Anda di halaman 1dari 41

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menjelaskan tentang 1) Konsep Preeklampsia Berat 2) Nyeri Akut

2.1 Konsep Pre Eklampsia Berat

2.1.1 Definisi Pre Eklampsia Berat

Pre Eklampsia merupakan suatu kondisi heterogen yang dapat menantang

untuk mendiagnosa, mengingat spektrumnya yang luas dan kurangnya tes diagnostik

yang kuat. Fitur utama dari preeklampsia adalah onset baru hipertensi (didefinisikan

sebagai tekanan darah sistolik ≥140 mm Hg atau tekanan darah diastolik ≥90 mm Hg)

dan proteinuria (300 mg atau lebih besar dalam spesimen 24 jam urin) (Indra, 2021)

Pre Eklampsia Berat merupakan Hipertensi yang timbul setelah 20 minggu

kehamilan disertai dengan proteinuria (Claudia, 2019).

Pre Eklampsia Berat merupakan suatu komplikasi kehamilan yang ditandai

dengan timbulnya hipertensi 160 / 110 mmHg atau lebih disertai proteinuria dan

oedema pada kehamilan 20 minggu atau lebih (Maylisa, 2018).

Eklampsia merupakan keadaan dimana ditemukan serangan kejang tiba tiba

yang dapat disusul dengan koma pada wanita hamil, persalinan atau masa nifas yang

menunjukan gejala preeklampsia sebelumnya (Ayu, 2020).

2.1.2 Etiologi

Etiologi preeklampsia masih belum diketahui secara pasti dan beberapa teori

telah diusulkan untuk menjelaskan mengenai etiologi preeklampsia, menurut (Ayu,

2020) Preeklampsia berhubungan dengan beberapa faktor penting. Preeklampsia

8
merupakan suatu kejadian yang berpengaruh besar terhadap kehamilan. Preeklampsi

berdampak pada kehamilan ibu. Preeklampsi berat akan memicu terjadinya eklampsia

yang dapat mengakibatkan kejang pada saat kehamilan. Pada teori Intoleransi Imunologi

preeklampsia akan berpengaruh antara ibu dan janin apabila resiko preeklampsia

meningkat jika terjadi gangguan pembentukan blocking antibodies terhadap plasenta

(bersifat antigenetik) seperti pada kehamilan pertama, kehamilan kembar (dimana jumlah

antigen yaitu plasenta melebihi jumlah antibody). Pada preeclampsia terjadi penurunan

jumlah human leucocyte G (HLA-G), atau plasenta memproduksinya dalam bentuk lain

sehingga terjadi intoleransi ibu terhadap plasenta. Preeklampsia juga akan

mengakibatkan sindrom maternal yang merupakan tahap simptomatis yang umumnya

muncul setelah usia kehamilan 20 minggu ditandai dengan hipertensi, kerusakan ginjal

dengan endotelisosis glomerulus yang menyebabkan proteinuria, eklampsia, sindroma

HELLP (hemolisis, peningkatan enzim liver, dan trombositopenia) dan kerusakan organ-

organ lainnya. Gejala klinis tersebut disebabkan oleh aktivitas sel-sel endotel yang telah

terjadi pada tahap pertama dengan respon inflamasi sistemik di seluruh organ tubuh yang

ditandai dengan peningkatan permeabilitas vaskuler serta hipoperfusi organ. Beberapa

faktor yang memicu terjadinya preeklampsia meliputi :

1. Abnormalitas invasi tropoblas

Invasi tropoblas yang tidak terjadi atau kurang sempurna, maka akan terjadi

kegagalan remodeling a. spiralis. Hal ini mengakibatkan darah menuju lakuna

hemokorioendotel mengalir kurang optimal dan bila jangka waktu lama mengakibatkan

hipooksigenasi atau hipoksia plasenta. Hipoksia dalam jangka lama menyebabkan

kerusakan endotel pada plasenta yang menambah berat hipoksia. Produk dari kerusakan

vaskuler selanjutknya akan terlepas dan memasuki darah ibu yang memicu gejala klinis

preeklampsia (Indra, 2021).

9
2. Hamil pada usia < 20 Tahun dan > 30 Tahun

Usia dan paritas yang merupakan faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi. Dari

segi usia, wanita hamil dengan usia <20 tahun dan >35 tahun dianggap berisiko untuk

mengalami preeklampsia. Hal ini disebabkan karena seiring peningkatan usia, akan

terjadi proses degenaratif yang meningkatkan risiko hipertensi kronis dan wanita dengan

risiko hipertensi kronik ini akan memiliki risiko yang lebih besar untuk mengalami

preeklampsia (Siqbal, 2020).

3. Ibu hamil dengan riwayat Hipertensi sebelumnya

Ibu hamil dengan riwayat hipertensi memiliki kemungkinan 6 kali lebih besar

untuk mengalami preeklampsia dibandingkan dengan ibu hamil yang tidak memiliki

riwayat hipertensi. Pada sebagian ibu hamil dengan riwayat hipertensi kronis, maka dapat

tarjadi perburukan kondisi hipertensi pada kehamilan berikutnya. hipertensi yang

diperberat oleh kehamilan dapat disertai dengan proteinuria atau edema patologis yang

kemudian disebut dengan superimposed preeklampsia. Ibu hamil dengan riwayat

preeklampsia pada kehamilan sebelumnya memiliki kemungkinan 20 kali lebih besar

untuk mengalami preeclampsia.

4. Ibu hamil dengan keturunan Preeklampsia

Ibu hamil dengan riwayat keturunan preeklampsia pada ibu dan keluarganya

memiliki kemungkinan 23 kali lebih besar mengalami preeklampsia dibandingkan

dengan ibu hamil yang tidak mempunyai riwayat keturunan preeklampsia.

5. Ibu hamil dengan menderita penyakit Kronis

Selain hipertensi dan preeklampsia dengan kejadian preeklampsia saat ini, ibu

hamil dengan riwayat menderita penyakit kronis memiliki kemungkinan 2 kali lebih

besar untuk mengalami preeklampsia dibandingkan dengan ibu hamil yang tidak

menderita riwayat penyakit kronis. Angka kejadian preeklampsia akan meningkat pada

10
ibu hamil yang memiliki riwayat penyakit kronis sebelumnya karena pembuluh darah

plasenta sudah mengalami gangguan sebelumnya. Pada kejadian saat ini Ibu hamil masih

kurang dalam pengetahuan tentang bahaya preeklampsia pada kehamilannya (Ayu,

2020).

2.1.3 Klasifikasi Pre Eklampsia

Menurut (Irfa', 2021) Preeklampsia dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu

ringan dan berat :

1. Preeklampsia Ringan

Preeklampsia ringan yaitu munculnya hipertensi yang disertai dengan proteinuria

dan edema setelah umur kehamilan 20 minggu atau setelah persalinan. Gejala ini

muncul sebelum umur kehamilan 20 minggu pada penyakit trofoblas (sekumpulan

penyakit yang berkaitan dengan vili korialis, terutama pada sel trofoblasnya dan

berasal dari suatu kehamilan). Penyebab dari preeklampsia ringan masih belum

diketahui faktor penyebabnya. Apabila preeklampsia dikatakan ringan jika ditemukan

tanda-tanda sebagai berikut :

a) Tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih, yaitu kenaikan diastolic 15 mmHg atau

lebih, dan kenaikan sistolik 30 mmHg atau lebih.

b) Edema umum, kaki, jari, tangan, dan wajah atau kenaikan BB 1 kg atau lebih per

minggunya.

c) Proteinuria kuantitatif 0,3 gram atau lebih per liter, kualitatif 1+

atau 2+ pada urine kateter / midstream.

2. Preeklampsia Berat

1) Preeklampsia berat adalah suatu komplikasi kehamilan yang

ditandai dengan timbulnya hipertensi 160/110 mmHg atau lebih

proteinuria dan edema pada kehamilan usia 20 minggu atau lebih.

11
2) Preeklampsia bisa dikatakan berat apabila ditemukan tanda sebagai

berikut :

a. Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih.

b. Proteinuria 5 gram atau lebih per liter.

c. Oliguria jumlah urine ≤ 500 cc per 24 jam.

d. Adanya gangguan serebral, gangguan visus, dan rasa nyeri di

epigastrium.

e. Ada edema paru dan sianosis.

Menurut (Ayu, 2020) Preeklampsi berat akan memicu terjadinya Eklampsia,

Eklampsia dibagi menjadi 3 golongan yaitu :

1. Eklampsia gravidarum (antepartum) merupakan eklampsia yang terjadi sebelum

persalinan (paling sering terjadi). Angka kejadian 15% sampai 60% dan serangan terjadi

saat keadaan hamil.

2. Eklampsia partuirentum (intrapartum) merupakan eklampsia saat persalinan. Angka

kejadian sekitar 30% sampai 35% yang terjadi saat sedang inpartum dan batas dengan

eklampsia gravidarum sulit ditentukan.

3. Eklampsia puerperale (postpartum) merupakan eklampsia setelah persalinan. Kejadian

eklampsi ini jarang dan jika terjadi serangan kejang atau koma akan berakhir setelah

persalinan berakhi (Ayu, 2020).

2.1.4 Manifestasi klinis

Biasanya tanda-tanda preeklampsia timbul dalam urutan :

pertambahan berat badan yang berlebihan, yang diiukuti dengan edema,

hipertensi, dan proteinuria. Tanda gejala dapat dibedakan antara preeklampsia dan

eklampsia :

f. Preeklampsia

12
1) Preeklampsia ringan : tidak ada gejala-gejala subjektif

2) Preeklampsia berat :

➢ Hipertensi dengan tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih, diukur minimal 2 kali

dengan jarak waktu 6 jam pada keadaan istirahat.

➢ Proteinuria 5 gram 24 jam atau lebih atau pada pemeriksaan kualitatif.

➢ Oliguria, urine 400ml/24 jam atau kurang.

➢ Edema paru-paru, sianosis.

➢ Tanda dan gejala lain meliputi sakit kepala berat, masalah penglihatan, pandangan

kabur, dan spasme arteri retina pada funduskopi, nyeri epigastrium, mual/muntah serta

emosi mudah marah.

➢ Pertumbuhan janin intrauterine terlambat.

➢ Adanya HEELP syndrome (H=Hemolysis, ELL=Elevated Liver Enzim, P=Low

Platelet Count)

g. Eklampsia

Umumnya kejang didahului oleh makin memburuknya preeklampsia dan terjadinya

gejala-gejala nyeri kepala didaerah frontal, gangguan penglihatan, mual yang hebat, nyeri

di epigastrium dan hiper-refleksi. Bila keadaan ini tidak segera diobati akan timbul kejang.

Konvulsi eklampsia dibagi menjadi 4 (empat) tingkatan :

1) Tingkat awal (aura), keadaan ini berlangsung kira-kira 30 detik, mata penderita terbuka

tanpa melihat, kelopak mata bergetar. Demikian pula tangannya dan kepala berputar ke

kiri atau ke kanan.

2) Tingkat kejang tonik. Berlangsung kurang dari 30 detik. Dalam tingkat ini seluruh otot

menjadi kaku, wajahnya kelihatannya kaku, tangan menggenggam, kaki membengkok

ke dalam, pernapasan berhenti, muka mulai menjadi sianotik, lidah dapat tergigit.

13
3) Tingkat kejang klonik, berlangsung antara 1-2 menit. semua otot berkontraksi dan

berulang-ulang dalam tempo yang cepat, mulut membuka dan menutup, lidah dapat

tergigit, bola mata menonjol, dari mulut keluar ludah yang berbusa, muka menunjukkan

kongesti dan sianosis, klien menjadi tidak sadar.

4) Tingkat koma, lama kesadaran tidak selalu sama, secara perlahan-lahan penderita

mulaisadar lagi, akan tetapi dapat terjadi pula bahwa sebelum itu timbul serangan baru

dan berulang sehingga ia tetap dalam keadaan koma. Selama serangan, tekanan darah

meningkat, nadi cepat dan suhu meningkat sampai 40°C (Dr. Noer Saudah, Dr. Indah

Lestari, & Catur Prasastia Lukita Dewi, 2018)

2.1.5 Patofisiologi

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi preeklampsia meliputi abnormalitas

invasi tropoblas, hamil pada usia < 20 tahun atau > 30 tahun, ibu hamil dengan riwayat

hipertensi, ibu hamil dengan keturunan preeklampsia, ibu hamil dengan menderita penyakit

kronis yang dapat menimbulkan potensi tekanan darah meningkat (hipertensi) (Siqbal,

2020). Hipertensi menjadi penyebab rusaknya vaskuler pembuluh darah yang kemudian

terjadi penyumbatan pembuluh darah. Vasokontriksi merupakan penyempitan pembuluh

darah karena mekanisme atau rangsangan tertentu pada tubuh . Gangguan sirkulasi

berdampak pada beberapa organ ibu hamil dengan preeklampsia meliputi otak, ginjal,

jantung dan plasenta. Pada ibu hamil dengan preeklampsia akan mengalami penurunan

sirkulasi darah ke otak sehingga menyebabkan suplai O2 menurun (Indra, 2021).

Vasospasme merupakan dasar dari timbulnya proses pre eklampsia. Konstriksi vaskuler

menyebabkan resistensi aliran darah dan timbulnya hipertensi arterial. Vasospasme dapat

diakibatkan karena adanya peningkatan sensifitas dari sirculating pressors. Pre eklampsia

yang berat dapat mengakibatkan kerusakan organ tubuh yang lain. Gangguan perfusi

14
plasenta dapat sebagai pemicu timbulnya gangguan pertumbuhan plasenta sehingga dapat

berakibat terjadinya IUGR (Intra Uter Growth Retardation) (Ayu, 2020).

15
2.1.6 Pathway

Faktor Resiko :
Tekanan darah meningkat (hipertensi) 1. Abnormalitas inva
2. Hamil pada usia <
3. Ibu hamil dengan r
Kerusakan vaskuler pembuluh darah 4. Ibu hamil dengan k
5. Ibu hamil dengan m

Perubahan struktur

Penyumbatan pembuluh darah

Vasokontriksi

Gangguan sirkulasi Trauma jaringan Nyeri

Jantung
Otak Ginjal

16
Penurunan sirkulasi Vasokontriksi pembuluh Inspirasi dan
darah ke otak darah ginjal ekspirasi napas tidak
adekuat

Vasospasme
Kerusakan glomerulus
dipsnea
Aliran darah ke otak
berkurang Kemampuan filtrasi menurun
Ketidak efektifan
pola napas
Suplai O2 menurun
Proteinuria

Sinkop atau pingsan


Protein plasma dalam tubuh
menurun

Resiko Perfusi
Jaringan serebral
tidak efektif
Kekurangan volume cairan

Gambar 2.1Patway Pre Eklamsi

17
2.1.7 Dampak Preeklampsia

Preeklampsi berdampak pada kehamilan ibu. Preeklampsi berat

akan memicu terjadinya eklampsia yang dapat mengakibatkan kejang

pada saat kehamilan. Preeklampsia juga akan mengakibatkan sindrom maternal

yangmerupakan tahap simptomatis yang umumnya muncul setelah usia

kehamilan 20 minggu ditandai dengan hipertensi, kerusakan ginjal dengan

endotelisosis glomerulus yang menyebabkan proteinuria, eklampsia, sindroma

HELLP (hemolisis, peningkatan enzim liver, dan trombositopenia) dan kerusakan

organ-organ lainnya.

2.1.8 Pemeriksaan penunjang

1. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan khusus berupa ECG ( eco kardiografi ), pemeriksaan

mata, dan pemeriksaan USG ginjal. Pemeriksaan laboratorium lain

ialah fungsi ginjal, fugsi hepar, Hb, hematokrit, dan trombosit.

2. Pemeriksaan janin

Perlu dilakukan pemeriksaan ultrasonografi janin. Bila dicurigai

IUGR (Intra Uterine Growth Restriction), dilakukan NST (Nonstress Test) dan

profil biofisik.

3. Pemeriksaan urine protein

Dilakukan untuk mendeteksi protein sampai berapa dan apakah

menuju tanda-tanda pre eklamsia berat atau bahkan eklamsia.

Protein uria adalah adanya 300 mg protein dalam urin selama 24

jam atau sama dengan lebih besar sama dengan 1+ dipstick.

18
2.1.9 Penatalaksanaan medis

1. Pre Eklampsia Ringan (TD < 140/90)

a) Kehamilan kurang dari 37 minggu

Lakukan penilaian 2 kali seminggu secara rawat jalan:

1) Pantau tekanan darah, urin ( untuk proteinuria ), refleks, dan kondisi janin.

2) Konseling pasien dan keluarganya tentang tanda-tanda bahaya pre eklamsia

dan eklamsia.

3) Lebih banyak istirahat.

4) Diet rendah garam, tinggi protein.

5) Tidak perlu diberi obat-obatan.

6) Jika rawat jalan tidak mungkin, rawat di rumah sakit :

- Diet biasa.

- Pantau tekanan darah 2 kali sehari, dan urin (untuk proteinuria ) sekali

sehari.

- Tidak perlu diberi obat-obatan.

- Tidak perlu diuretik, kecuali jika terdapat edema paru, dekompensasi kordis,

atau gagal ginjal akut.

7) Jika tekanan diastolik turun sampai normal pasien dapat dipulangkan:

- Nasihatkan untuk istirahat dan perhatikan tanda-tanda pre eklamsia berat,

- Kontrol 2 kali seminggu untuk memantau tekanan darah, urin, kradaan

janin, serta gejala dan tanda-tanda pre eklamsia berat,

- Jika tekanan diastolik naik lagi, rawat kembali.

19
8) Jika tidak ada tanda-tanda perbaikan, tetap dirawat. Lanjutkan penanganan

dan observasi kesehatan janin.

9) Jika terdapat tanda-tanda pertumbuhan janin terhambat pertimbangkan

terminasi kehamilan. Jika tidak, rawat sampai aterm.

10) Jika proteinuria meningkat, tangani sebagai pre eklamsia berat.

h. Kehamilan lebih dari 37 minggu

1) Jika servik matang, pecahkan ketuban dan induksi persalinan dengan

oksitosin atau prostaglandin. Pantau denyut jantung janin dan his pada

induksi persalinan dengan prostaglandin.

2) Jika serviks belum matang, lakukan pematangan dengan

prostaglandin atau kateter Foley atau lakukan sectio cesarea. Jangan lakukan

kateter Foley jika ada riwayat perdarahan, ketuban pecah, petumbuhan janin

terlambat, atau infeksi vagina.

2. Pre Eklampsia Berat ( TD > 160/90)

Ditinjau dari umur kehamilan dan perkembangan gejala-gejala pre eklamsia berat

selama perawatan maka perawatan dibagi menjadi :

a. Perawatan aktif yaitu kehamilan segera diakhiri atau diteminasi ditambah

pengobatan medisinal.

b. Perawatan konservatif yaitu kehamilan tetap dipertahankan ditambah

pengobatan medisinal.

1) Perawatan aktif

Sedapat mungkin sebelum perawatan aktif pada setiap penderita dilakukan

fetal assesment ( NST & USG )

20
Indikasi :

- Ibu

Usia kehamilan 36 minggu atau lebih Adanya tanda - tanda atau gejala

impending eklamsia

- Janin

Hasil fetal assessment jelek ( NST & USG ). Adanya tanda IUGR

(Intrauterine growth restriction)

- Laboratorium

Adanya “ HELLP syndrome “ ( hemolisis dan peningkatan fungsi hepar,

trombositopenia )Sindrom HELLP biasanya muncul antara usia gestasi 32-

34 minggu dan 30% kasus terjadi pada periode pascapartum. Ibu yang

menderita sindrom HELLP sering mengeluh nyeri epigastrik, atau nyeri

pada kuadran kanan atas, serta mual dan muntah. Beberapa diantaranya

akan mengalami gejala seperti sindrom virus non-spesifik. Hipertensi dan

proteinuria biasanya tidak ada atau hanya sedikit abnormal.

2) Perawatan konservatif

- Indikasi : Bila kehamilan preterm kurang 36 minggu tanpa disertai tanda-

tanda impending eklamsia dengan keadaan janin baik.

- Terapi medikamentosa : Sama dengan terapi medikamentosa pada

pengelolaan aktif. Hanya loading dosis MgSO4 tidak diberikan intravena,

cukup intramuskular saja 4 gram dibokong kiri dan 4 gram pada bokong

kanan. Kortikosteroid (oradexon i.m. 2 kali 10 mg). Antibiotikum,

diuretikum dan kardiotonikum hanya diberikan atas indikasi.

21
3. Eklampsia

Penatalaksaan umu yang dilakukan pada ibu dengan eklampsia :

1) Ibu dirawat dirumah sakit dengan perawatan intensif

2) Penanganan kejang

- Hindari pemeriksaan yang berulang-ulang untuk mengurangi rangsangan

kejang

- Perlengkapan untuk penanganan kejang (jalan nafas, suction, masker

oksigen, menghindari tergigitnya lidah)

3) Pemberian cairan intravena

4) Obat-obatan : anti kejang

5) Sikap dasar : semua kehamilan dengan eklampsia harus diakhiri tanpa harus

memandang umur kehamilan dan keadaan janin. Pertimbangannya adalah

keselamatan ibu. Kehamilan diakhiri bila sudah terjadi stabilisasi

hemodinamika dan metabolisme ibu, cara terminasi dengan prinsip trauma

ibu seminimal mungkin (Dr. Noer Saudah, Dr. Indah Lestari, & Catur

Prasastia Lukita Dewi, 2018).

2.2 Konsep Nyeri Akut

2.2.1 Definisi

Nyeri adalah pengalam sensori yang tidak menyenangkan, unsur utama

yang harus ada untuk disebut sebagai nyeri adalah rasa tidak menyenangkan. Tanpa

unsur itu tidak dapat dikategorikan sebagai nyeri, walaupun sebaliknya semua yang

tidak menyenangkan disebut nyeri. Nyeri terjadi akibat adanya kerusakan jaringan

22
nyata (pain associate with actual tissur damage). Nyeri yang demikian dinamakan

nyeri akut yang dapat menghilang seiring dengan penyembuhan jaringan dan nyeri

yang demikian biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari (Ana Zakiyah, 2015)

Menurut buku (PPNI, 2016) nyeri akut merupakan pengalaman sensorik atat

emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan actual atau fungsional, dengan

onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang

berlangsung kurag dari 3 bulan.

2.2.2 Teori Tentang Nyeri

Terdapat beberapa teori tentang nyeri, antara lain sebagai berikut

(Andarmoyo, 2017) :

1. Teori Affect

Menurut teori ini, nyeri merupakan suatu emosi. Intensitasnya

bergantungpada Bagaimana klien mengartikan nyeri tersebut.

2. Teori Endorfin

Teori ini mengatakan, bahwa tubuh memproduksi zat kimia yang disebut

endorfin yang berperan untuk menolong tubuh dalam melawan rasa nyeri

secara alamiah. Endorphin mempengaruhi transmisi impuls. nyeri

endorphin memiliki kemampuan serupa dengan narkotik yaitu

menghambat rasa nyeri. Endorfin muncul dengan cara memisahkan diri

dari deoxyribo nucleid acid (DNA) tubuh. DNA adalah substansi yang

mengatur kehidupan sebuah sel dan memberikan perintah bagi sel untuk

tumbuh atau berhenti tumbuh. Pada permukaan sel terutama sel saraf

23
terdapat area yang menerima narkotika atau endorphin ketika endorphin

terpisah dari DNA, endorfin membuat kehidupan dalam situasi normal

menjadi terasa tidak menyakitkan. Endorfin harus diusahakan timbul pada

situasi yang menyebabkan rasa nyeri. Endorphin mempengaruhi transmisi

impuls nyeri dengan cara menekan pelepasan neurotransmitter di

persinabs atau menghambat konduksi impuls nyeri di postsinaps.

3. Teori Specificity

Teori ini mengatakan, bahwa ujung saraf spesifik berkolerasi dengan

sensasi, seperti sentuhan, hangat, dingin dan nyeri. Sensasi nyeri

berhubungan dengan pengaktifan ujung-ujung saraf Bebas oleh

rangsangan mekanik, kimia dan temperatur yang berlebihan. Sensasi nyeri

tersebut berjalan dari kulit dan spinal cord menuju pusat nyeri di thalamic

(thalamus).

4. Teori Pattern

Teori ini berusaha untuk memasukkan faktor-faktor yang tidak dijelaskan

oleh Specificity theory. Teori ini menyatakan bahwa nyeri berasal dari

tanduk dorsal spinal cord. Pola impuls saraf tertentu diproduksi dan

menghasilkan stimulus reseptor kuat yang dikodekan dalam sistem saraf

pusat (SSP) dan menandakan nyeri. Teori ini mengatakan, bahwa semua

Serabut saraf adalah sama. Nyeri dihasilkan karena adanya stimulasi dan

reseptor nyeri yang berlebihan pada sel atau keadaan patologi.

5. Teori Intensity

24
Teori ini berpendapat bahwa Nyeri adalah hasil rangsangan yang

berlebihan pada reseptor, setiap rangsangan reseptor sensasi mempunyai

potensi untuk menimbulkan nyeri jika menggunakan intensity yang cukup.

6. Teori Gate Control

Pada teori gate control impuls nyeri dapat dikendalikan oleh mekanisme

pintu gerbang yang ada di substansial gelatinosa pada dorsal horn spinal

cord untuk melepaskan atau menghambat transmisi nyeri. Dasar pertama

pemikiran gote control theory adalah bahwa keberadaan dan intensitas

pengalaman nyeri tergantung pada transmisi tertentu pada impuls-impuls

saraf. Kedua, mekaisme gate/pintu sepanjang sistem saraf mengontrol/

mengendalikan transmisi nyeri. Akhirnya, jika gate terbuka, impuls yang

menyebabkan sensasi nyeri dapat mencapai tingkat kesadaran. Jika gate

tertutup, impuls tidak mencapai tingkat kesadaran dan sensasi nyeri tidak

dialami. Terdapat tipe-tipe utama keterlibatan neurologis yang

mempengaruhi apakah gate terbuka atau tertup yaitu :

1) Tipe pertama menyangkut aktifitas dan serat-serat (fibers) saraf besar

dan kecil yang mempengaruhi sensasi nyeri. Impuls nyeri melalui

serat-serta yang berdiameter menutup gate pada impuls yang melalui

serat- serat kecil. Tehnik yang mengguakan stimulus kutaneous pada

kulit, yang mempunyai banyak saerat berdiameter besar, bisa

membantu menutup gate pada transmisi impuls yang menimbulkan

nyeri, dengan cara demikian meringankan/menghilangkan sensasi

25
nyeri. Intervensi/tindakan yang menerapkan teori ini meliputi

massage/pijat, kompres panas dan dingin, sentuhan, akupresure, dan

transcutaneous electric nerve stimulation (TENS).

2) Bentuk keterlibatan neurologis kedua impuls-impuls berasal dari

brainstem yang mempengaruhi sensasi nyeri. Monitor formasi

retikuler dalam brainstem tidak menghambat impuls nyeri, gate

terbuka, dan impuls nyeri ditransmisikan. Intervensi tindakan yang

menerapkan bagian gate control theory adalah berhubungan beberapa

cara input sensori ini, seperti tehnik distraksi, guided imegery, dan

visualisasi.

3) Tipe keterlibatan neurologis ketiga adalah aktivitas atau impuls

neurologis dalam korteks serebri atau thalamus, pikiran, emosi, dan

ingatas seorang bisa mengaktifkan impuls-impuls tertentu dalam

korteks serebri yang mencetuskan impuls nyeri, yang ditransmisikan

ke tingkatkesadaran. Pengalaman masa lalu yang berhubungan

dengan nyeri mempengaruhi bagaimana klien berespon terhadap nyeri

saat ini. Untuk alasan inilah sangat penting untuk menyelidiki

pengalaman klien sebelum dan mengajarkan pada klien apa yang

diharapkan dari situasi saat ini. Intervensi/tindakan yang menerapkan

bagian gate kontrol theory ini meliputi menggunakan dan mengajarkan

berbagai macam tehnik relaksasi, mengajarkan klien tentang harapan-

harapan apa tentang nyeri yang berhubungan dengan penyakit

tertentu, mengupayakan klien untuk merasakan ia mempunyai

26
beberapa pengontrolan ada minum obat-obatan

untuk pereda nyeri dan memberikan obat-obatan dengan tepat

misalnya sebagai pencegahan, sebelum nyeri timbul begitu hebat

dimana klien takut bahwa ia tidak akan mendapat pereda nyeri.

Metzack dan Wolf (1995) dalam kozier (1996) memperkenalkan teori

gate control atau teori pintu gerbang sebagai berikut:

a. Keberadaan (eksistensi) dan intensitas pengalaman nyeri

bergantung pada pengiriman (transmisi) rangsangan

neurologik.

b. Mekanisme pintu terdapat di sepanjang sistem saraf yang

mengontrol pengiriman rangsang nyeri.

c. Jika pintu terbuka, rangsangan yang dihasilkan dari sensasi

nyeri dapat dirasakan secara sadar. Jika pintu tertutup,

rangsangan nyeri tidak dapat mencapai batas kesadaran dan

sensori nyeri tidak dialami.

Sedangkan (Gautam, 2019) menyatakan bahwa sensasi dengan

teori kontrol yang dikemukakan oleh wall bahwa impuls nyeri

dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls akan dihambat

saat sebuah pertahanan tertutup titik upaya menutup pertahanan

merupakan dasar terapi untuk menghilangkan nyeri. upaya menutup atau

pemblokan ini dapat dilakukan melalui pengalihan perhatian ataupun

dengan tindakan relaksasi. (Tetty, 2015)berpendapat bahwa ketika

27
seseorang mengalami gangguan rasa nyeri saraf yang bekerja adalah

sistem saraf simpatis dimana sistem saraf ini berperan dalam

meningkatkan denyut jantung dan menyebabkan ketegangan pada otak

dan otot seseorang. Dengan

penggunaan teknik relaksasi maka saraf simpatis akan dihambat

sementara saraf parasimpatis meningkat sehingga mengakibatkan

ketegangan otak dan otot seseorang akan berkurang. dengan

mengaktifkan saraf saraf parasimpatis akan menyebabkan pasien

merasakan nyeri berkurang.

2.2.3 Etiologi

Nyeri dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu trauma, mekanik, thermos,

elektrik, neoplasma (jinak dan ganas), peradangan (inflamasi), gangguan sirkulasi

darah dan kelainan pembuluh darah serta trauma psikologis (Handayani, 2015).

Menurut (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017) :

1. Agen pencedera fisiologi (mis. inflamasi, iskemia, neoplasma)

2. Agen pencedera kimiawi (mis. terbakar, bahan kimia iritan)

3. Agen pencedera fisik (mis. abses, amputasi, terbakar, terpotong,

mengangkat berat, prosedur operasi, trauma, latihan fisik

berlebihan)

28
2.2.4 Sifat-sifat nyeri

Berikut adalah beberapa sifat dari nyeri (triyana,2013):

a. Nyeri bersifat subjektif dan individual.

b. Nyeri tidak dapat dinilai secara objektif seperti sinar-x atau Lab

darah.

c. Perawat hanya dapat mengkaji nyeri pasien dengan melihat

perubahan fisiologis tingkah laku dan dari pernyataan klien.

d. Hanya klien yang mengetahui saat nyeri timbul dan rasanya.

e. Persepsi yang salah tentang nyeri menyebabkan manajemen

nyeri menjadi tidak optimal.

2.2.5 Manifestasi klinis

1) Gejala dan tanda

mayor :

Subjektif :

a. Mengeluh nyeri

Objektif :

Tampak meringis

a. Bersikap protektif (mis. waspada, posisi menghindari nyeri)

b. Gelisah

c. Frekuensi nadi meningkat

d. Sulit tidur

(2) Gejala dan tanda minor

29
:

Subjektif : tidak tersedia

Objektif :

a. Tekanan darah meningkat

b. Pola nafas berubah

c. Proses berpikir terganggu

d. Menarik diri

e. Berfokus pada diri sendiri

f. Diaphoresis (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017)


2.2.6 Klasifikasi

1. Berdasarkan lama keluhan

a. Nyeri akut

Respon fisiologis normal yang disebabkan karena rangsangan kimiawi,

panas, atau mekanik setelah suatu pembedahan, trauma, dan penyakit akut.

Nyeri akut terjadi kurang dari enam bulan.

b. Nyeri kronis

Nyeri kronis adalah nyeri yang menetap lebih dari 6 bulan.

2. Berdasarkan Lokasi

Berdasarkan lokasinya nyeri dibedakan menjadi :

a. Periferal pain : nyeri permukaan (superficial pain), nyeri dalam (deep),

nyeri alihan (reffered pain), nyeri yang dirasakan pada area yang bukan

merupakan sumber nyerinya.

30
b. Central pain, terjadi karena perangsangan pada susunan saraf pusat,

medula spinalis, batang otak dan lain-lain.

c. Psychogenic pain, nyeri dirasakan tanpa penyebab organik, tetapi akibat

dari trauma psikologis.

d. Phantom pain, merupakan perasaan pada bagian tubuh yang sudah tak

ada lagi. Contohnya pada amputasi, phantom pain timbul akibat dari

stimulasi dendrit yang berat dibandingkan dengan stimulasi reseptor

biasanya. Oleh karea itu, orang tersebut akan merasa nyeri pada area yang

telah diangkat.

e. Radiating pain, nyeri yang dirasakan pada sumbernya yang meluas ke

jaringan sekitar.

f. Nyeri somatis dan nyeri viseral, kedua nyeri ini umumnya bersumber dari

kulit dan jaringan dibawah kulit (superfisial) pada otot tulang (Mubarak,

2015)

3. Menurut Sifat :

a. Insidental : timbul sewaktu-waktu dan kemudian menghilang.

b. Steady : nyeri timbul menetap dan dirasakan dalam waktu yang lama.

c. Paroxysmal : nyeri dirasakan berintegritas tinggi dan kuat sekali serta

biasanya menetap 10-15 menit, lalu menghilang dan kemudian timbul

kembali.

d. Intractable pain : nyeri yang resisten dengan diobati atau dikurangi.

31
Contoh pada artritis, pemberian analgetik narkotik merupakan

kontraindikasi akibat dari lamanya penyakit yang dapat mengakibatkan

kecanduan (Mubarak, 2015)

4. Menurut Intensitas Rasa Nyeri :

a. Nyeri ringan : dalam intensitas rendah.

b. Nyeri sedang : menimbulkan suatu reaksi fisiologis dan pasikologis.

c. Nyeri berat : dalam intensitas tinggi (Mubarak, 2015)

5. Cara Mengukur Intensitas Nyeri

Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri

dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan

individual, serta kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama

dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri

dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan

respons fisiologis tubuh terhadap nyeri itu sendiri (Mubarak, 2015)

A. HAYWARD (1975)

Mengembangkan sebuah alat ukur nyeri (painometer) dengan

skala longitudinal yang pada salah satu ujungnya mencantumkan nilai 0

(untuk keadaan tanpa nyeri) dan ujung lainnya nilai 10 (untuk kondisi

nyeri paling hebat). Untuk mengukurnya, penderita memilih salah satu

bilangan yang menurutnya paling menggambarkan pengalaman nyeri

yang terakhir kali ia rasakan, dan nilai ini dapat dicatat pada sebuah

grafik yang dibuat menurut waktu. Intensitas nyeri ini sifatnya subjektif

32
dan dipengaruhi oleh banyak hal, seperti tingkat kesadaran, konsentrasi,

jumlah distraksi, tingkat aktivitas dan harapan keluarga. Intensitas nyeri

dapat dijabarkan dalam sebuah skala nyeri dengan beberapa kategori.

Skala 4 – 6 = nyeri sedang

Skala 7 – 9 = sangat nyeri tapi masih bisa dikontrol oleh pasien dengan

aktifitas yang biasa dilakukan

Skala 10 = sangat nyeri yang tidak bisa dikontrol.

e. Skala Nyeri McGill (McGill Scale)

Mengukur intensitas nyeri dengan menggunakan 5 angka, yaitu

0 : tidak nyeri; 1: nyeri ringan; 2: nyeri sedang; 3: nyeri berat; 4:

nyeri sangat berat; dan 5: nyeri hebat.

Gambar 2.2Wong Baker

WONG-BAKER FACES RATING SCALE

Ditujukan kepada pasien yang tidak mampu menyatakan intensitas nyerinya

melalui skala angka.

Gambar 2.3 Gambar Face Rating

33
f. Menurut (Smetzer S C, 2010) skala intensitas nyeri adalah sebagai

berikut:

Skala Intensitas Nyeri Deskriptif

Gambar 2.4 Skala Intensitas Nyeri Deskriptif

Karakteristik paling subjektif pada nyeri adalah tingkat

keparahan atau intensitas nyeri tersebut. Pasien sering kali diminta untuk

mendeskripsikan nyeri sebagai yang ringan, sedang atau parah. Skala

deskriptif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih

objektif. Scale-VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri atas 3 sampai

5 kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama disepanjang

garis. Pendeskripsi ini di-ranking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri

yang tidak tertahankan”. Perawat menunjukkan pasien skala tersebut dan

meminta pasien untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang ia rasakan.

Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan

dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini

memungkinkan pasien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan

nyeri.

1. Skala Penilaian Nyeri Numerik

34
Gambar 2.5 Skala Nyeri Numerik

Skala penilaian numerik (Numerical Rating Scales- NRS) lebih

digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, pasien

menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif

digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi

terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka

direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR, 1992). Skala numerik paling

efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan sesudah

diberikan teknik relaksasi progresif. Selain itu, selisih penurunan dan

peningkatan nyeri lebih mudah diketahui dibanding skala yang lain.

Skala Analog Visual

Gambar 2.6 Skala Analog Visual

Skala analog visual (Visual Analog Scale-VAS) tidak melabel

subdivisi. VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri

yang terus-menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala

35
ini memberi pasien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan

nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih

sensitif karena pasien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian

daripada dipaksa memilih satu kata atau satu angka.

Skala Menurut Bourbanis

Gambar 2.7 Skala Nyeri Menurut BourBanis

Keterangan :

0 :Tidak nyeri

1-3 :Nyeri ringan, secara objektif pasien dapat berkomunikasi dengan baik

4-6 :Nyeri sedang, secara objektif pasien mendesis, menyeringai, dapat

menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dan dapat mengikuti

perintah dengan baik.

7-9 :Nyeri berat, secara objektif pasien terkadang tidak dapat mengikuti perintah

tapi masih respons terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat

mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan

distraksi

10 :Nyeri sangat berat, pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, memukul.

Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan tidak

36
menghabiskan banyak waktu saat pasien melengkapinya. Apabila pasien dapat

membaca dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala

deskriptif bukan bermanfaat bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat keparahan

nyeri, melainkan juga mengevaluasi perubahan kondisi pasien. Perawat dapat

menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih memburuk atau menilai

apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan (Mubarak, 2015).

2.2.7 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Nyeri

1. Usia

Usia merupakan variable penting yang mempengaruhi nyeri, khususnya

pada anak-anak karena mempunyai kesulitan dalam mengungkapkan dan

mengeskresika nyerinya.

2. Jenis kelamin

Secara umum, tidak berbeda secara makna dalam mereka merespon

nyeri. Akan tetapi, toleransi terhadap nyeri dipengaruhi oleh biokimia dan

itu merupakan hal yang unis setiap individu.

3. Kebudayaan

Keyakinan dan nilai kebudayaan mempengaruhi cara setiap individu

mengatasi nyeri. Ada beberapa yang beranggapan memperlihatkan rasa

sakit itu adalah kelemahan, akan tetapi sebaliknya ada juga yang

beranggapan memperlihatkan rasa sakit adalah hal wajar.

4. Perhatian

Tingkat seseorang memfokuskan perhatian pada nyeri dapat

37
mempengaruhi persepsi nyeri. Upaya untuk mengalihkan perhatian

dihubungkan dengan penurunan sensasi nyeri.

5. Makna nyeri

Makna seseorang tentang nyeri biasanya dipengaruhi dengan

pengalaman nyeri dan cara saesorang beradaptasi terhadap nyeri.

6. Ansietas

Ansietas dapat meningkatkan persepsi nyeri, sebaliknya nyeri juga

dapat menimbulkan ansietas bagi orang yang mengalami nyeri.

7. Mekanisme koping

Gaya koping dapat mempengaruhi seseorang dalam mengatasi dan

mengendalikan nyeri

8. Keletihan

Rasa kelelahan dapat meningkatkan sensasi nyeri karena dapat

menurunkan kemampuan koping untuk mengatasi nyeri.

9. Pengalaman sebelumnya

Seseoarng yang tidak pernah mengalami nyeri merasa nyeri lalu

mengalami nyeri untuk pertama kalinya maka persepsinya akan

berbeda dengan orang yang mengalami nyeri yang sama dan mampu

mengatasi nyeri dengan mudah, dan lebih siap untuk melakukan

tindakan untuk mengatasi nyeri.

10. Dukungan keluarga dan sosial

Dukungan keluarga dan sikap mereka mampu mempengaruhi respon

seseorang dalam merespon rasa nyeri (Ana Zakiyah, 2015).

38
2.2.8 Komplikasi

1. Gangguan laktasi/menyusui

2. Intoleransi aktivitas

3. Ansietas

4. Infeksi

2.2.9 Penatalaksanaan Nyeri

1. Secara farmakologi

Pemberian obat analgesic non-opioid, seperti aspirin,

asamfemenamat, ibuprofen. Bekerja memblokir pembentukan

prostaglandin dengan jalan menginhibisi enzim siklooksigenase pada

daerah terluka, sehingga mengurangi pembentukan mediator nyeri.

2. Pemberian analgesic opioid

Golongan obat yang dapat menimbulkan ketergantungan, akan tetapi

dapat mengatasi nyeri yang sangat hebat dengan efektif. Jenis obat-

obtannya ada codeine, benzonatate, meperidine, dll

3. Analgesia inhalasi

Pengenalan simpson mengenai anastesia/ analgesia kedalam

persalinan pada tahun 1847 dalam bentuk kloroform yang diberikan

secara inhalasi. Berbagai analgesia inhalasi telah digunakan dalam

persalinan, termasuk metoksifluran. Di nitrogen pksida menghasilkan

analgesia atau anastesia dengan membatasi transmisi neuronal dan

sinaptik dalam system saraf pusat SSP, dengan meningkatkan ambang

39
letup potensial aksi (Rosemary Mander, 2003)

4. Secara non-farmakologi

a. Pemberian kompres panas dan dingin

b. Masase pada daerah jaringan lunak, biasanya pada tendon, otot,

atau ligament .

c. Distraksi, pengalihan focus klie terhadap hal lain

d. Relaksasi, digunakan untuk menurunkan kecemasan dan

ketegangan otot (Ana Zakiyah, 2015).

e. Modulasi psikologis nyeri antara lain ( relaksasi, hipnoterapi,

imajinasi, umpan balik biologis, dan psikoprofilaksis )

(Rosemary Mander, 2003)

f. Modulasi sensorik antara lain ( terapi manual yaitu dengan

masase, sentuhan terapeutik, terapi quasi- manual, akupresur,

akupuntur, sedangkan terapi bukan manual yaitu TENS

transcutaneous electrical nerve stimulation, music, hidroterapi,

homeopati, posisi, postur dan ambulasi, lingkungan persalinan)

(Rosemary Mander, 2003)

g. Intervensi dan strategi lain : Strategi menghadapi nyeri

persalinan yang diabaikan secara luas yaitu berteriak, yang akan

bermanifestasi dengan cara lain sebagai tangisan atau erangan

(Rosemary Mander, 2003)

h. Relaksasi autogenic, relaksasi benson, dan Swedish massage

(Ayu andriana, 2021)

40
2.2.10 Nyeri Persalinan

1. Nyeri pada persalinan tanpa komplikasi

Nyeri persalinan biasanya dikaitkan dengan regangan, tekanan, dan robekan

struktur struktur local. Walaupun karakteristik yang berbeda dikaitkan

dengan nyeri pada kala persalinan yang berbeda.

2. Nyeri Pada Persalinan Dengan Komplikasi

Pada persalinan yang dimulai tanpa komplikasi, ibu dapat menghadapi nyeri

drajat lain. Nyeri tambahan, mungkin dengan tanda dan gejala lain, dapat

menunjukkan komplikasi yang mengancam kesejahteraan bayi, ibu atau

keduanya.

a. Persalinan OP (nyeri persalinan dengan kepala janin dalam posisi

oksipito posterior OP).

b. Ruptur uteri

Nyeri ruptur uteri mencangkup nyeri tekan, dengan karakteristik

nyeri tekan suprapubik kontinu persisten, diantara kontraksi. Drajat

syok maternal dan janin yang terlibat bergantung pada waktu, ketiba

tibaan dan luasnya rupture.

c. Inversion uteri

Inversion uteri terjadi selama kala III persalinan, inversion uteri

bervariasi dalam keparahan dan derajat nyeri yang dialami, nyeri

wanita diakibatkan oleh traksi pada ligamentum latum uteri,

ligamentum teres uteri dan ligamentum ovary propium yang

41
menyongkong uterus melalui perlekatannya pada kornu dengan

dinding samping pelvis (Rosemary Mander, 2003).

2.3 Konsep Asuhan Keperawatan

2.3.1 Pengkajian

1. Biodata

Identitas klien meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat,

pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam masuk rumah sakit, nomer

register, diagnosis medis.

2. Riwayat Kesehatan

Preeklampsia sering terjadi pada primigravida, yaitu usia < 20 tahun atau > 35

tahun (Mimin, 2020).

a. Keluhan utama

Klien dengan preeklampsia sering mengeluh demam dan sakit kepala.

b. Riwayat penyakit sekarang

Terjadi peningkatan tekanan darah, oedema pada ekstremitas, pusing, nyeri

epigastrium, mual muntah, penglihatan kabur . pada pasien dengan preeklampsi

perlu diketahui apakah ada pengeluaran cairan pervaginam berupa lendir

bercampur darah.

c. Riwayat penyakit dahulu

Kemungkinan mempunyai riwayat preeklampsia dan eklampsia dalam keluarga.

3. Riwayat kehamilan

Klien memiliki riwayat kehamilan ganda, mola hidatidosa, hidramnion serta

riwayat kehamilan dengan preeklampsia atau eklampsia sebelumnya.

42
a. Riwayat penggunaan kontrasepsi

Perlu ditanyakan pada klien, apakah pernah atau tidak mengikuti kontrasepsi jika

klien pernah mengikuti kontrasepsi maka yang ditanyakan adalah jenis

kontrasepsi, efek samping, alasan pemberhentian kontrasepsi (bila tidak

memakai kembali) serta lamanya penggunaan kontrasepsi.

b. Pola aktivitas sehari-hari

Pada klien preeklampsia biasanya terjadi gejala kelemahan, penambahan berat

badan atau penurunan berat badan, dan ditandai dengan pembengkakan pada

bagian ekstremitas dan wajah.

4. Pengkajian B1-B6

a. B1 (Breathing)

➢ Inspeksi : Dikaji apakah terdapat lesi, jejas, masa abnormal, pada klien

dengan preeklampsia biasanya pernafasan kurang dari 16 x/menit, klien

mengalami sesak setelah melakukan aktivitas, Edema paru-paru.

➢ Palpasi : Dikaji apakah nyeri tekan pada bagian dada / payudara.

➢ Auskultasi : Pada klien dengan Preeklampsia biasanya terdapat suara nafas

tambahan.

b. B2 (Blood)

➢ Inspeksi : Pada klien preeklampsia biasanya terdapat sianosis, kulit pucat,

sakit kepala berat, Adanya HEELP syndrome (H=Hemolysis,

ELL=Elevated Liver Enzim, P=Low Platelet Count).

43
➢ Palpasi : biasanya terjadi peningkatan tekanan darah 160/110 mmHg atau

lebih diukur minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam pada keadaan

istirahat, nadi meningkat atau menurun.

➢ Perkusi : untuk mengetahui apakah ada kelainan pada resonasi jantung.

➢ Auskultasi : untuk mendengar kan irama jantung.

c. B3 (Brain)

➢ Inspeksi : keadaan umum (baik, cukup, lemah), kesadaran composmentis

(eye: 4, verbal: 5, motorik: 6). pada klien dengan preeklampsia kadang

terjadi hiperfleksi, dan klonus pada kaki.

➢ Palpasi : Kepala sampai leher: pada klien dengan preeklampsia terkadang

terjadi oedem pada bagian wajah, pada leher terkadang terdapat pembesaran

vena jugularis.

d. B4 (Bladder)

➢ Inspeksi : Pada klien dengan preeklampsia sering ditemukan gejala

Proteinuria 5 gram / 24 jam atau lebih atau pada pemeriksaan kualitatif,

Oliguria urine 400ml/24 jam atau kurang.

➢ Palpasi : dikaji apakah terdapat nyeri tekan / pembesaran pada kandung

kemih.

44
e. B5 (Bowel)

➢ Inspeksi : pada klien intranatal abdomen membesar sesuai usia kehamilan,

apakah adanya sikatrik bekas operasi atau tidak. jenis makanan yang

dikonsumsi baik makanan pokok maupun selingan. Pada klien dengan

preeklampsia sering terjadi peningkatan berat badan atau penurunan berat

badan, dan terkadang nyeri pada epigastrium, serta terjadi mual/muntah.

➢ Palpasi : Pada pemeriksaan dengan cara palpasi maka akan ditemukan hasil

nyeri tekan epigastrium dan hasil pemeriksaan meliputi :

- Leopod I

Teraba fundus uteri 3 jari dibawah procecus xyphoideus , teraba massa

lebar, lunak noduler.

- Leopod II

Teraba tahanan terbesar di sebelah kiri, bagianbagian kecil janin disebelah

kanan. Pada pemeriksaan ini berfungsi untuk mendengar kan detak jantung

janin, nilai normal detak jantung janin ialah 142 kali dan terdengar regular.

- Leopod III

Teraba masa keras.

- Leopod IV

Pada bagian terbawah janin telah masuk pintu atas panggul.

f. B6 (Bone)

➢ Inspeksi : Pada klien preeklampsia biasanya terjadi gejala kelemahan,

penambahan berat badan atau penurunan berat badan, dan ditandai dengan

pembengkakan pada bagian ekstremitas dan wajah.

45
➢ Palpasi : biasanya dikaji apakah klien ada pembengkakan pada ekstermitas.

2.3.1 Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologi (mis. Inflamasi,

iskemia, neoplasma), agen pencedera kimiawi (mis. Terbakar, bahan kimia

iritan), agen pencedera fisik (mis. Abses, amputasi, prosedur pembedahan,

trauma) (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017)

2.3.2 Intervensi keperawatan

Tabel 2.3 Intervensi Keperawatan


NO DIAGNOSA TUJUAN DAN INTERVENSI
KRITERIA HASIL
1. Nyeri Akut • kontrol

• Objektif (meringis, lingkungan yang

gelisah, kesulitan dapat

tidur menurun, mempengaruhi

frekuensi nadi, pola nyeri seperti suhu

nafas, tekanan darah ruangan,

dalam batas normal pencahayaan dan

nadi (60-100x/menit) kebisingan

pola nafas (16- • berikan Teknik

20x/menit) Tekanan nonfarmakologi

darah ( sistolik 100 – seperti Teknik

130 mmHg, diastolik distraksi relaksasi,

60-90 mmHg) hipnoterapi,umpan

46
balik biologis,

psikoprofilaksis,

sentuhan terapeutik,

terapi quasi manual,

akupuntur, TENS

(transcutaneous

electrical nerve

stimulation, music,

hidroterapi,

homeopati

(Rosemary Mander,

2003). relaksasi

autogenic, relaksasi

benson, Swedish

massage

• kolaborasi
pemberian analgetic

2.3.3 Implementasi keperawatan

Implementasi merupakan tindakan yang sesuai dengan yang telah

direncanakan, menyangkut tindakan mandiri dan kaloborasi. Tindakan mandiri

adalah tindakan keperawatan berdasarkan analisis dan kesimpulan perawat dan

bukan atas petunjuk tenaga kesehatan lain. Sedangkan tindakan kaloborasi adalah

tindakan keperawatan yang didasarkan dari hasil keputusan bersama dengan

47
dokter atau petugas kesehatan lain (Tarwoto, 2015)

2.3.4 Evaluasi keperawatan

Evaluasi merupakan tahap akhir dalam proses keperawatan untuk dapat

menentukan keberhasilan dalam asuhan keperawatan. Evaluasi pada dasarnya

adalah membandingkan status keadaan kesehatan klien dengan tujuan atau

kriteria hasil yang telah ditetapkan. Evaluasi perkembangan kesehatan klien

dapat dilihat dari hasil tindakan keperawatan, tujuannya adalah mengetahui

sejauh mana tujuan perawatan dapat dicapai dan memberikan umpan balik

terhadap asuhan keperawatan yang diberikan. Evaluasi keperawatan meliputi 4

komponen, yang dikenal dengan istilah SOAP, yakni subyektif (respon verbal

pasien terhadap tindakan), obyektif (respon nonverbal hasil dari tindakan dan

data hasil pemeriksaan), analisis data (menyimpulkan masalah, masih tetap ada,

berkurang atau muncul masalah baru) dan perencanaan (perencanaan atau tindak

lanjut tindakan yang akan dilakukan selanjutnya berdasarkan hasil analisa dari

respon pasien) (Tarwoto, 2015).

48

Anda mungkin juga menyukai