Anda di halaman 1dari 7

Sejarah Kekaisaran Franka

Latar Belakang

Kekaisaran Franka adalah sebuah negara besar yang pernah berkuasa di Eropa pada abad
ke-5 sampai abad ke-10 M. Ia didirikan oleh bangsa Frank, sebuah kelompok suku Jermanik
yang tinggal di Prancis. Cikal-bakal Kekaisaran Franka didirikan di Prancis pada akhir abad ke-5
sebagai salah satu kerajaan yang memerdekakan diri dari kekuasaan Romawi Barat. Kekaisaran
Franka mencapai puncak kejayaannya di bawah Raja Karel Agung atau Charlemagne (768-814).
Dia berhasil menaklukkan sebagian besar daratan Eropa dari Spanyol, Italia, sampai Hungaria.
Penyebaran agama Kristen juga mencapai perkembangan pesat pada masa pemerintahan
Charlemagne. Ia berhasil mengkristenkan bangsa Saxon, yang kala itu masih memeluk
kepercayaan lokal mereka (paganisme Jerman). Pada tahun 800, Karel Agung dinobatkan oleh
Sri Paus di Roma sebagai Kaisar Romawi, melegitimasinya sebagai penerus keagungan
Kekaisaran Romawi (yang sebenarnya masih ada saat itu, yakni Romawi Timur/Bizantium yang
berpusat di Konstantinopel). Penobatan ini sukses memperbesar wibawa Kekaisaran Franka di
seluruh Eropa dan Mediterania.

Kekaisaran Franka merupakan salah satu negara paling berpengaruh di Eropa pada Abad
Pertengahan, menandingi kekuasaan Keamiran Kordoba di Andalusia dan Kekaisaran Romawi
Timur di Konstantinopel. Pada abad ke-9, Kekaisaran Franka runtuh akibat perebutan tahta
antara para keturunan Karel Agung. Perjanjian Verdun pada tahun 843 membagi negara besar ini
menjadi tiga, yakni Franka Barat, Franka Tengah, dan Franka Timur. Franka Barat dan Franka
Timur nantinya akan berkembang menjadi Prancis dan Jerman modern saat ini.

Awal Berdirinya

Bangsa Franka awalnya merupakan sekelompok suku Jermanik yang tinggal di wilayah
Batavia atau Belanda saat ini. Mereka adalah salah satu suku bangsa yang dijuluki sebagai
“orang barbar” oleh bangsa Romawi, karena kerap kali melancarkan perompakan terhadap
wilayah perbatasan Romawi di daerah itu. Pada abad ke-4, bangsa Franka terusir dari Batavia
dan bermigrasi ke barat. Mereka diterima oleh Kaisar Roma, yang memperkenankan mereka
menetap di Gaul, provinsi Kekaisaran Romawi di Prancis. Mereka dijadikan foederati, yakni
kelompok masyarakat asing yang dilindungi oleh Kaisar Roma. Setelah Romawi terpecah dua
menjadi Romawi Barat dan Romawi Timur, bangsa Franka mengabdi kepada Romawi Barat dan
banyak direkrut sebagai prajurit. Salah satu cabang bangsa Franka, yaitu suku Sali yang gemar
perang diketahui turut membantu Romawi Barat dalam menghadang invasi Kekaisaran Hun
pimpinan Raja Attila (434-453) pada dekade 430an-450an. Salah satu pemimpin awal bangsa
Franka yang diketahui adalah Klodio, yang diperkirakan hidup antara dekade 420an dan 450an.

Saat wibawa Romawi Barat memudar akibat perebutan kekuasaan pada akhir abad ke-5,
bangsa Franka merupakan salah satu kelompok di Eropa Barat yang memerdekakan diri dari
kekaisaran itu. Raja Klovis I (481-511), seorang kepala suku Sali keturunan Klodio berhasil
mempersatukan seluruh suku-suku Franka di Gaul dan mendirikan Kerajaan Franka atau Regnum
Francorum. Inilah cikal-bakal dari Kekaisaran Franka. Pada awal berdirinya, Franka hanya
berkuasa atas wilayah Austrasia yang terdiri dari Prancis timur laut, separuh Jerman bagian
barat, dan Belanda. Ibukotanya terletak di Tournai. Pada tahun 486, Raja Klovis I berhasil
memperluas kekuasaannya ke barat. Ia menaklukkan Kerajaan Soissons atau Noviodunum,
sebuah bekas koloni Romawi yang dipimpin oleh Syagrius, seorang mantan jenderal Romawi
Barat. Setelah berhasil mengalahkan Syagrius, Raja Klovis I memindahkan ibukota kerajaannya
ke Kota Soissons.

Pada tahun 496, Klovis I memeluk agama Kristen Katolik atas desakan istrinya, Klotilde.
Sang raja sendiri sebelumnya adalah seorang pemeluk paganisme yang taat. Peristiwa ini
disambut gembira oleh Sri Paus di Roma. Pemimpin Gereja Katolik ini segera menyatakan
dukungan dan sumbangannya kepada Kerajaan Franka. Konversi Raja Klovis I ke agama Kristen
menjadi titik penting yang menentukan masa depan Eropa Barat dan Eropa Tengah, di mana
selama berabad-abad kemudian akan menjadi pusat peradaban Kristen (Christendom) paling
utama di dunia.

Setelah memeluk Kristen, Raja Klovis I melanjutkan ekspansi wilayahnya. Pada tahun
502, ia berhasil menaklukkan Alemania, sebuah konfederasi suku-suku Jermanik di hulu Sungai
Rhine. Selanjutnya, ia menyerang Kerajaan Visigoth, negara tetangganya di barat laut yang
berkuasa atas wilayah Iberia dan separuh Prancis. Sejak tahun 492, Franka dan Visigoth telah
saling bermusuhan. Raja Visigoth, Alarik II (484-507) memberikan perlindungan kepada
Syagrius, penguasa Soissons yang sebelumnya telah dikalahkan oleh Klovis I. Pada tahun 500,
pasukan Franka dan pasukan Visigoth berperang di Burgundi (sebuah kerajaan di Prancis
tenggara) untuk memperebutkan pengaruh, dan Franka mengalami kekalahan. Dua tahun
kemudian, mereka berdamai. Namun, perang kembali pecah pada tahun 507. Dalam sebuah
pertempuran di Vouille pada musim semi tahun itu, Klovis I dan pasukannya berhasil
mengalahkan pasukan Visigoth yang jumlahnya lebih besar. Raja Alarik II gugur dalam
pertempuran itu. Perang diakhiri satu tahun kemudian, di mana Visigoth bersedia menyerahkan
Aquitania dan sebagian besar kekuasaannya di Prancis kepada Franka.

Pasca kematian Klovis I pada tahun 511, Franka sempat mundur dan terpecah-belah.
Kerajaan ini dibagi menjadi empat oleh putra-putra Klovis I. Keempat kerajaan pecahan itu
adalah Reims, Orleans, Paris, dan Soissons, yang masing-masing dipimpin oleh Teuderik I,
Klodomer, Kildebert I, dan Klothar I. Para raja bersaudara ini bekerjasama dalam menaklukkan
Burgundi pada tahun 534, namun dalam perkembangannya justru saling berseteru. Pada tahun
558, Kerajaan Franka sempat disatukan kembali oleh Raja Klothar I dari Soissons, namun segera
terpecah kembali pasca kematiannya pada tahun 561. Pada tahun 613, Franka kembali disatukan
melalui peperangan oleh Raja Klothar II, yang berkuasa sampai tahun 628. Penggantinya,
Dagobert I (628-639), memberikan wilayah Aquitania kepada adiknya, Karibert. Wilayah ini
selanjutnya berkembang menjadi sebuah kadipaten yang merdeka dari Franka.
Raja-raja Franka selanjutnya semakin kehilangan wibawa dan pengaruhnya dalam
perpolitikan kerajaan. Pada abad ke-7, kepemimpinan mereka berangsur-angsur digantikan oleh
para pembesar istana. Kedudukan raja pun menjadi tak lebih dari kepala negara yang bersifat
simbolis belaka. Sementara pemegang kekuasaan Kerajaan Franka yang sebenarnya adalah para
pembesar istana yang membentuk suatu dewan pemerintahan di bawah pimpinan seseorang yang
bergelar Kepala Istana (Maior Palatii). Sang Kepala Istana ini menggantikan peran raja sebagai
kepala pemerintahan. Ia mengeluarkan berbagai kebijakan terkait peperangan, pertanahan,
hingga sengketa wilayah. Dalam memerintah, Kepala Istana didampingi oleh seorang pejabat
lain bergelar Adipati Franka (Dux Francorum) yang menjadi asistennya. Terkadang, kedua
jabatan ini dipegang oleh orang yang sama. Salah satu petinggi istana Franka yang pernah
menjabat sebagai Kepala Istana sekaligus Adipati Franka adalah Karel Martel, yang berkuasa
pada tahun 718-741. Karel Martel adalah salah satu penguasa terkuat dan paling dikenal dalam
sejarah Kerajaan Franka.

Karel Martel adalah seorang negarawan dan panglima perang yang ulung. Sebagai
seorang panglima perang, Karel Martel memimpin sejumlah ekspedisi militer untuk memperluas
kekuasaannya. Pada tahun 718, ia menyerang Kerajaan Frisia di Belanda yang dipimpin oleh
Raja Radbod. Ia menaklukkan wilayah barat kerajaan itu dalam waktu satu tahun, dan berhasil
menaklukkan seluruh Frisia pada tahun 734. Ia juga memerangi kadipaten-kadipaten di Jerman,
yaitu Saksoni dan Bavaria pada dekade 710an-720an. Kadipaten Saksoni di Jerman Utara kerap
menyerang wilayah perbatasan Franka di timur laut, sehingga memicu Karel Martel untuk
“menghukum” mereka. Pada tahun yang sama dengan dimulainya invasinya ke Frisia, Karel
Martel menyerang Saksoni dan berhasil mengalahkan mereka di Hutan Teutoborg. Pada tahun
723, ia menyerang Bavaria dan berhasil memaksa adipatinya untuk tunduk sebagai vasal Franka.
Sebagai tanda takluk, Adipati Bavaria menyerahkan putrinya, Swanachild untuk dinikahkan
kepada Karel Martel.

Namun, yang paling dikenal dari masa kekuasaan Karel Martel adalah ketika ia berhasil
menghalau ekspansi Kekhalifahan Umayyah yang menyerang Kadipaten Aquitania. Dalam
Pertempuran Tours (732), pasukan Franka pimpinan Karel Martel yang bersekutu dengan
Adipati Odo dari Aquitania berhasil mengalahkan pasukan Muslim (yang terdiri dari orang Arab
dan Berber/Amazigh) pimpinan Abdul Rahman al-Ghafiqi, Gubernur Umayyah di Andalusia.
Pasukan Franka yang berjumlah 15.000-20.000 orang mampu memukul mundur pasukan Muslim
yang lebih besar, sekitar 20.000-25.000 orang. Pemimpin pasukan Muslim, Abdul Rahman al-
Ghafiqi gugur dalam pertempuran. Kemenangan Karel Martel dalam Pertempuran Tours
dikenang sebagai “kemenangan bersejarah yang menyelamatkan Eropa”, karena ia berhasil
menghentikan ekspansi Kekhalifahan Umayyah di benua itu.

Karel Martel wafat pada tahun 741. Sebelum kematiannya, ia telah mewariskan jabatan
yang dipegangnya kepada dua orang putranya, Karloman, dan Pepin si Pendek. Masing-masing
menggantikan ayah mereka sebagai Kepala Istana dan Adipati Franka. Kemudian, Pipin si
Pendek dinobatkan oleh Paus Stefanus II sebagai raja Kerajaan Franka pada tahun 754. Pipin
merupakan ayah dari Charlemagne, penguasa Franka paling agung.

Dinasti yang Berkuasa

Sepanjang perjalanan sejarahnya, Kerajaan Franka – yang nantinya menjadi Kekaisaran


Franka – diperintah oleh dua dinasti, yakni Meroving dan Karoling. Dinasti Meroving dimulai
dari Klovis I, yang merupakan putra dari Kilderik I (458-481), cucu dari Merovek (450-458), dan
cicit dari Klodio. Mereka secara berturut-turut merupakan kepala suku Sali di Gaul pada masa
kekuasaan Romawi Barat. Merovek dan Kilderik I dipercaya turut serta membantu pasukan
Romawi Barat pimpinan Flavius Aetius dalam mengalahkan pasukan Raja Attila dari Kekaisaran
Hun yang menyerang wilayah Prancis pada tahun 451. Dinasti Meroving memimpin Franka
selama lebih dari tiga ratus tahun, sejak berkuasanya Klovis I pada tahun 481 sampai
dilengserkannya Kilderik III pada tahun 752. Raja-raja Meroving akhir, yang memerintah antar
akhir abad ke-6 dan abad ke-7, hanya bertindak sebagai pemimpin simbolis yang berkuasa di
bawah bayang-bayang Kepala Istana dan para pembesarnya. Kilderik III (743-752) adalah raja
terakhir dari Dinasti Meroving yang diturunkan dari tahta oleh Paus Zakarias.

Dinasti Meroving digantikan oleh Dinasti Karoling, yang mulai berkuasa sejak
dilengserkannya Kilderik III. Raja pertama Karoling adalah Pipin si Pendek (754-768), yang
dilantik secara resmi oleh Paus Stefanus II pada tahun 754. Pasca kematian Raja Pipin, kedua
putranya – Karel dan Karloman – memperebutkan tahta Franka selama dua tahun, di mana Karel
muncul sebagai pemenang. Pada masa kekuasaan Raja Karel-lah, Franka mencapai puncak
kejayaannya.

Puncak Kejayaan

Puncak kejayaan Franka terjadi pada masa kekuasaan Raja Karel atau Karel Agung
antara tahun 768 dan 814. Dialah yang berhasil membawa Franka menjadi sebuah kekaisaran
besar dan berpengaruh di Eropa. Ia merupakan putra dari Pipin si Pendek, dan merupakan salah
satu dari dua raja yang naik tahta pasca kematian ayahnya. Pasca kematian Pipin pada tahun 768,
para pembesar istana Franka menobatkan kedua orang putranya, Karel dan Karloman sebagai
raja. Kerajaan Franka pun dibagi dua, dengan wilayah barat dikuasai oleh Karel, dan wilayah
timur oleh Karloman. Kedua raja bersaudara ini saling beraliansi dan menjalin hubungan baik,
namun tetap saling mencurigai. Para penasehat Karloman mendesaknya untuk memutus aliansi
dengan Karel, dan bahkan memanas-manasinya untuk mendeklarasikan perang. Pada tahun 770,
Karel berhasil mempersatukan kembali Kerajaan Franka setelah Karloman wafat karena sakit.
Segera setelah itu, ia memulai ekspansi besar-besaran ke timur, selatan, dan barat.

Dua tahun pasca penyatuan Franka, Karel memimpin ekspedisi militer ke selatan. Ia
menjawab permintaan bantuan Sri Paus di Roma yang merasa terancam oleh Kerajaan Lombard
yang menguasai sebagian besar Semenanjung Italia saat itu. Selain itu, Raja Lombard,
Desiderius juga memberikan perlindungan kepada keluarga Karloman yang menyingkir dari
Franka sejak kerajaan itu disatukan kembali oleh Karel. Hal-hal inilah yang dijadikan alasan oleh
Karel untuk memerangi Kerajaan Lombard. Raja Karel dan pasukannya mengepung Pavia,
ibukota Lombard selama dua tahun. Pada tahun 774, kota itu akhirnya jatuh dan Desiderius
menyerahkan diri ke hadapan Karel. Perang pun berakhir dengan kemenangan Franka, yang
segera menganeksasi seluruh wilayah kekuasaan Lombard. Kemenangan ini mempererat
hubungan Karel dengan Sri Paus. Raja Karel direstui olehnya untuk menjadi pelindung dari
Negara Gereja (Papal States), negara yang dipimpin oleh Sri Paus.

Setelah berhasil menaklukkan Lombard, Karel mengalihkan perhatiannya ke timur. Ia


mendeklarasikan perang kepada Kadipaten Saksoni, negara tetangga Franka yang telah lama
bermusuhan dengannya. Bangsa Sakson yang masih menganut paganisme, gemar melancarkan
penjarahan, perampokan, penculikan, dan pembunuhan terhadap penduduk di daerah perbatasan
Franka. Raja Karel (dan orang Franka pada umumnya) merasa terganggu dengan kegemaran
bangsa Sakson ini, sehingga ia memutuskan untuk menundukkan dan mengkristenkan mereka.
Perang Franka-Sakson pun dimulai, dan berlangsung selama hampir satu dekade. Pada tahun
782, perang ini berakhir dengan kemenangan Franka. Kadipaten Saksoni dianeksasi penuh, dan
seluruh penduduknya dikristenkan dengan paksa.

Di tengah peperangan panjangnya dengan Saksoni, Karel sempat mengalihkan


pandangannya ke barat. Ia berniat menaklukkan kekuasaan Bani Umayyah di Andalusia – yang
telah berubah menjadi Keamiran Kordoba – musuh lama Franka lainnya. Karel khawatir oleh
ancaman invasi dari Kordoba, yang sewaktu-waktu bisa menyerang wilayah Franka di Galia
Selatan yang saat itu minim pertahanan. Selain itu, ia juga telah menerima permintaan bantuan
dari sejumlah pemimpin Muslim di Andalusia yang ingin lepas dari kekuasaan Umayyah. Maka,
setelah meninggalkan sejumlah garnisun di perbatasan timur, Raja Karel bergerak ke barat
memimpin pasukan terbesar yang pernah dikerahkannya, memulai ekspedisi ambisius untuk
menaklukkan Andalusia. Ekspedisi militer ini berlangsung pada tahun 778. Setelah berhasil
menyeberangi Pegunungan Pirenia, Karel dan pasukannya segera melancarkan penyerangan.
Kota-kota berbenteng di perbatasan Kordoba dapat dikalahkan dan diduduki dengan cepat.
Beberapa malah menyerah dengan sukarela. Pasukan Franka kemudian sampai di Barcelona, di
mana mereka disambut oleh Sulayman al-Arabi, Gubernur Barcelona dan Girona. Al-Arabi
adalah salah satu pemimpin Muslim yang meminta bantuan Karel untuk lepas dari kekuasaan
Kordoba. Ia menyediakan sebuah pasukan bantuan kepada Karel. Dari Barcelona, Karel dan
pasukannya bergerak ke barat menuju Saragossa.

Puncak ekspedisi Karel di Andalusia adalah ketika ia dan pasukannya berhasil


mengepung Saragossa. Pengepungan yang berlangsung selama satu bulan ini berakhir dengan
mundurnya pasukan Franka, setelah Karel bersedia menerima tawaran dari Husayn, Gubernur
Saragossa untuk berdamai. Dari Saragossa, pasukan Franka bergerak ke barat laut menuju
wilayah pegunungan yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Asturias. Negara ini dipimpin
oleh bangsa Basque, yang sebenarnya bermusuhan dengan orang Muslim di Andalusia, namun
saat itu bersekutu dengan mereka karena sama-sama bermusuhan dengan Kerajaan Franka. Karel
dan pasukannya menggempur Pamplona, ibukota Asturias dan menghancurkannya. Seluruh
kerajaan itu selanjutnya berhasil diduduki oleh pasukan Franka. Karel mundur kembali ke
Franka setelah ia memaksa Raja Asturias untuk mencabut persekutuannya dengan Amir
Kordoba. Di tengah perjalanan pulang, pasukan Franka diserang mendadak oleh orang-orang
Basque yang marah. Dalam pertempuran di Jalur Gunung Ronceveaux, 3000 orang prajurit
Franka terbunuh, termasuk salah seorang panglimanya, Roland. Sementara Raja Karel dan sisa
pasukannya berhasil lolos. Meski menderita sejumlah kekalahan, namun ekspedisi ke Andalusia
ini cukup sukses dalam memperluas pengaruh dan kekuasaan Franka di Semenanjung Iberia.

Sekembalinya dari Andalusia, Karel pergi ke timur untuk menyelesaikan penaklukannya


atas Saksoni. Setelah berhasil, ia melanjutkan ekspansinya dan sukses menaklukkan lebih banyak
wilayah. Ia memerangi bangsa Hun dan bangsa Avar yang menguasai wilayah luas dari Hungaria
sampai Bulgaria di Eropa Timur. Ia berhasil mengalahkan kedua banga nomaden itu, dan
merebut wilayah Pannonia dan Kroasia dari mereka. Puncak ekspansi Franka adalah tahun 805.
Kala itu, Franka telah menjelma menjadi sebuah kekaisaran yang terbentang dari Spanyol di
barat sampai Hungaria di timur, dan dari Belanda di utara sampai Italia di selatan.

Raja Karel telah berhasil membawa Franka menuju puncak kejayaannya. Kesuksesannya
inilah yang membuat Paus Leo III memutuskan untuk menobatkan sang raja sebagai Kaisar
Romawi, sebagai sebuah “hadiah Natal”. Penobatan Karel sebagai Kaisar Romawi
dilangsungkan pada Hari Natal di tahun 800. Sampai sekarang, Karel Agung masih dikenang
sebagai salah satu pemimpin terbesar dalam sejarah Eropa. Ia dijuluki sebagai Pater Europae
(“Bapak Eropa”).

Renaisans Karoling

Selain giat melancarkan ekspansi wilayah, Raja Karel juga mendorong perkembangan
pendidikan dan kebudayaan di kerajaannya. Ia mengundang banyak ilmuwan dan akademisi dari
seluruh Eropa untuk datang ke kerajaannya. Ia merekrut mereka untuk memajukan pendidikan,
khususnya untuk mendorong pembelajaran bahasa Latin yang merupakan salah satu bahasa
terpenting di dunia saat itu, khususnya di Dunia Kristen dan kawasan Mediterania.

Selain itu, Karel juga berusaha menyatukan berbagai ragam etnis dan bentuk kebudayaan
yang ada di kerajaannya yang luas. Salah satunya adalah dengan menyebarkan agama Kristen.
Kedekatan hubungannya dengan Sri Paus di Roma memudahkan usahanya ini. Pada masa
pemerintahan Karel Agung, persebaran agama Kristen (Katolik) pun merata di seluruh wilayah
Kerajaan Franka. Perkembangan kebudayaan, pendidikan, dan agama yang pesat ini dikenal
sebagai Renaisans Karoling.

Diplomasi

Kekaisaran Franka di bawah Karel Agung merupakan salah satu negara paling
berpengaruh di dunia pada Abad Pertengahan awal. Ia sezaman dengan sejumlah kekaisaran
besar dunia lainnya, seperti Romawi Timur, Kordoba, dan Abbasiyah, serta Negara Gereja yang
pengaruhnya besar di Eropa. Dengan Negara Gereja yang dipimpin Sri Paus, Karel selalu
menjaga hubungan yang baik, yang memuncak dengan penobatan dirinya sebagai Kaisar
Romawi oleh pemimpin Gereja Katolik Roma itu.

Namun, yang menarik adalah hubungannya dengan Abbasiyah. Raja Karel menjalin
aliansi dengan kekhalifahan ini, karena keduanya sama-sama bermusuhan dengan Bani Umayyah
di Kordoba serta Romawi Timur di Konstantinopel. Antara dekade 770an dan 800an, Karel
berkali-kali mengirim misi diplomatik ke Baghdad untuk menghadap Khalifah Abbasiyah. Para
utusan Franka dalam misi ini berhasil menemui Harun al-Rasyid, pemimpin terbesar dalam
sejarah Kekhalifahan Abbasiyah. Saat Karel menyerang Andalusia pada tahun 778, salah satu
alasannya adalah untuk membantu beberapa gubernur Muslim di sana yang ingin lepas dari
Umayyah dan pro pada Abbasiyah. Aliansi Franka-Abbasiyah menunjukkan bahwa agama
bukanlah alasan utama yang mendorong berbagai sikap permusuhan dan peperangan di kawasan
Mediterania saat itu.

Referensi:

- Eginhard. (1999). The Life of Charlemagne. Cambridge: In Parentheses Publications.

- Greenblatt, Miriam. (2005). Human Heritage: A World History. New York: Glencoe.

- The Saylo Foundation, The Frankish Empire, Saylor.org.

Anda mungkin juga menyukai