Anda di halaman 1dari 10

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian
1. Analisis Univariat
Analisis univariat bertujuan untuk mengetahui karakteristik responden yang pada
penelitian ini meliputi karakteristik usia, jenis kelamin, pendidikan, lama menderita
diabetes mellitus, dan tingkat self care.
a. Karakteristik Responden
Karakteristik responden digunakan untuk melihat ragam jenis dari
responden yang diambil oleh peneliti, dengan melihat usia, jenis kelamin, jenis
pendidikan, lama menderita DM dan nilai self care. Variabel jenis kelamin,
pendidikan, usia dan lama menderita DM dibuat dalam bentuk kategorik sehingga
disajikan dalam bentuk proporsi atau presentase, sedangkan variabel numerik
yaitu self care activity disajikan dalam bentuk mean, median, standar deviasi serta
nilai minimal dan maksimal.
Tabel 4. 1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Usia,
Jenis Kelamin, Jenis Pendidikan, dan Lama Menderita DM di Wilayah Kerja
Puskesmas Cikalong (N=44)

Karakteristik Responden Distribusi


Frekuensi (N) Presentase (%)
Usia
- 40-50 Tahun 19 43,2
- 51-60 Tahun 20 45,5
- 61-65 Tahun 5 11,4
Total 44 100
Jenis Kelamin
- Laki-laki 20 45,5
- Perempuan 24 54,5
Total 44 100
Jenis Pendidikan
- Pendidikan Rendah 32 72,7
- Pendidikan Menengah 10 22,7
- Pendidikan Tinggi 2 4,5
Total 44 100
Lama Menderita DM
- 3-12 Bulan 6 13,6
- 1-5 Tahun 25 56,8
- > 5 Tahun 13 29,5
Total 44 100
Sumber : Data Primer 2023

Hasil uji univariat karakteristik dapat dilihat pada tabel 4.1 terhadap
variabel penelitian dengan jumlah sampel sebanyak 44 pasien DM Tipe 2 di
Puskesmas Cikalong adalah sebagian besar usia responden ada di rentang 51-60
Tahun yaitu sebesar 45,5%. Jenis kelamin responden sebagian besar adalah
responden perempuan yaitu sebesar 54,5%. Tingkat pendidikan responden
terbanyak adalah jenjang Pendidikan Rendah sebesar 72,7%. Sebagian besar
responden yaitu sebanyak 56,8% mengaku menderita DM kurang dari 1-5 tahun.

b. Gambaran Tingkat Self Care Responden Sebelum dan Sesudah Diberikan


Perlakuan
Tingkat self care dengan skror lebih dari 79,5 dikategorikan ke dalam self
care baik, sedangkan skor total 39,5 – 79,5 dikategorikan ke dalam self care
cukup, dan skor total di bawah 39,5 dikategorikan ke dalam self care buruk.
Deskripsi hasil analisis univariat karakteristik responden berdasarkan kategori self
care disajikan dalam tabel berikut:

Tabel 4.2 Tingkat Self Care Responden Pre Test dan Post Test di Puskesmas
Cikalong (N=44)

Kategori Self Care Nilai


Pre test (f) % Post test (f) %
Baik 4 9,1 12 27,3
Sedang 31 70,5 27 61,4
Buruk 9 20,5 5 11,4
Total 44 100 44 100
Sumber : Data Primer 2023

Berdasarkan tabel 4.2 dapat dilihat gambaran tingkat self care pre test -
post test pada responden. Mayoritas responden sebelum diberikan perlakuan
pendidikan kesehatan Diabetes Self Management Education (pre test) memiliki
tingkat self care sedang sebanyak 31 orang (70,5%) dan self care baik sebanyak 4
orang (9,1%), kemudian setelah dilakukan perlakuan (post test) mayoritas
responden kelompok eksperimen mengalami peningkatan sehingga memiliki self
care baik sebanyak 12 orang (27,3%).

c. Gambaran Distribusi Frekuensi Rerata Hasil Tingkat Self Care Pada


Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol Sebelum dan Sesudah
Diberikan Perlakuan
Deskripsi hasil analisis frekuensi rerata hasil tingkat self care pada
responden sebelum dan sesudah diberikan perlakuan disajikan dalam tabel
berikut:

Tabel 4.3 Distribusi Rata-Rata Nilai Pre Test dan Post Test pada Responden di
Puskesmas Cikalong (N=44)

Kategori Nilai Hasil


Pre Test Post Test
Mean 56,2 66,4
Min 27 33
Max 90 105
SD 16,5 17,8
Sumber : Data Primer 2023

Dari tabel 4.3 dapat dilihat bahwa rata-rata responden sebelum diberikan
perlakuan pendidikan kesehatan Diabetes Self Management Education (pre test)
yaitu 56,2 dengan nilai minimum 27, nilai maksimum 90 dan standar deviasi 16,5.
Sedangkan setelah diberikan perlakuan (post test) terdapat peningkatan nilai rata-
rata menjadi 66,4 dengan nilai minimum 33, nilai maksimum 105 dan standar
deviasi 17,8.

2. Analisis Bivariat
a. Uji Normalitas Data
Uji normalitas data dilakukan untuk mengetahui apakah data berdistribusi
normal atau tidak yang selanjutnya digunakan untuk menentukan uji parametrik
atau uji non parametrik. Peneliti mengunakan metode Shapiro-Wilk karena besar
sampel ≤50 (n=40). Hasil uji normalitas disajikan dalam tabel dibawah ini :
Tabel 4.4 Hasil Uji Normalitas Data Pre Test dan Post Test
di Puskesmas Cikalong (N=44)

Nilai Shapiro-Wilk
Statistic df Sig.
Pre test .078 44 .321*
Pre test .064 44 .734*
*) Berdistribusi normal pada p>0,05 dengan uji Shapiro-Wilk
Sumber : Data Primer 2023

Hasil uji normalitas dapat dilihat pada tabel 4.4 , dari analisis tersebut
diperoleh nilai signifikansi > 0,05 untuk tingkat self care pre test dan post test,
sehingga dapat disimpulkan bahwa data tersebut berdistribusi normal, sehingga
untuk melakukan analisis bivariat digunakan uji statistik parametric, yaitu uji T
berpasangan (Paired Sample T test).

b. Uji Paired Sampel T Test


Uji Paired Sample T Test dilakukan untuk mengetahui perbedaan tingkat
pengetahuan sebelum dan sesudah diberikan perlakuan Diabetes Self Management
Education (DSME).

Tabel 4.5 Hasil Uji Paired Sample T Test Sebelum dan Sesudah Intervensi di
Puskesmas Cikalong (N=44)

Hasil Mean SD p value


Pre test 56,2 16,5 0,000*
Post test 66,4 17,8
*) Bermakna pada α < 0,05 dengan Paired t-Test
Sumber : Data Primer 2023

Berdasarkan Tabel 4.5 menunjukkan bahwa nilai rata-rata responden


sebelum diberikan perlakuan pendidikan kesehatan Diabetes Self Management
Education (pre test) sebesar 56,3 dan rata-rata responden setelah diberikan
perlakuan (post test) sebesar 66,4. Hasil uji Paired Sampel T Test diperoleh nilai p
value 0,000 (P < 0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan
bermakna rerata self care sebelum dan sesudah diberikan perlakuan. Analisis
lanjut disimpulkan bahwa ada pengaruh Diabetes Self Management Education
(DSME) Terhadap Self Care Activity Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 Di
Wilayah Kerja Puskesmas Cikalong.

B. Pembahasan
1. Karakteristik Responden
Karakteristik responden berdasarkan usia dari hasil penelitian ini mayoritas
berusia 51-60 tahun sebanyak 20 responden (45,5%). Berdasarkan hasil Riset
kesehatan dasar 2018, bahwa jumlah penderita DM meningkat dengan bertambahanya
usia terutama pada usia > 50 tahun (Kementerian Kesehatan RI, 2019).
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Anggeria
(2021) di Asri Wound Care Center Medan menunjukkan hasil yang serupa bahwa
sebanyak 79,5% responden penderita DM berumur >50 tahun. Menurut Rosita (2022)
responden dengan umur 40-60 tahun atau pada kategori pra-lansia memiliki risiko
1,75 kali terkena diabetes mellitus tipe 2 dibandingkan dengan responden umur 60
tahun ke atas atau kategori lanjut usia.
Hasil penelitian ini sesuai dengan teori bahwa pevalensi penderita DM meningkat
seiring dengan bertambahnya usia. DM Tipe 2 banyak diderita oleh orang dewasa
berusia diatas 50 tahun. Proses bertambahnya usia juga mempengaruhi homeostasis
tubuh, termasuk perubahan fungsi sel beta pankreas yang menghasilkan insulin dan
menyebabkan gangguan sekresi hormon atau penggunaan glukosa yang tidak adekuat
pada tingkat sel yang berdampak terhadap peningkatan kadar glukosa darah. Usia 50
tahun keatas akan terjadi peningkatan 5-10 mg/dL setiap tahun (Adimuntja, 2020).
Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin dari hasil penelitian ini
mayoritas adalah perempuan (54,5%). Hasil ini sesuai hasil data Riset kesehatan
dasar tahun 2018 penderita diabetes melitus di Indonesia lebih banyak berjenis
kelamin perempuan (1,8%) daripada laki-laki (1,2%) (Kemenkes RI, 2019). Selain itu
beberapa penelitian juga mendukung teori ini seperti penelitian yang dilakukan oleh
Luthfa (2019) menunjukkan prevalensi penderita DM perempuan sebanyak (77,7%).
Hasil penelitian Rosita (2022) menunjukkan perempuan berisiko 2,15 kali untuk
menderita diabetes melitus tipe 2 dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini dikarenakan
secara fisik perempuan berpeluang mengalami peningkatan indeks masa tubuh yang
lebih besar. Sindroma siklus bulanan (premenstrual syndrome), pasca-menopouse
yang membuat distribusi lemak tubuh menjadi mudah terakumulasi akibat proses
hormonal tersebut sehingga wanita berisiko menderita diabetes melitus tipe 2 (Rosita
et al., 2022).
Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan dari hasil penelitian ini
mayoritas merupakan lulusan SD hingga SMP (pendidikan rendah) yaitu sebanyak
72,7%. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Militia (2021) sebagian besar
responden merupakan pendidikan rendah yaitu sebanyak 84,5%. Pendidikan berkaitan
dengan kesadaran khususnya dalam masalah kesehatan. Semakin rendahnya tingkat
pendidikan maka cenderung tidak mengetahui gejala-gejala terkait diabetes mellitus
tipe 2. Berdasarkan hasil penelitian Nugroho & Sari (2020) menyatakan bahwa orang
yang berpendidikan rendah memiliki peluang risiko terjadinya DM sebesar 4,895 kali
dibandingkan orang yang tidak DM .
Pendidikan diyakini sebagai faktor yang penting untuk mempengaruhi seseorang
untuk melakukan self care activity diabetes, kepatuhan kontrol gula darah, mengatasi
gejala yang muncul dengan penanganan yang tepat serta mecegah terjadinya
komplikasi pendidikan umumnya terkait dengan pengetahuan. Penderita dengan
pendidikan yang tinggi memiliki pengetahuan yang lebih baik mengenai penyakit
diabetes dan efeknya terhadap kesehatan sehingga penderita akan menyikapi dengan
cara positif serta akan berusaha (Nugroho & Sari, 2020).
Karakteristik responden berdasarkan lamanya waktu terdiagnosa diabetes mellitus
oleh tenaga kesehatan mayoritas berada pada rentang 1-5 tahun sebanyak 25
responden (56,8,5%). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh Manuntung (2020) yang menyebutkan bahwa sebanyak 51,1 % responden
menderita DM pada rentang < 5 tahun. Dan didukung oleh penelitian yang dilakukan
oleh Luthfa (2019) yang menyebutkan bahwa mayoritas responden menderita DM
pada rentang <5 tahun adalah sebanyak 68,8 %.
Hal yang berbeda ditemukan dalam penelitian yang dilakukan Selano (2023)
bahwa sebanyak 51,6 % responden menderita DM pada > 5 tahun. Lamanya
menderita DM kurang dapat menggambarkan kondisi penyakit yang sesungguhnya.
Hal ini terjadi karena klien baru terdiagnosa DM setelah mengalami suatu komplikasi
yang nyata, padahal perjalanan penyakit DM sudah berlangsung cukup lama sebelum
klien terdiagnosa (Paris et al., 2023).

2. Perbedaan Tingkat Self Care Activity Responden Sebelum dan Sesudah


Diberikan Diabetes Self Management Education (DSME)
Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa tingkat self care behavior antara
sebelum diberikan perlakuan DSME dan sesudah diberikan perlakuan mengalami
perubahan yang signifikan.
Hasil analisis dapat dilihat bahwa tingkat self care setelah diberikan Diabetes Self
Management Education (DSME) perlakuan mayoritas responden mengalami
peningkatan sehingga memiliki self care baik sebanyak 27,3%.
Self care activity diabetes merupakan suatu bentuk perilaku yang berhubungan
dengan upaya penderita diabetes melitus dalam upaya mempertahankan kadar gula
darah, memanajemen gejala lain dan meminimalkan komplikasi akibat diabetes
termasuk perilaku makan sehat, olahraga teratur, manajemen pengobatan, perawatan
kaki, dan adaptasi terhadap tantangan psikososial (Hailu et al., 2019).
Teori yang digunakan dalam meningkatkan kemandirian pasien ini adalah teori
keperawatan yang dikembangkan oleh Dorothea Orem (1971). Teori ini menyatakan
bahwa self care merupakan kegiatan yang dilakukan oleh individu sendiri untuk
memenuhi kebutuhan mempertahankan kesehatan. Teori Orem ini sesuai untuk
merawat pasien DM karena tujuan dalam perawatan pasien diabetes melitus yaitu
memandirikan pasien diabetes.
Banyak faktor yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan self care asctivity
diabetes salah satunya pengetahuan. Pengetahuan dapat memberi pengaruh positif dan
membentuk keyakinan sehingga seseorang dapat berperilaku menurut keyakinannya
yang diperoleh melalui pendidikan kesehatan (Silalahi et al., 2018). Hal ini sesuai
dengan rekomendasi Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) (2021) yang
menyatakan penatalaksanaan DM terdiri dari empat pilar diantaranya, edukasi, terapi
nutrisi medis, latihan fisik, dan terapi farmakologis. Edukasi memegang peranan yang
penting diantara salah satu penatalaksaan DM tipe 2 karena, pemberian pendidikan
kesehatan kepada penderita DM dapat merubah perilaku penderita DM dalam
melakukan perawatan secara mandiri.
Salah satu strategi pendidikan kesehatan berkualitas yang direkomendasikan oleh
American Diabetes Association atau (ADA) (2022) adalah dengan Diabetes Self
Management Education (DSME). DSME adalah salah satu bentuk pendidikan
kesehatan atau edukasi yang efektif diberikan kepada penderita DM karena didalam
komponen DSME dapat meningkatkan pengetahuan, sikap, dan perilaku penderita
DM dalam melakukan perawatan mandiri (Funnell et al., 2010).
Pemberian DSME pada penelitian yang dilakukan oleh peneliti ini, diharapkan
dapat merubah pengetahuan, ketrampilan, dan status psikologis penderita DM,
dengan informasi yang diperoleh sehingga menimbulkan kesadaran bagi penderita
DM untuk berperilaku sesuai dengan yang diharapkan. Apabila penderita DM dapat
secara konsisten melakukan self care behavior maka kadar gulokosa dalam darahnya
dapat terkontrol dan komplikasi yang ditimbulkan akibat hiperglikemi dapat di
minimalkan (Khotimah, 2017).
Berdasarkan hasil yang didapatkan dalam penelitian ini diketahui bahwa nilai pre
test tidak mengalami perubahan, bahwa tingkat self care mayoritas pada kategori
sedang sebanyak 70,5%, self care buruk sebanyak 20,5% dan disusul self care baik
sebanyak 9,1%.
Self care berhavior pada pre test tidak terlihat adanya peningkatan, salah satu
penyebabnya karena tidak mendapatkan pemberian informasi atau edukasi terkait
penatalaksanaan perawatan mandiri DM melalui DSME oleh edukator serta tidak
mendapatkan ketrampilan sehingga terjadi kurangnya motivasi atau dorongan untuk
melakukan perawatan secara mandiri. Hal ini sejalan dengan teori Notoatmodjo
(2007) yaitu perilaku yang tidak didasari oleh ilmu pengetahuan dan kesadaran tidak
akan berlangsung lama.
Perubahan perilaku berbeda setiap orangnya oleh karena itu pasien diabetes tipe 2
memiliki kemampuan dan respon yang berbeda terhadap stimulus yang diberikan,
sehingga perilaku dan kemampuan pasien dalam melakukan perawatan mandiri juga
berbeda. Perubahan perilaku terjadi secara bertahap sesuai teori Benyamin Bloom
(1908) yang berpendapat bahwa proses perubahan perilaku sama dengan proses
belajar. Proses perubahan perilaku menggambarkan proses belajar pada setiap
individu yang terdiri dari rangsang (pengetahuan), proses (sikap) dan praktik atau
efek yang berupa tindakan.
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang (over behavior). Pengetahuan sebagai kontrol
diabetes yang optimal terkait aktivitas self care (Adimuntja, 2020). Selain itu salah
satu upaya pengendalian diabetes yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yaitu melalui
pemberian edukasi, karena penyakit DM Tipe 2 ini terkait dengan gaya hidup pasien.
Dengan pemberian edukasi ini, pasien diharapkan memiliki pengetahuan yang cukup
tentang diabetes yang selanjutnya dapat merubah perilakunya sehingga diharapkan
dapat mengendalikan kondisi penyakit dan kadar glukosa darahnya dan dapat
meningkatkan kualitas hidup pasien.

3. Pengaruh Diabetes Self Management Education (DSME) Terhadap Self Care


Activity Klien DM Tipe 2 di Puskesmas Cikalong
Melalui hasil uji Paired Sampel t-test, peneliti dapat mengetahui perbedaan selisih
rata-rata self care activity sebelum dan sesudah diberikan perlakuan. Rerata self care
activity sebelum diberikan DSME sebesar 56,2 sedangkan rerata self care activity
sesudah diberikan DSME sebesar 66,4. Berdasarkan uji Paired Sampel t-test
diperoleh nilai p value 0,000 (P < 0,05) yang artinya terdapat pengaruh Diabetes Self
Management Education (DSME) terhadap self care activity klien DM tipe 2 di
Puskesmas Cikalong.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hailu et al
(2019) menyatakan bahwa DSME memiliki pengaruh positif terhadap peningkatan
pengetahuan, self efficacy dan perubahan perilaku perawatan mandiri pasien DM Tipe
2. Adapun hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Kurniawati (2021) menyatakan
bahwa DSME berpengaruh terhadap self management dan kadar gula darah puasa
(GDP) pada penderita DM tipe 2. Hal ini juga diperkuat dengan penelitian yang
dilakukan oleh Indaryati (2018) yaitu pemberian DSME dapat meningkatkan
pengetahuan dan self care untuk mencegah komplikasi lanjutan.
Diabetes Self Management Education (DSME) yang mengintegrasikan empat
pilar penatalaksanaan DM menekankan intervensi perilaku secara mandiri. Para
peneliti telah mengidentifikasi beberapa keterampilan khusus yang disebut
manajemen diri yang membantu merubah berbagai faktor yang berhubungan dengan
kepatuhan yang pada akhirnya dapat membantu merubah gaya hidup.
DSME menggunakan metode pedoman, konseling, dan intervensi perilaku untuk
meningkatkan pengetahuan mengenai diabetes dan meningkatkan keterampilan
individu dan keluarga dalam mengelola penyakit DM. Metode ini memfasilitasi
pengetahuan, keterampilan dan kemampuan perawatan mandiri (self care behavior)
yang sangat dibutuhkan oleh penderita diabetes. Kemampuan untuk melakukan
perawatan diri berjalan melalui proses belajar dengan pemberian pengetahuan dan
latihan (Funnell et al., 2010; Sudirman, 2018).
DSME merupakan salah satu bentuk edukasi yang efektif diberikan kepada pasien
DM karena pemberian DSME dapat meningkatkan pengetahuan, sikap, dan perilaku
pasien dalam melakukan self care. DSME bertujuan untuk mendukung pengambilan
keputusan, self care, pemecahan masalah, dan kolaborasi aktif dengan tim kesehatan,
sehingga dapat meningkatkan hasil klinis, status kesehatan, dan kualitas hidup
(Funnell et al., 2010; Kurniawati et al., 2021).
Pemberian DSME dapat merubah perilaku pasien melalui informasi yang
diberikan kepada pasien. Pemberian informasi kepada pasien merupakan suatu
stimulus yang dapat meningkatkan pengetahuan, sehingga menimbulkan kesadaran
untuk berperilaku sesuai dengan yang diharapkan. Pasien DM memiliki kemampuan
dan respon yang berbeda terhadap stimulus yang diberikan, sehingga perilaku dan
kemampuan pasien dalam melakukan perawatan mandiri juga berbeda. Pemberian
DSME dapat menghasilkan berbagai outcome, yaitu hasil jangka pendek, hasil jangka
menengah, dan hasil jangka panjang (Kurniawati et al., 2021)

C. Keterbatasan Penelitian
1. Dalam pengisian kuesioner ada beberapa responden yang memerlukan bantuan
keluarga dan peneliti.

Anda mungkin juga menyukai