Anda di halaman 1dari 28

101

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan disajikan hasil analisis data kuantitatif, interpretasi serta

pembahasan pengaruh psikoedukasi keluarga terhadap kemampuan orang tua dalam

memandirikan anak dengan retardasi mental di Sampit Kalimantan Tengah.

Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober sampai dengan Nopember 2015.

4.1 Hasil Penelitian

Pada bagian ini akan diuraikan hasil penelitian tentang karakteritik

responden, kemampuan orang tua memandirikan anak retardasi mental dan pengaruh

psikoedukasi keluarga terhadap kemampuan orang tua memandirikan anak retardasi

mental. Dilakukan analisis dan interpretasi data dengan uji statistik untuk melihat

pengaruh psikoedukasi keluarga terhadap kemampuan orang tua dalam

memandirikan anak dengan retardasi mental sebelum dan sesudah intervensi

psikoedukasi keluarga.

4.1.1 Karakteristik Responden Penelitian

Pada sub bagian ini disajikan karakteristik responden kelompok intervensi

dan kontrol yang berjumlah 54 responden. Karakteristik yang diuraikan adalah

karakteristik orang tua yang memiliki anak dengan retardasi mental di wilayah

Sampit berdasarkan usia (ayah atau ibu), latar belakang pendidikan (ayah atau ibu),

jumlah anak yang dimiliki dan tingkat stress yang dialami.

101
102

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Orang Tua Yang Memiliki Anak
Retardasi Mental Di Sampit Tahun 2015

Jumlah
NO Karakteristik Responden
f %
A. Usia
1. 20 – 35 22 40,7
2. 36 – 50 31 57,4
3. > 50 tahun 1 1,9
B. Tingkat Pendidikan
1. Pendidikan Dasar 27 50,0
2. Pendidikan Menengah 24 44,4
3. Pendidikan Tinggi 3 5,6
C. Jumlah Anak
1. 1 orang 4 7,4
2. 2 – 5 orang 50 92,6
3. > 5 orang 0 0,0
D. Tingkat Stress
1. Ringan 25 46,3
2. Sedang 29 53,7
3. Berat 0 0,0
4. Sangat Berat 0 0,0
Sumber : Data Primer

Pada karakteristik usia terlihat bahwa sebagian besar responden berusia

antara 36 – 50 tahun yaitu sebanyak 57,4%. Terdapat 1,9% responden yang berusia

lebih dari 50 tahun.

Berdasarkan tingkat pendidikan diketahui bahwa sebagian atau sebanyak

50% responden memiliki latar belakang pendidikan pada tingkat dasar, yaitu

pendidikan setingkat SD/MI/SMP/MTsN.

Tabel diatas juga memperlihatkan bahwa pada mayoritas responden atau

sebanyak 92,6% responden memiliki anak antara 2 – 5 orang dan hanya 7,4% yang

memiliki anak 1 orang.

Berdasarkan tingkat stress yang dialami sebagian besar atau sebanyak 53,7%

responden mengalami stress pada tingkat sedang. Tidak ditemukan responden yang

mengalami stress tingkat berat maupun sangat berat.


103

4.1.2 Kemampuan Orang Tua Memandirikan Anak Retardasi Mental

Sebelum Intervensi Psikoedukasi Keluarga

Pada bagian ini akan disajikan hasil penelitian dan hasil uji statistik

kemampuan orang tua kelompok intervensi dan kontrol dalam memandirikan anak

dengan retardasi mental sebelum psikoedukasi keluarga. Secara deskriptif

kemampuan orang tua memandirikan anak retardasi mental pada kelompok

intervensi maupun kelompok kontrol digambarkan dengan penyajian nilai minimum

dan nilai maksimum, nilai mean dan nilai standar deviasi.

Tabel 4.2 Kemampuan Responden Sebelum Intervensi Psikoedukasi Keluarga Di


Sampit Tahun 2015

Kelompok Responden n Min - Max Mean SD

Kelompok Intervensi 27 62 – 83 74,55 5,18

Kelompok Kontrol 27 64 - 82 74,70 5,71


Sumber : Data Primer

Tabel 4.2 memperlihatkan bahwa sebelum diberikan intervensi psikoedukasi

keluarga nilai mean kemampuan orang tua dalam memandirikan anak dengan

retardasi mental pada kelompok kontrol (74,74) lebih tinggi dibandingkan dengan

nilai mean kelompok intervensi (74,55). Namun demikian nilai tertinggi (83)

kemampuan orang tua dalam memandirikan anak dengan retardasi mental ditemukan

pada kelompok intervensi.

4.1.3 Kemampuan Orang Tua Memandirikan Anak Retardasi Mental

Sesudah Intervensi Psikoedukasi Keluarga

Pada bagian ini akan disajikan hasil penelitian dan hasil uji statistik

kemampuan orang tua kelompok intervensi dan kontrol dalam memandirikan anak
104

dengan retardasi mental sesudah psikoedukasi keluarga. Data kemampuan orang tua

memandirikan anak retardasi mental pada kelompok intervensi maupun kelompok

kontrol digambarkan dengan penyajian nilai minimum dan nilai maksimum, nilai

mean dan nilai standar deviasi

Tabel 4.3 Kemampuan Responden Sesudah Intervensi Psikoedukasi Keluarga Di


Sampit Tahun 2015

Kelompok Responden N Min - Max Mean SD

Kelompok Intervensi 27 76 – 87 81,48 3,08


Kelompok Kontrol 27 64 - 82 75,07 5,55
Sumber : Data Primer

Tabel 4.3 memperlihatkan bahwa sesudah diberikan intervensi psikoedukasi nilai

mean kemampuan orang tua dalam memandirikan anak dengan retardasi mental pada

kelompok intervensi (81,48) lebih tinggi dibandingkan nilai mean kemampuan orang

tua dalam memandirikan anak dengan retardasi mental pada kelompok kontrol

(75,07). Nilai tertinggi (87) yang dimiliki responden juga ditemukan pada kelompok

intervensi.

Terjadi peningkatan nilai mean kemampuan orang tua memandirikan anak

retardasi mental pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol saat sebelum

intervensi dan saat sesudah intervensi. Pada kelompok intervensi nilai mean saat

sebelum intervensi adalah 74,55 dan meningkat menjadi 81,48 saat sesudah

dilakukannya intervensi psikoedukasi keluarga. Terjadi pula peningkatan nilai

minimum kemampuan orang tua dalam memandirikan anak dari 62 saat sebelum

intervensi menjadi 76. Sedangkan pada nilai maksimum juga terjadi peningkatan dari

semula 83 menjadi 87 saat sesudah dilakukan psikoedukasi keluarga.


105

Sementara itu pada kelompok kontrol juga terjadi peningkatan nilai mean

kemampuan orang tua memandirikan anak retardasi mental dari 74,70 saat sebelum

menjadi 75,07 saat sesudah intervensi psikoedukasi keluarga. Namun tidak terjadi

peningkatan nilai minimum dan maksimum kemampuan orang tua dalam

memandirikan anak saat dari nilai minimum 64 saat sebelum dan nilai maksimum 82

saat sesudah intervensi. Peningkatan nilai terjadi pada sebagian responden dengan

sebaran berada pada rentang nilai antara 64 – 82.

4.1.4 Kemampuan Orang Tua Memandirikan Anak Retardasi Mental

Sebelum dan Sesudah Psikoedukasi Keluarga

Pada bagian ini disajikan hasil analisis statistik untuk melihat kemampuan

responden kelompok intervensi dan kelompok kontrol dalam memandirikan anak

retardasi mental saat sebelum dan sesudah dilakukan intervensi psikoedukasi

keluarga. Tingkat kemampuan saat sebelum dan sesudah dibandingkan dengan

melakukan analisis statistik uji beda nilai mean menggunakan uji t dependen.

Ho : Tidak ada perbedaan kemampuan orang tua memandirikan anak retardasi

mental saat sebelum dan sesudah intervensi

Ha : Ada perbedaan kemampuan orang tua memandirikan anak retardasi mental

saat sebelum dan sesudah intervensi

Kriteria uji :

1. Nilai p tidak bermakna jika p > 0,05

2. Nilai p bermakna jika p ≤ 0,05


106

Tabel 4.4 Kemampuan Responden Kelompok Intervensi Sebelum dan Sesudah


Psikoedukasi Keluarga Di Sampit Tahun 2015

Kelompok Intervensi Mean t hitung Nilai p Kesimpulan

Kemampuan Orang Tua Sebelum 74,556


Memandirikan Anak -6,941 0,000 Ada Perbedaan
Retardasi Mental Sesudah 81,481
Sumber : Data Primer

Berdasarkan tabel 4.4 terlihat bahwa hasil uji statistik kemampuan orang tua

memandirikan anak retardasi mental pada kelompok intervensi menghasilkan nilai p

= 0,00 (p ≤ 0,05). Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak, yang berarti

terdapat perbedaan bermakna kemampuan orang tua dalam memandirikan anak

dengan retardasi mental saat sebelum dan sesudah intervensi psikoedukasi keluarga

pada kelompok intervensi.

Tabel 4.5 Kemampuan Responden Kelompok Kontrol Sebelum dan Sesudah


Psikoedukasi Keluarga Di Sampit Tahun 2015

Kelompok Kontrol Mean t hitung Nilai p Kesimpulan

Kemampuan Orang Tua Sebelum 74,741


Memandirikan Anak -2,250 0,017 Ada Perbedaan
Retardasi Mental Sesudah 75,071

Sumber : Data Primer

Tabel 4.5 menunjukkan hasil uji statistik kemampuan orang tua memandirikan anak

mental pada kelompok kontrol memiliki nilai p = 0,017 (p < 0,05). Oleh karena itu

dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak. Terdapat perbedaan kemampuan orang tua

dalam memandirikan anak dengan retardasi mental saat sebelum dan sesudah

intervensi psikoedukasi keluarga pada kelompok kontrol.


107

4.1.5 Pengaruh Psikoedukasi Keluarga Terhadap Kemampuan Orang Tua

Memandirikan Anak Retardasi Mental

Pada bagian ini disajikan hasil analisis statistik untuk melihat pengaruh

psikoedukasi keluarga terhadap kemampuan orang tua memandirikan anak retardasi

mental. Ada atau tidak adanya pengaruh diukur dengan menganalisis perbedaan

kemampuan orang tua kelompok intervensi dan kontrol dalam memandirikan anak

retardasi mental saat sebelum dan sesudah dilakukannya psikoedukasi keluarga. Uji

statistik yang digunakan untuk menganalisis adanya pengaruh ini menggunakan T-

Independen.

Tabel 4.6. Kemampuan Orang Tua Memandirikan Anak Retardasi Mental Sebelum
Psikoedukasi Keluarga Di Sampit Tahun 2015

Variabel Mean t hitung Nilai p Kesimpulan

Intervensi 74,556
Sebelum Psikoedukasi Tidak Ada
-0,125 0,901
Keluarga Perbedaan
Kontrol 74,741
Sumber : data primer

Tabel 4.6 menunjukkan bahwa hasil uji statistik kemampuan orang tua

memandirikan anak retardasi mental sebelum dilakukan psikoedukasi keluarga

memiliki nilai p = 0,901 (p > 0,05). Oleh karena nilai p lebih besar dari 0,05 maka

dapat disimpulkan bahwa Ho gagal ditolak. Artinya bahwa tidak terdapat perbedaan

kemampuan orang tua pada kelompok intervensi dan kontrol dalam memandirikan

anak retardasi mental saat sebelum dilakukannya psikoedukasi.


108

Tabel 4.7 Kemampuan Orang Tua Memandirikan Anak Retardasi Mental Sesudah
Psikoedukasi Keluarga Di Sampit Tahun 2015

Variabel Mean t hitung Nilai p Kesimpulan

Intervensi 81,481
Sesudah Psikoedukasi Ada
5,243 0,000
Keluarga Perbedaan
Kontrol 75,074
Sumber : Data Primer

Tabel 4.7 menunjukkan bahwa hasil uji statistik kemampuan orang tua

memandirikan anak retardasi mental sesudah dilakukan psikoedukasi keluarga

memiliki nilai p = 0,000 (p < 0,05). Oleh karena nilai p lebih kecil dari 0,05 maka

dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak. Hal ini berarti bahwa terdapat perbedaan

kemampuan orang tua pada kelompok intervensi dan kontrol dalam memandirikan

anak retardasi mental saat sesudah dilakukannya psikoedukasi keluarga. Adanya

perbedaan juga menunjukkan bahwa terdapat pengaruh psikoedukasi keluarga

terhadap kemampuan orang tua memandirikan anak retardasi mental sesudah

dilakukan intervensi.

4.2 Pembahasan

4.2.1 Karakteristik Orang Tua Yang Memiliki Anak Retardasi Mental

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar orang tua yang memiliki

anak retardasi mental di Sampit berusia antara 36 – 50 tahun. Hal ini menjadi salah

satu faktor penting karena usia turut berkontribusi dalam kemampuan orang tua

melakukan pengasuhan terhadap anak retardasi mental di Sampit. Supartini (2004)

menyebutkan, rentang usia tertentu adalah baik untuk menjalankan peran

pengasuhan. Apabila terlalu muda atau terlalu tua, mungkin tidak dapat menjalankan

peran tersebut secara optimal karena diperlukan kekuatan fisik dan psikososial. Usia

orang tua yang masih muda cenderung untuk lebih tidak bisa merasakan atau
109

mengenali kebutuhan anaknya dan juga lebih egosentris dibandingkan ibu-ibu yang

lebih tua. Stuart dan Laraia (2005) mengatakan usia berhubungan dengan keputusan

untuk menggunakan pelayanan kesehatan jiwa dimana semakin bertambah usia

seseorang semakin besar kepercayaannya untuk mencari pertolongan ke fasiltas

kesehatan. Puncak usia tersebut antara 25 – 44 tahun dan semakin menurun seiring

pertambahan usia. Hal ini diduga sebagai akibat pengalaman hidup dan kematangan

jiwanya. Mayoritas responden pada penelitian ini yang merupakan kelompok usia

dewasa dirasakan oleh peneliti turut memberikan kontribusi terhadap hasil penelitian

terutama terkait dengan kemampuan orang dalam meningkatkan upaya untuk

memandirikan anaknya.

Sebagian besar orang tua yang memiliki anak retardasi mental di Sampit

memiliki latar belakang pendidikan dasar atau setingkat SD/SMP. Menurut Wong,

dkk (2009) bahwa orangtua dengan pendidikan menengah telah mempunyai pola

pikir yang baik sebagai hasil dari proses pendidikan formal yang dijalaninya

sehingga mempengaruhi perilaku dalam pengasuhan anak, orangtua akan bisa

memilih dan menerapkan pola asuh yang tepat sesuai dengan kebutuhan anaknya.

Tingkat pendidikan dan pengetahuan orangtua serta pengalamannya sangat

berpengaruh dalam mengasuh anak. Hal yang berbeda dari pendapat yang

dikemukakan Wong, dkk (2009) ditemukan pada penelitian ini. Walaupun dengan

mayoritas latar belakang pendidikan dasar namun kemampuan orang tua anak

retardasi mental mampu mengalami peningkatan yang signifikan setelah diberikan

intervensi psikoedukasi. Peneliti mengatasi keterbatasan pendidikan dengan

melakukan kegiatan komunikasi dalam psikoedukasi dengan menggunakan yang


110

mudah dimengerti oleh responden. Dan terhadap sebagian responden peneliti

menggunakan bahasa lokal (bahasa Dayak).

Sebagian besar responden memiliki anak yang berjumah antara 2 – 5

orang. Wong, dkk (2009) menyebutkan bahwa orang tua yang telah memiliki

pengalaman, seperti pengalaman dengan anak lain, tampaknya lebih santai dan

memiliki lebih sedikit konflik dalam hubungan disiplin, dan mereka lebih

mengetahui perkiraan pertumbuhan dan perkembangan yang normal. Senada dengan

hal tersebut Hidayat (2005) menyebutkan bahwa orang tua yang sudah mempunyai

pengalaman sebelumnya dalam mengasuh anak akan lebih siap menjalankan peran

pengasuhan, selain itu orang tua akan lebih mampu mengamati tanda-tanda

pertumbuhan dan perkembangan yang normal. Hal yang berbeda terjadi pada orang

tua yang memiliki anak retardasi mental di Sampit. Walaupun sebagian besar telah

memiliki lebih dari 1 anak, namun masih banyak orang tua yang mengalami stress

pada tingkat sedang dalam mengasuh anak dengan retardasi mental. Hal lain yang

ditemukan adalah walaupun memiliki lebih dari 1 orang anak, namun beban

pengasuhan anak retardasi mental masih tertumpuk pada satu orang, dan mayoritas

tertumpuk pada ibu.

Sebagian besar responden mengalami stress pada tingkat sedang dalam

merawat anak retardasi mental. Wong, dkk., (2009) menyebutkan bahwa stress yang

dialami oleh ayah atau ibu atau keduanya akan mempengaruhi kemampuan orang tua

dalam menjalankan peran sebagai pengasuh, terutama dalam kaitannya dengan

strategi koping yang dimilki dalam menghadapi permasalahan anak. Kondisi anak

dengan masalah keterbelakangan mental dapat menyebabkan stress pada orang tua.

Jumlah stress yang dialami oleh salah satu dari kedua orang tua dapat mengganggu
111

kemampuan mereka untuk menunjukkan kesabaran dan pengertian atau dalam

menghadapi perilaku anak mereka. Hal berbeda juga ditemukan pada orang tua yang

memiliki anak retardasi mental berdasarkan hasil identifikasi masalah stress yang

dialami melalui psikoedukasi. Faktor pemicu stress yang dialami bukan terjadi akibat

memiliki anak retardasi mental namun lebih kepada penumpukan beban dalam

merawat anak retardasi mental yang tertumpu pada satu orang. Beban yang berlebih

melebihi kapasitas kemampuan mengakibatkan stress pada ibu. Hal ini juga

didukung oleh budaya pola asuh anak yang ada di wilayah Sampit. Budaya asuh anak

yang lebih dibebankan kepada ibu membuat anggota keluarga lain merasa tidak

begitu perlu terlibat dalam pengasuhan anak retardasi mental.

4.2.2 Kemampuan Orang Tua Memandirikan Anak Retardasi Mental

Sebelum Intervensi Psikoedukasi Keluarga

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebelum intervensi psikoedukasi

keluarga nilai mean kemampuan orang tua kelompok intervensi dalam memandirikan

anak retardasi mental adalah 74,55 dengan nilai minimum 62 dan maksimum 83.

Sedangkan pada kelompok kontrol didapatkan nilai mean 74,70 dengan nilai

minimum 64 dan maksimum 82. Hasil uji statistik dengan t dependen (tabel 4.6)

menunjukkan tidak ada perbedaan kemampuan orang tua dalam memandirikan anak

retardasi mental sebelum intervensi pasikoedukasi keluarga (p = 0,901).

Tidak adanya perbedaan kemampuan yang dimiliki oleh orang tua pada

kelompok intervensi dan kelompok kontrol dalam memandirikan anak retardasi

mental di Sampit berkaitan dengan kesamaan minimnya informasi yang diperoleh

tentang kemandirian anak retardasi mental. Orang tua anak retardasi mental di

Sampit mayoritas memperoleh pengetahuan tentang merawat dan kemandirian anak


112

bersumber dari pengalaman, informasi dari sekolah secara individual dan melalui

media (SDLB Negeri Sampit, 2015). Hal ini tentunya berdampak terhadap

terbatasnya kemampuan orang tua untuk memandirikan anaknya. Hasil penelitian

yang dilakukan Israwati (2010) tentang pengetahuan keluarga dalam pengasuhan dan

tumbuh kembang anak di seluruh Provinsi di Indonesia juga menyebutkan bahwa

indeks pengetahuan tumbuh kembang fisik anak di Kalimantan Tengah (termasuk

didalamnya kabupaten Kotawaringin Timur) berada dibawah rata-rata nasional.

Selain itu kondisi ini ditunjang dengan hasil saat pelaksanaan penelitian pada sesi 1

tentang identifikasi masalah, bahwa mayoritas orang tua tidak mengetahui tingkat

kemandirian yang dapat dicapai oleh anak retardasi mental dan orang tua juga tidak

mengetahui tentang cara memandirikan anak dengan retardasi mental. Melalui

wawancara dengan pihak sekolah juga diketahui bahwa belum pernah

diselenggarakan kegiatan edukasi yang ditujukan bagi orang tua sebagai upaya

meningkatkan kemampuan orang tua merawat anak dengan retardasi mental.

Semiun (2006) menyebutkan bahwa seringkali reaksi orang tua terhadap anak

retardasi mental dapat menghalangi usaha anak dalam mencapai kemampuan untuk

menyesuaikan diri yang normal. Mereka mungkin tidak mau mengakui kekurangan-

kekurangan anak tersebut, orang tua merasa malu dan stress. Namun hal ini tidak

sepenuhnya ditemukan dengan pada orang tua yang memiliki anak retardasi mental

di Sampit. Orang tua anak retardasi mental yang menjadi responden hampir

seluruhnya tidak lagi merasa malu dengan kondisi anaknya dan tidak mengalami

stress akibat kondisi anaknya. Stress yang dialami oleh orang tua lebh bersifat

situasional dan timbul akibat tertumpuknya beban pada satu orang dalam merawat

anak retardasi mental.


113

4.2.3 Kemampuan Orang Tua Memandirikan Anak Retardasi Mental

Sesudah Intervensi Psikoedukasi Keluarga

Hasil penelitian menunjukkan terjadi peningkatan kemampuan orang tua

dalam memandirikan anak retardasi mental setelah intervensi psikoedukasi. Pada

kelompok intervensi nilai mean kemampuan orang tua memandirikan anak retardasi

mental menjadi 81,48 dengan nilai minimum 76 dan maksimum 87 dan pada

kelompok kontrol nilai mean saat akhir penelitian adalah 75,07 dengan nilai

minimum 64 dan maksimum 82 .

Peneliti menilai peningkatan rerata kemampuan orang tua dalam

memandirikan anak dengan retardasi mental terjadi karena bertambahnya informasi

yang diperoleh oleh kelompok orang tua. Bertambahnya informasi yng diterima

berdampak terhadap meningkatnya pengetahuan yang dimiliki oleh individu yang

pada akhirnya akan menimbulkan perubahan kemampuan yang dimiliki. Green

dalam Notoatmodjo (2000) menyebutkan bahwa terdapat 3 faktor utama pembentuk

perilaku, yaitu enabling factors, predisposing factor dan reinforcing factors.

Bertambahnya informasi yang diterima tentang cara merawat dan memandirikan

anak retardasi mental memberikan kontribusi terhadap predisposing factor.

Peningkatan pengetahuan merupakan salah satu komponen pembentuk peningkatan

kemampuan dan perilaku yang dimiliki oleh orang tua dalam merawat dan

memandirikan anak dengan retardasi mental.

Pada kelompok intervensi peningkatan kemampuan orang tua memandirikan

anak retardasi mental berkaitan erat dengan intervensi psikoedukasi keluarga yang

diberikan. Stuart (2009) menyebutkan bahwa program psikoedukasi keluarga akan

dapat meningkatkan kemampuan keluarga dalam merawat anak dengan retardasi


114

mental dan meningkatkan fungsi keluarga. Sementara itu Supratiknya (2011) juga

mengemukakan bahwa intervensi psikoedukasi keluarga dapat meningkatkan

kemampuan kognitif. Terjadinya peningkatan kemampuan dan pengetahuan ini

karena dalam psikoedukasi keluarga mengandung unsur untuk meningkatkan

pengetahuan keluarga tentang penyakit, mengajarkan teknik yang dapat membantu

keluarga untuk mengetahui gejala-gejala penyimpangan perilaku, serta peningkatan

dukungan bagi anggota keluarga itu sendiri.

Pada saat pelaksanaan penelitian, psikoedukasi keluarga dilakukan sesuai

dengan kebutuhan dan permasalahan yang dialami orang tua dalam memandirikan

anak retardasi mental. Saat sesi 1 dari hasil diskusi diketahui bahwa mayoritas orang

tua belum mengetahui tentang kemandirian yang dapat dicapai oleh anak retardasi

mental dan belum memahami tentang cara memandirikan retardasi mental. Seluruh

orang tua juga mengatakan belum mengetahui derajat retardasi mental yang dimiliki

oleh anaknya. Orang tua juga mengatakan belum pernah mengikuti kegiatan yang

secara khusus baik diselenggarakan oleh sekolah atau pihak lain tentang perawatan

atau pengasuhan anak retardasi mental. Permasalahan ini diatasi melalui pertemuan

pada sesi 2, peneliti menjelaskan tentang retardasi mental dan kemandirian yang

dapat dicapai oleh anak retardasi mental sesuai dengan derajat retardasi yang

dimiliki. Hampir seluruh responden mengatakan mereka belum pernah melakukan

pemeriksaan tingkat intelegensia anaknya. Hal ini sesungguhnya merupakan hal

penting, karena tingkat intelegensi akan menjadi dasar dalam penentuan derajat

retardasi mental yang dialami. Dengan diketahuinya derajat retardasi mental dapat

pula diketahui tingkat kemandirian yang dapat dicapai oleh anak. Peneliti juga
115

menjelaskan tentang bagaimana upaya yang dapat dilakukan oleh orang tua dan

keluarga dalam meningkatkan kemandirian anak retardasi mental.

Pada sesi berikutnya peneliti melakukan identifikasi sumber stress yang

dialami orang tua dan melakukan diskusi bersama orang tua untuk menentukan

strategi yang tepat dalam mengatasi stress orang tua. Melalui diskusi diketahui

bahwa mayoritas stress yang dialami responden bersumber dari meningkatnya beban

dalam mengasuh anak retardasi mental akibat tertumpuknya beban. Secara kultur di

Sampit ibu masih merupakan pengasuh utama anak dalam keluarga, ayah fokus

sebagai pencari nafkah saja dan anggota keluarga lain memiliki keterlibatan

pengasuhan yang rendah. Untuk mengatasi hal ini melalui psikoedukasi keluarga

peneliti menyampaikan informasi tentang beberapa tehnik yang dapat dilakukan oleh

orang tua untuk menurunkan stress yang terjadi.

Pada sesi 4 peneliti melakukan manajemen beban dengan menghadirkan

seluruh anggota keluarga. Dihadirkannya seluruh anggota keluarga agar seluruh

anggota keluarga memahami kondisi yang terjadi, peneliti dapat berdiskusi tentang

manajemen beban dengan seluruh keluarga dan dapat melakukan pembagian peran

dalam keluarga untuk memandirikan anak retardasi mental. Dengan pemahaman

yang baik dan meratanya beban dalam memandirikan anak retardasi mental

diharapkan stress dapat berkurang dan keluarga dapat lebih dapat memberikan

kesempatan bagi anak retardasi mental untuk lebih dapat mengembangkan potensi

yang dimiliki.

Kegiatan yang dilakukan dalam psikoedukasi inilah diidentifikasi telah

memberikan pengaruh terhadap kemampuan orang tua dalam memandirikan anak


116

retardasi mental. Hal ini terbukti dengan meningkatnya kemampuan responden

secara statistik dalam memandirikan anak retardasi mental.

Pada kelompok kontrol terdapat juga perbedaan kemampuan saat sebelum

dan sesudah intervensi psikoedukasi keluarga. Terjadi sedikit peningkatan nilai mean

kemampuan orang tua memandirikan anak dengan retardasi mental. Peneliti menilai

hal ini karena selama penelitian berlangsung kemungkinan orang tua telah

memperoleh pengetahuan tentang perawatan anak dengan retardasi mental dari

lingkungan sosial secara tidak terstruktur. Seringkali orang tua memperoleh

informasi yang bersumber dari berbagai media sosial ataupun informasi dari sekolah

untuk meningkatkan kemampuannya dalam merawat dan memandirikan anak dengan

retardasi mental (SDLB Negeri Sampit, 2015).

4.2.4 Kemampuan Orang Tua Memandirikan Anak Retardasi Mental Saat

Sebelum Dan Sesudah Intervensi Psikoedukasi Keluarga

Hasil analisis uji statistik menunjukkan adanya perbedaan signifikan

kemampuan orang tua dalam memandirikan anak retardasi mental saat sebelum dan

sesudah intervensi dengan nilai p = 0,00 (p < 0,05) pada kelompok intervensi (tabel

4.4), dan nilai p = 0,017 (p < 0,05) pada kelompok kontrol (tabel 4.5). Terjadi pula

peningkatan nilai mean kemampuan orang tua pada kelompok intervensi dari 74,55

menjadi 81,48, dan pada kelompok kontrol dari 74,70 menjadi 75,07. Perbedaan ini

menggambarkan adanya peningkatan kemampuan orang tua merawat anak retardasi

mental saat sesudah dilakukan psikoedukasi.

Rachmaniah (2012) yang meneliti tentang pengaruh psikoedukasi terhadap

kecemasan dan koping orang tua dalam merawat anak dengan thalassemia

didapatkan hasil bahwa psikoedukasi mampu meningkatkan kemampuan koping


117

orang tua dalam merawat dengan anak dengan thalassemia. Dilakukan intervensi

psikoedukasi yang terbagi dalam 2 sesi dan dilaksanakan dalam 1 hari. Responden

diberikan informasi tentang thalassemia pada sesi I, kemudian diberikan intervensi

tentang manajemen cemas dan manajemen koping pada sesi II. Pengukuran pre test

dilakukan sebelum pelaksanaan psikoedukasi dan pengukuran post test dilakukan 18

hari setelah dilakukannya psikoedukasi. Hasil uji statistik diperoleh p = 0,003 yang

berarti ada perbedaan kemampuan koping orang tua pre tes dan post sehingga dapat

dinyatakan bahwa psikoedukasi sangat berpengaruh terhadap kemampuan koping

orang tua.

Hal yang perlu dicermati untuk membandingkan penelitian yang dilakukan

oleh Rachmaniah dan penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah adanya

perbedaan jumlah metode, jumlah sesi dan materi psikoedukasi. Rachmaniah

melakukan psikoedukasi secara berkelompok dalam 2 sesi dan memberikan

informasi tentang penyakit, manajemen cemas dan manajemen koping dengan hasil

terdapat perbedaan hasil pre dan post test kecemasan (p=0,000) dan koping

(p=0,003). Peneliti melakukan psikoedukasi dalam 5 sesi dalam 5 kali pertemuan

berbeda hari. Peneliti berkunjung ke rumah responden dan mengawali intervensi

dengan identifikasi masalah yang ditemui. Selanjutnya peneliti berdiskusi dan

memberikan informasi tentang penyakit dan cara memandirikan, manajemen stress,

manajemen beban keluarga dan pemberdayaan komunitas. Hasil yang diperoleh

adalah terdapat perbedaan pre dan post test kemampuan orang tua dalam

memandirikan anak yang bermakna pada kelompok intervensi (p=0,000).

Salah satu perbedaan psikoedukasi keluarga yang dilakukan peneliti

dibandingkan dengan peneliti lain adalah metode kunjungan langsung ke keluarga.


118

Melalui kunjungan langsung maka keluarga lebih dapat mengeksplorasi apa yang

menjadi permasalahan selama ini. Kegiatan yang dilakukan secara privat mampu

meningkatkan rasa percaya terhadap peneliti dan keluarga dapat mengemukakan

informasi secara menyeluruh. Kerugian dalam metode psikoedukasi keluarga adalah

peneliti harus mengalokasikan cukup banyak waktu untuk melaksanakan

psikoedukasi terhadap seluruh responden. Hal berbeda pada psikoedukasi kelompok,

dimana responden telah berkumpul, informasi diberikan hanya 1 kali sehingga waktu

yang dibutuhkan pun menjadi lebih sedikit.

4.2.5 Pengaruh Psikoedukasi Keluarga Terhadap Kemampuan Orang Tua

Memandirikan Anak Retardasi Mental

Untuk melihat pengaruh psikoedukasi keluarga terhadap kemampuan orang

tua memandirikan anak retardasi mental peneliti membandingkan hasil nilai mean

sesudah intervensi yang terdapat pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol.

Hasil analisis uji statistik penelitian (tabel 4.7) dengan menggunakan uji statistik

didapatkan hasil p = 0,00 (p < 0,05) yang berarti terdapat perbedaan bermakna

kemampuan orang tua memandirikan anak retardasi mental antara kelompok

intervensi dan kontrol sesudah diberikan psikoedukasi keluarga. Melalui penelitian

ini juga diketahui adanya perbedaan nilai mean antara kelompok intervensi dan

kontrol saat sesudah psikoedukasi keluarga yaitu 81,48 pada kelompok intervensi

dan 75,07 pada kelompok kontrol. Kelompok yang mendapatkan intervensi

psikoedukasi keluarga memiliki kemampuan memandirikan anak retardasi mental

yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapatkan intervensi

psikoedukasi keluarga. Hasil ini menunjukkan secara jelas bahwa intervensi


119

psikoedukasi keluarga memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan

kemampuan orang tua dalam memandirikan anak dengan retardasi mental.

Hasil serupa dikemukakan oleh Lestari (2011) yang melakukan penelitian

untuk melihat pengaruh psikoedukasi keluarga terhadap tingkat pengetahuan dan

ansietas keluarga dalam merawat anggota keluarga yang mengalami tuberkulosis

paru dengan desain penelitian pre and post with control group. Psikoedukasi

dilakukan dalam 5 sesi dalam 5 kali pertemuan dengan keluarga. Hasil penelitian

bahwa secara statistik tidak ditemukan perbedaan bermakna tingkat pengetahuan

kelompok intervensi sebelum dan sesudah intervensi, namun terjadi peningkatan

proporsi kelompok keluarga yang memiliki pengetahuan tinggi dari 54,29% menjadi

88,57% dan terdapat perbedaan bermakna tingkat ansietas pre dan post intervensi

(p=0,003).. Penelitian lain yang dilakukan Rahayu (2011) tentang pengaruh

psikoedukasi keluarga terhadap dukungan psikososial keluarga pada anggota

keluarga dengan penyakit kusta dengan desain penelitian pre and post with control

group. Psikoedukasi keluarga dilakukan dengan 5 sesi dalam 5 kali pertemuan

dengan keluarga dan melalui analisis statistik diperoleh hasil p value = 0,000 < α

sehingga dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan dukungan psikologis dan

sosial yang bermakna setelah diberikan psikoedukasi keluarga.

Hal yang perlu dicermati pada kedua penelitian diatas jika dibandingkan

dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah adanya kesamaan prosedur

psikoedukasi keluarga yang dilakukan yaitu psikoedukasi dilakukan dengan 5 sesi

pertemuan. Sedangkan perbedaannya adalah terletak pada aspek yang diteliti. Kedua

penelitian diatas berfokus pada pengetahuan, tingkat ansietas keluarga dan dukungan

psikososial terhadap anggota keluarga yang mengalami masalah kesehatan yang


120

bersifat menahun. Sedangkan peneliti berfokus pada kemampuan orang tua dalam

memandirikan anggota keluarga yang memiliki masalah retardasi mental.

Perbedaan pada sesi dan aspek yang diteliti yang ditemukan pada penelitian

lain dan yang peneliti lakukan mungkin bukan merupakan hal yang berpengaruh

dalam penelitian ini. Tim Pengajar & Spesialis Jiwa FIK UI, (2009) mengatakan

bahwa tidak ada satupun program bisa menjelaskan struktur umum yang dapat

memodifikasi kebutuhan pertemuan individu keluarga dalam psikoedukasi keluarga.

Hal yang paling penting dari program intervensi psikoedukasi keluarga adalah

bertemu keluarga berdasarkan pada kebutuhan, dan keluarga mendapat kesempatan

untuk bertanya, bertukar pandangan dan bersosialisasi dengan anggota yang lain dan

tenaga keperawatan professional. Rome dan Fisher (2010) menyebutkan bahwa

psikoedukasi dapat diberikan dalam 8 – 15 jam dan tetap menunjukkan hasil yang

bermakna pada pengetahuan, sikap dan perilaku.

Perbedaan lain adalah bahwa secara spesifik dalam penelitian yang dilakukan

peneliti ditemukan beberapa hasil yang berbeda dengan penelitian dan pendapat yang

dikemukakan oleh para ahli sebelumnya. Perbedaan terutama terjadi pada

karakteristik dan sumber permasalahan yang dialami oleh orang tua dalam

memandirikan anak retardasi mental. Menurut Somantri (2007) pada orang tua yang

memiliki anak retardasi mental sering timbul perasaan bersalah, berdosa, kurang

percaya diri, terkejut/tidak percaya, malu, dan over protective. Senada dengan hal

tersebut, hasil penelitian Hamid (2004) menggambarkan bahwa orang tua yang

memiliki anak retardasi mental memiliki perasaan sedih, denial, depresi, malu,

marah dan menerima keadaan anaknya. Hasil penelitian yang dilakukan peneliti

ternyata hampir seluruh responden tidak merasa malu dengan kondisi anaknya, tidak
121

mengalami depresi, tidak merasa marah dan responden dapat menerima keadaan

anaknya. Hal yang menjadi masalah bagi responden adalah pemahaman yang masih

kurang tentang kondisi anaknya dan responden tidak mengetahui apa yang harus

dilakukan untuk meningkatkan kemandirian anaknya. Selain itu pada responden

stress yang dirasakan bersifat situasional dan sumber stress yang terjadi bukan karena

memiliki anak retardasi mental, tetapi lebih kepada beban yang dirasakan berlebih

dalam mengasuh anak retardasi mental.

Kondisi yang ditemui pada responden penelitian di Sampit menjadi dasar

utama dalam pelaksanaan intervensi psikoedukasi keluarga dan hal inilah yang

menurut peneliti memberikan pengaruh terhadap terjadinya peningkatan kemampuan

orang tua dalam memandirikan anak retardasi mental. Untuk meningkatkan

pemahaman, maka pada sesi kedua peneliti memberikan informasi dan berdiskusi

dengan keluarga tentang perawatan dan prinsip cara memandirikan anak dengan

retardasi mental. Green dalam Notoatmodjo (2000) menyebutkan bahwa terdapat 3

faktor utama pembentuk perilaku, yaitu enabling factors, predisposing factor dan

reinforcing factors. Pemberian informasi tentang cara merawat dan memandirikan

anak retardasi mental memberikan kontribusi terhadap predisposing factor.

Peningkatan pengetahuan yang dimiliki merupakan salah satu komponen pembentuk

peningkatan kemampuan dan perilaku yang dimiliki oleh orang tua dalam merawat

dan memandirikan anak dengan retardasi mental

Sesi berikutnya peneliti bersama responden mengidentifikasi stress yang

dialami keluarga dan melakukan tehnik manajemen stress. Peneliti dan responden

mengidentifikasi sumber daya yang dimiliki dan strategi koping yang tepat dilakukan

keluarga untuk mengatasi stress. Lazarus & Folkman (1984) berpendapat bahwa
122

untuk mengelola tekanan internal atau eksternal yang melebihi sumber daya yang

terjadi sebagai akibat adanya anggota keluarga dengan retardasi mental dapat

dilakukan dengan coping. Koping merupakan upaya untuk merubah kognitif dan

perilaku yang dilakukan terus menerus. Taylor (2006) mengemukakan tehnik yang

dapat digunakan dalam meningkatkan koping yaitu dengan problem focused coping

dan emotional focused coping. Melalui peningkatan kemampuan manajemen stress

dan koping maka keluarga menjadi lebih siap dalam menghadapi tantangan yang

muncul dalam setiap peningkatan perkembangan anak retardasi mental. Hal ini

bersesuaian dengan makna dan tujuan dilakukannya psikoedukasi.

Berdasarkan hasil pelaksanaan kegiatan psikoedukasi, peneliti menemukan

bahwa teknik yang banyak dan tepat dilakukan dalam meningkatkan manajemen

stress bagi keluarga yang memiliki anak retardasi mental adalah dengan emotional

focused coping. Cara yang banyak didiskusikan dengan keluarga selama penelitian

adalah dengan : 1) mengidentifikasi dan meningkatkan pemanfaatan dukungan

social terutama dari tetangga, teman, keluarga, saudara; 2) meningkatkan keyakinan,

nilai dan optimism bahwa keluarga akan mampu menghadapi tantangan-tantangan

dalam merawat anak retardasi mental; dan 3) mengarahkank keluarga untuk selalu

berupaya berpikiran positif, bersyukur dan menerima segala keadaan yang ada

sebagai bentuk ketaqwaan.

Sesi keempat peneliti bersama keluarga mengidentifikasi beban yang dialami

keluarga dan memberikan informasi tentang manajemen beban. Strategi yang

dilakukan dengan mengurangi beban yang tertumpuk pada salah satu anggota

keluarga melalui pembagian peran. Pada sesi ini peneliti menghadirkan seluruh

anggota keluarga pada saat pelaksanaannya. Hal ini dilakukan agar seluruh anggota
123

keluarga dapat memiliki kesamaan persepsi tentang kondisi yang dialami dan dapat

secara bersama-sama meningkatkan upaya untuk mengatasinya. Sangat penting

untuk melakukan eksplorasi teknik yang biasa digunakan keluarga untuk mengatasi

masalah beban keluarga dan selanjutnya bersama keluarga mengidentifikasi secara

tepat metode pembagian beban yang dapat dilakukan sesuai dengan kondisi yang

ada. Peneliti berdiskusi dan melakukan kesepakatan dengan keluarga tentang peran

yang dapat dilakukan oleh masing-masing anggota keluarga dalam upaya

meningkatkan kemandirian anak retardasi mental.

Selama pelaksanaan penelitian juga didapati bahwa orang tua yang memiliki

anak retardasi mental di Sampit belum memiliki kelompok yang dapat digunakan

sebagai wadah berbagi informasi dan pengalaman. Salah satu wadah yang dapat

dibentuk adalah dengan membentuk kelompok suportif. Kelompok suportif adalah

kelompok yang terdiri atas keluarga-keluarga dengan memiliki masalah yang sama

untuk selanjutnya dapat saling berbagai pengalaman dan pengetahuan.

Pemberian terapi suportif keluarga diharapkan dapat meningkatkan

kemampuan keluarga dalam mengelola beban dan ansietas, karena keluarga

mendapat kesempatan membahas kendala yang dihadapinya selama memiliki anak

tunagrahita, bahkan bertukar pengalaman dengan keluarga lain. Tukar pengalaman

dalam mengelola beban dan ansietas selama merawat anak tunagrahita dapat menjadi

sumber dukungan sosial bagi masing-masing anggota dalam kelompok, sehingga

diharapkan beban dan ansietas dapat berkurang. Pemberian dukungan sosial bisa

diberikan oleh anggota keluarga lainnya ataupun melalui bantuan tenaga profesional,

misalnya seorang perawat jiwa sebagai terapis (Videbeck, 2007; Mohr & Regan-

Kubinski, 2001 dalam Fontaine, 2003). Penelitian yang dilakukan oleh Masyitoh,
124

dkk (2013) menunjukkan bahwa setelah diberikan terapi kelompok suportif, beban

keluarga dalam merawat anak tuna grahita menjadi lebih ringan. Individu yang

homogen memiliki makna bahwa masing-masing individu memiliki masalah yang

sama dan memerlukan penguatan tidak hanya dari terapis, tetapi juga dari anggota

kelompok lainnya. Masalah bersama saling dibagikan, dan tiap-tiap individu dalam

kelompok membandingkan interaksi mereka dengan individu lain di dalam

kelompok.

Pada sesi terakhir peneliti berdiskusi dengan keluarga tentang bagaimana

memberdayakan sumber daya yang terdapat di komunitas untuk meningkatkan

kemandirian keluarga. Peneliti mengeksplorasi pengetahuan yang dimiliki keluarga

tentang sumber daya yang ada di lingkungannya yang dapat digunakan untuk

meningkatkan kemandirian anak. Selanjutnya peneliti memberikan informasi kepada

keluarga tentang sumber daya yang ada di komunitas di wilayah tempat tinggal

responden yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kemampuan kemandirian

anak dengan retardasi mental. Peneliti juga berdiskusi dengan pihak SDLB Negeri

Sampit tentang upaya yang dapat dilakukan oleh sekolah dalam rangka

meningkatkan pengetahuan yang dimiliki oleh orang tua tentang retardasi mental dan

cara perawatannya. Hal ini terwujud dengan direncanakannya oleh pihak sekolah

kegiatan seminar sehari yang wajib diikuti orang tua siswa dan melibatkan pembicara

seorang Psikolog. Selain itu pihak sekolah juga turut serta mendorong orang tua

untuk dapat melakukan pemeriksaan tingkat intelegensi yang dimiliki anak agar

dapat teridentifikasi dengan tepat kemampuan apa yang sesungguhnya dapat dicapai

sesuai dengan kemampuan anak.


125

4.3 Implikasi Hasil Penelitian

Implikasi hasil penelitian ini terhadap keperawatan adalah

direkomendasikannya psikoedukasi keluarga sebagai salah satu alternatif intervensi

dalam meningkatkan kemampuan orang tua dalam merawat dan memandirikan

anggota keluarga yang mengalami retardasi mental. Psikoedukasi keluarga terbukti

mampu meningkatkan kemampuan orang tua dalam menghadapi tantangan

signifikan dan mengatasi stress atau kecemasan yang mungkin terjadi dalam merawat

anak dengan retardasi mental. Hasil penelitian ini juga membuktikan bahwa

psikoedukasi dapat dilakukan bagi keluarga dengan latar belakang pendidikan dasar

dan memberikan dampak terhadap peningkatan kemampuan orang tua. Hal yang

menjadi poin adalah perlunya penggunaan komunikasi dalam psikoedukasi yang

disesuaikan dengan kapasitas yang dimiliki oleh responden.

Beberapa intervensi spesifik juga peneliti dapatkan dari hasil penelitian

khususnya teknik manajemen stress dan manajemen beban bagi keluarga yang

memiliki anak retardasi mental. Tehnik manajemen stress yang tepat dilakukan bagi

keluarga yang memiliki anak retardasi mental adalah dengan emotional focus coping.

Hal ini didasari pada kondisi bahwa tidak memungkinkan melakukan perubahan

penyebab stress. Yang dapat dilakukan adalah meningkatkan kemampuan

penerimaan dan penghargaan. Sementara itu untuk mengurangi beban keluarga maka

teknik yang dapat dilakukan adalah dengan membentuk kelompok suportif. Melalui

kelompok suportif dapat terjadi pertukaran pengalaman dalam mengelola beban dan

ansietas selama merawat anak tunagrahita dapat menjadi sumber dukungan sosial

bagi masing-masing anggota dalam kelompok, sehingga beban dan ansietas dapat

berkurang.
126

Masih terbatasnya pemahaman yang dimiliki orang tua tentang tingkat

kemandirian anak retardasi mental merupakan salah satu hal yang juga ditemukan

dalam penelitian. Hal ini dapat dijadikan dasar bagi pihak SDLB Negeri sampit

untuk meningkatkan program edukasi bagi orang tua sebagai penunjang pencapaian

hasil belajar bagi anak retardasi mental yang merupakan murid SDLB Negeri

Sampit. Selain itu juga edukasi bagi orang tua akan dapat mendorong peningkatan

kemampuan orang tua dalam merawat dan mengembangkan kemampuan anak.

Bagi pihak penyelenggara pelayanan kesehatan tentunya hasil penelitian ini

dapat dijadikan dasar pengembangan program pelayanan. Hampir seluruh anak

retardasi mental belum pernah mengikuti pemeriksaan tingkat intelegensi dapat

dijadikan dasar penyusunan program pemeriksaan intelegensi bagi anak. Pihak

pelayanan kesehatan juga dapat mengembangkan program edukasi melalui kegiatan

Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) dengan sasaran tidak hanya pada siswa. Bagi anak

dengan retardasi mental orang tua juga merupakan faktor penting yang perlu

dijadikan sasaran guna peningkatan kesehatan anak sekolah.

Orang tua memiliki peran yang sangat penting dalam perkembangan perilaku

dan kemandirian anak. Elliott dan Mullins, 2004 dalam Resch, dkk., (2010)

menyatakan bahwa tidak ada seseorangpun di dunia ini bahkan pemberi pelayanan

kesehatan sekalipun yang lebih berpengaruh terhadap kesehatan dan kesejahteraan

pada anak tunagrahita selain orang tua mereka sendiri. Orang tua yang mempunyai

pengalaman dalam mengasuh anak retardasi mental merupakan suatu pembelajaran

sepanjang hidup. Anak cenderung meniru pola dan tingkah laku dari orang tuanya

ketika di rumah. Orang tua yang melatih dan memberikan contoh tentang

kemandirian yang baik kepada anak, akan memberikan dampak positif bagi kondisi
127

psikologis anak (Musbikin, 2012). Keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakat

akan selalu berada dalam keadaan saling ketergantungan (Friedman, 2010).

Demikian pula halnya dengan keluarga yang memiliki anak retardasi mental, orang

tua akan sangat berperan dalam meningkatkan kemandirian anak dalam memenuhi

kebutuhannya sehari-hari.

4.4 Keterbatasan

Keterbatasan yang dialami peneliti selama melakukan penelitian adalah : 1)

bahwa peneliti hanya mengambil data pada salah satu orang tua (ayah atau ibu) yang

selalu hadir saat dilakukannya psikoedukasi keluarga. Hal ini membuat hasil yang

diperoleh kemungkinan hanya menggambarkan kemampuan salah satu dari orang tua

yang memiliki anak retardasi mental; 2) sebagai akibat keterbatasan waktu dan

anggaran maka peneliti tidak melakukan identifikasi derajat retardasi mental yang

dimiliki oleh anak-anak responden. Hal ini sesungguhnya merupakan hal yang cukup

penting karena dengan mengetahui derajat retardasi mental akan dapat diketahui pula

tingkat kemandirian yang dapat dicapai dan kemampuan yang dimiliki anak. Pada

pelaksanaan penelitian ini strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan

kemandirian anak retardasi mental ditetapkan bersama keluarga hanya berdasarkan

pengalaman yang selama ini dimiliki oleh keluarga dan informasi yang diberikan

peneliti secara umum. Strategi dapat ditentukan secara lebih tepat jika diketahui

tingkat retardasi mental yang dimiliki oleh anak; 3) keterbatasan waktu dan

keterbatasan data jumlah anak dengan retardasi mental membuat peneliti hanya

menggunakan populasi yang terdapat pada SDLB Negeri 1 Sampit, sehingga

dimungkinkan ada populasi yang tidak terdeteksi oleh peneliti. Hal ini berdampak

terhadap penetapan sampel dan penggunaan metode sampling yang digunakan dalam
128

penelitian ini; 4) penggunaan logbook yang digunakan untuk memodifikasi tehnik

observasi memiliki kelemahan dalam hal kesempatan dan waktu yang dimiliki

keluarga untuk menuliskan setiap perkembangan, sehingga ada hal-hal dalam proses

perbaikan kemampuan yang tidak terdokumentasi dengan baik.

Anda mungkin juga menyukai