Anda di halaman 1dari 12

THAILAND DAN REVOLUSI 1932

Bagian 1

Oleh: Muhammad Lazuardi Krisantya

A. Thailand Awal dari Era Sukhothai sampai Ayutthaya

Migrasi ke Selatan

Kerajaan Thailand atau Mueang Thai (“Negara Thai”) memiliki sejarah yang cukup panjang.
Cikal-bakal negara ini telah muncul sejak abad ke-13, ketika Kerajaan Sukhothai berdiri di
Lembah Sungai Chao Phraya. Sukhothai didirikan pada tahun 1238 oleh bangsa Tai yang
bermigrasi dari Cina Selatan, kemungkinan akibat desakan invasi Kekaisaran Mongol yang
berkali-kali menyerang Cina. Namun, diperkirakan bahwa migrasi ini berlangsung secara
bertahap dan lamban sejak kurang lebih abad ke-7 M. Bangsa Tai menetap di Lembah Sungai
Chao Phraya dan Lembah Khorat, di mana mereka mendirikan desa-desa di sepanjang tepian
aliran sungai-sungai Chao Phraya dan Mekong berikut cabang-cabangnya. Kedua sungai besar
ini berhulu di Pegunungan Himalaya, dan masing-masing bermuara di Teluk Siam dan Laut Cina
Selatan. Dalam perkembangannya, bangsa Tai terbagi menjadi dua suku bangsa utama, yakni
orang Thai di Thailand (Lembah Sungai Chao Phraya) dan Lao di Laos (Lembah Khorat).

Desa-desa Tai disebut sebagai mueang (“negara”) yang dipimpin oleh seorang jao (“tuan
tanah/adipati”), yang bertugas mengawasi dan mengelola pembudidayaan lahan yang berada di
bawah kekuasaannya. Di setiap desa, mayoritas penduduknya hidup sebagai petani. Mereka
menciptakan suatu sistem irigasi bernama muang fai untuk mempermudah pekerjaan mereka.
Saat sebuah mueang semakin meluas, maka kekuasaan jao pun ikut membesar sehingga
statusnya naik dari sekedar “tuan tanah” menjadi “raja”. Seiring dengan perkembangan ini, desa-
desa Tai pun menjadi semakin kompleks. Penduduk bertambah banyak, mendorong kemunculan
sistem hierarki. Para pendiri mueang di bawah jao menjadi golongan elit, sementara penduduk
pendatang menjadi bawahan mereka.

Kekacauan-kekacauan politik di seluruh Asia – akibat ekspansi Mongol – juga mendorong


perubahan masyarakat damai menjadi masyarakat ksatria atau militeristik. Muncul golongan
budak dan tawanan perang, yang dipekerjakan oleh elit sebagai buruh untuk membangun
gedung-gedung megah dan memperbaiki istana para jao.

Merdeka dari Kamboja

Saat bangsa Tai pertama kali tiba, Lembah Chao Phraya masih berada di bawah kekuasaan
Kemaharajaan Khmer atau Angkor dari Kamboja. Raja-raja Angkor memperbolehkan para
imigran Tai untuk menetap di wilayah kekuasaan mereka. Namun, tak lama setelah kematian
Jayawarman VII pada tahun 1218, Angkor dilanda oleh konflik internal dan mengalami
kemunduran. Banyak wilayahnya yang memerdekakan diri, termasuk mueang-mueang bangsa
Tai di Chao Phraya dan Mekong. Satu per satu, setiap mueang Tai melepaskan diri menjadi
negara merdeka.

Tiga mueang yang terpenting adalah Sukhothai, Chiang Mai, dan Muang Sua. Sukhothai
berkuasa di wilayah selatan Lembah Chao Phraya, didirikan oleh Sri Inthrathit. Chiang Mai atau
Lanna didirikan oleh Mangrai, seorang jao dari Ngoenyang – sebuah mueang di hulu Chao
Phraya di utara – yang memindahkan ibukota kerajaannya ke Chiang Mai pada tahun 1292.
Sementara Muang Sua, yang berpusat di Luang Prabang (Laos) memerdekakan diri pada tahun
1271 di bawah Phraya Lang. Muang Sua merupakan pendahulu dari Kerajaan Lanchang, sebuah
negara besar yang nantinya menguasai hampir seluruh Lembah Khorat dan Sungai Mekong
bagian tengah sejak pertengahan abad ke-14. Muang Sua dan Lanchang diperintah oleh orang
Lao, suku pecahan bangsa Tai di Laos. Kemerdekaan ketiga mueang ini menandakan
berakhirnya dominasi bangsa Khmer dan Mon atas bagian tengah Asia Tenggara Daratan.
Sebaliknya, orang Thai dan Lao bangkit sebagai kekuatan-kekuatan baru di wilayah itu.

Dalam pembahasan ini, kita akan fokus ke Sukhothai karena kerajaan inilah cikal-bakal dari
negara Thailand modern. Raja pertama Sukhothai, Sri Inthrathit berkuasa sebagai raja merdeka
setelah berhasil memenangkan pemberontakan bangsa Tai melawan gubernur Khmer di Provinsi
Sukhodaya, yang kemudian diganti namanya menjadi Sukhothai. Atas kecakapan dan
keberaniannya, Sri Inthrathit dianugerahi gelar Phra Ruang (“Pangeran Mulia”) oleh rakyatnya.
Nama ini diadopsi menjadi nama resmi keluarga pertama Kerajaan Thai, Dinasti Phra Ruang.

Sukhothai dan Ram Khamhaeng Agung

Sri Inthrathit wafat di usia tua pada tahun 1270. Ia digantikan oleh putra keduanya, Ban
Mueang, yang hanya memerintah sampai tahun 1279, sebelum digantikan oleh adiknya, Ram
Khamhaeng. Ram Khamhaeng merupakan raja terbesar Sukhothai, dan salah satu raja terbesar
dalam sejarah Thailand. Ia berkuasa pada tahun 1279-1298, dan berhasil membawa kerajaannya
menuju puncak ekspansi dan kejayaannya. Ram Khamhaeng adalah raja yang menciptakan
aksara Thai dan mencanangkan Buddha Theravada sebagai agama resmi kerajaan.

Aksara Thai diciptakan pada tahun 1283 sebagai hasil adopsi dari aksara Khmer atau
Kamboja. Secara kultural, kebudayaan Thai memang banyak dipengaruhi oleh kebudayaan
Khmer. Sementara itu, Buddha Theravada telah hadir di Thailand sejak kurang lebih abad ke-5,
ketika kawasan itu masih didominasi oleh bangsa Mon dan Melayu. Pada abad ke-13, biksu-
biksu Buddha dari Sri Lanka mulai beramai-ramai datang ke Thailand untuk menyebarkan
agama mereka, baik melalui Pagan di Myanmar maupun Tambralingga di Semenanjung Melayu.
Pada masa kekuasaan Ram Khamhaeng, agama ini telah menjadi mayoritas di kerajaannya
sehingga akhirnya diresmikan sebagai agama negara.

Di bidang politik, Ram Khamhaeng dikenal sebagai seorang penakluk besar yang ambisius.
Ia memimpin berbagai ekspedisi militer ke seluruh arah mata angin. Sebelum naik tahta, ia telah
diakui oleh ayahnya sebagai seorang panglima perang yang cakap, setelah berhasil
memenangkan suatu pertempuran melawan bangsa Khmer. Sukhothai di bawah Ram
Khamhaeng berhasil menaklukkan Martaban di barat dan Tambralingga di selatan. Kedua
kerajaan ini dijadikan vasal atau negara bawahan oleh Sukhothai, yang menganut sistem
mandala.

Ram Khamhaeng juga menyerang kerajaan serumpunnya di Laos, Muang Sua. Ia menjalin
hubungan diplomatik dengan Kekaisaran Yuan, dinasti Mongol yang berkuasa di Cina. Ia
mengakui Sukhothai sebagai “negara naungan”, dan memanfaatkan hubungan ini untuk
memperkuat pengaruhnya atas Muang Sua di Laos. Ram Khamhaeng juga menjalin aliansi
dengan Mangrai dari Ngoenyang, saudara serumpunnya di utara.

Kebangkitan Ayutthaya

Ram Khamhaeng wafat antara tahun 1317 dan 1318. Diperkirakan ia meninggal dalam
pelayaran di Sungai Sawankhalok ketika memimpin ekspedisi militer ke Kamboja. Versi lain
menyatakan bahwa Ram Khamhaeng tewas dalam invasinya ke Langkasuka di Malaysia, di
mana ia terbunuh dalam pertempuran melawan pasukan orang Melayu. Pasca kematiannya,
Sukhothai berangsur-angsur mengalami kemunduran. Kerajaan Martaban di Myanmar merdeka,
kemudian merebut wilayah Tavoy dan Tenasserim. Tambralingga juga ikut melepaskan diri,
begitu pula dengan Muang Sua.

Pada masa yang sama, sejumlah mueang Thai kembali melepaskan diri dari kekuasaan
Kamboja. Kerajaan Lavo, negara vasal Kamboja di bagian tenggara Thailand jatuh oleh
pemberontakan orang Thai dan terpecah menjadi empat negara merdeka yang saling bersaing,
yakni Phetchaburi, Suphanburi, Lopburi, dan Ayutthaya. Sekitar tahun 1350, Ayutthaya muncul
sebagai pemenang dan berhasil menaklukkan ketiga saingannya itu. Raja Uthong atau
Ramathibodi I naik tahta sebagai penguasa pertamanya, di mana ia memerintah sampai tahun
1369.

Kerajaan Ayutthaya segera bangkit menjadi sebuah kekuatan baru, memanfaatkan


melemahnya Sukhothai dan Khmer. Sejak tahun 1368, ia telah berhasil menjadikan Sukhothai
sebagai vasalnya. Ia juga terlibat rivalitas dengan negara-negara serumpunnya, Lanna dan
Lanchang, hingga beberapa abad kemudian. Di selatan, raja-raja Ayutthaya melanjutkan
kebijakan Sukhothai dalam ekspansinya ke Semenanjung Melayu. Selama beberapa waktu pada
akhir abad ke-14, Ayutthaya bersaing dengan Kerajaan Majapahit dari Jawa dalam
memperebutkan hegemoni di kawasan itu. Ia bahkan pernah menyerang Samudera Pasai di
Sumatera, meskipun gagal.

Ayutthaya juga berambisi untuk menaklukkan Kamboja. Ia berkali-kali menyerang Angkor


pada tahun 1352, 1393, dan 1431. Serangan-serangan ini sukses dan selama beberapa waktu,
orang Thai berhasil menempatkan pangeran-pangeran mereka sebagai penguasa bawahan di
Kamboja. Pada serangan yang terakhir, raja-raja Kamboja terpaksa meninggalkan Angkor dan
memindahkan ibukotanya ke Phnom Penh. Selanjutnya, wilayah kekuasaan Kamboja di bagian
barat dan utara secara berangsur-angsur direbut oleh Ayutthaya.

Ayutthaya Sebagai Pusat Perdagangan

Kebangkitan Kesultanan Malaka pada abad ke-15 perlahan menghapus pengaruh Ayutthaya
di Semenanjung Melayu. Raja-raja Ayutthaya kemudian mengalihkan perluasan pengaruhnya ke
kawasan Teluk Siam. Mereka aktif mengirim misi perutusan ke Nanjing (ibukota Kekaisaran
Ming) untuk mempererat hubungannya dengan Kaisar Cina, dan mempromosikan Kota
Ayutthaya sebagai pelabuhan dagang internasional yang aman dan strategis. Usaha ini berhasil.
Kaisar Cina menjadikan Ayutthaya sebagai salah satu mitra dagang favoritnya, bersama dengan
Campa, Jawa (Majapahit), dan Malaka. Gelombang besar pedagang Cina pun berdatangan ke
Ayutthaya, meramaikan kota tersebut.

Sepanjang abad ke-15 dan abad ke-16, Ayutthaya tumbuh menjadi sebuah pusat perdagangan
internasional yang penting di Asia Tenggara, menyaingi Malaka. Ia menjadi bagian dari Jalur
Rempah atau jaringan perdagangan Samudera Hindia dan Pasifik Barat. Setelah bangsa Portugis
tiba di Asia Tenggara pada tahun 1509, mereka segera mengakui Ayutthaya sebagai salah satu
dari tiga kekuatan besar Asia, bersama dengan Cina dan Kemaharajaan Wijayanagara di India.
Sejak saat itu pula, Ayutthaya mulai dikenal dengan nama Siam. “Siam” adalah julukan yang
diberikan oleh orang Portugis, yang kemungkinan berasal dari julukan serupa dalam bahasa
Cina, “Xian”.

Pasca jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511, kota pelabuhan itu mengalami
kemunduran. Pedagang-pedagang Muslim meninggalkannya, begitu pula orang Cina yang
bermusuhan dengan Portugis. Hal ini menguntungkan Ayutthaya, yang kemudian justru
mengalami pertumbuhan pesat sebagai pusat perdagangan utama di Asia Tenggara. Meskipun
sejumlah pelabuhan saingan baru muncul di wilayah Nusantara, seperti Bandar Aceh, Patani, dan
Pahang, namun mereka tak mampu menarik pedagang asing sebanyak Ayutthaya.

Pertumbuhan Ayutthaya sebagai pusat perdagangan ini membuatnya menjadi sebuah negara
yang kaya, memungkinkannya untuk mengakses teknologi paling modern saat itu. Ayutthaya
menjalin perdagangan senjata dengan bangsa Cina, Arab, dan Portugis. Melalui mereka, militer
Ayutthaya diperkuat dengan satuan-satuan bersenjata api dan artileri, yang berhasil membawa
banyak kemenangan baginya dalam ekspedisi-ekspedisi ke utara melawan Kerajaan Lanna.

Selain dengan orang Cina, Arab, dan Portugis, Ayutthaya juga menjalin hubungan dagang
dengan bangsa asing lainnya. Di antaranya adalah orang Ryukyu, Jepang, India, dan Persia,
begitu pula dengan masyarakat Asia Tenggara lainnya seperti orang Cham, Melayu, Jawa, Aceh,
Makassar, Banjar, Tagalog, dan Visaya. Ayutthaya mencapai puncak kejayaan ekonominya pada
masa pemerintahan Raja Chairacha, yang berkuasa pada tahun 1534-1547. Kala itu, populasi
ibukota Ayutthaya diperkirakan telah mencapai 200.000 orang.
Perang Gajah Putih

Pada tahun 1534, ketika Ayutthaya masih dipimpin oleh Chairacha, sebuah kekuatan baru
tengah bangkit di barat. Kerajaan Taungu – sebuah negara pedalaman kecil di Burma bagian
tengah – melancarkan serangkaian ekspansi militer yang gemilang. Di bawah Raja Tabinshwehti,
Taungu muncul sebagai sebuah imperium yang berhasil menyatukan seluruh daratan Burma atau
Myanmar. Hal ini tak lepas dari kebijakan Tabinshwehti setelah memindahkan ibukotanya ke
Pegu atau Hanthawaddy, di mana ia merekrut orang-orang Portugis sebagai pasukan bayaran
sekaligus penasihat militernya. Penggantinya, Bayinnaung – yang naik tahta pada tahun 1550 –
melanjutkan kebijakan ekspansif pendahulunya.

Kerajaan Taungu di bawah Bayinnaung melancarkan ekspansi ke Thailand, Laos, Cina, dan
India. Pada tahun 1558, ia berhasil menaklukkan Lanna. Lima tahun kemudian, ia memulai
kampanye militernya ke Siam. Sebelumnya, ia telah meminta Raja Siam, Maha Chakkraphat
untuk tunduk kepada Taungu dengan meminta dua ekor gajah putih sebagai upeti. Raja Siam
menolak. Maka, pecahlah Perang Burma-Siam atau Perang Gajah Putih.

Bayinnaung memimpin langsung pasukannya, yang berjumlah 60.000 orang dan 360 gajah,
ditambah balabantuan dari Lanna. Bayinnaung dan pasukannya memasuki wilayah Siam melalui
Dan Chedi Sam Ong di Kanchanaburi. Dari sini, mereka berturut-turut mengalahkan pasukan
Siam di Sukhothai, Phitsanulok, Sawankhalok, dan Phichit, sebelum akhirnya sampai di
Ayutthaya.

Kota Ayutthaya dikepung oleh pasukan Burma selama beberapa bulan. Mereka sempat
dipukul mundur oleh pasukan Siam di dalam benteng, yang dibantu oleh sejumlah artileri dan
tiga buah kapal Portugis di Sungai Chao Phraya yang direkrut oleh Raja Siam untuk
mempertahankan Ayutthaya. Pada Februari 1564, balabantuan Portugis dikalahkan oleh
Bayinnaung, dan pasukannya segera membombardir Ayutthaya dengan tembakan-tembakan
meriam. Setelah beberapa waktu, Maha Chakkraphat akhirnya menyerah. Ia bersedia
menyerahkan dirinya – bersama empat orang pangeran Siam dan empat ekor gajah putih –
kepada Bayinnaung. Ia juga bersedia menyerahkan pelabuhan Mergui di pantai barat kepada
Taungu, dan menjadikan Kerajaan Ayutthaya sebagai vasalnya. Perang pun berakhir, dan
Ayutthaya menjadi negara bawahan Burma di bawah Dinasti Taungu.

Pada tahun 1568, perang Burma-Siam kembali pecah saat Maha Chakkraphat bersama
Setthathirath dari Lanchang melancarkan pemberontakan melawan Taungu. Namun,
pemberontakan ini gagal. Bayinnaung memimpin 54.600 pasukan Burma dan – sekali lagi –
mengepung Ayutthaya. Kali ini, kota dapat dijebol melalui seorang mata-mata. Ayutthaya hancur
oleh penjarahan yang dilancarkan oleh pasukan Burma.

Setelah kejatuhannya, status Ayutthaya sebagai vasal Burma dipertegas, di mana Bayinnaung
melantik Maha Thammaracha dari Dinasti Sukhothai sebagai raja bawahan Taungu di
Ayutthaya. Kontrol Burma atas Siam pun bertambah kuat, dan sejak saat itu Ayutthaya
mengalami kemunduran. Ia kehilangan kedudukannya sebagai pusat perdagangan utama di Asia
Tenggara, karena ia bukan lagi negara yang merdeka. Dengan kata lain, bisa dibilang bahwa
Thailand saat itu dijajah oleh Myanmar.

Naresuan Agung

Pada tahun 1593, Siam kembali menjadi merdeka. Di bawah kepemimpinan Naresuan
Agung, putra Maha Thammaracha yang naik tahta sebagai Raja Ayutthaya pada tahun 1590,
Siam berhasil memerdekakan diri dari Burma. Bayinnaung telah wafat pada tahun 1581, dan
penggantinya, Nanda Bayin, tidak secakap ayahnya. Imperium Taungu mulai kolaps pada masa
pemerintahannya. Naresuan atau Pangeran Naret pernah tinggal di Pegu sebagai tawanan
Taungu, di mana ia diasuh oleh Bayinnaung. Selama menjadi tawanan, Pangeran Naret banyak
mempelajari teknik militer bangsa Burma, yang kemudian diadopsinya ke dalam militer bangsa
Siam setelah ia naik tahta di Ayutthaya pada usia 34 tahun.

Perang kemerdekaan Siam dimulai segera setelah ia naik tahta, antara tahun 1590 dan 1593.
Pada awal Januari 1593, pecah Pertempuran Nong Sarai. Kronik-kronik Siam meromantisasi
pertempuran ini dengan mengisahkan sebuah duel antara Naresuan melawan Mingyi Swa (putra
mahkota Kerajaan Taungu), di mana keduanya sama-sama menaiki gajah. Inilah mengapa
pertempuran ini juga dikenal dengan nama Songkram Yuddhahatthi (“Pertempuran Gajah”).
Duel dimenangkan oleh Naresuan, yang berhasil membunuh Mingyi Swa. Kematian Mingyi Swa
menyebabkan pasukan Burma kehilangan moral dan akhirnya mundur kembali ke Pegu. Bangsa
Siam berhasil memenangkan kemerdekaannya.

Masa kekuasaan Naresuan selanjutnya (1593-1605) disibukkan dengan ekspansi besar-


besaran ke seluruh penjuru mata angin. Ia menaklukkan kembali Mergui, Martaban, dan
Tenasserim, menundukkan Lanna sebagai vasal, dan menyerang Kamboja. Ia bahkan memimpin
langsung sebuah invasi ke Pegu pada tahun 1595, melemahkan kekuatan militer Burma dengan
melakukan pengepungan selama tiga bulan. Pengepungan oleh Naresuan ini merupakan
penyebab utama kolapsnya Imperium Taungu, karena segera setelah itu, banyak negara
bawahannya yang memberontak dan merdeka secara berturut-turut.

Yamada Nagamasa dan Hubungan Siam-Jepang

Di bidang perdagangan, Raja Naresuan berusaha mengembalikan kedudukan Ayutthaya


sebagai pusat perdagangan utama di Asia Tenggara. Meski tidak sepenuhnya berhasil, namun
usahanya cukup sukses dalam mendatangkan kembali pedagang-pedagang asing, seperti orang
Cina, Jepang, dan Portugis. Naresuan juga merupakan Raja Siam pertama yang bertemu dengan
orang Belanda dan mempersilahkan mereka berdagang di kerajaannya. Perdagangan juga dibuka
dengan Kemaharajaaan Mughal di India dan Safawi di Persia. Namun, perdagangan yang paling
erat adalah dengan Jepang. Antara tahun 1604 dan 1635, pemerintah Jepang di bawah
Keshogunan Tokugawa berkali-kali mengirim misi perdagangan resmi ke Siam melalui shuinsen
atau “kapal segel-merah”.
Untuk keperluan ini, Raja Naresuan memfasilitasi mereka dengan mendirikan sebuah Ban
Yipun atau “kampung Jepang” di Kota Ayutthaya. Kampung ini dihuni oleh sekitar 1000 orang
Jepang. Keberadaan komunitas Jepang ini menguntungkan Siam, karena mereka mampu
menyaingi monopoli yang dilancarkan oleh Kompeni VOC Belanda, yang kala itu telah
menguasai banyak jalur perdagangan di Asia Tenggara.

Pada tahun 1617, komunitas Jepang ini dipimpin oleh Yamada Nagamasa, seorang ronin
yang mengabdi kepada Ayutthaya sejak masa pemerintahan Naresuan. Oleh Raja Naresuan,
Nagamasa diangkat sebagai seorang panglima perang dengan titel Ok-ya Senaphimuk, karena
kemampuannya yang cakap sebagai seorang samurai. Nagamasa juga bekerja sebagai seorang
privateer, di mana ia menyerang kapal-kapal asing – khususnya Belanda – dan merampas
hartanya, untuk kemudian dipersembahkan kepada Raja Ayutthaya. Pada tahun 1620, Nagamasa
diduga memimpin sebuah kapal Jepang di perairan Batavia yang menyerang dan menjarah kapal-
kapal VOC Belanda di sana.

Sekitar tahun 1628-1629, Yamada Nagamasa diangkat oleh Raja Songtham sebagai penguasa
bawahan di Ligor, sebuah kerajaan Melayu di Nakhon si Thammarat. Ia didampingi oleh 300
orang samurai. Namun, segera setelah itu Raja Songtham wafat dan Ayutthaya dilanda perebutan
tahta. Prasat Thong muncul sebagai pemenang. Mengetahui hal itu, Nagamasa memberontak dan
memerdekakan Ligor, namun ia diracun oleh seorang mata-mata Prasat Thong pada tahun 1630.

Prasat Thong kemudian memerintahkan penghancuran kampung Jepang di Ayutthaya,


menyebabkan banyak orang Jepang mengungsi ke Kamboja. Mendengar hal ini, Shogun Jepang
di Edo, Tokugawa Iemitsu menghentikan dan melarang perdagangan dengan Siam, sebagai
wujud protes dari penghancuran kampung Jepang di Ayutthaya. Sejak saat itu, Ayutthaya
kehilangan mitra asing utamanya, menyebabkan perdagangan internasionalnya semakin terpuruk.

Narai Agung dan Revolusi 1688

Pada akhir abad ke-17, kedudukan Ayutthaya telah turun dan digantikan oleh Batavia dan
Manila sebagai pusat-pusat perdagangan terpenting di Asia Tenggara. Di Teluk Siam, satu
kawasan yang lebih lokal, Ayutthaya juga tak lagi menjadi pelabuhan dagang utama.
Kedudukannya di sini telah disingkirkan oleh pelabuhan-pelabuhan di Kamboja dan Patani. Di
bawah Raja Narai (1657-1688), usaha perbaikan hubungan dengan Jepang sempat
dilangsungkan, namun gagal karena Keshogunan Tokugawa telah menerapkan kebijakan
isolasionis dan hanya membuka perdagangan dengan bangsa Cina dan Belanda.

Pada dekade 1680an, Kompeni VOC telah memantapkan kekuasaannya atas sebagian besar
wilayah Indonesia. Ia mengincar Teluk Siam sebagai tujuan monopoli selanjutnya, dan berhasil.
VOC memonopoli ekspor barang-barang kulit antara Siam dan Jepang. Barang-barang kulit
merupakan satu-satunya produk ekspor Kerajaan Ayutthaya yang laris di pasaran internasional
saat itu, sehingga monopoli VOC ini sangat memukul Siam.
Meskipun begitu, perdagangan internasional terus berjalan. Selain Belanda, bangsa Persia,
India, Cina, dan Melayu masih kerap singgah di Ayutthaya. Begitupun dengan bangsa Eropa
lainnya, yakni Portugis dan Spanyol serta sejumlah pendatang baru seperti Inggris dan Prancis.
Demi menarik lebih banyak pedagang asing, Narai melantik banyak orang asing sebagai pejabat-
pejabat penting di istananya. Orang Melayu dan Portugis diangkat sebagai pengawal-pengawal
istana. Orang Cina dan Persia diangkat sebagai syahbandar dan dokter, orang Belanda sebagai
kepala pengrajin kapal, dan orang Prancis sebagai arsitek, serta orang Inggris dan India sebagai
gubernur provinsi. Sebagai penasihat utama, Narai mengangkat Konstantin Phaulkon, seorang
petualang Yunani dari Republik Venesia.

Di satu sisi, kebijakan ini cukup berhasil dalam menarik banyak pedagang asing. Namun di
sisi lain, ia menandakan masuknya pengaruh asing – khususnya Eropa – di istana Ayutthaya
yang kemudian saling berebut sebagai hegemon paling utama. Dua yang paling giat dalam usaha
ini adalah orang Prancis dan Persia, yang sama-sama berusaha agar Raja Siam memeluk agama
mereka, masing-masing Kristen Katolik dan Islam Syi’ah. Narai sendiri tampak lebih condong
kepada Prancis, di mana ia mempersilahkan para pedagang dan pejabat Prancis di Ayutthaya
untuk mendirikan lebih banyak pemukiman yang dijaga oleh serdadu-serdadu Kerajaan Prancis.

Pada tahun 1688, pecah sebuah revolusi nasional di Siam. Raja Narai yang sudah tua dan
sakit-sakitan dikudeta oleh seorang penasihat sekaligus menantunya, Phetracha. Dua tahun
sebelumnya, pecah pemberontakan orang Makassar yang juga hendak menggulingkan Narai
dengan bantuan orang Melayu dan Cham. Namun, pemberontakan yang dipimpin oleh sejumlah
bekas pangeran Kesultanan Gowa ini berakhir gagal. Phetracha membunuh Konstantin Phaulkon
dan seluruh putra Raja Narai, kemudian mengusir semua orang Prancis dari Siam. Bangsa
Inggris dan pedagang asing lainnya yang ketakutan juga ikut pergi, kecuali Belanda yang
mendukung revolusi ini. Narai yang sudah sekarat hanya bisa mengutuk Phetracha, sebelum
akhirnya wafat di kasurnya. Kudeta Phetracha, yang lebih dikenal dengan nama “Revolusi Siam
1688” menandakan putusnya hubungan Siam dengan Eropa dan banyak bangsa asing lainnya,
kecuali Belanda. Sejak saat itu, pemerintahan Ayutthaya menjadi lebih tertutup, dan kehidupan
ekonominya menjadi lebih bergantung kepada swasembada pangan.

Jatuhnya Ayutthaya

Pasca Revolusi Siam 1688, Ayutthaya hanya menjalin perdagangan dengan orang Belanda,
Cina, dan Melayu. Orang Belanda akhirnya pergi pada tahun 1765, sementara perdagangan Siam
dengan orang Melayu lebih banyak dipengaruhi oleh hubungan politik, di mana sejumlah
kerajaan Melayu berhasil ditundukkan sebagai vasalnya sejak tahun 1710. Kerajaan-kerajaan itu
adalah Ligor, Kedah, Patani, dan Terengganu. Mereka diwajibkan mengirim “bunga emas”
sebagai upeti wajib kepada Raja Siam di Ayutthaya.

Yang paling pesat adalah perdagangan Siam dengan Cina. Kekaisaran Cina di bawah Dinasti
Qing atau Manchu menjalin hubungan perdagangan yang cukup erat dengan Siam. Beras
menjadi produk utama Siam yang dibeli oleh orang Cina, khususnya oleh penduduk Cina Selatan
yang mengalami kelangkaan beras sejak tahun 1722. Pada tahun 1735, komunitas Cina di Siam
telah berjumlah 20.000 orang. Sejumlah orang Cina juga telah diangkat sebagai pejabat penting.

Abad ke-18 juga menyaksikan meningkatnya religiusitas Buddha di Siam, baik di kalangan
masyarakat maupun istananya. Dunia hiburan dan kesenian berkembang pesat, dengan romansa
petualangan dan percintaan erotis sebagai tema-tema favorit, menggantikan kisah kepahlawanan
dan kebangsawanan yang mendominasi di era sebelumnya. Perdagangan yang lebih terbatas,
swasembada pangan, dan diminimalisirnya hubungan dengan bangsa asing, tampaknya
merupakan faktor-faktor utama yang mendorong perkembangan yang relatif damai ini.

Namun, perdamaian ini tak berlangsung lama. Pada tahun 1752, bangsa Burma kembali
bangkit dan bersatu di bawah Raja Alaungpaya dari Dinasti Konbaung. Kerajaan Burma sekali
lagi memasuki fase ekspansionisnya di bawah sebuah dinasti baru yang haus kuasa. Pada tahun
1765, raja ke-3 Konbaung, Hsinbyushin menyatakan perang kepada Siam. Ia ingin mengulangi
kesuksesan Bayinnaung dua abad sebelumnya, bahkan berharap melebihnya karena ia
tampaknya benar-benar ingin menghancurkan Ayutthaya dan menguasai penuh seluruh daratan
Siam.

Raja Ayutthaya, Ekkathat berusaha membujuk Hsinbyushin untuk berdamai. Ia dan para
bangsawan Siam lainnya paham bahwa era para ksatria telah lama berlalu, sehingga Siam telah
menjadi sebuah negara yang damai dan lemah. Karenanya, Ekkathat menawarkan suatu alternatif
di mana Burma dan Siam lebih baik berdamai dan bersekutu, karena sama-sama menganut
Buddha. Ia juga menyatakan bahwa perang hanya akan mendatangkan kehancuran. Namun,
bujukan ini ditolak oleh Hsinbyushin, yang saat itu telah berhasil menduduki banyak kota di
wilayah Siam. Banyak di antara kota ini yang menolak mengirim pasukan ke ibukota di
Ayutthaya, dan sebaliknya malah menyerahkan diri kepada Burma dengan sukarela. Kerajaan
Siam tampaknya memang sama sekali tidak siap dengan peperangan ini. Pasukan Burma segera
sampai di Ayutthaya dan mulai mengepungnya.

Pada tahun 1767, setelah dua tahun pengepungan, Ayutthaya jatuh. Tembok kota berhasil
dijebol pada tanggal 7 April 1767. Kronik Burma menyatakan bahwa “kota itu kemudian
dihancurkan”. Kota Ayutthaya dilanda kekacauan besar. Pasukan Burma menghancurkan apapun
mereka lihat, termasuk kuil-kuil dan patung-patung Buddha. Mereka juga membunuh setiap
penduduknya. Kaum bangsawan, intelek, pengrajin, biksu, hingga rakyat jelata semuanya
dibantai. Kurang lebih 2000 orang keluarga istana Ayutthaya tewas dibunuh oleh Hsinbyushin
dan pasukannya, termasuk Raja Ekkathat.

Pasca tragedi itu, kawasan Ayutthaya dan sekitarnya ditinggalkan. Begitupula kota besar
lainnya seperti Phitsanulok. Kerajaan Lanna di utara juga mengalami nasib serupa, di mana Kota
Chiang Mai hancur oleh invasi Burma dan ditinggalkan oleh banyak penduduknya. Sementara
itu, jatuhnya Ayutthaya dimanfaatkan oleh seluruh negara bawahannya di Semenanjung Melayu
untuk memerdekakan diri. Kerajaan Siam telah runtuh, namun akan bangkit kembali.

B. Era Bangkok Awal dan Kebangkitan Dinasti Chakri

Taksin Agung dan Era Thonburi

Jatuhnya Ayutthaya merupakan bencana besar bagi bangsa Thai. Invasi mendadak dari
Burma yang berhasil dengan gemilang mengakibatkan timbulnya kekacauan di mana-mana.
Masyarakat Siam yang selama lebih dari 150 tahun telah hidup damai, makmur, dan tak
mengalami perang tiba-tiba jatuh miskin dan kelaparan. Sebagian besar bangsawan telah
terbunuh, dan sisanya melanglangbuana tanpa arah. Raja Hsinbyushin dari Burma tidak sempat
menjalankan kekuasaannya secara efektif di Siam, karena setelah berhasil di Ayutthaya, ia harus
segera menarik pasukannya ke utara untuk menghadapi invasi dari bangsa Cina.

Di tengah situasi tak menentu itulah, seseorang dengan asal-usul yang belum jelas muncul
sebagai tokoh sentral. Dia adalah Taksin, diperkirakan seorang peranakan Cina-Thai. Ia diduga
berasal dari sebuah keluarga pedagang, yang sukses menjadi seorang saudagar berpengaruh di
Provinsi Tak, salah satu wilayah Siam. Taksin kemudian berhasil memegang jabatan gubernur di
provinsi itu, agaknya melalui suap. Sebagai gubernur, Taksin merupakan sosok yang
berkharisma. Setelah Ayutthaya jatuh, ia berhasil mengumpulkan banyak pengikut dan mengajak
mereka pergi ke rawa-rawa di sisi barat Sungai Chao Phraya, di mana mereka bersama-sama
mendirikan Thonburi (kini Bangkok Barat).

Saat Burma sibuk berperang dengan Cina, Taksin mendeklarasikan berdirinya kembali
Kerajaan Siam, dengan Thonburi sebagai ibukotanya. Ia memanfaatkan relasinya sebagai
saudagar untuk mengimpor beras dari Cina guna mendorong pertumbuhan kerajaan barunya,
sekaligus menghidupkan kembali perdagangan agar pemasukan terus mengalir. Taksin
mengembangkan Thonburi sebagai sebuah kota militeristik, mempersiapkan perlawanan
terhadap penjajahan Burma. Usahanya ini berhasil melahirkan sejumlah panglima militer yang
cakap, seperti Bunma dan Chakri atau Thongduang, dua bersaudara berdarah bangsawan Mon.

Dalam waktu kurang lebih dua tahun, Taksin berhasil membebaskan seluruh bekas wilayah
kekuasaan Ayutthaya dari pendudukan Burma. Ia kemudian bertindak lebih jauh dengan
menaklukkan Lanna, Kamboja, serta kerajaan-kerajaan di Laos. Seluruhnya dijadikan negara
bawahan Siam. Pada tahun-tahun terakhir pemerintahannya, Taksin diduga menjadi “gila”
karena ia ingin disembah layaknya seorang dewa. Kemungkinan, ia menderita sebuah penyakit
mental. Sikapnya ini membuat wibawanya turun drastis. Ia tak lagi dipercaya oleh banyak orang,
baik rakyat, agamawan, maupun para panglima militernya.

Pada April 1782, Taksin dikudeta oleh rakyat Siam, yang kemudian mengangkat Jenderal
Chakri sebagai raja baru dengan gelar Phuttayotfa Chulalok atau Rama I. Taksin dan anak
keturunannya “dihilangkan” oleh raja baru ini. Rama I kemudian memindahkan ibukota Siam ke
Rattanakosin (Bangkok Timur). Rattanakosin adalah cikal-bakal dari Kota Bangkok modern.
Maka, dimulailah era baru Siam di bawah Dinasti Chakri.

Raja-Raja Chakri Awal

Raja-raja Siam dari Dinasti Chakri melihat diri mereka sebagai pewaris dari tradisi kerajaan
lama Ayutthaya. Kota Rattanakosin atau Bangkok dibangun dengan desain yang menyerupai
Ayutthaya sebelumnya, yakni sebuah pulau buatan yang dikelilingi oleh sungai dan kanal.
Reruntuhan monumen-monumen dari Ayutthaya dibawa ke Bangkok, begitupula dengan naskah-
naskah yang masih dapat diselamatkan. Sebuah undang-undang baru disusun dengan naskah-
naskah itu – baik yang membicarakan hukum, sejarah, agama, maupun sistem pemerintahan –
sebagai referensi-referensi utama.

Raja Rama I berhasil mempertahankan keutuhan Kerajaan Siam yang diwarisinya dari
Taksin. Hanya Lanna yang sempat memberontak, sebelum berhasil ditundukkan kembali pada
tahun 1802. Kerajaan ini kemudian dipecah menjadi lima negara vasal, yakni Chiang Mai,
Lamphun, Lampong, Phrae, dan Nan. Rama I juga menganeksasi Ligor dan menundukkan
kembali Patani, serta menganeksasi separuh wilayah Kamboja di bagian barat. Keberhasilan-
keberhasilan ini tak lepas dari jasa Taksin sebelumnya yang sukses mengembangkan Siam
sebagai negara militer.

Rama I berkuasa hingga kematiannya pada tahun 1809. Ia digantikan oleh putranya,
Phuttaloetla Naphalai atau Rama II. Ia membuka kembali hubungan Siam dengan bangsa Eropa,
khususnya Inggris. Ia juga memperkuat hegemoni Siam di Semenanjung Melayu, yakni dengan
menganeksasi Kesultanan Kedah yang memberontak pada tahun 1820. Di bidang kesenian,
Rama II merupakan seorang penyair dan penari. Ia mengarang kisah-kisah kepahlawanan Inao
dan Ramakien, serta menciptakan sejumlah sendratari populer seperti Sang Thong.

Rama II wafat pada tahun 1824, dan digantikan oleh putra sulungnya, Phra Nangklao atau
Rama III. Ia melanjutkan kebijakan ayahnya dalam menjalin hubungan dengan Inggris. Saat
masih menjadi pangeran, Rama III telah mempunyai pengalaman terkait hal itu, di mana ia
dipercaya ayahnya untuk mengawasi jalannya diplomasi dan perdagangan dengan bangsa asing.

Salah satu keberhasilan diplomasi Rama III adalah perjanjian tahun 1826 dengan Inggris, di
mana Siam dan Inggris setuju untuk membuka hubungan dagang bilateral secara reguler. Rama
III berhasil meyakinkan perwakilan Inggris, Henry Burney (Residen Burma) untuk
menandatangani perjanjian itu, di mana Siam tetap berkedudukan sebagai sebuah negara yang
utuh dan merdeka. Perjanjian ini tampaknya juga berisi persetujuan untuk saling bersekutu. Hal
ini karena ketika Kedah kembali memberontak pada tahun 1831, Inggris ikut membantu Siam
dalam menumpasnya.

Satu hal menarik dalam hubungan Siam-Inggris pada masa ini adalah adanya wacana untuk
mendirikan sebuah kanal atau terusan di Tanah Genting Kra. Pendirian sebuah kanal di daerah
ini diharapkan mampu mempermudah perdagangan antara Eropa dan Asia Timur. Dengan kanal
ini, perjalanan laut akan semakin mudah karena para pedagang bisa langsung berlayar ke Teluk
Siam tanpa perlu lagi mengitari Semenanjung Melayu lewat Selat Malaka. Ia juga bisa
mendatangkan keuntungan besar kepada Siam, yang berkuasa di Teluk Siam. Henry Burney
menawarkan tenaga Inggris untuk membantu Siam dalam membangun kanal ini, dengan syarat
agar Pulau Salang atau Phuket diserahkan kepada Inggris. Rama III tentu saja menolak tawaran
ini, sehingga wacana pembangunan kanal Kra itu pun tak pernah terealisasi.

Pada tahun 1851, Rama III wafat. Sebelumnya, ia telah menyiapkan adiknya, Mongkut
sebagai calon penggantinya. Mongkut yang memang banyak disukai oleh kalangan petinggi
istana Siam itu pun naik tahta sebagai raja dengan gelar Rama IV.

Daftar Pustaka

Baker, Chris, dan Pasuk Phongpaichit. (2014). A History of Thailand, Third Edition. Cambridge:
Cambridge University Press.

Clarence Ngui Yew Kit. (2012). Kra Canal (1824-1910): The Elusive Dream. Akademika. 82(1):
71-80.

Coedes, George. (2017). Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha [terjemahan Winarsih Partaningrat
Arifin]. Jakarta: KPG.

Reid, Anthony. (2004). Sejarah Modern Awal Asia Tenggara: Sebuah Pemetaan. Jakarta:
LP3ES.

The Dragon Historian (Sean Kim), “The History of Thailand: Every Year”, YouTube,
yotu.be/kOR6vzUMhIM (diakses pada 19 Oktober 2020, pukul 00.06 WIB).

The Editors of Encyclopaedia Britannica, “Rama II, king of Siam”, Britannica,


britannica.com/biography/Rama-II (diakses pada 19 Oktober 2020, pukul 04.18 WIB).

The Editors of Encyclopaedia Britannica, “Rama III, king of Siam”, Britannica,


britannica.com/biography/Rama-III (diakses pada 19 Oktober 2020, pukul 04.19 WIB).

Anda mungkin juga menyukai