Anda di halaman 1dari 2

Name : Muhammad Naziful Haq/19202012017

CRITICAL RESPONSE
Subject : Filsafat Ilmu

Lecture : Dr. Joko Wicoyo, Ms

Literature : Filsafat Ilmu

Apakah matematika baru muncul di Indonesia setelah kolonialisme masuk? Faktanya, jauh sebelum
kolonialisme masuk, dan jauh sebelum Eropa mengalami Renaissance, prasasti Kedukan Bukit sudah
menggunakan sistem angka desimal lebih dahulu. Dan tentu, prasasti Kedukan Bukit ini hanyalah
sepotong kecil petunjuk tentang keseluruhan bentuk utuh konstruksi ilmu pengetahuan versi
Nusantara yang beragam. Ini mengindikasikan bahwa tiap-tiap kebudayaan memiliki konstruksi ilmu
pengetahuan-nya masing-masing.
Buku yang ditulis oleh Rizal Musytansir dan Misnal Munir ini menjelaskan tentang apa itu filsafat,
apa itu filsafat ilmu, apa itu metodologi, bagaimana perkembangan sains, siapa saja groundbreaker-
nya, apa saja yang mereka lakukan dan terakhir, tentang pelajaran apa yang Indonesia bisa petik dari
sejarah perkembangan ilmu di barat. Secara keseluruhan, buku ini sangat ensiklopedis dan kental
dengan pemikiran barat. Hingga, di paruh akhir bagian belakang, pembaca akan menemukan
bagaimana Rizal Musytansir dan Misnal Munir merekomendasikan bahwa bila ingin mencangkok
tubuh ilmu pengetahuan—yang sebagaimana di bangun di barat—di Indonesia, maka tubuh ilmu
pengetahuan itu harus disesuaikan dengan nilai-nilai yang ada di Indonesia. Secara eksplisit,
Musytansir dan Munir menyebut “harus disesuaikan dengan Pancasila” agar tidak mengulang
kejadian lepasnya ilmu dan filsafat dari agama pada masa Renaissance dulu.
Rekomendasi yang dibangun oleh Musytansir dan Munir problematis karena beberapa alasan:
pertama, Pancasila adalah ideologi. Dibandingkan dengan ideologi-ideologi lain—seperti kapitalisme,
sosialisme, komunisme, dll.—, Pancasila tidak memiliki literatur ilmiah resmi tentang seluk-beluk
dan epistemologinya. Belum lagi ditambah dengan lenturnya tafsir Pancasila itu sendiri (misalnya:
sebagaimana tiap-tiap Orde di Indonesia memiliki tafsirnya sendiri tentang konsepsi
Pancasila).Dengan kata lain, konstruksi ilmu pengetahuan—terlepas dari versi konstruksinya—akan
mengawang-awang bila secara langsung dicangkokkan dengan Pancasila.
Kedua, akan lebih kongkrit bila konstruksi ilmu pengetahuan dicangkokkan dengan nilai atau cara
pandang (weltanschauung) masyarakat lokal tertentu. Pencangkokan pada nilai atau cara pandang
masyarakat lokal adalah salah satu bentuk “sekali dayung dua pulau terlampaui.”
(1)Pencangkokan ini akan menetralisir cara pandang a la barat terhadap fenomena lokal. Selama ini,
banyak ilmuan—khususnya pada disiplin antropologi, etnografi dan sosiologi—yang memandang
fenomena lokal dari kacamata barat. Ini juga merupakan salah satu akar mengapa ‘impor’ teori barat
mendominir warna sains di Indonesia.
(2)Pencangkokan ini adalah salah satu bentuk pemberian kedaulatan terhadap masyarakat lokal untuk
mengembangkan konstruksi ilmu pengetahuan berdasarkan kearifan lokal mereka masing-masing.
Selama ini, ilmu-ilmu atau sains lokal yang ‘dianggap’ aneh dari kacamata barat hanya diberikan
penghargaan sebagai ‘indigenous knowledge.’ Padahal, diviersifikasi konstruksi ilmu pengetahuan itu
tidak bisa semena-mena dimonopoli satu kebudayaan tertentu. Hanya saja, diversifikasi konstruksi
ilmu pengetahuan itu terkubur oleh kemapanan konstruksi ilmu pengetahuan versi barat yang kita
sebut sebagai ‘modernitas.’
Kuan Hsing-Chen, dalam bukunya yang bertajuk Asia as Method, mengatakan bahwa sudah waktunya
produksi pengetahuan (knowledge production) diproses melalui logika dan formasi sosial masyarakat
Name : Muhammad Naziful Haq/19202012017

lokal.1 Dalam buku Filsafat Ilmu milik Musytansir dan Munir, produksi pengetahuan banyak
dikisahkan dari kacatamata barat. Meskipun Musytansir dan Munir juga menyebutkan bahwa
Mohammad Hatta juga merupakan salah satu pionir pengembangan ilmu pengetahuan di Indonesia,
tapi, secara akar pemikiran, Hatta berakar dari Eramus University of Rotterdam. Jadi, sebenarnya, dari
keseluruhan paparan dan rekomendasi yang disajikan Musytansir dan Munir tidak ada yang klop
dengan karakter bangsa Indonesia. Kecuali:
Satu, Orientasi pengembangan ilmu, karakter manusia dan cara pandang masyarakat Indonesia
memang diarahkan pada bentuk modernitas dengan segala macam konstruksi ilmu pengetahuan yang
menopangnya.
Atau kedua, adanya komitmen baik itu di masyarakat, kalangan ilmuan, ataupun pemerintah untuk
menggali konstruksi ilmu pengetahuan lampau di Indonesia. Hanya saja, alternatif yang kedua ini
membutuhkan kerja arkeologi dan dan kebudayaan yang menguras energi.
Penulisan critical response ini tidak dimaksudkan sebagai pendirian anti-barat, tapi dimaksudkan
untuk menunjukkan bahwa konstruksi ilmu pengetahuan itu tidak bisa semena-mena diseragamkan
atau dicangkok tanpa ada pertimbangan historis dan kultural. Hal ini tentu untuk menghindari
penyempitan diversifikasi konstruksi ilmu pengetahuan.

1
Hsing-Chen, Kuan. 2010. Asia as Method. London: Duke University Press. hlm.x

Anda mungkin juga menyukai