Anda di halaman 1dari 4

Akibat Story

Muhammad Naziful Haq

Pada suatu malam, whatsapp saya dipenuhi dengan update story dari salah satu kawan
saya. Ia baru saja putus cinta, wajar jika bersikap demikian. Meskipun begitu, saya merasa
rishi dengan ke-alay-an dia. Akhirnya saya iseng membuat story whatsapp yang isinya cukup
sarkastik dan memang sengaja dibuat sesarkas mungkin karena itu adalah hal lumrah bagi
kami yang telah berteman selama lebih dari 7 tahun ”ngerantau Cuma numpang ngurusin
selangkangan & main mobile legend, kena pukul bonus demografi modar...” sekitar satu jam
saya online whatsapp, saya tidak menerima komentar apapun darinya. Mungkin kawan saya
yang satu itu tidak ngeh kalau itu sindiran yang ditujukan bagi dirinya. Tetapi hal yang tak
terduga terjadi, dari salah seorang adik kelas perempuan (sebut saja nama-nya ’Mawar’)—
yang cukup akrab dengan saya—ia membalas story saya ”ini nih kalo ga tau faktanya jangan
asal ngomong. Klo mau cari duit pinter dong jangan mikir selangkangan doang. Ikut yang
santai-santai tp dpt duit banyak udh gtu nginep di hotel juga. Makanya ikut seminar-seminar
yang ngasilin duit. Ini nih ciri2 otaknya seret bgt.” saya pun bingung memahami kalimat-
kalimat tersebut. Hingga saya memutuskan untuk tidak meladeni-nya. Saya pun iseng melihat
timeline story whatsapp. Rupanya, 40 menit lalu ia membuat story screenshot hasil
pertandingan mobile legend dirinya dengan pacarnya dan beberapa teman laki-laki. Saya baru
menyadari kenapa ia bisa tersinggung. Tidak lama setelah itu, ia membuat story whatsapp
baru; yang berupa screenshoot kata-kata dari akun instagram seseorang; ”yuk bersama-sama
untuk menjadi orang yang pinter dan cerdas dalam menggunakan sosial media. Tau dimana
untuk berpendapat, tau bagaimana untuk mengutarakan pendapat dan tau dimana urusan
yang perlu diurusin dan mana yang tidak perlu dicampurin. 1 saran, jika tidak suka dengan
sesuatu, tinggalkan, jangan dilihat lagi.”

Pelajaran yang didapat adalah; di era bangkitnya Homo Digitalis ini, susunan gambar
pixel lebih nyata dari pada yang nyata. Manusia saat ini lebih percaya fragment1 representasi

1
Konsep fragment ini saya pinjam dari budaya era romantik. Pada saat era romantik, orang berkunjung ke
museum dan melihat lukisan, ia membayangkan tentang apa yang dibayangkan oleh si pelukis pada saat itu,
semakin banyak detail di lukisan, semakin banyak hal yang dibayangkan oleh si pengamat lukisan. Lukisan
tersebut adalah fragment dari keseluruhan realita yang dialami oleh si pelukis pada saat melukis lukisan
tersebut. Hal yang sama juga berlaku bagi story; story adalah fragment dari keseluruhan realita yang dialami
oleh uploader pada saat situasi tertentu di dunia korporeal.
Lihat: Thomas, Sophie. 2008. Romanticism and Visuality: Fragments, Spectacle, History. London: Routledge.
Hal. 40
digital dari pada verifikasi fakta dan realita korporeal. Saya pun mulai membayangkan,
mungkin diluar sana, ada banyak konflik interpersonal yang terjadi karena dipantik oleh
dinamika ruang digital. Masalahnya adalah, jika dulu dunia manusia hanya the imaginer dan
the real,2 sekarang dunia kita terbelah menjadi tiga; the imaginer, the real dan the digital.

Sebelum munculnya revolusi digital, etika pertemanan didasarkan pada das ding an
sich hubungan emosional pertemanan yang penuh dengan nurani korporeal. Sekarang
hubungan pertemanan didasarkan pada ’bagaimana kita mengupload story dan menandai
kawan kita’.

Meskipun Bruno Latour berbicara pada konteks era modern, tetapi kiranya dikotomi
yang ia rumuskan cukup relevan untuk membingkai perilaku manusia era revolusi digital.
Menurutnya ”salah satu rangkaian praktik dari modernitas adalah terciptanya hibriditas.
Penyatuan rumit antara alam dan manusia. serangkaian praktik alternatif yang menciptakan
dua zona ontologis yang berbeda.”3 dalam hal ini, ’dua zona ontologis tersebut adalah alam
korporeal dan alam digital. Alam korporeal dan alam digital berusaha disatukan dengan
kehidupan manusia. hanya saja, sepertinya manusia yang telah mapan di alam korporeal
kaget dengan hadirnya alam digital yang kedatangannya ternyata jauh lebih dekat daripada
yang mereka kira.

Sayangnya, alam digital tidak cukup merepresentasikan secara utuh alam realita.
Akhirnya, story yang selama ini saya, kawan saya, adik kelas saya si Mawar dan kita semua
upload hanyalah pecahan (fragment) dari kehidupan nyata kita. Dan yang sangat disayangkan
lagi adalah kita cenderung menipu diri ataupun orang lain—entah itu benar-benar berbohong
ataupun hanya sekedar melebih-lebihkan altered fact—agar citra kita terlihat lebih mewah
oleh orang lain melalui fragment tersebut (story). Seseorang bisa memanipulasi fragment
miliknya, seseorang juga bisa tertipu oleh fragment orang lain dan seseorang juga sangat bisa
salah paham terhadap fragment milik orang lain.

2
Sophia Thomas membagi alam manusia menjadi dua, yaitu: alam imajiner, sebagai alam permulaan
munculnya konsep kebudayaan manusia dan alam real, yaitu alam kehidupan sehari-hari manusia.
Ibid. Thomas, Sophie. Hal. 1
Sementara, Rafael Capurro berpendapat bahawa di era revolusi digital ini manusia hidup di tiga alam. Alam
yang ketiga adalah alam digital (informationgestell).
Lihat: Capurro, Rafael. 2018. Homo Digitalis: Beitrӓge zur Ontologie, Anthropologie und Ethik der Digitalen
Technik. Wiesbaden: Springer VS. Hal. 13
Lihat Juga: Hardiman, F Budi. 2018. Paper Homo Digitalis: Kondisi Manusia di Era Komunikasi Digital. Dalam
Seminar Etika Komunikasi Digital – Membela Moralitas dalam Prahara Politik Kebenaran. Jakarta: Sekolah
Tinggi Filsafat Driyakara. Hal. 4
3
Latour, Bruno. 1993. We Have Never Been Modern. Massachusetts: Harvard University Press. Hal.10-11
Berbeda dengan dunia digital, dunia korporeal hadir di hadapan kita sebagai sesuatu
yang utuh, baik itu konteks-nya, pesannya, maupun si komunikatornya. 4 Kemungkinan salah
paham dan manipulasi hampir tidak mungkin terjadi di dunia korporeal, kalaupun ada,
mungkin hanya sedikit dan jika itu terjadi, kita bisa melakukan verifikasi saat itu juga.
Setidaknya, dari apa yang dilakukan Mawar terhadap story yang dilihatnya, kita bisa
mendapat satu hal; standar kebenaran manusia era revolusi digital telah berubah. Bukan fakta,
bukan klarifikasi, bukan niat baik rekonsiliasi ketika dua orang terlibat konflik. Tetapi
kebenaran yang relevan bagi manusia era revolusi digital adalah menempel, menarik dan
memposting opini yang sesuai dengan perasaan mereka sebagai respon dari informasi apa
yang mereka lihat.

Pada tataran ini, gawai yang selalu kita buka sebelum dan sesudah tidur, benda itu
secara tidak langsung mempengaruhi kita untuk lebih percaya kepada perasaan, pesan dan
fragment yang terlihat dari pada kepada siapa kita berbicara. Ini pun kiranya cukup fantastis
karena Indonesia memiliki 71,5 Juta pengguna Gawai dan tablet. 5 Bisa dibayangkan berapa
banyak orang yang mulai terpegaruh untuk lebih mempercayai fragment dari pada realita
korporeal.

4
Lihat: Hardiman, F Budi. 2018. Paper Homo Digitalis: Kondisi Manusia di Era Komunikasi Digital. Dalam
Seminar Etika Komunikasi Digital – Membela Moralitas dalam Prahara Politik Kebenaran. Jakarta: Sekolah
Tinggi Filsafat Driyakara. Hal. 3
5
Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) Tahun 2017.
DAFTAR PUSTAKA

Capurro, Rafael. 2018. Homo Digitalis: Beitrӓge zur Ontologie, Anthropologie und Ethik der Digitalen
Technik. Wiesbaden: Springer VS.

Hardiman, F Budi. 2018. Paper Homo Digitalis: Kondisi Manusia di Era Komunikasi Digital. Dalam
Seminar Etika Komunikasi Digital – Membela Moralitas dalam Prahara Politik Kebenaran.
Jakarta: Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara.

Latour, Bruno. 1993. We Have Never Been Modern. Massachusetts: Harvard University Press.

Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) Tahun 2017.

Thomas, Sophie. 2008. Romanticism and Visuality: Fragments, Spectacle, History. London:
Routledge.

Anda mungkin juga menyukai