktrin agama dan era milenialay hadir dengan dua unsur berbeda.
Dalam era milenialay, permainan menjadi kata kunci utama untuk bertindak
mengekspresikan nilai-nilai individual tanpa ada batasan dan tuntutan.
Sementara dalam agama, termasuk Islam, otoritas menjadi elemen penting
untuk mengajarkan nilai-nilai agama.
Generasi milenialay dengan sendirinya sudah membuktikan bagaimana
resistensi dan sikap chaostic dihadirkan dalam melawan otoritas. Dalam
Islam sendiri, narasi melawan otoritas dengan menciptakan otoritas baru
sudah terjadi secara massif, seperti pandangan dan pemahaman bahwa
kebenaran bukan hanya milik satu kelompok (aliran) Islam.
Namun, fenomena lain bisa terjadi. Misalnya, generasi milenialay yang
sudah dibekap oleh doktrin tentang legitimasi atas pemahaman teks agama
dari satu aliran, ternyata kerapkali mengingkari dan mengolok-olok atau
bahkan mengkafirkan perspektif dari kelompok lain. Ini fakta yang ironis,
tapi mudah kita temui dalam praktik keberagamaan sehari-hari.
Melihat fenomena demikian, saya mengandaikan proyeksi Islam hibrida
sebagai ruang lingkup yang luas dan beragam, yang nantinya mampu
menghadapi era milenialay dengan segenap variannya. Saya menyebutkan
Islam hibrida di sini sebagai upaya untuk menghadirkan Islam yang pada
dirinya mengandung inklusivitas, dalam aspek pemahaman dan tindakan
(amaliah).
Kesadaran inklusif dengan menerima keberagaman dan khazanah luas di
luar dirinya sehingga bisa berinteraksi secara luwes dan beradaptasi dalam
situasi apapun adalah tujuan Islam hibrida yang saya bayangkan. Hibrida
jangan dipahami secara tergesa-gesa sebagai sekadar hybrid, entitas yang
lahir dari campuran dua elemen atau lebih. Ia harus menjadi pijakan bahwa
budaya Islam, seperti pernah dibahas oleh Nurcholis Madjid (2001),
bersifat amalgam atau hibrida dari berbagai budaya.
Cak Nur memberikan contoh masjid, yang paling sederhana. Di Pondok
Indah, Jakarta Selatan, ada masjid yang sering disebut Masjid Biru. Tidak
ada mihrabnya dan tidak ada ruang kecil untuk imam di depan. Mengapa?
Karena arsiteknya, Ismail Sufyan, menganggap bahwa mihrab adalah

65
tiruan dari gereja. Tapi kalau konsekwen, maka mestinya tidak ada
menaranya. Sebab, menara adalah adaptasi dari arsitektur Persia,
arsitektur kaum Majusi.
Generasi milenialay Islam harus terbuka pada ilmu pengetahuan dan
melihat pandangan Ismail Sufyan yang tidak konsekwen tersebut sebagai
pelajaran penting. Tentu saja, masih banyak contoh-contoh lain yang tidak
bisa dinafikan, bahwa budaya Islam merupakan proses afirmasi dari
banyak kebudayaan lain.
Menyadari hal demikian, budaya Islam yang hibrida harus dijadikan fondasi
kuat untuk menghadapi era milenialay. Seradikal apapun doktrin yang
dipelajari dari teks-teks kitab suci, cara pandang inklusif akan membuat
ruang aplikasi dalam kehidupan sosial lebih harmonis. Generasi Muslim era
milenialay secara kutural tidak cocok jika harus konservatif karena
keterbukaan dan kemudahan akses informasi dan pengetahuan sudah
sangat mudah.
Sebagai penutup, saya tertarik pada tiga preferensi Islam sebagai
pendekatan Tariq Ramadan dalam memahami dan menafsirkan teks.
Three distinct steps yang diperkenalkan Ramadan adalah cara untuk
memahami doktrin dan teks dengan mengedepankan kajian dan diskusi
tanpa batas.
Pertama, memahami makna literal teks (literal meaning) dengan
mengambil teks apa adanya dari prophetic tradition (hadits). Kedua,
menawarkan bacaan dan interpretasi dari banyak ulama ihwal teks
tersebut, dengan melihat faktor dan latar sejarahnya. Ketiga, memulai dari
teks dengan beragam interpretasi dari ulama yang mempunyai otoritas,
kemudian menawarkan pemahaman dan implementasi dalam kehidupan
kita di era melenialay ini (Ramadan, 2010).

66
Fashion Muslimah Indonesia yang Kian
Kekinian

Oleh LIS SAFITRI

Indonesia diprediksi akan menjadi kiblat mode hijab dunia pada 2020. Tak
heran, sejak awal era milenium (tahun 2000), lebih-lebih mulai 2010 hingga
saat ini, tren fashion Muslimah Indonesia mengalami kemajuan amat pesat.
Perkembangan fashion Muslimah ini tak lepas dari peningkatan kuantitas
pengguna kerudung sejak 90-an dan budaya konsumerisme yang
mengiringinya.
Tulisan ini akan membahas perkembangan fashion Muslimah di Indonesia
yang dibagi dalam dua periode, yaitu tahun 1990 sampai akhir 2000-an
serta periode tahun 2010 sampai 2017. Fashion Muslimah yang dimaksud
hanya mencakup pakaian dan kerudung yang digunakan oleh lay people
atau Muslimah kebanyakan dari generasi milenial.
Tahun 1990 Hingga Akhir 2000-an
Lis Safitri adalah dosen Fak ultas
Syariah Institut Agama Islam Dibanding dekade sebelumnya,
Latifah Mubarok iyah (IAILM) jumlah pengguna kerudung sejak
Tasik malaya, dan sebelumnya 1990 sampai akhir 2000-an terus
tercatat sebagai guru dan bertambah. Selain kebebasan
pengelola Pesantren Darussalam. memilih pakaian yang semakin luas,
Ia juga seorang pek erja k reatif menurut Eva F. Amrullah,
yang memproduk si k arya rajutan
berkembangnya komunitas pengajian
santri seperti tas, syal, bros, dan
topi. Di tulisan ini, Lis mengurai
ibu-ibu terbukti memberikan
tren fashion Muslimah Indonesia kontribusi cukup signifikan. (Perlu
dari masa k e masa. Dalam dek ade dicatat, sampai akhir 80-an pengguna
ini, menurutnya, fashion Muslimah kerudung sangat sedikit jumlahnya,
banyak dimotori k alangan milenial, karena ada larangan pemerintah
k hususnya para artis, desainer dan Orde Baru bagi beberapa kelompok
selegram di mana ia tak hanya untuk menggunakan kerudung saat
menjadi pak aian k eselahan, sekolah dan bekerja.)
namun juga k omoditas bisnis.
Para da’i dan da’iyah modis ─seperti
Aa Gym, (alm) Jefry al-Buchory, dan Neno Warisman─ telah menjadi
inspirasi Muslim Indonesia bahwa mereka tetap bisa menggunakan
pakaian agamis yang modis. Bahkan “busana Muslimah” telah menjadi
istilah khusus untuk menyebut seperangkat pakaian yang menutup tubuh
sampai pergelangan tangan dan kaki, serta kerudung untuk menutupi
kepala yang digunakan umat Islam.
Perkembangan fashion pada masa ini bisa dikatakan lambat, bahkan statis.
Kebanyakan Muslimah menggunakan two pieces blus atau kemeja yang
dipadankan dengan celana atau rok, atau one piece gamis leter A dengan
lingkar rok tidak terlalu lebar.

67
Tidak ada yang mencolok dari tren masa itu, kecuali model kerudung ala
Al-Manar, sebuah grup qasidah dari Tasikmalaya, yaitu kerudung
berkopyah disertai kain yang mengalung di sekitar dada. Mode ini sangat
booming pada 90-an. Saya bersama teman-teman yang saat itu baru
masuk SD sempat memiliki beberapa kerudung model ini yang biasa
digunakan untuk mengaji di masjid sore hari.
Tahun 2000-an, pengguna busana muslimah semakin meningkat termasuk
para pelajar di sekolah negeri. Waktu SMP saya bersekolah di sekolah
umum negeri. Sampai 2003, yang menggunakan seragam sekolah
berkerudung hanya 10-15%, sementara pada 2005 jumlahnya menjadi
terbalik: pengguna seragam berkerudung mencapai 80-90%.

Kerudung model Al-Manar yang sampai saat ini masih


dipertahankan sebagai ciri khas grup qasidah asal Tasikmalaya ini
Sumber http://www.lurul a gu.com

Jumlah ini terus meningkat pada akhir 2000-an, apalagi banyak sekolah
umum negeri yang mewajibkan siswi Muslimah menggunakan seragam
berjilbab. Namun, mereka umumnya hanya menggunakan kerudung
selama di sekolah. Kalau pulang mereka melepas kerudung dan
berpakaian pendek.
Pada masa ini golongan Muslimah milenial atau Generasi Y belum banyak
berperan dalam perkembangan fashion. Posisi mereka tidak lebih dari
konsumen yang menikmati fashion generasi X dengan perkembangannya
yang lambat.
Tahun 2010 Sampai 2017
Tahun 2010 tren fashion Muslimah Indonesia mendapat momentum yang
tepat untuk berkembang. Kebebasan berpikir dan sikap terbuka disertai
kemudahan akses informasi melalui media sosial, membuat perkembangan
fashion kian meroket. Selain banyaknya selebriti yang berganti penampilan
saat menggunakan busana Muslimah, juga banyak desainer yang
mengkhususkan ruang lingkup desainnya pada fashion Muslimah.
Para desainer ini dapat kita kelompokkan menjadi dua. Ada desainer yang
benar-benar berlatar pendidikan sekolah mode, seperti Dian Pelangi dan
Jenahara Nasution. Ada pula artis yang menjadi desainer. Mereka ini tidak
berpendidikan khusus desain fashion namun memiliki pengaruh cukup kuat

68
dalam perkembangan fashion Muslimah Indonesia, misalnya Zaskia Adya
Mecca dan Risty Tagor.
Selebriti yang menjadi desainer dan desainer yang menjadi selebriti ini
pada akhirnya telah berhasil menjadi figur masyarakat Indonesia dalam
tren berbusana Muslimah. Menariknya, para figur fashion Muslimah ini
semua berasal dari generasi milenial dan telah mempengaruhi gaya
berpakaian generasi X, Y, dan Z.

Salah satu komunitas berhijab dengan model kerudung tahun 2011


Sumber hijaberscantik.com

Awal perkembangan fashion Muslimah Indonesia juga ditandai dengan


kehadiran komunitas berhijab. Dimulai dengan berdirinya Hijabers
Community yang dicetuskan Jenahara Nasution, Dian Pelangi, dan kawan-
kawannya pada akhir 2010, komunitas hijab kian hari kian menjamur.
Komunitas ini dibentuk sebagai wadah berbagi dan inspirasi, khususnya
dalam berbusana Muslimah. Selain ada hijab class yang mengembangkan
kreativitas, mereka juga menggelar pengajian bulanan, workshop tematik,
dan penggalangan dana sosial.
Di sini, ada pergeseran makna “hijaber”. Sebelum 2010, istilah “hijaber”
biasa digunakan untuk menyebut pengguna kerudung panjang yang
menutupi tangan dan pantat yang dipadankan dengan gamis lebar.
Kerudung jenis ini biasa dipakai beberaga golongan Islam tertentu, seperti
Persatuan Islam (Persis), Jamaah Tabligh (JT), dan Lembaga Dakwah
Islam Indonesia (LDII).

69
Beberapa dari mereka bahkan menggunakan cadar atau niqab. Akan
tetapi, setelah kemunculan komunitas berhijab ini kata “hijab” biasa
digunakan untuk menggantikan kata “kerudung” yaitu semua jenis kain
penutup kepala, sementara “hijaber” merujuk pada pengguna kerudung
yang relatif modis.

Salah satu contoh tutorial berjilbab


Sumber tasyagunoto.blogspot.com
Secara umum, tren berkerudung Muslimah tahun 2010 sampai 2013
adalah gaya kerudung scarf (kerudung segi panjang) yang ribet. Scarf
digunakan dengan cara diputar ke sana ke mari menghasilkan bentuk yang
rumit, sehingga banyak bermunculan tutorial berkerudung, baik berupa
video maupun foto yang dibagikan via facebook, twitter, blog, dan youtube.
Meskipun ada style khusus yang menandai tren 2010-2011, yaitu
penggunaan kerudung model hoodie dan scarf dengan mengenakan ciput
kaos. Style ini merujuk pada gaya berkerudung April Jasmine yang saat itu
banyak muncul di tayangan infotainment terkait pernikahannya dengan
Ustadz Solmet.
Model pakaian yang berkembang saat itu adalah model dress klok dengan
perpaduan tabrak warna yang sangat kontras (misalnya hijau-kuning, pink
fanta-toska). Selain dress klok, para muslimah juga terbiasa menggunakan
celana model aladin, celana kulot yang diberi karet di bagian bawahnya,
serta kaftan. Pakaian lebar dan longgar ini masih menjadi favorit sampai
2014 dengan Dian pelangi sebagai trend setter-nya.

70
Model cardigan dan klok
Kerudung ribet mulai menurun pamornya pada 2014. Scarf memang masih
menjadi andalan, namun dengan model lebih praktis, tidak seribet model
tahun-tahun sebelumnya. Model pakaian pun menjadi sedikit lebih
sederhana dengan booming-nya model cardigan. Model ini banyak
dipopulerkan Zaskia Sungkar dan Jenahara yang menjadi host acara
fashion Muslimah di salah satu stasiun televisi.
Meski banyak yang menggunakan busana lebar, tapi tidak sedikit juga
yang memakai celana begie atau pensil serta kaus ketat. Kecaman muncul
dari berbagai pihak, termasuk munculnya istilah “jilboobs” yang merupakan
akronim jilbab-boobs, untuk menyebut pakaian muslimah ketat dan
transparan disertai kerudung pendek yang tidak menutup bagian dada,
sehingga memperlihatkan lekukan tubuh, terutama bagian payudara.
Berbagai penolakan ini menghadirkan desain fashion baru yang dinamai
“hijab syar’i” pada 2016. Secara istilah, pakaian syar’i ini merujuk pada
pakaian yang memenuhi kaidah kesopanan pakaian Islami, yang terdiri dari
dress maxi disertai kerudung panjang yang menutupi bagian dada dan
pantat.
Tidak seperti kerudung panjang yang biasa digunakan oleh sekelompok
muslimah golongan Islam kanan (yang relatif monoton dari segi warna dan
model), “hijab syar’i” ini memiliki berbagai macam warna, motif, dan desain.
Lyra Virna, Risty Tagor, dan Oki Setiana Dewi adalah beberapa nama yang
ikut mempopulerkan mode ini.

71
Hijab syar’i

Menariknya, bagi kebanyakan muslimah dari golongan awam, istilah “hijab


syar’i” tidak lebih dari istilah untuk menyebut suatu model pakaian. Mereka
tidak meyakini pakaian jenis mana yang benar-benar sesuai dengan norma
Islam. Secara random saya bertanya pada teman-teman yang
menggunakan model “syar’i” ini tentang makna dan niatnya.
Ternyata banyak di antaranya yang memakai jenis ini hanya sebatas
mengikuti tren saja. Mereka menggunakannya untuk acara-acara tertentu
semacam pengajian, hajatan, atau lebaran, selebihnya memakai pakaian
biasa, bahkan tidak mengenakan kerudung pada kehidupan sehari-hari.
Akhir 2016 hingga pertengahan 2017 tren pakaian muslimah beralih pada
model celana kulot dan blus yang dipadukan dengan kerudung segi empat.
Dalam hemat saya, penggunaan kerudung ini, khususnya model printing,
sangat terpengaruh kerudung gaya Turki. Selain dikenalnya kebudayaan
Turki lewat sinetron televisi Indonesia, banyak jasa titip oleh-oleh Turki
menjadikan kerudung jenis ini tren baru di Indonesia.

72
Tren mutakhir: kulot dan kerudung segi empat printing

Perkembangan fashion periode ini memang ditandai dengan model rumit


yang kemudian terus beranjak ke arah semakin sederhana. Bahkan, tren
fashion Muslimah yang paling kekinian (celana kulot) lebih terkesan playful
dan young. Model seperti itu memang tidak hanya digunakan kalangan
milenial saja, melainkan oleh generasi X dan Z juga.
Harus diakui, dalam dekade ini perkembangan fashion Muslimah Indonesia
banyak dimotori oleh kalangan milenial, khususnya para artis, desainer,
serta selebgram, yang menjadikan busana Muslimah bukan hanya sebagai
pakaian kesalehan, tetapi juga komoditas bisnis.

73
Muslimah Ngehits di Tengah Geliat Modest
Fashion

Oleh NURJANNI ASTIYANTI

Di tengah komunitas global Muslim yang mendapat sejumlah citra buruk


akibat tragedi 9/11 dan sejumlah tindakan teror yang menyertainya, penulis
Muslimah Inggris, Shelina Zahra Janmohamed, hadir dengan spirit milenial
yang atraktif, kreatif, energik dan optimistis. Penulis buku Generation M:
Young Muslims Changing the World (2016) dan Love in a Headscarf (2009)
ini berupaya menampilkan gaya hidup kaum muda Muslim yang kekinian.
Kehadiran sosok seperti Janmohamed menarik untuk mengurai
representasi Muslim milenial, terlebih ditinjau dari cara-cara Muslimah
memaknai identitas kekinian yang ngehits. Secara lebih khusus, yaitu hak
untuk tampil ngetren namun tetap syar’i di tengah kelekatan komunitas
digital. Lantas, bagaimana dengan
Nurjanni Astiyanti adalah aparatur tren yang berkembang di kalangan
sipil negara pada Dinas Provinsi Muslimah Indonesia?
Jawa Barat sebagai guru SMKN 1
Soreang Kabupaten Bandung. Ia Menurut estimasi Badan Pusat
meraih gelar master dari Fak ultas Statistik (2013), sekitar 82,35 juta
Psik ologi Universitas Padjadjaran (34%) orang tergolong milenial, dan
pada k onsentrasi Psik ologi 41,05 juta di antaranya perempuan.
Perk embangan. Di tulisan ini,
Jika mengikuti rata-rata persentase
Nurjanni mencoba memetak an
Muslim nasional (87,13%), maka
tipologi Muslimah milenial
Indonesia yang ia k ategorik an terdapat sekitar 35,77 juta (14,7%)
dalam; pelajar-mahasiswa, early populasi Muslimah milennial
jobbers dan mamah muda; beserta Indonesia. Muslimah yang kini
gaya hidup merek a di tengah geliat berusia antara 16-37 tahun itu
modest fashion. Baginya, tersebar dalam tiga pain point
fenomena ini menarik k arena ada berbeda.
persinggungan antara nilai religio-
etnik , estetik a dan spiritualitas.Pertama, pelajar dan mahasiswa
(kelahiran 1993-2000). Mereka
tumbuh saat smartphone dan medsos sudah marak digunakan sehari-hari.
Sebagian mereka adalah lulusan SD/SMP/SMAIT, boarding school dan
sekolah plus lainnya yang berciri full-day school, banyak mata pelajaran
umum dan agama, biaya pendidikan tinggi. Sebagian di antaranya dalam
kelas dan lingkungan yang tersegregasi antar-jenis-kelamin.
Sejak kecil, mereka sudah diakrabkan dengan nilai dan ajaran Islam yang
disajikan secara bebas. Sekolah mereka, kecuali milik non-Muslim,
dianggap lumrah mewajibkan siswi dan guru perempuannya berjilbab ke
sekolah. Secara umum, mereka tumbuh di antara maraknya multiple
intelligence yang mengakomodasi beragam kecerdasan dan jalan
kesuksesan.

74
Kedua, early jobbers (kelahiran 1987-1992). Booming medsos dialami oleh
milenial tertua dalam klasifikasi ini saat memasuki SMA. Mereka menjadi
mahasiswa saat komposisi mahasiswa PTN mulai bergeser dari dominasi
mahasiswa cerdas, berkomitmen tinggi, namun orangtua kurang
beruntung, menjadi lebih berimbang dengan mahasiswa yang kurang
cerdas, variatif dalam level komitmen, namun orangtua sangat mampu.
Orangtua mereka menikmati masa emas swasembada beras Orde Baru
sekaligus terjebak dalam lilitan hutang kapitalisme global. Aspirasi mereka
untuk menjadi pengusaha relatif besar. Namun, sebagai pekerja kantoran
pun, Muslimah klasifikasi ini dimanjakan dengan kebijakan banyak
perusahaan yang menyediakan budget lebih untuk kenyamanan
karyawannya.
Ketiga, Ibu alias Mamah muda (Mahmud) kelahiran 1980-1986. Milenial ini
merupakan produk reformasi dan mengalami peralihan dari masa analog
ke masa digital di tahun-tahun SMAnya. Mengalami penurunan nilai rupiah
hingga 10 kali lipat dalam waktu singkat, mereka juga melalui transisi era
politik kampus menuju era kebebasan kampus.
Sebagian mereka mengambil peran di tengah kebebasan masa reformasi
dan berkembangnya politik kepemimpinan daerah. Kebanyakan dari
orangtua mereka termasuk korban krisis moneter yang mengalami stres
selama bergulirnya gerakan reformasi. Sebagian di antara orangtua
tersebut juga adalah inisiator penggunaan jilbab di tempat publik yang saat
itu masih banyak dilarang.
Tren Modest Fashion
Siklus fashion global saat ini mengarah pada fashion berciri pakaian yang
panjang, berbahan jatuh dan longgar, yang dikenal sebagai modest
wear/fashion. Modest fashion adalah busana yang menyembunyikan alih-
alih menonjolkan bentuk tubuh pemakainya. Professor Cultural Studies
pada London College of Fashion, University of the Arts London, Reina
Lewis, memandang modest fashion sebagai suatu terma pasar sejak
pertengahan 2000an seiring bermunculannya brand disainer dan
wirausahawan startup bermodus religi.
Pasar ini awalnya dominan di tengah pemeluk Abrahamic faiths. Seiring
dukungan brand kenamaan seperti DKNY, H&M, Dolce&Gabbana, justru
semakin banyak konsumennya yang sama sekali tidak terikat dengan religi
tertentu. Tak aneh jika modest fashion banyak diulas para blogger sebagai
cara berpenampilan yang menutup sebagian besar tubuh yang dilandasi
beraneka tujuan. Tujuan mereka terkait dengan kebutuhan nilai religio-etnik
dalam berbusana hingga pencapaian tingkat estetika dan tren yang tidak
selalu berhubungan dengan spiritualitas.
Namun, Janmohamed secara meyakinkan mengungkapkan signifikansi
Muslimah milenial dalam pesatnya modest fashion yang hanya
membutuhkan dua tahun return bagi brand papan atas. Fakta tersebut
terkait dengan peningkatan populasi kelas menengah, kesadaran fashion,
dan bermunculannya model-model hijabi yang mengusung brand indie

75
hingga internasional, baik di catwalk maupun medsos di kalangan
Muslimah milenial.
Berkat internet, model-model tersebut rutin meng-update beragam fashion
“outfit of the day” (OOTD) melalui akun instagram maupun toko online
individu atau perusahaan. Untuk pertama kalinya dalam sejarah fashion
Muslimah Indonesia, kaum milenial rutin mengunggah video tutorial
ataupun “do it yourself” (DIY) fashion berhijab melalui medsos.
Tentunya, ini memberikan dampak pemberdayaan bagi para pekerja kreatif
bidang fotografi, videografi, animasi, juga editing, untuk menghasilkan
visualisasi yang efektif. Semakin banyak follower seorang model,
selebgram, ataupun brand ambassador label tertentu, maka semakin besar
pula pengaruh marketing-nya.
Materi fashion pun merambah halal beauty yang diartikulasikan sebagai
kosmetik yang bebas pestisida, alkohol, bahan-bahan dari binatang yang
dipermentasikan serta proses yang anti-kekerasan. Demikian halnya pada
penggunaan kain-kain tradisional semisal batik dan tenun juga cutting khas
Asia semisal harajuku dan K-style dalam fashion Muslimah milenial. Pada
titik inilah, pengaruh besar Muslimah terhadap modest fashion berjalin
kelindan dengan kebutuhan konsumen yang peduli lingkungan dan nilai
etis lokal.
Komunitas Muslimah Milenial
Secara kolektif, para insan fashion tersebut saling terhubung dengan
follower yang memungkinkan mereka berkohesi. Mereka mengkaji fashion
dan keagamaan secara online maupun kopi-darat. Selain menghadirkan
muballigh dan muballighah sesama milenial dan meng-quote figur-figur
berpengaruh, kajian komunitas juga lekat dengan budaya tutur dan
testimoni yang dituliskan atau direkam pada media digital.
Meski berkomunitas, fashion dan religi menjadi wilayah yang individual.
Pantaslah Lewis menguraikan mereka sebagai feminis tulen. Mereka
memegang kendali untuk menentukan pilihan dan memanfaatkan peluang
berpenampilan stylist sesuai nilai keyakinan serta karakteristik
kepribadiannya. Mereka menjadi agen dalam transformasi berbusana yang
mempertimbangkan orisinalitas serta dampak lingkungan dan sosialnya.
Pada kelompok Muslim secara umum, dunia fashion adalah lahan yang low
prestige bagi laki-laki, namun bernilai high profile bagi perempuan. Kaum
laki-lakinya mendominasi interpretasi teks maupun penerapan riil nilai-nilai
Islam. Dalam dunia fashion yang didominasi perempuan, Muslimah milenial
mendapatkan ruang sebagai influencer independen yang diselaraskan
dengan nilai-nilai hijab yang terus menerus dipelajarinya, termasuk dalam
setting komunitas.
Semakin beragam konten maupun level pemahaman Muslimah milenial
terhadap ajaran berbusana, semakin beragam pula komunitas dengan
varian fashion penandanya. Namun, komunitas ini pun salah satunya
terbentuk berdasarkan daya beli dan strata sosial. Spesifiknya, mayoritas

76
Muslim kelas menengah Indonesia berada di level middle-low yang masih
banyak membelanjakan penghasilannya untuk menutupi kebutuhan sehari-
hari dan cicilan hutang.
Selain itu, corak komunitas tersebut terentang di antara kontinum liberal,
hingga konservatif-eksklusif. Teramat lumrah terkadang kontroversi hadir
antar-komunitas semisal komunitas liberal dengan komunitas konservatif.
Pihak pertama lebih mengedepankan simbolik fashion yang up-to-dated,
sementara pihak kedua lebih mengutamakan substansi menutup aurat
termasuk yang sunnahnya ─seperti berniqab─ tanpa terlalu abai dengan
model, warna dan detail. Dalam kondisi tertentu, di antara keduanya
muncul sikap saling mendiskreditkan. Lagi-lagi ungkapan kohesivitas juga
ujaran antar-komunitas tersebut tersampaikan efektif melalui meme
medsos.
Secara umum, berkembangnya modest fashion berlatar religio-etnik
menandai penguatan religiusitas peminatnya. Buktinya, fenomena jilboobs
yang menutup namun mengeksploitasi seksualitas penggunanya, tidak
pernah betul-betul diterima. Yang pasti, peningkatan jumlah milenial yang
berfashion menutupi aurat, menunjukkan perkembangan kesadaran
religiusitas yang signifikan di kalangan Muslimah Indonesia.
Hal tersebut lebih sebagai indikasi berkembangnya transformasi sosial
yang dibingkai Asef Bayat sebagai Islamisme di tengah masyarakat post-
sekuler; yakni manakala peningkatan modernitas dalam suatu masyarakat
terjadi beriringan dengan peningkatan kelekatan terhadap religi.

77
Musik dan Identitas di Era Milenial

Oleh MISTHOHIZZAMAN

Revolusi digital memiliki pengaruh besar terhadap selera dan pasar musik
generasi milenial. Musisi Indonesia tak lagi bergantung pada label besar
seperti Aquarius atau Sony BMG untuk merilis lagu. Para penikmat musik
pun lebih suka mendengarkan lagu via streaming youtube atau apple
music, joox, dan spotify.
Lagu-lagu terpopuler yang disukai anak muda dapat dengan mudah dilihat,
misalnya, melalui jumlah viewers di youtube. Pada 2017 ini, lima besar
musik terpopuler Indonesia versi Youtube Rewind per Desember 2017
yaitu; (1) Asal Kau Bahagia (Armada), yang rilis pada 2 Februari 2017
dengan 192m views; (2) Sayang (Via Vallen), rilis 24 Februari 2017 dengan
103m views; (3) Jaran Goyang (Nella Kharisma), rilis 26 April 2017 dengan
97m views; (4) Akad (Payung Teduh), rilis 4 September 2017 dengan 52m
views; dan (5) Surat Cinta Untuk Starla (Virgoun), rilis 14 Februari 2017
dengan 31m views.
Lima lagu itu bergenre pop, dangdut dan jazz, dengan satu tema, yaitu
cinta. Tak heran, yang terpenting dari generasi ini adalah bagaimana lagu
itu enak didengar dan menggugah emosi. Generasi milenial menyukai lagu
yang easy listening, tak begitu peduli soal kandungan nilai-nilainya.
Terlepas dari identitas di balik lagu itu.
Padahal musik, identitas, dan nilai-nilai saling terhubung satu sama lain.
Identitas adalah suatu hal yang melekat pada kehidupan seorang manusia.
Identitas perlu dimiliki, sebagai pembeda dan penyama dengan manusia
dan kelompok lainnya. Sementara nilai-nilai terkait dengan kandungan
makna dan tujuan yang tersimpan di baliknya. Adalah penting bagi
generasi milenial, untuk tak hanya menyukai sebuah lagu, tapi juga
memahami nilai-nilai, identitas, dan simbolisasi yang terkandung dalam
sebuah musik. Pada tulisan ini, saya mencoba mengulas itu.
Musik dikenal sebagai cabang kesenian yang sudah sangat tua, setara
peradaban manusia itu sendiri. Nenek moyang kita dahulu memanfaatkan
musik lebih untuk tujuan ritual. Pukulan perkusi yang ritmik, nada-nada
yang tidak terlalu fluktuatif dinyanyikan berulang-ulang, adalah beberapa
idiom dasar musik nenek moyang manusia. Pada perkembangannya,
musik terus mengalami pergerakan, pergeseran, perbenturan, reka ulang,
sampai pada tahap dapat menjadi simbol dan identitas masyarakat.
Ada beberapa hal yang mempengaruhi proses simbolisasi musik terhadap
identitas suatu suku bangsa, yang bisa berdiri sendiri dan bisa saling
berkaitan, yaitu; (1) Tahan dasar instrumen, (2) Bentuk instrumen, (3)
Teknik dan bentuk penyajian, 4) Sistem tangga nada dan pelarasan, (5),
Fungsi, (6) Syair, dan (7) Legitimasi politik dan sosial.

78
Bentuk instrumen dapat sangat unik pada beberapa suku bangsa,
sementara pada masyarakat lain kekhasannya tidaklah terlalu menonjol.
Sejarah pembentukan, pemilihan dan penetapan instrumen musik menjadi
identitas masyarakat sangatlah panjang dan berliku, terkadang dibaluri
mitologi dan legenda. Lute Arab asalnya berbadan kulit, sampai masuknya
lute Persia (barbat) pada tahun 685 ke Mekkah, sehingga lute Arab
mendapat badan dari kayu dan mulai disebut ‘ud yang berarti kayu (Karl-
Edmund Prier, 2002).
Secara sederhana, kita mengenal adanya gamelan Sunda, Jawa dan Bali,
yang terbuat dari bahan sejenis. Tetapi kita dengan mudah dapat
membedakan mana gamelan Bali, Jawa atau Sunda dari cara
memainkannya. Sistem budaya pada ketiga suku tersebut membentuk rasa
keindahan dan konstruksi sosial menjadi berbeda, dan kita dapat
mengenali pengaruhnya saat mendengar gamelan dimainkan.
Lihat bagaimana cello dimainkan dalam ansambel keroncong. Cello yang di
Barat adalah alat musik gesek, dalam ansambel keroncong malah
dimainkan dengan cara dipukul dan dipetik. Gitar yang aslinya adalah
instrumen melodis dan harmonik, tetapi di Lampung hanya menjadi alat
musik melodis yang menuntun nyanyian, dan bahkan memiliki lima steman
gitar yang berbeda. Banyak suku bangsa yang memiliki jenis instrumen
musik berbentuk khas yang hanya dimiliki suku tersebut. Semisal Sasando
di NTT, Balalaika di Rusia, Banyo di Amerika, dan Bag Pipe milik Irlandia.
Teknik penyajian juga dapat menjadi pembeda lain. Kita mengenal musik
vokal Gregorian, yang berbeda dengan cara dalang menyampaikan
suluknya. Kita juga bisa mengetahui teknik bernyanyi penyanyi pop yang
mendayu dan melankolis, rock yang garang, balada yang bertutur, dangdut
dan melayu dengan cengkok khasnya, keroncong dengan liukan nadanya,
seriosa dengan vibranya, semburan kata-kata begitu cepat yang meluncur
dari seorang rapper hingga “keluh kesah” dan gerutuan penyanyi beraliran
grunge.
Syair atau teks sebuah lagu berikut nuansa yang ditimbulkannya juga
dapat menjadi pembeda. Sehingga kita mengenal lagu dengan syair yang
jenaka dari Benyamin Sueb, syair penuh perenungan dari Ebiet G. Ade,
bahasa lugas, sederhana, dan kritis kita pahami dari Iwan Fals, bahasa
yang terkesan seenaknya dari Slank dan Jamrud, syair religiusnya
Palestrina dan Jalaluddin Rumi, dan syair pembangkit semangat dari lagu-
lagu perjuangan sampai mantra yang masih ada.
Kita juga mengenali beberapa guna dan tujuan khusus sebuah pertunjukan
diadakan, juga fungsi musik dalam masyarakat tertentu. Ada acara-acara
tertentu menuntut lagu tertentu, dengan prosesi tertentu. Fungsi musik itu
sendiri terbagi kepada dua hal: pertama, fungsi dalam ansambel dan
kedua, fungsi dalam masyarakat. Ansambel Gendang Silat menjadi
identitas masyarakat di Bengkalis Riau karena fungsinya sebagai bagian
dari ritus perkawinan dan upacara tepuk tepung tawar. Perubahan fungsi
musik yang juga menarik dapat diamati dalam penggunaan lagu anak-anak
menjadi lagu penggerak, slogan dan jargon-jargon demonstrasi.

79
Kasus lain adalah lagu “Kimigayo” yang berarti Daulat Kaisar yang berasal
dari abad ke-9. Lirik “Kimigayo” merupakan bentuk kuno puisi tradisional
Jepang yang disebut tanka dengan elemen gagaku. Pada 1880 puisi ini
diberi musik sederhana oleh Hiromori Hayashi. Musik asli yang terdengar
seperti lagu duka ini kemudian digubah ulang oleh Franz Eckert, seorang
musikus Jerman dengan memberikan musik Gregorian ke dalamnya, dan
ternyata Kimigayo tetaplah menjadi lagu Jepang, dan tidak pernah
dinyatakan sebagai lagu Gregorian berbahasa Jepang.
Contoh lain adalah Syair Abu Nawas, yang dikenal di beberapa daerah di
Indonesia, ternyata memiliki setidaknya dua versi, yaitu versi Jawa dan
Sunda. Syair yang sama menjadi berbeda karena pemakaian tangga nada,
scale dan modus yang berbeda. Versi lain lagu ini juga dapat dijumpai di
masyarakat Sumatera Barat dan Aceh.
Tangga nada, struktur musik dan ilmu harmoni juga berperan penting
dalam memberi identitas dan simbol sebuah suku bangsa. Musik
pentatonik sangat berbeda dengan musik diatonik. Kedalaman nada
(depth) yang dihasilkan gamelan tidak dimiliki oleh instrumen musik Barat,
sehingga instrumen Barat membutuhkan semacam ‘reverb’ untuk
menghadirkan kedalaman. Standarisasi ketinggian nada tertentu yang
dikenal oleh musik Barat tidak dimiliki oleh gamelan.
Interval tritonus atau fourth augmented di dalam ilmu harmoni vokal Barat
sangat dianjurkan untuk dihindari karena ketidakindahan dan kesulitan
pencapaiannya, hingga disebut diabolus in musica, sementara interval
tersebut dapat dengan mudah ditemukan dalam karya musik vokal di
Indonesia, utamanya musik pentatonis.
Sementara legitimasi politik dan sosial yang dimaksud adalah, sebuah
karya musik dapat menjadi identitas berdasarkan keputusan politik. Hampir
semua lagu kebangsaan di seluruh dunia adalah hasil keputusan politik.
Indonesia Raya dalam sejarahnya, menjadi lagu kebangsaan sejak
proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Lagu ini dicita-cita oleh
komponisnya WR Supratman sebagai lagu kebangsaan, dengan secara
jelas-jelas mencantumkan kata lagu kebangsaan di bawah teks Indonesia
Raya (Bondan Winarno, 2003).
Negara lain memiliki pengalaman berbeda. Mesir dalam sejarah
modernnya telah mengganti lagu kebangsaannya beberapa kali ─terakhir
kali tahun 1979─ sesuai dengan pergantian kepala negara. “The Star
Spangled Banner”, harus melampaui waktu selama 111 tahun untuk
disahkan sebagai lagu kebangsaan Amerika pada 1931. Sementara “Le
Marseillaise” justru diciptakan oleh Claude-Joseph Rouget de Lisle
─seorang penganut Royalis pendukung kerajaan─ pada masa Revolusi
Perancis.
Legitimasi sosial dapat kita temukan pada musik yang dikaitkan dengan
agama. Secara ilmiah, kita tidak bisa menyebut satu musik secara telak
sebagai musik agama tertentu. Penerimaan dan pengakuan musik sebagai
“milik” agama tertentu lebih bersifat sosiologis, sehingga kita menerima

80
bahwa nasyid adalah musik Islam, atau paduan suara sebagai musik
gereja.
Tak sekadar soal easy-listening yang khas budaya pop. Penting pula bagi
generasi milenial menyerap makna, nilai-nilai, dan identitas dalam
menikmati musik. Apalagi, kearifan lokal musik nusantara sungguh amat
kaya. Jadi, masih ingat “Rasa Sayange” yang didaku negara lain?
Seberapa gundahnyakah kita?

81
Gaya Hidup Sehat ala Muslim Milenial

Oleh RATIH ARRUUM LISTIYANDINI

Generasi milenial dicirikan dengan gaya hidup yang sibuk, aktif, dan
energik. Mereka menyukai banyak aktivitas. Selain bekerja, mereka suka
bergiat di komunitas, berorganisasi dan berjejaring, hingga travelling,
menulis, dan menyalurkan hobi. Jika tak dibarengi gaya hidup sehat,
stamina generasi milenial bakal mudah drop, dan merupakan investasi
yang buruk bagi masa depan kesehatan mereka.
Berdasarkan survei yang dilakukan Zurich Topas Life sepanjang 2017,
menunjukkan bahwa generasi milenial lebih sadar akan pemanfaatan
asuransi kesehatan. Tak hanya itu, survei Goldman Sachs Investment
Research juga menemukan bahwa tren konsumsi makanan sehat dan
olahraga di kalangan milenial terdapat kecenderungan lebih tinggi
dibandingkan generasi X dan baby
Ratih Arruum Listiyandini adalah boomers.
seorang psik olog k linis, dosen, dan
peneliti di Fak ultas Psik ologi Generasi milenial juga menunjukkan
Universitas Yarsi, Jak arta. Sebagai gaya hidup sehat dengan
psik olog k linis, Ratih telah menghindari rokok dan minuman
menangani berbagai k lien, beralkohol (Widiarni, 2017 dalam
termasuk individu dengan viva.co.id). Kemudian, berdasarkan
gangguan k ejiwaan, pecandu, anak survei Centre for Strategic and
berk ebutuhan k husus, pek erja sek s
International Studies (CSIS) pada
k omersial, dan para perempuan
penyintas traffick ing. Di tulisan ini, generasi milenial usia 17-29 tahun,
Ratih mengulas gaya hidup sehat juga ditemukan bahwa olahraga
k aum milenial secara holistik ; sehat adalah aktivitas yang paling diminati
fisik , ak al, jiwa dan sosial. generasi milenial (Pramudiarja, 2017,
Termasuk bagaimana pengaruh diunduh dari detikhealth.com). Hal ini
media digital, terutama tentu menjadi gejala positif.
penggunaan gadget dan media
sosial terhadap k esehatan jiwa. Terkait dengan gaya hidup sehat,
Rasulullah SAW sendiri telah
menyampaikan pentingnya menguasai beberapa jenis olahraga tertentu,
seperti berenang, memanah, dan berkuda. Selain menyehatkan, aktivitas
tersebut bisa menjadi sunnah bila dilaksanakan dengan niat beribadah.
Memakan makanan yang sehat, halal, dan thayyib, juga penting untuk
kesehatan kita. Memperhatikan gizi yang seimbang dan mengurangi
makanan-makanan berkolesterol tinggi bisa menjadi salah satu sarana
mencapai kesehatan fisik yang optimal. Hal lain yang tidak boleh dilupakan
adalah istirahat yang cukup. Dengan istirahat cukup, energi yang tadinya
terkuras, akan kembali pulih.
Selain sehat fisik, sehat akal, jiwa, dan sosial juga perlu menjadi perhatian.
Sehat akal artinya kita punya pikiran yang membawa pada kemajuan, visi

82
yang jelas, dan wawasan yang luas. Untuk mencapai hal ini, kita perlu
banyak membaca, belajar, mendengarkan, dan tak lupa mencoba
memberikan aksi nyata bagi lingkungan di sekitar kita.
Kita juga harus membangun pola pikir yang kritis dan rasional. Jangan
mudah terpengaruh pada berita yang tidak jelas sumber asal-usulnya,
apalagi bersifat menjatuhkan pihak-pihak tertentu secara berlebihan.
Manfaatkanlah akal kita untuk mencari solusi dan pemecahaan masalah
yang riil. Tak hanya sekadar mengeluh, cuap-cuap, atau mengkritik tanpa
solusi konkret.
Sehat jiwa juga perlu diperhatikan. Sehat jiwa atau ruhani tak hanya berarti
terhindar dari stres, depresi, atau kecemasan. Sehat jiwa juga berarti jiwa
yang tahan banting, mampu bangkit dari kesulitan dan menyesuaikan diri
dalam menghadapi berbagai ujian hidup. Menjadi sehat jiwa tentu
tantangan sendiri di era kekinian, yang di dalamnya terjadi perubahan dan
pergeseran nilai yang amat cepat.
Di era kekinian ini, kesehatan jiwa generasi milenial tak bisa dilepaskan
dari penggunaan gawai dan media sosial (medsos). Survei American
Psychological Association (APA) menemukan bahwa teknologi telah
memperbaiki kehidupan banyak orang. Hampir setengah dari warga
dewasa Amerika mengaku tidak dapat membayangkan hidup mereka tanpa
telepon genggam. Selain itu, sekitar 90 persen pemakai teknologi masa
kini aktif menggunakan medsos.
Angka pemakai itu bertambah 12 persen dari data yang dikumpulkan pada
2005. Pilihan medsos yang paling sering dikunjungi adalah facebook, yaitu
79%. Di urutan kedua instagram dengan 32%, disusul oleh pinterst dan
linkedIn di kisaran 29% dan twitter sekitar 24% (Susita, 2017, dalam
cnnindonesia.com). Lantas, bagaimana efeknya terhadap kesehatan jiwa?
Berdasarkan temuan APA, sepuluh tahun setelah kemunculan smartphone,
facebook dan twitter, profil perilaku baru muncul, yaitu mereka
memiliki kebiasaan setiap saat mengecek medsos (constant checker).
Masih dari laporan yang sama, para constant checker ini memilki tingkat
stres lebih tinggi dibanding rekan sebaya mereka yang tidak terlalu
terkoneksi dengan gawai dan media sosial. Dalam urutan peringkat hingga
10, di mana 1 mewakili mereka yang tidak stres dan 10 adalah mereka
yang sangat stres, generasi millenial ini berada di angka 5,3. Sementara,
batas normal berada di angka 4.4 (Susita, 2017, dalam cnnindonesia.com).
Penelitian lain terhadap generasi milenial juga mengungkapkan bahwa
mereka yang memiliki tujuh atau lebih akun medos memiliki resiko
gangguan kecemasan hingga depresi tiga kali lebih tinggi dibanding yang
hanya memiliki dua akun media sosial. Data ini merupakan kesimpulan dari
riset Brian A. Primack dari Pusat Penelitian Media, Teknologi
dan Kesehatan University of Pittsburg yang dirilis nationalgeographic.co.id.
Menurut Primack, kesibukan membangun hubungan di beberapa akun
medsos berbeda bisa merusak suasana hati dan memicu emosi negatif
(Rachmani, 2017, dalam pesona.co.id). Bagaimana dengan Anda?

83
Bila kita lihat, data-data menunjukkan bahwa perkembangan teknologi,
penggunaan gawai, dan medsos ternyata bisa berdampak negatif terhadap
kondisi kejiwaan seseorang. Hal ini terjadi terutama bila kita tidak memiliki
kesadaran seutuhnya mengenai bagaimana kita harus memanfaatkan
teknologi sesuai porsinya. Islam sendiri mengajarkan pentingnya berada di
‘pertengahan’. Artinya kita perlu membangun kesadaran dalam
menempatkan sesuatu dengan cara yang tepat dan tak boleh berlebihan.
Namun, di balik efek negatif teknologi, ada juga penemuan bahwa
penggunaan teknologi bermanfaat untuk kesehatan jiwa. Sebagai contoh,
generasi milenial lebih memilih mengatasi stres dengan teknologi. Laporan
itu menyebutkan, 67% generasi milenial berselancar di internet, dan 58%
menonton televisi untuk meringankan stress (Santi, 2017, dalam
liputan6.com). Dari yang penulis ketahui, di dunia psikologi sendiri,
teknologi juga sudah banyak dimanfaatkan untuk memfasilitasi deteksi dini
masalah kesehatan mental, membantu manajemen stres, mencegah
depresi, dan juga memperbaiki kecemasan.
Hasil-hasil penelitian psikologi yang penulis pelajari ditemukan bahwa
kondisi yang mendukung kesehatan jiwa yang baik di antaranya optimisme
akan masa depan, kedekatan dengan Tuhan, menikmati setiap harinya
dengan penuh kesadaran, bersikap welas asih terhadap diri sendiri, dan
senantiasa bersyukur dan bersabar atas segala hal yang terjadi dalam
hidup kita.
Penemuan ini sejalan dengan nilai-nilai Islam yang mendorong manusia
untuk selalu bersabar, bersyukur, dan hanya ‘bergantung’ pada Allah
semata. Agar terhindar dari stres karena faktor duniawi, Muslim milenial
perlu menelusuri lebih dalam tujuan hidup utama sebagai manusia.
Selanjutnya, penelitian-penelitian psikologi secara konsisten menemukan
adanya hubungan positif antara dukungan sosial dengan kesehatan. Cinta,
relasi yang mendalam dengan orang sekitar, serta rasa memiliki satu sama
lain akan membantu generasi milenial mendapatkan kepuasaan hidup.
Oleh karena itu, Muslim milenial perlu memanfaatkan kemajuan di era ini
tanpa melupakan pentingnya relasi sosial yang mendalam dengan orang
lain.
Interaksi sosial yang mendalam ini dapat dibangun bukan dengan hanya
sekadar mengunggah foto jalan-jalan atau pamer resto kekinian untuk
memperoleh pengakuan di medsos. Namun, yang lebih penting adalah
melakukan interaksi tatap muka, mendengarkan lawan bicara dengan
sepenuh hati, saling memberi hadiah, dan juga menjaga tutur kata untuk
tidak menyakiti orang lain. Semua itu telah dicontohkan Rasulullah.
Sebagai penutup, sehat fisik, akal, jiwa, dan sosial adalah bagian tak
terpisahkan dan saling berkaitan. Bukan hal mudah mewujudkan semua
itu. Namun, dengan niat tulus menjadikan kita sebagai bagian umat Islam
yang kuat, maka insyaAllah kita bisa mencapainya. Mari tetap menjaga
semangat dan kesehatan, karena generasi yang sehat adalah sumber
kebahagiaan dan kekuatan umat Islam di masa depan.

84
Pelancong Muslim dan Wisata Muslim Friendly

Oleh SARI WULANDARI

Sapporo, 2015. Dingin musim gugur menyapa kedatanganku di kota yang


kala itu bernuansa kuning, merah dan coklat. Alam sedang berbenah diri
bersiap menyambut kedatangan musim dingin yang menggigit di Hokkaido,
pulau paling utara Jepang ini.
Hembusan angin berbaur dengan hawa dingin menjadi kejutan selamat
datang yang cukup mengesankan. Seperti anak kecil, kepulan asap yang
keluar dari mulut tatkala bicara menjadi keasyikan tersendiri bagi saya
yang lahir dan besar di negara tropis.
Sapporo adalah kota terbesar kelima di Jepang, sekaligus ibukota perfektur
Hokkaido. Di kota ini geliat kehidupan Muslim dari berbagai negara cukup
hidup. Berbagai kegiatan seperti buka
Sari Wulandari adalah seorang bersama saat Ramadhan, Sholat Ied,
pecinta pustak a, k uliner dan dan Festival Makanan Halal rutin
travelling. Ia bek erja sebagai guru
digelar setiap tahunnya.
Bahasa Inggris di SD Budi Mulia
Yogyak arta. Saat ini, Sari tengah Enam bulan pertama, saya tinggal di
mengik uti teacher training selama kawasan dekat kampus Hokkaido
1,5 tahun di Hok k aido atas University atau lebih dikenal dengan
beasiswa the Ministry of nama Hokudai, semacam IPB-nya
Education, Culture, Sports,
Jepang, yang berletak tak jauh dari
Science and Technology (MEXT)
Jepang. Di tulisan ini, Sari pusat kota Sapporo. Di kampus ini,
mengisahk an pengalamannya saya mengikuti program intensif
sebagai pelancong Muslimah saat belajar bahasa Jepang sebagai salah
bepergian k e negara non-Muslim, satu program wajib bagi peserta
k hususnya Jepang, beserta MEXT Teacher Training Program.
tantangannya seperti penggunaan
hijab, mencari tempat shalat dan Di Hokudai maupun di kota Sapporo,
memilih mak anan halal. hidup sebagai Muslim tak sesulit yang
saya bayangkan sebelum
menginjakkan kaki di kota ini. Di sini terdapat banyak mahasiswa
international yang beragama Islam. Fasilitas dan tempat sholat pun mudah
ditemui di tempat umum, seperti di dalam kampus Hokudai, Pusat
Perbelanjaan Daimaru di Sapporo Station, Pusat Perbelanjaan Tanuki Koji,
dan tentu saja di masjid yang menjadi denyut kehidupan syiar Islam di kota
Sapporo. Bahkan saat ini Bandara Chitose dan Shiroi Koibito Chocolate
Factory yang merupakan ikon wisata kota Sapporo juga telah menyediakan
tempat sholat.
Semua kemudahan itu didapat karena pemerintah Jepang tengah gencar-
gencarnya menggalakkan program Muslim friendly untuk menarik lebih
banyak wisatawan dari negara Muslim. Hal ini juga berimplikasi pada

85
ketersediaan restoran dan hotel yang menyediakan makanan halal dan
tempat sholat.
Perlu diketahui, saat ini Jepang menduduki peringkat ketiga dalam Top 10
Muslim Millennial Muslim Traveler Destinations atau sepuluh negara tujuan
wisata Muslim. Peringkat pertama diduduki Malaysia, kedua Indonesia,
keempat Thailand, dan disusul Australia, Singapora, Uni Emirat Arab
(UEA), UK, USA, dan India. Peluang wisata sebagai penggerak
pertumbuhan ekonomi ditangkap sangat baik oleh pemerintah Jepang dan
diikuti oleh negara-negara Muslim lainnya.
Namun, kondisi sedikit berbeda saya alami ketika pindah dari Hokkaido
University ke kampus Hokkaido University of Education atau IKIP Hokkaido
untuk program Teacher Training saya. Kampus ini terletak di Ainosato,
sebuah daerah pinggiran kota, meskipun masih termasuk dalam wilayah
Kota Sapporo. Jika di Hokkaido University dan kota Sapporo, orang asing,
termasuk Muslim dengan atribut keislamannya adalah hal yang biasa
ditemui, di kampus saya yang baru ini mahasiswa internasional tidak terlalu
banyak.
Saat pertama kali masuk ke kampus ini, saya bisa merasakan pandangan
tak biasa dari karena saya mengenakan hijab. Hal yang sama juga saya
alami di lingkungan apato atau apartemen yang baru di daerah Taihe yang
lebih dekat dengan kampus Hokkaido University of Education. Sama
dengan Ainosato, di wilayah ini jarang ditemui orang asing, apalagi
Muslimah berhijab.
Seringkali saya mendapatkan tatapan menyelidik dari pengunjung
supermarket lainnya, terutama anak-anak. Dengan ekspresi antara terkejut
dan takut mereka memandang saya dari ujung kaki ke ujung rambut. Saya
hanya membalasnya dengan senyuman. Seiring waktu, orang-orang yang
saya temui mulai terbiasa dan malah bersikap ramah. Tak jarang saya
diajak bicara oleh orang-orang saat menunggu bis atau saat mengantri di
dokter.
Menyadari saya hanya mendapat kesempatan 1,5 tahun saja tinggal di
Negeri Sakura, saya berusaha memanfaatkan kesempatan sebaik mungkin
untuk travelling ke beberapa daerah, baik di pulau Hokkaido maupun di
pulau lainnya. Dari pengalaman tersebut, saya ingin membagikan
beberapa tips bepergian di negara non-Muslim bagi pelancong Muslim.
Sebagian tips ini juga berdasarkan beberapa pengalaman saya ke
Australia, Korea Selatan, dan beberapa negara lainnya.
Interaksi dengan Warga Lokal
Cerita pertama yang ingin saya bagikan adalah tentang interaksi dengan
warga lokal. Pemandangan yang indah, kota yang bersih dan bangunan
bersejarah adalah bonus sebuah perjalanan. Namun interaksi dengan
orang yang ditemui akan membekas lebih lama dan memperkaya jiwa.
Melalui perjalanan, saya mengambil banyak pelajaran dari mereka yang
berhati mulia. Seperti ketika bertemu keluarga Ito San, keluarga petani di

86
kota Yoichi, yang dengan tulus menjamu saya dan teman saya. Juga Saif
Khan, seorang Pakistan yang memiliki usaha restoran halal di Kobe. Kala
itu Saif Khan melihat saya tampak kebingungan sambil memegang peta di
sebuah trotoar di tengah kerumunan kota Kobe. Saif tak hanya memberi
petunjuk, ia bahkan mengantarkan saya sampai ke perempatan terdekat.
Dengan interaksi, kita juga bisa belajar gaya hidup dan kearifan lokal yang
dapat memperkaya spiritual. Seperti kearifan suku Ainu, suku asli
Hokkaido, yang menjaga keselarasan dengan alam. Atau ketika saya
berkunjung ke Melbourne, Australia. Dari seorang Aborigin saya belajar
bahwa suku ini selalu hidup berdampingan dengan alam tanpa mengambil
lebih dari yang diberikan alam.
Di sisi lain, pengalaman tak menyenangkan menjadi pelajaran bagi saya
untuk belajar sabar. Hal itu saya alami ketika sedang mencari tempat parkir
di kawasan Taman Rusa Kuil Daiji di Nara. Seorang bapak tua membentak
saya dan teman-teman yang hendak memarkir mobil. Namun, justru karena
tidak diizinkan, kami akhirnya menemukan tempat yang lebih dekat lokasi
setelah mencari-cari.
Makanan Halal, Shalat dan Hijab
Travelling menjadi kesempatan untuk menikmati kuliner khas suatu daerah,
tanpa mengabaikan kewajiban sebagai Muslim untuk menjaga kehalalan
makanan. Batasan bahasa pun dapat diatasi dengan beberapa strategi.
Pada masa-masa awal saya di Jepang, setiap kali belanja saya selalu
membawa daftar bahan makanan tidak halal dalam bentuk kartu. Setiap
kali akan membeli makanan dan tidak tercantum label halal, saya meminta
tolong penjaga toko atau pengunjung untuk memeriksanya. Strategi serupa
dapat pula diterapkan di negara yang tidak memakai aksara latin seperti
Korea, India, atau Nepal.
Ketika mengikuti program internasional di luar negeri, saya selalu terbuka
menyampaikan tentang batasan makanan halal. Pernah suatu waktu saya
menjadi asisten native speaker pada Super English Camp bagi siswa SMA
Jepang. Sebelum mengikuti program ini, saya sampaikan pada panitia soal
makanan yang tidak boleh saya konsumsi. Baik panitia maupun petugas
kafetaria dengan sepenuh hati berusaha menjaga agar saya mengonsumsi
makanan halal.
Pertanyaan seperti kenapa orang Islam tidak boleh makan babi terkadang
saya dapatkan. Biasanya saya memulai penjelasan tentang hukum dasar
makanan yaitu halalan thoyyiban, baru kemudian menyebutkan korelasi
makanan yang diharamkan dengan konsep makanan dan minuman dalam
Islam.
Sementara untuk menjalankan sholat, di negara seperti Jepang, Korea dan
Taiwan, sekarang sudah tersedia ruang sholat yang bersih dan nyaman, di
bandara maupun tempat-tempat wisata. Bahkan, jika berkaca dari kondisi
tempat sholat di negara-negara Muslim friendly itu, saya sering malu
sendiri. Di negara-negara yang berpenduduk mayoritas non-Muslim itu

87
tempat sholat dan fasilitas pendukung seperti tempat wudlu jauh lebih baik
dan lebih bersih daripada di negara-negara Muslim.
Jika kebetulan sedang jauh dari fasilitas yang memadai untuk sholat, saya
menjalankan sholat di manapun, di subway, di taman, di ruang pas atau
fitting room, di ruang laktasi atau di ruang tunggu. Saya bahkan pernah
sholat di atas salju tanpa alas karena tiadanya akses ke tempat yang lebih
memadai.
Sedangkan soal hijab, dari pengalaman saya berinteraksi dengan warga
lokal saya sering mendapat pertanyaan; kenapa saya berhijab? Apakah
semua wanita Muslim berhijab? Apa tidak merasa panas? Dan pertanyaan
sejenis. Saya berusaha menyampaikan dengan santun alasan yang
mendasarinya. Bahkan, saya juga mengajak mereka mencoba berhijab,
yang kemudian menjadi pengalaman mengesankan bagi mereka.
Muslim Friendly dan Friendly Muslim
Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Pepatah ini mengingatkan
saya akan pentingnya menghargai nilai yang berlaku di wilayah setempat.
Sebelum memulai perjalanan, saya biasanya mempelajari do’s dan dont’s.
Hukum yang berlaku, semisal tidak berbicara dengan keras atau menerima
telepon ketika berada di kereta bawah tanah, juga harus diperhatikan.
Setiap kali akan memotret orang atau properti pribadi, saya juga meminta
ijin terlebih dahulu agar tidak menganggu privasi.
Akhirnya, salah satu aset paling berharga orang Indonesia adalah senyum
yang tulus. Senyum juga akan membantu menebarkan energi keramahan,
baik pada warga lokal maupun pelancong lain. Program Muslim friendly
yang saat ini banyak dicanangkan di berbagai negara memang menjadi
angin segar bagi pelancong Muslim. Namun jika hal itu tidak ditemui, maka
jadilah friendly Muslim. Menjadi pelancong Muslim yang ramah.

88
Konsumerisme, Godaan Generasi Milenial

Oleh SARI NARULITA

Fenomena konsumerisme mulai banyak melanda masyarakat dari berbagai


lapisan umur, jenis kelamin ataupun status sosial. Namun ironinya,
kelompok usia yang paling menunjukan fenomena perilaku konsumtif justru
adalah kelompok remaja, kelompok yang belum mapan secara finansial.
Temuan Spire Research Indonesia (2008) mengungkapkan, remaja di
Indonesia cenderung mengikuti tren gaya hidup di mana 75 % senang
jalan-jalan di mall, 96% remaja sangat menyukai jajan, 74% remaja telah
memiliki telepon genggam pribadi dan mereka hanya memiliki 24%
tabungan yang diambil kurang dari 50% uang jajan mereka.
Hal ini diperkuat penelitian Brotoharsajo (2005) yang mengungkapkan
bahwa dalam dunia industri, remaja
Sari Narulita adalah dosen merupakan pangsa pasar potensial,
Fak ultas Ilmu Sosial Universitas melebihi kelompok yang memiliki
Negeri Jak arta. Ia meraih Licence penghasilan tetap. Hal ini
dari Universitas Al-Azhar Mesir dan dikarenakan berbagai faktor, di
master di bidang Kajian Islam dan antaranya; Pertama, remaja menjadi
Psik ologi di Universitas Indonesia.
kelompok yang berorientasi
Saat ini Sari tengah menyelesaik an
studi S3 di UIN Syarif Hidayatullah konsumtif karena masa remaja
Jak arta. Ia menulis sejumlah buk u adalah masa-masa peralihan dan
dan mempresentasik an pencarian identitas.
gagasannya pada k egiatan
Lingkungan pergaulan remaja punya
internasional di Yordania, Mesir,
banyak pengaruh terhadap minat,
Malaysia dan Australia. Di tulisan
ini, Sari menyoroti gaya hidup sikap, pembicaraan, penampilan dan
k onsumtif yang umumnya dimilik i perilaku lebih besar dibandingkan
dengan pengaruh keluarga. Hal ini
k aum remaja, beserta fak tor-fak tor
psik ologis dan sosial yang disebabkan pada masa remaja,
mempengaruhinya. mereka lebih banyak berada di luar
rumah. Mereka berusaha
melepaskan diri dari pengaruh orang tuanya. Terjadinya perubahan peran
orang tua yang tergantikan oleh teman sebaya disebabkan oleh upaya
remaja dalam mendapatkan penerimaan dari kelompok teman sebayanya.
Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Hotpascaman (2009)
mengenai hubungan antara perilaku konsumtif dengan konformitas pada
remaja. Berdasarkan hasil penelitian tersebut diketahui bahwa terdapat
hubungan postif antara perilaku konsumtif dengan konformitas pada
remaja. Berarti, semakin tinggi konformitas maka semakin tinggi pula
perilaku konsumtifnya.
Kedua, remaja memiliki kepribadian narsistik. Di antara karakteristik
kepribadian narsistik adalah rasa sensitif terhadap kritik atau kegagalan,

89
serta kebutuhan yang besar untuk dikagumi. Remaja yang memiliki rasa
bangga terhadap diri sendiri dapat dikatakan memiliki kepribadian narsistik
itu. Kepribadian narsistik merupakan perasaan bangga terhadap diri sendiri
dan selalu merasa lebih dari individu lain. Keadaan tersebut membuat
individu yang berkepribadian narsistik selalu berusaha tampil lebih dari
individu lain.
Hal itu lantas mempengaruhi perilakunya dalam mengkonsumsi suatu
barang. Biasanya, remaja berkepribadian narsistik lebih tertarik dengan
atribut-atribut yang dikenakan. Selaras dengan pendapat Elizabeth B.
Hurlock (1980) yang mengatakan bahwa penampilan bagi remaja sangat
penting, yaitu sebagai daya tarik fisik, usaha mencari dukungan sosial, dan
popularitas. Minat yang berlebihan terhadap penampilan tersebut
mendorong remaja untuk berperilaku konsumtif.
Istilah konsumtif biasa digunakan pada masalah yang berkaitan dengan
perilaku konsumen dalam kehidupannya. Salah satu gaya hidup konsumen
didasari oleh anggapan bahwa materi sebagai sesuatu yang bisa
mendatangkan kepuasan. Karenanya, demi meraih kepuasan, seseorang
yang berperilaku konsumtif cenderung bersifat boros; yakni boros dalam
membelanjakan suatu barang, bukan semata-mata karena kebutuhan,
namun mempunyai orientasi dasar yang lain.
Mereka tidak melihat pada segi kegunaan dan manfaat barang tersebut,
namun lebih didorong oleh nafsu ingin membelanjakan tanpa batasan dan
tujuan yang jelas. Karenanya, perilaku konsumtif identik dengan perilaku
konsumen yang memanfaatkan nilai uang lebih besar dari nilai produksinya
untuk barang dan jasa yang bukan menjadi kebutuhan pokok.
Kecenderungan remaja berperilaku konsumtif kini kian sulit dibendung. Hal
ini disebabkan banyaknya tawaran produk yang beredar, baik yang secara
langsung maupun melalui media massa. Bagi remaja dengan kepercayaan
diri dan kemampuan finansial yang besar dari orang tuanya, maka
penawaran ragam produk itu makin memperkuat kepribadian narsistiknya.
Namun, bagi mereka yang minder dan berupaya agar diterima dalam
komunitasnya, tak ayal sikap konformitasnya seolah menjadi dilema.
Semua itu dilakukan untuk sekadar memenuhi kepuasan semata serta
keinginan yang sifatnya untuk menaikkan prestise, menjaga gengsi,
mengikuti mode, dan berbagai alasan yang kurang penting lainnya.
Untuk bisa melihat indikator seseorang bisa dikatakan konsumtif, teori
Erich Formm bisa menjadi jawabannya. Ia mengungkapkan, perilaku
konsumtif tampak dalam empat indikator, yakni; (1) Membeli barang lebih
karena keinginan, dan bukan karena kebutuhan; (2) Memaksakan diri untuk
membeli barang di atas kemampuan finansialnya; (3) Membeli barang
melebihi kebutuhan; dan (4) Membeli barang lebih karena status dan
gengsi.
Erich Formm, lebih lanjut menjelaskan bahwa pemenuhan keinginan yang
dimaksud adalah apabila suatu barang dimiliki bukan karena kebutuhan,
namun lebih pada keinginan. Dengan alasan inilah seseorang sudah bisa

90
dikatakan konsumtif. Pada dasarnya, rasa puas pada diri manusia tidak
berhenti pada satu titik saja melainkan cenderung meningkat.
Manusia terpicu untuk selalu memuaskan dirinya dengan cara memenuhi
keinginannya, yang terkadang tidak sejalan dengan kebutuhannya.
Karenanya, seorang individu akan memiliki keinginan untuk
membelanjakan uangnya dengan mengkonsumsi barang dan jasa secara
terus menerus untuk memenuhi rasa puasnya itu.
Di kala perilaku konsumtif tak bisa dikendalikan, tanpa disadari, perilaku itu
menjadi satu patologis atau penyakit. Tak heran jika Islam sangat melarang
perilaku konsumtif dan sifat mubazir sebagaimana tertuang dalam Qs. Al-
Israa: 26-27. Bahkan ditegaskan bahwa orang yang terlalu konsumtif
adalah temannya setan.
Di lain sisi, Islam pun menentang perilaku pelit. Secara halus, al-Qur’an
menyindir individu yang berlaku pelit. Hal ini menunjukkan, Islam melarang
perilaku yang sangat berlebihan, baik itu atau boros atau terlalu loyal dalam
mengeluarkan uang untuk sesuatu yang tak diperlukan, maupun terlalu erat
memegang uang atau pelit. Islam menganjurkan penggunaannya dengan
cara yang baik, yakni di tengah antara boros dan pelit. Yakni dermawan
dan bukan boros; serta ekonomis dan bukan pelit.
Perbedaan dermawan dengan boros serta ekonomis dengan pelit adalah
pada ukuran dan takaran. Bila dalam perilaku boros seseorang cenderung
menghamburkan uangnya tanpa takaran dan ukuran yang jelas untuk
dirinya sendiri; maka dermawan adalah menyalurkan hartanya untuk
membantu orang lain dengan takaran yang jelas.
Demikian pula perbedaan ekonomis dan pelit. Bila dalam perilaku pelit
seseorang cenderung menahan pemenuhan kebutuhannya, maka dalam
ekonomis, seseorang menahan penggunaan hartanya bila di luar dari
kebutuhannya atau membelanjakan uangnya sesuai dengan takaran
kebutuhannya.
Untuk meminimalisir perilaku konsumtif, maka hal yang bisa
direkomendasikan bagi remaja adalah sebagai yaitu; Pertama, berpikir
realistis akan tujuan membeli suatu barang. Dengan demikian, diharapkan
remaja akan mampu memilah antara kebutuhan dasar dan keinginan
semata. Kedua, perlu dipahami bahwa daya beli remaja tergantung dari
pemberian orang tuanya. Dengan tidak memaksakan sesuatu di luar
kemampuannya, akan membuat remaja lebih mampu mengendalikan diri
dari keinginan yang tidak realistis
Ketiga, menetapkan prioritas atas jumlah barang yang dibutuhkan. Adanya
big sale dan diskon umumnya membuat seseorang membeli melebihi
kebutuhannya. Dengan adanya prioritas, maka kebutuhan menjadi terukur
dan kantong pun tidak bolong. Keempat, mengubah pola pikir bahwa status
didapatkan dengan pemikiran dan perilaku, dan bukan dengan penampilan.

91
Bagian IV
Menjadi Milenial,
Menjadi Lebih Bermakna

92
Mengajarkan “Kedalaman” Untuk Generasi
Milenial

Oleh AAN RUKMANA

Pada suatu hari, saya ditemui seorang kawan dari Yayasan Sabang
Merauke. Kawan tersebut bercerita tentang rencananya menggelar
program keagamaan untuk generasi milenial. Secara khusus, saya diminta
menjadi pengisi acara talkshow yang akan diselenggarakan dari kampus ke
kampus. Tanpa berpikir panjang, saya langsung menyetujui permintaan
tersebut. Alasannya sangat sederhana, karena selama ini saya terbiasa
diundang mengisi acara untuk generasi muda dengan latar beragam.
Dalam diskusi itu, ada catatan yang diberikan pada saya, bahwa audiens
berasal dari generasi milenial. Kawan saya pun berharap, saya dapat
menyampaikan pesan keagamaan
Aan Rukmana adalah dosen menggunakan bahasa yang dapat
falsafah dan agama di Universitas mereka pahami. Awalnya saya
Paramadina. Ia meraih gelar sempat bingung, karena bagi saya,
master di bidang filsafat Islam dari anak-anak muda ya tetap saja anak
Islamic College for Advance muda, meski berasal dari berbagai
Studies (ICAS) Paramadina dan
zaman berbeda. Mereka dicirikan
pernah pula mendalami filsafat
Islam beberapa bulan di Iran pada dengan stamina yang baik serta
2007 dan Vatik an pada 2010. Di imajinasi yang luas dan kreatif. Jadi,
tulisan ini, Aan mengungk ap k risis istilah “milenial” masih terasa asing
identitas yang dialami generasi bagi saya.
milenial, terutama k ehampaan
Semenjak itu, saya mulai terbiasa
hidup yang dirasak an k arena
dengan istilah milenial, sampai-
terlalu fok us pada k esuk sesan dari
sampai saya pun diberi julukan
sisi luar. Karena itu, Aan ingin
generasi milenial mendalami intimelalui program tersebut sebagai
“ustadz milenial”. Agak risih
k ebijak sanaan dan k earifan agar
sebetulnya dengan panggilan
menemuk an hak ik at hidup sejati.
tersebut, karena saya lebih nyaman
dipanggil “akang” atau cukup dengan “ustadz” saja tanpa embel-embel
milenial.
Namun apa daya, saya pun tidak dapat menghindar dari julukan tersebut.
Perlahan-lahan saya pun mulai mengkaji apa sebetulnya yang dinamakan
generasi milenial itu? Mengapa mereka dianggap berbeda dengan kita
yang lahir lebih dulu? Dan benarkah generasi milenial itu menjadi ciri khas
dari generasi muda saat ini?
Dari pengalaman saya berinteraksi dengan anak-anak remaja sekarang
(kids zaman now —istilah populer belakangan ini), saya melihat beberapa
karakter umum yang saya jumpai dari mereka. Pertama, generasi milenial
terbiasa hidup dengan teknologi komunikasi yang sangat canggih. Mereka

93
sangat lihai dalam menggunakan berbagai fitur smartphone. Mereka sudah
terbiasa hidup dengan limpahan informasi.
Anak-anak muda tersebut hidup lebih lama di hadapan layar ponsel pintar
dibandingkan dengan interaksi di dunia nyata sehari-hari. Jadi kalau dulu
ada ungkapan “sebaik-baiknya kawan duduk adalah buku” maka saat ini
pepatah yang tepat yaitu “sebaik-baiknya kawan duduk adalah
smartphone”. Tidak terbayang bagaimana mereka dapat hidup tanpa HP di
genggamannya.
Kedua, ketika belajar, generasi milenial lebih suka membaca powerpoint
daripada buku-buku tebal. Mereka merasa terbebani jika harus membaca
buku tebal. Kalaupun terpaksa membaca buku, maka yang dibaca tak jauh
dari novel-novel yang disajikan dengan bahasa yang mudah. Jika buku itu
terkait pemikiran, apalagi pemikiran agama dan filsafat, pasti mereka
menghindarinya. Kalaupun terpaksa membaca, mereka lebih suka
membaca kutipan-kutipan inspiratif terkait tema-tema seputar agama dan
filsafat.
Dari pengalaman saya mengajar mereka, saat saya menyampaikan kata-
kata bijak, mereka segera mencatatnya, bahkan langsung memviralkannya
via media sosial. Akan tetapi, jika saya mulai mengajari mereka berpikir
kritis dengan argumentasi logis dan ketat, mereka tampak bingung dan tak
berminat mengikutinya. Bertolak belakang dengan respons mereka ketika
mendengarkan kata-kata bijak.
Ketiga, generasi milenial seringkali merasa sibuk. Meski jika dirunut apa
saja kesibukannya, merekapun tidak sungguh-sungguh sibuk. Kesibukan
bermain HP atau bermain dengan kawan-kawannya sudah cukup membuat
mereka “merasa sibuk”. Sibuk yang dibuat-buat. Itulah ciri generasi milenial
ini.
Keempat, terkait dengan dunia pekerjaan, generasi milenial sangat mudah
berpindah-pindah kerjaan dari satu tempat ke tempat lainnya. Mereka
kurang loyal dengan suatu pekerjaan. Mereka lebih memilih kerja karena
suka dan tidak suka (like and dislike), bukan berdasarkan idealisme atau
loyalitas tertentu.
Kelima, generasi milenial terbiasa melakukan banyak hal dalam satu waktu
(multitasking), sehingga berakibat kurangnya pendalaman atas suatu jenis
pekerjaan. Mereka dapat melakukan banyak hal, akan tetapi kurang fokus
kepada suatu hal. Mereka bekerja asalkan beres meski tidak sungguh-
sungguh menghayatinya dengan totalitas.
Untuk poin terakhir, saya perlu memberikan catatan khusus karena justeru
di sinilah letak krisis yang sebenarnya terjadi pada generasi milenial.
Mereka terlihat sukses di luar, namun jika kita masuk ke relung batin
mereka, sebetulnya mereka mengalami krisis identitas yang luar biasa.
Mereka mengalami kehampaan hidup yang sungguh tak terperikan.
Generasi milenial hidup di pinggiran eksistensi mereka. Mereka lupa
perihal “kedalaman” dari hidup itu sendiri. Hidup yang seharusnya dihayati

94
dengan segenap totalitas pikiran dan hati digantikan dengan hidup tanpa
penghayatan. Mereka melepaskan kemampuan batinnya untuk mencerap
yang substansial dan hakiki untuk digantikan dengan kemampuan teknis
yang pragmatis.
Padahal, kemampuan mengenal “yang dalam” merupakan sumber dari
tiap-tiap kebijaksanaan dan kearifan hidup. Ini sudah terbukti sejak
berabad-abad lalu, bahwa hanya mereka yang mengenal “yang dalam-lah”
yang sungguh-sungguh akan mengenal hakikat hidup sejati. Sebaliknya,
hidup yang buta akan “hal-hal yang dalam” adalah hidup yang banal, datar
serta hidup tanpa kemuliaan. Alih-alih kebajikan hidup yang akan lahir,
justeru yang muncul adalah rangkaian kehidupan yang rutin,
membosankan, tanpa orientasi dan ujung-ujungnya yaitu keputusasaan.
Mengajarkan “kedalaman” pada generasi milenial merupakan niscaya bagi
kita yang mendamba lahirnya generasi muda yang mengerti ihwal yang
hakiki dalam hidup ini. Generasi yang lebih mengedepankan kebijaksanaan
hidup dan kemuliaannya daripada sekadar hidup yang nir-kearifan. Pribadi
yang sudah mengenal “kedalaman” ini tidak perlu bersusah payah belajar
character education, karena dirinya sendiri sudah mewujud menjadi
kebaikan itu sendiri.
Kebaikan sudah menyatu dalam pribadi yang mengenal “kedalaman” hidup
ini. Ia akan menjadi oase yang sebenarnya di tengah-tengah kehidupan
saat ini yang kering kerontang dari sisi batiniah. Untuk itu, mari kita kawal
bersama generasi milenial melalui pendidikan tentang “kedalaman hidup”
kepada mereka. Semakin mereka mengenal “yang dalam”, semakin baik
hidup mereka. InsyaAllah.

95
Yang Mengubah, Yang Menggugah

Oleh FAHD PAHDEPIE

Sebagai penulis fiksi populer, saya memfokuskan diri pada sebuah segmen
pembaca yang dalam dunia penerbitan karib disebut sebagai young-adults
atau dewasa muda. Cerita-cerita yang saya angkat biasanya seputar
penemuan jati diri, kisah cinta di persimpangan antara masa remaja
menuju dewasa (coming-of-age), juga berbagai pertanyaan dan
kegelisahaan yang menjadi potret anak-anak muda di usia 17-26 tahunan.
Pada tahun 2012, berkolaborasi dengan musisi Bondan Prakoso dan
Fade2Black, saya menulis sebuah buku berjudul Hidup Berawal dari Mimpi.
Buku itu berisi cerita-cerita yang menggambarkan situasi batin anak-anak
muda yang sedang berusaha menggapai impian dan cita-cita mereka.
Pada tahun 2013, saya menuliskan Perjalanan Rasa, percikan-percikan
permenungan tentang aneka
Fahd Pahdepie adalah seorang pertanyaan yang kerap muncul di
novelis, sociopreneur dan masa peralihan remaja menuju
intelek tual publik yang telah dewasa: Tentang hubungan
melahirk an banyak buk u best antarmanusia, pertanyaan mengenai
seller. Ia meraih Master of
kebenaran, pencarian makna cinta,
International Relations dari Monash
University Australia dan mendapat
dan seterusnya.
penghargaan Outstanding Young Melalui buku-buku yang saya tulis,
Alumni 2017 dari Australia Global saya juga bereksperimen dengan
Alumni dan Australia Awards. Di tema lain yang menjadi ciri khas
tulisan ini Fahd mengungk ap
anak muda Muslim Indonesia, atau
pentingnya k emampuan bercerita
(story telling) bagi generasi
belakangan digolongkan ke dalam
milenial. Melalui Gerak an Umrah segmen yang disebut sebagai
Gratis dan novel Hijrah Bang Tato,millenial Muslim. Saya menulis trilogi
Fahd membuk tik an bahwa Rumah Tangga (2015), Jodoh (2015)
k ek uatan cerita bisa menggugah dan Sehidup Sesurga (2016)
anak muda melak uk an perubahan. berdasarkan hasil riset dan observasi
mendalam bahwa pertanyaan dan
kegelisahaan mengenai tiga tema tersebut menjadi pusat perhatian anak
muda Muslim Indonesia dewasa ini —terutama perempuan.
Boleh dikatakan, hampir semua buku yang saya tulis itu menjadi best-
seller. Novel saya berjudul Angan Senja Senyum Pagi (2017) bahkan
sudah menjadi national best-seller nomor satu di aneka toko buku online
terkemuka sebelum bukunya terbit. Penjelasannya sederhana: Selain
karena saya sudah lama menulis di segmen pembaca ini dan sudah
memiliki lingkaran pembaca yang cukup besar, patut diduga bahwa buku-
buku tersebut mendapatkan sambutan baik di kalangan pembaca juga
karena tema-tema yang saya pilih. Tema-tema yang biasanya saya
rumuskan melalui kerja riset dan observasi yang cukup serius.

96
Hijrah Bang Tato
Di penghujung tahun 2017 ini, saya menerbitkan sebuah novel lain berjudul
Hijrah Bang Tato. Kali ini saya memilih tema lain: Tentang maskulinitas
anak muda dan kecenderungannya untuk tertarik pada narasi Islam radikal.
Di tengah fenomena tersebut, gelombang populisme Islam melahirkan
sebuah gerakan sekaligus tren bernama ‘hijrah’. Imbasnya, tema hijrah
menjadi sentral banyak percakapan, seminar, workshop, pengajian, hingga
memenuhi aneka desain pakaian dan asesoris yang digandrungi anak-
anak muda muslim Indonesia.
Sebagai penulis, saya melihat celah di sana. Jika saya bisa menyajikan
narasi lain tentang fenomena hijrah ini, saya bisa melakukan dua hal
sekaligus. Pertama, menawarkan alternatif berpikir tentang apa itu hijrah
yang juga menjadi kontra-narasi terhadap radikalisme. Kedua, saya bisa
masuk ke dalam medan percakapan dan tren yang sedang menjadi pusat
perhatian. Hasilnya, sama sekali tidak mengecewakan, di masa pre-order
Hijrah Bang Tato sudah menjadi salah satu buku paling laris di tahun 2017.
Segera disusul dengan cetak ulang kedua bahkan sebelum novel tersebut
masuk ke jaringan toko-toko buku.
Namun, melalui Hijrah Bang Tato, saya menemukan kesimpulan lain
tentang generasi Muslim milenial Indonesia. Bahwa mereka bukan hanya
tertarik dengan narasi-narasi yang dekat dengan keseharian mereka, tetapi
sekaligus memberikan dampak sosial yang bisa mereka lihat secara
langsung —tentu dengan keterlibatan mereka di dalamnya.
Novel ini saya mulai dengan sepuluh serial tulisan pendek yang saya
bagikan di blog pribadi saya di inspirasi.co (inspirasi.co/fahdpahdepie) juga
di berbagai situs jejaring sosial. Tanpa diduga, serial tulisan tersebut
mendapatkan sambutan luar biasa dari kalangan pembaca. Dalam waktu
satu bulan, aneka tulisan itu sudah disukai ratusan ribu kali, dibagikan
puluhan ribu kali, dan menjangkau jutaan pembaca.
Dari mayoritas komentar yang saya baca, mereka tertarik dengan kisah
Bang Tato karena mereka bisa melihat contoh nyata bagaimana seseorang
bisa berubah menjadi individu yang lebih baik setelah mendapatkan
kesempatan kedua (second chance) dalam hidupnya. Beralasan karena
kisah Hijrah Bang Tato saya angkat dari kisah nyata, tentang seorang
mantan preman yang memutuskan untuk berhijrah.
Ketika novel itu selesai ditulis dan siap diterbitkan, saya membuat sebuah
inisiatif lain. Menggunakan platform crowdfunding kitabisa.com, saya
membuka pre-order buku tersebut sambil mengajak pembaca untuk
melakukan donasi dalam rangka pembangunan Taman Pendidikan Quran
(TPQ) Al-Hijrah yang dikelola Bang Tato dan istrinya. Hanya butuh waktu
lima hari saja, target donasi sebesar Rp. 75.000.000,- bisa dipenuhi,
bahkan melampauinya.

97
Di sini saya mulai melihat sebuah pola, bahwa generasi Muslim milenial
Indonesia tertarik bukan hanya pada cerita atau tema cerita saja. Mereka
tertarik pada sesuatu yang dapat melampaui cerita itu, sesuatu yang
memberikan mereka ‘makna’. Jika sebuah cerita bisa mengubah atau
menggugah sesuatu dalam diri mereka, mereka cenderung mengikuti cerita
itu. Mereka tidak hanya ingin ‘bersentuhan’ dengan sebuah narasi
(interaction), mereka ingin terlibat dalam narasi (interplay).
Gerakan Umrah Gratis
Barangkali ini juga yang menjelaskan mengapa project sosial lainnya yang
saya gagas, Gerakan Umrah Gratis, bisa mendapatkan perhatian yang luas
—dimulai dari lingkaran pembaca saya yang notabene adalah para Muslim
milenial. Gerakan ini pada dasarnya adalah sebuah gerakan solidaritas
yang menggunakan kekuatan cerita (storytelling) sebagai pusatnya.
Idenya sederhana, ada tiga kelompok yang terlibat dalam gerakan ini:
Relawan, campaigner-storyteller, dan donatur. Para relawan bertugas
mencari beneficiary, calon jamaah umrah yang layak dibantu untuk
diberangkatkan umrah secara gratis. Kriteria yang diterapkan pada
dasarnya sederhana: mereka harus benar-benar sangat membutuhkan,
usianya sudah tergolong tua, serta dianggap memiliki komitmen dan
kontribusi yang cukup besar terhadap Islam. Mereka bisa muazin, guru
ngaji, ustadz kampung, marbot masjid, atau lainnya.
Setelah beneficiary diperoleh dan terverifikasi, giliran para storyteller dan
campaigner melakukan tugasnya dengan menuliskan narasi yang tepat
tentang jamaah yang akan diberangkatkan. Narasi tersebut kemudian
dikampanyekan di berbagai media sosial untuk mengajak sebanyak
mungkin orang berdonasi. Fungsi inilah yang menghubungkan jamaah
yang perlu dibantu dengan para donator. Semakin baik kemasan dan cara
berceritanya, semakin besar peluang para donatur untuk tertarik
membantu.
Berjalan sudah hampir tiga bulan, sejak Agustus 2017, dengan
menggunakan kekuatan cerita yang menggugah —serta ajakan kepada

98
para anak muda untuk melakukan perubahan— Gerakan Umrah Gratis
hingga saat ini (per November 2017) sudah berhasil mendanai setidaknya
10 jamaah umrah. Ada 11 tiket umrah gratis yang sudah terkumpul melalui
crowdfunding ini. Dan terus bergulir. Setiap jamaah yang diberangkatkan
bukan hanya diberikan tiket gratis ke tanah suci, mereka juga masing-
masing diberikan uang saku sebesar 1,000 Riyal.

Waktunya Bercerita
Berdasarkan pengalaman saya sebagai seorang penulis yang ‘bercerita’
kepada pembaca saya yang rata-rata berusia 17-26 tahun, saya melihat
bahwa pendekatan bercerita (storytelling) selalu bisa digunakan untuk
melakukan interplay bersama generasi Muslim milenial ini. Jika kita ingin
mengajak mereka melakukan sesuatu, cerita bisa dijadikan platform
pergerakannya. Lebih jauh lagi, jika kita ingin ‘menyampaikan’ sesuatu
kepada mereka, mengkampanyekan sesuatu misalnya, pendekatan
bercerita saya pikir merupakan pendekatan terbaik.
Saya melihat karakter generasi millenial sebagai para right-brainers,
meminjam istilah Daniel Pink, mereka yang mendekati berbagai persoalan
cenderung menggunakan otak kanan. Barangkali konsep six senses, enam

99
prinsip pengguna otak kanan, yang diperkenalkan Daniel Pink ini juga bisa
kita pakai ketika bercerita kepada para milenial.
Pertama, bukan hanya fungsi tetapi desain (not just function but also
design). Dalam menerbitkan sebuah buku atau merancang sebuah
gerakan, saya tidak berfokus pada fungsinya saja. Tetapi selalu
memerhatikan desainnya —bagaimana nanti semua itu dilihat dan diakses
oleh audiens-nya. Kedua, bukan hanya argumen tetapi cerita (not just
argument but also story). Dalam kasus Gerakan Umrah Gratis, misalnya,
yang terpenting bukan hanya alasan atau argumen mengapa orang harus
turut membantu, tetapi juga ‘apa ceritanya’.
Ketiga, bukan hanya fokus tetapi simfoni (not just focus but also
symphony). Simfoni penting untuk menemukan konektivitas antara satu
dengan lain hal. Keempat, bukan hanya logika tetapi juga empati (not just
logic but also emphaty). Sukses Hijrah Bang Tato menjelaskan kepada
saya tentang prinsip ini, bahwa ketika empati pembaca bisa kita sentuh,
logika ceritanya akan diterima secara lebih baik.
Kelima, bukan hanya keseriusan tetapi melibatkan keasyikan (not just
seriousness but also play). Saya melihat bahwa keasyikan untuk terlibat
bisa menggerakkan orang secara lebih baik. Keenam, dan ini yang terakhir,
bukan hanya tentang akumulasi angka-angka tetapi sekaligus makna (not
just accumulation but also meaning).
Saat saya mengerjakan penggalangan dana pembangunan TPQ Al-Hijrah
atau Gerakan Umrah Gratis, saya tidak hanya mengajak pembaca
melakukan donasi untuk melihat berapa jumlah uang yang dikumpulkan,
tetapi sekaligus mengajak mereka menemukan makna yang lebih jauh lagi:
Tentang dampak dan pengaruh yang bisa mereka berikan dengan donasi
itu.
Akhirnya, barangkali inilah saatnya bercerita. Selamat bercerita.

100
Kiprah Politik Generasi Langgas

Oleh AHMAD IMAM MUJADID RAIS

Menurut BKKBN, Indonesia akan mengalami bonus demografi yang cukup


signifikan pada periode tahun 2020-2030. Terlebih, menjelang Indonesia
Emas tahun 2045, bonus demografi ini dianggap menguntungkan bagi laju
pertumbuhan ekonomi Indonesia. Selain itu, dengan jumlahnya yang
sangat besar, secara politik akan menentukan pada momen-momen politik,
baik pemilu maupun pemilukada.
Silakan disimak fakta-fakta ini: terpilihnya banyak kepala daerah usia muda
di Indonesia karena peran generasi milenial (Ridwal Kamil di Bandung,
Bima Arya di Bogor, Emil Dardak di Trenggalek), lalu kiprah Tsamara
Amany di Teman Ahok (dan kemudian maju menjadi caleg di salah satu
partai), munculnya komunitas relawan dan bahkan partai politik berbasis
anak-anak milenial, platform pemantau
Ahmad Imam Mujadid Rais pemilu dan pemantau DPR (WikiDPR),
adalah Direk tur Riset Maarif serta gerakan-gerakan melalui tagar di
Institute for Culture and Humanity twitter, instagram atau facebook oleh
dan pengurus Lembaga para influencer.
Hubungan dan Kerjasama Luar
Negeri PP Muhammadiyah 2015- Sebagian contoh di atas adalah
2020. Rais meraih MA Hubungan fenomena maraknya aktivitas anak-
Internasional di University of anak muda di dunia politik dan
Melbourne Australia dan pernah kebijakan publik. Mereka memiliki
menjabat Ketua Umum PP Ik atan kesadaran politik yang cukup baik,
Pelajar Muhammadiyah 2004- rasional, ekonomi relatif baik, dan
2006. Di tulisan ini, Rais menginginkan adanya kebaruan di
mengulas perilak u politik generasi dunia politik yang sudah pengap.
milenial; tentang siapak ah
Maka, visi mereka utamanya adalah
merek a, dan bagaimana sik ap
dan respon politik merek a
memperbaiki keadaan bangsa.
terhadap berbagai fenomena Menginginkan kembalinya tujuan
politik di tanah air. politik sebagai “kebaikan untuk
bersama”.
Tulisan singkat ini ingin mengulas aspek perilaku politik generasi milenial.
Siapakah generasi milenial? Bagaimana sikap dan respon politik generasi
milenial terhadap berbagai fenomena politik di tanah air?
Generasi milenial merupakan generasi yang lahir pada periode 1980-2000
atau saat peralihan milenium. OMG Consulting dan Youthlab menyebutnya
sebagai “Generasi Langgas”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), langgas artinya bebas. Bebas menentukan pilihan kuliah dan
jurusan, bebas memilih pekerjaan, hingga bebas mengekspresikan
pendapat dan gagasannya.

101
Setidaknya ada dua faktor yang menjadi enabling environment munculnya
kesadaran dan partisipasi politik dari generasi milenial atau langgas ini.
Pertama, suasana kebebasan politik setelah reformasi 1998. Di tahun-
tahun itu, generasi yang lahir pada tahun 1980 berada di akhir masa SMA
atau mengawali studinya di perguruan tinggi. Mereka menyaksikan
negerinya mengalami perubahan yang signifikan setelah 32 tahun berada
di bawah kekuasaan rezim orde baru.
Wacana dan pemikiran kritis yang semula dilarang pada masa orde baru,
bebas dibicarakan dan didiskusikan. Kritik terhadap pemerintah yang
semula dianggap tabu, menjadi hal yang biasa. Partai-partai politik tumbuh
hingga ratusan jumlahnya, walau hanya 48 partai yang mengikuti pemilu
pada 1999. Izin media massa dibebaskan di masa Habibie, mengakibatkan
tumbuh kembangnya media massa, baik cetak ataupun elektronik. Media
daring pertama juga muncul saat itu, detikdotcom. Kelahiran media daring
pertama ini menandai satu fase selanjutnya yang berpengaruh pada
munculnya kesadaran untuk berpartisipasi dan mengamati dunia politik,
yaitu internet dan teknologi informasi.
Kedua, internet dan teknologi informasi. Kehadiran internet yang mulai
merambah tanah air pasca reformasi mengubah pola interaksi dan
komunikasi secara revolusioner di tengah masyarakat. Bila dulu, ketika
hendak beropini seseorang harus memiliki kedekatan dengan redaksi
media atau pola komunikasi satu arah, maka dengan generasi internet
sejak kehadiran web 2.0, pola itu berubah. Setiap orang kini bisa menjadi
pengisi konten dan berpartisipasi melalui medianya masing-masing seperti
blog, web pribadi, facebook, twitter hingga instagram.
Dengan teknologi dan informasi dalam genggaman, begitu mudah generasi
milenial mengakses informasi tentang politik beserta pernak-perniknya.
Mulai dari ketidakadilan karena kriminalisasi KPK, kritik atas kebijakan
pemerintah atau salah urus layanan publik, respon terhadap politik luar
negeri, hingga sikap kritis mereka terhadap perilaku politisi dan pejabat
negara yang korup dan hidup mewah.
Menurut survei yang dilakukan oleh Inventure, melalui lembaga
risetnya Center for Middle Class Institute, salah satu tren generasi milenial
adalah click-activist. Dengan platform semacam change.org, mereka bisa
menyuarakan kritik dan menjadi semacam kelompok penekan untuk
perubahan kebijakan.
Kedua faktor itulah yang notabene memberikan pengaruh cukup signifikan
bagi terjadinya perubahan di tengah masyarakat kita, tidak saja di kalangan
generasi muda.
Menurut William Strauss, generasi milenial memiliki kedekatan dengan
dunia digital (digital native). Dengan dua faktor tadi, setidaknya tampak
beberapa karakter yang menjadi ciri perilaku politik generasi milenial.
Dengan konsumsi informasi melalui gadget, mereka relatif terbuka
terhadap beragam pandangan-pandangan politik dan bisa berpikir kritis.

102
Sikap dan perilaku generasi milenial yang kritis dan memiliki pemikiran
terbuka ini tercermin dari survei CSIS (2017). Survei tersebut menemukan
bahwa generasi milenial memiliki kemungkinan berbeda pendapat dengan
sebagian besar kelompok lain. Namun, menurut temuan sementara CSIS,
pengaruh generasi milenial di dalam politik (dan ekonomi) belum terlalu
kuat. Namun, bila informasi yang beredar di media sosial semakin bisa
dipercaya, generasi ini akan lebih kuat.
Kekuatan yang ada belum mencerminkan kekuatan sesungguhnya
generasi milenial dapat dipahami. Mengingat dalam pilihan-pilihan politik,
mereka masih mendapat masukan dan saran dari orang tuanya. Selain itu,
perilaku mereka yang lebih memilih untuk bergabung dengan jejaring-
jejaring komunitas di dunia maya dan nyata, dibanding dengan formalisasi
jaringannya dengan partai politik atau ormasnya, menunjukkan potensi
mereka belum muncul.
Mereka lebih menyukai komunitas yang lepas dibandingkan diikat dalam
sekat-sekat partai politik. Dalam gerakan-gerakan yang disuarakan melalui
gerakan voluntarisme Jokowi saat Pemilihan Gubernur DKI dan pemilihan
presiden 2014. Bahkan, gerakan dari kelompok ini telah muncul sebelum
itu, yakni pada periode 2009-2013 ─pasca kemenangan Barrack Obama
yang inspiratif di tahun 2008. Kemenangan Obama yang menggunakan
jejaring relawan dan media sosial menjadi model untuk menggalang isu-isu
pemerintahan dan kebijakan publik.
Penulis berpendapat bahwa partisipasi politik generasi Y sangatlah
penting. Mengingat secara demografis, jumlah mereka cukup besar.
Berdasarkan hasil riset Charta Politika Indonesia, generasi milenial atau
generasi Y yang bakal memberikan sumbangsih suara pada Pemilu 2019
mendatang diperkirakan mencapai 47-50% (mediaindonesia.com, 30
Oktober 2017).
Menurut survei Perludem pada 2013 di tiga kota (Depok, Jayapura, dan
Medan), generasi milenial memiliki harapan cerah terkait kesadaran
berpolitik. Mereka tidak mau menerima suap (money politics), mengikuti isu
pemilu di media sosial, serta menganggap bahwa pendidikan politik urgen
untuk dilakukan.
Selain itu, generasi tersebut mendambakan pemimpin egaliter, sederhana,
serta memiliki harapan yang sesuai keinginan kaum muda. Bahkan, ada
kecenderungan bahwa generasi milenial bakal menggeser pemilih
tradisional yang selama ini dimiliki setiap parpol.
Situasi ini menjadi tantangan bagi setiap parpol untuk segera melakukan
inovasi demi mendulang suara generasi milenial. Pendidikan politik yang
komunikatif, egaliter, memberi solusi atas masalah yang dihadapi milenial
(pekerjaan yang layak) serta membangun moralitas baru politik (anti-
korupsi, integritas) melalui jejaring untuk berkolaborasi di antara mereka
akan menjadi nilai plus di mata generasi ini.

103
Generasi Milenial dan Budaya Menulis

Oleh YANUARDI SYUKUR

Seiring perkembangan zaman, budaya menulis tetap menjadi pilihan


transformasi ide di abad ke-21 ini, khususnya di kalangan generasi
milenial. Menurut beberapa literatur, generasi milenial ditandai dengan
berbagai ciri khas yang lebih up to date, “modern”, dan menghadirkan
inovasi dan kreativitas. Kehadiran generasi milenial ini juga melanda
kalangan Muslim muda yang lahir, dibesarkan, dan menikmati kemudahan-
kemudahan yang ditawarkan internet.
Lantas, bagaimana melihat generasi milenial ini dengan budaya menulis?
Untuk memotret hal itu, kita perlu lihat dulu beberapa “pembeda” yang ada
dalam diri mereka, kemudian kita lihat bagaimana peluang-peluang menulis
yang tersedia (bahkan terbuka lebar
Yanuardi Syukur adalah dosen, sebenarnya) untuk mereka.
penulis, editor, k onsultan, dan
trainer k epenulisan yang telah Mengandalkan Internet
menulis lebih dari 60 buk u non-
Generasi milenial mengandalkan
fik si. Ia merupak an mahasiswa
Program Dok tor Departemen internet dalam dunia kepenulisan
mereka. Dulu, ketika internet belum
Antropologi FISIP UI yang juga
berkembang, para penulis hanya
ak tif sebagai Ketua Forum Alumni
MEP Australia-Indonesia danmengandalkan bacaan dari teks-teks
buku, monograf, atau dokumen-
Koordinator Divisi Litbang Forum
Lingk ar Pena (FLP) Pusat. Di
dokumen sejauh yang dapat diakses.
tulisan ini, Yanuardi mengupas
Tapi kini, dokumen-dokumen yang
gaya menulis generasi milenial
“hard” itu telah mengalami digitalisasi
yang mengandalk an referensi
yang memudahkan netizen
digital dan bersifat nomad. Selain
mengaksesnya. Artinya, jika ingin
gaya menulis, topik -topik tulisan
merujuk apa kata Plato tentang
k has milenial yang renyah dan
keadilan, keteraturan dan karakter
populer juga layak dicermati.
masyarakat Yunani, seseorang bisa
dengan mudah membuka Google dan mengunduh buku The Republic yang
ditulis pada 380 sebelum masehi.
“Mengandalkan internet” adalah kekuatan para milenialis ketika menulis—
entah itu menulis tugas, makalah, buku, esai, atau sekadar status di media
sosial. Saat ini, para mahasiswa mulai dari tingkat sarjana, master, hingga
doktor juga menggunakan internet untuk kebutuhan tugas mereka. Hingga
para siswa SD, SMP, dan SMA juga melakukan hal yang sama. Andalan
internet memang sangat dominan. Terlebih dengan para milenialis yang
punya koneksi internet dan terhubung dengan perkembangan dunia lewat
berbagai sarana.
Namun, internet juga menyisakan masalah seperti lemahnya tingkat
verifikasi data. Terkadang, bahan-bahan yang mereka gunakan lebih

104
banyak sumber-sumber sekunder dari blog, bahkan tak jarang dari laman-
laman yang masih diragukan kebenarannya. Saat ini, perkembangan
laman memang sangat cepat, dan itu membuat milenialis terbantu, namun
juga menjadi malas mencari sumber-sumber yang otoritatif. Sumber-
sumber populer dan provokatif juga terkadang menjadi referensi, yang
kemudian dengannya mereka jadikan “alas pemikiran” untuk berkomentar
tentang subyek tertentu.
Ketika milenialis diberikan tugas, dalam contoh lain, mereka juga senang
untuk merujuk ke “bacaan orang lain” yang telah dipublikasikan, bukan
merujuk pada buku asli atau yang utama. Kendala ini biasanya untuk buku-
buku berbahasa asing dan berat untuk dipahami sekali duduk. Nah,
daripada susah-susah mencari bahan, dalam benak mereka—tentu saja
tidak semua—lebih baik cari yang mudah-mudah saja dan rujuk dari tulisan
orang lain yang mudah dipahami. Soal apakah tafsiran orang dalam tulisan
itu sudah benar atau tidak itu urusan belakangan.
Memang betul, para milenialis dikenal sebagai generasi pecandu online,
akan tetapi cara belajar efektif ala milenialis hingga saat ini belum banyak
ditemukan. Saat ini milenialis belajar sesuai dengan gaya mereka, namun
terkadang terjebak untuk menitikberatkan foto aktivitas mereka ketimbang
menguasai bahan yang harus mereka pelajari. Misalnya, ketika belajar di
perpustakaan, terkadang mereka lebih senang untuk foto bahan-bahan
tersebut ketimbang mencatat.
Pada titik ini, belajar menjadi mudah—karena bahan-bahan mudah
didapatkan—akan tetapi tidak semua dapat memanfaatkan dan menguasai
bahan-bahan yang telah difoto itu sebaik mungkin. Senang foto-foto akan
tetapi agak lemah pendalaman terhadap bahan yang dikaji tersebut. Tapi
sekali lagi, ini barulah amatan sederhana, belum merupakan simpulan dari
riset yang otoritatif.
Perkembangan Penulis Milenial
Saat ini, jika kita jalan-jalan ke Toko Buku Gramedia, ada banyak buku
baru yang diterbitkan penulis yang berusia milenial. Buku-buku mereka
umumnya ringan-ringan, renyah, dan lebih banyak berisi cerita tentang apa
yang mereka rasakan dalam kehidupan sehari-hari. Maksudnya, buku-buku
para milenialis—di toko buku—umumnya tentang tema-tema sederhana
seperti cinta, motivasi, perjuangan cita-cita, dan kalaupun tentang agama
umumnya juga menjelaskan hal-hal sederhana dalam agama.
Buku-buku agama yang mereka tulis juga tidak banyak yang berat-berat
seperti buku teks. Umumnya buku-buku Islam yang ditulis generasi milenial
bercerita tentang hal-hal ringan saja dan praktis yang dapat diamalkan
sehari-hari. Tema-tema cinta dan motivasi paling banyak ditulis. Mungkin
karena tema cinta merupakan tema yang abadi sejak zaman purba hingga
modern, atau juga karena pangsa pasar buku-buku mereka umumnya
adalah kalangan milenialis juga yang sedang dalam pencarian cinta dan
membutuhkan arahan bagaimana mencintai sesuatu dengan tulus namun
tetap berada dalam ridha Allah.

105
Memang, problem para penulis milenialis ada pada kedalaman. Soal dalam
dan dangkal memang beda-beda tiap orang tingkatannya. Ada buku yang
ditulis tebal-tebal tapi isinya ternyata dangkal juga, tapi ada juga yang
ditulis tidak tebal tapi isinya dalam. Soal dalam atau dangkal, memang
tidak bisa kita alamatkan secara tepat kepada sebuah buku. Karena
pertimbangan pasar biasanya juga dipertimbangkan ketika buku diterima
dan siap dicetak oleh penerbit. Mungkin, terkait dangkal atau dalam bagi
milenialis tidak begitu penting selama mereka merasa mendapatkan
manfaat dari sebuah buku. Artinya, jika buku dibaca, bahkan kalau dikutip
dan dijadikan status di media sosial, itu bisa jadi alamat buku itu menarik
dan tepat sasaran.
Menulis untuk Milenialis
Bagi mereka yang mau menulis buku untuk generasi milenial, maka tulisan
yang disajikan harus tepat, sejalan dengan minat generasi ini yang senang
dengan visual, yang ringan. Singkatnya, “teach, don’t preach.” Karena, jika
terlalu berat mereka akan cepat bosan, dan efeknya adalah: pesan buku
tidak tersampaikan. Budaya “instant” (yang ingin membaca buku-buku yang
ringan/artikel ringan) memang sedang dominan. Walhasil, tulisan-tulisan
berat seperti jurnal hanya menjadi konsumsi kalangan akademisi atau
mereka yang sedang bergelut dengan tugas akhir perkuliahan.
Generasi milenial juga memiliki minimal satu akun media sosial. Minimal
mereka posting satu selfie satu minggu. Mereka senang berbagi ide,
pengalaman, dan tulisan. Walaupun tidak mereka tidak sepenuhnya serius,
akan tetapi kesediaan mereka untuk membuka diri pada dunia adalah ciri
yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Dulu, orang masih tabu untuk
menceritakan pengalamannya, akan tetapi belakangan ini orang jadi biasa-
biasa saja untuk itu. Dulu posting foto—apalagi yang berada di wilayah
private—tidak biasa akan tetapi kini tidak jadi masalah.
Penulis Digital Nomad
Budaya menulis generasi milenial sekarang ini sepertinya dapat disebut
sebagai budaya menulis yang digital nomad. Artinya, mereka menjadi
penulis yang berpindah-pindah. Sebagai contoh seorang yang memiliki
follower banyak di instagram, dia ketika posting foto dan caption dapat
melakukannya di mana saja. Dan, pekerjaan yang “tidak berkantor” itu
membuatnya mendapatkan gaji dari postingan tersebut.
Saat ini, berbagai laman menyediakan promosi dan keinginan bagi mereka
yang suka publikasi untuk kebutuhan tersebarnya produk. Para blogger
misalnya, mereka dapat berkolaborasi dengan para perusahaan tertentu
untuk promosi produk dan mendapatkan benefit dari itu. Walau tidak
banyak, akan tetapi jika mereka melakukannya secara kontinyu tidak
menutup kemungkinan mereka akan mendapatkan hasil yang signifikan,
Budaya menulis yang berpindah-pindah ini sangat bergantung pada ponsel
dan kuota. Ponsel pintar atau smartphone cukup banyak membantu
mereka dalam beraktivitas. Tak ketinggalan adalah kuota. Akan tetapi,
tanpa kuota mereka juga dapat mendapatkan internet gratis di berbagai

106
spot yang menyediakan wifi gratis. Hal itu dapat mereka manfaatkan untuk
menulis.
Menulis Perdamaian
Ekstremisme kekerasan saat ini masih menjadi isu yang hangat. Entah
kenapa ekstremisme ini terjadi di berbagai negara, tak terkecuali Indonesia.
Orang yang sebelumnya pendiam tiba-tiba terdengar terlibat dalam
pemboman, ikut dalam jaringan teroris, atau juga menyebarkan berita-
berita hoax lewat media sosial.
Tugas generasi milenial saat ini salah satunya adalah menyebarkan
kedamaian di media sosial. Jika kita lihat secara jeli, dari sekian banyak
grup Whatsapp, sebagai contoh, nyaris tidak ada yang sunyi dari berita
hoax, apalagi grup yang tidak memiliki aturan dan komitmen yang ketat.
Berita hoax ini menyebar begitu cepat karena ketika isu yang dibangun
telah masuk akal, segeralah disebarkan lagi.
Maka, tugas berat para milenialis saat ini adalah menyebarkan kedamaian.
Mereka perlu menjadi penulis yang berorientasi pada perdamaian. Paling
tidak, mereka dapat menyebarkan konten-konten yang menggunakan pop-
culture, viral references dari video, buku, televisi, blog, dan video games.
Juga mereka dapat menjadi creator atau penyebar meme (gambar lucu
dengan teks) yang sifatnya populer. Singkatnya, menggabungkan antara
multimedia, grafis, infografis, dan audio akan menjadikan konten-konten
mereka lebih autentik, tetap go digital dan berkontribusi pada perdamaian.

107
Menguatkan Daya Kritis Milenial Rural

Oleh ENENG ELIS AISAH

Di suatu Minggu pada bulan Agustus 2017, Ibu menelepon ketika saya
sedang mengajak si kecil jalan-jalan. Beliau mengabarkan bahwa ada
seseorang yang hendak bertemu. Beliau tidak mengetahui nama gadis itu.
Namun menurut beliau, dia pernah belajar di MTs Negeri Ciranjang sekitar
tahun 2006-an, tempat saya mengajar. Saya berusaha mengingat gadis
tersebut. Namun petunjuk dari ibu terlalu general untuk ditebak.
Adalah Wini, seorang gadis yang pernah saya ajar sebelas tahun lalu. Tak
lama bagi saya untuk mengingat nama itu, ketika sosoknya digambarkan.
Wini adalah seorang yang begitu lekat di benak semua guru kala itu.
Seorang pribadi yang tergolong cukup pintar walaupun keluarganya
memiliki keterbatasan finansial. Saya bersyukur Wini yang saya kenal telah
bermetamorfosa menjadi seorang milenial muda yang cukup berhasil bagi
keluarganya.
Generasi milenial ini, berdasarkan data BPS akan mencapai 46% dari total
populasi Indonesia pada tahun 2020 dan akan menjadi penggerak negara
ini. Menurut beberapa sumber, generasi milenial memiliki keunikan ciri.
Laporan Pew Research Center pada Februari 2010 menyebutkan, generasi
ini terhubung dengan internet (connected), memiliki kepercayaan diri
(confident), kreatif (creative) dan terbuka terhadap perubahan (open to
change).
National Chamber Foundation (2012) menyebutkan, generasi ini memiliki
toleransi yang cukup tinggi, multitasking dan berpusat pada ke-aku-an.
Sedangkan Chip Espinoza (2015) menggambarkan generasi ini sebagai
generasi yang aku-banget, mudah terstimulasi secara berlebihan, memiliki
rentang perhatian yang pendek, mahir teknologi, memiliki kepedulian
global, sadar sosial, pribadi online dan offline, mahir multitasking dan
memiliki jadwal padat.
Namun demikian, menurut Hasanaudin Ali dan Lilik Purwadi (2017), tempat
tinggal generasi milenial menentukan pola pikir dan struktur sosial mereka.
Seorang milenial rural, yang tinggal di desa, akan memiliki pola pikir
berbeda dengan milenial urban. Mereka menyebutkan, masyarakat rural
lebih cenderung agraris, berpendidikan agama tinggi, monokultur, tertutup
dan memiliki informasi terbatas.
Sedangkan masyarakat urban lebih bersifat industrialis, berpendidikan
tinggi, multikultur, terbuka dan informasi yang tidak terbatas. Sehingga
dengan ciri milenial yang disebutkan tadi harapan hidup yang nyaman
sebagai milenial hanya bisa diraih di perkotaan sehingga banyak generasi
muda yang eksodus ke kota.

108
Seperti dalam kasus Wini, yang semula gadis desa eksodus ke kota
dengan niat utama bersekolah di sebuah perguruan tinggi. Dari narasi yang
diceritakan, dia sangat meningkatkan daya kreatif untuk bertahan hidup
dan membiayai kuliahnya. Berbeda dengan generasi milenial Amerika yang
hidup dalam kenyamanan orang tua dan atau pinjaman pendidikan dari
pemerintah (NCF, 2012), seorang Wini harus berpindah dari satu privat iqra
ke privat iqra lainnya. Dia juga menerjemahkan lembar demi lembar tugas
Bahasa Inggris teman kampus agar mampu membayar kuliah.
Selain itu Wini juga mampu meredam hasrat milenialnya hanya untuk
mengabdi di pesantren, agar ketika malam dia bisa melindungi diri dari
gelap dan tetap menjaga nilai-nilai religi yang diajarkan orang tuanya.
Sekarang Wini menikmati hasil dengan sebagai staf pengajar di sebuah
Madrasah Ibtida’iyah (MI) terkenal di Bandung sambil membantu kuliah
adiknya.
Nampaknya, dari angkatan 2006 di MTs Negeri Ciranjang hanya Wini yang
mampu seperti itu. Sosok Wini sangat percaya diri untuk out of the box.
Kepercayaan diri itu tentu berasal dari daya kritisnya terhadap informasi
yang didapat. Wini mampu mengesampingkan rayuan medsos dan fokus
pada apa yang diyakini. Keyakinan yang kuat mampu mendorong daya
pikir untuk mencari cara agar semua yang diyakini menjadi nyata. Akhirnya,
kreativitas muncul di saat-saat seperti itu.
Berbeda dengan Wini, para teman milenialnya hanya cukup mengenyam
pendidikan tinggi di Kabupaten dan setelah itu menjadi honorer atas
rekomendasi orang tua. Ada juga siswa seperti Wini, pintar dan
kekurangan tapi tak mampu meningkatkan kepercayaan diri. Wini bagi
saya adalah ikon generasi milenial rural yang berjuang menjadi milenial
seutuhnya. Dengan data BPS Kabupaten Cianjur 2015 yang menempatkan
angka partisipasi sekolah usia 18-19 sekitar 5.85%, nampaknya semakin
susah untuk menemukan sosok Wini lainya.
Namun, disayangkan kemajuan teknologi tidak melihat regional. Para
milenial rural sekarang sedang menikmati pesta arus informasi yang
membanjiri linimasa mereka. Sekarang sebuah smartpone 4G bisa dimiliki
hanya dengan harga 500.000-an rupiah. Kuota data mulai dari 5000-an.
Murahnya perangkat ini menjadikan hampir semua milenial rural pun
mampu memilikinya demi gaya hidup kekinian.
Survei sederhana yang saya lakukan terhadap para milenial di sekitar saya
menunjukkan bahwa hampir semua milenial yang pernah mengenyam
pendidikan tinggi mampu menyaring informasi yang mereka dapat sebelum
membagikannya kembali. Berbeda dengan para milenial yang tidak
mengenyam pendidikan tinggi, informasi yang mereka dapat langsung
mereka bagi tanpa memperhatikan keabsahannya.
Para milenial sering sibuk berdebat tentang agama di medsos dengan
sumber yang sangat dangkal. Mereka sangat yakin dengan postingan
seseorang tanpa melihat rujukan utama yang mendasari postingan

109
tersebut. Kasus-kasus seperti Jonru dan Saracen adalah bukti bahwa daya
kritis kita terhadap informasi masih rendah.
Dalam akun facebook TeachingEnglish.BritishCouncil, Chia Suan Chong
(18 Januari 2017) menuliskan pentingnya membaca secara kritis (critical
reading) terhadap informasi, yaitu dengan melihat akhir dari alamat web;
apakah berakhiran .com, .edu atau .org atau .co seperti ABCnews.com.co
yang nampak seperti alamat ABCNews yang resmi padahal palsu.
James Tylor (27 Mei 2017) menambahkan beberapa aspek di antaranya;
Pertama, membaca keseluruhan informasi bukan hanya sebatas judulnya
saja. Kedua, memperhatikan siapa yang menulis dan kapan postingan
tersebut dilakukan. Ketiga, mengonfrimasi berita dengan googling,
membuka sumber yang disebutkan atau bertanya kepada yang lebih
memahaminya.
Informasi yang kita dapat setiap menit nampak seperti teks netral tanpa
dosa, namun secara kumulatif informasi itu akan membentuk kehidupan
berbudaya dan bersosial (Luke, 2001). Membaca secara kritis mesti
dilakukan agar kita tidak terjebak dalam dunia yang direkayasa oleh orang
lain atau dalam bahasa Paulo Freire, agar manusia lebih menjadi manusia
(1987).
Seorang Wini bukan produk keberhasilan pendidikan karena pada waktu itu
berpikir kritis masih belum diimplementasikan di pendidikan dasar dan
menengah. Namun demikian, tidak ada kata terlambat, bagi kita para
pendidik yang berada di rural area. Mendidik adalah menjaga
kelangsungan generasi rural agar mampu membangun daerah.
Kita jangan segan untuk mengambil informasi dari internet dan
membawanya ke ruang belajar bidang kita masing-masing.
Mendiskusikannya dan mengkritisinya sehingga generasi milenial rural
mampu berpikir kritis seperti ditegaskan John Chaffee (2000), think
critically, live creatively. Semoga bonus demografi bisa menjadi berkah
bagi milenial rural.

110
Generasi Milenial, How “Green” Can You Go?

Oleh MOHAMMAD HASAN BASRI

Dampak pemanasan global (global warming) dirasakan oleh hampir


seluruh penduduk bumi. Para ahli geologi mengatakan, kita telah
memasuki era ‘anthropocene’, di mana aktivitas manusia yang demikian
dominan terhadap alam telah membawa perubahan negatif yang begitu
nyata. Intelektual Muslim Seyyed Hussein Nasr menamakan era ini sebagai
masa gerhana (eclipse era) di mana tak hanya spesies lain saja yang
terancam punah. Kelangsungan hidup manusia pun kian riskan dan
terancam. Bagaimana generasi milenial menyikapinya?
Untuk melihat seberapa besar kepedulian generasi milenial terhadap
persoalan lingkungan, setidaknya dua survei berikut bisa menjadi tolak
ukur. Pertama, survei yang dilakukan secara berkelanjutan dalam rentang
waktu 2014 sampai 2015 oleh The
Mohammad Hasan Basri saat ini Nielsen Global Survey of Corporate
sedang menempuh program Social Responsibility di 60 negara.
dok toral di the School of Science Hasil survei menunjukkan bahwa
and Psychology Western Sydney generasi milenial lebih memilih
University Australia. Sebelumnya ia
produk dan pelayanan ramah
menamatk an S2 di Center for
Religious and Cross-Cultural
lingkungan. Peningkatannya cukup
Studies (CRCS) Universitas Gadjah signifikan; 55% pada 2014 menjadi
Mada dan pernah k uliah satu 72% di tahun 2015.
semester di Temple University Kedua, sebuah perusahaan energi
Philadelphia USA. Di tulisan ini,
terbarukan bernama Masdar yang
Hasan berupaya menguk ur
seberapa besar k epedulian generasi
bermarkas di Abu Dhabi, tahun lalu
milenial terhadap persoalan (4-29 Maret 2016) melakukan survei
lingk ungan. Hasan juga mengangk at terhadap 4,704 pemuda usia 18-25
dua tok oh muda peduli lingk ungan tahun di 20 negara dengan
yang diharapk an dapat menjadi mewawancarai mereka secara
inspirasi generasi milenial. online. Obyek penelitian ini disebut
sebagai generasi ‘post-
millennials’ atau Generasi Z (Masdar Gen-Z Global Sustainability Survey).
Di antara hasil penelitian itu menunjukkan bahwa 72% Generasi Z
memandang masalah perubahan iklim dan lingkungan sebagai ancaman
paling besar bagi kehidupan di sepuluh tahun ke depan. 83% responden
mengklaim Generasi Z mempunyai tanggung jawab paling besar untuk
mencari solusi dari berbagai macam persoalan lingkungan. Dibanding
generasi lain, Generasi Z berpandangan, ada banyak hal yang bisa mereka
lakukan untuk menyelamatkan lingkungan, seperti daur ulang (58%), hemat
energi dan mengurangi konsumsi energi tak terbarukan (51%).
Hasil survei ini cukup mengejutkan karena dibandingkan dengan negara-
negara lain di belahan Amerika dan Eropa yang notabene termasuk

111
negara-negara maju, negara-negara di Asia memiliki tingkat kekritisan
paling tinggi terhadap masalah lingkungan (37%) disusul oleh persoalan
kemiskinan dan ancaman terorisme (masing-masing 35%), masalah
ekonomi (31%), dan pengangguran (28%).
Di antara negara-negara di Asia, pemuda Cina yang paling kritis terhadap
isu lingkungan (58%), sehingga mereka berambisi untuk berkarir di
lingkungan kerja yang ramah lingkungan. 6 dari 10 pemuda (78%) di sana
mengaku ingin mencari pekerjaan di bidang lingkungan. Hal ini sangat
kontras dengan di Jepang. Di sana, hanya 3 dari 10 pemudanya yang
tertarik bekerja di bidang terkait lingkungan. Perkembangan
menggembirakan juga terjadi pada pemuda India. 70% mengaku bahwa
mereka pernah menjadi aktivis lingkungan dengan melakukan protes
publik, kampanye, dan petisi online dalam isu lingkungan. Bagaimana
dengan generasi milenial Indonesia?
Di Indonesia, sosok generasi muda inspiratif yang membangkitkan
“semangat hijau” semakin banyak bermunculan. Tanpa menafikan peran
mereka yang tak terliput media, dua tokoh muda berikut yang belakangan
banyak diliput media nasional dan internasional perlu jadi contoh.
Keduanya adalah bukti nyata bahwa generasi milenial bisa menjadi daya
pendobrak yang menggugah kesadaran dan menggerakkan aksi nyata
dalam mencari solusi persoalan lingkungan.
Sosok inspiratif pertama adalah Gamal Albinsaid. Ia adalah doker muda
yang masih berstatus magang di Rumah Sakit Saiful Anwar, Malang, Jawa
Timur. Di awal 2014 ia mendapatkan penghargaan HRH The Prince of
Wales Young Sustainability Entrepreneurship sebagai pemenang pertama.
Ia berhasil menyisihkan 511 wirausaha unggulan di bidang sumberdaya
berkelanjutan yang berasal dari 90 negara.
Pada tanggal 31 Januari 2014, Gamal mendapat kehormatan dari
Pangeran Charles untuk menerima penghargaan tersebut beserta hadiah
50.000 poundsterling atau setara 800 juta rupiah sebagai dukungan
finansial dan paket mentoring dari Universitas Cambridge yang dirancang
secara individu. Program ini dirancang untuk memberi inspirasi pada
pemuda di seluruh dunia agar lebih giat lagi mengatasi persoalan
lingkungan, sosial dan kesehatan.
Karya dan prestasi Gamal yang mengantarkan dia meraih penghargaan
bergengsi ini adalah mendirikan dan mengembangkan Klinik Asuransi
Sampah. Program asuransi sampah ini dilatari kisah nyata di Jakarta, 5
Juni 2005 silam. Menurut Gamal, sebagaimana dilansir liputan6.com, ia
tergugah dengan nasib seorang anak bernama Khaerunissa (3 tahun) yang
tak bisa berobat dan akhirnya menghembuskan nafas terakhir di gerobak
sampah ayahnya, Supriyono, seorang pemulung yang berpenghasilan
10.000 rupiah.
Klinik Asuransi Sampah adalah sistem asuransi kesehatan mikro berbasis
kerakyatan dengan semangat gotong royong melalui pembayaran premi
dengan sampah sebagai sumber pendanaan utama bagi pelayanan

112
kesehatan masyarakat. Para warga menyerahkan sampahnya pada klinik
senilai 10.000 rupiah setiap bulan, kemudian dikelola menjadi “dana sehat”.
Dengan dana ini, para warga bisa menikmati berbagai fasilitas pelayanan
kesehatan baik untuk peningkatan kesehatan (promotif) mencegah
penyakit (preventif), mengobati (kuratif), maupun perawatan (rehabilitatif).
Dengan demikian, walaupun tidak sakit, masyarakat tidak akan rugi, karena
mendapatkan berbagai program pelayanan peningkatan kesehatan.
Sosok milenial peduli lingkungan yang juga tenar saat ini adalah Pandu
Dharma Wicaksono. Di tahun 2015, ia dianugerahi Indonesia Green Award
(IGA) sebagai tokoh inspiratif bidang lingkungan. Ia lantas dipercaya
menjadi salah satu Dewan Nasional Perubahan Iklim RI untuk regional
Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara.
Tahun sebelumnya, yaitu pad 2014, ia terpilih sebagai Tunas Muda
Pemimpin Indonesia dari Wakil Presiden Indonesia. Kepedulian pemuda
kelahiran Balikpapan, 22 Agustus 1996 ini sudah terlihat sejak usia belia.
Ketika duduk di bangku SMP ia mendirikan kelompok peduli lingkungan
bernama Green Generation yang terdiri dari sejumlah siswa SMP dan SMA
di Balikpapan.
Berkat kepemimpinannya dalam kelompok ini, Green Generation saat ini
sudah merambah ke sejumlah kota besar di Indonesia seperti Medan,
Palembang, Bandar Lampung, Serang, Jakarta, Bogor, Garut, Purwokerto,
Yogyakarta, Klaten, Malang, Surabaya, Banjar Baru, Samarinda, Kutai
Kertanegara, dan Bontang.
Kegelisahan dan kepeduliannya pada persoalan lingkungan di daerahnya
juga ia tuangkan dalam tulisan berjudul “Manage Sea Pollution for
Save Orchella Bresvirostris Sustainability in Balikpapan Bay”. Di forum
International Youth Green Summit 2013, research paper tersebut meraih
peringkat lima besar dunia untuk kategori “water and marine”.
Belajar dari refleksi kegelisahan dan aksi nyata dua sosok inspiratif
tersebut, semoga tulisan singkat ini menjadi inspirasi bagi generasi milenial
untuk lebih meningkatkan kesadaran, kepedulian dan komitmen bersama
mengatasi persoalan lingkungan di negeri ini. Semoga semakin banyak
tunas muda yang bervisi “hijau” dan beraksi lebih luas demi kelestarian
alam Indonesia. You can go as “green” as you can!

113
Cara Milenial Menjadi Superhero Lingkungan
Hidup

Oleh SITI NUR HIDAYATI

Masih malas membawa tumbler ketika bepergian karena lebih praktis


membeli air mineral atau minuman botolan? Masih enggan memilih kardus
bekas atau membawa sendiri kantong belanjaan ketika berbelanja?
Beberapa ilustrasi di bawah ini mungkin bisa memberi kita gambaran. Ada
sesuatu yang harus diperbaiki.
Berdasarkan hasil penelitian Program Studi Teknik Lingkungan (PSTL)
Universitas Indonesia, DKI Jakarta, provinsi dengan kepadatan penduduk
13.667,01 jiwa per km2, memproduksi sampah sebanyak 7.896 ton setiap
harinya. Angka tersebut hampir sama dengan setengah dari volume Candi
Borobudur. Sementara 17 persen dari 7.896 ton atau sebanyak 1.342 ton
merupakan sampah plastik yang sulit untuk terurai secara alami. Angka
tersebut berbanding terbalik dengan jumlah daur ulang sampah yang
dilakukan.
Hutan merupakan salah satu komponen lingkungan hidup yang sangat
vital. Hutan menjadi sumber kehidupan, penyimpan air, produsen oksigen,
rumah bagi satwa liar dan langka, dan masih banyak lagi. Indonesia
beruntung mendapat anugrah dari Tuhan dengan luas lahan hutan yang
sangat besar.
Data tertulis (de jure) sepuluh tahun yang lalu, luas hutan kita sekitar 133,3
juta hektar. Luas tersebut meliputi kawasan suaka alam, hutan lindung dan
hutan produksi. Indonesia menjadi pemilik hutan hujan tropis terbesar
ketiga setelah Brazil dan Kongo. Dengan demikian, Indonesia menjadi
salah satu paru-paru dunia.
Namun, sayangnya Indonesia tercatat di Guinness World Records sebagai
negara dengan tingkat kehancuran hutan tercepat di antara negara-negara
yang memiliki 90% dari sisa hutan di dunia. Tingkat deforestasi hutan kita
mencapai 680.000 hektar per tahun. Angka ini setara dengan 300 lapangan
sepakbola (bukan lapangan futsal ya) yang lenyap setiap jamnya.
Sehingga, secara de facto sangat mungkin luasan hutan kita sudah tidak
sebesar angka tadi. Sungguh, situasi yang menyedihkan.
Eksploitasi penggunaan air, hasil hutan, mineral, dan minyak bumi
seringkali tidak memperhatikan keberlanjutan sumber daya alam yang
tentu amat diperlukan generasi mendatang. Dan apa yang terjadi? Deretan
musibah dan bencana alam silih berganti di berbagai tempat; banjir, tanah
longsor, kekeringan, kebakaran, pembakaran hutan, dan seterusnya.

114
Superhero Lingkungan Hidup
Karakter superhero, baik dalam komik maupun film adalah sosok yang
mempunyai kekuatan luar biasa untuk menjadi penyelamat, sekaligus
memberantas kejahatan atau kerusakan.
Lalu apa kaitan superhero dan generasi milenial? Apa yang bisa dilakukan
generasi milenial untuk andil dalam menjaga kelestarian lingkungan? Oh,
tentu banyak sekali. Generasi milenial bertumbuh saat teknologi telah
berkembang demikian pesat. Sehingga, pemanfaatan teknologi sangat
berdampak pada gaya hidup generasi ini.
Setidaknya, ada tiga hal yang bisa dilakukan generasi milenial untuk
menjadi superhero dalam menyelamatkan lingkungan hidup. Pertama,
menjadi agent of change. Generasi milenial harus peduli pada kelestarian
lingkungan hidup. Jika ia peduli, tentu ia akan dengan senang hati
melakukan upaya-upaya yang ramah lingkungan. Ada prinsip lawas namun
tak lekang oleh waktu sebagai wujud sikap ramah lingkungan, yaitu
“reduce, reuse, recycle”.
Melalui reduce kita bisa menekan produksi masal barang-barang konsumsi
harian dengan menggunakan secukupnya dan tidak berlebihan. Contoh
paling sederhana adalah makanan yang kita konsumsi sehari-hari.
Konsumsi secukupnya akan menghindarkan kita dari membuang makanan
yang berlebih, demikian pula barang konsumsi kita yang lain.
Sebagai Muslim, dengan menerapkan prinsip ini maka kita sekaligus
mengamalkan ajaran Islam. Sebagaimana termaktub dalam Qs Al-Isra’ 26-
27, kita dilarang berperilaku mubadzir. Dalam ayat itu disebutkan; “…Dan
janganlah engkau menghambur-hamburkan (hartamu) dengan boros.
Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan…”
Selanjutnya reuse. Kita bisa memilih untuk menggunakan barang-barang
yang tidak sekali pakai. Era yang semakin canggih menuntut segala
sesuatunya mudah, murah dan cepat. Hal ini memicu produksi barang-
barang cepat saji atau cepat pakai. Popok sekali pakai, makanan instan,
minuman kemasan, atau makanan minuman grab and go yang semakin
ngetren menjadi gaya hidup milenial.
Barang-barang tersebut tentu akan menghasilkan sampah massif karena
sifat sekali pakai dan cara pengemasannya. Akan bertambah lagi kantong
belanja saat membeli barang-barang tersebut. Berdasarkan data dari
Environtmental Health Perspective tahun 2015, Indonesia merupakan
negara kedua penghasil sampah di dunia. Juga sebagai runner up
penyumbang terbesar sampah di lautan, kebanyakan berupa plastik yang
mencapai 3,22 metrik ton per tahunnya.
Fotografer Justin Hofman menunjukkan hasil jepretannya di lepas pantai
Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, seekor kuda laut yang tengah
berpegangan pada korek kuping. Pernah ditemukan juga di Palu, Sulawesi
Tengah, seekor buaya berkalung ban. Menyedihkan tentunya. Sehingga,

115
langkah untuk tidak menggunakan dan mengonsumsi barang-barang yang
menghasilkan sampah yang banyak, tentunya menjadi pilihan bijak.
Lalu recycle, mendaur ulang sampah dan barang yang sudah tidak
terpakai. Upaya ini akan sangat membantu meringankan bumi yang makin
hari makin terbebani. Kita perlu belajar dari Swedia, negara yang sukses
mendaur ulang limbah. Tahun 2012, mereka berhasil mendaur ulang 40%
dan di tahun 2015 mencapai 70% limbah dan mengubahnya menjadi
sumber energi listrik dan kendaraan bermotor.
Jika kita belum mampu menjadi pengolah sampah secanggih Swedia,
setidaknya kita jeli memilih produk yang bisa didaur ulang dan menghindari
penggunaan barang-barang yang tidak bisa atau sulit untuk didaur. Satu
langkah yang sangat mudah karena banyak kemasan yang telah
menampilkan logo bisa atau tak bisa didaur ulang.
Menjadi agen perubahan juga bisa dengan berperan sebagai, ─meminjam
istilah lembaga riset Center for Middle Class Institute─ “click activist”, di
mana generasi milenial bisa memanfaatkan platform petisi daring semacam
change.org untuk menyampaikan aspirasi atau mengkritisi kebijakan. Baik
sebagai penggagas ide maupun sebagai penandatangan petisi. Sesuatu
yang tak bisa dilakukan generasi sebelumnya karena belum adanya
medium tersebut.
Kedua, menjadi social media influencer. Generasi milenial sangat melek
teknologi, salah satunya gawai. Dengan gawai yang selalu terkoneksi
internet, maka media sosial dalam berbagai bentuknya menjadi bagian dari
denyut nadi kaum milenial. Kelekatan pada media sosial ini menjadi
peluang melakukan kampanye penyelamatan lingkungan. Informasi
apapun terkait upaya-upaya pelestarian lingkungan semudah
menggerakkan jempol. Tinggal klik and share.
Menjadi powerful consumer. Generasi milenial, sebagaimana disampaikan
CEO Provetic yang melakukan riset perilaku konsumen, Iwan Setyawan,
cenderung memiliki perilaku menabung untuk hal-hal konsumtif. Tentunya,
perilaku konsumtif itu sebagai pendukung gaya hidup mereka. Contohnya
antara lain, konser musik, wisata kuliner, travelling, gawai dan barang-
barang konsumsi lainnya.
Sebagai konsumen, tentunya para milenial memiliki kekuatan, yakni
kekuatan untuk hanya memilih produk yang baik dan ramah lingkungan.
Sebagai contoh menjadi konsumen berdaya, milenial tentu akan memilih
produk ramah lingkungan. Memilih transportasi masal dibanding
penggunaan kendaraan pribadi, memilih sarana penunjang wisata yang
menerapkan prinsip ecotourism, memilih gawai atau segala peralatan
penunjang hidup hemat energi, dan pilihan-pilihan lainnya yang sadar pro-
ekologis.
Hari ini, perilaku produsen mudah sekali dicari rekam jejaknya, termasuk
dalam hal perilaku mereka terhadap lingkungan. Bagaimana analisis
mengenai dampak lingkungan (AMDAL)-nya? Apakah keberadaannya

116
mendukung deforestasi? Apakah mereka aktif melakukan upaya merawat
lingkungan hidup?
Karena konsumen adalah raja, maka jadilah raja yang berkuasa
menentukan demand pasar yang ramah lingkungan. Dengan demikian,
pada akhirnya produsen pun akan bertekuk lutut pada sang raja, yaitu
konsumen. Ketiga hal di atas jika dilakukan secara massif dan
berkelanjutan oleh para milenial, tentu akan berdampak sangat positif
terhadap lingkungan hidup.
Superhero lingkungan hidup seperti itulah yang sangat dibutuhkan alam
kita saat ini. Dan bagi Muslim milenial, selaras dengan visi “Islam sebagai
rahmatan lil ‘alamiin”, maka perilaku kita tentu harus senantiasa memberi
rahmat untuk semesta dan bukan sebaliknya, menjadi musibah.

117
Bagian V
Cara Kekinian
Suarakan Perdamaian

118
Mari Bermain, Mari Narasikan Perdamaian

Oleh IRFAN AMALEE

Eko, seorang mahasiswa indonesia yang kuliah di Jerman punya


pengalaman menarik saat hari pertama kuliah. Semua mahasiswa baru
dikumpulan di aula besar. Puluhan meja ditata rapi dengan sebuah papan
permainan (boardgame) di atasnya. Setiap meja telah duduk seorang
mentor dengan lonceng kecil di tangan.
KLINING KLINING! Suara lonceng berbunyi. Pertanda acara dimulai.
Semua mahasiswa termasuk Eko duduk dalam kelompok-kelompok kecil.
Setelah diberi sedikit penjelasan maka dimualailah permainan. Aula pun
riuh, semua mahasiswa tenggelam dalam permainan boardgame di
mejanya masing-masing.
Di akhir permainan, Eko berhasil
Irfan Amalee adalah CEO Mizan menjadi pemenang. Bahkan
Application Publisher dan co-
mentornya pun kalah. Seseorang
founder Peace Generation
Indonesia. Pada 2010 dan 2011
bertanya pada Eko, "Apakah kamu
Irfan masuk dalam daftar 500 tahu siapa yang baru saja kamu
Muslim paling berpengaruh di dunia kalahkan?" Eko menggelengkan
versi Royal Institute for Islamic kepala. "Dia itu rektor universitas
Studies Amman Yordania. Irfan ini!"
meraih gelar master di bidang
Peace Studies di Heller School
Demikianlah suasana hari pertama
Social and Policy Management, kuliah di sebuah universitas di
Brandeis University Boston, USA. Di Jerman. Tak ada ceramah basa-
tulisan ini, Irfan mengulas fenomena basi dari pejabat universitas atau
boardgame di k alangan milenial. ospek dari senior. Mahasiswa baru
Baginya, jik a game bisa digunak an disambut dengan main boardgame
untuk mengajark an k ek erasan, bersama. Semua dosen bahkan
mak a pasti juga bisa digunak an rektor ikut bermain bersama.
untuk mengajark an perdamaian.
Boardgame memang menjadi
bagian penting dari kehidupan sehari-hari warga Jerman. Pasca perang
dunia kedua Jerman hancur luluh lantak. Untuk membangun kembali kota
perlu waktu dan dana besar. Beberapa aktivis berkumpul dan menginisiasi
sebuah project membangun kembali imajinasi dan optimisme warga.
Medianya adalah boardgame.
Di keluarga-keluarga Jerman biasanya bermain boardgame menjadi menu
penutup setelah makan malam. Satu keluarga biasanya memiliki koleksi
beberapa jenis boardgame. Eko juga menceritakan pengalamannya
bermain boardgame dengan satu keluarga Jerman. Setelah selesai, sang
ayah memeluk erat Eko sambil memberikan pujian atas kehebatan Eko
bermain boardgame. Itu adalah momen yang menyentuh buat Eko.

119
Ternyata boardgame bukan sekadar permainan. Lebih dari itu, boardgame
jadi perekat hubungan antaranggota keluarga.
Kembalinya Era Boardgame di Kalangan Milenial
Pada zaman dulu, ketika lahan dikuasai para tuan tanah, banyak para tuan
tanah enggan membayar pajak. Sehingga yang kaya semakin kaya, yang
miskin semakin miskin. Elizabeth Magie merasa terpanggil untuk
mengedukasi masyarakat tentang keadilan ekonomi serta pentingnya
membayar pajak.
Pendekatan yang dia tempuh cukup unik. Dia membuat sebuah boardgame
yang dia beri nama Landlord Game. Melalui game ini para pemain akan
mensimulasikan bagaimana pentingnya membayar pajak. Game ini
dimainkan dari generasi ke generasi dan mungkin menjadi game paling
populer sepanjang masa dengan nama Monopoli.
Pendekatan Elizabeth Magie bisa disebut game based learning,
pembelajaran berbasis game. Magie memasukkan pesan dan pelajaran
pada game. Sehingga proses belajar menjadi mengasyikkan dan tak
terasa.
Kini pendekatan game based learning diterapkan dalam banyak area.
Bukan hanya di dunia pendidikan, di dunia bisnis kini perusahaan-
perusahaan besar mengubah training-training untuk karyawan dari
ceramah yang membosankan menjadi game yang mengasyikkan.
Ini bukanlah pendekatan baru, dulu orangtua kita menciptakan banyak
permainan tradisional untuk menyampaikan pesan-pesan moral. Kini
penggunaan game sebagai media pembelajaran kembali marak digunakan.
Hal ini tak lepas dari kecenderungan generasi milenial dan tumbuhnya
industri boardgame dunia.
Seperti dirilis CNBC, generasi milenial telah mendorong kembalinya
industri boardgame dunia. Industri boardgame yang di tahun 2013
menghasilkan revenue sebesar 1,3 miliar dolar, pada tahun 2016
meningkat menjadi 9,6 miliar dolar.
Di tengah gempuran game digital, fenomena bangkitnya kembali
boardgame ini menjadi unik. Ternyata generasi milenial yang sering
diasumsikan addicted terhadap gadget, tenggelam dalam game online,
individualistis, ternyata memiliki kerinduan untuk berinteraksi dan bermain
dan bersosialisasi. Boardgame menjawab kerinduan ini. Boardgame bisa
menjadi media belajar sekaligus berinteraksi.
Kini di kota-kita besar telah banyak cafe boardgame dan boardgame
library. Komunitas boardgame pun bermunculan. Di pameran buku dan
kreativitas atau area car free day selalu ada pojok boardgame.
Boardgame for Peace
Melihat efektifitas game based learning serta fungsi boardgame dalam
membangun interaksi sosial, maka saya dan tim Peace Generation

120
Indonesia (PeaceGen) memilih boardgame sebagai salah satu media
mengampanyekan perdamaian kepada generasi milenial.
PeaceGen telah sepuluh tahun mengajarkan perdamaian melalui modul
kreatif, dengan berbagai permainan di dalamnya. Pertemuan saya dengan
Eko yang saya ceritakan di awal tulisan ini membuka mata saya tentang
betapa powerful-nya boardgame.
Kebetulan PeaceGen kini tengah fokus pada kampanye penyadaran
bahaya violent extremism. Propaganda kelompok violent extremism baik
online maupun offline begitu gencar dan menarik. Tak kurang dari 600
warga Indonesia terbujuk propaganda ISIS dan berangkat ke Suriah.
Selama beberapa bulan, saya dan tim PeaceGen berkolaborasi dengan tim
Kummara yang dipimpin Eko Nugroho menciptakan boardgame sebagai
alat mengajarkan perdamaian. Setelah melalui proses diskusi, pembuatan
prototype dan ujicoba, akhirnya kami menghasilkan sebuah boardgame
yang kami beri nama Galaxy Obscurio. Dalam permainan ini pemain diberi
misi untuk membangun planet masing-masing dengan cara mengumpulkan
alien dari berbagai spesies.
Ada banyak tantangan dalam mengumpulkan alien ini. Melalui pemain ini
peserta secara tidak sadar akan memahami bahwa mereka tak akan
mencapai tujuan jika tidak bekerja sama. Game ini sengaja didesain
dengan genre cooperation game, di mana tujuan permainan akan tercapai
jika para pemain berkomunikasi, membagi informasi dan saling membantu.
Sebanyak 300 anak muda dari lima kota dilatih memainkan game ini.
Mereka juga mendapat misi untuk memainkan lagi bersama minimal
sepuluh orang di komunitasnya. Pertama kali diujicobakan di Bandung,
sebanyak 60 anak muda tenggelam dalam keasyikan bermain boardgame.
Di akhir permainan mereka mendiskusikan poin-poin apa yang mereka
pelajari.
Para peserta kegiatan Boardgames for Peace banyak yang tergerak untuk
ikut karena didorong pengalaman personal yang sangat kuat. Salah
satunya adalah Syamil, seorang mahasiswa di Politeknik Negeri Bandung.
Dia bercerita fenomena perundungan yang seringkali dilakukan oleh suatu
kelompok di kampusnya hingga menjadi salah satu faktor pendorong sang
korban jatuh sakit dan meninggal dunia.
Ketika mengetahui sang korban meninggal, kelompok tersebut merasa
sangat bersalah dan menunjukan sikap ingin berubah. Namun, beberapa
waktu kemudian kelompok tersebut melakukan hal yang serupa terhadap
orang lain. Syamil ingin menyadarkan pelaku dan menghilangkan
perudungan di lingkungannya.
Lain cerita dengan salah satu mahasiswi peserta Boardgames for Peace
dari UIN Bandung. Dia memiliki teman dekat yang pada akhirnya
memutuskan menjadi relawan ISIS dan berangkat ke Suriah. Dia seorang
mahasiswi tafsir hadits yang banyak terekspos dengan pengajian-
pengajian ekslusif sampai suatu ketika merasa ada yang janggal dengan

121
ajaran yang diberikan gurunya dan memilih meninggalkan pengajian
tersebut.
Itu adalah sedikit cerita tentang latar belakang peserta yang lolos pada
beasiswa Boardgame for Peace. Selain itu, cerita-cerita pasca training tak
disangka menghasilkan pembelajaran yang berharga dalam
mengembangkan program Boardgame for Peace.
Ninin Karlina (29 Tahun), seorang guru yang aktif mengampanyekan nilai-
nilai perdamaian di Solo. Setelah mendapatkan pelatihan fasilitator di
Bandung, Ninin mencoba membagikan ilmunya pada anak-anak didiknya.
Ketika itu Ninin memperkenalkan Galaxy Obscurio pada anak pesantren.
Awalnya Ninin iseng mengeluarkan kartu tersebut, namun beberapa anak
langsung berkomentar. Dengan gayanya yang polos seorang anak berkata
"Ustadzah kok bawa kartu? Bukannya semua jenis kartu itu hukumnya
haram karena menyerupai orang kafir.” Setelah dijelaskan, Ninin
menantang anak ini untuk mencoba permainannya. Meskipun sempat
dihantui rasa takut untuk bermain, murid ini pun memulai permainan.
Tak disangka, sang anak enggan untuk berhenti bermain padahal sudah
memakan waktu yang panjang. Pada awalnya cara yang digunakan sang
anak dalam permainan begitu egois dimana selalu ingin menang sendiri,
namun lambat laun sang anak menyadari bahwa untuk menang haruslah
bekerjasama. Dia akhir permainan, anak-anak ini memutuskan untuk
bekerjasama dan saling berempati.
Setelah tiga kali permainan, akhirnya Ninin menghentikan dan mulai
melakukan de-briefing dengan membagikan kertas untuk menuliskan
pelajaran yang bisa diambil dari permainan Galaxy Obscurio tersebut.
Rata-rata anak mengatakan bahwa permainan ini mengajarkan tentang arti
ukhuwah Islamiyah (intern umat Islam) dan ukhuwah insaniyah (antar
manusia tanpa pandang agama).
Namun, yang paling menggelitik adalah komentar Umar Saifudin, seorang
anak yang awalnya mengharamkan kartu Galaxy Obscurio. Tak disangka,
anak inilah yang paling menolak jika ada yang bilang kartu ini haram
dengan alasan sesuai yang dia pelajari. Bahkan ia ingin sekali membeli
kartu itu, ia berharap bisa bermain dengan keluarga dan teman-temannya.
Ninin kini terus membagikan pembelajaran perdamaian melalui
boardgame, sedikitnya 80 orang telah ia ajak untuk bermain. Jadi, jika
game bisa membuat seseorang berimajinasi dan bertindak kekerasan,
maka game pasti bisa juga digunakan untuk menyebarkan nilai-nilai
perdamaian.

122
Relaksasi Beragama, Sebuah Pendekatan Dari
dan Untuk Muslim Milenial

Oleh FEBY INDIRANI

Indonesia yang sempat dikenal sebagai negara yang toleran dan


demokratis dengan penduduk Muslim terbesar kini berada di titik krusial.
Banyak pihak merasakan bagaimana kita tengah mengalami ketegangan
dalam kehidupan beragama, bukan hanya antarumat beragama namun
juga di internal masyarakat Muslim sendiri. Dalam ketegangan ini, terdapat
dua kubu yang saling berseberangan. Ada rentang yang panjang dengan
gradasi warna dari pandangan kelompok-kelompok Muslim, namun secara
sederhana kita bisa kelompokkan dalam dua kubu berikut.
Pertama adalah kelompok yang biasanya dianggap pro terhadap
pandangan-pandangan Islam konservatif. Kelompok ini memiliki
kecenderungan memberikan garis
Feby Indirani adalah seorang demarkasi yang tegas terhadap
novelis yang telah menulis sejak kelompok yang berbeda pendapat
SD, dan sejak SMA telah menjuarai dengan diri mereka. Hal itu
berbagai k ompetisi menulis. Salah dilakukan melalui penegasan
satu novelnya, I Can (Not) Hear identitas keislaman seperti
(2008), didisk usik an di Kick Andy penggunaan atribut-atribut yang
Metro TV dan meraih Anugerah
kerap diasosiasikan sebagai simbol-
Pembaca Indonesia 2010 dari
Goodreads Indonesia sebagai buk u
simbol keislaman, misalnya jilbab
non-fik si terbaik . Di tulisan ini, Feby yang disebut syar’i, bahkan niqab,
hendak menawark an apa yang ia janggut, jubah, dan sebagainya.
sebut sebagai gerak an Relak sasi Kelompok pertama ini juga
Beragama. Gerak an ini, dengan cenderung pro pada organisasi
tagline-nya Relax, It's Just Religion, seperti Front Pembela Islam (FPI),
ia harapk an menjadi alternatif di Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), atau
tengah k etegangan dalam Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
k ehidupan beragama saat ini. Kelompok ini pada sisi gelapnya
cenderung mudah melabel Muslim di
luar kelompok mereka sebagai ‘kafir’ atau ‘kurang Islam’ dibanding diri
mereka.
Sementara di seberangnya adalah kelompok yang biasanya dianggap
memiliki pandangan liberal dan menganggap diri mereka sebagai kelompok
rasional dalam beragama. Kelompok kedua ini biasanya meyakini mereka
lebih plural, lebih masuk akal dan cenderung menganggap kubu pertama
sebagai kelompok irasional yang ketinggalan zaman. Pada sisi gelapnya,
kelompok kedua ini kerap mengolok-olok kelompok pertama misalnya
dengan menjuluki mereka sebagai ‘kaum unta’, ‘kaum bumi datar’, ‘kadal
gurun pasir’ dan sebagainya.

123
Saya sebagai bagian dari Muslim milenial hendak menawarkan suatu
percakapan baru tentang kehidupan keberagamaan kita yang
menjembatani kedua kubu berseberangan ini dengan menginisiasi gerakan
Relaksasi Beragama atau Relax, It’s Just Religion. Suatu ajakan agar
orang berpikir terbuka, melihat humor dari segala sesuatu, dan berempati
pada orang lain yang memiliki interpretasi agama yang berbeda.
Kelahiran gerakan ini dilakukan bersamaan dengan peluncuran karya fiksi
kumpulan cerita bertajuk Bukan Perawan Maria dan pameran tafsir rupa
dari cerita-cerita di dalam buku tersebut yang berlangsung 15-25 Juli 2017
di Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Selain aktivitas sastra
dan seni, yang tak kalah pentingnya adalah pelatihan Relaksasi Beragama
yang digelar di hari terakhir pameran dalam versi singkatnya. Kami percaya
Relaksasi Beragama adalah keterampilan yang bisa dilatih dan diajarkan.
Sebagai gerakan, Relaksasi Beragama menyasar generasi milenial
sebagai target utama karena kelompok usia ini yang menjadi penggerak
pada bidang-bidang strategis dan sedang berada di posisi penentu
keputusan. Berdasarkan amatan saya, generasi Muslim millenial di
Indonesia baik yang beragama secara moderat maupun konservatif
ternyata sama-sama memiliki ciri khas yang cukup dominan:
Pertama, keberagamaan yang bersifat kekotaan. Generasi ini rata-rata
tidak belajar Islam dari sumber-sumber tradisional (seperti pesantren) tapi
dari sumber-sumber lain seperti buku-buku, pengajian di kampus atau
sekolah umum, serta media massa dan media sosial.
Kedua, menggunakan teknologi informasi terutama gawai hape dan
internet secara intensif sebagai medium mengekspresikan diri, termasuk
pendapat terhadap agama dan ekspresi keberagamaan.
Ketiga, lebih menekankan keberagamaan atau keberislaman dalam gaya
hidup keseharian ketimbang bicara wacana besar, misalnya cara
berpakaian, hubungan laki-laki dan perempuan, aturan buka warung
makan saat Ramadhan dan sebagainya.
Saat memperkenalkan gagasan Relaksasi Beragama pada berbagai
kalangan, saya sekaligus melakukan pengamatan tentang bagaimana ide
ini diterima beserta profil orang yang bersangkutan. Dalam tulisan ini saya
akan mengambil contoh tiga figur Muslim Indonesia yang beda generasi,
yaitu Ketua PBNU Kyai Said Agil Siradj (kelahiran 1953), Menteri Agama RI
Lukman Hakim Syaifuddin (kelahiran 1962), dan aktivis, seniman, sekaligus
Putri KH Abdurrahman Wahid, Inayah Wahid (kelahiran 1982).
Ketika saya menyampaikan gagasan Relaksasi Beragama pada Kyai Said
Agil Siradj, komentar spontan beliau adalah, “Kenapa menggunakan kata
Relaksasi Beragama? Kenapa tidak ‘Agama dan Peradaban’ atau ‘Agama
dan Kemanusiaan’?” Saya hanya tersenyum meresponnya. Dalam hati
saya mencatat perbedaan signifikan dari dua gagasan ini.
Tema yang diusulkan Kyai Said menurut saya mengandung karakter khas
generasi beliau yaitu seangkatan generasi Baby Boomers di AS, di mana

124
generasi ini berminat pada narasi-narasi besar dan menjadikan agama
sebagai pusat. Sementara Relaksasi Beragama justru ‘bermain’ di tataran
yang bersifat lebih keseharian dan praktis. Relaksasi Beragama tidak
menafikan agama, tapi mengajak orang untuk tidak menjadikan agama
sebagai tujuan, melainkan hanyalah salah satu jalan.
Term ‘Relaksasi Beragama’ sepertinya lebih mudah diterima di kalangan
generasi X, karena dinilai menjadi alternatif kebuntuan ketegangan
beragama yang tengah terjadi di Indonesia. Pendapat ini antara lain
dinyatakan Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin ketika memberikan
pidato di acara Pameran Bukan Perawan Maria yang mengusung tema
Relaksasi Beragama ini. Tahun kelahiran Lukman Hakim memang masih
termasuk di ujung era generasi Baby Boomers, akan tetapi masa
pertumbuhan dan pergaulannya sudah dekat dengan generasi X yang
salah satu karakter khasnya adalah mengritik kemapanan generasi
sebelumnya.
Dalam pidatonya pada 22 Juli 2017 Lukman menyatakan, “Relaksasi
Beragama ini menjadi sangat kontekstual, sangat penting, momentumnya
sangat tepat karena kita juga merasakan kecenderungan bahwa kehidupan
keagamaan ini dalam hal-hal tertentu itu semakin mengeras dalam melihat
sisi-sisi perbedaannya. Itu memang karena ada sebagian saudara kita
yang dalam beragama itu begitu fanatiknya, sehingga karena saking
fanatiknya lalu kemudian mengecilkan atau bahkan menghilangkan sama
sekali toleransi ─upaya untuk mau dan mampu menghargai menghormati
perbedaan yang ada pada pihak lain.”
Bagi generasi milenial, gagasan Relaksasi Beragama yang menjadi nafas
dari cerita-cerita dalam Bukan Perawan Maria rata-rata diterima dengan
sangat baik. Saya banyak menerima respon dari pembaca usia 20 awal
yang menyatakan merasa terwakili pendapat dan pemikiran
keberagamaannya dengan cerita-cerita di dalam buku itu.
Premis-premis dalam cerita ini memang berangkat dari pengalaman
kehidupan sehari-hari beragama di Indonesia, meskipun rata-rata
dirancang menjadi cerita yang fantastis alias tidak nyata; Seorang satpam
jaga malam yang merencanakan pembunuhan sang muazin karena selalu
terganggu tidurnya; Malaikat yang dimungkinkan cuti karena kegemaran
manusia memperbarui segala amalnya di status media sosial; Seorang pria
terhalang mencapai tujuannya karena terhalang tanda sholat Jumat;
Sekelompok warga yang meyakini seorang perempuan sebagai nabi lalu
mendapatkan penganiayaan dari kelompok mayoritas; Seorang perempuan
yang hamil tanpa suami tapi toh dengan jujur mengakui ia sudah bukan
perawan; dan sebagainya.
Inayah Wahid menjadi salah satu pembaca pertama manuskrip buku ini.
Inayah menyatakan merasa terhubung dengan sejumlah cerita di dalam
buku ini dan telah memberikan endorsement dalam bentuk video. Ia juga
memberikan dukungan dengan menjadi pembicara dan membacakan
cerpen dalam peluncuran buku dan pembukaan pameran pada 15 Juli
2017.

125
Pada pameran tafsir rupa Bukan Perawan Maria yang berlangsung sepuluh
hari, pengunjung diajak terlibat dengan, misalnya, menulis pertanyaan yang
mereka pikir akan mereka terima dari malaikat di akhirat nanti dan bahasa
apa yang akan digunakan untuk menanyakannya. Di bagian lain pameran,
pengunjung juga bisa menuliskan pertanyaan tentang agama dan Tuhan
yang selama ini mereka takut utarakan. Pertanyaan yang muncul beragam
dan kerap mengejutkan; Apakah ada babi di surga? Kenapa harus ada
cinta beda agama? Apakah memilih Ahok-Djarot bakal masuk neraka? Dan
sebagainya.
Relaksasi Beragama merupakan tawaran percakapan baru yang bisa
menjadi alternatif di tengah ketegangan dalam kehidupan beragama kita
saat ini. Pendekatan cerita fiksi dan seni yang menjadi titik berangkat
gerakan sepertinya dapat membuka ruang bagi generasi Muslim,
khususnya Muslim Milenial untuk berani mengajukan pertanyaan dan
gagasan mereka mengenai keberagamaan. Katakanlah gerakan ini
menjadi upaya ijtihad dari dan untuk Muslim milenial dalam menjembatani
dan melembutkan ketegangan beragama kita.

126
Anak-Anak Muda & Kerentanan Ekstremisme-
Kekerasan

Oleh SURATNO

Douglas McCain mulanya adalah seorang pemuda Afro-Amerika berusia


20-an tahunan di kota Chicago, negara bagian Illinois, Amerika Serikat
(AS). Layaknya pemuda yang lain di kota itu, McCain menyukai pizza-hut,
music rap dan bermain bola-basket. Tak lupa, dia juga suporter fanatik klub
basket Chicago Bulls yang terkenal di kota itu. Di kalangan teman-
temannya, McCain juga dikenal sebagai pemuda yang ramah, gemar
bercanda dan selera humor yang tinggi. Selain itu, McCain muda juga
terkadang terlibat pelanggaran-pelanggaran kecil khas anak muda di
Amerika.
Akan tetapi, semuanya berubah ketika selang beberapa waktu kemudian
McCain berkenalan dengan seorang
Suratno adalah dosen dan warga Somalia, pemilik restoran
chairman The Lead Institute (TLI) yang menjual makanan khas Afrika.
Universitas Paramadina. Ia juga McCain lalu menjadi muallaf
merupak an pengurus PP (memeluk agama Islam) dan
Lak pesdam PBNU. Suratno
cenderung agak mengurangi
memperoleh gelar dok tor dari
Institut fur Anthropologie, Goethe-
pergaulan muda seperti sebelumnya.
Universitaet Frank furt Jerman Menurut sepupu McCain, Jocelyn
dengan disertasi tentang Smith, keluarga McCain sebenarnya
‘Antropologi Tobat’. Di tulisan ini, tidak berkeberatan McCain menjadi
Suratno mengungk ap rentannya pemeluk Islam.
anak -anak muda usia 15-25 tahun
untuk dihasut bergabung dalam
Yang membuat mereka sedih adalah
ketika McCain memutuskan untuk
k elompok ek stremisme-k ek erasan.
Karak ter merek a yang mudah pergi ke Turki dan kemudian tiba-tiba
bimbang, emosional, advonturir,ditemukan tewas di Suriah setelah
dan menyuk ai heroisme menjadi bergabung dengan ISIS (Islamic
pintu masuk penghasutan itu. State of Iraq and Syria). Menurut
laporan The Washington Post, mayat
McCain ditemukan Tentara Pembebasan Suriah. Ia tewas setelah
beberapa hari bertempur bersama pasukan ISIS lainnya. Dari saku bajunya
ditemukan paspor McCain dan uang 800 dolar AS.
Selain McCain, masih banyak anak-anak muda yang tergiur untuk
bergabung bersama ISIS. Bahkan data Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme (BNPT) mencatat ratusan anak-anak muda Indonesia juga telah
bergabung dengan ISIS di Iraq dan Suriah.
Pertanyaannya adalah, bagaimana mereka dari anak-anak muda biasa tapi
lalu mengalami proses ‘cuci-otak’ (brain-washing) sehingga memiliki
keberanian tinggi, bahkan bisa dibilang nekad memutuskan untuk

127
berperang bersama ISIS? Apa motif yang mendasari mereka? Mereka rela
meninggalkan orang-orang yang di cintainya dan bahkan mempertaruhkan
‘masa depannya’ dengan bergabung bersama ISIS.
Pierre Rehov (2005), pembuat film ternama dari Perancis yang telah
membuat enam film dokumenter tentang Intifada Palestina dan tahun 2005
membuat film Suicide Killers menyatakan, anak-anak muda yang lalu
menjadi teroris dan nekat melakukan bom-bunuh diri umumnya tidak harus
selalu terkait dengan isu kemiskinan atau pendidikan yang rendah.
Lebih lanjut Rehov mendiskripsikan, bahwa profil mereka umumnya adalah
anak-anak muda berusia 15 sampai 25 tahun. Dalam usia seperti itu,
mereka menanggung beraneka macam kondisi psikologis dari mulai
adolesensi sampai inferiority complex. Mereka juga telah dijejali ideologi
dan aktivisme yang menyeru kekerasan dengan mengatasnamakan
agama.
Tentang kepribadian anak-anak muda yang menjadi teroris dan nekat
melakukan bom-bunuh diri, Rehov menjelaskan bahwa awalnya mereka
adalah anak-anak muda ‘normal’ dengan sopan santun yang baik, meski
kadang memiliki logika tersendiri. Sampai pada titik tertentu ketika terjadi
proses ‘cuci-otak’ dan ideologi ekstremisme-kekerasan berhasil merasuk
dalam pikiran mereka.
Hal itu membuat mereka sangat yakin bahwa apa yang mereka pikirkan
dan ingin lakukan itu benar karena mereka menganggap ideologi itu
sebagai kebenaran mutlak. Ada sistem nilai yang terbalik karena
interpretasi mereka atas beberapa ajaran agama menempatkan kematian
lebih daripada kehidupan. Kita seperti berhadapan dengan anak-anak
muda yang hanya punya satu-satunya impian. Satu-satunya pencapaian
mereka adalah pemenuhan ‘takdir’ menjadi mati-syahid dengan berperang
dan atau bom bunuh-diri.
Mengapa cuci-otak itu bisa terjadi? Menurut psikolog almarhum Sarlito W
Sartono (2014), anak-anak muda usia 15-25 tahun secara psikologis masih
penuh dengan kebimbangan, disorientasi tentang masa depan mereka dan
bagaimana mereka akan menuju ke arah itu. Mereka juga dipenuhi oleh
karakter-karakter seperti advonturir (suka berpetualang), heroisme,
adrenalin mudah naik sehingga terkadang mudah diprovokasi.
Anak-anak muda juga secara sosial-psikologis terisolasi. Artinya mereka
bisa suatu waktu dekat dengan keluarga, saudara, guru-guru dan teman-
temannya, tapi pada waktu yang lain bisa menarik diri dari kedekatan itu,
terutama ketika ada masalah dan atau terkait dengan pencarian jati-diri
atau identitas diri. Dalam kondisi psikologis seperti itu, anak-anak muda
menjadi rentan untuk dicuci-otaknya, dijejali ideologi ekstrimisme-
kekerasan.
Jika proses cuci-otak itu telah sukses dilakukan, hal selanjutnya untuk
merawatnya adalah melalui pengawasan yang ketat dari kelompok atau
anggota kelompok ekstremis untuk memastikan bahwa anak muda itu
terisolasi dari lingkungan sebelumnya. Inilah makna proses hijrah (religious

128
migration) dalam arti anak-anak muda telah bergabung menjadi anggota
kelompok ekstremis.
Setelah cuci-otak doktrin-doktrin ekstremisme-kekerasan, maka tahap
selanjutnya adalah mengiming-imingi anak-anak muda itu untuk mati-
syahid dengan menjadi martir bom bunuh-diri. Istilah bekennya adalah
menjadi pengantin (karena iming-imingnya selain mati syahid dan masuk
surga juga bonus menjadi pengantin dengan 72 bidadari di akhirat).
Menurut Indonesia Research Team (2012) dalam proses cuci-otak ideologi
ekstremisme-kekerasan itu ada beberapa ciri perubahan sikap yang
muncul dari anak-anak muda itu. Perubahan-perubahan tersebut antara
lain; Pertama, berani meninggalkan keluarga, sekolah atau kuliah dan
kegiatan lainnya karena aktivitas kelompok ekstremisme kekerasan,
Kedua, perubahan signifikan pada sikap mental yang mendua (split
personality) karena anak-anak muda itu harus hidup dalam dua dunia yang
berbeda yakni masyarakat pada umumnya dan kelompok ekstremisme
yang berciri organisasi rahasia (tandzim sirri). Ketiga, anak-anak muda itu
cenderung menjadi individu yang introvert atau tertutup dan manipulatif
serta kurang berempati terhadap orang lain (di luar kelompoknya).
Keempat, anak-anak muda itu bahkan dengan mudahnya menganggap
kafir orang-orang di luar kelompoknya dan mereka halal darahnya
(dibunuh). Kelima, anak-anak muda itu menganggap jihad kekerasan
dengan berperang dan membunuh itu dibolehkan (halal). Keenam, mereka
sadar resiko dikejar-kejar polisi dan sebagainya sehingga cenderung
menarik diri dari lingkungan sekitarnya.
Secara umum, proses cuci-otak anak-anak muda ke dalam ideologi
ekstremisme kekerasan berlangsung secara bertahap. Tahap awal adalah
tahap amanu (dari kata iman). Para perekrut akan mendatangi anak-anak
muda dan kelompok-kelompoknya terutama kelompok pengajian. Mereka
akan masuk dan berinteraksi dengan anak-anak muda. Topik pembicaraan
di antara mereka masih tentang iman dan takwa. Umumnya tahap ini
bersifat terbuka.
Dari tahap amanu, para perekrut akan menyeleksi anak-anak muda
dengan tipe-tipe tertentu yang sekiranya mudah diajak bergabung ke
kelompok ekstremisme-kekerasan. Tipe-tipe tersebut umumnya anak muda
yang pendiam, tidak kritis, patuh dan taat, kurang-pergaulan, minim ilmu
agama dan sebagainya. Anak-anak muda itu yang akan direkrut untuk ikut
tahap kedua yakni hajaru (dari kata hijrah).
Hijrah di sini artinya bergabung dengan kelompok ekstremisme-kekerasan
melalui serangkaian ritual tertentu, atau disebut bai’at (sumpah setia).
Topik pembicaraan di tahap ini selain hijrah juga takfiri, yakni mengkafirkan
dan menyesatkan orang-orang dan kelompok di luar kelompok mereka.
Oleh karena itu tahap hajaru ini kadang diplesetkan sebagai tahap ‘hajar’,
yakni menghajar orang-orang dan kelompok di luar kelompok ekstremisme-
kekerasan itu.

129
Setelah tahap hajaru ini akan diseleksi anak-anak muda tertentu untuk naik
ke tahap ketiga yakni jahadu (dari kata jihad). Jihad oleh kelompok
ekstremis kekerasan direduksi maknanya sekadar jihad qital (perang).
Dalam tahap ini anak-anak muda akan diminta kesiapannya untuk menjadi
pengantin sebagai martir dengan cara berperang dan bom bunuh-diri
dengan iming-iming mati syahid, masuk surga dan bonus 72 bidadari.
Ketiga tahap di atas adalah proses umum perekrutan anak-anak muda
untuk menjadi anggota kelompok ekstremisme kekerasan. Tentu saja
tahap-tahap itu membutuhkan waktu dengan durasi tertentu dan aktivitas di
beberapa lokasi yang boleh jadi dalam prosesnya akan mengalami
kegagalan, baik karena faktor anak-anak muda sendiri maupun karena
adanya pengawasan pihak lain seperti keluarga, guru, teman, dan bahkan
aparat keamanan.
Tapi itu dulu. Sekarang potensi kegagalan itu bisa diminimalisir dengan
memanfaatkan internet. Artinya, ketiga tahap di atas tidak harus dilakukan
di dunia nyata melainkan di dunia maya melalui internet. Karakter internet
yang online dan privasi menjadikan proses perekrutan anak-anak muda
untuk bergabung menjadi anggota kelompok ekstremisme kekerasan akan
lebih sulit diawasi oleh orang-orang terdekat, bahkan polisi.

130
Dialog Lintas Agama Model Kekinian ala Muslim
Makassar

Oleh SYAMSUL ARIF GALIB

Jika selama ini dialog antaragama memiliki kesan amat formal dan hanya
dilaksanakan dalam bentuk diskusi terbatas yang diikuti tokoh-tokoh
agama, anak muda di Makassar punya cara berbeda. Di kota Anging
Mammiri ini, dialog antariman tidak melulu harus dengan diskusi, namun
seringkali dilaksanakan dalam bentuk kekinian khas anak muda.
Dialog bisa saja dilakukan di lapangan futsal, café, rumah ibadah atau
bahkan di kolam renang. Bentuk dialog lintas iman itupun tidak harus selalu
dalam bentuk diskusi formal. Dialog itu bisa dalam bentuk olahraga
bersama, makan atau bahkan bermain musik dan menyanyi bersama.
Di Makassar, geliat gerakan lintas iman boleh dibilang sangat berkembang.
Kegiatan-kegiatan itu diinisiasi
Syamsul Arif Galib adalah dosen kelompok-kelompok lintas iman di
Universitas Indonesia Timur (UIT) kota ini. Sebut saja Jalin Harmoni,
dan UIN Alauddin Mak assar. Ia Makassar International Peace
meraih MA dari Center for Religious Generation, Yayasan KITA Bhineka
and Cross Cultural Studies (CRCS)
Tunggal Ika, Peace Generation
UGM. Co-founder Mak assar
International Peace Generation
Makassar, hingga Komunitas
(MIPG) ini pernah terlibat pada GusDurian. Menariknya,
forum lintas agama di berbagai penggeraknya adalah anak-anak
negara; Amerik a Serik at, Malaysia, muda milenial yang di antaranya
Singapura, Thailand dan Australia. bahkan berusia masih sangat muda.
Di tulisan ini, Syamsul Gerakan ini bahkan merambah tak
mengisahk an model dialog lintas hanya kalangan mahasiswa, namun
agama yang diprak arsai k aum juga anak sekolahan.
muda Muslim Mak assar yang k has
k ek inian. Baginya, k aum muda Meski Makassar amat identik dengan
Islam, namun kota ini sesungguhnya
perlu lebih banyak dilibatk an dalam
gerak an-gerak an lintas iman. sangat beragam, dalam hal suku
maupun agama. Untuk itulah,
keberagaman perlu dirayakan di kota ini. Salah satunya, dengan
menggalakkan kegiatan yang bertujuan membangun semangat
penghargaan atas iman yang berbeda.
Kegiatan yang memungkinkan anak muda berbeda iman membangun
kebersamaan dalam bingkai kebhinekaan yang bermuara pada
pemahaman bahwa keberagaman adalah sebuah kekayaan. Bukan
sebaliknya. Hal itu dirasa perlu mengingat kembali munculnya ancaman
radikalisme, fundamentalisme atau eksklusivisme beragama.
Hasil riset Balai Penelitian dan Pengembangan Agama (Litbang) Makassar
yang dilakukan di lima kota besar di Indonesia Timur yaitu Samarinda,

131
Palu, Kendari, Ambon dan Makassar menemukan adanya potensi
radikalisme di sekolah-sekolah di Indonesia Timur. Beberapa orang anak
bahkan bersedia melakukan aksi bom bunuh diri. Hal ini mungkin dapat
menjadi alarm dini bahwa anak muda Indonesia berada dalam ancaman
radikalisme.
Dalam buku Contemporary Developments in Indonesian Islam: Explaining
the Conservative Turn (2013) Martin van Bruinessen menyebut Sulawesi
Selatan sebagai provinsi dengan tradisi radikalisme Islam yang kuat.
Senada dengan itu, dalam policy brief yang dikeluarkan BNPT tahun 2015
berjudul Civil Society dan Kearifan Lokal dalam Pencegahan Radikalisme
dan Terorisme di Sulawesi Selatan, Laily Hidayah menyebutkan bahwa
Makassar dikenal sebagai kota yang cukup akrab dengan berbagai bentuk
Islamisme. Namun, narasi Islamisme yang berkembang hanya sampai level
militanisme dan radikalisme, tidak pada tahap ekstrimisme dan terorisme.
Kehadiran lembaga yang memiliki fokus dialog antariman tentu diharapkan
dapat menghilangkan bibit-bibit eksklusivisme beragama. Sayangnya,
upaya dialog lintas iman yang sebelumnya dilakukan Forum Komunikasi
Ummat Beragama (FKUB) misalnya, hanya berfokus pada tokoh agama
dan akademisi, tanpa melibatkan anak-anak muda. Padahal, generasi
milenial adalah generasi yang sangat rentan menjadi target penyebaran
radikalisme dan eksklusivisme beragama.
Sebagai generasi digital native yang setiap harinya bercumbu dengan
teknologi, anak muda zaman sekarang teramat mungkin mendapatkan
akses berita yang jauh melebihi informasi yang diketahui generasi
sebelumnya. Termasuk di dalamnya berita-berita ajakan kebencian atas
iman yang berbeda.
Anggapan bahwa anak muda masih terlalu dini untuk terlibat dalam dialog
lintas iman inilah yang berusaha didobrak generasi muda milenial di
Makassar. Bagi mereka, seseorang tidak harus menunggu dewasa,
menjadi ahli agama atau dosen perbandingan agama untuk dapat terlibat
dalam gerakan lintas iman. Seseorang tidak harus menjadi pengurus FKUB
untuk bisa peduli pada isu keberagaman agama.
Keterlibatan generasi milenial pada kegiatan dialog lintas agama didasari
beberapa hal; Pertama, mereka ingin belajar ajaran agama lain langsung
dari pemeluknya. Kedua, ada banyak persoalan agama yang muncul
karena salah dalam memahami agama lain. Ketiga, ingin mencegah konflik
antaragama. Keempat, ingin menjadi pribadi yang terbuka. Kelima, ingin
menjadi agen perdamaian. Keenam, ingin mendapatkan teman dan
pengalaman baru.
Yang menjadi pertanyaan kemudian, di saat muncul pandangan bahwa
agama mulai ditinggalkan masyarakat, terutama kalangan muda, kenapa
generasi milenial di Makassar justru tertarik untuk terlibat dalam kegiatan
lintas iman. Untuk menjawab hal itu, pandangan Shelina Janmohamed
dalam bukunya, Generation M: Young Muslims Changing the World (2016)
menjadi sangat relevan untuk dikemukakan. Janmohamed berpendapat,

132
rumor kematian agama hanya dilebih-lebihkan. Di Barat, pamor agama
mungkin menurun, namun hal itu tidak terjadi di Asia di mana agama justru
makin hidup dan bermakna.
Karena mereka yang terlibat dalam dialog lintas iman adalah anak muda,
tak heran jika cara yang dilakukan beda dengan cara-cara konvensional
yang dilakukan sebelumnya. Mereka berusaha melakukannya dengan cara
mereka sendiri. Cara khas anak muda. Wajar jika kemudian pertemuan
antaragama itu tidak hanya berbentuk dialog semata. Kemah Lintas Iman
misalnya. Dalam kegiatan ini, anak-anak muda dari berbagai latar agama
bertemu dan merasakan hidup dengan mereka yang berbeda iman.
Selama tiga hari mereka berdialog, bermain, menonton film, berdiskusi,
membersihkan rumah ibadah, atau bahkan melakukan penampilan drama
bersama. Dalam tempo tiga hari tersebut, mereka merasakan makan
bersama, tidur bersama, bermain bersama, tertawa bersama, bahkan ikut
berbagi tangis bersama dengan mereka yang berbeda iman. Bagi
beberapa di antaranya, pengalaman ini merupakan pengalaman pertama
dalam hidup mereka.
Selain kemah lintas iman, ada pula program Peace-santren. Program ini
konsepnya serupa kemah lintas iman, namun dilaksanakan di pondok
pesantren mengundang anak SMA dari sekolah-sekolah umum dan non
Muslim. Bagi seorang anak muda non-Muslim, tinggal di pondok pesantren
adalah pengalaman tak terlupakan seumur hidup. Setidaknya, hingga saat
ini, tercatat tiga sekolah agama yang pernah terlibat dalam kegiatan kemah
lintas iman ini, yakni Pondok Pesantren Syekh Muhammad Ja’far, Pondok
Pesantren An-Nahdlah, serta SMA Advent Makassar.
Bentuk lainnya adalah dengan mengadakan Konser Musik Lintas Iman
atau yang mereka sebut Voice of Peace. Sebuah upaya mengumpulkan
kelompok lintas iman namun dengan menggunakan musik sebagai alat
pemersatu. Di sini, setiap agama mengirim wakilnya untuk menampilkan
lagu-lagu yang bernafaskan semangat perdamaian. Di lain kesempatan,
anak-anak yang berbeda iman dikumpulkan dalam sebuah grup, lalu
diminta berkolaborasi dan tampil bersama di atas panggung.
Model kekinian lainnya juga ditemukan dalam Futsal for Peace. Dalam
kegiatan ini, anak-anak muda diajak untuk datang bermain futsal layaknya
permainan futsal pada umumnya. Yang berbeda, saat break atau setelah
justru diisi dengan dialog antaragama. Model ini menjadikan dialog lintas
iman menjadi lebih kekinian, tidak begitu formal dan sangat dekat dengan
anak muda.
Harapan yang muncul adalah bagaimana mengupayakan agar lembaga
lintas iman ini menjadi sebuah lembaga resmi di kampus-kampus dalam
bentuk UKM Lintas Iman, Peace Study Club, Multicultural Club atau
apapun namanya. Intinya, dia adalah lembaga intra kampus sejajar UKM
yang fokus pada isu-isu keberagaman dan dibingkai dalam nuansa
kekinian khas anak muda. Sebuah lembaga yang akan terus menerus

133
menyuarakan kebhinekaan dan nilai-nilai multikulturalisme di dunia
kampus.
Kita tentu berharap, anak-anak muda itu terus berkreasi dan tidak putus
semangat dalam menyuarakan gerakan lintas iman. Dari kreativitas mereka
diharapkan tersebar virus-virus perdamaian ke seluruh penjuru negeri.
Tidak menutup kemungkinan, dari kreativitas mereka pula nantinya muncul
aplikasi-aplikasi smartphone yang dapat digunakan untuk memperkuat rasa
keberagaman serta penghargaan terhadap iman yang berbeda.
Melihat apa yang telah dilakukan generasi milenial, maka tidak seharusnya
mereka dipinggirkan dalam gerakan-gerakan lintas iman. Mereka perlu
dilibatkan. Suara dan ide mereka harus didengarkan. Hal itu jauh lebih baik
daripada menyaksikan mereka terjebak dalam kaderisasi gerakan
radikalisme yang juga menyasar generasi milenial.

134
Islam Transnasional dan Generasi Muslim
Milenial di Tanah Papua

Oleh RIDWAN AL-MAKASSARY

Di media sosial pada fajar 2017, beberapa foto generasi muda Muslimah
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), yang mengibarkan bendera HTI di bukit
Teletubbies Jayapura, telah memantik api kontroversi. Mungkin karena HTI
adalah satu aktor Islam transnasional yang mempromosikan khilafah Islam,
sedangkan Papua diasosiasikan sebagai Tanah Injil, dan juga bak “penuh
jerami kering yang mudah terbakar”. Selain itu, kehadiran Islam
transnasional dianggap memperburuk proses perdamaian di Papua.
Tulisan ini memotret fenomena generasi Muslim milenial dari sebuah
perspektif yang lebih luas. Beberapa aspek yang ditelisik yaitu apa karakter
milenial dan Muslim milenial? Apakah mereka steril dari jebakan
radikalisme Islam? Dan bagaimana
Ridwan Al-Makassary adalah mereka menjadi agen perdamaian?
peneliti dan pek erja perdamaian di
Papua. Saat ini ia tengah
menyelesaik an S3 di University of
Western Australia (UWA) dan
bek erja pada Center for Muslim
States and Societies (CMSS) UWA
Perth. Sebelumnya ia meraih
Master of Human Rights and
Democratization (MHRD) di
University of Sydney. Di tulisan ini,
Ridwan memotret fenomena
generasi Muslim milenial di Papua
di tengah pengaruh radik alisme
Islam dan Islam transnasional. (Keterangan foto: Muslimah milenial HTI
Baginya, penting bagi generasi di Bukit Teletubbies Jayapura)
muda Papua untuk mengambil
peran sebagai agen perdamaian. Setiap generasi memiliki era dan
tantangannya. Generasi milenial
berbeda dengan generasi sebelumnya, yang lekat dengan teknologi digital
pada usia senjanya. Generasi milenial sejak dini telah terkoneksi dengan
informasi, jaringan sosial online, dengan orang dan tempat di penjuru dunia
melalui pertumbuhan teknologi digital sebagai bagian inheren dalam
tumbuh-kembang mereka sebagai manusia (Bauman, dkk, 2014).
Papua merupakan wilayah paling timur di Indonesia, yang dirundung konflik
beraroma separatis, konflik kekerasan oleh negara, kekerasan struktural
dan konflik horizontal. Sejak kontak senjata pertama antara pendukung
Papua merdeka dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) tahun 1963,
hingga kini Papua terperangkap dalam kondisi perdamaian negatif, yaitu
ketiadaan hak asasi manusia dan demokrasi yang berdetak dengan keras.

135
Dewasa ini, barisan Papua merdeka mengubah pendekatan kekerasan ke
diplomatik, dengan cara merangkul negara-negara Melanesia untuk
internasionalisasi isu pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua.
Sementara pemerintah Republik Indonesia di bawah komando Presiden
Jokowi menggalakkan pembangunan dan (berusaha) menjauhi pendekatan
sekuritisasi. Namun, infrasturuktur yang digalakkan pemerintah tidak
otomatis melunturkan nasionalisme ganda (Materay, 2014) di mana
sebagian warga Papua lebih kuat orientasi kepapuaannya dari
nasionalisme keindonesiaan.
Konflik Papua lebih beraroma separatis, sebagaimana Aceh yang pernah
berkonflik sekitar tiga dasawarsa dengan pemerintah Indonesia. Muridan
dkk (2010) menengarai salah satu faktor utama konflik adalah persepsi
status politik yang berbeda tentang integrasi Papua ke Indonesia tahun
1969.
Pada era reformasi (1998), Ambon dan Poso diamuk konflik komunal
bernuansa agama, sementara Sambas, Sampit dan Singkawan dirundung
konflik beraroma etnik. Masa itu Papua menyaksikan antusiasme pejuang
kemerdekaan untuk lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI), oleh karena pengaruh dan inspirasi kemerdekaan Timor Timur.
Hingga kini, penyelesaian Papua ibarat menegakkan benang basah.
Ketika konflik komunal berangsur mereda di Indonesia akibat sikap tegas
pemerintah Megawati terhadap para milisi Islam tahun 2003, Papua
dibayangi konflik komunal akibat migrasi pendatang dan mantan Laskar
Jihad ke Papua untuk peruntungan hidup yang lebih baik. Mereka
membawa serta agama mereka, yang tidak semuanya moderat.
Meski tidak secara sistematis dan masif, Islam transnasional di Papua,
seperti Jemaah Tabligh, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Gerakan Salafi
perlahan hadir dan telah melahirkan ketegangan dengan barisan Islam
moderat. Kehadiran mereka, menurut ICG (2007), menjadi salah satu
sebab konflik di Papua. Beruntung tokoh agama se-Papua pada 5 Februari
2003 telah mendeklarasikan “Papua Tanah Damai” untuk menghindari
jebakan konflik komunal berdarah. Puji Tuhan, hingga kini Papua aman
dari proyek “meng-Ambonkan” Papua.

(Keterangan Foto: Deklarasi Papua Tanah Damai 5 Februari 2003)


136
Dengan latar belakang demikian, generasi Muslim milenial Papua
bertumbuh kembang. Umumnya mereka lahir dari keluarga Muslim
pendatang, dan dari keluarga Muslim Welesi Wamena dan Fakfak. Mereka
lahir di Papua di tengah masyarakat plural, seperti kota Jayapura, yang
disebut Indonesia mini. Mereka sebagian besar alumni sekolah dasar
negeri (SDN) yang siswanya terdiri dari berbagai agama. Sekolah Muslim
masih terbatas pada Yayasan Pendidikan Islam (YAPIS).
Setelah tamat SDN, sebagian mereka belajar di pesantren, teutama di
Makassar dan di pulau Jawa. Sebagian besarnya tetap bersekolah di
Papua dan melanjutkan kuliah di Jayapura dan sebagian ke luar Papua.
Selepas kuliah, mereka mencari kerja, menikah dan memulai hidup baru.
Fajar era reformasi 1998 telah membuka “jendela kesempatan” bagi
kebangkitan Islam transnasional di Jawa, yang juga berimbas ke Papua.
Secara khusus, generasi Muslim milenial Papua disibukkan pada pencarian
identitas keIslaman, yang bertali temali dengan kesulitan mencari
pekerjaan layak. Akibatnya, pekerjaan mereka lebih banyak berkutat pada
sektor informal, lantaran pegawai lebih dipriorioaskan pada orang asli
Papua. Mereka yang frustasi dengan pembangunan yang tidak
menyertakan mereka menjadi titik masuk radikalisme Islam.
Setelah reformasi 1998, tumbuh generalisasi yang distortif bahwa Papua
adalah Tanah Injil; menjadi Kristen berarti pro-kemerdekaan dan identifikasi
pendatang sebagai Muslim dan mendukung NKRI, untuk beberapa derajat,
telah menjadi bibit perpecahan, prasangka dan kecurigaan. Perlu dipahami,
bahwa Islam telah masuk di Papua pada abad ke-16 M, sementara Kristen
baru menyentuh “gelap” peradaban Papua pada 5 Februari 1855 di pulau
Mansinam. Dua misionaris dari Jerman bernama Ottow dan Gessler
dibantu orang suruhan raja Tidore yang Muslim. Dus, Islam dan Kristen
telah bergandengan tangan untuk membawa terang peradaban Papua.
Nyatanya, generasi Muslim milenial di Papua sebagian mulai bersentuhan
dengan militansi Islam transnasional. Melalui masjid dan kampus, generasi
Muslim milenial banyak yang terpapar radikalisme Islam. Mereka terpukau
mantra Islam sebagai solusi melalui sistem sel dan jaringan pengajian
rahasia. Selain itu, pertemuan dan komunikasi intensif dengan teknologi
digital telah memperkuat basis Islam transnasional.
Mereka sebagian percaya, negara khilafah bisa dengan gampang
menyelesaikan carut marut penyelenggaraan negara. Pada saat yang
sama, Islam transnasional “berminyak air” dengan memainkan isu anti-
Papua merdeka, yang mengancam NKRI, dan juga menyalahkan ideologi
neo-liberal. Padahal, pada tempo yang sama Islam transnasional sedang
bekerja mendelegitimasi NKRI.
Akibatnya, sebagian generasi Muslim milenial mendukung radikalisme
Islam dengan memandang Islam sebagai solusi di tengah kegagalan
negara mewujudkan damai positif di Papua. Sekitar 1000 orang pendukung
salah satu gerakan Islam transnasional adalah Muslim milenial yang telah

137
terindoktrinasi dari kalangan muballigh, mahasiswa/dosen, pegawai negeri
sipil dll.
Karenanya, pembubaran satu organisasi Islam transnasional, baik secara
politik dan hukum, tidak serta merta menghilangkan ideologi ini, lantaran
telah bertengger di benak sebagian pengikutnya yang fanatik. Selain itu,
mereka mungkin akan bergerak di bawah tanah dan sulit dideteksi. Juga,
tidak mustahil jika mereka dapat berkolaborasi dengan organisasi lain
sealiran, mereka ini bisa berfungsi sebagai “sel tidur” ISIS, seperti peristiwa
jatuhnya kota Marawi di Filipina, oleh karena didukung “sel tidur” yang
mendukung ISIS di kota tersebut.
Lantas, bagaimana generasi Muslim milenial dapat berfungsi sebagai agen
perdamaian? Di tengah kompleksitas masalah Papua, sebagaimana diurai
di atas, peran generasi Muslim milenial diperlukan untuk perdamaian.
Adalah legacy Papua sebagai tanah damai sempat diragukan akibat
Insiden Tolikara (2015), pelarangan pembangunan masjid, isu pembakaran
al-Kitab di Jayapura, dll.
Meskipun, berdasarkan data Kementerian Agama RI Papua diganjar
sebagai kota toleransi rangking pertama tahun 2017, ‘pulau emas’,
mereferensi Ferdinad Magellan seorang pelaut Spanyol, masih disarati
prasangka dan kecurigaan berbalut etnik-agama di tingkat akar rumput. Di
sini, mutlak diperlukan partisipasi stakeholders di Papua untuk melibatkan
generasi Muslim milenial sebagai agen perdamaian.
Training, dialog dan kerjasama lintas iman perlu diperkokoh untuk
membentengi generasi Muslim milenial dari jerat radikalisme Islam yang
ditebar Islam transnasional. Ketika sebagian besar mereka telah terjerat,
maka tidak mustahil benteng “Papua Tanah Damai” bisa jebol. Dan, ketika
ada pemicu (trigger), maka Papua bisa mengulang pengalaman Ambon
dalam konflik komunal yang mematikan.

138
Kaum Muda Aceh dan Relasi Antarumat
Beragama

Oleh ROSNIDA SARI

Apa yang ada di pikiran Anda ketika mendengar kata “Aceh”? Ketika saya
menanyakan itu pada beberapa orang (terutama mahasiswa) di luar Aceh,
banyak dari mereka menjawab “Tsunami” dan “Syariat Islam”.
Bagi sebagian orang, Aceh yang mereka ingat adalah daerah yang pernah
diluluhlantakkan Tsunami pada 2004. Tsunami yang menewaskan 115.628
korban jiwa dan 127.774 dinyatakan hilang. Belum lagi harta benda yang
ikut hilang lenyap akibat gempa yang tercatat sebagai salah satu musibah
terbesar abad ini.
Tsunami ini lantas membuka ruang resolusi atas konflik yang terjadi di
Aceh sejak 1976. Setahun setelah tsunami, organisasi pro-kemerdekaan di
Aceh, Gerakan Aceh Merdeka
Rosnida Sari adalah dosen UIN (GAM), menandatangani
Ar-Raniry Banda Aceh yang ak tif di kesepakatan berdamai dengan
k omunitas Jaringan Masyarak at pemerintah Indonesia.
Sipil Peduli Syariah (JMSPS). Ia Penandatanganan ini dilangsungkan
meraih gelar dok tor di Flinders di Helsinski, Finlandia pada 15
University Australia. Saat di
Agustus 2005.
Flinders, ia sempat menjadi
Presiden PPIA Flinders dan duta Tsunami dan penandatanganan
Oasis (k omunitas lintas iman) dipenghentian konflik telah
k ampusnya itu. Di tulisan ini,
menghadirkan kesempatan bagi para
Rosnida mengungk ap gerak an pekerja kemanusiaan untuk bisa
k aum muda Aceh yang berupaya
masuk ke Aceh. Aceh sebelumnya
menepis citra buruk Aceh sebagai
daerah yang intoleran. Di ujung sangat tertutup bagi orag luar karena
Barat Indonesia ini, jalan dikenal sebagai daerah darurat
membangun trust antarumat militer. Tsunami juga membuka
beragama amat berlik u, k arenanyakesempatan bagi anak-anak muda
peran pemuda sangat dibutuhk an. Aceh bisa berkenalan dan
berinteraksi dengan mereka yang
berbeda agama dan budaya. Dari sini, mereka mulai bersentuhan dengan
kemajemukan. Namun, perjumpaan lintas agama dan lintas budaya
bukanlah hal yang mudah di daerah ini.
Saya ingat ketika saya mengunjungi salah satu vihara di kota Banda Aceh
pada 2012, penjaga vihara mengatakan bahwa vihara mereka dilempari
orang tak dikenal, persis ketika isu Rohingya di Myanmar mulai santer.
Situasi ini juga diperparah dengan ketakutan-ketakutan terhadap mereka
yang berbeda agama dan isu Kristenisasi di Aceh.
Ketakutan ini semakin berkembang ketika banyak NGO internasional yang
masuk ke Aceh untuk membantu korban tsunami. Di tahun 2008, seorang

139
pekerja kemanusiaan beragama Nasrani berkata bahwa rumah yang
hendak ia tempati, dibatalkan kontraknya karena pemilik rumah
mengetahui bahwa dia orang Nasrani.
Cerita lain terjadi pada 2016, saat sebuah lembaga yang mengajar bahasa
Inggris mempunyai pengajar beragama Nasrani. Ketika si guru
menawarkan air mineral gelas pada muridnya, si murid berkata dia tidak
mau mengambilnya karena takut hafalan qur’annya hilang lantaran
meminum air mineral gelas pemberian sang guru yang Nasrani itu.
Kasus intoleransi juga terjadi, bukan saja antarumat beragama, namun
juga sesama Muslim. Data dari Aceh Institute menyebutkan, dalam kurun
2012 hingga 2013 tercatat ada 21 kasus intoleransi terjadi di Aceh, mulai
dari kekerasan, penyesatan, pelarangan ibadah, penutupan rumah ibadah
dan pembatasan ruang ekspresi. Kasus intoleransi ini tidak hanya tercatat
di Banda Aceh saja, namun melebar ke beberapa kabupaten di Aceh.
Jaringan Masyarakat Sipil Peduli Syariah (JMSPS) mencatat, sejak 2011
hingga 2013 penyerangan tidak saja terjadi bagi komunitas Nasrani, Budha
atau Hindu, tapi juga terjadi pada komunitas Muslim karena dianggap beda
paham atau aliran. Misalnya penyerangan dan pembakaran beberapa
pesantren di Kabupaten Bireuen, Aceh Besar, Aceh Selatan dan
Lhokseumawe. Kasus terbaru adalah pembakaran rangka masjid
Muhammadiyah yang sedang dibangun di desa Samso, kabupaten Bireuen
oleh oknum tidak bertanggungjawab.
Melihat situasi ini, sejumlah gerakan kaum muda Aceh menarik dicermati.
Mereka berusaha menunjukkan bahwa masih ada wajah-wajah damai di
provinsi ini. Mereka berusaha menepis citra buruk Aceh sebagai daerah
yang intoleran. Salah satunya melalui inisiasi kaum muda melaksanakan
sekolah keberagaman di kota Langsa pada 2016.
Namun, kegiatan itu juga sempat terhenti karena gangguan oleh oknum
yang menganggap telah terjadi Kristenisasi dalam acara tersebut.
Sehingga, kegiatan yang semula direncanakan selama tiga hari, terpaksa
terhenti di hari kedua. Ini hanyalah satu contoh rintangan dalam usaha
membangun kesadaran bahwa Aceh adalah beragam; beragam secara
etnis, beragam secara keyakinan.
Namun, meski mendapat gangguan, beberapa anak muda di Banda Aceh
tetap berusaha membangun kerjasama antarumat beragama. Inti dari
keinginan tersebut adalah tumbuhnya rasa saling percaya (trust) di antara
mereka. Usaha itu bukan pekerjaan mudah, karena di setiap diri para
pemuda ini harus dibongkar dulu akar konflik yang begitu lama
menyebabkan mereka membenci etnis dan agama tertentu. Konflik yang
panjang dan lama telah menutup kesempatan anak-anak muda Aceh untuk
bersentuhan dengan dunia luar, sehingga banyak mencurigai hal-hal
berbau asing.
Usaha ini sekaligus melanjutkan gerakan pada 2013 atau sembilan tahun
setelah tsunami. Saat itu, terdapat pawai keberagaman yang digagas salah
satu NGO internasional. Pawai ini menghadirkan mitra lembaga dari NTT

140
yang membuka mata masyarakat Aceh, tentang saudaranya yang berasal
dari provinsi berbeda.
Tak heran, spirit gerakan itu berlanjut hingga belakangan ini, misalnya
melalui penggalangan dana untuk Rohingya yang dilakukan komunitas
lintas etnis dan agama pada awal Oktober 2017. Hal itu lantas dilanjutkan
dengan pagelaran seni inklusi di ruang publik yang digagas beberapa anak
muda lintas agama dan etnis pada peringatan sumpah pemuda pada 28
Oktober 2017.
Sejumlah kegiatan tersebut dilakukan di ibu kota Aceh, Banda Aceh. Banda
Aceh sengaja dipilih karena lebih dekat aksesnya pada masyarakat yang
sudah bisa menerima keberagaman. Selain ada pula kegiatan kemah
pemuda yang digelar Peace Generation dan diikuti anak muda dari
beberapa kabupaten kota di Aceh, termasuk di Sabang.
Beberapa kegiatan yang dianggap sensitif, untuk sementara tidak pernah
dipublikasikan di media. Dikhawatirkan, masyarakat belum siap untuk
menerima kegiatan lintas iman. Misalnya saja, ketika beberapa anak muda
mengunjungi gereja dan melakukan aksi bersih-bersih gereja atau ketika
mereka mengunjungi vihara untuk berbincang dan belajar tentang agama
Buddha. Kegiatan seperti ini sulit untuk bisa dimuat di media. Masyarakat
Aceh, khususnya Banda Aceh berusaha untuk tidak terlalu dekat dengan
gereja, karena adanya larangan untuk mengucapkan selamat natal dari
Pemerintah Kota Banda Aceh.
Pilihan untuk tidak mempublikasikan kegiatan lintas iman pada media
tentunya menimbulkan dilema. Di satu sisi pihak penyelenggara ingin agar
kegiatannya bisa diketahui khalayak ramai sekaligus menunjukkan bahwa
Aceh tidak seseram yang dibayangkan. Namun, di sisi lain kegiatan seperti
ini dikhawatirkan menimbulkan riak tidak senang di masyarakat. Namun,
beberapa kegiatan yang dianggap tidak terlalu sensitif, berhasil diliput
media. Contohnya, aksi penggalangan dana untuk Rohingnya, pawai
keberagaman dan pentas seni inklusi.
Usaha membangun trust memang sudah menjadi kebutuhan bagi generasi
milenial ini. Mereka yang terlahir di tahun 1980-2000an ini tidak langsung
merasakan konflik di Aceh, namun mereka menerima dampaknya.
Karenanya, usaha membangun rasa saling percaya akan lebih mudah
dilakukan pada mereka dibandingkan jika dilakukan pada generasi SBX
(Silent Generation 1928-1945, Boomer Generation 1946-1964 dan X
Generation 1965-1980).
Membangun trust antarumat beragama memang membutuhkan waktu.
Khusus untuk Aceh, jalannya memang berliku. Adalah hal yang biasa jika
di daerah lain membawa para pemuda mengunjungi rumah-rumah ibadah
misalnya (dan dipublikasi di media massa), aksi ini masih terlalu sensitif
untuk Aceh. Karenanya, kegiatan dengan isu-isu sosial dan budaya
melibatkan para pemuda lintas agama adalah hal yang paling mungkin
dilakukan.

141
Literasi Budaya, Kikis Benih-benih Disharmoni

Oleh MUSLIHATI

Potensi kebhinekaan Indonesia bermakna ganda. Bak pelangi, ia indah


mewarnai Nusantara. Namun, di balik keindahan itu, benih-benih
disharmoni yang berakar dari prejudis dan stereotip sangat mungkin hadir
di permukaan. Ia senantiasa membayangi kehidupan berbangsa dan
bernegara kita. Hal ini tentu menjadi pekerjaan rumah bagi kaum milenial
sebagai generasi masa depan bangsa.
Hingga kini, masyarakat Indonesia, tidak terkecuali generasi milenial,
masih rentan terprovokasi isu-isu yang memanfaatkan perbedaan agama
dan ras; Islam dan non-Islam, pribumi dan non-pribumi. Isu tersebut
menjadi sangat sensitif karena menyinggung keimanan atau nilai-nilai
fundamental kehidupan. Begitu mudah menggelinding, menjadi wabah
tanpa dapat dihindari. Mewujud
Muslihati adalah dosen Jurusan dalam sikap intoleran.
Bimbingan Konseling Fak ultas Ilmu
Pendidik an Universitas Negeri Fenomena itu begitu nyata, mulai
Malang yang meraih gelar dok tor di dari ujaran kebencian pemicu
k ampus yang sama. Ia ak tif pertikaian, tindakan anarkis di
sebagai pengurus Cabang sejumlah daerah, hingga ancaman
Muslimat NU Kota Malang dan bom atau aksi kekerasan pada
Lembaga Kemaslahatan Keluarga kelompok tertentu. Kenyataan ini
Nadhlatul Ulama (LKKNU) PCNU
melahirkan asumsi, masyarakat
Malang. Di tulisan ini, Muslihati
berupaya mengangk at k embali Indonesia masih perlu terus belajar
literasi budaya sebagai ciri yang hidup berdampingan di tengah
telah menyejarah dalam k ehidupan indahnya keragaman corak budaya,
bangsa Indonesia. Baginya, agar ras dan agama. Toleransi dan sikap
tercipta harmoni, generasi milenial saling menghargai mutlak diperlukan,
harus memilik i k esadaran dan agar perbedaan tak rentan berujung
mengenal jati diri bangsa, termasuk konflik.
nilai-nilai dan filosofinya.
Kasus pertumpahan darah di Sampit
dan Sambas, pertikaian antara kelompok Syiah dan Sunni di Sampang
Madura, pembakaran Masjid di Tolikara, pengeboman Gereja di Manado,
bahkan gonjang-ganjing isu agama dan ras selama Pilkada DKI menjadi
bukti bahwa disharmoni masih terus mengancam negeri ini.
Harus diakui, salah satu lahan subur penyebaran pola pikir prejudis dan
intoleran adalah media sosial (medsos). Wajah informasi publik terutama
medsos seringkali ditampilkan dalam konten yang kurang menentramkan.
Medsos menjadi lahan subur penyebaran virus intoleransi lewat pesan-
pesan yang diviralkan.
Informasi sarat prejudis, stereotip dan diskriminasi bahkan diekspresikan
secara vulgar lewat tulisan bahkan ucapan melalui video maupun animasi
gif. Tulisan berisi kata-kata hujatan terlontar tanpa filter, tanpa tedeng aling-

142
aling. Maka jadilah fakta intoleransi laksana sajian sehari-hari. Sayangnya,
informasi ini mudah diakses semua kalangan, termasuk generasi muda
hingga anak-anak usia belia.
Kecenderungan ini tentu membahayakan generasi milenial. Betapa tidak,
kelekatan dengan teknologi informasi merupakan salah satu kekhasan
generasi ini. Gaya hidup yang simpel, praktis, instan dan serba cepat,
sangat identik dengan mereka. Remaja zaman now, demikian identitas
yang dilekatkan pada mereka. Tanpa gawai, hidup serasa ada yang hilang.
Kaum milenial telah akrab dengan teknologi sejak usia dini. Hampir tidak
ada remaja yang tidak memiliki akun medsos. Di situlah mereka eksis.
Instagram, facebook, twitter dan youtube, merupakan medium sosialisasi
dan transfer informasi yang paling banyak mereka gunakan. Via internet
dan medsos, remaja juga dapat menyerap informasi dan belajar berbagai
hal, baik positif maupun negatif.
Melalui medsos pula, mereka mengenal beragam gaya hidup dari berbagai
negara, termasuk demam K-Pop yang demikian cepat menerjang ruang
pikiran remaja. Gencarnya air bah budaya dari negara lain tentu
berpeluang mengikis jati diri bangsa pada remaja. Belum lagi peluang
disharmoni seiring pesatnya pesan intoleran. Lantas, bagaimana masa
depan literasi budaya dan penciptaan harmoni di kalangan millenial?
Bagaimanapun, remaja hari ini adalah pemimpin masa depan. Generasi
milenial menentukan kondisi Indonesia di masa-masa akan datang,
termasuk dalam hal mengelola kebhinekaan. Remaja milenial harus
memiliki kesadaran dan mengenal jati diri budaya bangsa, termasuk nilai-
nilai dan filosofinya. Tantangan ini dapat dijawab dengan edukasi literasi
budaya.
Pada hakikatnya, literasi budaya bukanlah hal baru. Sikap toleran, saling
menghargai telah menyejarah dari kehidupan bangsa Indonesia. Hanya
saja sikap ini mulai tergerus dengan datangnya pemikiran-pemikiran baru
yang cenderung intoleran. Sejak zaman kerajaan, masyarakat Indonesia
telah menunjukkan sikap empati multibudaya yang membanggakan.
Salah satu contoh nyata terlihat dari komposisi pemuka agama yang diatur
di jaman Majapahit. Saat itu, kerajaan memberikan ruang bagi semua
agama untuk hidup berdampingan secara damai dipimpin pemuka masing-
masing agama. Harmoni ini kemudian diperkuat Pancasila ketika Republik
Indonesia berdiri pada 1945.
Literasi budaya merupakan ikhtiar edukasi kebangsaan yang
dikembangkan agar warga Indonesia memahami keragaman budaya,
menerima kemajemukan, dan menghormati perbedaan budaya Indonesia.
Literasi budaya meliputi kesadaran dan pemahaman pada budaya diri
sendiri (own culture) dan kesadaran akan budaya orang lain yang berbeda
(other culture).
Literasi budaya dilandasi dua asumsi dasar; Pertama, setiap manusia tidak
dapat memilih takdirnya untuk terlahir dari ras, suku, atau jenis kelamin

143
tertentu. Kedua, setiap manusia berhak dan butuh dihargai. Merujuk pada
dua asumsi tersebut, maka sudah selayaknya setiap individu menunjukkan
sikap respek pada orang lain, apapun ras dan sukunya.
Mengapa demikian? Karena sikap menghargai bersifat timbal balik (mutual
respect). Dalam konteks apapun jika kita respek pada orang lain maka
mereka juga akan respek pada kita. Sikap ini perlu terus diedukasikan
pada generasi milenial. Dengan demikian diharapkan sikap intoleran,
etnosentrisme, mudah berprasangka dan menjatuhkan jugdement tanpa
dasar kuat, tidak mudah dilakukan.
Di samping itu, upaya edukasi dapat dilakukan dengan menyediakan ruang
interaksi langsung dengan individu dari latar budaya berbeda baik melalui
forum dialog maupun proyek kemanusiaan. Kegiatan seperti live in,
outbond multibudaya akan menyemai benih respek keragaman
multibudaya yang akan berdampak besar membangun harmoni.
Pengalaman belajar sedemikian akan sangat bermakna dan dapat
meluruhkan benih-benih prejudis dan stereotip yang mengungkung pola
pikir seseorang.
Sebagai contoh nyata, pengalaman masa kecil saya. Tumbuh di
lingkungan pedesaan yang mayoritas Muslim dengan warna khas Islam
tradisional, tidak membuat kami sekeluarga menutup pergaulan dengan
kelompok ras dan agama lain. Keluarga kami bersahabat dengan Tacik
dan Engko, para penduduk etnis Tionghoa yang beragama Nasrani atau
Budha. Kami biasa saling berkunjung, ngobrol dan bercanda. Ibu dan
nenek mengatakan, mereka sama-sama manusia yang harus dihargai,
perbedaan agama tidak perlu dipersoalkan, lakum diinukum walyadin.
Sementara itu, dalam konteks kekinian, edukasi literasi budaya bagi
generasi milenial harus sejalan dengan edukasi literasi media. Remaja
harus dilatih untuk mampu menyeleksi sisi positif dan negatif berbagai
informasi yang mungkin berpeluang menumbuhkan sikap intoleran.
Mengajarkan dan mengajak mereka untuk mengidentifikasi dan
mendiskusikan ciri-ciri berita hoax dan memprovokasi disharmoni adalah
cara yang bijak untuk melatih literasi media dan literasi budaya.
Selanjutnya, mereka akan sangat suka jika dilibatkan dalam kampanye
atau edukasi literasi budaya dengan memanfaatkan media sosial. Remaja
zaman now yang sangat gemar membagi cerita dapat diajak untuk
membagi pengalaman dan pendapatnya mengenai cara hidup damai di
tengah masyarakat multibudaya. Dengan demikian, generasi millenial tidak
hanya diedukasi agar cerdas memilah informasi namun juga ambil bagian
dalam membangun harmoni.

144

Anda mungkin juga menyukai