Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah statistik sosial yang diampu oleh:
Kelompok 5
Aulia Mifta Atifa (2010102010101)
Mutiara Hidayah (2010102010089)
Ulqariatun Zahwa (2010102010090)
Cut Diva Razaki (2010102010081)
Taisir Ar-Razaq (2010102010103)
Arya Ardhana (2010102010096)
PENDAHULUAN
Pembentukan karakter dan kepribadian seorang anak sangat ditentukan saat anak masih berusia
dini (0-8 tahun). Usia dini juga sangat menentukan perkembangan dan pertumbuhan manusia
selanjutnya, di dalam keluarga orang tualah yang berperan paling besar dalam pembentukan
kepribadian anak (Zazimah,2015). Dasar-dasar kepribadian anak akan terbentuk pada saat anak
masih menduduki usia dini. Pada saat usia dinilah anak-anak mengalami salah satu krisis, yaitu
krisis pembentukan dasar kepribadian. (Jurnal ilmiah visi P2TK PAUDNI). Salah satu faktor
seseorang memiliki prasangka terhadap kelompok atau terhadap orang tertentu, disebabkan oleh
kepribadian yang otoritarian. Kepribadian otoritarian memgimplikasikan motif ketidaksukaan
terhadap kelompok luar sehingga akan memprediksi prasangka terhadap kelompok tersebut. Orang
yang tinggi akan pendidikan otoritarian memiliki sikap yang negatif terhadap kelompok luar yang
akan mengancam keamanan bersama (Duckitt dan Sibley, 2010). Pola asuh otoriter seringkali
dianggap sebagai pola asuh yang bisa menganggu perkembangan anak. Karena apabila ia
melakukan hal yang tidak sesuai dengan keinginan orang tua maka orang tua akan emosi dan
marah. Sehingga menyebabkan anak menjadi pribadi yang susah untuk percaya dengan orang lain,
menarik diri dari lingkungan sosial dan merasa tidak puas (ejournal.unkhair.ac.id).
Adorno, Frankel-Brunswik, Levinson dan Sanford (1950 dalam Vaughan dan Hogg, 2005)
mengembangkan penjelasan mengenai kaitan prasangka dengan kepribadian otoriter. Dalam
penjelasannya ini ia mengungkapkan bahwa hanya orang dengan kepribadian otoritarian saja yang
cenderung berprasangka. Kepribadian otoritarian ini didenifisikan sebagai konstelasi karakteristik
yang meliputi obsesi terhadap status, rangking, ketidaksukaan terhadap pihak yang lemah, sering
kali bersikap secara kaku. Karakteristik yang ada pada individu ini berkembang sejak usia dini
atau pada masa kanak-kanak. Dijelaskan lebih jauh bahwa orang tua yang menunjukkan sikap
kasar secara berlebihan serta menjalankan kedisiplinan akan mengembangkan ketergantungan
emosional dan kepatuhan sehingga membangun kegamangan pada anak. Disatu sisi ia mencintai
orang tuanya namun juga sekaligus membencinya. Sehingga menciptakan kondisi yang ambigu
dan menekan untuk dicari bagaimana penyelesaiannya. Hal ini menyebabkan anak menjadi sulit
untuk mengekspresikan rasa takut dan rasa bersalahnya. Oleh karena itu anak akan melampiaskan
perasaannya ini kepada pihak yang lebih lemah namun tetap menjaga respek padaorang tua atau
pihak otoritasnya. (buku psikologi sosial karya sarlito W. sarwono dan Eko A. Meinarno). Orang
tua yang mendidik dengan pola asuh otoriter yang sangat mengontrol anaknya dalam hal
berperilaku sehingga sering kali anak tidak memiliki kemampuan dalam memilih dan menentukan
tindakan apa yang akan dilakukan kedepannya. Yang mana pada akhirnya anak mengalami
kesulitan dalam bertindak. Anak yang mendapatkan didikan orang tua yang otoriter juga
cenderung sering tidak berani memutuskan untuk memulai suatu aktivitas, sehingga membuat
kemampuan komunikasinya menjadi rendah terhadap lingkungan sekitarnya. Pola asuh seperti ini
juga mengakibatkan anak merasa tidak memiliki kesempatan untuk bisa menyampaikan gagasan,
ide, serta mengembangkan inisiatif dan pemikirannya. Yang pada akhirnya mengakibatkan anak
tumbuh menjadi pribadi yang rendah diri dan bersikap tidak peduli terhadap sekitar serta
cenderung lebih pesimis. (jurnal.unissula.ac.id)
Berdasarkan yang telah diuraikan pada latar belakang, maka rumusan masalah pada penelitian ini
adalah :
1. Adakah pengaruh pribadi otoriter orang tua terhadap pembentukan prasangka anak?
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh pribadi otoriter
orang tua terhadap pembentukan prasangka anak.
Agar penelitian ini tidak menyimpang dari rumusan masalah yang ditetapkan maka, adapun fokus
penelitian ini adalah anak-anak usia dini dari 7-8 tahun yang berada di kelas 1-2 pada sekolah
dasar Negeri 12 Peuniti, kecamatan Baiturrahman,Banda Aceh.
1.5 Hipotesis Penelitian
Adapun hipotesis sementara dari penelitian ini adalah :
H1 : Adanya pengaruh pribadi otoriter orang tua terhadap pembentukan prasangka anak
H0 : Tidak adanya pengaruh pribadi otoriter orang tua terhadap pembentukan prasangka anak
TINJAUAN PUSTAKA
Agar lebih terarah dan adanya tolak ukur dalam melakukan penelitian, berikut
merupakan penelitian yang diambil sebagai landasan dalam melakukan penelitian ini
Pola asuh otoriter biasanya ditandai dengan cara mengasuh anak dengan membuat
peraturan-peraturan yang ketat (perkataan, ucapan, maupun kehendak orang tua) yang
harus dipatuhi oleh anak tampa memikirkan perasaan anak. Orang tua sering kali memaksa
anak agar berperilaku sama dengan perilakunya, jika anak melanggar maka orang tua tidak
segan untuk memberi hukuman kepada anak, yang biasanya berupa hukuman fisik. Tipe
kepribadian ini ditandai dengan super ego yang ketat dan kaku, struktur ego yang lemah
dan , identitas diri yang kuat. Anak yang memiliki orang tua yang menerapkan didikan
otoriter akan beranggapan bahwa orang tua selalu benar karena orang tua memiliki kuasa
akan dirinya dirumah. Hal itu dapat membentuk rasa permusuhan dasar pada anak terhadap
orang tuanya. Namun dikarenakan anak tidak berani untuk menujukkan rasa
permusuhannya langsung kepada orang tua, maka ia akan melampiaskan rasa
permusuhannya itu kepada temannya yang lemah dan tidak memiliki kekuasaan.
Kepribadian otoriter dianggap sebagai sumber dari pola asuh awal yang diterapkan
oleh ayah yang dominan dan ibu yang suka mengulangi pengalaman, tetapi sekarang dia
bertindak sebagai pengemudi. Menghukum dan mengancam orang yang tidak patuh atau
menyimpang tampa adanya komunikasi yang baik antara orang tua dan anak.
Saat mendidik anak orang tua perlu menunjukkan ketegasan terhadap perilaku yang
salah dan menyimpang kepada anak-anaknya, jika ketegasan itu sudah melampaui batas
sehingga membuat anak depresi, kurang mandiri, menarik diri dari lingkungan sosial, dan
sulit dalam mengambil keputusan, maka orang tua sudah termasuk dalam pola asuh
otoriter. Anak bersikap demikian karena tidak diberi kesempatan untuk menyampaikan
perasaannya, anak terus dituntut untuk mematuhi semua perintah orang tua. Keberanian
dan inisiatif anak akan terpendam dan tidak bisa terexpresikan karena takut berbuat
kesalahan dan mendapat hukuman dari orang tuanya. Orang tua yang menggunakan
kekerasan fisik seperti memukul dalam mendidik anak maka akan berpengaruh terhadap
perkembangan anak. Konsekuensi dari penggunaan kekerasan yang dilakukan orang tua
yaitu regulasi emosi yang buruk, anak akan kesulitan beradaptasi pada lingkungannya,
masalah dalam relasi dengan teman-teman sebaya atau masalah psikologi lain seperti
depresi yang kemungkinan muncul kenakalan remaja.
Anak yang sering mendapatkan hukuman dari orang tua nya akan menunjukkan
sikap yang berlawanan saat berada di sekolah dengan sikapnya saat berada di rumah. Anak
akan berusaha mencari perhatian, ingin didengar dan melanggar aturan untuk meluapkan
emosinya yang dipendam. Anak yang mendapat pendidikan otoriter cenderung
menampakkan agresinya di sekolah dan menampakkan kepatuhan hanya di depan orang
tuanya saja. Anak-anak dengan didikan otoriter seringkali merasa cemas, tidak bahagia dan
takut ketika membandingkan dirinya dengan orang lain, tidak memiliki keterampilan
komunikasi yang baik dan tidak memiliki inisiatif (Santrock, 2012)
2.3.4 Pengertian Prasangka
Adorno, Frenkel, Brunswick, Levinson dan Sanfok (1950) pada bukunya yang
berjudul The Authoritarian Personality menyebutkan bahwa prasangka merupakan hasil
dari karakteristik kepribadian tertentu yang disebut dengan istilah kepribadian otoriter.
Prasangka merupakan sikap negatif, kebencian dan ketidaksukaan terhadap anggota
kelompok tertentu, ataupun individu, hal tersebut diwujudkan melalui sikap buruk yang
ditunjukkan kepada orang lain. Prasangka biasanya terjadi karena adanya suatu konflik
atau masalah. Banyak dari individu yang memiliki prasangka, dikarenakan dengan
berprasangka dapat memainkan sebuah peran penting untuk menigkatkan atau melindungi
citra diri atau konsep diri seseorang (Baron & Byrne 2004). Prasangka di dalam kehidupan
merupakan proses kognitif yang berlangsung setiap hari baik pada teman sehari-hari
ataupun pada orang yang baru kita kenal. Lebih mudahnya, ketika seseorang memiliki
prasangka, ia membuat keputusan sebelum mengetahui fakta yang relevan mengenai objek
tersebut. Informasi yang berhubungan dengan prasangka sering kali diberi perhatian lebih,
atau diproses secara lebih hati-hati, daripada informasi yang tidak berhubungan dengan hal
tersebut (Blascovich dkk,1997). Orang yang memiliki prasangka cenderung tidak
menyukai atau membenci orang yang berbeda dari dirinya dan juga berperilaku
diskriminatif, contohnya dengan menyakini orang tersebut berbahaya dan bodoh.
Prasangka tumbuh dari sumber sosial seperti sikap dan nilai yang kita pelajari atau dari
status yang tidak satara. Pengaruh dari sosialisasi keluarga yang tampak dalam prasangka
anak-anak yang cenderung mempersepsikan dari orang tuanya, terutama ibu. (Castelli,
dkk.,2007). Byrne dan Baron (2004) juga menyatakan bahwa prasangka anak-anak
diperoleh dari mengobservasi orang lain.
2. Prasangka Afektif
Perasan yang dimiliki individu terhadap sesuatu.
Banyak dipengaruhi oleh apa yang kita percayai atau kepercayaan individu
sebagai benar dan berlaku bagi objek termaksud.
Merupakan perasaan individu yang menyangkut aspek-aspek emosional.
3. Prasangka Konatif
Merupakan kecenderungan individu dalam melakukan perilaku tertentu sesuai
dengan sikap yang dimiliki oleh seseorang.
Kecenderungan berperilaku belum tentu akan sungguh-sungguh ditampakkan
dalam bentuk perilaku yang sesuai.
Bagaimana indivisu berperilaku terhadap stimulus tertentu dan dalan situasi
tertentu , maka akan banyak ditentukan oleh bagaimana kepercayaan dan
perasaannya terhadap stimulus tersebut.
METODELOGI
Dalam penelitian kali ini kami memilih lokasi Sekolah Dasar Negeri 12 Peuniti,
kecamatan Baiturrahman, Banda Aceh. Adapun alasan dipilihnya lokasi di tempat tersebut
sebagai lokasi penelitian yaitu karena Sekolah Dasar Negeri 12 Peuniti belum pernah
diadakan penelitian yang serupa, khususnya mengenenai alasan pengaruh pribadi otoriter
orang tua terhadap pembentukan prasangka anak. Oleh karena itu kami menganggap
Sekolah dasar tersebut merupakan tempat yang tepat untuk melakukan penelitian ini.
Menurut Sugiyono (2010: 14-15), pendekatan penelitian terbagi menjadi dua yaitu
penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif. Menurut beliau penelitian kuantitatif
merupakan penelitian yang digunakan pada sampel atau populasi tertentu, teknik
pengambilan sampel dilakukan secara random, pengumpulan data menggunakan
instrumen penelitian dan anlisis data bersifat statistic, Hal ini dilakukan dengan tujuan
untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan. Berdasarkan pendapat di atas pendekatan
yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan pendekatan kuantitatif
karena data yang diperoleh berupa angka-angka dan pengolahan menggunakan analisis
statistik. Selain itu juga penelitian ini akan dibantu dengan data kuantitatif. Data kuantitatif
ialah jenis data yang dapat dihitung dan diukur secara langsung, yang berupa penjelasan
atau informasi yang dinyatakan dengan bilangan atau berbentuk angka. (Sugiyono,
2010:15).
3.3 Operasional Variabel
Penelitian ini mengambil populasi adalah anak-anak usia dini di sekolah dasar
negeri 12 kampung Peuniti, Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh. Adapun kriteria
pengambilan sampel pada penelitian ini yaitu anak berjenis kelamin perempuan dan laki-
laki yang berusia 7-8 tahun yang duduk di kelas 1-2 pada SD tersebut.
Teknik pengumpulan data merupakan salah satu cara yang bisa digunakan oleh peneliti
untuk mengumpulkan data yang diperlukan dalam penelitiannya. Agar sesuai dengan tujuan
penelitian yang ingin dicapai oleh peneliti. (Arikunto, 2006)
Kuesioner atau angket adalah sebuah metode survei dalam penelitian yang digunakan
untuk mengumpulkan data dan informasi dari hal-hal yang diketahui oleh responden atau laporan
tentang pribadinya. Di dalam kuesioner terdapat pertanyaan-pertanyaan tertulis yang harus
dijawab oleh responden menggunakan metode skala likert. Kemudian jawaban yang sudah
terkumpul akan diolah menjadi sebuah kesimpulan (Syarifuddin,2007)
Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data kuesioner tertutup sehingga
responden tidak bisa memberikan jawaban lain, diluar jawaban yang sudah disediakan oleh
peneliti. Metode ini dilakukan dengan cara menemui anak- anak usia dini berkisar 6-7 tahun,
kemudian membacakan pertanyaan-pertanyaan pada selembaran kertas. Dan memberikan tanda
ceklis pada kolom yang telah disediakan sesuai dengan jawaban responden . Dalam peneliti an ini
digunakan metode skala likert untuk mengukur pendapan, sikap dan persepsi individu tentang
suatu fenomena sosial (Sugiono, 2013).
Dalam penelitian ini, menggunakan metode kuantitatif, yang mana datanya diperoleh
melalui kuesioner atau angket. Setelah memperoleh data dari hasil kuesioner, kemudian data
diolah menggunakan metode analisis inferensial.
Analisis inferensial digunakan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh antara variabel
bebas terhadap variabel terikat. Analisis data dilakukam menggunakan bantuan program SPSS .
Teknik analisis data yang digunakan adalah regresi linier sederhana. Sesuai dengan dengan tujuan
dibuatnya penelitian ini, yaitu untuk mendapatkan gambaran tentang pengaruh variabel X terhadap
variabel Y.
Y = a + b.X
Keterangan :
Y : nilai yang diprediksi
X : nilai variabel predictor
a : bilangan konstan
b : bilangan koefisien predictor
Kemudian hasil kuesioner akan di coding dari skala 1-4 yang mana dapat dilihat pada tabel 3.2.
Responden penelitian diminta untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang akan dibacakan oleh
peneliti. Dari masing-masing indikator dalam pertanyaan diberi skor 1-4. Skala 1 untuk tingkat
persetujuan paling rendah, dan sebaliknya skala 4 untuk tingkat persetujuan paling tinggi.
Tabel 3.2
Skala Pengukuran
Pilihan Nilai
Sangat Setuju 4
Setuju 3
Kurang Setuju 2
Tidak Setuju 1
Pelaksanaan penelitian ini dilakukan dalam kurun waktu kurang dari satu minggu,
yaitu dimulai dari hari senin sampai pada hari sabtu. Adapun jadwal penelitian
sebagai berikut :
Penentuan judul
Penyusunan Konsep
Penentuan Populasi
dan sampel
Penentuan Metodelogi
Penelitian
Pengumpulan
penelitian