LAPORAN
HASIL PENELITIAN DOSEN
b. Halaman Pengesahan
Judul Penelitian
: HUBUNGAN STIMULASI PSIKOSOSIAL
DENGAN KECERDASAN SOSIAL EMOSI ANAK PRA SEKOLAH (4-6
TAHUN) DI DESA NGLEBUR KECAMATAN KEDUNGPRING
KABUPATEN LAMONGAN
Peneliti
a. Nama Lengkap
b. NIK
c. NIDN
d. Pangkat/Golongan
e. Jabatan Fungsional
f. Fakultas/Jurusan
g. Pusat penelitian
h. Asal Institusi
i. Telepon/Faks/E-mail
:
: Amar Akbar, S. Kep., Ns.
: 162 601 100
: 9907146557
: IIIa
:: Ilmu Keperawatan
: LPPM AKPER Bina Sehat PPNI Mojokerto
: AKPER Bina Sehat PPNI Mojokerto
: 0321 390203/amar.akper.ppni@gmail.com
: Rp 5.000.000,-
Mengetahui,
Direktur Akper
Ketua Peniliti
( Ana Zakiyah,M.Kep.)
NIK 162 601 036
ii
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang ...
1
1.2
Rumusan Masalah ...
6
1.3
Tujuan Penelitia n
1.3.1
Tujuan
Umum
.
7
1.3.2
Tujuan
Khusus
.
...
7
1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Anak .......
7
1.4.2 Bagi Ibu ......
7
1.4.3 Bagi Tenaga Kesehatan ...
8
1.4.4 Bagi Penelitian Berikutnya .
8
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar Stimulasi Psikososial
2.1.1 Pengertian Stimulasi Psikososial ............
9
2.1.2
2.1.3
2.1.4
11
13
2.1.5 Tahapan Perkembangan Psikososial Anak Pra Sekolah .
2.1.6 Prinsip Umum Stimulasi .
2.1.7 Karakteristik Stimulasi Psikososial .
2.1.8 Pelaksanaan Stimulasi Psikososial ..
2.1.9 Pengukuran Stimulasi Psikososial ..
2.2 Konsep Dasar Kecerdasan Sosial Emosi
2.2.1 Pengertian Kecerdasan Sosial Emosi ......
2.2.2 Ciri-ciri Emosi .
2.2.3 Karakteristik Emosi Anak Usia Dini ...
2.2.4 Struktur Emosional pada Tubuh Manusia ...
2.2.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosi ..........
2.2.6 Manfaat Kecerdasan Emosi bagi Anak ...
2.2.7 Komponen Kecerdasan Emosi ....
2.2.8 Pengukuran Kecerdasan Emosi....
13
14
16
19
20
21
25
27
27
32
34
40
42
44
45
46
46
57
64
65
66
101
102
BAB 1
PENDAHULUAN
menghasilkan
letupan-letupan
listrik.
Letupan
ini
merangsang
bertambahnya produksi myelin oleh zat perekat glial. Semakin banyaknya zat
myelin yang diproduksi maka semakin banyak dendrit-dendrit yang tumbuh,
sehingga akan semakin banyak neuron-neuron yang menyatu membentuk unitunit. Kualitas kemampuan otak dalam menyerap dan mengolah informasi
tergantung dari banyaknya neuron yang membentuk unit-unit. Synaps akan
bekerja secara cepat sampai usia anak 5-6 tahun. Banyaknya jumlah sambungan
tersebut mempengaruhi kualitas kemampuan otak sepanjang hidup. Pertumbuhan
jumlah jaringan otak dipengaruhi oleh pengalaman yang didapat anak pada awalawal kehidupannya, termasuk pengalaman menyenangkan (Mashar, 2011: 116).
Kemampuan otak yang dipengaruhi oleh kegiatan neuron tidak bersifat
spontan, tetapi dipengaruhi oleh mutu dan frekuensi stimulasi yang diterima indra.
Struktur fisik otak anak dipengaruhi oleh stimulasi yang diterima pada tahuntahun pertama dan hal ini relatif menetap hingga masa-masa kehidupan
selanjutnya. Implikasinya adalah bahwa anak yang tidak mendapatkan lingkungan
yang merangsang pertumbuhan otak atau tidak mendapatkan stimulasi psikososial
seperti jarang disentuh atau jarang diajak bermain, akan mengalami kelambatan
perkembangan dibanding anak seusia yang mendapatkan cukup stimulasi.
Kelambatan ini tidak saja dalam hal kecerdasan, tetapi juga berpengaruh terhadap
pembentukan kepribadian anak khususnya sisi emosionalnya (Mashar, 2011: 116117). Akibat kesibukan orang tua, terkadang anak dititipkan pada pembantu atau
keluarga lain yang dapat mempengaruhi kualitas stimulasi psikososial.
Fenomena yang ada di Desa Nglebur Kecamatan Kedungpring Kabupaten
Lamongan menunjukkan bahwa 5 (55,6%) dari 9 anak usia pra sekolah (4-6
tahun) kurang memiliki kesadaran diri, kurang memiliki kemampuan mengelola
emosi, kurang memiliki optimisme, kurang mampu berempati, serta kurang
memiliki ketrampilan sosial. Jika ditinjau dari stimulasi psikososial yang
dilakukan oleh ibu ternyata juga memiliki beberapa permasalahan, yaitu ibu
jarang memberi kesempatan pada anak untuk belajar ketrampilan baru, kurang
memberi contoh anak cara berinteraksi dengan orang lain, jarang memuji
keberhasilan anak, dan sering menggunakan kata-kata kasar dalam melarang anak,
begitupun saat anak menghadapi masalah jarang dibantu menyelesaikan, terlalu
disiplin dan menerapkan target pencapaian yang terlampau tinggi pada anak.
Setinggi-tingginya, IQ menyumbang kira-kira 20 persen bagi faktor-faktor
yang menentukan sukses dalam hidup, maka yang 80 persen diisi oleh kekuatankekuatan lain (Goleman, 2007: 44). Sedangkan Robert K. Cooper dan Ayman
kurang
memiliki
kemampuan
mengelola
emosi
seperti
menyimpan dendam pada teman yang jahil, kurang memiliki optimisme seperti
merasa tidak mungkin berbaikan dengan teman yang pernah menyakitinya, kurang
mampu berempati seperti belum mampu memahami alasan di balik hukuman yang
10
11
perilaku. Perilaku tersebut dalam bentuk hilangnya citra diri yang berakibat pada
rendah diri sangat penakut dan tidak mandiri atau sebaliknya menjadi anak yang
tidak memiliki rasa malu dan agresif. Bentuk penyimpangan lainnya adalah
dysplasia sulit berkonsentrasi, menderita autis, sulit memahami perintah,
depresi, mental retardasi, sulit bersosialisasi dan sulit mengontrol perilaku.
Kebiasaan berfikir dan bertindak sebagai refleksi dari dimilikinya sejumlah
kemampuan berupa pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai dasar perlu
dilakukan sejak tahun-tahun pertama kehidupan anak (Rudiati, dkk., 2010).
Usia pra sekolah merupakan usia yang sangat menentukan dalam
pembentukan karakter dan pengembangan intelegensi anak yang paling optimal.
Terganggunya proses pembentukan karakter anak akan mempengaruhi fungsi
emosi yang berperan dalam pengembangan kontak komunikasi dengan orang lain
dan lingkungannya, sehingga dapat menumbuhkan karakter emosi negatif yang
merugikan masa depan anak (Puspasari, 2009: 9, 19).
1.2 Rumusan Masalah
Apakah ada hubungan stimulasi psikososial dengan kecerdasan sosial
emosi anak pra sekolah (4-6 tahun) di Desa Nglebur Kecamatan Kedungpring
Kabupaten Lamongan?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Menganalisis hubungan stimulasi psikososial dengan kecerdasan sosial
emosi anak pra sekolah (4-6 tahun) di Desa Nglebur Kecamatan Kedungpring
Kabupaten Lamongan.
1.3.2 Tujuan khusus
1.3.2.1 Mengidentifikasi stimulasi psikososial pada anak pra sekolah (4-6 tahun)
di Desa Nglebur Kecamatan Kedungpring Kabupaten Lamongan.
12
1.3.2.2 Mengidentifikasi kecerdasan sosial emosi anak pra sekolah (4-6 tahun) di
Desa Nglebur Kecamatan Kedungpring Kabupaten Lamongan.
1.3.2.3 Menganalisis hubungan stimulasi psikososial dengan kecerdasan sosial
emosi anak pra sekolah (4-6 tahun) di Desa Nglebur Kecamatan
Kedungpring Kabupaten Lamongan.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1
Bagi anak
Sebagai sarana untuk meningkatkan kecerdasan sosial emosi anak,
Bagi ibu
Sebagai tambahan informasi bagi ibu akan pentingnya ketrampilan
13
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini dipaparkan beberapa konsep dasar yang digunakan selama
penelitian berlangsung, antara lain: 1) konsep dasar stimulasi psikososial, 2)
konsep dasar kecerdasan sosial emosi, 3) konsep dasar anak pra sekolah (4-6
tahun), 4) kerangka teori, 5) kerangka konseptual, dan 6) hipotesis.
2.1
2.2.1
14
15
menyenangkan pada masa balita serta memberikan kontribusi yang penting bagi
perkembangan anak (Nursalam, 2005: 74).
Stimulasi adalah kegiatan merangsang kemampuan dasar anak karena
perkembangan otak anak merupakan fondasi yang dapat menentukan terhadap
masa depan, baik emosional maupun intelektual (Muhammad, 2010: 11-12).
Departemen Pendidikan Nasional (2002) dalam Latifah, dkk (2010)
menyatakan bahwa stimulasi psikososial merupakan stimulasi pendidikan dalam
rangka mengembangkan kemampuan kognitif, motorik, serta social emosi anak.
Menurut World Health Organization (WHO) dalam Laporan Tahunan
Departemen Kesehatan Jiwa tahun 2006 menyebutkan bahwa ikatan yang kuat
antara ibu dan anak dapat dilakukan melalui pemberian stimulasi psikososial yang
berdampak positif bagi perkembangan anak. Pembentukan ikatan ini pada tahun
awal kehidupan merupakan langkah penting bagi perkembangan tahap selanjutnya
meliputi perkembangan kognitif, emosi, dan sosial. Stimulasi psikososial dapat
diartikan pula sebagai keberadaan lingkungan yang memberikan stimulasi fisik
melalui input sensorik (seperti visual, pendengaran, taktil), sebagaimana stimulasi
emosional yang dihasilkan dari ikatan penuh kasih antara ibu dan anak (WHO,
2006: 2).
Menurut Jalal (2002), stimulasi psikososial dapat berupa pemberian
kehangatan dan cinta, pengalaman langsung dengan menggunakan indra
(penglihatan, pendengaran, perasa, peraba, penciuman), mendengarkan dengan
penuh perhatian, menanggapi ocehan anak, mengajak bercakap-cakap dengan
suara lembut, dan memberikan rasa aman (Mashar, 2011: 119).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka stimulasi psikososial dapat
diartikan sebagai pemberian kehangatan dan cinta dalam lingkungan keluarga
16
dalam memberikan stimulasi baik secara emosional maupun kognitif pada anak
untuk mengembangkan segala potensi yang dimilikinya.
2.2.2 Tujuan stimulasi psikososial
Tujuan tindakan memberikan stimulasi pada anak adalah untuk membantu
anak mencapai tingkat perkembangan yang optimal atau sesuai dengan yang
diharapkan. Tindakan ini meliputi berbagai aktifitas untuk merangsang
perkembangan anak, seperti latihan gerak, berbicara, berpikir, kemandirian dan
sosialisasi. Stimulasi diberikan terutama oleh orang tua setiap ada kesempatan
atau sehari-hari. Stimulasi disesuaikan dengan umur dan prinsip stimulasi.
Tindakan pemberian stimulasi dilakukan dengan prinsip bahwa stimulasi
merupakan ungkapan kasih sayang, bermain dengan anak, berbahagia bersama,
stimulasi dilakukan bertahap dan berkelanjutan. Stimulasi dilakukan dengan
wajar, tanpa paksaan atau hukuman atau marah bila anak tidak dapat
melakukannya, memberi pujian bila anak berhasil (Suherman, 2000: 23-24).
Stimulasi dini secara berulang pada anak berperan penting dalam
membantu mengaktifkan dan memperkuat fungsi jaringan otak tersebut secara
permanen. Sel otak yang tidak pernah mendapat stimulasi atau mungkin jarang
distimulasi tidak akan bertahan dan bahkan akan mengalami kemunduran karena
neuron tidak berkembang dengan baik. Sementara otak yang mengalami
perulangan akan dapat permanen. Apabila otak anak tidak distimulasi, otak anak
akan menjadi tidak terolah. Akibatnya, jaringan saraf (sinaps) yang jarang atau
tidak terpakai akan musnah. Di sinilah pentingnya pemberian stimulasi secara
rutin. Sebab setiap kali anak berpikir atau memfungsikan otaknya, maka akan
terbentuk sinaps baru untuk merespons stimulasi tersebut. Artinya, stimulasi yang
17
terus menerus akan memperkuat sinaps yang lama, sehingga otomatis akan
membuat fungsi otak semakin baik (Muhammad, 2010: 12).
Synaps akan bekerja secara cepat sampai usia anak 5-6 tahun. Banyaknya
jumlah sambungan tersebut mempengaruhi kualitas kemampuan otak sepanjang
hidup. Pertumbuhan jumlah jaringan otak dipengaruhi oleh pengalaman yang
didapat anak pada awal-awal kehidupannya, termasuk pengalaman menyenangkan
(Mashar, 2011: 116).
2.2.3
urutan proses keluarga. Peran kognisi dalam sosialisasi keluarga terwujud dalam
banyak bentuk, mencakup kognisi, keyakinan, dan nilai orang tua tentang peran
pengasuhan mereka, serta bagaimana orang tua mencerap, mengatur, dan
memahami perilaku dan keyakinan anak mereka. Ibu yang dalam pengasuhannya
memberi nilai tinggi pada kemampuan berteman, berbagi dengan orang lain dan
memimpin atau mempengaruhi anak lain, memiliki anak yang lebih asertif,
prososial dan mampu memecahkan masalah daripada ibu yang kurang menghargai
kemampuan-kemampuan tadi (Santrock, 2007: 158).
Orang
tua
yang
mengekspresikan
emosi
positif
selama
proses
18
3.
19
2.2.5
anak
tidak
sama
dengan
pertumbuhannya.
Bila
kepribadian
seseorang
berdasarkan
tahap
perkembangan
psikososial. Menurut Erik Erikson, usia pra sekolah (kurang lebih 4-6 tahun)
termasuk dalam masa initiative versus guilt.
20
perkembangan kognitif Piaget diketahui anak berada pada tahap pra operasional.
Pada tahap ini proses berpikir anak berpusat pada penguasaan symbol-simbol
yang mampu mengungkapkan pengalaman masa lalu. Kesulitan yang dialami
anak adalah berkaitan dengan perceptual centration, irreversibility, dan
egocentrism (Patmonodewo, 2003: 23-24).
2.2.6
kembang anak, ada beberapa prinsip dasar yang perlu diperhatikan, yaitu:
2.2.6.1 Stimulasi dilakukan dengan dilandasi rasa cinta dan kasih sayang.
2.2.6.2 Selalu tunjukkan sikap dan perilaku yang baik karena anak akan meniru
tingkah laku orang-orang yang terdekat dengannya.
2.2.6.3 Berikan stimulasi sesuai dengan kelompok umur anak.
2.2.6.4 Lakukan stimulasi dengan cara mengajak anak bermain, bernyanyi,
bervariasi, menyenangkan, tanpa paksaan, dan tidak ada hukuman.
2.2.6.5 Lakukan stimulasi secara bertahap dan berkelanjutan sesuai umur anak
terhadap keempat aspek kemampuan dasar anak.
2.2.6.6 Gunakan alat bantu permainan yang sederhana, aman dan ada di sekitar
anak.
2.2.6.7 Berikan kesempatan yang sama pada anak laki-laki dan perempuan.
2.2.6.8 Anak selalu diberi pujian, bila periu diberi hadiah atas keberhasilannya.
Menurut Muhammad (2010: 67-77), prinsip umum yang dimaksud adalah
prinsip yang terdapat pada cara pelaksanaan stimulasi, diantaranya:
2.2.6.1 Stimulasi baik dilakukan sejak dini.
Untuk dapat meningkatkan kecerdasan anak, stimulasi harus
dilakukan sedini dan sebanyak mungkin. Lakukan stimulasi dengan baik
dan terarah, sebab hal itu akan mendorong semua potensi ataupun bakat
yang ada pada anak, baik kemampuan matematis, seni, bahasa, maupun
21
mengganti
popok,
menyusui,
menyuapi
makanan,
22
23
dengan teratur. Sebab, pada dasarnya pemberian stimulasi yang teratur dan
terus menerus akan menciptakan anak yang cerdas, bertumbuh kembang
dengan optimal, mandiri, memiliki emosi yang stabil dan mudah
beradaptasi.
2.2.6.4 Stimulasi harus disesuaikan dengan umur dan variatif.
Hal ini dilakukan sebab kemampuan anak pada setiap tingkatan
umur sama sekali berbeda karena adanya perkembangan umur dan
motoriknya. Yang tidak kalah penting, dalam upaya memberikan stimulasi,
ibu disarankan untuk tidak monoton. Ibu harus memberikan stimulasi
dengan bentuk dan cara yang bervariasi. Stimulasi yang bervariasi yang
dilakukan setiap hari akan memberikan rangsangan terhadap kecerdasan
2.2.7
adalah stimulasi yang diberikan orang tua dan keluarga dalam memberikan
kehangatan, suasana penerimaan, pemberian teladan atau contoh, pemberian
pengalaman, dorongan belajar dan berbahasa serta dorongan bagi kemampuan
akademik anak.
2.2.8
maupun
non
verbal,
mengajak
anak
bernyanyi
dan
bermain,
24
25
2.2.7.3 Merespon segala kebutuhan anak. Ibu merespon keinginan dan ucapan
anak. Cobalah untuk lebih tertarik untuk memenuhi kebutuhan anak yang
biasa diwakili oleh perilakunya (misalnya menangis atau tersenyum).
2.2.7.4 Perlihatkan apresiasi terhadap apapun yang dikerjakan oleh anak. Ibu
hendaknya mencoba untuk menyatakan dengan ekspresi verbal atas
pencapaian anak. Selain itu juga perlu menyampaikan ekspresi non verbal
atas apresiasi serta persetujuan yang diberikan (misalnya dengan bertepuk
tangan, tersenyum).
Menurut Dharmawan (1999) stimulasi psikososial diberikan diantaranya
melalui aktifitas bermain, bernyanyi dan menggambar (Chandriyani, 2009: 9).
2.2.9
26
dilakukan oleh orang tua, terutama ibu. Cara menggunakan alat ukur ini adalah
dengan melakukan wawancara pada ibu dan pada beberapa item diantaranya
dilakukan dengan mengobservasi perilaku ibu dan kondisi lingkungan rumah
(NLSY79, 2011). Alat ukur stimulasi psikososial HOME-SF ditujukan untuk tiga
kategori usia, yaitu untuk bayi/toddler (0-2,11 bulan), kanak-kanak awal (3-5,11
bulan) dan kanak-kanak tengah (6-9,11 bulan). Pada HOME-SF untuk kanakkanak awal (3-5,11 bulan), terdapat dua sub skala yaitu sub skala kognitif dan sub
skala emosional yang dibagi lagi dalam lima indikator, yaitu:
2.2.9.1 Stimulasi.
Pemberian stimulasi diukur melalui item sebagai berikut:
1.
Anak-anak memiliki 10 buku.
2.
Ibu membacakan buku cerita pada anak 3 kali seminggu atau lebih.
3.
Anak diajak ke toko (satu kali seminggu atau 2-3 kali sebulan).
4.
Anak-anak makan bersama ayah dan ibu satu kali sehari atau lebih.
5.
Keluarga berlangganan majalah atau koran minimal satu.
6.
Anak memiliki alat pemutar rekaman/CD dan paling tidak memiliki 5
rekaman/CD atau kaset.
7.
Anak memiliki pilihan makanan untuk sarapan pagi dan makan siang.
8.
TV hidup di rumah kurang dari 5 jam per hari.
9.
Anak-anak diajak ke museum tahun lalu.
2.2.9.2 Kehangatan dan penerimaan.
Kehangatan dan penerimaan ibu diukur melalui item sebagai
berikut:
1.
2.
3.
27
4.
5.
28
sedang jika memiliki nilai persentil 15-85, dan tinggi jika memiliki nilai >85
(Strauss dan Knight, 2009: 2).
2.3
2.3.1
sendiri secara spontan terhadap seseorang, suatu peristiwa, tempat atau pikiran.
Emosi merupakan dorongan agar kebutuhan-kebutuhan psikologis manusia
terpenuhi (Maramis, 2006: 213).
Akar kata emosi adalah movere, kata kerja bahasa Latin yang berarti
menggerakkan, bergerak, ditambah awalan e- untuk memberi arti bergerak
menjauh, menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak
dalam emosi (Goleman, 2007: 7).
Emosi merupakan bagian dari aspek afektif yang memiliki pengaruh besar
terhadap kepribadian dan perilaku seseorang. Emosi bersifat fluktuatif dan
dinamis, artinya perubahan emosi sangat tergantung pada kemampuan seseorang
dalam mengendalikan diri. Emosi anak berubah-ubah sesuai dengan pengaruh dari
kondisi lingkungan eksternal (Dariyo, 2007: 180).
Menurut English and English, emosi adalah A complex feeling state
accompained by characteristic motor and glandular activies (suatu keadaan
perasaan yang kompleks yang disertai karakteristik kegiatan kelenjar dan
motoris). Sedangkan Sarlito Wirawan Sarwono berpendapatan bahwa emosi
merupakan setiap keadaan pada diri seseorang yang disertai warna afektif baik
29
pada tingkat lemah (dangkal) maupun pada tingkat yang luas (mendalam) (Yusuf,
2009: 114-115).
Kecerdasan
merupakan
kemampuan
menyelesaikan
masalah
dan
oleh
Peter
Salovey
dan
John
Mayer
(1990).
Mereka
30
Ciri-ciri emosi
Emosi sebagai suatu peristiwa psikologis mengandung ciri-ciri sebagia
berikut:
2.3.2.1 Lebih bersifat subjektif daripada peristiwa psikologis lainnya, seperti
pengalaman dan berpikir.
2.3.2.2 Bersifat fluktuatif (tidak tetap).
2.3.2.3 Banyak bersangkutan paut dengan peristiwa pengenalan panca indera
(Yusuf, 2009: 116).
2.3.3
sebagai berikut:
2.3.3.1 Usia 4 tahun.
1.
Emosinya mudah berubah dan sering berlagak seperti pemimpin.
2.
Memahami dan mematuhi aturan sederhana.
3.
Mudah merubah aturan main sesukanya.
4.
Senang berbicara dan ikut dalam pembicaraan orang lain.
5.
Selalu bertanya mengapa?
6.
Senang memamerkan sesuatu miliknya dan menunjukkan kepemilikan.
31
7.
8.
9.
10.
khayalan.
Kadang berbohong untuk melindungi diri dan kelompoknya, namun
tidak benar-benar memahami konsep berbohong, yang terkadang
11.
12.
13.
14.
guru.
Usia 5 tahun merupakan saat anak mulai dapat mengartikulasikan
perasaannya. Sebagai contoh, anak dapat berempati pada temannya
yang sedang bersedih dengan mengungkapkan Aku ikut sedih melihat
kamu menangis. Jika ia merasa sedih dalam menghadapi sesuatu,
maka ia akan menyatakan yang dirasakan seperti Aku marah padamu
3.
ibu.
Beberapa anak usia 5 tahun akan menanyakan segala sesuatu dengan
sudut pandang yang berbeda dengan orang lain. Di waktu lain, anak
32
usia ini juga dapat sangat kritis pada diri mereka sendiri dan bisa
sangat keras pada dirinya sendiri, saat ia merasa tidak melakukan
sesuatu dengan benar. Misalnya, anak usia 5 tahun terkadang
memperlihatkan rasa percaya dirinya pada temannya yang berusia
lebih muda dengan menyatakan bahwa dirinya dapat melakukan segala
sesuatu seperti anak yang sudah besar, namun tidak lama kemudian
ia juga dapat menjadi sedih karena ternyata ia belum mampu
4.
5.
6.
7.
33
34
7. Pada usia 6 tahun, anak mulai memiliki banyak akitifitas di luar rumah
tanpa keterlibatan orang tua mereka. Orang tua dapat memotivasi
perawatan mandiri namun tetap menawarkan bantuan yang diperlukan.
Kecemasan untuk berpisah masih merupakan isu pada usia ini, namun
perlahan-lahan akan menghilang seiring meningkatnya ikatan dengan
2.3.4
35
dengan transmisi yang lebih cepat, sehingga memungkinkan adanya respons yang
lebih cepat (meski kurang akurat). Jadi amigdala dapat memicu suatu respons
emosional sebelum pusat-pusat korteks memahami betul apa yang terjadi.
Salah satu kekurangan amigdala adalah bahwa sinyal mendesak yang
dikirim oleh amigdala seringkali telah ketinggalan jaman atau tidak memandang
konteks suatu masalah. Sebagai gudang ingatan emosional, amigdala berusaha
melarik pengalaman, membandingkan apa yang sedang terjadi sekarang dengan
yang terjadi di masa lampau dalam hubungan asosiatif. Hal ini seringkali
memaksa manusia untuk bertindak gegabah dan bereaksi dengan cara-cara yang
sama yang telah dipakai di masa lampau dengan pola pikir, emosi, reaksi yang
dipelajari sebagai respon terhadap peristiwa-peristiwa yang barangkali hanya
samar-samar kemiripannya, tetapi cukup serupa untuk mengingatkan amigdala.
Ketidaktelitian otak emosional ini ditambah kenyataan bahwa banyak ingatan
emosional yang kuat berasal dari tahun-tahun pertama kehidupan. Hal ini
terutama berlaku bagi peristiwa-peristiwa traumatis, seperti pemukulan atau
penyia-nyiaan. Selama periode awal kehidupan, hippocampus yang penting bagi
ingatan naratif dan neokorteks tempat kedudukan rasional belum berkembang
sepenuhnya.
Pengalaman di tahun-tahun awal kehidupan yang berisikan penyangkalan,
penyia-nyiaan, pembantahan yang seringkali terulang di masa kanak-kanak akan
menimbulkan sejumlah pesan emosional paling mendasar seumur hidup, sebagai
suatu pelajaran yang dapat menentukan arah kehidupan. Sebab kehidupan
keluarga dan terutama interaksi antara anak dengan ibu merupakan sekolah
36
pertama untuk mempelajari emosi. Dalam lingkungan yang akrab ini, manusia
belajar bagaimana merasakan perasaannya sendiri dan bagaimana orang lain
menanggapi perasaan tersebut; bagaimana berpikir tentang perasaannya dan
pilihan-pilihan apa yang dimilikinya untuk bereaksi serta bagaimana membaca
serta mengungkapkan harapan dan rasa takut.
Le Doux sebagai tokoh yang menemukan peran amigdala meninjau peran
amigdala dalam masa kanak-kanak untuk mendukung apa yang telah lama
menjadi prinsip dasar pemikiran psikoanalisis bahwa interaksi tahun-tahun awal
dalam kehidupan menjadi dasar serangkaian pembelajaran emosi. Pembelajaran
emosi ini demikian kuat pengaruhnya namun begitu sulit dipahami dari sudut
pandang kehidupan orang dewasa karena pembelajaran tersebut disimpan dalam
amigdala sebagai cetak biru yang mentah tanpa keterangan apapun dalam
kehidupan emosional (Goleman, 2007: 19, 23-24).
2.3.5
37
otak besar dan terutama bertanggung jawab atas pengaturan emosi dan
impuls.
2.3.5.2 Faktor pelatihan emosi
Kegiatan yang dilakukan secara berulang-ulang akan menciptakan
kebiasaan, dan kebiasaan rutin tersebut akan menghasilkan pengalaman
yang berujung pada pembentukan nilai (value). Reaksi emosional apabila
diulang-ulang
pun
akan
berkembang
menjadi
suatu
kebiasaan.
Perbedaan ras/etnis/bangsa.
Anak usia TK dan SD belum mampu memahami perbedaan
antar budaya. Bila bertemu dengan anak dari kultur lain atau berada
dalam lingkungan kultur lain, sering terjadi salah interpretasi terhadap
38
Umur.
Amigdala sebagai gudang ingatan emosional seringkali telah
ketinggalan jaman atau tidak memandang konteks suatu masalah.
Sebab amigdala berusaha melarik pengalaman, membandingkan apa
yang sedang terjadi sekarang dengan yang terjadi di masa lampau
dalam hubungan asosiatif. Ketidaktelitian otak emosional ini ditambah
kenyataan bahwa banyak ingatan emosional yang kuat berasal dari
tahun-tahun pertama kehidupan. Hal ini terutama berlaku bagi
peristiwa-peristiwa traumatis, seperti pemukulan atau penyia-nyiaan.
Selama periode awal kehidupan, hippocampus yang penting bagi
ingatan naratif dan neokorteks tempat kedudukan rasional belum
berkembang sepenuhnya (Goleman, 2007: 19).
Penelitian
terhadap
72
anak
pra
sekolah
di
Jepang
39
3.
Jenis kelamin.
Ada perbedaan antara anak laki-laki dan perempuan dalam
kontrol diri. Dalam kaitannya dengan teman, berdasarkan penelitian
Zang, dkk. (2004) terhadap 119 anak berusia 4-6 tahun, bahwa mereka
cenderung berperilaku pro sosial kepada teman-temannya sendiri
daripada guru dan lebih pro sosial kepada teman sejenis kelamin
ketimbang lawan jenisnya (Sarwono, 2007).
Sebuah penelitian di Jepang juga menunjukkan bahwa anak
laki-laki Jepang lebih cerewet soal nilai-nilai pelajaran, namun tidak
mau membantu ibu di rumah dan cuek tentang pengendalian emosinya
(misalnya menahan amarah). Anak perempuan sebaliknya rewel dalam
pekerjaan rumah tangga, namun tetap peduli pada pelajaran sekolah
dan pengendalian amarah lebih baik (Sogon, 2004 dalam Sarwono,
2007).
Baraja (2008: 250), bahwa umumnya tidak terjadi suatu
perbedaan antara anak laki-laki dengan anak perempuan dalam proses
perkembangan emosi pada masa anak. Hanya karena pengkondisian
anak, sehingga banyak anak laki-laki yang menggunakan secara aktif
emosinya, seperti ledakan emosi marah lebih ditunjukkan pada anak
laki-laki. Sebaliknya rasa takut, cemburu dan kasih sayang merupakan
tempat emosi yang sesuai bagi anak perempuan daripada anak lakilaki.
40
orang
yang
berpendapatan
menengah
lebih
banyak
41
dkk.
(2001)
menemukan
bahwa
perilaku
42
43
2.3.7
teman sebaya.
6. Lebih dibutuhkan oleh teman sebaya.
7. Lebih menaruh perhatian dan bertenggang rasa.
8. Lebih memikirkan kepentingan sosial dan selaras dalam kelompok.
9. Lebih suka berbagi rasa, bekerja sama dan suka menolong.
10. Lebih demokratis dalam bergaul dengan orang lain.
Komponen kecerdasan sosial emosi
Menurut Goleman (Safaria, 2005: 72-73), kecerdasan sosial emosi
memiliki 5 komponen yang menyusunnya, yaitu:
44
individu
tidak
terpengaruh
secara
mendalam
sehingga
45
mengembangkan
ketrampilan
mendengarkan
efektif,
46
2.3.8.1 Normal adalah sesuai dengan tahapan emosi anak, yaitu 42-53 bulan: <70
dan 54-72 bulan: <70.
2.3.8.2 Terlambat adalah tidak sesuai dengan tahapan emosi anak, yaitu 42-53
bulan: >70 dan 54-72 bulan: >70 (Squires, dkk., 2002).
2.4
2.4.1
47
Indonesia
Laki-laki
Perempuan
Berat (kg) Panjang (cm) Berat (kg)
Panjang (cm)
4 th
13.0
93.5
12.6
92.5
5 th
14.4
101.9
14.2
100.0
6 th
15.8
108.0
16.2
105.7
Sumber: Medicastore (2006)
Umur
2.4.3
48
Kemampuan
Motorik Kasar
3-4 tahun 1.
Naik dan turun
tangga
2.
Meloncat
dengan dua kaki
3.
Melempar bola
4-6 tahun
1.
2.
Meloncat
Mengendarai
sepeda anak
3.
Menangkap
bola
4.
Bermain olah
raga
Sumber: Yusuf (2009: 164)
1.
2.
3.
1.
2.
3.
4.
Kemampuan Motorik
Lembut/Halus
Menggunakan krayon
(warna)
Menggunakan benda atau
alat
Meniru bentuk (meniru
gerakan orang lain)
Menggunakan pensil
Menggambar
Memotong dengan gunting
Menulis huruf cetak
49
2.
3.
50
lingkungan
melalui
kemampuan
indranya.
Anak
usia
pra
sekolah
terdiferensiasi.
Berbagai
faktor
yang
yang
dipelajari,
bukan
sekedar
hasil
dari
pematangan.
Rasa cemas yang berkepanjangan atau takut yang tidak sesuai dengan
kenyataan.
51
2.
3.
4.
5.
52
sebagainya.
3.
Marah merupakan perasaan tidak senang, atau benci baik terhadap
orang lain, diri sendiri atau objek tertentu yang diwujudkan dalam
bentuk verbal (kata-kata kasar/makian/sumpah serapah), atau non
verbal (seperti mencubit, memukul, menampar, menendang, dan
merusak). Perasaan marah ini merupakan reaksi terhadap situasi
frustasi yang dialaminya, yaitu perasaan kecewa atau perasaan tidak
senang karena adanya hambatan terhadap pemenuhan keinginannya.
Pada masa ini rasa marah sering terjadi karena:
a. Banyak stimulus yang menimbulkan rasa marah,
b. Banyak anak yang menemukan bahwa marah merupakan cara
yang baik untuk mendapatkan perhatian atau memuaskan
keinginannya.
Berbagai stimulus yang menimbulkan perasaan marah,
diantaranya: rintangan atas kebutuhan jasmaniah, gangguan terhadap
gerakan-gerakan anak yang dilakukannya, rintangan terhadap kegiatan
yang sedang berlangsung, rintangan terhadap keinginan-keinginannya,
atau kejengkelan-kejengkelan yang menumpuk. Sumber perasaan
53
mengisap jempol
c. Sikap tidak peduli, dan
d. Menjauhkan diri dari saingan.
5. Kegembiraan, kesenangan, kenikmatan yaitu perasaan yang positif,
nyaman, karena terpenuhi keinginannya. Kondisi yang melahirkan
perasaan gembira pada anak, di antaranya terpenuhinya kebutuhan
jasmaniah (makan dan minum), keadaan jasmaniah yang sehat,
diperolehnya kasih sayang, ada kesempatan untuk bergerak (bermain
secara leluasa), dan memilki mainan yang disenanginya.
6. Kasih sayang yaitu perasaan senang untuk memberikan perhatian, atau
perlindungan terhadap orang lain, hewan atau benda. Perasaan ini
berkembang berdasarkan pengalamannya yang menyenangkan dalam
berhubungan dengan orang lain (orang tua, saudara, dan teman),
hewan (seperti, kucing dan burung), atau benda (seperti mainan).
Kasih sayang anak kepada orang tua atau saudaranya, amat
54
55
2. Permainan fiksi, seperti menjadikan kursi sebagai kuda, main sekolahsekolahan, dagang-dagangan, perang-perangan, dan masak-masakan.
3. Permainan reseptif atau apresiatif, seperti mendengarkan cerita atau
dongeng, melihat gambar, dan melihat orang melukis.
4. Permainan membentuk (konstruksi), seperti membuat kue dari tanah
liat, membuat gunung pasir, membuat kapal-kapalan dari kertas,
membuat gerobak dari kulit jeruk, membuat bangunan rumah-rumahan
dari potongan-potongan kayu (plastik) dan membuat senjata dari
pelepah daun pisang.
5. Permainan prestasi, seperti sepak bola, bola voli, tenis meja, dan bola
basket.
2.4.3.7 Perkembangan kepribadian
Aspek-aspek perkembangan kepribadian anak itu meliputi hal-hal
1.
berikut:
Dependency and self iImage.
Gaya perlakuan orang tua kepada anak, ternyata sangat
beragam, ada yang terlalu memanjakan, bersikap keras, penerimaan
dan kasih sayang, dan acuh tak acuh (permisif). Masing-masing
perlakuan itu cenderung memberikan dampak yang beragam bagi
kepribadian anak. Anak yang biasa dihukum karena pelanggaran biasa
dengan tidak memberikan kasih sayang atau perhatian kepadanya,
maka anak tersebut cenderung lebih dependen daripada anak yang
cukup dari orangtuanya di rumah, maka dia akan menuntut perhatian
dari guru-guru pada saat dia sudah masuk TK.
Namun apabila perlindungan orang tua itu terlalu berlebihan
(terlalu memanjakan) maka anak cenderung kurang bertanggung jawab
56
tujuan
yang
jelas,
dan
mampu
mengontrol
57
ketuhanan
dipahami
secara
ideosyncritic
(menurut
khayalan
58
yang dianggap bertanggung jawab untuk perjalanan emosi adalah sistem Limbik.
Tahun 1878, Paul Broca, seorang ahli neurologi Perancis menulis bahwa pada
permukaan medial Cerebrum dari semua mamalia terdapat sekelompok area
kortikal yang jelas berbeda dengan area lain di sekitarnya, Broca kemudian
memberi nama Limbus (tepi) karena berbentuk cincin melingkari batang otak,
nama lengkapnya Lobus Limbicus Broca, yang terdiri atas kortex yang
mengelilingi Corpus Callosum, girus Cinguli dan Hipokampus, ketiganya
menyusun menjadi satu sistem yaitu sistem Limbik. Dari temuan tersebut Broca
belum menyelidiki hubungan antara lobus Limbikus dan emosi, bahkan dia
mengira bahwa lobus Limbikus terlibat dalam mekanisme pembauan.
Fakta saat ini menunjukkan bahwa lobus Limbikus memiliki peran yang
tidak terpisah dengan emosi. Selanjutnya baru antara tahun 1930-an terdapat
bukti-bukti bahwa sistem Limbik terlibat dalam mekanisme emosi. Bercermin
pada temuan Cannon, Bard dan sebagainya, James Papez, seorang ahli neurologi
Amerika, menyarankan adanya suatu sistem emosi yang terletak pada dinding
medial otak, yang menghubungkan korteks dengan hipotalamus. Dalam sistem
tersebut, setiap elemen dihubungkan satu dengan yang lain lewat jalur serabut
besar, sehingga korteks cinguli berhubungan dengan hipotalamus lewat
hipokampus dan forniks. Hipotalamus berhubungan dengan neokorteks lewat
nukleus anterior talami dan korteks cinguli. Selanjutnya Papez percaya bahwa
pengalaman emosi ditetapkan langsung oleh aktivitas korteks cinguli dan secara
tidak langsung oleh area kortikal yang lain. Sedangkan ekspresi emosional
diperkirakan diatur oleh Hipotalamus. Korteks cinguli mengirim proyeksi ke
59
60
darurat,
selanjutnya
sinyal
tersebut
mengaktifkan
HPA
(hipotalamo pituitari adrenal) dan sistem saraf otonom (ANS) atau SAM
(simpathetic adrenal medullary)
Respons lewat aksis HPA melepas kortisol dan -endorphin
sedangkan respons yang lewat aksis SAM melepas katekolamin. Sinyal
darurat dari CRF akan memacu pituitaria untuk melepas (dalam hal ini
terutama) ACTH (Adrenocorticotropic Hormon) dan -endorphin. ACTH
masuk ke dalam sirkulasi darah, sampai di adrenal mengaktifkan korteks
adrenal dan melepas glukokortikoid (kortisol) yang kadarnya tinggi dan
bersifat darurat. Kortisol masuk ke dalam sirkulasi darah ke seluruh tubuh
yang dapat menurunkan sistem imun tubuh (Mulyata, 2008).
Sementara sinyal darurat yang menuju ke ANS mengaktifkan
serabut preganglioner simpatis menuju adrenal dan ganti neuron di medula
adrenal, melepas katekolamin yang kadarnya tinggi dan bersifat darurat,
selanjutnya katekolamin masuk ke dalam sirkulasi darah mengalir ke
seluruh tubuh. Katekolamin menyebabkan vasokonstriksi sistemik dan
kardiak inotropik yang menyebabkan peningkatan tekanan darah dan
denyut jantung.
2.4.5.2 Stimulus positif.
61
kiriprefrontal
kanan,
talamus
kemudian
secara
berlebihan,
kortisol
tidak
bertindak
sebagai
62
menghasilkan
letupan-letupan
listrik.
Letupan
ini
merangsang
bertambahnya produksi myelin oleh zat perekat glial. Semakin banyaknya zat
myelin yang diproduksi maka semakin banyak dendrit-dendrit yang tumbuh,
sehingga akan semakin banyak neuron-neuron yang menyatu membentuk unitunit. Kualitas kemampuan otak dalam menyerap dan mengolah informasi
tergantung dari banyaknya neuron yang membentuk unit-unit. Synaps akan
bekerja secara cepat sampai usia anak 5-6 tahun. Banyaknya jumlah sambungan
tersebut mempengaruhi kualitas kemampuan otak sepanjang hidup. Pertumbuhan
jumlah jaringan otak dipengaruhi oleh pengalaman yang didapat anak pada awalawal kehidupannya, termasuk pengalaman menyenangkan (Mashar, 2011: 116).
Kemampuan otak yang dipengaruhi oleh kegiatan neuron tidak bersifat
spontan, tetapi dipengaruhi oleh mutu dan frekuensi stimulasi yang diterima indra.
Struktur fisik otak anak dipengaruhi oleh stimulasi yang diterima pada tahuntahun pertama dan hal ini relatif menetap hingga masa-masa kehidupan
selanjutnya. Implikasinya adalah bahwa anak yang tidak mendapatkan lingkungan
yang merangsang pertumbuhan otak atau tidak mendapatkan stimulasi psikososial
seperti jarang disentuh atau jarang diajak bermain, akan mengalami kelambatan
perkembangan dibanding anak seusia yang mendapatkan cukup stimulasi.
63
Kelambatan ini tidak saja dalam hal kecerdasan, tetapi juga berpengaruh terhadap
pembentukan kepribadian anak khususnya sisi emosionalnya (Mashar, 2011: 116117).
Menurut Santrock (2007: 327-330), kecerdasan emosional dipengaruhi
oleh faktor genetik dan lingkungan. Saat ini, sebagian besar peneliti setuju bahwa
faktor keturunan tidak menentukan kecerdasan, meskipun dukungan genetik
mungkin mempengaruhi kemampuan intelektual seseorang, namun yang lebih
penting adalah pengaruh-pengaruh lingkungan dan kesempatan yang kita sediakan
bagi anak akan membuat perbedaan. Menurut Goleman (2007: xv), pelajaranpelajaran emosi yang diperoleh semasa kanak-kanak, di rumah dan lingkungan
sekitar akan membentuk sirkuit-sirkuit emosi, membuat kita cakap atau tidak
cakap dalam hal dasar-dasar kecerdasan emosional. Lebih lanjut, Goleman (2007:
271, 276) menyatakan bahwa peranan orang tua yang terampil secara emosional
dapat sangat membantu anak dengan memberi dasar ketrampilan emosional
seperti bagaimana mengenali, mengelola, dan memanfaatkan perasaan-perasaan;
berempati, dan menangani perasaan-perasaan yang muncul dalam hubunganhubungan mereka. Semua pergaulan kecil antara orang tua dengan anaknya
mempunyai makna emosional tersembunyi dan dalam pengulangan pesan-pesan
ini selama bertahun-tahun, anak-anak membentuk inti pandangan serta
kemampuan emosionalnya.
Pengalaman di tahun-tahun awal kehidupan yang berisikan penyangkalan,
penyia-nyiaan, pembantahan yang seringkali terulang di masa kanak-kanak akan
menimbulkan sejumlah pesan emosional paling mendasar seumur hidup, sebagai
suatu pelajaran yang dapat menentukan arah kehidupan. Sebab kehidupan
64
keluarga dan terutama interaksi antara anak dengan ibu merupakan sekolah
pertama untuk mempelajari emosi. Dalam lingkungan yang akrab ini, manusia
belajar bagaimana merasakan perasaannya sendiri dan bagaimana orang lain
menanggapi perasaan tersebut; bagaimana berpikir tentang perasaannya dan
pilihan-pilihan apa yang dimilikinya untuk bereaksi serta bagaimana membaca
serta mengungkapkan harapan dan rasa takut (Goleman, 2007: 242).
65
2.6 Kerangka Teori
Kerangka teori merupakan hasil resume dalam bentuk skema terhadap teori yang dipelajari yang mendasari masalah riset
yang akan dilaksanakan (LP2M Stikes Bina Sehat PPNI Mojokerto, 2011).
Manfaat kecerdasan sosial emosi:
1. Mampu mengenali dan merasakan emosinya
2. Toleransi tinggi terhadap frustasi dan pengelolaan
amarah
3. Lebih bertanggung jawab
4. Lebih mampu menerima sudut pandang orang lain
5. Mampu menganalisis dan memahami hubungan
Stimulasi psikososial
Alat indera
Saraf sensoris
Talamus
Korteks sensoris
Neokorteks
Amigdala
Hipocampus
Hipotalamus
Korteks prefrontal
Stimulus positif
Sekresi enkephalin dan endorphin
Kortisol
Mobilisator energi dan coping
Stimulus negatif
CRF
Kortisol dan katekolamin
Gambar 2.1 Kerangka teori hubungan stimulasi psikososial dengan kecerdasan sosial emosi anak pra sekolah (4-6 tahun) di
Desa Nglebur Kecamatan Kedungpring Kabupaten Lamongan
66
Kecerdasan emosi
anak usia pra sekolah
(4.6 tahun):
1. Regulasi pribadi
2. Komunikasi
3. Pertemanan
4. Fungsi adaptif
5. Otonomi
6. Afeksi
7. Interaksi dengan orang
lain
Normal
Tinggi
>persentil 85
Keterangan:
: diteliti
Terlambat
Sedang
persentil 15-85
Rendah
<persentil 15
: tidak diteliti
Sedang
Tinggi
Rendah
67
2.8 Hipotesis
Hipotesis dapat diartikan sebagai suatu jawaban yang bersifat
sementara terhadap permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data
yang terkumpul (Arikunto, 2010: 110).
Ho : Tidak ada hubungan stimulasi psikososial dengan kecerdasan sosial
emosi anak pra sekolah (4-6 tahun) di Desa Nglebur Kecamatan
Kedungpring Kabupaten Lamongan.
H : Ada hubungan stimulasi psikososial dengan kecerdasan sosial emosi
anak pra sekolah (4-6 tahun) di Desa Nglebur Kecamatan
Kedungpring Kabupaten Lamongan.
BAB 3
METODE PENELITIAN
68
Pada bab ini akan disajikan antara lain: desain atau rancangan penelitian,
populasi, sampel dan sampling, identifikasi variabel penelitian dan definisi
operasional, prosedur penelitian, pengumpulan data, analisis data, etika penelitian
dan keterbatasan.
penelitian.
Peneliti
menggunakan
desain
penelitian
analitik
korelasional.
Pendekatan yang digunakan adalah case control. Pendekatan case control
menyangkut bagaimana faktor risiko dipelajari dengan menggunakan pendekatan
retrospective. Dengan kata lain, efek diidentifikasi pada saat ini, kemudian faktor
risiko diidentifikasi terjadinya pada waktu yang lalu (Notoatmodjo, 2010: 150).
Penelitian case control (kasus control) merupakan penelitian epidemiologis
analitik observasional yang menelaah hubungan antara efek (penyakit atau kondisi
kesehatan) tertentu dengan faktor risiko tertentu. Studi dimulai dengan
mengidentifikasi kelompok dengan efek atau penyakit tertentu (kasus) dan
kelompok tanpa efek (kontrol); kemudian secara retrospektif diteliti faktor risiko
69
yang dapat menerangkan mengapa kasus terkena efek, sedangkan kontrol tidak
(Sastroasmoro dan Ismael, 2008: 127-128).
Stimulasi psikososial
Tinggi
Sedang
Retrospektif
Kecerdasan
emosi
(kasus)
Rendah
Sampel
Tinggi
Sedang
Retropektif
Kecerdasan
emosi
(kontrol)
Rendah
Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek
yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2009: 61).
Populasi didefinisikan sebagai elompok subjek yang hendak dikenai generalisasi
hasil penelitian (Azwar, 2010: 77). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh
ibu yang memiliki anak pra sekolah (4-6 tahun) dan anaknya di Desa Nglebur
Kecamatan Kedungpring Kabupaten Lamongan 52 orang.
70
3.2.2
Sampling
Teknik sampling adalah cara atau teknik-teknik tertentu dalam mengambil
Sampel
Sampel penelitian adalah objek yang diteliti dan dianggap mewakili
seluruh populasi (Notoatmodjo, 2010: 115). Sampel adalah bagian dari jumlah dan
karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Setiawan dan Saryono, 2010: 89).
Dalam penelitian ini, sampel yang digunakan adalah sebagian ibu yang memiliki
anak pra sekolah (4-6 tahun) dan anaknya di Desa Nglebur Kecamatan
Kedungpring Kabupaten Lamongan yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 48
orang.
71
terhadap sesuatu (benda, manusia, dan lain-lain) (Soeparto, dkk, 2000: 54). Ciri
72
yang dimiliki oleh anggota suatu kelompok (orang, benda, situasi) berbeda dengan
yang dimiliki oleh kelompok tersebut (Rafii, 1985) (Nursalam, 2008: 97).
Variabel dalam penelitian ini dibagi menjadi 2, yaitu variabel bebas
(independent variable) dan variabel tergantung (dependent variable).
3.3.1.1 Variabel independen (bebas)
Variabel bebas adalah variabel yang nilainya menentukan variabel
lain. Variabel bebas biasanya dimanipulasi, diamati dan diukur untuk
diketahui hubungannya
atau
pengaruhnya
terhadap variabel
lain
(Nursalam, 2008: 97). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah stimulasi
psikososial pada anak pra sekolah (4-6 tahun).
3.3.1.2 Variabel dependen (terikat/tergantung)
Variabel dependen adalah variabel yang nilainya ditentukan oleh
variabel lain. Variabel respons akan muncul sebagai akibat dari manipulasi
variable-variabel lain (Nursalam, 2008: 98). Variabel dependen dalam
penelitian ini adalah kecerdasan sosial emosi anak pra sekolah (4-6 tahun).
3.3.2
Definisi operasional
Definisi operasional adalah suatu definisi mengenai variabel yang
73
Definisi
operasional
Indikator
Independen:
Stimulasi
psikososial
Keberadaan
a.
lingkungan rumah
yang mampu
b.
pada anak memberikan
pra sekolah stimulasi pada
(4-6 tahun) anak usia 4-6
tahun secara
c.
sosial emosional
yang dihasilkan
dari ikatan penuh
kasih antara ibu
dan anak
d.
e.
Dependen:
Kecerdasan
sosial emosi
anak pra
sekolah (4-6
tahun)
Kemampuan anak
usia 4-6 tahun
untuk merasakan
dan
mengekspresikan
emosi diri dan
memahami emosi
orang lain dengan
tepat
Alat
ukur
Skala
Skor dan
Kriteria
i
p
r
i
b
a
d
i
2. K
o
m
u
n
i
k
a
s
i
Kriteria:
1. Normal:
42-53 bl: <70
54-72 bl: <70
2. Terlambat:
42-53 bl: >70
54-72 bl: >70
74
3. P
e
r
t
e
m
a
n
a
n
4. F
u
n
g
s
i
a
d
a
p
t
i
f
5. O
t
o
n
o
m
i
6. A
f
e
k
s
i
7. I
n
t
e
r
a
k
s
i
d
75
e
n
g
a
n
o
r
a
n
g
l
a
i
n
3.4 Prosedur penelitian
Langkah-langkah dalam pengumpulan data yaitu: diawali setelah
mendapatkan ijin dari pihak STIKES Bina Sehat PPNI Kabupaten Mojokerto
khususnya Program Studi S1 Keperawatan untuk mengadakan penelitian. Peneliti
meminta ijin kepada Kepala Desa Nglebur Kecamatan Kedungpring Kabupaten
Lamongan untuk mengadakan penelitian di tempat tersebut.
Setelah mendapatkan ijin, peneliti kemudian meminta data dari Kepala
Desa Nglebur melalui Bidan Desa setempat tentang jumlah anak usia pra sekolah
(4-6 tahun) yang terbaru dan didapatkan data sebanyak 52 orang. Selanjutnya
berdasarkan data yang ada, peneliti melakukan kunjungan rumah. Setelah bertemu
dengan calon responden yaitu ibu dan anak usia pra sekolah (4-6 tahun), peneliti
menjelaskan maksud dan tujuan penelitian lalu memilih responden berdasarkan
kriteria yang telah ditetapkan. Responden anak diwakili oleh ibu yang
bersangkutan. Jika terdapat calon responden yang sesuai dengan kriteria
76
Sampling
Menggunakan non probability sampling tipe purposive sampling
Sampel
Sebagian ibu yang memiliki anak pra sekolah (4-6 tahun) dan anaknya di Desa
Nglebur Kedungpring Lamongan yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 48 orang
77
Pengumpulan data
Stimulasi psikososial
Kuesioner HOME-SF dan observasi
Analisa data
Setelah data terkumpul, dilakukan pengolahan dan analisis data dengan menggunakan
uji statistik Spearmans rho
Penyajian data terdiri dari data umum dan data khusus dalam bentuk tabel
Instrumen penelitian
Dalam penelitian ini instrumen yang digunakan untuk mengidentifikasi
variabel stimulasi psikososial oleh ibu adalah kuesioner HOME-SF dan observasi.
Pada HOME-SF untuk kanak-kanak awal (3-5,11 bulan), terdapat dua sub skala
yaitu sub skala kognitif dan sub skala emosional yang dibagi lagi dalam lima
indikator, yaitu: stimulasi, kehangatan dan penerimaan, stimulasi akademik
(persiapan sekolah), hukuman fisik, dan lingkungan fisik (Mariner, dkk., 1998: 1).
78
Editing
Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang
79
3.6.2
data yang terdiri atas beberapa kategori. Pemberian kode ini sangat penting dan
biasanya dalam pemberian kode dibuat juga daftar kode dan artinya dalam satu
buku untuk memudahkan kembali melihat lokasi dan arti suatu kode dari suatu
variabel (Hidayat, 2010: 121).
Coding dalam penelitian ini adalah:
1.
2.
3.
Tabulating
Merupakan proses data entry, yaitu memasukkan data yang telah
80
kategori dan skor kemudian dimasukkan dalam tabel (Narbuko dan Achmadi,
2002: 155).
Tabulasi dilakukan dengan cara memasukkan semua data responden baik
data umum maupun data khusus ke dalam master table.
3.6.5
Analisis data
Rumus persentil:
Pp = L + b(S-L)
Posisi persentil: Pp pada data ke p(n+1)/100
Keterangan:
P = 1, 2, 3, 4, , 99
n = jumlah pengamatan
Pp = persentil ke
L = nilai sebelum Pp
S = nilai dimana Pp berada
b = kekurangan unit untuk mencapai Pp
3.6.5.2 Variabel dependen.
81
2.
2.
3.
Kekuatan hubungan
Baik
Sedang
Lemah
82
<0,4
Sangat lemah
Sumber: Sastroasmoro dan Ismael (2008: 324)
Informed consent
Merupakan cara persetujuan antara peneliti dengan responden penelitian
Anonimity
Merupakan masalah etika dalam penelitian dengan cara tidak memberikan
nama responden pada lembar alat ukur hanya menuliskan kode pada lembar
pengumpulan data.
3.7.3
Confidentiality
83
3.6
Keterbatasan
Dalam penelitian ini keterbatasan yang dihadapi adalah:
3.6.1
3.6.2
Kuesioner yang digunakan berasal dari bahasa asing yaitu bahasa Inggris,
sehingga dapat mempunyai kekurangan dalam penerjemahan ke dalam
bahasa Indonesia yang mengurangi arti sebenarnya dan menyebabkan
3.6.3
84
BAB 4
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini diuraikan hasil penelitian dan pembahasan. Hasil penelitian
dibagi menjadi gambaran lokasi penelitian, data umum dan data khusus. Data
umum menampilkan karakteristik responden, yaitu umur anak, jenis kelamin
anak, kedekatan anak, status tempat tinggal anak, dan pemberian ASI eksklusif.
Data khusus adalah data tentang hubungan stimulasi psikososial dengan
kecerdasan sosial emosi anak pra sekolah (4-6 tahun) di Desa Nglebur Kecamatan
Kedungpring Kabupaten Lamongan.
85
4.1.2
Data umum
Data umum berisi karakteristik responden berdasarkan umur anak, jenis
kelamin anak, kedekatan anak, status tempat tinggal anak, dan pemberian ASI
eksklusif.
4.1.2.1 Karakteristik responden berdasarkan umur anak.
Tabel 4.1 Distribusi frekuensi responden berdasarkan umur anak di
Desa Nglebur Kecamatan Kedungpring Kabupaten
Lamongan tanggal 11-30 Juni 2012
No
1.
2.
Umur anak
2-53 bulan
54-72 bulan
Total
Frekuensi
11
37
48
Prosentase
22,9
77,1
100
86
Frekuensi
18
30
48
Prosentase
37,5
62,5
100
Kedekatan anak
Ibu
Ayah
Nenek/kakek/saudara lain
Pengasuh
Teman
Total
Frekuensi
21
6
18
3
0
48
Prosentase
43,8
12,5
37,5
6,3
0
100
Frekuensi
29
Prosentase
60,4
87
2.
19
39,6
48
100
Frekuensi
11
37
48
Prosentase
22,9
77,1
100
Stimulasi psikososial
Tinggi
Sedang
Rendah
Frekuensi
7
36
5
Prosentase
14,6
75,0
10,4
88
Total
48
100
4.1.3.2 Kecerdasan sosial emosi anak pra sekolah (4-6 tahun) di Desa Nglebur
Kecamatan Kedungpring Kabupaten Lamongan.
Tabel 4.7 Distribusi frekuensi kecerdasan sosial emosi anak pra
sekolah (4-6 tahun) di Desa Nglebur Kecamatan
Kedungpring Kabupaten Lamongan tanggal 11-30 Juni 2012
No
1.
2.
Frekuensi
16
32
48
Prosentase
33,3
66,7
100
89
Stimulasi
psikososial
Tinggi
Sedang
Rendah
Total
Berdasarkan
4.8
diketahui
bahwa
Total
f
7
36
5
48
%
14,6
75,0
10,4
100
responden
yang
90
4.2 Pembahasan
4.2.1
91
92
93
(BKKBN,
2010).
Beberapa
bagian
masyarakat
lebih
94
95
96
semua potensi ataupun bakat yang ada pada anak, baik kemampuan
matematis, seni, bahasa, maupun kemampuan lain. Stimulasi sebaiknya
dilakukan setiap kali ada kesempatan berinteraksi dengan bayi. Ibu bisa
memanfaatkannya ketika memandikan, mengganti popok, menyusui,
menyuapi makanan, menggendong, mengajak berjalan-jalan, bermain,
menonton TV, berada di dalam kendaraan, menjelang tidur ataupun kegiatan
lainnya (Muhammad, 2010: 67). Kebiasaan rata-rata di daerah ini untuk
memberikan MP ASI dini membuat sebagian besar tidak memberikan ASI
eksklusif. Hal ini turut mempengaruhi kurangnya kedekatan anak dengan
ibu, sehingga masih ada dalam kondisi stimulasi sedang bahkan rendah.
4.2.2
Kecerdasan sosial emosi anak pra sekolah (4-6 tahun) di Desa Nglebur
Kecamatan Kedungpring Kabupaten Lamongan
Berdasarkan tabel 4.7 diketahui bahwa sebagian besar responden
mempunyai kecerdasan sosial emosi terlambat sebanyak 32 responden
(66,7%). Kecerdasan sosial emosi adalah keterkaitan antara sosial emosi
dengan kecerdasan ataupun sebaliknya. Dimana orang dengan motivasi atau
perasaan hati yang positif akan berusaha mengembangkan pengaruh positif
dalam pengembangan kognitif pada diri seseorang (Puspasari, 2009: 9).
Kecerdasan sosial emosi terlambat terjadi karena anak kurang mendapat
rangsangan sosial emosi yang memadai baik dari lingkungan keluarga
maupun dari lingkungan di luar keluarga. Selain itu juga dipengaruhi oleh
karakteristik responden maupun keluarga.
97
98
yang sesuai bagi anak perempuan daripada anak laki-laki (Baraja, 2008:
250). Karena anak perempuan dikondisikan untuk tidak secara aktif
menunjukkan emosinya, hal ini membuat anak perempuan cenderung
menahan amarah dan sulit untuk memahami emosi orang lain. Sehingga
membuat kecerdasan sosial emosinya juga terlambat.
Berdasarkan hasil tabulasi silang diketahui anak yang mempunyai
kecerdasan
sosial
emosi
terlambat
sebagian
besar
dekat
dengan
99
100
101
termasuk dalam hubungan lemah, artinya kecerdasan sosial emosi anak pra
sekolah (4-6 tahun) lebih dipengaruhi oleh faktor lain di luar stimulasi
psikososial.
Morrison (1998) menyatakan bahwa stimulasi berperan penting
dalam tahun-tahun awal. Sedangkan menurut Nash, pasca kelahiran,
kegiatan otak dipengaruhi dan tergantung pada kegiatan neuron dan cabangcabangnya dalam membentuk bertriliun-triliun sambungan antar neuron.
Melalui persaingan alami, sambungan-sambungan yang tidak atau jarang
digunakan akan mengalami atrofi. Pemantapan sambungan akan terjadi
apabila neuron mendapatkan informasi yang mampu menghasilkan letupanletupan listrik. Letupan ini merangsang bertambahnya produksi myelin oleh
zat perekat glial. Semakin banyaknya zat myelin yang diproduksi maka
semakin banyak dendrit-dendrit yang tumbuh, sehingga akan semakin
banyak neuron-neuron yang menyatu membentuk unit-unit. Kualitas
kemampuan otak dalam menyerap dan mengolah informasi tergantung dari
banyaknya neuron yang membentuk unit-unit. Synaps akan bekerja secara
cepat sampai usia anak 5-6 tahun. Banyaknya jumlah sambungan tersebut
mempengaruhi kualitas kemampuan otak sepanjang hidup. Pertumbuhan
jumlah jaringan otak dipengaruhi oleh pengalaman yang didapat anak pada
awal-awal kehidupannya, termasuk pengalaman menyenangkan (Mashar,
2011: 116).
Kemampuan otak yang dipengaruhi oleh kegiatan neuron tidak
bersifat spontan, tetapi dipengaruhi oleh mutu dan frekuensi stimulasi yang
diterima indra. Struktur fisik otak anak dipengaruhi oleh stimulasi yang
102
diterima pada tahun-tahun pertama dan hal ini relatif menetap hingga masamasa kehidupan selanjutnya. Implikasinya adalah bahwa anak yang tidak
mendapatkan lingkungan yang merangsang pertumbuhan otak atau tidak
mendapatkan stimulasi psikososial seperti jarang disentuh atau jarang diajak
bermain, akan mengalami kelambatan perkembangan dibanding anak seusia
yang mendapatkan cukup stimulasi. Kelambatan ini tidak saja dalam hal
kecerdasan, tetapi juga berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian
anak khususnya sisi emosionalnya (Mashar, 2011: 116-117).
Stimulasi yang diberikan oleh orang tua masih dalam tingkatan
sedang, sehingga masih belum cukup mampu membuat kecerdasan sosial
emosi anak menjadi normal. Selain itu hasil uji statistik menunjukkan
bahwa stimulasi psikososial bukanlah faktor dominan dalam mempengaruhi
kecerdasan sosial emosi anak pra sekolah (4-6 tahun), artinya masih ada
faktor-faktor yang lain yang lebih berpengaruh terhadap kecerdasan sosial
emosi anak. Hal ini terjadi karena struktur fisik otak anak dipengaruhi oleh
stimulasi yang diterima pada tahun-tahun pertama dan hal ini relatif
menetap hingga masa-masa kehidupan selanjutnya. Stimulasi psikososial
yang diberikan ibu belum mampu mempengaruhi struktur fisik otak anak
pada sisi emosional secara maksimal sehingga belum mampu membuat
kecerdasan sosial emosi anak menjadi normal. Jika mutu stimulasi yang
diterima tinggi, maka kecerdasan sosial emosi anak menjadi normal,
sebaliknya jika mutu stimulasi psikososial rendah, maka kecerdasan sosial
emosi anak menjadi terlambat. Selain itu dilatarbelakangi pula oleh
karakteristik responden yaitu rata-rata anak berumur 54-72 bulan, berjenis
103
Pada bab ini akan disajikan simpulan dari hasil penelitian yang untuk
menjawab pertanyaan serta saran yang sesuai dengan kesimpulan yang diambil.
5.1 Simpulan
5.1.1
Stimulasi psikososial pada anak pra sekolah (4-6 tahun) di Desa Nglebur
Kecamatan
Kedungpring
Kabupaten
Lamongan,
sebagian
besar
Kecerdasan sosial emosi anak pra sekolah (4-6 tahun) di Desa Nglebur
Kecamatan Kedungpring Kabupaten Lamongan sebagian besar mempunyai
kecerdasan sosial emosi terlambat sebanyak 32 responden (66,7%).
5.1.3
104
5.2 Saran
5.2.1
Bagi anak
Anak disarankan untuk lebih bersikap terbuka, mau berteman dengan siapa
Bagi ibu
Ibu disarankan untuk meningkatkan pengetahuannya mengenai pentingnya
105
Peneliti
berikutnya
dapat
meneliti
mengenai
faktor
lain
yang
Jenis Pengeluaran
KEGIATAN
BULAN
Jan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Penyusunan Proposal
Proses perijinan pengambilan data
Input Data
Analisis data
Penyusunan laporan hasil penelitian
Seminar hasil & publikasai
Feb
Mare
t
April
Mei
106
DAFTAR PUSTAKA
107
108
Penelitian
Ilmu
109
110
WHO. 2006. Mental Health and Psychosocial Well Being among Children in
Severe Food Shortage Situations. Jenewa: WHO
Widhiarso, dkk. 2010. Peranan Keberfungsian Keluarga pada Pemahaman dan
Pengungkapan
Emosi.
(Internet).
2010.
Available
from:
(http://widhiarso.staff.ugm.ac.id/files/jurnal_keluarga_dan_pengungkapa
n_emosi.pdf) (Accessed 13 Januari 2012)
Yusuf, S. 2009. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: PT. Remaja
Rosdakarya