Kuwait telah dihuni oleh manusia modern sejak kurang lebih tahun 8000-
7000 SM. Bukti arkeologis berupa sisa-sisa keramik Zaman Perunggu telah
ditemukan di Tell Sa’id di Pulau Failaka, menunjukkan bahwa penduduk Kuwait
telah mempunyai kebudayaan yang cukup maju. Sejak tahun 6500 SM, mereka
telah melakukan perdagangan dengan peradaban-peradaban lain di sepanjang
Teluk Persia, terutama dengan kerajaan-kerajaan Mesopotamia di Irak. Temuan
sisa-sisa pemakaman kuno juga menunjukkan telah adanya kontak rutin dengan
Peradaban Lembah Indus di Asia Selatan. Artefak lain yang tak kalah penting
adalah bangkai-bangkai kapal, yang menunjukkan bahwa penduduk Kuwait saat
itu merupakan masyarakat maritim. Nyatanya, mereka adalah salah satu kelompok
manusia terawal yang diketahui dalam mengembangkan gaya hidup maritim,
bersama orang Austronesia di timur dan Yunani di barat. Kebudayaan awal di
Kuwait ini dikenal dengan nama Kebudayaan Ubaid, yang pusat utamanya terletak
di Kuwait bagian utara, yakni di daerah as-Sabiyah. Di daerah ini, ditemukan pula
bukti-bukti awal urbanisasi di kawasan Teluk Persia.
Antara tahun 4000 SM dan 600 SM, Kuwait merupakan salah satu wilayah
pengaruh dari Peradaban Dilmun, yakni suatu jaringan peradaban yang terbentang
di sepanjang pantai timur Semenanjung Arab, dari Qatar dan Bahrain sampai al-
Hasa (pesisir timur Saudi Arabia) dan Kuwait. Pada puncak kejayaannya sekitar
tahun 2000 SM, Peradaban Dilmun mengontrol jalur perdagangan di Teluk Persia
yang menghubungkan Mesopotamia dengan India. Kuwait merupakan kawasan
perbatasan utara dari Dilmun, yang membatasi peradaban itu dengan kerajaan-
kerajaan di Mesopotamia. Dilmun mengontrol wilayah Kuwait melalui pulau-
pulaunya, yakni Failaka, Shuwaikh, dan Umm an-Namil. Di pulau-pulau ini, hadir
pula pos-pos dagang milik orang Sumeria dari kota Ur di Irak. Perdagangan kuno
di Teluk Persia mencapai puncaknya sekitar tahun 2300 SM, ketika Raja Sargon
dari Akkadia berhasil menyatukan seluruh daratan Mesopotamia. Ia mempererat
hubungan dagang kerajaannya dengan Dilmun dan Lembah Indus.
Kekuasaan Persia berlangsung selama lebih dari 200 tahun. Kemudian pada
tahun 330 SM, imperium itu jatuh oleh serangan Alexander Agung dari
Makedonia. Sebagian besar wilayah kekuasaannya berhasil direbut oleh
Alexander, termasuk Kuwait. Pada tahun 325 SM, Alexander mengirim salah
seorang panglimanya, Laksamana Nearklus ke Kuwait untuk melihat-lihat keadaan
sekaligus menanamkan kekuasaan Makedonia di sana. Nearklus berkunjung ke
daerah daratannya dan memberikan nama baru baginya, Larissa. Ia juga
mengunjungi daerah kepulauan, dan mengganti nama Pulau Failaka menjadi
Ikaros, karena kemiripannya dengan sebuah pulau yang bernama sama di Laut
Aegea. Ini menandakan masuknya kebudayaan Yunani ke Kuwait, yang dibuktikan
pula dengan penemuan sisa-sisa perbentengan, kuil, dan bangunan Yunani lainnya
di Pulau Failaka.
Pada pertengahan abad ke-2 SM, pengaruh dan kekuasaan Seleukia menurun
drastis. Wilayah Kuwait direbut oleh bangsa Persia atau Iran yang bangkit kembali
dengan nama baru, Kekaisaran Partia (Dinasti Arsak). Bangsa Persia mendirikan
sebuah vasal atau kerajaan bawahan bernama Sarasen (Characene) yang mencakup
wilayah Irak dan Kuwait. Kerajaan Sarasen dipimpin oleh raja-raja Dinasti Arsak,
dengan mayoritas populasinya merupakan orang Arab berbahasa Aramaik. Sarasen
berbatasan dengan Kerajaan Gerrha, sebuah negeri Arab yang menguasai wilayah
al-Hasa, Bahrain, dan Qatar. Kerajaan ini merupakan saingan utama bagi kota-kota
pelabuhan di Sarasen – termasuk di Kuwait – dalam memperebutkan pengaruh
perdagangan di Teluk Persia.
Pada tahun 224, Kuwait jatuh ke dalam kekuasaan Dinasti Sassania yang
muncul sebagai penguasa tertinggi di Persia. Beda dengan pendahulunya, raja-raja
Sassania menerapkan pemerintahan yang lebih sentralistik. Sarasen dianeksasi,
sehingga Irak dan Kuwait berada di bawah pemerintahan langsung mereka.
Shahanshah (Maharaja) Persia, Ardashir I kemudian berhasil menaklukkan
Kerajaan Gerrha dan juga Magan di Oman, membuatnya menjadi penguasa
tertinggi di Teluk Persia.
Agama Zoroaster lebih banyak dianut oleh orang Persia atau Iran.
Sementara, orang Arab yang merupakan penduduk dominan di Kuwait saat itu
lebih banyak yang menganut Kristen.
Kekuasaan Persia atas Kuwait berlangsung hingga awal abad ke-7. Saat itu,
Kekaisaran Persia tengah kelelahan akibat perang berkepanjangan melawan
Kekaisaran Romawi Timur atau Bizantium dalam memperebutkan pengaruh di
Timur Tengah. Pada waktu yang sama, suatu kekuatan baru tengah bangkit di
bagian barat Semenanjung Arab. Suku-suku Arab di daerah itu berhasil disatukan
di bawah agama Islam yang didakwahkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Penandatangan Piagam Madinah, yang disusul oleh penaklukan Mekkah menjadi
babak awal ekspansi Islam di Arabia. Setelah Nabi wafat pada tahun 632, negara
Madinah digantikan oleh pemerintahan khilafah di bawah kepemimpinan
Khulafaur Rasyidun atau empat sahabat Nabi: Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali.
Pada era khilafah, Kuwait lebih dikenal dengan nama Kadhima atau
Kazimah (berdasarkan nama kota utamanya) dan dikembangkan oleh para khalifah
Islam sebagai sebuah pelabuhan dagang. Kadhima juga menjadi tempat singgah
bagi para jamaah haji dari bagian timur kekhalifahan (Mesopotamia/Irak dan Iran),
sebelum pergi ke kota suci Mekkah. Perdagangan di Teluk Persia terus
berkembang, khususnya pada masa kekuasaan Bani Abbasiyah yang beribukota di
Baghdad. Dhow-dhow Arab dari Kuwait, Hormuz, Oman, dan Yaman
mendominasi jalur perdagangan di Samudera Hindia. Kawasan Teluk Persia
menghubungkan kota-kota pelabuhan khilafah Islam dengan kerajaan-kerajaan
Hindu-Buddha di Asia Selatan dan Asia Tenggara, khususnya Chola dan
Sriwijaya.
Kadhima juga merupakan salah satu kota yang termasuk dalam Jalur Sutra,
jaringan perdagangan darat yang menghubungkan Cina, Dunia Islam, dan Eropa.
Kota Kadhima yang tanahnya cukup subur menjadi tempat pemberhentian bagi
rombongan karavan yang berisi pedagang-pedagang dari berbagai daerah di
Eurasia.
Kekuasaan Qaramitah menurun pada abad ke-11, dan akhirnya jatuh oleh
serangan Abdullah bin Ali al-Uyuni, seorang kepala suku Bani Abdul Qays yang
bersekutu dengan Kekaisaran Turki Seljuq. Republik Qaramitah runtuh pada tahun
1077, dan digantikan oleh Emirat Uyuniyah yang didirikan oleh Abdullah bin Ali
al-Uyuni. Ia mewarisi seluruh wilayah kekuasaan Qaramitah, yakni kawasan
Bahrayn atau Arabia Timur, yang mencakup Kuwait di dalamnya.
Setelah dua abad berkuasa, Emirat Uyuniyah jatuh pada tahun 1253. Ia
disingkirkan dan digantikan oleh Emirat Usfuriyah, yang didirikan oleh Bani
Uqayl, sebuah suku Arab Badui. Sebelumnya, kekuatan Uyuniyah memang telah
melemah akibat serangan dari Atabeg (Kadipaten) Fars di Persia, yang dikuasai
oleh sebuah dinasti Turki bernama Salghorian. Mereka merebut kepulauan Bahrain
dan berhasil mengalahkan pasukan Uyuniyah pada tahun 1235. Bani Uqayl
memanfaatkan hal ini untuk menaklukkan negara itu.
Referensi
Bosworth, C.E. (1996). The New Islamic Dynasties. New York: Columbia
University Press.
Hourani, George F. dan John Carswell. (1995). Arab Seafaring in the Indian
Ocean in Ancient and Early Medieval Times. Princeton: Princeton University
Press.
Kennet, Derek. (2013). Kadhima: Kuwait in the Early Centuries of Islam. Durham:
Durham University.
Nizami, Khaliq Ahmad. (1994). Early Arab Contact with South Asia. Journal of
Islamic Studies. 5(1): 52-69.
Nyrop, Richard F. (2008). Area Handbook for the Persian Gulf States. Rockville:
Wildside Press LLC.
Ray, Kurt. (2003). A Historical Atlas of Kuwait. New York: Rosen Publishing
Group.