Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATARBELAKANG
Ketika Islam mulai memasuki masa kemunduran di daerah Semenanjung Arab,
bangsa-bangsa Eropa justru mulai bangkit dari tidurnya yang panjang, yang kemudian
banyak dikenal dengan Renaissance. Kebangkitan tersebut bukan saja dalam bidang
politik, dengan keberhasilan Eropa mengalahkan kerajaan-kerajaan Islam dan bagian
dunia lainnya, tetapi terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Harus
diakui, bahwa justru dalam bidang ilmu dan teknologi itulah yang mendukung
keberhasilan negara-negara baru Eropa. Kemajuan-kemajuan Eropa tidak dapat
dipisahkan dari peran Islam saat menguasai Spanyol. Dari Spanyol Islam itulah Eropa
banyak menimba ilmu pengetahuan. Ketika Islam mencapai masa keemasannya, kota
Cordoba dan Granada di Spanyol merupakan pusat-pusat peradaban Islam yang sangat
penting saat itu dan dianggap menyaingi Baghdad di Timur. Ketika itu, orang-orang
Eropa Kristen, Katolik maupun Yahudi dari berbagai wilayah dan negara banyak
belajar di perguruan-perguruan tinggi Islam di sana. Islam menjadi “guru” bagi orang
Eropa Di sini pula mereka dapat hidup dengan aman penuh dengan kedamaian dan
toleransi yang tinggi, kebebasan untuk berimajinasi dan adanya ruang yang luas untuk
mengekspresikan jiwa-jiwa seni dan sastra.
Penduduk keturunan Spanyol dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori,
yaitu: Pertama, kelompok yang telah memeluk Islam; Kedua, kelompok yang tetap
pada keyakinannya tetapi meniru adat dan kebiasaan bangsa Arab, baik dalam
bertingkah laku maupun bertutur kata; mereka kemudian dikenal dengan
sebutan Musta’ribah, dan Ketiga, kelompok yang tetap berpegang teguh pada
agamanya semula dan warisan budaya nenek moyangnya. Tidak sedikit dari mereka,
yang nonmuslim, menjadi pejabat sipil maupun militer, di dalam kekuasaan Islam
Spanyol. Mereka pun mendapat keleluasaan dalam menjalankan ibadah mereka tanpa
diganggu atau mendapat rintangan dari penguasa muslim saat itu, sesuatu yang tidak
pernah terjadi sebelumnya saat penguasa Kristen memerintah Spanyol.
B. Rumusan Masalah

C. Tujuan
BAB II

PEMBAHASAN

A. Masuknya Islam ke Eropa

Dalam sejarah ilmu pengetahuan dan peradaban Islam, tanah Spanyol lebih
banyak dikenal dengan nama Andalusia, yang diambil dari sebutan tanah Semenanjung
Liberia. Julukan Andalusia ini berasal dari kata Vandalusia, yang artinya negeri bangsa
Vandal (Mustafa, 1993), karena bagian selatan Semenanjung ini pernah dikuasai oleh
bangsa Vandal sebelum mereka dikalahkan oleh bangsa Gothia Barat pada abad V.
Daerah ini dikuasai oleh Islam setelah penguasa Bani Umayah merebut tanah
Semenanjung ini dari bangsa Gothi Barat pada masa Khalifah Al-Walid ibn Abdul
Malik.

Islam masuk ke Spanyol (Cordoba) pada tahun 93 H (711 M) melalui jalur


Afrika Utara di bawah pimpinan Tariq bin Ziyad (Suwito, 2005: 109) yang memimpin
angkatan perang Islam untuk membuka Andalusia. Sebelum penaklukan Spanyol, umat
Islam telah menguasai Afrika Utara dan menjadikannya sebagai salah satu provinsi dari
Dinasti Bani Umayah. Penguasaan sepenuhnya atas Afrika Utara itu terjadi di zaman
Khalifah Abdul Malik (685-705 M). Khalifah Abdul Malik mengangkat Hasan ibn
Nu’man al-Ghassani menjadi gubernur di daerah itu. Pada masa Khalifah Al-Walid,
Hasan ibn Nu’man sudah digantikan oleh Musa ibn Nushair. Di zaman Al-Walid itu,
Musa ibn Nushair memperluas wilayah kekuasaannya dengan menduduki Aljazair dan
Maroko. Penaklukan atas wilayah Afrika Utara itu dari pertama kali dikalahkan sampai
menjadi salah satu provinsi dari Khalifah Bani Umayah memakan waktu selama 53
tahun, yaitu mulai tahun 30 H (masa pemerintahan Muawiyah ibn Abi Sufyan) sampai
tahun 83 H (masa al-Walid). Sebelum dikalahkan dan kemudian dikuasai Islam, di
kawasan ini terdapat kantung-kantung yang menjadi basis kekuasaan Kerajaan
Romawi, yaitu Kerajaan Gotik (Badri Yatim,2004: 87). Dalam proses penaklukan
Spanyol terdapat tiga pahlawan Islam yang dapat dikatakan paling berjasa memimpin
satuan-satuan pasukan ke sana. Mereka adalah Tharif ibn Malik, Thariq ibn Ziyad, dan
Musa ibn Nushair. Tharif dapat disebut sebagai perintis dan penyelidik. Ia
menyeberangi selat yang berada di antara Maroko dan benua Eropa itu dengan satu
pasukan perang lima ratus orang di antaranya adalah tentara berkuda, mereka menaiki
empat buah kapal yang disediakan oleh Julian. Ia menang dan kembali ke Afrika Utara
membawa harta rampasan yang tidak sedikit jumlahnya. Didorong oleh keberhasilan
Tharif ibn Malik dan kemelut yang terjadi dalam tubuh kerajaan Visigothicyang
berkuasa di Spanyol pada saat itu, serta dorongan yang besar untuk memperoleh harta
rampasan perang, Musa ibn Nushair pada tahun 711 M mengirim pasukan ke Spanyol
sebanyak 7000 orang di bawah pimpinan Thariq ibn Ziyad.

Thariq ibn Ziyad lebih banyak dikenal sebagai penaklukan Spanyol karena
pasukannya lebih besar dan hasilnya lebih nyata. Pasukannya terdiri dari sebagian besar
suku Barbar yang didukung oleh Musa ibn Nushair dan sebagian lagi orang Arab yang
dikirim Khalifah al-Walid (Suwito, 2005: 109). Pasukan itu kemudian menyeberangi
selat di bawah pimpinan Thariq ibn Ziyad. Sebuah gunung tempat pertama kali Thariq
dan pasukannya mendarat dan menyiapkan pasukannya, dikenal dengan nama Gibraltar
(Jabal Thariq). Dengan dikuasainya daerah ini, maka terbukalah pintu secara luas untuk
memasuki Spanyol. Dalam pertempuran di Bakkah, Raja Roderick dapat dikalahkan.
Dari situ Thariq dan pasukannya menaklukkan kota-kota penting seperti Cordova,
Granada dan Toledo (Ibu kota kerajaan Goth saat itu Sebelum menaklukkan kota
Toledo, Thariq meminta tambahan pasukan kepada Musa ibn Nushair di Afrika Utara.
Lalu dikirimlah 5000 personil, sehingga jumlah pasukan Thariq 12000 orang. Jumlah
ini tidak sebanding dengan pasukan ghothic yang berjumlah 25.000 orang.

Kemenangan pertama yang dicapai oleh Thariq ibn Ziyad membuka jalan untuk
penaklukan wilayah yang lebih luas lagi. Musa bin Nushair pun melibatkan diri untuk
membantu perjuangan Thariq. Selanjutnya, keduanya berhasil menguasai seluruh kota
penting di Spanyol, termasuk bagian utaranya mulai dari Saragosa sampai Navarre.

Gelombang perluasan wilayah berikutnya muncul pada masa pemerintahan


Khalifah Umar ibn Abdil Aziz tahun 99 H/717 M, dengan sasarannya menguasai daerah
sekitar pegunungan Pyrenia dan Prancis Selatan (Dean Derhak.pdf). Gelombang kedua
terbesar dari penyerbuan kaum muslimin yang geraknya dimulai pada permulaan abad
ke-8 M ini, telah menjangkau seluruh Spanyol dan melebar jauh ke Prancis Tengah dan
bagian-bagian penting dari Italia. Kemenangan-kemenangan yang dicapai umat Islam
nampak begitu mudah. Hal itu tidak dapat dipisahkan dari adanya faktor eksternal dan
internal. Yang dimaksud dengan faktor eksternal adalah suatu kondisi yang terdapat di
dalam negeri Spanyol sendiri. Pada masa penaklukan Spanyol oleh orang-orang Islam,
kondisi sosial, politik, dan ekonomi negeri ini berada dalam keadaan menyedihkan
(Syalabi, 1983: 154). Secara politik, wilayah Spanyol terkoyak-koyak dan terbagi-bagi
ke dalam beberapa negeri kecil. Bersamaan dengan itu, penguasa Gothic bersikap tidak
toleran terhadap aliran agama yang dianut oleh penguasa, yaitu aliran Monofisit,
apalagi terhadap penganut agama lain, Yahudi. Penganut agama Yahudi yang
merupakan bagian terbesar dari penduduk Spanyol dipaksa dibaptis menurut agama
Kristen. Yang tidak bersedia disiksa dan dibunuh secara bruta. Rakyat dibagi-bagi ke
dalam sistem kelas, sehingga, keadaannya diliputi oleh kemelaratan, ketertindasan, dan
ketiadaan persamaan hak. Di dalam situasi seperti itu, kaum tertindas menanti
kedatangan juru pembebas dan juru pembebasnya mereka temukan dari orang Islam
Walid (Suwito, 2005: 112). Berkenaan dengan itu, Ameer Ali, seperti dikutip oleh
Imamuddin mengatakan, ketika Afrika (Timur dan Barat) menikmati kenyamanan
dalam segi material, kebersamaan, keadilan, dan kesejahteraan tetangganya di jazirah
Spanyol berada dalam keadaan menyedihkan di bawah kekuasaan tangan resi
penguasa Visighotic. Di sisi lain, kerajaan berada dalam kemelut yang membawa akibat
pada penderitaan masyarakat. Akibat perlakuan yang keji, koloni-koloni Yahudi yang
penting menjadi tempat-tempat perlawanan dan pemberontakan. Perpecahan dalam
negeri Spanyol ini banyak membantu keberhasilan campur tangan Islam di tahun 711
M. Perpecahan itu amat banyak coraknya dan sudah ada jauh sebelum kerajaan Gothic
berdiri.

Perpecahan politik memperburuk keadaan ekonomi masyarakat. Ketika Islam


masuk ke Spanyol, ekonomi masyarakat dalam keadaan lumpuh. Padahal, sewaktu
Spanyol berada di bawah pemerintahan Romawi, berkat kesuburan tanahnya, pertanian
maju pesat. Demikian juga pertambangan, industri, dan perdagangan karena didukung
oleh sarana transportasi yang baik. Akan tetapi, setelah Spanyol berada di bawah
kekuasaan kerajaan Goth, perekonomian lumpuh dan kesejahteraan masyarakat
menurun. Hektaran tanah dibiarkan terlantar tanpa digarap, beberapa pabrik ditutup,
dan antara satu daerah dengan daerah lain sulit dilalui akibat jalan-jalan tidak mendapat
perawatan.

Buruknya kondisi sosial, ekonomi, dan keagamaan tersebut terutama


disebabkan oleh keadaan politik yang kacau. Kondisi terburuk terjadi pada masa
pemerintahan Raja Roderick, Raja Goth terakhir yang dikalahkan Islam. Awal
kehancuran kerajaan Ghot adalah ketika Raja Roderick memindahkan ibu kota
negaranya dari Seville ke Toledo, sementara Witiza, yang saat itu menjadi penguasa
atas wilayah Toledo, diberhentikan begitu saja. Keadaan ini memancing amarah dari
Oppas dan Achila, kakak, dan anak Witiza. Keduanya kemudian bangkit menghimpun
kekuatan untuk menjatuhkan Roderick. Mereka pergi ke Afrika Utara dan bergabung
dengan kaum muslimin. Sementara itu, terjadi pula konflik antara Roderick dengan
Ratu Julian, mantan penguasa wilayah Septah. Julian juga bergabung dengan kaum
Muslimin di Afrika Utara dan mendukung usaha umat Islam untuk menguasai Spanyol
(Philip, 1970: 493). Julian bahkan memberikan pinjaman empat buah kapal yang dipakai
oleh Tharif, Tariq, dan Musa.

Hal menguntungkan tentara Islam lainnya adalah tentara Roderick yang terdiri
dari para budak yang tertindas tidak lagi mempunyai semangat perang. Selain itu, orang
Yahudi yang selama ini tertekan juga mengadakan persekutuan dan memberikan
bantuan bagi perjuangan kaum Muslimin (Mustafa, 1993). Adapun yang dimaksud
dengan faktor internal adalah suatu kondisi yang terdapat dalam tubuh penguasa,
tokoh-tokoh pejuang, dan para prajurit Islam yang terlibat dalam penaklukan wilayah
Spanyol pada khususnya. Para pemimpin adalah tokoh-tokoh yang kuat, tentaranya
kompak, bersatu, dan penuh percaya diri. Mereka pun cakap, berani, dan tabah dalam
menghadapi setiap persoalan. Yang tak kalah pentingnya adalah ajaran Islam yang
ditunjukkan para tentara Islam, yaitu toleransi, persaudaraan, dan tolong menolong.
Sikap toleransi agama dan persaudaraan yang terdapat dalam pribadi kaum Muslimin
itu menyebabkan penduduk Spanyol menyambut kehadiran Islam di sana.

B. Faktor pendukung keberhasilan penaklukan oleh Islam


Penaklukan demi penaklukan dimenangkan umat Islam sampai menjangkau
Prancis Tengah dan bagian penting Italia. Kemenangan. Beberapa faktor eksternalnya
yakni disebabkan oleh suatu kondisi yang terdapat dalam negeri Spanyol sendiri yaitu
kondisi sosial, politik dan ekonomi Spanyol dalam keadaan yang memperihatinkan.
Adapun faktor internalnya adalah suatu kondisi yang terdapat dalam tubuh penguasa,
tokoh-tokoh pejuang dan para prajuritnya. Para pemimpin ketika itu adalah tokoh-tokoh
yang kuat, tentaranya kompak, bersatu dan penuh percaya diri. Mereka pun cakap,
berani dan tabah dalam menghadapi persoalan (David Wessenstein, 1985: 15). Yang tak
kalah pentingnya adalah ajaran Islam yang ditunjukkan oleh tentara Islam, yaitu
toleransi, persaudaraan dan tolong menolong. Sikap toleransi dan persaudaraan inilah
yang menyebabkan penduduk Spanyol menyambut kehadiran Islam di sana.
C. Peradaban Islam masuk ke Eropa
1. Melalui Andaluasia (Spanyol)
Sebagian besar pengaruh kebudayaan Islam atas Eropa terjadi akibat
pendudukan kaum muslimin atas Spanyol dan Sisilia. Bangsa arab selama 8 abad
lamanya menempati daerah ini. Karenanya peradaban Islam menyebar di pusat-pusat
tempat yang berbeda. Seperti: di Kordova, Sevilla, Granada, Toledo. Sebelum
kedatangan umat Islam, daerah Iberia merupakan kerajaan Hispania yang dikuasai
oleh orang Kristen Visigoth. Pada 711, pasukan Umayyah yang sebagian besar
merupakan bangsa Moor dari Afrika Barat Laut, menyerbu Hispania
dipimpin jenderal Tariq bin Ziyad, dan dibawah perintah dari Kekhalifahan
Umayyah di Damaskus. Pasukan ini mendarat diGibraltar pada 30 April, dan terus
menuju utara. Setelah mengalahkan Raja Roderic dari Visigoth dalam Pertempuran
Guadalete (711), kekuasaan Islam terus berkembang hingga pada 719 hanya
daerah Galicia, Basque dan Asturias yang tidak tunduk kepada kekuasaan Islam.
Setelah itu, pasukan Islam menyeberangi Pirenia untuk menaklukkan Perancis,
namun berhasil dihentikan oleh kaum Frank dalam pertempuran Tours (732). Daerah
yang dikuasai Muslim Umayyah ini disebut provinsi Al-Andalus, terdiri dari Spanyol,
Portugal dan Perancis selatan sekarang. Pada awalnya, Al-Andalus dikuasai oleh
seorang wali (gubernur) yang ditunjuk oleh Khalifah di Damaskus, dengan masa
jabatan biasanya 3 tahun. Namun pada tahun 740an, terjadi perang saudara yang
menyebabkan melemahnya kekuasaan Khalifah. Pada 746, Yusuf Al-
Fihrimemenangkan perang saudara tersebut, menjadi seorang penguasa yang tidak
terikat kepada pemerintahan di Damaskus.
Pada 750, bani Abbasiyah menjatuhkan pemerintahan Umayyah di Damaskus,
dan merebut kekuasaan atas daerah-daerah Arabia. Namun pada 756, pangeran
Umayyah di pengasingan Abdurrahman I (Ad-Dakhil) melengserkan Yusuf Al-Fihri,
dan menjadi penguasa Kordoba dengan gelar Amir Kordoba. Abdurrahman menolak
untuk tunduk kepada kekhalifahan Abbasiyah yang baru terbentuk, karena pasukan
Abbasiyah telah membunuh sebagian besar keluarganya. Ia memerintah selama 30
tahun, namun memiliki kekuasaan yang lemah di Al-Andalus dan ia berusaha
menekan perlawanan dari pendukung Al-Fihri maupun khalifah Abbasiyah.
Selama satu setengah abad berikutnya, keturunannya menggantikannya sebagai
Amir Kordoba, yang memiliki kekuasaan tertulis atas seluruh Al-Andalus bahkan
kadang-kadang meliputi Afrika Utara bagian barat. Pada kenyataannya, kekuasaan
Amir Kordoba, terutama di daerah yang berbatasan dengan kaum Kristen, sering
mengalami naik-turun tergantung kecakapan dari sang Amir yang sedang berkuasa.
Amir Abdullah bin Muhammad bahkan hanya memiliki kekuasaan atas Kordoba saja.
Cucu Abdullah, Abdurrahman III, menggantikannya pada 912, dan dengan cepat
mengembalikan kekuasaan Umayyah atas Al-Andalus dan bahkan Afrika Utara
bagian barat. Pada 929 ia mengangkat dirinya sebagai Khalifah, sehingga keamiran
ini sekarang memiliki kedudukan kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad dan
kekhalifahan Syi'ah di Tunis. Periode kekhalifahan ini dianggap oleh para penulis
Muslim sebagai masa keemasan Al-Andalus. Hasil panen yang diperoleh
melalui irigasi serta bahan makanan yang diimpor dari Timur Tengah mencukupi
untuk penduduk Kordoba dan kota-kota lainnya di Al-Andalus, dengan sektor
ekonomi pertanian paling maju di Eropa. Kordoba dibawah kekhalifahan ini memiliki
populasi sekitar 500.000, mengalahkan Konstantinopelsebagai kota terbesar dalam
hal jumlah maupun kemakmuran penduduk di Eropa. Dalam dunia Islam, Kordoba
merupakan salah satu pusat budaya yang maju. Karya-karya ilmuwan dan filsufAl-
Andalus, seperti Abul Qasim dan Ibnu Rusyd memiliki pengaruh besar terhadap
kehidupan intelektual di Eropa zaman pertengahan.
Orang-orang Muslim dan non-Muslim sering datang dari luar negeri untuk
belajar di berbagai perpustakaan dan universitas terkenal di Al-Andalus. Yang paling
terkenal adalahMichael Scot, yang menerjemahkan karya-karya Ibnu Rusyd, Ibnu
Sina, dan Al-Bitruji dan membawanya ke Italia. Karya-karya ini kemudian memiliki
dampak penting dalam berawalnyaRenaisans di Eropa.
a. Periode Taifa pertama
Kekhalifahan Kordoba mengalami kejatuhan dalam perang saudara
antara 1009 hingga 1013, dan akhirnya dihapuskan pada 1031. Al-Andalus kini
terpecah menjadi banyak kerajaan kecil, yang disebut taifa. Taifa-taifa ini pada
umumnya amat lemah sehingga tidak dapat mempertahankan diri menghadapi
serangan-serangan dan permintaan upeti dari kerajaan-kerajaan Kristen di daerah
utara dan barat, antara lain Kerajaan Navarre, León, Portugal,Kastilia dan Aragon,
serta Barcelona. Akhirnya serangan-serangan ini berubah menjadi penaklukan,
sehingga taifa-taifa di Al-Andalus meminta bantuan dari dinasti Al-
Murabitun(Almoravid) yang berhaluan Islam fundamental di Afrika Utara. Orang-
orang Murabitun mengalahkan raja Kastilia Alfonso VI, dalam Pertempuran
Zallāqah dan Pertempuran Uclés, dan akhirnya menguasai Al-Andalus.
b. Murabitun, Muwahidun, dan Banu Marin
Muhammad XII dari Granada menyerah kepada Raja Ferdinand dan Ratu
Isabella.
Pada 1086, pemimipin Murabitun di Maroko Yusuf bin Tasyfin diundang oleh
para bangsawan Muslim di Iberia untuk mempertahankan Iberia dari Alfonso VI, raja
Kastilia dan León. Pada tahun itu juga Yusuf menyeberangi selat
Gibraltar menuju Algeciras, dan mengalahkan kaum Kristen dengan telak dalam
pertempuran Zallāqah. Pada 1094, Yusuf bin Tasyfin menghapuskan kekuasaan dari
semua penguasa-penguasa kecil Islam di Iberia, dan mengambil alih semua daerah
mereka, kecuali Zaragoza. Ia juga merebut Valencia dari tangan umat Kristen.
Pada 1147, kekuasaan kaum Murabitun digantikan oleh kaum Muwahidun(Almohad),
yang juga berasal dari suku Berber. Penguasa Muwahidun memindahkan ibukota Al-
Andalus ke Sevilla pada 1170, dan mengalahkan raja Kastilia Alfonso
VIII dalamPertempuran Alarcos (1195). Namun pada 1212 gabungan Kerajaan
Kristen Kastilia, Navarra,Aragon, dan Portugal mengalahkan kaum Muwahidun
pada Pertempuran Las Navas de Tolosa, dan memaksa sultan Muwahidun
meninggalkan Iberia. Umat Islam di Iberia kembali terpecah dalam taifa-taifa yang
lemah, dan dengan cepat ditaklukkan oleh Portugal, Kastilia dan Aragon. Setelah
jatuhnya Murcia (1243) dan Algarve (1249), hanya Granada pimpinan Banu Nasri-
lah negara Islam yang tersisa, namun hanya sebagai negara bawahan yang membayar
upeti kepada Kerajaan Kastilia. Upeti ini berupa emas dari daerah yang sekarang
bernama Mali dan Burkina Faso, yang dibawa melalui jalur perdagangan di
gurun Sahara.
Pada abad ke-14, dinasti Islam Banu Marin (Marinid) di Maroko mengalami
kemajuan dan mengancam kerajaan-kerajaan Kristen di Iberia. Banu Marin kemudian
mengambil alih Granada dan menduduki kota-kotanya, seperti Algeciras. Namun,
mereka gagal merebut Tarifa, yang bertahan dari serangan Banu Marin hingga
kedatangan Tentara Kastilia pimpinan RajaAlfonso XI. Alfonso XI, dibantu Afonso
IV dari Portugal dan Pedro IV dari Aragon, mengalahkan Banu Marin
pada Pertempuran Rio Salado (1340) dan merebut Algeciras (1344). Alfonso XI
juga mengepung Gibraltar, yang saat itu dikuasai Granada, selama 1349-1350, namun
Alfonso XI dan sebagian besar pasukannya dibinasakan oleh wabah Kematian
Hitampada tahun 1350. Penggantinya, Pedro dari Kastilia (Peter si Kejam),
memutuskan berdamai dengan umat Islam dan berperang melawan kerajaan-kerajaan
Kristen yang lain. Peristiwa ini menandai dimulainya 150 tahun pemberontakan dan
perang saudara umat Kristen di Eropa, yang mengamankan keberadaan Granada.
c. Keamiran Granada
Setelah perjanjian perdamaian dengan Raja Pedro dari
Kastilia, Granada menjadi sebuah negara yang aman merdeka hingga hampir 150
tahun berikutnya. Umat Islam diberi kemerdekaan, kebebasan bergerak dan beragama,
dan dibebaskan dari upeti selama 3-tahun. Setelah tiga tahun, umat Islam diharuskan
membayar upeti tidak lebih dari yang diharuskan sebelumnya pada masa Banu Nasri.
Pada 1469, terjadi pernikahan antara Raja Ferdinand II dari Aragon dan
Ratu Isabella dari Kastilia yang mengisyaratkan serangan terhadap Granada, yang
direncanakan secara hati-hati dan didanai dengan baik. Ferdinand dan Isabella
kemudian meyakinkan Paus Siktus IVuntuk menyatakan perang mereka sebagai
perang suci. Mereka mengalahkan satu persatu perlawanan umat Islam dan akhirnya
pengepungan tersebut berakhir saat Sultan GranadaMuhammad Abu
Abdullah (Boabdil) menyerahkan istana dan benteng Granada, Alhambrakepada
kekuasaan Kristen, dan menandai berakhirnya kekuasaan Islam di Iberia.
d. Naik turunnya kekuasaan Islam
Penguasa Al-Andalus memperlakukan non-Muslim berbeda-beda sepanjang
waktu. Salah satu periode toleransi adalah masa kekuasaan Abdurrahman III dan Al-
Hakam II, ketika Yahudi Al-Andalus mengalami kemakmuran, mencurahkan
hidupnya untuk melayani Kekhalifahan Kordoba, mempelajari sains, perdagangan,
dan industri, terutama perdagangan sutera dan budak, yang ikut memakmurkan negeri
Al-Andalus. Al-Andalus menjadi suaka bagi kaum Yahudi yang teraniaya di negeri-
negeri lain.Orang-orang Kristen di Al-Andalus, dipicu oleh contoh dari umat Kristen
lain di sepanjang perbatasan Al-Andalus kadang kala menegaskan klaim-klaim
Agama Kristen, dan dengan sengaja mencari kemartiran, bahkan selama masa-masa
toleransi. Misalnya, 48 orang Kristen Kordoba melakukan penghinaan terhadap
agama Islam, dan akhirnya dipenggal. Mereka sengaja melakukan tersebut agar mati
sebagai martir, dan mereka dikenal sebagai Martir Kordoba. Beberapa orang dari
generasi berikutnya-pun meneruskan hal ini, dan mereka sepenuhnya tahu apa nasib
yang menimpa pendahulu mereka.
Setelah kematian Al-Hakam pada 976, situasi mulai memburuk bagi non-
Muslim pada umumnya. Hampir 100 tahun berikutnya, pada 30 Desember 1066,
peristiwa penganiayaan pertama terjadi ketika kaum Yahudi diusir dan ratusan
keluarga dibunuh karena tidak mau meninggalkan Granada, dan kerusuhan setelahnya
menewaskan sekitar 3.000 orang.Penganiayaan terhadap Yahudi juga terjadi sesekali
pada masa Murabitun dan Muwahiduntapi sumber yang ada amat sedikit dan tidak
memberikan gambaran yang jelas mengenai hal ini.
Saat terjadi kekerasan terhadap non-Muslim, banyak ilmuwan Yahudi dan
bahkan Muslim yang meninggalkan daerah kekuasaan Muslim menuju Toledo, yang
lebih memiliki toleransi dan telah dikuasai oleh pasukan Kristen. Sekitar 40,000
Yahudi bergabung dengan pasukan Kristen, dan sisanya bergabung dengan
pasukan Murabitun menghadapi raja Alfonso VI dari Kastilia.

2. Melalui Andaluasia (Spanyol)


Islam Pernah 'Menguasai' Portugal Bila ditarik lebih ke belakang, Islam dan
Portugal sebenarnya memiliki sejarah yang panjang. Dan, sejarah itu berkaitan erat
dengan penguasaan kaum Muslimin di Andalusia antara abad 7 dan 8 M. Situs
wikipedia menyebutkan, tentara Islam pernah menaklukkan Portugal di bawah
pimpinan panglima Musa bin Nashir. Kaum Muslim kemudian menyebut wilayah itu
al Garb al Andalus (Andalusia Barat).
Penguasaan ini diteruskan oleh Abdul Aziz, putra Musa bin Nashir. Di bawah
kendalinya, tentara Islam secara bertahap menaklukkan kawasan yang lebih luas
sehingga Portugal takluk. Menurut situs historymedren, wilayah itu lantas dibagi dua
oleh tentara Islam, yakni yang berada di sepanjang Sungai Duoro dan Sungai Tagus.
Kawasan di Sungai Duoro beriklim dingin serta sulit membuka lahan perkebunan, dan
ini tidak disukai kaum Muslim. Ini berbeda dengan wilayah Sungai Targus yang
suhunya lebih hangat serta tanahnya subur.
Kaum Muslim kemudian mengonsentrasikan keberadaan mereka di sini dan
selanjutnya 'menghidupkan' kota-kota yang ada. Sebagian penduduk setempat pun
beralih ke agama Islam. Dan, oleh pemerintah kekhalifahan, beberapa tokoh
masyarakat (yang menjadi mualaf) diangkat menduduki jabatan di tingkat lokal.
Meski demikian, kaum Muslimin tetap memberikan kebebasan bagi penduduk yang
beragama non-Muslim. Orang-orang Yahudi tidak diusik, bahkan diberikan peranan
penting pada sektor perdagangan dan ekonomi.
Berangsur, wilayah al Garb al Andalus tumbuh dengan pesat di berbagai bidang.
Sekolah-sekolah yang mempelajari ilmu pengetahuan umum dan agama banyak
didirikan, ladang pertanian memberikan panen memuaskan, irigasi dibangun di
banyak tempat dan sebagainya. Pendek kata, kemakmuran tercipta. Tak hanya itu,
umat Islam juga mengenalkan seni arsitektur dan kaligrafi yang bernilai tinggi, dan
hal tersebut diterapkan pada sejumlah bangunan.
Bahasa Arab digunakan dalam komunikasi sehari-hari, baik di kota maupun di
desa. Sejarawan termuka, Al Idrisi, mengisahkan, ketika itu penduduk Kota Selpa
yang non-Muslim sekalipun, berbicara dengan bahasa Arab. ''Pengaruh itu masih bisa
dirasakan hingga kini, di mana terdapat sekitar 600 kosakata Arab yang diadopsi ke
dalam bahasa Portugis,'' urai situs historymedren .
Selama 250 tahun situasi kondusif berlangsung. Sampai memasuki paruh abad
ke-11, para penguasa lokal yang merasa sejahtera, tidak lagi setia kepada
kekhalifahan. Mereka membentuk raja-raja kecil, seperti di Badajoz, Merida, Lisbon,
dan Evora. Perpecahan terjadi. Situasi tersebut membuka peluang bagi kaum Visigoth
Kristen yang selama ini hidup di kawasan pegunungan untuk berkonsolidasi. Mereka
lantas melakukan ofensif dan berlanjut hingga lepasnya kekuasaan Islam di Andalusia.
3. Masuknya Islam ke Rusia
1. Masa Umar bin Khattab
Masuknya cahaya Islam di Rusia dimulai pada masa Umar bin Khattab dengan
perantara sahabat yang mulia Hudzaifah bin al-Yaman. Hudzaifah yang ditugaskan
berdakwah di Azerbaijan dan Armenia, terus berjuang menyebarkan Islam hingga
mencapai wilayah Dailam, Tibristan, dan Afganistan.
Penyebaran ini terus melebar hingga terjadi kontak dengan orang-orang Kaspia.
Pada tahun 115 H, salah seorang dai di wilayah tersebut yang bernama Rabi’ bin
Maslamahradhiallahu ‘anhu berhasil membangun masjid di daerah tersebut. Tentu
saja pembangunan masjid adalah strategi yang jitu untuk mempertahankan Islam di
wilayah baru ini.
2. Masa Daulah Umayyah
Pada masa pemerintahan Amirul Mukminin Muawiyah bin Abi
Sufyan radhiallahu ‘anhu, sahabat al-Hakam bin Amr al-Ghifari radhiallahu
‘anhu melintasi Sungai Jaihun dan masuk menguasai Uzbekistan pada tahun 50 H/67
M. Kemudian di masa berikutnya ada Said bin Utsman yang menginjakkan kakinya
di Samarkan, lalu Musa bin Abdullah bin Khozim menaklukkan negeri Imam
Tirmidzi, negeri Tirmidz pada tahun 70 H/689 M, kemudianQutaibah bin
Muslim menembus negeri-negeri Timur hingga sampai di Cina, Turkistan,
Turkmenistan, Tajikistan, dan Kyrgistan. Dengan kedatangan umat Islam ini, orang-
orang pun berbondong-bondong memeluk Islam tanpa paksaan dan tekanan sedikit
pun.
Dari tanah Arab, Islam pun diterima oleh semua pihak, diterima semua suku
dan entik, dan diterima oleh mereka yang miskin maupun kaya.
3. Masa Daulah Abasiyah
Era baru masuknya Islam di Rusia dipelopori oleh seseorang yang bernama
Ahmad bin Fadhlan, salah seorang utusan Daulah Abasiyah. Faktor terbesar yang
membuat Islam rata menyebar dari wilayah Cina hingga Laut Kaspia di masa ini
adalah faktor penduduk lokal yang telah memeluk Islam. Anak-anak pribumi (wilayah
Asia Teengah) mendakwahi saudara-saudara mereka yang masih menyembah patung
dengan perantara perdagangan. Dari sinilah muncul kisah tentang Ahmad bin Fadhlan.
4. Negara-negara di sekitar Laut Kaspia
Saat Islam mulai tersebar di kalangan penduduk Asia Timur dan wilayah
Balkan, orang-orang Balkan pun mengirim utusan kepada Khalifah Abasiyah,
Muqtadir Billah. Mereka mengajukan permintaan pengiriman seorang dai karena
keterbatasan sumber daya penduduk lokal yang mengetahui tentang syariat Islam.
Abasiyah pun mengirim Ahmad bin Fadhlan.
Ahmad bin Fadhlan terus giat mendakwahkan dan mengajarkan Islam di
wilayah tersebut. Ia mendatangi para penguasa Balkan, dan mengenalkan Islam
kepada mereka. Di antara buah dakwahnya yang paling signifikan adalah masuknya
Islam ke wilayah Kazan. Ahmad bin Fadhlan juga tidak lupa mencatat perjalan
dakwahnya ke negeri-negeri Rusia ini, dan tulisannya dijadikan rujukan utama para
sejarawan untuk mempelajari masa-masa tersebut.
5. Awal Masuk Islam ke Perancis
Sejak abad 8 M, Islam masuk ke kota-kota selatan Perancis melalui Spanyol ke
Toulouse, Narbonne dan sekitarnya hingga Bourgogne di tengah-tengah
Perancis. Namun baru pada abad 12 hingga abad 15 orang-orang Islam mulai
menempati kota-kota selatan Perancis yang terdapat di provinsi Roussillon,
Languedoc, Provence, Pay Basque Perancis termasuk Bearn. Hal ini berlangsung
secara bertahap dan puncaknya adalah ketika terjadi pengusiran besar-besaran
terhadap muslim Spanyol pada peristiwa Reconquista di bawah Raja Ferdinand II dan
istrinya Ratu Isabelle pada tahun 1492 M. Namun baru pada pada abad ke-20, Islam
berkembang dengan sangat pesat di daratan Eropa. Perlahan-lahan, masyarakat di
benua biru yang mayoritas beragama Kristen dan Katholik ini mulai menerima
kehadiran Islam. Tak heran bila kemudian Islam menjadi salah satu agama yang
mendapat perhatian serius dari masyarakat Eropa.
Di Perancis Islam berkembang pada akhir abad ke-19 dan awal ke-20
M. Sebelum Islam masuk ke Perancis yang berada di benua Eropa yang terkenal
sebagai benua tempat umat pemeluk agama Kristen terbesar di dunia. Perancis masih
di bawah pimpinan raja-raja yang beragama Kristen. Dan pada saat itu pemerintah
melarang umat Islam masuk ke Perancis. Hal ini disebabkan kekhawatiran pemerintah
Perancis terhadap umat Islam akan melakukan pemberontakan dan merebut salah satu
wilayah Eropa terbesar.
Akan tetapi pada masa kejayaan Bani Abbasiyah, pinggiran-pingiran benua
Eropa yang telah di rebut oleh kerajaan Yunani dari masa pemerintahan Bani
Umayyah di pukul mundur, hingga ekpansi tentara Islam pada saat itu kembali
menguasai bagian pinggiran Eropa. Kemudian gerakan pasukan muslim pada saat itu
yang berada di daratan Turki mampu merebut kawasan Spanyol dan Perancis. Dan
disinilah awal mula masa keemasan umat Islam di kawasan Eropa. Umat Islam yang
berada di kawasan Eropa pada saat itu tidak khawatir lagi atas keberadaan tempat
tinggalnya di Eropa.
Dan pada masa keemasan ini para ilmuwan-ilmuwan Arab bebas masuk ke
bagian Spanyol, Cordova, Sisilia, Perancis dan negara-negara di bagian Eropa barat.
Dan pada saat itu pengetahuan umat Islam di Eropa khusunya di wilayah Perancis
sangat berkembang pesat, baik itu di bidang politik, ekonomi, filsafat, kedokteran dan
lain
6. Awal Masuk Islam ke Denmark
Di negara Denmark yang terletak di ujung utara Eropa, Islam memang bukan
agama mayoritas. Sebab, negara yang berpenduduk sekitar 5 juta jiwa ini, Islam
adalah agama kedua setelah Kristen Protestan. Kendati demikian, “nyala api”
perkembangan Islam yang dibawa oleh para Imigran dari berbagai negara semakin
berkobar seperti nyala lilin yang menerangi ruangan di tengah malam. Kendatipun
perkembangan itu telah menunjukkan bahwa Islam adalah sebuah agama yang diakui
kerajaan dan dijamin adanya “kebebasan menjalankan ajaran agama” seperti yang
ditetapkan UU Denmark, toh tetap ada diskriminasi dan perlakuan tidak adil yang
diterima umat Islam Denmark. Akibatnya, itu jadi riak-riak kecil yang menuntut umat
Islam Denmark harus teguh memegang agama dan menjadikan tantangan tersendiri
untuk terus mengibarkan bendera Islam di negara yang besarnya kurang lebi 1/3
pulau Jawa.
Sejarah selanjutnya mencatat, Denmark yang terletak di ujung Utara Eropa
didatangi para tamu sebagai imigran. Sebenarnya, waktu itu tak cuma Denmark yang
menjadi tempat datangnya para imigran karena di semua dataran Eropa, juga
mendapatkan tamu yang sama. Lama-kelamaan jumlah kaum imigran itu kian banyak
dan bersamaan itu agama-agama minoritas mulai tumbuh, seperti Islam, Katolik,
Yahudi, Hindu dan Budha. Di antara agama kaum monoritas itu, Islam menduduki
peringkat ke-2 setelah Katolik. Saat itu, diperkiraan jumlah pemeluk Islam 100 ribu
jiwa, sementara Katolik sekitar 350 ribu.
Waktu itu pemerintah Denmark memang mengizinkan import tenaga kerja
asing yang dibutuhkan sebagai pekerja kasar dan mayoritas berasal dari Turki, negara-
negara eks-Yugoslavia, Maroko dan Pakistan. Jumlah dari imigran itu makin
bertambah setelah anggota keluarga yang lain menyusul untuk berimigrasi. Setelah
melihat adanya gelombang imigran yang kian banyak, sekitar tahun 1970-an
pemerintah Denmark mulai bersikap lain. Jika pada awal mulanya bersikap lunak,
kemudian berubah menjadi keras. Rupanya, hal itu berdampak besar kepada kaum
pekerja. Banyak pekerja asing pun harus menelan ludah, kehilangan pekerjaaan.
Selain itu, dihembuskan sikap takut pada agama Islam. Apalagi fakta menunjukkan
bahwa hampir semua kaum muslim di sana hidup miskin dan tidak punya mata
pencaharian. Rupanya, hasutan itu berhasil. Akibatnya, warga setempat menganggap
kaum muslim sebagai penyebab dari timbulnya huru-hara dan masalah sosial.
Selanjutnya, pada tahun 80-an gelombang kedua imigran muslim menjejakkan
kaki ke Denmark. Imigran kedua itu sebagian besar berasal dari Palestina, Iran, Irak,
Bosnia, Somalia serta Afganistan. Jadi, muslim Denmark berasal dari beragam etnis.
Juga, berbeda dengan gelombang pertama yang dipicu untuk mencari kerja,
gelombang kedua lebih disebabkan karena alasan mencari selamat dari kecamuk
perang yang terjadi di negara-negara mereka.
Berdasarkan UU negara tahun 1536, sudah seharusnya negara menjamin
kebebasan beragama dan menghormati pelaksanaan ibadah berdasarkan dengan
keyakinan yang mereka anut. Tapi kenyataan di lapangan tak seperti yang tertulis di
atas kertas. Jadi, sebagai agama resmi negara, Lutherian Evangelis memperoleh
banyak kemudahan dibanding agama lain.
Melalui Albania (wilayah Balkan)
Posisi geografis Balkan merupakan salah satu faktor utama dan yang membuka
peluang pengenalan rakyat Balkan kepada agama Islam. Pengenalan mereka kepada
Islam ini bermula dari Albania. Islam, setelah melalui perjalanan panjang, terpecah
menjadi dua; Sunni Hanafie dan Bektashi. Ketika sampai pada invasi Kekaisaran
Ottoman di abad 14, dan Islam mulai diperkenalkan. Perang Balkan (1912-1913)
memaksa Ottoman mundur dari semua wilayah jajahannya di daratan Eropa, kecuali
Thracia Barat di Yunani. Albania tertinggal sendirian dengan statusnya sebagai satu-
satunya negara Islam di pinggir peradaban Eropa. Selepas perang Balkan, Perang
Dunia I melenyapkan harapan Albania untuk menjadi negara stabil di bawah prinsip-
prinsip Islam. Tahun-tahun berikutnya, Albania menjadi jajahan Serbia, Montenegro,
dan protektorat sekutu. Sementara di Turki, Kemal Ataturk memulai de-Islami-sasi
dan membawa negaranya menjadi republik sekuler diantaranya dengan banyaknya
pedagang Islam yang datang.
7. Awal Masuk Islam ke Denmark
Islam mulai tersentuh di Inggris sekitar abad 16 namun mulai berkembang
sekitar abad 18. Awal masuknya islam ke Inggris berawal dari imigran dari Yaman,
Gujarrat, dan negara timur tengah lainnya. Setelah dibukanya terusan Suez pada tahun
1869 dan sejalan dengan meluasnya ekspansi kolonial Inggris, para pendatang muslim
itu semakin lama semakin banyak dan mulai membentuk pemukiman baru di kota-
kota pelabuhan seperti Cardiff Shout Shields (Dekat Newcastle), London, dan
Liverpool. Lama kelamaan umat muslim yang berada di inggris membuat masjid
untuk beribadah mereka, walaupun hanya beberapa masjid yang baru di bangun. Umat
muslim yang berada di inggris juga banyak melakukan kegiatan sosial dan
partisipasinya di dalam universitas yang ada di inggris.
Organisasi-organisasi islam juga mereka ciptakan di negri inggris,
diantaranya organisasi jamaat al-islam, The Muslim Brotherhood, The Union of
Muslim Organization, The Federation of Student Islamic Societis (FOSIS) dan masih
banyak lagi.
8. awal Masuk islam ke Inggris
Pada abad XVI-XVII kekuatan armada laut Muslim sangat mendominasi laut
Mediterranean. Ekspansi Muslim telah mencapai Istanbul sebagai pusat
imperium Turki Usmani, Aleppo sebagai jalur penting, Beirut sebagai pelabuhan
besar yang disinggahi kapal-kapal Eropa, Jerusalem sebagai kota yang banyak
diminati para peziarah; Cairo sebagai kota pusat perdagangan; dan Fez sebagai kota
yang sangat maju dan terkenal pada saat itu. Ketika armada Spanyol dipandang
sebagau ancaman yang menghantui Inggris, Ratu Elizabeth pada pertengahan tahun
1580 tidak ragu-ragu untuk meminta Sultan Murad (penguasa Turki Usmani)
membantu armada laut Inggris melawan orang-orang Spanyol. Ketimbang dengan
negara-negara Eropa, Inggris lebih menyukai menjalin hubungan perdagangan secara
luas dengan negeri-negeri Muslim.
Orang Inggris yang pertama kali memeluk Islam yang namanya tetap bertahan
dalam catatan sumber-sumber literatur Inggris seperti The Voyage Made to Tripoli
(1583) adalah John Nelson. Ia adalah putera perwira rendah anggota pasukan
pengawal Ratu Inggris.
Pada tahun 1636 telah dibuka jurusan bahasa Arab pada Universitas Oxford.
Dan diketahui bahwa Raja Inggris Charles I telah mengoleksi manuskrip-manuskrip
yang berbahasa Arab dan Persia. Perpustakaan Bodleian di Oxford memiliki
manuskrip surat al-Walid (Sultan Maroko) yang ditujukan kepada Raja Charles I.
Kekacauan perang sipil mungkin menjadi pendorong beberapa orang Inggris
untuk memutus hubungan tradisi yang baik, sehingga sebuah catatan yang dibuat
tahun 1641 dengan mengacu kepada sebutan “sebuah sekte penganut Muhammad” (a
sect of Mahomatens) dinyatakan “telah ditemukan di sini, di London”. Pada sekitar
tahun 1646 Raja Charles diasingkan ke Oxford setelah dikepung oleng angkatan
bersenjata pimpinan Cromwell. Pertempuran terburuk pecah dan berakhir pada
kekalahan pasukan yang setia kepada raja. Pada bulan Desember 1648, Dewan
Mechanics dari New Commonwealth menyuarakan sebuah toleransi bagi berbagai
kelompok agama termasuk Muslim. Setahun kemudian, 1649, terjadi even penting
dalam perjalanan sejarah Muslim di Inggris di mana Al-Quran untuk pertama kalinya
diterjemahkan di Inggris oleh Alexander Ross dan kemudian dicetak. Pencetakan itu
sampai menghasilkan edisi kedua. Fakta ini membuktikan bahwa terjemahan al-Quran
mengalami jangkauan sirkulasi yang luas di kalangan masyarakat Inggris.
Ketika Cromwell menjadi penguasa tunggal Inggris di tahun 1649, acuan
kepada Islam dan kaum Muslim menjadi bagian dari diskusi yang menggejala pada
saat itu. Musuh-musuh Cromwell menyerang kaum revolusioner karena mereka tidak
menaruh respek kepada para pendeta dan menolak ajaran dan pendapat resmi petinggi
Gereja Anglikan. Musuh-musuh Cromwell mencemooh dengan mengatakan,
“Sungguh, jika pengikut-pengikut Kristiani mau bahkan rajin membaca dan
mengamati hukum dan sejarah Muhammad, mereka boleh jadi merasa malu ketika
melihat betapa tekun dan bersemangat para pengikut Muhammad dalam mengerjakan
ketaatan kewajiban, kesalehan dan amal ibadah; betapa tulus ikhlas, suci dan
takzimnya di dalam masjid, begitu taat kepada para ulama mereka. Bahkan orang
Turki terhormat sekalipun tidak akan mencoba melakukan sesuatu tanpa berkonsultasi
dengan muftinya.” Kaum revolusioner dikritik karena mereka hanya mengikuti
otoritas-otoritas keagamaan yang dideklarasikan oleh mereka sendiri. Sementara,
sultan sekalipun sangat memperhatikan nasihat-nasihat mufti dalam persoalan
keagamaan. Penulis-penulis lain yang tidak menaruh simpati kepada revolusi
Cromwell membandingkan para profesor agama orang-orang Turki dengan kaum
puritan Cromwell. Dan layak diketahui bahwa di kalangan orang dekat Cromwell
terdapat orang-orang hebat seperti Henry Stubbe, sarjana ahli bahasa Latin, Yunani,
dan Hebrew, dan terdapat pula sahabat Cromwell yang lain, Pocock, seorang profesor
yang ahli bahasa Arab di Oxford.
Cromwell dan sekretarisnya, John Milton, menunjukkan keakrabannya kepada
al-Quran. Hal itu tergambar dalam sebuah surat yang dikirimkan kepada penguasa
Muslim Al-Jazair di bulan Juni 1656. Dalam suratnya Cromwell menyatakan:
“Cromwell mengharapkan pihak yang dikirimi surat agar mematuhi persetujuan
dagang antara kedua negara karena tabaiat agama Islam adalah ‘kami sekarang, pada
saat ini, merasa perlu untuk menyukai Anda yang telah memaklumkan diri Anda
sendiri sampai saat ini dalam segala hal untuk menjadi orang yang mencintai
kebenaran, membenci kebatilan, mematuhi amanah dalam perjanjian.’ Kata-kata
terakhir menegaskan deskripsi yang tepat mengenai Islam sebagai sebuah agama yang
mengajak kepada kebenaran dan menanggalkan perbuatan batil.” Cromwell banyak
mengutip teks-teks al-Quran dalam berkomunikasi melalui surat. Tidak hanya
ditujukan kepada kaum Muslim di seberang lautan, tetapi juga orang-orang Kristen
yang tinggal di England dan kepulauan Inggris selebihnya.
Ilmuwan dari Universitas Cambridge, Isaac Newton, tercatat sebagai orang
sangat dipengaruhi oleh pemikiran sarjana Muslim Arab. Pada tahun 1674, dengan
penuh resiko dan keberanian menolak untuk berpegang pada ajaran suci trinitas.
Michael White, penulis biografi Newton menyatakan, Newton secara fanatik
menentang konsep trinitas.
Pada abad XVII teks-teks berbahasa Arab dalam bidang matematika, astronomi,
kimia dan kedokteran merupakan tema sentral bagi program pendidikan yang lebih
tinggi di Inggris. Untuk memperoleh akses kepada pengetahuan lebih lanjut pada saat
itu, bukan hanya penerjemahan yang dimulai di Oxford dan Cambridge, tetapi juga
persiapan untuk melatih sebuah generasi sarjana yang ahli berbahasa Arab. Seorang
pengunjung di Westminster School mencatat dalam buku hariannya, “Saya
mendengar dan melihat sejenis latihan pada pemilihan para sarjana di Westminster
School untuk dikirim ke Universitas, baik yang berbahasa Latin, Yunani, Hebrew
maupun Arab.
Kemampuan linguistik sangat penting karena menurut Isaac Borrow, profesor
matematika Cambridge, penguasaan bahasa Arab perlu untuk penguasaan lebih lanjut
pengetahuan-pengetahuan tersebut. Para tokoh intelektual Muslim yang kenamaan
dikenal dengan nama-nama mereka yang sudah “berbau” Inggris: Alfarabi, Algazel,
Abensina, Abenrusd, Abulfeda, Abdiphaker, Almanzor, Alhazen. Water Salmon
termasuk di antara mereka yang menyusun ilmu fisika praktis (1692) dari ‘Geber
Arab’, atau ahli kimia, Jabir bin Hayyan. Robert Boyle (ahli kimia yang dikenal oleh
setiap siswa sekolah) mempelajari sains dari literatur berbahasa Arab dengan tujuan
agar mampu menghadapi tantangan dari konsepsi tradisional dalam pengetahuan
kontemporer. Newton mewariskan lebih dari sejuta kata dalam subyek kimia dengan
kata-kata asli berbahasa Arab.
Sejarah Peradaban Islam Mulai Abad 18
Imigrasi muslim ke Inggris mulai berlangsung pada akhir abad ke-18 dan awal
abad ke-19 melalui pendaratan para pelaut yang direkrut oleh East India Company
(Perusahaan India Timur) dari Yaman, dan Gujarrat.
Saat awal imigran muslim India dan Pakistan menetap di Inggris,pengaruh
warisan kultural kerajaan dan struktur politik Negara setempat yang saling
mendukung memperkuat dorongan Negara komunalisme. Selama hampir satu abad,
umat islam harus belajar hidup dengan status minoritas dan jauh dari kekuasan politik
di anak benua India, masyarakat inggris pasca perang memberi ruang bagi identitas
kebangsaan yang paralel.
Setelah dibukanya terusan Suez pada tahun 1869 dan sejalan dengan meluasnya
ekspansi kolonial Inggris, para pendatang muslim itu semakin lama semakin banyak
dan mulai membentuk pemukiman baru di kota-kota pelabuhan seperti Cardiff Shout
Shields (Dekat Newcastle), London, dan Liverpool. Komunitas muslim di negara itu
memiliki akar budaya yang berbeda satu sama lain. M. Ali Kettani, dalam bukunya
"Minoritas Muslim di Dunia Dewasa Ini" mengatakan imigran pertama ke Inggris
adalah orang Yaman dari Aden. Mereka menghimpun diri di Cardif dan di situ
membangun salah satu masjid pertama di negeri itu pada tahun 1870. Sebelum
pergantian abad, datang kelompok muslim lain dari India dan menetap di dekat
London, di sana mereka membangun masjid Shah Jehan di Woking.
Sekitar abad ke-19, sejumlah pengusaha muslim juga telah berniaga ke
kerajaan Inggris. Salah satunya adalah perusahaan terkenal "Mohamed’s Baths” yang
didirikan oleh Sake Deen Muhamed (1750-1851). Selain pekerja dan pedagang, pada
akhir abad ke-19 mulai masuk juga kelompok intelektual ke Inggris. Hal ini terlihat
tatkala pada periode antara 1893 hingga 1908, sebuah jurnal mingguan bernuansa
Islami dengan nama "The Cresent", mulai disebarkan di Liverpool. Pendiri jurnal ini
adalah seorang muslim keturunan bangsawan Inggris yang bernama William Henry
Quilliam, yang ditengah komunitas muslim dikenal sebagai Syekh Abdullah Quilliam,
yang berprofesi sebagai pengacara. Dia masuk Islam pada tahun 1887 setelah lama
bermukim di Aljazair dan Maroko. william Henry Quilliam (Syekh Abdullah
Quilliam) bahkan memelopori pembangunan sebuah masjid yang sangat aktif dan
menjadi pusat dakwah di wilayah Inggris.
Pola distribusi pemukiman muslim tidak merata, baik secara geografis maupun
etnis. Kendati demikian, ada konsentrasi tertentu, misalnya penduduk muslim India di
West Midlands, Arab dan Iran di Cardif Liverpool, dan Birmingham. Turki-Cyiprus
di wilayah Timur London, serta Pakistan dan Bangladesh di Bradford. Begitu
signifikannya komunitas muslim Pakistandan Bangladesh itu di Bradford, sampai
orang menyebutnya kota ini sebagai Islamabad-nya Inggris. Dari perspektif mazhab,
muslim di Inggris mayoritas bermazhab Hanafi, sisanya Syaf i, Ja'fari atau Ismaili.

9. Islam Masuk ke Swiss


Masuknya Islam ke Swiss dimulai saat para pelaut Muslim dari Andalusia
(Spanyol) membangun sebuah negeri di Perancis Selatan. Kemudian para pelaut
Muslim itu menaklukkan negeri-negeri di sana menuju ke arah utara, sehingga pada
tahun 939 M/321 H sampailah merekan ke wilayah St. Gallen di Swiss. Lalu, mereka
memindahkan armadanya ke sana dengan tujuan untuk mengamankan Andalusia.
Salah satu caranya dengan membangun berbagai menara pengintai dibeberapa tempat
di pegunungan Alpen. Bahkan sebagian wilayah pegunungan Alpen ini akhirnya
dikuasai oleh pasukan Islam, sehingga memudahkan mereka untuk masuk ke wilayah
itu dari arah laut.
Raja Teutons yang menguasai Jerman saat itu pernah mengirimkan utusannya
kepada raja Abdurrahman An-nasir pemimpin kerajaaan Islam Andalusia untuk
membicarakan keberadaan tentara Islam di wilayah St. Gallen. Setelah dinasti Islam
di Andalusia runtuh, sebagian umat Islam di sana kembali berhijrah untuk
menyelamatkan diri dari penyiksaan tentara Kristen, mereka memasuki wilayah Swiss
selatan dan memutuskan untuk menetap di sana. Mereka bergabung dan menyatu
dengan penduduk setempat.
Di pertengahan abad ke-14 Hijriah, Swiss kembali menjadi tempat hijrahnya
umat Islam. Sebagian kecil umat Islam mengungsi ke sana setelah Perang Dunia II
berkecamuk. Berkat kebaikan akhlak dalam menyebarkan nilai-nilai Islam, beberapa
penduduk asli Swiss memeluk agama Islam. Seorang yang termasuk dalam golongan
pertama masuk Islam adalah penyair Swiss Frithjof Schuon, sebelumnya ia menganut
sebuah agama di Perancis yang beraliran kependetaan. Karena minatnya yang besar
kepada Islam ia memutuskan untuk pindah ke Aljazair dan mengucapkan syahadat di
sana. Setelah mempelajari Islam ia kembali ke Swiss sambil terus mendakwahkan
agama barunya itu. Setelah masuk Islam ia dikenal dengan nama as-Shaykh `Isa Nur
al-Din Ahmad al-Shadhili al Darquwi al-Alawi al-Maryami. Dari tangan dinginnya
ada beberapa warga Swiss yang menyatakan memeluk Islam.

D. Pengaruh Peradaban Islam di Eropa


1. Orang-orang Yahudi yang menderita dan terhina oleh Penguasa Ghatia diperbolehkan
bergerak di sektor perdagangan dan terlindungi di bawah pemerintah Islam.
Bangsa Arab telah memperlakukan mereka yang selama ini hidup dan tertekan
dengan baik, sehingga pada masa pemerintahan Islam mereka memperoleh dan
menikmati hak-hak sipil secara luas.
2. Pengaruh ilmu pengetahuan dan peradaban Islam di Eropa yang berlangsung abad 12
M itu menimbulkan gerakan kebangkitan kembali (renaissance) pusaka Yunani di
Eropa abad ke 14 M. berkembangnya pemikiran Yunani di Eropa ini melalui
terjemahan-terjemahan Arab yang dipelajari dan diterjemahkan kembali ke dalam
bahasa latin.

E. Bukti Peradaban Islam di Eropa


1. Bukti pertama yaitu adanya berbagai buku yang diterjemahkan dari bahasa arab ke
bahasa latin, bahasa Thalia dan Ibrani.Buku-buku yang mereka nukilkan adalah ilmu
filsafat, ilmu kedokteran, (buku-buku Ibnu sina dan Ar-Razi yang sudah
diterjemahkan). Ibnu Sina dan Razi menjadi referensi kuliah kedokteran di Paris
bahkan lebih dari itu teori-teori Ibnu Khaldun yang menjadi peletak dasar ilmu sosial
masih dikenal di kampus-kampus Eropa sampai sekarang.
2. Bukti kedua, yakni adanya kata yang berasal dari bahasa Arab dan masih digunakan
sampai sekarang. Antara lain: Chiffre adalah kata yang berasal dari bahasa Arab yakni
‫( صفر‬nol), berarti penomoran dari arab. Admiral atau Amiral kata dari ‫أمير البحر‬
(pemimpin laut), Cable yaitu ‫( الحبل‬kabel), dsb.
3. Bukti bukti lain antara lain musik dan kesenian, arsitek bangunan, pertanian dan
perdagangan serta ilmu peta. Untuk pembangunan fisik yang paling menonjol adalah
pembangunan kota, istana, masjid dan taman-taman. Di antara bangunan yang megah
adalah masjid Cordova, kota al-Zahra, masjid Sevile, istana al-Hamra di Granada,
istana al-Makmun, tembok toledo dan istana Ja’fariyah di Saragosa.

Daftar referensi:

As-Siba’i Mustafa, Peradaban Islam Dulu, Kini dan Esok. Gema Insani Press, Jakarta : 1993
Yatim Badri, Sejarah Peradaban Islam, PT: Gravindo Persada : 2003

Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta, Kencana. 2005


Dean Derhak, Muslim Spain and European Culture, dalam http://www.muslimheritage.com
Philip K. Hitti, History of the Arab, London, Macmillan Press, 1970
Ahmad Syalabi, Mausu’ah al-Tarikh al-Islami wa al-Hadharah al-Islamiyah, jilid 4, (Kairo:
Maktabah al-Mishriyah, 1979)

Anda mungkin juga menyukai