sambil mendendangkan lagu-lagu favorit tahun 90an untuk mengusir kelelahan setelah seharian berkutat dilayar komputer. Sesampai dirumah aku menerima kenyataan bahwa istri ku sedang pergi keluar kota. Suara perut yang berdemo ingin diisi pun bergema memecah keheningan rumah. Tanpa tedeng aling aling dan tanpa mandi, segera aku membuka lemari tempat biasa istri ku tercinta menyimpan stok makanan cepat saji. Begitu membuka lemari, seperti di film- film seolah ada sorotan lampu dengan background suara menggema menuju ke benda kuning berbentuk persegi panjang dan tertulis jelas “Indomie Rasa Soto Medan”. Indomie Soto Medan seolah berkata dengan semangat “ayoo, segera masak aku”. Sayuran itu aku potong kecil-kecil beseta cabai dan bawang, adalah pelengkap agar cita rasa dari Indomie Soto Medan. Setelah tiga menit pemasakan sesuai dengan instruksi penyajian, dan perlu diketahui bahwa memasak Indomie selama 3 menit akan membuat kekenyalan Indomie lebih sempurna, bahkan lebih baik memasak indomie menggunakan stopwatch, dijamin mie akan kenyal sempurna. Aku menyendok Indomie kedalam mulut dan bagaikan American chaves yang membuka portal ke univers lain, aku seolah masuk kedalam univers, yaitu univers masa lalu. Masa dimana aku, Guntur dan nauval disatukan oleh citarasa yang sama rasa Soto Medan. **** Banda aceh, 1995. “itu, sebelah kiri kau capungnya, tangkap”. aku arahkan perangkap capung yang aku buat dari plastic bekas dimana ujung plastik yang tertutup di ikatkan di ujung batang kayu dengan karet gelang. “yahhh, gak dapet, cemananya ke1 ne” sahut Guntur Guntuh adalah pak cik aku secara susunan struktur organisasi keluarga, karena Guntur adalah anak dari adik nenek aku, Bahasa kerennya om lah ya. Tapi umur Guntur hanya beda 3 tahun dari aku, entah karena ibunya Guntur lama nikah atau ibu aku yang terlalu cepat niakh, yah kita gak perlu bahas itu sih aku rasa. Anyways selain Guntur ada nauval kakaknya Guntur, perawakan