Anda di halaman 1dari 8

Sejarah Kuwait

A. Kuwait Sebelum Masehi

Kuwait telah dihuni oleh manusia modern sejak kurang lebih tahun 8000-
7000 SM. Bukti arkeologis berupa sisa-sisa keramik Zaman Perunggu telah
ditemukan di Tell Sa’id di Pulau Failaka, menunjukkan bahwa penduduk Kuwait
telah mempunyai kebudayaan yang cukup maju. Sejak tahun 6500 SM, mereka
telah melakukan perdagangan dengan peradaban-peradaban lain di sepanjang
Teluk Persia, terutama dengan kerajaan-kerajaan Mesopotamia di Irak. Temuan
sisa-sisa pemakaman kuno juga menunjukkan telah adanya kontak rutin dengan
Peradaban Lembah Indus di Asia Selatan. Artefak lain yang tak kalah penting
adalah bangkai-bangkai kapal, yang menunjukkan bahwa penduduk Kuwait saat
itu merupakan masyarakat maritim. Nyatanya, mereka adalah salah satu kelompok
manusia terawal yang diketahui dalam mengembangkan gaya hidup maritim,
bersama orang Austronesia di timur dan Yunani di barat. Kebudayaan awal di
Kuwait ini dikenal dengan nama Kebudayaan Ubaid, yang pusat utamanya terletak
di Kuwait bagian utara, yakni di daerah as-Sabiyah. Di daerah ini, ditemukan pula
bukti-bukti awal urbanisasi di kawasan Teluk Persia.

Antara tahun 4000 SM dan 600 SM, Kuwait merupakan salah satu wilayah
pengaruh dari Peradaban Dilmun, yakni suatu jaringan peradaban yang terbentang
di sepanjang pantai timur Semenanjung Arab, dari Qatar dan Bahrain sampai al-
Hasa (pesisir timur Saudi Arabia) dan Kuwait. Pada puncak kejayaannya sekitar
tahun 2000 SM, Peradaban Dilmun mengontrol jalur perdagangan di Teluk Persia
yang menghubungkan Mesopotamia dengan India. Kuwait merupakan kawasan
perbatasan utara dari Dilmun, yang membatasi peradaban itu dengan kerajaan-
kerajaan di Mesopotamia. Dilmun mengontrol wilayah Kuwait melalui pulau-
pulaunya, yakni Failaka, Shuwaikh, dan Umm an-Namil. Di pulau-pulau ini, hadir
pula pos-pos dagang milik orang Sumeria dari kota Ur di Irak. Perdagangan kuno
di Teluk Persia mencapai puncaknya sekitar tahun 2300 SM, ketika Raja Sargon
dari Akkadia berhasil menyatukan seluruh daratan Mesopotamia. Ia mempererat
hubungan dagang kerajaannya dengan Dilmun dan Lembah Indus.

Peradaban Dilmun mengalami kemunduran secara berangsur-angsur dari


tahun 1800 SM sampai tahun 600 SM. Kemundurannya menyebabkan
perdagangan di Teluk Persia ikut merosot, mendorong kemunculan perompak yang
meneror perairan itu. Selanjutnya, Dilmun yang telah lemah – termasuk Kuwait di
dalamnya – ditaklukkan oleh Kekaisaran Babilonia atau Kaldea di bawah Raja
Mardukaplaiddina II dan Nebuchadnezzar II. Masa kekuasaan Babilonia hanya
berlangsung singkat, karena sejak tahun 539 SM, seluruh kekaisaran itu berhasil
ditaklukkan oleh Kekaisaran Persia (Dinasti Akhemeniyah) di bawah Koresh
Agung. Sejak saat itu, Kuwait dikuasai oleh Persia dan secara administratif
dimasukkan ke dalam wilayah Abar-Nari-Babirus, yakni satrapi (provinsi) Persia
yang mencakup wilayah Irak sampai Palestina dan beribukota di Babilon.

Kekuasaan Persia berlangsung selama lebih dari 200 tahun. Kemudian pada
tahun 330 SM, imperium itu jatuh oleh serangan Alexander Agung dari
Makedonia. Sebagian besar wilayah kekuasaannya berhasil direbut oleh
Alexander, termasuk Kuwait. Pada tahun 325 SM, Alexander mengirim salah
seorang panglimanya, Laksamana Nearklus ke Kuwait untuk melihat-lihat keadaan
sekaligus menanamkan kekuasaan Makedonia di sana. Nearklus berkunjung ke
daerah daratannya dan memberikan nama baru baginya, Larissa. Ia juga
mengunjungi daerah kepulauan, dan mengganti nama Pulau Failaka menjadi
Ikaros, karena kemiripannya dengan sebuah pulau yang bernama sama di Laut
Aegea. Ini menandakan masuknya kebudayaan Yunani ke Kuwait, yang dibuktikan
pula dengan penemuan sisa-sisa perbentengan, kuil, dan bangunan Yunani lainnya
di Pulau Failaka.

Setelah Alexander wafat mendadak pada tahun 323 SM, kekaisarannya


runtuh dan diperebutkan oleh para pengikutnya. Ini memulai era Diadochi, yakni
era persaingan antara pengikut-pengikut Alexander yang mendirikan sejumlah
dinasti Yunani di Timur Tengah. Kuwait dikuasai oleh Seleukus Nikator, pendiri
Kekaisaran Seleukia yang berhasil mewarisi sebagian besar wilayah kekuasaan
Alexander. Pada era ini, terjadilah persinggungan antara peradaban Yunani dan
India. Kekaisaran Seleukia menjalin hubungan perkawinan dengan Kekaisaran
Maurya yang menguasa India, mempererat hubungan keduanya. Hubungan ini
membuat jaringan perdagangan Teluk Persia kembali ramai, di mana kota-kota
pelabuhan di Kuwait turut menikmati dampaknya.

Pada pertengahan abad ke-2 SM, pengaruh dan kekuasaan Seleukia menurun
drastis. Wilayah Kuwait direbut oleh bangsa Persia atau Iran yang bangkit kembali
dengan nama baru, Kekaisaran Partia (Dinasti Arsak). Bangsa Persia mendirikan
sebuah vasal atau kerajaan bawahan bernama Sarasen (Characene) yang mencakup
wilayah Irak dan Kuwait. Kerajaan Sarasen dipimpin oleh raja-raja Dinasti Arsak,
dengan mayoritas populasinya merupakan orang Arab berbahasa Aramaik. Sarasen
berbatasan dengan Kerajaan Gerrha, sebuah negeri Arab yang menguasai wilayah
al-Hasa, Bahrain, dan Qatar. Kerajaan ini merupakan saingan utama bagi kota-kota
pelabuhan di Sarasen – termasuk di Kuwait – dalam memperebutkan pengaruh
perdagangan di Teluk Persia.

B. Kuwait pada Awal Masehi

Memasuki abad-abad pertama Masehi, Kuwait masih tetap dikuasai oleh


Kekaisaran Partia melalui Kerajaan Sarasen. Pada tahun 150, Kuwait dicatat oleh
Ptolemeus dalam bukunya, Geographike Hyphegesis. Ia menyebut Kuwait dengan
nama Hieros Kolpos (“Teluk Suci”). Pada masa ini, Kuwait termasuk dalam
jaringan perdagangan Laut Eritrea (Samudra Hindia) yang diramaikan oleh orang-
orang Romawi, Yunani, Ethiopia, Arab, Persia, dan India, serta Austronesia dan
Cina.

Pada tahun 224, Kuwait jatuh ke dalam kekuasaan Dinasti Sassania yang
muncul sebagai penguasa tertinggi di Persia. Beda dengan pendahulunya, raja-raja
Sassania menerapkan pemerintahan yang lebih sentralistik. Sarasen dianeksasi,
sehingga Irak dan Kuwait berada di bawah pemerintahan langsung mereka.
Shahanshah (Maharaja) Persia, Ardashir I kemudian berhasil menaklukkan
Kerajaan Gerrha dan juga Magan di Oman, membuatnya menjadi penguasa
tertinggi di Teluk Persia.

Pada masa kekuasaan Sassania, Kuwait dikenal dengan nama Meshan.


Penduduknya masih tetap didominasi oleh orang Arab, yang hidup sebagai
pedagang dan pelaut yang meramaikan jaringan perdagangan Samudra Hindia.
Untuk keperluan tersebut, mereka menggunakan dhow, sejenis kapal layar yang
cukup kuat untuk mengarungi samudra. Pada abad ke-6, pedagang Arab diketahui
telah rutin mengunjungi kota-kota pelabuhan di India, dan juga telah menjalin
kontak dengan wilayah Nusantara dan Cina.

Di bidang keagamaan, Shahanshah Persia menganut Zoroaster, sebuah


kepercayaan monoteistik yang telah dianut oleh orang Persia sejak era kekuasaan
Dinasti Akhemeniyah. Zoroaster merupakan agama resmi dan paling utama di
Kekaisaran Persia pada era Dinasti Sassania. Penganutnya menyebar dengan cukup
merata di seluruh wilayah kekuasaan imperium itu, termasuk di Meshan atau
Kuwait. Hal ini dibuktikan dengan adanya penemuan di Pulau Shuwaikh atau
Akkaz, yang berupa sebuah dakhma atau “Menara Kesunyian”, yang digunakan
oleh umat Zoroaster sebagai semacam “makam”, di mana jenazah orang yang telah
meninggal ditempatkan di bangunan itu dan ditinggalkan agar “dibersihkan” oleh
burung-burung pemakan bangkai.

Agama Zoroaster lebih banyak dianut oleh orang Persia atau Iran.
Sementara, orang Arab yang merupakan penduduk dominan di Kuwait saat itu
lebih banyak yang menganut Kristen.

C. Kuwait pada Era Khilafah

Kekuasaan Persia atas Kuwait berlangsung hingga awal abad ke-7. Saat itu,
Kekaisaran Persia tengah kelelahan akibat perang berkepanjangan melawan
Kekaisaran Romawi Timur atau Bizantium dalam memperebutkan pengaruh di
Timur Tengah. Pada waktu yang sama, suatu kekuatan baru tengah bangkit di
bagian barat Semenanjung Arab. Suku-suku Arab di daerah itu berhasil disatukan
di bawah agama Islam yang didakwahkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Penandatangan Piagam Madinah, yang disusul oleh penaklukan Mekkah menjadi
babak awal ekspansi Islam di Arabia. Setelah Nabi wafat pada tahun 632, negara
Madinah digantikan oleh pemerintahan khilafah di bawah kepemimpinan
Khulafaur Rasyidun atau empat sahabat Nabi: Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali.

Pada tahun 636, Khalifah Umar mengirimkan ekspedisi militer ke Kuwait di


bawah pimpinan Khalid bin Walid, dalam rangka peperangannya melawan
Kekaisaran Persia, yang beberapa tahun sebelumnya telah menghina dan
mencederai utusan Nabi Muhammad SAW yang mengajak Shahanshah Persia
untuk memeluk Islam. Ekspedisi militer ke Kuwait merupakan ekspedisi perluasan
wilayah pertama yang dilancarkan oleh Khulafaur Rasyidin. Pertempuran pecah di
kota Kadhima, di mana 18.000 pasukan Muslim bertarung melawan 20.000
pasukan Persia. Pertempuran ini lebih dikenal dengan nama Dhat al-Salasil
(“Pertempuran Rantai”), merujuk kepada keadaan pasukan Persia yang “saling
dirantai” untuk mencegah desersi. Berkat strategi Khalid bin Walid, pasukan
Muslim yang lebih sedikit jumlahnya berhasil memenangkan pertempuran itu.
Wilayah Kuwait pun direbut oleh Kekhalifahan Islam. Sejak saat itu, Islam
berangsur-angsur menjadi agama paling dominan yang dianut oleh penduduk Arab
dan Persia di Kuwait.

Pada era khilafah, Kuwait lebih dikenal dengan nama Kadhima atau
Kazimah (berdasarkan nama kota utamanya) dan dikembangkan oleh para khalifah
Islam sebagai sebuah pelabuhan dagang. Kadhima juga menjadi tempat singgah
bagi para jamaah haji dari bagian timur kekhalifahan (Mesopotamia/Irak dan Iran),
sebelum pergi ke kota suci Mekkah. Perdagangan di Teluk Persia terus
berkembang, khususnya pada masa kekuasaan Bani Abbasiyah yang beribukota di
Baghdad. Dhow-dhow Arab dari Kuwait, Hormuz, Oman, dan Yaman
mendominasi jalur perdagangan di Samudera Hindia. Kawasan Teluk Persia
menghubungkan kota-kota pelabuhan khilafah Islam dengan kerajaan-kerajaan
Hindu-Buddha di Asia Selatan dan Asia Tenggara, khususnya Chola dan
Sriwijaya.

Kadhima juga merupakan salah satu kota yang termasuk dalam Jalur Sutra,
jaringan perdagangan darat yang menghubungkan Cina, Dunia Islam, dan Eropa.
Kota Kadhima yang tanahnya cukup subur menjadi tempat pemberhentian bagi
rombongan karavan yang berisi pedagang-pedagang dari berbagai daerah di
Eurasia.

D. Kuwait pada Abad Pertengahan

Kekhalifahan Abbasiyah mengalami kemunduran secara berangsur-angsur


sejak abad ke-9. Banyak daerah kekuasaannya yang memerdekakan diri, meskipun
tetap mengakui Khalifah Baghdad sebagai pemimpin spiritual mereka. Kuwait
merupakan satu dari sedikit daerah yang tetap setia kepada para khalifah
Abbasiyah. Namun, kesetiaan ini tak berlangsung lama. Sekitar tahun 900,
Republik Qaramitah – salah satu negara yang memberontak dari Abbasiyah –
menaklukkan Kuwait dan hampir seluruh pantai timur Arabia sampai ke
Semenanjung Musandam di Oman.

Republik Qaramitah adalah sebuah negara Syi’ah Isma’iliyah yang sangat


menentang kekuasaan Abbasiyah. Pemimpinnya, seorang Persia bernama Abu
Tahir al-Jannabi bahkan pernah melancarkan serangan penjarahan ke Mekkah pada
tahun 930, di mana pasukannya mencuri Hajar Aswad (batu hitam suci di dalam
Ka’bah), membunuhi jamaah-jamaah haji, dan menimbun Sumur Zamzam dengan
jenazah-jenazah para jamaah itu. Penjarahan ini menimbulkan amarah di seluruh
Dunia Islam, yang mengecam keras perbuatan tersebut.

Kekuasaan Qaramitah menurun pada abad ke-11, dan akhirnya jatuh oleh
serangan Abdullah bin Ali al-Uyuni, seorang kepala suku Bani Abdul Qays yang
bersekutu dengan Kekaisaran Turki Seljuq. Republik Qaramitah runtuh pada tahun
1077, dan digantikan oleh Emirat Uyuniyah yang didirikan oleh Abdullah bin Ali
al-Uyuni. Ia mewarisi seluruh wilayah kekuasaan Qaramitah, yakni kawasan
Bahrayn atau Arabia Timur, yang mencakup Kuwait di dalamnya.

Setelah dua abad berkuasa, Emirat Uyuniyah jatuh pada tahun 1253. Ia
disingkirkan dan digantikan oleh Emirat Usfuriyah, yang didirikan oleh Bani
Uqayl, sebuah suku Arab Badui. Sebelumnya, kekuatan Uyuniyah memang telah
melemah akibat serangan dari Atabeg (Kadipaten) Fars di Persia, yang dikuasai
oleh sebuah dinasti Turki bernama Salghorian. Mereka merebut kepulauan Bahrain
dan berhasil mengalahkan pasukan Uyuniyah pada tahun 1235. Bani Uqayl
memanfaatkan hal ini untuk menaklukkan negara itu.

Ketika Khilafah Abbasiyah di Baghdad jatuh oleh invasi Kekaisaran Mongol


pada tahun 1258, Kuwait di bawah Emirat Usfuriyah berhasil mempertahankan
kemerdekaannya. Hal ini karena, bangsa Mongol lebih memfokuskan ekspansinya
ke barat melawan Kesultanan Mamluk. Setelah mereka kalah dalam Pertempuran
Ain Jalut pada tahun 1260, ekspansi Mongol terhenti akibat konflik perebutan tahta
di Karakorum (ibukota Kekaisaran Mongol). Konflik ini menyebabkan Kekaisaran
Mongol terpecah menjadi empat. Di Timur Tengah, negara pecahan Mongol yang
berkuasa adalah Kerajaan Ilkhanat di bawah pimpinan Hulagu Khan. Anak-cucu
yang menggantikannya memeluk Islam dan mendorong Ilkhanat menjadi sebuah
negara dagang yang berpengaruh. Pada abad ke-14, Ilkhanat mengalami
kemunduran drastis akibat Wabah Hitam yang membunuh raja-rajanya. Kerajaan
itu pun dengan cepat runtuh menjadi banyak negara-negara kecil. Inilah faktor-
faktor yang menyebabkan Emirat Usfuriyah berhasil selamat dari ancaman invasi
bangsa Mongol.
Emirat Usfuriyah berkuasa di Kuwait dan pantai timur Arabia hingga kurang
lebih dua ratus tahun kemudian. Pada akhir abad ke-15, kedudukan mereka
digantikan oleh Bani Jabr atau Emirat Jabriyah, yang masih memiliki hubungan
kekerabatan dengan Bani Uqayl. Kekuasaan Jabriyah tak berlangsung lama, karena
pada tahun 1521, negara mereka runtuh oleh serangan bangsa Portugis. Akibatnya,
Kuwait, bersama Bahrain dan Qatar jatuh ke dalam kekuasaan Portugis yang
berambisi untuk menguasai jalur perdagangan di Teluk Persia.

Referensi

Anonim. (2011). Kuwait in Perspective: An Orientation Guide. Monterey: Defense


Language Institute Foreign Language Center.

Bosworth, C.E. (1996). The New Islamic Dynasties. New York: Columbia
University Press.

Bye, Ollie, “The History of Asia: Every Year”, YouTube, youtu.be/3S734SZ4bcc/


(diakses pada 12 Oktober 2020, pukul 19.34 WIB).

Carter, Robert. (2010). Maritime Interactions in the Arabian Neolithic: The


Evidence from H3, As-Sabiyah, an Ubaid-Related Site in Kuwait. Leiden: BRILL.

Gachet, J. (1998). Akkaz (Kuwait), a Site of the Partho-Sasanian Period. A


preliminary report on three campaigns of excavation (1993-1996). Proceedings of
the Seminar for Arabian Studies. 28: 69-79.

Hourani, George F. dan John Carswell. (1995). Arab Seafaring in the Indian
Ocean in Ancient and Early Medieval Times. Princeton: Princeton University
Press.

Kennet, Derek. (2013). Kadhima: Kuwait in the Early Centuries of Islam. Durham:
Durham University.

Lawler, Andrew, “Traders from Ur?”, Archaeology Magazine,


archaeology.org/issues/79-1303/features/kuwait/548-meopotamian-ur-traders/
(diakses pada 12 Oktober 2020, pukul 19.18 WIB).
Meri, Joseph. (2006). Medieval Islamic Civilization. Oxfordshire: Taylor and
Francis.

Nizami, Khaliq Ahmad. (1994). Early Arab Contact with South Asia. Journal of
Islamic Studies. 5(1): 52-69.

Nyrop, Richard F. (2008). Area Handbook for the Persian Gulf States. Rockville:
Wildside Press LLC.

Ray, Kurt. (2003). A Historical Atlas of Kuwait. New York: Rosen Publishing
Group.

Anda mungkin juga menyukai