Anda di halaman 1dari 7

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/353598632

Eksternalitas Positif dan Negatif

Preprint · December 2019


DOI: 10.13140/RG.2.2.35420.10885

CITATIONS READS
0 244

1 author:

Shidarta Shidarta
Binus University
398 PUBLICATIONS   201 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Coastal Resources Management Project/Mitra Pesisir (USAID) View project

Legal Text-Mining View project

All content following this page was uploaded by Shidarta Shidarta on 31 July 2021.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


BINA NUSANTARA BINUS UNIVERSITY Business Law  

People Innovation Excellence

Home
Rubric of Faculty Members EKSTERNALITAS POSITIF DAN NEGATIF

EKSTERNALITAS POSITIF DAN NEGATIF

Oleh SHIDARTA (Desember 2019)

Kita biasanya pasrah apabila berhadapan dengan kebijakan dari pemegang otoritas yang tidak
pernah berpikir panjang tentang kebijakan yang diambil. Contoh sederhana, saya alami beberapa
waktu lalu. Dulu, apabila saya harus memutar arah di sebuah penggalan jalan raya menuju
kawasan Bumi Serpong Damai, Tangerang Selatan, saya hanya perlu menempuh jarak kurang dari
setengah kilometer. Kini, setelah sebuah pusat perbelanjaan dibangun di seberang jalan,
perputaran arah (U-turn) itupun ditutup dengan rintangan rantai besi kendati rambu untuk
berputar arah masih terpasang. Semua kendaraan yang akan berputar arah sekarang harus
mencari perputaran alternatif berikutnya dengan menempuh jarak hampir tiga kali lipat lebih
jauh. Patut diduga, penutupan titik perputaran pertama ini ada kaitannya dengan beroperasinya
pusat perbelanjaan tersebut. Tujuannya agar kendaraan-kendaraan yang berputar arah ini bakal
digiring untuk melewati jalan raya di depan pintu masuk ke pusat perbelanjaan tadi dengan
harapan ada yang tertarik untuk mampir. Para pengendara selama ini pasrah karena tidak punya
kuasa menolak kebijakan demikian.

Bagi para penstudi ekonomi, kebijakan yang punya dampak bagi masyarakat sebagai pihak ketiga
yang “tinggal terima” seperti itu, dikenal dengan eksternalitas. Ada eksternalitas positif apabila
dampaknya menguntungkan masyarakat (positive externality), namun biasanya yang lebih banyak
terjadi (juga dipermasalahkan) adalah eksternalitas negatif (negative externality) karena
dampaknya ternyata merugikan. Ragaan berikut ini akan membantu menunjukkan perbedaan
dari kedua eksternalitas tersebut.
Jarak tempuh yang lebih jauh bagi pengendara pasti berdampak pada waktu dan biaya bahan
bakar. Kita sebut saja ini semua sebagai PRICE. Namun, pemegang otoritas mungkin punya dalih
bahwa kebijakan memindahkan titik perputaran itu juga penting mengkomodasi pelaku bisnis,
tepatnya agar pusat perbelanjaan ini dapat berkembang. Jika makin besar kemungkinannya
dikunjungi oleh pemilik dan penumpang kendaraan yang mampir di sana, berarti investor
mendapatkan jaminan laba atas modal yang sudah ditanamkan di usaha tersebut. Lebih jauh lagi,
apabila didapati ada geliat perekonomian di daerah itu, maka hal ini tentu sehat bagi pendapatan
daerah, sekaligus mendorong pembukaan lapangan kerja.

Katakanlah, atas semua pertimbangan itu, muncul kebijakan yang sangat konkret, yakni dengan
mengubah titik perputaraan kendaraan. Dari yang semula ada di dua titik, X dan Y, sekarang
hanya ada di titik Y. Kita sebut saja perubahan titik perputaran ini sebagai perubahan QUANTITY.
Posisi titik perputaran semula (X dan Y) menuju perputaran sekarang (Y saja).  Pergeseran ini
ditandai perubahan dari Q ke Q1. Ternyata, bagi masyarakat sebagai pihak ketiga yang terkena
dampak, ada tambahan PRICE akibat perubahan tadi. Misalnya, waktu tempuh mereka menjadi
rata-rata 15 menit lebih lama, antara lain juga ditambah dengan kemacetan akibat penyempitan
jalan karena banyak kendaraan umum yang berhenti menaik-turunkan penumpang persis di
muka pusat perbelanjaan. Perubahan PRICE ini kita sebut saja sebagai perubahan P ke P1.

Pada ragaan sebelah kiri, QUANTITY tampak menurun, sebaliknya PRICE menaik. Ada dua sumbu
yang bersilangan, yaitu sumbu marginal private cost (MPC) dan sumbu marginal private benefit
(MPB). Persilangan antara dua sumbu ini merupakan pilihan yang paling rasional bagi pemilik
kendaraan. Titik perputaran di X ini dipandang sudah efisien. Dengan perkataan lain,
keseimbangannya ada pada titik X.
Dengan dibangunnya pusat perbelanjaan, maka ada dampak sosial yang harus ditanggung oleh
masyarakat. Para pengendara sekarang menemukan sumbu lain, yaitu sumbu marginal social cost
(MSC), yaitu naiknya biaya sosial. Titik perputaran di Y dirasakan merupakan pilihan yang tidak lagi
efisien. Kini terdapat keseimbangan baru hasil kebijakan baru, yakni pada titik Y. Arsiran area
antara MPC dan MSC itu, yang tercipta dari titik X ditarik vertikal sehingga menyentuh sumbu MSC
di atasnya merupakan wilayah inefisiensi pasar yang telah tercipta. Dalam istilah ekonomi, area ini
disebut deadweight welfare loss (DWL) yang dalam ekonomi biasanya disebabkan oleh
overproduksi barang/jasa. Namun, dalam konteks contoh kita ini, DWL terjadi karena
pertambahan jarak tempuh yang telah dibebankan kepada semua pengendara. Di sini kita dapat
menyimpulkan bahwa perubahan titik perputaran arah kendaraan ini telah menimubulkan
eksternalitas negatif.

Adakah kemungkinan kebijakan perputaran arah ini menimbulkan eksternalitas positif?


Kemungkinan itu bisa saja terjadi, misalnya dengan tetap membiarkan titik putar X dan Y tetap
dibuka. Dengan dibiarkannya ada dua titik perputaran arah (X dan Y), jumlah kendaraan yang
ingin berputar arah dapat dipecah tanpa harus terkonsentrasi hanya pada satu titik. Lalu lintas
menjadi lebih lancar. Karena lalu lintas lancar di sekitar pusat perbelanjaan itu, maka masyarakat
menjadi tertarik untuk datang. Citra negatif bahwa daerah sekitar pusat perbelanjaan itu sebagai
biang kemacetan, kini dapat dibenahi.

Apabila dicermati ragaan sebelah kanan, maka sumbu yang baru dan ditambahkan adalah sumbu
marginal social benefit (MSB). Arsiran antara sumbu MPB dan MSB, yang ditarik dari titik
keseimbangan X ditarik ke atas sehingga menyentuh sumbu MSB. Kebijakan yang
menguntungkan seperti ini harus cepat diambil oleh pemegang otoritas. Jika keputusan untuk
membuka titik perputaran ini tidak dilakukan, maka akan tercipta DWL, yaitu kerugian akibat
sebuah kebijakan yang bereksternalitas positif, tetapi tidak diambil.

Penjelasan eksternalitas seperti di atas dapat diterapkan untuk contoh-contoh lain yang lebih luas
dan beragam, dan tentu saja dapat dikuantifikasi. Sebagai contoh, temuan Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) yang dirilis pada 2017, menyatakan bahwa nilai kerugian akibat kerusakan
lingkungan di wilayah penambangan PT Freeport (Papua) mencapai Rp 185 triliun. Kerusakan
lingkungan terjadi karena tidak layaknya penampungan tailing di sepanjang Sungai Ajkwa,
Kabupaten Mimika, Papua. Kerugian lingkungan di area hulu diperkirakan mencapai Rp 10,7
triliun, muara sekitar Rp 8,2 triliun, dan Laut Arafura Rp 166 triliun. Pelanggaran serius terjadi
karena area penampungan tailing sebetulnya telah dibatasi hanya 230 kilometer persegi di
wilayah hulu, tapi merembes hingga ke muara sungai (lihat:
<https://kolom.tempo.co/read/1169527/menanggung-dampak-limbah-freeport/full&view=ok>).

Pemerintah wajib mengambil sikap, sehingga DWL tidak terus terjadi akibat perusakan lingkungan
berkepanjangan. Di sini Pemerintah, misalnya, dapat mengenakan denda yang setimpal pada PT
Freeport yang telah melakuka pelanggaran. Pemerintah juga harus mengalokasikan bagian
tertentu dari keuntungan finansial yang sudah didapat dari usaha penambangan PT Freeport itu
agar dikompensasi kepada pihak ketiga yang terbebani perilaku perusahaan dan sikap pembiaran
Pemerintah yang bereksternalitas negatif selama ini. Perubahan peraturan dan kontrak adalah
model solusi lain yang mungkin dapat ditempuh dalam jangka menengah dan panjang. Semua
langkah di atas adalah bentuk-bentuk respons sebagai tindak lanjut dari perhitungan
eksternalitas negatif.

Bagi penganut aliran utilitarianisme, perhitungan eksternalitas ini merupakan salah satu bentuk
kuantifikasi kemanfaatan yang dapat digunakan guna mengevaluasi suatu peraturan dan/atau
kebijakan. Teknik perhitungan ini menunjukkan pendekatan ekonomi terhadap hukum. Di sini
terlihat kontribusi ilmu ekonomi sebagai bagian dari ilmu-ilmu empiris tentang hukum dalam
membantu pengevaluasian hukum positif. (***)

Published at : 15 December 2019


RELATED CONTENT

REFLEKSI HUKUM DI 71 TAHUN INDONESIA MERDEKA


RENSTRA KOMISI YUDISIAL DALAM OPTIK PUBLIK DAN INTERNAL HAKIM
KEWENANGAN PEMERINTAH PUSAT DALAM MENGUJI PERATURAN DAERAH PASKA PUTUSAN
MAHKAMAH KONTITUSI

SHARE THIS

LEAVE YOUR FOOTPRINT

NAME*

EMAIL*

MESSAGE*

SUBMIT

GET CONNECTED WITH


SOCIAL MEDIA
Let’s relentlessly connected and get caught up each other.

William Tanuwijaya, Co-Founder & CEO of Tokopedia merupakan salah satu alumni BINUS University angkat
...

5 days ·
reply · retweet · favorite
View publication stats

More From
BINUS EDUCATION

Select Program

Say Hi ! or..
SEND YOUR QUESTION

BINUS UNIVERSITY | Business Law


Kijang Campus

Jl. Kemanggisan Ilir III No. 45, Palmerah

Jakarta 11480, Indonesia


Phone +62-21 532 7630, +62-21 534 5830 ext. 2451

Fax +62-21 533 2985

Copyright © BINUS UNIVERSITY. All rights reserved.

Anda mungkin juga menyukai