Bab Iv
Bab Iv
BAB IV
Pada bab ini akan disajikan hasil analisis data kuantitatif, interpretasi serta
responden, kemampuan orang tua memandirikan anak retardasi mental dan pengaruh
mental. Dilakukan analisis dan interpretasi data dengan uji statistik untuk melihat
psikoedukasi keluarga.
karakteristik orang tua yang memiliki anak dengan retardasi mental di wilayah
Sampit berdasarkan usia (ayah atau ibu), latar belakang pendidikan (ayah atau ibu),
101
102
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Orang Tua Yang Memiliki Anak
Retardasi Mental Di Sampit Tahun 2015
Jumlah
NO Karakteristik Responden
f %
A. Usia
1. 20 – 35 22 40,7
2. 36 – 50 31 57,4
3. > 50 tahun 1 1,9
B. Tingkat Pendidikan
1. Pendidikan Dasar 27 50,0
2. Pendidikan Menengah 24 44,4
3. Pendidikan Tinggi 3 5,6
C. Jumlah Anak
1. 1 orang 4 7,4
2. 2 – 5 orang 50 92,6
3. > 5 orang 0 0,0
D. Tingkat Stress
1. Ringan 25 46,3
2. Sedang 29 53,7
3. Berat 0 0,0
4. Sangat Berat 0 0,0
Sumber : Data Primer
antara 36 – 50 tahun yaitu sebanyak 57,4%. Terdapat 1,9% responden yang berusia
50% responden memiliki latar belakang pendidikan pada tingkat dasar, yaitu
sebanyak 92,6% responden memiliki anak antara 2 – 5 orang dan hanya 7,4% yang
Berdasarkan tingkat stress yang dialami sebagian besar atau sebanyak 53,7%
responden mengalami stress pada tingkat sedang. Tidak ditemukan responden yang
Pada bagian ini akan disajikan hasil penelitian dan hasil uji statistik
kemampuan orang tua kelompok intervensi dan kontrol dalam memandirikan anak
keluarga nilai mean kemampuan orang tua dalam memandirikan anak dengan
retardasi mental pada kelompok kontrol (74,74) lebih tinggi dibandingkan dengan
nilai mean kelompok intervensi (74,55). Namun demikian nilai tertinggi (83)
kemampuan orang tua dalam memandirikan anak dengan retardasi mental ditemukan
Pada bagian ini akan disajikan hasil penelitian dan hasil uji statistik
kemampuan orang tua kelompok intervensi dan kontrol dalam memandirikan anak
104
dengan retardasi mental sesudah psikoedukasi keluarga. Data kemampuan orang tua
kontrol digambarkan dengan penyajian nilai minimum dan nilai maksimum, nilai
mean kemampuan orang tua dalam memandirikan anak dengan retardasi mental pada
kelompok intervensi (81,48) lebih tinggi dibandingkan nilai mean kemampuan orang
tua dalam memandirikan anak dengan retardasi mental pada kelompok kontrol
(75,07). Nilai tertinggi (87) yang dimiliki responden juga ditemukan pada kelompok
intervensi.
retardasi mental pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol saat sebelum
intervensi dan saat sesudah intervensi. Pada kelompok intervensi nilai mean saat
sebelum intervensi adalah 74,55 dan meningkat menjadi 81,48 saat sesudah
minimum kemampuan orang tua dalam memandirikan anak dari 62 saat sebelum
intervensi menjadi 76. Sedangkan pada nilai maksimum juga terjadi peningkatan dari
Sementara itu pada kelompok kontrol juga terjadi peningkatan nilai mean
kemampuan orang tua memandirikan anak retardasi mental dari 74,70 saat sebelum
menjadi 75,07 saat sesudah intervensi psikoedukasi keluarga. Namun tidak terjadi
memandirikan anak saat dari nilai minimum 64 saat sebelum dan nilai maksimum 82
saat sesudah intervensi. Peningkatan nilai terjadi pada sebagian responden dengan
Pada bagian ini disajikan hasil analisis statistik untuk melihat kemampuan
melakukan analisis statistik uji beda nilai mean menggunakan uji t dependen.
Kriteria uji :
Berdasarkan tabel 4.4 terlihat bahwa hasil uji statistik kemampuan orang tua
= 0,00 (p ≤ 0,05). Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak, yang berarti
dengan retardasi mental saat sebelum dan sesudah intervensi psikoedukasi keluarga
Tabel 4.5 menunjukkan hasil uji statistik kemampuan orang tua memandirikan anak
mental pada kelompok kontrol memiliki nilai p = 0,017 (p < 0,05). Oleh karena itu
dalam memandirikan anak dengan retardasi mental saat sebelum dan sesudah
Pada bagian ini disajikan hasil analisis statistik untuk melihat pengaruh
mental. Ada atau tidak adanya pengaruh diukur dengan menganalisis perbedaan
kemampuan orang tua kelompok intervensi dan kontrol dalam memandirikan anak
retardasi mental saat sebelum dan sesudah dilakukannya psikoedukasi keluarga. Uji
Independen.
Tabel 4.6. Kemampuan Orang Tua Memandirikan Anak Retardasi Mental Sebelum
Psikoedukasi Keluarga Di Sampit Tahun 2015
Intervensi 74,556
Sebelum Psikoedukasi Tidak Ada
-0,125 0,901
Keluarga Perbedaan
Kontrol 74,741
Sumber : data primer
Tabel 4.6 menunjukkan bahwa hasil uji statistik kemampuan orang tua
memiliki nilai p = 0,901 (p > 0,05). Oleh karena nilai p lebih besar dari 0,05 maka
dapat disimpulkan bahwa Ho gagal ditolak. Artinya bahwa tidak terdapat perbedaan
kemampuan orang tua pada kelompok intervensi dan kontrol dalam memandirikan
Tabel 4.7 Kemampuan Orang Tua Memandirikan Anak Retardasi Mental Sesudah
Psikoedukasi Keluarga Di Sampit Tahun 2015
Intervensi 81,481
Sesudah Psikoedukasi Ada
5,243 0,000
Keluarga Perbedaan
Kontrol 75,074
Sumber : Data Primer
Tabel 4.7 menunjukkan bahwa hasil uji statistik kemampuan orang tua
memiliki nilai p = 0,000 (p < 0,05). Oleh karena nilai p lebih kecil dari 0,05 maka
dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak. Hal ini berarti bahwa terdapat perbedaan
kemampuan orang tua pada kelompok intervensi dan kontrol dalam memandirikan
dilakukan intervensi.
4.2 Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar orang tua yang memiliki
anak retardasi mental di Sampit berusia antara 36 – 50 tahun. Hal ini menjadi salah
satu faktor penting karena usia turut berkontribusi dalam kemampuan orang tua
pengasuhan. Apabila terlalu muda atau terlalu tua, mungkin tidak dapat menjalankan
peran tersebut secara optimal karena diperlukan kekuatan fisik dan psikososial. Usia
orang tua yang masih muda cenderung untuk lebih tidak bisa merasakan atau
109
mengenali kebutuhan anaknya dan juga lebih egosentris dibandingkan ibu-ibu yang
lebih tua. Stuart dan Laraia (2005) mengatakan usia berhubungan dengan keputusan
kesehatan. Puncak usia tersebut antara 25 – 44 tahun dan semakin menurun seiring
pertambahan usia. Hal ini diduga sebagai akibat pengalaman hidup dan kematangan
jiwanya. Mayoritas responden pada penelitian ini yang merupakan kelompok usia
dewasa dirasakan oleh peneliti turut memberikan kontribusi terhadap hasil penelitian
memandirikan anaknya.
Sebagian besar orang tua yang memiliki anak retardasi mental di Sampit
memiliki latar belakang pendidikan dasar atau setingkat SD/SMP. Menurut Wong,
dkk (2009) bahwa orangtua dengan pendidikan menengah telah mempunyai pola
pikir yang baik sebagai hasil dari proses pendidikan formal yang dijalaninya
memilih dan menerapkan pola asuh yang tepat sesuai dengan kebutuhan anaknya.
berpengaruh dalam mengasuh anak. Hal yang berbeda dari pendapat yang
dikemukakan Wong, dkk (2009) ditemukan pada penelitian ini. Walaupun dengan
mayoritas latar belakang pendidikan dasar namun kemampuan orang tua anak
orang. Wong, dkk (2009) menyebutkan bahwa orang tua yang telah memiliki
pengalaman, seperti pengalaman dengan anak lain, tampaknya lebih santai dan
memiliki lebih sedikit konflik dalam hubungan disiplin, dan mereka lebih
hal tersebut Hidayat (2005) menyebutkan bahwa orang tua yang sudah mempunyai
pengalaman sebelumnya dalam mengasuh anak akan lebih siap menjalankan peran
pengasuhan, selain itu orang tua akan lebih mampu mengamati tanda-tanda
pertumbuhan dan perkembangan yang normal. Hal yang berbeda terjadi pada orang
tua yang memiliki anak retardasi mental di Sampit. Walaupun sebagian besar telah
memiliki lebih dari 1 anak, namun masih banyak orang tua yang mengalami stress
pada tingkat sedang dalam mengasuh anak dengan retardasi mental. Hal lain yang
ditemukan adalah walaupun memiliki lebih dari 1 orang anak, namun beban
pengasuhan anak retardasi mental masih tertumpuk pada satu orang, dan mayoritas
merawat anak retardasi mental. Wong, dkk., (2009) menyebutkan bahwa stress yang
dialami oleh ayah atau ibu atau keduanya akan mempengaruhi kemampuan orang tua
strategi koping yang dimilki dalam menghadapi permasalahan anak. Kondisi anak
dengan masalah keterbelakangan mental dapat menyebabkan stress pada orang tua.
Jumlah stress yang dialami oleh salah satu dari kedua orang tua dapat mengganggu
111
menghadapi perilaku anak mereka. Hal berbeda juga ditemukan pada orang tua yang
memiliki anak retardasi mental berdasarkan hasil identifikasi masalah stress yang
dialami melalui psikoedukasi. Faktor pemicu stress yang dialami bukan terjadi akibat
memiliki anak retardasi mental namun lebih kepada penumpukan beban dalam
merawat anak retardasi mental yang tertumpu pada satu orang. Beban yang berlebih
melebihi kapasitas kemampuan mengakibatkan stress pada ibu. Hal ini juga
didukung oleh budaya pola asuh anak yang ada di wilayah Sampit. Budaya asuh anak
yang lebih dibebankan kepada ibu membuat anggota keluarga lain merasa tidak
keluarga nilai mean kemampuan orang tua kelompok intervensi dalam memandirikan
anak retardasi mental adalah 74,55 dengan nilai minimum 62 dan maksimum 83.
Sedangkan pada kelompok kontrol didapatkan nilai mean 74,70 dengan nilai
minimum 64 dan maksimum 82. Hasil uji statistik dengan t dependen (tabel 4.6)
menunjukkan tidak ada perbedaan kemampuan orang tua dalam memandirikan anak
Tidak adanya perbedaan kemampuan yang dimiliki oleh orang tua pada
tentang kemandirian anak retardasi mental. Orang tua anak retardasi mental di
bersumber dari pengalaman, informasi dari sekolah secara individual dan melalui
media (SDLB Negeri Sampit, 2015). Hal ini tentunya berdampak terhadap
yang dilakukan Israwati (2010) tentang pengetahuan keluarga dalam pengasuhan dan
Selain itu kondisi ini ditunjang dengan hasil saat pelaksanaan penelitian pada sesi 1
tentang identifikasi masalah, bahwa mayoritas orang tua tidak mengetahui tingkat
kemandirian yang dapat dicapai oleh anak retardasi mental dan orang tua juga tidak
diselenggarakan kegiatan edukasi yang ditujukan bagi orang tua sebagai upaya
Semiun (2006) menyebutkan bahwa seringkali reaksi orang tua terhadap anak
retardasi mental dapat menghalangi usaha anak dalam mencapai kemampuan untuk
menyesuaikan diri yang normal. Mereka mungkin tidak mau mengakui kekurangan-
kekurangan anak tersebut, orang tua merasa malu dan stress. Namun hal ini tidak
sepenuhnya ditemukan dengan pada orang tua yang memiliki anak retardasi mental
di Sampit. Orang tua anak retardasi mental yang menjadi responden hampir
seluruhnya tidak lagi merasa malu dengan kondisi anaknya dan tidak mengalami
stress akibat kondisi anaknya. Stress yang dialami oleh orang tua lebh bersifat
situasional dan timbul akibat tertumpuknya beban pada satu orang dalam merawat
kelompok intervensi nilai mean kemampuan orang tua memandirikan anak retardasi
mental menjadi 81,48 dengan nilai minimum 76 dan maksimum 87 dan pada
kelompok kontrol nilai mean saat akhir penelitian adalah 75,07 dengan nilai
yang diperoleh oleh kelompok orang tua. Bertambahnya informasi yng diterima
kemampuan dan perilaku yang dimiliki oleh orang tua dalam merawat dan
anak retardasi mental berkaitan erat dengan intervensi psikoedukasi keluarga yang
mental dan meningkatkan fungsi keluarga. Sementara itu Supratiknya (2011) juga
dengan kebutuhan dan permasalahan yang dialami orang tua dalam memandirikan
anak retardasi mental. Saat sesi 1 dari hasil diskusi diketahui bahwa mayoritas orang
tua belum mengetahui tentang kemandirian yang dapat dicapai oleh anak retardasi
mental dan belum memahami tentang cara memandirikan retardasi mental. Seluruh
orang tua juga mengatakan belum mengetahui derajat retardasi mental yang dimiliki
oleh anaknya. Orang tua juga mengatakan belum pernah mengikuti kegiatan yang
secara khusus baik diselenggarakan oleh sekolah atau pihak lain tentang perawatan
atau pengasuhan anak retardasi mental. Permasalahan ini diatasi melalui pertemuan
pada sesi 2, peneliti menjelaskan tentang retardasi mental dan kemandirian yang
dapat dicapai oleh anak retardasi mental sesuai dengan derajat retardasi yang
penting, karena tingkat intelegensi akan menjadi dasar dalam penentuan derajat
retardasi mental yang dialami. Dengan diketahuinya derajat retardasi mental dapat
pula diketahui tingkat kemandirian yang dapat dicapai oleh anak. Peneliti juga
115
menjelaskan tentang bagaimana upaya yang dapat dilakukan oleh orang tua dan
dialami orang tua dan melakukan diskusi bersama orang tua untuk menentukan
strategi yang tepat dalam mengatasi stress orang tua. Melalui diskusi diketahui
bahwa mayoritas stress yang dialami responden bersumber dari meningkatnya beban
dalam mengasuh anak retardasi mental akibat tertumpuknya beban. Secara kultur di
Sampit ibu masih merupakan pengasuh utama anak dalam keluarga, ayah fokus
sebagai pencari nafkah saja dan anggota keluarga lain memiliki keterlibatan
pengasuhan yang rendah. Untuk mengatasi hal ini melalui psikoedukasi keluarga
peneliti menyampaikan informasi tentang beberapa tehnik yang dapat dilakukan oleh
anggota keluarga memahami kondisi yang terjadi, peneliti dapat berdiskusi tentang
manajemen beban dengan seluruh keluarga dan dapat melakukan pembagian peran
yang baik dan meratanya beban dalam memandirikan anak retardasi mental
diharapkan stress dapat berkurang dan keluarga dapat lebih dapat memberikan
kesempatan bagi anak retardasi mental untuk lebih dapat mengembangkan potensi
yang dimiliki.
dan sesudah intervensi psikoedukasi keluarga. Terjadi sedikit peningkatan nilai mean
kemampuan orang tua memandirikan anak dengan retardasi mental. Peneliti menilai
hal ini karena selama penelitian berlangsung kemungkinan orang tua telah
informasi yang bersumber dari berbagai media sosial ataupun informasi dari sekolah
kemampuan orang tua dalam memandirikan anak retardasi mental saat sebelum dan
sesudah intervensi dengan nilai p = 0,00 (p < 0,05) pada kelompok intervensi (tabel
4.4), dan nilai p = 0,017 (p < 0,05) pada kelompok kontrol (tabel 4.5). Terjadi pula
peningkatan nilai mean kemampuan orang tua pada kelompok intervensi dari 74,55
menjadi 81,48, dan pada kelompok kontrol dari 74,70 menjadi 75,07. Perbedaan ini
kecemasan dan koping orang tua dalam merawat anak dengan thalassemia
orang tua dalam merawat dengan anak dengan thalassemia. Dilakukan intervensi
psikoedukasi yang terbagi dalam 2 sesi dan dilaksanakan dalam 1 hari. Responden
tentang manajemen cemas dan manajemen koping pada sesi II. Pengukuran pre test
hari setelah dilakukannya psikoedukasi. Hasil uji statistik diperoleh p = 0,003 yang
berarti ada perbedaan kemampuan koping orang tua pre tes dan post sehingga dapat
orang tua.
oleh Rachmaniah dan penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah adanya
informasi tentang penyakit, manajemen cemas dan manajemen koping dengan hasil
terdapat perbedaan hasil pre dan post test kecemasan (p=0,000) dan koping
adalah terdapat perbedaan pre dan post test kemampuan orang tua dalam
Melalui kunjungan langsung maka keluarga lebih dapat mengeksplorasi apa yang
menjadi permasalahan selama ini. Kegiatan yang dilakukan secara privat mampu
dimana responden telah berkumpul, informasi diberikan hanya 1 kali sehingga waktu
tua memandirikan anak retardasi mental peneliti membandingkan hasil nilai mean
sesudah intervensi yang terdapat pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol.
Hasil analisis uji statistik penelitian (tabel 4.7) dengan menggunakan uji statistik
didapatkan hasil p = 0,00 (p < 0,05) yang berarti terdapat perbedaan bermakna
ini juga diketahui adanya perbedaan nilai mean antara kelompok intervensi dan
kontrol saat sesudah psikoedukasi keluarga yaitu 81,48 pada kelompok intervensi
yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapatkan intervensi
paru dengan desain penelitian pre and post with control group. Psikoedukasi
dilakukan dalam 5 sesi dalam 5 kali pertemuan dengan keluarga. Hasil penelitian
proporsi kelompok keluarga yang memiliki pengetahuan tinggi dari 54,29% menjadi
88,57% dan terdapat perbedaan bermakna tingkat ansietas pre dan post intervensi
keluarga dengan penyakit kusta dengan desain penelitian pre and post with control
dengan keluarga dan melalui analisis statistik diperoleh hasil p value = 0,000 < α
Hal yang perlu dicermati pada kedua penelitian diatas jika dibandingkan
dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah adanya kesamaan prosedur
pertemuan. Sedangkan perbedaannya adalah terletak pada aspek yang diteliti. Kedua
penelitian diatas berfokus pada pengetahuan, tingkat ansietas keluarga dan dukungan
bersifat menahun. Sedangkan peneliti berfokus pada kemampuan orang tua dalam
Perbedaan pada sesi dan aspek yang diteliti yang ditemukan pada penelitian
lain dan yang peneliti lakukan mungkin bukan merupakan hal yang berpengaruh
dalam penelitian ini. Tim Pengajar & Spesialis Jiwa FIK UI, (2009) mengatakan
bahwa tidak ada satupun program bisa menjelaskan struktur umum yang dapat
Hal yang paling penting dari program intervensi psikoedukasi keluarga adalah
untuk bertanya, bertukar pandangan dan bersosialisasi dengan anggota yang lain dan
psikoedukasi dapat diberikan dalam 8 – 15 jam dan tetap menunjukkan hasil yang
Perbedaan lain adalah bahwa secara spesifik dalam penelitian yang dilakukan
peneliti ditemukan beberapa hasil yang berbeda dengan penelitian dan pendapat yang
karakteristik dan sumber permasalahan yang dialami oleh orang tua dalam
memandirikan anak retardasi mental. Menurut Somantri (2007) pada orang tua yang
memiliki anak retardasi mental sering timbul perasaan bersalah, berdosa, kurang
percaya diri, terkejut/tidak percaya, malu, dan over protective. Senada dengan hal
tersebut, hasil penelitian Hamid (2004) menggambarkan bahwa orang tua yang
memiliki anak retardasi mental memiliki perasaan sedih, denial, depresi, malu,
marah dan menerima keadaan anaknya. Hasil penelitian yang dilakukan peneliti
ternyata hampir seluruh responden tidak merasa malu dengan kondisi anaknya, tidak
121
mengalami depresi, tidak merasa marah dan responden dapat menerima keadaan
anaknya. Hal yang menjadi masalah bagi responden adalah pemahaman yang masih
kurang tentang kondisi anaknya dan responden tidak mengetahui apa yang harus
stress yang dirasakan bersifat situasional dan sumber stress yang terjadi bukan karena
memiliki anak retardasi mental, tetapi lebih kepada beban yang dirasakan berlebih
utama dalam pelaksanaan intervensi psikoedukasi keluarga dan hal inilah yang
pemahaman, maka pada sesi kedua peneliti memberikan informasi dan berdiskusi
dengan keluarga tentang perawatan dan prinsip cara memandirikan anak dengan
faktor utama pembentuk perilaku, yaitu enabling factors, predisposing factor dan
peningkatan kemampuan dan perilaku yang dimiliki oleh orang tua dalam merawat
dialami keluarga dan melakukan tehnik manajemen stress. Peneliti dan responden
mengidentifikasi sumber daya yang dimiliki dan strategi koping yang tepat dilakukan
keluarga untuk mengatasi stress. Lazarus & Folkman (1984) berpendapat bahwa
122
untuk mengelola tekanan internal atau eksternal yang melebihi sumber daya yang
terjadi sebagai akibat adanya anggota keluarga dengan retardasi mental dapat
dilakukan dengan coping. Koping merupakan upaya untuk merubah kognitif dan
perilaku yang dilakukan terus menerus. Taylor (2006) mengemukakan tehnik yang
dapat digunakan dalam meningkatkan koping yaitu dengan problem focused coping
dan koping maka keluarga menjadi lebih siap dalam menghadapi tantangan yang
muncul dalam setiap peningkatan perkembangan anak retardasi mental. Hal ini
bahwa teknik yang banyak dan tepat dilakukan dalam meningkatkan manajemen
stress bagi keluarga yang memiliki anak retardasi mental adalah dengan emotional
focused coping. Cara yang banyak didiskusikan dengan keluarga selama penelitian
dalam merawat anak retardasi mental; dan 3) mengarahkank keluarga untuk selalu
berupaya berpikiran positif, bersyukur dan menerima segala keadaan yang ada
dilakukan dengan mengurangi beban yang tertumpuk pada salah satu anggota
keluarga melalui pembagian peran. Pada sesi ini peneliti menghadirkan seluruh
anggota keluarga pada saat pelaksanaannya. Hal ini dilakukan agar seluruh anggota
123
keluarga dapat memiliki kesamaan persepsi tentang kondisi yang dialami dan dapat
untuk melakukan eksplorasi teknik yang biasa digunakan keluarga untuk mengatasi
tepat metode pembagian beban yang dapat dilakukan sesuai dengan kondisi yang
ada. Peneliti berdiskusi dan melakukan kesepakatan dengan keluarga tentang peran
Selama pelaksanaan penelitian juga didapati bahwa orang tua yang memiliki
anak retardasi mental di Sampit belum memiliki kelompok yang dapat digunakan
sebagai wadah berbagi informasi dan pengalaman. Salah satu wadah yang dapat
kelompok yang terdiri atas keluarga-keluarga dengan memiliki masalah yang sama
dalam mengelola beban dan ansietas selama merawat anak tunagrahita dapat menjadi
diharapkan beban dan ansietas dapat berkurang. Pemberian dukungan sosial bisa
diberikan oleh anggota keluarga lainnya ataupun melalui bantuan tenaga profesional,
misalnya seorang perawat jiwa sebagai terapis (Videbeck, 2007; Mohr & Regan-
Kubinski, 2001 dalam Fontaine, 2003). Penelitian yang dilakukan oleh Masyitoh,
124
dkk (2013) menunjukkan bahwa setelah diberikan terapi kelompok suportif, beban
keluarga dalam merawat anak tuna grahita menjadi lebih ringan. Individu yang
sama dan memerlukan penguatan tidak hanya dari terapis, tetapi juga dari anggota
kelompok lainnya. Masalah bersama saling dibagikan, dan tiap-tiap individu dalam
kelompok.
tentang sumber daya yang ada di lingkungannya yang dapat digunakan untuk
keluarga tentang sumber daya yang ada di komunitas di wilayah tempat tinggal
anak dengan retardasi mental. Peneliti juga berdiskusi dengan pihak SDLB Negeri
Sampit tentang upaya yang dapat dilakukan oleh sekolah dalam rangka
meningkatkan pengetahuan yang dimiliki oleh orang tua tentang retardasi mental dan
cara perawatannya. Hal ini terwujud dengan direncanakannya oleh pihak sekolah
kegiatan seminar sehari yang wajib diikuti orang tua siswa dan melibatkan pembicara
seorang Psikolog. Selain itu pihak sekolah juga turut serta mendorong orang tua
untuk dapat melakukan pemeriksaan tingkat intelegensi yang dimiliki anak agar
dapat teridentifikasi dengan tepat kemampuan apa yang sesungguhnya dapat dicapai
signifikan dan mengatasi stress atau kecemasan yang mungkin terjadi dalam merawat
anak dengan retardasi mental. Hasil penelitian ini juga membuktikan bahwa
psikoedukasi dapat dilakukan bagi keluarga dengan latar belakang pendidikan dasar
dan memberikan dampak terhadap peningkatan kemampuan orang tua. Hal yang
khususnya teknik manajemen stress dan manajemen beban bagi keluarga yang
memiliki anak retardasi mental. Tehnik manajemen stress yang tepat dilakukan bagi
keluarga yang memiliki anak retardasi mental adalah dengan emotional focus coping.
Hal ini didasari pada kondisi bahwa tidak memungkinkan melakukan perubahan
penerimaan dan penghargaan. Sementara itu untuk mengurangi beban keluarga maka
teknik yang dapat dilakukan adalah dengan membentuk kelompok suportif. Melalui
kelompok suportif dapat terjadi pertukaran pengalaman dalam mengelola beban dan
ansietas selama merawat anak tunagrahita dapat menjadi sumber dukungan sosial
bagi masing-masing anggota dalam kelompok, sehingga beban dan ansietas dapat
berkurang.
126
kemandirian anak retardasi mental merupakan salah satu hal yang juga ditemukan
dalam penelitian. Hal ini dapat dijadikan dasar bagi pihak SDLB Negeri sampit
untuk meningkatkan program edukasi bagi orang tua sebagai penunjang pencapaian
hasil belajar bagi anak retardasi mental yang merupakan murid SDLB Negeri
Sampit. Selain itu juga edukasi bagi orang tua akan dapat mendorong peningkatan
Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) dengan sasaran tidak hanya pada siswa. Bagi anak
dengan retardasi mental orang tua juga merupakan faktor penting yang perlu
Orang tua memiliki peran yang sangat penting dalam perkembangan perilaku
dan kemandirian anak. Elliott dan Mullins, 2004 dalam Resch, dkk., (2010)
menyatakan bahwa tidak ada seseorangpun di dunia ini bahkan pemberi pelayanan
pada anak tunagrahita selain orang tua mereka sendiri. Orang tua yang mempunyai
sepanjang hidup. Anak cenderung meniru pola dan tingkah laku dari orang tuanya
ketika di rumah. Orang tua yang melatih dan memberikan contoh tentang
kemandirian yang baik kepada anak, akan memberikan dampak positif bagi kondisi
127
psikologis anak (Musbikin, 2012). Keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakat
Demikian pula halnya dengan keluarga yang memiliki anak retardasi mental, orang
tua akan sangat berperan dalam meningkatkan kemandirian anak dalam memenuhi
kebutuhannya sehari-hari.
4.4 Keterbatasan
bahwa peneliti hanya mengambil data pada salah satu orang tua (ayah atau ibu) yang
selalu hadir saat dilakukannya psikoedukasi keluarga. Hal ini membuat hasil yang
diperoleh kemungkinan hanya menggambarkan kemampuan salah satu dari orang tua
yang memiliki anak retardasi mental; 2) sebagai akibat keterbatasan waktu dan
anggaran maka peneliti tidak melakukan identifikasi derajat retardasi mental yang
dimiliki oleh anak-anak responden. Hal ini sesungguhnya merupakan hal yang cukup
penting karena dengan mengetahui derajat retardasi mental akan dapat diketahui pula
tingkat kemandirian yang dapat dicapai dan kemampuan yang dimiliki anak. Pada
pengalaman yang selama ini dimiliki oleh keluarga dan informasi yang diberikan
peneliti secara umum. Strategi dapat ditentukan secara lebih tepat jika diketahui
tingkat retardasi mental yang dimiliki oleh anak; 3) keterbatasan waktu dan
keterbatasan data jumlah anak dengan retardasi mental membuat peneliti hanya
dimungkinkan ada populasi yang tidak terdeteksi oleh peneliti. Hal ini berdampak
terhadap penetapan sampel dan penggunaan metode sampling yang digunakan dalam
128
observasi memiliki kelemahan dalam hal kesempatan dan waktu yang dimiliki
keluarga untuk menuliskan setiap perkembangan, sehingga ada hal-hal dalam proses