Anda di halaman 1dari 2

Nama : Pascalis Briand Eddy Boy Fasse

NIM : 220611020311

Setiap masyarakat membuat hak dan kewajiban, baik sebagai individu maupun sebagai warga
negara. Agar semua masyarakat mendapatkan hak dan kewajibannya, maka pemerintah berupaya
untuk melindungi hak dan kewajiban tersebut bagi setiap anggota masyarakat dengan cara
membuat undang-undang dan berbagai peraturan yang mendukungnya. Ada banyak sekali contoh
penerapan hak dan kewajiban dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia, salah satunya ialah
mengeluarkan pendapat sendiri merupakan hak setiap warga negara yang disampaikan secara
bertanggungjawab dan tidak bersifat provokatif. Adapun penerapan kewajiban sebagai warga
negara yaitu mambayar pajak yang merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang
dialokaiskan untuk pembangunan. Sebagai masyarakat Indonesia, kita wajib membayar pajak
sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Maka itu terbitlah Hak Asasi Manusia (HAM) yang adalah hak-hak dasar manusia yang dimiliki
sejak berada dalam kandungan dan setelah lahir kedunia (kodrat) yang berlaku secara universal
dan diakui oleh samua orang. Namun dalam kehidupan bermasyarakat akan selalu mucul atau
timbulnya berbagai macam permasalahan dalam hak-hak dasar manusia yang akhirnya banyak
merugikan pihak-pihak.

Penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu sebelum tahun 2000 secara non-yudisial
(di luar pengadilan) dinilai dapat melanggengkan impunitas serta pengingkaran terhadap hak
korban dan keluarganya. Proses penyelesaian kasus-kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia
berat masa lalu hingga kini masih menjadi perdebatan. Organisasi masyarakat sipil yang
menangani persoalan hak asasi manusia, korban dan keluarga sangat berharap penyelesaikan
perkara itu diselesaikan melalui mekanisme pengadilan. Sementara pemerintah kembali
mengupayakan di luar pengadilan (non Yudisial) untuk kasus dugaan pelanggaran HAM yang
terjadi di bawah tahun 2000. Wakil Ketua Eksternal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas
HAM) Amiruddin Al Rahab kepada VOA, Jumat (20/5) mengatakan sebagai gagasan,
penyelesaian secara non-yudisial memang dikenal di dalam hukum hak asasi manusia, namun
Indonesia tidak memiliki dasar hukum yang mengatur terkait hal itu. “Non-yudisial itu tidak ada
dasar hukumnya hingga hari ini. Nah kalau Pak Moeldoko mengusulkan hal itu, maka pilihannya
buat undang-undang baru atau kebijakan dari presiden, tinggal itu pilihan kita. Tanpa itu, yang
tersedia adalah pengadilan. Nah karena hari ini yang tersedia pengadilan ada baiknya juga pak
Moeldoko meminta jaksa agung menindaklanjuti hasil penyelelidikan Komnas,” ujar Amiruddin.
Dalam lingkup ini, sudah banyak sekali kasus-kasus yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat
Indonesia.

Peristiwa Penculikan dan Penghilangan Orang Secara Paksa periode 1997-1998, terjadi pada masa
pemilihan Presiden Republik Indonesia [Pilpres], untuk periode 1998-2003. Pada masa itu,
terdapat dua agenda politik besar; pertama, Pemilihan Umum (Pemilu) 1997. Kedua, Sidang
Umum (SU) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada bulan Maret 1998, untuk memilih
Presiden dan Wakil Presiden RI, yang pada saat kasus ini terjadi, presiden RI masih dijabat oleh
Soeharto. Kasus penculikan dan Penghilangan Orang Secara Paksa, menimpa para aktivis, pemuda
dan mahasiswa yang ingin menegakkan keadilan dan demokrasi di masa pemerintahan Orde Baru.
Mereka yang kritis dalam menyikapi kebijakan pemerintah dianggap sebagai kelompok yang
membahayakan dan merongrong kewibawaan negara. Gagasan-gagasan dan pemikiran mereka
dipandang sebagai ancaman yang dapat menghambat jalannya roda pemerintahan.

Anda mungkin juga menyukai