Anda di halaman 1dari 139

BAB I

AIR DAN PELARUTAN

1.1 Kata Pengantar

Melalui suatu pengenalan terhadap penelitian deposit mineral hydrothermal, bab ini
membicarakan apa yang kita ketahui tentang air, asal-usulnya diatas planet kita dan arti
pentingnya untuk proses kehidupan planet, hydrothermal dan proses genesis lainnya.
Sifatnya yang larut, melarutkan dan fenomena hydrolisis serta hydrasi (pelarutan antara
air dengan senyawa kimia) dan berbagai fungsi lain juga dibicarakan sebelum
meneruskan dengan pembicaraan mengenai sifat deposit sekelompok besar mineral yang
asal-usulnya berkaitan dengan pelarutan hydrothermal.

Untuk penelitian lebih detail tentang subjek selama membicarakan bab ini, pembaca yang
berminat dapat mempelajari buku Mason (1966), Krauskopf (1979), Masterton dkk
(1981), Press dan Siever (1982), Holland (1984), dan Gill (1989).

1.2. Air: Asal-usul dan Arti Pentingnya

Suatu oksida hydrogen, air terdiri dari dua atom hydrogen dan satu atom oksigen.
Merupakan suatu molekul yang mudah berubah dimana atom oksigen memiliki isian
negatif lemah dan hydrogen isian positif lemah. Polaritas dari molekul ini penting,
memungkinkan proses hydrasi dan hydrolisis. Air murni bisa ‘terpecah’ menurut rumus:

H2O=H+ + O-
Ion OH ini dikenal sebagai kelompok hydroxyl, biasanya memasuki struktur kelompok
besar mineral seperti amphibole dan mika.

Mungkin cukup mengherankan bahwa air merupakan bagian kecil dari planet kita. Lebih
dari 70% dari permukaan bumi dilapisi oleh lapisan tipis air. Kenyataanya, jika dimensi
planet diperhitungkan, lautan terdiri kurang dari 0.03 % dari seluruh massa bumi. Namun
demikian air bukan merupakan bagian dari bagian lain tata surya, dimana mungkin cukup
banyak sebagai es di planet-planet luar. Bahkan planet ‘karang’ seperti Merkurius,
Venus, Bumi, Mars sebenarnya relatif sangat kering.Air di bumi terjadi sebagai fase cair
dalam lautan, sungai-sungai, danau dan dibawah tanah pada pori-pori permukaan material
padat ; sebagai uap dalam atmosfer dan emisi vokanik, dalam fase padat di kutub, glacier
dan sebagai bagian kimia dalam mineral hydrous . Keseluruhan air ini mengambil bagian
dalam dua siklus besar geologi: siklus endogen, yang mendapatkan energi dari bagian
dalam bumi, mengakibatkan proses tektonik, igneous dan metamorfose, serta siklus
eksogenik pada dan dekat permukaan,yang mendapatkan energinya dari matahari,
menyebabkan interaksi hydrosfer, atmosfer dan lithosfer.

1.2.1. Evolusi Planet dan Asal-usul Air.


Bumi kita terbentuk kira-kira 4.6. Ga yang lalu. Planet-planet dalam tata surya yang
terdekat dengan matahari—Merkurius, Venus, bumi dan system bulan, Mars dan sabuk
asteroid—adalah batuan dan mudah berubah bila dibandingkan dengan planet-planet
luar. Planet-planet terbentuk karena benturan dan pembentukan proses dingin dari
butiran-butiran nebula dengan benda angkasa yang dikenal sebagai planetisimal, yang
komposisinya berbeda dari nebula matahari. Nebula matahari merupakan bahan dasar
dari system kita, dan diperkirakan terdiri dari 98% campuran antara H2 dan He, kurang
dari 2% zat yang mudah berubah (H2O, CH4, NH3 dsb) dan kira-kira 0,5% bahan padat
yang mengandung SiO2, MgO, FeO, FeS dsb. Metal, oksida dan silikat mendominasi
daerah antara Merkurius dan asteroid, sedangkan seterusnya adalah es, methane,
ammonia dan material ringan yang lebih berlimpah. Namun sejumlah kecil dari zat-zat
yang mudah berubah juga terdapat dalam pembentukan bumi. Planet-planet yang baru
terbentuk ini mengalami pemanasan dari tiga proses utama: yakni benturan energi,
kompresi gravitasi dan radioaktivitas. Sementara panas yang dihasilkan jauh lebih cepat
dari seharusnya juga tercurah ke angkasa, melumerkan semuanya. Pelumeran ini
mengarah kepada material yang`lebih ringan ke permukaannya. Di bumi aluminium,
silikon, potassium dan sodium terakumulasi sebagai slag membentuk lapisan paling luar
(crust) kebagian permukaan, diikuti bagian dalam (mantel) membentuk Fe dan Mg silikat
dengan bagian lebih padat dan lebih dekat struktur kristal. Tenggelamnya material logam
yang lebih berat menyebabkan terbentuknya core/inti, dipercayai terdiri terutama dari Fe-
Ni alloy. Karena itu bagian crust (kulit bumi) memiliki elemen berbeda yang cukup
berlimpah jika dibandingkan dengan keseluruhan bumi, sebagaimana terlihat pada Tabel
1.1.

Tabel 1.1

Crust (kulit bumi) Keseluruhan bumi

O 46% Fe 35%
Si 28% O 30%
Al 8% Si 15%
Fe 6% Mg 13%
Mg 4% Ni 2.4%
Ca 2.4% S 1.9%
K 2.3% Ca 1.1%
Na 2.1% Al 1.1%
Lain-lain <1% Lain-lain <1%

Sebagai konsekuensi alam dari pemanasan dan pelumeran adalah kegiatan volkanik ,
yakni transfer panas dan massa kearah permukaan. Disinilah proses pelepasan zat yang
mudah berubah terjadi, melalui kegiatan gunung api dan gunung-gunung api dibawah
laut.Pelepasan gas dan bahan-bahan seperti CO2, CO, H2S, H2, N2, CH4, HF, NCl, Ar, Ne
dsb. terjadi dalam jumlah besar selama permulaan zaman. Benda-benda langit seperti
planet-planet yang memiliki gaya berat/gravitasi cukup besar seperti Bumi dan Venus
atau Mars, mampu mempertahankan keberadaan zat-zat tertentu, kecuali H 2 dan He, yang
melepaskan diri ke angkasa. Jika dikalkulasi, zat-zat volatile yang melepaskan diri
tersebut telah berlangsung selama 108-109 tahun (Pollack danYung 1980)

Diatas bumi, suhu cukup rendah untuk memungkinkan terjadinya kondensasi air dengan
banyak CO2 dalam larutan, dan proses leaching elemen-elemen lain dari material
permukaan. Kemudian terkumpullah air kedalam danau-danau dan ke cekungan yang
lebih besar dan membentuk lautan. Disebutkan bahwa cekungan yang lebih besar adalah
type mare, sebagaimana yang terbentuk di bulan, mula-mula terbentuk oleh flux dari
benda langit berukuran asteroid (Frey, 1997). Kebanyakan dari air di bumi lalu terkumpul
di lautan, dan CO2 dalam batuan karbonat, sedangkan unsur lain yang mudah berubah
membentuk lapisan gas yang menyelimuti seluruh planet (atmosfer). Penelitian yang
dilakukan dengan teknik ion-probe mengungkapkan bahwa beberapa bentuk lapisan luar
benua telah ada sejak 4.1 Ga (Froude dkk. 1983). Hadirnya batuan sedimenter
diperkirakan setua 3.8 Ga, menunjukkan bahwa hidrosfer dan atmosfer telah terbentuk
setidaknya pada waktu itu, menyiratkan konsekuensi pada perkembangan lebih lanjut

2.2 Air – Masa lalu dan sekarang

Atmosfer dan hydrosfer secara bersama membentuk lapisan gas dan cair yang
menyelimuti bumi , dan sebagaimana dikatakan di atas, merupakan bagian yang lebih
dulu terbentuk karena pengeluaran gas dari planet. Kondensasi dari air dan akumulasinya
di daerah rendah atau cekungan membentuk lautan, yang menerangkan diskontinuitas
cairan yang menggenangi bumi. Hydrosfer terdiri dari seluruh air pada permukaan bumi,
lautan, danau-danau, sungai-sungai dan lapisan es. Lautan sekarang ini meliputi kira-kira
66 x 106 km2, atau 70.8% dari permukaan bumi. Massa air laut terdiri kira-kira 98% dari
total hydrosfer dan air tawar yang tinggal...%, kira-kira 22% adalah air tanah. Kira-kira
77% dari air tawar berupa es, dan kurang dari 1% adalah air permukaan meteor. Karena
itu air merupakan komoditas yang berharga.

Sejarah hydrosfer dan atmosfer merupakan akibat dari kegiatan volkanik, tektonisme dan
peningkatan kegiatan biologis (Holland 1984) Bukti-bukti terrestrial maupun lingkungan
laut menunjukkan bahwa salinitas (keasinan) dari lautan purba telah terjadi sejak
pembentukan lautan, lebih dari 4Ga yang lalu. Dengan demikian, lautan purba telah
mengandung konsentrasi Cl, Na+, Ca2+ dan Mg2+, dengan Na1 dan C1- lebih dominan
dengan kandungan kation dan anion (Holland 1984.) Bahwa air laut purba telah
mengandung garam juga dibuktikan dengan adanya deposit sedimenter dari asal
evaporitik dari abad Archean , seperti KelompokWarrawoona (3.5 Ga) di Australia. Pada
karang/batuan kelompok ini, mineral berbentuk rosette yang mengalami perkembangan
baik digantikan oleh silika , diterjemahkan mewakili mineral evaporit seperti gypsum
(Holland 1984).Ada juga bukti bahwa oksidasi atmosfer secara bertahap diperlukan
melalui jaman geologi, dan bahwa selama 500 Ma pertama setidaknya telah mengalami
penurunan sifat.Bukti dari paleosol, paleoplacer Witwatersrand di Afrika Selatan dengan
detrital pyrite dan butiran uraninite , dan formasi / pembentukan`besi, mengesankan
bahwa atmosfer miskin dengan oksigen selama masa Archean bila dibandingkan dengan
masa sekarang.

Tabel 1.2.
Ion ppt persentase

Cl 18,98 55,05
Na 10,56 30.61
SO4 2.65 7.68
MG2 1.27 3.69
Ca2 0.40 1.16
K 0.38 1.10
HCO 0.14 0.41
Br 0.065 0.19
H2BO3 0,025 0.07
Sr 0.008 0.03
Total 34.48 99.99

Tabel 1.3.

Jenis-jenis garam pada penguapan air laut.(Setelah Krauskopf 1979)

Chloride Formula

Halite NaCl
Sylvite KCl
Carnallite K MgCl3.6H2O
Bisholite MgCl2.6H2O
Sulfat
Kainite KMgClSO411/4H2O
Anhydrite CaSO4
Gypsum CaSO4.2H2O
Polyhalite K2MgCa2(SO4)4.2H2O
Kieserite MgSO4.H2O

Komposisi air laut didefinisikan oleh tingkat salinitas, dengan jumlah larutan padat per
kilogram air.Tabel` 1.2. memperlihatkan komposisi rata-rata dari air laut.Presipitat yang
diperoleh dari penguapan air laut terdiri dari orebody non metallik.Perembesan zat-zat
evaporit purba mungkin berpengaruh terhadap komposisi dan presipitasi spesies sulfida,
sebagaimana pada kasus sulfida brines di Laut Merah (lih.Bab 3 dan 13) Tabel 1.3.
mencantumkan beberapa jenis garam yang terpenting dalam penguapan air laut.

Air`laut juga mengandung larutan gas (O 2, N2, CO2, Ar, H2S) dan host dari berbagai
elemen seperti Li, C, Al, Si, P, Ti,V,Mn,Fe,Co, Ni, Cu, Zn, As, Se,Rb, Mo, Ba. Elemen
seperti Au, Ag, Hg, Pb dan U juga ada walaupun sangat kecil jauh dibawah chloride,
karbonat dan sulfida. H2S bisa cukup banyak di suatu tempat, terutama di dasar air yang
stagnan dan kaya akan organik (mis. Laut Hitam) dan di daerah sekitar gunung api
ditengah laut. Meteorit atau terrestrial air yang merupakan komponen minoritas dalam
hydrosfer, sangat penting artinya karena air bertanggung jawab atas proses pelapukan,
erosi dan transportasi material dari massa bumi. Gambar 1.1 memperlihatkan siklus
hidrologik dari lautan ke atmosfer, ke tanah dan kembali ke lautan. Diperkirakan bahwa
air meteorik membawa sekitar 27.4 x 1014 g bahan yang terlarutkan setiap tahunnya.
Rata-rata tingkat salinitas air sungai adalah 100 ppm. Tabel 1.4 memberikan komposisi
rata-rata dari larutan benda padat di air sungai.

Fig. 1.1. Siklus endogenik dan meteorik dari H2O dan CO2

Jumlah benda padat yang terlarutkan dan terbawa oleh air sungai setiap tahun memang
hanya sebagian kecil bila dibandingkan dengan massa padat yang dikandung oleh air laut
(49.5 x 1021 g. ) Material yang ditambahkan ke air laut dari air sungai ini bertambah
dengan kegiatan volkanisme sepanjang pegunungan dibawah laut, yang menyuntikkan
kebanyakan anion di laut.(Cl-, SO4 2-, B, Br).Untuk menentukan budget air yang
melarutkan, adalah penting untuk mengetahui panjang rata-rata waktu dimana setiap
elemen tetap tinggal di lautan. Ini dihitung dengan membagi jumlah keseluruhan elemen
dalam pelarutan dengan jumlah yang muncul setiap tahun oleh air dari angkasa. Dalam
hal waktu tinggal air ini elemen dengan jumlah cukup banyak (Na, Cl, Mg, Ca, K)
ditemukan paling lama mempunyai waktu tinggal,sedangkan elemen yang kurang cukup
banyak ( mis. Fe, Al, Zn, Cu, Mn, Pb, Au, Ag ) memiliki waktu tinggal yang paling
singkat. Gambar 1.2 menunjukkan hubungan antara waktu tinggal di lautan elemen dan
konsentrasinya, sebagaimana dikalkulasi oleh Whitfield (1982) , yang mempresentasikan
suatu lukisan tentang system dinamika lautan mempergunakan metoda Earth-day, dimana
4.6 Ga dari sejarah bumi dikompressi ke dalam 24 jam. Pada tingkat sekarang, sungai-
sungai mengangkut banyak material setiap ‘jam’ untuk memenuhi cekungan lautan,
sementara setiap 18 ‘detik’ jumlah material yang terlarut dan diangkut oleh air sungai
berjumlah dua kali garam di lautan. Waktu tinggal terlama dari kebanyakan elemen
hanya kira-kira 1’menit’, kebanyakan trace elemen di laut kurang dari 1 ‘detik’. Sedimen
di laut kurang dari 1 ‘jam’, sedangkan material yang mengendap selalu mengalami
gerakan yang diakibatkan oleh kegiatan gunung api dan ‘subduction’. Disamping
dinamika flux ini, Whitfield mengatakan bahwa bukti-bukti geologis menyiratkan
komposisi air laut tetap konstan selama setidaknya 11 ‘jam’ atau 2000 Ma. Satu dari sifat
paling menonjol lautan ialah konsentrasi elemen-elemen yang mungkin berbahaya bagi
organisme hidup (mis. As, Se, Hg, Pb dsb) yang tidak mengalami peningkatan, walaupun
ada masukan tahunan dari sungai-sungai. Whitfield (1982) menerangkan bahwa budget
kimia dari lautan dalam istilah model tetap: dengan lain perkataan, material ditambahkan
dan dikurangi secara konstan. Ia juga menyatakan bahwa sementara komposisi air laut
dikendalikan terutama oleh proses geologi, massa biota juga mempengaruhi lautan pada
dewasa ini dalam hal pengendalian distribusi elemen, sebagaimana diindikasikan oleh
korelasi antara arti pentingnya biologi dari suatu elemen dan konsentrasinya (Fig. 1.2).

Tabel 1.4.Komposisi rata-rata bahan padat yang terlarutkan dalam air sungai
diekspresikan dalam ppm, dan

Ion ppm wt %

HCO3 58,5 48.6


Ca2+ 15 12.5
SiO2 13.1 11.0
SO4 2- 11.2 9.3
Cl 7.8 6.5
Na 6.3 3.3
Mg 2+ 4.1 3.4
K1 2.3 2.0
NO3 1 0.8
Fe 0.7 0.6

Total 120 100.0

Fig. 1.2 Waktu Tinggal Elemen dalam air lautdalam hubungan dengan konsentrasi

Beberapa ilmuwan percaya bahwa komposisi air laut tidak konstan, selama usia geologis
Spencer dan Hardie (1990), misalnya mempertimbangkan bahwa komposisi air laut
dikendalikan oleh percampuran dua jenis input terbesar, misalnya Na11CO 3.SO4 dari
sungai dan Ca-Cl dari keluaran hydrothermal pegunungan bawah laut. Karena itu
konsentrasi dari spesies ionik ini di laut dapat bervariasi dengan waktu sebagai fungsi
intensitas keluaran hydrothermal dari gunung ditengah lautan dan perubahan klimatik.
Penulis ini beralasan bahwa perkembangan kecil pada gunung bawah laut akan berakibat
kurangnya flux Ca dan Cl serta solubilitas tinggi dari Na +, Mg2+, SO2-4 dan HCO-3 dari
masukan sungai dan sebaliknya dalam kasus gunung api bawah laut yang lebih besar. Ini
juga akan berpengaruh terhadap komposisi evaporit lautan, dimana aragonit, bukannya
calcite dan garam yang kaya akan Mg, yang mendominasi gunung api bawah laut yang
kecil, sementara kalsit dan garam yang kaya akan garam Kalium akan mendominasi
dalam kasus lain.

1.2.3. Air dalam Zona Subduction

Telah diperhitungkan bahwa seluruh massa crustal lautan akan mengalami subduction
selama kira-kira 1000 juta tahun, yang menyiratkan akan terjadi aliran kembali yang kuat
(Fyfe 1978). Proses endogenik bertanggung jawab terhadap aliran balik yang terus-
menerus, yang memiliki implikasi sangat penting karena kegiatan hydrothermal terjadi
dalam daerah dimana aliran balik ini sangat efisien Pelepasan cairan dalam skala besar
(02, H2O, CO2, S) terjadi selama subduction sebagai volatile dan material mengandung air
yang tertarik ke dalam mantel. Pada kedalaman sepanjang slab subducting mineral yang
mengalami hydrasi seperti amphibole dan mika kehilangan kandungan airnya dan,bahan
volatile yang lain. Selama subduction pada lithosfer lautan, pengembalian kearah suhu
dan tekanan tinggi dari facies amphibolite dalam daerah 20x10x1 km melepaskan suatu
massa cairan kira-kira 20 Km3. Suatu proporsi dari`cairan ini bergerak keatas melalui
hydrofracturing, atau melalui thrust planes (Fig. 1.3).Fyfe (1978) menyatakan lebih lanjut
bahwa disamping fase volatile, elemen lain seperti K, Rb, Na, U juga terdaur ke dalam
mantel.Pada kedalaman sepanjang slab sub ducting, mineral terhidrasi seperti amphlibol
dan mika kehilangan kandungan air dan zat mudah berubah (volatile) yang lain. Magma
yang terbentuk dalam lingkungan sub duction ini dapat mengandung sebanyak 0.5% air,
dan volkanisme yang aktif pada perbatasan plat konvergen merupakan kontributor gas-
gas volkanik ke dalam atmosfer, terutama H2O, CO2 dan S. Pada gunung api bawah laut,
naiknya mafik yang meleleh mungkin berakibat pada penambahan gas-gas –termasuk
air—ke lautan, walaupun sejumlah besar air laut terkonsumsi sesama penetrasi air ke
dalam kulit bumi dan reaksi hydrasi. Diperkirakan bahwa penambahan total air yang
dihasilkan dari volkanisme dan mata air panas sekitar 0.8% dari keseluruhan air yang
beredar di hydrosfer dan atmosfer, sisanya sebanyak 99.2% terdaur ulang (Mason 1966)
Fig. 1.3. Skema sirkulasi H2O dan volatil lain
dalam sistem lithosfer – hidrosfer –atmosfer

1.2.4. Air dalam kulit bumi

Air meteorik di permukaan material membentuk air tanah dan infiltrasinya dikendalikan
oleh porositas dan perembesan/permeability. Dibawah tabel air tanah, batuan hampir
seluruhnya dibasahi air, yang semakin dalam semakin panas dan tingkat salinitas tinggi
karena mengandung lebih banyak benda padat. Nampaknya air berpenetrasi sampai
kedalaman setidaknya 15 km , karena data geofisik mendukung adanya lapisan konduktif
pada kedalaman 15-20 km. Lapisan ini ditafsirkan sebagai dampak air yang bebas dalam
lapisan kulit bumi yang hadir sebagai lapisan tipis intergranular atau sebagai air` yang
terkandung dalam kulit bumi. Cukup berlimpahnya air di kedalaman kulit bumi ini
dikonfirmasi oleh program pemboran Rusia di wilayah shield. Di semenanjung Kola,
misalnya, zona hydraulic fracturing dan cairan mineral telah diobservasi pada kedalaman
9 km. Dalam ketiadaan kegiatan magma, asal-usul air ini diperkirakan adalah dehydrasi
pada suhu tinggi lingkungan amphibol terhadap metamorfosa facies granulite di kulit
bumi. Di daerah laut mungkin air memasuki kulit bumi sampai kedalaman kira-kira 8 km.

1.3. Pelarutan

Cairan pembentuk ore mungkin terjadi sebagai pelarutan molekuler atau pelarutan
koloidal. Cairan hydrothermal biasanya diasumsikan sebagai pelarutan cairan dimana air
adalah pelarutnya. Benar bahwa pelarutan molekuler didefinisikan sebagai system
homogen yang mengandung bahan yang larut didistribusikan secara seragam ke dalam
suatu substansi pelarut. Pelarutan dapat terjadi dalam tiga keadaan: gas, padat atau
cair.Semua campuran gas adalah larutan (udara, misalnya) dimana larutan benda padat
ditandai oleh substitusi atau interpose dari atom asing atau ion dalam situs lattice, atau
diantara lattice elemen pembentuk mineral. Benda padat atau gas akan larut dalam cairan.
Jika kedua komponen adalah cairan, biasanya akan ada lebih banyak komponen pelarut
yang diperlukan.. Larutan disebut jenuh bila ada keseimbangan dengan yang tak larut.
Karena itu, larutan yang tidak jenuh ditandai dengan konsentrasi yang lebih rendah bahan
terlarut dibandingkan dengan larutan jenuh; larutan super jenuh, di lain pihak,
mengandung lebih banyak dari pada keseimbangan konsentrasi yang terlarut.Yang
belakangan ini biasanya tidak stabil.Ada dua jenis larutan dalam air : non elektrolit dan
elektrolit. Pada larutan air non elektrolit, zat yang terlarut sebagai molekul dan
karenanya tidak menjadi konduktor arus listrik.Contoh dari larutan non elektrolit adalah
methyl alkohol, atau gula dalam air. Sedangkan larutan elektrolit merupakan konduktor
arus listrik, dan hadir sebagai ion-ion yang terisi listrik. Na Cl merupakan contoh dari hal
ini, bila dilarutkan dalam air akan mengalami dissosiasi kedalam ion-ion:

NaCl=Na+ (aq)+ Cl- (aq)


Contoh lain adalah:
Na2SO4(s)=2Na+(aq) + SO42-(aq);
HCl(aq)=H+(aq)+Cl-(aq)

Konsentrasi solute dalam larutan air diekspresikan sebagai mole per liter larutan,
didefinisi sebagai molaritas atau konsentrasi molar, dan diindikasikan sebagai ‘M’. Mole
merupakan jumlah molekul elemen atau atom yang terkandung dalam unit molekuler
atau massa atom. Sebagai contoh, satu mole O2 mengandung 6.022 x 1023 molekul O2
(Avogadro) dalam sebanyak 32 g (massa atom 16 x 2), dan satu mole H 2O mengandung
6.022 x 1023 molekul H2O dalam 18.02 g H2O (2.016+ 16.00 massa atom H 2 dan O secara
berurutan) Satu larutan mole (1M) mengandung satu mole (1 mol ) larutan per liter
larutan.

Larutan koloidal terdiri dari fase dispersi, padat atau gas dan terlarutkan dalam suatu
medium yang bisa padat, cair atau gas. Suatu peninjauan terhadap kandungan umum dari
system koloidal dapat ditemui pada Krauskopf (1979. hal 120-139) dimana hal-hal
berikut ini diringkaskan. Dalam pembentukan ore sistem koloidal, fase padat dilarutkan
kedalam medium cairan (sol) atau gas.Ukuran partikel berkisar antara 10-3 sampai 10-6
mm (1000 sampai 1 μm) Partikel koloid memiliki daerah permukaan yang sangat tinggi
terhadap perbandingan volume dan berperilaku sebagai partikel beraliran listrik. Muatan
listrik ini terjadi karena penyerapan ion-ion, membuat partikel koloid saling tolak-
menolak, sehingga sulit menetap, atau bahkan tidak mungkin. Penambahan elektrolit
kedalam system akan menetralisir partikel koloid untuk memungkinkan flokulasi
(presipitasi). Ketika suatu koloid yang mengandung ion tertentu dalam partikelnya
ditambahkan kedalam larutan elektrolit yang terdiri dari ion-ion yang berlainan,
beberapa dari ion elektrolit ini akan terserap, menggantikan ion-ion aslinya dan
kemudian diteruskan ke dalam larutan. Fenomena ini disebut pertukaran ion dan
merupakan mekanisme yang penting dalam menerangkan distribusi kation-kation di
antara larutan dan wall rock. Konsentrasi tinggi logam dalam bijih ore dapat dipercaya
sebagai penyerapan kation terhadap manganese dioksida. Ion-ion yang biasanya juga
terserap adalah H+ dan OH-.Pada umumnya sulfida, silika mangan dioksid bermuatan
listrik negatif, sedangkan oksida dan hydroksida sol bermuatan positif.
Temperatur merupakan parameter penting dalam pelarutan koloid hydrotermal. Suhu
yang tinggi mempermudah flokulasi karena peningkatan gerakan kinetik dan
memungkinkan partikel-partikel untuk bersentuhan/kontak satu-sama lain, dan partikel
yang lebih besar akan mengalami flokulasi (walaupun ini tidak selalu , karena sols emas
stabil dalam suhu sampai 150o C) Pada skala waktu geologis koloid tidak stabil dan
cenderung mengkristal, sehingga material yang diperiksa oleh geologist mungkin
memperlihatkan status koloid aslinya. Substansi amorfous atau, cryptocrystalin dengan
sabuk warna mungkin berasal dari koloid. Tekstur tertentu dari ore logam dalam vein
hydrotermal dan beberapa jenis ore kristal dalam lubang terbuka juga diperkirakan
terbentuk dari larutan koloid. Silika dalam mata air panas mungkin juga berasal dari
koloid. Di Sleeper Bonanza , endapan emas di Nevada bukti dari larutan koloid
bertanggung jawab bagi transportasi Au dan silika, terlihat dari perubahan sabuk kwarsa
colloform dan opallin quartz yang mengalami mineralisasi (Saunders 1990).

1.4. Solubilitas dan Pendidihan

Pendidihan dan solubilitas merupakan instrumen dalam pemisahan komponen dari


larutan, karena itu penting sekali untuk pengendapan ore dari cairan hydrotermal.
Solubilitas substansi ion adalah hasil dari interaksi antara molekul H 20 dan ion-ion yang
terlarutkan. Solubilitas tergantung pada : 1) daya tarik – menarik antara molekul H 2O
dan ion-ion benda padat` yang cenderung membawa benda padat ke dalam pelarut; dan 2)
daya tarik-menarik antara ion-ion yang bermuatan berlawanan, yang cenderung
mencegah benda padat tertarik kepada pelarutan. Aturan solubilitas secara umum sebagai
berikut (Masterton dkk. 1981):

NO3- Semua jenis nitrat bisa terlarutkan


Cl- Semua jenis chloride terlarutkan, kecuali AgCl, Hg2Cl2-
SO2- Semua jenis sulfat terlarutkan kecuali CaSO4 SrSO4, BaSO4, PbSO4, Ag2SO4
CO2- Semua karbonat tidak terlarutkan kecuali kelompok (1I, Na, Ka, dsb)
OH Semua hydrokside tidak terlarutkan kecuali Kelompok I, Sr(OH)2, Ba(OH)2
S2- Semua sulfida tidak terlarutkan, kecuali Kelompok I dan II

Aturan solubilitas diatas melukiskan bahwa substansi tertentu tidak terlarutkan, terutama
logam dasar sulfida. Ini dinyatakan oleh Krauskopf (1979) , dimana ia menyebut
‘dilemma’ pelarutan hydrothermal. Ia menulis bahwa ‘kebanyakan bijih logam- timbal,
seng, tembaga, perak, molybdenum, dan air raksa- terjadi secara langsung sebagai sulfida
atau sebagai mineral kompleks mengandung arsenik atau antimon disamping sulfur.
Kejadian geologis menunjukkan bahwa senyawa ini diendapkan dari larutan-larutan
dalam air pada suhu yang moderat, namun demikian senyawa yang sama di laboratorium
adalah diantara yang tidak terlarutkan dengan mana ahli kimia harus menanganinya. Jenis
pelarut manakah yang dapat dibayangkan mengangkut senyawa yang paling tak
terlarutkan di dalam alam? (Krauskopf 1979. hal. 393). Pertanyaan ini dipertimbangkan
kemudian ketika kita memikirkan tentang pengangkutan logam dan dampak ligands pada
Bab 2.
Baik suhu maupun tekanan mempunyai dampak yang besar dalam pelarutan. Biasanya
disolusi suatu benda padat merupakan proses endotermik, yang disebabkan oleh
penyerapan panas untuk menguraikan kristal lattice. Kemudian suatu peningkatan suhu
(ΔH>0) meningkatkan solubilitas dan reaksi dibawah digerakkan ke kanan:

padat + pelarut = larutan :ΔH>0

Melarutkan gas kedalam suatu cairan membuat panas berevolusi (exothermic)


(ΔH<0),sehingga:

gas+ cairan = larutan : ΔH<0

Ini berarti bahwa gas menjadi kurang soluble dengan meningkatnya suhu. Tekanan dapat
juga mempunyai pengaruh yang besar terhadap sistem gas-cairan. Untuk suhu tertentu
suatu kenaikan dalam tekanan meningkatkan solubilitas gas. Suatu tekanan meningkatkan
konsentrasi molekul pada fase gas, dimana pada gilirannya akan bersifat kounter-aksi
oleh lebih banyak molekul yang memasuki larutan. Keseimbangan dari persamaan kedua
diatas juga menggerakkan kearah kanan. Sebaliknya suatu penurunan tekanan akan
mengakibatkan gas untuk lepas dari larutan. Pendidihan/titik didih suatu cairan terjadi
pada suatu suhu dimana tekanan uap setara dengan tekanan diatasnya. Titik didih suatu
larutan hydrotermal terjadi dengan alasan sama, yang akibat langsungnya melarutkan gas
dan jenis senyawa volatil yang lain seperti CO 2 dan H2S, lepas dari larutan. Proses
pendidihan larutan hidrotermal ini penting karena berakibat pada presipitasi elemen ore
(mis. Au, As, Sb, Ag dsb).

1.5. Penamaan berdasarkan Asam

Suatu substansi disebut Asam jika menghasilkan ion hydrogen (H+) dalam larutan air,
dan basa bila menghasilkan ion hydroksida (OH-). Terminologi ini tidak untuk
dikaburkan dengan penggunaan asam, basa dan alkalin dalam bidang geologi. Silika,
yang merupakan bahan oksida utama dari semua system batuan, merupakan dasar untuk
menentukan tingkat keasaman batuan. Dengan tingginya konsentrasi SiO 2 (> 66 wt.%),
dinyatakan sebagai batuan asam. Batuan intermediate mengandung antara 52 dan 66.wt.
% SiO2, sedangkan nilai kurang dari 52 wt.% dinyatakan sebagai batuan basa. Basisitas
suatu batuan juga dapat ditentukan dengan berlimpahnya oksida logam, seperti MgO dan
FeO; dsb. sebagai oksida basa. Istilah ini terpateri dengan baik dalam bahasa geologi
sekarang dan dinyatakan sangat berguna bagi tujuan-tujuan praktis.

Air, apakah dalam keadaan murni ataupun larutan, mengalami dissosiasi kedalam kation
hydrogen (H+) dan anion hydroxyl (OH-). Dissosiasi konstan air (Kw) pada 25 oC
dinyatakan sebagai:

Kw = (H+) x (OH -) = 1.0 x 10-14

Produk (H+) x (OH-) konstan untuk semua larutan air, dimana 25oC adalah selalu 1.0 x 10-
14
; dengan demikian konsentrasi H+ atau OH- dapat dikalulasi dan keasaman atau
alkalinitas suatu larutan adalah spesifik (Krauskopf). Suatu larutan netral memiliki
konsentrasi setara H+ dan OH-, yang mana 10-7 MH+.Suatu asam yang kuat memiliki 1
MH4, dan suatu basa kuat 10-14 MH+ .Akan lebih menyenangkan untuk mengungkapkan
tingkat keasaman dalam pH dari pada H+, dan ini dihitung mempergunakan eksponen
logaritma negatif dari konsentrasi hydrogen menurut formula :

pH = - log10 (H+) = log 10 1/(H+)

Dengan demikian, suatu asam yang kuat memiliki pH 0, suatu larutan netral 7, dan basa
kuat pH dari 14.

1.6. Struktur Air-Hydrolisis dan Hydrasi

Struktur molekul air amat penting untuk perilaku kimiawinya, sebagaimana dibicarakan
oleh Franks (1982). Neilson dan Enderby (1985) serta Brimhall dan Crerar (1987).Telah
ditentukan bahwa struktur es air adalah analog dengan tridymit, dan bahwa oksigen
dalam es terkoordinasi secara tetrahedral (tetrahedron adalah blok bangunan dari semua
silikat mineral dalam kulit bumi). Karena itu air nampak sebagai pseudo-kristallin sama
dengan struktur quartz, yang mungkin berguna untuk menerangkan kepadatan lebih
tinggi relatif dengan es (Paton 1978). Ion oksigen dalam molekul air adalah lebih besar
dari ion hydrogen, yang berakibat bahwa molekul dapat dideskripsikan sebagai suatu
ruangan, yang –melalui netral—memiliki muatan listrik positif pada sisi dua hydrogen
dan muatan negatif pada sisi oksigen. Dengan demikian, molekul yang terisolasi
memiliki suatu karakter kutub dan berperilaku dalam larutan seperti suatu magnet kecil.
Karakter kutub ini merupakan kunci kearah hydrasi dan hydrolisa dari mineral silikat,
dan karena itu penting dalam pelapukan dan proses alterasi hydrotermal .

Dalam proses hydrasi molekul air tertarik kepada dan oleh sifat muatan listrik kutub-
menjadi terorientasi disekitar ion yang menarik lainnya, membentuk selongsong hydrasi
(Brimhall dan Crerar 1987). Dissolusi terjadi ketika lapisan molekul air melingkupi
ion.Molekul air kutub dapat memasuki rangka kristal dan mengorientasikan diri terhadap
permukaan mineral bermuatan listrik. Dimana molekul ini datang ke dalam kontak, suatu
permukaan yang terlumasi akan dihasilkan, sebagai contoh adalah lempung yang menjadi
licin ketika basah.Air dari kristalisasi merupakan bagian dari selongsong mineral,
sebagaimana pada gypsum (CaSO4.2H2O)., atau mineral zeolit. Pada pemanasan air ini
keluar tanpa memecahkan kerangka, dan tersimpan untuk membentuk mineral.

Hydrolisis merupakan dampak dissosiasi molekul air ke dalam ion H+ dan OH. Proses
hydrolisis bertanggung jawab bagi pemecahan mineral silikat dan melibatkan
penambahan H+ dan OH untuk perekatan situs pada kerangka mineral. Hydrolisis
didefinisikan sebagai reaksi antara air dan ion asam yang lemah atau basa yang lemah
(Kraupkopf 1979 hal. 37). Suatu contoh dari hydrolisis adalah reaksi fayalite dengan air
pada pH netral :

2FeSiO4 + 4H2O = 2Fe2 + 4OH + 2H2SiO4.


Reaksi hydrolisis cenderung terakselerasi dibawah kondisi pH rendah, sebagai contoh
adalah dalam lingkungan oksidasi sulfida ore body. Adanya ion H’ dalam air asam
memungkinkan serangan mineral silikat yang berakibat dalam liberasi kation. Kation-
kation ini bisa tetap dalam lingkungan dan menjadi tetap sebagai suatu kumpulan mineral
sekunder sementara lainnya ikut melarut dan ditransportasikan ke lain tempat. Mobilitas
dari kation-kation ini berada dibawah kondisi fisio-kimia yang memiliki implikasi
penting bagi eksplorasi geokimia dan bagi evaluasi gossan (Reynolds 1982).

Dengan demikian hydrolisis tergantung kepada konsentrasi ion-ion H+ dan adanya proses
yang mempengaruhi konsentrasinya juga akan berpengaruh terhadap kecepatan dan
intensitas proses hydrolisis. Pecahnya ikatan molekuler oleh air dalam suatu silikat yang
meleleh, dan menurunnya kekentalan dan konsolidasi suhu merupakan proses yang
serupa. Hydrolisis mineral silikat adalah sangat penting bagi alterasi hydrotermal, karena
ion hydrogen mempenetrasi silikat dimana lalu terjadi kesatuan dengan kation-kation (K,
Ca, Na dsb) untuk memisahkan diri menjadi ion oksigen. Semakin besar konsentrasi
muatan listrik dalam ion hydrogen mendominasi, berakibat pada penggantian kation yang
ditransfer dari silikat ke dalam larutan, sementara H+ memasuki struktur silikat ,
menghasilkan muatan listrik yang berubah menjadi mineral baru, seperti misalnya serisit
atau illite.Dalam silikat mineral adanya berbagai ion cenderung untuk mengkonsumsi
hydrogen lebih banyak dari pada ion hydrogen , sehingga jika reaksi adalah untuk
menghasilkan lebih banyak ion H+ yang harus dipasok. Gas-gas volkanik (HCl, H 2S)
dapat menyediakan ion H+ dan merupakan agen pengasaman terutama selama proses
alterasi hydrotermal.

1.7. Redox Potential (Eh)

Suatu reaksi oksidasi-reduksi adalah reaksi dimana transfer elektron terjadi dari satu
elemen terhadap yang lain. Proses dimana elemen tertentu kehilangan elektron sementara
yang lain justru sebaliknya, ini dapat diukur secara kwantitatif. Ini dapat dilakukan
dengan mempergunakan perbedaan potensial terhadap reaksi setengah , memilih sebagai
standar setengah reaksi dari pasangan hydrogen:

H2=2H+ + 2e-
Terhadap potensial setengah reaksi ini ditetapkan nilai sepihak (0=0.00) Jika tandanya
positif, reaksi setengah memiliki kecenderungan lebih besar untuk melepaskan elektron
dari pada reaksi diatas, dan sebaliknya jika tandanya negatif. Jadi, Cu dengan potensi
oksidasi +0.16 menggantikan Ag dengan suatu potensial +0.22, sedangkan Zn (-0.76)
akan menggusur Cu (+0.16).Ini berarti bahwa Zn akan melepaskan elektron –elektron ke
Cu maupun Ag, tapi Cu hanya ke Ag. Tabel potensi standard oksidasi dapat ditemui pada
kebanyakan textbook kimia.

Istilah redox potensial dipergunakan sebagai sinonim bagi potensial oksidasi dan diberi
simbol Eh. Redox potensial adalah suatu parameter penting bagi karakteristik pelarutan
air dan oksidasi serta penurunan kondisi lingkungan geologis. Secara konvensional
diasumsikan bahwa suatu Eh yang tinggi menunjukkan suatu sistem oksidasi, sedangkan
suatu Eh rendah mengindikasikan suatu sistem reduksi`Oksidasi melibatkan hilangnya
elektron, dan menurunnya perolehan elektron. Jika suatu kawat tembaga dicelupkan ke
dalam larutan perak nitrat (AgNO3), maka tembaga itu akan larut dan perak metal akan
terpresipitat.Tembaga akan melepaskan elektron (e-) yang mengkombinasi, C18 dengan
kation perak dalam larutan untuk membuat perak metalik menjadi presipitat. Reaksi ini
melibatkan oksidasi- reduksi dan diperlihatkan sebagai:

Cu(s) = Cu+2 +2e-; 2Ag+ (aq)+2e- = 2Ag(s)

Fig. 1.4.A,B. Contoh diagram Eh-pH. Solubilitas Cu sebagai fungsi nilai Eh(Setelah Rose dkk. 1979)
Eh B dan batas pH dari beberapa lingkungan alami(Setelah Krauskopf 1979; Rose dkk. 1979)

Reaksi net adalah sbb:

Cu(s) + 2Ag1 (aq) = Cu+2 (aq) +2Ag(s)

Persamaan pertama diatas adala reaksi setengah dimana elektron hilang dan karena itu
terjadi oksidasi . Hasilnya diungkapkan pada persamaan ketiga dan terakhir – reaksi
oksidasi reduksi dimana Cu merupakan agen reduksi dan mengalami oksidasi sedangkan
Ag adalah agen oksidasi yang mengalami reduksi. Hal yang sama dapat dikatakan bagi
nomor oksidasi, dimana suatu muatan listrik fiktif diberikan kepada suatu ion. Dengan
demikian untuk reduksi +2 – dilain pihak – merupakan hasil dari penurunan
angka/jumlah oksidasi dan Ag direduksi dengan penurunan pada angka oksidasinya dari
+2 ke 0.
Eh dan pH adalah dua variabel penting yang mengendalikan mobilitas elemen dalam
suatu sistem geologis, dan karena itu diagram Eh-pH berguna untuk memperlihatkan
kondisi dibawah mana proses oksidasi dan reduksi dapat terjadi di alam. Contoh diagram
Eh-pH diberikan pada Fig.1.4
1.8. Potensi Kimiawi, Aktivitas Kimiawi dan Fugacity

Istilah potensi Kimia, aktivitas kimia dan fugacity seringkali dipergunakan dalam diskusi
alterasi hydrotermal yang melibatkan aspek-aspek kimia fisika, keseimbangan kimiawi
dan thermodynamika.

Potensi kimia mengindikasikan kapasitas satu senyawa untuk bereaksi dengan lainnya,
dan mewakili tingkat energi tertentu untuk komponen tertentu dalam satu fase. Potensi
kimia mirip dengan energi potensi gravitasi , dimana keadaan stabil pada potensial
terendah. Potensi kimiawi dapat dinyatakan dengan formula :

μ2 = (dG/dX2)P.T.Xb.Xc3, dst.

Jika persamaan di atas potensi kimiawi µ dari suatu substansi setara dengan perubahan
fungsi ekstensif G (energi internal, volume, massa) yang diakibatkan oleh penambahan
sejumlah kecil a, sedangkan P.T dan semua substansi yang lain b, c dst. tetap konstan
(Best 1982). Dalam suatu silikat hydrous yang meleleh pada keseimbangan kimiawi
potensial μ dari air setara dengan potensial uap air, yang pada gilirannya setara dengan
potensial air dalam mineral hidrat (Best 1982).

Kegiatan spesies kimiawi dinyatakan dengan ‘a’ dan kira-kira proporsional dengan
konsentrasi dan dinyatakan sebagai mole per liter. Dalam pelarutan benda padat, atau
campuran benda cair, kegiatan kimiawi berkaitan dengan fraksi mole dari konstituen.
Pada gas, kegiatan kimia dapat diperkirakan dengan tekanan partial (Rose dkk. 1979).
dan dinyatakan dengan :

a = m,

dimana m adalah konsentrasi dan a adalah koefisien kegiatan (Hemicy dan Jones 1964).

Fugacity adalah ukuran kecenderungan melepaskan diri dari uap atau gas dan
keberangkatannya dari perilaku ideal. Sebagai contoh, kecenderungan air untuk menguap
dan lepas sebagai uap. Dalam campuran gas, fugacity dari gas proporsional dengan fraksi
mole X, atau konsentrasi dalam campuran, dan untuk tekanan keseluruhan, menurut
kaitan:

f = XPT
Fugacity tidak terbatas pada jenis gas, tapi juga merupakan ukuran yang diterima untuk
aliran material dari tinggi ke rendah bagi benda padat dan cairan. Untuk mendapatkan
gambaran yang lebih rinci dan perlakuan yang komprehensif tentang topik ini pembaca
dianjurkan membaca Carmichael dkk (1974, hal. 292).
BAB II
LARUTAN HYDROTHERMAL

2.1 Kata Pengantar

Cairan hydrothermal didefinisikan sebagai suatu larutan air yang panas (ca, 50->500 oC)
(hydro = air, thermal = panas), mengandung Na, K, Ca, Cl sebagai komponen terbesar,
juga elemen lain (mis. Mg, B, S, Sr.CO2, H2S, NH4, Cu, Pb, Zn, Sn, Mn, Ag, Au,dsb)
sebagai konstituen kecil (Skinner 1979) Istilah cairan dan larutan. dipergunakan
bergantian, walaupun cairan dalam arti yang tegas dimaksudkan suatu fase pada suhu
super kritis dimana cairan tidak lagi ada. Tekanan yang diperlukan untuk menyebabkan
kondensasi pada suhu kritis tertentu disebut tekanan kritis. Ada kondisi tertentu di dalam
alam dimana suatu pelarut hydrotermal adalah cairan.

Kita mulai bab ini dengan melihat pada jenis air yang mungkin membentuk suatu larutan
hydrotermal. Suatu pengenalan singkat diberikan tentang sistematik oksigen dan
hydrogen isotop dan peran mereka dalam memahami alam dan interaksi cairan
hydrotermal dan wall rock. Karena satu-satunya observasi langsung dan material sampel
dari larutan hydrotermal datang dari pengambilan cairan dan mata air panas, suatu garis
besar tentang sifat-sifat dan metodologi yang terlibat dalam penelitian pengambilan
cairan juga diberikan. Ditekankan bahwa pengambilan cairan menyediakan pemahaman
yang penting terhadap lingkungan fisik dan kimia pengendapan ore. Ini membawa kita
kearah diskusi tentang bahan yang terlarutkan, dimana serangkaian tabel menyediakan
pengertian tentang komposisi dari pelarutan alami. Transportasi dari logam tak
terlarutkan telah lama membingungkan para ahli kimia sampai peran ligand dalam larutan
dan transport elemen ore – dan juga pentingnya studi deposit mineral hydrotermal –
ditemukan.Berbagai mekanisme pengendapan logam dari larutan disimpulkan pada bab
ini.

2.2. Air dan Larutan Hydrothermal

Air pelarutan hydrothermal dapat berasal dari sumber-sumber berikut: meteorik, air laut,
connate, metamorphic, juvenile atau magmatik. Kebanyakan larutan hydrothermal
merupakan campuran dimana satu atau lebih dari sumber-sumber diatas.

Air meteorik termasuk air hujan, danau atau air sungai dan air tanah. Air jenis ini
meresap dalam ke kulit bumi dan kemudian dipanaskan dan mengalami mineralisasi,
disini memerlukan kekayaan/kandungan larutan hydrotermal. Sistematika isotop yang
stabil mengindikasikan bahwa dalam daerah volkanik air dari mata dan kolam air panas
terutama berasal dari air meteorik.

Kulit bumi yang berada dibawah lautan, sekitar pegunungan bawah laut, memungkinkan
penetrasi air laut sampai beberapa kilometer dibawah dasar laut. Akibatnya air laut
mengalami pemanasan, mengalami tranformasi kedalam cairan yang mengalami
pengayaan oleh logam dan digerakkan oleh pergerakan gas atau cairan dan dikeluarkan
di dasar laut sebagai sumber air panas deposit mineral bawah laut. (Bonatti, 1975).

Air yang terperangkap selama pengendapan sedimen dan dihasilkan selama reaksi
diagenetik dikenal sebagai air connate, atau air formasi. Dikalkulasikan bahwa kira-kira
20% dari volume sedimen yang tidak mengalami metamorfosa dalam kulit bumi terdiri
dari air murni (Hanor 1979). Juga dikenal secara meluas bahwa cairan hydrotermal dapat
berkembang selama diagenesis dan mencapai salinitas dan temperatur tinggi. Air ini
secara essensial merupakan air yang tidak terikat yakni tidak terikat dalam mineral
lattice pembentuk batuan.Penghapusan lapisan air dari lempung, gypsum dan material
organik merupakan aspek penting dari proses diagenetik. Pengeluaran cairan dalam
proses diagenesis terjadi sebagai akibat dari reduksi porositas, dan volume air yang
dilepaskan bisa cukup banyak. Suatu batuan shale dapat menghasilkan 3.5 x 10 3 liter air
untuk setiap 1m3 material padat yang diendapkan. Temperatur selama diagenesis bisa
berkisar dari beberapa derajat dibawah 0oC sampai 250-300oC, tapi pengeluaran air
selama perubahan diagenesis terjadi pada suhu 90 dan 120 oC. (Hanor 1979) Selama
evolusi dari cekungan sedimenter , pengeluaran cairan terjadi dan cairan mengalami
migrasi keatas dan kearah celah cekungan, dan dimana sulfur ditambahkan dari suatu
sumber, presipitasi sulfida mungkin terjadi pada tempat tertentu.

Air metamorfik berasal dari dehidrasi mineral mengandung hydroxil melalui tekanan dan
suhu yang semakin meningkat . Smirnov (1976) menggambarkan kehadiran suatu zona
hydrotermal didepan front metamorfik selama metamorfisme regional . Henley dkk.
(1976) menyatakan bahwa metamorfisme dapat menjadi sumber energi yang mengarah
kepada mineralisasi vein hydrothermal. Kehadiran cairan yang kaya akan volatil yang
terliberasi selama metamorfisme biasanya diterima dan dapat dianggap sebagai pelarut
yang kaya akan garam, mengandung H2O, CO2 dan CH4. Observasi langsung atas air
yang mungkin berasal dari metamorfik datang dari semenanjung Kola, dimana sumur
terdalam didunia dibor sampai kedalaman 12,000 m. Antara 4500 dan 9000 m sumur
tersebut mengalami interseksi dengan suatu zona batuan metamorfik disaggregated ,
dalam mana ditemukan air panas termineralisasi. Pada kedalaman tersebut, air ini
nampaknya berasal dari metamorfik yang dilepaskan dari air yang dikandung dalam
mineral pembentuk batuan. Juga ada dalam sumur tersebut dalam jumlah berlimpah gas-
gas seperti He, H2, N2, CH4, CO2 dan berbagai hidrokarbon yang kebanyakan diyakini
terliberasi oleh proses metamorfik dalam (Koslovsky 1984). Adalah menarik untuk
dicatat bahwa dehydrasi dari batuan pada kedalaman tersebut disertai oleh mikro-
frakturing atau disaggregasi hydraulik. Temperatur sekitar 180 o C terukur pada 10.000 n,
sedangkan penentuan sulfur isotopik mengindikasikan suatu asal-usul sulfur dari mantel.
Suatu temuan yang mengherankan dari hasil-hasil ini adalah bahwa sumur yang
terhubung dengan Conrad Discontinuity (dimana kepadatan dan velositas gelombang
seismik naik dari 2.5 ke 2.75 g/cm3 dan 5 sampai 6 km) yang diambil untuk menandai
transisi dari bagian atas (granitik) ke bagian bawah kulit bumi.Diskontinuitas ini
ditemukan menjadi bagian bawah batas disagregasi dan zona air panas metamorfik ,
dimana batuan kembali ke kepadatan normal untuk kedalaman tersebut dan air tidak lagi
terdapat. Kemudian juga ditemukan bahwa dalam zona disagregasi fragmen-fragmen
batuan tersemen oleh sulfide Cu, Zn, Ni, Fe dan Co. Penemuan ini mengindikasikan
bahwa interaksi antara gas, air dan batuan aktif pada kedalaman yang ekstrim, dan bahwa
kondisi yang ada bagi pembentukan deposit ore hydrothermal seluruhnya digerakkan
oleh metamorfisme (Lih. Bag. 3 dan 15).

Beberapa ahli geo-sains mempertimbangkan air juvenil diperkirakan berasal dari mantel
ini. Air magmatik adalah yang terpisah dari pelumeran pada waktu mendingin,
menimbulkan suatu system magmatik-hydrothermal, yang mungkin merupakan agent
terkuat pengendapan ore. Selain air, konstituen volatil lain yang mungkin ada dalam
magma termasuk H2S, CO2, SO2, HCl, B, F, H2. Kandungan air magma berkisar dari
sekecil 0.2% sampai 6.5% dari beratnya. Kehadiran dan berlimpahnya volatil ini dalam
magma biasanya berhubungan dengan komposisi dan daerah sumber asal-usulnya.
Adalah mungkin sebagai contoh bahwa suatu granit yang kaya akan B mungkin berasal
dari pelumeran yang berinteraksi dengan metasedimen yang kaya akan tourmalin. Lebih
jauh berlimpahnya satu volatil atas yang lain (mis. B/F) mungkin sangat penting dalam
menentukan jenis endapan ore yang mungkin terbentuk karena eksolusi fraksi volatil dari
tingkat konsolidasi akhir. Evolusi fase magmatik aqueus selama proses pemadatan
magma hydrous ini dibicarakan lebih rinci pada Bab.3

2.3. Oksigen dan Systematik Hydrogen Isotop.


dari Cairan Hydrothermal

Analisa dari isotop yang stabil (tidak radiogenik) menyediakan data yang sangat berguna
bagi pemahaman asal-usul dan evolusi cairan-cairan hydrothermal dan interaksinya
dengan batuan dinding. Karena oksigen merupakan elemen yang sangat berlimpah, dan
hydrogen merupakan partnernya dalam molekul air, maka rasio 18O/16O dan D/H dimana
D adalah deuterium (21H), maka isotop berat adalah hydrogen, merupakan indikator kuat
atau pelacak dari sifat dan sumber cairan hydrotermal. Aspek teoritik dan eksperimental
serta tinjauan studi tentang sistematika isotop stabil dapat ditemukan dalam sejumlah
publikasi yang sangat bagus. Para pembaca yang tertarik disarankan untuk membaca
Valley dkk (1986), Faure (1986) dan Bowen (1988). Nilai isotop dilaporkan mengalami
deviasi dari standar, yang dalam kasus hydrogen dan oksigen yang dimaksud adalah air
laut (SMOW, standard mean ocean water), dengan δ18O=0 dan δD=0 Deviasi ini
diindikasikan oleh δ diberikan oleh formula :

δ= (R sample/R 1) x 1000
standard -

dimana R adalah ratio dari isotop (mis. D/H dan 180/160 ) Dengan demikian, nilai positif
atau negatif mewaliki pengayaan atau pemiskinan sehubungan dengan standard..
Fig. 2.1 Medan komposisi isotopik air alami ( air magmatik primer, metarmofik,
lautan.

Air laut, air meteorik dan air juvenil dianggap sebagai air referensi, karena memiliki
sifat-sifat isotopik dalam sumbernya.Karenanya, air geotermal, connate, air metarmofik
dan air magma di daur ulang dari satu atau lebih air jenis-jenis tersebut. (Ohmoto 1986).
Dalam penelitian sistematika isotop hydrogen dan oksigen, adalah penting untuk
memperhitungkan ‘garis air meteorik’(MWL) . Variasi isotop dari air meteorik
tergantung pada jarak dari garis equator dan ketinggian, dengan δD = 8 813O + 10

Penelitian tentang karakteristik isotop air alam oleh Taylor (1979) dan Shephard (1986)
Fig.1.2) mengungkapkan bahwa air laut dewasa ini relatif seragam dengan δ D dari +5
sampai -7 per mill dan δ18 O dari + 0.5 sampai 1.0 per mill dan dengan nilai mean dekat
kepada 0 per mill untuk D dan 18O (standard SMOW). Nilai-nilai isotop dari air laut
purba sebagaimana ditentukan melalui analisis mineral yang dibandingkan dengan
system hydrothermal fosil air laut memperlihatkan suatu peningkatan progresif dari δ 180
air laut sejak masa Archean (-8 sampai – 12 per mill). Dari 2.5 Ga yang lalu
dikalkulasikan bahwa δ180 nilai adalah antara 0 dan -3 per mill, dan δD dari 0 sampai -25
per mill. Walaupun tidak bisa langsung dinyatakan bahwa air juvenil (atau mengenai air
magmatik) pernah diidentifikasi, nilai terdekat D dan 180 diperoleh dari igneous yang
tidak mengalami alterasi dan batuan mineral dan mantel , mempergunakan faktor
fractionation air isotopik pada suhu (>700oC). Ini memberi nilai δD kira-kira -50 sampai -
90 per mill dan δ18 0 dari +5.5 sampai +10 per mill (Sheppard 1986) Komposisi isotopik
dari air geothermal mengindikasikan dalam semua kasus komponen meteorik kuat.Nilai
δD dari air geothermal lebih atau sama dengan air meteorik lokal. Air geothermal modern
menunjukkan pengayaan dalam δ180 (180 shift) karena perubahan isotopik dengan wall
rock. Jumlah δ180 meningkat dengan temperatur dan salinitas cairan, dan ini mungkin
berarti bahwa cairan memerlukan panas, dan melarutkan benda padat dalam interaksi
dengan benda-benda yang terkubur jauh didalam dan batuan panas (Ohmoto 1986).
Pengayaan δ180 disertai dengan penurunan 180 dari wall rock. Kita kembali kepada aspek
systematik isotop yang penting ini pada Bab 4 dengan diskusi tentang efek isotopik
selama prose alterasi hidrothermal. Air connate dan air formasi menunjukkan kisaran luas
δ18O dan δD. Nilai air connate memperlihatkan penurunan dengan latitude, demikian pula
air meteorik.Variasi dalam δD dan δ18O dari cairan pori dan air connate sangat
tergantung pada apakah cairan itu air laut ataukah air meteorik. Biasanya pada cairan pori
dari batuan lautan ada nampak penurunan δ18O dengan peningkatan kedalaman dan
salinitas. Pengukuran yang dilakukan dari sampel dasar laut mengindikasikan bahwa
alterasi basalt dengan air laut bertanggung jawab bagi karakterisasi isotopik dari cairan
pori (Ohmoto 1986).Nilai δD dan δ18O yang diperoleh dari cairan cekungan sedimenter
memperlihatkan kisaran luas dari nilai (δD = + 20 sampai -150 per mill; δ 18O = +10
sampai -20 per mill). Juga pada air asin dari cekungan nampaknya ada peningkatan nilai
isotopik dengan salinitas dan suhu, sehingga air asin dengan suhu terendah mendekati
komposisi isotopik air meteorik lokal dewasa ini.

Air metamorfik, seperti halnya air juvenile, masih secara isotopik tidak dipaksa. Air jenis
ini berasal dari dehidrasi fase mineral selama selama kejadian metamorfik regional ,
sebagaimana didefinisikan pada Bagian 2.2. Namun demikian disini juga komposisi
isotopik jelas tergantug kepada jenis batuan asli dan sejarah interaksinya dengan cairan.
Ohmoto (1986) menyatakan bahwa jika batuan volkanik yang pertama terubah oleh air
laut, pada suhu kurang dari 200o C, dan kemudian mengalami metamorfisme nilai final
δ18

2.4. Fluid Inclusion ( Inklusi Fluida)

Fluid inclusion adalah tetesan cairan yang terjebak dalam kristal pada waktu
pertumbuhannya, atau masuk melalui retakan kecil dan ‘cleavage’ setelah kristalisasi
mineral ‘host’`Ini merupakan contoh cairan hydrotermal dan ukurannya berkisar dari satu
molekul tunggal air sampai beberapa milimeter, dengan rata-data kira-kira 0.01 mm
(Roedder 1979). Jumlah inklusi dalam suatu kristal dapat sangat banyak, dengan
maksimum 109 inklusi dalam 1 cm3 Banyak minat telah ditujukan kepada masalah inklusi
cairan ini selama bertahun-tahun, yang meliputi sejumlah besar publikasi. Diskusi-diskusi
yang ada dewasa ini terutama didasarkan pada pekerjaan Roedder (1979), dari siapa suatu
hasil peninjauan singkat dan lengkap didapatkan, Guilbert dan Park (1985), yang
menghasilkan suatu pengenalan umum, dan text book oleh Shepherd dkk (1985),
Hollister dan Crawford (1981) serta akhirnya Roedder (1984). Mereka ini telah
menyediakan bacaan yang esensial bagi para geologist eksplorasi yang ingin memperoleh
pemahaman yang mendalam mengenai topik tersebut
Fig. 2.2 Type-type inklusi cairan, dan distribusinya dalam kristal quarz. P primer; S sekunder; PS
pseudo sekunder (Setelah Shepherd dkk. 1985)

Inklusi cairan memiliki banyak kegunaan praktis bagi para peneliti endapan ore,
menyediakan informasi tentang mineralisasi, tekanan, kepadatan dan komposisi cairan
yang menjadi asal-usul mineralisasi.Dalam istilah asal-usul, tiga type inklusi cairan
dikenal, yakni primer, sekunder dan pseudo-sekunder (Fig.2.2). Inklusi primer adalah
yang terperangkap selama pertumbuhan mineral host, karena itu berasosiasi dengan fitur
kristalisasi seperti zona pertumbuhan (Fig. 2.2) Inklusi sekunder adalah yang terbentuk
setelah pertumbuhan host mineral selesai. Inklusi tersebut melukai zona pertumbuhan dan
bahkan batas kristal dan mungkin tidak berkaitan dengan pembentukan ore. Inklusi
pseudo-sekunder terbentuk selama dua tahap yang dilukiskan di atas, dan ditandai dengan
bersatunya retakan-retakan mikro yang berakhir pada zona pertumbuhan (Fig. 2.2).
Definisi ini nampak begitu sederhana dan seringkali sulit untuk membedakan antara
inklusi sekunder dan pseudo – sekunder atau inklusi primer dengan pseudo sekunder.
Tabel tentang kriteria empiris untuk identifikasi tipe genetik dari inklusi cairan diberikan
oleh Roedder (1979, 1984). Dalam istilah morfologi dan isinya, beberapa jenis inklusi
cairan telah diuraikan. Klasifikasi skema yang dilaporkan oleh Shepherd dkk (1985)
diringkaskan dibawah, dan secara diagram diperlihatkan pada Fig. 2.3.

1. Inklusi monofase : keseluruhan terisi oleh cairan (L)


2. Inklusi dua fase : terisi oleh fase cairan dan sedikit gelembung uap (L+V)
3. Inklusi dua fase : dimana fase uap dominan dan menempati lebih dari 50% dari
volume (V+L)
4. Inklusi uap monofase (V): keseluruhan terisi oleh fase uap dengan kepadatan
rendah (biasanya campuran H2O, CH4, CO2)
5. Inklusi monofase mengandung fase kristal padat yang dikenal sebagai daughter
mineral. Biasanya adalah halite (NaCl) dan sylvite (KCl), tapi bisa juga mineral
lain termasuk sulfide.
6. Inklusi cairan immiscible:mengandung dua cairan, biasanya kaya akan satu
H2O dan lainnya adalah CO2 (L1+L2 = /-V)
Fig. 2.3. Klasifikasi inklusi cairan diobservasi pada temperatur kamar (Setelah Shepherd dkk. 1985)

Pada umumnya koeksistensi dari type II (L+V) dan III (V+L) mengindikasikan bahwa
cairan mendidih pada waktu terperangkap. Dalam kasus mendidihnya satu sistem
komponen, gelembung gas dalam fase uap dari cairan tuan rumah (host liquid) atau
dalam kasus sistem heterogen, fase gas menguap secara effervescence. Bagaimanapun
juga harus ada kehati-hatian bahwa hadirnya gelembung gas mungkin mengindikasikan
immiscibilitas. Ini adalah kasus dengan CO2 dimana jika ada dalam cairan akan
terpisahkan ketika terjadi pendinginan. (Roedder 1979). Hadirnya mineral daughter dilain
pihak mengindikasikan bahwa benda padat yang berasal dari larutan cairan sangat jenuh.
Ditemukan bahwa dalam cairan sangat mengandung garam Na 1 Cl-, Mg2+ dan Ca 2+
adalah paling banyak melarutkan ion-ion.

Pengukuran pada inklusi cairan juga dilakukan dengan cara memanaskan dan
membekukan dan menggunakan mikroskop yang didisain khusus. Homogenisasi
terhadap fase cairan dan gas akan dilihat terjadi pada suhu tertentu pada pemanasan
terhadap inklusi, ketika diobservasi dibawah mikroskop. Temperatur ini merupakan batas
paling rendah yang diperoleh pada tekanan atmosfer, karena itu koreksi tekanan untuk
kedalaman original dimana cairan keluar adalah penting. Salinitas inklusi ditentukan oleh
mula-mula membekukan inklusi dan kemudian meningkatkan suhu tahap itu dan
mengamati suhu melumer pertama dan terakhir. Suhu pada pelumeran pertama
mengindikasikan bahwa jenis garam (NaCl atau MgCl, mis) sementara suhu pada
pelumeran terakhir menunjukkan kadar salinitas, biasanya terukur equivalen dengan
NaCl.

Cairan inklusi biasanya suatu larutan air (aquaeus) dengan ion-ion terlarut Na 1, C l, Ca21,
Mg21, SO42, HCO32, CO32. Konsentrasi garam dalam larutan berkisar dari lebih kecil dari
1wt.% sampai lebih besar 50% wt.%. Diagram Fig. 2.4 merefleksikan kisaran salinitas
(wt.% equiv) dan homogenisasi temperatur dari kisaran mineral deposit hydrotermal
(Large dkk. l988).

Fig. 2.4A,B Medan temperatur-salinitas dan mean gradien kurva untuk kisaran endapan mineral
hidrotermal

2.5. Dissolved Consituents (Konstituen terlarutkan )dan


Metals Partitioning dalam Cairan Hydrothermal

Dari studi tentang inklusi cairan, mata air panas dan cairan yang ditemukan selama
operasi pemboran di ladang geotermal dan minyak, jelas bahwa jumlah benda padat
terlarutkan dalam larutan hydrotermal bervariasi dari kira-kira < 1% sampai >50% dalam
bobot.

Beberapa komposisi typikal diberikan pada Tabel 2.1 sampai 2.3 Dari nilai-nilai dalam
tabel-tabel tersebut observasi berikut dilakukan. : (1) Na, K, Cl dan Ca ada hampir dalam
semua kasus komponen utama dari larutan; sedangkan komponen kecil (minor) adalah Sr,
Fe, Zn, Mg, Fe, Mn, CO2, SO2, H, S dan NH3; (2) dengan beberapa pengecualian hal
yang paling mengejutkan adalah bahwa konsentrasi aktual dari logam-logam pembentuk
ore dalam air ini biasanya rendah.

Dari tabel-tabel ini dapat disimpulkan bahwa konsentrasi logam dalam cairan
hydrotermal tidak selalu tinggi untuk dapat membentuk suatu endapan ore, dan karena itu
faktor menentukan untuk pengendapan ore adalah waktu dan tingkat pengendapan.
Walaupun cukup sulit untuk mengidentifikasi dengan kepastian yang mutlak, adalah
cukup fair untuk mengasumsikan bahwa sumber dari konstituen ini adalah magma yang
mendingin dan atau batuan melalui mana larutan meresap. Kasus Pb adalah instruktif.
Tabel 2.1. Komposisi larutan hidrotermal modern dan kuno. Data dari berbagai sumber yang
diterbitkan oleh Skinner (1979) Semua nilai dalam ppm.

Medan Larutan hidrotermal kuno


Elemen Laut Salton
Cheleken ditentukan dari inklusi cairan
Cl 15.5% 15.7% 3.7% 4.65% 2.95%
Na 5.04% 7.61% 4.04% 1.97% 1.52%
Ca 2.8% 1.97% 8600 7500 4400
K 1.75% 409 3500 3700 6,7%
Sr 400 636 - - -
Ba 235 - - - -
Li 215 7.9% - - -
Rb 135 1.0 - - -
Mg 54 3080 5600 570 -
B 390 - <100 185 -
Br 120 526 - - -
I 18 32 - - -
NH4 409 - - - -
SO4 5 309 1200 1600 1.1%
Fe 2290 14 - - 8000
Mn 1400 46.5 450 690 -
Zn 540 3.0 1.09% 1330 -
Pb 102 9.2 - - -
Cu 8 1.4 9100 140 -

Dalam suatu studi yang dilakukan Doe dan Delevaux (1972), sumber Pb dalam bijih
galena di Missouri selatan didasarkan pada komposisi isotopik logam ini, ditemukan
bahwa Pb diperkirakan berasal dari batu pasir Lamotte, yang merupakan aquifer utama
bagi larutan hydrothermal di daerah tersebut. Pb diperkirakan telah ditransfer dari larutan
padat dalam feldspar ke cairan hidrotermal oleh interaksi batuan dan air panas. Logam
lain seperti Zn, Cu, Sn, dan W hadir dalam jumlah bervariasi dalam mika, pyroksen dan
amphibole. Konsentrasi Sn dan W sampai 500 ppm ditemukan dalam biotit dan muscovit
(Ivanova 1969; Bab 9). Pelepasan logam-logam ini mungkin terjadi selama reaksi
spesifik dengan produksi fase mineral baru dari host, atau oleh proses reaksi pertukaran
ion-ion.

Tabel 2.2.Analisa Air geotermal. Data dari berbagai sumber diterbitkan dalam buku Ellis dan
Mahon (1977) (1) Iceland (2)

Elemen 1 2 3 4 5 6 7

Cl 197 -1,44% 1219 1625 1.6% 1.34% 4,28%


Na 212 7800 846 950 9062 5490 7.89%
Ca 1,5 219 9.9 28 520 1470 106
K 27 2110 105 80 2287 900 4.83%
Li 0.3 40 4.5 12.5 38 26 380
Rb 0.04 12.5 1.8 0.8 - 12 450
Mg 0.0 0.28 0.02 - 1 131 17
Mn 0.0 - 0.0 0.02 - 40 0.1
Fe 0.1 - 0.05 0.1 0.3 220 0.7
F 1.9 - 3.8 0.8 2 7.0 100
Br 0.45 - 2.5 - 31 - -
SO4 61 32 214 17 6 350 16.3%
As - 28 2.3 - 0.5 3.6 8.3
B 0.6 313 20.51200 14 106 2650
SiO 480 095 425 460 1250 639 -
NH3 0.1 6.4 0.1 46 21 36 82
CO2 55 27 56 61 56 2 5850
o
C 216 324 200 230 340 245 250
pH 9.6 6.7 8.4 7.4 7.7 2.4 8.5
Kedalaman 650 1947 350 585 1285 1500 1415
(m)

Ringkasnya, bukti-bukti mengesankan bahwa cairan hidrotermal mendapatkan


konstutuen larut dengan satu atau dua proses fundamental , dimana (1) konstituen
dilepaskan ke cairan oleh magma yang mengkristal, dan (2) konstituen berasal dari
batuan melalui mana larutan air panas bersirkulasi. Akhirnya Skinner (1979)
mempertanyakan apakah massa batuan harus kaya akan elemen tertentu untuk menjadi
sumber elemen. Untuk elemen yang mempunyai unsur kulit bumi berlimpah , 0.001
sampai 0.01 % (10 s/d 100 ppm), batuan tidak perlu diperkaya. Satu contoh di La Motte
Sandstone diatas dimana feldspar memberi larutan untuk Pb. Tumpukan volkanik dengan
komponen rhyolite-dasit akan menghasilkan bijih yang kaya akan Pb, karena
melimpahnya feldspar yang berkaitan dengan maffic silikat, walau demikian bila yang
dominan adalah andesit-basalt, dengan olivin dan pyroksen berlimpah maka akan
menghasilkan bijih yang kaya akan Cu. Untuk elemen seperti Sn dan Ag, yang
kandungan crustalnya rendah (kurang dari 10 ppm atau 0,001%), suatu pra konsentrasi
mungkin perlu sebelum ekstraksi larutan terjadi, walaupun suatu jumlah data yang sangat
kecil membuatnya menjadi point yang tidak pasti.

Tabel 2.3 Analisis Partial air garam dari ladang minyak.Data dari berbagai sumber diterbitkan oleh
Skinner (1979)

Elemen (1) Usia batuan sumber


Silurian Cretaceous Jurassic
Cl 1.58%
Na 5.9%
Ca 3.64%
K 538
Pb 80 10 111 80 226 2115 <1
Zn 300 2 357 300 706 39 <1
Fe 298 10 420 298 1060 467 3
Ba 61 11 59 61 1090 504 34
Ca+Na+Ca+K 40% 3.2% 34.4% 48.6% 35.1%
2.5.1. Partitioning Elemen Metallic dalam Larutan Hydrothermal

Reaksi pertukaran antara cairan hydrothermal dan mineral pembentuk batuan berakibat
pada partitioning elemen logam kedalam pembentuk. Pekerjaan eksperimental (Ilton dan
Eugster 1990, Ilton 1990) mengindikasikan bahwa elemen seperti Fe, Zn, Cu dan Mn
terpartisi sangat kuat kedalam cairan hydrotermal yang kaya akan chlorida. Elemen-
elemen ini merembes keluar dari situs mineral pembentuk batuan dan memasuki fase
cairan. Suatu lithosome yang mengandung biotit, chlorite, hornblend dan feldspar juga
akan mengandung suatu proporsi cukup besar elemen metalik Sebagai contoh,
diperkirakan bahwa biotit + hornblend + chlorit mungkin mengandung sekitar 50% Cu
dalam granodiorit yang berasosiasi dengan mineralisasi porfiri. (Greybeal 1973). Untuk
memperoleh gambaran yang lebih rinci tentang topik interaksi cairan-mineral pembaca
diharap mengacu kepada tulisan Spencer dan I-Ming Chou (1990).

2.6. Transport logam

Telah disebutkan pada Bab 1 bahwa satu dari dilema dari pelarutan hydrothermal adalah
insolubilitas dari kebanyakan senyawa dan logam yang mengalami transportasi dan
terendapkan darinya. Diyakini bahwa elemen tertentu berfungsi sebagai mineraliser;
casserite (SnO2), sebagai contoh, diperkirakan terbentuk menurut :

SnF4 + 2H2O = 4HF + SnO2.

dimana F bertindak sebagai mineraliser, dan bahwa lebih jauh aksi dari HF menghasilkan
mineral lain seperti topaz , tourmalin atau fluorit. Walaupun kegiatan HF cukup penting
bagi pembentukan topas dan bijih Sn-W, transport dari logam-logam tidak lagi dapat
dijelaskan oleh karena kegiatan mineraliser. Dewasa ini, pembentukan ion-ion kompleks
disebut untuk menerangkan transport elemen dalam larutan hidrotermal. Ion-ion
kompleks terbentuk diantara logam dan ligand dalam larutan dan merupakan agen yang
mengangkut metal.

2.6.1. Ion-ion Kompleks dan Ligands

Suatu ion kompleks adalah suatu spesies bermuatan listrik dimana ion logam bergabung
dengan ikatan koordinat kovalent dengan molekul netral dan/atau ion negatif
(Masterton dkk. 1981). Sebagai contoh dalam Cu yang kompleks (NH 3)42+ dimana satu
ion Cu2+ bergabung dengan empat molekul NH3 netral masing-masing NH3 menyumbang
sepasang elektron untuk membentuk suatu ikatan kovalen dengan ion Cu2+. Struktur
tersebut nampak pada Fig. 2.5A.
Fig. 2.5. A-C Struktur molekul yang disederhanakan dari ion-ion kompleksSetelah Masterton dkk
(1981)

Terukur sebagai Au Cl2 sebagai Au(HS)2


4 x 105 5.6 x 106 1.5 x 102

Logam yang mempunyai kecenderungan untuk membentuk ion kompleks adalah yang
ditempatkan kearah kanan dari rangkaian transisi (yakni Ni, Cu, Zn, Pt, Au, Co, Cr, Mo,
W), sedangkan metal non transisi (Al, Sn, Pb) membentuk jumlah yang lebih terbatas dari
ion kompleks. Ion sentral dalam suatu kompleks adalah kation logam, dan molekul netral
dari anion yang terikat kepada kation disebut ligand. Angka ikatan yang dibentuk oleh
ion sentral adalah angka koordinasi. Dalam kasus yang dilukiskan pada Fig. 2.5A , Cu
mempunyai angka koordinasi empat. Ion kompleks bermuatan listrik, seperti Cu(NH3)42+
atau Al(H20)63+ tidak bisa berada dalam keadaan padat kecuali muatan listrik dalam
keadaan seimbang. Dengan demikian Cu(NH3)4Cl2 misalnya, merupakan ion kompleks
yang diseimbangkan oleh 2 ion Cl. Karena itu ion kompleks dalam hal ini bertindak
sebagai kation. Contoh lain adalah :

Pt(NH3)42+ +2Cl = Pt(NH3)4Cl2 (kation kompleks);


Pt(NH3)Cl3 + K = Pt(NH3)Cl3K (anion kompleks)

Jika suatu ligand memiliki lebih dari satu ikatan kemudian akan disebut agen chelating
(dari bahasa Yunani, chelate berarti keras). Ligand biasanya mengandung atom-atom
elemen elektro negatif (C, N, O, S, F, Cl, Br, l). Kebanyakan ligand adalah NH 3, H2O, Cl,
OH, HS. Angka koordinasi biasanya adalah 6, 4 dan 2, dalam urutan frekuensi tersebut.
Angka-angka koordinasi ganjil adalah sangat jarang Angka koordinasi juga menentukan
geometri dari ion-ion kompleks. Dengan begitu untuk ion kompleks dimana ion sentral
membentuk hanya dua ikatan , ligand akan bersifat linear dengan ikatan ditujukan pada
180o.
Tabel 2.4. Klasifikasi logam dan ligand menurut Brimhall dan Crerar (1987) Kekerasan meningkat
kearah kanan

Keras Garis batas Lunak

H1 Li1 Na1 Fe21 Co21 Ni1 Cu1 Ag1 Au1


K Rb Cs
1 1 1
Cu21 Zn21 Sn21 Cd21 Hg1 Hg21
Ca21 Mg21 Pb21 Sb21 Bi21 Mo (atom logam)
Ti41 Sn41 MoO31 SO2

NH3 H2O OH Br CN CO
CO32 NO 3 H2S HS
PO43 SO4
F Cl

Logam kompleks dengan angka koordinasi 4 membentuk struktur tetrahedral atau square
planar (Fig 2.5.A, B). sedangkan geometri oktahedral yang didapat dari kompleks ion
dimana enam ligand dikelilingi suatu ion logam (Fig. 2.5.C). Interpretasi alam tentang
ikatan dalam ion kompleks adalah diluar lingkup buku ini ;

Interaksi logam-ligand adalah mirip dengan reaksi asam-basa, dengan logam menjadi
penerima elektron dan ligand merupakan donor elektron. Metal dan ligand dapat
diklasifikasikan kedalam dua kelas yang penting; klas A, atau keras, dan kelas B atau
lunak. Pada yang pertama, metal dan ligand sangat bermuatan listrik, kecil dan agak
polarisabel. Klas B atau type lunak, ditandai dengan spesies yang besar, atau bermuatan
sedikit listrik dan sangat polarisable. Suatu aspek penting dari klasifikasi ini adalah,
bahwa logam lunak cenderung mengikat ligand yang lunak, dan logam yang keras
dengan ligand yang keras pula. Tabel 2.4 memperlihatkan metal dan ligand yang penting
dalam proses hydrotermal, menurut perangai yang lunak atau keras. Dari Tabel 2.4 dapat
dilihat bahwa HS merupakan ligand lunak dan karena itu membentuk kompleks yang
kuat dengan Au, Ag, Hg, Cu dan Sb (logam yang lunak); sedangkan kompleks yang lebih
lemah akan dibentuk dengan Pb dan Zn, bahkan lebih lemah lagi dengan Sn dan Fe.

Tabel 2.4 Klasifikasi

Logam transisi menunjukkan kekerasan yang meningkat pada suhu tinggi dan karena itu
kompleks dengan ligand keras menengah seperti Cl dan OH menjadi lebih stabil bila
berada dalam suhu tinggi. Perilaku ini diperkuat oleh bukti eksperimental yang
menunjukkan stabilitas tinggi kompleks chloro pada suhu, sebagaimana ditunjukkan
kemudian.

Crerar (1987) menemukan bahwa dari 30 jenis logam transisi hanya Mn, Fe, Cu, Zn, Mo,
Au, Ag, W, Hg dan Co yang biasanya membentuk deposit hydrothermal walaupun
elemen-elemen ini tidak berkorelasi dengan keberlimpahannya dalam kulit bumi.
Penjelasan yang masuk akal untuk ini adalah tersedianya situs tetrahedral dan octahedral
dalam magma terkristalisasi. Rasio tingginya Al2O3/alkali nampaknya untuk membantu
situs oktahedral dalam lumeran residual dan dengan demikian juga konsentrasi logam-
logam dalam cairan hidrotermal (Freiss 1978). Rasio ini, pada gilirannya mungkin akan
terpengaruh oleh hadirnya volatil dalam magma (lih. Bab 8).

2.6.2.Ion Kompleks dalam larutan Hydrothermal

Dua kelas kompleks yang penting bagi transport logam dalam larutan hydrothermal,
yakni sulfida (HS dan H2S) dan chloride (Cl). Kedua kompleks ini mampu mengangkut
sejumlah besar logam. Ligand yang lain, yang tidak begitu umum walaupun juga penting,
termasuk OH, NH3, F, CN,SCN, SO2 4 dan beberapa kompleks organik (yakni humic
acid). Tinjauan komprehensif tentang solubilitas ore mineral dan ligand pembentuk
kompleks oleh Barnes (1979) menyediakan dasar untuk diskusi lebih lanjut.

Kapasitas pembawa ore dari cairan sangat ditentukan oleh kegiatan ligand ini, dan bukan
oleh berlimpahnya logam yang akan diikat. Aktivitas ini adalah fungsi suhu konsentrasi,
kekuatan ion, pH dan Eh. Satu dari kompleks penting adalah bahwa melibatkan ion
hydro sulfide HS, spesies seperti Zn(HS)3 dan HgS(HS) telah ditunjukkan terangkut
dalam larutan dalam jumlah besar. Penelitian tentang sistem hydrothermal aktif dan
deposit Au epithermal menunjukkan bahwa kompleks thio-sulfide (HS) merupakan
mekanisme dominan dalam pengangkutan Au. Disini, Au+ menjadi kompleks karena
ligand sulfur HS, yang diperlihatkan oleh Seward (1979) di Broadlands, New Zealand,
mendominasi kompleks chloride didekat pH netral (lih. Tabel 2.5).

Thio kompleks Au sampai 300o C dan 1500 bar, dengan pH 3-10 ditemukan dalam
keadaan stabil. Kompleks Au-thio didekat pH netral didefinisikan :

Au + H2S + HS = Au(HS)2 + ½ H2.


Dengan kompleks sulfida, konsentrasi dari atom sulfur yang tereduksi dalam larutan
harus lebih besar dari pada logam, jika kompleks tetap stabil (Krauskopf 1979; Skinner
1979). Kehilangan H2S bisa merupakan akibat dari pendidihan, dan akibatnya adalah
peningkatan pH, menurunnya kegiatan HS dan presipitasi sulfida dan Au, asalkan metal
ini hadir dalam jumlah cukup.

Pengendapan dari kompleks sulfida dapat dituliskan sebagai:


Mc(HS)3 - = McS + HS + H2S(aq)

Pentingnya kompleks chloride dalam sistem hydrotermal diindikasikan oleh


berlimpahnya Na Cl dalam inklusi cairan. Spesies aquaeus seperti ZnCl 2, CuCl2-3, AgCl2
yang terbentuk dalam larutan yang kaya akan chloride. Baik Barnes (1979) maupun
Krauskopf (1979) melaporkan ada bukti bahwa kompleks chloride lebih stabil dari pada
kompleks sulfide pada temperatur tinggi (diatas 350o C). Dominasi sulfida kompleks
pada suhu rendah dan chloride kompleks pada suhu lebih tinggi dan hubungannya
dengan tipe tertentu endapan bijih, dilukiskan pada Fig. 2.4.

Dalam kasus Au, solubilitasnya dalam larutan chloride didefinisi sebagai :

Au + H’ + 2Cl = AuCl2 + ½ H2
Type kompleks ini untuk transport Au mungkin berlaku dalam daerah yang lebih dalam
dan lebih panas dalam sistem hydrotermal dan magma, dan dalam cairan hydrotermal
yang berasal dari masa dewatering metamorfik. Pengendapan sulfida dari metal kompleks
chloride mengambil bentuk :

McCl2(aq) + H2S(aq) = McS + 2H+ + 2Cl –

Stabilitas yang lebih besar dari kompleks chloride pada suhu tinggi sehubungan dengan
kompleks sulfida ditegaskan oleh penelitian perbandingan Ag/Au dalam larutan
hydrotermal yang dilakukan oleh Cole dan Drummond (1986) . Mereka menemukan
bahwa kompleks AuCl- 2 mendominasi pada suhu diatas 250o C dan pH rendah-moderat,
sehingga dengan demikian perbandingan antara Au dan Ag dalam larutan lebih. baik
Pada suhu dibawah 250o C kompleks sulfida dengan lebih banyak Au daripada Ag
mendominasi, menyebabkan perbandingan yang lebih rendah antara Au dan Ag dalam
larutan.

Menurut Barnes (1979), pengendapan logam dari kompleks chloride mungkin disebabkan
oleh hal-hal berikut :

1. Peningkatan konsentrasi H2S;


2. Peningkatan pH (disebabkan oleh pendidihan);
3. Penurunan konsentrasi chloride dan penurunan temperatur;

Penyebab pengendapan dari kompleks sulfida adalah :


1.Pelepasan tekanan dan pendidihan;
2.Oksidasi yang menurunkan kandungan sulfida dan pH

Evans (1987) menyatakan bahwa mekanisme transport logam melalui pembentukan


kompleks ligand masih belum jelas dimengerti Satu problem adalah, bahwa agar
kompleks sulfida dapat stabil, konsentrasi tinggi H2S diperlukan dalam cairan- sebuah
kenyataan yang buktinya dipastikan dari Tabel 2.1-2.3 tidak nampak mendukung.
Namun demikian adalah mungkin bahwa S boleh jadi masuk ke sistem pada tingkat
lanjut, sebagai contoh dengan reduksi sulfat oleh senyawa organik. Jika benar suatu
model percampuran dapat dipertimbangkan dimana baik kompleks chloride maupun
sulfida mungkin penting sebagai agen pengangkut bagi elemen logam. Pengendapan
sulfida dapat terjadi menurut reaksi :

PbCl2 + H2S = PbS + 2H’ 2Cl’

dimana presipitasi galena pada penambahan H2S (Henley dkk. 1984, Evans 1987)

2.7. Pengendapan Logam

Presipitasi konstituen terlarutkan dalam cairan hydrotermal dapat terjadi sebagai akibat
dari variasi suhu, perubahan tekanan dan pendidihan, reaksi antara wall rock dan larutan,
perubahan kimiawi karena percampuran cairan. Perubahan suhu mempengaruhi
solubilitas sulfida dan oksida, demikian pula stabililtas ion-ion kompleks. (Skinner 1979).
Diyakini bahwa penurunan suhu sekitar 20o C mungkin cukup untuk menyebabkan
presipitasi. Perubahan temperatur dapat disebabkan oleh percampuran larutan panas
dengan dingin didekat permukaan air Ini terutama biasa pada tempat dimana keluaran
larutan hydrotermal di dasar lautan. Disini cairan yang panas dengan suhu sampai 350 oC
bercampur dengan air laut yang suhunya beberapa derajat diatas nol, berakibat presipitasi
sulfida yang lalu menimbulkan apa yang disebut black smoker chimney. Dekompresi
adiabatic juga menyebabkan penurunan suhu yang mendadak dalam jarak yang singkat,
dan terjadi ketika tekanan berubah dari lithostatik ke hydrostatik (Skinner 1979). Suatu
proses adiabatic adalah proses dimana tidak ada aliran panas kedalam maupun keluar
suatu sistem yang tersumbat dari lingkungannya. Karena aliran panas dalam batuan
memerlukan waktu, maka suatu proses disebut adiabatic jika cukup cepat. Jadi kompressi
cepat mengakibatkan kenaikan suhu, dan dengan cara yang sama dekompressi cepat
berakibat pada penurunan suhu yang mendadak.

Perubahan tekanan juga mengakibatkan perubahan solubilitas, tapi harus substantial


(kira-kira 1000 bar) untuk bisa terjadi presipitasi. Satu dari fenomena penting yang
berhubungan dengan tekanan terkendali adalah pendidihan. Pendidihan adalah akibat
dari peningkatan konsentrasi larutan dan penghilangan konstituen volatil secara
mendadak, yang meninggalkan suatu residu yang kurang mampu mempertahankan
konstituen dalam larutan.Dalam situasi ini penyumbatan akibat pengendapan mineral
mungkin mengakibatkan pendidihan. Penyebab lain adalah:meningkatnya suhu, dan/atau
penumpukan volatil. Jika sumbat tiba-tiba pecah, misalnya karena gempa bumi, maka
tekanan yang menurun tiba-tiba mengakibatkan pendidihan yang hebat. Selama
pendidihan, H2, CO2 dsb. akan berubah menjadi uap:

HCO3 + H+ = CO2(g) + H20


dan
HS + H+ = H2S(g)

juga fO2 meningkat, dan oksidasi (HS-H2S-H2SO4) dan kerusakan kompleks thio
[Au(HS)2- - Au+ 2(HS) ] akan terjadi, karena menghilangnya ligand HS secara cepat.
Dengan demikian oksidasi didalam dan diatas zona pendidihan berakibat pembentukan
O4, penurunan pH dan acid leaching (alterasi argilik). Selama proses ini besi dilepaskan
yang meredusir Au1 ke status netral Auo mengakibatkan presipitasi menjadi logam asli.
Kita akan kembali ke proses ini dalam diskusi tentang sistem thermal dalam Bab 11.

Mekanisme penting lainnya untuk presipitasi konstituen yang terlarutkan adalah reaksi
kimia antara larutan dengan wall rock. Skinner (1979) mencantumkan beberapa jenis
reaksi yang dapat dipertimbangkan.

Bila suatu larutan hidrotermal bersifat asam, seperti kebanyakan, ekstraksi ion hidrogen
dari larutan terjadi melalui hydrolisis terhadap feldspar dan silikat yang lain, yang
kemudian mengalami transformasi menjadi lempung. Hilangnya H’ dari larutan
menyebabkan berkurangnya stabilitas kompleks chlorida dan terjadinya presipitasi
sulfida asalkan S hadir untuk bereaksi dengan metal yang terliberasi dari silikat
metasomatis. Jenis lain dari presipitasi adalah perubahan oksidasi, atau status valency
dari beberapa logam terutama Cu, U. Telah diketahui bahwa Fe2+ dapat diangkut dalam
larutan dan bahwa suatu perubahan pada Fe 2+ menjadi Fe3+ mengakibatkan presipitasi
karena Fe2O3. Ini merupakan mekanisme yang terangsang oleh pengendapan formasi besi
yang terikat (BIF), apapun penyebabnya untuk pembentukan Fe. Contoh lain diberikan
oleh U. Logam jenis ini diangkut dalam larutan sebagai ion uranyl (UO2)2+ dan presipitasi
akan terjadi ketika larutan bersentuhan dengan lingkungan yang mereduksi, sehingga
reduksi UO2 2+ menjadi UO2 terjadi merespons perubahan valensi dari U6+ menjadi U4+.
Tambahan komponen wall rock ke larutan adalah jenis ketiga dari reaksi selama
presipitasi sulfide terjadi. Perubahan kimiawi karena percampuran cairan dari komponen
yang berlainan mengarah kepada pengendapan ore.

BAB III
SYSTEM HIDROTHERMAL

3.1. Kata Pengantar

Dalam bab ini jenis-jenis kegiatan hydrothermal dan system hydrothermal yang
bertanggung jawab atas terjadinya berbagai jenis endapan mineral akan diuraikan.
Terutama perhatian akan diberikan kepada apa yang kita ketahui sebagai model geometri
dan fisik dari system ini, seperti halnya daerah geotermal aktif, atau observasi geologi
dan penelitian laboratorium. System hydrothermal dapat juga dipertimbangkan dalam
istilah setting geotektonik dimana hal itu terjadi, dan ini dibicarakan dalam Bagian II dari
buku ini. Jenis-jenis proses hydrothermal, kegiatannya pada litologi sekitar, dan
produknya dalam istilah deposit mineral dibicarakan pada Bagian III. Disini, system
hydrothermal berikut dibicarakan :

System hydrothermal plutonik-magmatik yang berkedudukan dangkal sampai


1.
dalam. Ini mengakibatkan terjadinya endapan Sn-W greisen;
System hydrothermal meteorik, volkano-plutonik sampai subvolkanik dan
volkanik, magmatik-meteorik. Ini bertanggung jawab atas mineralisasi porfiry,
2.
skarn, epithermal basa dan endapan logam mulia, juga beberapa jenis endapan
vein.
System hidrothermal sub-dasar laut.Ini bertanggung jawab atas terjadinya
3. endapan volkagenik sulfida masif, misalnya di Besshi, Cyprus, deposit jenis
Kuroko dan jenis Archean Noranda.
System hydrothermal berasosiasi rift dalam cekungan sedimenter, dengan atau
tanpa hubungan dengan kegiatan igneous. Endapan sedimenter sulfida exhalatif
stratiform seperti di Broken Hill dan Mt. Isa di Australia, Gamsberg Aggeneys di
4. Afrika Selatan atau Sullivan orebody di Kanada mungkin dibentuk oleh kegiatan
system ini. Bisa ditambahkan endapan sulfida di Laut Merah Evolusi geodinamik
dari orogen yang berhubungan dengan rift mungkin mengarah kepada continuum
dari system hydrothermal dari (3) ke (6)
Brines diagenetik pada cekungan. Contoh dari kegiatan ini adalah endapan sulfida
5.
stratabound carbonate. System ini mungkin mewakili anggota akhir dari (4)
System hydrothermal yang berhubungan dengan metamorfisme, terutama
disebabkan oleh metamorfisme regional prograde (beberapa mengalami
6. percampuran dengan air meteorik) Endapan emas yang bertuan-rumah turbidite,
endapan Archean lode dan endapan U, mungkin kesemuanya adalah produk dari
kegiatan hydrothermal jenis ini.

Sirkulasi cairan hydrothermal di kulit bumi dapat terjadi dalam beberapa kegiatan geologi
dimana suatu rangkaian kompleks dari kondisi tradisional dapat mengarah kepada
terjadinya sejumlah besar type deposit dan gaya mineralisasi. Karena alasan ini system
hydrothermal yang diuraikan adalah anggota yang esensial. Penyederhanaan ini adalah
suatu maksud untuk membantu dalam memahami tentang suatu system alam yang sangat
kompleks. Karena itu seorang geologist explorasi haruslah berhati-hati untuk tidak
menerapkan aturan yang kaku tapi juga harus fleksibel dalam berfikir dalam menangani
subjek system hydrothermal.
Juga harus diingat bahwa situasi geologi yang sama bisa terjadi di sejumlah setting
tektonik yang berbeda. Dengan demikian sebagai contoh batuan plutonik-felsik dapat
yang terjadi dalam lengkungan magmatik berhubungan dengan subduction, atau pada
setting anorogenik rift tertentu. Kemudian system magmatik hydrothermal juga dapat
diaktifkan dalam kedua situasi tersebut dan akan menghasilkan gaya mineralisasi serupa.

3.2. Definisi dan type

Suatu system hydrothermal dapat didefinisikan secara bebas sebagai distribusi cairan
panas yang berputar secara lateral dan vertikal pada suhu dan tekanan yang bervariasi
dibawah permukaan bumi. Kehadiran dan gerakan cairan ini apakah dikeluarkan atau
tidak ke permukaan, merupakan penyebab kegiatan hydrothermal. Definisi yang lebih
kuat akan melibatkan situasi geologi dimana sirkulasi cairan tersebut terjadi dan bertahan
sampai beberapa periode waktu yang cukup lama untuk membentuk suatu konsentrasi
mineral logam. Apakah konsentrasi ini merupakan penyebab terbentuknya orebody atau
tidak, biasanya bersifat artifisial, dan didikte oleh kerangka ekonomi atau politik global
atau sosial dari masyarakat manusia yang terorganisir pada waktu tertentu.

Suatu system hydrothermal terdiri dari dua komponen yang esensial: suatu sumber panas
(H), dan fase cairan (F). Suatu sel hydrothermal aktif – konvektif akan terdiri dari suatu
sistem recharge(R) suatu sel sirkulasi (c) dan suatu sistem discharge (D). Suatu endapan
mineral hydrothermal dibentuk oleh sirkulasi cairan hangat sampai panas (kira-kira 50-
>500o C) yang melarut dan mengangkut serta mempresipitat kandungan mineralnya
dalam response terhadap kondisi fisika-kimia yang berubah. Deposit mineral biasanya
terbentuk pada situs discharge, apakah ini merupakan suatu saluran tunggal, atau
serangkaian kanal, atau suatu jaringan fraktur kecil-kecil. Batuan dimana endapan itu
terbentuk mengalami berbagai derajat alterasi hydrothermal, dimana intensitasnya men
galami penurunan dari situs pengeluaran dan karena itu juga dari body mineralisasi.
Alterasi terjadi karena kelompok mineral dalam dinding batuan tidak stabil dengan
kehadiran cairan hydrothermal, dan cenderung untuk menyeimbangkan dengan cara
membentuk kelompok mineral yang stabil dibawah kondisi yang baru. Proses alterasi
dibicarakan agak rinci pada Bab 4.

Suatu system hydrothermal ‘fossil’ adalah hasil ‘pembekuan’ kegiatan `hydrothermal


dalam suatu setting geologi dan tektonik. Sebagai contoh, suatu endapan porfiri Cu-Au
seperti di Panguna, dipulau Bougainville (Papua New Guinea) adalah akibat dari suatu
system hydrothermal volkano-plutonik yang terbentuk dalam setting pulau samudera.
Walaupun ada juga perbedaan pendapat diantara para ahli geologi mengenai rincian dari
pekerjaan system, ada sedikit keraguan bahwa kegiatan hydrothermal di Panguna dimulai
dengan kegiatan magmatik yang berhubungan dengan penempatan suatu kompleks
volkano-plutonik. Endapan emas yang ditemukan dalam kelompok turbidit juga
merupakan ekspressi dari bagian system hydrothermal ‘fossil’. Disini sirkulasi cairan
yang dipengaruhi oleh sektor yang lebih besar dari kulit bumi dan kehadiran vein quartz
metalliferous adalah ekspresi pengeluaran cairan dalam satu lokasi. Endapan logam
dasar dan logam mulia dalam batuan ophiolit – sebagaimana yang terdapat di Cyprus, di
Oman atau Appenina di Itali- dianggap sebagai produk system hydrothermal fossil, yang
analogi modernnya dapat ditemukan di gunung-api bawah lautan. Banyak dari endapan
logam dasar dan logam mulia yang berasosiasi dengan ,yang berada dilingkungan bawah
laut maupun yang di darat, mewakili sistem hidrotermal ‘frozen-in’, dimana endapan
yang lain diteliti dalam daerah geotermal di tanah vulkanik pada perbatasan plat
konvergen. Demikian pula, sulfida lumpur yang terbentuk dimasa sekarang dalam depresi
zona aksial Laut Merah mungkin mempunyai analogi pada beberapa endapan sulfida
masif berumur Proterozoic dimana host-nya adalah sedimen. Namun demikian tidak
semua endapan mineral hidrotermal yang terawetkan dewasa ini mempunyai equivalen
modern; yakni banyak di antara endapan ini adalah dari zaman Archean. Ini karena
endapan ini adalah produk sistem hidrotermal yang teraktifkan selama situasi geotektonik
tertentu, yang yang tidak pernah terulang. Diantara ini dapat kita ambil contoh adalah
mesothermal epigenetik logam Au dan mineralisasi Au yang memiliki host BIF yang
umum ditemui di sabuk batu hijau. (greenstone belts). Pada contoh yang lain, kegiatan
hidrotermal terjadi di kedalaman yang belum teramati secara langsung. Pemboran dalam
pada kulit bumi kontinental mengindikasikan hadirnya cairan hidrotermal yang
bersirkulasi disepanjang zona shear di kedalaman beberapa kilometer.

3.3. System Hydrothermal Magmatik yang berhubungan dengan Plutonisme


Berkedudukan Dangkal Sampai Dalam

System ini biasanya terbentuk dalam magma yang kaya akan H2O, seperti granitoid (>
8wt.% H2O) yang mengandung muscovite. Magma cenderung untuk mengkristal pada
kedalaman yang berkisar dari beberapa km sampai diatas 10 km dan biasanya tidak
memiliki ventilasi di permukaan. Walaupun pada tingkat tertentu mungkin mengalami
intrusi ke dalam batuan basah kulit bumi dan berinteraksi dengan air connate atau air
metarmorfik (Strong 1981). Untuk maksud yang sekarang kita lebih berkepentingan
dengan kasus system tertutup, yakni cairan hydrothermal yang terbentuk dalam magma
yang mendingin. Karena magma yang mendingin mengalami kristalisasi, maka H2O dan
volatil lain serta elemen yang tidak kompatibel tetap dikecualikan dari massa yang
terkonsolidasi. Komponen volatil pada mulanya secara acak didistribusikan keseluruh
daerah tengah dan atas dari tubuh magma. Dalam hubungan ini Taylor dan Pollard
menggambarkan bahwa dalam tahap akhir kristalisasi magma, cairan terkandung dalam
mineral granit, dengan cara yang sama seperti halnya minyak dan batupasir
(sandstone)..yang gerakan dan akumulasinya mungkin dikendalikan oleh permeabilitas
yang mengalami evolusi (Taylor dan Pollard 1988). Akhirnya, fase cairan residu
mungkin berkonsentrasi kedalam zona untuk merangsang autometasomisme igneous
parent. Dengan lain perkataan, igneous body yang baru terkonsolidasi ‘terpanggang
dalam cairannya sendiri. Ini biasanya mulai dengan tingkat metasomisme alkali (Bab 8).
Fase air dan gas yang terlepas dari magma akan membentuk suatu larutan hydrothermal.
Ini menuju kepada tahap metasomatisme hydrogen – ion dalam mana endapan yang
berhubungan dengan greisen mungkin terbentuk. (Bab 9). Dengan menurunnya suhu dan
tekanan, dan kehadiran kanal-kanal, cairan akan lolos ke dalam batuan disekitarnya.
3.4. System Hydrotermal Magmatik-Meteorik yang Berhubungan dengan
Kompleks Volkano-Plutonik dan Volkanik
Dalam situasi ini sistem hydrothermal biasanya mulai sebagaimana diuraikan diatas
(Bag. 3.3) dalam sistem tertutup suatu body plutonik. Dalam hal ini dengan keadaan
kandungan air permulaan yang rendah magma naik lebih dekat ke permukaan dan
mungkin membuat ventilasi untuk membentuk suatu stratovolkano. Ini lebih typikal
terjadi pada system porfiri dan epitermal (Bab 10 dan 11). Pluton yang mendingin men-
suplai energi thermal dan pada fase permulaan cairan.Pada tahap yang lebih jauh cairan
mungkin dipasok oleh air meteorik dan air tanah (aquifer). Air ini menjadi panas
sementara didekati oleh atau berpindah ke daerah yang dipengaruhi oleh igneous body.
Pendinginan igneous body dikedalaman membuat tersedianya mesin panas yang sangat
kuat. Energi dari satu pluton granit tunggal sudah pernah diperkirakan oleh Fyfe (1987),
yang mengkalkulasi bahwa suatu granite pluton dengan volume 600km3, dan mendingin
dari 900 ke 300o C, dapat memanaskan kira-kira 1000 km3 air tanah menjadi sepanas
300oC. Air meteorik atau air tanah akan membentuk sel-sel konveksi yang aktivitasnya
akan berlangsung setidaknya sampai energi thermal dari batuan igneous seluruhnya
hilang.Ini menerangkan dengan jelas bahwa percampuran antara fase magmatik dan
meteorik dalam aturan dan dalam banyak hal bukti isotopik dalam system geothermal
modern menunjukkan bahwa air meteorik mungkin merupakan satu-satunya komponen
cair. Disimpulkan magma hydrous yang terkonsolidasi didekat permukaan nampaknya
membangun system hydrothermal magmatik-meteorik dengan kegiatan residu cairan
aqueus dan dengan kegiatan air meteorik yang menjadi panas dalam lingkungan body
intrusif.
Pembicaraan berikut memfokus pertama kali pada perkembangan dan kegiatan fase
magmatik aqueus. Bagian berikutnya mempertimbangkan system meteorik hydrotermal,
mempergunakan data yang diperoleh dari penelitian ladang geothermal modern.
Walaupun kedua system diperlakukan secara terpisah untuk kesederhanaan, harus diingat
bahwa dalam kebanyakan hal mereka membentuk continuum.

3.4.1. Sistem hidrotermal magmatik

Cairan aqueus yang terpisah dari magma yang mengkristal biasanya disalurkan melalui
sistem fraktur dalam porsi yang lebih tinggi dari suatu body intrusif dan atau dalam
lingkungan wall rock. Karena peranan H2O dalam magma adalah sangat penting, suatu
digresi singkat rasanya cukup memadai untuk point ini, dan pembaca harap mengacu
kepada Best (1982). atau Charmichael dkk (1974) untuk rincian yang lebih jauh tentang
topik ini (lih. Bab.8).Air merupakan konstituen volatil magma yang melimpah, terutama
felsik. Konstituen lain termasuk H2S, CO2, HCl, HF, H2. Kandungan H2O dari magma
felsik yang berkaitan dengan kegiatan hydrothermal mungkin berkisar dari 2.5 sampai 6.5
wt.% Kehadiran H2O di dalam suatu pelumeran telah berpengaruh terhadap menurunnya
viscositas karena fenomena depolymerisasi . Silicic yang kaya akan air meleleh dapat
menjadi cairan sebagai basaltik. Silikat yang meleleh mempunyai struktur yang terbentuk
oleh Si4+ dan ‘Al3+ dalam tetrahedral, koordinasi dengan ion-ion O2 , ion-ion O2 ini
menjembatani antara tetrahedra yang saling berdekatan. Hubungan melalui jembatan
oksigen menciptakan suatu sistem polymeris yang mirip keadaan kristalin. H 2O (dan
volatil lain seperti B, F, Cl) mematahkan jembatan oksigen dan karena itu membuat
struktur mengalami depolimerisasi. Tapi kemudian jembatan dipulihkan lagi dengan
menggantikan O2+ dengan 2OH, demikian menurut Best (1982)
H2O(a) + O2 (m) = 2OH (m)

dimana a = fase aqueus dan m = fase melumer

Jadi, H2O secara efektif tidak tertahan dalam larutan sebagai molekul air netral, tapi
membentuk ion-ion OH hydroksil.

Volatil asam seperti H2S, HCl dan HF berperilaku mirip H2O dalam silikat yang mencair,
ketika CO2, SO2 dan H2 tidak biasanya memiliki mekanisme pelarutan seperti air.
Solubilitas CO2 dalam alumosilikat cair adalah sangat rendah jika dibandingkan dengan
H2O dan volatil asam lainnya. CO2 tidak men-depolimer cairan. Penambahan H2O ke
cairan tidak hanya mematahkan jembatan oksigen, tapi juga meningkatkan ekspansibilitas
cairan, yang memungkinkan masuknya molekul CO2 lebih banyak.Dengan demikian
solubilitas CO2 meningkat dengan meningkatnya kandungan molekul H2O.

Best (1982) meringkaskan perilaku dan peranan H2O dalam cairan silikat sbb.: (1)
mendepolimerisasi cairan dan mengurangi viskositasnya (2) menaikkan tingkat difusinya
(3) menekan suhu kristalisasi (4) mengembang di dalam magma, dalam hal tertentu
menyebabkan volkanisme ledakan. Dalam istilah kegiatan hydrothermal hal-hal berikut
cukup penting (1) H2O adalah system subsolidus, merangsang alterasi pada mineral yang
bersuhu lebih tinggi (2) Menyebabkan kemunduran pendidihan dan pemisahan larutan
aquaeus dalam system plutonik yang menghasilkan pegmatit dan vein mineral.

Konsep pendidihan dalam magma juga penting. Pendidihan pertama adalah yang terjadi
pada magma selama dekompresi, mengakibatkan eksolusi volatil karena menurunnya
solubilitas yang disebabkan oleh menurunnya tekanan. Pendidihan kedua terjadi sebagai
akibat dari meningkatnya konsentrasi volatil karena efek kristalisasi. Peningkatan H2O
yang berkesinambungan dalam residu yang melumer selama kristalisasi, misalnya pada
tahap tertentu tekanan H2O dalam residu yang melumer menjadi setara dengan tekanan
dan pendidihan kedua yang terjadi. Pendidihan kedua ini mengakibatkan terjadinya fase
aqueus yang terpisah.

Burnam (1979) melakukan penelitian terhadap system hydrothermal magmatik yang


dibentuk oleh pendinginan suatu intrusi granodiorit yang mengandung wt.% air.
Pembicaraan berikut ini didasarkan pada artikel yang ditulis Burnam, referensi yang
harus dibuat sehubungan dengan sket pada Fig. 3.1.A, B dan C.

Pendinginan suatu intrusif body diperkirakan terjadi pada lingkungan subvolkanik.


Karena itu, diperkirakan bahwa selama tahap permulaan pendinginan, system terbuka dan
memungkinkan terlepasnya volatil melalui fraktur diatas plutonik. Pada tahap kemudian,
intrusif body menjadi suatu system dengan berkembangnya sel-sel yang menjadi padat.
Tahap ini terlihat pada Fig. 3.1A, dimana garis S1. mewakili batas bagian luar dimana
stock berada dibawah suhu solidus. Burnam (1979) lebih jauh memperkirakan bahwa
suhu maksimum di bagian dalam stock adalah 1025o C , bahwa isotherm 1000oC meluas
sampai kedalaman 2.5 km, dan isotherm ini melingkupi porsi dari body yang masih
melumer 90%. Kearah atas dan kearah luar dari isotherm 1000 o, kandungan H2O dari
residu yang meleleh meningkat kearah ke zona dimana lelehan itu terlarut dengan H 2O
pada 3.3 wt.% Pada tingkat ini dan keatas kearah garis solidus S1 sistem terdiri dari
bangunan kristal yang mengandung pyroksen, residu lelehan komposisi granit dan fase
cairan aqueus. Pada kedalaman yang lebih jauh, dan selalu berada diluar dari isotherm
1000o C, hornblend dan biotit tetap stabil pada suhu antara 800-900 oC dan 780-850oC.
Biotit terbentuk dari reaksi lumeran residu dengan hornblend, dan akibatnya silika
diperkaya dalam residu dan quartz mengalami pengkristalan.` Proses ini mengarah
kepada pelarutan oleh H2O dari lumeran interstitial, sementara sisa stok masih meleleh
dan terlarutkan oleh H2O. Bagian yang meleleh ini menjadi terselubungi oleh suatu zona
H2O – lelehan yang terlarutkan, yang kemudian terselubungi oleh suatu cangkang yang
mengeras/menjadi padat (atau ‘carapace’ dalam istilah Burnham). Ketebalan dari zona
yang terlarutkan H2O ini meningkat dengan bertambahnya kedalaman, membentuk suatu
barrier (penghalang) terhadap pergerakan volatil kearah wall rock yang menjadi padat,
dan dengan demikian meningkatkan tekanan uap dalam magma. Pada bagian atas zona
yang terlarutkan oleh H2O pendidihan kedua terjadi, mengarah kepada pembentukan fase
aqueus yang berlimpah (Fig. 3.1B)

Sebagaimana digambarkan pada Fig. 3.1B, energi mekanis yang dikembangkan oleh
tekanan uang yang meningkat mengatasi kekuatan tensil batuan dan juga tekanan yang
berakibat perluasan fraktur dan breksiasi secara cepat (FBx) dari sel kristalin diatas zona
H2O. Akibat lebih lanjut dari proses ini adalah berkurangnya tekanan yang meng-
akibatkan lebih banyak lumeran interstitial H2O meleleh menjadi kristal dan ber-evolusi
kearah fase cair aqueus. Fase cair ini akan mempenetrasi retakan diatasnya, kemudian
memperluas keluar dan keatas oleh retakan hydraulik. Retakan yang hampir vertikal itu
berhubungan dengan medan stress lokal dengan stress vertikal sehingga ekspansi terjadi
pada arah stress prinsip, pada bidang horisontal. Pendinginan yang berlanjut akan
menyebabkan pengunduran S1 ke S2 dan zona terlarutkan H2O pada tingkat yang lebih
dalam dari stok. Jika pelolosan zona yang terlarutkan H2O terjadi pada bagian atas yang
mengatasi penebalan, dimana cairan aqueus dalam jumlah besar biasanya terkumpul,
kemudian akan terjadi pembentukan pipa breksi (BP dalam Fig. 3.1B, C). Lolos dalam
bagian zona larutan H2O yang lebih tipis dan lebih dalam, di lain pihak akan
menyebabkan dyke yang mengandung plagioklas dan hornblend memancar dari bagian
tengah stock yang masih melumer (D2 dalam Fig.1B, C) .Dalam fase yang digambarkan
pada Fig. 3.1B, sitem hidrotermal magmatik telah dikembalikan ke situasi yang mirip
kepada sebelum terjadi fraktur, perbedaannya ialah sekarang zona yang terlarutkan H 2O
terletak pada kedalaman yang lebih jauh. Zona stockwork yang terbentuk selama fase
pendidihan kedua menjadi pulih oleh presipitasi silika. Pendinginan magma lebih jauh
mengarah kepada pengulangan proses yang diuraikan diatas. Pada fase final, suatu sistem
fraktur yang kompleks terbentuk diatas stock. (Fig. 3.1C). dan ini berfungsi sebagai kanal
besar bagi cairan mengandung ore dan panas dari igneous body yang masih mengalami
pendingihan dibawahnya. Bijih mineral terkonsentrasi dalam fase cairan dan diangkut
kedalam jaringan fraktur. Mineralisasi biasanya diasosiasikan dengan aktivitas pulsa
hydrotermal magmatik, dan pulsa terulang yang akan mengarah kepada pembentukan
orebody yang besar. Diperkirakan zona yang terlarutkan oleh H 2O dapat mengembang
sampai 30% ketika ketika kristalisasi sempurna pada kedalaman 3 km tapi tidak lebih
dari 5% pada kedalaman 5 km (Burnahm 1979). Kebanyakan dari sistem hidrothermal ini
terbatas pada bagian atas kulit bumi, dimana batuan bisa menghasilkan dengan fraktur
dan penetrasi air meteorik.

Fig. 3.1.A-C Sistem hidrotermal magmatik yang berhubungan denganpendinginan intrusi porfiri
dengan superstruktur volkanik. Urutan A ke C diterangkan dalam Teks(Setelah Burnham 1979)
Fig. 3.2 memperlihatkan dua tahap sistem hidrotermal magmatik dan masukan air
meteorik dalam setting plutonik type porfiri. Tipikal yang berkaitan dengan sistem
hidrotermal yang telah diuraikan adalah fitur alterasi yang dikenal sebagai potassic,
propylitik, phyllic dan argilic, semuanya telah diuraikan pada Bab 4 dan 10. Selama tahap
magmatik, alterasi potassic dan propylitik (alkali metasomatisme) mendominasi,
sedangkan selama tahap sub sekuen masukan air meteorik metasomatisme ion hydrogen
(alterasi phyllic) mendominasi. Keruntuhan sistem hydrotermal yang didominasi oleh air
meteorik, berakibat pada tahap perembesan (leaching) asam atau alterasi argillic.

3.4.2. System Hydrothermal Meteorik Predominan

Eksplorasi terhadap energi geothermal di daerah aliran panas tinggi memberikan


kontribusi yang besar terhadap pemahaman kami akan proses geologi dan hydrothermal
dalam system geothermal aktif dan sebagai hasil tambahan, pengetahuan kami tentang
proses pembentukan ore. System geothermal aktif dan fossil diasosiasikan dengan
daerah-daerah kegiatan volkanik dan plutonik pada daerah margin konvergen dan
divergen.

Banyak dari penelitian ini yang dilaksanakan di daerah-daerah tersebut difokuskan pada
larutan, transport dan pengendapan material larut dari pelarutan mineralisasi. Banyak
pekerjaan yang dipublikasikan tentang subjek diatas, tapi untuk tujuan bagian yang
sekarang pembaca yang merasa tertarik harap membaca White dkk (1971), Weissberg
dkk (1979), Ellis dan Mahon (1977) dan Henley dan Ellis (1983).

Penetrasi air meteorik dalam kulit bumi melalui zona permeabel kearah bawah
dipengaruhi oleh pendinginan igneous body, berakibat pada interaksi dengan batuan
country yang panas (konduksi), dengan uap, atau langsung dengan cairan magma yang
panas. Air tanah yang panas karena kepadatannya yang rendah, naik kearah permukaan
menciptakan sel-sel konveksi thermal dan juga sistem geothermal. System geothermal
terrestrial berasal dari air meteorik yang tercampur udara dan bersirkulasi kebawah
kearah kedalaman sampai kira-kira 5 km sementara kegiatannya berlangsung selama 10 5
sampai 106 tahun (Henley dan Ellis 1983). Ekspresi permukaan dari system geothermal
ini adalah mata air panas (air yang melarutkan chloride, kaya akan chloride, kaya akan
asam sulfat-bikarbonat), sumber uap panas, geyser, sumber lumpur panas dan fumarol.
System geothermal juga ada di dasar laut, pada gunung api bawah laut dan sekitar
kepulauan gunung api. Bagian 3.7 dari buku ini membicarakan system bawah laut ini
secara agak rinci. Konfigurasi bawah permukaan dari system geothermal ini bervariasi
menurut setting geologi, strukturdan permeabilitas hydrologi yang dominan. Suatu profil
isotherm berbentuk jamur diatas sumber panas dan sel konveksi yang berkaitan yang
dimungkinkan olehnya dilukiskan pada Fig. 3.3, diperoleh dari data sumur di Wairakei di
New Zealand (Ellis dan Mahon 1977). Dinding batuan melalui mana air bersirkulasi
suhunya bervariasi dan mengalami beberapa jenis alterasi yang tergantung pada sejumlah
faktor, termasuk sifat-sifat kimiawi dari perairan. Ellis dan Mahon 1977 menyatakan
bahwa larutan yang dibawa oleh air panas yang mungkin diperoleh dari batuan igneous

Fig. 3.3 Distribusi isothermdiatas sumber panas , suatu pola ideal dari sirkulasi kon-vektif. H
sumber panas; C Selkonvektif; R recharge; D discharge (Setelah Ellis dan Mahon 1977)

yang mendingin (magmatik), atau mungkin pula mengalami leaching oleh cairan-cairan
melalui interaksi dengan dinding batuan atau keduanya.
Ada sejumlah skenario untuk system geothermal ini. Dengan mempergunakan hasil
penelitian Henley dan Ellis (1983) serta Bogie dan Lawless (1987), kita dapat
mempertimbangkan empat setting dan type yang pokok dari system geothermal, yakni :
(1) Caldera dalam silicic volcanic terranes (2) strato volkano andesitik (3) volkano
dataran tinggi (4) pulau-pulau gunung api.

Fitur- fitur utama suatu system geothermal dalam setting caldera diperlihatkan pada Fig.
3.4. Pengisian kembali (recharge) dilakukan oleh air tanah meteorik dan panas ditambah
volatil, termasuk HCl, CO2, H2O dsb. dipasok oleh system magma yang terkubur. Sel
konvektif (1) dibentuk diatas sumber panas dan terdiri dari air chloride yang hampir
netral pH nya. Pada bagian atas pendidihan dan pemisahan uap terjadi, sehingga zona dua
fase (cairan + uap) hadir di dekat puncak kolom konvektif (2). Perkembangan uap dan
partitioning H2S kedalam fase uap mengakibatkan terbentuknya air sulfat bikarbonat
yang dipanasi oleh uap (3) selain tanah yang beruap dan fumarol (4) diatas zona cairan-
uap dua fase. Aliran langsung air chlorida yang hampir netral membuat sumber mata air
panas yang mendidih (5) yang menyebabkan pengendapan silika (6). Pelarutan dengan air
tanah bisa berakibat mata air panas chlorida yang hampir netral (7), sedangkan
percampuran antara chlorida dalam yang hampir netral dan air asam sulfat yang
terpanaskan oleh uap akan menghasilkan air Cl-SO4 yang teroksidasi.

Suatu fitur karakteristik dari sistem khusus ini adalah situasinya di dalam depresi yang
dibentuk oleh struktur kaldera, sehingga pengisian air kembali lebih atau kurang pada
tingkat yang sama karena pengisian kembali, dengan implikasi penting yang akan
menjadi jelas di kemudian hari. Di dalam system ini, perkembangan breksi hydrothermal
dan sinter adalah sangat umum suatu contoh tipikal adalah system hydrothermal
Waiotapu di zona volkanik Taupo di New Zealand (Hendenquist dan Henley 1985).
Perkembangan silika dan efek penyumbatannya mungkin bertanggung jawab atas
terjadinya erupsi hydrothermal, walaupun pendidihan dibawah sumbat silika dengan
pemisahan dan akumulasi volatil dianggap sebagai penyebab utama (Hendenquist dan
Henley 1985). Walaupun aspek modern system geothermal ini telah dibicarakan secara
menyeluruh di Bab 11, namun demikian cukup perlu untuk menyebutkan disini bahwa
Au dan logam-logam lain diendapkan selama peristiwa pendidihan.

Presipitasi silika dalam system geothermal diasosiasikan dengan setting kaldera, dan
terutama pembentukan sinter-sinter ekstensif (amorphous silica yang terpresipitasi pada
permukaan oleh aliran cepat air panas), mungkin disebabkan oleh dua faktor utama.
Pertama adalah solubilitas quartz pada temperatur equilibrasi antara air dan wall rock
(180o C). Solubilitas quartz meningkat dengan temperatur, dan pada suhu tinggi
solubilitas quartz menurun dalam larutan chlorida dan meningkat dalam larutan alkalin
(Fyfe dkk 1978). Karena itu dengan ekses suhu bawah permukaan 180 o C dan dalam air
chlorida, jumlah silika mengembang dan melebihi quartz, maka terjadilah
presipitasi.Faktor lainnya, yang diindikasikan oleh Bogie dan Lawless (1987) adalah
bahwa air yang keluar dari silika dalam daerah relief rendah akan mencapai permukaan
dan tidak mengalir pada mata air panas, sebagaimana kasus stratovolkano dimana silika
mengalami dispersi dalam perjalanannya.

Di daerah-daerah relief tinggi, disebabkan oleh stratovolkano andesitik yang tinggi, fitur-
fitur system geothermal berbeda dengan yang diperlihatkan pada Fig. 3.5 dan dibicarakan
dibawah.Sel konvektif berlokasi di dalam bangunan volkanik dan mungkin di dasarnya
(1), dan recharge dari system ini adalah dari daerah rendah (2). Relief tinggi yang terletak
ditengah mencegah pengeluaran air yang kaya akan chloride di daerah diatas konvektif.
Bahkan, karena pendidihan dan pemisahan uap serta kehadiran H 2S (3) fumarol dan
aquifer yang terpanaskan oleh uap membentuk cairan asam sulfat yang hadir pada
lereng-lereng gunung api dan daerah kawah gunung api ( 4 dan 5). Di antisipasi disini
bahwa air asam sulfat merupakan penyebab utama acid leaching dan alterasi type argilik.
Juga dikarenakan leaching yang intensif, batuan mengalami alterasi ke residu yang
sering salah diduga sebagai sinter (White dkk 1971). Mata air mengandung chloride
mungkin ditemukan dalam jarak yang cukup jauh (sampai 20 km), sepanjang daerah
kompleks gunung api (6) (Henley dan Ellis 1983). Dalam kasus ini sebagaimana telah
disebutkan sebelumnya, silika nampaknya diendapkan pada perjalanan kearah mata air
chloride , dan sinter agaknya terbentuk pada setting ini. Namun bagaimanapun perkolasi
(perembesan) air asam sulfat dan percampuran dengan reservoir yang hampir netral
diduga mengakibatkan pengendapan silika dan anhydrit diatas reservoir hydrotermal
(Bogie dan Lawless 1987).

Setting ketiga yang dipertimbangkan adalah yang disediakan oleh kompleks volkanik di
daerah ketinggian, misalnya di pegunungan Andes, atau Papua New Guinea bagian
tengah. Ini adalah setting yang dibicarakan oleh Bogie dan Lawless (1987) sebagai type
‘cordileran’. System geothermal ini memiliki fitur-fitur dua type yang disebutkan diatas (
kaldera dan stratovolkano), karena disini bangunan volkanik berlokasi di daerah dataran
tinggi, sehingga recharge berada di tempat yang tinggi dan rendah. Reservoir
hydrothermal dekat ke permukaan, tapi tidak secara lateral dibatasi oleh aliran air
meteorik sebagaimana dalam situasi kaldera (Bogie dan Lawless 1987).Karakteristik dari
sistem ini mungkin berupa adanya maars, karena ledakan phreatomagmatik (interaksi
antara air tanah dengan magma).Disini mungkin merupakan situs vein epitermal yang
penting, juga endapan emas breksi (Sillitoe dan Bonham 1984).

Akhirnya setting pulau-pulau gunung api, kita ambil contohnya Pulau Lihir di Papua
New Guinea (bab 11), adalah kasus daerah pulau yang dibentuk diatas dasar lautan yang
dominan . Fitur prinsip dari sistem geotermal yang terbentuk pada setting semacam ini
diperlihatkan pada Fig. 3.6. Karakteristik utama pada contoh ini adalah hadirnya air laut,
yang antara lain mengendalikan hydrologi system. Penetrasi air laut ke bagian samping
dari bangunan volkanik bawah laut mengakibatkan air tawar mengambang keatas oleh
karena kontras kepadatan (air laut lebih padat). Dengan demikian diperkirakan akan hadir
dua sel konvektif dalam sistem ini, yakni satu sel air tawar (1) pada bagian atas volkano
dengan kepadatan lebih rendah, berlokasi diatas sel cairan yang didominasi oleh air laut
(2) dengan kepadatan lebih tinggi (Colley 1986). Pada umumnya tidak akan terjadi
percampuran pada interface (daerah pertemuan permukaan dua sel), pemanasan yang
terjadi pada lensa air laut dan konveksi akan menyebabkan gangguan dan percampuran.
Ini bisa menyebabkan presipitasi anhydrite di sepanjang zona (3) yang kemudian bisa
menyebabkan pemblokiran terhadap recharge air. Kegiatan tektonik dan pendidihan dapat
memecahkan penyegelan anhydrite dan hidrologi sistem. Fumarol (5) dan mata air panas
(6) hadir dalam kaldera dan lereng struktur volkano.

3.4.3 System Hydrothermal yang didominasi oleh Air panas dan Uap.

Ladang geothermal, sumur yang mengeluarkan air panas maupun uap, tergantung pada
ruangan yang ada antara aliran panas dan tersedianya air dalam system (Ellis dan
Mahon ) Suatu model menerangkan kehadiran system yang didominasi uap dalam system
geothermal, sebagaimana yang ada di Larderello di Itali dan The Geysers di California,
yang dipresentasikan oleh White dkk (1971). Para penulis ini menyatakan bahwa
dominasi uap mengurangi permeabilitas akibat pengendapan mineral. Dengan lain
perkataan, suatu penurunan dalam air recharge mengakibatkan lebih banyak air
‘dididihkan’ dari pada yang dapat digantikan oleh input. Secara artifisial, ini dapat
dirangsang di daerah geothermal dimana sumur-sumur menyedot air panas dapat
digantikan oleh recharge alam.

Anatomi dari reservoir geothermal yang didominasi oleh uap, menurut White dkk (1971),
juga diuraikan disini. Di atas zona konvektif transfer dilakukan oleh air termal (air asin),
ada reservoir yang didominasi oleh uap yang melarutkan gas-gas lain (H 2S, CO2, dsb),
dimana aliran panas disebabkan terutama oleh konduksi. Reservoir yang didominasi oleh
uap cenderung mengalami migrasi ke bawah sebagai kelebihan air pori-pori. Kanal –
kanal aliran air tanah dari celah-celah kamar hidrotermal selalu mengalami penyempitan
oleh presipitasi mineral (terutama chalcite anhidrite). Reservoir yang didominasi oleh uap
akan melepaskan keatas kearah zona kondensasi, dimana mineral lempung terbentuk dan
cenderung untuk menyumbat pori-pori dan kanal. Namun demikian bagian dari
kondensasi ini mungkin akan bergerak keatas atau kearah permukaan sebagai mata air
panas mengandung belerang, atau mungkin membentuk kolam lumpur panas. Tambahan
lagi, uap dari reservoir yang didominasi uap, mungkin akan lepas langsung dan
membentuk fumarol – solfatar. Pendidihan yang terus-menerus dibawah reservoir yang
didominasi uap akan cenderung menghasilkan konsentrasi material terlarut selama proses
mendidih. Pendidihan air asin juga cenderung menghasilkan uap yang sangat panas
sehubungan dengan air murni pada tekanan yang sama.

Ini akan mengakibatkan air asin menjadi agen yang sangat efektif untuk transfer panas
dan massa, karena uap akan mendidih dari air asin mengalami pemanasan luarbiasa
sampai beberapa derajat, tergantung pada peningkatan dan konsentrasi zat terlarut.
Aquifer yang mengalami pemanasan oleh uap penting artinya bagi eksploitasi energi
geotermal dan untuk pembentukan endapan logam mulia.

3.4.4. Mata air Panas, Danau lumpur panas, Geyser, danau Crater dan Fumarol

Transfer panas dan pelarutan material melalui aqueus dan cairan mengandung gas dalam
daerah volkanik dimanifestasikan di permukaan sebagai mata air panas, fumarol, danau
lumpur panas dan geyser. Bagian ini secara singkat menguraikan fenomena permukaan
tersebut. Uraian yang lebih rinci bisa dijumpai dalam buku-buku tentang volkanologi,
seperti yang ditulis Williams dan McBirney (1979) juga dalam buku lama yang ditulis
oleh Rittmann (1962) , Ellis dan Mahon (1977) yang menyajikan data geothermal
modern. Bagian yang didepan telah membicarakan dua type mata air panas, yakni mata
air panas sulfat – asam dan chloride hampir netral. Type lain termasuk air termal yang
kaya akan karbonat dan bikarbonat. Analisa sebagian tentang air termal diperlihatkan
pada Tabel 3.1

Mata air panas asam-sulfat ditandai oleh pH yang rendah, karena oksidasi H 2S ke H2SC4
dan biasanya rendah dalam chlorida, sementara pemancaran mengandung HCl mungkin
juga ada. Disamping H2S, air thermal ini diperkaya oleh volatil lain (CO2, NH3, B)
disamping volatil logam seperti Hg, As, Bi dan Sn. Air thermal asam sulfat dibentuk oleh
kondensasi uap ketika naik melalui rekahan-rekahan dan fissures pada temperatur
dibawah 400o C (Ellis dan Mahon 1977). Telah diterangkan sebelumnya bahwa mata air
panas asam-sulfat terjadi lebih sering pada lereng volkanik dari pada di cekungan,
kaldera. Mata air panas diasosiasikan dengan fumarol dan danau lumpur.
Tabel 3.1. Analisis partial dari mata air panas dan kolam termal.Semua nilai diberikan dalam ppm .
Data dari berbagai sumberyang diterbitkan oleh Ellis dan Mahon (1977). (Crater Lake, NewZealand
(2) Kamchatka, Rusia (3) Rotokaua, New Zealand,(4) Champagne pool, New Zealand, (5) Nevado del
Ruiz, Columbia(Setelah Sturchine dkk. 1988)

Elemen 1 2 3 4 5

Li 1,6 - 7,8 10,8 3,01


Na 740 1010 990 1070 523
K 79 88 102 102 68,2
Rb 0,4 - - 1,1 -
Cs 0.1 - - 2,7 -
Mg 1030 10 11,3 0,4 4,28
Ca 1200 64 11 26 30,5
Fe 900 0,0 - - 0,02
F 260 0,8 <1 6.6 0,56
Cl 9450 1684 14.33 17.0 772
Total SO4 10950 83 520 26 38
Total CO2 - 32 144 55 189
Total SiO2 852 160 340 - 193
Total B 13.8 39 45 21.9 15.1
Total NH3 11 - 1.6 0.7 -
Total H2S - - 0.2 1.8 -
o
C - 100 65 99 92
pH 1,2 8,4 2,5 8,0 7.0

Air termal alkalin chlorida memiliki ditandai dengan kehadiran Na, K, chloride , silika ,
bikarbonat , fluoride, ammonia, As, Li, Rb, Cs dan senyawa boric. pH-nya, walau
biasanya mendekati netral, dapat berkisar dari 5 sampai 9 (Ellis dan Mahon 1977). Mata
air panas biasanya ditemukan di setting kaldera, karena kolom konvektif berada dekat
permukaan tanah.

Air termal yang kaya akan karbonat

Air termal kaya akan karbonat biasanya ditemukan di daerah yang didasari oleh batuan
‘calcareous’ Travertine adalah sinter CaCO3, pengendapannya disebabkan oleh eksolusi
CO2 dari air ketika mencapai permukaan. Endapan travertine terdapat cukup berlimpah di
daerah Latium, Itali bagian tengah, dari mana nama tersebut berasal (Lapis tiburtina).
Karena sifatnya yang ringan dan berpori-pori, travertine sangat bagus dijadikan material
bangunan, banyak dimanfaatkan oleh bangsa Romawi. Air yang memiliki kandungan
chloride rendah juga mungkin mengandung bicarbonat di daerah yang mengandung uap
H2S dan CO2 Diperkirakan uap ini mengalami kondensasi kedalam aquifer (Ellis dan
Mahon 1977). Bikarbonat terbentuk oleh reaksi dalam dinding batu.

Danau Crater

Danau bukan hal yang langka di daerah krater dari gunung-gunung api tidur. Air dari
danau crater ini menyerap panas dan volatil yang dipancarkan oleh dasar danau. Volatil
yang terlarut serta komponen-komponen lain merembes dari batuan, termasuk CO2, HF,
HCl, NH3, S, Ca, Na, Al, Mg, K, Fe, Si, cenderung terakumulasi di antara erupsi gunung
api yang terjadi.
Tabel 3.2. Komposisi rata-rata fumarol di Larderello, Itali (Rittmann 1962)

g/kg

H2O 955.5
CO2 42,6
H2 0.88
H3BO 0,30
NH4 0.30
CH4 0.15
H3 0.04

Fumarol

Fumarol terbentuk dimana influx (gerakan) dari air tanah kecil dan uap lolos dari
permukaan tanah. Dalam kenyataan sering terjadi bahwa fumarol berubah menjadi mata
air asam sulfat dan kebalikannya, sejalan dengan tingkat fluktuasi air tanah apakah
musiman atau karena alasan lain. Solfatar dan fumarol dengan kandungan H tinggi, tapi
seringkali istilah solfatar dan fumarol dipergunakan dengan saling bertukar tempat. Ellis
dan Mahon (1977), mendefinisi bahwa uap fumarol yang berasal dari magma dan tidak
melalui air panas.Type uap fumarol biasanya mengandung HCl, CO 2, H2S, SO2.Uap
solfatar didefinisi oleh mereka sebagai uap yang mendidih dari reservoir geotermal
bawah tanah, sebagaimana diuraikan sebelumnya. Keduanya mungkin mengalami
kondensasi di air permukaan (Ellis dan Mahon 1977). Temperatur uap yang memancar
bervariasi dari 90 sampai 300o C.Pelapisan mineral disekitar lubang-lubang dan saluran
adalah umum terdapat, termasuk sublimat dan senyawa yang terbentuk oleh reaksi volatil
dengan dinding batuan.Produk–produk lain chlorida logam alkali termasuk ferric
chloride, sulfat logam alkali dan Ca, bersama traces senyawa Cu, Mn, Pb, Zn, As, Hg, Sn.
Fumarol di gunung Vesuvius ditemukan mengandung PbCl2, FeCl3, CuCl2 dan disertai
galena, hematit, covellit dan bahkan pyrit dan kalkopirit yang terbentuk oleh reaksi
dengan H2S dan H2O. Ammonium chloride (NH4Cl) mungkin ditemukan cukup
berlimpah dan biasanya dapat dieksploitasi secara ekonomis. Juga bisa dieksploitasi
misalnya belerang alam, yang terbentuk karena oksidasi H2S, menurut :

2H2S + O2 = 2H2O + 2So;


2H2S + SO2 = 2H2O + 3So;

Boric acid, yang juga dikenal sebagai sassolite [B(OH)3], diekstraksi dari fumarol di
Larderello di Tuscany.Sassolite juga ditemukan di crater gunung api di pulau Eolia. Asal-
usul elemen B di padang fumarol Larderello yang luasnya mencapai 200 km 2, mungkin
berhubungan dengan penguapan sedimen. Komposisi rata-rata dari fumarol Larderello
dituangkan pada Tabel 3.2.
3.5. Sistem hidrotermal dibawah dasar laut;

Kegiatan hidrotermal di lingkungan dasar laut disekitar gunung api bawah laut dan pulau-
pulau gunung api adalah sangat umum. Di lingkungan ini air laut mempenetrasi melalui
fraktur-fraktur diatas dan disekitar kamar magma, menjadi terpanaskan dan naik kearah
dasar laut, dimana terjadi pengeluaran mata air panas di sepanjang fraktur dan lubang-
lubang. Dengan cara ini sistem konveksi hidrotermal terjadi. Cairan hidrotermal
mengalami serangkaian reaksi dengan dinding batuan, mengekstraksi logam-logam dan
menyebabkan alterasi. Kegiatan hydrothermal pada spreading center bawah laut adalah
pada skala yang begitu besar sehingga dalam waktu cukup panjang diperkirakan bahwa
perubahan mineralogis teramati, dalam apa yang dikenal sebagai asosiasi spilit –
keratophyre dari daerah orogenik, sebagai akibat metamorfisme regional (lih. Turner dan
Verhoogen 1960 hal. 258).

Dalam waktu 15 tahun terakhir, penelitian terhadap dasar laut dengan mempergunakan
kapal selam telah mengarah kepada penemuan – penemuan yang mencengangkan para
ahli ilmu pengetahuan. Penemuan itu antara lain bukti nyata tentang mata air panas yang
mengendapkan bijih mineral dalam lembah-lemah gunung api dasar laut , juga adanya
ekosistem yang tidak terduga serta organisme-organisme terkait. Dalam konteks bagian
ini, hasil-hasil penelitian diterbitkan oleh para tim peneliti -- terutama dari AS dan
Perancis- telah menerbitkan secercah cahaya dan menyediakan pemahaman yang lebih
besar tentang proses pembentukan ore hidrotermal. Pemahaman ini mungkin merupakan
‘alat’ terpenting untuk dipergunakan dalam eksplorasi geologi, dan terutama dalam riset
tentang identifikasi endapan logam dasar dan logam mulia di daerah-daerah dimana
catatan geologik mengindikasikan kegiatan mata air panas dalam lingkungan bawah laut.
Yang cukup relevan secara khusus diantara kontribusi yang diberikan pada bagian ini
adalah pengumpulan karya tulis yang diedit oleh Rona dkk (1983) dan peninjauan oleh
Rona (1984). Acuan lain tentang masalah ini diberikan pada Bab 12, dimana proses
hidrotermal dan pengendapan ore di lingkungan dibawah dasar laut diteliti dan
dibicarakan. Bagian yang sekarang ini berkepentingan dengan geometri sirkulasi
hydrothermal dilingkungan diatas, sebagaimana disarikan dari penelitian-penelitian
sistem modern dan purba. Terutama mengemukakan tentang sistem hidrotermal di
gunung api bawah laut, di spreading ridge dekat ke massa daratan di pulau-pulau gunung
api dan di konstruksi volkanik bawah laut sebagaimana diakui untuk apa yang disebut
endapan bijih type kuroko.

3.5.1. Sistem Hidtrotermal di Spreading Center

Sistem hidrotermal yang berasal dari spreading center, dimana di cekungan – cekungan
kecil (marginal basins), di gunung api bawah laut telah dikenal dalam catatan geologi
sebagai pulau yang timbul. Walaupun bab 6 membicarakan secara lebih spesifik topik
ini, cukup tepat untuk mencatat disini bahwa untuk beberapa alasan pengenalan tentang
sistem hidrotermal bawah laut bukanlah sesuatu yang sederhana. Ini karena kulit bumi
didasar lautan cenderung mengalami kerusakan pada batas pelat konvergen, sehingga
hanya bagian ‘tectonic slices’ dan fragment yang akan selamat tertanam di dalam
campuran litologi yang mengalami tektonisasi tinggi. Dalam beberapa kasus, selama
proses tektonik yang dikenal sebagai ‘obduction’, seluruh bagian dari kulit bumi bawah
laut mengalami preservasi, sehingga meningkatkan kemungkinan memiliki sistem
hidrotermal yang terawetkan atau bahkan endapan ore. Proses preservasi menyeluruh
dari kulit bumi bawah laut atau ophiolit, lebih jauh karena kedalaman erosi dan juga usia
medan dimana hal itu terjadi.

Geometri dari sistem hidrotermal di lingkungan bawah dasar laut telah diteliti oleh Lister
(1983), Sleep (1983) dan Taylor (1983), mempergunakan tekanan geologis, fisik dan
isotopik yang stabil. Penetrasi air laut melalui kulit bumi bawah laut menghasilkan
sistem konvektif yang telah dicontohkan terjadi sebagai aliran dalam retakan yang tak
kelihatan, atau sebagai aliran dalam media yang berpori-pori. Pengeluaran aliran balik
terjadi di lubang-lubang terlokalisir, atau cluster vents, dan sifatnya episodik dengan
umur yang sangat pendek (biasanya hanya beberapa tahun). Diperkirakan bahwa massa
total dari air yang lolos melalui sistem lubang selama kira-kira 10 tahun dalam satu
daerah adalah kira-kira 3 x 1010 kg, atau satu kubus air dengan sisi 300 m (Sleep 1983).
Suhunya sekitar 350o C. Bukti-bukti menunjukkan bahwa air laut bersirkulasi dan
berinteraksi dengan batuan oceanic pada kedalaman 5 dan 10 km, dengan ketinggian
keseluruhan air banding batuan dan temperatur mencapai 500o C. Dalam suatu media
yang berpori-pori aliran cairan diperkirakan bersifat dispersif dan dengan kecepatan
pelan, sehingga satu paket cairan bergerak secara lateral atau vertikal dan bercampur
dengan cairan yang tertahan dalam pori-pori. Sleep (1983) menyatakan bahwa ada sedikit
bukti-bukti dari percampuran ini dan karenanya aliran cairan agaknya terjadi melalui
retakan-retakan dan fraktur. Namun bagaimanapun dalam kasus kulit bumi dibawah laut
yang terlapisi oleh sedimen yang berasal dari tanah, porositas diperkirakan memiliki arti
penting sebagaimana akan dibicarakan kemudian. Penetrasi air laut kedalam batuan
panas mungkin terjadi menurut Lister (1983), oleh pendinginan dan keretakan karena
kontraksi termal. Suatu ‘front keretakan’ mengalami kemajuan kearah bawah cukup cepat
(beberapa meter dalam setahun), sehingga mendinginkan sejumlah besar batuan dalam
waktu relatif singkat. Diperkirakan bahwa proses keretakan memiliki temperatur
bervariasi dari 700 sampai 450o C. Front yang mengalami keretakan ini memisahkan
daerah yang lebih dingin diatas daerah batuan panas dibawahnya. Retakan skala halus
dari batuan panas sangat mungkin menjadi fitur yang penting bagi perembesan bijih
logam karena retakan yang halus mengekspos suatu daerah yang sangat luas per unit
volume, memungkinkan interaksi substantial antara cairan dan batuan. Juga, presipitasi
fase mineral dan penyegelan/penyumbatan dari kanal dan sistem lubang menjelaskan
umurnya yang pendek dan pembukaan lubang-lubang baru.
Fig. 3.7.A. Sistem hidrotermal pada poros ridge dan diluar poros, feeding vents di dasar laut
(Setelah Sleep, 1983) B. Sistem hidrothermal diatas dandibawah sisi kamar magma gunung api di
lautan.Lihat teks untuk mendapatkan keterangan lebih lanjut (Setelah Taylor 1983)

Geometri sistem hidrotermal yang disederhanakan di tengah daerah gunung api bawah
laut di zona axial dan off – axis diperlihatkan pada Fig. 3.7A. Pengeluaran melalui
lubang-lubang yang diperkirakan memberi umpan pada zona fraktur, sementara recharge
(pengisian kembali) terjadi disepanjang rekahan karang didekat zona aksial. Sirkulasi air
laut dalam kulit bumi bawah laut dicontohkan atas dasar pemetaan medan dan isotop
stabil bagi ophiolit Samail di Oman (Taylor 1983). Fig. 3.7B menunjukkan geometri
sistem hidrotermal yang digambarkan pada model ini. Dua sistem sirkulasi dianggap bisa
diterima. Sistem yang lebih tinggi berlokasi diatas kamar magma yang berbentuk perahu
dibawahnya dan meluas keatas dari poros ridge. Sistem yang lebih atas terletak dalam
bantal lava dan sektor dyke dari kulit bumi, dan ditandai oleh permeabilitas lebih tinggi
dan rasio tinggi air/batuan. Sistem hidrotermal yang lebih rendah berlokasi dibawah
sayap-sayap kamar magma sebagaimana diperlihatkan pada gambar, dan diatas zona
ultramafik yang mengalami tektonisasi. Yang belakangan ini mungkin membentuk
fraktur yang membentuk motif tektonik dan mengalami infiltrasi oleh carian yang turun.
Kedua sistem biasanya dalam ekstensinya tidak saling bersentuhan, kecuali pada porsi
yang lebih distal, dimana percampuran dari keduanya bisa terjadi (Fig. 3.7B).Sistem
dibawahnya ditandai oleh temperatur lebih tinggi dan perbandingan air/batuan yang lebih
rendah. Variasi δ1δ O melalui kulit bumi bawah laut Samail mengindikasikan bahwa
pengayaan dan penurunan 1δO menandai lapisan atas dan bawah , mencerminkan aksi
dari dua sistem hidrotermal, walaupun ‘penuaan isotopik’ yang dihasilkan oleh dampak
tertunda dari alterasi hidrotermal mungkin cenderung menutupi variasi isotopik ini
(Taylor 1983).
Suatu model sistem geotermal dibawah dasar laut diusulkan oleh Bischoff dan
Rosenbauer (1989). Pada model ini penulis memakai istilah ‘lapisan konveksi difusif
ganda’ dimana lapisan air asin mentransfer panas dan melarutkan konstituen ke sel
konvektif bagian atas yang didominasi air laut (Fig. 3.8A, B). Ide tentang lapisan
konveksi difusif ganda’ adalah, setidaknya dalam teori, telah dipergunakan untuk
menerangkan fitur tertentu dari diferensiasi magma (lih. Huppert dan Spark 1984; Irvine
dkk 1983). Geometri dibawah dasar laut yang dihubungkan dengan sistem dua lapisan
sebagaimana yang digambarkan oleh Bischoff dan Rosenbauer (1989; Fig.3.8A) terdiri
“sel-sel konveksi berlapis” dimana sel yang lebih rendah dibentuk oleh air garam yang
mengalami daur ulang secara terus-menerus dan berlokasi diatas front retakan. Sel air
asin bawah ini menarik panas dan komponen yang terlarutkan dengan bersirkulasi
melalui batuan plutonik, dan mentransfer panas dan bagian dari zat terlarut ke sel
konvektif atas air laut diseberang interface diffusif (Fig. 3.8 B) Ketika sel bagian atas
mencapai temperatur 360oC, lalu naik mendobrak lubang-lubang ke dasar laut. Proses ini
dipergunakan oleh penulis untuk menerangkan variasi salinitas dari cairan yang keluar
dari lubang-lubang. Cairan asin dari lubang-lubang lebih rendah diyakini berhubungan
dengan pendidihan dari air garam bagian bawah yang berakibat dengan pelarutan cairan
atas melalui transfer dari uap yang miskin akan larutan ke dalamnya. Dengan demikian
lubang-lubang dengan salinitas rendah akan secara bersamaan dengan daerah sel-sel air
garam beraliran kebawah , sementara lubang-lubang dengan salinitas tinggi akan sejalan
dengan zona sumuran air garam tinggi.

Fig. 3.8.A, B. Model sitem geotermal dibawah dasar laut. A. Penampang melintang dari kulitbumi di
dasar laut dan sel-sel konveksi yang terkait: IC Selair asin bawah; B Detail model konveksi dobel –
difusif; sel bawah(IC)transfer panas dan pelarut ke sel bagian atas (UC) yang mengeluarkan
di dasar laut. a’ batuan basalt; garis vertikal lembatan dyke:
Sebegitu jauh kami telah mempertimbangkan sirkulasi dari air laut yang terpanaskan
dibawah ‘interface’ batuan-air laut. Namun bagaimanapun sirkulasi cairan ore didalam
massa lautan diatas lubang-lubang hidrotermal mungkin memiliki arti sangat penting
dalam istilah proses genesis ore.Type sistem hidrotermal yang tidak umum ini disebut
‘plume’, yang karena arus bawah biasanya mengalami displacement ke sumber
dibawahnya. Plume ini adalah cairan hidrotermal terlarutkan yang naik keatas lubang-
lubang dan dapat dideteksi dengan temperaturnya yang memiliki anomali dalam
hubungan dengan air laut yang mengelilinginya. Pemindaian dengan peralatan sonar
mengindikasikan bahwa plume dapat dideteksi sampai 80 m diatas lubang emisi,
sedangkan displacement lateralnya terdeteksi sampai 50 m jauhnya. Fig. 3.9 menggam-
barkan suatu plume hidrotermal yang mengalami inklinasi kira-kira 40 o diatas lubang
(vent) bawah laut.(Lonsdale dan Becker 1985). Partikel sulfida dari plume ‘black
smokers (Bab 12) mungkin mendiami sekitar ‘venting area’ untuk membentuk suatu
‘apron’ material sulfide. Hukum Stokes mempengaruhi velositas pengendapan partikel-
partikel dalam media cairan. Velocity ini proporsional terhadap perbedaan kepadatan
antara cairan dan partikel, pada radius partikel, gravitasi, dan secara terbalik proporsional
terhadap viscosity cairan. Secara umum dapat diperlihatkan bahwa untuk ketinggian
plume kira-kira 50 m., partikel sulfida akan mendiami dengan radius berkisar antara 50
sampai 250 m dari plume (Cathles 1983). Biasanya akumulasi sulfida substantial hanya
dapat terbentuk dalam kondisi tenang, seperti yang ada dalam daerah depresi dan tidak
terpengaruh oleh arus bawah. Dalam skala global, arus laut yang menginduksi pergerakan
lateral dari plume diindikasikan oleh distribusi asimetris, sehubungan dengan poros
gunung dari sedimen metalliferrous. (Fe dan Mn oksida) pada dasar laut. Juga distribusi
yang mengalami displacement He isotop dalam air laut diduga merefleksikan emisi dari
lubang-lubang hidrotermal diatas poros gunung.(Edmond dan von Damm 1983).

Fig. 3.9. Displacement plume hidrotermal dibawah laut. dst.

Besshi-type adalah nama komprehensif yang diberikan kepada suatu kelas endapan
mineral hidrotermal yang ditandai oleh sulfida masif yang terendapkan pada sedimen
terrigenous yang mengalami interkalasi dengan batuan mafik dari kemiripan lautan.
Kondisi geologis ini diduga mewakili suatu situasi dimana ‘spreading center’ terletak
didalam suatu lengan samudera yang sempit di antara pulau-pulau yang muncul
didekatnya, dimana sejumlah besar sedimen klastik terlepas dan cenderung untuk
menenggelamkan batuan basaltik. Contoh modern dari situasi khusus ini adalah Teluk
Kalifornia, dan fossil yang equivalen dengan sabuk amfibol Matchless di Namibia dan
endapan sulfida yang terkandung (lih.. Bab 12 dan referensinya). Dasar laut cekungan
Guaymas di teluk Kalifornia telah diteliti dengan sonar scan dan kapal selam oleh
Lonsdale dan kawan-kawannya (Lonsdale dkk. 1980; Lonsdale dan Becker 1985). Di
teluk Kalifornia menyebar pegunungan bawah laut dan faults yang terkubur didalam
lumpur dan silt (Fig.3.10). Disepanjang bagian yang memanjang lebih dari 120 km,
terdapat lebih dari 100 situs hidrotermal yang terdeteksi oleh sonar scan. Pada satu
endapan telah diambil sample dengan pengeruk dan dijumpai mengandung sulfat
(anhydrite dan barite), talk, kalsit, pyrrhotite, sfalerit kalkopirit dan galena , semuanya
terbasahi oleh kondensat minyak bumi hidrotermal (Lonsdale dan Becker 1985).
Akumulasi berlumur lumpur di cekungan Guaymas ini ternyata kaya akan karbon-
plankton, dan mengalami keretakan oleh panas cairan hidrotermal untuk membentuk
hidrokarbon.Survey yang dilakukan oleh tim Lonsdale mengindikasikan bahwa intrusi
terdangkal magma terkubur dalam sekitar 400 m sedimen. Dari sistematika mineralogis
dan isotop, Lonsdale dan timnya menyimpulkan hadirnya tiga sistem hidrotermal dengan
kekuatan yang berlainan .Satu ditandai oleh pengeluaran air pori-pori menyertai intrusi
ambang mafik dangkal. Cairan yang keluar bertemperatur rendah (kira-kira 100oC).
lainnya adalah sirkulasi hidrotermal yang berkedudukan di kedalaman yang men-
dinginkan kamar magma. Cairan ini dikeluarkan dengan temperatur tinggi melalui
fraktur pada ambang yang dibawah. Type ketiga disebabkan oleh konveksi air didalam
sedimen diatas ambang pendingin, yang memasok energi termal yang diperlukan.
Pengeluaran bertemperatur tinggi mungkin terdorong oleh kamar magma kira-kira
selebar 1 km dengan panjang antara 3 sampai 4 km.

Intrusi ambang mafik ke dalam sedimen lautan yang sangat berpori-pori (Einsele dkk.
1980) berakibat pada penurunan porositas diatas dan dibawah ambang (sill), yang men-
dorong air keluar dari sana. Segera setelah terjadi temperatur pada kontak sedimen sill
mengalami kenaikan menjadi maksimum 400oC, dan air pori-pori di daerah itu dapat
mencapai titik didih. Jumlah air pori-pori yang dikeluarkan menyertai intrusi sill bisa
cukup banyak: misalnya pada satu daerah seluas 2 km 2 yang mengalami intrusi oleh sill
dapat mengeluarkan kira-kira 40 x 106 m3 air pori. Air yang terpanaskan kemudian akan
diset ke dalam gerakan konvektif yang difasilitasi permeabilitas tinggi dari sedimen
diatas zona reduksi porositas.Cairan hidrotermal kemudian dapat disalurkan kesepanjang
fault dan dikeluarkan sebagai mata air panas pada interface air dan sedimen.

3.5.2. Sistem hidrotermal dalam Volcanic Center Bawah laut

Kegiatan fumarol di dasar laut sekitar struktur volkanik atau bagian bangunan volkanik
yang berada didasar laut, merupakan ekspresi sistem hidrotermal volkanogenik bawah
laut. Terpisah dari manifestasi type kegiatan dewasa ini – sebagaimana yang ada di pulau
Santorini (laut Aegea, Smith dan Cronan 1983), dan Vulcano (laut Tyrrhenia, Honnore
1969)- catatan geologik dari sistem hidrotermal ini diwakili, setidaknya dalam beberapa
kasus, oleh endapan ore type kuroko. Setting tektonik dan sifat – sifat umum endapan ini
dibicarakan pada Bab 6 dan 11. Disini akan merupakan tambahan untuk mengatakan
bahwa endapan mineral type kuroko berasal dari epitermal, terbentuk dalam kaldera
bawah laut pada setting area yang berjurang. Sebagaimana kasus endapan epitermal sub-
aerial, endapan type kuroko agaknya terbentuk selama tahap akhir dari perkembangan
kaldera, melalui kegiatan mata air panas dan fumarol yang terjadi di sepanjang sisi-sisi
kubah rhyolitik dan depresi dasar laut. Sistematik isotop yang stabil biasanya mene-
gaskan bahwa cairan ore kuroko mempunyai komponen yang terbesar air laut, dan
interaksi air laut dari pori-pori dengan batuan vulkanik dan sub vulkanik yang panas
membentuk sistem konveksi hidrotermal. Kegiatan hydrothermal type kuroko diduga
ditandai oleh pulsa yang singkat dan sangat kuat (dalam waktu beberapa ribu
tahun).Pencontohan sistem hidrotermal kuroko telah dilakukan oleh Ohmoto dan Rye
(1974), Pisutha – Arnond dan Ohmoto (1983) dan Cathles (1983). Fig. 3.11 mem-
perlihatkan model sirkulasi hidrotermal konvektif di sekitar intrusi rhyolitik dangkal .
Model ini yang didasarkan pada yang dilakukan Ohmoto dan Rye, mengakui adanya per-
campuran dengan air connate dan magma.

Model yang sangat menarik dan merupakan rincian, dibantu oleh komputerisasi
dilakukan oleh Cathles (1983) untuk sistem geotermal bawah laut, dengan acuan kepada
situasi kuroko. Dalam pekerjaannya ini Cathles mempergunakan serangkaian kalkulasi,
bersama dengan data geologi, geokimia dan isotopik untuk memaksa pendinginan
konvektif pada body intrusif kecil, aliran cairan terkait disekitarnya dan perubahan dalam
sifat – sifat kimia dan isotopik dari cairan maupun batuan. hasil dari modeling ini
dilaporkan di sini. Penulis mulai dengan mempertimbangkan hubungan antara ukuran
intrusi igneous dan massa total dari cairan hidrotermal yang dapat dikonveksikan dengan
energi termal. Suatu formula sederhana dipergunakan untuk mengekspresikan hubungan
ini :
Fig. 3.11 Model skematik sistem hidrotermal dalam setting Kuroko (Kaldera Bawahlaut) Lihat
teks untuk penjelasannya. Gambar didasarkan pada model oleh Ohmoto dan Rye (1974)

Mw = Mi Ci/Cw ln Tn/T.

dimana Mw mewakili massa cairan hidrotermal yang bersirkulasi, , Mi massa intrusi, Ci


kapasitas panasnya (cal/g/o C), Cw kapasitas panas air,Tn perbedaan permulaan dalam
temperatur antara body igneous dan lingkungan sekeliling, dan T adalah perbedaan
temperatur setelah pendinginan sampai tingkat tertentu (mis. 300o C).Jika suatu pluton
pada temperatur 700o C terintrusi pada kedalaman 4 km, dimana temperatur disekeliling
adalah 100oC dan didinginkan sampai 300oC, maka massa cairan yang bersirkulasi adalah
22% dari massa pluton. Jika intrusi adalah pada suhu 1300 oC, suatu massa larutan
hidrotermal yang lebih panas dari pada 300 o C adalah kira-kira 36% dari massa
pluton.Dengan mempergunakan formula diatas, perhitungan Cathles menunjukkan bahwa
suatu intrusi antara 1,5 x 1011 ke kira-kira 1013 ton diperlukan untuk sejumlah sumberdaya
logam diperkirakan pada 4.7 x 106 dcan 4.5 x 106 ton kombinasi logam Cu+Pb+Zn untuk
Noranda (Kanada) dan Kuroko (Jepang). Yang tidak kalah menarik adalah bahwa jumlah
silika yang diendapkan pada permukaan dapat dipergunakan untuk memperkirakan
ukuran intrusi dan jumlah cairan yang terlibat. Mempergunakan contoh dari daerah
Noranda, dimana suatu basalt tersilisifikasi yang mengandung kira-kira 20% silika hadir,
dan dengan memperhitungkan solubilitas silika dalam larutan 300 o C dan volume daerah
yang terpengaruh silisifikasi, Cathles mem-perkirakan bahwa kira-kira 2.3 x 10 15 kg
larutan hidrotermal pada suhu diatas 300o C akan diperlukan untuk memproduksi
silisifikasi ini. Ini akan memerlukan suatu massa igneous kira-kira 1013 pada suhu 700o
C. Sebagai perbandingan, kamar magma kecil (kira-kira lebar 2 km dan tinggi 3 km)
dianggap dalam modeling sejarah pendinginannya dengan sirkulasi konvektif cairan.
Modeling ini (Cathles 1983) mengindikasikan bahwa cairan pada suhu 600 oC harus di
anginkan setelah 5000 tahun sejak peristiwa intrusif, dan sejak observasi oleh black
smoker dan white smoker pada pertengahan gunung api bawah laut memperlihatkan suhu
pendinginan oleh udara kira-kira 350oC, disimpulkan bahwa batuan sangat panas (>
350oC) mungkin cukup impermeable. Permeabilitas jadi merupakan faktor kunci yang
memungkinkan penetrasi air dan mendinginkan body igneous.

Pendinginan konvektif kamar magma lebar 1 km tinggi 3.25 km dengan aliran cairan
diperlihatkan pada Fig. 3.12. Garis aliran dalam gambar ini mewakili geometri ideal dari
sistem sirkulasi hidrotermal. Model ini (Cathles 1983) menunjukkan bahwa mula-mula
gradien temperatur ditinggikan, dan kemudian kembali turun sementara bergerak
kedalam anomali termal yang dibangkitkan oleh pluton.Model juga menunjukkan bahwa
cairan hanya bisa masuk ke massa intrusif setelah mendingin sampai kira-kira 350 oC
dalam waktu kira-kira 5000 tahun. Selama proses pendinginan ini diperkirakan bahwa
lebih dari 8000 ton larutan pada suhu kira-kira 300oC mengalami sirkulasi.Mengingat
panjang cekungan Hokokuro di Jepang yang mencapai 40 km, Cathles memperkirakan
bahwa keseluruhan massa air yang dianginkan berjumlah 3.3 x 1010 ton pada temperatur
diatas 300oC. Kecepatan sirkulasi air melalui seluruh sistem mungkin sekitar 2000 tahun.
Akhirnya pada fig. 3.13, dua tahap utama sirkulasi cairan dan pengendapan ore
dipertimbangkan. Cairan mempenetrasi kedalaman kira-kira 5 km dan membentuk sel-sel
konvektif, satu lebih dekat ke permukaan dan yang lain agak dikedalaman. Selama tahap
pertama cairan yang bersirkulasi dibawah dan ditempat yang lebih dangkal mendobrak
pada interface batuan-air untuk mempresipitasi sulfat. Dalam tahap kedua, kondisi
temperatur yang lebih rendah dan lebih tinggi akan terjadi. Lubang yang terdahulu
mungkin telah tersumbat oleh presipitasi mineral dan cairan akan berada pada lokasi
baru, dimana cairan tersebut akan mengendapkan sulfida massif.

3.6. Sistem Hidrotermal dalam Cekungan Sedimenter


yang berasosiasi dengan rift.

Penelitian terhadap sejumlah besar endapan logam dasar sulfida yang ekonomis selama
bertahun-tahun mengarah kepada sejumlah teori kejadian ore yang membagi komunitas
geologis di seluruh dunia menjadi tiga kamp. Kalangan syngeneticist percaya bahwa bijih
logam mengalami presipitasi dari larutan yang ditransportasi di dalam sistem sungai dan
atau air laut; kalangan epigeneticist mempunyai pandangan yang berlawanan bahwa
kegiatan igneous dan larutan hidrotermal bertanggung jawab atas mineralisasi. Baru-
baru ini kalangan diageneticist menyatakan proses diagenetik sebagai penjelasan bagi
diseminasi sulfida baik stratigrafis maupun yang dikendalikan oleh facies.Tentu saja
kelas endapan mineral yang dikenal sebagai stratiform dan stratabound dimana sedimen
merupakan host-nya, secara alamiah membawa kita menyimpulkan bahwa sedimen pasti
memainkan peranan dalam proses kelahiran ore. Sifat stratiform dari kebanyakan
endapan ini dan hubungan yang dekat dengan batuan sedimen telah membawa kalangan
syngeneticist diatas angin selama bertahun-tahun. Suatu peninjauan historis atas berba-
gai ide tidak diberikan disini , tapi pembaca diminta mengacu kepada tulisan Stanton
(1972), Gustafson dan Williams (1981) dan Dunoyer de Segonzac (1968).

Fig. 3.13 Tahap-tahap sirkulasi cairan hidrotermal dalam sistem kuroko (Setelah Cathles 1983)
Tahap 1: smoker putih bertemperatur rendah, dengan endapan silikadan sulfat dan sulfida yang
menyebar. Anhydrite diendapkan di kedalaman. Tahap 2: smoker hitam bertemperatur tinggi
dengan pengendapan sulfida masif dan menyebar. Satu lubang (vent) kiri tersumbat oleh fase
mineral terpresipitasi. A adalah pandangan menyeluruh, dengan kotak dengan tanda (-) mem-
perlihatkan posisi 1 dan 2 sehubungan dengan keseluruhan sistem.

Dengan munculnya teori plate tectonic dan pernyataan yang menyertainya tentang rift
tectonics, sejumlah ahli geosains yang memiliki pengalaman internasional mulai
mengenal bahwa pandangan tertentu yang diajukan nampak bersifat provinsial, dan
bahwa tidak ada usaha yang dilakukan untuk mengidentifikasi suatu faktor global yang
umum. Large (1981) menyatakan bahwa lebih sering deskripsi dan pandangan yang
banyak dipublikasikan bersifat ‘terbuka terhadap argumentasi semantik yang kurang
menarik. Faktor-faktor yang umum adalah bahwa endapan ini nampaknya berkaitan
dengan kejadian rifting (Raybould 1978), termasuk evolusi insepsi dan geodinamika dari
cekungan sedimenter dalam porsi rift dari kulit bumi , asosiasi mineralisasi dengan fault
yang aktif pada waktu itu, dan pada beberapa kasus kegiatan igneous yang menyertainya.
Penelitian lebih jauh dalam istilah lingkungan tektonik bagi endapan sulfida yang mana
sedimen merupakan host, oleh Sawkins (1990) dan Mitchell serta Garson (1981) terutama
sangat berguna dan menawarkan kepada pembaca suatu perspektif yang jelas. Juga
penelitian oleh Large (1981) yang telah disebutkan, dan untuk suatu pendekatan yang
lain tapi masih relevan dengan bab 14, 15 dan 20, oleh Guilbert dan Park (1986).

Dengan demikian, konsensus yang umum nampaknya menyatakan bahwa larutan


hidrotermal diaktifkan pada berbagai tahap evolusi geodinamika dari cekungan rift.
Cairan hidrotermal mulai terbentuk selama proses diagenetik dan pergerakan air me-
teorik selama pemadatan tumpukan sedimen. Ini diikuti oleh berbagai tahap, dimulai
dengan naiknya cairan di sepanjang retakan (fault) sebagai mata air panas untuk
menghasilkan presipitat kimia dan penggantian pada interface sedimen-air laut, kemudian
lebih jauh akan akan menghasilkan cairan dalam lingkungan metamorfik, sebagaimana
dirinci pada bagian lebih lanjut. Hadirnya satu atau lebih produk-produk sistem
hidrotermal akan tergantung pada tahap perkembangan dan status pengawetan cekungan.
Tulisan yang cukup penting dibuat oleh Unrug (1988), yang akan dikomentari lebih
lanjut dalam bagian ini, memberikan peninjauan yang komprehensif tentang mineralisasi
di Lufillian Fold Belt di Afrika selatan tengah (lih. Bab 7). Di wilayah ini, Untuk
mencatat berbagai corak mineralisasi (stratiform, vein dan skarn) di dalam kerangka
terpadu yang kurang lebih menggambarkan urutan keseluruhan yang dibicarakan diatas.
Dalam bagian yang mengikuti, beberapa model sistem hidrotermal diusulkan oleh
sejumlah peneliti dan didasarkan pada pengetahuan geologi dewasa ini, disajikan.
Pertama ini merupakan kesempatan untuk menguraikan type-type endapan mineral, yang
asal-usulnya diduga berhubungan dengan sistem hidrotermal yang diaktifkan selama
evolusi struktur rift. Endapan mineral ini termasuk:

Sulfida logam dasar stratiform yang mana sedimen merupakan host-nya: Ini
terdiri dari : (a) Pb-Zn-Ba-Cu-Ag sebagaimana yang terdapat di Mt. Isa,
sungai McArthur, Broken Hill di Australia, Rammelsberg di Jerman,
Aggeneys dan Gamsberg di Afsel, Sullivan di Kanada : (b) Cu-Co + Ag di
1.
DCopperbelt, Zambia, Zaire dan Angola, Witvlei dan Klein Aub di Namibia,
White Pine (USA), Coppermine River (Kanada), Kupferschiefer di Eropa
tengah, Udokan (Siberia).

Stratabound dimana karbonat menjadi host. Ini termasuk Pb-Zn + V dari type
2. Mississipi. Type Alpina dan Irish (mis. Tynagh di Irlandia) dan Pulau
pegunungan Otavi di Namibia
Air asin Laut Merah. Ini bisa jadi analog aktif modern dari beberapa endapan
3.
dibawahnya (1)
Danau-danau di rift Afrika Timur. Akumulasi logam dalam sedimen sistem
4. rift kontinental aktif mungkin juga merupakan analog bagi beberapa endapan
dibawahnya (1).
Akhirnya, bisa jadi disebutkan bahwa endapan seperti Messina di Afrika
Selatan dan Olympic dam (Roxby Downs) di Afsel , mungkin merupakan
5.
varian dari (1). Ini mungkin merupakan ‘missing link’(mata rantai yang
hilang) dengan hubungan magmatik intercontinental , dalam setting ‘rift’.
3.6.1. Sistem Hidrotermal

Penelitian tentang endapan mineral dimana sedimen merupakan host-nya, dan tentang
sistem rift aktif seperti di Laut Merah dan di Afrika timur, mengindikasikan bahwa sistem
hidrotermal bertanggung jawab terhadap pembentukannya. Biasanya anggota penutup
dari sistem ini adalah : (1) diagenetik dengan suhu rendah, air asin metalliferous yang
bergerak secara lateral dalam cekungan sedimenter dan didorong oleh kepadatan rendah
serta gradient geotermal : (2) pengeluaran dengan temperatur tinggi atau mata air panas
yang keluar dari cairan hidrotermal yang naik disepanjang fault graben, untuk
menyembur pada tingkat yang lebih tinggi atau dipermukaan, dan menghasilkan
presipitat kimiawi. Energi termal disediakan oleh intrusi igneous atau oleh mantel dalam
lingkungan penipisan kulit bumi . Percampuran antara dua jenis cairan diduga dalam
banyak kasus (mis. Copperbelt di Zambia). Kita sekarang menduga sistem hidrotermal ini
dalam rincian lebih lanjut.

Selama evolusi cekungan sedimenter, pengeluaran cairan-cairan terjadi sebagai akibat


‘penguburan’ pemadatan dan diagenesis. Perubahan diagenetik mungkin mempunyai arti
penting bagi cairan hidrotermal, dan hubungan harus diingat bahwa batas antara
diagenesis dan metamorfisme yang tidak terungkap secara jelas. Untuk alasan praktis,
diagenesis merupakan proses sedimenter yang terjadi dibawah kondisi fisio-kimia tidak
berbeda dari yang dijumpai di permukaan, sedangkan metamorfisme melibatkan
temperatur dan tekanan yang tinggi. Diagenesis sedimen dan hubungannya dengan cairan
pembentuk ore secara komprehensif diulas oleh Hanor (1979),yang artikelnya banyak
memberikan informasi dibawah ini.

Pengeluaran cairan selama ‘penguburan’ dan diagenesis terjadi sebagai akibat berku-
rangnya porositas dan volume air yang dilepaskan bisa jadi cukup banyak. Rata-rata
suatu ‘shale’ yang biasa saja dapat menghasilkan 3,5 x 10 3 liter air untuk setiap 1 m 3
material padat yang diendapkan (Hanor 1979). Penghitungan volume air yang dapat
dikandung oleh massa batuan tergantung pada masa ‘penguburan’ sebagaimana
penelitian Fyfe dkk (1979). Mereka mempertimbangkan suatu prisma sedimen dengan
tebal 5 km dan sisi 1 km (5 km 3) dengan kandungan air permulaan 50%. Dalam contoh
ini akan terdapat kira-kira 2.5 km3 air garam. Penulis juga mempertimbangkan bahwa
jika suatu elemen mempunyai solubilitas 1 ppm, maka mungkin akan ada 2.5 x 10 15 g x
106 = 2.5 x 109 , atau 2500 ton dari elemen dalam larutan. Komposisi air cekungan
ditandai cekungan sedimenter yang ada. Salinitas akan meningkat dengan kedalaman
cekungan sedimenter , dan ini diterangkan oleh suatu mekanisme filtrasi selaput – suatu
proses dimana sedimen argillaceus memungkinkan lewatnya molekul netral (H2O dan
H2S), sementara mencegah migrasi anion dan kation, menyebabkan konsentrasi
kebawah. Dengan demikian, air yang berada dikedalaman akan menjadi lebih asin dan
kaya akan kation dan anion. Elemen-elemen yang biasanya memperkaya dalam
pembentukan air adalah Pb, Zn, Ba, F, Sr dan S. Yang kemudian ini mungkin berasal
dari reduksi bakterial dari sulfat yang terlarutkan kedalam sulfida selama diagenesis.
Sulfat biasanya dominan dalam kebanyakan pembentukan air, sedangkan H2S umum
dalam pembentukan gas ladang minyak. Di daerah Cheleken (laut Kaspia) dan Mississipi
bagian tengah dimana tidak terdapat bukti tentang kegiatan igneous, air asin memiliki
kandungan logam yang tinggi. Sumber-sumber dari metal mungkin adalah bagian organik
dari sedimen dan/atau mineral silikat dadn karbonat (Hanor 1979). Penelitian Doe dan
Delevaux (1972) tentang komposisi isotopik Pb dalam bijih galena dari Missouri (lih.
Bab 2) mengungkapkan bahwa Pb berasal dari komponen feldspar dari batu pasir La
Motte melalui mana larutan hidrotermal bersirkulasi.

Fig. 3.14 Model dewatering cekungan . Cekungan terisi dengan sedimen turbidit, compaction, dewatering dan
diagenesis menghasilkan cairan mengandung logam yang bermigrasi kearah bagian cekungan yang tinggi dan
kompleks assosiasi karbonat-reef.

Fig. 3.14 memperlihatkan suatu model pergerakan air asin cekungan dalam cekungan
kontinental (Guilbert dan Park 1986). Air asin ditimbulkan oleh diagenesis dan
pemadatan, dan mungkin terpanaskan oleh sumber panas tersembunyi. Air garam ini
bergerak keatas disepanjang sisi cekungan kearah dasar dataran tinggi untuk membentuk
endapan Pb-Zn dari type Lembah Mississipi. Suatu ide cemerlang dikemukakan oleh
Oliver (1966) yang mengemukakan hipotesa bahwa margin sedimen kontinental passive
mungkin mengalami pemadatan, tekanan dan desakan selama keruntuhan tektonik.
Oliver mempergunakan penutupan Samudera lapetus dan keruntuhan Afrika dan Amerika
Utara untuk membentuk Orogen Appalachia sebagai kasus point ini. Selama terjadi
‘thrust’ kearah barat dari berbagai lempengan terhadap pinggiran kontinen, cairan
mengandung garam boleh jadi dikeluarkan dari sedimen terkubur dan bergerak kearah
tanah di sebelah barat. Menurut hipotesa, ‘brine tektonik’ ini bertanggung jawab atas
pengendapan di pola zona regional dari arah timur ke barat, batu-bara, gas, minyak bumi,
dan lebih jauh batuan karbonat type endapan Pb-Zn type Mississipi. (lih. Bab 14 dan 15).
Kasus lain perkembangan dan pergerakan air garam besar-besaran ialah di daerah Orogen
Damara , Namibia dimana sejumlah endapan Cu, Pb, Zn dan V, termasuk Tsumeb yang
terkenal di dunia. Misiewicz (1988) mengusulkan bahwa cairan hidrotermal yang secara
diagenetik berasal dari ‘dewatering’ endapan turbidit dari graben sisi utara Orogen
Damara. Cairan ini dikeluarkan dan selama fase terakhir kompresi orogen bergerak di
sepanjang graben, membentuk front mineralisasi yang panjangnya mencapai ratusan
kilometer. Cairan bergerak karena adanya gradien hidraulik dalam aquifer klastik, di
sepanjang graben dan kearah margin cekungan, mengendapkan mineral dalam pe-
rangkap-perangkap yang berasal dari batuan karbonat dari dataran tinggi utara Orogen
Damara. Contoh mineralisasi jenis ini lebih jauh dibicarakan di Bab. 14.
Suatu mekanisme ‘dewatering’ episodik dari cekungan sedimenter yang meningkatkan
sejumlah pulsa cairan hidrotermal ini dikemukan oleh Sawkins (1984) untuk
menerangkan sifat ‘stacked lens’ dari beberapa endapan Pb-Zn yang memiliki host
sedimen di Australia. Cairan hidrotermal yang diciptakan oleh dewatering episodik
diduga digerakkan oleh kegiatan tektonik misalnya mekanisme pemompaan seismik
(Sibson dkk. 1975) yang akan dibicarakan kemudian (lih. Fig. 3.29). Suatu moda sir-
kulasi tertentu dari sirkulasi sedimen diagenetik air garam metalliferous di cekungan
yang diusulkan oleh Jovett (1986) untuk Kupferschiefer, Eropa tengah.Menurut model
ini, diperlihatkan pada Fig. 3.15, air garam diagenetik membentuk suatu sel-sel konvektif
yang membawa air garam ke bawah kedalam bagian bawah cekungan, di sepanjang sisi-
sisi dasar, dan kembali ke bagian bawah cekungan. Pengendapan logam terjadi dibawah
endapan evaporitik Zechstein, dimana air garam mengendalikan aliran ke cekungan.

Fig. 315. Model sistem hidrotermal untuk endapan Cu-Pb-Zn Kuperschiefer. Sel-sel konvektif
terbentuk di cekungan, dengan cairan (tanda panah) bermigrasi keatas sepanjang sisi dasar dan
berbalik dibawah evaporit Zechstein, dimana terbentuk ore .

Sebagaimana kita telah nyatakan, ada bukti-bukti bagus tentang hubungan spatial antara
type-type mineralisasi dimana sedimen menjadi host-nya, dari daerah kedalaman dan
temperatur yang lebih panas kearah daerah yang lebih dingin dan lebih tinggidari
cekungan sedimenter atau dengan lain perkataan dari endapan yang mempunyai host
shale sampai carbonat. Hubungan spatial ini dikemukakan oleh Large (1981) dan
digambarkan di Fig. 3.16. Susunan spatial dan corak mineralisasi yang ditunjukkan pada
gambar ini menyatakan suatu hubungan yang mungkin ada antara teori diagenetik dan
exhalatif. Pemanasan pada cairan di cekungan oleh sumber energi thermal (mantel?
magmatik?) menciptakan konveksi hidrotermal di bagian kedalaman dari cekungan,
gerakan keatas dan penyaluran cairan disepanjang fault graben atau fraktur lain yang
akhirnya dikeluarkan atau kearah bagian bawah interface sedimen air, dimana akan
terbentuk sulfida presipitat.
Suatu endapan hipotetik sulfida yang mempunyai host sedimen dan zonasi progresifnya
jauh dari titik eksalasi dan fasies epigenetik dan syngenetiknya diperlihatkan pada Fig.
3.17 . Suatu sistem hidrotermal eksalatif yang dibentuk oleh konveksi skala besar
(puluhan km) diusulkan oleh Russell (1978) untuk mineralisasi yang mempunyai host
sedimen di Irlandia. Model ini diperlihatkan pada Fig. 3.18, dan terdiri dari suatu sistem
‘sel-sel galian kearah bawah’ dalam suatu cekungan sedimenter yang ber-evolusi. Sel-sel
tersebut bergerak lebih dalam kearah temperatur yang lebih tinggi, menjadi lebih besar
bersama waktu dan evolusi progresif cekungan, yang memungkinkan fraktur bergerak
kearah bawah sebagai paket batuan dan menjadi lebih rapuh. Dalam model ini ada
setidaknya tiga pulsa besar, atau tahap-tahap kegiatan hidrotermal selama mana terbentuk
logam berlainan yang cukup berlimpah, yang dengan demikian menerangkan paragenesis
mineral teramati dari permulaan Fe-Mn-Zn-Pb ke pertengahan Zn-Pb-Fe-Mn dan ke Zn-
bangunan mineral terdominasi Pb-Cu-Fe-Mn .

Plimer (1985, 1986) menyatakan type berlainan dari ensialic rifting (gagal mencapai
keberhasilan) degassing mantel, dan magmatisme yang berhubungan untuk menjelaskan
perkembangan exhalit kompleks di Broken Hill dan Mt. Isa di Australia. Rincian dari
geologi dan mineralisasi endapan metalliferrous dimana sedimen besar menjadi hostnya
diberikan pada bab 13. Disini, ide-ide Plimer tentang type-type sistem hidrotermal yang
mungkin terlibat dalam penciptaan endapan ini digambarkan. Plimer berargumentasi
bahwa ore body Mt. Isa terbentuk dalam setting rift type aulocogen, dimana air garam
hypersalin membentuk sistem hidrotermal yang terfokus dan dikeluarkan ke dalam
depresi di graben dalam, tanpa komponen magmatik. Pengeluaran air garam terpanaskan
secara periodik terjadi sesuai pendapat Sawkin. Air garam bergerak disepanjang fraktur-
fraktur besar dan fault pada tekanan tinggi. Kebalikannya, skenario Broken Hill
mempunyai asosiasi dengan magmatisme bimodal (mafik-felsik) berhubungan dengan
rifting yang lebih dalam dan lebih berhasil dalam suatu kulit bumi kontinental yang lebih
tipis.Model yang diberikan Plimer mengasumsikan bahwa cairan mantel diperkaya
dengan CO2, F, B, H2, P, Mr, Fe, Pb, Zn, REE naik di sepanjang fault graben dan secara
setempat bercampur dengan air laut (Fig. 3.19 A). Exhalasi bawah laut mengendapkan
sulfida dan exhalit lain mengandung Si, Zn, Mn, Fe, dan mineral yang kaya akan B di
dasar lembah rift.Kedua zonasi regional dan lokal di setting Broken Hill diinterpretasikan
dalam istilah jarak, keatas dan lateral, dari saluran melalui mana cairan hidrotermal
keluar (Fig. 3.19B) Suatu zonasi yang mirip pada skala regional teramati di Namaqualand
(Afsel), untuk endapan mineral exhalatif Aggeneys-Gamsberg. Model Plimer ini
disanggah oleh Wright dkk (1987), yang tidak setuju dengan assosiasi yang diasumsikan
dengan asam volkanik di Broken Hill. Mereka lebih setuju untuk menginterpretasikan
batuan disini dengan sedimen klasik, dan ini mungkin aquifer melalui mana air garam
mengandung logam bergerak selama pemadatan tumpukan sedimen klastik dan berpori-
pori. Migrasi dari cairan disepanjang aquifer dan sepanjang fault cekungan berakibat
pada terperangkapnya cairan dibawah suatu kap impermeable yang berasal dari batuan
pelitic.

Type mineralisasi orogen Pan African Lufillian yang berlimpah dan bervariasi di
Zambia, Zaire dan Angola (lih. Bab 7), telah dijelaskan oleh Unrug (1988) dalam suatu
model sirkulasi cairan hidrotermal yang mengkombinasikan air asin diagenetik Jowett
(1986) dengan cairan yang berkedudukan dikedalaman Model Unrug , walaupun
disanggah oleh Sweeney dan Binda (1989) dan Garlick (1989), dengan anggun
meletakkan ‘Copperbelt’ yang kontroversial dengan daerah yang berdekatan kedalam
suatu kerangka terpadu rift tektonik , evolusi cekungan yang berasosiasi dan
perkembangan cairan hidrotermal. Model ini diringkaskan dibawah (lih. Unrug 1987,
1988). Mineralisasi stratiform Cu-Co-U-Ni-Au (bab. 13) terjadi dekat suatu basis suksesi
stratigrafi yang tebal di Katanga. Juga hadir dalam suksesi type lain mineralisasi,
termasuk endapan skarn dan vein, mengandung suatu logam host seperti U, Au, Ag, Pb,
Zn dsb. Mineralisasi stratiform terpasang didepan folding dan metamorfisme, dan
diketahui bahwa Cu dan Co mungkin terbawa ke dalam cekungan pada tahap akhir
diagenesis. Temperatur dari cairan hidrotermal diperkirakan antara 200 dan 250 oC lebih
tinggi dari pada 100-150o C dari air garam bertanggung jawab atas endapan type Lembah
Missisipi.Air garam dari cekungan tercipta di bagian paling dalam cekungan dan
membentuk sel-sel konvektif yang didorong oleh aliran panas tinggi yang berasosiasi
dengan kejadian rifting yang menciptakan cekungan. Air garam ini mungkin berasal dari
pemadatan dan ‘dewatering’ dari sekuens pelitik dari Kandelungu Bawah (Fig. 3.20).
Gradien termal memaksa sirkulasi cairan dalam aquifer sedimen Roan Group pada bagian
bahu blok dasar. Cairan tersebut kemudian berinteraksi dengan lithologi yang
mengandung sulfide diagenetik primer (terutama pyrite) yang meningkatkan mineralisasi
stratiform. Cairan di Lower Roan group terperangkap oleh unit lapisan tak tertembus
Grand Conglomerat dan mengalir keatas di sepanjang besement highs, dimana cairan itu
mungkin dibalikkan (lih` Jowett 1986) untuk mengalir kembali ke bagian kedalaman
cekungan untuk melengkapi sel konveksi. Pada tahap akhir, metamorfisme, kompresi dan
deformasi sekuens sedimenter menghasilkan kegiatan hidrotermal yang terbaharukan
dalam bentuk cairan yang tercipta oleh metamorfisme. Ini mungkin membentuk
mineralisasi tipe vein yang juga terdapat di daerah ini. Magmatisme alkalin yang ber-
hubungan dengan rift mungkin bertanggung jawab atas mineralisasi skarn.

Akhirnya model sabkha yang menarik yang dikemukakan oleh Renfro (1976) diterangkan
untuk menyanggah ketidak-sesuaian kalangan syngeneticist. Ia mempertahankan bahwa
air tawar yang mengandung logam akan bercampur dengan air laut dicekungan terbatas.
Kondisi teredusir dalam body air terbatas akan menyebabkan logam-logam yang
mengalami difusi dalam pelarutan untuk mempresipitat bersama sedimen yang datang di
dasar laut. Zonasi mineral yang disarikan dari penelitian tambang Copperbelt (Garlick
1961, Fleischer dkk. 1976) diterangkan sebagai zonasi dari pantai ke laut, dengan
presipitasi tembaga sulfida dekat ke pantai (chalcocite-bornite-chalcopyrite) ke Fe
(pyrite) di perairan yang lebih dalam dan perairan anoxic. Kemudian endapan
metalliferous akan diliputi oleh evaporit diatas cekungan yang mengering.Model ini
mengalami dua kekurangan utama(1) logam yang paling mudah larut terjadi dalam posisi
cekungan paling dalam, dan resultan zonasi logam memerlukan bahwa transgresi harus
terjadi, sedangkan dalam kenyataan lithofacies yang melingkupi merefleksikan
sedimentasi regresif, dan (2) lapisan yang mengandung logam meluas ke dalam evaporit
yang berada diatasnya dan kedalam lapisan teroksidasi dibawahnya. Menurut model
syngenetic, perbatasan facies logam harus setajam perbatasan lithofacies. Model sabkha
Renfro (1974) (Fig. 3.21) berusaha untuk menjelaskan hubungan dari beberapa endapan
stratiform ekshalatif dengan lithologi evaporitik , sebagaimana kasus ore body Roan
Antelope di Copperbelt Zambia dan Kupferschiefer di Jerman.
Suatu sabkha adalah batas pantai flat evaporit , suatu tubuh perairan pada satu sisi dan
gurun pasir di sisi lain. Sabkha berbeda dengan suatu pan evaporit normal dalam hal
lingkungan pengendapan yang berada di daratan, sedangkan pan evaporit adalah didalam
laut. Pada sabkha pantai, penguapan air tanah menyebabkan solute diendapkan pada
permukaan subkha. Ini berakibat pada gradien hidraulik dibawah permukaan yang
menginduksi air laut dengan pH tinggi dan Eh rendah mengalir didaratan kearah subkha ,
sementara air meteorik bawah tanah yang memiliki pH rendah dan Eh tinggi mengalir
kearah laut.Fig. 3.21 menggambarkan urutan perkembangan dari regresi-transgresi ke
regresi dan penciptaan sabkha matang disertai dengan presipitasi sulfida, dengan zonasi
yang didiktekan oleh hubungan antara logam dengan sulfur.Mekanisme yang terlibat
diterangkan sebagai berikut. Tubuh air yang berdekatan dengan sabkha subur oleh
tumbuhan algae biru-hijau. Ini cenderung menghasilkan matras algal yang setelah
membusuk menghasilkan banyak H2S, CO2, dan CH4. Karena itu air laut yang mengalir
ke darat kaya akan konstituen ini, sedangkan air meteorik dari angkasa luar membawa
trace Cu, Ag, Zn, Pb dan Fe. Pada saat terjadi transgressi, facies algal akan menggenangi
sedimen gurun yang teroksigen, dan pada waktu bersamaan air laut yang mengalir maju
akan memaksa air meteorik untuk kembali mundur ke daratan.Suatu sabkha incipien
terbentuk ketika supplai sedimen dan subsidence mencapai suatu status mantap, meng-
akibatkan suite evaporit tinggal di sedimen gurun kontinental. Magnesium dari air laut
menggantikan aragonite untuk membentuk dolomit. Selama regresi, matras algal akan
digantikan oleh evaporit sedangkan bagian belakangnya akan terkubur oleh sedimen
gurun. Air tanah meteorik tertarik kembali kearah permukaan oleh penguapan yang kuat,
dan sulfida presipitat menembus melalui matras algal yang membusuk yang memasok
H2S yang diperlukan. Zona logam akan terbentuk dari daratah ke arah laut, sebagaimana
terlihat pada Fig. 3.2.1
3.6.2. Sistem Hidrotermal dalam setting Rift Modern

Air garam Laut Merah

Laut Merah dan garis pantainya merupakan suatu province metallogenik besar dalam
penciptaannya. Menyertai penemuan orisinilnya di tahun 1965 (Pottorf dan Barnes 1983),
kira-kira 17 kolam air garam panas – setidaknya 7 mengandung sedimen metalliferous-
telah diidentifikasi di sepanjang zona aksial dari rift Laut Merah (Fig. 3.22) Sejumlah
besar kejadian Pb-Zn di sedimen tertier terletak di sepanjang pantai timur dan barat
(Dadet dkk. 1970). Lebih banyak lagi endapan mineral hadir dalam daerah umum rift
Laut Merah, dan ini semua berkaitan dengan evolusi geodinamik dan magmatik yang
merupakan bagian penting dari kulit bumi. Daerah laut Merah mengundang perbandingan
langsung dengan sistem rift kuno dan asosiasinya stratabond Pb-Zn-Cu-Ag-Ba dan
endapan logam stratiform. Kolam-kolam air asin panas dan asosiasinya endapan
metalliferrous menunjukkan suatu diversitas besar dalam kimia, temperatur, mineralogi
dan kandungan logam (Fe, Zn, Cu, Ba, Pb, Mn, Ag, Hg, Ga, V). Kolam-kolam ini
berlokasi pada interseksi fraktur kecenderungan timur-timurlaut dan transformasi fault
dengan lembah median zona rift tengah.
Atlantis II Deep merupakan contoh penelitian terbaik dari kolam air garam panas dan
memiliki potensi ekonomis paling tinggi. Ditengarai dengan isobath 2000m, dengan
panjang 14 km dan lebar 5 km. Detail mineralisasi dan geologi Atlantis II diberikan pada
Bab 13. Untuk tujuan sekarang, rasanya cukup dikatakan bahwa dalam Atlantis II Deep,
pengeluaran aktif cairan hidrotermal telah terjadi kira-kira 5 km 3 dari kepadatan stratified
air garam. Suatu lapisan air garam diperkirakan kira-kira tebalnya 150 m dengan salinitas
tinggi dan temperatur lebih dari 60oC. Lapisan atas air garam yang kira-kira tebalnya 50
m, memiliki temperatur kira-kira 50oC, dan mengarah kepada penemuan Deep (Pottorf
dan Barnes 1983); Thisse dkk. 1983). Lapisan bawah air garam berada dalam kontak
dengan sedimen metalliferrous yang bersentuhan dengan batuan basalt. Sedimen ini
diperkirakan mewakili dalam daerah 50 x 106 ton (kering bebas garam) pada 3.4% Zn,
1.3% Cu, 0.1% Pb, 54 g/t Ag dan 0.5 g/t Au. Konfigurasi sistem hidrotermal pada Deep
digambarkan pada Fig. 3.23.
Sistematik isotop mengisyaratkan bahwa cairan hidrotermal berasal sebagai air laut
paleo, yang merembes melalui endapan evaporit pada bagian bahu dan dasar cekungan
rift. Perembesan mineral evaporit (anhydrite dan halite) berakibat pada salinitas tinggi
pada cairan. Air paleo dipanaskan oleh aliran panas tinggi lokal dan dengan kandungan
Cl memerlukan potensi kompleks logam.Ketika air ini mengalami kontak dengan basalt
resen dalam poros zona rift, akan mengalami pemanasan sampai sekitar 250 o C dan
mengeluarkan logam dari lapisan basalt.Cairan hidrotermal meng-alami konveksi keatas,
dimana setidaknya dua macam cairan dapat diidentifikasikan pada bagian ini sebagai
sistem sirkulasi. Cairan (1) dangkal dan relatif mengalami oksidasi, dan dengan
temperatur lebih rendah dari 250oC dan kadar garam tinggi.Cairan yang bersirkulasi lebih
dalam (2) semakin tereduksi mempertahankan temperatur kira-kira 330 o C, juga salinitas
tinggi (Potter dan Barnes 1983).

Setelah melalui lapisan basalt, cairan discharge pada Deep dan percampuran terjadi.
Tidak terdapat lubang/vents hidrotermal – seperti di East Pacific Rise – nampaknya hadir,
mungkin karena konstruksi vent dicegah oleh hadirnya sedimen lumpur lunak yang
terperangkap dalam kolam. Cairan hidrotermal kemudian dikeluarkan ke dasar laut
dimana presipitat metal sulfida, sulfat dan silikat. Flux yang termodifikasi dan lebih
dingin terus naik keatas kearah batas kepadatan dengan air garam di bagian atas, dimana
Fe dan Mn oksida akan mengalami presipitasi.

Fig. 3.24. Sistem Hidrotermal lembah danau rift , model danau Kivu.Air meteorik 2. Sel konvektif 3.
Mata-air panas mengandung logam. Danau inimengalami stratifikasi dengan lapisan
airteroksigenkan di atas, zona anaerobik di ke-dalaman (Setelah Robbins 1983).

Mata air panas dan Endapan Metalliferrous di


Danau-danau sistem rift Afrika Timur

Aliran panas tinggi, mata air panas dan kehadiran senyawa organik dan logam menandai
banyak danau di rift kontinen Afrika Timur. (Fig 3.22). Penelitian atas danau-danau ini
telah membawa Degens dan Ross (1976) menyimpulkan bahwa periode kegiatan
hydrothermal tinggi bersamaan dengan periode curah hujan tinggi, sehingga logam
mengalami leaching dari batuan melalui mana cairan panas merembes, dan bahwa cairan-
cairan ini membentuk sel-sel konvektif yang didorong oleh panas vulkanik. Pengeluaran
air garam panas dan larutan metalliferrous ini telah diteliti di Danau Kivu, danau Magadi
(Eugster 1969, 1986; Degens dan Kulbicki 1973); Degens dan Ross 1976) dan danau
Bogoria (Renaut dkk. 1986). Suatu tinjauan tentang kegiatan hidrotermal dewasa ini di
danau-danau rift diberikan oleh Robbins (1983). Fig. 3.24 menggambarkan type sirkulasi
hidrotermal yang berasosiasi dengan lembah danau rift di Afrika Timur ( Robbins 1983).

Diperkirakan bahwa sekitar 60.000 ton Cu 270000 ton Pb dan 60.000 ton Zn
terakumulasi di danau Kivu dalam waktu 5000 tahun terakhir (Degens dan Kulbicki
1973). Sulfida terbentuk karena reaksi ion logam dengan biogenik H 2S. dan logam seng
terbawa dalam larutan, bergabung dengan S untuk membentuk spherul ZnS yang
mengalami presipitasi pada dasar danau. Robbins (1983) mencatat bahwa butiran yang
mirip chalcocite dilaporkan dari shale Nonesuch berasosiasi dengan endapan stratiform
White Pine di Michigan (sistem rift Mid Continent). Discharge mata air panas di dasar
danau yang diduga berasal dari air meteorik yang merembes melalui batuan volkanik,
dipanaskan dan bercampur dengan emisi CO2 volkanik serta gas-gas lain seperti H2, N2,
H2S dan CH4 (dua yang terakhir ini mungkin berasal dari biogenik). Konsentrasi tinggi
Na dan Cl dari air danau mungkin dikendalikan oleh input hidrotermal ke dalam danau.
Sedimen danau Kivu diperkaya dengan Mo, V, Pb, Zn, Cu, B dan F. Konsentrasi dua
elemen terakhir terutama tinggi (B + 200 ppm, F dari 0.1 sampai 0.6%), dan asal-usulnya
diperkirakan dari discharge hidrotermal. Fluorine mengalami presipitasi sebagai fluorite.

Danau Magadi adalah suatu danau ephemeral alkaline, dimana endapan NaHCO 3 ,
Na2CO3, 2H2O, mineral magadiite hadir (NaSi2)O3(OH)3.3H2O). Presipitat magadiite
dapat dipisahkan disepanjang strike kedalam cherts (microcrystalline silica), dan Eugster
(1969, 1986) mengusulkan bahwa Na mengalami leaching oleh air tanah mengarah
kepada penggantian magadite oleh chertz. Ia juga berpendapat bahwa penggantian ini
dalam lingkungan alkaline dari danau rift mungkin suatu mekanisme bagi asal-usul
pembentukan besi Proterozoic dan kandungan ricbeckit (Na-amphibole). Lapisan-
lapisan fibrous ricbeckit yang juga dikenal sebagai asbestos biru (crocidolite), mungkin
terbentuk oleh reaksi magadiite dengan mineral kaya akan Fe. Eugster juga melaporkan
hadirnya gel Na-Al-Si dalam danau. Mata air panas di danau Magadi memiliki
temperatur kira-kira 86o C dan diperkaya dengan Na, HCO3, Cl, K, SO4, F, SiO2, P dan
B. Total dissolved solid (TDS) nya berkisar antara 10,000 sampai 35,000 ppm. Ling-
kungan danau Magadi telah dibandingkan dengan beberapa urutan evaporitik dalam
catatan geologik, seperti formasi Duruchau di Namibia dan shale HYC dari sungai
McArthur di Australia.

Danau Bogoria (Renaut dkk.1986) yang terletak di graben dalam di rift Kenya, adalah
danau air garam dan alkaline yang dipasok oleh aliran air permukaan dan kira-kira 200
mata air panas di sepanjang pantai dan di dasar danau. Perairan danau mengandung Na,
HCO3 dan Cl, dengan konsentrasi silika yang bervariasi. Temperatur lebih rendah (34-48 o
C) dari mata air panas memiliki konsentrasi larutan kira-kira 1.0 g/l tapi dengan SiO2 dan
F, Na dan HCO3 yang signifikan.Mata air bersuhu tinggi (64-98.5oC) memiliki
konsentrasi larutan yang tinggi (dari 4-15 g/l) dan memiliki komposisi Na-HCO3-Cl juga
dengan SiO2 dan F.Disini juga diyakini bahwa air mata air merupakan air tanah atau air
danau yang merembes melalui fissures dan dipanaskan oleh gas-gas volkanik panas
(terutama CO2). Endapan mata air terdiri dari travertine dan tanah, terbentuk akibat
pengeluaran CO2 dari larutan jenuh. Travertine terbuat dari aragonite dan calcite yang
rendah akan kandungan Mg, dan gundukan yang ada diselimuti oleh algae stromatolite
yang berumur 4000 tahun. Silika opalite terbentuk disekitar kolam-kolam air panas dan
disertai oleh larutan silika koloid putih susu dan silika gel. Presipitat lain termasuk silikat
Na, seperti magadiite dan fluoride. Alterasi hidrotermal dari batuan sedimen dan lava
oleh air alkaline panas adalah biasa, dan ditandai oleh hadirnya pyrolusite, silika opalin ,
quartz, anatase, smectite dan illite serta zeolite.

3.7. Sistem Hidrotermal yang berasal dari


Metamorfik dan Kulit bumi.

Penelitian di lapangan dan la boratorium terhadap medan metamorfik di seluruh dunia


mendemonstrasikan secara jelas bahwa cairan dalam kulit bumi memainkan peranan yang
sangat penting dalam reaksi tektonisme maupun metamorfik. Generasi cairan dalam
metamorfisme juga penting dari titik pandang metallogenik , karena cairan-cairan ini
memiliki kecenderungan bermigrasi kearah daerah yang lebih dingin dimana cairan
mungkin terfokus dalam kendali lokal secara struktural atau litologik, membentuk kelas
endapan mineral hidrotermal yang dibicarakan pada Bab. 15. Pada bagian ini kita
mengamati asal-usul dan pergerakan cairan, dan konfigurasi sistem hidrotermal yang bisa
terbentuk selama sekuen metamorfisme atau batuan. Ada bukti – secara langsung maupun
tidak langsung- bahwa volatil dan konstituen mobile lainnya , setidaknya sebagian,
terjadi selama metamorfisme dan bergerak melalui kulit bumi. Suatu program pemboran
dalam di Rusia dan Jerman telah mengkonfirmasi secara pengamatan langsung maupun
secara geofisik kehadiran pergerakan skala besar cairan di dalam kulit bumi pada
kedalaman beberapa kilometer. (lih. Kremenski dan Ovchinikov 1986). Asal-usul, sifat
dan pergerakan cairan di kulit bumi dibicarakan oleh Fyve dkk (1978). Di antara hasil
penelitian yang relevan dengan topik bagian ini adalah yang dilakukan oleh Norris dan
Henley (1976), Etheridge dkk (1983), Fyfe dan Kerrich (1986) , dan Fyfe (1987),
terhadap mana para pembaca mengacu.

Beberapa dari situasi geologik dimana cairan dari kulit bumi mungkin berasal dan
bersirkulasi keatas untuk membentuk sistem hidrotermal yang mampu merembeskan,
mengangkut dan mengendapkan elemen ore adalah (1) daerah-daerah metamorfisme
regional prograde dan (2) daerah-daerah runtuhan dan tektonik thrust. Sebagaimana
halnya semua sistem hidrotermal, suatu sumber panas dan fase cairan diperlukan. Fase
cairan berasal dari reaksi devolitisasi metamorfik walaupun sejumlah ahli geosains
percaya bahwa pada beberapa lingkungan metamorfik kontribusi cairan mantel mungkin
juga ikut menentukan. Energi panas yang perlu untuk menginduksi reaksi dehidrasi pada
tubuh batuan dapat dipasok melalui sejumlah sumber yang berfungsi secara sendiri
maupun bersama dalam periode waktu tertentu. Sumber-sumber ini mungkin termasuk
juga intrusi granitik skala batholith, diapir mantel dalam zona krusial penipisan dan
rifting, atau melalui penempatan oleh tektonik thrust atas kulit bumi yang panas diatas
batuan yang lebih dingin. Pengangkatan yang cepat dengan peningkatan isotherm sampai
500o C diatas kurang dari 10 km permukaan juga bisa merupakan sumber panas yang
penting, untuk mana tidak ada kegiatan igneous yang perlu hadir (Craw dan Koons
1988).Harus dicatat bahwa panas radioaktif tidak dipertimbangkan cukup untuk memasok
cukup energi untuk menggerakkan reaksi dehidrasi (Fyfe dkk. 1978)

3.71. Metamorfisme, Metasomatisme, Dewatering


dari sekuen batuan dan generasi cairan.

Metamorfisme dapat didefinisikan sebagai “perubahan menyeluruh pada bahan dan


komposisi body batuan yang terjadi dibawah permukaan bumi, tapi tanpa campur tangan
silikat yang meleleh” (Best 1982, hl. 343). Proses metamorfik dapat bersifat endotermik
(panas dipasok ke sistem dari sumber eksternal), atau eksotermik (panas dievolusi oleh
sistem). Kebanyakan reaksi dehidrasi endotermik, dimana reaksi hydrasi meliberasi
panas. Metamorfisme juga dapat isochemical, jika batuan metamorfosen mendapatkan
komposisi originalnya tanpa kehilangan atau mendapatkan tambahan material. Metaso-
matisme adalah proses dimana ada transfer substantial (tambahan atau kehilangan)
material dalam body batuan, yang berakibat dengan perubahan signifikan dalam
komposisi kimiawi (Best 1982; Bab 8). Metasomatisme memerlukan banyak cairan
menginfiltrasi dan berinteraksi dengan tubuh batuan. Pada diskusi ini proses endotermik-
metamorfik dipertimbangkan.

Sekuen batuan sedimenter mungkin mengandung banyak cairan aquaeus dalam pori-pori
dan fraktur. Kebanyakan air ini yang asalnya dari air garam, terdorong keluar selama
pemadatan dan kompresi tektonik. Pergerakan air garam ini dalam cekungan sedimenter,
dan sebelum terjadinya metamorfisme mungkin mengarah kepada perkembangan sulfide
temperatur rendah dan mineralisasi oksida dalam perangkap struktural menaikkan
mineralisasi yang dikenal sebagai type lembah Mississipi. (lih. Bab 14). Selama proses
‘penguburan’ dan metamorfisme pro grade, temperatur dan tekanan yang meningkat
mengaktifkan reaksi dehidrasi yang melepaskan air dan volatil lain dari bagian lattice
mineral pembentuk batuan. Material dan mineral bertanggung jawab bagi produksi cairan
selama metamorfisme bersama dengan reaksi representatif yang dibicarakan pada Bab.
15. Kalkulasi yang menimbulkan teka-teki oleh Fyfe dkk (1978) mengindikasikan bahwa
suatu rata-rata aluminous pelite akan kehilangan 2.7% air sesuai beratnya selama transisi
dari biotit isograd menjadi K-feldspar isograd. Ini akan sejalan dengan sebuah danau
dengan kedalaman 300 meter (1) diatas suatu kolom batuan pelitik yang tebalnya 5 km.
Cairan ini bersama air connate tertahan dalam tumpukan batuan setelah pemadatan
permulaan dan konsekuen kehilangan permeabilitas didistribusikan dalam rongga pori-
pori, batas butiran dan mikrofraktur.

Spesies cairan yang dominan dalam lingkungan metamorfik adalah H2O, CO2, CO, H2,
Cl, F, S, CH4, NH3, gas-gas bertekanan lemah, dan hidrokarbon. Pelepasan cairan selama
metamorfisme sedimen (batuan pelitic dan karbonat), dan batuan mafik telah diteliti oleh
Fyfe dkk (1978)., yang mempublikasikan kurva pelepasan cairan untuk sedimen pelitic
dan batuan mafik. Pada umumnya batuan sedimen mengandung hidrat dan mineral yang
mengandung volatil, seperti lempung, mika dan karbonat.Cairan yang melepaskan kurva
pada Fig. 3.25 mewakili batuan pelitic pada empat geoterm yang berlainan, dan
menunjukkan bahwa kuantitas cairan yang dilepaskan adalah suatu fungsi kadar
metamorfik dan gradien geotermal. Juga untuk pelepasan cairan sedimen pelitic
merupakan suatu proses yang terus-menerus dengan pelumeran partial yang akhirnya
terjadi di dekat kurva pelumeran granit. Untuk fase yang murni, sebagaimana bangunan
kaolinite + quartz, pyrophyllite akan mula-mula terbentuk, diikuti oleh dehidrasi
sepenuhnya kyanite dan quartz. Dalam kasus ini dehidrasi ditandai oleh pulsa-pulsa tajam
dari pelepasan cairan, kebalikan dengan pelepasan terus-menerus dengan peningkatan
temperatur dan tekanan bagi pelarutan zat padat mineral batuan pelitic.

3.7.2. Tekanan Cairan, Porositas Metamorfik, Barier impermeable


dan Fraktur Hidraulik

Dalam hal sistem tertutup, volume pori yang terisi cairan akan direduksi selama
kompresi, dan tekanan akan terjadi di sepanjang alur batas dengan konsekuensi
penumpukan tekanan dalam cairan yang mengisi pori-pori. Dampak total dari tekanan ini
akan melawan tekanan eksternal, yang perlu dikurangi.

Tekanan efektif kemudian akan mewakili perbedaan antara tekanan dalam praktik dan
tekanan cairan pori-pori (Phillips 1986). Walaupun dapat diharapkan bahwa tekanan
hidrostatik dari cairan pori meningkat sesuai kedalaman, peningkatan linear dianggap
sederhana oleh Fyfe dkk (1978), yang menarik perhatian adalah contoh semburan
mendadak dari air garam dan minyak mentah sampai beberapa puluh meter di udara dari
lubang pemboran, yang mendemonstrasikan bahwa cairan-cairan tersebut pasti berada
dibawah tekanan yang sangat tinggi.

Pergerakan cairan-cairan dalam kulit bumi berhubungan dengan permeabilitas batuan.


Permeabilitas merupakan parameter yang mengukur tingkat aliran cairan melalui suatu
satuan daerah dalam satuan waktu, melalui gradien tekanan dan secara terbalik
proporsional terhadap viscositas cairan (hukum Darcy). Jika tekanan cairan pori-pori
melebihi tekanan yang tertahan di dalam dan kekuatan tubuh batuan, maka peretakan
hidraulik akan terjadi dan permeabilitas akan meningkat.

Kekuatan suatu batuan, atau tekanan diferensial maksimum (σ1-σ3) yang dapat bertahan
dalam situasi spesifik, berhubungan dengan temperatur, tekanan yang tertahan, tekanan
cairan dan waktu (Fyfe dkk. 1978), Kekuatan teoretis batuan dimodelkan oleh Griffith
(1924), yang mempunyai keyakinan bahwa cacad mikroskopik yang terbentuk secara
elliptik terjadi secara acak dalam suatu material homogen dan isotopik. Jika suatu stress
mikroskopik dikenakan mikrostress terjadi dekat puncak flaw (tanda-tanda
kerusakan/cacad) elliptik , dan jika poros panjangnya tegal lurus terhadap stress prinsip
yang terkecil, maka flaw akan menyebar sampai fraktur terjadi.. Secor (1968)
memurnikan model dengan menerima bahwa cacat berhubungan dengan saluran kapiler
yang berisi cairan. Jika perambatan terjadi, suatu cacad akan mengalami peningkatan
dalam volume dan tekanan cairan pada pori-pori mengalami penurunan , sementara
cairan didalam retakan-retakan disekitarnya tetap tidak terpengaruh sehingga suatu
gradien terjadi dan cairan mengalir melalui pipa-pipa kapiler dan mempercepat
perambatan. Menurut Fyfe dkk. (1978), tekanan mikro ini dapat begitu tinggi sehingga
memecahkan ikatan atom material yang tidak cacat dan keretakan akan merambat. Teori
ini didemonstrasikan dengan eksperimen foto-klastik (Fyfe dkk. 1978 hal. 200).

Sifat porositas dalam lingkungan metamorfik dipertimbangkan oleh Etheridge dkk (1983)
dalam istilah batas butiran dan struktur deformasi. Nampaknya cairan akan menetap
dalam tubules, gelembung boundary dan selaput tipis. Etheridge dkk (1983) menekankan
bahwa mikrofraktur , tubules dan gelembung di sepanjang perbatasan butiran sangat
efektif dalam porositas metamorfik, karena cenderung membentuk jaringan yang saling
berhubungan. Struktur deformasi, di lain pihak termasuk mikro-retakan yang dapat
merambat dari cairan pada batas butiran, porositas yang timbul dari reaksi mineral
(misalnya dekarbonisasi), dan struktur makroskopik seperti foliasi dan zona shear. Yang
terakhir ini merupakan kanal utama bagi cairan. Kecenderungan mengambang sebagai
respons terhadap gradient termal , bersama dengan gradien tekanan cairan lokal, berarti
bahwa cairan cenderung bergerak di sepanjang struktur ini (Fyfe dan Henley 1973,
Etheridge dkk. 1983).

Impermeable barirers mungkin mempunyai pengaruh penting terhadap tekanan cairan


pori dan pergerakan cairan connate dan/atau metamorfik di dalam tubuh batuan. Dalam
suatu urutan sedimenter, lapisan-lapisan shale atau evaporite dapat membentuk
impermeable barrier yang efisien. Impermeable barrier juga terbentuk di sepanjang zona
percampuran antara cairan metamorfik panas yang timbul dan air meteorik dingin yang
turun. Percampuran diantaranya menginduksi presipitasi fase mineral dan menjadi
penyumbat di sepanjang zona interface (Cox dkk. 1986), Fyfe dkk (1978) menciptakan
model perubahan tekanan cairan pori diatas dan dibawah lapisan impermeable pada
kedalaman 5 km, dalam suatu bagian kulit bumi setebal 10 km. Mereka memper-
timbangkan bahwa dalam bagian tersebut kulit bumi yang terletak dibawah lapisan
impermeable (diantara 5 dan 10 km), cairan-cairan berada dalam sistem tertutup, dan
akan cenderung bermigrasi keatas sampai tekanan cairan dalam batuan dibawah dan yang
berdekatan dengan barrier meningkat setara dengan tekanan vertikal total. Dibawah
kondisi ini cairan-cairan akan terkumpul dalam daerah-daerah tekanan vertikal rendah
dibawah barrier untuk membentuk suatu body mirip kolam. Digambarkan bahwa barrier
akan dipecahkan oleh fraktur hidraulik, dengan fraktur meluas melalui bagian atas dari
sekuen batuan (lih.juga Cox dkk. 1986). Fraktur hidraulik akan terjadi ketika tekanan
cairan (Pґ) melebihi atau setara dengan kekuatan tensile (T) dan tekanan prinsip terkecil
(σj): Pr > σj + T, dan diperlihatkan pada Fig. 3.26 , sikap fraktur merupakan fungsi dari
medan tekanan lokal. Jika impermeable barrier yang lain hadir dalam sekuen batuan,
sebagaimana biasanya, masing-masing barrier akan menyebabkan peningkatan tekanan
cairan dalam sistem tertutup dibawahnya, diikuti oleh fraktur dan akumulasi cairan
diatasnya.

Secara ringkas, akumulasi cairan dibawah impermeable barrier akan berakibat pada
tekanan yang meningkat dan lolosnya cairan melalui frakturing hidraulik dan melalui
zona fault dan shear. Peningkatan permeabilitas dan/atau frakturing pada zona
impermeabilitas oleh tekanan tinggi cairan dalam presipitasi fase mineral dan penurunan
tekanan. Pengendapan mineral akan terjadi dalam penyumbatan fraktur, dengan demikian
pembentukan kembali zona impermeabilitas sehingga siklus akan terulang lagi (Cox dkk.
1986).

3.7. 3. Sistem Hidrotermal Metamorfik

Etheridge dkk (1983) mengembangkan suatu model, yang secara skematik diperlihatkan
pada Fig. 3.27, dari suatu sel hidrotermal konvektif berskala besar di daerah
metamorfisma prograde regional. Para penulis ini menggarmbarkan bahwa sirkulasi
carian aktif terjadi diatas suatu sumber panas besar, sebagaimana diwakili oleh suatu
mantle diapir misalnya, yang menciptakan suatu daerah pelumeran kulit bumi. Diatas ini,
lingkungan metamorfik mungkin terbagi ke dalam dua zona. Zona bawah mengandung
sirkulasi yang kurang aktif, sedangkan zona atas, sejalan dengan tingkat atas tumpukan
metamorfik , akan terpengaruh oleh cairan konveks yang lebih aktif. Batas antara zona-
zona ini bisa sejalan dengan batas facies metamorfik seperti amphibolite sampai
greenschist. Zona-zona sirkulasi air metamorfik yang tertahan dibawah kap yang kurang
permeable, diatas mana lingkungan diagenetik dimana sirkulasi air meteorik predominan.
Kap ini diduga terbentuk oleh penyumbatan, karena presipitasi fase mineral pada
interface di antara dua sistem hidrotermal (meteorik dari atas dan metamorfik panas dari
bawah) dalam suatu perilaku yang mirip dengan yang terjadi, mungkin dalam skala yang
lebih kecil, dalam sistem epitermal. Kap yang ‘kurang permeable’ mungkin akan
dipecahkan oleh cairan metamorfik bertekanan lebih besar dengan hidro frakturing,
sebagaimana telah dibicarakan sebelumnya. Juga cairan mungkin tersalurkan melalui
‘ductile’ ke ductile zona shear, dimana endapan mineral akan terbentuk.

Model pada Fig. 3.27 tidak begitu berbeda dengan yang diajukan oleh Fyfe dan Kerrich
(1984) untuk menerangkan mineralisasi emas obiquitous yang hadir di medan
greenstone-granite Archean. Model itu mengakui dewatering ekstensif dari metalavas
‘basah’ dan metasedimen oleh metamorfisme prograde yang dipicu oleh intrusi batholith
granitik. Model ini memurnikan versi oleh Boyle (1979), yang mengusulkan
pengembangan fasies metamorfik prograde dari amfibolitik sampai greenschist, dengan
pergerakan concomitant CO2, H2O, S, As dan Au dari suatu front dehidrasi di depan
suatu sumber energi termal besar , misalnya suatu intrusi granodioritik. Fig. 3.28
memperlihatkan suatu sketsa kombinasi dari model-model ini. Penyempurnaan lebih
lanjut dari model yang diusulkan oleh Fyfe (1987) yang mempertimbangkan masukan
energi termal karena pembentukan plat bawah kulit bumi kontinental oleh lumeran
mantel. Model Fyfe ini mempunyai implikasi metallogenik yang menarik, diterangkan
oleh penulis ini sebagai berikut.

Pembentukan plat bawah (underplating) kulit bumi kontinental oleh lumeran mantel
memungkinkan asimilasi dengan komponen kulit bumi, termasuk sabuk batu hijau
(greenstone belts). Dengan demikian adalah mungkin memiliki material yang kaya akan
logam terlibat dalam pemanasan dan degassing CO2, H2O, dan S dari batuan
greenstone.Elemen ore dapat dengan mudah ditransport keatas oleh volatil-volatil ini.
Pembentukan plat bawah pada dasar kulit bumi oleh lumeran mantel mengakibatkan
anomali termal besar. Ini akan mengarah kepada pelumeran sebagian dari kulit bumi
bagian bawah, pembentukan magma asam-menengah dan timbulnya pluton-pluton pada
kulit bumi lapisan atas sampai kedalaman kira-kira 5 km. Degassing metamorfik akan
menyertai intrusi. Fyfe (1987) memperkirakan bahwa jika batuan schist hijau yang mula-
mula hadir, dengan kandungan air kira-kira 4%, maka akan mengalami pemanasan
menjadi fasies amphibolit dengan kandungan air kira-kira 1%. Jika total volume dari
zona yang terpengaruh adalah 1000 km3, maka air yang berevolusi dari kejadian
pemanasan adalah sekitar 100 km3.Cairan ini berada dalam keadaan salinitas rendah dan
didominasi oleh H2O-CO2. Studi tentang inklusi cairan pada beberapa endapan emas
hidrotermal yang berasosiasi dengan medan metamorfik menerangkan hal ini.
Keseluruhan dari model-model ini sedikit banyak menerangkan fitur umum dan asosiasi
spatial dari kebanyakan endapan emas di tanah Archean dengan batuan metamorfik dari
amphibolite sampai fasies schist hijau, juga susunan umumnya disekitar aureoles pluton
granitik, sebagaimana pada kasus sabuk greenstone Barberton di Afrika Selatan.
Metasomatisme CO2 skala besar yang berasosiasi dengan zona sabuk greenstone juga
dimasukkan ke dalam model ini. Skenario Archean adalah, untuk dipertimbangkan
dalam pemahaman lain dari sistem yang disebut belakangan. (Proteozoik dan
Phanerozoik ). Dua aliran pemikiran yang mendominasi suatu debat tentang asal-usul dan
perkembangan sistem hidrotermal pada permulaan tahap sejarah geologis bumi, pada
konferensi Bicentennial Gold ’88 di Melbourne , Australia. Aliran pertama yang dominan
di Australia berargumentasi bahwa peranan utama bagi cairan metamorfik dan/atau asal-
usul mantel. Cairan-cairan ini mengalir ke atas, merembes, mengangkut dan
mengendapkan emas dan logam-logam lain di daerah fasies greenschist – amfibolik
dalam zona high strain. Aliran kedua, yang kebanyakan lebih banyak terdiri dari
ilmuwan Kanada, mempertahankan hubungan spatial dan genetik mineralisasi dengan
intrusi felsik.Dalam kedua kasus, nampak jelas bahwa kebanyakan endapan emas
hidrotermal Archean secara struktur dikendalikan dan mempunyai hubungan dekat
dengan zona shear dan fault. Endapan emas berhost-kan turbidite Post – Archean juga
mempunyai asosiasi kuat dengan zona metamorfik fasies greenschist –amfibolit dan
dengan pemecahan struktural besar pada kulit bumi dan yang dalam kenyataan punya
banyak kesamaan dengan Archean, yang dibicarakan pada Bab 15.

3.7.4. Jejak-jejak Cairan : Fault, Zona Shear dan Thrust Fault

Pergerakan cairan metamorfik dalam massa batuan didapatkan dan ditingkatkan oleh
permeabilitas. Permeability tergantung pada dan karena type batuan, fraktur, foliasi, zona
shear dan faults. Bidang yang terjal (mis. foliasi) akan merupakan jalan bagi migrasi
cairan, dan yang terutama sangat penting artinya adalah struktur mirip pipa-pipa yang
terbentuk pada interseksi dari dua bidang. Menurut Norris dan Henley (1976), gerakan
cairan metamorfik selama dehidrasi tumpukan metamorfik mungkin karena ekspansi
termal dari air dan frakturing hidraulik. Mereka menekankan peranan pengangkatan post
– orogenik dari sekuen batuan bagi ekspansi termal dan transfer cairan keatas dan
disepanjang sistem fraktur besar. Cairan metamorfik yang bersirkulasi terutama
disalurkan melalui jalan-jalan yang ditentukan oleh zona breksi, cataclastic atau
mylonitik yang berasosiasi dengan fault besar atau pecahan struktural. Pengaruh type
batuan mungkin juga memiliki arti penting, baik dalam istilah porositas primer atau
karena peningkatan porositas sekunder karena metamorfik atau proses lain. Fitur
struktural beesar seperti faults, zona shear dan thrust mungkin merupakan jalan/saluran
yang terpenting – setidaknya dalam istilah pengendapan ore – bagi pergerakan dan
pemusatan cairan hidrotermal. Pergerakan cairan skala besar diduga berasosiasi dengan
zona shear terjal, karena cairan-cairan terfokus dalam zona tinggi permeable dan terbatas.
( Etheridge dkk. 1983).

Sibson dkk (1975) menyatakan pemompaan seismik sebagai suatu mekanisme dimana
sejumlah besar cairan dapat bergerak di sepanjang bidang fault selama gempa bumi untuk
membentuk endapan mineral hidrotermal. Model-model mereka mengasumsikan bahwa
sebelum terjadi kegagalan seismik di sepanjang fault miring, suatu rejim pembesaran
melingkupi daerah yang menjadi fokus. Ini mungkin disebabkan oleh meningkatnya
tekanan pada shear oleh terbukanya fraktur vertikal yang dalam keadaan normal memiliki
tekanan minimum (σ3), yang dalam kasus fault berkemiringan adalah horisontal.

Sibson dkk (1975) mengatakan bahwa perkembangan fraktur-fraktur ini memungkinkan


tekanan cairan menurunkan daerah dilatancy, mengakibatkan pergerakan cairan di
sepanjang fraktur. Tekanan cairan kemudian akan meningkat lagi, disertai dengan
penurunan resistansi friksional, sehingga kegagalan seismik terjadi dengan pemulihan
stress partial. Akibatnya adalah pengeluaran cairan keatas kearah jurusan pemulihan
tekanan.(Fig. 3.29). Aliran cairan ini terjadi di sepanjang fault dan fraktur disekitarnya,
dan pengendapan mineral terjadi diatas zona pelebaran, sebagaimana terlihat pada Fig.
3.29. Untuk menguatkan modelnya, Sibson dkk (1975) mengarahkan perhatinnya kepada
observasi umum terhadap mata air panas di sepanjang fault aktif. Mereka mengambil
contoh gempa bumi di Jepang, yang disebabkan oleh pergerakan di sepanjang fault
wrench yang terkubur sepanjang kira-kira 10 km. Gempa bumi itu disertai pengeluaran
kira-kira 1010 liter air garam panas yang mengandung Na, Cl dan Ca serta CO 2. selama 1
tahun Penulis kemudian mengemukakan bahwa jika interseksi fault cocok dengan daerah
sumber, maka logam dapat merembes keluar oleh cairan yang bergerak, ditransport oleh
pemompaan seismik dan diendapkan diatas zona dilatant sebagaimana dilukiskan pada
Fig. 3.29.

Pergerakan cairan-cairan hidrotermal juga diperkirakan terjadi di sepanjang ‘zona


pemisahan’ yang memisahkan plat tektonik dalam kompleks inti metamorfik di USA
bagian barat (Coney 1980, Reynolds dan Lister 1987). Zona pemisahan ini adalah fault
normal bersudut kecil di sepanjang mana ada breksiasi dan mylonitiasi kuat (Fig.
3.30A,B). Alterasi hidrotermal dan hadirnya mineralisasi dalam plat tektonik
menjelaskan adanya pergerakan cairan. Plat bagian atas ditandai oleh alterasi potassik (K-
feldspar) dan hematit, sedangkan plat bawah mempunyai alterasi type propilitik dan
terdiri dari mineral epidot dan chlorite. Reynolds dan Lister (1987) mengusulkan bahwa
dua rejim aliran cairan hadir. Satu, di plat atas, berasosiasi dengan air meteorik dan
connate, sedangkan yang lain, berhubungan dengan zona shear, bermigrasi dari daerah
kedalaman. Cairan dari aliran kedua ini bisa berasal dari sumber igneous maupun
metamorfik (Kerrich 1986), atau mungkin juga dari sumber mantel, jika kita berasumsi
bahwa zona pemisahan memanjang ke mantel diatas bagian kulit bumi yang menipis,
sebagaimana dikemukakan oleh Wernicke (1981 Fig. 3.30A).

Peranan keruntuhan/benturan tektonik dan thrust faulting dalam generasi dan pergerakan
cairan telah diketahui secara meluas di tahun-tahun sekarang ini. Hubbert dan Rube
(1959, 1960, 1961) mungkin merupakan yang pertama menyadari pentingnya tekanan
tinggi cairan dalam transformasi massa overthrust besar. Teori tentang generasi cairan
yang berhubungan dengan thrust dan pergerakannya ini didasarkan pada konsep yang
digambarkan pada Fig. 3.31A. Suatu blok kulit bumi mengembangkan suatu thrust fault,
dan satu bagian dari blok ini berlaku sebaliknya sebagaimana diperlihatkan oleh gambar.
Dengan berasumsi bahwa temperaturnya terdistribusi dengan teratur, misalnya isotherm
horisontal dan peningkatan nilai sesuai kedalaman, maka suatu penyempurnaan dari
gerakan thrust, zona bawah yang lebih panas dari bagian atas menindih diatas daerah
yang lebih dingin yakni bagian bawah. Gradien geotermal menunjukkan suatu inversi
temperatur pada perbatasan antara dua bagian tersebut` Konfigurasi ini secara termal
tidak stabil, dan karena itu akan cenderung menyeimbangkan bersama waktu dan
menciptakan kembali gradien geotermal status tetap. Ketidak seimbangan termal
mungkin berakibat dengan berkembangnya sirkulasi konvektif pada bagian underthrust
Fig. 3.31.A.D. Model gradient geotermal terbalik akibat dari tektonik thrust. Isoterm A dan B dalam
kulit bumi kontinental sebelum dan sesudah thrusting (setelah Open University 1980) dst.

bawah dan penyaluran cairan diatas dan di sepanjang bidang thrust (Fig. 3.31C). Suatu
analisa lebih rinci dari efek ini diberikan oleh Fyfe dan Kerrich (1985), dan diringkaskan
dibawah. Di dalam thrust yang besar, seperti yang diuraikan bagi pegunungan Himalaya
dengan jarak panjangnya (ratusan km) dan keterlibatan plat tebal (15-30 km) ,
keseimbangan termal tidak tercapai selama waktu thrusting (kira-kira 10 6 tahun) Karena
itu thrusting dapat dipertimbangkan sebagai isothermal, sehingga distribusi temperatur
sebagaimana diperlihatkan pada Fig. 3.31D, dimana satu blok kontinental setebal 30 km
telah mendesak yang lain. Blok kontinental yang mendesak itu mula-mula tem-
peraturnya lebih panas dari pada bagian yang didesak, tapi kemudian keseimbangan
temperatur ditentukan menurut tingkat erosi dan pelumeran pada bagian dasar. Selama
pendesakan, air pori-pori dikeluarkan dari daerah yang diberi tanda x, dan metamorfisme
prograde terjadi diatas keseluruhan ketebalan plat yang dibawah, kemudian cairan-cairan
ini mempenetrasi plat yang diatas, atau mengalir kesepanjang ini, selama terjadi
pendesakan.Penetrasi cairan-cairan ke bagian atas biasanya karena mekanisme frakturing
hidraulik yang merupakan akibat dari sekelompok besar zona vein dan shear.
Disepanjang zona X-Y, gradien termal berbalik dan metamorfisme kembali pada keadaan
semula di zona Y. Batuan dekat permukaan akan mengalami oksidasi, sehingga cairan
akan cenderung mengoksidasi plat atas, dan akibatnya tidak akan mempresipitat silika,
bahkan akan melarutkannya. Veining secara massif terjadi pada jalur Z-X pada Fig. 3.31
D, dengan pembentukan endapan emas. Pada waktunya, bagian yang lebih kecil dari
gradien yang mengalami inversi menjadi ada karena efek erosi, sehingga proses
mineralisasi berjalan. Dekat permukaan thrust perubahan paling dramatik terjadi,
termasuk pelumeran sebagian ( ).

Model untuk generasi cairan kulit bumi yang dilukiskan diatas dikemukakan oleh Le Fort
dkk (1987) untuk menerangkan asal-usul leucogranite Himalaya. Mereka
mengasosiasikan thrusting pada skala kontinental-dengan insepsi metamorfisme terbalik
dan liberasi sejumlah besar cairan, diikuti dengan pelumeran anatektik dari material kulit
bumi- dengan produksi leukogranit khusus geokimia. Thrusting, sebagaimana dilukiskan
diatas, berakibat dengan superposisi kulit bumi kontinental yang panas dan dalam, atas
litologi metamorfose. Pemanasan itu kemudian meluas dari atas ke bawah, menginduksi
kadar metamorfik terbalik. Juga selama metamorfisme atas formasi bawah yang lebih
dingin, reaksi metamorfik melepaskan sejumlah besar cairan, terutama H 2O dan CO2.
Cairan ini bergerak di sepanjang dan diatas thrust menginduksi pelumeran sehingga
tingkat pelumeran dengan minimum komposisi.

Suatu kasus spesial sistem cairan yang berasosiasi dengan ‘thrusting’ ini ditemukan pada
sedimen yang berhubungan dengan Formasi Duruchaus di orogen Damara di
Namibia.Formasi ini terdiri dari sedimen metaplaya dan metavaporit seperti batuan
tourmalinit dan dolomite terinterkalasi dengan sedimen metapelite dan psmammitik yang
diendapkan selama tahap incipient rifting.Menurut Schmidt – Mummet dkk (1987),
selama kejadian tektogenetik yang membentuk orogen Damara, sedimen metaplaya dan
metaevaporitik mengalami metamorfose dan desakan oleh nappe kristalin yang bergerak
ke arah selatan. Sejumlah besar cairan hypersalin dan alkaline berasal dari dehidrasi
sekuen sedimenter ini. Cairan-cairan ini disalurkan kesepanjang bidang thrust di antara
batuan basemen dengan formasi Duruchaus, dan tekanan tinggi pori menghasilkan
sejumlah breksi yang memecahkan batuan formasi Duruchaus. Cairan ini juga disalurkan
ke sepanjang bagian bawah antara formasi Duruchaus, dan tekanan tinggi pada pori-pori
menghasilkan sejumlah breksi yang memecah melalui batuan formasi Duruchaus. Cairan
ini juga tersalurkan kesepanjang lapisan bawah antara Formasi Duruchaus dan lapisan
dasarnya, menghasilkan alterasi metasomatik kuat dan sejumlah pipa-pipa dan sumbat
material vein quartz, yang oleh Schmidt-Mummet dkk. (1987) dilaporkan memiliki
kristal-kristal besar dengan permukaan selebar 50 m.

Kasus lain yang tak kurang menarik tentang pergerakan cairan metamorfik yang
berasosiasi dengan faulting dan pengangkatan yang pernah ditulis pada sejumlah karya
tulis oleh Craw dkk (Craw dkk. 1987a,b:Craw dan Koons 1988). Mereka menulis
tentang infiltrasi cairan metamorfik panas kedalam kulit bumi dengan pengangkatan
cepat terhadap bagian timur fault transcurrent Alpine, di South Island, New Zealand.
Cairan metamorfik yang diperkaya dengan H2O-CO2 pada akhirnya bercampur dengan air
meteorik dan mempresipitat silika serta emas (ini dibicarakan di Bab. 15). Fitur utama
dari model ini ialah, bahwa suatu sistem hidrotermal metamorfik-meteorik dapat
diaktifkan sebagai suatu akibat aliran panas tinggi karena pengangkatan cepat yang
membawa batuan-batuan panas ke lapisan dangkal.
3.7.5 Cairan dalam Zona Subduction

Subduction atas lithosfer oceanik berakibat dengan pelepasan cairan yang berlimpah.
Pelepasan cairan selama subduction dan transfer diatas lempengan (slab) subduction telah
pernah beberapa kali diteliti oleh Fyfe dkk. Ringkasan dari dua karya kunci Fyfe (1987)
serta Fyfe dan Kerrich (1985) diuraikan dibawah.

Struktur horst dan graben yang hadir diatas litosfer oceanik mengakibatkan transportasi
sedimen pelagik yang terkandung bersama dengan kulit bumi oceanik normal ke bawah
zona Benioff (fig`3.32). Ini menandakan bahwa sejumlah besar sedimen yang diperkaya
akan metal, dan mungkin body sulfida massif volkanogenik dasar laut akan mengalami
sub-duksi bersama kulit bumi dasar laut yang basah. Sementara berbagai lithologi ini
mengalami metamorfisme progressif , devolitisasi ekstensif dengan pulsa-pulsa cairan
bertekanan tinggi mungkin dihasilkan dan dikeluarkan oleh hidro-fakturing dalam
overplat. Namun demikian, pada tahap ini cairan yang ada biasanya dingin dan tidak
mampu membawa cukup larutan untuk membentuk endapan mineral yang cukup
banyak.Tahap awal proses dehidrasi ini diikuti oleh perkembangan apa yang disebut zona
melange.(campuran dari berbagai type). Dengan subduction yang berlanjut, lempengan
yang semakin tenggelam akan mengalami pemanasan sementara mengalami re-
equilibrasi kearah temperatur mantel yang lebih tinggi. Fyfe (1987) memperhitungkan
bahwa jika bagian bawah 20 km dari lempengan akan mencapai fasies amphibole, maka
akan kehilangan kira-kira 3% air, sehingga massa cairan yang ber-evolusi dari 20 x 20 x
1 km berarti 20 km3.Sebagian dari cairan yang berevolusi akan mengalir disepanjang
bidang thrust, dan sebagian yang lain akan bergerak naik oleh hidrofrakturing. Cairan
yang berevolusi ini bisa mencapai temperatur sampai 300-600oC, dan membawa larutan
seperti silika, Au, Ag dan logam lain serta sejumlah besar CO 2. Perlu disebutkan juga
bahwa cairan yang dilepaskan dengan cara ini akan mengakibatkan pelumeran dari pasak
mantel yang berada dibawahnya, yang bisa berakibat menjadi diperkaya dengan
konstituen logam yang dibawa oleh cairan itu..Lumeran tersebut akan naik keatas dan
melapisi kulit bumi, menghasilkan magma hibrid yang pada gilirannya akan mengintrusi
kulit bumi pada tingkat yang dangkal dan bisa bererupsi ke permukaan, menghasilkan
endapan mineral hidrotermal yang biasanya berasosiasi dengan magmatisme subduction
(misalnya sistem porfiri dan epitermal.)

Fig` 3.32. Dewatering dan erosi tektonik suatu dari subduction slab oceanik dengan struktur type
graben, terisi dengan sedimen basah, terbentuk selama pembengkokan slab. Tanda panah
mengindikasikan pergerakan cairan (Setelah Fyfe dan Kerrich 1985 dan referensi yang ada)
BAB. 4
ALTERASI HIDROTERMAL

4.1. Pembukaan

Alterasi hidrotermal adalah suatu proses yang sangat kompleks yang melibatkan
perubahan mineralogik, kimiawi dan tekstur yang disebabkan oleh interaksi cairan
aqueus panas dengan batuan yang dilaluinya, dibawah kondisi evolusi fisio-kimia.
Alterasi dapat terjadi dibawah kondisi magmatik subsolidus karena kegiatan dan infiltrasi
cairan superkritis ke dalam massa batuan. Pada temperatur dan tekanan yang lebih
rendah, eksolusi gas dan fase aqueus menyebabkan pelarutan hidrotermal yang terjadi di
batuan sekitarnya menyebabkan perubahan sebagai akibat dari ketidak-seimbangan,
terutama oleh H+ dan OH- dan konstituen volatil lainnya (mis. B, CO2, F).

Singkatnya, cairan hidrotermal secara kimiawi menyerang konstituen mineral dari batuan
dinding, yang cenderung kembali menyeimbangkan diri dengan membentuk bangunan
mineral baru yang seimbang dengan kondisi-kondisi baru. Proses itu merupakan suatu
bentuk metasomatisme, yakni pertukaran komponen kimiawi antara cairan-cairan dan
batuan dinding. Karena itu, juga dimungkinkan bahwa cairan-cairan itu sendiri mungkin
mengubah komposisinya sebagai akibat interaksi dengan batuan dinding. Faktor-faktor
utama yang mengendalikan proses alterasi adalah: (1) sifat-sifat batuan dinding (2)
komposisi cairan (3) konsentrasi, kegiatan dan potensi kimia komponen cairan, misalnya
H1, CO2, O2, K4, S2 dsb, yang disebut operator oleh Rose dan Burt (1979). Henley dan
Ellis (1983) percaya bahwa produk alterasi dalam sistem epitermal tidak terlalu
tergantung pada komposisi batuan dinding seperti permeabilitas, temperatur dan
komposisi cairan. Mereka menyatakan, sebagai contoh bahwa dalam kisaran temperatur
250-280o C, mirip dengan bangunan mineral (mis. quartz-albite-K-feldspar-epidot-illite-
calcite-pyrite) terbentuk dalam basalt, batupasir, rhyolite dan andesite. Peneliti lainnya
menitik-beratkan peranan fundamental yang dimainkan oleh alam dan komposisi batuan
dinding dalam proses alterasi hydrothermal , terutama dalam sistem porfiri.

Kegiatan cairan-cairan hidrotermal terhadap dinding batuan adalah dengan infiltrasi


dan/atau difusi oleh spesies kimiawi (Rose dan Burt 1979). Sirkulasi hidrotermal dan
alterasi yang berkaitan dengan itu biasanya melibatkan sejumlah besar cairan yang
melewatinya melalui volume batuan, yang karenanya harus memiliki permeabilitas cukup
dalam bentuk fraktur-fraktur, atau pori-pori yang saling berhubungan. Sedikit cairan
memiliki efek yang kecil pula, bahkan mungkin terabaikan, sebagaimana dicontohkan
oleh sistem hidrotermal metamorfik didalam mana banyaknya cairan dalam hubungan
dengan batuan, mis.perbandingan air/batuan adalah kecil, dan pengendapan mineral juga
memiliki alterasi batuan dinding yang kecil atau terabatikan. Dengan demikian interaksi
antara H2O dan batuan, dan intensitas alterasi adalah, antara lain, suatu fungsi ratio
air/batuan. Ratio ini merupakan parameter penting karena berpengaruh terhadap tingkat
pertukaran dengan dinding batuan. Dalam sistem hidrotermal, ratio w/r mungkin berkisar
dari 0.1 sampai 4, dengan batas bawah didapatkan ketika semua air yang diserap sebagai
mineral hydrous (Henley dan Ellis 1983).Pertukaran isotop oksigen selama interaksi
air/batuan memungkinkan kita mengkalkulasi ratio w/r (lih. Bab 2), sebagaimana
didiskusikan oleh Taylor (1974) untuk berbagai batuan granit, dimana air meteorik
bersirkulasi melalui suatu batuan yang volumenya sangat besar. Dalam volume ini ratio
w/r dihitung antara 0.1 ssampa 3.0 . Henley dan Ellis (1983) melaporkan nilai 0.7 sampai
2.0 w/r di lapangan geotermal New Zealand.

4.2. Metasomatisme Ion Hidrogen dan Perubahan dasar

Hydrolsys dan hidrasi telah diperkenalkan pada Bab 1. Disini, istilah ini didefinisi dalam
konteks proses alterasi hidrotermal. Hydrolysis atau metasomatisme ion hydrogen ,
merupakan fenomena yang sangat penting yang melibatkan dekomposisi ion dari H2O ke
H4 dan OH. Dalam alterasi hydrothermal, H4 (atau OH) terkonsumsi dalam reaksi dengan
mineral silikat, sehingga ratio H4/OH berubah. Sumber ion –ion H4 bisa jadi adalah reaksi
subsolidus selama metasomatisme alkali air atau asam dalam larutan hydrothermal.
Konversi silikat anhydrous ke silikat hydrous (misalnya mika atau lempung) merupakan
reaksi yang mengkonsumsi H+ dan melepaskan ion-ion metal ke dalam larutan.Ini
kemudian akan berpengaruh pH larutan dan potensinya untuk melarutkan atau menjaga
kation dalam larutan. Ini berhubungan dengan dissosiasi kompleks yang mengandung H +,
derajat asosiasi senyawa seperti NaCl, dan tentu saja formasi chlorida kompleks serta
solubilitas elemen-elemen logam (Guilbert dan Park 1986). Suatu contoh metasomatisme
ion hydrogen atau dekomposisi hydrolitik feldspar, dinyatakan dengan :

1.5 KAlSi3O8 + H2O = 0.5KAl3Si3O10(OH)2 + K+ + 3SiO2 + OH :


K-feldpar K-mika quartz
H+ + OH = H2O
Jumlah dari reaksi pertama dan kedua menjadi :
1.5KAlSi3O8 + H+ = 0.5KAl3Si3O10(OH)2 + K+ + 3SiO2
Dapat dilihat dari reaksi ini bahwa K+ dilepaskan dan H+ dikonsumsi. Hydrasi, transfer air
molekuler dari larutan ke mineral, sering menyertai hydrolisis. Satu contoh tipikal adalah
konversi dari olivine ke serpentine, menurut :

2Mg2SiO4 + H2O + 2H1 = Mg3Si2O3(OH)4 + Mg2+


Olivine serpentine

Reaksi dimana suatu kation digantikan oleh lainnya dalam mineral disebut pertukaran
dasar (base exchange), seperti contoh dalam konversi mikroline ke albite, Na
menggantikan K, yang masuk ke larutan:

KAlSi3O8 + Na = NaAlSi3O8 + K4
mikrolin albite

Ringkasnya, metasomatisme ion hydrogen , hydrasi dan pertukaran dasar mengendalikan


stabilitas mineral silikat, pH dari larutan, dan transfer kation-kation ke dalam larutan.
Mereka ini bertanggung jawab bagi bangunan mineral profilitik, argilik, serisit atau
phyllic, dan potassic yang merupakan tipikal endapan mineral hydrothermal. Daerah-
daerah dekomposisi hidrolitik yang intense, atau metasomatisme ion hidrogen dari silikat
biasanya dikelilingi oleh alterasi profilitik dimana fenomena hydrasi (penambahan air dan
CO2) dominan.

4.2.1. Proses kimia yang berhubungan dengan


metasomatisme Ion hydrogen.

Dalam bagian ini, metasomatisme ion hidrogen dan reaksi pertukaran dasar
dipertimbangkan untuk :(1) batuan dengan feldspar dominan (2) komposisi batuan mafik:
dan (3) batuan dan karbonat kaya akan Ca.

Reaksi dalam feldspar dan K-mika

Reaksi feldspar yang terjadi selama metasomatisme ion hydrogen dirincikan oleh Hemley
dan Jones (1964) dalam penelitian eksperimental mereka dengan larutan aqueus chlorida.
Reaksi eksperimental ditentukan untuk sistem yang mengandung K dan Na oleh Hemley
dan Jones (1964) dipertimbangkan dibawah ini:

a) Sistem K2O-Al2O3-SiO2-H2O:

Formasi serisit misalnya, dapat diekspresikan dengan berikut :

3KAlSi3O3+2H + = KAl3Si3O10(OH)2 + 2K+ + 6SiO2.


mikroline K-mika quartz

0.75Na2CaAl4Si3O24 + 2H+ + K+ = KAl3Si3O10(OH)2+


andesin serisit
+ 1.5 Na+ + 0.75Ca24 + 3SiO2
Reaksi lain adalah :

KAl3Si3O10(OH)2 + H+ + 1.5H2O = 1.5Al2Si2O5(OH)4 + K+ :


K-mika kaolinit

KAl3Si3O10 (OH)2+H+ + 3SiO2 = 1.5Al2Si4O10(OH)2 + K1


K-mika pyrophylite
Fig. 4.1. Kurva keseimbangan yang secara eksperimental ditentukan dalam larutan chlorida
oleh Meyer dan Hemley (1967) untuksistem K2O-AlO3-SiO2-H2O; sebagai fungsi temperatur.
Quartz hadir dan tekanan pada 1000 bar. Sistem K2O-Na 2O-Al2O3-SiO2-H2O pada
400o C dan 1000 bar tekanan total; quartz hadir (setelah Meyer dan
Hemley 1967)

Kurva eksperimental keseimbangan untuk sistem yang dipertimbangkan diperlihatkan


pada Fig. 4.1a. Dapat dilihat bahwa perkembangan kaolinite dibantu oleh temperatur
rendah dan ratio kation/H rendah.

b.) Sistem Na2O-Al2O3-SiO2-H2O:

1.5NaAlSi3O3+ H+ = 0.5NaAl3SiO10(OH)2+3SiO2+Na4:
albite paragonite

NaAl3Si3O10(OH)2 +H+ +3SiO2 = 1.5 Al2Si4O10(OH)2 +Na+:


paragonite quartz pyrophylite

1,17NaAlSi3O3 + H+ = 0.5Na33Al2.33Si3.67O10(OH)2 + 1.67SiO2 + Na+:


albite Na-montmorillonite

3Na.33Al2.33Si3.67O10(OH)2+ H+ +3.5H2O = 3.5Al2Si2O5(OH)4 +4SiO2 +Na+


Na-montmorillonite kaolinite
Kurva eksperimental sejalan dengan reaksi diatas diperlihatkan pada fig. 4.1b. Semua
reaksi ini mengkonsumsi H+ dan melepaskan kation-kation seperti Na + dan K+, juga
elemen logam lainnya yang mungkin menggantikan dalam ambang alterasi
silicate.Reaksi-reaksi ini peka terhadap tekanan dan perubahan temperatur serta ratio
dari aktivitas komponen, sebagaimana diperlihatkan pada diagram Fig.4.1a,b . Sistem
yang terkombinasi melukiskan hubungan stabilitas mineral dalam sistem K2O-Na2O-
Al2O3-SiO2-H2O diperlihatkan pada Fig. 4.1c, dimana batas-batas mewakili baik
metasomasi ion hydrogen dan reaksi pertukaran dasar, sebagaimana dicontohkan
oleh batas albite-muskovit, dimana :

3NaAlSi3O3 + 2H+ + K+ = KAl3Si3O10(OH)2 + 6SiO2 + 3Na+


albite muscovite

Pola-pola alterasi batuan yang mengandung feldspar dominan plus quartz diper-
lihatkan pada Fig. 4.2 Silika yang berasal dari metasomatisme silikat hidrogen tidak
mengkristal pada situs alterasi, tapi mengalami difusi kearah kanal-kanal, sedangkan
bagian-bagiannya mungkin tetap dalam zona pengembangan serisit.

c) Sistem K2O –Al2O3SiO2-H2O-SO3;

Penelitian yang dilakukan oleh Hemley dan Jones tidak melibatkan sistem yang
mengandung sulfur.Disini oksidasi H2S mengarah kepada pembentukan asam sulfat
(H2SO4) yang merupakan agen leaching yang kuat, terutama aktif dalam temperatur
rendah dilingkungan volkanik dan subvolkanik, sebagaimana digariskan pada Bab 3.
Acid leaching bertanggung jawab atas alterasi argilik yang umum pada endapan
mineral epitermal dan kebanyakan sistem porfiri. Hemley dkk (1969) meneliti secara
eksperimental lima komponen diatas, melibatkan hubungan stabilitas K-feldspar,
muskovit, kaolinit dan alunit sebagai fungsi kegiatan H2SO4 dan K2SO4.

Alunite merupakan mineral kunci dalam sistem, dipertimbangkan komponen yang


umum dan penting yang dijumpai dalam endapan emas-perak epitermal yang kaya
akan sulfur. Karena itu alunite biasa ditemukan berasosiasi dengan mata air panas,
danau lumpur dan fumarol di daerah volkanik, dimana terbentuk vein-vein, lenticular
bodies dan massa batuan hampir secara keseluruhan digantikan olehnya. Contoh yang
spektakuler dari formasi alunite ini dapat dilihat di lapangan Phlegrean dekat Napels
dan Latolfa, sebelah utara Roma. Alunite biasanya berasosiasi dengan opal, kaolinit,
dickit, serisit, pyrophyllit dan diaspore. Karena leaching yang intense yang
berasoasiasi dengan hadirnya alunite, zona leaching mungkin hadir , terutama
berpori-pori dan bersifat silika. Silika yang ada bersifat residu dan jangan sampai
dikaburkan dengan material sinter (lih. Bag. 3.4.2). Menurut Hemley, reaksi yang
ada:

KAl3Si3O10(OH)2 + 4H+ - 2S042 = KAl3(SO4)2(OH)6 + 3SiO2:


K-mika alunite

3Al2SiO3(OH)4 + 2K1 + 6H+ +4SO42- = 2KAl3(SO4)2(OH)6 + 6SiO2 +3H2O:


kaolinit alunite

2KAl3Si3O10(OH)2 + 2H+ +3H2O = 3Al2Si2O3(OH)4 + 2K+


K-mika kaolinite

Stabilitas hubungan untuk reaksi diatas diperlihatkan pada Fig. 4.3. Dapat dilihat
bahwa titik invarian K-feldspar-muskovit-alunit diperoleh pada nilai K sangat tinggi,
dan karenanya hanya terjadi secara jarang dalam sistem alamiah (Hemley dkk 1969).
Dalam kenyataan, alunite secara tipikal ditemukan dalam batuan yang telah
mengalami metasomatisme ion hidrogen secara ekstensif, dimana perusakan feldspar
diikuti oleh pembentukan K-mika, mineral lempung dan pyrofilit.Reaksi yang
melibatkan K-feldspar adalah :

3KAl Si3O8 + 6H1 + 2SO42 = KAl3(SO)2(OH)6 +2K1 + 9SiO2


Reaksi – reaksi dalam Silikat Fe-Mg dan Alumino Silikat
Kegiatan hidrotermal dalam lingkungan bawah dasar laut melibatkan penetrasi air
laut melalui fraktur-fraktur pada kulit bumi di dasar laut. Air ini menjadi terpanaskan
(Bab. 3), menyebabkan serangkaian reaksi yang melibatkan terutama metasomatisme
hidrogen yang kemudian mengkibatkan cairan-cairan tereduksi secara progresif dan
diperkaya dengan logam-logam yang terpindahkan dari batuan. Logam-logam ini
memasuki larutan yang biasanya adalah kompleks chlorida.. Permeabilitas dari kulit
bumi dasar laut memfasilitasi penetrasi air laut diatas daerah yang luas, sehingga
terpisah dari reaksi sistem mineralisasi intensitas rendah (terutama hydrasi) berakibat
pada metamorfisme dasar laut prograde (Spooner dan Fyfe 1973), berkisar dari
bangunan fasies zeolite sampai skist hijau, mengandung chlorite, smectite, actinolite,
serpentinit dsb. Didalam zona metamorfisme ini alterasi hydrothermal menindih
alterasi hidrotermal atau metamorfisme geotermal sistem menurut Spooner danFyfe,
yang merupakan bagian dari mineralisasi. Larutan metalliferous kemudian
dikeluarkan di dasar laut oleh mata air panas melalui fraktur dan lubang-lubang vents.
Dengan cara ini sulfida yang menyebar dan sulfida masif terbentuk dalam batuan
kulit bumi bawah laut yang mengalami fraktur, dimana satu set reaksi terjadi didekat
atau pada interface dimana reaksi lain terjadi, mengendapkan selain sulfida juga Fe,
Mn oksida dalam respons terhadap kontak dengan cairan hidrotermal dengan air laut
yang dingin dan teroksigenkan. Pada kasus kolam atau danau air asin, sebagaimana
Laut Merah (Bagian 3.6) presipitasi sulfida mendominasi, antara lain karena
defisiensi oksigen pada bagian depresi dasar laut (Bonatti 1978), selain itu juga
karena kontras kepadatan antara air garam yang mengandung sulfida dan air laut (Bab
12).

Skema reaksi hidrotermal dalam lingkungan bawah-dasar laut dan produk-produknya


digambarkan pada Fig. 4.4, diambil dari suatu artikel yang sangat bermutu dalam
buku Scientific American oleh Edmond dan von Damm (1983). Dalam gambar ini, air
laut yang mengandung ion-ion diindikasikan pada point 1, mempenetrasi kulit bumi
dasar laut untuk membentuk sulfat (CaSO 4, point 2) Pada point 3, beberapa kilometer
dibawah dasar laut, reaksi terjadi dengan batuan panas mafik. Ini melibatkan
penambahan Mg ke batuan mafik, dan hydrasi untuk membentuk mineral
serpentin.Dalam proses reaksi ini H+ terbentuk, dan metasomatisme ion hydrogen dari
batuan basalt kemudian terjadi dimana H+ menggantikan reaksi (Fe2+, Mn 2+, Cu2+, Zn
2+
dsb), dari Fe-Mg dan mineral pembentuk batuan silikat, yang karenanya berubah
menjadi chlorite, mineral lempung dan zeolit. Air laut, menurut skema Edmond dan
von Damm, pada permulaan suatu larutan elektrolit teroksigenkan yang mengandung
anion-anion Cl, Er, CO32, SO42 dsb.Selama mengendap, air ini menjadi semakin
tereduksi dan bereaksi dengan silikat pembentuk batuan. Reaksi tipikal yang terjadi
adalah :

11Fe2SiO4 + 2SO42 + 4H1 = 7Fe3O4 + FeS2 + 11SiO2 + 2H2O ;

fayalite magnetite pyrite

2Fe2SiO4 + 3H2O = Fe3SiO6(OH)4 + Fe2 +OH + H1


serpentine atau talk

Reaksi lain antara ion-ion H1 , SO42 dan silikat Fe menghasilkan pyrite dan magnetit
(point 4), dan suatu larutan panas dan asam dan mengandung logam. Larutan yang
terbentuk naik kearah dasar laut dimana akan terjadi pertemuan dengan air laut dingin
dan teroksigen,dan presipitasi sulfida serta sulfat terjadi pada formasi yang disebut
‘cerobong’

Fig. 4.4. Reaksi hydrdotermal pada spreading center. Lihat teks untuk penjelasan lebih rinci.
(Setelah Edmond dan von Damm 1983)

Sejumlah sulfida Fe terbawa keatas sebagai “asap hitam”, sedangkan Mn 2+ dan lebih
banyak Fe2+ tetap dalam larutan untuk menjadi teroksidasi dan terpresipitat secara lateral
dari lubang asap, akhirnya membentuk sedimen metalliferous. Topik ini dibicarakan lebih
jauh pada Bab 12.

Reaksi-reaksi dalam lingkungan kaya akan Ca

Metasomatisme ion hydrogen dari batuan karbonat mungkin diekspresikan dengan


reaksi :

CaCO3 + 2H+ = Ca 2+ + CO2 + H2O

Pada kehadiran silika :

2CaCO3 + SiO2 + 4H1 = 2Ca2+ + 2CO2 + SiO2 + 2H2O


Dalam sistem dimana CO2 hadir, asam karbonit (H2CO3) terbentuk dan dissosiasinya
silikat hydrolisis, membentuk lempung dan silika terliberasi serta ion-ion logam
(misalnya Na1, K1 Ca 2+ dsb.)

Kita kembali kepada masalah alterasi hydrotermal dari batuan karbonat pada Bab 10,
dan kemudian dalam bab ini ketika membicarakan silicasi.

4.3. Style dan type Alterasi Hydrotermal

Terminologi yang diperkenalkan pada bagian ini seringkali dipergunakan dalam


segala aspek penelitian tentang endapan mineral hydrothermal , dan juga pada waktu
dan bab yang berikutnya. Istilah-istilah yang dipergunakan untuk menguraikan dan
mengklasifikasi alterasi hydrothermal dapat diekspresikan dalam fungsi:(1) bangunan
mineral yang dikenal dan (2) perubahan-perubahan kimiawi. Pada yang terdahulu,
pengenalan bangunan mineral, dimaksudkan disini suatu asosiasi mineral spesifik dan
karakteristik asosiasi mineral menurut Meyer dan Hemley (1967), terutama dilakukan
melalui penelitian ekstensif sayatan tipis. Ini mengarah kepada daftar mineral-
mineral dalam urutan yang cukup berlimpah, sebagaimana dikemukakan oleh Rose
dan Burt (1979), atau dengan istilah deskriptif umum yang mencerminkan mineralogi
yang dominan seperti argillic, potassic, serisitik dsb. Perubahan-perubahan kimiawi
mengindikasikan type kimiawi cairan yang terlibat dalam proses alterasi , akan
termasuk metasomatisme ion hidrogen, metasomatisma alkali, metasomatisme
fluorine dan boron, dsb. Disamping itu style alterasi juga memasukkan intensitas,
bentuk dan sifat-sifat fenomena. Disini terminologi menjadi agak membingungkan
karena subjetivitas yang merupakan bagian dari sifat. Istilah-istilah seperti lemah,
moderat, kuat, ekstensif, pervasif, non pervasif telah dikenal dengan baik dan
seringkali dipergunakan. Istilah-istilah ini mengacu kepada status pengawetan dari
batuan original, sejauh mana proses alterasi telah berlangsung, baik pada skala
mineral tunggal dan pada skala regional, geometri keseluruhan dari alterasi dsb. Suatu
pendekatan empiris dan semi quantitative dianjurkan oleh Guilbert dan Park (1986)
yang mengusulkan penggunaan simbol-simbol untuk membedakan sifat-sifat type
alterasi. Simbol-simbol ini terdaftar pada Tabel 4.1 dan dibicarakan dibawah.
Tabel 4.1. Karakteristik type alterasi sesuai penggunaan lambang.
Setelah Guilbert dan Park (1985)

Type alterasi Lambang Type alterasi Lambang

Greisen G Phyllic S
Potassic K Argylic A
Propilitik P Argilik (advanced) AA
Silisifikasi Q Skarn SK

Metoda empiris yang lain dipergunakan oleh Moore dan Nash (1974), yang
menentukan alterasi serisitik dari plagioklas dengan memberi peringkat dari 1 sampai
5 untuk yang tidak mengalami alterasi sampai yang mengalami alterasi sempurna.
Sekarang ini praktik yang dapat diterima bahwa kombinasi dari keseluruhan bagian
diatas biasanya dipergunakan dalam studi tentang alterasi, dengan titik-berat sesuai
dengan metodologi peneliti dan pendekatan dan type penelitian.

4.3.1. Style (gaya, corak) Alterasi

Style utama alterasi adalah “pervasif”, “pervasif selektif “ dan “non pervasif”.
Pervasif Alterasi pervasif ditandai dengan penggantian dari kebanyakan mineral
original pembentuk batuan. Ini berakibat pada obliterasi (perusakan) total atau
sebagian dari tekstur original. Alterasi pervasif – selektif mengacu kepada
penggantian mineral original secara spesifik, mis. chlorite menggantikan biotite, atau
serisit menggantikan plagioklas.Dalam kasus ini tekstur original terawetkan. Alterasi
non pervasif berarti bahwa hanya bagian-bagian tertentu dari volume batuan yang
terpengaruh oleh alterasi cairan. Jelas bahwa alterasi pervasif selektif termasuk dalam
kategori ini, demikian pula altrerasi fraktur atau alterasi yang dikendalikan oleh
veinlet. Pada yang kemudian, sebagaimana tersirat pada namanya, mineral alterasi
berada pada jarak

4.3.2 Type-type alterasi

Pada bagian ini kita mengikuti diskusi tentang type-type alterasi yang essensiil
didasarkan pada apa yang dikenal dan dilaporkan oleh Meyer dan Hemley (1967) dan
Rose serta Burt (1979). Kita tidak berkepentingan pada tahap ini dengan type-type
dan pola dari endapan hydrothermal spesifik , karena ini akan dibicarakan pada bab-
bab kemudian. Disini kita memeriksa dengan cara yang umum, type-type alterasi
yang dihasilkan interaksi cairan hydrothermal dengan batuan sebagaimana
diungkapkan dan dipahami dari suatu jumlah besar variasi endapan bijih
hydrothermal , dan karena itu setiap type yang dibicarakan mungkin hanya sesuai
dengan setting yang tepat dan type deposit terkait.
Fig. 4.5.A,B Skema urutan alterasi evolusioner. A melukiskan type alterasi sebagai fungsi
temperatur, K’ dan H’ ]]

Sebagai permulaan, adalah penting untuk mengulang bahwa alterasi hydrothermal


melibatkan serangkaian proses metasomatik dan reaksi pertukaran dasar dimana
alkali dan metasomatisme H adalah sangat penting, terutama dalam sistem
hydrothermal yang berkaitan dengan igneous. Kebanyakan proses hydrothermal dapat
berkaitan dengan kegiatan-kegiatan alkali dan hydrogen.Hubungan antara larutan
hydrothermal dan body igneous diperkenalkan pada Bab 3. Disini kita terutama
berkepentingan dengan dampak yang diakibatkan terhadap dinding batuan oleh
perubahan kimiawi dalam larutan hydrothermal sebagai akibat dari variasi ratio
ak1/aH1 : yakni aktivitas ion-ion K1 dan H1 dalam sistem. Rasio ini menurun ketika
sistem mengalami evolusi kearah temperatur dan tekanan yang lebih rendah.Dengan
kata lain dengan peningkatan metasomatisme H1, proses alterasi metasomatisme akan
bergerak dari alkalic ke argillic dalam sistem evolusi teoritis yang berkelanjutan.
Konsep ini secara skematik diperlihatkan pada Fig.4.5.A, B. Oleh karena itu, type-
type alterasi yang dibicarakan akan berada pada urutan penurunan ag1 /aH1
(peningkatan metasomatisme ) dan (1) metasomatisme alkali dan alterasi potassium
silikat khususnya (2) profilit (3) phyllic, atau serisitik, alterasi dan greisenisasi : (4)
argillic menengah : (5) argillic tingkat lanjut.

Metasomatisme Alkali, Alterasi Potassium Silikat

Interaksi dengan fase cairan residual yang ber-evolusi dari massa igneous yang
hampir terkonsolidasi berakibat pada serangkaian perubahan post – magmatik, atau
subsolidus baik dalam body igneous dan batuan country sekelilingnya, jika
mengalami fraktur. Ini merupakan cairan bertemperatur tinggi pada kisaran kira-kira
800-600o C, yang berasal dari suatu lumeran dalam tahap akhir kristalisasi, dan
berakibat pertumbuhan subsolidus dari mineral-mineral baru dan reaksi pertukaran.
Proses subsolidus termasuk :(1) reaksi pertukaran dasar dalam feldspar, secara
spesifik Na untuk K, atau K untuk Na: (2) perubahan –perubahan pada keadaan
struktur feldspar : (3) albitisasi: (4) mikroklinisasi (5) pertumbuhan mika tri-
oktahedral: Pada setting anorogenik tektonik perubahan mineralogik mungkin
termasuk serangkaian amfibol kaya akan Na dan bangunan yang kaya akan F atau
B.Kita kembali kepada aspek metasomatisme alkali pada Bab. 8. Disini cukup untuk
dikatakan bahwa alkali dan cairan sangat asin terbentuk selama tahap akhir
konsolidasi massa igneous, yang berakibat pada penyebaran alterasi potassium atau
sodium secara meluas. Secara karakteristik, metasomatisme alkali melibatkan
penggantian feldspar dan quartz oleh K-feldspar (mikroklinitasi) atau albite
(albitisasi). Fitur-fitur ini dengan mudah dapat diidentifikasi dibawah mikroskop,
misalnya dengan hadirnya core relict atau plagioklas yang dikelilingi oleh K-
feldspar , atau dengan criss-cross tipis terhadap veinlet K-feldspar dalam plagioklas.
Dalam hal albitisasi, chess board albite dalam K-feldspar, albite intergranular pada
batas butiran, veinlet albite,dsb. semuanya umum. Albitisasi feldspar mungkin dalam
beberapa kasus disertai dengan muscovitisasi biotit.

Alterasi potassium terutama umum dan penting dalam sistem mineralisasi porfiri dan
epitermal , dimana hal itu terjadi pada zona core bertemperatur tinggi. Karakteristik
mineral dari alterasi ini adalah K-feldspar dan biotit dalam porfiri, dan adularia
dalam sistem epitermal. Alterasi potassium biasanya disertai dengan sulfida
(kalkopirit, pyrite, molybdenite). Anhydrite merupakan mineral dalam lingkungan
porfiri. Biotite seringkali hijau warnanya dan kaya akan Fe. Alterasi potassium silikat
terbentuk sebagai penggantian dari mineral plagioklas dan mafik silikat pada
temperatur di daerah 600-450o C. Bangunan yang umum adalah quartz K-feldspar –
biotite, K-feldspar –biotite-magnetit, disertai oleh sejumlah yang variatif dari
mineral-mineral lain seperti albite, serisit, anhydrite, apalite, dan kadang-kadang juga
rutil, yang berasal dari pecahan biotit. K-feldspar dari zona potassic memiliki ciri-ciri
warna kemerahan karena inklusi hematit kecil. Plat 4.1 dan 4.2 melukiskan contoh-
contoh alterasi potassic. Fig. 4.6a meringkaskan assosiasi mineral potassium pada
ternary ACF-AKF yang diterbitkan oleh Meyer dan Hemley (1967).
Alterasi Prophylitik

Prophylite adalah istilah lama dipergunakan untuk menguraikan batuan volkanik yang
mengalami alterasi.Alterasi propilitik ditandai dengan penambahan H 2O dan CO2, dan
secara lokal S, tanpa metasomatisme appreciable H 4.Mineral tipikal adalah epidot,
chlorit, karbonat, albite, K-feldspar dan pyrite. Pada tempatnya serisit, Fe-oksida,
montomorillonit dan zeolit juga umum.Tekanan yang tepat dan lapangan stabilitas
temperatur dari spesies mineral zeolit membuatnya menjadi alat pemantau sangat
penting dari temperatur dan kedalaman. Fitur ini terutama berguna dalam sistem
epitermal, karena memungkinkan geologist memantau proksimitas (kedekatan)
terhadap sumber panas dan zona pendidihan dimana kadar yang tinggi dari
mineralisasi emas mungkin ditemukan. Kita kembali kepada topik ini pada Bab 11.
Pada beberapa situasi, bisa terdapat albitisasi yang intens, kloritisasi atau karbonisasi,
yang oleh Meyer dan Hemley (1967) dipertimbangkan secara terpisah, karena
propylitisasi mempunyai dampai metasomatik H. yang lebih lemah. Alterasi
propylitik cenderung lebih pervasif kearah zona lebih dalam dari endapan
hydrothermal, atau dengan lain perkataan kearah sumber panas /hydrothermal.
Kearah luar alterasi propylite Gambar 4.6b meringkaskan bangunan mineral
propylitik diatas diagram ACF-AKF dari Meyer dan Hemley. Plat 4.3 dan 4.4.
melukiskan contoh-contoh alterasi propylitik
Alterasi Serisit (Phyllic) dan Greisenisasi

Alterasi phyllic atau serisit ditandai oleh bangunan quartz –serisit – pyrite (QSP)
Fase mineral yang biasanya berasosiasi dengan alterasi QSP adalah K-feldspar,
kaolinite, calcite, biotit, rutil, anhydrite dan apatite. Alterasi ini meningkat sampai ke
type potassik dengan peningkatan jumlah K-feldspar atau biotit, dan ke type argillic
dengan peningkatan jumlah mineral lempung. Kwantitas yang bertambah dari topaz,
tourmaline, quartz dan zunyite merupakan tanda transisi ke alterasi type greisen.
Alterasi QSP merupakan satu dari type yang umum alterasi hydrothermal, karena
hadir dalam hampir semua endapan mineral hydrothermal, dari sulfida masif-
volkanogenik Archean sampai quartz-emas sampai kepada sistem epitermal. Serisit
mengacu kepada mika putih dioctahedral berbutir halus (muskovit, paragonite,
phengite, fuchsite, roscoelite). Walaupun serisit tidak secara mencolok berbeda dari
muskovit, tapi dilaporkan mengandung lebih banyak SiO 2, MgO dan H2O, dan lebih
rendah kandungan K2O-nya (Deer dkk 1967). Dibawah mikroskop serisit mungkin
dikaburkan dengan pyrophyllite, atau bahkan phlogopite, dan analisa sinar X atau
mikroprobe mungkin diperlukan untuk identifikasi yang lebih nyata. Hydromuscovite
dan illites juga dikaitkan dengan type alterasi ini; pada yang terdahulu kandungan
H2O yang lebih tinggi dan K2O juga hadir, sedangkan pada yang kemudian adalah
mika yang terlapisi mineral type lempung (lih. Deer dkk. 1967).

Alterasi serisitik adalah sangat essensiil karena destabilisasi feldspar pada kehadiran
H2O, OH, K dan S untuk membentuk quartz, mika putih, pyrite dan beberapa jenis
chalcopyrite (kandungan sulfida bisa lebih dari 20% dari volume). Dalam proses Na,
Mg, Ti, Fe dan K juga mengalami leaching. Suatu skema alterasi QSP diperlihatkan
pada Fig. 4.7, sementara bangunan mineral sehubungan dengan ACF-AKF, diagram
ternary diberikan pada Fig. 4.6c. Contoh dari alterasi serisitik diperlihatkan pada plat
4.5 dan 4.6.
Greisen, suatu istilah tua yang digunakan para penambang Cornwall, yang dimaksud
adalah bangunan berbutir kasar dari quartz-muscovits dengan jumlah topas,
tourmaline, fluorite, oksida, wolframite, scheelite dan sulfida Fe, Cu, Mo, Bi dan
sulphosalt Cu-Bi-Pb. Walaupun alterasi greisen umum dalam sistem porfiri
kontinental, lingkungan yang paling tepat adalah stock granit atau lempengan yang
terlapisi batuan argillaceous-arenaceous, dan berasosiasi dengan minralisasi Sn-
W.Dalam situasi ini alterasi greisen biasanya didahului oleh metasomatisme Na
(albitit), selama mana ion-ion H dihasilkan yang kemudian memulai proses
greisenisasi.

Ini melibatkan destabilisasi dan perusakan feldspar dan biotit dalam bentuk bangunan
muscovite quartz+ sebagaimana diperlihatkan pada Fig. 4.8. Proses ini mungkin lebih
rumit dalam sistem mineralisasi, dimana ada pengenalan B, F dan Li. Ini akan
berakibat dalam serangkaian reaksi yang mungkin terjadi untuk membentuk topas,
tourmaline, dan mineral okside (Plat 4.7 dan 4.8). Silisifikasi mungkin menyertai
alterasi greisen selama dan sesudah terbukti oleh membanjirnya batuan yang
mengalami alterasi greisen. Muscovite biasanya menggantikan biotit, dan selama
proses ini kation-kation yang terkunci di dalam biotit lattice dilepaskan kedalam
sistem dan mungkin bertanggung jawab untuk mineralisasi para-genetik yang
kemudian berasosiasi.(Plimer dan Kleeman 1986). Greisen quartz + dan muskovit
mungkin diikuti dengan tahap-tahap progresif dari metasomatisme F dan B, dan pada
kasus yang kemudian pada pembentukan tourmalin mungkin begitu ekstensif
sehingga bangunan quartz-tourmalin sama-sama dominan. Akibat alterasi greisen,
type serisit dan argillic mungkin diikuti dengan peningkatan kegiatan metasomatisme
H+.
Alterasi Argillic

Alterasi argillic ditandai oleh pembentukan mineral lempung karena metasomatisme


H+ yang intense (acid leaching), pada temperatur antara 100 dan 300 oC. Alterasi ini
tergradasi ke dalam zona phyllic, sedangkan keluar muncul ke dalam tanah propilitik.
Type alterasi ini umum dalam sistem porfiri, walaupun pada setting yang lebih tua
seperti Haib porfiri endapan Cu-Mo di Namibia (Minnitt 1986) erosi mungkin
menghapuskan bukti-bukti dari alterasi type ini. Lingkungan epithermal dicirikan
oleh acid leaching yang ekstrim, dan karenanya alterasi argilik merupakan petunjuk
yang sangat berguna kearah mineralisasi. Leaching dasar alumino-silikat mungkin
berakibat pada pengayaan silika, sehingga alterasi argillic tergradasi ke zona-zona
material kaya silika. Mineral lempung menggantikan plagioklas dan silikat mafik
(hornblende, biotite). Lempung amorphous seperti allophane juga hadir dan
menggantikan fase alumino-silikat. K-feldspar dilaporkan menjadi fase metastable.
Contoh-contoh alterasi argillic diperlihatkan pada Plat 4.9 dan 4.10.
Alterasi argillic menengah didefinisi dengan hadirnya montmorillonite, illite, chlorite,
lempung kelompok kaolin (kaolinite, dickite, halloysite, hallophane) dan serisit
minor, sementara K-feldspar mungkin tetap tak mengalami alterasi, dan K, Ca, Mg,
Na tidak seluruhnya mengalami leaching. Biotit dan chlorite mungkin penting secara
lokal. Penentuan zona dengan alterasi argilik tingkat menengah yang mungkin hadir
bersama kaolinite dan dekat kepada zona phyllic, sedangkan lempung mont-
morillonite terjadi pada zona bagian luar.Fig. 4.6d. memperlihatkan ringkasan
bangunan mineral pada diagram ternary.
Plat 4.11 Leaching asam yang intense dari batuan volkanik,
Vulcano, Pulau Eolia

Alterasi argillic tingkat lanjut (Plat 4.11) disebabkan oleh pengaruh asam yang
intense, dan sedikit banyak oleh leaching yang sempurna kation-kation alkali serta
perusakan yang sempurna atas fase feldspar dan silikat mafik. Dickite, kaolinite,
pyrophylite, barite, alunite dan diaspore adalah tipikal fase mineral dari tipe alterasi
ini. Selain itu, sulfide, topas dan tourmalin serta sekisaran lempung amorphous
mungkin hadir. Mineral sulfide dapat juga termasuk covellite, digenite, dan enargite.
Leaching dasar diatas 300o C akan menghasilkan bangunan yang mengandung
pyrophillite, andalusite, quartz, topas dan pyrite. Mineral berasosiasi lainnya bisa
termasuk serisit dalam jumlah kecil, diaspore, kaolinite, rutil, anhydrite, corundum,
zunyite, durmotierite, chloritoid (Siems 1984). Lempung amorphous (mis. allophane)
juga umum dalam lingkungan supergene. Alterasi argillic tingkat lanjut ditemukan
dalam sistem porfiri, pada zona bagian dalam dasar hydrothermal dan vein yang
mengandung logam mulia dan terutama pada sistem epitermal yang tinggi kandungan
sulfurnya.Alterasi alunitik merupakan bagian dari alterasi argilik tingkat lanjut, dan
pada kehadiran dalam jumlah besar ion-ion sulfat dan protolith yang kaya akan Al
mungkin menjadi suafu fase dominan, sebagaimana disebutkan lebih awal.Kelompok
mineral alunite termasuk alunite, natroalunite (Na menggantikan K), dan jarosite (Fe
menggantikan Al. Mineral yang biasanya juga ditemukan adalah kaolinite, serisit,
jarosite, pyrite, barite, hematite, chalcedony dan opal. Fig. 4.6c meringkaskan
bangunan mineral dari alterasi argilik tingkat lanjut pada diagram ternary.
4.3.3. Type-type lain dari Alterasi

Type-type lain dari alterasi yang tidak secara langsung berhubungan dengan ion
hydrogen metason adalah : tourmalisasi, alterasi talk-karbonat, serpentinisasi, silicasi-
silicifik, fenitisasi, hematitisasi dan alterasi Fe, dolomitisasi karbonitisasi.

Tourmalinisasi

Tourmalinisasi merupakan suatu mineral kompleks yang mengandung B dengan


kandungan umum XY3Z6B3Si11O27(O, OH, F)4, dimana tempat X mungkin diambil
oleh Ca atau Na, tempat Y oleh Mg dan atau Fe 2+, (Al + Li) atau Fe3+, sementara
Al3+ , Fe3+ atau Cr mungkin menempati ..(Dietrich 1985),Tiga anggota terakhir dari
tourmalin padat Mg-Li-Fe adalah schorl (kaya akan Fe), elbaite (kaya akan Al, Li)
dan dravite (kaya akan Mg). Komposisi tourmalin terpengaruh oleh lingkungan
dimana batuan ini berasal. Sebagai contoh ratio Fe/Mg cenderung menurun dengan
adanya peningkatan distribusi sumber granitik (Pirajno dan Smithies, didalam siaran
pers). Pada umumnya tourmalin yang kaya akan Fe berasosiasi dengan endapan Sn-W
dari greisen dan sejenisnya, sedangkan tourmalin yang kaya akan Mg ditemukan
bersama endapan sulfida masif dan endapan stratabound W. “Tourmalinite” adalah
nama yang diberikan kepada batuan yang mengandung lebih dari 15% tourmalin dan
berasosiasi dengan endapan ore exhalatif dalam setting rift. (Filmer 1987).

Di dalam endapan Sn-W dari keluarga greisen, batuan ter-tourmalin-kan adalah


umum. Tourmalinisasi pervasif sampai pervasif selektif biasanya terjadi berasosiasi
dengan endapan Sr dan breksi pipa.Dalam banyak kasus batuan country yang
mengelilingi kubah granit greisen memiliki penyebaran tourmaline yang cenderung
berlimpah dalam zona frakturing. Bangunan yang didominasi quartz –tourmaline
sampai penggantian pervasif dan vein serta veinlet. Penggantian dapat sangat halus,
sehingga fitur yang sangat dekat dan tekstur yang terawetkan.Type alterasi tourmaline
berhubungan dengan emplasemen dan kristalisasi granit magma yang kaya akan B,
dengan kemungkinan bahwa pengayaan mungkin diwariskan dalam daerah sumber
yang mengandung protolith kaya akan tourmaline. Breksi pipa tourmaline mungkin
juga berasosiasi dengan kristalisasi magma granitik yang terkhususkan secara
geokimia dan terletak jauh dari volatil tekanan tinggi yang melebihi beban lithostatis.
Pada deposit Krantzgerg di Namibia, tourmalinisasi dari batuan country, fraktur
hydraulik yang terisi oleh tourmaline dan breksi pipa adalah umum. Fitur ini
berhubungan dengan emplasemen granit Erongo yang kaya akan B, suatu granit
anorogenik peraluminous.(Pirajno dan Schlogl 1987). Tourmalin breksi pipa
terbentuk berasosiasi dengan endapan tembaga porfiri, endapan Sn type vein, dan
pipa pollymetallic yang mengandung W, Cu, Bi, As dan Au. Data inklusi batuan
mengindiksikan bahwa inklusi cairan itu membentuk kedalaman yang berkisar dari
antara 1 km dan 3 km dan pada temperatur lebih dari 300o C dari cairan yang
mempunyai kandungan garam tinggi (Kirwin 1985). Di Roolberg, Transvaal (Afsel),
kantong-kantong orbicular mineralisasi yang mengandung Sn terjadi di bidang
sedimenter yang tertelan ke dalam granitoid fase asam dari kompleks Bushveld.
Kantung-kantung ini mengandung tourmaline dan mineral karbonat dalam jumlah
banyak yang menggantikan qurtz dan plagioklas dari batuan sedimenter tuan rumah.
(Plat 4.12).

Tourmalinite stratiform tersebar luas pada sekuens sedimen Proterozoic dan


Paleozoic yang berasosiasi dengan endapan sulfida masif yang berhost-kan endapan ,
sebagai contoh di Sullivan, British Columbia , dimana batuan tourmaline quartz
berbutir halus mendasari endapan ore. Tourmalinite juga hadir di Broken Hill
(Australia), dan di Namaqualand (Afsel) (Slack dkk. 1984, Plimer 1987).Batuan kaya
akan tourmaline diduga merupakan akibat dari pada exhalasi bawah laut di
lingkungan rift, dan karena itu bukan epigenetik ataupun type penggantian. Walaupun
ini kasus untuk banyak kejadian, pembaca diingatkan terhadap interpretasi batuan
kaya akan tourmaline, karena penggantian skala kecil dapat bersifat reseptif dan
mengarah kepada kesimpulan yang salah (Plimer 1988; Smithies dan Pirajno 1988).

Alterasi Talk-karbonat dan Talk-Chlorite

Talk hidrotermal dikenal diendapkan di dasar laut di Teluk Kalifornia , dimana


terasosiasi dengan lempung smectite dan sulfida. Talk juga hadir di endapan
metalliferrous Laut Merah. Asal-usul talk + karbonat + bangunan magnetite dari
alterasi pengganti biasanya ditemukan pada endapan mineral hidrotermal di sabuk
batuhijau Archean. Sebuah contoh adalah mineralisasi Sb-Au di sabuk batu hijau
Murchison di Afsel (garis Antimon). Di sini, mineralisasi Sb-Au diasosiasikan
dengan alterasi talk-chlorite – karbonat yang tersebar luas dan berstruktur terkendali.
Pearton dan Viljoen (1986) percaya bahwa mineralisasi ini epigenetik, mirip dalam
hal style dengan endapan Au berhost-kan zona shear Archean. Alterasi talk-chlorite –
karbonat diduga berasal dari cairan metamorfik yang tersalurkan di sepanjang
pecahan besar struktur yang penyebabnya adalah alterasi dan penggantian batuan
metavolkanik dan metasedimenter. Masuknya sejumlah besar H2O dan CO2 kedalam
pecahan besar struktur (zona shear) mungkin menjadi penyebab besar ddai
penyebaran alterasi skala regional di dalam setting Archean. Di sepanjang pecahan
struktural setiap tahap penggantian dan alterasi oleh serisitisasi, albitisasi,steatisasi
(talk) dan karbonat (dolomite, ankerite, magnesite) ini, teramati bersama konsentrasi
lokal dari pyrite, arsenopyrite dan emas (Bab. 15). Proses alterasi talk karbonat dan
talk chlorite ini diteliti secara detail oleh Turner dan Verhoogen (1960) , dan
diringkaskan disini :

tremolite + 4CO2 = 2dolomite + H2Mg3Si4O12 + 4SiO2.


talk

dan pada kehadiran larutan kaya akan CaO:


talk + 2.15CaO + 4.3CO2 = 2.15dolomite + 0.85MgO + 4SiO2 + H2O;

Talk dan dolomite mungkin juga secara langsung membentuk dari serpentinite:

2serpenite + 1.23CaO + 2.46CO2 = talk + 1.23dolomite + 1.77MgO + 3.H2O:


2serpentinite + 3CO2 = talk + 3magnesite + 3H2O.

Plat 4.13. Foto mikrograf yang diambil pada cross nicols memperlihatkan alterasi talk karbonat
suatu batuan piroksen original. Kristal-kristal besar adalah karbonat, material yang
berbutir halus adalah talk. Tambang Nikel Epoch, Zimbabwe. Lebar lapangan adalah 3.5 m.
Contoh-contoh lain dari alterasi – mineralisasi talk-karbonat- chlorite Archean
ditemukan di Australia Barat (lih. Keays dkk 1982) dan di Zimbabwe di tambang
nikel Epoch. Ditempat ini, mineralisasi sulfida terkandung dalam batuan talk-
karbonat dan talk – chlorite yang berasal dari alterasi serpentinite dan dunite (Pirajno
data tidak dipublisir) Kelompok talk-karbonat termasuk talk, chlorite, magnesite dan
dolomite. Talk merupakan fase mineral yang paling banyak terdapat.

Serpentinisasi

Ini merupakan type alterasi yang paling umum dari batuan ultramafik Mineral
serpentin (antigorite, chrysotile, dan lizardite) terbentuk dari alterasi olivine dan
pyroxene dengan masuknya H2O dan CO2. Namun demikian hydrasi yang sederhana,
menurut Turner dan Verhoogen (1960), merupakan kebanyakan reaksi tanpa
perubahan volume maupun pembuangan MgO dan SiO2:

5Mg2SiO4 + 4H2O = 2H4Mg3Si2O9 + 4MgO + SiO2.

Walaupun serpentinisasi dapat terjadi pada temperatur setinggi 500oC, pada setting
gunung api bawah laut dengan temperatur sekitar 250o C juga bisa terjadi. Batuan
ultramafik disini mengalami serpentinisasi sebagai akibat dari penetrasi dan reaksi
dengan air laut. Fenomena ini yang menyebar luas pada skala regional menyebabkan
pertimbangan bahwa serpentinisasi dianggap suatu proses metamorfik regional.
Transport tektonik dari kompleks mafik-ultramafik dari penyebaran gunung api
bawah laut kearah margin kontinental berakibat pada deformasi yang tinggi dan
proses metamorfik yang berkaitan dengan tekanan. Ophiolite adalah nama yang
diberikan kepada batuan ini, dan kita akan kembali kepada topik ini pada diskusi kita
tentang proses-proses hydrotermal serta mineralisasi pada batuan kulit bumi bawah
laut (Bab 12). Batuan serpentinit dari ophiolitik mengandung bangunan lizardite +
chrysotile + brucite + magnetite. Yang belakangan ini umum merupakan produk
samping dari serpentinisasi dan disebabkan oleh pengeluaran dan oksidasi Fe dari
lattice silikat. Produk samping lain yang penting dari serpentinisasi adalah proses
metasomatik seperti albitisasi, dan pembentukan batuan asing yang disebut
‘rodingites’, yang terjadi sebagai dyke, umum dijumpai pada pegunungan Dun, sabuk
ophiolite di New Zealand (nama diambil dari sungai Roding dekat Nelson, New
Zealand). Rodingite dibentuk oleh bangunan kalk-silikat (mis. garnet, clinopyroxene,
tremoline –actinolite, epidote) dan bersama-sama albite terjadi disepanjang kontak
antara batuan serpentinite dan batuan country.(Charmicael dkk. 1974). Pada beberapa
kasus rodingite dan serpentinite karbonat mungkin berasosiasi dengan mineralisasi
Au, Ag, dan Co. (Leblanc dan Louabi 1988).

Silisifikasi.

Ini mungkin merupakan yang salah satu dari alterasi hidrotermal yang paling umum
dijumpai dan merupakan type terbaik. Bentuk yang paling umum dari silika adalah
Œ-quartz, atau ß-quartz, rendah quartz, temperatur tinggi, atau tinggi kandungan
quartznya (> 573oC) , trydimite, cristobalic, opal, chalcedon. Bentuk yang paling
umum adalah quartz rendah; cristobalic dan trydimite kebanyakan ditemukan di
batuan volkanik. Trydimite terutama umum sebagai produk devitrifikasi gelas
volkanik, terbentuk bersama alkali feldspar.

Opal [SiO2(H2O)] yang bersifat submikroskopik, diasosiasikan dengan endapan


sinter dan membentuk colloform crust dalam rongga-rongga batuan volkanik.
Kalsedon merupakan komponen utama dari chert dan jasper, dan biasanya berwarna
merah sampai merah-kecoklatan. Pada bagian ini, kalsedon nampak berserat atau
memiliki tekstur bersabuk. Selama proses hydrotermal silika mungkin didatangkan
dari cairan yang bersirkulasi, atau mungkin ditinggalkan dibelakang dalam bentuk
silika residual setelah leaching dari dasar. Solubilitas silika mengalami peningkatan
bersama temperatur dan tekanan (lih.Bab 3), dan jika larutan mengalami ekspansi
adiabatik silika mengalami presipitasi, sehingga di daerah bertekanan rendah dan
temperatur rendah itu siap mengalami pengendapan. Endapan silika di daerah
vulkanik (sinters) telah dibicarakan pada Bab 3. Banyak endapan mineral epitermal ,
termasuk type kuroko, dicirikan oleh sinters, pembentukan kap silika, silika breksi,
veins dan silisifikasi batuan country. Silika dari endapan sinter biasanya berbutir
halus, opaline, berpori-pori, membentuk lapisan dan lembaran tipis (Plat 4.14), dan
menggantikan material seperti twigs, daun-daunan dsb.

Walaupun silika mungkin menggantikan hampir semua type batuan , silisifikasi


batuan karbonat barangkali yang paling umum. Jasperoid, atau jasperoidal merupakan
istilah yang sering dipergunakan mengacu kepada epigenetik body yang terbentuk
oleh penggantian kalsedonik berbutir halus dari batuan sebelum terjadi, biasanya
karbonat (Loovering dan Heyl 1974). Batuan jasperoidal mengandung logam mulia
merupakan anggota terakhir dari endapan emas epitermal type Carlin. Jasper ini
berbutir halus, terbreksikan, dan berwarna abu-abu gelap (Lovering dan Heyl 1974).
Silisifikasi umum pada endapan porfiri-copper dan pada banyak pipa breksi. Di
Climax, Colorado, suatu ini silika yang tidak bernilai hadir dalam sistem porfiri
termineralisasi. Silika yang sama juga ditemukan berasosiasi dengan granit
tergreisenkan sebagaimana contoh yang ada di Panasquiera (Portugal), dimana kap
silika berlokasi dekat puncak kubah greisen (Bab 9)

Silikasi

Silikasi adalah penggantian batuan karbonat oleh mineral silika, biasanya melalui
penambahan silika seperti reaksi dibawah:

CaMg(CO3)2 + 2SiO2 = (CaMg)Si2O6 + 2CO2:


dolomite diopside

CaCO3 + SiO2 = CaSiO3 + CO2:


kalsit wollastonite

Silikasi berakibat pada batuan skarn, dimana penambahan sejumlah besar silika
menghasilkan berbagai jenis mineral kalk-silikat. Alterasi bangunan mineral dari
batuan skarn termasuk silikat Ca, Fe, Mg, Mn, seperti epidot, clinozoisite, garnet,
clinopyroxene, wollastonite, diopside, vesuvianite, tremolite-actinolite, andradite,
grossularite, phlogopite dan biotite. Skarn mengalami perkembangan pada waktu
terjadi kontak antara pluton dengan batuan country yang terinvasi, biasanya
mengalami karbonasi dan jarang oleh batuan silikat kaya akan Ca. Genesis skarn
melibatkan kontak isokemik metamorfisme dan metasomasi, seluruhnya karena
pengeluaran oleh body plutonik yang mengalami pendinginan. Tahap retrograde dari
alterasi ini terjadi terhadap tahap terakhir pendinginan, menghasilkan kegiatan
hidrotermal yang lebih intense dan presipitasi sulfida serta oksida, terutama didekat
kontak dengan pluton.Skarn mengalami perkembangan pada temperatur antara 650
dan 450oC dan pada tekanan 0,3-3 kbar (Einaudi dkk 1981). Skarn berfungsi sangat
penting karena menjadi tuan rumah (host) bagi sejumlah ore dan membentuk suatu
klas berbeda bagi endapan mineral, yang karakteristiknya disebut pada Bab 10.

Fenitisasi

Ini merupakan type alterasi yang terjadi di aureole karbonatites dan kompleks
alkaline Ini merupakan proses desilikasi yang disertai oleh penambahan Na, K, CO 2,
CaO dan Al2O3. Karena itu fenitisasi ditandai oleh perkembangan pyroksen alkali
(mis. aegirine), amfibol alkalin (mis. riebeckite), dan feldspar alkali (ortoklas,
mikroline dan albite).Yang belakangan ini biasanya berwarna merah karena hadirnya
hematit. Batuan yang terpengaruh disebut ‘fenite’, berasal dari Fen carbonatite
dimana type alterasi pertama didokumentasikan oleh Brogger (1921). Sejumlah besar
nama yang membingungkan atau sukar diingat telah diadopsi oleh penulis-penulis
lain untuk mendiskripsikan batuan fenitik. Verwoerd (1966), berusaha untuk
memecahkan masalah, mengusulkan bahwa penamaan batuan fenitik harus dimulai
dengan komponen mineral utama, diikuti oleh fenite (mis. orthoclase-aegirine-augite
fenite).

Fenite terbentuk pada batuan country yang mengelilingi kompleks alkaline, melalui
tahap-tahap metasomatisme progresif yang melibatkan eliminasi quartz bebas dan
perkembangan fase mineral alkali. Carmichael dkk (1974) menyatakan bahwa efek
metasomatik terhadap cairan residual kaya akan alkali ini berasal dari magma alkali
yang mengalami fraktur. Cairan ini berada dalam ketidak-seimbangan yang besar
dengan batuan country, mengakibatkan produk alterasi haloes yang pada beberapa
kasus menyerupai batuan igneous primer. Fenitisasi dianggap oleh orang banyak
sebagai transformasi solid-state (padat), karena pengeluaran volatil panas dan sangat
reaktif dari kompleks igneous dan infiltasinya ke dalam batuan country (Best 1982).
Hubungan spatial dari alkaline dan kompleks carbonatite dan mineralisasinya
diuraikan pada Bab 8.

Hematitisasi dan Alterasi Kaya akan Fe

Hematite, Fe-karbonat (ankerite, siderite), chlorite yang kaya akan Fe serta amfibol
yang kaya akan Fe sering merupakan produk alterasi dominan pada sejumlah type
endapan ore. Sayangnya type alterasi ini tidak didokumentasikan dengan baik, antara
lain karena kurang menarik secara ekonomis dan karena itu kurang mendapat
perhatian dari para peneliti, selain itu juga penelitian yang dilakukan para geolog
perusahaan tidak dipublikasikan karena masalah strategis atas beberapa komoditas
mineral.Impregnasi hematit, penyebarannya dan veinlets biasa dikaitkan dengan tahap
akhir dari kegiatan hydrotermal pada sistem mineralisasi yang berafiliasi Sn-W
Hematite dan chlorite adalah dua jenis gangue dan alterasi mineral yang penting pada
endapan raksasa Roxby Down (Olympic Dam) di Australia Selatan (Roberts dan
Hudson 1983. Dalam endapan ini alterasi yang kaya akan besi berasosiasi dengan
mineralisasi yang mengandung elemen-elemen seperti F, Cu, U, REE dan Au.

Terutama yang lebih menarik adalah asosiasi Fe-F (actinolite-fluorite: siderite-


magnetite-quatz – fluorite-sulfida) yang membentuk sistem mineralisasi yang tidak
umum yang berhubungan dengan fase asam kompleks Bushveld, di Transvaal (Afsel).
Endapan-endapan mineral ini ditafsirkan sebagai produk distal (jauh dari asal-usul)
dari sistem hidrotermal berkaitan dengan granit pada Bushveld (Crocker 1985).
Hematit Vergenoeg dan endapan fluorite (Crocker 1985) merupakan contoh yang
mencolok dari metasomatisme F dan Fe dalam skala besar. Mineralisasi Bushveld
yang berhubungan dengan granit ini dibicarakan pada Bab 9; namun demikian untuk
tujuan dari topik ini akan cukup mengatakan bahwa lithologi kaya akan Fe dan
mineralisasi di Vergenoeg serta lokasi lainnya didekatnya, boleh jadi merupakan
produk suatu kombinasi dari kegiatan plutonik, vulkanik ekshalatif dan metasomatik,
yang aslinya sulit dimengerti. Pada tingkat tertentu skala besar dan regional
pengayaan Fe yang teramati di daerah-daerah ini telah mengarahkan Crocker untuk
mempertimbangkan kecenderungan umum dari pengayaan Fe-Ca-F-CO 2 mungkin
mula-mula disebabkan oleh immiscibility dari fraksi magmatik. Exsolusi dan
degassing dari HF mungkin merupakan faktor pemicu yang bertanggung jawab atas
alterasi masif Fe-F di daerah itu. Ketika HF melintasi lithologi yang mulanya kaya
akan Fe (mis. batuan mafik dari kompleks Bushveld), maka akan terjadi leaching Ca
dan Fe untuk membentuk fluorite, chlorite, Fe-acnolite dan hematite pada sektor
paling atas dari sistem. Dengan hilangnya tekanan Fe-actinolite plus HF, CO 2 dan O2
akan membentuk magnetite, siderite dan fluorite. Ini adalah kemungkinan reaksi yang
diusulkan oleh Crocker (1985)

4Ca2Fe5Si8O22(OH) + 16HF + 6O2 = 8fluorite + 10hematite + 32quartz ! 10H2O

Alterasi hematite dan chlorite berasosiasi dengan endapan uranium unicon-


formity.Alterasi ini mungkin disertai dengan lempung, dolomitisasi, silisifikasi dan
bahkan tourmalinisasi. Pada endapan danau Rabbit di Kanada (Nash dkk 1981),
alterasi dicirikan oleh chloritisasi mineral mafik (kaya akan Fe), diikuti
metasomatisme Mg dan B, silisifikasi dan hematitisasi. Di ladang uranium Alligator,
Northern Teritory (Australia), zona-zona chlorite masif, quartz dan hematite, yang
dikendalikan oleh fault, terjadi asosiasi dengan mineralisasi.

Di daerah Brandberg (Damara orogen, Namibia), endapan vein Sn-W berasosiasi


secara lokal dengan tourmalinite ekstensif, serisit dasn alterasi hematit. Yang
kemudian ini nampaknya berkaitan dengan tahap akhir dari kegiatan hidrotermal.
Ferruginisasi, (terutama siderite) dari unit marmer terinterkalasi dengan metapelite
menjadi host dari mineralisasi vein juga merupakan suatu fitur yang menarik
perhatian. (Pirajno dan Jacob 1987).

Alterasi Fe-karbonat sering dijumpai pada batuan dinding endapan vein Au yang
memiliki host turbidite. Pertumbuhan siderite dan ankerite yang mirip porphyroblast
membuat batuan dinding nampak seperti bertitik-titik. Alterasi Fe-karbonat dan
chlroritisasi juga umum di endapan emas usia Archean (lih. dibawah)

Karbonisasi dan Dolomitisasi

Alterasi karbonat dari batuan silikat maupun silikat kaya akan Ca melibatkan dua
proses dasar : dolomitisasi dan karbonisasi. Yang pertama merupakan type alterasi
limestone yang sangat umum, dimana metasomatik kation dan pertukaran dasar
terjadi, yakni Mg21 menggantikan Ca21, dan CaCO3 menjadi CaMg (CO3 )2. Dari titik
pandang mineralisasi, sangat penting untuk menyadari bahwa reaksi dolomitisasi
melibatkan kehilangan volume (antara 6 sampai 13%, Morrow 1982 a) dengan
kesempatan porositas dari batuan dan karena itu membuatnya lebih bersifat reseptive
terhadap cairan mineralisasi. Ada beberapa model yang berusaha untuk menerangkan
dolomitisasi dan walupun diluar scope dari bagian ini untuk memberikan peninjauan
secara detail (lih Morrow 1982a, b: Hardie 1987), ini melibatkan hal berikut: satu
teori mengatakan bahwa dolomite merupakan mineral yang evaporit, dan bahwa
dolomite dibentuk oleh aksi air garam hipersaline dengan ratioCa/Mg tinggi. Pada
lingkungan evaporitik, algae mungkin mempengaruhi proses ini, selama mana
dolomite menggantikan calcite dan mineral evaporit lainnya. Teori lain , bahwa dari
air yang tercampur (dikenal sebagai ‘dorag’, perkataan Persi yang artinya darah),
menggambarkan dolomite yang sedang terbentuk melalui percampuran air tawar
dengan air laut. Teori ketiga tentang dolomitisasi ialah penguburan diagenesis, selama
mana migrasi air garam yang kaya akan Mg dan percampurannya dengan air garam
dekat permukaan akan terjadi. Suatu penilaian tentang teori ini mengungkapkan
bahwa dalam kenyataan tidak satupun yang memuaskan (Hardie 1987), tapi cukup
jelas bahwa dolomitisasi mempunyai asosiasi penting dengan banyak jenis endapan
mineral hidrotermal. Dolomitisasi biasa diasosiasikan dengan endapan Pb-Zn type
lembah Mississipi , dimana jenis alterasi nampaknya telah memproses atau
membantu pengendapan mineral sulfida (Evans 1987).

Plate. 4.15. Dolomitisasi marmer calcite abu-abu pada formasi Karibib, sekuense Damara,
Namibia. Marmer yang mengalami dolomitisasi ini secara spatial berasosiasi dengan
mineralisasi Au (Pirajno dan Jacob 1988)

Dolomitisasi skala besar satuan-satuan marmer di formasi Karibib , Damara, mungkin


berhubungan dengan mineralisasi emas di zona tengah orogen Damara di Namibia
(Plat. 4.15). Walaupun asal-usul dolomitisasi yang sangat ekstensif ini tetap tidak
jelas, mungkin berhubungan dengan pelepasan CO2 selama metamorfisme. Reaksi
CO2 dengan batu marmer tidak murni yang mengandung mineral actinolite-tremolite,
kemudian dengan metamorfisme prograde bersuhu tinggi, bisa jadi telah
menghasilkan dolomite:

3calcite + tremolite-actinolite + 7CO2 = 5dolomite + 8SiO2 + H2O

Reaksi diatas diambilkan dari asosiasi mineral dan hubungan yang ada pada batuan
yang mengalami dolomitisasi (Pirajno dan Jacob 1988). Hubungan dari alterasi ini
dengan mineralisasi Au dibicarakan pada Bab 15. Di Mt. Isa (Australia ), silika
dolomite berasosiasi dengan mineralisasi Cu-Pb-Zn, walaupun nampaknya batuan ini
merupakan produk yang mengalami rekristalisasi silika dolomite (Bab. 13).
Endapan mineral di lembah Mississipi merupakan afiliasi dari ‘zona platform
karbonat orogen Damara (Namibia), sebagaimana Tsumeb dan Kombat yang
terkenal, memiliki hubungan spatial dengan kalsitisasi dolomite yang terkendali oleh
fraktur, dan secara lokal disertai oleh alterasi hematit dan silisifikasi. Fitur alterasi ini
kenyataanya dipergunakan sebagai kriteria eksplorasi umum. Alterasi karbonat dari
batuan silikat, kebalikan dengan dolomitisasi, terjadi oleh metasomatisme anion
dengan introduksi CO2. Karbonitisasi batuan mafik merupakan type umum alterasi
pada batuan mafik sabuk batuan hijau Archean dimana vein quartz auriferous hadir.
Suatu alterasi karbonat skala besar dari type ini terdapat di Golden Mile dolerite di
Kalgoorlie , Australia Barat (Phillips 1986).Alterasi hydrothermal lithologi Golden
Mile dibagi oleh Phillips (1986) kedalam tiga zona : (1) zona chlorite (chlorite +
calcite + ankerite );(2) zona karbonat (ankerite + siderite): (3) zona pyrite (ankerite +
muscovite + quartz + albite + pyrite dan emas ). Reaksi yang digambarkan oleh
Phillips adalah sbb.:

1. Actinolite ke chlorite:
6actinolite + 12CO2 + 14H2O = 5chlorite + 12calcite + 28SiO2.

2. Chlorite ke karbonat :
chlorite + 6calcite + 6CO2 = 6ankerite + 4SiO2 + 4H2O ;
chlorite + 6CO2 = 6siderite + 4SiO2 + 4H2O

3. Karbonat ke pyrite:
siderite + 2H2S + ½ O2 = FeS2 + CO2 + 2H2O

Alterasi ini diduga karena syn- ke post- metamorfik cairan yang kaya akan H2O-CO2
dengan salinitas rendah (< 2wt.% NaCl equivalen), pada temperatur antara 350-400o
C dan tekanan 0.8-2 kbar (Phillips 1986) Mineralisasi alterasi Golden Mile diteliti
secara lebih detail pada Bab 15.

4.4. Quantifikasi dan Monitoring proses alterasi Hydrotermal – Presentasi Data

Pendekatan empiris dan semi kwantitatif untuk mendiskripsikan alterasi hidrotermal telah
disebutkan pada bagian 4.3. Penelitian tentang keseimbangan antara mineral dan cairan
hidrotermal memerlukan penelitian tentang thermodynamics, yang secara normal
dilakukan di universitas dan institusi lain diperlengkapi untuk melakukan pekerjaan
eksperimental yang perlu.Presentasi keseimbangan mineral, dalam kenyataan melibatkan
penggunaan variabel seperti tekanan, temperatur, Eh, pH dan potensial kimia (lih. Rose
dan Burt 1979). Diagram keasaman (acidity) – salinitas atau potensial kimia telah
dipergunakan oleh Burt (1981) untuk mengukur alterasi keseimbangan mineral pada
sistem greisen dan porfiri. Diagram kegiatan dipertimbangkan terutama sangat berguna
karena memungkinkan perbandingan antara ion-ion kunci yang dapat dinormalisir
menjadi H1(Guilbert dan Park 1986). Diagram yang disederhanakan pada Fig. 4.5A
misalnya, membandingkan temperatur dengan rasio kegiatan K1 dan H1. Suatu tinjauan
yang komprehensif dan singkat terhadap penggunaan diagram kegiatan dalam penelitian-
penelitian alterasi hydrothermal dapat ditemukan dalam buku tulisan Rose dan Burt
(1979 hal.. 188). Untuk tujuan eksplorasi geologi, alterasi hydrothermal dapat dengan
mudah diukur kwantitasnya dan dideskripsikan dengan menggunakan data mineralogi
dan geokimia.Untuk ini, suatu tim eksplorasi perlu melakukan penelitian di sepanjang
tiga front. Pertama adalah pemetaan lapangan secara detail, core logging, dst. selama
mana contoh-contoh yang representatif dari material yang asli maupun yang telah
mengalami alterasi dikumpulkan.Kedua terdiri dari penelitian mineralogi termasuk thin
section (sayatan tipis), difraksi sinar – X / XRD, dan pekerjaan mikro probe, untuk
identifikasi bangunan mineral kunci. Ketiga termasuk analisa geokimia trace elemen dan
elemen besar (major element). Data yang diperoleh dengan cara ini dapat dievaluasi dan
dipresentasikan dalam bentuk diagram dua dimensi. Idealnya ini harus menggambarkan
data mineralogi maupun geokimia.

Fig. 4.9A-C. Diagram Komposit memperlihatkan A log geologi yang di-sederhanakan. B Model
mineralogi C. Variasi geokimia.; suatu sistem vein auriferous Data dan diagram dimodifikasi dari
Phillips dan Groves (1982)

Suatu contoh dari type presentasi ini diperlihatkan pada Fig. 4.9, dimana volume
persentase dari masing-masing fase mineral yang dikembangkan dengan penghitungan
point dari sayatan tipis, diplot terhadap log geologi yang disederhanakan. Geokimia trace
elemen diplot terhadap log geologi yang sama, sehingga memungkinkan perbandingan
langsung dari semua variasi mineralogi dan geokimia dalam sistem mineralisasi yang
ada. Lebih skematik, tapi efektif, adalah ringkasan diagram Fig. 4.10, dimana perubahan
mineralogis dan geokimia dibandingkan dengan type alterasi.

Fig. 4.10.Diagram yang menggambarkan ringkasan perubahan alterasi dan geokimia diasosiasikan
dengan vein termineralisasi di Butte, Montana. Setelah Rose dan Burt (1979), original dari hasil
penelitian Meyer dkk. (Rose dan Burt 1979)

Suatu cara yang populer dan sangat praktis dari representasi data alterasi adalah dengan
memplot perolehan dan kehilangan karena prosentase relatif terhadap batuan yang tidak
mengalami alterasi. Pada metoda ini nilai-nilai analitik dan penentuan berat jenis
diperoleh untuk contoh individual, dan suatu garis mendatar mewakili komposisi batuan
yang diduga tidak mengalami alterasi. Plot-plot perolehan diatas garis horisontal dan
plot-plot kehilangan dibawahnya.Contoh-contoh dari jenis penelitian ini dapat ditemukan
dalam tulisan Camus (1975), yang mengadakan penelitian alterasi hydrothermal pada
endapan porfiri Cu di El Teniente, dan juga tulisan Ford (1978) yang meneliti di endapan
porfiri Cu-Au Panguna (bab 10). Satu dari diagram Ford diperlihatkan pada Fig. 4.11.
Suatu pengukuran kwantitatif atas alterasi hydrothermal dipergunakan oleh Ferry (1983)
dilakukan dengan kalkulasi index alterasi (AX). AX didefinisi sebagai total volume
bangunan mineral alterasi, dibagi dengan total volume dari seluruh fase mineral yang ada.
(termasuk mineral hydrothermal ). Pengukuran prosentase volume ini dilakukan dengan
penghitungan point dari sayatan tipis. Nilai-nilai AX berkisar dari 0 pada batuan yang
tidak mengalami alterasi sampai setinggi 0.8 atau 0.9 untuk batuan alterasi pervasif
dengan beberapa relict (sisa) mineral tak teralterasi. Index AX kemudian dapat diplot
terhadap parameter geokimia yang tepat.

Penelitian terhadap transfer massa yang menyertai proses metasomatik dilakukan oleh
Gresens (1967) dan Babcock (1973). Mereka mempertimbangkkan hubungan antara
komposisi dan volume dengan mengembangkan satu set persamaan untuk mengukur
perolehan dan kerugian oleh pertukaran metasomatik. Prins (1981) mengadopsi
pendekatan ini untuk penelitiannya terhadap fenite dari kompleks alkalin dan karbonat
pada orogen Damara, Namibia. Pembaca yang tertarik disarankan untuk membaca tulisan
Prins untuk mendapatkan instruksi contoh. Persamaan Gresen memungkinkan kalkulasi
pendapatan dan kerugian dalam sistem dengan mempergunakan analisa geokimia dan
berat jenis pada batuan dan mineral. Persamaan berikut merupakan kasus yang paling
sederhana dari dua mineral dan dua komponen:

100 x [fv(gB/gA) clB – clA)] = X1


100 x [fv(gB/gA)c2B – c2A)] = X2

dimana A adalah mineral original, B adalah produk alterasi, c1A adalah komponen fraksi
berat 1 untuk mineral A (mis.TiO2 wt.%) dan fv faktor volume. Faktor ini bisa lebih besar
dari 1 pada kasus penggantian dengan perolehan volume, sama dengan 1 dengan
penggantian volume, dan kurang dari 1 dengan kerugian volume. gA dan gB adalah berat
jenis dari mineral A dan B; X dan X1 mewakili kerugian material. Persamaan diatas
mempunyai tiga variabel (fv, X1, X2).dan dianggap bahwa penggantian isovolumetrik (v
= 1) kemudian hanya X1 dan X2 yang harus dipecahkan. Suatu pemecahan sederhana
dengan metoda Gresens, mempergunakan suatu spreadsheet komputer siap untuk
menyederhanakan manipulasi data, diusulkan oleh Grant (1986), kepada siapa pembaca
yang tertarik harus mengacu.

Diagram variasi kation yang diciptakan oleh H de la Roche dkk.(1980), dapat


dipergunakan untuk mewakili trend dan variasi dalam satu set data geokimia, yang
diekspresikan dalam millications. Plot R1-R2, dimana R1 = 49.11(Na + K) -2(Fe + Ti)
dan R2= 6Ca + 2Mg+ Al, telah dipergunakan untuk mengklasifikasikan dan meneliti
variasi petrogenetik dari batuan igneous (Bachelor dan Bowden 1985) .Keunggulan dari
metoda ini menurut de la Roche dkk (1980) ialah bahwa semua kation besar
dikombinasikan dalam satu diagram. Plot kation QF , dimana Q = Si/3 (K+Na+2Ca/3)
dan F=K-(Na+Ca) telah dipergunakan oleh P. Bowden dan J.A. Kinnaird dari Universitas
St. Andrews (Skotlandia) dalam penelitian detailnya tentang alterasi dan mineralisasi di
Nigeria dan kompleks orogen (Bowden dkk 1984; Bowden 1985; Kinnaird 1985).Dalam
diagram QF data diplot dalam hubungan dengan mineral kutub (quartz, albite, mikroline
dan mika). Ini memungkinkan penelitian geokimia dari proses alterasi dengan cara
memantau perubahan-perubahan pada rasio silika dan alkali tanpa mengingat bagaimana
kation didistribusikan dalam sample yang dipertimbangkan (Bowden dkk. 1984; Kinnaird
1985) Suatu contoh plot QFdiperlihatkan pada Fig. 4.12. Penghitungan milikasi dari data
analitik dapat diperoleh mempergunakan spreadsheet komputer. Satu contoh kalkulasi
milikasi diberikan pada Tabel 4.2.

Fig. 4.12 Diagram Q-F yang memperlihatkan trend alterasi besar berhububungan dengan kompleks
alkaline di Nigeria (setelah Bowden dkk. 1984). Trend / adalah H1
4.41. Elemen Bumi yang langka dalam proses Alterasi
Hydrothermal

Rare Earth Elemens termasuk elemen-elemen dengan angka atom antara 57 (lanthanum)
dan 71(lutetium). Perangai kimianya yang mirip berkaitan dengan penurunan volume
atom dengan peningkatan angka atomnya, yang disebut kontraksi lanthanide Ytrium
(angka atom Z=39) sering dianggap bersama dengan REE karena radius ioniknya yang
mirip dengan holmium (Z=67). REE dengan angka atom lebih rendah dinamai REE
ringan, dan yang bernomor atom lebih tinggi sebagai REE berat. Tinjauan detail tentang
geokimia REE memang diluar jangkauan buku ini, tapi pembaca yang tertarik dianjurkan
untuk membaca Hanson (1980) untuk dokumentasi yang baik tentang topik-topik
penelitian sistem igneous REE, atau untuk yang lebih informatif, artikel oleh Muecke dan
Moller (1988) dan Feische dan Hermann (1978). Untuk tujuan presentasi grafis,
keberlimpahan REE dinormalisir menjadi chondritic meteoric abundance, yakni setiap
nilai elemen dalam sample dibagi dengan nilai elemen dalam chondrite. Keberlimpahan
REE dalam meteorit chondrite diambil untuk nilai-nilai dasar, dan karena itu
keberlimpahan dalam bentuk mantel primordial membentuk suatu garis horisontal dalam
diagram, tapi diduga bersifat unfractionated. Kemudian bahwa keberlimpahan REE
dalam berbagai sistem batuan menunjukkan kurva berbentuk variabel diatas mantel
primordial, mencerminkan berbagai tingkat fraksionasi. Dalam hal batuan kogenetik.
biasanya mengalami fraksionasi paling kecil (Hanson 1980).
Tabel 4.2. Tabulasi kalkulasi untuk pembuatan diagram de la Roche dalam kasus parameter Q dan
F yang telah dikalkulasi (lihat teks untuk detailnya)

wt% Molekuler (1) / (2) Jumlah Milli-


wt% kation kation
(1) (2) (3) (4) (3) x (4)

SiO2 56.40 60.09 0.9386 1 938.59


TiO2 0.86 79.90 0.0108 1 10.763
Al2O3 17.50 101.96 0.3433 2 343.27
Fe2O3 8.24 159.69 0.1032 2 103.2
MnO 0.04 70.94 0.0006 1 0.564
MgO 5.40 40.33 0.1340 1 133.99
CaO 3.87 56.08 0.0690 1 69.01
Na2O 2.00 61.98 0.6454 2 64.54
K2O 3.76 94.20 0.0798 2 79.83
P2O3 0.19 110.97 0.0034 2 3.42
Q

Dalam proses geologik REE secara variabel diperkaya dalam magma, produk
konsolidasinya dan cairan residualnya. Penelitian tentang keberlimpahan REE dalam
sistem batuan terutama sangat berharga dalam penelitian model-model petrogenetik.
Bicara secara umum LREE cenderung terkonsentrasi dalam pegmatit dan karbonatit,
sedangkan HREE terkonsentrasi dalam magma granitik. REE yang terkandung dalam
lebih dari 200 mineral termasuk berbagai jenis fosfat, karbonat, oksida dan silikat..Fase
mineral umum pembentuk batuan yang mengandung REE adalah apatite, zircon,
monazite dan xenotime. Michard (1989) telah meneliti kandungan REE akan larutan
hidrotermal dari sejumlah lapangan geothermal. Ia menemukan bahwa konsentrasi REE
akan cairan hydrothermal biasanya sangat rendah, tapi cenderung meningkat sementara
pH mengalami penurunan; juga dalam cairan kaya akan chloride pola REE
memperlihatkan perbedaan positif anomali Eu.

Belum banyak yang diketahui tentang mobilitas dan transportasi REE dalam cairan
hydrothermal .Peneliti Rusia yang dikutip oleh Felsche dan Hermann (1978) melaporkan
bahwa kebanyakan REE diangkut dalam larutan alkali sebagai kompleks karbonat, sulfat
atau fluorine. Presipitasi akan terjadi sebagai akibat dari perubahan alkalinitas, tekanan
dan fiksasi karbonat. Juga HREE membentuk kompleks yang lebih stabil, dengan suatu
kecenderungan untuk berkonsentrasi dalam produk lebih lanjut dari kegiatan
hydrothermal. Dalam konteks ini perangai REE selama proses alterasi hydrothermal telah
diteliti oleh Taylor dan Fryer (1980, 1982, 1983). Hasilnya diringkaskan dibawah dan
diperlihatkan pada Fig. 4.13. Para peneliti ini menemukan bahwa distribusi REE dalam
batuan yang mengalami alterasi dan yang tidak merupakan alat pemantau yang berguna
untuk memantau kondisi perubahan cairan magmatik dan meteorik dominan. Perubahan
dalam keberlimpahan REE selama alterasi potassium dalam sistem porfiri ditandai oleh
peningkatan LREE dan penurunan HREE (Fig. 4.13A). Pada bagian bawah diagram Fig.
4.13, rasio keberlimpahan dalam batuan termineralisasi dan yang tidak termineralisasi
memperlihatkan penurunan dari LREE ke HREE. dan suatu anomali Eu positif meng-
indikasikan pengayaan elemen ini dalam cairan hydrothermal. Dari tahap alterasi
propilitik ke phyllic atau dalam lain perkataan dengan menurunnya kegiatan K dan
meningkatnya metasomatisme H, pola keberlimpahan REE akan berubah. dari tahap
potassic ke tahap permulaan vent propilitik (Fig. 4.13B) ada kemerosotan menyeluruh
dari REE (diagram atas) tapi begitu kecil untuk LREE dari pada HREE. Pada tingkat
yang lebih lanjut, REE yang paling berat diperkaya. Dari tingkat propylitic ke phyllic
(Fig. 4.13B, diagram bawah) ada kemerosotan lebih jauh dari total REE,
mengindikasikan leaching progresif dari REE dengan meningkatnya rasio cairan/batuan
dan penurunan pH (peningkatan H). Penurunan ini lebih jelas pada LREE dari pada
HREE , yang berakibat pengayaan relatif.

Secara ringkas dan sejalan dengan Hanson (1980) dan Michard (1989), ditemukan bahwa
dalam batuan yang mengalami alterasi hydrothermal keberlimpahan REE secara
signifikan terpengaruh hanya jika air membanjiri melalui sistem beberapa kali. Ini
mempunyai implikasi penting karena jika pola REE tidak cukup berbeda dari batuan yang
tidak teralterasi, maka peluang mineralisasi substansial atau kaya akan sangat kecil.
Fig. 4.13A Distribusi REE bagi porfiri granodiorit teralterasi. Lih. teks untuk penjelasan (Setelah
Taylor dan Fryer 1982)

Lottermoser (1990) mengadakan penelitian mobilitas REE selama interaksi cairan –


batuan dinding pada suatu sistem epitermal emas aktif dan besar di pulau Lihir, Papua
New Guinea. Sistem ini, yang dibicarakan beberapa detail di Bab 11, ditandai dengan
sejumlah zona alterasi hidrotermal dan mineralisasi. Mereka dapat meringkaskan ke
dalam : (1) zona potassic-propylitic bawah :(2) zona argillic dan argillic tingkat lanjut.
Kedua zona ini diatasi oleh suatu zona oksida bebas sulfida. Penelitian yang dilakukan
oleh Lottermoser menyimpulkan bahwa pola REE dari bangunan alterasi dalam batuan
dinding dan material vein menunjukkan mobilisasi dan fraksionasi yang kuat selama
proses hidrotermal yang ditandai suatu sistem generasi ore vulkanik aktif. Akibat dari hal
ini menunjukkan hasil yang kontras dengan apa yang diperoleh Taylor dan Fryer (1980,
1982, 1983), karena di Lihir ada penambahan progresif terhadap LREE dari potassic-
propylitic menjadi zona argilik, dengan mobilisasi tinggi dan konsentrasi HREE yang
menandai tingkat profil alterasi lebih tinggi. Dalam ringkasan di sistem epitermal Lihir
komponen magmatik-hidrotermal adalah LREE yang diperkaya, dimana LREE dan
HREE diperkaya dalam komponen meteorik asam sulfat dari sistem. Sebagaimana
dikatakan didepan mobilisasi REE terjadi dibawah kondisi aliran cairan skala besar.

4.5. Sistematika Isotop Oksigen dan Hidrogen

Suatu pengenalan singkat ke dalam konsep sistematika isotop oksigen dan hidrogen,
diacu disini dan definisi tentang notasi standar diberikan pada Bab 2. Disini kita
memeriksa pengaruh komposisi isotopik dan variasi-variasi dalam batuan yang
mengalami alterasi hydrothermal.Penelitian-penelitian terhadap type ini dilaporkan pada
Volume 69 (1974) dari majalah Economic Geology. Penelitian yang lebih baru termasuk
tulisan Criss dan Taylor (1986) Ohmoto (1986) dan Green dkk (1983).

Penelitian tentang komposisi isotop didasarkan pada variasi sistematik yang terjadi dalam
material alam sebagai akibat interaksi cairan dan batuan, dan temperatur. Reaksi
pertukaran isotop terjadi antara cairan-cairan, dan antara ini dengan batuan dinding,
contohnya diberikan berikut:

½ C16O2 + H218O = ½ C18O2 + H216O;


H218O + ½ Si16O2 = H216O + ½ Si18O2;

Faktor fraksionasi ,a, antara CO2 dan H2O atau SiO2 dan H2O, diberikan oleh rasio isotop
(mis. 18O/16O) dalam dua substansi, (1 dan 2) dipertimbangkan, dan menentukan berapa
isotop yang diperkaya dalam satu substansi yang saling berkaitan dalam permill
fraksionasi (101 dalam a). Nilai ini diperkirakan oleh :

delta δ1-δ2 1031n a1-2 == A(106 T2)1B


dimana A dan B adalan konstanta, dan T adalah temperatur dalam derajat Kelvin (Faure
1986). Perbedaan dalam nilai δ memungkinkan karakteristik dari interaksi isotop antara
cairan dan fase mineral dalam batuan dinding, dan antara ko-eksistensi fase mineral.
Karena fraksionasi isotop adalah tergantung kepada temperatur, sementara independensi
tekanan ini memungkinkan penentuan temperatur mempergunakan kurva fraksionasi.

Fig. 4.14.A Kontur δ18O di distrik Bohemia , Oregon. memperlihatkan kejadian bersama
(coincidence) dari niilai rendah δ18O dengan area alterasi propilitik (setelah Taylor 1974). B Kontur
dari keseluruhan nilai batuan δ18O di kompleks danau kaldera Lake City. Perhatikan depletion
δ18O di sepanjang daerah barat dari fraktur cincin dan di dalam kaldera, dimana terjadi
pengulangan (resurgence) volkanisme rhyolitic. Lihat teks untuk keterangan lainnya (setelah
Larson dan Taylor 1986).
Dengan demikian, jika dua fase mineral meng-equilibrate oksigen dengan suatu cairan
yang umum, pada temperatur tertentu, maka perbedaan pada δ 18 adalah suatu fungsi
temperaturnya (Faure 1986). Penelitian-penelitian tentang hidrogen dan oksigen yang
dikombinasikan dengan sistematika isotop oksigen dalam sistem hydrothermal
mengandalkan pada keberlimpahan yang berbeda dari H dan O pada batuan dan air. Ini
memungkinkan quantifikasi dan karakterisasi interaksi air dan batuan, dalam istilah
pertukaran H dan O antara cairan dan fase mineral. Karena itu, rasio D/H dari sistem
akan dikendalikan oleh air, sedangkan nilai 18O/16O ditentukan oleh pertukaran dengan
fase mineral dimana H hanya berupa konstituen trace. Karena itu komposisi isotopik
oksigen terpengaruh oleh interaksi mineral-air yang berakibat pada suatu pergerakan 18O
dari cairan dari nilai originalnya, biasanya kearah nilai yang lebih tinggi (lih.Fig. 3.1).
Pergeseran ini disebabkan oleh karena air berusaha meng-equilibrate dengan batuan
dinding yang kaya akan 18O. Banyaknya pergerakan tergantung kepada rasio oksigen
dalam mineral dengan yang terdapat pada air, dengan faktor fraksionasi mineral-air, dan
juga temperatur serta komposisi isotopik original dari masing-masing fase (Sheppard
1986). Interaksi isotopik juga dipertimbangkan dalam istilah sistem tertutup atau sistem
terbuka (Gregory dan Criss 1986).

Alterasi hidrotermal dari batuan disertai oleh variasi dalam δ 18O dan δD yang cenderung
membentuk pola zoning disekitar endapan ore. Pola-pola ini penting dalam menentukan
geometri sel hydrothermal, juga ukuran dan lokasi area yang mengalami discharge
(Ohmoto 1986) Kita memeriksa dibawah ini beberapa contoh spesifik dari zoning
isotopik dalam batuan termineralisasi dan teralterasi. Taylor (1971, 1974) mempelopori
jenis penelitian ini dengan penelitiannya tentang batuan igneous di Cascade Range
(Oregon). Ahli geosains ini menganalisa mineral hydrothermal dan inklusi cairan untuk
nilai 18O/16O dan D/H , dan menemukan bahwa intrusi dangkal ke batuan country yang
mengalami fraktur tinggi – sehingga permeable- batuan country berfungsi sebagai ‘mesin
pemanas raksasa’ selama sejarah evolusionernya. Penandaan isotopik dari cairan hydro-
thermal ini secara konsisten mengindikasikan asal-usulnya dari air meteorik. Rasio
air/batuan yang dihitung menunjukkan bahwa rasio tinggi diasosiasikan dengan daerah-
daerah dengan alterasi intens yang ditemukan. Dalam kasus khusus batuan tertier
volkanik dan batuan intrusif di Cascade Range, Bohemia, hasil dari penelitian Taylor
mengindikasikan suatu pola reguler dan konsentrik dari δ18O , dari nilai rendah di tengah
ke nilai yang secara progresif lebih tinggi ke arah garis diluar sisi.(periphery). Daerah
bernilai δ18O terendah ini, bersamaan dengan zona alterasi propilitik. (Fig. 4.14A)
Contoh instruktif lainnya datang dari kaldera Lake City, di ladang vulkanik
termineralisasi San Juan , Colorado.Disini studi tentang sistematika isotop yang stabil
dilakukan oleh Larson dan Taylor (1986) mengungkapkan kehadiran sejumlah,besar
fossil system hydrothermal. Penelitian ini mengungkapkan penurunan δ18O di sepanjang
sisi barat lingkaran fraktur, dan di dalam kaldera di daerah volkanisme rhyolitik yang
kembali bangkit. (Fig. 3.14B) Daerah ini merupakan bagian yang mengalami erosi dalam
dari kaldera dengan alterasi chloritik dan serisitik intens. Nilai δ18O terendah terjadi di
sepanjang zona ring fault yang sangat permeable, dan juga di sepanjang bagian barat laut
dari kaldera dimana mineralisasi epitermal hadir. Nilai δ18O tinggi terjadi di kubah
hydrothermal quartz dalam quartz-latite di bagian timur struktur volkanik. Rasio tinggi
air/batuan dikalkulasi dari data isotopik adalah sama dengan zona rendah δ18O.
Penelitian isotopik tentang batuan penuh dan mineral hydrothermal vulkanik dan sedimen
dari daerah Fukazakawa – Kosaka di Jepang, yakni situs dari endapan mineral type
Kuroko, - yang dilakukan oleh Green dk (1983) mengungkapkan variasi sistematik dari
δ18O dan δD dengan alterasi dan temperatur air laut yang berinteraksi dengan batuan.
Nilai δ18O bervariasi dari 6.7 permill dalam zona serisit – chlorit (temperatur tertinggi
dari interaksi dengan air laut dari kira-kira 200-400 oC ), sampai 11.1 permill dalam zona
montmorillonite (temperatur kira-kira 150-300oC) sampai 16.9 permill di zona alterasi
zeolitik dengan temperatur terendah 25-200oC. Suatu pola zoning konsentrik juga
ditemukan di batuan dinding , dengan nilai δ18O dari 8 permill dalam zona serisit –
chlorite sampai ke 500 m dari ore, diikuti oleh 8-14 permill dalam zona montmorillonite
sampai sejauh 3 km dan akhirnya ke ekses nilai 14 permill di zona zeolite peripheral
(Green dkk. 1983) Para peneliti menemukan bahwa variasi isotopik ini membentuk suatu
lingkaran yang lebih besar dari pada distribusi anomali nilai-nilai Cu, Zn, Pb, Mg dsb.
pada batuan.

Secara ringkas alterasi hydrothermal berakibat pada penurunan yang konsisten dari δ 18O
dalam batuan , biasanya berpasangan dengan pengayaan yang sejalan dalam larutan
hydrothermal , walaupun Criss dan Taylor (1986) mengatakan bahwa karena faktor
fraksinasi besar antara mineral dan air, δ18O dalam rezim temperatur tinggi yang dapat
secara aktual meningkatkan dengan interaksi dengan air bertemperatur rendah.
Sistematika isotop dari pertukaran cairan-batuan akhirnya tergantung pada komposisi
permulaan dari cairan, batuan dan temperatur.

4.6. Metamorfisme Batuan Hydrothermal Teralterasi

Metamorfisme endapan ore hydrothermal dan alterasi batuan dindingnya bukan


merupakan topik penelitian yang populer. Karena alasan ini belum banyak yang diketahui
tentang pengaruh metamorfisme terhadap batuan yang teralterasi secara hydrothermal.
Bidang ini dalam pengetahuan kita tentang geologi hydrothermal sebagian berakar pada
kenyataan bahwa banyak bangunan mineral hydrothermal hampir identik dengan yang
terjadi dalam fasies metamorfik. (Tabel 4.3)
Tabel 4.3.Tabel fasies metamorfik yang disederhanakan dan bangunan mineral yang berkaitan
Setelah Best (1982)

Fasies Karakteristik kelompok

Zeolite Quartz + laumontite + chlorite

Prechnite – pumpelyite Prechnite + pumpellyite + quartz

Glaucophone – Glaucophone + lawsonite jadeite + quartz +


lawsonite (blueschist) aragonite

Greenschist Albite + epidote + actinolite + chlorite + calcite dalam


batuan mafik – pyrophyllite dalam batuan pelitic

Amphibolite Hornblende + plagioklas dalam batuan mafik;


kyanite dalam batuan pelitic
Granulite Augite + orthopyroxene + plagioklas: Fe-Mg garnet

Eclogite Kelompok bebas feldspar ; clino pyroxene kaya akan jadeite;


dan pyrop kaya akan garnet dalam batuan mafik

Kontak metamorfisme Greenschist sampai kelompok fasies amphibolite pada kontak


intrusi igneous aureolas; andalusite dalam batuan pelitic

Jelas dari daftar mineralisasi yang disederhanakan yang diberikan pada Tabel 4.3 bahwa
bangunan mineral, setidaknya dari zeolit melalui fasies amfibol, adalah kurang lebih
sama dengan mineral hydrothermal dari batuan teralterasi. Tentu saja mungkin bahwa
pada batuan dinding yang teralterasi secara hydrothermal , analisis dari spesies mineral
individual akan mengungkapkan perbedaan komposisi yang tidak jelas, seperti Fe/Mg
dari chlorite, atau kandungan Ba dari feldspar. Dalam beberapa kasus banyak proses yang
secara normal ditafsirkan disebabkan oleh metamorfisme regional, kenyataannya
merupakan dampak dari alterasi hydrothermal. Juga dalam kasus ‘metamorfisme dasar
laut’, keseluruhannya merupakan infiltrasi dan reaksi air laut dengan batuan mafik lautan.
Walaupun ini bisa dianggap sebagai kasus semantik – bagaimanapun juga alterasi
hydrothermal adalah suatu type dari metamorfisme – adalah lebih bijaksana untuk
mencoba dan memisahkan fasies metamorfik tradisional dari dampak perubahan mineral
dalam respons terhadap interaksi batuan dengan cairan panas. Perbedaannya memang
tidak selalu jelas, sebagaimana dalam kasus talk karbonat skala regional yang ekstensif,
alterasi karbonat dan serisit di greenstone belt ( sabuk batu hijau ) di Archean (Bab
15).Untuk tujuan kita, karena itu, metamorfisme mengacu kepada perubahan yang terjadi
pada skala regional selama kejadian tektogenetik (lih. definisi pada Bab 3).

Kebanyakan endapan mineral, bahkan yang berumur recent, yang telah mengalami siklus
orogenik mengalami metamorfosa kearah ekstensi yang lebih besar atau lebih kecil.Pada
tingkat lebih rendah dari metamorfisme (sampai fasies skis hijau), mineral hydrothermal
lebih atau kurang ter-equibrilasi ke kondisi temperatur dan tekanan , dan perubahan
mineral-kalau ada- tidak terantisipasi untuk menuju substantial. Zona propylitic
(chlorite- epidot + karbonat + pyrite) dari suatu sistem porfiri akan sulit untuk mendeteksi
dalam suatu daerah fasies metamorfisme schist hijau. Namun bagaimanapun kehadiran
pyrit yang tak biasa berlimpah, transisi bangunan mineral ke zona serisit, dan
keterbatasannya terhadap daerah tertentu mungkin mengaburkan asal-usul sebenarnya
dari mineral yang dipertanyakan. Semuanya menjadi lebih sulit pada tingkat lebih tinggi
dari metamorfisme (amfibolit sampai fasies granulite) Dalam kondisi ini kadangkala
sulit bahkan untuk memutuskan apakah suatu endapan ore adalah pra-, syn- ataukah post-
metamorfik. Situasi yang ada bisa menjadi lebih meragukan ketika metamorfisme
retrograde telah terjadi. Dalam lingkungan metamorfisme medium sampai tinggi,
penelitian tentang tekstur atau sistem dari mineral ore dan litologi yang melingkupinya
adalah sangat penting. Penelitian-penelitian ini dapat mengungkapkan apakah mineral
ore mengalami deformasi dan kejadian metamorfik seperti batuan yang melingkupinya ,
memperhitungkan dampak re-mobilisasi dan re-kristalisasi dari komponen yang lebih
mudah dibentuk (mis. galena) selama metamorfisme. Yang tidak kalah penting dalam
pencarian bukti-bukti alterasi hydrothermal dalam batuan metamorfik tingkat medium-
tinggi (skis hijau atas sampai fasies amfibolit), adalah studi tentang pola geokimia batuan
secara utuh dan kimia mineral. Sebagai contoh K dan Na-rendah dan pengayaan Al akan
diharapkan dalam suatu zona alterasi metamorfisme asam-sulfat Mineral kunci tertentu,
seperti garnet, magnetit, muscovite, chlorite, mungkin mengungkapkan konsentrasi yang
tidak biasa dan/atau rasio elemen (Zn, Ba, Mn, Fe/Mg) yang mungkin indikatif atas
lingkungan hydrothermal.

Problema dampak metamorfisme terhadap endapan ore telah diteliti selama bertahun-
tahun oleh Stanton (1972, 1982, 1983), yang memusatkan usahanya terhadap deposit
stratiform sulfida masif yang ber-host-kan sedimen. Penelitian Stanton ini lebih
mengacu kepada ‘sedimen hydrothermal’ dari pada alterasi epigenetik batuan dinding.
Namun demikian dari penelitian dan juga hasil penelitian lainnya , beberapa penafsiran
dapat dibuat dan mungkin bisa diterapkan bagi alterasi epigenetik.

Endapan ore stratiform adalah sedikit atau banyak pada pola yang sama (concordant) ,
berbentuk lensa, dan tertutup dalam litologi metapelitic dengan kelompok mineral
metamorfik berbeda sebagaimana diindikasikan pada Tabel 4.4. Mineral ore dianggap
sebagai presipitat kimia yang terendapkan dengan sedimen asli. Dari titik pandang
seorang geolog eksplorasi, harus disadari bahwa kelompok metamorfik tertentu terutama
yang terbatas pada daerah tertentu, mungkin mewakili metamorfik equivalen dengan
mineral precursor hydrothermal.Tabel 4.5 juga dikompilasi dari Stanton (1982), mencatat
suatu kisaran mineral yang biasa ditemukan di lingkungan metamorfik tingkat menengah,
bersama dengan precursor hydrothermal yang mungkin terdapat.

Tabel 44. Bangunan mineral berasosiasi dengan orebody sulfida termetamorfose


Setelah Stanton (1982)

Gantsberg Broken Hill Gorob, Namibia

Sillimanite Sillimanite Sillimanite


Fayalite Fayalite Kyanite
Clinopyroxene Staurolite Staurolite
Orthopyroxene Hedenbergite Cordierite
Hedenbergite - Anthophylite
Grunerite Grunerite Almandine
Cordierite Almandine Biotite
Almandine Biotite Muscovite
Biotite Muscovite Chlorite
Mscovite Chlorite Prechnite
Quartz Quartz Quartz

Dalam karya tulisnya yang lebih komprehensif Stanton (1989) mengupas tentang topik
dampak metamorfisme regional terhadap sedimen kimia. Atas dasar pengamatan detail
geologis, mineralogis dan geokimia, peneliti ini menerangkan hubungan yang dekat pada
exhalite yang mengalami metamorfisme , antara silikat mineral, oksida, sulfida dan
karbonat, dalam istilah ‘prinsip percursor’. Teori ini menganjurkan bahwa oksida,
karbonat, sulfat, sulfida dan silikat yang mengalamai metamorfosa regional berasal
langsung dari mineral precursor alterasi sedimen diagenetik insitu temperatur rendah,
dan bukan dari reaksi metamorfik prograde Barovian. Karena prinsip precursor berlaku
untuk keluarga penting dari endapan ore stratiform exhalatif secara ekonomis, secara
singkat kita akan meninjau ide Stanton tentang topik ini.Walaupun diluar lingkup buku
ini, mungkin cukup penting untuk menyebutkan bahwa suatu implikasi besar dari prinsip
precursor Stanton boleh jadi melibatkan suatu penafsiran tentang tingkat dan zona
mineral metamorfik Menurut prinsip ini zonasi mineral metamorfik regional yang secara
normal dianggap berasal dari peningkatan progresif panas dan tekanan, adalah refleksi
dari fasies sedimenter dan berkaitan dengan perubahan diagenetik..

Kegiatan exhalatif di dasar laut, danau dan laguna mengarah kepada akumulasi stratiform
yang mengandung berbagai jumlah sulfida Fe, Zn, Pb, hydrooksida fe, Ba dan Ca sulfat,
karbonat, silika hydrous gel dan sejumlah lempung, lapisan campuran lempung-chlorit
dan zeolite. Akumulasi ini membentuk apa yang biasa dikenal sebagai exhalite atau
sedimen kimia, dari mana kejadian formasi besi bersabuk proterozoik yang mungkin satu
dari contoh paling penting (lih. Bag. 5 dan 13). Sedimen kimia ini secara subsekuen
mengalami perubahan diagenetik dan dalam banyak hal sampai metamorfisme regional.
Selama fenomena diagenetik dan metamorfik sulfida, oksida, sulfat dan karbonat
mengalami pertumbuhan butiran dan menjadi agak kasar. Dengan begitu, sebagai
contoh , lapisan berbutir kasar dari barit dan anhydrite terbentuk dari sulfat Ba dan Ca ,
chertz berbutir halus atau quartzite dari dehidrasi silika gel hydrous, sementara oksida Fe
seperti hematit dan/atau magnetit berasal dari hydroxida Fe.

Stanton menyatakan bahwa jika transformasi diatas terjadi terhadap material exhalatif
(sebagaimana biasanya diterima) , kemudian hal yang sama pasti benar untuk mineral
silikat, yang umumnya ditemukan berasosiasi dengan ore stratiform.(mis. biotit, garnet,
staurolite, piroksen, amfibol, feldspar, dan silikat Al polymorphs).Karena itu,
sebagaimana telah diindikasikan sebelumnya, para peneliti mempertanyakan validitas
dari konsep-konsep bahwa mineral silikat ini dibentuk melalui serangkaian reaksi
metamorfik dalam respons terhadap gradien temperatur. Kurangnya difusi metamorfisme
atas jarak substantial (lain dari beberapa milimeter), fase mineral yang eksis pada skala
sayatan tipis dan bukti-bukti tekstural (mis. muskovit-biotit atau kelompok muskovit
quartz dalam batuan metamorfik, tidak memperlihatkan bukti-bukti reaksi menghasilkan
garnet atau sillimanite + K-feldspar), menyiratkan bahwa metamorfisme adalah
isochemical dan bahwa ‘setiap butiran mineral metamofik yang hadir mewakili
pertumbuhan insitu dan/atau transformasi dari material pra metamorfik dari komposisi
menyeluruh , atau dari satu atau dua produk dari pecahan insitu dari material pra
metamorfik dari komposisi yang mirip. Mungkin ini yang disebut precursor (Stanton
1989, hal. 543).

Contoh umum sedimen kimia precursor atau exhalite dan exhalite metamorfik yang
bersamanya termasuk (lih. Tabel 4.5, 4.6, 4.7): (1) bentuk hydrous dari silika ( mungkin
gel) di exhalasi dasar laut berubah menjadi chertz : dan (2) Fe hydroxides berubah
menjadi hematite dan/atau magnetite.Pada kasus yang belakangan sekuen dehidrasi-
reduksi digambarkan sbb:
Fe(OH)3 – FeO.OH + H2O
limonite goethite
2Fe.O.OH – Fe2O3 + H2O
goethite hematite
Fe2O3 + H2O + Fe2 – Fe3O4 + 2H
magnetite

Dengan cara ini pembentukan formasi besi bersabuk magnetit dan quartzite magnetit
(suatu bentuk umum exhalite dalam banyak medan metamorfik) boleh jadi terbentuk dari
transformasi limonite dan goethite insitu. Garnet seringkali merupakan komponen batuan
quartz-magnetit bersabuk dan karena itu mungkin terbentuk dari mineral precursor, yang
mungkin juga adalah chamosite Fe-Mn chlorite yang telah mengalami diagenetik
sedimenter. Exhalite dari endapan Pb-Ag-Zn di Broken Hill, Australia berasosiasi
dengan mineral metamorfik seperti sillimanite, yang mungkin berasal dari kaolinite dan
grahnite (ZnAl2O4), berasal dari kaolinite dengan Zn dan muscovite yang terserap dari
illite. Demikian pula cordierite diduga berasal dari material lempung-chlorite aluminous.
Pertumbuhan bersama (intergrowth) dari cordierite –sillimanite diterangkan sebagai
akibat metamorfisme isokemik insitu dari lempung chlorit dengan sedikit kaolinite-
gibsite. Dengan cara yang sama seperti kebanyakan spinels, dimana gahnite (ZnAl 2O4)
dianggap sebagai contoh diatas, akan terbentuk dari precursor lempung dengan kation
Fe2+ , Zn 2+ dan Mn2+ yang terserap.

Mekanisme yang diperkirakan memiliki arti penting untuk menerangkan perubahan


metamorfik regional dari material precursor adalah ;(1) menjadi kasar dan keteraturan
material sedimenter/diagenetik seperti karbonat, sulfide, lempung dsb. (2) perubahan dari
bentuk gel ke padat, yakni pertumbuhan struktur kristal teratur dari material amorphous,
seperti silika gel menjadi chertz, goethite gel menjadi hematite/magnetite; dan (3)
perubahan dari padat ke padat dari struktur kristal berlapis-campuran yang terbentuk
selama exhalasi dan diagenesis seperti illite-muscovite, kaolinite-lapisan gibsite-
kaolinite; Stanton (1989) menganggap bahwa material pada nomor (1) sebagai precursor
sederhana dan yang ada pada nomor (2) dan (3) sebagai precursor kompleks.

Tabel 4.6.
Fasies Bangunan Metamorfik Precursor yang mungkin

Silikat Quartz, magnetite, greenalite, chamosite,


grunerite,cummingtonite,fayalite,spessartine stilpnomelane
Oxide spessartine garnet Banded hematite-cherite

Sulphide Quartz, pyrite, pyrrhotite Quartz dan pyrite

Endapan sulfida massif polymetallik exhalatif yang berhost-kan sedimen di Aggeneys –


Gambsberg (Afsel) terjadi di Namaqua Metamorfic Complex , memanjang mulai sisi
selatan sampai Kaapval craton. Geologi dan mineralisasi dari endapan penting ini
dibicarakan pada Bab 13. Disini kita cukup untuk menyebutkan bahwa sekuens host asli
mungkin termasuk batuan rhyolitic, sedimen vulkanik dan chertz.Menurut Gamsberg
batuan ini mengalami metamorfosa menjadi quartzites, quartz-biotite, muscovite-
sillimanite schist (Formasi Pella), garnet – piroksen- amphibolite –magnetite, quartz-
serisit – sillimanite schist, quartz-grunerite-garnet, magnesite-quartz barite (Formasi
Gams), amphibolite dan quartz – muscovite schist. Di Aggeney formasi ore mengandung
quartzite , quartz schist, garnet quartzite, magnetite quartz-amphibolite- magnetite –
barite dan schist quartz baritic. Yang menarik perhatian secara khusus adalah garner
quartzite (+ cordierite + sillimanite + biotite) , karena diperkirakan suatu metamorfik
yang equivalen dengan zona feeder precursor silicious –aluminous (McGregor 1986).
Batuan yang mengalami mineralisasi (galena, sphalerite, chalcopyrite, pyrrhotite dan
pyrite) dan kelompok mineral yang berasosiasi dengannya di Aggeney adalah metamorfik
equivalen dari exhalite hydrothermal dari silikat oksida dan sulfida fasies, sebagaimana
digambarkan pada Tabel 4.6. Penafsiran dari kumpulan mineral silikat dari Formasi
Gams, dan precursor pra metamorfik, diberikan pada Tabel 4.7.

Prinsip precursor mungkin berlaku untuk mineralisasi hydrothermal epigenetik dan ini
mungkin diperkirakan akan sangat penting dalam eksplorasi logam dasar vulkanogenik
dan endapan logam mulia di medan metamorfose tingkat tinggi. Mineral aluminous
seperti lempung dan chlorite merupakan produk umum dari alterasi hydrothermal dari
batuan dinding selama pertukaran metasomatik dengan cairan mineralisasi. Kejadian
mineral ini dalam zona terbatas mengimplikasikan kehadiran pipa cairan hydrothermal
yang berada dibawah endapan vulkanogenik. Menyertai deformasi dan metamorfisme,
lalu menjadi sangat sulit untuk mengenal apa yang terjadi pada pipa alterasi. Selama
metamorfisme, mineral alterasi hydrothermal aluminous berubah menjadi kelompok
aluminous termasuk garnet, cordierite, dan staurolite. Karena itu pengenalan terhadap
kumpulan aluminous tingkat tinggi yang terlokalisir mungkin mengindikasikan suatu
pipa hydrothermal purba. Kita kembali kepada topik ini pada Bab 12, dalam diskusi
tentang endapan sulfida masif di Matchless Amphibolite Belt di Namibia.

Tabel 4.7. Fasies dan kelompok metamorfik dari deposit Gamsberg, Afsel dan dan kemungkinan
precursornya sebelum metamorfisme. Setelah Rozendaal dan Stumpfl (1964).

Fasies Bangunan metamorfik Mineralogi precursor

Oxide Quartz, apatite, magnetite, Chertz, magnetite,


collophane, hematite,
barite

Carbonate-silicate Quartz, apatite, magnetite, Fe-Mn carbonate,


hematite, barite chamosite, chertz,
quartz, Fee-sulphide

Silicate + carbonate, Quartz, garnet, amphibolite, Chertz, quartz, chamosite, Mn-Fe


sulphide chalcopyrite, pyrite, pyirrhotite carbonate, Fe sulphide

Sulphide Quartz, garnet, amphibolite, Quartz, chertz, pyrite,


orthopyroxene, pyroxenoid, sphalerite, illite,
olivine, apatite, pyrrhotite, kaolinite, material organik, detrital
sphalerite, graphite K-feldspar

Silicate Quartz, garnet, K-feldpar, Quartz, chertz, chamosite,


clinopyroxene, amphibole, Mn-Fe carb, illite, Fe sulphide,
pyrrhotite, pyrite detrital K – feldspar

Carbonate + Calcite, rhodocrosite, quartz, Fe-Ca-Mn carb, chertz, quartz,


silicate garnet, K-feldpar, clinopyroxene, illite, kaolinite, chamosite,
amphibole, magnetite, pyrrhotite magnetite, Fe sulphide

Mc. Leod dan Stanton (1984) mengadakan penelitian tentang kimia mineral dari
kelompok phyllosilicate (chlorite + talk + phlogopite + biotite dan chlorite + muscovite)
yang berasosiasi dengan endapan sulfida masif Paleozoic Pb-Zn di New South Wales dan
Tasmania (Woodlawn, Captain’s Flats, Roseberry, Que River dsb). Endapan ini diduga
mewakili ore type kuroko purba yang mengalami metamorfosa . Para peneliti
menyimpulkan bahwa kelompok phyllosilicate ini berasal dari mineral lempung
precursor seperti montmorillonite dan illite. Secara lebih khusus, mereka memper-
timbangkan bahwa kristalisasi chlorite dan muscovite dapat berasal dari reaksi dari type :
kaolinite + lapisan campuran illite – montmorillonite, untuk menghasilkan lapisan
campuran illite dioctahedral chlorite dan akhirnya chlorite + muscovite; atau
montmorillonite + lempung kaolinite untuk membentuk illite hydromica + muscovite
(McLeod dan Stanton 1984 dan referensinya.)

Fig. 4.15 Medan stabilitas dari mineral aluminous pada 2 kbar tekanan air (Setelah Hemley dkk
1980)

Hemley dkk (1980) meneliti keseimbangan mineral di dalam sistem Al2O3-SiO2-H2O, dan
menyimpulkan bahwa mineral yang umum dijumpai di zona argilik dari endapan
hydrothermal dapat mengubah ke fase yang stabil pada temperatur tinggi dan dapat
ditemukan dalam lingkungan metamorfik. Fig. 4.15 mengacu kepada stabilitas mineral
aluminous sebagai suatu fungsi temperatur dan kegiatan silika pada 2kbar. Dapat dilihat
bahwa kaolinite stabil pada temperatur rendah, dan dengan peningkatan kegiatan silika
serta temperatur, pyrophyllite dan andalusite masuk pada temperatur progresif lebih
tinggi. Pyrophillite mempunyai medan stabilitas luas, dalam kaitan silika dan
temperatur.Pada kegiatan silika tinggi mineral ini dapat menjadi stabil sampai kira-kira
450oC. Pada kegiatan silika rendah, walau tetap tinggi temperaturnya, (250-500oC),
diaspore dan corundum menjadi stabil.Perubahan mineral pada Fig. 4.15 , adalah reaksi
dehidrasi efektif, sebagaimana dikuatkan oleh Stanton (1983) yang menyatakan bahwa
sillimanite di endapan stratiform Geco, Canada, berasal dari precursor kaolinite. Reaksi
yang dikemukakan oleh Hemley dan koleganya adalah:

2kaolinite + 2quartz = pyrophyllite + H2O;


2kaolinite = pyrophyllite + 2diaspore;
pyrophyllite + 6diaspore = 4andalusite + 4H2O;
2diaspore = corundum + H2O;

Suatu contoh metamorfosa epigenetik alterasi hydrothermal datang dari sistem


hidrotermal berumur 2000-Ma dalam batuan volkanik asam di Rooilberg (Transvaal,
Afsel). Disini suatu zona alterasi ditandai dengan kelompok dickite-pyrophyllite-quartz-
diaspore-zunyite-pyrite.Kehadiran pyrophyllite dan diaspore ditafsirkan akibat
metamorfisme tingkat rendah dari zona alterasi argilik tingkat lanjut pada sistem
epitermal kuno (Martini 1988). Contoh lain dari metamorfisme endapan hydrothermal
yang didokumentasikan adalah lithologi yang kaya akan Fe-Mn dan berasosiasi dengan
endapan sulfida masif di Appalachia (Georgia). Batuan ini mengalami deformasi dan
metamorfisme selama permulaan Ordovician dan Carboniferous, mengikuti suatu
kejadian keruntuhan/benturan dengan batuan autochthonous sampai craton Afrika.
Formasi batuan yang kaya akan Fe-Mn , formasi Fe dan skis mafik yang melingkupinya
mengalami metamorfose ke garnet, kyanite dan sillimanite. (Wonder dkk. 1988 dan
referensinya). Petrologi dan geokimia dari batuan yang kaya akan Fe-Mn, termasuk apa
yang disebut coticules atau quartzite mengandung garnet, serta formasi Fe mengandung
garnet, menjadi obyek penelitian oleh Wonder dkk (1988). Mereka menemukan bahwa
batuan-batuan ini berasal dari metamorfisme sedimen hydrothermal yang diendapkan
oleh mata air panas di dasar laut. Material procursor diperkirakan mengandung lempung,
serta oksida Fe dan Mn.(mis. todokorite, goethite).

4.7. Pemindaian Alterasi Hydrothermal dengan Spectral Remote Sensing.

Spectral Remote Sensing telah menjadi instrumen yang penting dalam pemindaian
alterasi hydrothermal. Teori dari pembedaan batuan secara spectral terhadap batuan dan

Tabel 4.8. Beberapa jenis mineral yang terdeteksi pada gelombang panjang tertentu dalam spektrum
infra merah

Daerah spektrum Mineral

Terlihat dan dekat infra merah 0.35 sampai 1.0 μ Jarosite, hematite, goethite
Gelombang pendek infra merah 1.0 sampai 2.5 μ Mineral mengandung hydroxyl :
lempung, talk, chlorite, alunite, pyrophyllite,
jarosite, diaspore, illite,
calcite, dolomite

Infra merah thermal 8 sampai 14 μ Silika, karbonat

Gambar 4.16 Pantulan spektrum dari alterasi dan mineral tertentu (Setelah Hunt dan Ashley 1979)
Plat 4.16. Pemetaan alterasi Citra Landsat TM digital, memperlihatkan alterasi serisit
pada sistem porfiri Cu-Mo di Haib, Namibia

mineral yang memang diluar lingkup buku ini. Pembaca yang berminat bisa membaca
Economic Geology yang dikhususkan untuk penginderaan jauh (vol. 78 No.4 th.1983).
dan beberapa karya tulis oleh Goetz dkk (1983), Whitney dkk (1982) dan Gladwell dkk
(1983) Penerbitan lain yang dianjurkan termasuk Hunt dan Ashley (1979) , Hunt dan
Salisbury (1970, 1971), Hunt dkk (1971), dan buku-buku mengenai penginderaan jauh
oleh Lillesand dan Kiefer (edisi ke 2, 1987).

Detail dari pemindaian spektrum dari batuan dan mineral dalam keadaan terlihat dengan
gelombang thermal infra merah dikenal dari pekerjaan lapangan dan laboratorium dengan
jalan merekam data dengan spectrophotometer (Hunt dan Ashley 1979).Pemindaian
dengan pantulan spektrum juga diperoleh dengan pesawat udara. Fitur spektrum dari
batuan teralterasi merupakan fungsi elektronik dan proses getaran yang melibatkan
kelompok Fe dan OH. Masing-masing kurva tayangan dengan slope karakteristik dan
sabuk absorpsi yang bersifat diagnostik dari permukaan material. Tabel 4.8 mem-
perlihatkan tiga daerah spektrum utama dan beberapa mineral yang dapat dipindai.

Fitur spektrum dengan proses getaran terutama sangat berguna karena dilaporkan bahwa
mineral yang mengandung OH yang dalam keadaan normal hadir dalam batuan
hydrothermal teralterasi.Karena alasan ini daerah gelombang pendek antara 1.0 dan 2.5
μm ideal untuk pendeteksian lempung dan zona alterasi asam-sulfat dengan kehadiran
alunite. Fig. 4.16 melukiskan suatu contoh spektrum dekat infra-merah dari beberapa
alterasi tipikal mineral.Pada 4.16, perlu dicatat bahwa alunite memiliki gelombang
penyerapan yang terisolasi, dan demikian diagnostik di dekat 1.77μm. Plat 4.16
menunjukan citra LANDSAT TM dari daerah utara Orange River (Afsel, perbatasan
Namibia) dimana terletak Haib porphyry Cu-Mo sistem.(Minnit 1986). Pada plat 4.16
alterasi serisit berasosiasi dengan kejadian porfiri jelas diperlihatkan pada daerah
berwarna orange-merah .‫ڤ‬
Franco Piraino 1992

Hydrothermal
Mineral Deposit
Principle and Fundamental Concepts
For the Exploration Geologist

Diterjemahkan oleh
Departemen Eksplorasi Unit Geomin
Buku 1 dari 2

Springer – Verlag
Berlin Heidelberg New York London Paris
Tokyo Hongkong Bercelona Budapest
DAFTAR ISI

BAB. I. AIR DAN PELARUTAN………………………………………………….... 1


1.1. Kata Pengantar........................................................................................... 1
1.2. Air Asal Usul dan Pengertiannya............................................................... 1
1.2.1. Evolusi Planet dan Asal Usul Air............................................................ 2
1.2.2. Air Masa Lalu dan Sekarang.................................................................... 3
1.2.3. Air dalam Zona Subduction..................................................................... 7
1.2.3. Air dalam Kulit Bumi.............................................................................. 8
1.3. Pelarutan...................................................................................................... 8
1.4. Solubilitas dan Pendidihan.......................................................................... 10
1.5. Penamaan berdasarkan Asam......................................................................11
1.6. Struktur Air Hydrolisis dan Hidrasi.............................................................12
1.7. Redox Potensial...........................................................................................13
1.8. Potensi Kimiawi..........................................................................................15

BAB. II. LARUTAN HIDROTERMAL.......................................................................... 16


2.1. Kata Pengantar............................................................................................ 16
2.2. Air dan Larutan Hidrotermal.......................................................................16
2.3. Oksigen dan Systematik Hydrogen Isotop dari Cairan Hidrotermal...........18
2.4. Fluid Inklusi.................................................................................................20
2.5. Konstituen Terlarutkan dan Metal partitioning dalam
Cairan Hidrotermal......................................................................................23
2.5.1. Partitioning Elemen Metalic dalam Larutan Hidrotermal........................26
2.6. Transport Logam.........................................................................................26
2.6.1. Ion-Ion Komplek dan Ligands.................................................................26
2.6.2. Ion Komplek dalam Larutan Hidrotermal................................................29
2.7. Pengendapan Logam...................................................................................31

BAB. III. SYSTEM HIDROTERMAL............................................................................ 33


3.1. Kata Pengantar............................................................................................ 33
3.2. Definisi dan Type........................................................................................ 34
3.3. Sistem Hidrotermal Magmatik yang Berhubungan dengan Plutonisme
Berkedudukan Dangkal sampai Dalam........................................................35
3.4. Sisitem Hidrotermal Magmatik-Meteorik yang Berhubungan dengan
Komplek Volkano Plutonik dan Volkanik...................................................36
3.4.1. Sistem Hidrotermal Magmatik..................................................................36
3.4.2. Sistem Hidrotermal Meteorik Predominan...............................................40
3.4.3. Sistem Hidrotermal yang Didomionasi oleh Air Panas dan Uap Air..... 45
3.4.4. Mata Air Panas, Danau Lumpur Panas, Geyser, Danau Creater dan
Fumarol.....................................................................................................46
3.5. Sistem Hidrotermal di Bawah Dasar Laut................................................. 49
3.5.1. Sistem Hidrotermal di Spreading Center................................................ 49
3.5.2. Sistem Hiddrotermal dalam Volkanik Center Bawah Laut……………. 55
3.6. Sistem Hidrotermal dalam Cekungan Sedimenter yang berhubungan

dengan Rift........................................................................................... 57
3.6.1. Sistem Hidrotermal............................................................................. 60
3.6.2. Sistem Hidrotermal dalam Setting Rift Modern.................................. 68
3.7. Sistem Hidrotermal yang berasal Dari Metamorfik dan Kulit Bumi…. 72
3.7.1. Metamorfisme, Dewatering dari sekuan dan Generasi Cairan 73
3.7.2. Tekanan Cairan, Porositas Metamorfik, Barier Impermiable dan
Fracture Hidrolik.....................................................................................74
3.7.3. Sistem Hidrotermal Metamorfik............................................................. 77
3.7.4. Jejak-Jejak Cairan: Fault, Zona Shear dan Thrus Fault......................... 79
3.7.5. Cairan Dalam Zona Subduction............................................................... 84

BAB. IV. ALTERASI HIDROTERMAL........................................................................ 85


4.1. Pembukaan................................................................................................. 85
4.2. Metasomatisme Ion Hidrogen dan Perubahan Dasar................................. 86
4.2.1. Proses Kimia yang Berhubungan dengan Ion Hidrogen......................... 87
4.3. Style dan Tipe Alterasi Hidrotermal......................................................... 93
4.3.1. Style Alterasi......................................................................................... 94
4.3.2. Type Alterasi............................................................................................ 94
4.3.3. Tipe Lain dari Alterasi........................................................................... 107
4.4. Quantifikasi dan Monitoring Proses Alterasi Hidrotermal...................... 116
4.4.1. Elemen Bumi Yng Langka dalam Proses Alterasi Hidrotermal........... 121
4.5. Sistimatika Isotop Oksigen dan Hidrogen........................................... . 123
4.6. Metamorfisme Batuan Hirotermal Teralterasi....................................... 126
4.7. Pemindaian Alterasi Hidrotermal dengan Remote Sensing................... 133

Anda mungkin juga menyukai