Cetakan 1:
Januari 2022
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmatnya
Pedoman Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien (PMKP) dapat diselesaikan
dengan tepat waktu sesuai dengan kubutuhan Rumah Sakit Umum Muhammad Ali
Kasim Kabupaten Gayo Lues.
Pedoman Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien (PMKP) ini yang mulai
dipergunakan pada tahun 2018 meliputi sasaran keselamatan pasien, standar
pelayanan berfokus pasien, standar manajemen rumah sakit, program nasional dan
Integrasi pendidikan kesehatan dalam pelayanan di rumah sakit.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Tim Penyusun yang telah berjuang untuk
menyelesaikan standar ini dengan baik. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan
kepada para kontributor yang telah memberikan masukan sangat berharga.
Ketua Akreditasi
Rumah Sakit Umum Muhammad Ali Kasim
Kabupaten Gayo Lues
2
DAFTAR ISI
Judul
Kata Pengantar
Daftar Isi
Kebijakan PMKP
BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
b. Tujuan
BAB II
SEJARAH PERKEMBANGAN UPAYA PENINGKATAN MUTU PELAYANAN RUMAH
SAKIT UMUM MUHAMMAD ALI KASIM
BAB III
KONSEP DASAR UPAYA PENINGKATAN MUTU PELAYANAN RSUMAK
KABUPATEN GAYO LUES
a. MUTU PELAYANAN RSUMAK KABUPATEN GAYO LUES
b. UPAYA PENINGKATAN MUTU PELAYANAN RSUMAK KABUPATEN GAYO
LUES
BAB IV
PENGENDALIAN KUALITAS PELAYANAN
BAB V
FOKUS UTAMA UPAYA PENINGKATAN MUTU
BAB VI
MONITORING DAN EVALUASI
BAB VII
PENUTUP
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
3
DAFTAR GAMBAR
4
DAFTAR TABEL
5
PEMERINTAH KABUPATEN GAYO LUES
RUMAH SAKIT UMUM MUHAMMAD ALI KASIM
Jl. Pangur - Dabun Gelang
DABUN GELANG - 24655
E-mail : rsumuhammadalikasim@gmail.com
KEPUTUSAN DIREKTUR
RUMAH SAKIT UMUM MUHAMMAD ALI KASIM KABUPATEN GAYO LUES
NOMOR : PEG.800/ /SK.DIR/RSUMAK-GL/I/2021
TENTANG
6
8. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1691 / MENKES / PER / VIII / 2011 Tentang Keselamatan
Pasien Rumah Sakit;
MEMUTUSKAN
DIREKTUR,
7
NOMOR : PEG. 800/ /SK-DIR/RSUMAK-GL/I/2021
TANGGAL : 04 JANUARI 2021 M
20 JUMADIL AWAL 1442 H H
BAB I
PENGORGANISASIAN
Pasal 1
1. Direktur rumah sakit membentuk Komite PMKP atau bentuk organisasi lainnya untuk
mengelola kegiatan sesuai dengan peraturan perundang-undangan sesuai dengan
uraian tugas.
2. Direktur rumah sakit menetapkan penanggung jawab data di tiap-tiap unit kerja.
3. Individu di dalam komite PMKP atau bentuk organisasi lainnya dan
penanggungjawab data telah dilatih serta kompeten.
BAB II
SISTEM MANAJEMEN DATA
Pasal 2
BAB III
PELATIHAN PMKP
Pasal 3
1. Rumah sakit mempunyai program pelatihan PMKP yang diberikan oleh nara sumber
yang kompeten.
2. Pimpinan di rumah sakit termasuk komite medis dan komite keperawatan telah
mengikuti pelatihan PMKP.
3. Semua individu yang terlibat dalam pengumpulan, analisis, dan validasi data telah
mengikuti pelatihan PMKP, khususnya tentang sistem manajemen data.
4. Staf di semua unit kerja termasuk staf klinis dilatih sesuai dengan pekerjaan mereka
sehari-hari.
BAB IV
PEMILIHAN AREA PRIORITAS
8
Pasal 4
BAB V
PENGUKURAN MUTU
Pasal 5
1. Rumah sakit mempunyai regulasi pengukuran mutu dan cara pemilihan indikator
mutu di unit kerja yang antara lain meliputi butir.
2. Setiap unit kerja dan pelayanan telah memilih dan menetapkan indikator mutu unit
3. Setiap indikator mutu telah dilengkapi profil indikator
4. Setiap unit kerja melaksanakan proses pengumpulan data dan pelaporan.
5. Pengukuran mutu prioritas tersebut dilakukan menggunakan indikator-indikator mutu
sebagai berikut:
a. Indikator mutu area klinis (IAK) yaitu indikator mutu yang bersumber dari area
pelayanan;
b. Indikator mutu area manajemen (IAM) yaitu indikator mutu yang bersumber dari
area manajemen;
c. Indikator mutu Sasaran Keselamatan Pasien yaitu indikator mutu yang mengukur
kepatuhan staf dalam penerapan sasaran keselamatan pasien dan budaya
keselamatan
6. Pimpinan unit kerja melakukan supervisi terhadap proses pengumpulan data dan
pelaporan serta melakukan perbaikan mutu berdasar atas hasil capaian indikator
mutu.
7. Setiap indikator yang ditetapkan dilengkapi dengan profil indikator.
8. Profil indikator yang dimaksud ayat pasal meliputi:
a) judul indikator;
b) definisi operasional;
c) tujuan dan dimensi mutu;
d) dasar pemikiran/alasan pemilihan indicator;
e) numerator, denominator, dan formula pengukuran;
f) metodologi pengumpulan data;
g) cakupan data;
h) frekuensi pengumpulan data;
i) frekuensi analisis data;
j) metodologi analisis data;
9
k) sumber data;
l) penanggung jawab pengumpul data; dan
m) publikasi data
9. Direktur rumah sakit dan komite PMKP melakukan supervisi terhadap proses
pengumpulan dan analisis data.
10. Rumah sakit menetapkan evaluasi pelayanan kedokteran dengan melakukan
evaluasi panduan prak k klinis, alur klinis, atau protokol di prioritas pengukuran
mutu rumah sakit.
11. Hasil evaluasi dapat menunjukkan pengurangan variasi pada 5 (lima) panduan
praktik klinis, alur klinis atau protokol di prioritas pengukuran mutu rumah sakit.
12. Rumah sakit telah melaksanakan audit medis dan atau audit klinis pada panduan
praktik klinis/alur klinis prioritas di tingkat rumah sakit.
BAB VI
EVALUASI PELAYANAN KEDOKTERAN
Pasal 6
BAB VII
ANALISIS DATA
Pasal 7
10
8. Ada bukti direktur rumah sakit telah menindaklanjuti hasil analisis data
9. Ada bukti program PMKP prioritas telah menghasilkan perbaikan di rumah sakit
secara keseluruhan.
10. Ada bukti program PMKP prioritas telah menghasilkan efiiensi penggunaan sumber
daya.
BAB VIII
VALIDASI DATA
Pasal 8
BAB IX
MANAJEMEN RISIKO
Pasal 9
BAB IX
MONITORING DAN EVALUASI
Pasal 9
1. Rumah sakit telah membuat rencana perbaikan terhadap mutu dan keselamatan
berdasar atas hasil capaian mutu.
2. Rumah sakit telah melakukan uji coba rencana perbaikan terhadap mutu dan
keselamatan pasien.
3. Rumah sakit telah menerapkan/melaksanakan rencana perbaikan terhadap mutu
dan keselamatan pasien.
4. Tersedia data yang menunjukkan bahwa perbaikan bersifat efektif dan
berkesinambungan.
5. Bukti perubahan-perubahan regulasi yang diperlukan dalam membuat rencana,
melaksanakan, dan mempertahankan perbaikan.
6. Keberhasilan telah didokumentasikan dan dijadikan laporan PMKP.
11
DIREKTUR,
BAB I
12
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
BAB II
13
Di Amerika Serikat, upaya peningkatan mutu pelayanan medik dimulai oleh ahli
bedah Dr. E.A.Codman dari Boston dalam tahun 1917. Dr.E.A. Codman dan beberapa
ahli bedah lain kecewa dengan hasil operasi yang seringkali buruk, karena seringnya
terjadi penyulit. Mereka berkesimpulan bahwa penyulit itu terjadi karena kondisi yang
tidak memenuhi syarat di Rumah Sakit. Untuk itu perlu ada penilaian dan
penyempurnaan tentang segala sesuatu yang terkait dengan pembedahan. Ini adalah
upaya pertama yang berusaha mengidentifikasikan masalah klinis, dan kemudian
mencari jalan keluarnya.
Kelanjutan dari upaya ini pada tahun 1918 The American College of Surgeons
(ACS) menyusun suatu Hospital Standardization Programme.Program standarisasi
adalah upaya pertama yang terorganisasi dengan tujuan meningkatkan mutu
pelayanan. Program ini ternyata sangat berhasil meningkatkan mutu pelayanan
sehingga banyak Rumah Sakit tertarik untuk ikut serta. Dengan berkembangnya ilmu
dan teknologi maka spesialisasi ilmu kedokteran diluar bedah cepat berkembang. Oleh
karena itu program standarisasi perlu diperluas agar dapat mencakup disiplin lain
secara umum.
Pada tahun 1951 American College of Surgeon, American College of Physicians,
American Hospital Association bekerjasama membentuk suatu Joint Commision on
Accreditation of Hospital (JCAH) suatu badan gabungan untuk menilai dan
mengakreditasi Rumah Sakit.
Pada akhir tahun 1960 JCAH tidak lagi hanya menentukan syarat minimal dan
essensial untuk mengatasi kelemahan-kelemahan yang ada di Rumah Sakit, namun
telah memacu Rumah Sakit agar memberikan mutu pelayanan yang setinggi-tingginya
sesuai dengan sumber daya yang ada. Untuk memenuhi tuntutan yang baru ini antara
tahun 1953-1965 standar akreditasi direvisi enam kali, selanjutnya beberapa tahun
sekali diadakan revisi.
Atas keberhasilan JCAH dalam meningkatkan mutu pelayanan, Pemerintah
Federal memberi pengakuan tertinggi dalam mengundangkan “Medicare Act”. Undang-
undang ini mengabsahkan akreditasi Rumah Sakit menurut standar yang ditentukan
oleh JCAH. Sejak saat itu Rumah Sakit yang tidak diakreditasi oleh JCAH tidak dapat
ikut program asuransi kesehatan pemerintah federal (medicare), padahal asuransi di
Amerika sangat menentukan utilisasi Rumah Sakit karena hanya 9,3% biaya Rumah
Sakit berasal dari pembayaran langsung oleh pasien.
Sejak tahun 1979 JCAH membuat standar tambahan, yaitu agar dapat lulus
akreditasi suatu Rumah Sakit harus juga mempunyai program pengendalian mutu yang
dilaksanakan dengan baik.
Di Australia, Australian Council on Hospital Standards (ACHS) didirikan dengan
susah payah pada tahun 1971, namun sampai tahun 1981 badan ini baru berhasil
beroperasi dalam 3 Negara bagian. Tetapi lambat laun ACHS dapat diterima
kehadirannya dan diakui manfaatnya dalam upaya peningkatan mutu pelayanan
sehingga sekarang kegiatan ACHS telah mencakup semua negara bagian.
Pelaksanaan peningkatan mutu di Australia pada dasarnya hampir sama dengan di
Amerika.
Di Eropa Barat perhatian terhadap peningkatan mutu pelayanan sangat tinggi,
namun masalah itu tetap merupakan hal baru dengan konsepsi yang masih agak kabur
bagi kebanyakan tenaga profesi kesehatan. Sedangkan pendekatan secara Amerika
sukar diterapkan karena perbedaan sistem kesehatan di masing-masing negara di
Eropa. Karena itu kantor Regional WHO untuk Eropa pada awal tahun 1980-an
mengambil inisiatif untuk membantu negara-negara Eropa mengembangkan
14
pendekatan peningkatan mutu pelayanan disesuaikan dengan sistem pelayanan
kesehatan masing-masing.
Pada tahun 1982 kantor regional tersebut telah menerbitkan buku tentang upaya
meningkatkan mutu dan penyelenggaraan simposium di Utrecht, negeri Belanda
tentang metodologi peningkatan mutu pelayanan. Dalam bulan Mei 1983 di Barcelona,
Spanyol suatu kelompok kerja yang dibentuk oleh WHO telah mengadakan pertemuan
untuk mempelajari peningkatan mutu khusus untuk Eropa.
Walaupun secara regional WHO telah melakukan berbagai upaya, namun pada
simposium peningkatan mutu pada bulan Mei 1989 terdapat kesan bahwa secara
nasional upaya peningkatan mutu di berbagai negara Eropa Barat masih pada
perkembangan awal.
Di Asia, negara pertama yang sudah mempunyai program peningkatan mutu dan
akreditasi Rumah Sakit secara nasional adalah Taiwan. Negara ini banyak menerapkan
metodologi dari Amerika. Sedangkan Malaysia mengembangkan peningkatan mutu
pelayanan dengan bantuan konsultan ahli dari Negeri Belanda,
Di Indonesia langkah awal yang sangat mendasar dan terarah yang telah
dilakukan Departemen Kesehatan dalam rangka upaya peningkatan mutu yaitu
penetapan kelas Rumah Sakit pemerintah melalui Surat Keputusan Menteri Kesehatan
No.033/Birhup/1972. Secara umum telah ditetapkan beberapa kriteria untuk tiap kelas
Rumah Sakit A,B,C, an D. Kriteria ini kemudian berkembang menjadi standar-standar.
Kemudian dari tahun ke tahun disusun berbagai standar baik menyangkut pelayanan,
ketenagaan, sarana dan prasarana untuk masing-masing kelas Rumah Sakit.
Disamping standar, Departemen Kesehatan juga mengeluarkan berbagai panduan
dalam rangka meningkatkan penampilan pelayanan Rumah Sakit.
Sejak tahun 1984 Departemen Kesehatan telah mengembangkan berbagai
indikator untuk mengukur dan mengevaluasi penampilan (performance) Rumah Sakit
pemerintah kelas C dan Rumah Sakit swasta setara yaitu dalam rangka Hari Kesehatan
Nasional. Indikator ini setiap dua tahun ditinjau kembali dan disempurnakan. Evaluasi
penampilan untuk tahun 1991 telah dilengkapi dengan indikator kebersihan dan
ketertiban Rumah Sakit dan yang dievaluasi selain kelas C juga kelas D dan kelas B
serta Rumah Sakit swasta setara. Sedangkan evaluasi penampilan tahun 1992 telah
dilengkapi pula dengan instrumen mengukur kemampuan pelayanan. Evaluasi
penampilan Rumah Sakit ini merupakan langkah awal dari Konsep Continuous Quality
Improvement (CQI). Berbeda dengan konsep QA tradisional dimana dalam monitor dan
evaluasi dititik beratkan kepada pencapaian standar, maka pada CQI fokus lebih
diarahkan kepada penampilan organisasi melalui penilaian pemilik, manajemen, klinik
dan pelayanan penunjang. Perbedaan yang sangat mendasar yaitu keterlibatan seluruh
karyawan.
Selain itu secara sendiri-sendiri beberapa Rumah Sakit telah mengadakan
monitoring dan evaluasi mutu pelayanan Rumah Sakitnya. Pada tahun 1981 RS Gatot
Subroto telah melakukan kegiatan penilaian mutu yang berdasarkan atas derajat
kepuasan pasien. Kemudian Rumah Sakit Husada pada tahun 1984 melakukan
kegiatan yang sama. Rumah Sakit Adi Husada di Surabaya membuat penilaian mutu
atas dasar penilaian perilaku dan penampilan kerja perawat. Rumah Sakit Dr. Soetomo
Surabaya menilai mutu melalui penilaian infeksi nosokomial sebagai salah satu indikator
mutu pelayanan. Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo menggunakan upaya penggunaan
obat secara rasional. Rumah Sakit Islam Jakarta pernah menggunakan pengendalian
mutu terpadu (TQC) dan Gugus Kendali Mutu (Quality Control Circle = QCC). Beberapa
Rumah Sakit lainnya juga telah mencoba menerapkan Gugus Kendali Mutu, walaupun
hasilnya belum ada yang dilaporkan.
15
Sejalan dengan hal di atas maka Departemen Kesehatan telah mengadakan
Pelatihan Peningkatan Mutu Pelayanan Rumah Sakit pada beberapa Rumah Sakit.
Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa kesadaran untuk meningkatkan
mutu sudah cukup meluas walaupun dalam penerapannya sering ada perbedaan.
BAB III
16
Dimensi atau aspeknya adalah:
a. Keprofesian
b. Efisiensi
c. Keamanan Pasien
d. Kepuasan Pasien
e. Aspek Sosial Budaya
17
proses yang baik telah menghasilkan output yang baik pula. Indikator RSUMAK
Kabupaten Gayo Lues disusun dengan tujuan untuk dapat mengukur kinerja mutu
RSUMAK Kabupaten Gayo Lues secara nyata.
18
a. Setiap petugas harus memahami dan menghayati konsep dasar dan prinsip
mutu pelayanan sehingga dapat menerapkan langkah-langkah upaya
peningkatan mutu di masing-masing unit kerjanya.
b. Memberi prioritas kepada peningkatan kompetensi sumber daya manusia di
Rumah Sakit Umum Muhammad Ali Kasim Kabupaten Gayo Lues, serta
upaya meningkatkan kesejahteraan karyawan.
c. Menciptakan budaya mutu di Rumah Sakit Umum Muhammad Ali Kasim
Kabupaten Gayo Lues, termasuk di dalamnya menyusun program mutu
dengan pendekatan PDSA cycle.
5. Pendekatan Pemecahan Masalah
Pendekatan pemecahan masalah merupakan suatu proses siklus (daur) yang
berkesinambungan. Langkah pertama dalam proses siklus ini adalah identifikasi
masalah. Identifikasi masalah merupakan bagian sangat penting dari seluruh
proses siklus (daur), karena akan menentukan kegiatan-kegiatan selanjutnya dari
pendekatan pemecahan masalah ini.
Masalah akan timbul apabila:
a. Hasil yang dicapai dibandingkan dengan standar yang ada terdapat
penyimpangan
b. Merasa tidak puas akan penyimpangan tersebut.
c. Merasa bertanggung jawab atas penyimpangan tersebut.
Dengan telah jelasnya cara memecahkan masalah maka bisa dilakukan tindakan
perbaikan. Namun agar pemecahan masalah bisa tuntas, setelah diadakan
tindakan perbaikan perlu dinilai kembali apakah masih ada yang tertinggal. Dari
penilaian kembali maka akan didapatkan masalah yang telah terpecahkan dan
masalah yang masih tetap merupakan masalah sehingga proses siklus akan
berulang mulai tahap pertama.
19
BAB IV
PENGENDALIAN KUALITAS PELAYANAN
Pengendalian adalah keseluruhan fungsi atau kegiatan yang harus dilakukan untuk
menjamin tercapainya sasaran perusahaan dalam hal kualitas produk dan jasa
pelayanan yang diproduksi. Pengendalian kualitas pelayanan pada dasarnya adalah
pengendalian kualitas kerja dan proses kegiatan untuk menciptakan kepuasan
pelanggan (quality of customer’s satisfaction) yang dilakukan oleh setiap orang dari
setiap bagian di Rumah Sakit Umum Daerah Ende.
Pengertian pengendalian kualitas pelayanan di atas mengacu pada siklus
pengendalian (control cycle) dengan memutar siklus “Plan-Do-Study-Action” (P-D-S-A)
= Relaksasi (rencanakan – laksanakan – periksa –aksi). Pola P-D-S-A ini dikenal
sebagai “siklus Shewart”, karena pertama kali dikemukakan oleh Walter Shewhart
beberapa puluh tahun yang lalu. Namun dalam perkembangannya, metodologi analisis
P-D-S-A lebih sering disebuit “siklus Deming”. Hal ini karena Deming adalah orang yang
mempopulerkan penggunaannya dan memperluas penerapannya. Dengan nama
apapun itu disebut, P-D-S-A adalah alat yang bermanfaat untuk melakukan perbaikan
secara terus menerus (continous improvement) tanpa berhenti.
Konsep P-D-S-A tersebut merupakan panduan bagi setiap manajer untuk proses
perbaikan kualitas (quality improvement) secara terus menerus tanpa berhenti tetapi
meningkat ke keadaaan yang lebih baik dan dijalankan di seluruh bagian organisasi,
seperti tampak pada gambar 2.
20
Dalam gambar 2 tersebut, pengidentifikasian masalah yang akan dipecahkan dan
pencarian sebab-sebabnya serta penetuan tindakan koreksinya, harus selalu
didasarkan pada fakta. Hal ini dimaksudkan untuk menghindarkan adanya unsur
subyektivitas dan pengambilan keputusan yang terlalu cepat serta keputusan yang
bersifat emosional. Selain itu, untuk memudahkan identifikasi masalah yang akan
dipecahkan dan sebagai patokan perbaikan selanjutnya perusahaan harus menetapkan
standar pelayanan.
Plan Do Study
Action
Follow-
Corrective up
Action
Improvement
(1) Plan
Acti Menentukan
(6) Tujuan dan
onn (2)
Mengambil sasaran
Menetapkan
tindakan Metode untuk
yang tepat Mencapai tujuan
Menyelenggarakan
(5) Pendidikan dan
Memeriksa latihan
Stud (4
akibat
y pelaksanaan )Melaksanakan (3)
pekerjaan Do
21
Gambar 4.4 Siklus PDSA
Keenam langkah P-D-S-A yang terdapat dalam gambar 4 di atas dapat dijelaskan
sebagai berikut :
22
mengakibatkan penyimpangan merupakan konsepsi yang penting dalam
pengendalian kualitas pelayanan.
Konsep PDSA dengan keenam langkah tersebut merupakan sistem yang efektif
untuk meningkatkan kualitas pelayanan. Untuk mencapai kualitas pelayanan yang akan
dicapai diperlukan partisipasi semua karyawan, semua bagian dan semua proses.
Partisipasi semua karyawan dalam pengendalian kualitas pelayanan diperlukan
kesungguhan (sincerety), yaitu sikap yang menolak adanya tujuan yang semata-mata
hanya berguna bagi diri sendiri atau menolak cara berfikir dan berbuat yang semata-
mata bersifat pragmatis. Dalam sikap kesungguhan tersebut yang dipentingkan bukan
hanya sasaran yang akan dicapai, melainkan juga cara bertindak seseorang untuk
mencapai sasaran tersebut.
Partisipasi semua pihak dalam pengendalian kualitas pelayanan mencakup semua
jenis kelompok karyawan yang secara bersama-sama merasa bertanggung jawab atas
kualitas pelayanan dalam kelompoknya. Partisipasi semua proses dalam pengendalian
kualitas pelayanan dimaksudkan adalah pengendalian tidak hanya terhadap outcome,
tetapi terhadap hasil setiap proses. Proses pelayanan akan menghasilkan suatu
pelayanan berkualitas tinggi, hanya mungkin dapat dicapai jika terdapat pengendalian
kualitas dalam setiap tahapan dari proses. Dimana dalam setiap tahapan proses dapat
dijamin adanya keterpaduan, kerjasama yang baik antara kelompok karyawan dengan
manajemen, sebagai tanggung jawab bersama untuk menghasilkan kualitas hasil kerja
dari kelompok, sebagai mata rantai dari suatu proses.
BAB V
PRINSIP DASAR UPAYA PENINGKATAN MUTU PELAYANAN
Prinsip dasar upaya peningkatan mutu pelayanan adalah pemilihan aspek yang
akan ditingkatkan dengan menetapkan indikator, kriteria serta standar yang digunakan
untuk mengukur mutu pelayanan
Indikator adalah ukuran atau cara mengukur sehingga menunjukkan suatu indikasi.
Indikator merupakan suatu variabel yang digunakan untuk bisa melihat perubahan.
Indikator yang baik adalah yang sensitif tapi juga spesifik.
Kriteria adalah spesifikasi dari indikator.
Standar:
Tingkat kinerja atau keadaan yang dapat diterima oleh seseorang yang
berwenang dalam situasi tersebut, atau oleh mereka yang bertanggung jawab
untuk mempertahankan tingkat kinerja atau kondisi tersebut.
Suatu norma atau persetujuan mengenai keadaan atau prestasi yang sangat
baik.
Sesuatu ukuran atau patokan untuk mengukur kuantitas, berat, nilai atau mutu.
Dalam melaksanakan upaya peningkatan mutu pelayanan maka harus
memperhatikan prinsip dasar sebagai berikut:
1. Aspek yang dipilih untuk ditingkatkan
Keprofesian
Efisiensi
Keamanan pasien
Kepuasan pasien
Sarana dan lingkungan fisik
2. Indikator yang dipilih
23
a. Indikator lebih banyak untuk menilai proses dan outcome daripada input.
b. Bersifat umum, yaitu lebih baik indikator untuk situasi dan kelompok daripada
untuk perorangan.
c. Dapat digunakan untuk membandingkan dengan Rumah Sakit lain, baik di dalam
maupun luar negeri.
d. Dapat mendorong intervensi sejak tahap awal pada aspek yang dipilih untuk
dimonitor
e. Didasarkan pada data yang ada.
3. Kriteria yang digunakan
Kriteria yang digunakan harus dapat diukur dan dihitung untuk dapat menilai
indikator, sehingga dapat sebagai batas yang memisahkan antara mutu baik dan
mutu tidak baik.
4. Standar yang digunakan
Standar yang digunakan ditetapkan berdasarkan:
a. Acuan dari berbagai sumber
b. Benchmarking dengan Rumah Sakit yang setara
c. Berdasarkan trend yang menuju kebaikan
BAB VI
24
B. Manajemen Proses Klinik
Salah satu fokus kegiatan peningkatan mutu dan keselamatan pasien di
RSUMAK Kabupaten Gayo Lues adalah untuk mengurangi risiko dalam proses
asuhan klinis.
• Ditetapkan standar asuhan klinis melalui panduan praktik klinik dan atau
clinical pathway.
• Panduan praktik klinik dan atau clinical pathway dikembangkan sesuai
dengan kebutuhan RSUMAK Kabupaten Gayo Lues.
• Panduan praktik klinik dan atau clinical pathway tersebut di review setiap
tahun dan dilakukan perbaikan apabila perlu.
• Melakukan audit medik minimal 1 x 1 tahun untuk melihat kepatuhan dan
adanya perbaikan.
25
20. Panitia K3
21. Pelayanan TB
• Panitia Mutu dan Keselamatan Pasien RSUMAK secara berkala (paling lama
2 tahun) melakukan evaluasi pedoman, kebijakan dan prosedur keselamatan
pasien yang dipergunakan di RSUMAK
• Ditetapkan minimal 5 (dari seluruh indikator) indikator utama yang sensitif
untuk dianalisa lebih jauh sesuai dengan keadaan rumah sakit. Indikator
utama ini direview setiap tahun dan diganti apabila perlu. Pemilihan ini
didasarkan pada konsensus antara pimpinan dengan panitia mutu dan
keselamatan pasien.
• Kriteria pemilihan indikator utama adalah:
1. Proses utama yang kritikal
2. Proses risiko tinggi
3. Proses yang cenderung bermasalah
26
Gambar 5.1 Diagram Manajemen Risiko
Alat-alat manajemen risiko yang digunakan di RSUMAK Kabupaten Gayo Lues antara
lain:
1. Non statistical tools: untuk mengembangkan ide, mengelompokkan, memprioritaskan
dan memberikan arah dalam pengambilan keputusan. Alat-alat tersebut meliputi Fish
bone, Bagan alir, RCA, FMEA
2. Statistical tools seperti Diagram parato, lembar periksa (check sheet)
Awal/ akhir
proses Penghubu
ng
Kegiatan
Keput
usan
27
Gambar 5.2 Simbol yang digunakan
C. FMEA (Failure Mode and Cause Analysis)
Suatu alat mutu untuk mengkaji suatu prosedur secara rinci dan mengenali
model-model adanya kegagalan/kesalahan pada suatu prosedur, melakukan
penilaian terhadap tiap model kesalahan/kegagalan dan mencari solusi dengan
melakukan perubahan disain/prosedur.
Delapan tahap FMEA (JCAHO, 2005)
1. Memilih proses yang berisiko tinggi dan membentuk tim
2. Membuat diagram proses atau alur proses dengan flow chart yang rinci
3. Untuk setiap kemungkinan kegagalan (failure mode), identifikasi efek yang
mungkin terjadi ke pasien (the effect)
4. Menetapkan kemungkinan tingkat keparahan dari efek tersebut ke pasien (RPN)
5. Melakukan root cause analysis dari failure mode
6. Desain ulang proses
7. Analisa dan ujicobakan proses yang baru
8. Terapkan dan awasi proses yang sudah didesain ulang tadi
Tabel 5.1 Risk Priority Numbers (RPN)
S O D
Severity (Keparahan) Occurence Detectable
(Keseringan) (Terdeteksi)
1. Minor 1. Hampir tidak pernah 1. selalu terdeteksi
2. Moderate terjadi 2. sangat mungkin
3. Minor Injury 2. jarang terdeteksi
4. Mayor Injury 3. kadang-kadang 3. Mungkin terdeteksi
5. Terminal 4. sering 4. Kemungkinan kecil
injury/death 5. sangat sering dan terdeteksi
pasti 5. Tidak mungkin
terdeteksi
Pelaksanaan :
RS memastikan bahwa seluruh staf yang terkait mampu melakukan analisis akar
masalah untuk belajar bagaimana dan mengapa masalah tersebut terjadi untuk
kemudian menyusun rencana tindak lanjutnya.
1. Analisis akar masalah (RCA) dilakukan untuk melakukan identifikasi apabila
ditemukan permasalahan dalam pemenuhan indikator mutu dan manajerial
serta pengelolaan insiden.
2. Proses mengurangi risiko dilakukan paling sedikit satu kali dalam setahun dan
dibuat dokumentasinya, dengan menggunakan FMEA (Failure Mode and Effect
Analysis). Proses yang dipilih adalah proses dengan risiko tinggi.
BAB VII
28
2. Panitia Mutu dan Keselamatan Pasien RSUMAK Kabupaten Gayo Lues secara
berkala (paling lama 2 tahun) melakukan evaluasi pedoman, kebijakan dan
prosedur keselamatan pasien yang dipergunakan di RSUMAK Kabupaten Gayo
Lues.
3. Panitia Mutu dan Keselamatan Pasien RSUMAK Kabupaten Gayo Lues
melakukan evaluasi kegiatan setiap bulan dan membuat tindak lanjutnya.
4. Panitia Mutu dan Keselamatan Pasien RSUMAK Kabupaten Gayo Lues
melakukan analisa pemenuhan indikator setiap tiga bulan dan membuat tindak
lanjutnya (laporan triwulan).
5. Alur pelaporan kegiatan peningkatan mutu dan keselamatan pasien
BAB VIII
PENUTUP
29