Anda di halaman 1dari 7

BENARKAH PERUBAHAN KE TATA GEREJA 2021 UNTUK MEMAPANKAN KEDUDUKAN BPMS

SEBAGAI PEMIMPIN JEMAAT RAKSASA BERNAMA GMIM?


Pdt. David Tulaar

Guna menjawab pertanyaan di atas, mari kita simak beberapa rumusan baru dalam Tata Gereja
2021 berikut ini:

PERTAMA: Badan Pengawas Perbendaharaan Sinode diubah menjadi Komisi Pengawas


Perbendaharaan Sinode.

BPPS yg sebelumnya dipilih oleh SMS kini berubah menjadi Komisi Pengawas Perbendaharaan
Sinode yg “ditetapkan dilantik dan diberhentikan oleh BPMS” (Peraturan ttg Sinode, Bab VIII,
Pasal 35, 2).

KPPS bertanggungjawab kepada BPMS. Dgn demikian tidak ada lagi pengawas perbendaharaan
yg bertanggungjawab langsung kepada SMS. Ini jelas perubahan drastis.

Namun, mari berpikir positif, bhw dgn diubahnya BPPS menjadi Komisi yg berada di bawah
BPMS, sebenarnya terbuka kemungkinan bagi warga gereja utk menuntut supaya keuangan
sinode diaudit secara eksternal oleh lembaga audit independen. Bagaimana, warga jemaat-
jemaat GMIM yg berkecimpung di dunia keuangan, ada pendapat mengenai hal ini?

Selama ini keuangan GMIM sangat tertutup dan tidak ada yg dapat menuntut laporan keuangan
terbuka di tengah periode yg berjalan. Bahkan, saya ingat di SMS 2018 dlm laporan keuangan
tidak disebutkan jumlah uang yg ada di rekening-rekening a/n BPMS dan tidak ada yg berhasil
protes, krn dgn mekanisme persidangan yg dipimpin oleh BPMS tidak ada pihak netral
(pemimpin sidang) yg dapat “memaksa” BPMS membuka pertanggungjawabannya.

KEDUA: Berubahnya Majelis Pertimbangan Sinode (MPS) menjadi Penasihat BPMS yg


“ditetapkan, dilantik dan diberhentikan oleh BPMS” (Peraturan ttg Sinode, Bab VII, Pasal
30, 2).

Dengan demikian BPMS adalah satu-satunya badan yg dipilih oleh Sidang Majelis Sinode.

Lebih seru lagi, sidang yg memilih BPMS ini dipimpin dari awal sampai akhir oleh BPMS sendiri
(dan mulai SMS 2022 hanya oleh Ketua BPMS).
Artinya, dlm persidangan ini tidak ada yg namanya prosedur DEMISIONER, yg biasanya terjadi
setelah laporan pertanggungjawaban diterima/ditolak oleh persidangan.

Sebaliknya, saat pemilihan BPMS berlangsung mereka semua masih tetap BPMS.

[Pada SMS 2018 ada kejadian aneh. Bayangkan, sidang gerejawi pada level ini tidak mempunyai
RANTUS (rancangan keputusan) dan RANTAP (rancangan ketetapan) dan juga tidak ada
pemimpin sidang yg independen yg bertugas memimpin pengesahan KEPUTUSAN dan
KETETAPAN persidangan. Jadi, waktu daftar calon BPMS periode baru hendak ditetapkan,
suratnya ditandatangani oleh BPMS, seakan-akan itu adalah keputusan BPMS. Aneh, kan? Tapi
ruang utk protes tidak ada; krn mengikuti TG bahwa SMS dipimpin oleh BPMS].

Apalagi panitia pemilihan juga ditetapkan oleh BPMS jauh sebelum sidang berlangsung.

Padahal dlm satu organisasi, panitia nominasi/pemilihan biasanya nanti dibentuk setelah laporan
pertanggungjawaban dan setelah pengurus sdh didemisioner. Dan jika laporan
pertanggungjawaban ditolak maka pengurus tidak dapat dicalonkan apalagi dipilih kembali.
Namun yg begini ini tidak berlaku lagi di GMIM.

[Anggota Majelis Sinode yg hadir pada SMS 2018 di Grand Kawanua pasti bisa memberi
kesaksian bhw setelah laporan pertanggungjawaban BPMS tidak ada sesi pembahasan —
walaupun ada 40-an penanggap/penanya — dan, yg lebih mencengangkan lagi, TIDAK ADA SESI
PENETAPAN LAPORAN PERTANGGUNGJAWABAN. Sehingga tidak diketahui apakah laporan
pertanggungjawaban itu diterima atau ditolak. (Tapi siapa peduli?)

Hal spt itu dimungkinkan krn sesi laporan pertanggungjawaban dipimpin langsung oleh orang yg
harus mempertanggungjawabkan hasil kerjanya selama satu periode pelayanan, yaitu Ketua
BPMS.

Hal ini juga dimungkinkan karena laporan pertanggungjawaban SUDAH DIPISAHKAN DARI
PROSES PEMILIHAN BPMS BARU. Sehingga BPMS yg seharusnya sdh didemisioner tidak perlu
ragu bhw ia/mereka masih boleh lolos pada tahap pemilihan.]

KETIGA: Sidang Majelis Sinode dipimpin oleh Ketua BPMS.

Sidang Majelis Sinode yg sebelumnya dipimpin oleh BPMS (yg sebenarnya sdh cukup
menimbulkan persoalan dlm hal laporan pertanggungjawaban) kini lebih terpusat lagi pada
Ketua BPMS: “Sidang Majelis Sinode dipimpin oleh Ketua BPMS” (Peraturan ttg Sinode, Bab V,
Pasal 17, 1).

Di bagian penjelasan disebutkan, ketua “dapat” mendelegasikan kewenangan tersebut kepada


BPMS lainnya. Jadi, model kepemimpinan kolektif BPMS sdh berakhir. Bukti lain lagi dari gereja
“one-man show.”

Sebenarnya, SMS yg dipimpin oleh BPMS saja sdh cukup menimbulkan masalah seperti yg saya
kemukakan di atas, yaitu saat laporan pertanggungjawaban dan saat pemilihan BPMS. Kini, dgn
aturan baru ini, semuanya ada di tangan satu orang saja.

KEEMPAT: “BPMS dapat dipilih untuk 2 (dua) periode pelayanan berturut pada jabatan
yang sama” (Peraturan ttg Sinode, Bab V, Pasal 24, 12).

Di Tata Gereja 2016 ayat ttg hal ini berbunyi: “Keanggotaan BPMS hanya dapat dipilih untuk dua
periode pelayanan berturut dalam semua jabatan.”

Karena ketiadaan risalah ttg perubahan Tata Gereja 2016 ke 2021 sulit dideteksi alasan esensial
perubahan ini. Kita tentu sebaiknya tidak menduga-duga yg tidak-tidak. Tapi dari rumusannya
sdh terkesan ada unsur kepentingan di dalamnya.

Aturan ini hanya akan terlihat bebas dari kepentingan jika SEMUA anggota BPMS yg sdh terkena
aturan TATA GEREJA 2016 (maksudnya sdh dua periode pada semua jabatan) menyatakan diri
bahwa mereka tidak boleh dipilih kembali pada SMS 2022. Sehingga aturan baru hitungan dua
periode nanti berlaku mulai SMS 2022 bagi yg belum terkena aturan TG 2016.

Nah, itu baru pemimpin gereja yg berintegritas! Ia tidak memikirkan kepentingan dirinya, dan
hanya membuka jalan bagi generasi BPMS berikutnya ttg nyamannya aturan baru ini.

Tapi kalau mereka tetap mencalonkan diri atas dasar aturan baru, maka apalagi yg menjadi
landasan perubahan Tata Gereja ini jika bukan kepentingan pribadi?

Kata lainnya, tahu malulah kalian. Masa sih mengubah Tata Gereja utk kepentingan pribadi
sendiri? Namun, bagi orang yg “kebelet” nikmat kekuasaan, pasti saran spt ini hanya akan
dianggap angin lalu.
KELIMA: Satu perubahan yg tidak diperhatikan orang namun sangat sarat kepentingan
ada pada kriteria bakal calon BPMS yg mensyaratkan “… khusus pendeta PERNAH
menjadi Ketua BPMJ” (Peraturan ttg Sinode, Bab V, Pasal 24, 4).

Yg menarik dari rumusan ini adalah kata PERNAH. Mengapa di kriteria ini hanya disyaratkan
PERNAH menjadi Ketua BPMJ? Mengapa tidak disebutkan misalnya: Pernah menjadi ketua BPMJ
sekurang-kurangnya empat atau lima tahun? Karena ternyata ada BPMS sekarang yg hanya
PERNAH ketua BPMJ tapi tidak lama. Hmm, kriteria ini pasti akan bermasalah baginya jika
disebut jumlah tahunnya. Oleh karena itu yg paling tepat sebut saja PERNAH.

Ini juga rupanya menjadi alasan mengapa dlm kriteria ini tidak disebut bhw calon BPMS yg
pendeta harus pernah Ketua BPMW? Krn yg bersangkutan juga tidak akan lolos jika kriteria ini
disebut.

Nah, bukankah ini juga bukti bhw unsur kepentingan pribadi turut melatarbelakangi perubahan
Tata Gereja ini?

Ketua BPMS kita periode lalu juga tidak pernah Ketua BPMJ dan Ketua BPMW. Sementara ketua
BPMS yg sekarang pernah Ketua BPMJ utk waktu yg tidak lama tetapi tidak pernah Ketua BPMW.

Nah, kalau diperhatikan yg namanya Ketua BPMJ, meminjam istilah administrasi, bukanlah
jabatan karir, tapi jabatan “anugerah,” krn ditentukan secara sepihak oleh BPMS, tanpa harus
mengikuti fit and proper test atau memenuhi persyaratan lainnya yg diatur dlm Tata Gereja.
Artinya, suka-suka BPMS-lah siapa yg “layak” dan “tidak layak” menjadi ketua BPMJ. Dan faktor
“like” dan “dislike” sangat kental dlm prosesnya.

Jadi, masa sih “jabatan anugerah” bisa dijadikan kriteria? Mengapa bukan KOMPETENSI yg justru
dijadikan kriteria? (Nanti di tulisan lain saya akan ungkapan pengalaman saya menjadi calon
BPMS pada SMS 2018 dgn segala “prosedur uji kompetensinya” 🤣).

KEENAM: Pembentukan Jemaat Baru yg cukup dgn permohonan kepada BPMS.


Permohonan oleh siapa? Tidak disebutkan! (Lihat dan bandingkan Peraturan ttg Jemaat
Bab XIV, Pasal 49 dlm Tata Gereja 2016 dgn Peraturan ttg Jemaat, Bab XVI, Pasal 59 dlm
Tata Gereja 2021).

Akhir-akhir ini kita menyaksikan berdirinya banyak jemaat baru dgn jumlah kolom sedikit. Kita
tidak tahu dgn pasti apakah semua jemaat baru ini telah memenuhi syarat atau tidak. (Krn ada
jemaat yg sdh berdiri tanpa memiliki gedung gereja). Namun kita abaikan sejenak hal itu. Mari
kita fokus pada pertanyaan apakah yg menjadi motivasi di balik peristiwa ini?
Sepintas lalu, pembentukan jemaat-jemaat baru ini adalah kemajuan. Jemaat GMIM semakin
banyak (walaupun ada yg mensinyalir bhw jumlah anggota jemaat justru stagnan atau malah
berkurang).

Namun, membaca yg tidak tertulis, kelihatannya pembentukan banyak jemaat baru dgn jumlah
kolom sedikit ini bertujuan MENGUBAH KONSTELASI SMS 2022 dgn menambah jumlah peserta
pendeta.

Sekarang ini ada 1.040 jemaat dan 139 wilayah. Artinya, jumlah pendeta yg akan hadir sedikitnya
berjumlah 1.185 sdh dgn BPMS. Sementara itu jemaat-jemaat yg jumlah kolomnya kurang dari
11 hanya mendapat jatah satu utusan ke SMS. Artinya, hanya dari jemaat yg punya 11 kolom ke
atas diharapkan ada penatua atau diaken sbg utusan.

Sekarang, mari bayangkan bhw dgn modus penempatan ketua BPMJ sbg “jabatan anugerah”
akan sangat mudah sidang diarahkan oleh Ketua BPMS yg adalah pemimpin SMS.

Prinsip “absolute majority” dlm persidangan bisa dipakai (atau bahkan direkayasa?) utk
memutuskan apa saja yg dikehendaki oleh pemimpin sidang. (Contoh utk ini sdh ada ketika SMS
2018 memutuskan penggunaan e-Voting bagi pemilihan BPMS. Waktu itu tanpa kemungkinan
debat terkait pro-kontra e-Voting, ketua BPMS yg memimpin sidang langsung menyuruh peserta
mengangkat kartu merah-biru dan mengambil keputusan. Waktu itu saja, ketika Ketua BPMS-
nya tidak boleh mencalonkan diri kembali, suasananya sdh seperti itu. Apalagi sekarang ketika si
pemimpin sidang adalah calon Ketua BPMS periode berikutnya. Hhmm, apa saja yg mungkin
terjadi?)

CATATAN PENUTUP

Kita semua pasti sepakat bhw GMIM adalah gereja milik TUHAN. Atau, meminjam ekklesiologi
Calvin, satu dari “gereja yg kelihatan” (the visible church) yg seharusnya merupakan
penampakan dari “gereja yg tidak kelihatan” (the invisible church), yaitu gereja TUHAN yg kita
akui setiap hari Minggu melalui Pengakuan Iman: “Gereja am yg kudus, persekutuan orang
kudus.”

Bagi Calvin, gereja yg kelihatan ini adalah jemaat, bukan sinode; krn jemaat adalah “persekutuan
orang-orang,” sedangkan sinode adalah “persekutuan jemaat-jemaat.”

Tata Gereja seharusnya mencerminkan Tuhan yg diyakini dan diimani oleh gereja. Inilah Tuhan
yg diberitakan di setiap mimbar gereja, dan yg anugerah-Nya dirayakan lewat sakramen-
sakramen.
Dasar kebersamaan dlm gereja yg bertradisi reformasi adalah ajaran “Imamat Am Orang
Percaya” (1 Petrus 2:9), yaitu bahwa semua orang percaya, tanpa terkecuali, adalah imam;
sehingga tidak ada hierarki dlm gereja, juga tidak ada penggumpalan kekuasaan, apalagi
menggunakan gereja bagi kepentingan pribadi.

Tidak ada kultus individu. Segala kemuliaan hanya bagi TUHAN semata.

Kesetaraan semua orang di mata Tuhan seharusnya teralami lewat kehidupan bergereja. Masuat
peleng, kata orang Tombulu. Dgn demikian cinta-kasih Allah bisa diwujudkan dan dialami setiap
orang tanpa terkecuali.

Dengan tulisan ini saya hendak mengajak warga jemaat-jemaat GMIM utk membaca Tata Gereja
2021 dgn hikmat dan sikap kritis, serta menguji “roh” yg menjiwai Tata Gereja ini, serta Tuhan yg
bagaimanakah yg sedang diwartakannya.

Dengan semangat kebersamaan mari kita jaga spy GMIM tetap gereja milik Tuhan. Perubahan
Tata Gereja bukan hal tabu. Di Tata Gereja sendiri ada aturan utk bgmn melakukan perubahan.
Yg paling penting adalah kesadaran kita bersama bhw ada yg harus dibenahi dan diperbaiki di
gereja kita ini. Usul saya, mulaikan gerakan FOCUS GROUP DISCUSSION mengenai Tata Gereja
2021 di mana-mana. Ajak para pendeta di tempat Anda utk membahas hal-hal ini. Rumuskan
hal-hal yg perlu diperbaiki dan gunakanlah sidang-sidang majelis di jemaat masing-masing utk
membahas dan mulai menyuarakannya.

Biarlah semangat gereja reformasi — ecclesia reformata semper reformanda (gereja pembaruan
selalu membarui diri) — menjiwai setiap diskusi. Dan ingatlah ucapan Yesus yg berkata:

“Dan jika matamu menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu
masuk ke dalam hidup dengan bermata satu dari pada dicampakkan ke dalam api neraka dengan
bermata dua” (Matius 18:9).

Soli Deo Gloria!

30/11/2021

[Pdt. David Tulaar, pendeta jemaat di GMIM Yesus Memberkati, Citraland, Manado]

#pendapat_dht
FOTO PENDAMPING TEKS: Di sela-sela dua acara retreat, yaitu Gereja Masehi Internasional
Minahasa (GMIM-USA) di Idyllwild, CA (1-3 September 2018), dan Gereja Kristen Protestan
Indonesia (GKPI-USA) di Big Bear Lake, CA (14-16 September 2018) di Amerika Serikat 🇺🇸;
berfoto di titik terdekat yg bisa dicapai di depan papan nama HOLLYWOOD di California 🇺🇸.

Anda mungkin juga menyukai