Anda di halaman 1dari 3

- Gagasan memaksimalkan MK, elaborasi intinya MK itu menangani hasil sedangkan

pelanggaran terhadap hasil sudah dianggap tidak ada karena ketika di MK, segala
prosesnya telah berhenti karena peru kita garisbawahi pula bahwasannya ketika perkara
telah masuk ke meja MK maka MK tidak akan menangani pelanggarannya tetapi akan
melihat apakah ada proses di dalamnya yang berpengaruh terhadap hasil. Jadi harus
digarisbawahi kalau MK tidak memeriksa pelanggarannya tetapi proses
penyelenggaraan pemilunya ada ga yang berdampak signifikan terhadap hasil. Kalau
dalam PMK menggunakan TSM yang bisa dikabulkan. Kalau kemudian pelanggarannya
sedikit ….. Fakta sidang di MK, MK sering menjumpai ketika dalam sidang ada
pelanggaran tetapi tidak TSM. Jadi sering ada pelanggaran tetapi tidak TSM berarti tidak
akan dikabulkan oleh MK jika tidak TSM tetapi ga TSM bukan berarti pelanggarannya
hilang tetapi tetap ada pelanggarannya.

- Maka yang pro gagasannya lebih ke pada MK dan fokus pada hasil, yang mana MK tidak
akan menangani pelanggaran proses atau pemilunya melainkan apakah prosesnya itu
ada yang berpengaruh terhadap signifikansi hasilnya apa tidak. Kalau tidak ada maka
tidak perlu bawaslu dilibatkan karena prosesnya sudah dianggap selesai karena kalau
kemudian prosesnya masih berlarut-larut ketika hasil maka berdampak pada
ketidakpastian hukum terhadap perolehan hasil suara. Kalau itu terjadi pada Pilpres
maka pemimpinnya tidak akan terpilih, jika terjadi pada kasus pileg maka juga aka nada
keterlambatan dalam menetapkan anggota DPR sebagai anggota yang jadi. Jadi kalau
berlarut-larut tidak ada kepastian hukumnya. Padahal proses pergantian pemilu itu
untuk mengisi kekosongan kepemimpinan di tingkat manapun.

- Bukan mengamini ada pelanggaran tetapi dalam faktannya ada pelanggaran dan MK
harus selektif, MK hanya menangani proses yang berdampak pada hasil dan
kualifikasinya adalah TSM. Kalau ga TSM maka sudah dianggap selesai di Bawaslu kalau
kemudian sampai di MK dan MK menangani pelanggaran pemilu itu namannya dualism
dan gaada kepastian hukum serta mengaburkan konstitusi.

- MK sering menjumpai ketika menangani kasus itu menemukan adanya pelanggaran


tetapi tidak dikabulkan oleh MK karena pelanggarannya tidak TSM. Ada pelanggarannya
tetapi tidak TSM.
- Gagasannya MK tetap menerapkan ambang batas tetapi ambang batasnya
dipertimbangkan terakhir agar MK tidak menjadi mahkamah kalkulator. Jadi keadilan
yang ditegakkan adalah keadilan substantive bukan keadilan procedural.

- Nah disitulah pihak kontra ingin masuk, walaupun tidak TSM tetapi pelanggarannya ada
dan disnilah Bawaslu masuk untuk menangani pelanggarannya.
- Kontra : “Kalo MK hanya menangani pelanggaran yang TSM, bagaimana pelanggaran-
pelanggaran lainnya apakah itu tidak ditangani?” nah MK tidak boleh menutup mata,
kalau MK hanya menagnai yang TSM maka sama seperti Mahkamah Kalulator yakni
itung itungan angka.
- Pro : “ Memang benar bahwa faktannya ada pelanggaran justru kami menyanyangkan
KPU sekaligus Bawaslu kenapa ketika terjadi pelanggaran itu tidak diproses sebelum
masuk ke penetapan hasil dan inilah yang membuat kami ragu . Jadi ganti
mempersoalkan lembaganya.
- Kalau ada pelanggaran yang belum selesai ketika telah masuk ke MK justru yang harus
kita ragukan adalah kinerja KPU dan Bawaslu, kenapa prosesnya kok tidak selesai,
kenapa kemudian pelanggarannya dibiarkan, bukankah putusan Bawaslu itu mengikat
KPU. Kalau KPU tidak menaati rekomendasi dari Bawaslu masa MK yang dituntut
bertanggungjawab. Ini logika yang sesat dan keliru dan harus diakhiri. Kita harus
sesuaikan porsinya, proses kepada bawaslu dan hasil tetap kepada MK, jangan dibolak-
balik. Ketika MK menangani pelanggaran TSM itu sudah benar karena jangan sampai ada
WNI yang mengajukan gugatan ngasal, adanya pasal ambang batas itu agar saat
megajukan gugatan ambang batas harus dibuktikkan berapa yang dicurangi. Kalau
kemudian tidak ada ambang batas, gugatannya berpotensi banyak kabur dan tidak jelas.
- Rekomendasi dari kami pro adalah kami mendorong bahwa MK ketika memutuskan
ambang batas itu dipertimbangan yang terakhir dan MK bisa langsung masuk ke
substansinya dan inilah yang dinamakn keadilan substantive bukan keadilan procedural.
- Pokoknya pelanggaran pemilu harus selesai kemaren ketika prosesnya, dalma proses
bawaslu misal bilang ada pelanggaran, maka Bawaslu akan mengeluarkan rekomendasi
dan KPU terikat dengan rekomendasi itu begitupula dengan calon juga terikat. Oleh
karena nanti Mk menanyakan rekomendasi yang diberikan Bawaslu, kalau KPU tidak
menindak lanjuti maka yang bermasalah KPU-nya. Ga mungkin kalau KPU-nya ga
bermasalah tau-tau ditangani MK itu nanti jatohnya ke abuse of powers. Ga punya MK
itu menyelesaikan pelanggaran pemilu MK hanya kepada hasil. Mangkannya proses
pelanggaran pemilu sebelum hasil harusnya sudah dianggap selesai sebelum penetapan
hasil KPU sampai ke gugatan MK.
- Pembahasan contoh PSU di Surabaya, ada rekomendasi Bawaslu tetapi tidak dipatuhi
oleh KPU.
Kontra :

- Legal vacuum itu adalah kekosongan hukum. Kalau yang dimaksud dengan tumpang
tindih itu recht vacuum. Legal lebih ke UU.
- Data data perlu diperbanyak karena penting. Bisa diambil dari contoh PSU di Surabaya
dalam contoh nomor 2 itu kan KPU tidak menindaklanjuti rekomendasi Bawaslu, nah
tetapi masalahnya ga selesai. Ketika kemudian KPU tidak mau menindaklanjuti
rekomendasi dari Bawaslu masalahnya ga selesai. Di Kontra data itu disampaikan “ ini
loh MK saja memutuskan untuk PSU karena adannya rekomendasi dari Bawaslu yang
tidak dieksekusi oleh Bawaslu sehingga MK menganggap ada problem dan ketika
dilaksanakan PSU maka Bawaslu tetap mengawasi karena merupakan putusan dari MK”

Selama ini KPU sering tidak melaksanakan rekomendasi dari Bawaslu oleh krn inilah yang
mjd pertimbangan bagi MK untuk memerintahkan adanya PSU dan MK mengakui bahwa
rekomendasi dari Bawaslu itu penting, manakala rekomendasi Bawaslu tidak ditindaklanjuti
maka MK bisa memerintahkan untuk diadakan PSU untuk memberikan legal standing kepada
bawaslu menangani snegketa pasca hasil.

- Jelaskan pentingnya bawaslu apa dan tugasnya apa

Kalau yang pro contoh no.2 bilang aja inti masalahnya ada di KPU dan Bawaslu.

- Kalau yang nyuruh psu di desa itu ga tsm soalnya cuman satu desa, artinya MK
memutuskan bahkan meski ga TSM tapi tetap ditangani.
- Permasalahnnya kalau yang kontra bukan pada ada atau tidaknya pelanggaran TSM,
soalnya kalau pelanggaran TSM udah menjadi ranahnya MK, tetapi adanya pelanggaran
yang harus diproses. Cuman satu desa ga berpengaruh meluas jadi ga berpengaruh pada
hasil jadi bukan TS.
- Pilkada pasal 1 uu no 10 2016

Anda mungkin juga menyukai