Anda di halaman 1dari 3

Perbandingan kelebihan dan kekurangan dari masing-masing tipe simpang (bersinyal, tidak

bersinyal, dan bundaran)

Simpang bersinyal

Tipe simpang ini memisahkan lintasan dari gerakan-gerakan lalu-lintas yang saling
bertentangan dalam dimensi waktu. Simpang bersinyal digunakan untuk menghindari
kemacetan simpang yang mungkin diakibatkan adanya konflik arus lalu lintas. Sehingga, dapat
dijamin bahwa suatu kapasitas tertentu dapat dipertahankan bahkan selama kondisi lalu lintas
jam puncak. Simpang bersinyal juga memberikan kemudahan kepada kendaraan dan/atau
pejalan kaki dari jalan simpang (kecil) untuk memotong jalan utama. Sehingga, keselamatan
pengguna kendaraan dan/atau pejalan kaki lebih terjamin dibandingkan pada simpang tidak
bersinyal.

Dari segi keamanan, simpang bersinyal juga digunakan untuk mengurangi peluang
terjadinya kecelakaan lalu lintas akibat tabrakan antara kendaraan-kendaraan dari arah yang
bertentangan. Selain itu, karena menggunakan sinyal, pola waktu dapat diatur sesuai kebutuhan
(pada sistem yang lebih modern). Rencana waktu sinyal dapat dibuat berbeda sepanjang
hari/minggu, misalnya pada kondisi lalu lintas puncak pagi, puncak sore, dan lewat puncak.

Jika ada pertimbangan keselamatan lalu lintas di mana diperlukan pemisahan satu atau
lebih gerakan belok kanan, maka banyaknya fase juga harus ditambah. Penambahan fase ini
akan menambah waktu siklus dan rasio waktu yang disediakan untuk pergantian antara fase.
Namun, hal ini memiliki kekurangan yaitu kapasitas keseluruhan dari simpang tersebut akan
berkurang.

Kekurangan lain dari simpang bersinyal adalah pada analisisnya, mungkin diperlukan
metode dan perangkat lunak khusus karena simpang bersinyal merupakan bagian dari sistem
kendali waktu tetap yang dirangkai atau “sinyal aktuasi kendaraan” terisolir. Selain itu,
meskipun penggunaan sinyal dapat memisahkan gerakan lalu lintas yang bertentangan,
kenyataannya pengunaan ini tidak selalu meningkatkan kapasitas maupun keselamatan dari
simpang. Sehingga, untuk menambahkan sinyal pada sebuah simpang, perlu analisis lebih
lanjut apakah benar sinyal tersebut diperlukan.

Simpang tidak bersinyal

Simpang tipe ini memiliki 3 atau 4 lengan yang secara formil dikendalikan oleh aturan
dasar lalu lintas Indonesia yaitu memberi jalan pada kendaraan dari kiri. Simpang tidak
bersinyal ini merupakan tipe simpang yang paling ekonomis. Namun, perilaku pengendara
pada simpang tak bersinyal sangat sulit digambarkan, misalnya dalam hal aturan memberi jalan,
disiplin lajur dan aturan antri. Selain itu, model perilaku seperti model berhenti/beri jalan yang
didasarkan pada pengambilan celah juga sulit digambarkan. Sehingga, metode yang digunakan
adalah berdasarkan dasar empiris.

Metode empiris ini memiliki beberapa batasan, seperti simpang jalan yang dianggap
berpotongan tegak lurus dan terletak pada alinyemen datar, serta derajat kejenuhan yang kurang
dari 0,8 – 0,9. Sehingga, untuk simpang dengan derajat kejenuhan di luar rentang tersebut,
metode ini menjadi kurang reliable. Selain itu, apabila perilaku pengguna pada simpang
berubah, misalnya karena pemasangan dan pelaksanaan rambu lalu lintas BERHENTI atau
BERI JALAN atau adanya penegakan aturan hak jalan lebih dulu dari kiri (berdasar undang-
undang lalu lintas yang ada), maka penggunaan metode ini juga menjadi kurang sesuai.

Simpang tidak bersinyal ini paling efektif pada simpang yang ukurannya kecil dan
daerah konflik lalu lintasnya ditentukan dengan baik. Maka, simpang ini sangat sesuai untuk
persimpangan antara jalan dua lajur tak terbagi.

Ketika kebutuhan lalu lintas menjadi lebih tinggi, perilaku lalu lintas menjadi lebih
agresif serta ada resiko tinggi bahwa simpang tersebut akan terhalang oleh pengemudi yang
berebut ruang terbatas pada daerah konflik. Dengan kondisi ini, untuk pertimbangan
keselamatan lalu lintas, simpang tak bersinyal harus diubah menjadi bersinyal atau bundaran.
Misalnya jika kecepatan pendekat menuju simpang cukup tinggi dan/atau jarak pandang untuk
gerakan lalu lintas yang berpotongan tidak cukup akibat adanya penghalang di dekat sudut
persimpangan. Perubahan ini juga akan memudahkan pengendara di jalan minor dan/atau
pejalan kaki saat melintasi jalan utama.

Bundaran

Bundaran menghasilkan angka kecelakaan lalu lintas paling kecil yaitu 0,30
kecelakaan/juta kendaraan jika dibandingkan dengan simpang tidak bersinyal sebesar 0,60 dan
simpang bersinyal sebesar 0,43. Bundaran sendiri dianggap sebagai beberapa bagian jalinan
bundaran yang berurutan. Jalinan ini secara formil dikendalikan dengan aturan lalu lintas
Indonesia yaitu memberi jalan kepada yang kiri.

Sama dengan simpang tidak bersinyal, metode analisis yang digunakan adalah empiris.
Dengan beberapa syarat seperti derajat kejenuhan lebih kecil dari 0,8 - 0,9. Selain itu, jika
perilaku pengemudi berubah, misalnya melalui penerapan rencana pengaturan lalu lintas di
bagian jalinan, atau melalui penegakan hak jalan dari kiri oleh polisi, maka metode ini akan
menjadi kurang sesuai. Alasannya adalah bahwa perilaku lalu-lintas pada bagian jalinan dalam
hal aturan memberi jalan, disiplin lajur dan antri tidak memungkinkan penggunaan suatu model
yang berdasarkan pada pengambilan celah.

Bagian jalinan bundaran ini akan mempunyai kapasitas tertinggi jika lebar dan panjang
jalinan sebesar mungkin. Selain itu, bundaran yang didesain dengan hanya satu tempat masuk
akan lebih aman dari pada bundaran berlajur banyak. Selain itu, dalam perencanaannya,
bundaran harus memberikan kecepatan terendah pada lintasan di pendekat, sehingga memaksa
kendaraan menyelesaikan perlambatannya sebelum masuk bundaran.

Anda mungkin juga menyukai