Disusun Oleh :
1. Definisi
Sindroma gagal nafas (respiratory distress syndrom, RDS ) adalah istilah yang
digunakan untuk disfungsi pernafasan pada neonatus. Gangguan ini merupakan penyakit
yang berhubungan dengan keterlambatan perkembangan maturitas paru atau tidak
adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru. (Suriadi & Yuliani, 2001). Gangguan ini
biasanya dikenal dengan nama hyalinemembran desease (HMD) atau penyakit membran
hialin karena pada penyakit ini selalu ditemukan membran hialin yang melapisi alveoli.
Syndrome distress pernapasan adalah perkembangan yang imatur pada sistem
pernapasan atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru. RDS dikatakan sebagai
hyaline membrane disease (HMD), RDS adalah penyakit paru yang akut dan berat,
terutama menyerang bayi.
Sindrom gawat napas (respiratory distress syndrome, RDS) adalah istilah yang
digunakan untuk disfungsi pernapasan pada neonatus. (Surasmi, Handayani, & Kusuma,
2003)
2. Etiologi
RDS sering ditemukan pada bayi prematur. Insidens berbanding terbalik dengan usia
kehamilan dan berat badan. Artinya semakin muda usia kehamilan ibu. Semakin tinggi
kejadian RDS pada bayi tersebut. Sebaliknya semakin tua usia kehamilan, semakin rendah
kejadian RDS. (Surasmi, Handayani, & Kusuma, 2003). PMH ini 60-80% terjadi pada bayi
yang umur kehamilannya kurang dari 28 minggu, 15-30% pada bayi antara 32 dan 36
minggu, sekitar 5% pada bayi yang lebih dari 37 minggu dan jarang pada bayi cukup
bulan. Kenaikan frekuensi dihubungkan dengan bayi dari ibu diabetes, persalinan sebelum
umur kehamilan 37 minggu, kehamilan multi janin, persalinan seksio sesaria, persalinan
cepat, asfiksia, stress dingin dan adanya riwayat bahwa bayi sebelumnya terkena, insidens
tertinggi pada bayi preterm laki-laki atau kulit putih.
3. Epidemiologi
Penyebab kematian pada bayi baru lahir 0-6 hari di Indonesia adalah gangguan
pernapasan (36,9%), prematuritas (32,4%), sepsis (12%), hipotermi (6,8%), kelainan
darah/ikterus (6,6%). Penyebab kematian bayi 7-28 hari adalah sepsis (20,5%), kelainan
kongenital (18,1%), pneumonia (15,4%), prematurias dan bayi berat lahir rendah (BBLR)
(12,8%), dan respiratory distress syndrome (RDS) (12,8%). (Riskesdas, 2007)
4. Patofisiologi
Bayi prematur lahir dengan kondisi paru yang belum siap sepenuhnya untuk berfungsi sebagai
organ pertukaran gas yang efektif. Hal ini merupakan faktor kritis dalam terjadinya RDS. Ketidak siapan
paru menjalankan fungsinya tersebut terutama disebabkan oleh kekurangan atau tidak adanya surfaktan.
Surfaktan adalah substansi yang merendahkan tegangan permukaan alveolus sehingga tidak terjadi
kolaps pada akhir ekspirasi dan mampu memohon sisa udara fungsional (kapasitas residu fungsional).
Surfaktan juga menyebabkan ekspansi yang merata dan jarang ekspansi paru pada tekanan intraalveolar
yang rendah. Kekurangan atau ketidakmatangan fungsi sufaktan menimbulkan ketidak seimbangan inflasi
saat inspirasi dan kolaps alveoli saat ekspirasi tanpa surfaktan, janin tidak dapat menjaga parunya tetap
mengembang. Oleh karena itu perlu usaha yang keras untuk mengembangkan parunya pada setiap
hembusan napas (ekspirasi). Sehingga untuk bernapas berikutnya dibutuhkan tekanan negatif intratoraks
yang lebih besar dengan disertai usaha inspirasi yang lebih kuat. Akibatnya, setiap kali pernapasan menjadi
sukar seperti saat pertama kali vernapas (saat kelahiran). Sebagai akibatnya, janin lebih banyak
menghabiskan oksigen untuk menghasilkan energi ini dari pada ia terima dan ini menyebabkan bayi
kelelahan. Dengan meningkatnya kelelahan, bayi akan semakin sedikit membuka alveolinya, ketidak
mampuan mempertahankan pengembangan pari ini dapat menyebabkan antelektasis.
Pathway
5. Manifestasi Klinis
a. Sesak napas atau pernafasan cepat
b. Frekuensi napas >60 x/menit
c. Pernafasan cepat dan dangkal timbul setelah 6-8 jam setelah lahir
d. Retraksi interkostal, epigastrium, atau suprasternal pada inspirasi
e. Sianosis dan pernafasan cuping hidung
f. Grunting pada ekspirasi (terdengar seperti suara rintihan saat ekspirasi)
g. Takikardi (170 x/menit)
Evaluasi gawat napas menurut skor down
Pembeda 0 1 2 Keterangan
Frekuensi <60 x/menit 60-80 x/menit >80 x/menit Skor <4 tidak
napas gawat napas
6. Klasifikasi
Frekuensi Pernapasan Gruting atau tarikan Klasifikasi
(kali per menit) dinding dada ke dalam
7. Farmakoterapi
Kategori Nama Dosis, Kerja Kontraindikasi Efek
Obat Generik dan Frekuens Obat Samping
Nama i
Dagang
8. Pemeriksaan Penunjang
a Tes Kematangan Paru
1) Tes biokimia
Paru janin berhubungan dengan cairan amnion, maka jumlah fosfolipid dalam cairan
amnion dapat untuk menilai produksi surfaktan, sebagai tolak ukur kematangan
2) Test Biofisika
Tes biokimia dilakukan dengan shake test dengan cara mengocok cairan amnion yang
dicampur ethanol akan terjadi hambatan pembentukan gelembung oleh unsur yang lain dari
cairan amnion sepserti protein, garam empedu dan asam lemak bebas, bila didapatkan ring
yang utuh dengan pengenceran lebih dari 2 kali (cairan amnion : ethanol) merupakan indikasi
maturitas paru janin. Pada kehamilan normal mempunyai nilai prediksi positf yang tepat
dengan resiko yang kecil untuk terjadinya neonatal RDS.
b Analisis Gas Darah
Gas darah menunjukan siadosis metabolik dan respiratorik bersamaan dengan hipoksia.
Asidosis muncul karena atelektasis alveolus atau over distensi jalan napas terminal.
c Radiografi Thoraks
Pada bayi RDS menunjukan retikular granular atau gambaran ground-glass bilateral, difus air
bronchograms, dan ekspansi paru yang jelek. Gambaran air bronchogram yang mencolok
menunjukan bronkiolus yang terisi udara didepan alveoli yang kolap. Bayangan jantung bisa normal
atau membesar. Kardiomegali mungkin dihasilkan oleh asfiksi prenatal, diabetes maternal, patent
ductus arterious (PDA), kemungkinan kelainan jantung bawaan. Temuan ini mungkin berubah
dengan terapi surfaktan dini dan ventilasi mekanik yang adekuat.
9. Penatalaksanaan Medis
1. Penatalaksanaan medik tindakan yang perlu dilakukan
a Memberikan lingkungan yang optimal, suhu tubuh bayi harus selalu diusahakan agar tetap
dalam batas normal (36,5̊-37̊C) dengan cara melakukan bayi dalam inkubator. Kelembapan
ruanan juga harus adekuat (70-80%).
b Pemberian oksigen, pemberian oksigen harus dilakukan dengan hati-hati karena berpengaruh
kompleks terhadap bayi prematur. Pemberian O2 yang terlalu banyak dapat menimbulkan
komplikasi seperti : fibrosis paru, kerusakan retina dll.
c Pemberian cairan dan elektrolit sangat perlu untuk mempertahankan homeostasis dan
menghindarkan dehidrasi. Pada permulaan diberikan glukosa 5-10% dengan jumlah yang
disesuaikan dengan umur dan berat badan ialah 60-125 ml/kg BB/hari. Asidosis metabolik
yang selalu dijumpai harus segera dikoreksi dengan memberikan NaHCO secara intravena.
d Pemberian antibiotik. Bayi dengan PMH perlu mendapatkan antibiotik untuk mencegah
infeksi sekunder. Dapat diberikan penisilin dengan dosis 50.000-100.000 u/kg BB/hari atau
ampisilin 100 mg/kg BB/hari, dengan atau tanpa gentasinin 3-5 mg/kg BB/hari.
e Kemajuan terakhir dalam pengobatan pasien PMH adalah pemberian surfaktan oksogen
(surfaktan dari luar), obat ini sangat efektif, namun sangat mahal.
10. Komplikasi
a. Pneumotoraks/pneumomediastinum
b. Pulmonari intersitial dysplasia
c. Patent ductus arteriosus (PDA)
d. Hipotensi
e. Asidosis
f. Hiponatermi / hipernatremi
g. Hipokalemi
h. Hipokglikemi
i. Intraventrikular hemorrhage
j. Retinopathy pada prematur
k. Infeksi sekunder
11. Diet/Nutrisi
a. Pemberian Air Susu Ibu (ASI)
b. Susu formula mempunyai kandungan antara lain :
a) Energi 24 kkal/oz
b) Protein 2,2 g/100 Ml
c) Lemak 4,5 g/100 mL
d) Karbohidrat 8,5 g/100 mL
e) Kalsium 730 mEq/L
PPNI (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Definsi dan indicator diagnostic, Edisi
1. Jakarta: DPP PPNI
PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan Keperawatan,
Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI