Uji lagi
Kini, Bintang beranjak pergi dari markas militer, sebab, tanpa perlu
mematuhi prosedur, ia memiliki akses keluar-masuk sesuka hati. Maka dari itu,
dengan penuh rasa tertarik karena cahaya misterius ini, dia mengendarai mobil
pribadi secara ugal-ugalan, sehingga, tiap gerak roda melaju, mimik tersirat
menggebu-gebu. Pun, ketika rem memekik guna mengontrol kemudi, di wajah
terpampang semangat membara tiada kendali. Pantas saja, diantara laju santai
kendaraan lain, serta melalui celah sempit dari interval antar mobil, car-nya tiada
henti berkelit sambil melejit. Namun, entah apa rencana busuk yang akan
direalisasikannya kali ini, yang jelas, ia buru-buru pulang ke rumah. Dalam arti
lain, segala sesuatu tempat Si Licik menuju, secara prediksi akan terjadi musibah
di sana.
Kala kian Bintang turun dari mobil, rupa-rupanya telah sampai di depan
rumah. Benar-benar beda, sebab tak mirip hari-hari biasa. Hanya kali ini, atau
dalam detik ini saja, mimik Si Licik tersenyum tulus. Maka sudah pasti, walau
terlampau natural, sesungguhnya itu hanya acting. Memang begitu, untuk masalah
tipu-menipu, sudah macam menjadi ganyangan. Dalam hal ini, baik dalam profesi
maupun kehidupan biasa, hidup Si Mata-Mata penuh kepura-puraan. Lantas,
dengan mempertahankan ekspresi begitu, dia tanpa ba bi bu masuk ke dalam
rumah. Sehingga, seperti biasa ia memandang kedua orang tua bertengkar hebat.
Lalu, akibat dari itu, banyak jejak pertikaian tak sedap dipandang. Termasuk salah
satunya, barang pecah belah berserak.
Seketika itu, Bintang berdiri tepat di depan Ayah dan Ibunya, seraya
menurunkan tingkat seringai senyum, lantas, sekarang ekspresi datar kembali
digalakkan. Akan tetapi, baru terjadi sekali saja, sebab kini dia memperhatikan
lama kedua orang tua. Bersamaan dengan itu, mata Si Licik memandang Sang
Ayah dengan bengis.
“Sialan! Berani Ngelawan kamu? Sini kamu!” jerit Ayah Bintang dengan
kalap, sembari mengejar Sulastri, apalagi terlampau tergesa - gesa.