Anda di halaman 1dari 3

Kala Wabah Menjadi Sekutu Aceh Dalam Melawan Belanda

Oleh: Muhammad Lazuardi Krisantya

Invasi Belanda ke Aceh atau Perang Aceh telah berlangsung selama dua belas tahun, dan
belum ada tanda-tanda bahwa ia akan segera berakhir. Pasukan Belanda masih terjebak dalam
sikap defensif akibat hebatnya perlawanan dari pasukan Aceh. Sejak tahun 1878, pemerintah
kolonial Hindia Belanda telah menempatkan seorang gubernur di Kutaraja (Banda Aceh) untuk
mengepalai wilayah pendudukan mereka. Namun, Belanda belum mampu menguasai seluruh
Aceh, malah hanya bisa menduduki sebagian kecilnya saja, khususnya di Kutaraja dan wilayah
Aceh Besar. Sebaliknya, Kesultanan Aceh Darussalam tetap berstatus sebagai sebuah negara
merdeka dengan pemerintahan dan militer yang solid, yang masih mampu mengendalikan
sebagian besar wilayah kekuasaannya dengan kokoh.

Saat itu, situasi di medan perang terlihat buruk bagi Belanda. Sejak tahun 1883, gerakan
ofensif pasukan Aceh semakin mengancam kedudukan mereka. Sultan Muhammad Daud Syah II
(1873-1903) yang beristana di Keumala, mengirimkan Teungku Cik di Tiro – seorang ulama
berpengaruh dan salah satu pemimpin militer Aceh terpenting – untuk mengomandani gerakan-
gerakan itu. Pasukannya menyerang wilayah Tiga Sagi di Aceh Besar dan berhasil merebut
kembali sebagian besarnya. Mereka juga menggempur Samalanga dan Lhokseumawe, dua pos
Belanda yang tersisa di luar wilayah itu, dan berhasil memaksa garnisun-garnisun Belanda di
sana untuk meninggalkannya.

Harapan akan kemenangan atas Aceh tampaknya semakin jauh meninggalkan Belanda.
Dan memang benar. Pada tahun 1885 inilah, pasukan Belanda menyaksikan dan merasakan salah
satu episode terburuk mereka dalam hikayat Perang Aceh. Sebuah penyakit yang masih asing
bagi orang Eropa saat itu, mulai menyebar. Penyakit ini adalah beri-beri, yang mewabah di
Sumatera pada dekade 1870an-1910an. Bermula di Padang pada 1873, saat separuh awak kapal
Hertog Bernard yang berlabuh di kota itu terjangkiti olehnya, beri-beri dengan cepat menyebar
ke seluruh Sumatera. Ia akhirnya sampai di Aceh pada 1885, yang segera menjadi daerah dengan
korban terbanyak. Kutaraja menjadi episentrum wabah ini. Serdadu-serdadu Belanda yang
bermarkas di sana menjadi korban utama yang terjangkiti dan terbunuh olehnya.

Wabah beri-beri melemahkan kekuatan militer Belanda, yang terpaksa membatasi


kegiatan mereka di luar Kutaraja. Pada 1885, kurang lebih 35% dari total pasukan Belanda di
Aceh menderita beri-beri. Saat wabah semakin mengganas setahun kemudian, ada lebih dari
6000 orang Belanda yang terinfeksi, dengan 800 di antaranya meninggal dunia. Saking
banyaknya, sampai-sampai Rumah Sakit Pante Perak di Kutaraja – rumah sakit terbesar dan
termodern di Hindia Belanda saat itu – tak mampu menampung seluruh korban wabah itu.
Sebagian pasien pun terpaksa dikirimkan ke rumah sakit di Padang. Bahkan, Gubernur Belanda
di Aceh saat itu, Kolonel Henry Demmeni (1884-1886) tampaknya juga ikut menjadi korban
beri-beri. Ia jatuh sakit saat masih berkedudukan di kantornya, mendorongnya untuk meminta
pensiun kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Pada Desember 1886, penyakitnya semakin
parah sehingga ia memutuskan untuk berobat ke Padang. Namun, ia keburu wafat di tengah
perjalanan. Kematian sang gubernur barangkali merupakan kerugian terbesar yang diderita
Belanda akibat wabah ini.

Selain beri-beri, pasukan Belanda juga dihantui penyakit tropis lainnya. H.A.A. Niclou
dalam laporannya, Beri-beri te Atjeh (1887) menyatakan bahwa “Di Aceh sangat banyak korban
yang jatuh akibat penyakit kolera, demam, dan disentri, baik yang sakit ataupun meninggal
selama operasi militer ... kerugian besar diderita karena penyakit dan wabah ini, terutama di
daerah di mana ekspedisi dilakukan, yang mana tidak dipersiapkan perawatan dan tenaga
kesehatan.” Wabah beri-berilah yang memberikan dampak terburuk. Dicatatkan bahwa hampir
separuh dari seluruh serdadu Belanda di Aceh meninggal karena beri-beri.

Melemahnya kekuatan Belanda akibat serangan wabah dimanfaatkan dengan baik oleh
pihak Aceh. Pertama-tama, Teungku Cik di Tiro menawarkan perdamaian dengan mengirim
sepucuk surat kepada Gubernur Belanda di Kutaraja. Di dalam surat itu, ia menyatakan bahwa
orang Aceh bersedia berdamai apabila orang Belanda mau memeluk Islam. Usaha ini gagal,
karena surat itu tak pernah ditanggapi. Akhirnya, pasukan Aceh pun memilih jalur militer.
Mereka melancarkan serangan beruntun terhadap pos-pos pendudukan Belanda.

Di front timur, pasukan Aceh yang bermarkas di Langsa dan Manyak Payed menyerang
teritori Belanda di Karesidenan Sumatera Timur. Pasukan pimpinan Teuku Nyak Makam ini
membumihanguskan perkebunan-perkebunan Belanda di Seruway, Pulau Kampai, dan Besitang.
Wilayah-wilayah kejuruan (negeri) di Tamiang dan Langkat yang sebelumnya telah tunduk
kepada Belanda, menyeberang kembali ke pihak Aceh dan membantu pasukan Teuku Nyak
Makam. Daerah-daerah itu pun kembali bernaung di bawah kedaulatan negara Aceh. Di sisi lain
front timur, Haji Ben Abaih memimpin serangan rakyat terhadap benteng Belanda di Idi Rayeuk
sepanjang Mei 1885 sampai Mei 1889, dan mampu mendesak garnisun Belanda di sana.

Di front barat, pada 1887, Teungku Cik di Tiro dan 400 prajurit Aceh menggempur garis
pertahanan Belanda di Kuala Meusapi dan Rajabedil (Kuta Pohama) di Aceh Besar. Mereka
bertempur melawan pasukan Belanda pimpinan Kapten G.J. Albert Webb. Sementara itu, Teuku
Nyak Makam dan pasukannya melanjutkan operasi militer mereka di Sumatera Timur.
Pasukannya berturut-turut menggempur Pangkalan Susu, Langkat Hilir, hingga Serapuh di
Langkat Hulu. Mereka juga menyerang pasukan Belanda yang berusaha merebut kembali
Seruway dan Pulau Kampai.

Meningkatnya aktivitas ofensif pasukan Aceh ini terjadi bersamaan dengan semakin
banyaknya serdadu Belanda yang menjadi korban beri-beri. Saat moral pihak Belanda turun, hal
yang sebaliknya dirasakan oleh pihak Aceh. Tahun 1886 menjadi puncak kemenangan militer
Aceh, karena saat itulah mereka berhasil menaklukkan kembali seluruh wilayah kesultanan yang
telah diduduki oleh Belanda (kecuali Kutaraja dan Kepulauan Weh) dan bahkan mampu merebut
sebagian kekuasaan Belanda di Sumatera Timur. Rangkaian kemenangan gemilang ini tak lepas
dari mengganasnya wabah beri-beri yang berdampak besar terhadap melemahnya kekuatan
Belanda. Dengan kata lain, dapat dinyatakan bahwa wabah itu telah menjadi “sekutu” bagi
Kesultanan Aceh dalam mempertahankan kemerdekaannya melawan invasi yang dilancarkan
oleh Kerajaan Belanda.

Wabah beri-beri berangsur-angsur lenyap pada dekade 1890an, seiring dengan


keberhasilan Belanda dalam meminimalisir penyebarannya pasca dirilisnya hasil riset Christiaan
Eijkman terkait penyakit itu pada 1896. Lima tahun sebelumnya, dua peristiwa penting terjadi.
Teungku Cik di Tiro wafat, dan Snouck Hurgronje memulai kegiatan spionasenya di Aceh.
Keadaan mulai berbalik. Aktivitas ofensif pasukan Aceh mengendur, berkebalikan dengan
pasukan Belanda yang mulai naik kembali moralnya. Perang Aceh pun memasuki babak
akhirnya, namun ia masih akan terus berlangsung hingga beberapa dekade kemudian.

Sumber:

Alfian, Ibrahim. (2016). Perang di Jalan Allah: Perang Aceh 1873-1912. Yogyakarta: Ombak.

Arsa, Dedi. (2015). Penyebaran Wabah dan Tindakan Antisipatif Pemerintah Kolonial di
Sumatra’s Westkust (1873-1939). Turāst: Jurnal Penelitian & Pengabdian. 3(2): 157-164.

Firdaus, “Wabah di Tengah Perang Aceh”, sinarpidie.co, sinarpidie.co/news/wabah-di-tengah-


perang-aceh/index.html (diakses pada 4 Agustus 2020).

Firdausi, Fadrik Aziz, “Christiaan Eijkman, Mantan Dokter Militer Menguak Misteri Beri-Beri”,
Tirto.ID, tirto.id/christiaan-eijkman-mantan-dokter-militer-menguak-misteri-beri-beri-ekPW/
(diakses pada 4 Agustus 2020).

Said, Mohammad. (1985). Aceh Sepanjang Abad Jilid II. Medan: Waspada.

Anda mungkin juga menyukai