Anda di halaman 1dari 3

11

Uji lagi

Tentu, sudah tabiat Bintang untuk selalu membungkus rapat kebusukan


pribadi. Kalau tak bertindak tercela yang total, ia bukan lagi Sang Manusia Paling
Berbahaya. Tak perlu jauh-jauh, bukti sudah menyalak, tepatnya beberapa jam
lalu, dia hilangkan jejak di ruang pengobatan, sehingga, otomatis membuat Yayan
terlihat murni bunuh diri, bahkan, tanpa secercah pun kejanggalan timbul. Maka,
melihat fakta terpampang begitu miris, orang berprinsip lurus pasti setuju, karena,
saat Bintang bertindak sembarangan saja, sudah sukar dihentikan oleh segenap
cara, apalagi, seolah memiliki mainan baru berupa misteri cahaya di telapak
tangan kanan, kini dia sudah terlampau antusias, jadi tak ayal, pergerakan mata-
mata itu lebih sulit ditebak. Sampai-sampai, tingkat kesusahan diantisipasi
mencapai ratusan kali. Akan tetapi, menurut pribahasa Nusantara: sepandai-
pandai tupai melompat, pasti jatuh juga. Mungkin, linear dengan ungkapan ini:
secerdik-cerdik Bintang menutup sesuatu berbau busuk, sekali pun object telah
menjadi fosil, lantas, suatu saat tercium juga, entah oleh binatang atau homo
sapiens di masa depan.

Kini, Bintang beranjak pergi dari markas militer, sebab, tanpa perlu
mematuhi prosedur, ia memiliki akses keluar-masuk sesuka hati. Maka dari itu,
dengan penuh rasa tertarik karena cahaya misterius ini, dia mengendarai mobil
pribadi secara ugal-ugalan, sehingga, tiap gerak roda melaju, mimik tersirat
menggebu-gebu. Pun, ketika rem memekik guna mengontrol kemudi, di wajah
terpampang semangat membara tiada kendali. Pantas saja, diantara laju santai
kendaraan lain, serta melalui celah sempit dari interval antar mobil, car-nya tiada
henti berkelit sambil melejit. Namun, entah apa rencana busuk yang akan
direalisasikannya kali ini, yang jelas, ia buru-buru pulang ke rumah. Dalam arti
lain, segala sesuatu tempat Si Licik menuju, secara prediksi akan terjadi musibah
di sana.

Kala kian Bintang turun dari mobil, rupa-rupanya telah sampai di depan
rumah. Benar-benar beda, sebab tak mirip hari-hari biasa. Hanya kali ini, atau
dalam detik ini saja, mimik Si Licik tersenyum tulus. Maka sudah pasti, walau
terlampau natural, sesungguhnya itu hanya acting. Memang begitu, untuk masalah
tipu-menipu, sudah macam menjadi ganyangan. Dalam hal ini, baik dalam profesi
maupun kehidupan biasa, hidup Si Mata-Mata penuh kepura-puraan. Lantas,
dengan mempertahankan ekspresi begitu, dia tanpa ba bi bu masuk ke dalam
rumah. Sehingga, seperti biasa ia memandang kedua orang tua bertengkar hebat.
Lalu, akibat dari itu, banyak jejak pertikaian tak sedap dipandang. Termasuk salah
satunya, barang pecah belah berserak.

Seketika itu, Bintang berdiri tepat di depan Ayah dan Ibunya, seraya
menurunkan tingkat seringai senyum, lantas, sekarang ekspresi datar kembali
digalakkan. Akan tetapi, baru terjadi sekali saja, sebab kini dia memperhatikan
lama kedua orang tua. Bersamaan dengan itu, mata Si Licik memandang Sang
Ayah dengan bengis.

Ayah Bintang memukul kepala Sulastri, tak berinterval, sehingga konstan


dan tanpa ampun, sambil teriak, “Kurang ajar! Kenapa kamu tak pernah nurut
perintahku!”

Maka, Sulastri sadar bahwa Bintang memperhatikan lama. Sehingga


seperti malu, ia tangkis pukulan Ayah Bintang, lalu sembari ini, dia berlari ke
kamar, sambil menutup pintu dengan keras, lalu mengunci rapat-rapat.

“Sialan! Berani Ngelawan kamu? Sini kamu!” jerit Ayah Bintang dengan
kalap, sembari mengejar Sulastri, apalagi terlampau tergesa - gesa.

Inisiatif Bintang timbul, tiba-tiba dipegang bahu si Ayah dengan tangan


kanan. Sontak, sang ayah tak bergeming sedikitpun, mematung-matung begitu
saja. Seketika itu, Bintang tersenyum tipis, pertanda puas menyeruak dengan
menggebu. Bagaimana tidak, sebab niat bak iblis telah terealisasi. Ternyata, tiada
yang tahu, bahkan, andai organisme tak kasat mata lain punya akal, kemungkinan
besar juga tak bakal menyadari hal itu. Sebab, dari awal ketika Si Licik masuk
rumah, sihir di telapak tangan kanan mendadak aktif. Sehingga, tato kepala gajah
berbelalai dua kobra, kembali menunjukkan eksistensi di sana.
“Kamu mau kemana?” tanya Bintang

“Memangnya aku harus kemana?” balas Si Ayah.

“Mengapa kamu tak ke belakang rumah, dan gantung diri?”

“Apa aku harus kebelakang rumah dan gantung diri?”

“Ya, pastikan dirimu mati!”

Ayah Bintang berjalan ke belakang rumah. Tatapan mata kosong, pun


jalannya santai. Perilaku itu murni, mirip orang putus asa kemudian secara suka
rela bunuh diri.

Bintang hubungi polisi dan kakaknya bernama Anisa. Lalu, menyusun


alibi apik, membuat gimmick sedih. Kemudian, bersiap-siap untuk penguburan
Sang Ayah.

Anda mungkin juga menyukai