Anda di halaman 1dari 13

PENJELASAN FILOSOFI,

PENJABARAN DAN  IMPLEMENTASI
ADAT BASANDI SYARAK, SYARAK BASANDI KITABULLAH

  

 Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah merupakan landasan dari sistem nilai pandangan hidup yang
menjadikan Islam sebagai sumber utama dalam tata dan pola perilaku yang melembaga dalam masyarakat
Minangkabau. Artinya, Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah adalah kerangka untuk  memahami
keberadaan insan Minangkabau sebagai khalifah Allah di muka bumi.

Masyarakat Minangkabau sadar akan adanya pergeseran sistem nilai dan pola perilaku, sehingga Adat Basandi
Syarak, Syarak Basandi Kitabullah perlu digali, dihayati  dan diamalkan dalam kehidupan sebagai salah satu
ikhtiar mempertebal semangat kebangsaan dalam tatanan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan  dalam
pergaulan dunia.

Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi  Kitabullah yang menjadi sumber pencerahan bagi kebangkitan manusia
Minangkabau berasal dari titik temu perpaduan antara sistem nilai adat dengan agama Islam.

Maka masyarakat Minangkabau menggali kembali nilai-nilai Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah
sebagai sumber pencerahan kebangkitan manusia Minangkabau dalam menghadapi masa depan yang penuh
kompetisi yang dinamis antar bangsa, sehingga menciptakan alur perjalanan bangsa yang tidak linier.

Sistematika penggalian nilai-nilai yang terkandung dalam falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi
Kitabullah kita rangkai dalam sub bab tentang: Filosofi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah,  Ilahiyah
dan Insaniyah, Insan Minangkabau, Pola Interaksi Masyarakat Minangkau, dan Pelembagaan Adat Basandi
Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.

 
 

A.    FILOSOFI ADAT BASANDI SYARAK, SYARAK BASANDI KITABULLAH

Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah adalah kerangka  pandangan hidup orang Minangkabau yang
memberi makna hubungan antara manusia, Allah Maha Pencipta dan alam semesta. Sesungguhnya Adat
Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah sebagai konsep nilai, yang kini menjadi jati diri orang Minangkabau,
lahir dari kesadaran sejarah masyarakatnya melalui proses pergulatan yang panjang. Semenjak masuknya Islam
ke dalam kehidupan masyarakat Minangkabau terjadi titik temu dan perpaduan antara ajaran adat dengan
Islam sebagai sebuah sistem nilai dan norma dalam kebudayaan Minangkabau yang melahirkan falsafah Adat
Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.

Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah bertujuan untuk memperjelas kembali jati diri etnis
Minangkabau sebagai sumber harapan dan kekuatan yang menggerakkan ruang lingkup kehidupan  dan tolok
ukur untuk melihat dunia Minangkabau dari ranah kehidupan berbangsa dan bernegara, dan dalam pergaulan
dunia.

Islam masuk ke Minangkabau mendapati suatu kawasan yang tertata  rapi dengan apa yang disebut “adat”,
yang mengatur segala bidang kehidupan manusia dan menuntut masyarakatnya untuk terikat dan tunduk
kepada tatanan adat tersebut. Landasan pembentukan adat adalah “budi” yang diikuti
dengan akal, ilmu, alur dan patut sebagai adalah alat batin yang merupakan paduan akal dan perasaan untuk
menimbang baik dan buruk. Islam membawa tatanan apa yang harus diyakini oleh umat yang
disebut aqidah dan tatanan apa yang harus diamalkan yang disebut syariah  atau syarak. Syariat Islam lahir dari
keyakinan Iman, Islam, Hakikat dan Makrifat serta tauhid.

Adat dipahami orang Minangkabau sebagai suatu kebiasaan yang mengatur hubungan sosial yang dinamis
dalam suatu komunitas, (seperti suku, kampung, dan nagari).  Adat dipahami juga sebagai ujud gagasan
kebudayaan yang terdiri atas nilai budaya, norma, hukum dan aturan yang satu sama lainnya berkaitan menjadi
suatu sistem. Sebagai sebuah sistem nilai dan norma, adat mempengaruhi perilaku individu dan masyarakat
yang mewujudkan pola perilaku ideal.  Dengan kemampuan dan kearifan, orang Minangkabau membaca setiap
gerak perubahan yang akhirnya antara Adat dan Islam saling topang menopang seperti, “aur dengan
tebing” membentuk sebuah konfigurasi kebudayaan Minangkabau. Titik temu antara Adat dan Islam, dapat
dilacak melalui pandangan “teologis” terhadap alam semesta.

Proses perenungan dan penghayatan terhadap unsur-unsur kehidupan yang berpijak pada kemampuan dan
intensitas pembacaan orang Minang terhadap alam. Alam adalah segala-galanya bagi mereka. Dari alam
mereka belajar, berguru, memperbaharui diri, dan lewat alam pula mereka menemukan inspirasi dan kekuatan
hidup. Banyak ayat-ayat Tuhan mengenai alam, khusus ayat-ayat kauniyah, yang diperuntukkan bagi manusia
sehingga melalui alam manusia dapat menemukan dirinya dan Sang Khaliqnya. Alam dipahami sebagai tempat
lahir, tumbuh dan mencari kehidupan. Tetapi juga bermakna sebagai kosmos yang memiliki nilai dan makna
filosofis. Pandangan orang Minangkabau terhadap alam terlihat dalam ajaran; pandangan dunia (world
view) dan pandangan hidup (way of life) yang seringkali mereka tuangkan melalui pepatah, petitih, mamangan,
petuah,  yang diserap dari bentuk, sifat, dan kehidupan alam.

 
Nilai dasar dari Adat Bersendi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah adalah nilai ilahiyah dan insaniyah yang
mendapat legitimasi dari Adat dan Islam sebagai rujukannya. Nilai-nilai ilahiyah muncul dari proses pembacaan
atas semesta “Alam Takambang Jadi Guru”. Allah, melalui penciptaan alam semesta memperlihatkan
Kekuasaan-Nya.

Alam dengan segala isinya memperlihatkan tanda-tanda akan diri-Nya agar insan sampai pengenalan kepada
Allah yang telah menciptakan dirinya. “Seseorang baru bisa sampai mengenal Allah, apabila ia mampu
membaca dan memahami “dirinya”. Proses pembacaan terhadap alam dan diri merupakan salah satu metode
yang mengantarkan insan pada kesadaran akan hubungan dirinya dengan Allah, yang menciptakannya. Dalam
tradisi orang Minangkabau yang mengajarkan alam semesta dengan segala isinya menjadi guru yang
membimbing mereka memahami dirinya dan mencari sumber kekuatan dalam hidup. Ini
merupakan  sumbangan adat Minangkabau dalam falsafah “Alam Takambang Jadi Guru” cermin hubungan
manusia  dengan Allah Tuhan Maha Pencipta dan alam.

Secara teologis kekuatan ilahiyah berporos pada Sang Khalik. Dalam kehidupan kekuatan ilahiyah berperan
sebagai pengembangan dan pemeliharan kualitas insaniyah melalui amal shaleh pancaran dari keimanan
seseorang.  Dalam sistem Adat, semua nilai bertumpu pada kekuatan budi sebagai landasan perilaku dan
perbuatan. Menurut pandangan Adat Minangkabau, semua tindakan dan kerja sosial diarahkan untuk
peningkatan dan pengayaan kualitas diri untuk mendorong setiap individu dan masyarakat agar selalu
mempertinggi, memperkuat dan memelihara harkat dan martabat kemanusiaan .

Kedua kekuatan nilai-nilai ilahiyah dan insaniyah sebagai landasan nilai Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi
Kitabullah memiliki prinsip-prinsip dasar sebagai patokan dalam  kehidupan bermasyarakat. 

1.      Prinsip kebenaran, merupakan nilai dasar yang mutlak dalam pergaulan umat manusia pancaran dari
hakikat “tawhid” dan menjadi ‘modal dasar’ dalam setiap jiwa insan sebagai khalifah-Nya. Tawhid atau jiwa
ketuhanan adalah konsep penghambaan  dari pembebasan manusia dengan Allah.

Kebenaran adalah nilai dasar tempat berpijak, bergerak dan berakhirnya semua kehidupan. Watak dasar insan
yang hanif menuntun mereka untuk selalu berpegang pada prinsip-prinsip kebenaran, melakukan yang benar
dan mengarahkan semua kerja sosialnya pada kebenaran itu sendiri. Bagi orang Minang kebenaran merupakan
sebuah usaha untuk menciptakan tatanan yang adil dalam kehidupan masyarakat.” Orientasi hidup pada
kebenaran lahir dari kesepakatan dan pengakuan bahwa setiap manusia memiliki hak dasar yang sama yang
menjadi pilar dari segala aktivitas kemanusiaan. Segala kebijakan, keputusan dan kehidupan sosial harus
berdasarkan pada kebenaran atau “nan bana. Kebenaran merupakan alas dari setiap produk sosial, politik,
hukum, ekonomi, budaya, sekaligus menjadi harapan kehidupan yang berharkat dan bermartabat. Alurnya
adalah “kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka pangulu, pangulu barajo ka mufakat, mufakat barajo
ka nan bana. Nan ‘bana tagak dengan sendiri”  – Al haqqu mir arrabihim.

2.      Prinsip keadilan adalah bagian yang menggerakkan kehidupan manusia. Tanpa keadilan kehidupan


masyarakat akan selalu goyah. Dengan keadilan akan terjamin kehidupan masyarakat yang sejahtera. Dengan
keadilan Minangkabau akan meraih kembali harkat dan martabatnya dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Konsep adil adalah ciri taqwa, ajaran kemanusiaan yang harmonis yang didambakan oleh setiap
manusia. Hakikat dari kebenaran, keadilan dan kebajikan penting bagi terciptanya kebangkitan
Minangkabau. Prinsip kebenaran digerakkan oleh nilai-nilai kebajikan.

3.      Prinsip kebajikan  akan lebih bermakna jika ditopang oleh prinsip kebenaran dan  prinsip keadilan
yang  melahirkan kehidupan insan yang lebih bermakna.

    Kebenaran, keadilan dan kebajikan merupakan “tali tigo sapilin, tungku tigo sajarangan”. Kebenaran menjadi
landasan teologis atau nilai dasar, sedangkan keadilan merupakan nilai operasionalnya.

Ketiga unsur ini merupakan perpaduan yang saling terkait dan terikat. Kebenaran tidak dapat berdiri sendiri
tanpa ditopang nilai keadilan. Kebenaran dan keadilan akan bermakna apabila diikuti dengan nilai-nilai
kebajikan.

Prinsip kebenaran, keadilan dan kebajikan menjadi pijakan dalam menerjemahkan nilai-nilai ilahiyah dan nilai-
nilai insaniyah. Dalam Adat Bersendi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah terkandung juga beberapa prinsip di
antaranya: adab atau budi, kejujuran, kemandirian, etos kerja, keterbukaan, kesetaraan, berfikir dialektis,
kearifan, visioner, saraso-tenggang manenggang, sahino-samalu, saiyo-sakato, sanasib sapananggungan, sopan
santun, kerjasama dan tolong menolong, keberagaman, kebersamaan,  dan tanggung jawab.

Dalam Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah juga terkandung prinsip dasar dan nilai operasional
yang melembaga dalam struktur sosial masyarakat Minangkabau.

1.         adab dan budi, inti  dari ajaran adat Minangkabau, sebagai  pelaksanaan dari prinsip adat. “indak nan
indah pado budi, indak nan elok dari baso” .Tidak ada yang indah dari pada budi dan baso basi. Yang dicari
bukan emas, bukan pangkat, akan tetapi budi pekerti yang dihargai. Agar jauh silang sengketa, perhalus basa
dan basi (budi pekerti).

2.          kebersamaan, lahir dari hasil musyawarah  bulek aia ke pambuluah, bulek kato ka mufakat, yang
dijabarkan “dalam senteang ba-bilai, singkek ba-uleh” sebagai pancaran iman kepada Allah swt. Di dalam
masyarakat yang beradat dan beradab (madani) mempunyai semangat kebersamaam, sa-ciok bak ayam,
sadancing bak basi”. Membangun kebersamaan dengan mengikutsertakan setiap unsur anggota masyarakat  di
setiap  korong, kampung dan nagari di Minangkabau, sehingga semua yang dicita-citakan   tidak akan sulit
diujudkannya.

3.         keragaman masyarakat yang terdiri dari banyak suku  dan asal muasal dari berbagai ranah  bersatu
dalam kaedah “hinggok mancakam, tabang basitumpu”,  menyesuaikan dengan   lingkungan dan saling
menghargai, dima bumi dipijak, disatu langit dijunjung.

4.           kearifan, kemampuan menangkap perubahan yang terjadi, sakali aia gadang, sakali tapian baralieh,
sakali tahun baganti, sakali musim batuka,” Perubahan tidak mengganti sifat adat. Perubahan adalah
sunatullah. Setiap usaha untuk mencari jalan keluar dari problematika perubahan sosial, politik dan ekonomi
menjauhkan fikiran  dengan menjauhkan dari hal yang tidak mungkin. Seorang yang arif tidak boleh melarikan
diri dari perbedaan pendapat, karena pada hakekatnya perbedaan itu membuka peluang  untuk memilih yang
lebih baik.
5.         tanggungjawab sosial yang adil, seia sekata menjaga semangat gotong royong. Semua  dapat merasakan
dan memikul tanggung jawab bersama pula. Saketek bari    bacacah, banyak bari baumpuak, Kalau tidak ada,
sama-sama giat mencarinya, dan sama pula menikmatinya.

6.         keseimbangan antara  kehidupan rohani dan jasmani berujud dalam kemakmuran, Munjilih di tapi aia,


mardeso di paruik kanyang.   Memerangi kemaksiatan, diawali dengan menghapus kemiskinan dan
kemelaratan. Rumah gadang gajah maharam, lumbuang baririk di halaman, lambang kemakmuran.

7.         toleransi sesuai dengan pesan Rasulullah, bahwa sesungguhnya zaman berubah, masa berganti. Seiring
dengan perkembangan zaman, masyarakat Minangkabau diarahkan kepada pandai hidup dengan jiwa toleran,
Seorang yang arif tidak boleh melarikan diri dari perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat mendorong dan
membuka peluang untuk memilih yang lebih baik di antara beberapa kemungkinan yang tersedia. (Hujarat ;13).

8.         kesetaraan, timbul dari sikap bermusyawarah yang telah hidup subur dalam masyarakat
Minangkabau.  Sejalan dengan itu diperlukan saling tolong menolong  dengan moral dan buah pikir
dalam mempabanyak lawan baiyo (musyawarah),     melipat gandakan teman berunding. Sikap musyawarah
membuka pintu berkah dari langit dan bumi. Kedudukan pemimpin, didahulukan selangkah, ditinggikan
seranting.

9.          kerjasama mengutamakan  kepentingan orang banyak dengan sikap pemurah yang merupakan  sikap


mental dan kejiwaan yang tercermin dalam mufakat. Mufakat bertujuan menegakkan kebenaran dengan
pedoman tunggal, hidayah dari Allah.

10.     sehina semalu, dasar untuk memahami persoalan berdasarkan atas masalah seseorang dengan bersama
dan bersama dengan seseorang. Dalam adat Minangkabau sesuatu hal adalah sebagian dari keseluruhan, yang
satu bersangkut paut dengan lainnya, semuanya topang menopang walau hal sekecil apa pun.

11.     tenggang rasa dan saling menghormati adalah inti dari fatwa adat tentang budi atau akhlaqul karimah.

12.     keterpaduan, saling meringankan dengan kesediaan memberikan dukungan dalam kehidupan. “barek


sapikua, ringan sajinjiang”, Kerja baik dipersamakan dengan saling memberi tahu sanak saudara dan jiran.
“Karajo baiak baimbauan, karajo buruak baambauan.  Apabila musibah menimpa diri seseorang, maka
tetangga serta merta menjenguk tanpa diundang.

        Prinsip-prinsip tersebut merupakan prinsip operasional yang melembaga di dalam struktur sosial
masyarakat Minangkabau. Jiwa ilahiyah menjadi pendorong bagi tindakan sebagai makhluk Allah yang
mempunyai tanggungjawab sebagai khalifah. Setiap kebijakan, keputusan dan tindakan berorientasi pada
kebajikan dan kemashlahatan ummat; pengayom bagi yang kecil dan menjadi suluh bagi orang banyak. Jiwa
insaniyah merupakan sebuah aksi kemanusiaan dalam melakukan transformasi sosial. Dalam kerangka inilah
masyarakat Minangkabau ditempatkan dan berproses dengan amal saleh untuk  kemashalahatan umat.

Nilai operasional menjadi kerangka acuan dalam menentukan arah dan corak kehidupan masyarakat
Minangkabau. Sementara prinsip kebenaran, keadilan dan kebajikan menjadi semangat dan jiwa dalam segala
tindakan, sikap dan watak orang Minangkabau. Watak dan sikap tersebut diungkapkan dalam ”hiduik baraka,
mati bariman”.  Hidup berakal bermakna tidak ada kehidupan yang dilalui tanpa pertimbangan akal. Ikatan
antara ’raso’ -rasa- yang timbul dari ’pareso’ – hati nurani- melahirkan  ketajaman pikiran, keseimbangan hakiki
yang ingin dicapai oleh insan Minangkabau dalam  mengembalikan harkat dan martabat melalui akal dan budi.
Bertolak dari pandangan falsafah tersebut, Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah adalah rujukan
dalam merumuskan berbagai kebijakan terhadap kelangsungan hidup orang Minangkabau yang beriman,
beradat, berbudaya, berharkat dan bermartabat. Dengan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah,
Minangkabau membangun menuju masa depannya yang tidak boleh tercerabut dari kearifan dan nilai dasar
serta nilai operasional tersebut. Artinya dengan segala kearifan Minangkabau melangkah ke masa depannya.

B.  ILAHIYAH DAN INSANIYAH

Nilai yang terkandung dalam Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, adalah gambaran kehidupan yang
ideal terhampar dalam alam pikiran Minangkabau, kehidupan yang lahir dari “roh” ilahiyah dan insaniyah.
Dengan ‘roh ilahiyah” menemukan makna kehidupannya, dan melalui semangat insaniyah segala aktivitas
kemanusiaan bernilai amal shaleh. Dengan kekuatan kedua nilai tersebut orang Minangkabau membentuk dan
mengembangkan kehidupan sosialnya yang utuh, terpadu dalam sebuah tatanan yang harmonis dan penuh
dengan keseimbangan.

Tuhan, Sang Khaliq dengan segala Iradah-Kehendak- dan Qudrat-Kuasanya-, telah mengalirkan sifat-sifat
ketuhanan ke dalam diri manusia. Penitahan Tuhan kepada manusia sebagai khalifatullah di muka bumi
menjadi bukti bahwa kehidupan manusia bertumpu pada Tuhan. Dalam kehidupan manusia, yang diridhai oleh
Sang Khaliq,  amat diperlukan sebuah kesadaran kosmis bahwa ilahiyah adalah sesuatu yang melekat dalam
dirinya. Dan, dalam hubungan ini sejatinya manusia, pemegang amanah sebagai khalifah, dituntut untuk
senantiasa mencerminkan nilai-nilai ilahiyah dalam siklus kehidupan yang serba pendek ini.

Nilai-nilai ilahiyah dan nilai-nilai insaniyah merupakan mata air tempat mengalirnya nilai-nilai universal sebagai
tenaga penggerak kehidupan. Kedua nilai tersebut  terpadu dalam diri manusia. Tidak satu pun dalil yang
meniadakan kedua nilai ini dalam diri manusia, sebab manusia sebagai ciptaan Tuhan, sebenarnya terikat
dengan segala sesuatu yang bersumber dan bermuara pada Allah Maha Pencipta. Dengan kata lain, jika
manusia ingin memperlihatkan keberadaannya, maka ia selalu mempertahankan dirinya sebagai bagian dari
struktur sosial.

Pada hakikinya, nilai ilahiyah dan insaniyah adalah kanal Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah yang
memiliki muatan nilai-nilai kecil yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Ketika kebenaran,
keadilan dan kebajikan telah menjadi gagasan orang Minangkabau, maka nilai-nilai ilahiyah dan insaniyah akan
mendorong membebaskan manusia dari taghut  (berhala) individualistik yang selama ini menggerogoti nilai-
nilai kebersamaan, kesetaraan, dan toleransi dalam mengembangkan kehidupan masyarakat Minangkabau.

Nilai-nilai ilahiyah lahir dari proses pembacaan dan pemaknaan orang Minangkabau atas semesta dalam
falsafah “Alam Takambang Jadi Guru”. Tuhan melalui penciptaan semesta dengan segala isinya
memperlihatkan tanda-tanda Kekuasaan-Nya. Akhirnya manusia yang mampu membaca dan memahami
“dirinya” akan mengenal Allah, Tuhan yang telah menciptakan “dirinya”. Proses pembacaan terhadap alam dan
diri merupakan salah satu metode yang mengantarkan kesadaran manusia mengenal Tuhannya. Dalam tradisi
Minangkabau alam semesta dengan segala isinya menjadi guru yang membimbingnya memahami dirinya
sekaligus mencari sumber kekuatan dalam hidup.
Secara filosofis, dalam diri manusia mengalir “jiwa ketuhanan” yang menghubungkannya dengan Allah Maha
Pencipta. Firman Tuhan dalam Surat Ar-Ruum ayat 30 yang menitahkan agar manusia menghadapkan dirinya
kepada agama yang hanif, dan menyuruh manusia agar tetap pada fitrah Tuhan yang telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu,  menjadi isyarat tentang hubungan ini. Ayat ini, di samping
menunjukkan  hubungan manusia dengan Tuhan, sementara nilai ilahiyah (fitrah) itu sendiri sesungguhnya
berada dalam dirinya. Manusia akan tetap bergerak dalam dimensi ilahiyah melalui proses penghayatan secara
terus menerus yang berujung pada pengembangan kualitas insaniyah manusia. Tawhid atau keimanan adalah
poros segala dimensi ilahiyah, sementara manusia adalah pusat dari insaniyah itu sendiri. Perpaduan keduanya
terlihat dalam aktivitas kemanusiaan -amal shaleh- yang merupakan ceminan dari keimanannya kepada Tuhan.

Roh ilahiyah merupakan hakikat tawhid dan menjadi ‘modal dasar’ dalam setiap jiwa manusia yang telah
dititahkan Tuhan sebagai khalifah-Nya. Hanya Tuhan pusat penghambaan, dan seluruh aktifitas sebagai
khalifah pun yang tidak terlepas dari rasa terikat  kepada Tuhan. Tawhid adalah konsep penghambaan dan
pembebasan manusia dari segala bentuk kungkungan. Pembebasan bermakna, bagaimana jiwa ilahiyah
menjadi pendorong bagi tindakan manusia sebagai mahluk Tuhan yang mempunyai tanggungjawab sebagai
khalifah. Setiap kebijakan, keputusan dan tindakan harus berorientasi pada kebajikan dan kemashlahatan
ummat manusia; pengayom bagi yang kecil dan menjadi suluh bagi orang banyak. Kesimpulannya ialah, jiwa
insaniyah merupakan sebuah perjanjian aksi kemanusiaan untuk melakukan perubahan sosial. Dalam kerangka
inilah manusia Minangkabau ditempatkan, bergerak dan berproses dalam kaedah nilai ilahiyah dan insaniyah
yang berorientasi pada amal shaleh dan kemashalahatan umat yang akhinya tercapai keindahan dalam hidup
ini.

C.  KEBENARAN, KEADILAN, KEBAJIKAN DAN KEINDAHAN

Orang Minangkabau berada dalam kehidupannya  yang serbaberagam. Keragaman bermakna pilihan yang
paling sadar dari masing-masing orang Minangkabau dalam menentukan hidup dan kehidupan mereka. Dalam
keberagaman makna, pada hakikinya, sesunguhnya aliran kehidupan itu mengalun dengan semangat dan nilai
yang sama antar satu dengan yang lainnya. Sesuai dengan khittahnya, manusia terlahir dalam keadaan fitrah.
Fitrah adalah sebuah potensi dasar manusia yang selalu cenderung kepada kebenaran, keadilan dan kebajikan.

Kebenaran sebagai nilai dasar (fundamental) tempat berpijak, bergerak dan berakhir semua kehidupan. Watak
dasar manusia yang hanif menuntun manusia untuk selalu berpegang pada prinsip-prinsip kebenaran,
melakukan yang benar dan menentukan arah yang tepat semua kerja sosialnya. Bagi orang Minangkabau
kebenaran merupakan sebuah keniscayaan untuk menciptakan tatanan yang adil dalam interaksi antar
masyarakat. Kebenaran atau “nan bana” dalam konteks sosial bermakna bahwa segala kebijakan, keputusan
dan siklus kehidupan sosial harus berlandaskan  pada kebenaran. Kebenaran merupakan alas dari setiap
produk sosial; politik hukum, ekonomi, budaya, sekaligus menjadi harapan dan impian tentang kehidupan
madani yang beriman, mandiri dan bermartabat.

Orientasi hidup pada kebenaran yang diatur dalam bentuk kesepakatan dan kearifan yang mengakui manusia
mempunyai hak yang sama. Pengakuan itu adalah hak dasar yang menjadi pilar dari segala aktivitas
kemanusiaan. Kebenaran dalam prakteknya senantiasa ditopang oleh nilai-nilai keadilan dan nilai-
nilai kebajikan. Kebenaran, keadilan, dan kebajikan adalah sesuatu yang terus menurus dicari, karena manusia
sangat rindu akan tatanan yang adil dan dilaksanakan atas prinsip kebenaran yang digerakkan oleh nilai-nilai
kebajikan.

Keadilan adalah sesuatu yang penting menopang kehidupan orang Minangkabau.  Keadilan menjadi mesin


penggerak dunia Minangkabau  sebagai sebuah entitas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam konteks yang sesungguhnya, kebenaran merupakan sandaran keadilan. Orang selalu dituntut untuk
selalu mentransformasikan suatu kebenaran, dan dengan kebenaran itu pulalah manusia menjalankan
keadilan. Jika kebenaran menjadi jalan bagi keadilan, maka kebajikan adalah pakaian yang akan membuat
perjalanan hidup lebih indah dan mengagumkan.

Baik Adat maupun Islam selalu mengajarkan dan mendorong orang untuk melakukan kebajikan
karena kebajikan merupakan hal yang esensial bagi kehidupan manusia, tanpa kebajikan sepenuhnya
kehidupan tidak lagi bermakna. Bagi orang Minangkabau, kebajikan adalah cermin kehidupan yang akan
mengantarkan hubungan sosial yang lebih integratif berbasis sumber daya manusia dan sumber daya alam.

Sebagai nilai dasar dari perpaduan yang terjadi antara Adat dengan Islam, kebenaran, keadilan, dan kebajikan
akan melahirkan gugusan-gugusan nilai-nilai operasional struktur sosial dan kultural Minangkabau. Oleh karena
itu penting menegaskan kembali hakikat dari kebenaran, keadilan dan kebajikan yang akan mendorong
terciptanya kebangkitan dunia Minangkabau berdasarkan internalisasi dari nilai-nilai kearifan universal yang
berasal dari perpaduan Islam dengan Adat.

Prinsip-prinsip kebenaran, keadilan dan kebajikan yang lahir dari nilai ilahiah dan insaniah menjadi kerangka
acuan dalam menentukan arah dan corak kehidupan. Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah sebagai
kerangka filosofis orang Minangkabau menjadi semangat dan jiwa dalam tindakan, sikap dan watak orang
Minangkabau. Berdasarkan “kebenaran, keadilan dan kebajikan” kemudian menggiring masyarakat
Minangkabau menganut paham pada falsafah hidup yang tegas dan mengikat.

D.              INSAN MINANGKABAU

Insan Minangkabau adalah orang yang siap menatap masa depan. Siap bergumul dan bergulat dalam zaman
yang senantiasa berubah, sesuai ungkapan adat, ”sakali aia gadang, sakali tapian  berubah”. Sesungguhnya,
kesiapan dan keberanian orang Minangkabau menghadapi tantangan zamannya lahir dari kemampuan atas
intensitas pembacaan terhadap semesta. Pembacaan terhadap semesta merupakan sebuah proses yang
senantiasa mengalir dalam siklus kehidupan manusia.

Fasafah ”Alam Takambang Jadi Guru” menjadi titik sentral bagi orang Minangkabau dalam memaknai
kehidupannya. Proses perenungan dan penghayatan terhadap materi-materi kehidupan, yang berpijak pada
kemampuan dan intensitas pembacaan mereka terhadap alam, mempunyai makna yang dalam bagi orang
Minangkabau. Alam adalah segala-galanya bagi mereka, sebagai tempat lahir, tumbuh dan mencari kehidupan,
serta sebagai sebuah kosmos yang memiliki nilai dan makna filosofis. Implikasi dari pemaknaan orang
Minangkabau terhadap alam terlihat jelas dalam ajaran; pandangan dunia (world view) dan padangan
hidup (way of life) yang seringkali mereka nisbahkan melalui pepatah, petitih, mamangan, petuah,  yang
diserap dari bentuk, sifat, dan kehidupan alam.
Falsafah ”Alam Takambang Jadi Guru”, sebagai pencerminan Allah Tuhan Yang Maha Kuasa, yang menjadi
anutan bagi orang Minangkabau, suatu konsep kemanusiaan yang ”egaliter” dalam sistem kodrat ”alam” yang
dikotomis menurut alurnya yang harmonis. Pengertian alur yang harmonis dalam ”alam” ialah dinamika dalam
sistem musyawarah dan mupakat berdasarkan ”alur” dan ”patut”, yaitu etika hukum yang layak dan benar.
Sebagai masyarakat yang beragama, maka kebenaran yang benar berada di jalan Allah, Tuhan Yang Maha Esa.

Pandangan kosmos ini pada akhirnya membawa mereka melihat keteraturan semesta bukanlah sesuatu yang
tiba-tiba, melainkan muncul melalui proses pergulatan antara pertentangan dan keseimbangan. Filsafat ‘Alam
Takambang Jadi Guru’ mengandung pengertian bahwa setiap orang ataupun kelompok memiliki kedudukan
sama, baik sebagai individu, maupun sebagai kelompok, sebagai hasil dari musyawarah. Pandangan ini
mendorong untuk mandiri dan berkompetisi dalam meningkatkan martabat dan harga diri setiap individu.
Dalam masyarakat Minangkabau yang komunal, setiap individu diberi peluang untuk mengembangkan diri atas
dorongan kerabatnya sendiri.  Dia disegani, berwibawa dan berwawasan yang luas, “ba alam lapang, ba
padang laweh”.   Berwawasan luas dan luwes. Prinsip ini,  gadang diambak, tinggi dianjung,   suatu pengakuan
menjadi besar dan tinggi karena lingkungan komunitasnya.  Sebaliknya ia pun harus membela masyarakatnya
agar makin berharga dalam dan di luar lingkungannya. Lambat laun prinsip ini melembaga dalam diri setiap
individu, bahwa  masyarakat itu merupakan milik dan bagian penting dari dirinya. Demikianlah masyarakat
Minangkabau menyikapi cara melihat dirinya dan melihat alam dan perubahannya.

Proses dialektika dipahami oleh orang Minang tidak sebatas pergulatan, tapi sebagai proses yang telah
membentuk insan Minangkabau sebagai individu yang memiliki karakter, watak dan sikap yang jelas dalam
menjalani siklus kehidupan. Di antara karakter itu adalah;

Pertama, orang Minangkabau selalu menekankan nilai-nilai adab atau budi. Setiap individu dituntut untuk
mendasarkan kekuatan budi dalam menjalani kehidupannya.

Kedua, etos kerja yang didorong oleh kekuatan budi, sehingga setiap individu dituntut untuk selalu melakukan
sesuatu yang berarti bagi diri dan komunitasnya. Melalui semangat inilah kemudian mereka memiliki etos kerja
yang tinggi.

Ketiga, kemandirian. Semangat kerja atau etos kerja dalam rangka melaksanakan amanah sebagai khalifah
menjadi kekuatan bagi orang Minangkabau untuk selalu hidup mandiri, tanpa harus bergantung pada orang
lain. “Baa di urang, baitu di awak” dan “malawan dunia urang” adalah sebuah filosofi agar individu dituntut
untuk mandiri dalam memperjuangkan kehidupan yang layak.

Keempat, saraso, tenggang menenggang dan toleran. Kompetisi adalah sesuatu yang sah dan dibenarkan
untuk mempertinggi harkat dan martabat, namun ada kekuatan rasa yang mengalir dari lubuk budi. Setiap
invididu hidup bukan sekedar memenuhi kebutuhan pribadi, melainkan juga berjuang dan memelihara
komunitasnya. Hidup dalam pergaulan sosial harus didasarkan pada kekuatan rasa. Rasa akan melahirkan sikap
tenggang menenggang dan toleran terhadap orang lain dengan segala perbedaan yang ada. Etos kerja dan
semangat kemandirian muncul dari lubuk “pareso” (akal pikiran), sedangkan sikap tenggang menenggang dan
toleran muncul dari kekuatan “raso”(hati nurani).

Kelima, kebersamaan yang menempatkan insan dalam posisi individu dan komunal yang memberi ruang untuk
menjalin kehidupan bersama dalam kebersamaan. Selain penempatan seseorang dalam ranah individu dan
masyarakat, kekuatan rasa, tenggang rasa dan toleran memperkuat munculnya kebersamaan dalam
masyarakat Minangkabau. Kebersamaan itu sesungguhnya lahir dari pola penempatan seseorang dalam ranah
individu dan masyarakat. Meskipun sebagai individu diberi ruang gerak untuk dirinya sendiri, namun ia harus
bersikap saling tenggang menenggang dan menghargai setiap perbedaan yang ada.

Keenam,  visioner, semangat yang kemudian membuat orang Minang memiliki visi yang jelas dalam menjalani
kehidupannya Dari kekuatan budi, etos kerja yang tinggi, watak kemandirian, nilai saraso, tenggang
menenggang, dan kebersamaan, orang Minang bergerak maju, dinamis, dan melihat ke masa depan.

Gugusan watak dan sikap di atas, akhir dari proses hidup dialektik yang terpercik dari falsafah”hiduik baraka,
mati barimanan”. ”Hidup ba raka” bermakna tidak ada kehidupan yang dilalui tanpa pertimbangan akal. Akal
sesungguhnya bermakna ikatan antara ’rasa’ yang timbul dari hati nurani dengan ’pareso’  yang lahir dari
kedalaman pikiran. Keseimbangan hakiki yang ingin dicapai oleh setiap orang Minangkabau. Orang
Minangkabau terus menerus bergulat dengan akal dan budi dalam mempercepat pencapaian harkat, martabat
dan hakikat kebenaran dalam kehidupan. Selanjutnya, ”mati bariman ” yang menjiwai manusia Minangkabau
merupakan turunan yang integral dari proses ”hidup ba raka”. Orang Minangkabau tidak rela meninggalkan
generasinya sebagai kaum yang lemah dan mudah ditindas, baik moral, mau pun materiil. Mereka berpantang
mati sebelum meninggalkan ”pusako”,  kebajikan yang ingin ditransformasikan, -baik dalam ucapan, sikap, dan
tindakan-. sebagai bekal bagi keturunannya.  Sikap kejiwaan ini terhujam dalam dan menjadi pilar bagi orang
Minangkabau.

 Bagi orang Minangkabau, Tuhan Yang Abadi sebagai suatu realitas yang mengaliri kehidupannya sesungguhnya
di dunia ini. Pilihan hidup ”mati bariman” adalah satu-satunya gerbang kebajikan yang sesungguhnya. Melalui
penghayatan ini, orang Minangkabau selalu terdorong menciptakan tatanan dinamis, terbuka, seimbang dan
kuat dalam membangun individu mandiri, berdaulat, beradab dan beriman untuk mewujudkan masyarakat
madani yang memiliki harkat dan martabat yang tinggi.

Orang Minangkabau adalah pribadi yang selalu menuju kesimbangan dalam menjalin corak hidup dari iman,
ilmu, dan amal. Ini makna sesungguhnya dari falsafah ”tali tigo sapilin, tungku tigo sa jarangan”. Akidah tauhid
sebagai ajaran Islam dipupuk melalui baso basi atau budi dalam tata pergaulan di rumah tangga dan di tengah
masyarakat.

Dengan penjiwaan ini, orang Minangkabau adalah sosok pribadi dari masyarakat yang tidak gentar, bahkan
amat sadar akan tantangan zamannya; mereka selalu menghadap ke depan, dan mereka tidak akan rela
menyeret diri kembali ke belakang; mereka selalu terbuka terhadap setiap perubahan ”sakali aia gadang,
sakali tapian barubah”.  Walaupun demikian orang Minangkabau tidak mudah terseret ke dalam arus yang
menafikan kearifan kulturalnya ”walau duduak lah bakisa, tapi bakisa dilapiak nan sahalai, walaupun tagaklah
barubah, nan tatap di tanah nan sabingkah”. ”Zaman boleh berubah, tapi realitas tidak boleh tercerabut dari
akarnya”. Diktum ini kian mempertegas hidup orang Minangkabau dalam sebuah nilai yang bermuara pada
nilai-nilai kebajikan.

E. POLA INTERAKSI PERGAULAN MASYARAKAT MINANG

Dialektika berbagai kekuatan dan ragam kehidupan telah mengantarkan dunia Minangkabau pada tatanan
harmonis dan berada dalam keseimbangan. Dialektika bagi orang Minangkabau dipahami sebagai sebuah
konsep yang menempatkan orang berfikir dalam suatu totalitas. Dalam struktur sosial, terdapat hal-hal yang
berbeda, namun kemudian menyatu membentuk struktur baru dalam kehidupan.
Dalam amanah Allah menjadikan ”manusia dan jin semata untuk mengabdi padaNya”. Di samping itu sebagai
khalifah, Allah pun mengamahahkan ”manusia yang dijadikanNya berkaum, bersuku dan berbangsa untuk
saling mengenal satu sama lainnya.” Kedua ayat ini menjadikannya manusia Minangkabau berkeyakinan yang
benar (tawhid), beragama yang taat dan berakhlaq yang mulia.

Hal ini diterapkan juga dalam sistem sosial adat Minangkabau yang matrilineal dan Islam yang patrineal,
kemudian membentuk sistem sosial baru dalam kebudayaan Minangkabau, dengan bentuk: Orang
Minangkabau bernasab kepada ayah (sistem patrilineal), bersuku kepada ibu (matrilineal) dan bersako
(pewarisan gelar) kepada mamak”.

Dalam sistem pewarisan, harta pusaka tinggi diwariskan kepada kemenakan (sistem matrilineal) dan pusaka
rendah diwariskan kepada anak (sistem patrilineal). Orang Minangkabau mengamalkan hukum adat, hukum
agama dan hukum negara (undang-undang).

Masyarakat Minangkabau selalu mengatur pola interaksi antara sesama manusia yang mempunyai hak yang
sama dalam memperoleh dan mengatur kehidupan yang sejahtera di bumi Tuhan. Kebenaran, keadilan dan
kebajikan yang menjadi prinsip orang Minangkabau untuk mengatur proses dialektika lam persentuhan antara
individu dengan individu, kelompok dengan kelompok, individu dengan kelompok, dan sebaliknya. Oleh
karenanya orang Minangkabau dalam pergaulannya bertindak dalam jalur moralitas bahwa hidup harus
dijalankan dengan penuh semangat kekeluargaan.

Perimbangan pembagian dalam menata antara ruang dan waktu untuk menjalani kehidupan terus mengalir
pada wawasan (matra) yang lebih luas. Bahwa orang Minangkabau lebih mudah menyesuaikan diri  dalam
melihat beragam corak dan perbedaan ragam kehidupan. Bagi orang Minang perbedaan – terutama
perbedaan pendapat— adalah hal yang lazim sebagai proses dialektis. Basilang kayu di tungku, mako api
hiduik. Silang pendapat merupakan benang merah untuk mencapai kesepakatan. Prinsip kebersamaan, baik
secara moril maupun materil, terus mengalir dalam pola hidup yang berlaku dalam masyarakat
Minangkabau.  Prinsip  diatur sedemikian rupa dalam menjalani proses hidup dan kehidupan sebagai makhluk
yang selalu bersinggungan dengan makhluk lainnya yang tidak membedakan antara satu dengan yang lainnya.
Prinsip ini melahirkan paham egaliterianisme bahwa manusia ditakdirkan sama derajatnya. Selain kebersamaan
yang dijunjung tinggi, orang Minangkabau memahami bahwa dalam perbedaan perlu dikelola sedemikian rupa
sehingga menciptakan suatu harmonisasi dalam perbedaan dan perimbangan [dialektika] kehidupan yang
kompleks.

Perbedaan merupakan suatu “keindahan tersendiri” bagi masyarakat Minangkabau dalam dialektika kehidupan
yang selalu bersentuhan antara satu sama lain. Nilai estetis yang terkandung dalam perbedaan bahkan sangat
dijunjung tinggi dan dianggap sebuah kewajaran yang memberikan warna dalam kehidupan yang dinamis.
Kehidupan yang selayaknya hanya akan berjalan dengan adanya perbedaan yang harmonis dan saling
melengkapi dalam proses bagaimana kehidupan itu dijalani.

Prinsip hidup yang tidak membedakan antara satu sama lain diperkokoh dengan keikhlasan dalam menerima
perbedaan yang terjadi dalam dialektika kehidupan. Keikhlasan dalam menerima ragam perbedaan yang ada
dalam masyarakat melahirkan kearifan melihat dan memahami sisi-sisi lain dari kehidupan yang berbeda. Di
balik peristiwa itu tersirat berbagai makna dalam menjalani kehidupan yang terus mengalir dalam ruang dan
waktu yang selalu berubah. Dalam perubahan ruang dan waktu ada proses pemaknaan alam dan lingkungan
tersebut. Oleh karena itu, orang  Minangkabau berhati-hati, baik dalam berkata maupun berbuat, karena
adanya kepekaan yang tinggi terhadap alam dan lingkungan. Orang Minangkabau mempertimbangkan segala
sesuatu hingga taraf kemapanan yang sangat tinggi, namun tetap luwes dalam setiap masalah yang dihadapi.
Maka menempatkan sesuatu tanggung jawab masing-masing merupakan perwujudan dari kearifan yang
diserap dari lingkungan tersebut.

Hubungan sosial yang tercipta atas persentuhan antar satu sama lain dalam proses interaksi dalam bingkai
etika yang mapan. Dalam hal ini, orang Minangkabau menempatkan budi sebagai ajaran tertinggi Adatnya.
Hanya dengan budi, pertalian yang akrab antar anggota masyarakat dapat diwujudkan. Tuhan pun menyuruh
manusia untuk berlemah lembut, tidak boleh berlaku kasar. Maka bingkai dari semua interaki yang berjalan
seiring dengan dinamika kehidupan adalah adab atau budi sebagai cerminan budaya yang menempatkan
masing-masing orang bertanggung jawab tanpa membedakan antara satu sama lain. Hal tersebut terlihat,
antara lain, dari tradisi dialog secara santun dalam bertutur kata dengan semua orang. Perkataan pun diatur
dalam ritme dan intonasi yang berbeda terhadap semua orang sesuai dengan kapasitasnya. Pola komunikasi
tersebut dibingkai dengan santun dan rasa empati.

Rasa santun dan empati terhadap semua orang melahirkan rasa tanggungjawab yang tinggi. Rasa tanggung
jawab yang tinggi terhadap sesama dalam kehidupan melahirkan sikap yang tanggap dalam kegoncangan atau
turun naiknya kehidupan yang digambarkan sebagai roda pedati. Sehingga solidaritas antar sesama melahirkan
sikap saling tolong menolong dalam kesulitan. Dalam kehidupannya, orang Minangkabau selalu berbagi sesama
dalam semua kesempatan maupun kesempitan. Dalam hidup semua keuntungan untuk semua orang, dan
semua kerugian ditanggung bersama.

Dalam hal tanggungjawab, orang Minangkabau meletakkannya dalam wilayah eksternal. Sementara memegang
teguh prinsip disiplin dan keterbukaan dalam wilayah internal. Dalam kedua dimensi ini sesungguhnya orang
Minang mempertanggungjawabkan segala sesuatu yang terkait dengan dua dimensi tersebut pada wilayah
individu dan masyarakat. Dengan jalinan antara kedua segi pertanggungjawaban yang dipikulkan di atas
pundaknya, orang Minangkabau memelihara keselarasan perbuatan yang berkaitan masyarakatnya. Rasa
tanggungjawab bermuara pada harga diri yang dipertahankan sampai titik darah terakhir. Artinya orang
Minangkabau tidak mudah tergoda dengan segala iming-iming yang dijanjikan atas penyelewengan yang
menguntungkan sepihak.

Dalam mempertahankan prinsip harga diri, baik itu harga diri secara individu, maupun harga diri yang sifatnya
kolektif (keluarga, suku dsb). Orang Minangkabau menanamkan pendirian yang teguh daripada menggadaikan
harga diri. Harga diri bagi orang Minangkabau merupakan sesuatu yang tidak dapat ditakar dengan emas
berbilang. Sehingga tidak ada tawar menawar dan tarik ulur dalam hal ini. Mempertahankan harga diri
merupakan “ruh” untuk hidup di lingkungan sehingga etos kerja mereka sangat tinggi untuk mengumpulkan
emas berbilang, nama terbilang. Usaha yang dilakukan dalam mendapatkan emas berbilang, nama terbilang,
ketulusan dan keikhlasan dalam berusaha menjadi faktor pendukung utama dalam meningkatkan taraf hidup
(ekonomi) agar harkat dan martabat mereka terjaga.

F.      PELEMBAGAAN ADAT BASANDI SYARAK, SYARAK BASANDI KITABULLAH


Prinsip-prinsip dasar  tersebut merupakan prinsip operasional dari prinsip kebenaran, keadilan dan kebajikan.
Prinsip-prinsip operasional dilembagakan ke dalam struktur sosial masyarakat Minangkabau. Adat Basandi
Syarak, Syarak Basandi Kitabullah tidak semata sistem nilai konseptual, tapi yang lebih penting, bagaimana
nilai-nilai tersebut dilaksanakan dalam kehidupan nyata. Sistem nilai yang berhubungan dengan struktur
kultural berupa struktur kognitif (pengetahuan) dan afektif (perasaan). Penerapan nilai yang berhubungan
dalam struktur sosial berupa hubungan antar manusia membentuk ”perilaku”. Bila berhubungan dengan
kultural akan membentuk ”sifat mental” yang dapat mempengaruhi dan mengendalikan perilaku. Wujudnya
dengan segala keadaan masyarakat akhirnya membentuk “struktur mental” manusia yang menjadi anggotanya.

Dengan demikian, nilai-nilai yang terkandung dalam Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah diterapkan
dan dilembagakan ke dalam struktur kultural dan struktur sosial masyarakat Minangkabau. Pelembagaan nilai-
nilai Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah harus menyentuh wilayah sosial empirik (pengetahuan dan
pengalaman masyarakat) seperti struktur interaksi, struktur kepemimpinan, struktur musyawarah dan mufakat,
struktur kepemilikan, struktur pewarisan, dan lain sebagainya. Ini berarti bahwa pranata sosial; pola
kepemimpinan, musyawarah dan mufakat (struktur politik dan hukum), pola kepemilikan dan pewarisan
(struktur ekonomi) serta pola interaksi (struktur budaya) mesti merujuk pada Adat Basandi Syarak, Syarak
Basandi Kitabullah. Konsekuensinya adalah bahwa sistem politik, hukum, ekonomi dan budaya hendaknya
mencerminkan nilai-nilai budaya orang Minangkabau; atau institusi sosial dan kultural (tradisional) yang masih
ada perlu direvitalisasi (dihidupkan kembali).

 Oleh karena itu, konsep Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. dipahami sebagai:

 Pertama, konsep usaha Minangkabau untuk merumuskan ”siapa dirinya”, sebagai sebuah masyarakat madani
yang beriman, beradat, berbudaya, berharkat, bermartabat, dan visioner. Hal ini berarti bahwa meninggalkan
nilai-nilai falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah., berarti keluar dari ”Minangkabau”.

Kedua, konsep ini berfungsi sebagai penentu tingkat hirarki nilai, Artinya secara kerohanian (transendental)
yang dapat dipertanggung jawabkan.

Ketiga, konsep ini  adalah landasan motivasi melakukan perubahan yang sekaligus menjadi standar dalam
menentukan keabsahan setiap perubahan sosial yang akan dijalani.

Anda mungkin juga menyukai