1
Air Force (USAF) melaporkan bahwa terdapat lonjakan pendaftaran pilot kurang lebih
sebesar 2100 pilot[1]. Pilot sendiri merupakan profesi yang memiliki resiko yang cukup
tinggi karena memegang peranan penting dalam menerbangkan pesawat. Oleh karena itu
diperlukan kualifikasi khusus untuk menjadi seorang pilot. Salah satu syarat penting
untuk menjadi seorang pilot yaitu tidak mempunyai gangguan terhadap ketinggian atau
acrophobia.. Hal ini dikarenakan setiap hari seorang pilot akan berhubungan langsung
dengan ketinggian.
Acrophobia adalah keadaan dimana seseorang takut akan ketinggian, hal ini bisa
ditimbulkan karena adanya ketakutan atau peristiwa buruk yang terjadi di masa lampau.
Seseorang yang mengidap acrophobia akan mengalami panik dengan ciri fisik
berkeringat, mual, menggigil, dan gemetar [2]. Ketakutan akan ketinggian ini bisa
menggangu bagi kehidupan seseorang bahkan dapat menghambat kehidupan sehingga
banyak terapi yang telah dilakukan guna mengatasi hal tersebut [3]. Acrophobia juga erat
kaitanya dengan otak.
Perkembangan teknologi mendorong manusia untuk mengembangkan alat alat
pendeteksian pada organ manusia. Electroensephalography (EEG) merupakan salah satu
contoh dari perkembangan teknologi pada biomedis yang dapat membantu manusia dalam
memonitor sinyal gelombang pada otak manusia. Hasil rekaman pada gelombang otak
yang didapatkan dari EEG sendiri dapat berpengaruh besar untuk bidang medis dan
psikolgi dimana hasil tersebut dapat mendeteksi kelainan penyakit pada otak dan juga
kelainan dari sisi psikologis [4].
Proses klasifikasi acrophobia menggunakan gelombang sinyal yang sudah direkam
akan diekstraksi fiturnya untuk diklasifikasi. Gelombang otak menggunakan sinyal
Electroencephalography (EEG) yang diproses pada Brain Computer Interface [5]. Sinyal
EEG yang direkam dapat menggunakan machine learning dalam membuat klasifikasinya
[6-7]. Pada otak terdapat neuron yang memberikan aktivitas listrik sehingga sensor
elektroda dapat mendeteksi. Beberapa penelitian yang berkaitan dengan EEG
menggunakan metode fuzzy, ANN, KNN, decision tree, bagged trees, dan SVM [8-10].
Sudah terdapat beberapa penelitian yang berkaitan dengan EEG dengan implementasi
yang berbeda-beda, seperti deteksi emosi, penyakit epilepsi, autism, dan lainnya [11-13].
Terdapat penelitian yang berkaitan dengan acrophobia dengan menggunakan fNIRS
dengan deteksi respon ketakutan terhadap ketinggian [14].
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengklasifikasikan tingkat acrofobic pada
subjek yang menggunakan simulator pesawat terbang. Hasil dari pengklasifikasian subjek
2
tersebut nantinya akan digunakan sebagai salah satu parameter untuk menyeleksi calon
pilot sehingga apabila tingkat acrofobic subjek tersebut tinggi maka nantinya akan
dipetimbangkan lebih lanjut untuk menjadi seorang pilot pesawat terbang.
II. METODE
Penelitian ini dilakukan di salah satu akademi penerbangan-Banyuwangi dengan
subjek 16 orang yang terdiri dari 8 orang calon pilot dan 8 orang lainya sebagai kontrol.
Sebelum eksperimen dilakukan, semua subjek akan diberi arahan tentang prosedur
penggunaan alat serta kondisi yang diperlukan pada saat perekaman dimulai. Peserta
diminta untuk mengisi data diri serta Letter of Agreement (LoA) yang disediakan oleh
tim peneliti. Peserta akan diminta mensimulasikan alur penerbangan menggunakan
simulator yang ada dengan menggunakan alat EEG secara bersamaan. Perangkat EEG
yang digunakan terdiri dari beberapa cakram logam datar (elektroda) yang ditempatkan
ke berbagai lobus di kepala (Parietal, Temporal, Occipital, Central, Frontal), pada alat
terdapat gel yang digunakan untuk menjaga kontak antara elektroda dan kulit kepala
dengan tujuan meningkatkan konduktivitas dan mengurangi noise saat perekaman sinyal
gelombang otak. Perekaman data akan berjalan dalam rentang waktu 5-6 menit setelah
memenuhi beberapa kondisi penelitian yang sudah di briefing sebelumnya
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan menggunakan alat EEG
Mitsar 202 untuk melihat, memonitor dan merekam gelombang sinyal otak pada subjek di
setiap lobus pada otak. Selain itu juga EEG Mitsar 202 memiliki software berupa
WinEEG dimana dari hasil rekaman Mitsar EEG 202 diolah dengan menggunakan
software ini dan nantinya didapatkan nilai pada frontal, temporal, occipital, central dan
parietal yang berupa Alpha, Beta, Gamma, Delta dan Theta. Pada studi kasus penelitian
ini hanya menggunakan 3 gelombang yang akan diolah yaitu Beta1, Beta2, dan Gamma.
Penggunaan 3 gelombang tersebut dikarenakan gelombang Beta1 dan Beta2 digunakan
untuk kondisi subjek aktif dan sadar dan gelombang Gamma digunakan untuk kondisi
subjek fokus.
Pada software WinEEG sendiri gelombang memiliki batas dari 0.5 Hz sampai 50 Hz
untuk memfilter gelombang agar noise dari artifak di setiap lobusnya dapat dihilangkan
sehingga hasil dari pengolahan data nantinya tidak memiliki nilai yang tidak terganggu
oleh noise. Hasil dari pengolahan WinEEG sendiri ditampilkan melalui histogram dari
hasil pengolahan, brain mapping dan juga tabel dari setiap amplitudo dan frekuensi
gelombang pada setiap lobusnya. Histogram dan brain mapping yang ditampilkan pada
3
software merupakan nilai pada tabel yang disajikan dalam bentuk grafik pada setiap
nodes yang digunakan pada penelitian. Diagram dibawah merupakan tahapan kerja dari
penelitian ini.
Hasil dari pengolahan pada WinEEG sendiri diolah dengan excel untuk dicari nilai
jumlah dari 4 frekuensi yaitu Alpha, Beta1, Beta2, dan Gamma dan nantinya akan
digunakan untuk klasifikasi dengan menggunakan metode Decision Tree dengan
menggunakan classifier learner pada Matlab. Penggunaan metode Decision Tree pada
Matlab sebagai pengklasifikasian sendiri dikarenakan penggunaannya yang mudah karena
parameter dapat ditentukan dan disesuaikan dengan kebutuhan peneliti tersebut sehingga
jika dibandingkan dengan metode lainnya penggunaan metode Decision Tree lebih
mudah. Selain itu juga hasil dari akurasi dengan menggunakan Decision Tree memiliki
nilai yang tinggi dibandingkan dengan metode lainnya. Untuk model Decision Tree
secara universal dapat dilihat pada Gambar 2.
Pada penelitian ini, selain menggunakan classifier learner pada Matlab terdapat
algoritma Decision Tree yang dibuat dengan menggunakan python untuk
membandingkan antara algoritma Decision Tree dengan menggunakan python dan
Clasification Learner pada Matlab. Hasil yang diberikan dari algoritma Decision Tree
jika dibandingkan dengan menggunakan Clasification Learner pada Matlab maka hasil
akurasinya tidak jauh berbeda dimana akurasi yang didapatkan tidak jauh berbeda.
(a)
(b)
Gambar 3. Hasil perekaman raw sinyal (a) sebelum (b) sesudah di filter
5
(a) (b)
Gambar 4. (a) Hasil Histogram dengan amplitudo rendah, (b) Hasil Histogram dengan
amplitudo tinggi
Hasil dari model Brain Mapping sendiri setiap subjeknya memiliki perbedaan yang
signifikan dimana setiap subjeknya pada hasil model ini memiliki data yang berbeda
dimana hasil dari model Brain Mapping ini merupakan hasil pada tabel yang ditampilkan
pada setiap nodes dan dikategorikan pada setiap gelombang dimana semakin besar nilai
amplitudo pada hasil yang diberikan maka warna pada model Brain Mapping akan
semakin terang seperti pada Gambar 3.
(a) (b)
Setelah sinyal EEG selesai di filter, kemudian dilakukan ektraksi data. Tahapan ini
dilakukan untuk mengambil data dari sinyal gelombang otak yaitu: beta 1, beta 2, dan
gamma. Ketiga sinyal gelombang otak ini memiliki berbagai macam karakteristik
berdasarkan pada percobaan ini. Gelombang beta 1 dan 2 memiliki karakteristik berpikir
dan fokus sedangkan gelombang gamma memiliki karakteristik kesadaran penuh. Oleh
sebab itu, ketiga sinyal gelombang otak ini sangat mendukung dalam percobaan kondisi
simulasi penerbangan. Sehingga, berdasarkan dari ketiga gelombang otak tersebut
6
didapatlah amplitudo sebagai feature nya. Proses ini menggunakan metode EEG Spectra
dengan epoch length selama 2 detik. Pada ketiga sinyal gelombang otak dari setiap data
dijumlahkan agar memudahkan dalam penentuan kelas klasifikasi yang ditunjukkan pada
Tabel 1.
Tabel 1 menjelaskan hasil ektraksi data pada 19 channel dari subjek pertama.
Eksperimen dilakukan terhadap 16 subjek sebagai naracoba, sehingga data yang diperoleh
sebanyak 304 data. Hal ini memudahkan dalam menghasilkan akurasi yang bagus dari
penentuan kelas klasifikasi pada setiap data. Hasil ekstraksi dari sinyal EEG dapat
diklasifikasikan dengan metode Decission Tree. Klasifikasi dibagi menjadi 5 kelas, yaitu:
not acrofobic, low acrofobic, moderate acrofobic, active acrofobic, dan strongly
acrofobic. Kriteria klasifikasi bergantung pada nilai kumulatif, yang merupakan jumlah
dari nilai rata rata amplitude dan latensi dari data individual. Dalam klasifikasi, terlebih
dahulu ditentukan nilai maksimum dan minimum dari data untuk mendapatkan nilai span
dari Persamaan 8. Dari nilai span dapat diperoleh nilai interval pada persamaan 9 untuk
menentukan rentang nilai setiap kelas.
7
Span=maximum value−minimum value (1)
span
Interval= (2)
Jumlah kategori
Tabel 2 menggambarkan rentang untuk setiap kategori klasifikasi. Batas bawah kelas
pertama dihasilkan dari nilai minimum dan batas atas dari penjumlahan nilai minimum
dan interval. Untuk batas bawah kelas kedua digunakan batas atas kelas pertama, dan
untuk batas atas kelas kedua dilakukan hal yang sama seperti dalam menentukan batas
atas kelas pertama. Prosedur penentuan batas atas dan batas bawah kelas lain dilakukan
untuk menentukan batas atas dan batas bawah kelas lain
Kelas Interval
Strongly Acrofobic 11,664 - 14,58
Active Acrofobic 8,478 - 11,664
Moderate Acrofobic 5,832 - 8,478
Low Acrofobic 2,916 - 5,832
Not Acrofobic 0 - 2,916
Hasil
Jenis Decission Waktu Kecepatan
Kesalahan
Tree Pelatihan Prediksi Akurasi
Klasifikasi
(detik) (obs/detik)
Fine Tree 2.2628 6 8900 95.00%
Medium Tree 0.21555 6 5400 95.00%
Coarse Tree 0.25071 7 16000 94.20%
8
Average 94.73%
3
Beta2
9
menyebabkan Ketika terdapat kasus seperti strongly acrofobic maka hasil prediksi
mengalami kesalahan. Confussion Matrix dapat dilihat pada Gambar 7.
Active Acrofobic 5 2
Low Acrofobic 69 1
True Class
Moderate Acrofobic 1 1 7
Not Acrofobic 1 33
Strongly Acrofobic 1
Active Acrofobic Low Acrofobic Moderate Acrofobic Not Acrofobic Strongly Acrofobic
Predicted Class
Hasil dari tingkat akurasi sendiri bisa mencapai 98.68% dikarenakan hanya terdapat 2
kesalahan prediksi sehingga nilai akurasi yang dihasilkan cukup tinggi. Kesalahan
tersebut terjadi pada kriteria strongly impulsive.
5. KESIMPULAN
10
Pada penlitian kali ini kami berhasil untuk mengklasifikasikan impulsivitas pada 16
subjek yang meliputi 8 orang calon pilot dan 8 orang lainya sebagai kontrol data. Paper
ini menunjukkan bahwa metode Decission tree dengan menggunakan algoritma python
dapat menghasilkan akurasi data yang signifikan dibandingkan dengan metode
classification learner dengan menggunakan matlab. Dengan hasil akurasi yang
signifikan, dapat ditunjukkan bahwa metode ini sangat cocok untuk mengidentifikasi
tingkat acrofobic seorang calon pilot. Hal tersebut terlihat dari hasil klasifikasi
menggunakan metode Decission tree menggunakan algoritma python menghasilkan
akurasi 98.68%.
6. DAFTAR PUSTAKA
[1] R. J. Phillip, N. CR. J. Phillip, N. C. William, and R. H. Raymond, “Predicting Success
in United States Air Force Pilot Training Using Machine Learning Techniques” United
States, vol. 79, February 2022.
[2] D. J. Giraldy and W. Novaldo, “A Systematic Literature Review: Acrophobia
Treatment with Virtual Reality,” Eng. Math. Comput. Sci. J., vol. 4, no. 1, pp. 33–38,
2022.
[3] O. Bălan, G. Moise, A. Moldoveanu, M. Leordeanu, and F. Moldoveanu, “An
investigation of various machine and deep learning techniques applied in automatic fear
level detection and acrophobia virtual therapy,” Sensors (Switzerland), vol. 20, no. 2,
pp. 1–27, 2020.
[4] Anastasia Pentari, G. T. (2022). Graph denoising of impulsive EEG signals and the
effect of their graph representation. Biomedical Signal Processing and Control, 103886.
[5] C. Ieracitano, N. Mammone, A. Hussain, and F. C. Morabito, “A novel explainable
machine learning approach for EEG-based brain-computer interface systems,” Neural
Comput. Appl., vol. 34, no. 14, pp. 11347–11360, 2022.
[6] L. A. W. Gemein et al., “Machine-learning-based diagnostics of EEG pathology,”
Neuroimage, vol. 220, no. December 2019, 2020.
[7] S. Cano, N. Araujo, C. Guzman, C. Rusu, and S. Albiol-Pérez, “Low-cost assessment
of user experience through EEG signals,” IEEE Access, vol. 8, pp. 158475–158487,
2020.
[8] C. Moral-Rubio et al., “Application of machine learning to electroencephalography for
the diagnosis of primary progressive aphasia: A pilot study,” Brain Sci., vol. 11, no. 10,
2021.
[9] H. Choubey and A. Pandey, “A combination of statistical parameters for the detection
of epilepsy and EEG classification using ANN and KNN classifier,” Signal, Image
Video Process,vol. 15, no. 3, pp. 475–483, 2021.
11
[10] T. Tuncer, S. Dogan, and U. Rajendra Acharya, “Automated EEG signal classification
using chaotic local binary pattern,” Expert Syst. Appl., vol. 182, no. April, p. 115175,
2021.
[11] F. Hasanzadeh, M. Annabestani, and S. Moghimi, “Continuous emotion recognition
during music listening using EEG signals: A fuzzy parallel cascades model,” Appl. Soft
Comput., vol. 101, p. 107028, 2021.
[12] M. C. Guerrero, J. S. Parada, and H. E. Espitia, “EEG signal analysis using
classification techniques: Logistic regression, artificial neural networks, support vector
machines, and convolutional neural networks,” Heliyon, vol. 7, no. 6, p. e07258, 2021.
[13] J. Kang, X. Han, J. Song, Z. Niu, and X. Li, “The identification of children with
autism spectrum disorder by SVM approach on EEG and eye-tracking data,” Comput.
Biol. Med., vol. 120, no. January, p. 103722, 2020.
[14] L. A. de With, N. Thammasan, and M. Poel, “Detecting Fear of Heights Response to a
Virtual Reality Environment Using Functional Near-Infrared Spectroscopy,” Front.
Comput. Sci., vol. 3, no. January, pp. 1–16, 2022.
12