Anda di halaman 1dari 110

1

LAPORAN
HASIL PENELITIAN DOSEN

HUBUNGAN STIMULASI PSIKOSOSIAL DENGAN KECERDASAN


SOSIAL EMOSI ANAK PRA SEKOLAH (4-6 TAHUN) DI DESA
NGLEBUR KECAMATAN KEDUNGPRING KABUPATEN LAMONGAN
OLEH
Ketua Peneliti
NIK / NUPN

: Amar Akbar, S. Kep., Ns.


: 162 601 100 / 9907146557

AKPER BINA SEHAT PPNI MOJOKERTO


2012

b. Halaman Pengesahan
Judul Penelitian
: HUBUNGAN STIMULASI PSIKOSOSIAL
DENGAN KECERDASAN SOSIAL EMOSI ANAK PRA SEKOLAH (4-6
TAHUN) DI DESA NGLEBUR KECAMATAN KEDUNGPRING
KABUPATEN LAMONGAN
Peneliti
a. Nama Lengkap
b. NIK
c. NIDN
d. Pangkat/Golongan
e. Jabatan Fungsional
f. Fakultas/Jurusan
g. Pusat penelitian
h. Asal Institusi
i. Telepon/Faks/E-mail

:
: Amar Akbar, S. Kep., Ns.
: 162 601 100
: 9907146557
: IIIa
:: Ilmu Keperawatan
: LPPM AKPER Bina Sehat PPNI Mojokerto
: AKPER Bina Sehat PPNI Mojokerto
: 0321 390203/amar.akper.ppni@gmail.com

Biaya yang diusulkan

: Rp 5.000.000,-

Mengetahui,
Direktur Akper

Ketua Peniliti

( Ana Zakiyah,M.Kep.)
NIK 162 601 036

( Amar Akbar, S.Kep., Ns. )


NIK 162 601 100
Menyetujui,
Ketua Lembaga Penelitian

( Heri Triwibowo, S.Kep., Ns., SKM. )


NIK 162 601 074

ii

DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang ...
1
1.2
Rumusan Masalah ...
6
1.3
Tujuan Penelitia n
1.3.1
Tujuan
Umum
.

7
1.3.2
Tujuan
Khusus
.
...
7
1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Anak .......
7
1.4.2 Bagi Ibu ......
7
1.4.3 Bagi Tenaga Kesehatan ...
8
1.4.4 Bagi Penelitian Berikutnya .
8
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar Stimulasi Psikososial
2.1.1 Pengertian Stimulasi Psikososial ............
9
2.1.2

Tujuan Stimulasi Psikososial ......

2.1.3

Manfaat Stimulasi Psikososial ........

2.1.4

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Anak ..

11
13
2.1.5 Tahapan Perkembangan Psikososial Anak Pra Sekolah .
2.1.6 Prinsip Umum Stimulasi .
2.1.7 Karakteristik Stimulasi Psikososial .
2.1.8 Pelaksanaan Stimulasi Psikososial ..
2.1.9 Pengukuran Stimulasi Psikososial ..
2.2 Konsep Dasar Kecerdasan Sosial Emosi
2.2.1 Pengertian Kecerdasan Sosial Emosi ......
2.2.2 Ciri-ciri Emosi .
2.2.3 Karakteristik Emosi Anak Usia Dini ...
2.2.4 Struktur Emosional pada Tubuh Manusia ...
2.2.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosi ..........
2.2.6 Manfaat Kecerdasan Emosi bagi Anak ...
2.2.7 Komponen Kecerdasan Emosi ....
2.2.8 Pengukuran Kecerdasan Emosi....

13
14
16
19
20
21
25
27
27
32
34
40
42
44

2.4 Konsep Dasar Anak Pra Sekolah (4-6 Tahun)


2.4.1 Pengertian Anak Usia Pra Sekolah (4-6 Tahun) .
2.4.2 Pertumbuhan Anak Usia Pra Sekolah (4-6 Tahun) .
2.4.3 Perkembangan Anak Usia Pra Sekolah (4-6 Tahun)
2.5 Hubungan Stimulasi Psikososial dengan Kecerdasan Emosi Anak
Pra Sekolah (4-6 Tahun) .
2.6 Kerangka Teori .......
2.7 Kerangka Konseptual ........
2.8 Hipotesis .....

45
46
46
57
64
65
66

BAB 3 METODE PENELITIAN


3.1 Desain Penelitian .... 67
3.2 Populasi, Sampling dan Sampel
3.2.1 Populasi ... 68
3.2.2 Sampling...... 69
3.2.3 Sampel .... 69
3.3 Identifikasi Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
3.3.1 Identifikasi Variabel Penelitian ...... 70
3.3.2 Definisi Operasional ... 71
3.4 Prosedur Penelitian ..... 72
3.5 Pengumpulan Data
3.5.1 Instrumen Penelitian 75
3.5.2 Tempat dan Waktu Penelitian ....
75
3.6 Analisa Data 75
3.7 Etika Penelitian
3.7.1 Informed Consent ...... 79
3.7.2 Anonimity ... 80
3.7.3 Confidentiality .... 80
3.8 Keterbatasan ... 80
BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian ... 82
4.2 Pembahasan ........ 88
BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan ....
5.2 Saran ..................

101
102

BAB 6 BIAYA PENELITIAN DAN JADWAL PELAKSANAAN


DAFTAR PUSTAKA ..... 106

HUBUNGAN STIMULASI PSIKOSOSIAL DENGAN KECERDASAN


SOSIAL EMOSI ANAK PRA SEKOLAH (4-6 TAHUN) DI DESA NGLEBUR
KECAMATAN KEDUNGPRING KABUPATEN LAMONGAN
By : Amar Akbar, S.Kep.Ns
The ability of the brain is not spontaneous but its influenced by the quality
and frequency of stimulation received by the senses, especially in the early years.
Children who get less psychosocial stimulation may have delayed social
emotional development. The research objective is to analyze the relationship
between psychosocial stimulation with emotional social intelligence of preschool
children (4-6 years) in the Nglebur Village Kedungpring Lamongan. Research
design is analytical correlation with case-control approach. Population was all
mothers who have preschool child (4-6 years) and her child as many as 52 people
and 48 people taken as a sample using purposive sampling. The independent
variable is psychosocial stimulation and dependent variable is emotional social
intelligence of pre-school children (4-6 years). Data were taken with HOME SF
questionnaire and ASQ-SE questionnaire. Then its analyzed with Spearman's rho
test. The results showed most mothers provide moderate psychosocial stimulation
as many as 36 respondents (75,0%) and most children have delayed social
emotional intelligence as many as 32 respondents (66,7%). Spearman's rho test
result showed p (0,011) < (0,05), which means H 0 was rejected so there is a
relationship between psychosocial stimulation with emotional social intelligence
of preschool children (4-6 years). The r value = -0,365, means undirected
correlation with weak ties, so the higher psychosocial stimulation is given,
children would have normal emotional social intelligence, but social intelligence
emotional of pre-school children (4-6 years) is more influenced by other factors
than psychosocial stimulation. Psychosocial stimulation which was given by
mother not quite enough to affect the physical structure of the brain on emotional
side maximally so it cant be able to make normal social emotional intelligence.
Health workers should motivate mothers to provide psychosocial stimulation, if
necessary with home visit and give examples of its implementation.

Keywords: psychosocial stimulation, social emotional intelligence, pre-school


children

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Morrison (1998) menyatakan bahwa stimulasi berperan penting dalam
tahun-tahun awal. Sedangkan menurut Nash, pasca kelahiran, kegiatan otak
dipengaruhi dan tergantung pada kegiatan neuron dan cabang-cabangnya dalam
membentuk bertriliun-triliun sambungan antar neuron. Melalui persaingan alami,
sambungan-sambungan yang tidak atau jarang digunakan akan mengalami atrofi.
Pemantapan sambungan akan terjadi apabila neuron mendapatkan informasi yang
mampu

menghasilkan

letupan-letupan

listrik.

Letupan

ini

merangsang

bertambahnya produksi myelin oleh zat perekat glial. Semakin banyaknya zat
myelin yang diproduksi maka semakin banyak dendrit-dendrit yang tumbuh,
sehingga akan semakin banyak neuron-neuron yang menyatu membentuk unitunit. Kualitas kemampuan otak dalam menyerap dan mengolah informasi
tergantung dari banyaknya neuron yang membentuk unit-unit. Synaps akan
bekerja secara cepat sampai usia anak 5-6 tahun. Banyaknya jumlah sambungan
tersebut mempengaruhi kualitas kemampuan otak sepanjang hidup. Pertumbuhan
jumlah jaringan otak dipengaruhi oleh pengalaman yang didapat anak pada awalawal kehidupannya, termasuk pengalaman menyenangkan (Mashar, 2011: 116).
Kemampuan otak yang dipengaruhi oleh kegiatan neuron tidak bersifat
spontan, tetapi dipengaruhi oleh mutu dan frekuensi stimulasi yang diterima indra.

Struktur fisik otak anak dipengaruhi oleh stimulasi yang diterima pada tahuntahun pertama dan hal ini relatif menetap hingga masa-masa kehidupan
selanjutnya. Implikasinya adalah bahwa anak yang tidak mendapatkan lingkungan
yang merangsang pertumbuhan otak atau tidak mendapatkan stimulasi psikososial
seperti jarang disentuh atau jarang diajak bermain, akan mengalami kelambatan
perkembangan dibanding anak seusia yang mendapatkan cukup stimulasi.
Kelambatan ini tidak saja dalam hal kecerdasan, tetapi juga berpengaruh terhadap
pembentukan kepribadian anak khususnya sisi emosionalnya (Mashar, 2011: 116117). Akibat kesibukan orang tua, terkadang anak dititipkan pada pembantu atau
keluarga lain yang dapat mempengaruhi kualitas stimulasi psikososial.
Fenomena yang ada di Desa Nglebur Kecamatan Kedungpring Kabupaten
Lamongan menunjukkan bahwa 5 (55,6%) dari 9 anak usia pra sekolah (4-6
tahun) kurang memiliki kesadaran diri, kurang memiliki kemampuan mengelola
emosi, kurang memiliki optimisme, kurang mampu berempati, serta kurang
memiliki ketrampilan sosial. Jika ditinjau dari stimulasi psikososial yang
dilakukan oleh ibu ternyata juga memiliki beberapa permasalahan, yaitu ibu
jarang memberi kesempatan pada anak untuk belajar ketrampilan baru, kurang
memberi contoh anak cara berinteraksi dengan orang lain, jarang memuji
keberhasilan anak, dan sering menggunakan kata-kata kasar dalam melarang anak,
begitupun saat anak menghadapi masalah jarang dibantu menyelesaikan, terlalu
disiplin dan menerapkan target pencapaian yang terlampau tinggi pada anak.
Setinggi-tingginya, IQ menyumbang kira-kira 20 persen bagi faktor-faktor
yang menentukan sukses dalam hidup, maka yang 80 persen diisi oleh kekuatankekuatan lain (Goleman, 2007: 44). Sedangkan Robert K. Cooper dan Ayman

Sawaf dalam bukunya Executive EQ menegaskan bahwa sekarang ini hubungan


IQ terhadap kesuksesan nyata hidup terbukti hanya sedikit, yaitu sekitar 4 persen
saja. Dengan kata lain, lebih dari 90% kesuksesan hidup berhubungan dengan
bentuk-bentuk kecerdasan yang lain (Efendi, 2005: 64). Hasil penelitian Rime dan
Zech (2001) dalam artikelnya di Buletin Psikologi Universitas Louvain mengenai
the social sharing of emotion: interpersonal and collective dimensions
menemukan bahwa kepedulian dan penerimaan orang tua berpengaruh terhadap
pengungkapan emosi anak, karena orang tua merupakan sasaran awal dan model
bagi pengungkapan emosi pada waktu anak-anak. Melalui penelitian ini, Rime
dan Zech menemukan bahwa anak-anak dalam mengungkapkan emosinya
sebanyak 35% dengan marah-marah, 24% merasa khawatir, dan 31% dengan
gembira. Reaksi orang tua yang berupa penolakan atau penerimaan atas
pengungkapan emosi tersebut merupakan landasan yang digunakan anak untuk
menilai apakah pengungkapan emosi yang mereka lakukan adalah baik atau buruk
(Widhiarso, dkk., 2010).
Berdasarkan studi pendahuluan di Desa Nglebur Kecamatan Kedungpring
Kabupaten Lamongan pada tanggal 2-3 Nopember 2011 dengan teknik
wawancara pada 9 anak dan ibunya tentang kecerdasan sosial emosi dan stimulasi
psikososial diketahui 5 anak (55,6%) masih kurang memiliki kesadaran diri
seperti kurang menyadari bahwa mengganggu teman adalah perbuatan yang tidak
menyenangkan,

kurang

memiliki

kemampuan

mengelola

emosi

seperti

menyimpan dendam pada teman yang jahil, kurang memiliki optimisme seperti
merasa tidak mungkin berbaikan dengan teman yang pernah menyakitinya, kurang
mampu berempati seperti belum mampu memahami alasan di balik hukuman yang

diberikan padanya, serta kurang memiliki ketrampilan sosial seperti belum


mampu memahami akibat dari perbuatan mengganggu teman. Sedangkan 4 anak
(44,4%) lainnya cukup memiliki kemampuan-kemampuan tersebut.
Sedangkan pemberian stimulasi psikososial menurut ibu dari 4 anak yang
cukup memiliki kemampuan pengelolaan emosi tersebut dilakukan dengan cara
memberi kesempatan pada anak untuk belajar ketrampilan baru, memberi contoh
anak cara berinteraksi dengan orang lain, memuji keberhasilan anak, dan
menggunakan bahasa yang positif dalam melarang anak, namun masih memiliki
kekurangan misalnya kurang membantu saat anak menghadapi masalah, jarang
menemani anak bermain, dan terkadang terlalu disiplin dan menerapkan target
pencapaian yang terlampau tinggi pada anak. Sedangkan ibu dari 5 anak yang
kurang memiliki kemampuan pengelolaan emosi jarang berinteraksi dengan anak,
jarang memberi kesempatan pada anak untuk belajar ketrampilan baru dengan
alasan membuang uang, kurang memberi contoh anak cara berinteraksi dengan
orang lain, jarang memuji keberhasilan anak, dan sering menggunakan kata-kata
kasar dalam melarang anak, begitupun saat anak menghadapi masalah jarang
dibantu menyelesaikan, terlalu disiplin dan menerapkan target pencapaian yang
terlampau tinggi pada anak.
Menurut Sarwono (2007), kecerdasan sosial emosional dipengaruhi oleh
faktor genetik dan lingkungan. Saat ini, sebagian besar peneliti setuju bahwa
faktor keturunan tidak menentukan kecerdasan, meskipun dukungan genetik
mungkin mempengaruhi kemampuan intelektual seseorang, namun yang lebih
penting adalah pengaruh-pengaruh lingkungan dan kesempatan yang kita sediakan
bagi anak akan membuat perbedaan. Lingkungan dalam proses belajar

10

berpengaruh besar untuk perkembangan emosi, terutama lingkungan yang berada


paling dekat dengan anak, khususnya ibu atau pengasuh anak (Mashar, 2011:
118). Kesempatan pembelajaran emosi dari lingkungan, khususnya ibu dapat
dilakukan melalui pemberian stimulasi psikososial. Menurut Jalal (2002),
stimulasi psikososial dapat berupa pemberian kehangatan dan cinta, pengalaman
langsung menggunakan indra (penglihatan, pendengaran, perasa, peraba,
penciuman), mendengarkan dengan penuh perhatian, menanggapi ocehan anak,
mengajak bercakap-cakap dengan suara lembut, dan memberikan rasa aman
(Mashar, 2011: 119)
Menurut Goleman (2007: xv), pelajaran-pelajaran emosi yang diperoleh
semasa kanak-kanak, di rumah dan lingkungan sekitar akan membentuk sirkuitsirkuit emosi, membuat kita cakap atau tidak cakap dalam hal dasar-dasar
kecerdasan emosional. Lebih lanjut, Goleman (2007: 271, 276) menyatakan
bahwa peranan orang tua yang terampil secara emosional dapat sangat membantu
anak dengan memberi dasar ketrampilan emosional seperti bagaimana mengenali,
mengelola, dan memanfaatkan perasaan-perasaan; berempati, dan menangani
perasaan-perasaan yang muncul dalam hubungan-hubungan mereka. Semua
pergaulan kecil antara orang tua dengan anaknya mempunyai makna emosional
tersembunyi dan dalam pengulangan pesan-pesan ini selama bertahun-tahun,
anak-anak membentuk inti pandangan serta kemampuan emosionalnya.
Menurut Dirjen Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (PLSP) Depdiknas
RI Fasli Jalal, anak yang tidak mendapatkan lingkungan yang merangsang
pertumbuhan otak atau tidak mendapatkan stimulasi psikososial seperti jarang
disentuh atau jarang diajak bermain akan mengalami berbagai penyimpangan

11

perilaku. Perilaku tersebut dalam bentuk hilangnya citra diri yang berakibat pada
rendah diri sangat penakut dan tidak mandiri atau sebaliknya menjadi anak yang
tidak memiliki rasa malu dan agresif. Bentuk penyimpangan lainnya adalah
dysplasia sulit berkonsentrasi, menderita autis, sulit memahami perintah,
depresi, mental retardasi, sulit bersosialisasi dan sulit mengontrol perilaku.
Kebiasaan berfikir dan bertindak sebagai refleksi dari dimilikinya sejumlah
kemampuan berupa pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai dasar perlu
dilakukan sejak tahun-tahun pertama kehidupan anak (Rudiati, dkk., 2010).
Usia pra sekolah merupakan usia yang sangat menentukan dalam
pembentukan karakter dan pengembangan intelegensi anak yang paling optimal.
Terganggunya proses pembentukan karakter anak akan mempengaruhi fungsi
emosi yang berperan dalam pengembangan kontak komunikasi dengan orang lain
dan lingkungannya, sehingga dapat menumbuhkan karakter emosi negatif yang
merugikan masa depan anak (Puspasari, 2009: 9, 19).
1.2 Rumusan Masalah
Apakah ada hubungan stimulasi psikososial dengan kecerdasan sosial
emosi anak pra sekolah (4-6 tahun) di Desa Nglebur Kecamatan Kedungpring
Kabupaten Lamongan?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Menganalisis hubungan stimulasi psikososial dengan kecerdasan sosial
emosi anak pra sekolah (4-6 tahun) di Desa Nglebur Kecamatan Kedungpring
Kabupaten Lamongan.
1.3.2 Tujuan khusus
1.3.2.1 Mengidentifikasi stimulasi psikososial pada anak pra sekolah (4-6 tahun)
di Desa Nglebur Kecamatan Kedungpring Kabupaten Lamongan.

12

1.3.2.2 Mengidentifikasi kecerdasan sosial emosi anak pra sekolah (4-6 tahun) di
Desa Nglebur Kecamatan Kedungpring Kabupaten Lamongan.
1.3.2.3 Menganalisis hubungan stimulasi psikososial dengan kecerdasan sosial
emosi anak pra sekolah (4-6 tahun) di Desa Nglebur Kecamatan
Kedungpring Kabupaten Lamongan.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1

Bagi anak
Sebagai sarana untuk meningkatkan kecerdasan sosial emosi anak,

sehingga membantu proses sosialisasi serta lebih kompetitif di masa depan.


1.4.2

Bagi ibu
Sebagai tambahan informasi bagi ibu akan pentingnya ketrampilan

pengelolaan emosi anak melalui stimulasi psikososial, sehingga dapat diterapkan


dengan lebih baik di rumah. Selain itu, diharapkan ibu dapat memiliki gambaran
jika anak mengalami gangguan dalam perkembangan emosinya, sehingga
sekaligus dapat menjadi deteksi dini gangguan perkembangan emosi dan dapat
ditindaklanjuti dengan mengkonsultasikan anak pada spesialis.
1.4.3

Bagi tenaga kesehatan


Sebagai masukan bagi petugas kesehatan untuk memberikan contoh nyata

pelaksanaan stimulasi psikososial di rumah berkaitan dengan kelima indikator


stimulasi psikososial, misalnya memberikan informasi mengenai alat permainan
yang mendukung perkembangan emosi anak, mengingatkan ibu untuk
menghindari hukuman fisik, serta mempersiapkan anak memasuki usia sekolah
dengan memberikan pembelajaran akademik sesuai kemampuan anak.
1.4.4

Bagi peneliti berikutnya

13

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan dan


referensi bagi peneliti berikutnya dalam meneliti masalah yang berkaitan dengan
anak usia pra sekolah.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini dipaparkan beberapa konsep dasar yang digunakan selama
penelitian berlangsung, antara lain: 1) konsep dasar stimulasi psikososial, 2)
konsep dasar kecerdasan sosial emosi, 3) konsep dasar anak pra sekolah (4-6
tahun), 4) kerangka teori, 5) kerangka konseptual, dan 6) hipotesis.

2.1
2.2.1

Konsep Dasar Stimulasi Psikososial


Pengertian stimulasi psikososial

14

Stimulasi adalah perangsangan yang datang dari lingkungan luar anak.


Stimulasi merupakan hal yang sangat penting dalam tumbuh kembang anak.
Perhatian dan kasih sayang merupakan stimulasi yang penting pada awal
perkembangan anak, misalnya dengan mengajaknya bercakap-cakap, membelai,
mencium, bermain, dan lain-lain. Perhatian dan kasih sayang akan menimbulkan
rasa aman dan rasa percaya diri pada anak, sehingga anak lebih responsif terhadap
lingkungannya dan lebih berkembang (Soetjiningsih, 1995: 106, 136).
Menurut Tanuwidjaya, stimulasi adalah perangsangan yang datang dari
lingkungan luar anak, antara lain berupa latihan atau bermain. Stimulasi
merupakan hal yang sangat penting dalam tumbuh kembang anak. Anak yang
banyak mendapat stimulasi yang terarah akan cepat berkembang dibandingkan
dengan anak yang kurang atau bahkan tidak mendapat stimulasi. Stimulasi juga
dapat berfungsi sebagai penguat yang bermanfaat bagi perkembangan anak.
Stimulasi harus dilaksanakan dengan penuh perhatian dan kasih sayang (IDAI,
2008: 18-19).
Menurut Moersitowarti (2002), stimulasi adalah perangsangan dan latihanlatihan terhadap kepandaian anak yang datangnya dari lingkungan di luar anak.
Stimulasi ini dapat dilakukan oleh orang tua, anggota keluarga, atau orang dewasa
lain di sekitar anak. Orang tua hendaknya menyadari pentingnya memberikan
stimulasi bagi perkembangan anak. Stimulasi merupakan bagian dari kebutuhan
dasar anak, yaitu asah. Dengan mengasah kemampuan anak secara terus menerus,
kemampuan anak akan semakin meningkat. Pemberian stimulus dapat dilakukan
dengan latihan dan bermain. Membelai, bercanda, petak umpet dan sejenisnya
yang dilakukan oleh orang tua pada anaknya merupakan aktifitas bermain yang

15

menyenangkan pada masa balita serta memberikan kontribusi yang penting bagi
perkembangan anak (Nursalam, 2005: 74).
Stimulasi adalah kegiatan merangsang kemampuan dasar anak karena
perkembangan otak anak merupakan fondasi yang dapat menentukan terhadap
masa depan, baik emosional maupun intelektual (Muhammad, 2010: 11-12).
Departemen Pendidikan Nasional (2002) dalam Latifah, dkk (2010)
menyatakan bahwa stimulasi psikososial merupakan stimulasi pendidikan dalam
rangka mengembangkan kemampuan kognitif, motorik, serta social emosi anak.
Menurut World Health Organization (WHO) dalam Laporan Tahunan
Departemen Kesehatan Jiwa tahun 2006 menyebutkan bahwa ikatan yang kuat
antara ibu dan anak dapat dilakukan melalui pemberian stimulasi psikososial yang
berdampak positif bagi perkembangan anak. Pembentukan ikatan ini pada tahun
awal kehidupan merupakan langkah penting bagi perkembangan tahap selanjutnya
meliputi perkembangan kognitif, emosi, dan sosial. Stimulasi psikososial dapat
diartikan pula sebagai keberadaan lingkungan yang memberikan stimulasi fisik
melalui input sensorik (seperti visual, pendengaran, taktil), sebagaimana stimulasi
emosional yang dihasilkan dari ikatan penuh kasih antara ibu dan anak (WHO,
2006: 2).
Menurut Jalal (2002), stimulasi psikososial dapat berupa pemberian
kehangatan dan cinta, pengalaman langsung dengan menggunakan indra
(penglihatan, pendengaran, perasa, peraba, penciuman), mendengarkan dengan
penuh perhatian, menanggapi ocehan anak, mengajak bercakap-cakap dengan
suara lembut, dan memberikan rasa aman (Mashar, 2011: 119).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka stimulasi psikososial dapat
diartikan sebagai pemberian kehangatan dan cinta dalam lingkungan keluarga

16

dalam memberikan stimulasi baik secara emosional maupun kognitif pada anak
untuk mengembangkan segala potensi yang dimilikinya.
2.2.2 Tujuan stimulasi psikososial
Tujuan tindakan memberikan stimulasi pada anak adalah untuk membantu
anak mencapai tingkat perkembangan yang optimal atau sesuai dengan yang
diharapkan. Tindakan ini meliputi berbagai aktifitas untuk merangsang
perkembangan anak, seperti latihan gerak, berbicara, berpikir, kemandirian dan
sosialisasi. Stimulasi diberikan terutama oleh orang tua setiap ada kesempatan
atau sehari-hari. Stimulasi disesuaikan dengan umur dan prinsip stimulasi.
Tindakan pemberian stimulasi dilakukan dengan prinsip bahwa stimulasi
merupakan ungkapan kasih sayang, bermain dengan anak, berbahagia bersama,
stimulasi dilakukan bertahap dan berkelanjutan. Stimulasi dilakukan dengan
wajar, tanpa paksaan atau hukuman atau marah bila anak tidak dapat
melakukannya, memberi pujian bila anak berhasil (Suherman, 2000: 23-24).
Stimulasi dini secara berulang pada anak berperan penting dalam
membantu mengaktifkan dan memperkuat fungsi jaringan otak tersebut secara
permanen. Sel otak yang tidak pernah mendapat stimulasi atau mungkin jarang
distimulasi tidak akan bertahan dan bahkan akan mengalami kemunduran karena
neuron tidak berkembang dengan baik. Sementara otak yang mengalami
perulangan akan dapat permanen. Apabila otak anak tidak distimulasi, otak anak
akan menjadi tidak terolah. Akibatnya, jaringan saraf (sinaps) yang jarang atau
tidak terpakai akan musnah. Di sinilah pentingnya pemberian stimulasi secara
rutin. Sebab setiap kali anak berpikir atau memfungsikan otaknya, maka akan
terbentuk sinaps baru untuk merespons stimulasi tersebut. Artinya, stimulasi yang

17

terus menerus akan memperkuat sinaps yang lama, sehingga otomatis akan
membuat fungsi otak semakin baik (Muhammad, 2010: 12).
Synaps akan bekerja secara cepat sampai usia anak 5-6 tahun. Banyaknya
jumlah sambungan tersebut mempengaruhi kualitas kemampuan otak sepanjang
hidup. Pertumbuhan jumlah jaringan otak dipengaruhi oleh pengalaman yang
didapat anak pada awal-awal kehidupannya, termasuk pengalaman menyenangkan
(Mashar, 2011: 116).
2.2.3

Manfaat stimulasi psikososial


Baik kognisi maupun emosi semakin dianggap penting dalam memahami

urutan proses keluarga. Peran kognisi dalam sosialisasi keluarga terwujud dalam
banyak bentuk, mencakup kognisi, keyakinan, dan nilai orang tua tentang peran
pengasuhan mereka, serta bagaimana orang tua mencerap, mengatur, dan
memahami perilaku dan keyakinan anak mereka. Ibu yang dalam pengasuhannya
memberi nilai tinggi pada kemampuan berteman, berbagi dengan orang lain dan
memimpin atau mempengaruhi anak lain, memiliki anak yang lebih asertif,
prososial dan mampu memecahkan masalah daripada ibu yang kurang menghargai
kemampuan-kemampuan tadi (Santrock, 2007: 158).
Orang

tua

yang

mengekspresikan

emosi

positif

selama

proses

pengasuhannya melalui stimulasi yang diberikan akan memiliki anak yang


mempunyai kompetensi sosial tinggi. Melalui interaksi dengan orang tua, anak
belajar untuk mengekspresikan emosinya dengan cara yang wajar. Penerimaan
dan dukungan orang tua terhadap emosi anak berhubungan dengan kemampuan
anak untuk mengelola emosi dengan cara yang positif. Penghiburan dari orang tua

18

terhadap anak ketika mereka mengalami emosi negatif berhubungan dengan


kemampuan anak untuk mengendalikan emosinya secara lebih efektif. Motivasi
orang tua untuk mendiskusikan emosi dengan anak juga berhubungan dengan
kesadaran dan pemahaman anak tentang emosi orang lain (Santrock, 2007: 159).
2.2.4

Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan anak


Menurut Soetjiningsih (2002) dalam Nursalam (2005: 39-41), faktor-

faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang dikelompokkan menjadi 2 yaitu:


2.2.4.1 Faktor dalam (internal).
1. Genetika.
Faktor genetis akan mempengaruhi kecepatan pertumbuhan dan
kematangan tulang, alat seksual serta saraf, sehingga merupakan modal
dasar dalam mencapai hasil akhir proses tumbuh kembang yaitu
perbedaan ras, etnis atau bangsa (keluarga, umur, jenis kelamin,
kelainan kromosom)
2. Pengaruh hormon.
2.2.4.2 Faktor luar (eksternal) yaitu lingkungan.
1.
Pra natal, seperti gizi, mekanis, toksin, zat kimia, radiasi, kelainan
endokrin, penyakit menular seksual, kelainan imunologi, psikologis
ibu.
2.

Kelahiran, seperti riwayat kelahiran dengan vakum ekstraksi atau


forceps dapat menyebabkan trauma kepala pada bayi, sehingga
berisiko terjadi kerusakan jaringan otak.

3.

Post natal, seperti gizi, penyakit kronis atau kelainan kongenital,


lingkungan fisik dan kimia, endokrin, sosioekonomi, lingkungan
pengasuhan, pemberian ASI eksklusif, stimulasi dan obat-obatan.

19

2.2.5

Tahapan perkembangan psikososial anak pra sekolah


Perkembangan

anak

tidak

sama

dengan

pertumbuhannya.

Bila

pertumbuhan menjelaskan perubahan dalam ukuran, sedangkan perkembangan


adalah perubahan dalam kompleksitas dan fungsinya. Apabila anak berinteraksi
dengan lingkungan berarti sekaligus anak dipengaruhi dan mempengaruhi
lingkungan. Erik Erikson adalah seorang psikoanalisis yang menjelaskan
perkembangan

kepribadian

seseorang

berdasarkan

tahap

perkembangan

psikososial. Menurut Erik Erikson, usia pra sekolah (kurang lebih 4-6 tahun)
termasuk dalam masa initiative versus guilt.

Pada masa ini, anak memiliki

kemampuan untuk melakukan partisipasi dalam berbagai kegiatan fisik dan


mampu mengambil inisiatif untuk suatu tindakan yang akan dilakukan. Tetapi
tidak semua keinginan anak akan disetujui orang tua. Rasa percaya dan kebebasan
yang baru saja diterimanya, tetapi kemudian timbul keinginan menarik
rencananya atau kemauannya, maka timbul rasa bersalah. Apabila mereka diberi
kebebasan untuk menjelajah dan bereksperimen dalam lingkungannya dan apabila
orang tua memberikan waktu untuk menjawab pertanyaan anak, maka anak
cenderung akan lebih banyak mempunyai inisiatif dalam menghadapi masalah
yang ada di sekitarnya. Sebaliknya apabila anak selalu dihalangi keinginannya
dan dianggap pertanyaan atau apa saja yang dilakukan tidak ada artinya, maka
anak akan selalu merasa bersalah (Patmonodewo, 2003: 19-22).
Selain itu, perkembangan psikososial tidak dapat dipisahkan dari
perkembangan kognitif. Karena keduanya dipengaruhi oleh pertumbuhan sel otak
dan perkembangan hubungan antar sel otak. Usia pra sekolah, menurut tahapan

20

perkembangan kognitif Piaget diketahui anak berada pada tahap pra operasional.
Pada tahap ini proses berpikir anak berpusat pada penguasaan symbol-simbol
yang mampu mengungkapkan pengalaman masa lalu. Kesulitan yang dialami
anak adalah berkaitan dengan perceptual centration, irreversibility, dan
egocentrism (Patmonodewo, 2003: 23-24).
2.2.6

Prinsip umum stimulasi


Menurut Madanijah (2004: 16), dalam melakukan stimulasi tumbuh

kembang anak, ada beberapa prinsip dasar yang perlu diperhatikan, yaitu:
2.2.6.1 Stimulasi dilakukan dengan dilandasi rasa cinta dan kasih sayang.
2.2.6.2 Selalu tunjukkan sikap dan perilaku yang baik karena anak akan meniru
tingkah laku orang-orang yang terdekat dengannya.
2.2.6.3 Berikan stimulasi sesuai dengan kelompok umur anak.
2.2.6.4 Lakukan stimulasi dengan cara mengajak anak bermain, bernyanyi,
bervariasi, menyenangkan, tanpa paksaan, dan tidak ada hukuman.
2.2.6.5 Lakukan stimulasi secara bertahap dan berkelanjutan sesuai umur anak
terhadap keempat aspek kemampuan dasar anak.
2.2.6.6 Gunakan alat bantu permainan yang sederhana, aman dan ada di sekitar
anak.
2.2.6.7 Berikan kesempatan yang sama pada anak laki-laki dan perempuan.
2.2.6.8 Anak selalu diberi pujian, bila periu diberi hadiah atas keberhasilannya.
Menurut Muhammad (2010: 67-77), prinsip umum yang dimaksud adalah
prinsip yang terdapat pada cara pelaksanaan stimulasi, diantaranya:
2.2.6.1 Stimulasi baik dilakukan sejak dini.
Untuk dapat meningkatkan kecerdasan anak, stimulasi harus
dilakukan sedini dan sebanyak mungkin. Lakukan stimulasi dengan baik
dan terarah, sebab hal itu akan mendorong semua potensi ataupun bakat
yang ada pada anak, baik kemampuan matematis, seni, bahasa, maupun

21

kemampuan lain. Stimulasi harus dilakukan dengan penuh kasih sayang


serta suasana gembira. Stimulasi sebaiknya dilakukan setiap kali ada
kesempatan berinteraksi dengan bayi. Ibu bisa memanfaatkannya ketika
memandikan,

mengganti

popok,

menyusui,

menyuapi

makanan,

menggendong, mengajak berjalan-jalan, bermain, menonton TV, berada di


dalam kendaraan, menjelang tidur ataupun kegiatan lainnya.
2.2.6.2 Stimulasi harus dilakukan dalam suasana yang menyenangkan dan penuh
kasih sayang.
Jangan memberikan stimulasi dengan terburu-buru, memaksakan
kehendak ibu, tidak memperhatikan minat atau keinginan anak, ataupun
saat anak sedang mengantuk, bosan, atau ingin bermain yang lain. Apabila
ibu sering marah, bosan dan sebal, maka tanpa disadari ibu justru
memberikan rangsangan emosional yang negatif pada anak. Sebab, pada
prinsipnya semua ucapan, sikap dan perbuatan ibu merupakan stimulasi
yang direkam, diingat dan akan ditiru oleh anak atau justru menimbulkan
ketakutan bagi anak.
Oleh karena itu, stimulasi harus diberikan dalam suasana
menyenangkan serta penuh kasih sayang dan orang tua juga harus peka
terhadap kebutuhan anak. Artinya, orang tua harus memperhatikan minat,
keinginan dan pendapat anak. Untuk itu, orang tua harus menyadari bahwa
setiap anak adalah unik dan memiliki perbedaan individual. Orang tua
sebaiknya menyesuaikan diri dengan buah hatinya.
Selain itu, interaksi antara ibu dan anak harus dilakukan dalam
suasana pola asuh yang otoritatif, yaitu ibu harus peka terhadap isyaratisyarat anak. Artinya, ibu harus memperhatikan minat, keinginan atau

22

pendapat anak, tidak memaksakan kehendaknya, penuh kasih sayang,


penuh kegembiraan, menciptakan rasa aman dan nyaman, memberikan
contoh tanpa memaksa, mendorong keberanian untuk mencoba berkreasi,
memberikan penghargaan atau pujian atas keberhasilan atau perilaku yang
baik serta memberikan koreksi (bukan ancaman) dan atau hukuman bila
anak tidak dapat melakukan sesuatu ketika melakukan kesalahan.
Lebih dari itu, pemberian stimulasi juga harus memperhatikan
waktu karena tidak bisa dipungkiri bahwa ada periode kritis atau sensitif,
dimana rangsangan akan lebih mudah diserap atau diterima anak. Agar
stimulasi yang diberikan lebih optimal, stimulasi harus diberikan secara
bertahap dalam berbagai variasi dan berulang-ulang. Stimulasi juga
bervariasi dalam suasana yang menyenangkan sehingga tidak hanya
memacu berbagai aspek kecerdasan anak, tetapi juga membuat anak
bahagia. Jika orang tua sama-sama sibuk bekerja di luar rumah, perlu
diperhatikan waktu yang berkualitas.
Namun beberapa masyarakat tertentu mempersepsikan nilai anak
laki-laki lebih tinggi dibanding dengan nilai anak perempuan. Anak lakilaki adalah penerus keturunan serta penerima harta warisan dalam
keluarga. Anak laki-laki adalah pengganti orangtua dalam adat. Anak
perempuan adalah pengembang hubungan keluarga. Meski kontribusi yang
diberikan oleh anak perempuan sangat besar dalam kegiatan produktif dan
reproduktif (BKKBN, 2010).
2.2.6.3 Stimulasi harus dilakukan secara teratur dan terus menerus.
Stimulasi hendaknya tidak hanya dilakukan setiap hari dan terus
menerus, yang juga tidak kalah penting adalah stimulasi harus dilakukan

23

dengan teratur. Sebab, pada dasarnya pemberian stimulasi yang teratur dan
terus menerus akan menciptakan anak yang cerdas, bertumbuh kembang
dengan optimal, mandiri, memiliki emosi yang stabil dan mudah
beradaptasi.
2.2.6.4 Stimulasi harus disesuaikan dengan umur dan variatif.
Hal ini dilakukan sebab kemampuan anak pada setiap tingkatan
umur sama sekali berbeda karena adanya perkembangan umur dan
motoriknya. Yang tidak kalah penting, dalam upaya memberikan stimulasi,
ibu disarankan untuk tidak monoton. Ibu harus memberikan stimulasi
dengan bentuk dan cara yang bervariasi. Stimulasi yang bervariasi yang
dilakukan setiap hari akan memberikan rangsangan terhadap kecerdasan
2.2.7

dan kreatifitas anak dengan lebih baik.


Karakteristik stimulasi psikososial
Menurut Hastuti (2009: 4), karakteristik kualitas lingkungan asuh anak

adalah stimulasi yang diberikan orang tua dan keluarga dalam memberikan
kehangatan, suasana penerimaan, pemberian teladan atau contoh, pemberian
pengalaman, dorongan belajar dan berbahasa serta dorongan bagi kemampuan
akademik anak.
2.2.8

Pelaksanaan stimulasi psikososial


Pelaksanaan stimulasi psikososial menurut Walker, dkk. (2004: 1418;

2005: 6) dan Hamadani, dkk. (2006: 2647) dilakukan dengan mempererat


hubungan ibu dan anak dengan cara: merespon pembicaraan anak baik secara
verbal

maupun

non

verbal,

mengajak

anak

bernyanyi

dan

bermain,

memperlihatkan kehangatan dan penerimaan, menggunakan aktifitas sehari-hari


sebagai bahan untuk memberikan pelajaran pada anak, memberikan feedback

24

positif atau menghargai segala pencapaian anak, serta menyediakan lingkungan


rumah yang dapat menstimulasi anak, misalnya menyediakan lingkungan yang
aman bagi anak, menyediakan alat permainan yang mampu merangsang kreatifitas
anak namun sesuai dengan kondisi sosial ekonomi keluarga dan usia anak, serta
melarang ibu menggunakan hukuman fisik namun lebih cenderung mendoakan
dan memberikan dukungan positif.
Menurut WHO (2006: 6), pelaksanaan stimulasi psikososial khususnya
yang berhubungan dengan ranah emosional dapat dilakukan dengan menyediakan
lingkungan pengasuhan yang penuh kasih sayang sebagai berikut:
2.2.7.1 Ekspresikan kehangatan dan perhatian pada anak secara konsisten sesuai
dengan norma budaya setempat. Hendaknya ibu selalu memandang pada
mata anak saat berbicara dengannya, selalu tersenyum pada anak, selalu
mengekspresikan kedekatan fisik, seperti memeluk dan menyentuh anak.
2.2.7.2 Tingkatkan komunikasi baik verbal maupun non verbal anatar ibu dan
anak. Berkomunikasi dengan anak sebanyak dan sesering mungkin.
Tanyakan pada anak mulai dari hal-hal yang sifatnya percakapan ringan
dan cobalah untuk merespon keinginannya untuk berbincang. Mencoba
untuk melanjutkan percakapan dengan suara dan gesture tubuh yang
menyenangkan anak (misalnya dengan tersenyum dan mendekat pada
anak). Biarkan anak tertawa dan bernyanyi. Ajarkan anak mengucapkan
kata-kata dengan lebih baik menggunakan contoh aktifitas. Misalnya
ucapkan bye saat akan berpisah.

25

2.2.7.3 Merespon segala kebutuhan anak. Ibu merespon keinginan dan ucapan
anak. Cobalah untuk lebih tertarik untuk memenuhi kebutuhan anak yang
biasa diwakili oleh perilakunya (misalnya menangis atau tersenyum).
2.2.7.4 Perlihatkan apresiasi terhadap apapun yang dikerjakan oleh anak. Ibu
hendaknya mencoba untuk menyatakan dengan ekspresi verbal atas
pencapaian anak. Selain itu juga perlu menyampaikan ekspresi non verbal
atas apresiasi serta persetujuan yang diberikan (misalnya dengan bertepuk
tangan, tersenyum).
Menurut Dharmawan (1999) stimulasi psikososial diberikan diantaranya
melalui aktifitas bermain, bernyanyi dan menggambar (Chandriyani, 2009: 9).
2.2.9

Pengukuran stimulasi psikososial


Lingkungan pengasuhan dapat diiukur dengan alat ukur HOME (Home

Observation for Measurement of the Environment) Inventory (Bradley et al.,


1989). Alat ukur HOME merupakan pemberian kondisi yang berkaitan dengan
perkembangan kecerdasan anak. Pada umumnya makin tinggi skor HOME, makin
baik perkembangan anak (Madanijah, 2004: 7).
Pada tahun 1979 dilakukan survey terhadap 12.686 anak yang berusia 1422 tahun baik laki-laki maupun perempuan yang dikenal dengan National
Longitudinal Survey of Youth 1979 oleh Biro Statistik Departemen Tenaga Kerja
Amerika Serikat. Survei ini dimaksudkan untuk mengukur kualitas lingkungan
pengasuhan psikososial anak di rumah, hingga setelah mengalami beberapa kali
revisi menjadi alat ukur HOME-SF yang telah dipercaya validitas dan
reliabilitasnya. HOME-SF merupakan modifikasi dari HOME Inventory, yaitu
alat ukur kualitas stimulasi psikososial baik kognitif maupun emosional yang

26

dilakukan oleh orang tua, terutama ibu. Cara menggunakan alat ukur ini adalah
dengan melakukan wawancara pada ibu dan pada beberapa item diantaranya
dilakukan dengan mengobservasi perilaku ibu dan kondisi lingkungan rumah
(NLSY79, 2011). Alat ukur stimulasi psikososial HOME-SF ditujukan untuk tiga
kategori usia, yaitu untuk bayi/toddler (0-2,11 bulan), kanak-kanak awal (3-5,11
bulan) dan kanak-kanak tengah (6-9,11 bulan). Pada HOME-SF untuk kanakkanak awal (3-5,11 bulan), terdapat dua sub skala yaitu sub skala kognitif dan sub
skala emosional yang dibagi lagi dalam lima indikator, yaitu:
2.2.9.1 Stimulasi.
Pemberian stimulasi diukur melalui item sebagai berikut:
1.
Anak-anak memiliki 10 buku.
2.
Ibu membacakan buku cerita pada anak 3 kali seminggu atau lebih.
3.
Anak diajak ke toko (satu kali seminggu atau 2-3 kali sebulan).
4.
Anak-anak makan bersama ayah dan ibu satu kali sehari atau lebih.
5.
Keluarga berlangganan majalah atau koran minimal satu.
6.
Anak memiliki alat pemutar rekaman/CD dan paling tidak memiliki 5
rekaman/CD atau kaset.
7.
Anak memiliki pilihan makanan untuk sarapan pagi dan makan siang.
8.
TV hidup di rumah kurang dari 5 jam per hari.
9.
Anak-anak diajak ke museum tahun lalu.
2.2.9.2 Kehangatan dan penerimaan.
Kehangatan dan penerimaan ibu diukur melalui item sebagai
berikut:
1.

Ibu secara spontan mengajak berbicara


dengan atau bercakap-cakap dengan anak paling tidak dua kali selama
observasi.

2.

Ibu menyemangati anak untuk terlibat


dalam percakapan.

3.

Ibu menjawab pertanyaan anak atau


permintaan anak secara verbal.

27

4.

Ibu memperkenalkan peneliti pada anak


dengan menyebutkan nama.

5.

Pendapat ibu memberikan kesan positif


tentang anak.
2.2.9.3 Stimulasi akademik (persiapan sekolah).
Usia pra sekolah merupakan usia persiapan memasuki sekolah,
sehingga ibu diharapkan dapat memberikan stimulasi akademik sebagai
berikut:
1. Anak dibantu belajar angka di rumah.
2. Anak dibantu belajar huruf di rumah.
3. Anak dibantu belajar warna di rumah.
4. Anak dibantu belajar bentuk dan ukuran benda di rumah.
2.2.9.4 Hukuman fisik.
Hukuman fisik yang diberikan pada anak dapat membekas pada
memori atau otak emosinya, sehingga diharapkan ibu menghindari
hukuman fisik yang diukur melalui item sebagai berikut:
1. Ibu melaporkan tidak lebih dari satu pukulan selama satu minggu
terakhir.
2. Ibu menunjukkan dukungan fisik pada anak.
3. Ibu tidak memukul anak.
4. Orang tua tidak melakukan kekerasan saat anak-anak memukulnya.
2.2.9.5 Lingkungan fisik.
Penyediaan lingkungan fisik rumah yang mampu mengembangkan
anak merupakan pra syarat bagi perkembangan anak yang maksimal, hal
ini diukur melalui item sebagai berikut:
1. Lingkungan bermain aman bagi anak.
2. Rumah tidak gelap.
3. Rumah terlihat bersih.
4. Rumah rapi (Mariner, dkk., 1998: 1).
Batasan skor dikategorikan sebagai rendah, sedang dan tinggi pada
persentil 15 dan 85. Artinya kategori rendah jika memiliki nilai persentil <15,

28

sedang jika memiliki nilai persentil 15-85, dan tinggi jika memiliki nilai >85
(Strauss dan Knight, 2009: 2).

2.3
2.3.1

Konsep Dasar Kecerdasan Sosial Emosi


Pengertian kecerdasan sosial emosi
Emosi adalah pengalaman internal manusia yang timbul dari dalam diri

sendiri secara spontan terhadap seseorang, suatu peristiwa, tempat atau pikiran.
Emosi merupakan dorongan agar kebutuhan-kebutuhan psikologis manusia
terpenuhi (Maramis, 2006: 213).
Akar kata emosi adalah movere, kata kerja bahasa Latin yang berarti
menggerakkan, bergerak, ditambah awalan e- untuk memberi arti bergerak
menjauh, menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak
dalam emosi (Goleman, 2007: 7).
Emosi merupakan bagian dari aspek afektif yang memiliki pengaruh besar
terhadap kepribadian dan perilaku seseorang. Emosi bersifat fluktuatif dan
dinamis, artinya perubahan emosi sangat tergantung pada kemampuan seseorang
dalam mengendalikan diri. Emosi anak berubah-ubah sesuai dengan pengaruh dari
kondisi lingkungan eksternal (Dariyo, 2007: 180).
Menurut English and English, emosi adalah A complex feeling state
accompained by characteristic motor and glandular activies (suatu keadaan
perasaan yang kompleks yang disertai karakteristik kegiatan kelenjar dan
motoris). Sedangkan Sarlito Wirawan Sarwono berpendapatan bahwa emosi
merupakan setiap keadaan pada diri seseorang yang disertai warna afektif baik

29

pada tingkat lemah (dangkal) maupun pada tingkat yang luas (mendalam) (Yusuf,
2009: 114-115).
Kecerdasan

merupakan

kemampuan

menyelesaikan

masalah

dan

beradaptasi serta belajar dari pengalaman. Konsep kecerdasan emosional awalnya


dikembangkan

oleh

Peter

Salovey

dan

John

Mayer

(1990).

Mereka

mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai kemampuan merasakan dan


mengekspresikan emosi dengan tepat, sesuai situasi (seperti menerima perspektif
orang lain); kemampuan memahami emosi dan pengetahuan emosional (seperti
memahami peran emosi dalam hubungan pertemanan dan pernikahan);
kemampuan menggunakan perasaan guna melancarkan pemikiran (seperti berada
dalam suasana hati yang positif, yang dikaitkan dengan pemikiran kreatif); serta
kemampuan mengatur emosi diri sendiri dan orang lain (seperti kemampuan
mengendalikan amarah (Santrock, 2007: 317, 325).
Kecerdasan sosial emosi terdiri dari 2 kata, yaitu kecerdasan dan sosial
emosi. Kecerdasan itu sendiri bermula pada pikiran yang ada pada manusia
merupakan kombinasi antara kemampuan berpikir (kemampuan kognitif),
kemampuan terhadap affection (kemampuan pengendalian secara emosi), dan
unsur motivasi (atau conation). Pemahaman mengenai kecerdasan itu sendiri
berkaitan dengan unsur kognitif yang berkaitan dengan daya ingat, reasoning
(mencari unsur sebab akibat) judgement (proses pengambilan keputusan), dan
pemahaman abstraksi. Sedangkan pemahaman sosial emosi berkaitan dengan
fungsi mental, dimana sangat berkaitan dengan perasaan hati (mood), pemahaman
diri dan evaluasi, serta kondisi perasaan lain seperti rasa bosan ataupun perasaan

30

penuh dengan energi. Apabila kedua pemahaman tersebut digabungkan menjadi


kecerdasan sosial emosi, pengertian yang muncul adalah keterkaitan antara sosial
emosi dengan kecerdasan ataupun sebaliknya. Dimana orang dengan motivasi
atau perasaan hati yang positif akan berusaha mengembangkan pengaruh positif
dalam pengembangan kognitif pada diri seseorang (Puspasari, 2009: 8-9).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka kecerdasan sosial
emosional dapat diartikan sebagai kemampuan merasakan, mengekspresikan,
mengelola dan memanfaatkan emosi diri dengan tepat, memahami emosi orang
lain, mampu menggunakan emosi dengan tepat saat berhubungan dengan orang
lain.
2.3.2

Ciri-ciri emosi
Emosi sebagai suatu peristiwa psikologis mengandung ciri-ciri sebagia

berikut:
2.3.2.1 Lebih bersifat subjektif daripada peristiwa psikologis lainnya, seperti
pengalaman dan berpikir.
2.3.2.2 Bersifat fluktuatif (tidak tetap).
2.3.2.3 Banyak bersangkutan paut dengan peristiwa pengenalan panca indera
(Yusuf, 2009: 116).
2.3.3

Karakteristik sosial emosi anak usia dini


Secara lebih spesifik, karakteristik sosial emosi anak usia 4-6 tahun adalah

sebagai berikut:
2.3.3.1 Usia 4 tahun.
1.
Emosinya mudah berubah dan sering berlagak seperti pemimpin.
2.
Memahami dan mematuhi aturan sederhana.
3.
Mudah merubah aturan main sesukanya.
4.
Senang berbicara dan ikut dalam pembicaraan orang lain.
5.
Selalu bertanya mengapa?
6.
Senang memamerkan sesuatu miliknya dan menunjukkan kepemilikan.

31

7.
8.
9.

Takut pada kegelapan dan monster.


Mulai menyadari adanya bahaya.
Masih memiliki kesulitan untuk memisahkan dunia nyata dan

10.

khayalan.
Kadang berbohong untuk melindungi diri dan kelompoknya, namun
tidak benar-benar memahami konsep berbohong, yang terkadang

11.
12.
13.
14.

alasannya bersifat imajinatif.


Senang mengejutkan yang lain dengan memakai kata-kata jorok.
Terkadang masih menunjukkan perilaku tantrum jika merasa frustasi.
Mengekspresikan kemarahan secara verbal daripada secara fisik.
Berpura-pura menjadi tokoh dalam berbagai latar belakang, seperti

sedang berada di kantor pemadam kebakaran, sekolah, took sepatu.


15.
Senang bercanda (Iowa State University, 2008).
2.3.3.2 Usia 5 tahun.
1.
Fase 5 tahun dipenuhi dengan perkembangan emosi yang cukup
ekstrim dan kontradiktif. Pada usia ini, pada beberapa anak masih
dipenuhi oleh karakteristik anak usia toddler bercampur dengan fase
untuk menjadi anak yang lebih dewasa. Anak usia 5 tahun dapat
menunjukkan kontrol diri yang lebih baik, seperti mampu duduk untuk
beberapa waktu yang cukup lama di kelas dan mendengarkan instruksi
2.

guru.
Usia 5 tahun merupakan saat anak mulai dapat mengartikulasikan
perasaannya. Sebagai contoh, anak dapat berempati pada temannya
yang sedang bersedih dengan mengungkapkan Aku ikut sedih melihat
kamu menangis. Jika ia merasa sedih dalam menghadapi sesuatu,
maka ia akan menyatakan yang dirasakan seperti Aku marah padamu

3.

ibu.
Beberapa anak usia 5 tahun akan menanyakan segala sesuatu dengan
sudut pandang yang berbeda dengan orang lain. Di waktu lain, anak

32

usia ini juga dapat sangat kritis pada diri mereka sendiri dan bisa
sangat keras pada dirinya sendiri, saat ia merasa tidak melakukan
sesuatu dengan benar. Misalnya, anak usia 5 tahun terkadang
memperlihatkan rasa percaya dirinya pada temannya yang berusia
lebih muda dengan menyatakan bahwa dirinya dapat melakukan segala
sesuatu seperti anak yang sudah besar, namun tidak lama kemudian
ia juga dapat menjadi sedih karena ternyata ia belum mampu
4.

melakukan semua yang diinginkannya.


Anak usia 5 tahun mulai menuntut kemandirian, seperti saat memilih
baju atau makan sesuatu. Masa ini juga dikenal dengan masa semaunya

5.

sendiri (Lee, 2010).


Masih egosentris yaitu merasa dirinya sebagai pusat semua kegiatan.
Kemauannya kuat dan ingin selalu dipenuhi. Anak belum mau berbagi,

6.

merasa semua miliknya. Masih berdasarkan apa yang menurut ia benar.


Anak juga mulai tertarik dengan kepemilikan. Anak perlu diobservasi,
orangtua harus peka terhadap kondisi anak, jangan dibiarkan sendiri,
jangan sampai anak memegang benda tajam sendiri, karena anak masih
suka coba-coba. Jika serba dilarang, anak akan merasa takut salah
sehingga menjadi pasif. Semakin cepat disadari, masih bisa diperbaiki

7.

meskipun butuh waktu. Anak mulai bertanya hal-hal yang sulit.


Umumnya anak usia 5 tahun sudah mulai bisa mengatur emosinya. Ia
sudah bisa mengekpresikan dan mengungkapkan emosinya sendiri
(dengan syarat bila dilatih). Kemudian bisa menunda keinginan dan
mengontrol (impulsivitas). Mulai bisa sabar, mau mengantri, dan bisa
bertanya boleh nggak aku pinjam mainannya. Bisa mengekspresikan

33

kemarahan dengan kata-kata (verbal) misalnya aku capek, nggak mau


main dulu (Izzy, 2010).
2.3.3.3 Usia 6 tahun.
1. Seperti fase usia yang lain, periode usia 6 tahun diwarnai oleh
kontradiksi. Di satu sisi, anak mulai mengenal dunia luar, namun ia
juga masih membutuhkan perlindungan dan perhatian penuh dari orang
tuanya.
2. Anak usia 6 tahun memiliki kesadaran emosional yang lebih tinggi,
baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Ia akan menyadari
bagaimana harus menjaga perasaan orang lain dengan tidak
menyakitinya baik dengan kata-kata maupun perbuatan.
3. Bagi anak usia 6 tahun, masih memerlukan perasaan bahwa dirinya
adalah pusat perhatian. Ia akan selalu berusaha untuk menarik minat
orang lain pada dirinya. Terkadang bahkan membual sebagai bentuk
kepercayaan dirinya.
4. Anak pada usia ini menginginkan segala sesuatu berjalan sempurna,
meski kemampuan mereka belum dapat mencapainya. Untuk itu ia
membutuhkan orang lain untuk mendukungnya dan sangat membenci
kritikan serta sensitif dengan tindakan disiplin.
5. Anak usia 6 tahun kerap melihat segala sesuatu dalam konsep hitam
putih dan akan mengekspresikan opininya secara tegas mengenai
segala sesuatu.
6. Anak usia 6 tahun mulai mengekspresikan keinginannya akan hal-hal
pribadi, seperti saat berganti baju, meski terkadang mereka masih
menginginkan untuk dimandikan orang tuanya. Pada usia ini mereka
juga mulai ingin tahu mengenai tubuh mereka, gender dan jenis
kelamin dan mulai mempertanyakan darimana bayi berasal.

34

7. Pada usia 6 tahun, anak mulai memiliki banyak akitifitas di luar rumah
tanpa keterlibatan orang tua mereka. Orang tua dapat memotivasi
perawatan mandiri namun tetap menawarkan bantuan yang diperlukan.
Kecemasan untuk berpisah masih merupakan isu pada usia ini, namun
perlahan-lahan akan menghilang seiring meningkatnya ikatan dengan
2.3.4

teman sepermainan (Lee, 2010).


Struktur emosional pada tubuh manusia
Pada manusia, amigdala (dari kata Yunani yang berarti buah almond)

adalah kelompok struktur yang saling terkoneksi berbentuk almond yang


bertumpu pada batang otak, dekat alas cincin limbik. Terdapat 2 amigdala,
masing-masing di setiap sisi otak, di sisi kepala. Hippocampus dan amigdala
merupakan 2 bagian penting otak hidung primitif yang dalam evolusi kemudian
memunculkan korteks selanjutnya neokorteks. Hingga saat ini, kedua struktur
limbik itu melakukan sebagian besar atau banyak ingatan dan pembelajaran otak,
amigdala adalah spesialis masalah-masalah emosional. Apabila amigdala
dipisahkan dari bagian-bagian otak lainnya, hasilnya adalah ketidakmampuan
yang amat mencolok dalam menangkap makna emosional suatu peristiwa.
Secara anatomi, sistem emosi mampu bertindak sendiri terlepas dari
neokorteks. Jadi respon emosi timbul, misalnya pertama-tama, sinyal visual
dikirim dari retina ke talamus yang bertugas menerjemahkan sinyal itu ke dalam
bahasa otak. Sebagian besar pesan itu kemudian dikirim ke korteks visual yang
menganalisis dan menentukan makna dan respons yang cocok; jika respons
bersifat emosional, suatu sinyal dikirim ke amigdala untuk mengaktifkan pusat
emosi. Tetapi, sebagian kecil sinyal asli langsung menuju amigdala dari talamus

35

dengan transmisi yang lebih cepat, sehingga memungkinkan adanya respons yang
lebih cepat (meski kurang akurat). Jadi amigdala dapat memicu suatu respons
emosional sebelum pusat-pusat korteks memahami betul apa yang terjadi.
Salah satu kekurangan amigdala adalah bahwa sinyal mendesak yang
dikirim oleh amigdala seringkali telah ketinggalan jaman atau tidak memandang
konteks suatu masalah. Sebagai gudang ingatan emosional, amigdala berusaha
melarik pengalaman, membandingkan apa yang sedang terjadi sekarang dengan
yang terjadi di masa lampau dalam hubungan asosiatif. Hal ini seringkali
memaksa manusia untuk bertindak gegabah dan bereaksi dengan cara-cara yang
sama yang telah dipakai di masa lampau dengan pola pikir, emosi, reaksi yang
dipelajari sebagai respon terhadap peristiwa-peristiwa yang barangkali hanya
samar-samar kemiripannya, tetapi cukup serupa untuk mengingatkan amigdala.
Ketidaktelitian otak emosional ini ditambah kenyataan bahwa banyak ingatan
emosional yang kuat berasal dari tahun-tahun pertama kehidupan. Hal ini
terutama berlaku bagi peristiwa-peristiwa traumatis, seperti pemukulan atau
penyia-nyiaan. Selama periode awal kehidupan, hippocampus yang penting bagi
ingatan naratif dan neokorteks tempat kedudukan rasional belum berkembang
sepenuhnya.
Pengalaman di tahun-tahun awal kehidupan yang berisikan penyangkalan,
penyia-nyiaan, pembantahan yang seringkali terulang di masa kanak-kanak akan
menimbulkan sejumlah pesan emosional paling mendasar seumur hidup, sebagai
suatu pelajaran yang dapat menentukan arah kehidupan. Sebab kehidupan
keluarga dan terutama interaksi antara anak dengan ibu merupakan sekolah

36

pertama untuk mempelajari emosi. Dalam lingkungan yang akrab ini, manusia
belajar bagaimana merasakan perasaannya sendiri dan bagaimana orang lain
menanggapi perasaan tersebut; bagaimana berpikir tentang perasaannya dan
pilihan-pilihan apa yang dimilikinya untuk bereaksi serta bagaimana membaca
serta mengungkapkan harapan dan rasa takut.
Le Doux sebagai tokoh yang menemukan peran amigdala meninjau peran
amigdala dalam masa kanak-kanak untuk mendukung apa yang telah lama
menjadi prinsip dasar pemikiran psikoanalisis bahwa interaksi tahun-tahun awal
dalam kehidupan menjadi dasar serangkaian pembelajaran emosi. Pembelajaran
emosi ini demikian kuat pengaruhnya namun begitu sulit dipahami dari sudut
pandang kehidupan orang dewasa karena pembelajaran tersebut disimpan dalam
amigdala sebagai cetak biru yang mentah tanpa keterangan apapun dalam
kehidupan emosional (Goleman, 2007: 19, 23-24).
2.3.5

Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan sosial emosi


Menurut Agustian (2007) faktor-faktor yang berpengaruh dalam

peningkatan kecerdasan sosial emosi yaitu:


2.3.5.1 Faktor psikologis
Faktor psikologis merupakan faktor yang berasal dari dalam diri
individu. Faktor internal ini akan membantu individu dalam mengelola,
mengontrol, mengendalikan dan mengkoordinasikan keadaan emosi agar
termanifestasi dalam perilaku secara efektif. Kecerdasan sosial emosi erat
kaitannya dengan keadaan otak emosional. Bagian otak yang mengurusi
emosi adalah sistem limbik. Sistem limbik terletak jauh dalam hemisfer

37

otak besar dan terutama bertanggung jawab atas pengaturan emosi dan
impuls.
2.3.5.2 Faktor pelatihan emosi
Kegiatan yang dilakukan secara berulang-ulang akan menciptakan
kebiasaan, dan kebiasaan rutin tersebut akan menghasilkan pengalaman
yang berujung pada pembentukan nilai (value). Reaksi emosional apabila
diulang-ulang

pun

akan

berkembang

menjadi

suatu

kebiasaan.

Pengendalian diri tidak muncul begitu saja tanpa dilatih.


2.3.5.3 Faktor pendidikan
Pendidikan dapat menjadi salah satu sarana belajar individu untuk
mengembangkan kecerdasan emosi. Individu mulai dikenalkan dengan
berbagai bentuk emosi dan bagaimana mengelolanya melalui pendidikan.
Pendidikan tidak hanya berlangsung di sekolah, tetapi juga di lingkungan
keluarga dan masyarakat. Sistem pendidikan di sekolah tidak boleh hanya
menekankan pada kecerdasan akademik saja.
Menurut Sarwono (2007), faktor-faktor yang mempengaruhi
kecerdasan sosial emosi diantaranya adalah faktor internal dan faktor
eksternal.
2.3.5.1 Faktor internal.
Termasuk dalam faktor internal adalah unsur genetika (keturunan)
yang meliputi: perbedaan ras, etnis, bangsa, umur, jenis kelamin.
1.

Perbedaan ras/etnis/bangsa.
Anak usia TK dan SD belum mampu memahami perbedaan
antar budaya. Bila bertemu dengan anak dari kultur lain atau berada
dalam lingkungan kultur lain, sering terjadi salah interpretasi terhadap

38

perilaku temannya yang berdampak pada timbulnya stres dan


kesulitan penyesuaian diri (Nakata dan Shiomi, 2004 dalam Sarwono,
2007).
2.

Umur.
Amigdala sebagai gudang ingatan emosional seringkali telah
ketinggalan jaman atau tidak memandang konteks suatu masalah.
Sebab amigdala berusaha melarik pengalaman, membandingkan apa
yang sedang terjadi sekarang dengan yang terjadi di masa lampau
dalam hubungan asosiatif. Ketidaktelitian otak emosional ini ditambah
kenyataan bahwa banyak ingatan emosional yang kuat berasal dari
tahun-tahun pertama kehidupan. Hal ini terutama berlaku bagi
peristiwa-peristiwa traumatis, seperti pemukulan atau penyia-nyiaan.
Selama periode awal kehidupan, hippocampus yang penting bagi
ingatan naratif dan neokorteks tempat kedudukan rasional belum
berkembang sepenuhnya (Goleman, 2007: 19).
Penelitian

terhadap

72

anak

pra

sekolah

di

Jepang

membuktikan bahwa mereka sudah mampu mengerti emosi orang


lain. Kemampuan ini berkembang sejalan dengan pertambahan usia.
Anak yang sudah lebih besar mampu memahami emosi dalam
hubungan antar 3 orang dan menyesuaikan diri dengan baik kepada
emosi itu (Hayashi, 2004 dalam Sarwono, 2007).

39

3.

Jenis kelamin.
Ada perbedaan antara anak laki-laki dan perempuan dalam
kontrol diri. Dalam kaitannya dengan teman, berdasarkan penelitian
Zang, dkk. (2004) terhadap 119 anak berusia 4-6 tahun, bahwa mereka
cenderung berperilaku pro sosial kepada teman-temannya sendiri
daripada guru dan lebih pro sosial kepada teman sejenis kelamin
ketimbang lawan jenisnya (Sarwono, 2007).
Sebuah penelitian di Jepang juga menunjukkan bahwa anak
laki-laki Jepang lebih cerewet soal nilai-nilai pelajaran, namun tidak
mau membantu ibu di rumah dan cuek tentang pengendalian emosinya
(misalnya menahan amarah). Anak perempuan sebaliknya rewel dalam
pekerjaan rumah tangga, namun tetap peduli pada pelajaran sekolah
dan pengendalian amarah lebih baik (Sogon, 2004 dalam Sarwono,
2007).
Baraja (2008: 250), bahwa umumnya tidak terjadi suatu
perbedaan antara anak laki-laki dengan anak perempuan dalam proses
perkembangan emosi pada masa anak. Hanya karena pengkondisian
anak, sehingga banyak anak laki-laki yang menggunakan secara aktif
emosinya, seperti ledakan emosi marah lebih ditunjukkan pada anak
laki-laki. Sebaliknya rasa takut, cemburu dan kasih sayang merupakan
tempat emosi yang sesuai bagi anak perempuan daripada anak lakilaki.

40

2.3.5.2 Faktor eksternal.


Termasuk dalam faktor eksternal adalah lingkungan meliputi:
1. Stimulasi psikososial.
Menurut Jalal (2002), stimulasi psikososial dapat berupa
pemberian kehangatan dan cinta, pengalaman langsung dengan
menggunakan indra (penglihatan, pendengaran, perasa, peraba,
penciuman), mendengarkan dengan penuh perhatian, menanggapi
ocehan anak, mengajak bercakap-cakap dengan suara lembut, dan
memberikan rasa aman (Mashar, 2011: 119).
2. Status sosial ekonomi keluarga.
Dalam suatu studi, Hart dan Risley (1995) mengunjungi
rumah-rumah dan mengobservasi seberapa ekstensifnya para orang
tua (dari keluarga profesional yang kaya raya hingga keluarga
profesional berpendapatan menengah) berbicara dan berkomunikasi
dengan anak-anak mereka yang masih belia. Mereka menemukan
bahwa

orang

yang

berpendapatan

menengah

lebih

banyak

berkomunikasi dengan anak-anak mereka dibandingkan orang tua dari


kalangan kaya raya. Semakin sering orang tua berkomunikasi dengan
anak-anak mereka, skor IQ anak-anak tersebut semakin tinggi
(Santrock, 2007: 329).
Namun meski demikian, anak dari keluarga sejahtera mungkin
memiliki akses mudah terhadap sekolah, buku, perjalanan dan proses
tutorial yang sangat baik, tetapi mungkin mereka menganggap remeh

41

kesempatan-kesempatan tersebut dan gagal mengembangkan motivasi


untuk belajar dan untuk mencapai sesuatu (Santrock, 2007: 329).
3. Komunikasi orang tua dengan anak.
Eisenberg,

dkk.

(2001)

menemukan

bahwa

perilaku

komunikasi orang tua yang emosional berpengaruh pada perilaku


pengendalian dan pernyataan diri anak. Tetapi sebaliknya, tidak
terbukti bahwa perilaku anak berpengaruh pada perilaku pengendalian
dan pernyataan diri anak (Sarwono, 2007).
4. Dukungan orang tua.
Pengaruh peran atau dukungan emosional orang tua terhadap
kendali emosi anak secara lebih khusus tampil pada perlakuan tidak
baik atau semena-mena dari pihak orang tua terhadap anak. Anak-anak
yang sedari kecil tidak mendapat dukungan dan memperoleh
perlakuan kurang baik (maltreated) lebih menunjukkan perilaku sulit
menyesuaikan diri (maladaptif) daripada anak-anak yang diperlakukan
baik. Perilaku maladaptif yang dimaksud adalah ketidakmampuan
mengendalikan amarah dan menolak berteman, sedangkan perilaku
yang adaptif adalah perilaku pro sosial dan suka berteman. Jadi
perlakuan dan dukungan orang tua pada anak berpengaruh pada
perilaku adaptasi anak (Shields, dkk. 2001 dalam Sarwono, 2007).
5. Lingkungan.
Adanya akses total kepada informasi elektronik sangat
berpengaruh pada pengendalian emosi anak, khususnya pengendalian

42

emosi marah terutama dalam hubungannya dengan perkembangan


proses informasi sosial anak (banyaknya film tentang kekerasan di TV
dan sebagainya) (Koops, 2004 dalam Sarwono, 2007).
Pada keluarga yang majemuk, yaitu keluarga dimana di
dalamnya terdapat paman, kakek, dan saudara sepupu lainnya. Ini juga
akan sangat mempengaruhi reaksi emosi anak yaitu kuat dan
lemahnya emosi yang ditimbulkan. Hal ini tergantung kesempatan dan
perlakuan orang lain dalam keluarga tersebut pada anak (Baraja, 2008:
72). Pembelajaran emosi bukan hanya melalui hal-hal yang diucapkan,
melainkan juga melalui contoh tingkah laku, sentuhan, dan stimulus
lainnya yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak mereka
(Goleman, 2007: 243).
2.3.6

Manfaat kecerdasan sosial emosi bagi anak


Manfaat kecerdasan sosial emosi bagi anak, menurut Goleman
(2007: 403-403) adalah:

2.3.6.1 Kesadaran diri.


1. Perbaikan dalam mengenali dan merasakan emosinya sendiri.
2. Lebih mampu memahami penyebab perasaan yang timbul.
3. Mengenali perbedaan perasaan dengan tindakan.
2.3.6.2 Mengelola emosi.
1. Toleransi yang lebih tinggi terhadap frustasi dan pengelolaan amarah.
2. Berkurangnya ejekan verbal, perkelahian dan gangguan di ruang
kelas.
3. Lebih mampu mengungkapkan amarah dengan tepat, tanpa berkelahi.
4. Berkurangnya larangan masuk sementara dan skorsing.
5. Berkurangnya perilaku agresif atau merusak diri sendiri.
6. Perasaan yang lebih positif tentang diri sendiri, sekolah dan keluarga.
7. Lebih baik dalam menangani ketegangan jiwa.
8. Berkurangnya kesepian dan kecemasan dalam pergaulan.
2.3.6.3 Memanfaatkan emosi secara produktif.

43

1. Lebih bertanggung jawab.


2. Lebih mampu memusatkan perhatian pada tugas yang dikerjakan dan
menaruh perhatian.
3. Kurang impulsif; lebih menguasai diri.
4. Nilai pada tes-tes prestasi meningkat.
2.3.6.4 Empati: membaca emosi.
1. Lebih mampu menerima sudut pandang orang lain.
2. Memperbaiki empati dan kepekaan terhadap perasaan orang lain.
3. Lebih baik dalam mendengarkan orang lain.
2.3.6.5 Membina hubungan (ketrampilan sosial).
1. Meningkatkan kemampuan menganalisis dan memahami hubungan.
2. Lebih baik dalam menyelesaikan pertikaian dan merundingkan
persengketaan.
3. Lebih baik dalam menyelesaikan persoalan yang timbul dalam
hubungan.
4. Lebih tegas dan terampil dalam berkomunikasi.
5. Lebih populer dan mudah bergaul; bersahabat dan terlibat dengan

2.3.7

teman sebaya.
6. Lebih dibutuhkan oleh teman sebaya.
7. Lebih menaruh perhatian dan bertenggang rasa.
8. Lebih memikirkan kepentingan sosial dan selaras dalam kelompok.
9. Lebih suka berbagi rasa, bekerja sama dan suka menolong.
10. Lebih demokratis dalam bergaul dengan orang lain.
Komponen kecerdasan sosial emosi
Menurut Goleman (Safaria, 2005: 72-73), kecerdasan sosial emosi
memiliki 5 komponen yang menyusunnya, yaitu:

2.3.7.1 Kesadaran diri.


Merupakan kemampuan untuk menyadari dan memahami seluruh
proses yang ada dalam dirinya, perasaannya, pikirannya dan tindakannya.
Aspek ini merupakan dasar dari seluruh aspek lainnya, yang berarti
kesadaran diri ini akan membantu tercapainya aspek-aspek lain. Arti
lainnya adalah individu mampu terhubung dengan emosi-emosinya,

44

pikiran-pikirannya dan keterhubungan ini membuat individu mampu


menamakan setiap emosi yang muncul.
2.3.7.2 Kemampuan mengelola emosi.
Merupakan kemampuan untuk mengelola dan menyeimbangkan
emosi yang dialaminya. Kemampuan mengelola emosi ini, khususnya
emosi negatif seperti marah, sedih, kecewa, dendam dan benci akan
membuat

individu

tidak

terpengaruh

secara

mendalam

sehingga

mengakibatkannya tidak mampu lagi berpikir rasional. Individu akan


melihat peristiwa yang mengecewakannya dari sudut pandang positif,
mengambil hikmah di balik masalah tersebut lalu mencoba memaafkan
diri sendiri maupun orang lain dalam masalah tersebut.
2.3.7.3 Optimisme.
Merupakan kemampuan untuk memotivasi diri yang ada dalam
keadaan putus asa, positif thinking dan menumbuhkan optimisme dalam
hidupnya. Kemampuan ini membuat individu mampu bertahan dalam
masalah yang membebaninya, mampu untuk terus berjuang ketika
menghadapi hambatan yang besar, tidak pernah mudah putus asa dan
kehilangan harapan.
2.3.7.4 Empati.
Merupakan kemampuan untuk memahami perasaan, pikiran dan
tindakan orang lain berdasarkan sudut pandang orang tersebut.
Kemampuan ini berkaitan dengan kemampuan individu memahami
perasaan terdalam orang lain, sehingga dia mampu bertenggang rasa dan

45

mampu membaca, memahami perasaan, pikiran orang lain hanya dari


bahasa non verbal, ekspresi wajah, atau intonasi suara orang tersebut.
2.3.7.5 Ketrampilan sosial.
Merupakan kemampuan untuk membangun hubungan secara
efektif dengan yang lain, mempertahankan hubungan dan menangani
konflik interpersonal secara efektif. Individu yang memiliki kemampuan
ini akan mudah berinteraksi dengan orang lain, menginspirasikan
kepercayaan pada orang lain dan senantiasa bersikap saling menghormati
hak-hak orang lain. Ketrampilan sosial ini antara lain bisa ditingkatkan
dengan

mengembangkan

ketrampilan

mendengarkan

efektif,

berkomunikasi efektif dan memahami sikap-sikap yang kondusif untuk


mengembangkan hubungan sosial.
2.3.8

Pengukuran kecerdasan sosial emosi


Pengukuran kecerdasan sosial emosi anak menggunakan ASQ-SE (Ages

and Stages Questionairres: Social Emotional). Hasil akhir ASQ-SE berupa


kriteria apakah emosi anak termasuk normal atau terlambat sesuai dengan kriteria
skor yang ditetapkan. Indikator yang digunakan adalah regulasi pribadi,
komunikasi, pertemanan, fungsi adaptif, otonomi, afeksi, dan interaksi dengan
orang lain.
Skor yang digunakan dalam ASQ-SE adalah seringkali: 0; kadang-kadang:
5; jarang/tidak pernah: 10; dan sangat diperhatikan: 5. Hasil penilaian dibagi
dalam kriteria:

46

2.3.8.1 Normal adalah sesuai dengan tahapan emosi anak, yaitu 42-53 bulan: <70
dan 54-72 bulan: <70.
2.3.8.2 Terlambat adalah tidak sesuai dengan tahapan emosi anak, yaitu 42-53
bulan: >70 dan 54-72 bulan: >70 (Squires, dkk., 2002).

2.4
2.4.1

Konsep Dasar Anak Pra Sekolah (4-6 Tahun)


Pengertian anak usia pra sekolah (4-6 tahun)
Menurut Biechler dan Snowman (1993) dalam Patmonodewo (2003:
19), yang dimaksud dengan anak prasekolah adalah mereka yang berusia
antara 3-6 tahun. Mereka biasanya mengikuti program prasekolah dan
kinderganten. Sedangkan di Indonesia, umumnya mereka mengikuti
program program tempat penitipan anak (3 bulan-5 tahun) dan kelompok
bermain (usia 3 tahun), sedangkan pada usia 4-6 tahun biasanya mereka ikut
program taman kanak-kanak.
Anak-anak TK berumur antara 4-6 tahun. Mereka termasuk dalam
umur pra sekolah. TK merupakan lembaga pendidikan formal pra sekolah.
TK itu bukan sekolah,melainkan taman, tempat anak-anak umur 4-6 tahun
bermain (Wiryasumarta dalam Drost, dkk., 2003: 47).
Salah satu periodisasi perkembangan anak adalah masa pra sekolah
(4-6 tahun) (UPI, 2007: 44).
Ditinjau dari psikologi perkembangan, usia pra-sekolah merupakan
masa yang sangat menentukan bagi perkembangan anak pada tahapan
perkembangan selanjutnya. Pada masa ini, anak berada dalam situasi yang
peka untuk menerima rangsangan dari luar. Masa peka adalah masa

47

terjadinya pematangan fungsi-fungsi fisik dan psikis yang siap merespon


stimulasi yang diberikan oleh lingkungan. Masa ini merupakan masa untuk
meletakkan dasar pertama dalam mengembangkan kemampuan fisik,
kognitif, bahasa, sosial emosional, konsep diri, disiplin, kemandirian, seni,
moral, dan nilai-nilai agama (Muhtadi, 2009: 2-4).
Berdasarkan definisi di atas, maka anak usia pra sekolah (4-6 tahun)
dapat didefinisikan sebagai anak usia pra sekolah yang mengikuti program
taman kanak-kanak yang merupakan masa peka bagi perkembangan seluruh
potensi dirinya.
2.4.2

Pertumbuhan anak usia pra sekolah (4-6 tahun)


Pertumbuhan (growth) berkaitan dengan masalah perubahan dalam
ukuran besar, jumlah, ukuran atau dimensi tingkat sel, organ maupun
individu, yang bisa diukur dengan ukuran berat (gram, pound, kilogram),
ukuran panjang (cm, meter) (Riyadi dan Sukarmin, 2009: 2).
Tabel 2.1 Berat badan dan panjang rata-rata anak pra sekolah di
Indonesia

Indonesia
Laki-laki
Perempuan
Berat (kg) Panjang (cm) Berat (kg)
Panjang (cm)
4 th
13.0
93.5
12.6
92.5
5 th
14.4
101.9
14.2
100.0
6 th
15.8
108.0
16.2
105.7
Sumber: Medicastore (2006)
Umur

2.4.3

Perkembangan anak usia pra sekolah (4-6 tahun)

48

Perkembangan (development) adalah bertambahnya kemampuan


(skill atau ketrampilan) dalam struktur dan fungsi tubuh yang kompleks
dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan, sebagai hasil dari proses
pematangan (Riyadi dan Sukarmin, 2009: 2). Secara umum, perkembangan
anak usia pra sekolah (4-6 tahun) adalah sebagai berikut:

2.4.3.1 Perkembangan motorik


Menurut Yusuf (2009: 164), perkembangan fisik anak usia pra
sekolah ditandai dengan berkembangnya kemampuan atau ketrampilan
motorik, baik yang kasar maupun yang lembut atau halus.
Tabel 2.2 Kemampuan motorik anak usia pra sekolah (4-6 tahun)
Usia

Kemampuan
Motorik Kasar
3-4 tahun 1.
Naik dan turun
tangga
2.
Meloncat
dengan dua kaki
3.
Melempar bola
4-6 tahun

1.
2.

Meloncat
Mengendarai
sepeda anak
3.
Menangkap
bola
4.
Bermain olah
raga
Sumber: Yusuf (2009: 164)

1.
2.
3.
1.
2.
3.
4.

Kemampuan Motorik
Lembut/Halus
Menggunakan krayon
(warna)
Menggunakan benda atau
alat
Meniru bentuk (meniru
gerakan orang lain)
Menggunakan pensil
Menggambar
Memotong dengan gunting
Menulis huruf cetak

2.4.3.2 Perkembangan kognitif


Menurut Piaget, perkembangan kognitif pada usia pra sekolah
berada pada periode praoperasional (2-7 tahun), yaitu tahapan dimana
anak belum mampu menguasai operasi mental secara logis. Operasi adalah

49

kegiatan-kegiatan yang diselesaikan secara mental bukan fisik. Periode ini


ditandai dengan berkembangnya symbolic function yaitu kemampuan
menggunakan sesuatu untuk merepresentasikan sesuatu yang lain dengan
menggunakan simbol. Dapat juga dikatakan sebagai semiotic function
yaitu kemampuan menggunakan simbol-simbol seperti bahasa, gambar,
tanda untuk melambangkan suatu kegiatan, benda yang nyata atau
peristiwa. Melalui kemampuan tersebut, anak mampu berimajinasi atau
berfantasi tentang berbagai hal. Dia dapat menggunakan kata, peristiwa
untuk melambangkan yang lainnya (Yusuf, 2009: 165).
2.4.3.3 Perkembangan bahasa
Menurut Baraja (2008: 215-216), proses perkembangan bahasa
anak setelah usia 4 tahun akan melalui beberapa bentuk diantaranya:
1.

Anak mulai mengadaptasi semua informasi masuk berbentuk simbol


dan kata-kata. Yang mungkin informasi tersebut diasimilasi atau
diakomodasi anak untuk menjadi suatu pengertian dan pemahaman.

2.

Selanjutnya anak berusaha untuk mengkritisi, menanggapi semua


ucapan yang diterima dari orang lain atau lingkungannya atau menilai
ucapan atau tingkah laku orang lain.

3.

Kemudian anak mengembangkan dengan bahasa pertanyaan, perintah,


permintaan dan jawaban.

2.4.3.4 Perkembangan kepribadian


Menurut Erickson, perkembangan kepribadian manusia pada usia
pra sekolah berada pada perkembangan psikososial pada fase inisiatif vs

50

rasa bersalah, yaitu perkembangan inisiatif diperoleh dengan cara


mengkaji

lingkungan

melalui

kemampuan

indranya.

Anak

mengembangkan keinginan dengan cara eksplorasi terhadap apa yang ada


di sekelilingnya. Hasil akhir yang diperoleh adalah kemampuan untuk
menghasilkan sesuatu sebagai prestasinya. Perasaan bersalah akan timbul
pada anak, apabila anak tidak mampu berprestasi, sehingga merasa tidak
puas atas perkembangan yang tidak tercapai (Supartini, 2004: 53).
2.4.3.5 Perkembangan emosi dan sosial (psikososial)
Menurut Patmonodewo (2003: 30), perkembangan emosi pada
anak

usia

pra

sekolah

terdiferensiasi.

Berbagai

faktor

yang

menyebabkannya. Pertama, kesadaran kognitifnya yang telah meningkat


memungkinkan pemahaman terhadap lingkungan berbeda dari tahapan
semula. Imajinasi atau daya khayalnya lebih berkembang. Kedua,
berkembangnya wawasan sosial anak. Teman sebaya mempengaruhi
kehidupannya sehari-hari. Sedangkan tingkah laku sosialisasi adalah
sesuatu

yang

dipelajari,

bukan

sekedar

hasil

dari

pematangan.

Perkembangan sosial anak diperoleh selain dari proses kematangan, juga


melalui kesempatan belajar dari respon terhadap tingkah laku anak.
Masalah sosial emosional yang sering muncul pada anak usia pra
sekolah antara lain:
1.

Rasa cemas yang berkepanjangan atau takut yang tidak sesuai dengan
kenyataan.

51

2.

Kecenderungan depresi, permulaan dari sikap apatis dan menghindar


dari orang-orang di lingkungannya.

3.

Sikap yang bermusuhan terhadap anak dan orang lain.

4.

Gangguan tidur, gelisah, mengigau, mimpi buruk.

5.

Gangguan makan, misalnya nafsu makan menurun.


Menurut Karso, dkk. (ed) (1982), pada usia 4 tahun, anak sudah
mulai menyadari akunya, bahwa akunya (dirinya) berbeda dengan bukan
aku (orang lain atau benda). Kesadaran ini diperoleh dari pengalamannya,
bahwa tidak setiap keinginannya dipenuhi oleh orang lain atau benda lain.
Dia menyadari bahwa keinginannya berhadapan dengan keinginan orang
lain, sehingga orang lain tidak selamanya memenuhi keinginannya.
Bersamaan dengan itu, berkembang pula perasaan harga diri yang
menuntut pengakuan dari lingkungannya. Jika lingkungannya (terutama
orang tuanya) tidak mengakui harga diri anak, seperti memperlakukan
anak secara keras, atau kurang menyayanginya, maka pada diri anak akan
berkembang sikap-sikap: keras kepala/menentang, atau menyerang
menjadi penurut yang diliputi rasa harga diri kurang dengan sifat pemalu
(Yusuf, 2009: 167).
Beberapa jenis emosi yang berkembang pada masa anak, yaitu
sebagai berikut:
1.
Takut, yaitu perasaan terancam oleh suatu objek yang dianggap
membahayakan. Rasa takut terhadap sesuatu berlangsung melalui
tahapan :
a. Mula-mula tidak takut, karena anak belum sanggup melihat
kemungkinan bahaya yang terdapat dalam objek.

52

b. Timbul rasa takut setelah mengenal adanya bahaya.


c. Rasa takut bisa hilang kembali setelah mengetahui cara-cara
2.

menghindar dari bahaya.


Cemas, yaitu perasaan takut yang bersifat khayalan, yang tidak
objeknya. Kecemasan ini muncul mungkin dari situasi-situasi yang
dikhayalkan, berdasarkan pengalaman yang diperoleh, baik perlakuan
orang tua, buku-buku bacaan/komik, radio, atau film. Contoh perasaan
cemas: anak takut berada di dalam kamar yang gelap, takut hantu, dan

sebagainya.
3.
Marah merupakan perasaan tidak senang, atau benci baik terhadap
orang lain, diri sendiri atau objek tertentu yang diwujudkan dalam
bentuk verbal (kata-kata kasar/makian/sumpah serapah), atau non
verbal (seperti mencubit, memukul, menampar, menendang, dan
merusak). Perasaan marah ini merupakan reaksi terhadap situasi
frustasi yang dialaminya, yaitu perasaan kecewa atau perasaan tidak
senang karena adanya hambatan terhadap pemenuhan keinginannya.
Pada masa ini rasa marah sering terjadi karena:
a. Banyak stimulus yang menimbulkan rasa marah,
b. Banyak anak yang menemukan bahwa marah merupakan cara
yang baik untuk mendapatkan perhatian atau memuaskan
keinginannya.
Berbagai stimulus yang menimbulkan perasaan marah,
diantaranya: rintangan atas kebutuhan jasmaniah, gangguan terhadap
gerakan-gerakan anak yang dilakukannya, rintangan terhadap kegiatan
yang sedang berlangsung, rintangan terhadap keinginan-keinginannya,
atau kejengkelan-kejengkelan yang menumpuk. Sumber perasaan

53

marah bisa berasal dari diri sendiri (seperti, ketidakmampua dan


kelemahan/kecacatan diri), atau orang lain (orang tua, saudara, guru,
4.

dan teman sebaya).


Cemburu yaitu perasaan tidak senang terhadap orang lain yang
dipandangi telah merebut kasih sayang dari seseorang yang telah
mencurahkan kasih sayang kepadanya. Sumber yang menimbulkan
rasa cemburu selalu bersifat situasi sosial, hubungan dengan orang
lain. Seperti kakak cemburu kepada adiknya, karena dia telah merebut
kasih sayang orang tuanya. Perasaan cemburu ini diikuti dengan
ketegangan, yang biasanya dapat diredakan dengan reaksi-reaksi:
a. Agresif atau permusuhan terhadap saingan,
b. Regresif, yaitu perilaku kekanak-kanakan, seperti ngompol, atau

mengisap jempol
c. Sikap tidak peduli, dan
d. Menjauhkan diri dari saingan.
5. Kegembiraan, kesenangan, kenikmatan yaitu perasaan yang positif,
nyaman, karena terpenuhi keinginannya. Kondisi yang melahirkan
perasaan gembira pada anak, di antaranya terpenuhinya kebutuhan
jasmaniah (makan dan minum), keadaan jasmaniah yang sehat,
diperolehnya kasih sayang, ada kesempatan untuk bergerak (bermain
secara leluasa), dan memilki mainan yang disenanginya.
6. Kasih sayang yaitu perasaan senang untuk memberikan perhatian, atau
perlindungan terhadap orang lain, hewan atau benda. Perasaan ini
berkembang berdasarkan pengalamannya yang menyenangkan dalam
berhubungan dengan orang lain (orang tua, saudara, dan teman),
hewan (seperti, kucing dan burung), atau benda (seperti mainan).
Kasih sayang anak kepada orang tua atau saudaranya, amat

54

dipengaruhi oleh iklim emosional dalam keluarganya. Apabila orang


tua dan saudaranya menaruh kasih sayang kepada anak, maka dia pun
akan menaruh kasih sayang kepada mereka.
7. Phobi yaitu perasaan takut terhadap objek yang tidak patut ditakutinya
(takut yang abnormal) seperti takut ular, takut kecoa, dan takut air.
Perasaan ini muncul akibat perlakuan orang tua yang suka menakutnakuti anak, sebagai cara orang tua untuk menghukum, atau
menghentikan perilaku anak yang tidak disenanginya.
8. Ingin tahu (curiosity) yaitu perasaan ingin mengenal, mngetahui
segala sesuatu atau objek-objek, baik yang bersifat fisik maupun
nonfisik. Perasaan ini ditandai dengan pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan anak. Seperti anak bertanya tentang darimana dia berasal,
siapa Tuhan, dan dimana Tuhan berada. Masa bertanya (masa haus
nama) ini dimulai pada usia 3 tahun dan mencapai puncaknya pada
usia sekitar 6 tahun (Yusuf, 2009: 167-169).
2.4.3.6 Perkembangan bermain
Menurut Abu Ahmadi (1997), usia anak prasekolah dapat
dikatakan sebagai masa bermain, karena setiap waktunya diisi dengan
kegiatan bermain. Yang dimaksud dengan kegiatan bermain di sini adalah
suatu kegiatan yang dilakukan dengan kebebasan batin untuk memperoleh
kesenangan. Terdapat beberapa macam permainan anak (Yusuf, 2009: 172173), sebagai berikut:
1. Permainan fungsi (permaianan gerak), seperti meloncat-loncat, naik
dan turun tangga, berlari-lari, bermain tali, dan bermain bola.

55

2. Permainan fiksi, seperti menjadikan kursi sebagai kuda, main sekolahsekolahan, dagang-dagangan, perang-perangan, dan masak-masakan.
3. Permainan reseptif atau apresiatif, seperti mendengarkan cerita atau
dongeng, melihat gambar, dan melihat orang melukis.
4. Permainan membentuk (konstruksi), seperti membuat kue dari tanah
liat, membuat gunung pasir, membuat kapal-kapalan dari kertas,
membuat gerobak dari kulit jeruk, membuat bangunan rumah-rumahan
dari potongan-potongan kayu (plastik) dan membuat senjata dari
pelepah daun pisang.
5. Permainan prestasi, seperti sepak bola, bola voli, tenis meja, dan bola
basket.
2.4.3.7 Perkembangan kepribadian
Aspek-aspek perkembangan kepribadian anak itu meliputi hal-hal
1.

berikut:
Dependency and self iImage.
Gaya perlakuan orang tua kepada anak, ternyata sangat
beragam, ada yang terlalu memanjakan, bersikap keras, penerimaan
dan kasih sayang, dan acuh tak acuh (permisif). Masing-masing
perlakuan itu cenderung memberikan dampak yang beragam bagi
kepribadian anak. Anak yang biasa dihukum karena pelanggaran biasa
dengan tidak memberikan kasih sayang atau perhatian kepadanya,
maka anak tersebut cenderung lebih dependen daripada anak yang
cukup dari orangtuanya di rumah, maka dia akan menuntut perhatian
dari guru-guru pada saat dia sudah masuk TK.
Namun apabila perlindungan orang tua itu terlalu berlebihan
(terlalu memanjakan) maka anak cenderung kurang bertanggung jawab

56

dan kurang mandiri (senantiasa meminta bantuan kepada orang lain).


Salah satu penelitian Braumrind (Ambron, 1981) menemukan bahwa
anak yang orang tuanya memberikan pengasuhan atau perawatan yang
penuh kehangatan, dan pemahaman serta memberikan arahan atau
tuntunan (pemberian tugas yang sesuai dengan umurnya), maka anak
akan memilki rasa percaya diri (self-confidence), bersikap ramah,
mempunyai

tujuan

yang

jelas,

dan

mampu

mengontrol

(mengendalikan) dri. Sementara anak yang dikembangkan dalam


keluarga yang memperturutkan semua keinginan anak dan bersikap
permisif, cenderung mengembangkan pribadi anak yang kurang
2.

memiliki arah hidup yang jelas dan kurang percaya diri.


Initiative vs guilt.
Faktor ekternal yang mungkin menghambat perkembangan
inisiatif anak, diataranya:
a. Tuntutan kepada anak di luar kemampuannya.
b. Sikap keras orang tua/guru dalam memperlakukan anak.
c. Terlalu banyak larangan.
d. Anak kurang mendapat dorongan atau peluang untuk berani
mengungkapkan perasaannya, pendapatnya atau keinginannya
(Yusuf, 2009: 173-174).
2.4.3.8 Perkembangan moral
Dalam rangka membimbing perkembangan moral anak prasekolah
ini, sebaiknya orang tua atau guru-guru TK, melakukan upaya-upaya
berikut:
1. Memberikan contoh atau teladan yang baik, dam berperilaku atau
bertutur kata.

57

2. Menanamkan kedisiplinan kepada anak, dalam berbagai aspek


kehidupan, seperti memelihara kebersihan atau kesehatan, dan tatakrama atau berbudi pekerti luhur.
3. Mengembangkan wawasan tentang nilai-nilai moral kepada anak, baik
melalui pemberian informasi, atau melalui cerita, seperti tentang:
riwayat orang-orang yang baik (para nabi dan pahlawan), dunia
binatang yang mengisahkan tentang nilai kejujuran, kedermawan,
kesetiakawanan atau kerajinan (Yusuf, 2009: 175).
2.4.3.9 Perkembangan kesadaran beragama
Kesadaran beragama pada usia pra sekolah menurut Abi
Syamsuddin Makmum (1996) memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Sikap keagamaannya bersifat reseptif (menerima), meskipun banyak
bertanya.
2. Pandangan ketuhanannya bersifat anthropormorph (dipersonifikasikan).
3. Penghayatan secara rohaniah masih superficial (belum mendalam).
4. Hal

ketuhanan

dipahami

secara

ideosyncritic

(menurut

khayalan

pribadinya) sesuai segala taraf berpikirnya yang masih bersifat egosentrik


yaitu memandang segala sesuatu dari sudut dirinya (Yusuf, 2009: 176-177).

2.5 Hubungan stimulasi psikososial dengan kecerdasan emosi anak pra


sekolah (4-6 tahun)
Menurut Bear (1996) dalam bukunya Neuroscience: Exploring the Brain
yang dikutip oleh Mulyata (2008) bahwa hingga saat ini sistem di dalam otak

58

yang dianggap bertanggung jawab untuk perjalanan emosi adalah sistem Limbik.
Tahun 1878, Paul Broca, seorang ahli neurologi Perancis menulis bahwa pada
permukaan medial Cerebrum dari semua mamalia terdapat sekelompok area
kortikal yang jelas berbeda dengan area lain di sekitarnya, Broca kemudian
memberi nama Limbus (tepi) karena berbentuk cincin melingkari batang otak,
nama lengkapnya Lobus Limbicus Broca, yang terdiri atas kortex yang
mengelilingi Corpus Callosum, girus Cinguli dan Hipokampus, ketiganya
menyusun menjadi satu sistem yaitu sistem Limbik. Dari temuan tersebut Broca
belum menyelidiki hubungan antara lobus Limbikus dan emosi, bahkan dia
mengira bahwa lobus Limbikus terlibat dalam mekanisme pembauan.
Fakta saat ini menunjukkan bahwa lobus Limbikus memiliki peran yang
tidak terpisah dengan emosi. Selanjutnya baru antara tahun 1930-an terdapat
bukti-bukti bahwa sistem Limbik terlibat dalam mekanisme emosi. Bercermin
pada temuan Cannon, Bard dan sebagainya, James Papez, seorang ahli neurologi
Amerika, menyarankan adanya suatu sistem emosi yang terletak pada dinding
medial otak, yang menghubungkan korteks dengan hipotalamus. Dalam sistem
tersebut, setiap elemen dihubungkan satu dengan yang lain lewat jalur serabut
besar, sehingga korteks cinguli berhubungan dengan hipotalamus lewat
hipokampus dan forniks. Hipotalamus berhubungan dengan neokorteks lewat
nukleus anterior talami dan korteks cinguli. Selanjutnya Papez percaya bahwa
pengalaman emosi ditetapkan langsung oleh aktivitas korteks cinguli dan secara
tidak langsung oleh area kortikal yang lain. Sedangkan ekspresi emosional
diperkirakan diatur oleh Hipotalamus. Korteks cinguli mengirim proyeksi ke

59

hipokampus, dan hipokampus mengirim proyeksi ke hipotalamus lewat berkas


akson forniks, sedangkan hipotalamus memiliki pengaruh sampai ke korteks lewat
relay di dalam nukleus anterior talami. Sistem tersebut kemudian terkenal
dengan nama sirkuit Papez (Mulyata, 2008).
Penemuan terbaru oleh Le Doux menemukan bahwa amigdala merupakan
sistem emosi tubuh yang mampu bertindak sendiri terlepas dari neokorteks
dengan alur yang dibagi menjadi 2 tergantung pada stimulus yang didapatkannya.

2.4.5.1 Stimulus negatif.


Sinyal yang didapat indra sensoris berjalan ke atas dalam jalur
sensoris menuju Talamus. Sinyal tersebut sedianya berlanjut menuju
korteks sensoris, tetapi sebagian kecil sinyal tersebut dibajak dan
dibelokkan menuju Amigdala, hanya sebagian saja yang terus menuju
korteks sensoris untuk proses kognitif, kemudian berlanjut ke korteks
transisional untuk proses kognitif berikutnya. Amigdala sebagai pusat yang
terlibat dalam perubahan emosi, karena sinyal yang datang bersifat darurat,
Amigdala belum siap dan mengirim sinyal ke hipotalamus, terutama ke
nukleus paraventrikularis. Nukleus hipotalami tersebut merespons sinyal

60

darurat dengan melepas CRF (corticotropin releasing factor) yang juga


bersifat

darurat,

selanjutnya

sinyal

tersebut

mengaktifkan

HPA

(hipotalamo pituitari adrenal) dan sistem saraf otonom (ANS) atau SAM
(simpathetic adrenal medullary)
Respons lewat aksis HPA melepas kortisol dan -endorphin
sedangkan respons yang lewat aksis SAM melepas katekolamin. Sinyal
darurat dari CRF akan memacu pituitaria untuk melepas (dalam hal ini
terutama) ACTH (Adrenocorticotropic Hormon) dan -endorphin. ACTH
masuk ke dalam sirkulasi darah, sampai di adrenal mengaktifkan korteks
adrenal dan melepas glukokortikoid (kortisol) yang kadarnya tinggi dan
bersifat darurat. Kortisol masuk ke dalam sirkulasi darah ke seluruh tubuh
yang dapat menurunkan sistem imun tubuh (Mulyata, 2008).
Sementara sinyal darurat yang menuju ke ANS mengaktifkan
serabut preganglioner simpatis menuju adrenal dan ganti neuron di medula
adrenal, melepas katekolamin yang kadarnya tinggi dan bersifat darurat,
selanjutnya katekolamin masuk ke dalam sirkulasi darah mengalir ke
seluruh tubuh. Katekolamin menyebabkan vasokonstriksi sistemik dan
kardiak inotropik yang menyebabkan peningkatan tekanan darah dan
denyut jantung.
2.4.5.2 Stimulus positif.

61

Emosi positif dapat menghambat kortisol secara berlebihan melalui


alur sebagai berikut:
1. Respon emosi positif diterima oleh batang otak. Setelah diformat
dengan bahasa otak, kemudian ia ditransmisikan ke talamus. Talamus
kemudian mengontak hippocampus dan amigdala untuk mensekresi
GABA dan menghambat asetilkoline, serotonin dan neurotransmitter
eksitasi yang lain. Selain itu talamus juga mengontak prefrontal kiri
dan kanan sebagai pengelola emosi dengan cara mensekresi dopamin
dan menghambat sekresi serotonin dan norepinefrin.
2. Peranan Gamma Amino Butiric Acid (GABA) pada gangguan ini
berbeda dengan norepinefrin. Norepinefrin bersifat merangsang
timbulnya anxietas dan stres, sedangkan Gamma Amino Butiric Acid
atau GABA bersifat menghambat terjadinya anxietas dan stres.
3. Setelah terjadi kontak timbal balik antara talamus-hipocampusamigdala-prefrontal

kiriprefrontal

kanan,

talamus

kemudian

mengontak hipotalamus. Kontak ini menyebabkan sekresi enkepalin


dan mengendalikan endorfin untuk menghambat sekresi CRF.
Kemudian CRF mengendalikan HPA untuk mengendalikan ACTH.
4. Terkendalinya sekresi ACTH menyebabkan pula sekresi kortisol oleh
korteks adrenal yang juga terkendali. Jika pengendalian sekresi kortisol
terjadi

secara

berlebihan,

kortisol

tidak

bertindak

sebagai

imunosupresif, tetapi berperan sebagai mobilisator energi dan reaksi


adaptif sistem tubuh (coping).

62

Morrison (1998) menyatakan bahwa stimulasi berperan penting dalam


tahun-tahun awal. Sedangkan menurut Nash, pasca kelahiran, kegiatan otak
dipengaruhi dan tergantung pada kegiatan neuron dan cabang-cabangnya dalam
membentuk bertriliun-triliun sambungan antar neuron. Melalui persaingan alami,
sambungan-sambungan yang tidak atau jarang digunakan akan mengalami atrofi.
Pemantapan sambungan akan terjadi apabila neuron mendapatkan informasi yang
mampu

menghasilkan

letupan-letupan

listrik.

Letupan

ini

merangsang

bertambahnya produksi myelin oleh zat perekat glial. Semakin banyaknya zat
myelin yang diproduksi maka semakin banyak dendrit-dendrit yang tumbuh,
sehingga akan semakin banyak neuron-neuron yang menyatu membentuk unitunit. Kualitas kemampuan otak dalam menyerap dan mengolah informasi
tergantung dari banyaknya neuron yang membentuk unit-unit. Synaps akan
bekerja secara cepat sampai usia anak 5-6 tahun. Banyaknya jumlah sambungan
tersebut mempengaruhi kualitas kemampuan otak sepanjang hidup. Pertumbuhan
jumlah jaringan otak dipengaruhi oleh pengalaman yang didapat anak pada awalawal kehidupannya, termasuk pengalaman menyenangkan (Mashar, 2011: 116).
Kemampuan otak yang dipengaruhi oleh kegiatan neuron tidak bersifat
spontan, tetapi dipengaruhi oleh mutu dan frekuensi stimulasi yang diterima indra.
Struktur fisik otak anak dipengaruhi oleh stimulasi yang diterima pada tahuntahun pertama dan hal ini relatif menetap hingga masa-masa kehidupan
selanjutnya. Implikasinya adalah bahwa anak yang tidak mendapatkan lingkungan
yang merangsang pertumbuhan otak atau tidak mendapatkan stimulasi psikososial
seperti jarang disentuh atau jarang diajak bermain, akan mengalami kelambatan
perkembangan dibanding anak seusia yang mendapatkan cukup stimulasi.

63

Kelambatan ini tidak saja dalam hal kecerdasan, tetapi juga berpengaruh terhadap
pembentukan kepribadian anak khususnya sisi emosionalnya (Mashar, 2011: 116117).
Menurut Santrock (2007: 327-330), kecerdasan emosional dipengaruhi
oleh faktor genetik dan lingkungan. Saat ini, sebagian besar peneliti setuju bahwa
faktor keturunan tidak menentukan kecerdasan, meskipun dukungan genetik
mungkin mempengaruhi kemampuan intelektual seseorang, namun yang lebih
penting adalah pengaruh-pengaruh lingkungan dan kesempatan yang kita sediakan
bagi anak akan membuat perbedaan. Menurut Goleman (2007: xv), pelajaranpelajaran emosi yang diperoleh semasa kanak-kanak, di rumah dan lingkungan
sekitar akan membentuk sirkuit-sirkuit emosi, membuat kita cakap atau tidak
cakap dalam hal dasar-dasar kecerdasan emosional. Lebih lanjut, Goleman (2007:
271, 276) menyatakan bahwa peranan orang tua yang terampil secara emosional
dapat sangat membantu anak dengan memberi dasar ketrampilan emosional
seperti bagaimana mengenali, mengelola, dan memanfaatkan perasaan-perasaan;
berempati, dan menangani perasaan-perasaan yang muncul dalam hubunganhubungan mereka. Semua pergaulan kecil antara orang tua dengan anaknya
mempunyai makna emosional tersembunyi dan dalam pengulangan pesan-pesan
ini selama bertahun-tahun, anak-anak membentuk inti pandangan serta
kemampuan emosionalnya.
Pengalaman di tahun-tahun awal kehidupan yang berisikan penyangkalan,
penyia-nyiaan, pembantahan yang seringkali terulang di masa kanak-kanak akan
menimbulkan sejumlah pesan emosional paling mendasar seumur hidup, sebagai
suatu pelajaran yang dapat menentukan arah kehidupan. Sebab kehidupan

64

keluarga dan terutama interaksi antara anak dengan ibu merupakan sekolah
pertama untuk mempelajari emosi. Dalam lingkungan yang akrab ini, manusia
belajar bagaimana merasakan perasaannya sendiri dan bagaimana orang lain
menanggapi perasaan tersebut; bagaimana berpikir tentang perasaannya dan
pilihan-pilihan apa yang dimilikinya untuk bereaksi serta bagaimana membaca
serta mengungkapkan harapan dan rasa takut (Goleman, 2007: 242).

65
2.6 Kerangka Teori
Kerangka teori merupakan hasil resume dalam bentuk skema terhadap teori yang dipelajari yang mendasari masalah riset
yang akan dilaksanakan (LP2M Stikes Bina Sehat PPNI Mojokerto, 2011).
Manfaat kecerdasan sosial emosi:
1. Mampu mengenali dan merasakan emosinya
2. Toleransi tinggi terhadap frustasi dan pengelolaan
amarah
3. Lebih bertanggung jawab
4. Lebih mampu menerima sudut pandang orang lain
5. Mampu menganalisis dan memahami hubungan

Stimulasi psikososial

Alat indera

Saraf sensoris

Talamus

Korteks sensoris

Neokorteks

Amigdala
Hipocampus

Hipotalamus

Korteks prefrontal
Stimulus positif
Sekresi enkephalin dan endorphin
Kortisol
Mobilisator energi dan coping

Stimulus negatif
CRF
Kortisol dan katekolamin

Kecerdasan sosial emosi


anak usia pra sekolah
(4.6 tahun):
1. Regulasi pribadi
2. Komunikasi
3. Pertemanan
4. Fungsi adaptif
5. Otonomi
6. Afeksi
7. Interaksi dengan orang
lain

Vasokonstriksi, kardiak inotropik, sistem imun

Gambar 2.1 Kerangka teori hubungan stimulasi psikososial dengan kecerdasan sosial emosi anak pra sekolah (4-6 tahun) di
Desa Nglebur Kecamatan Kedungpring Kabupaten Lamongan

66

2.7 Kerangka Konseptual


Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah kerangka hubungan
antara konsep-konsep yang ingin diamati atau diukur melalui penelitian yang akan
dilakukan (Notoatmodjo, 2010: 100).
Anak usia pra sekolah
(4-6 tahun)

Faktor internal yang


mempengaruhi
kecerdasan sosial
emosi:
1.
Ras, etnis,
bangsa
2.
Umur
3.
Jenis

Kecerdasan emosi
anak usia pra sekolah
(4.6 tahun):
1. Regulasi pribadi
2. Komunikasi
3. Pertemanan
4. Fungsi adaptif
5. Otonomi
6. Afeksi
7. Interaksi dengan orang
lain

Normal

Tinggi
>persentil 85
Keterangan:

: diteliti

Faktor eksternal yang


mempengaruhi
kecerdasan sosial emosi:
1.
Status sosial
ekonomi
2.
Komunikasi
orang tua-anak
3.
Dukungan orang
tua
5. Stimulasi
psikososial:
a.
Stimulasi
b.
Kehangatan dan
penerimaan
c.
Stimulasi
akademik
(persiapan
sekolah)
d.
Hukuman fisik
e.
Lingkungan fisik

Terlambat

Sedang
persentil 15-85

Rendah
<persentil 15

: tidak diteliti

Gambar 2.2 Kerangka konsep hubungan stimulasi psikososial dengan


kecerdasan sosial emosi anak pra sekolah (4-6 tahun) di
Desa Nglebur Kecamatan Kedungpring Kabupaten
Lamongan

Sedang
Tinggi
Rendah

67

2.8 Hipotesis
Hipotesis dapat diartikan sebagai suatu jawaban yang bersifat
sementara terhadap permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data
yang terkumpul (Arikunto, 2010: 110).
Ho : Tidak ada hubungan stimulasi psikososial dengan kecerdasan sosial
emosi anak pra sekolah (4-6 tahun) di Desa Nglebur Kecamatan
Kedungpring Kabupaten Lamongan.
H : Ada hubungan stimulasi psikososial dengan kecerdasan sosial emosi
anak pra sekolah (4-6 tahun) di Desa Nglebur Kecamatan
Kedungpring Kabupaten Lamongan.

BAB 3
METODE PENELITIAN

68

Pada bab ini akan disajikan antara lain: desain atau rancangan penelitian,
populasi, sampel dan sampling, identifikasi variabel penelitian dan definisi
operasional, prosedur penelitian, pengumpulan data, analisis data, etika penelitian
dan keterbatasan.

3.1 Desain Penelitian


Desain penelitian adalah hasil akhir suatu tahap keputusan yang dibuat
peneliti berhubungan dengan bagaimana suatu penelitian bisa diterapkan
(Nursalam, 2008: 77). Desain penelitian merupakan rencana yang disusun
sedemikian rupa, sehingga peneliti dapat memperoleh jawaban terhadap
pertanyaan

penelitian.

Peneliti

menggunakan

desain

penelitian

analitik

korelasional.
Pendekatan yang digunakan adalah case control. Pendekatan case control
menyangkut bagaimana faktor risiko dipelajari dengan menggunakan pendekatan
retrospective. Dengan kata lain, efek diidentifikasi pada saat ini, kemudian faktor
risiko diidentifikasi terjadinya pada waktu yang lalu (Notoatmodjo, 2010: 150).
Penelitian case control (kasus control) merupakan penelitian epidemiologis
analitik observasional yang menelaah hubungan antara efek (penyakit atau kondisi
kesehatan) tertentu dengan faktor risiko tertentu. Studi dimulai dengan
mengidentifikasi kelompok dengan efek atau penyakit tertentu (kasus) dan
kelompok tanpa efek (kontrol); kemudian secara retrospektif diteliti faktor risiko

69

yang dapat menerangkan mengapa kasus terkena efek, sedangkan kontrol tidak
(Sastroasmoro dan Ismael, 2008: 127-128).
Stimulasi psikososial
Tinggi
Sedang

Retrospektif

Kecerdasan
emosi
(kasus)

Rendah
Sampel
Tinggi
Sedang

Retropektif

Kecerdasan
emosi
(kontrol)

Rendah

Gambar 3.1 Rancang bangun penelitian hubungan stimulasi psikososial


dengan kecerdasan sosial emosi anak pra sekolah (4-6 tahun)
di Desa Nglebur Kecamatan Kedungpring Kabupaten
Lamongan
3.2 Populasi, Sampling dan Sampel
3.2.1

Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek

yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2009: 61).
Populasi didefinisikan sebagai elompok subjek yang hendak dikenai generalisasi
hasil penelitian (Azwar, 2010: 77). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh
ibu yang memiliki anak pra sekolah (4-6 tahun) dan anaknya di Desa Nglebur
Kecamatan Kedungpring Kabupaten Lamongan 52 orang.

70

3.2.2

Sampling
Teknik sampling adalah cara atau teknik-teknik tertentu dalam mengambil

sampel penelitian, sehingga sampel tersebut sedapat mungkin mewakili


populasinya (Notoatmodjo, 2010: 115-116). Teknik non probability sampling tipe
purposive sampling, yaitu suatu teknik penetapan sampel dengan cara memilih
sampel diantara populasi sesuai dengan yang dikehendaki peneliti (tujuan atau
masalah dalam penelitian), sehingga sampel tersebut dapat mewakili karakteristik
populasi yang telah dikenal sebelumnya (Nursalam, 2008: 94).
Pada penelitian ini menggunakan non probability sampling tipe purposive
sampling, yaitu setiap responden yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak
tergolong kriteria eksklusi dimasukkan dalam sampel penelitian.
3.2.3

Sampel
Sampel penelitian adalah objek yang diteliti dan dianggap mewakili

seluruh populasi (Notoatmodjo, 2010: 115). Sampel adalah bagian dari jumlah dan
karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Setiawan dan Saryono, 2010: 89).
Dalam penelitian ini, sampel yang digunakan adalah sebagian ibu yang memiliki
anak pra sekolah (4-6 tahun) dan anaknya di Desa Nglebur Kecamatan
Kedungpring Kabupaten Lamongan yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 48
orang.

3.2.3.1 Kriteria inklusi

71

Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian dari


suatu populasi target yang terjangkau dan akan diteliti (Nursalam, 2008:
92). Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah:
1. Ibu berpendidikan minimal SMP.
2. Anak usia pra sekolah (4-6 tahun) memiliki status kesehatan baik.
3. Anak yang memiliki riwayat persalinan normal.
3.2.3.2 Kriteria eksklusi
Kriteria eksklusi adalah menghilangkan atau mengeluarkan subjek
yang memenuhi kriteria inklusi dari studi karena pelbagai sebab
(Nursalam, 2008: 92). Adapun kriteria eksklusi dalam penelitian ini
adalah:
1. Ibu yang memiliki anak pra sekolah (4-6 tahun) dan anaknya yang
tidak tinggal serumah.
2. Ibu dan anak sempat tidak tinggal serumah sebelum anak berusia 4-6
tahun minimal satu bulan.
3. Ibu tidak secara langsung mengasuh anak, sebab anak diasuh oleh
pengasuh anak.

3.3 Identifikasi Variabel Penelitian dan Definisi Operasional


3.3.1

Identifikasi variabel penelitian


Variabel adalah perilaku atau karakteristik yang memberikan nilai beda

terhadap sesuatu (benda, manusia, dan lain-lain) (Soeparto, dkk, 2000: 54). Ciri

72

yang dimiliki oleh anggota suatu kelompok (orang, benda, situasi) berbeda dengan
yang dimiliki oleh kelompok tersebut (Rafii, 1985) (Nursalam, 2008: 97).
Variabel dalam penelitian ini dibagi menjadi 2, yaitu variabel bebas
(independent variable) dan variabel tergantung (dependent variable).
3.3.1.1 Variabel independen (bebas)
Variabel bebas adalah variabel yang nilainya menentukan variabel
lain. Variabel bebas biasanya dimanipulasi, diamati dan diukur untuk
diketahui hubungannya

atau

pengaruhnya

terhadap variabel

lain

(Nursalam, 2008: 97). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah stimulasi
psikososial pada anak pra sekolah (4-6 tahun).
3.3.1.2 Variabel dependen (terikat/tergantung)
Variabel dependen adalah variabel yang nilainya ditentukan oleh
variabel lain. Variabel respons akan muncul sebagai akibat dari manipulasi
variable-variabel lain (Nursalam, 2008: 98). Variabel dependen dalam
penelitian ini adalah kecerdasan sosial emosi anak pra sekolah (4-6 tahun).
3.3.2

Definisi operasional
Definisi operasional adalah suatu definisi mengenai variabel yang

dirumuskan berdasarkan karakteristik-karakteristik variabel tersebut yang dapat


diamati (Azwar, 2010: 74). Definisi operasional dibuat untuk memudahkan
pengumpulan data dan menghindarkan perbedaan interpretasi serta membatasi
ruang lingkup variabel (Setiawan dan Saryono, 2010: 104).

73

Tabel 3.1 Definisi operasional hubungan stimulasi psikososial dengan


kecerdasan sosial emosi anak pra sekolah (4-6 tahun) di Desa
Nglebur Kecamatan Kedungpring Kabupaten Lamongan
Variabel

Definisi
operasional

Indikator

Independen:
Stimulasi
psikososial

Keberadaan
a.
lingkungan rumah
yang mampu
b.
pada anak memberikan
pra sekolah stimulasi pada
(4-6 tahun) anak usia 4-6
tahun secara
c.
sosial emosional
yang dihasilkan
dari ikatan penuh
kasih antara ibu
dan anak
d.
e.
Dependen:
Kecerdasan
sosial emosi
anak pra
sekolah (4-6
tahun)

Kemampuan anak
usia 4-6 tahun
untuk merasakan
dan
mengekspresikan
emosi diri dan
memahami emosi
orang lain dengan
tepat

Alat
ukur

Skala

Skor dan
Kriteria

Stimulas Kuesioner Ordinal Skor:


i
HOME-SF
Sesuai: 1
Kehanga (Strauss
Tidak sesuai: 0
tan dan dan Knight,
penerim 2009: 2)
Kriteria:
aan
Tinggi: nilai
dan
Stimulas observasi
persentil >85
i
Sedang: nilai
akademi
persentil 15-85
k
Rendah: nilai
(persiap
persentil <15
an
sekolah)
Hukuma
n fisik
Lingkun
gan fisik
1. R Kuesioner Ordinal Skor:
Seringkali: 0
e ASQ SE
Kadang-kadang:
g (Squires,
5
u dkk., 2002)
Jarang/tidak
l
pernah: 10
a
Sangat
s
diperhatikan: 5

i
p
r
i
b
a
d
i
2. K
o
m
u
n
i
k
a
s
i

Kriteria:
1. Normal:
42-53 bl: <70
54-72 bl: <70
2. Terlambat:
42-53 bl: >70
54-72 bl: >70

74

3. P
e
r
t
e
m
a
n
a
n
4. F
u
n
g
s
i
a
d
a
p
t
i
f
5. O
t
o
n
o
m
i
6. A
f
e
k
s
i
7. I
n
t
e
r
a
k
s
i
d

75

e
n
g
a
n
o
r
a
n
g
l
a
i
n
3.4 Prosedur penelitian
Langkah-langkah dalam pengumpulan data yaitu: diawali setelah
mendapatkan ijin dari pihak STIKES Bina Sehat PPNI Kabupaten Mojokerto
khususnya Program Studi S1 Keperawatan untuk mengadakan penelitian. Peneliti
meminta ijin kepada Kepala Desa Nglebur Kecamatan Kedungpring Kabupaten
Lamongan untuk mengadakan penelitian di tempat tersebut.
Setelah mendapatkan ijin, peneliti kemudian meminta data dari Kepala
Desa Nglebur melalui Bidan Desa setempat tentang jumlah anak usia pra sekolah
(4-6 tahun) yang terbaru dan didapatkan data sebanyak 52 orang. Selanjutnya
berdasarkan data yang ada, peneliti melakukan kunjungan rumah. Setelah bertemu
dengan calon responden yaitu ibu dan anak usia pra sekolah (4-6 tahun), peneliti
menjelaskan maksud dan tujuan penelitian lalu memilih responden berdasarkan
kriteria yang telah ditetapkan. Responden anak diwakili oleh ibu yang
bersangkutan. Jika terdapat calon responden yang sesuai dengan kriteria

76

didapatkan, lalu peneliti melakukan pendekatan pada responden untuk


mendapatkan persetujuan dari calon responden tersebut (informed consent). Bila
calon responden bersedia, ia diminta menandatangani lembar pernyataan
persetujuan responden yang telah ada.
Responden ibu selanjutnya dikaji stimulasi psikososial yang diberikannya
pada anak dengan memberikan kuesioner pada item yang diisi oleh ibu dan
melakukan observasi kondisi rumah pada item yang memerlukan observasi.
Setelah itu, ibu diminta bantuannya untuk mengisi kuesioner kecerdasan emosi
anak pra sekolah (4-6 tahun).
Setelah diisi lalu dikumpulkan kembali dan diperoleh jumlah responden
sebanyak 48 orang sebab 4 orang lainnya tidak memenuhi kriteria inklusi yaitu
ibu berpendidikan SD. Setelah semua data terkumpul, lalu dilakukan pengolahan
dan analisis data.

Kerangka kerja adalah pentahapan atau langkah-langkah dalam aktifitas


ilmiah, mulai dari penetapan populasi, sampel dan seterusnya, yaitu kegiatan sejak
awal penelitian akan dilaksanakan (Nursalam, 2008: 55).
Populasi
Seluruh ibu yang memiliki anak pra sekolah (4-6 tahun) dan anaknya di Desa Nglebur
Kecamatan Kedungpring Kabupaten Lamongan sebanyak 52 orang

Sampling
Menggunakan non probability sampling tipe purposive sampling

Sampel
Sebagian ibu yang memiliki anak pra sekolah (4-6 tahun) dan anaknya di Desa
Nglebur Kedungpring Lamongan yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 48 orang

77

Pengumpulan data

Stimulasi psikososial
Kuesioner HOME-SF dan observasi

Kecerdasan sosial emosi


Kuesioner ASQ SE

Analisa data
Setelah data terkumpul, dilakukan pengolahan dan analisis data dengan menggunakan
uji statistik Spearmans rho
Penyajian data terdiri dari data umum dan data khusus dalam bentuk tabel

Desiminasi hasil penelitian

Hubungan stimulasi psikososial dengan kecerdasan sosial emosi anak pra


sekolah (4-6 tahun) di Desa Nglebur Kecamatan Kedungpring Kabupaten
Lamongan
Gambar 3.2 Kerangka kerja hubungan stimulasi psikososial dengan
kecerdasan sosial emosi anak pra sekolah (4-6 tahun) di Desa
Nglebur Kecamatan Kedungpring Kabupaten Lamongan
3.5 Pengumpulan Data
3.5.1

Instrumen penelitian
Dalam penelitian ini instrumen yang digunakan untuk mengidentifikasi

variabel stimulasi psikososial oleh ibu adalah kuesioner HOME-SF dan observasi.
Pada HOME-SF untuk kanak-kanak awal (3-5,11 bulan), terdapat dua sub skala
yaitu sub skala kognitif dan sub skala emosional yang dibagi lagi dalam lima
indikator, yaitu: stimulasi, kehangatan dan penerimaan, stimulasi akademik
(persiapan sekolah), hukuman fisik, dan lingkungan fisik (Mariner, dkk., 1998: 1).

78

Sedangkan instrumen untuk pengambilan data kecerdasan sosial emosi


dilakukan dengan menggunakan kuesioner ASQ-SE untuk anak usia 4-6 tahun.
Kuesioner atau angket adalah daftar pertanyaan yang diberikan kepada orang lain
agar bersedia memberikan respon sesuai permintaan pengguna dan lain-lainnya
(Riduwan, 2008: 2).
3.5.2

Tempat dan waktu


Penelitian ini dilakukan di Desa Nglebur Kecamatan Kedungpring

Kabupaten Lamongan. Penelitian dilaksanakan mulai tanggal 2 Nopember 2011


hingga tanggal 30 Juni 2012.

3.6 Analisis Data


Dalam melakukan analisis data, terlebih dahulu data harus diolah dengan
tujuan mengubah data menjadi informasi. Dalam statistik, informasi yang
diperoleh dipergunakan untuk proses pengambilan keputusan, terutama dalam
pengujian hipotesis. Dalam proses pengolahan data terdapat langkah-langkah awal
yang harus ditempuh, diantaranya:
3.6.1

Editing
Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang

diperoleh atau dikumpulkan. Editing dapat dilakukan pada tahap pengumpulan


data atau setelah data terkumpul (Hidayat, 2010: 121). Memeriksa kembali isi
kuesioner berkaitan dengan kelengkapan jawaban, keterbukaan tulisan, kesesuaian
jawaban, dan keseragaman suatu ukuran. Selain itu untuk mengecek kembali data
yang diperlukan apakah sudah lengkap atau masih ada kekurangan.

79

3.6.2

Coding atau klasifikasi


Coding merupakan kegiatan pemberian kode numerik (angka) terhadap

data yang terdiri atas beberapa kategori. Pemberian kode ini sangat penting dan
biasanya dalam pemberian kode dibuat juga daftar kode dan artinya dalam satu
buku untuk memudahkan kembali melihat lokasi dan arti suatu kode dari suatu
variabel (Hidayat, 2010: 121).
Coding dalam penelitian ini adalah:
1.
2.
3.

3.6.2.1 Stimulasi psikososial:


Tinggi: kode 1
Sedang: kode 2
Rendah: kode 3
3.6.2.2 Kecerdasan sosial emosi:
1. Normal: kode 1
2. Terlambat: kode 2
3.6.3 Scoring
Memberikan skor pada item-item yang perlu diberi skor (Arikunto, 2010:
279).
Scoring untuk variabel independen (stimulasi psikososial) adalah: sesuai
(skor 1) dan tidak sesuai (skor 0).
Scoring untuk variabel dependen (kecerdasan sosial emosi anak pra
sekolah (4-6 tahun) adalah sebagai berikut: seringkali (skor 0), kadang-kadang
(skor 5), jarang atau tidak pernah (skor 10) dan sangat diperhatikan (skor 5).
3.6.4

Tabulating
Merupakan proses data entry, yaitu memasukkan data yang telah

dikumpulkan ke dalam master table (Hidayat, 2010: 122). Pekerjaan tabulasi


adalah pekerjaan membuat tabel. Jawaban-jawaban yang sudah diberi kode

80

kategori dan skor kemudian dimasukkan dalam tabel (Narbuko dan Achmadi,
2002: 155).
Tabulasi dilakukan dengan cara memasukkan semua data responden baik
data umum maupun data khusus ke dalam master table.
3.6.5

Analisis data

3.6.5.1 Variabel independen.


Batasan skor dikategorikan sebagai rendah, sedang dan tinggi pada
persentil 15 dan 85. Artinya kategori rendah jika memiliki nilai persentil
<15, sedang jika memiliki nilai persentil 15-85, dan tinggi jika memiliki
nilai >85 (Strauss dan Knight, 2009: 2).

Rumus persentil:
Pp = L + b(S-L)
Posisi persentil: Pp pada data ke p(n+1)/100
Keterangan:
P = 1, 2, 3, 4, , 99
n = jumlah pengamatan
Pp = persentil ke
L = nilai sebelum Pp
S = nilai dimana Pp berada
b = kekurangan unit untuk mencapai Pp
3.6.5.2 Variabel dependen.

81

Setelah mendapatkan total skor lalu dibandingkan dengan nilai cut


off point di bawah ini:
1.

Usia 42 bulan-53 bulan:


< 70: normal
> 70: terlambat

2.

Usia 54 bulan-72 bulan:


< 70: normal
> 70: lambat
(Squires, dkk., 2002)

3.6.5.3 Analisis data


Setelah semua data dianalisis pada tiap variabelnya, maka untuk
mencari adanya hubungan antara variabel independen dengan variabel
dependen, maka dilakukan uji statistik Spearmans rho, dengan ketentuan
Ho ditolak apabila sig. (2 tailed) (p) < (0,05). Uji statistik menggunakan
bantuan program SPSS versi 17.0.
Syarat penggunaan uji Spearmans rho adalah:
1.

Digunakan untuk mengukur tingkat atau eratnya hubungan antara dua


variabel atau pada tujuan penelitian analitik korelasional.

2.

Kedua variabel berskala ordinal.

3.

Dilakukan pada sampel yang independen (Hidayat, 2010: 140).


Tabel 3.2 Interpretasi nilai r
Interval koefisien
>0,8
0,6 0,79
0,4 0,59

Kekuatan hubungan
Baik
Sedang
Lemah

82

<0,4
Sangat lemah
Sumber: Sastroasmoro dan Ismael (2008: 324)

3.7 Etika Penelitian


Masalah etika dalam penelitian merupakan masalah yang sangat penting
dalam penelitian keperawatan mengingat penelitian akan berhubungan langsung
dengan manusia, maka segi etika penelitian harus diperhatikan karena manusia
mempunyai hak asasi dalam kegiatan penelitian (Hidayat, 2010: 93-95).
3.7.1

Informed consent
Merupakan cara persetujuan antara peneliti dengan responden penelitian

dengan memberikan lembar persetujuan (informed consent). Informed consent


tersebut diberikan sebelum penelitian dilakukan dengan memberikan lembar
persetujuan untuk menjadi responden. Tujuan informed consent adalah agar
subjek mengerti maksud dan tujuan penelitian, mengetahui dampaknya, jika
subjek bersedia, maka mereka harus menandatangani lembar persetujuan dan jika
responden tidak bersedia, maka peneliti harus menghormati hak pasien. Dalam
penelitian ini tidak terdapat responden yang tidak bersedia menjadi responden
penelitian dan menolak menandatangani informed consent.
3.7.2

Anonimity
Merupakan masalah etika dalam penelitian dengan cara tidak memberikan

nama responden pada lembar alat ukur hanya menuliskan kode pada lembar
pengumpulan data.
3.7.3

Confidentiality

83

Merupakan masalah etika dengan menjamin kerahasiaan dari hasil


penelitian baik informasi maupun masalah-masalah lainnya, semua informasi
yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaan oleh peneliti, hanya kelompok data
tertentu yang akan dilaporkan pada hasil riset.

3.6

Keterbatasan
Dalam penelitian ini keterbatasan yang dihadapi adalah:

3.6.1

Kuesioner yang diberikan pada responden sifatnya sangat subjektif,


sehingga sangat tergantung pada penilaian responden terhadap apa yang
telah dilakukannya pada anak baik untuk stimulasi psikososial maupun
kecerdasan emosi.

3.6.2

Kuesioner yang digunakan berasal dari bahasa asing yaitu bahasa Inggris,
sehingga dapat mempunyai kekurangan dalam penerjemahan ke dalam
bahasa Indonesia yang mengurangi arti sebenarnya dan menyebabkan

3.6.3

pengambilan data kurang valid.


Beberapa responden membutuhkan beberapa kali kunjungan karena jarang
ada di rumah, sehingga cukup memperlambat jalannya penelitian.

84

BAB 4
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini diuraikan hasil penelitian dan pembahasan. Hasil penelitian
dibagi menjadi gambaran lokasi penelitian, data umum dan data khusus. Data
umum menampilkan karakteristik responden, yaitu umur anak, jenis kelamin
anak, kedekatan anak, status tempat tinggal anak, dan pemberian ASI eksklusif.
Data khusus adalah data tentang hubungan stimulasi psikososial dengan
kecerdasan sosial emosi anak pra sekolah (4-6 tahun) di Desa Nglebur Kecamatan
Kedungpring Kabupaten Lamongan.

4.1 Hasil Penelitian


4.1.1

Gambaran lokasi penelitian

85

Penelitian ini dilakukan di Desa Nglebur Kecamatan Kedungpring


Kabupaten Lamongan pada tanggal 11-30 Juni 2012.
Desa Nglebur berbatasan sebelah utara dengan persawahan, sebelah
barat dengan Desa Majenang, sebelah timur dengan Desa Jati dan sebelah
selatan dengan tambak. Desa Nglebur Kecamatan Kedungpring Kabupaten
Lamongan memiliki sebanyak 232 Kepala Keluarga (KK). Tenaga
kesehatan yang ada di desa ini diantaranya 1 perawat dan 1 bidan,
sedangkan fasilitas kesehatan yang tersedia hanyalah 1 klinik.

4.1.2

Data umum
Data umum berisi karakteristik responden berdasarkan umur anak, jenis

kelamin anak, kedekatan anak, status tempat tinggal anak, dan pemberian ASI
eksklusif.
4.1.2.1 Karakteristik responden berdasarkan umur anak.
Tabel 4.1 Distribusi frekuensi responden berdasarkan umur anak di
Desa Nglebur Kecamatan Kedungpring Kabupaten
Lamongan tanggal 11-30 Juni 2012
No
1.
2.

Umur anak
2-53 bulan
54-72 bulan
Total

Frekuensi
11
37
48

Prosentase
22,9
77,1
100

Berdasarkan tabel 4.1 diketahui bahwa sebagian besar responden


berumur 54-72 bulan sebanyak 37 responden (77,1%).
4.1.2.2 Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin anak.

86

Tabel 4.2 Distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin


anak di Desa Nglebur Kecamatan Kedungpring Kabupaten
Lamongan tanggal 11-30 Juni 2012
No
1.
2.

Jenis kelamin anak


Laki-laki
Perempuan
Total

Frekuensi
18
30
48

Prosentase
37,5
62,5
100

Berdasarkan tabel 4.2 diketahui bahwa sebagian besar dari


responden adalah perempuan sebanyak 30 responden (62,5%).

4.1.2.3 Karakteristik responden berdasarkan kedekatan anak.


Tabel 4.3 Distribusi frekuensi responden berdasarkan kedekatan
anak di Desa Nglebur Kecamatan Kedungpring Kabupaten
Lamongan tanggal 11-30 Juni 2012
No
1.
2.
3.
4.
5.

Kedekatan anak
Ibu
Ayah
Nenek/kakek/saudara lain
Pengasuh
Teman
Total

Frekuensi
21
6
18
3
0
48

Prosentase
43,8
12,5
37,5
6,3
0
100

Berdasarkan tabel 4.3 diketahui bahwa sebagian besar responden


dekat dengan ibu sebanyak 21 responden (43,8%).
4.1.2.4 Karakteristik responden berdasarkan status tempat tinggal.
Tabel 4.4 Distribusi frekuensi responden berdasarkan status tempat
tinggal di Desa Nglebur Kecamatan Kedungpring
Kabupaten Lamongan tanggal 11-30 Juni 2012
No
1.

Status tempat tinggal


Tinggal hanya dengan
orang tua

Frekuensi
29

Prosentase
60,4

87

2.

Tinggal bersama keluarga


lain (kerabat)
Total

19

39,6

48

100

Berdasarkan tabel 4.4 diketahui bahwa sebagian besar responden


tinggal hanya dengan orang tua sebanyak 29 responden (60,4%).

4.1.2.5 Karakteristik responden berdasarkan pemberian ASI eksklusif.


Tabel 4.5 Distribusi frekuensi responden berdasarkan pemberian
ASI eksklusif di Desa Nglebur Kecamatan Kedungpring
Kabupaten Lamongan tanggal 11-30 Juni 2012
No
1.
2.

Pemberian ASI eksklusif


Memberikan
Tidak memberikan
Total

Frekuensi
11
37
48

Prosentase
22,9
77,1
100

Berdasarkan tabel 4.5 diketahui bahwa sebagian besar responden


tidak memberikan ASI eksklusif sebanyak 37 responden (77,1%).
4.1.3
Data khusus
4.1.3.1 Stimulasi psikososial pada anak pra sekolah (4-6 tahun) di Desa Nglebur
Kecamatan Kedungpring Kabupaten Lamongan.
Tabel 4.6 Distribusi frekuensi stimulasi psikososial di Desa Nglebur
Kecamatan Kedungpring Kabupaten Lamongan tanggal
11-30 Juni 2012
No
1.
2.
3.

Stimulasi psikososial
Tinggi
Sedang
Rendah

Frekuensi
7
36
5

Prosentase
14,6
75,0
10,4

88

Total

48

100

Berdasarkan tabel 4.6 diketahui bahwa sebagian besar responden


memberikan stimulasi psikososial sedang sebanyak 36 responden (75,0%).

4.1.3.2 Kecerdasan sosial emosi anak pra sekolah (4-6 tahun) di Desa Nglebur
Kecamatan Kedungpring Kabupaten Lamongan.
Tabel 4.7 Distribusi frekuensi kecerdasan sosial emosi anak pra
sekolah (4-6 tahun) di Desa Nglebur Kecamatan
Kedungpring Kabupaten Lamongan tanggal 11-30 Juni 2012
No
1.
2.

Kecerdasan sosial emosi


Normal
Terlambat
Total

Frekuensi
16
32
48

Prosentase
33,3
66,7
100

Berdasarkan tabel 4.7 diketahui bahwa sebagian besar responden


mempunyai kecerdasan sosial emosi terlambat sebanyak 32 responden
(66,7%).
4.1.3.3 Hubungan stimulasi psikososial dengan kecerdasan sosial emosi anak pra
sekolah (4-6 tahun) di Desa Nglebur Kecamatan Kedungpring Kabupaten
Lamongan.
Tabel 4.8 Tabulasi silang stimulasi psikososial dengan kecerdasan
sosial emosi anak pra sekolah (4-6 tahun) di Desa Nglebur
Kecamatan Kedungpring Kabupaten Lamongan tanggal
11-30 Juni 2012

89

Stimulasi
psikososial
Tinggi
Sedang
Rendah
Total
Berdasarkan

Kecerdasan sosial emosi


Normal
Terlambat
f
%
f
%
7
14,6
0
0
9
18,8
27
56,3
0
0
5
10,4
16
33,3
32
66,7
tabel

4.8

diketahui

bahwa

Total
f
7
36
5
48

%
14,6
75,0
10,4
100

responden

yang

memberikan stimulasi psikososial tinggi, seluruh anaknya mempunyai


kecerdasan sosial emosi normal sebanyak 7 responden (14,6%); responden
yang memberikan stimulasi psikososial sedang, sebagian besar anaknya
mempunyai kecerdasan sosial emosi terlambat sebanyak 27 responden
(56,3%); dan responden yang memberikan stimulasi psikososial rendah,
seluruh anaknya mempunyai kecerdasan sosial emosi terlambat sebanyak 5
responden (10,4%).
Hasil uji Spearmans rho mendapatkan p value = 0,011. Ketentuan
menyebutkan bahwa H0 ditolak jika p value < (0,05). Karena p value
(0,011) < (0,05), maka H0 ditolak, artinya ada hubungan stimulasi
psikososial dengan kecerdasan sosial emosi anak pra sekolah (4-6 tahun)
di Desa Nglebur Kecamatan Kedungpring Kabupaten Lamongan. Semakin
besar skor stimulasi psikososial maka semakin tinggi mutu stimulasi
psikososial yang diberikan, sedangkan semakin besar skor kecerdasan
sosial emosi anak maka semakin terlambat kecerdasan sosial emosi anak
yang bersangkutan. Nilai r = -0,365 mengindikasikan korelasi tidak searah
yang dapat diartikan bahwa semakin tinggi stimulasi psikososial yang
diberikan ibu, maka semakin normal kecerdasan sosial emosi anak.

90

Hubungan tersebut termasuk dalam hubungan lemah, artinya kecerdasan


sosial emosi anak pra sekolah (4-6 tahun) lebih dipengaruhi oleh faktor
lain di luar stimulasi psikososial.

4.2 Pembahasan
4.2.1

Stimulasi psikososial pada anak pra sekolah (4-6 tahun) di Desa


Nglebur Kecamatan Kedungpring Kabupaten Lamongan
Berdasarkan tabel 4.6 diketahui bahwa sebagian besar responden
memberikan stimulasi psikososial sedang sebanyak 36 responden (75,0%).
Menurut World Health Organization (WHO) dalam Laporan Tahunan
Departemen Kesehatan Jiwa tahun 2006 menyebutkan bahwa ikatan yang
kuat antara ibu dan anak dapat dilakukan melalui pemberian stimulasi
psikososial yang berdampak positif bagi perkembangan anak. Pembentukan
ikatan ini pada tahun awal kehidupan merupakan langkah penting bagi
perkembangan tahap selanjutnya meliputi perkembangan kognitif, emosi,
dan sosial. Stimulasi psikososial dapat diartikan pula sebagai keberadaan
lingkungan yang memberikan stimulasi fisik melalui input sensorik (seperti
visual, pendengaran, taktil), sebagaimana stimulasi emosional yang
dihasilkan dari ikatan penuh kasih antara ibu dan anak (WHO, 2006: 2).
Menurut Jalal (2002), stimulasi psikososial dapat berupa pemberian

91

kehangatan dan cinta, pengalaman langsung dengan menggunakan indra


(penglihatan, pendengaran, perasa, peraba, penciuman), mendengarkan
dengan penuh perhatian, menanggapi ocehan anak, mengajak bercakapcakap dengan suara lembut, dan memberikan rasa aman (Mashar, 2011:
119). Stimulasi psikososial yang diberikan oleh ibu sebagian besar dalam
tingkat sedang. Hal ini menunjukkan bahwa di satu sisi ibu telah
melaksanakan sebagian dari indicator dalam stimulasi psikososial namun
sebagian yang lainnya belum dilakukan. Belum dilakukannya stimulasi
psikososial pada seluruh tahapan yang ada menunjukkan beberapa kondisi,
seperti ibu melakukan indikator yang ada berdasarkan naluri bukan
pemahaman mengenai pentingnya stimulasi psikososial, seperti mengajak
anak ke toko, mengajak anak berbicara secara spontan, rumah terlihat bersih
dan rapi, dan sebagainya. Kurangnya pemahaman ibu terlihat pada hasil
kuesioner yang menunjukkan sebagian besar ibu masih melakukan
pemukulan terhadap anak, sebagian besar ibu kurang memahami pentingnya
menyediakan buku atau bacaan bagi anak atau jika memungkinkan
berlangganan majalah atau koran minimal satu dan ibu juga tidak memiliki
kesempatan untuk membacakannya, dan ibu jarang menjawab pertanyaan
anak secara verbal. Hal tersebut dalam dipahami mengingat kondisi sosial
ekonomi masyarakat di Desa Nglebur yang masih serba terbatas, baik dalam
hal pendapatan keluarga yang rata-rata dari sektor buruh tambak atau
pertanian maupun dari segi pendidikan ibu yang rata-rata masih terbatas
pendidikan dasar (minimal SMP). Namun demikian ibu telah melakukan

92

beberapa indikator dari stimulasi psikososial merupakan awal yang baik


untuk memunculkan kesadaran akan pentingnya stimulasi psikososial.
Berdasarkan tabulasi silang diketahui responden yang memberikan
stimulasi psikososial sedang sebagian besar anaknya berumur 54-72 bulan
sebanyak 29 responden (60,4%) dan stimulasi psikososial rendah sebagian
besar dialami oleh anak yang berumur 42-53 bulan sebanyak 4 responden
(8,3%). Synaps akan bekerja secara cepat sampai usia anak 5-6 tahun.
Banyaknya jumlah sambungan tersebut mempengaruhi kualitas kemampuan
otak sepanjang hidup. Pertumbuhan jumlah jaringan otak dipengaruhi oleh
pengalaman yang didapat anak pada awal-awal kehidupannya, termasuk
pengalaman menyenangkan (Mashar, 2011: 116). Stimulasi psikososial
sedang dan tinggi lebih banyak diberikan pada anak usia 54-72 bulan
disebabkan karena usia tersebut merupakan usia anak mulai memasuki
sekolah, sehingga ibu mulai memperhatikan kebutuhan anak akan stimulasi
psikososial sebagai bekal anak di sekolah dibandingkan dengan anak yang
di bawah usia tersebut.
Berdasarkan tabulasi silang diketahui responden yang memberikan
stimulasi psikososial sedang sebagian besar anaknya berjenis kelamin
perempuan sebanyak 25 responden (52,1%) dan stimulasi psikososial
rendah sebagian besar anaknya juga berjenis kelamin perempuan sebanyak 5
responden (10,4%). Beberapa masyarakat tertentu mempersepsikan nilai
anak laki-laki lebih tinggi dibanding dengan nilai anak perempuan. Anak
laki-laki adalah penerus keturunan serta penerima harta warisan dalam

93

keluarga. Anak laki-laki adalah pengganti orangtua dalam adat. Anak


perempuan adalah pengembang hubungan keluarga. Meski kontribusi yang
diberikan oleh anak perempuan sangat besar dalam kegiatan produktif dan
reproduktif

(BKKBN,

2010).

Beberapa

bagian

masyarakat

lebih

mengutamakan anak laki-laki sebagai penerus keluarga daripada anak


perempuan. Terutama jika mereka mempunyai keterbatasan ekonomi, maka
anak laki-laki akan lebih diutamakan kebutuhannya akan pendidikan
daripada anak perempuan. Hal ini berpengaruh pada pemberian stimulasi
psikososial oleh ibu. Ibu akan lebih mengutamakan melakukan stimulasi
psikososial pada anak laki-laki karena mempunyai harapan yang lebih tinggi
terhadapnya.
Berdasarkan tabulasi silang diketahui responden yang memberikan
stimulasi psikososial sedang, sebagian besar anaknya dekat dengan
nenek/kakek/saudara lain sebanyak 18 responden (37,5%), diikuti oleh
kedekatan dengan ibu sebanyak 14 responden (29,2%) dan stimulasi
psikososial rendah sebagian besar dekat dengan pengasuh sebanyak 3
responden (6,3%) dan ayah sebanyak 2 responden (4,2%). Ibu yang dalam
pengasuhannya memberi nilai tinggi pada kemampuan berteman, berbagi
dengan orang lain dan memimpin atau mempengaruhi anak lain, memiliki
anak yang lebih asertif, prososial dan mampu memecahkan masalah
daripada ibu yang kurang menghargai kemampuan-kemampuan tadi
(Santrock, 2007: 158). Kedekatan anak dengan nenek/kakek disebabkan
karena kedua orang tua rata-rata bekerja untuk menunjang perekonomian

94

keluarga, sehingga anak cenderung dititipkan pada nenek/kakek/saudara


lain. Meski mempunyai keterbatasan tingkat pendidikan, namun naluri
dalam mengasuh cukup dimiliki oleh nenek/kakek, sehingga jarang anak
mengalami kekerasan, cukup diperhatikan kebutuhannya untuk belajar
meski mereka sendiri belum mampu untuk mengajarkan, namun
memberikan sarana dan waktu agar anak dapat belajar dengan baik.
Sedangkan anak yang dekat dengan ibu disebabkan karena ibu cukup
memahami kebutuhan anak akan stimulasi psikososial dengan memberikan
kasih sayang dan perhatian yang cukup akan kebutuhan anak. Sedangkan
stimulasi psikososial rendah dialami oleh anak yang dekat dengan pengasuh
dan ayah disebabkan karena kesibukan ayah sebagai pencari nafkah utama
keluarga dan pengasuh yang hanya bertugas untuk menjaga namun bukan
mendidik anak, sehingga stimulasi psikososial yang diberikan juga kurang
berkualitas.
Berdasarkan hasil tabulasi silang diketahui responden yang
memberikan stimulasi psikososial sedang sebagian besar tinggal bersama
anak tanpa kerabat lain sebanyak 21 responden (43,8%) dan stimulasi
psikososial rendah sebagian besar tinggal dengan keluarga lain (kerabat)
sebanyak 4 responden (8,3%). Orang tua yang mengekspresikan emosi
positif selama proses pengasuhannya melalui stimulasi yang diberikan akan
memiliki anak yang mempunyai kompetensi sosial tinggi. Melalui interaksi
dengan orang tua, anak belajar untuk mengekspresikan emosinya dengan
cara yang wajar. Penerimaan dan dukungan orang tua terhadap emosi anak

95

berhubungan dengan kemampuan anak untuk mengelola emosi dengan cara


yang positif. Penghiburan dari orang tua terhadap anak ketika mereka
mengalami emosi negatif berhubungan dengan kemampuan anak untuk
mengendalikan emosinya secara lebih efektif. Motivasi orang tua untuk
mendiskusikan emosi dengan anak juga berhubungan dengan kesadaran dan
pemahaman anak tentang emosi orang lain (Santrock, 2007: 159). Sebagian
besar responden tinggal bersama anak. Hal ini memungkinkan bagi ibu
untuk memberikan pengasuhan yang cukup memadai karena ibu mampu
mengontrol anak. Meski dengan keterbatasan waktu dan tenaga karena ratarata ibu juga bekerja meski bukan pekerjaan penuh dan mengikat. Hal ini
membuat ibu cukup mampu memberikan stimulasi psikososial dalam
tingkat sedang. Sedangkan responden yang tinggal bersama dengan kerabat
lain dalam satu rumah sangat tergantung pada perlakuan kerabat tersebut
pada dirinya. Karena mempunyai kesibukan masing-masing, maka kerabat
cenderung kurang memperhatikan kebutuhan anak akan stimulasi, sehingga
stimulasi psikososial yang diberikan juga rendah.
Berdasarkan hasil tabulasi silang diketahui responden yang
memberikan stimulasi psikososial sedang sebagian besar tidak memberikan
ASI eksklusif sebanyak 32 responden (66,7%) dan responden yang
memberikan stimulasi psikososial rendah seluruhnya tidak memberikan ASI
eksklusif sebanyak 5 responden (10,4%). Untuk dapat meningkatkan
kecerdasan anak, stimulasi harus dilakukan sedini dan sebanyak mungkin.
Lakukan stimulasi dengan baik dan terarah, sebab hal itu akan mendorong

96

semua potensi ataupun bakat yang ada pada anak, baik kemampuan
matematis, seni, bahasa, maupun kemampuan lain. Stimulasi sebaiknya
dilakukan setiap kali ada kesempatan berinteraksi dengan bayi. Ibu bisa
memanfaatkannya ketika memandikan, mengganti popok, menyusui,
menyuapi makanan, menggendong, mengajak berjalan-jalan, bermain,
menonton TV, berada di dalam kendaraan, menjelang tidur ataupun kegiatan
lainnya (Muhammad, 2010: 67). Kebiasaan rata-rata di daerah ini untuk
memberikan MP ASI dini membuat sebagian besar tidak memberikan ASI
eksklusif. Hal ini turut mempengaruhi kurangnya kedekatan anak dengan
ibu, sehingga masih ada dalam kondisi stimulasi sedang bahkan rendah.
4.2.2

Kecerdasan sosial emosi anak pra sekolah (4-6 tahun) di Desa Nglebur
Kecamatan Kedungpring Kabupaten Lamongan
Berdasarkan tabel 4.7 diketahui bahwa sebagian besar responden
mempunyai kecerdasan sosial emosi terlambat sebanyak 32 responden
(66,7%). Kecerdasan sosial emosi adalah keterkaitan antara sosial emosi
dengan kecerdasan ataupun sebaliknya. Dimana orang dengan motivasi atau
perasaan hati yang positif akan berusaha mengembangkan pengaruh positif
dalam pengembangan kognitif pada diri seseorang (Puspasari, 2009: 9).
Kecerdasan sosial emosi terlambat terjadi karena anak kurang mendapat
rangsangan sosial emosi yang memadai baik dari lingkungan keluarga
maupun dari lingkungan di luar keluarga. Selain itu juga dipengaruhi oleh
karakteristik responden maupun keluarga.

97

Berdasarkan hasil tabulasi silang diketahui anak yang mempunyai


kecerdasan sosial emosi terlambat sebagian besar berumur 54-72 bulan
sebanyak 21 responden (43,8%) dan seluruh responden yang berumur 42-53
bulan sebanyak 11 responden (22,9%) juga memiliki kecerdasan sosial
emosi yang terlambat. Penelitian terhadap 72 anak pra sekolah di Jepang
membuktikan bahwa mereka sudah mampu mengerti emosi orang lain.
Kemampuan ini berkembang sejalan dengan pertambahan usia. Anak yang
sudah lebih besar mampu memahami emosi dalam hubungan antar 3 orang
dan menyesuaikan diri dengan baik kepada emosi itu (Hayashi, 2004 dalam
Sarwono, 2007). Fakta ternyata tidak sesuai dengan teori tersebut. Usia
sebagian besar responden di atas 4 tahun. Hal ini menunjukkan responden
rata-rata sudah bersekolah di TK. Kondisi lingkungan pertemanan yang baru
dikenalnya di luar lingkungan keluarga membuat responden tampaknya
cukup kesulitan untuk menyesuaikan diri. Hal ini membuat kemampuannya
dalam memahami emosi diri dan orang lain juga terlambat.
Berdasarkan hasil tabulasi silang diketahui anak yang mempunyai
kecerdasan sosial emosi terlambat sebagian besar berjenis kelamin
perempuan sebanyak 25 responden (52,1%). Umumnya tidak terjadi suatu
perbedaan antara anak laki-laki dengan anak perempuan dalam proses
perkembangan emosi pada masa anak. Hanya karena pengkondisian anak,
sehingga banyak anak laki-laki yang menggunakan secara aktif emosinya,
seperti ledakan emosi marah lebih ditunjukkan pada anak laki-laki.
Sebaliknya rasa takut, cemburu dan kasih sayang merupakan tempat emosi

98

yang sesuai bagi anak perempuan daripada anak laki-laki (Baraja, 2008:
250). Karena anak perempuan dikondisikan untuk tidak secara aktif
menunjukkan emosinya, hal ini membuat anak perempuan cenderung
menahan amarah dan sulit untuk memahami emosi orang lain. Sehingga
membuat kecerdasan sosial emosinya juga terlambat.
Berdasarkan hasil tabulasi silang diketahui anak yang mempunyai
kecerdasan

sosial

emosi

terlambat

sebagian

besar

dekat

dengan

nenek/kakek/saudara lain sebanyak 17 responden (35,4%). Pengalaman di


tahun-tahun awal kehidupan yang berisikan penyangkalan, penyia-nyiaan,
pembantahan yang seringkali terulang di masa kanak-kanak akan
menimbulkan sejumlah pesan emosional paling mendasar seumur hidup,
sebagai suatu pelajaran yang dapat menentukan arah kehidupan. Sebab
kehidupan keluarga dan terutama interaksi antara anak dengan ibu
merupakan sekolah pertama untuk mempelajari emosi. Dalam lingkungan
yang akrab ini, manusia belajar bagaimana merasakan perasaannya sendiri
dan bagaimana orang lain menanggapi perasaan tersebut; bagaimana
berpikir tentang perasaannya dan pilihan-pilihan apa yang dimilikinya untuk
bereaksi serta bagaimana membaca serta mengungkapkan harapan dan rasa
takut (Goleman, 2007: 242). Akibat kurangnya kedekatan anak dengan ibu
membuat anak lebih cenderung dekat dengan nenek/kakek/saudaranya yang
lain. Meski nenek/kakek/saudara lain dapat menggantikan posisi ibu dalam
memberikan kasih sayang namun berbeda jika anak mendapatkannya dari
pengasuh utamanya yaitu ibu karena adanya ikatan emosional yang

99

mendalam. Hal ini mempengaruhi kecerdasan sosial emosinya menjadi


terlambat.
Berdasarkan hasil tabulasi silang diketahui anak yang mempunyai
kecerdasan sosial emosi terlambat sebagian besar tinggal bersama orang tua
sebanyak 18 responden (37,5%). Pada keluarga yang majemuk, yaitu
keluarga dimana di dalamnya terdapat paman, kakek, dan saudara sepupu
lainnya. Ini juga akan sangat mempengaruhi reaksi emosi anak yaitu kuat
dan lemahnya emosi yang ditimbulkan. Hal ini tergantung kesempatan dan
perlakuan orang lain dalam keluarga tersebut pada anak (Baraja, 2008: 72).
Tinggal bersama orang tua seharusnya menguntungkan bagi responden
karena ia mendapatkan kasih sayang sepenuhnya dari orang tua dan dididik
dengan cara yang baik. Namun karena kesibukan orang tua membuat anak
kurang mendapatkan perhatian sehingga kecerdasan sosial emosi menjadi
terlambat.
Berdasarkan hasil tabulasi silang diketahui anak yang mempunyai
kecerdasan sosial emosi terlambat sebagian besar sebagian besar tidak
diberikan ASI eksklusif sebanyak 31 responden (64,6%). Pembelajaran
emosi bukan hanya melalui hal-hal yang diucapkan, melainkan juga melalui
contoh tingkah laku, sentuhan, dan stimulus lainnya yang dilakukan oleh
orang tua terhadap anak mereka (Goleman, 2007: 243). Karena kebiasaan
untuk memberikan MP ASI dini membuat anak kurang mendapatkan
sentuhan melalui pemberian ASI eksklusif. Padahal perkembangan emosi
anak diawali dari sentuhan ibu di awal pertumbuhannya yaitu melalui

100

pemberian ASI eksklusif. Hal ini mempengaruhi kecerdasan sosial emosinya


menjadi terlambat.
4.2.3

Hubungan stimulasi psikososial dengan kecerdasan sosial emosi anak


pra sekolah (4-6 tahun) di Desa Nglebur Kecamatan Kedungpring
Kabupaten Lamongan
Berdasarkan tabel 4.8 diketahui bahwa responden yang memberikan
stimulasi psikososial tinggi, seluruh anaknya mempunyai kecerdasan sosial
emosi normal sebanyak 7 responden (14,6%); responden yang memberikan
stimulasi psikososial sedang, sebagian besar anaknya mempunyai
kecerdasan sosial emosi terlambat sebanyak 27 responden (56,3%); dan
responden yang memberikan stimulasi psikososial rendah, seluruh anaknya
mempunyai kecerdasan sosial emosi terlambat sebanyak 5 responden
(10,4%).
Hasil uji Spearmans rho mendapatkan p value = 0,011. Ketentuan
menyebutkan bahwa H0 ditolak jika p value < (0,05). Karena p value
(0,011) < (0,05), maka H0 ditolak, artinya ada hubungan stimulasi
psikososial dengan kecerdasan sosial emosi anak pra sekolah (4-6 tahun) di
Desa Nglebur Kecamatan Kedungpring Kabupaten Lamongan. Semakin
besar skor stimulasi psikososial maka semakin tinggi mutu stimulasi
psikososial yang diberikan, sedangkan semakin besar skor kecerdasan sosial
emosi anak maka semakin terlambat kecerdasan sosial emosi anak yang
bersangkutan. Nilai r = -0,365 mengindikasikan korelasi tidak searah yang
dapat diartikan bahwa semakin tinggi stimulasi psikososial yang diberikan
ibu, maka semakin normal kecerdasan sosial emosi anak. Hubungan tersebut

101

termasuk dalam hubungan lemah, artinya kecerdasan sosial emosi anak pra
sekolah (4-6 tahun) lebih dipengaruhi oleh faktor lain di luar stimulasi
psikososial.
Morrison (1998) menyatakan bahwa stimulasi berperan penting
dalam tahun-tahun awal. Sedangkan menurut Nash, pasca kelahiran,
kegiatan otak dipengaruhi dan tergantung pada kegiatan neuron dan cabangcabangnya dalam membentuk bertriliun-triliun sambungan antar neuron.
Melalui persaingan alami, sambungan-sambungan yang tidak atau jarang
digunakan akan mengalami atrofi. Pemantapan sambungan akan terjadi
apabila neuron mendapatkan informasi yang mampu menghasilkan letupanletupan listrik. Letupan ini merangsang bertambahnya produksi myelin oleh
zat perekat glial. Semakin banyaknya zat myelin yang diproduksi maka
semakin banyak dendrit-dendrit yang tumbuh, sehingga akan semakin
banyak neuron-neuron yang menyatu membentuk unit-unit. Kualitas
kemampuan otak dalam menyerap dan mengolah informasi tergantung dari
banyaknya neuron yang membentuk unit-unit. Synaps akan bekerja secara
cepat sampai usia anak 5-6 tahun. Banyaknya jumlah sambungan tersebut
mempengaruhi kualitas kemampuan otak sepanjang hidup. Pertumbuhan
jumlah jaringan otak dipengaruhi oleh pengalaman yang didapat anak pada
awal-awal kehidupannya, termasuk pengalaman menyenangkan (Mashar,
2011: 116).
Kemampuan otak yang dipengaruhi oleh kegiatan neuron tidak
bersifat spontan, tetapi dipengaruhi oleh mutu dan frekuensi stimulasi yang
diterima indra. Struktur fisik otak anak dipengaruhi oleh stimulasi yang

102

diterima pada tahun-tahun pertama dan hal ini relatif menetap hingga masamasa kehidupan selanjutnya. Implikasinya adalah bahwa anak yang tidak
mendapatkan lingkungan yang merangsang pertumbuhan otak atau tidak
mendapatkan stimulasi psikososial seperti jarang disentuh atau jarang diajak
bermain, akan mengalami kelambatan perkembangan dibanding anak seusia
yang mendapatkan cukup stimulasi. Kelambatan ini tidak saja dalam hal
kecerdasan, tetapi juga berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian
anak khususnya sisi emosionalnya (Mashar, 2011: 116-117).
Stimulasi yang diberikan oleh orang tua masih dalam tingkatan
sedang, sehingga masih belum cukup mampu membuat kecerdasan sosial
emosi anak menjadi normal. Selain itu hasil uji statistik menunjukkan
bahwa stimulasi psikososial bukanlah faktor dominan dalam mempengaruhi
kecerdasan sosial emosi anak pra sekolah (4-6 tahun), artinya masih ada
faktor-faktor yang lain yang lebih berpengaruh terhadap kecerdasan sosial
emosi anak. Hal ini terjadi karena struktur fisik otak anak dipengaruhi oleh
stimulasi yang diterima pada tahun-tahun pertama dan hal ini relatif
menetap hingga masa-masa kehidupan selanjutnya. Stimulasi psikososial
yang diberikan ibu belum mampu mempengaruhi struktur fisik otak anak
pada sisi emosional secara maksimal sehingga belum mampu membuat
kecerdasan sosial emosi anak menjadi normal. Jika mutu stimulasi yang
diterima tinggi, maka kecerdasan sosial emosi anak menjadi normal,
sebaliknya jika mutu stimulasi psikososial rendah, maka kecerdasan sosial
emosi anak menjadi terlambat. Selain itu dilatarbelakangi pula oleh
karakteristik responden yaitu rata-rata anak berumur 54-72 bulan, berjenis

103

kelamin perempuan, lebih dekat dengan nenek/kakek/saudara lain, serta


tidak diberikan ASI eksklusif yang menunjang kurangnya kedekatan
emosional antara ibu dan anak yang menyebabkan kurang maksimalnya
pemberian stimulasi psikososial serta kecerdasan sosial emosi yang
terlambat.
BAB 5
SIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini akan disajikan simpulan dari hasil penelitian yang untuk
menjawab pertanyaan serta saran yang sesuai dengan kesimpulan yang diambil.

5.1 Simpulan
5.1.1

Stimulasi psikososial pada anak pra sekolah (4-6 tahun) di Desa Nglebur
Kecamatan

Kedungpring

Kabupaten

Lamongan,

sebagian

besar

memberikan stimulasi psikososial sedang sebanyak 36 responden (75,0%)


5.1.2

Kecerdasan sosial emosi anak pra sekolah (4-6 tahun) di Desa Nglebur
Kecamatan Kedungpring Kabupaten Lamongan sebagian besar mempunyai
kecerdasan sosial emosi terlambat sebanyak 32 responden (66,7%).

5.1.3

Ada hubungan stimulasi psikososial dengan kecerdasan sosial emosi anak


pra sekolah (4-6 tahun) di Desa Nglebur Kecamatan Kedungpring
Kabupaten Lamongan pada p value (0,011) < (0,05), maka H0 ditolak.
Nilai r = -0,365 mengindikasikan korelasi tidak searah yang dapat diartikan
bahwa semakin tinggi stimulasi psikososial yang diberikan ibu, maka

104

semakin normal kecerdasan sosial emosi anak. Hubungan tersebut termasuk


dalam hubungan lemah, artinya kecerdasan sosial emosi anak pra sekolah
(4-6 tahun) lebih dipengaruhi oleh faktor lain di luar stimulasi psikososial.

5.2 Saran
5.2.1

Bagi anak
Anak disarankan untuk lebih bersikap terbuka, mau berteman dengan siapa

saja, khususnya teman sebaya, sehingga melatih kecerdasan sosial emosinya


menjadi lebih baik.
5.2.2

Bagi ibu
Ibu disarankan untuk meningkatkan pengetahuannya mengenai pentingnya

stimulasi psikososial dan memahami langkah-langkah yang harus diambil melalui


membaca buku, bertanya pada tenaga kesehatan maupun psikolog anak serta dapat
memfasilitasi anak untuk meningkatkan potensi sosial emosinya dengan
memberikan kesempatan seluas-luasnya pada anak untuk berteman dan
mengajarkan cara berteman yang baik.
5.2.3

Bagi tenaga kesehatan


Tenaga kesehatan hendaknya memotivasi ibu untuk memberikan stimulasi

psikososial, jika perlu dengan kunjungan ke rumah dan memberikan contoh


termasuk alat permainan yang menunjang serta mengingatkan ibu untuk
menghindari hukuman fisik.
5.2.4

Bagi peneliti berikutnya

105

Peneliti

berikutnya

dapat

meneliti

mengenai

faktor

lain

yang

mempengaruhi kecerdasan sosial emosi anak, misalkan dengan memberikan pola


permainan tertentu yang mampu membuat anak memahami bagaimana cara
mengenali emosi diri, mengendalikan diri serta berempati pada teman, seperti
jenis-jenis permainan sosial.
BAB 6
BIAYA DAN JADWAL PELAKSANAAN
6.1 Anggaran Biaya
No
1.
2.
3.
4.

Jenis Pengeluaran

Biaya yang diusulkan (Rp)


Rp 1.000.000,Rp 2.500.000,Rp 750.000,Rp 750.000,Rp 5.000.000,-

Gaji dan upah


Bahan habis pakai dan peralatan
Perjalanan
Lain-lain (seminar, laporan publikasi)
Jumlah

6.2 Jadwal Penelitian


N
O

KEGIATAN

BULAN
Jan

1.
2.
3.
4.
5.
6.

Penyusunan Proposal
Proses perijinan pengambilan data
Input Data
Analisis data
Penyusunan laporan hasil penelitian
Seminar hasil & publikasai

Feb

Mare
t

April

Mei

106

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Edisi Revisi.


Cetakan XIV. Jakarta: PT. Rineka Cipta
Azwar, S. 2010. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Baraja, A. 2008. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Studia Press
BKKBN. 2010. Nilai Anak dalam Masyarakat Indonesia. Jakarta: BKKBN
Chandriyani. 2009. Nilai Anak, Stimulasi Psikososial dan Perkembangan Kognitif
Anak Usia 2-5 Tahun pada Keluarga Rawan Pangan di Kabupaten
Banjarnegara. Jawa Tengah. (Internet). 2009. Available from:
(http://repository.ipb.ac.id) (Accessed 15 Januari 2012)
Dariyo, A. 2007. Psikologi Perkembangan Anak Tiga Tahun Pertama. Bandung:
Refika Aditama
Drost, dkk. 2003. Perilaku Anak Usia Dini, Kasus dan Pemecahannya.
Yogyakarta: Kanisius
Efendi, A. 2005. Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, AQ dan
Successful Intelligence Atas EQ. Bandung; Alfabeta
Friedman, M. 1998. Keperawatan Keluarga: Teori dan Praktik. Edisi 3. Jakarta:
EGC
Goleman, D. 2007. Emotional Intelligence. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Hamadani, dkk. 2006. Psychosocial Stimulation Improves the Development of
Undernourished Children in Rural Bangladesh. (Internet). 26 Juni 2006.
Available
from:
(http://jn.nutrition.org/content/136/10/2645.full.pdf)
(Accessed 15 April 2012)

107

Hastuti, D. 2009. Stimulasi Psikososial pada Anak Kelompok Bermain dan


Pengaruhnya pada Perkembangan Motorik, Kognitif, Sosial Emosi, dan
Moral/Karakter Anak. (Internet). Januari 2009. Available from:
(http://journal.ipb.ac.id) (Accessed 15 April 2012)
Hidayat, A.A.A. 2010. Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisis Data.
Jakarta: Salemba Medika
IDAI. 2008. Tumbuh Kembang Anak dan Remaja. Edisi Pertama. Buku Ajar I.
Cetakan 2. Jakarta: Sagung Seto
_____. 2008. Tumbuh Kembang Anak dan Remaja. Edisi Pertama. Buku Ajar II.
Cetakan 2. Jakarta: Sagung Seto
Iowa State University. 2008. Ages and Stages 4 Year Olds. (Internet). September
2008. Available from: (http://www.extension.iastate.edu/Publications/
PM1530F.pdf) (Accessed 10 Mei 2012)
Izzy. 2010. Cara Mengenali Karakteristik pada Usia 5 Tahun. (Internet). 2010.
Available from: (http://www.forumkami.net) (Accessed 10 Mei 2012)
Lee, K. 2010. Your 5 Year Old Child: Emotional Development. (Internet). 2010.
Available from: (http://childparenting.about.com) (Accessed 10 Mei 2012)
______. 2010. Your 6 Year Old Child: Emotional Development. (Internet). 2010.
Available from: (http://childparenting.about.com) (Accessed 10 Mei 2012)
LP2M Stikes Bina Sehat PPNI Mojokerto. 2011. Buku Panduan Penyusunan
Skripsi dan Karya Tulis Ilmiah. Mojokerto: Stikes Bina Sehat PPNI
Madanijah, S. 2004. Lingkungan Pengasuhan dan Tumbuh Kembang Anak. Bogor
Maramis, W.F. 2006. Ilmu Perilaku dalam Pelayanan Kesehatan. Surabaya:
Airlangga University Press
Mariner, dkk. 1998. Factor Structure and Predictive Validity of the HOME Short
Form for Three Racial/Ethnic Groups in the National Longitudinal Survey
of Youth-Child Supplement. (Internet). 1998. Available from:
(http://www.childtrends.org/files/pubs/1998-08FactorStructureandPredicti
veValidityoftheHOME.pdf) (Accessed 8 Februari 2012)
Mashar, R. 2011. Emosi Anak Usia Dini dan Strategi Pengembangannya. Edisi
Pertama. Cetakan 2. Jakarta: Kencana

108

Medicastore. 2006. Pertumbuhan dan Perkembangan Anak. (Internet) 4 Mei


2006. Available from: (www.medicastore.com) (Accessed 29 Januari 2012)
Muhammad, A. 2010. Panduan Praktis Stimulasi Otak Anak, Merangsang Otak
serta Mengoptimalisasikan Ketajaman Daya Ingat dan Konsentrasinya.
Yogyakarta: Diva Press

Muhtadi, A. 2009. Metode Pembelajaran untuk Meningkatkan Kesiapan Sekolah


pada Program Pendidikan Anak Pra Sekolah. (Internet). 2009. Available
from: (http://staff.uny.ac.id) (Accessed 15 Februari 2012)

Mulyata, S. 2008. Paket Penyuluhan Kognitif. (Internet). 2008 Available from:


(http://www.uns.ac.id) (Accessed 25 Februari 2012)
Narbuko, C. dan A. Achmadi. 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara
NLSY79. 2011. NLSY79 Child Young Adult Data Users Guide. (Internet). 2011.
Available from: (http://www.nlsinfo.org) (Accessed 23 Desember 2011)
Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka
Cipta
Nursalam. 2005. Asuhan Keperawatan Anak. Edisi pertama. Jakarta: Salemba
Medika
________. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika

Penelitian

Ilmu

Patmonodewo, S. 2003. Pendidikan Anak Prasekolah. Jakarta: Rineka Cipta


Puspasari, A. 2009. Emotional Intelligent Parenting. Jakarta: Elex Media
Komputindo

Riduwan. 2008. Skala Pengukuran Variabel-variabel Penelitian. Jakarta: EGC


Riyadi, S. dan Sukarmin. 2009. Asuhan Keperawatan pada Anak. Yogyakarta:
Graha Ilmu

109

Rudiati, dkk. 2010. Perbedaan Perkembangan Psikososial Antara Anak TK


dengan Play Group dan Tanpa Play Group. (Internet). November 2010.
Available from: (http://isjd.pdii.lipi.go.id/index.php) (Accessed 9 Februari
2012)
Safaria, T. 2005. Autisme: Pemahaman baru untuk Hidup Bermakna bagi Orang
Tua. Jakarta: Graha Ilmu
Santrock, J.W. 2007. Perkembangan Anak. Edisi 11. Jilid 1. Jakarta: Erlangga
___________. 2007. Perkembangan Anak. Edisi 11. Jilid 2. Jakarta: Erlangga
Sastroasmoro, S. dan S. Ismael. 2008. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis.
Jakarta: Sagung Seto
Setiawan, A. dan Saryono. 2010. Metodologi Penelitian Kebidanan DIII, DIV, S1
dan S2. Yogyakarta: Nuha Medika
Soetjiningsih. 1995. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC
Squires, dkk. 2002. Ages and Stages Questionairres: Social Emotional. (Internet).
2002. Available from: (http://www.brookespublishing.com) (Accessed 15
April 2012)
Strauss dan Knight. 2009. Influence of the Home Environment on the
Development of Obesity in Children. (Internet). 2009. Available from:
(http://pediatrics.aapublications.org) (Accessed 21 Desember 2011)
Sugiyono. 2009. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta
Suherman. 2000. Buku Saku Perkembangan Anak. Jakarta: EGC
Supartini, Y. 2004. Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta: EGC
UPI. 2007. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Jakarta: PT. Imperial Bhakti Utama
Walker, dkk. 2004. Psychosocial Intervention Improves the Development of Term
Low Birth Weight Infants. (Internet). 2004. Available from:
(http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15173406) (Accessed 20 April
2012)
__________. 2005. Effects of Early Childhood Psychosocial Stimulation and
Nutritional Supplementation on Cognition and Education in Growth
Retarded Jamaican Children: Propective Cohort Study. (Internet). 2005.
Available
from:
(http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16298218)
(Accessed 20 April 2012)

110

WHO. 2006. Mental Health and Psychosocial Well Being among Children in
Severe Food Shortage Situations. Jenewa: WHO
Widhiarso, dkk. 2010. Peranan Keberfungsian Keluarga pada Pemahaman dan
Pengungkapan
Emosi.
(Internet).
2010.
Available
from:
(http://widhiarso.staff.ugm.ac.id/files/jurnal_keluarga_dan_pengungkapa
n_emosi.pdf) (Accessed 13 Januari 2012)
Yusuf, S. 2009. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: PT. Remaja
Rosdakarya

Anda mungkin juga menyukai