Anda di halaman 1dari 12

Pendeteksian Tingkat Acrophobia Pada Calon Pilot dengan

Menggunakan Perbandingan Metode Klasifikasi Classification


Learner Matlab dan Algoritma Python
ABSTRAK
Pilot merupakan profesi yang memiliki resiko yang cukup tinggi. Salah satu syarat
penting untuk menjadi seorang pilot yaitu tidak mempunyai gangguan terhadap
ketinggian atau acrophobia.. Acrophobia adalah keadaan dimana seseorang takut akan
ketinggian, hal ini bisa ditimbulkan karena adanya ketakutan atau peristiwa buruk yang
terjadi di masa lampau. acrofobia dapat di deteksi melalui sinyal otak menggunakan EEG
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan menggunakan alat EEG Mitsar
202 merekam gelombang sinyal otak pada subjek di setiap lobus pada otak. kemudian
data rekaman diolah menggunakan software WinEEG untuk mendapatkan sinyal alpha,
beta, gamma, delta, dan teta. kemudian untuk proses klasifikasi menggunakan metode
decission tree pada classification learner matlab dan algoritma python untuk kemudian
dibandingkan hasilnyaHasil dari klasifikasi 16 subjek dengan menggunakan algoritma
dengan menggunakan Bahasa python sendiri memiliki tingkat akurasi yang sangat tinggi
dimana tingkat akurasi mencapai 98.68% dimana jika dibandingkan dengan
menggunakan Clasification Learner pada Matlab maka akurasi yang didapatkan mencapai
94.73% dengan menggunakan metode Decision Tree Hasil tingkat akurasi yang tinggi
didapatkan karena rasio antara model training dan model prediksi yaitu 40:60 Paper ini
menunjukkan bahwa metode Decission tree dengan menggunakan algoritma python dapat
menghasilkan akurasi data yang signifikan dibandingkan dengan metode classification
learner dengan menggunakan matlab. Dengan hasil akurasi yang signifikan, dapat
ditunjukkan bahwa metode ini sangat cocok untuk mengidentifikasi tingkat acrofobic
seorang calon pilot. Hal tersebut terlihat dari hasil klasifikasi menggunakan metode
Decission tree menggunakan algoritma python menghasilkan akurasi 98.68%

Kata kunci: Decission tree, acrophobia, pilot, Electroencephalography, MATLAB,


python
I. PENDAHULUAN
Di era sekarang profesi penerbangan merupakan pekerjaan yang cukup diminati oleh
masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan pesat minat masyarakat terhadap
industri penerbangan khususnya profesi pilot. Terbukti pada tahun 2020, United States

1
Air Force (USAF) melaporkan bahwa terdapat lonjakan pendaftaran pilot kurang lebih
sebesar 2100 pilot[1]. Pilot sendiri merupakan profesi yang memiliki resiko yang cukup
tinggi karena memegang peranan penting dalam menerbangkan pesawat. Oleh karena itu
diperlukan kualifikasi khusus untuk menjadi seorang pilot. Salah satu syarat penting
untuk menjadi seorang pilot yaitu tidak mempunyai gangguan terhadap ketinggian atau
acrophobia.. Hal ini dikarenakan setiap hari seorang pilot akan berhubungan langsung
dengan ketinggian.
Acrophobia adalah keadaan dimana seseorang takut akan ketinggian, hal ini bisa
ditimbulkan karena adanya ketakutan atau peristiwa buruk yang terjadi di masa lampau.
Seseorang yang mengidap acrophobia akan mengalami panik dengan ciri fisik
berkeringat, mual, menggigil, dan gemetar [2]. Ketakutan akan ketinggian ini bisa
menggangu bagi kehidupan seseorang bahkan dapat menghambat kehidupan sehingga
banyak terapi yang telah dilakukan guna mengatasi hal tersebut [3]. Acrophobia juga erat
kaitanya dengan otak.
Perkembangan teknologi mendorong manusia untuk mengembangkan alat alat
pendeteksian pada organ manusia. Electroensephalography (EEG) merupakan salah satu
contoh dari perkembangan teknologi pada biomedis yang dapat membantu manusia dalam
memonitor sinyal gelombang pada otak manusia. Hasil rekaman pada gelombang otak
yang didapatkan dari EEG sendiri dapat berpengaruh besar untuk bidang medis dan
psikolgi dimana hasil tersebut dapat mendeteksi kelainan penyakit pada otak dan juga
kelainan dari sisi psikologis [4].
Proses klasifikasi acrophobia menggunakan gelombang sinyal yang sudah direkam
akan diekstraksi fiturnya untuk diklasifikasi. Gelombang otak menggunakan sinyal
Electroencephalography (EEG) yang diproses pada Brain Computer Interface [5]. Sinyal
EEG yang direkam dapat menggunakan machine learning dalam membuat klasifikasinya
[6-7]. Pada otak terdapat neuron yang memberikan aktivitas listrik sehingga sensor
elektroda dapat mendeteksi. Beberapa penelitian yang berkaitan dengan EEG
menggunakan metode fuzzy, ANN, KNN, decision tree, bagged trees, dan SVM [8-10].
Sudah terdapat beberapa penelitian yang berkaitan dengan EEG dengan implementasi
yang berbeda-beda, seperti deteksi emosi, penyakit epilepsi, autism, dan lainnya [11-13].
Terdapat penelitian yang berkaitan dengan acrophobia dengan menggunakan fNIRS
dengan deteksi respon ketakutan terhadap ketinggian [14].
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengklasifikasikan tingkat acrofobic pada
subjek yang menggunakan simulator pesawat terbang. Hasil dari pengklasifikasian subjek
2
tersebut nantinya akan digunakan sebagai salah satu parameter untuk menyeleksi calon
pilot sehingga apabila tingkat acrofobic subjek tersebut tinggi maka nantinya akan
dipetimbangkan lebih lanjut untuk menjadi seorang pilot pesawat terbang.
II. METODE
Penelitian ini dilakukan di salah satu akademi penerbangan-Banyuwangi dengan
subjek 16 orang yang terdiri dari 8 orang calon pilot dan 8 orang lainya sebagai kontrol.
Sebelum eksperimen dilakukan, semua subjek akan diberi arahan tentang prosedur
penggunaan alat serta kondisi yang diperlukan pada saat perekaman dimulai. Peserta
diminta untuk mengisi data diri serta Letter of Agreement (LoA) yang disediakan oleh
tim peneliti. Peserta akan diminta mensimulasikan alur penerbangan menggunakan
simulator yang ada dengan menggunakan alat EEG secara bersamaan. Perangkat EEG
yang digunakan terdiri dari beberapa cakram logam datar (elektroda) yang ditempatkan
ke berbagai lobus di kepala (Parietal, Temporal, Occipital, Central, Frontal), pada alat
terdapat gel yang digunakan untuk menjaga kontak antara elektroda dan kulit kepala
dengan tujuan meningkatkan konduktivitas dan mengurangi noise saat perekaman sinyal
gelombang otak. Perekaman data akan berjalan dalam rentang waktu 5-6 menit setelah
memenuhi beberapa kondisi penelitian yang sudah di briefing sebelumnya

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan menggunakan alat EEG
Mitsar 202 untuk melihat, memonitor dan merekam gelombang sinyal otak pada subjek di
setiap lobus pada otak. Selain itu juga EEG Mitsar 202 memiliki software berupa
WinEEG dimana dari hasil rekaman Mitsar EEG 202 diolah dengan menggunakan
software ini dan nantinya didapatkan nilai pada frontal, temporal, occipital, central dan
parietal yang berupa Alpha, Beta, Gamma, Delta dan Theta. Pada studi kasus penelitian
ini hanya menggunakan 3 gelombang yang akan diolah yaitu Beta1, Beta2, dan Gamma.
Penggunaan 3 gelombang tersebut dikarenakan gelombang Beta1 dan Beta2 digunakan
untuk kondisi subjek aktif dan sadar dan gelombang Gamma digunakan untuk kondisi
subjek fokus.

Pada software WinEEG sendiri gelombang memiliki batas dari 0.5 Hz sampai 50 Hz
untuk memfilter gelombang agar noise dari artifak di setiap lobusnya dapat dihilangkan
sehingga hasil dari pengolahan data nantinya tidak memiliki nilai yang tidak terganggu
oleh noise. Hasil dari pengolahan WinEEG sendiri ditampilkan melalui histogram dari
hasil pengolahan, brain mapping dan juga tabel dari setiap amplitudo dan frekuensi
gelombang pada setiap lobusnya. Histogram dan brain mapping yang ditampilkan pada

3
software merupakan nilai pada tabel yang disajikan dalam bentuk grafik pada setiap
nodes yang digunakan pada penelitian. Diagram dibawah merupakan tahapan kerja dari
penelitian ini.

Gambar 1. Diagram Kerja perekaman dan pengolahan data

Hasil dari pengolahan pada WinEEG sendiri diolah dengan excel untuk dicari nilai
jumlah dari 4 frekuensi yaitu Alpha, Beta1, Beta2, dan Gamma dan nantinya akan
digunakan untuk klasifikasi dengan menggunakan metode Decision Tree dengan
menggunakan classifier learner pada Matlab. Penggunaan metode Decision Tree pada
Matlab sebagai pengklasifikasian sendiri dikarenakan penggunaannya yang mudah karena
parameter dapat ditentukan dan disesuaikan dengan kebutuhan peneliti tersebut sehingga
jika dibandingkan dengan metode lainnya penggunaan metode Decision Tree lebih
mudah. Selain itu juga hasil dari akurasi dengan menggunakan Decision Tree memiliki
nilai yang tinggi dibandingkan dengan metode lainnya. Untuk model Decision Tree
secara universal dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Model klasfikasi Decision Tree secara universal

Pada penelitian ini, selain menggunakan classifier learner pada Matlab terdapat
algoritma Decision Tree yang dibuat dengan menggunakan python untuk
membandingkan antara algoritma Decision Tree dengan menggunakan python dan
Clasification Learner pada Matlab. Hasil yang diberikan dari algoritma Decision Tree
jika dibandingkan dengan menggunakan Clasification Learner pada Matlab maka hasil
akurasinya tidak jauh berbeda dimana akurasi yang didapatkan tidak jauh berbeda.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


4
Akusisi data menunjukkan hasil sinyal yang direkam. Sinyal yang dihasilkan
menunjukkan hasil dari perekaman19 channel terhadap waktu percobaan. Dari hasil
perekaman tersebut, terdapat noise pada sinyal sehingga perlu difilter. Sinyal di filter
dengan menggunakan Band Pass Filter (BPF) dengan cutt off sebesar 0,5 Hz – 50 Hz.
Sinyal yang berada di luar batas frekuensi tersebut akan dianggap noise. Perbandingan
hasil perekaman pada sinyal sebelum dan sesudah di filter ditunjukkan pada Gambar 5.

(a)

(b)
Gambar 3. Hasil perekaman raw sinyal (a) sebelum (b) sesudah di filter

Hasil dari pengolahan data menggunakan WinEEG kami mendapatkan beberapa


model data yaitu model data Histogram, model data table dan juga model data brain
mapping. Pada pengolahan data dengan WinEEG sendiri kami menggunakan cutoff
frekuensi untuk mengurangi noise dan juga artifak pada gelombang data yang didapatkan
dengan menggunakan cutoff antara 0.5 Hz – 50 Hz. Pada hasil data histogram sendiri,
setiap subjek memiliki perbedaan yang signifikan dimana pada beberapa subjek hasil
amplitudo yang diberikan memiliki nilai yang lumayan tinggi sedangkan pada beberapa
subjek lainnya amplitudo yang diberikan memiliki nilai yang rendah seperti dapat dilihat
pada Gambar 2.

5
(a) (b)

Gambar 4. (a) Hasil Histogram dengan amplitudo rendah, (b) Hasil Histogram dengan
amplitudo tinggi

Hasil dari model Brain Mapping sendiri setiap subjeknya memiliki perbedaan yang
signifikan dimana setiap subjeknya pada hasil model ini memiliki data yang berbeda
dimana hasil dari model Brain Mapping ini merupakan hasil pada tabel yang ditampilkan
pada setiap nodes dan dikategorikan pada setiap gelombang dimana semakin besar nilai
amplitudo pada hasil yang diberikan maka warna pada model Brain Mapping akan
semakin terang seperti pada Gambar 3.

(a) (b)

Gambar 5. Contoh 2 hasil model brain mapping

Setelah sinyal EEG selesai di filter, kemudian dilakukan ektraksi data. Tahapan ini
dilakukan untuk mengambil data dari sinyal gelombang otak yaitu: beta 1, beta 2, dan
gamma. Ketiga sinyal gelombang otak ini memiliki berbagai macam karakteristik
berdasarkan pada percobaan ini. Gelombang beta 1 dan 2 memiliki karakteristik berpikir
dan fokus sedangkan gelombang gamma memiliki karakteristik kesadaran penuh. Oleh
sebab itu, ketiga sinyal gelombang otak ini sangat mendukung dalam percobaan kondisi
simulasi penerbangan. Sehingga, berdasarkan dari ketiga gelombang otak tersebut

6
didapatlah amplitudo sebagai feature nya. Proses ini menggunakan metode EEG Spectra
dengan epoch length selama 2 detik. Pada ketiga sinyal gelombang otak dari setiap data
dijumlahkan agar memudahkan dalam penentuan kelas klasifikasi yang ditunjukkan pada
Tabel 1.

Tabel 1. Hasil ekstraksi data pada 1 subjek


Beta1 Beta2 Gamma
Channels SUM 2
A(uV) A(uV) A(uV)
Fp1-Ref 3.04 3.48 3.04 9.56
Fp2-Ref 1.06 1.21 1.01 3.28
F7-Ref 1.05 1.17 0.97 3.19
F3-Ref 0.92 1.05 0.80 2.77
Fz-Ref 1.31 1.41 1.01 3.73
F4-Ref 0.90 0.99 0.76 2.65
F8-Ref 1.74 1.83 1.33 4.90
T3-Ref 1.07 1.24 1.15 3.46
C3-Ref 1.17 1.22 0.96 3.35
Cz-Ref 1.25 1.27 0.94 3.46
C4-Ref 1.04 1.03 0.81 2.88
T4-Ref 2.34 3.34 2.80 8.48
T5-Ref 1.18 1.39 1.24 3.81
P3-Ref 1.56 1.61 1.34 4.51
Pz-Ref 1.47 1.40 1.05 3.92
P4-Ref 1.60 1.49 1.14 4.23
T6-Ref 1.30 1.38 1.22 3.90
O1-Ref 2.36 3.11 3.15 8.62
O2-Ref 1.30 1.49 1.32 4.11

Tabel 1 menjelaskan hasil ektraksi data pada 19 channel dari subjek pertama.
Eksperimen dilakukan terhadap 16 subjek sebagai naracoba, sehingga data yang diperoleh
sebanyak 304 data. Hal ini memudahkan dalam menghasilkan akurasi yang bagus dari
penentuan kelas klasifikasi pada setiap data. Hasil ekstraksi dari sinyal EEG dapat
diklasifikasikan dengan metode Decission Tree. Klasifikasi dibagi menjadi 5 kelas, yaitu:
not acrofobic, low acrofobic, moderate acrofobic, active acrofobic, dan strongly
acrofobic. Kriteria klasifikasi bergantung pada nilai kumulatif, yang merupakan jumlah
dari nilai rata rata amplitude dan latensi dari data individual. Dalam klasifikasi, terlebih
dahulu ditentukan nilai maksimum dan minimum dari data untuk mendapatkan nilai span
dari Persamaan 8. Dari nilai span dapat diperoleh nilai interval pada persamaan 9 untuk
menentukan rentang nilai setiap kelas.
7
Span=maximum value−minimum value (1)
span
Interval= (2)
Jumlah kategori

Tabel 2 menggambarkan rentang untuk setiap kategori klasifikasi. Batas bawah kelas
pertama dihasilkan dari nilai minimum dan batas atas dari penjumlahan nilai minimum
dan interval. Untuk batas bawah kelas kedua digunakan batas atas kelas pertama, dan
untuk batas atas kelas kedua dilakukan hal yang sama seperti dalam menentukan batas
atas kelas pertama. Prosedur penentuan batas atas dan batas bawah kelas lain dilakukan
untuk menentukan batas atas dan batas bawah kelas lain

Tabel 2. Hasil ekstraksi data pada 1 subjek

Kelas Interval
Strongly Acrofobic 11,664 - 14,58
Active Acrofobic 8,478 - 11,664
Moderate Acrofobic 5,832 - 8,478
Low Acrofobic 2,916 - 5,832
Not Acrofobic 0 - 2,916

Pada penelitian ini klasifikasi impulsivitas dilakukan dengan menggunakan metode


Decision Tree dengan menggunakan Clasification Learner pada Matlab dan juga dengan
Algoritma dengan menggunakan Bahasa python. Hasil dari klasifikasi 16 subjek dengan
menggunakan algoritma dengan menggunakan Bahasa python sendiri memiliki tingkat
akurasi yang sangat tinggi dimana tingkat akurasi mencapai 98.68% dimana jika kita
bandingkan dengan menggunakan Clasification Learner pada Matlab maka akurasi yang
didapatkan mencapai 94.73% dengan menggunakan metode Decision Tree. Hasil tingkat
akurasi yang tinggi didapatkan karena penggunaan model training yang banyak dan juga
rasio antara model training dan model prediksi sendiri hingga 40:60 pada Clasification
Learner ataupun pada algoritma Python menyebabkan tingkat akurasi dari klasifikasi
mencapai 98.68% dan 94.73%.

Tabel 3. Hasil Tingkat Akurasi Klasifikasi dengan Clasification Learner

Hasil
Jenis Decission Waktu Kecepatan
Kesalahan
Tree Pelatihan Prediksi Akurasi
Klasifikasi
(detik) (obs/detik)
Fine Tree 2.2628 6 8900 95.00%
Medium Tree 0.21555 6 5400 95.00%
Coarse Tree 0.25071 7 16000 94.20%

8
Average 94.73%

Gambar 6. Hasil Tingkat Akurasi Klasifikasi dengan Algoritma Python


Selain rasio model data training dan model prediksi yang mencapai 50:50, penyebab
hasil tingkat akurasi klasifikasi mencapai 98.68% dan 94.73% adalah pada persebaran
data itu sendiri dimana persebaran data yang merata pada daerah tertentu menyebabkan
hasil tingkat akurasi dari klasifikasi tersebut tinggi. Seperti dapat dilihat pada diagram
scatter plot pada Gambar 5. dimana persebaran data tingkat impulsivitas 13 subjek tentara
memiliki persebaran data berada di sekitar Kelompok klasifikasi sehingga saat model data
di training dan nantinya di klasifikasi maka hasil akan akurat dan hampir serupa Ketika
model data di training.

Predictions: model 1.3 (Coarse Tree)


Model predictions
Active Acrofobic - Incorrect
Active Acrofobic - Correct
5 Low Acrofobic - Incorrect
Low Acrofobic - Correct
Moderate Acrofobic - Incorrect
Moderate Acrofobic - Correct
Not Acrofobic - Incorrect
4
Not Acrofobic - Correct

3
Beta2

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5


Beta1

Gambar 7. Diagram Scatter Plot model prediksi


Hasil dari tingkat akurasi sendiri hanya dapat mencapai 94.73% dikarenakan terdapat
7 kesalahan prediksi pada Clasification Learner sehingga akurasi mengalami penurunan.
Kesalahan tersebut terjadi di semua kriteria sehingga penurunan yang disebabkan cukup
signifikan. Sebagai contoh pada kriteria strongly acrofobic tidak terdapat kasus sehingga
pada saat model data di training algoritma tidak mempelajari kasus tersebut dan

9
menyebabkan Ketika terdapat kasus seperti strongly acrofobic maka hasil prediksi
mengalami kesalahan. Confussion Matrix dapat dilihat pada Gambar 7.

Model 1.3 (Coarse Tree)

Active Acrofobic 5 2

Low Acrofobic 69 1
True Class

Moderate Acrofobic 1 1 7

Not Acrofobic 1 33

Strongly Acrofobic 1

Active Acrofobic Low Acrofobic Moderate Acrofobic Not Acrofobic Strongly Acrofobic
Predicted Class

Gambar 8. Confussion Matrix hasil Clasification Learner pada Matlab


Selain confusion matrix pada Clasification Learner, pada algoritma python juga
terdapat confusion matrix yang digunakan untuk menampilkan hasil prediksi dari
algoritma tersebut dimana pada confusion matrix ini memiliki perbedaan karena
pembagian data yang digunakan untuk training dan juga testing berbeda dengan
Clasification Learner sehingga hasilnya pun berbeda dan dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 9. Confussion Matrix hasil Algoritma dengan menggunakan python

Hasil dari tingkat akurasi sendiri bisa mencapai 98.68% dikarenakan hanya terdapat 2
kesalahan prediksi sehingga nilai akurasi yang dihasilkan cukup tinggi. Kesalahan
tersebut terjadi pada kriteria strongly impulsive.

5. KESIMPULAN

10
Pada penlitian kali ini kami berhasil untuk mengklasifikasikan impulsivitas pada 16
subjek yang meliputi 8 orang calon pilot dan 8 orang lainya sebagai kontrol data. Paper
ini menunjukkan bahwa metode Decission tree dengan menggunakan algoritma python
dapat menghasilkan akurasi data yang signifikan dibandingkan dengan metode
classification learner dengan menggunakan matlab. Dengan hasil akurasi yang
signifikan, dapat ditunjukkan bahwa metode ini sangat cocok untuk mengidentifikasi
tingkat acrofobic seorang calon pilot. Hal tersebut terlihat dari hasil klasifikasi
menggunakan metode Decission tree menggunakan algoritma python menghasilkan
akurasi 98.68%.

6. DAFTAR PUSTAKA
[1] R. J. Phillip, N. CR. J. Phillip, N. C. William, and R. H. Raymond, “Predicting Success
in United States Air Force Pilot Training Using Machine Learning Techniques” United
States, vol. 79, February 2022.
[2] D. J. Giraldy and W. Novaldo, “A Systematic Literature Review: Acrophobia
Treatment with Virtual Reality,” Eng. Math. Comput. Sci. J., vol. 4, no. 1, pp. 33–38,
2022.
[3] O. Bălan, G. Moise, A. Moldoveanu, M. Leordeanu, and F. Moldoveanu, “An
investigation of various machine and deep learning techniques applied in automatic fear
level detection and acrophobia virtual therapy,” Sensors (Switzerland), vol. 20, no. 2,
pp. 1–27, 2020.
[4] Anastasia Pentari, G. T. (2022). Graph denoising of impulsive EEG signals and the
effect of their graph representation. Biomedical Signal Processing and Control, 103886.
[5] C. Ieracitano, N. Mammone, A. Hussain, and F. C. Morabito, “A novel explainable
machine learning approach for EEG-based brain-computer interface systems,” Neural
Comput. Appl., vol. 34, no. 14, pp. 11347–11360, 2022.
[6] L. A. W. Gemein et al., “Machine-learning-based diagnostics of EEG pathology,”
Neuroimage, vol. 220, no. December 2019, 2020.
[7] S. Cano, N. Araujo, C. Guzman, C. Rusu, and S. Albiol-Pérez, “Low-cost assessment
of user experience through EEG signals,” IEEE Access, vol. 8, pp. 158475–158487,
2020.
[8] C. Moral-Rubio et al., “Application of machine learning to electroencephalography for
the diagnosis of primary progressive aphasia: A pilot study,” Brain Sci., vol. 11, no. 10,
2021.
[9] H. Choubey and A. Pandey, “A combination of statistical parameters for the detection
of epilepsy and EEG classification using ANN and KNN classifier,” Signal, Image
Video Process,vol. 15, no. 3, pp. 475–483, 2021.

11
[10] T. Tuncer, S. Dogan, and U. Rajendra Acharya, “Automated EEG signal classification
using chaotic local binary pattern,” Expert Syst. Appl., vol. 182, no. April, p. 115175,
2021.
[11] F. Hasanzadeh, M. Annabestani, and S. Moghimi, “Continuous emotion recognition
during music listening using EEG signals: A fuzzy parallel cascades model,” Appl. Soft
Comput., vol. 101, p. 107028, 2021.
[12] M. C. Guerrero, J. S. Parada, and H. E. Espitia, “EEG signal analysis using
classification techniques: Logistic regression, artificial neural networks, support vector
machines, and convolutional neural networks,” Heliyon, vol. 7, no. 6, p. e07258, 2021.
[13] J. Kang, X. Han, J. Song, Z. Niu, and X. Li, “The identification of children with
autism spectrum disorder by SVM approach on EEG and eye-tracking data,” Comput.
Biol. Med., vol. 120, no. January, p. 103722, 2020.
[14] L. A. de With, N. Thammasan, and M. Poel, “Detecting Fear of Heights Response to a
Virtual Reality Environment Using Functional Near-Infrared Spectroscopy,” Front.
Comput. Sci., vol. 3, no. January, pp. 1–16, 2022.

12

Anda mungkin juga menyukai