Anda di halaman 1dari 10

Stratigrafi Cekungan Kutai

Stratigrafi di daerah ini juga terdiri dari siklus transgresi dan regresi. Di sini fasa regresi
jauh lebih mendominasi. Cekungan ini dimulai Tersier Tua, mungkin Eosen, dengan suatu
transgresi yang segera diikuti oleh regresi yang mengisi cekungan ini pada seluruh Tersier
dan Kuarter. Data stratigrafi menunjukkan bahwa cekungan diisi dari barat ke timur secara
progradasi dengan sumbu ketebalan sedimen maximum, diendapkan pada setiap jenjang
Tersier yang bergeser secara progresif ke arah timur menumpang di atas sedimen laut dalam
yang tipis dari Selat Makasar.

Gerard dan Oesterle (1973) maupun Schwartz dan lain-lain (1973) mengintepretasikan
endapan dalam fasa regresif ini sebagai delta. Di sini fasies prodelta, delta front, delta plain
terdapat dalam urutan vertikal secara berganti-ganti dan merupakan nenek moyang Delta
Mahakam yang sekarang. Delta tersebut berprogradasi ke arah laut, akan tetapi beberapa kali
ditransgresi sehingga memberikan siklus kecil. Salah satu progradasi yang jauh ke timur
terjadi di Awal Miosen, dimana kompleks delta mencapai pinggiran paparan. Setiap fasa
regresi siklus kecil ini mengendapkan lapisan pasir reservoir. Di muka delta ini terbentuk
terumbu pinggiran paparan (shelf-edge-reefs) sebelum lereng kontinen outer shelf. 

Di dalam siklus regresi besar ini dapat dibedakan antara Formasi Pulubalang, Formasi
Balikpapan dan Formasi Kampung Baru, yang berumur dari Miosen sampai Pliosen
Gambar 1. Stratigrafi Cekungan Kutai

1.            Grup Pamaluan

Batupasir kuarsa dengan sisipan batulempung, serpih, batugamping, dan batulanau,


berlapis sangat baik. Batupasir kuarsa merupakan batuan utama, kelabu kehitam - kehitaman
– kecoklatan, batupasir halus – sedang, terpilah baik, butiran membulat – membulat
tanggung, padat, karbon dan gampingan. Setempat dijumpai struktur sedimen silang siur dan
perlapisan sejajar, tebal lapisan anatara 1 – 25 m. Batulempung tebal rata-rata 45 cm. Serpih
kelabu kecoklatan kelabu tua, pada tebal sisipan antara 10 – 20 cm. Batugamping kelabu,
pejal, berbutir sedang – kasar, setempat berlapis dan mengandung foraminifera besar.
Batulanau kelabu tua-kehitaman. Formasi pamaluan merupakan batuan paling bawah yang
tersingkap di lembar ini dan bagian atas formasi ini berhubungan menjari dengan Formasi
Bebuluh. Tebal Formasi ini kurang lebih 2000 meter.
2.            Grup Bebuluh

Batugamping terumbu dengan sisipan batugamping pasiran dan serpih, warna kelabu,
padat, mengandung forameinifera besar berbutir sedang. setempat batugamping menghablur,
tak beraturan. Serpih kelabu kecoklatan berselingan dengan batupasir halus kelabu tua
kehitaman. Foraminifera besar yang jumpai antara lain : Lepidocycilina Sumatroenis,
Myogipsina Sp, Operculina Sp, mununjukan umur Miosen Awal – Miosen Tengah.
Lingkungan pengendapan laut dangkal dengan ketebalan sekitar 300 m. Formasi Babuluh
tertindih selaras oleh Formasi Pulu Balang. 

3.            Grup Pulu Balang

Perselingan antara Greywacke dan batupasir kwarsa dengan sisipan batugamping,


batulempung, batubara, dan tuff dasit, Batupasir greywacke, kelabu kehijauan padat tebal
lapisan antara 50-100 m. Batupasir kuarsa kelabu kemerahan setempat tuffan dan gampingan
tebal lapisan antara 15-60 cm. Batugamping coklat muda kekuningan, mengandung
foraminifera besar batugamping ini terdapat sebagai sisipan dalam batupasir kuarsa, dengan
tebal antara 10-40 cm. Di sungai Loa Haur, mengandung Foraminifera besar antara lain
Austrotrilina howhici, Brelis Sp, Lepidocycilina Sp, Myogipina Sp, menunjukan umur Miosen
Tengah dengan lingkungan pengendapan laut dangkal. Batulempung kelabu kehitaman
dengan tebal lapisan antara 1-2 cm, setempat berselingan dengan batubara dengan tebal ada
yang mencapai 4 m. Tufa dasit, putih merupakan sisipan dalam batupasir kuarsa.

4.            Grup Balikpapan

Perselingan batupasir dan batulempung dengan sisipan batulanau, serpih, batugamping


dan batubara. Batupasir kuarsa, putih kekuningan, dengan tebal 1-3 m disisipi lapisan
batubara dengan tebal 5-10 cm. Batupasir gampingan, coklat, berstruktur sedimen lapisan
bersusun dan silang siur tebal, lapisan 20-40 cm mengandung foraminifera kecil disisipi
lapisan tipis karbon. Lempung kelabu kehitaman setempat mengandung sisa tumbuhan oksida
besi yang mengisi rekahan-rekahan setempat mengandung lensa-lensa batupasir gampingan.
Lanau gampingan berlapis tipis serpih kecoklatan berlapis tipis. Batugamping pasiran
mengandung Fosil menunjukan umur Moisen Akhir bagian bawah – Miosen tengah bagian
atas.

5.            Grup Kampung Baru


Batupasir kuarsa dengan sisipan lempung, serpih, lanau, dan lignit, pada umumnya
lunak mudah hancur. Batupasir kuarsa, putih, setempat kemerahan atau kekuningan, tidak
berlapis, mudah hancur, setempat mengandung lapisan tipis oksida besi atau kongresi, tuffan
atau lanuan, dan sisipan batupasir konglomerat atau konglomeratan dengan komponen
kuarsa, kalsedon, serpih, dan lempung, diameter 5 – 1 cm mudah lepas, lempung kelabu
kehitaman mengandung sisi tumbuhan, kepingan batubara, koral, lanau kelabu tua,
menyerpih laminasi, lignit dengan tebal 1-2 m di duga berumur Miosen Akhir – Plio
Plestosen. Lingkungan pengendapan delta laut dangkal, tebal lebih dari 500 m. Formasi ini
menindih selaras dan setempat tidak selaras terhadap Formasi Balikpapan
Formasi Sumatra Selatan

Berdasarkan penelitian terdahulu urutan sedimentasi Tersier di Cekungan Sumatera


Selatan dibagi menjadi dua tahap pengendapan, yaitu tahap genang laut dan tahap susut laut.
Sedimen-sedimen yang terbentuk pada tahap genang laut disebut Kelompok Telisa (De
Coster, 1974, Spruyt, 1956), dari umur Eosen Awal hingga Miosen Tengah terdiri atas
Formasi Lahat (LAF), Formasi Talang Akar (TAF), Formasi Baturaja (BRF), dan Formasi
Gumai (GUF). Sedangkan yang terbentuk pada tahap susut laut disebut Kelompok
Palembang (Spruyt, 1956) dari umur Miosen Tengah – Pliosen terdiri atas Formasi Air
Benakat (ABF), Formasi Muara Enim (MEF), dan Formsi Kasai (KAF).

      a.      Formasi Lahat (LAF)


            Menurut Spruyt (1956), Formasi ini terletak secara tidak selaras diatas batuan dasar,
yang terdiri atas lapisan-lapisan tipis tuf andesitik yang secara berangsur berubah keatas
menjadi batu lempung tufan. Selain itu breksi andesit berselingan dengan lava andesit, yang
terdapat dibagian bawah. Batulempung tufan, segarnya berwarna hijau dan lapuknya
berwarna ungu sampai merah keunguan. Menurut De Coster (1973) formasi ini terdiri dari
tuf, aglomerat, batulempung, batupasir tufan, konglomeratan dan  breksi yang berumur Eosen
Akhir hingga Oligosen Awal. Formasi ini diendapkan dalam air tawar daratan. Ketebalan dan
litologi sangat bervariasi dari satu tempat ke tempat yang lainnya karena bentuk cekungan
yang tidak teratur, selanjutnya pada umur Eosen hingga Miosen Awal, tejadi kegiatan
vulkanik yang menghasilkan andesit (Westerveld, 1941 vide of side katilli 1941), kegiatan ini
mencapai puncaknya pada umur Oligosen Akhir sedangkan batuannya disebut sebagai batuan
“Lava Andesit tua” yang juga mengintrusi batuan yang diendapkan pada Zaman Tersier
Awal.

      b.      Formasi Talang Akar (TAF)


Nama Talang Akar berasal dari Talang Akar Stage (Martin, 1952) nama lain yang
pernah digunakan adalah Houthorizont (Musper, 1937) dan Lower Telisa Member (Marks,
1956). Formasi Talang akar dibeberapa tempat bersentuhan langsung secara tidak selaras
dengan batuan Pra Tersier. Formasi ini dibeberapa tempat menindih selaras Formasi Lahat
(De Coster, 1974), hubungan itu disebut rumpang stratigrafi, ia juga menafsirkan hubungan
stratigrafi diantara kedua formasi tersebut selaras terutama dibagian tengahnya, ini diperoleh
dari data pemboran sumur Limau yang terletak disebelah Barat Daya Kota Prabumulih
(Pertamina, 1981), Formasi Talang Akar dibagi menjadi dua, yaitu : Anggota “Gritsand”
terdiri atas batupasir, yang mengandung kuarsa dan ukuran butirnya pada bagian bawah kasar
dan semakin atas semakin halus. Pada bagian teratas batupasir ini berubah menjadi batupasir
konglomeratan atau breksian. Batupasir berwarna putih sampai coklat keabuan dan
mengandung mika, terkadang terdapat selang-seling batulempung coklat dengan batubara,
pada anggota ini terdapat sisa-sisa tumbuhan dan batubara, ketebalannya antara 40 – 830
meter. Sedimen-sedimen ini merupakan endapan fluviatil sampai delta (Spruyt, 1956), juga
masih menurut Spruyt (1956) anggota transisi pada bagian bawahnya terdiri atas selang-
seling batupasir kuarsa berukuran halus sampai sedang dan batulempung serta lapisan
batubara. Batupasir pada bagian atas berselang-seling dengan batugamping tipis dan
batupasir gampingan, napal, batulempung gampingan dan serpih. Anggota ini mengandung
fosil-fosil Molusca,Crustacea, sisa ikan foram besar dan foram kecil, diendapkan pada
lingkungan paralis, litoral, delta, sampai tepi laut dangkal dan berangsur menuju laut terbuka
kearah cekungan. Formasi ini berumur Oligosen Akhir hingga Miosen Awal. Ketebalan
formasi  ini pada bagian selatan cekungan mencapai 460 – 610 meter, sedangkan pada bagian
utara cekungan mempunyai ketebalan kurang lebih 300 meter (De Coster, 1974).

      c.       Formasi Baturaja (BRF)


Menurut Spruyt (1956), formasi ini diendapkan secara selaras diatas Formasi Talang
Akar. Terdiri dari batugamping terumbu dan batupasir gampingan. Di gunung Gumai
tersingkap dari bawah keatas berturut-turut napal tufaan, lapisan batugamping koral,
batupasir napalan kelabu putih, batugamping ini mengandung foram besar antara
lain Spiroclypes spp, Eulipidina Formosa Schl, Molusca dan lain sebagainya. Ketebalannya
antara 19 - 150 meter dan berumur Miosen Awal. Lingkungan Pengendapannya adalah laut
dangkal. Penamaan Formasi Baturaja pertama kali dikemukakan oleh Van Bemmelen (1932)
sebagai “Baturaja Stage”, Baturaja Kalk Steen (Musper, 1973) “Crbituiden Kalk” (v.d.
Schilden, 1949; Martin, 1952), “Midle Telisa Member” (Marks, 1956), Baturaja Kalk Sten
Formatie (Spruyt, 1956) dan Telisa Limestone (De Coster, 1974). Lokasi tipe Formasi
Baturaja adalah di pabrik semen Baturaja (Van Bemelen, 1932).

      d.      Formasi Gumai (GUF)


Formasi ini diendapkan setelah Formasi Baturaja dan merupakan hasil pengendapan
sedimen-sedimen yang terjadi pada waktu genang laut mencapai puncaknya. Hubungannya
dengan Formasi Baturaja pada tepi cekungan atau daerah dalam cekungan yang dangkal
adalah selaras, tetapi pada beberapa tempat di pusat-pusat cekungan atau pada bagian
cekungan yang dalam terkadang menjari dengan Formasi Baturaja (Pulonggono, 1986).
Menurut Spruyt (1956) Formasi ini terdiri atas napal tufaan berwarna kelabu cerah sampai
kelabu gelap. Kadang-kadang terdapat lapisan-lapisan batupasir glaukonit yang keras, tuff,
breksi tuff, lempung serpih dan lapisan tipis batugamping. Endapan sediment pada formasi
ini banyak mengandungGlobigerina spp, dan napal yang mengeras. Westerfeld (1941)
menyebutkan bahwa lapisan-lapisan Telisa adalah seri monoton dari serpih dan napal yan
mengandung Globigerina sp dengan selingan tufa juga lapisan pasir glaukonit. Umur dari
formasi ini adalah Awal Miosen Tengah (Tf2) (Van Bemmelen, 1949) sedangkan menurut
Pulonggono (1986) berumur Miosen Awal hingga Miosen Tengah (N9 – N12).

      e.       Formasi Air Benakat (ABF)


Menurut Spruyt (1956), formasi ini merupakan tahap awal dari siklus pengendapan
Kelompok Palembang, yaitu pada saat permulaan dari endapan susut laut. Formasi ini
berumur dari Miosen Akhir hingga Pliosen. Litologinya terdiri atas batupasir tufaan, sedikit
atau banyak lempung tufaan yang berselang-seling dengan batugamping napalan atau
batupasirnya semakin keatas semakin berkurang kandungan glaukonitnya. Pada formasi ini
dijumpaiGlobigerina spp, tetapi banyak mengadung Rotalia spp. Pada bagian atas banyak
dijumpai Molusca dan sisa tumbuhan. Di Limau, dalam penyelidikan Spruyt (1956)
ditemukan serpih lempungan yang berwarna biru sampai coklat kelabu, serpih lempung
pasiran dan batupasir tufaan. Di daerah Jambi ditemukan berupa batulempung kebiruan,
napal, serpih pasiran dan batupasir yang mengandung Mollusca, glaukonit kadang-kadang
gampingan. Diendapkan dalam lingkungan pengendapan neritik bagian bawah dan berangsur
kelaut dangkal bagian atas (De Coster, 1974). Ketebalan formasi ini berkisar 250 – 1550
meter. Lokasi tipe formasi ini , menurut Musper (1937), terletak diantara Air Benakat dan Air
Benakat Kecil (kurang lebih 40 km sebelah utara-baratlaut Muara Enim (Lembar Lahat).
Nama lainnya adalah “Onder Palembang Lagen” (Musper, 1937), “Lower Palembang
Member” (Marks, 1956), “Air Benakat and en Klai Formatie” (Spruyt, 1956).
         
      f.       Formasi Muara Enim (MEF)
Menurut Spruyt (1956) formasi in terlatak selaras diatas Formasi Air Benakat.
Formasi ini dapat dibagi menjadi dua anggota “a” dan anggota “b”. Anggota “a” disebut juga
Anggota Coklat (Brown Member) terdiri atas batulempung dan batupasir coklat sampai coklat
kelabu, batupasir berukuran halus sampai sedang. Didaerah Palembang terdapat juga lapisan
batubara. Anggota “b” disebut juga Anggota Hijau Kebiruan (Blue Green Member) terdiri
atas batulempung pasiran dan batulempung tufaan yang berwarna biru hijau, beberapa lapisan
batubara berwarna merah-tua gelap, batupasir kasar halus berwarna putih sampai kelabu
terang. Pada anggota “a” terkadang dijumpai kandungan Foraminifera dan Mollusca selain
batubara dan sisa tumbuhan, sedangkan pada anggota “b” selain batubara dan sisa tumbuhan
tidak dijumpai fosil kecuali foram air payau Haplophragmoides spp (Spruyt, 1956).
Ketebalan formasi ini sekitar 450 -750 meter. Anggota “a” diendapkan pada lingkungan
litoral yang berangsur berubah kelingkungan air payau dan darat (Spruyt, 1956). Lokasi
tipenya terletak di Muara Enim, Kampong Minyak, Lembar Lahat (Tobler, 1906)

      g.      Formasi Kasai (KAF)


Formasi ini mengakhiri siklus susut laut (De Coster dan Adiwijaya, 1973). Pada
bagian bawah terdiri atas batupasir tufan dengan beberapa selingan batulempung tufan,
kemudian terdapat konglomerat selang-seling lapisan-lapisan batulempung tufan dan
batupasir yang lepas, pada bagian teratas terdapat lapisan tuf batuapung yang mengandung
sisa tumbuhan dan kayu terkersikkan berstruktur sediment silang siur, lignit terdapat sebagai
lensa-lensa dalam batupasir dan batulempung tufan (Spruyt, 1956). Tobler (1906)
menemukan moluska air tawar Viviparus spp dan Union spp, umurnya diduga Plio-Plistosen.
Lingkungan pengendapan air payau sampai darat. Satuan ini terlempar luas dibagian timur
Lembar dan tebalnya mencapai 35 meter.
Stratigrafi Cekungan Barito
Secara umum sedimentasi di Cekungan Barito merupakan suatu daur lengkap sedimentasi yang terdiri
dari seri transgresi dan regresi. Fase transgresi terjadi pada kala Eosen – Miosen Awal dan disertai
dengan pengendapan Formasi Tanjung dan Berai, sedangkan fase regresi berlangsung pada kala
Miosen Tengah hingga Pliosen bersamaan dengan diendapkannya Formasi Warukin dan Dahor (
Kusuma dan Nafi, 1986). Menurut Sikumbang dan Heryanto (1987), urutan stratigrafi Cekungan
Barito dari tua ke muda adalah sebagai berikut :

Batuan Alas

Batuan alas ini berumur pra - Tersier dan merupakan batuan dasar dari batuan-batuan Tersier.
Komposisinya terdiri dari beberapa batuan, yaitu lava andesit, batugamping klastik dan konglomerat
polimik.

Formasi Tanjung

Formasi Tanjung diendapkan secara tidak selaras di atas batuan pra–Tersier. Formasi ini dibagi
menjadi dua anggota, dari tua ke muda yaitu:

1. Tanjung Bawah, terdiri dari konglomerat, batupasir, batubara sebagai hasil endapan pantai–
paralik.
2. Tanjung Atas, terdiri dari batulempung, napal, dan batugamping fosilan yang merupakan
endapan laut dangkal.

Formasi Tanjung berumur Eosen. Formasi Tanjung mempunyai ketebalan 1300 m dengan lingkungan
pengendapan paralik – delta –  laut dangkal. Formasi Tanjung pertama kali ditemukan di kampung
Tanjung, penyebarannya meliputi daerah Kambitu, Tanjung, Panaan dan Manunggal di daerah
Tanjung Raya. Fosil penunjuk Formasi Tanjung adalah Discocyclina sp, Nummulites djogjakartae,
Nummulites pengaronensis  dan Sigmoilina personata.

Formasi Berai

Formasi ini terletak selaras di atas Formasi Tanjung. Formasi Berai dibagi menjadi tiga anggota, dari
tua ke muda yaitu:

1. Berai Bawah, merupakan selang-seling batugamping, batulempung dan napal.


2. Berai Tengah, merupakan batugamping masif.
3. Berai Atas, merupakan selang-seling serpih, batulanau dan batugamping dengan sisipan tipis
batubara.

Formasi Berai berumur Oligosen – Miosen Awal. Formasi Berai mempunyai ketebalan 1250 m
dengan lingkungan pengendapannya laguna dan laut dangkal. Formasi Berai pertama kali ditemukan
di Gunung Berai dan penyebarannya meliputi seluruh daerah Cekungan Barito. Fosil penunjuk
Formasi Berai adalah Heterosgina borneoensis,  Nummulites fichtel, dan  Spyroclypeus leupoldi.

Formasi Warukin

Formasi Warukin terletak selaras di atas Formasi Berai. Formasi Warukin terdiri dari tiga anggota,
dari tua ke muda yaitu:

1. Warukin Bawah, merupakan selang-seling napal, batugamping, serpih, dan serpih gampingan.
2. Warukin Tengah, terdiri dari napal, lanau, lempung dan lapisan pasir tipis dengan sisipan
batubara.
3. Warukin Atas, terdiri dari batubara dengan sisipan lempung karbonat dan batupasir.

Formasi Warukin berumur Miosen Awal – Miosen Akhir. Formasi ini mempunyai ketebalan 300 –
500 m dengan lingkungan pengendapan paralik - delta. Formasi Warukin pertama kali ditemukan di
desa Warukin, Tanjung Raya Kalimantan Selatan. Penyebaran formasi ini meliputi seluruh Cekungan
Barito. Fosil penunjuk  Heterosgina sp,  Lepidocyclina sp dan  Spyroclypeus leupoldi.

Formasi Dahor

Formasi Dahor diendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Warukin. Formasi ini tersusun oleh
batupasir kuarsa putih kurang padat, sebagian berupa pasir lepas, bersisipan lempung,  lanau abu-abu,
lignit dan limonit. Di beberapa lokasi ditemukan sisipan kerakal kuarsa, kerakal batuan beku bersifat
granitis dan batuan metasedimen. Formasi ini diperkirakan berumur Miosen Akhir sampai Pliosen
dengan lingkungan pengendapan paralik. Formasi ini mempunyai ketebalan 300 m. Formasi Dahor
pertama kali ditemukan di kampung Dahor dan penyebarannya ke arah timur dan barat. Susunan
stratigrafi Cekungan Barito secara keseluruhan dapat dilihat pada gambar dibawah (kanan).
Gambar (kiri) Tectonic Setting Kalimantan, (kanan) Kolom Stratigrafi Cekungan Barito (Satyana et
al,1999 dalam Darman dan Sidi, 2000, modifikasi).

Anda mungkin juga menyukai