Tabel 2.42. Angka Rata-Rata Lama Sekolah Provinsi Riau Tahun 2011-2017
Pertumbuhan/
Angka Rata-Rata Lama Sekolah Tahun
No Kabupaten (%)
2011 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
1 Provinsi Riau 8,25 8,29 8,34 8,38 8,47 8,49 8,59 8,76 0,86
Sumber: BPS Provinsi Riau Tahun 2012-2017
Pada tahun 2017 capaian rata-rata lama sekolah Provinsi Riau adalah
sebesar 8,76. Ini berarti bahwa rata-rata penduduk usia 15 tahun hanya mampu
sekolah sampai kelas 9 semester I atau tidak tamat SMP. Keadaan ini
menunjukkan bahwa program wajib belajar 9 tahun belum sepenuhnya dapat
dicapai. Peningkatan rata-rata lama sekolah yang dicapai Provinsi Riau ini tidak
bisa dilepaskan dari berbagai kebijakan yang ditujukan untuk meningkatkan
aksesibilitas pendidikan baik kebijakan nasional, kebijakan pemerintahan provinsi
dan kebijakan pemerintahan Kabupaten/Kota. Namun demikian kebijakan itu
perlu dioptimalkan sehingga dapat mencapai target kebijakan wajib belajar 9
tahun.
Kemudian jika dilihat sebaran pencapaian angka rata-rata lama sekolah
pada tingkat Kabupaten/Kota di Provinsi Riau, tersebar secara tidak merata.
Terdapat 7 Kabupaten yang capaiannya masih di bawah rata-rata RLS Provinsi
Riau diantaranya Kabupaten Indragiri Hilir, Kepulauan Meranti, Indragiri Hulu,
Rokan Hilir, Rokan Hulu, Pelalawan dan Kuantan Singingi. Sementara itu RLS
Kabupaten/Kota tertinggi adalah Kota Pekanbaru sebesar 11,21 tahun dan
digambarkan pada Gambar 2.44.
Tabel 2.43. Angka Harapan Lama Sekolah Provinsi Riau Tahun 2010-2017
Angka Harapan Lama Sekolah Pertumbuhan/
No Kabupaten Tahun
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 %
1 Riau 11,74 11,78 11,79 12,27 12,45 12,74 12,86 13,03 1,51
Sumber: BPS Provinis Riau Tahun 2012-2017
Selanjutnya bila dilihat sebaran capaian angka haparan lama sekolah pada
tahun 2017 seperti terlihat pada Gambar 2.45, terdapat 8 Kabupaten yang
capaiannya di bawah rata-rata Provinsi dan tiga kabupaten/Kota yang di atas
Provinsi yaitu Kota Pekanbaru, Kabupaten Kuantan Singingi dan Kabupaten
Kampar.
Angka Harapan Lama Sekolah (HLS- Angka Harapan Lama Sekolah (HLS)
Tahun) Kabupaten Kota, 2017 Provinsi Riau, 2010-2017
R² = 0.9577
13.5
Pekanbaru 14.93
13.03
Kuantan Singingi 13.26 12.86
13 12.74
Kampar 13.20
Provinsi Riau 13.03 12.45
Dumai 12.97 12.5 12.27
Rokan Hulu 12.81
Kep.Meranti 12.77 12 11.74 11.78 11.79
Bengkalis 12.73
Siak 12.72 11.5
Indragiri Hulu 12.29
Rokan Hilir 12.25 11
Pelalawan 11.89
Indragiri Hilir 11.88
10.5
- 5.00 10.00 15.00 20.00 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
Tabel 2.44. Angka Partisipasi Murni SD/MI Tahun 2013/2014 s/d 2016/2017
Angka Partisipasi Murni SD/MI Pertumbuhan
No Kabupaten
2013/2014 2014/2015 2015/2016 2016/2017 /Tahun (%)
1 Kuantan Singingi 86,29 86,63 86,42 96,08 3,78
2 Indragiri Hulu 95,30 95,74 95,40 96,36 0,37
3 Indragigiri Hilir 84,88 85,86 85,32 86,59 0,67
4 Pelalawan 95,63 96,44 95,79 97,89 0,79
5 Siak 95,77 96,17 95,93 97,14 0,48
6 Kampar 95,07 95,30 95,12 96,63 0,55
7 Rokan Hulu 95,51 96,36 95,91 97,39 0,66
8 Bengkalis 95,73 96,10 95,85 97,83 0,73
9 Rokan Hilir 95,56 95,75 95,67 96,62 0,37
10 Kepulauan Meranti 73,97 74,92 74,80 76,88 1,30
11 Pekanbaru 95,56 95,70 95,52 97,55 0,69
12 Dumai 95,47 95,72 95,59 99,33 1,35
13 Riau 93,06 93,64 93,41 95,28 0,79
Sumber: Pusat Data dan Statistik Kementerian Pendidikan Tahun 2014-2017
alasan. Pada tahun 2016/2017 APM SMP/MTs menurun drastis menjadi 72,87
persen. Keadaan ini menunjukkan bahwa jumlah anak usia sekolah SMP/MTs
yang dapat memanfaatkan fasilitas pendidikan setara SMP/MTs berkurang dari
76,45 persen menjadi 72,87. Sementara anak usia sekolah SMP/MTs yang tidak
dapat memanfaatkan fasilitas pendidikan setara SMP meningkat dari 23,55 persen
pada tahun 2013/2014 menjadi 27,13 persen. Capaian APM SMP/MTs pada tahun
2016/2017 di bawah APM SMP/MTs secara nasional yang mencapai 76,29
persen. Keadaan ini harus menjadi perhatian, karena berpotensi menghambat
kebijakan wajib belajar 9 tahun. Selanjutnya perkembangan APM
SMA/MA/SMK Provinsi Riau selama kurun tahun 4 tahun terakhir dapat dilihat
pada Tabel 2.46.
Tabel 2.46. Angka Partisipasi Murni SMA/MA/SMK
Tahun 2013/2014 s/d 2016/2017
Angka Partisipasi Murni SMA/MA/SMK Pertumbuhan
No Kabupaten
2013/2014 2014/2015 2015/2016 2016/2017 /Tahun (%)
1 Kuantan Singingi 60,11 60,03 59,58 67,14 3,94
2 Indragiri Hulu 56,33 54,70 56,08 57,76 0,87
3 Indragigiri Hilir 40,70 40,09 42,46 44,45 3,03
4 Pelalawan 56,01 53,88 52,16 56,64 0,53
5 Siak 55,75 56,93 62,10 65,15 5,37
6 Kampar 44,01 47,59 52,42 52,94 6,43
7 Rokan Hulu 49,76 55,51 53,52 61,96 7,91
8 Bengkalis 56,07 54,52 55,63 57,60 0,94
9 Rokan Hilir 46,16 49,47 51,43 52,34 4,30
10 Kepulauan Meranti 59,63 58,23 58,48 60,11 0,29
11 Pekanbaru 68,97 68,63 72,32 70,50 0,79
12 Dumai 64,58 62,24 63,60 66,07 0,82
13 Riau 54,01 54,59 56,71 58,63 2,78
Sumber: Pusat Data dan Statistik Kementerian Pendidikan Tahun 2014-2017
asumsi pendudukan usia sekolah 16-18 semuanya sekolah maka untuk mencapai
SPM diperlukan penambahan ruang kelas sebanyak 50,83 persen lagi.
Mencermati data pada tabel di atas, selama kurun tahun 2012-2016 jumlah
seluruh bangunan ruang sekolah SMA/SMK/MA di Provinsi Riau meningkat rata-
rata 10,39 persen per tahun. Sedangkan jumlah bangunan ruang yang berada
dalam kondisi baik mengalami penurunan rata-rata 3,57 persen per tahun.
Selanjutnya bila dibandingkan antara jumlah seluruh bangunan ruang sekolah
SMA/SMK/MA dengan jumlah bangunan ruang sekolah SMA/SMK yang berada
dalam kondisi baik dalam kurun tahun yang sama, maka diperoleh besaran
persentase sekolah yang berkondisi baik yang menurun rata-rata 10,69 persen per
tahun. Pada tahun 2016 persentase bangunan ruang sekolah SMA/SMK/MA yang
berada dalam kondisi baik adalah 47,36 persen. Ini berarti jumlah bangunan ruang
sekolah SMA/SMK/MA yang rusak adalah 52,64 persen. Walaupun jumlah ruang
yang rusak pada tingkat SMA/SMK/MA lebih kecil persentasenya dibandingkan
dengan SD/MI dan SMP/MTs, namun jumlahnya masih relative sangat besar.
Oleh karena itu upaya pemerintah mengalokasikan anggaran dari 20 persen dari
APBD mandatori setiap tahun perlu pemetaan yang lebih lokus dan fokus dalam
rangka memenuhi standart pelayanan minimum.
Selanjutnya dilihat dari sebaran bangunan ruang sekolah SMA/SMK/MA
yang berada dalam kondisi baik pada Kabupaten/Kota di Provinsi Riau dapat
dilihat pada Tabel 2.51.
Tabel 2.53. Rasio Guru dengan Murid Sekolah Pendidikan Dasar Menurut
Kabupaten/Kota di Provinsi Riau Tahun 2016
Pendidikan Dasar
Rasio Guru dan
No Kabupaten/Kota Jumlah Guru (SD/MI Jumlah Murid
Murid Pendidikan
+SMP/MTs). (SD/MI+SMP/MTs)
Dasar
1 Kuantan Singingi 4.500 52.831 12
2 Indragiri Hulu 5.168 75.176 15
3 Indragiri Hilir 6.964 97.724 14
4 Pelalawan 3.994 66.782 17
5 Siak 4.845 82.618 17
6 Kampar 9.038 131.922 15
7 Rokan Hulu 6.221 98.640 16
8 Bengkalis 6.810 104.194 15
9 Rokan Hilir 6.564 109.739 17
10 Kep. Meranti 2.514 28.357 11
11 Pekanbaru 8.129 161.303 20
12 Dumai 2.851 50.829 18
Jumlah 67.598 1.060.115 16
Sumber: Dinas Pendidikan Provinsi Riau Tahun 2017
Gambar 2.47. Sebaran Rasio Guru dengan Murid Pendidikan Dasar pada
Kabupaten/Kota di Provinsi Riau Tahun 2016
Sama halnya dengan rasio guru dengan murid pendidikan dasar pada
pendidikan menengah selama kurun tahun 2012-2016 juga berfluktuasi, dengan
kecenderungan meningkat pada 3 tahun terakhir. Secara rinci dapat dilihat pada
Tabel 2.54 dan Gambar 2.48.
Tabel 2.54. Rasio Guru dengan Murid SMA/SMK/MA
di Provinsi Riau Tahun 2012-2016
No Uraian 2012 2013 2014 2015 2016 Pertumbuhan
/Tahun (%)
1 Pendidikan Menengah
1.1. Jumlah Guru
(SMA/SMK/MA).
12.346 13.020 18.703 16.045 16.809 9,91
1.2. Jumlah Murid
(SMA/SMK/MA)
197.407 198.677 212.945 217.031 233.206 4,30
1.3. Rasio Guru dan Murid
16 15 11 14 14 -1,41
Pendidikan Menengah
Sumber; Dinas Pendidikan Provinsi Riau
Mencermati data di atas terlihat bahwa tidak terdapat variasi yang tajam
pada rasio guru dengan murid tingkat sekolah menengah diantara Kabupaten/Kota
di Provinsi Riau. Kabupaten Rokan Hilir merupakan daerah yang rasio guru dan
murid sekolah menengah tertinggi sementara Kabupaten Kuantan Singgi terendah.
Secara keseluruhan rasio guru dengan murid sekolah menengah pada
Kabupaten/Kota di Provinsi Riau sudah memenuhi standar pelayanan minimun.
Mencermati data pada gambar di atas sampai dengan tahun 2017 terlihat
bahwa besaran Guru SMP/MTs yang sudah berkualifikasi S-1/D-IV di Provinsi
Riau adalah sebesar 91,17 persen. Ini berarti bahwa masih terdapat sebesar 8,83
persen Guru SMP/MTs di Provinsi Riau yang berkualifikasi akademik di bawah
S-1/D-IV. Kemudian dilihat dari sebarannnya pada masing-masing
Kabupaten/Kota terdapat 3 Kabupaten yang masih di bawah 90 persen Guru
SMP/MTs yang berkualifikasi S-1/D-IV. yakni: Indragiri Hilir, Meranti dan
Kuantan Singingi. Sementara yang sudah mencapai 95 persen adalah Kota
Pekanbaru.
Selanjutnya besaran persentase Guru SMA/SMK/MA yang sudah
berkualifikasi akademik S-1/D-IV, dapat dilihat pada gambar berikut:
90,43. Sedangkan yang paling besar adalah Kabupaten Pelalawan, yakni sebesar
97, 97 persen.
Bila dicermati data tabel di atas rasio puskesmas selama kurun tahun 5
tahun terakhir terjadi penurunan pelayanan dari 1 puskesmas melayani 29.065
orang penduduk menjadi 1 puskesmas melayanan 30.520 orang. Sama halnya
dengan rasio puskesmas, rasio puskesmas pembantu dan dan puskesmas keliling
juga terjadi penurunan pelayanan. Kondisi ini disebabkan karena laju
pertambahan penduduk lebih tinggi dari laju pertambahan puskesmas, puskesmas
pembantu dan puskesmas keliling. Kondisi ini perlu dicermati mengingat
Sama halnya dengan gizi buruk, penyebab gizi kurang pada anak balita
adalah karena tidak mendapatkan asupan gizi yang sesuai usiannya, Jika
masalah kekurangan gizi ini tidak segera di atasi, anak akan mengalami masalah
gizi buruk. Prevalenzsi Gizi Kurang di Provinsi Riau selama kurun tahun 2012-
2016 menjukkan ternd yang semakin menurun dari 9,0 persen pada tahun 2012
menurun menjadi 7,9 persen pada tahun 2016. Prevalensi gizi kurang di Provinsi
Riau dapat dilihat pada Tabel 2.59.
Tabel 2.59. Prevalensi Balita Gizi Kurang di Provinsi Riau Tahun 2012-2016
Pertumbuhan/
No Uraian 2013 2014 2015 2016
Tahun (%)
1 Jumlah Balita Gizi
6282 3596 3647 3642 -13,83
Kurang
2 Jumlah Balita 69423 45221 47602 45920 -11,04
3 Pravalensi Balita
9,0 8,0 7,7 7,9 -4,09
Gizi Kurang
Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Riau Tahun 2017
Menurunnya prevalensi gizi kurang ini tidak bisa dilepaskan dari upaya-
upaya yang dilakukan untuk memperbaiki anak dengan status kurang gizi seperti
penambahan gizi dalam asupan makanan. Namun demikian besaran angka kasus
balita gizi kurang masih cukup signifikan dan memerlukan penangan khusus
kedepan. Selanjutnya sebaran prevalensi gizi kurang pada Kabupaten/Kota di
Provinsi Riau dapat dilihat pada Tabel 2.60.
Tabel 2.60. Prevalensi Balita Gizi Kurang Menurut Kabupaten/Kota
di Provinsi Riau Tahun 2016
Jumlah Balita Pravalensi Balita
No Kabupaten/Kota Jumlah Balita.
Gizi Kurang Gizi Kurang.
1 Kuantan Singingi 362 4500 8,0
2 Indragiri Hulu 412 4200 9,8
3 Indragiri Hilir 374 3600 10,4
4 Pelalawan 232 3600 6,4
5 Siak 374 4210 8,9
6 Kampar 633 6300 10,0
7 Rohul 114 4800 2,4
8 Bengkalis 215 2400 9,0
9 Rohil 364 3910 9,0
10 Kep. Meranti 218 2700 8,1
11 Pekanbaru 291 3600 8,1
12 Dumai 53 2100 2,5
Jumlah 3642 45920 7,9
Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Riau
Pendamping ASI pada Anak Usia 6 - 24 Bulan Keluarga Miskin. Adapun capain
cakupan tersebut pada Kabupaten /Kota di Provinsi Riau terlihat pada Tabel 2.62.
Tabel 2.62. Cakupan Pemberian Makanan Pendamping ASI pada Anak Usia
6 - 24 Bulan Keluarga Miskin Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Riau
Tahun 2016
Cakupan
Jumlah anak usia pemberian
Jumlah seluruh
6-24 bulan makanan
anak usia 6-24
No Kabupaten/Kota keluarga miskin pendamping ASI
bulan keluarga
yang mendapat pada anak usia 6 -
miskin
MP-ASI 24 bulan keluarga
miskin.
1 Kuantan Singingi 14 129 10.85
2 Indragiri Hulu 112 205 54.63
3 Indragiri Hilir 1.680 2.082 80.69.
4 Pelalawan 42 377 11.14
5 Siak 17 393 4.33
6 Kampar 261 470 55.53
7 Rohul 24 352 6.82
8 Bengkalis 24 154 15.58
9 Rohil 56 863 6.49
10 Kep. Meranti 809 1.765 45.84
11 Pekanbaru 108 145 74.48
12 Dumai 21 1.037 2.03
Provinsi Riau 3.168 7.972 39.74
Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Riau Tahun 2017
Selama kurun tahun 2012-2016 besaran persentase anak usia 1 tahun yang
sudah diimunisasi campak di Provinsi Riau menunjukkan kecenderungan trend
yang menurun. Pada tahun 2012 persentase jumlah anak usia 1 tahun yang
diimuniasi sebesar 91,2 persen. Sementara itu pada tahun 2016 adalah sebesar
83,8 persen, artinya terjadi penurunan rata-rata 1,78 persen. Hal ini berarti terjadi
kenaikan persentase jumlah anak usia 1 tahun yang belum mendapatkan imunisasi
campak dari 8,8 persen meningkat menjadi 16,2 persen. Ada beberapa faktor yang
memungkinkan terjadinya penurunan ini antara lain adalah menurunnya kualitas
system pelayanan kesehatan anak, dan menurunnya partisipasi masyarakat.
Dilihat dari sebarannya pada masing-masing Kabupaten/Kota, terdapat 5
Kabupaten, persentase anak usia 1 tahun yang diimunisasi campak di bawah rata-
rata Provinsi anatara lain Indragiri Hilir, Kuantan Singingi, Rokan Hilir, Kampar
dan Pelalawan. Sementara itu dua kabupaten/Kota yakni Kabupaten Kepulauan
Meranti dan Dumai melebihi 100 persen.
1,10 persen. Keadaan ini disebabakan karena jumlah kasus komplikasi kebidanan
di Kabupaten Rokan Hilir cukup besar yaitu 128..937 kasus, sementara yang
ditangai hanya 1.418 kasus. Sedangkan yang paling baik adalah Kabupaten Siak
dengan cakupan kompilkasi kebidanan yang ditangai sebesar 95,61 persen.
1330.97
1254.8
1153.42
936.11
931.1
756.55
739.7 709.23 671.15
621.23 582.14
544.88 512.64
383.65 410.98 361.22
24% Baik
45% Sedang
13% Rusak Ringan
Rusak Berat
18%
Sumber: Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Provinsi Riau, 2017
Provinsi
11%
Nasional
5%
Kab/Kota
Provinsi
Kab/Kota Nasional
84%
Jika ditinjau dari aspek rasio panjang jalan terhadap luas wilayah, dapat
diketahui bahwa indeks aksesibilitas Provinsi Riau masih dalam kategori rendah.
Indeks aksesibilitas tinggi hanya dimiliki oleh Kota Pekanbaru, dan indeks
aksesibilitas sedang terdapat di Kota Dumai. Sedangakan Kabupaten Kuantan
Singingi, Indragiri Hulu, Siak, Kampar, Rokan Hulu, Bengkalis, Rokan Hilir, dan
Kepulauan Meranti memili indeks aksesibilitas rendah. Berdasarkan pendekatan
ini, seluruh kabupaten/kota di Provinsi Riau tidak terkatogori sebagai daerah
dengan indeks aksesibilitas rendah. Adapun Indeks Aksesibilitas sangat rendah
terdapat di Kabupaten Indragiri Hilir dan Kabupaten Pelalawan. Untuk
mengetahui tingkat kecukupan ketersediaan infrastruktur jalan di Provinsi Riau,
maka perlu analisa komparatif antara indeks aksesibilitas eksisting tahun 2017
dengan standar pelayanan minimal (SPM).
Kepadatan Indeks
Jumlah
No Kabupaten/Kota penduduk SPM Aksesibilitas Analisa
Penduduk
(jiwa/km2) 2017
Indragiri Hulu 46.40 1.39 11.81 17.65 20.13 0.84 0.57 1.23 -
Rokan Hulu 37.19 1.22 16.03 33.60 8.12 2.13 1.39 0.33 -
Riau 36.16 0.38 13.47 15.98 7.75 2.19 0.59 23.45 0.04
2016 46.75 0.56 11.05 16.42 5.95 1.36 0.56 17.26 0.09
2015 45.98 0.53 10.40 16.42 6.95 1.42 0.85 17.43 0.04
2014 41.81 0.59 10.86 16.56 7.31 1.99 1.00 19.5 0.07
2013 41.75 0.64 8.56 18.04 7.94 1.72 1.15 19.32 0.10
120
100
80
60
40
20
0
2013 2014 2015 2016 2017
Persentase rumah tangga menurut sumber air minum pada setiap kabupaten/
kota di Provinsi Riau berdasarkan data Statistik Kesejahteraan Rakyat Provinsi
Riau tahun 2017 dapat dilihat pada Tabel 2.73. Pada tabel tersebut terlihat bahwa
sumber air minum yang berasal dari air leding (perpipaan) hanya sebesar 0,38%,
dan hanya menjangkau empat kabupaten, yaitu Indragiri Hulu, Indragiri Hilir,
Pelalawan dan Rokan Hulu. Kondisi ini mengalami penurunan jika dibandingkan
dengan tahun-tahun sebelumnya, baik dari segi besarnya pengguna maupun
cakupan layanan. Dimana pada tahun-tahun sebelumnya, selain keempat
kabupaten tersebut, air minum perpipaan juga melayani kabupaten Kampar,
Bengkalis, Kota Pekanbaru dan Dumai.
Untuk memenuhi kebutuhan air minumnya, masyarakat pada umumnya
membangun sumur, baik sumur bor, maupun sumur gali yang mencapai 37,20
persen. Selain itu, masyarakat menggunakan jasa air isi ulang dan air kemasan
yang mencapai 36,16 persen. Walaupun kondisi ini mengalami penurunan jika
dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya yang sejak tahun 2013 sampai
dengan 2016 mengalami peningkatan.
Kondisi yang cukup mengkhawatirkan dari segi kesehatan adalah tingginya
ketergantungan masyarakat terhadap air hujan dalam memenuhi kebutuhan air
minumnya yang mencapai 23,45 persen, dimana terjadi peningkatan yang cukup
signifikan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Sedangkan untuk
kebutuhan lain selain air minum tidak terlalu jauh berbeda sebagaimana tertera
pada Tabel 2.74.
2013
41,75 0,64 8,56 18,04 7,94 1,72 1,15 19,32 0,10
2014
- - 10,86 16,56 7,31 1,99 - - -
2015
45,98 0,53 10,40 16,42 6,95 1,42 0,85 17,43 0,04
2016
46,75 0,56 11,05 16,42 5,95 1,36 0,56 17,26 0,09
2017
49,59 0,48 12,89 12,06 5,18 1,98 0,41 17,37 0,04
Rata-
rata 35,58 0,39 11,30 15,37 6,35 1,69 0,46 13,02 0,04
Sumber: Statistik Kesejahteraan Rakyat Provinsi Riau Tahun 2013-2017
Berdasarkan Gambar 2.57 terlihat bahwa sumber air minum yang berasal
dari air leding meteran (pipa) hanya sebesar 0,56%. Penggunanan air untuk
minum berasal dari air kemasan menjadi yang paling mencolok dari pada sumber
air minum yang lain. Sumber air minum yang paling banyak dipakai kedua adalah
dari sumur terlindungi dengan rata-rata pemakaian dari tahun 2013-2017 sebesar
15,37%. Sedangkan sumber air minum rumah tangga yang lain adalah dari sumur
bor/pompa hanya 11,30 %, sumur tak terlindungi 6,35 %, mata air hanya 1,69 %,
Air Permukaan sebesar 0,46%, Air Hujan dengan persentase yang cukup banyak
dengan 13,02% dan sumber air minum lainnya 0,04 %. Akses rumah tangga untuk
air minum di Provinsi Riau terbesar berasal dari air kemasan.
50.000
45.000
40.000
air kemasan
35.000
Sumber Air Minum
air leding
30.000 Pompa
Potensi sumber baku air bersih di Provinsi Riau pada dasarnya sangat besar
karena dialiri oleh empat sungai besar, yaitu Sungai Indragiri, Kampar, Rokan dan
Siak. Untuk mengetahui dukungan keempat sungai tersebut, berikut disajikan
kondisi tutupan lahan dari vegetasi yang bersifat permanen yang diharapkan dapat
berfungsi sebagai daerah resapan serta Indeks Penggunaan Air di masing-masing
Daerah Aliran Sungai (DAS) yang merupakan hasil monitoring dan evaluasi
kinerja DAS yang telah dilakukan oleh Balai Pengelolaan DAS dan Hutan
Lindung Indragiri Rokan.
jumlah curah hujan yang dapat diserap dalam satu areal daerah tangkapan air
DAS/Sub DAS. Pendekatan ini memanfaatkan data koefisien aliran dimana untuk
menentukan jumlah curah hujan yang diserap adalah dengan cara mengalikan
jumlah curah hujan yang jatuh dengan nilai 1 dikurangi dengan nilai koefisien
aliran itu sendiri. Data lain yang diperlukan adalah data curah hujan tahunan yang
dikonversi menjadi intensitas hujan dan data luas daerah tangkapan air DAS/Sub
DAS. Data Indeks Penggunaan Air DAS disajikan pada Tabel 2.76.
Tabel 2.76 Besaran Indeks Penggunaan Air di Empat DAS Utama
No. Nama DAS Besaran IPA Kategori
1 Indragiri 0,165 Sangat Rendah
2 Kampar 0,035 Sangat Rendah
3 Rokan 0,200 Sangat Rendah
4 Siak 0,010 Sangat Rendah
Keterangan:
• Sumber: Olahan Hasil Monitoring BPDAS HL Indragiri Rokan.
• Formulasi perhitungan Indeks Penggunaan Air adalah
𝐾𝑒𝑏𝑢𝑡𝑢ℎ𝑎𝑛
𝐼𝑃𝐴 = 𝑃𝑒𝑟𝑠𝑒𝑑𝑖𝑎𝑎𝑛
kemarau. Dengan kata lain bahwa aliran sungai pada DAS tersebut adalah relatif
konstan baik pada musim penghujan dan musim kemarau.
Namun kondisi ideal ini pada umumnya jarang ditemui, sehingga nilai
KRA pada umumnya juga lebih dari 20. Semakin besar nilai KRA maka
diasumsikan semakin jelek kemampuan DAS tersebut dalam mengendalikan tata
air, sehingga pada DAS-DAS yang memiliki nilai KRA tinggi, memiliki urgensi
yang tinggi pula untuk harus segera ditangani. Data hasil perhitungan koefisien
rezim aliran pada DAS Utama di Provinsi Riau sebagaimana tersaji pada Tabel
berikut.
Dari table tersebut diketahui bahwa koefisien rezim aliran DAS Utama di
Provinsi Riau pada umumnya tergolong sangat rendah kecuali DAS Rokan yang
tergolong Sangat Tinggi.
aliran maka semakin besar pula air hujan yang mengalir langsung sebagai aliran
permukaan. Ini berarti pula bahwa kesempatan air hujan untuk meresap kedalam
tanah menjadi semakin kecil, sehingga semakin sedikit pula cadangan air tanah
yang dapat tersimpan dalam DAS tersebut. Konsekuensinya adalah ketika musim
kemarau disaat tidak ada curah hujan yang jatuh, hanya sedikit air tanah yang
tersimpan yang bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Data hasil
perhitungan koefisien aliran tahunan sebagai berikut.
Tabel 2.78. Besaran Koefisien Aliran Tahunan di Empat DAS Utama
Besaran Koefisien
No. Nama DAS Kategori
Aliran Tahunan
1 Indragiri 0,216 Sangat Rendah
2 Kampar 1,126 Sangat Tinggi
3 Rokan 0,200 Sangat Rendah
4 Siak 0,890 Sangat Tinggi
Keterangan:
• Sumber: Olahan Hasil Monitoring BPDAS HL Indragiri Rokan 2015.
• Formulasi perhitungan Indeks Penggunaan Air adalah
𝑄𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛𝑎𝑛
𝐾𝐴𝑇 =
𝑃𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛𝑎𝑛
Tabel 2.79. Kondisi Saluran Irigasi Kabupaten/Kota di Provinsi Riau Tahun 2017 (Dalam Km)
Primer Sekunder Tersier
No Kabupaten Subtotal Subtotal Subtotal Total
Baik Sedang Rusak Baik Sedang Rusak Baik Sedang Rusak
1 Rokan Hulu 19,13 0,41 0,00 19,54 20,90 1,99 0,00 22,89 48,60 26,09 2,68 77,37 119,80
2 Kepulauan Meranti 25,83 21,71 2,43 49,97 36,15 77,92 27,26 141,33 2,62 32,06 12,38 47,06 238,36
3 Kuantan Singingi 22,63 0,00 0,08 22,71 70,19 0,00 0,61 70,80 11,82 0,00 0,01 11,83 105,34
4 Bengkalis 54,29 16,71 0,00 71,00 31,39 54,06 0,00 85,45 10,40 43,41 0,00 53,81 210,26
5 Pelalawan 313,37 15,79 14,38 343,54 160,11 5,16 13,22 178,49 81,06 3,44 0,00 84,50 606,53
6 Indragiri Hulu 2,73 4,98 0,00 7,71 30,42 27,04 2,50 59,96 12,35 1,51 15,22 29,08 96,75
7 Indragiri Hilir 0,00 0,00 324,00 324,00 0,00 0,00 464,00 464 0,00 0,00 644,00 644,00 1432,00
8 Rokan Hilir 0,00 38,00 52,00 90,00 471,00 78,00 0,00 549 0,00 1621,00 685,00 2306,00 2945,00
9 Siak 45,80 9,08 0,00 54,88 54,69 9,55 0,00 64,24 158,22 76,77 7,91 242,90 362,02
10 Kampar
TOTAL ( KM ) 483,78 106,68 392,89 983,35 874,85 253,72 507,59 1636,16 325,07 1804,28 1367,2 3496,55 6116,06
Primer Tersier
Sekunder Baik
9%
Rusak Rusak Rusak
40% Baik 31% 39%
49%
Baik
53% Sedang
Sedang 52%
Sedang 16%
11%
Baik Sedang Rusak Baik Sedang Rusak Baik Sedang Rusak
Gambar 2.58. Persentase Kondisi Saluran Irigasi di Provinsi Riau Tahun 2017
2 Bantar, Tanjung Motong N 01°01.718' E 102°39.143' Kabupaten Kepulauan Meranti WS Bengkalis-Meranti 4000 Abrasi
3 Tanah Merah N 01°09.204' E 102°47.518' Kabupaten Kepulauan Meranti WS Bengkalis-Meranti 4000 Abrasi
4 Kuala Merbau N 01°07.497' E 102°31.236' Kabupaten Kepulauan Meranti WS Bengkalis-Meranti 4000 Abrasi
7 Tanjung Pisang N 01°08.140' E 102°27.557' Kabupaten Kepulauan Meranti WS Bengkalis-Meranti 4000 Abrasi
17 Parit 2 Pulau Kijang N -0.698554, E103.017773 Kabupaten Indragiri Hilir WS Reteh 3000 Sedimentasi
18 Sungai Ruku N -0.682863, E103.244751 Kabupaten Indragiri Hilir WS Reteh 3000 Sedimentasi
19 Sungai Luar Pulau Kijang N -0.693164, E103.411399 Kabupaten Indragiri Hilir WS Reteh 3000 Sedimentasi
Tabel 2.81. Frekuensi Kejadian Banjir Pada DAS Utama di Provinsi Riau
Frekuensi
No. Nama DAS Rata-Rata Kategori
(kali/tahun)
1 Indragiri 1 Sangat Tinggi
2 Kampar 2 Sangat Tinggi
3 Rokan 2 Sangat Tinggi
4. Siak 2 Sangat Tinggi
Keterangan:
• Sumber: Olahan dari Hasil Monitoring BPDAS HL Indragiri Rokan 2015
• Kategori merujuk pada Peraturan Menteri Kehutanan nomor P.61 tahun 2014
Oleh karena pengaruh tenaga kinetis air hujan dan aliran air permukaan,
partikel-partikel tanah tersebut dapat terkelupas dan terangkut ke tempat yang
lebih rendah untuk kemudian masuk ke dalam sungai dan di kenal sebagai
sedimen. Oleh adanya transport sedimen dari tempat yang lebih tinggi ke daerah
hilir dapat menyebabkan pendangkalan waduk, sungai, saluran irigasi, dan
terbentuknya tanah-tanah baru di pinggir-pinggir dan di delta-delta sungai.
dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan fasilitas umum sebagai hasil upaya
pemenuhan rumah yang layak huni.
Tabel 2.82. Jumlah Rumah Berdasarkan Status Kepemilikan
Tempat Tinggal Provinsi Riau
Kepemilikan Rumah/ Bangunan Tempat Tinggal
Kabupaten/ Jumlah
No Milik Sewa/
Kota Keluarga Menumpang Lainnya
Sendiri Kontrak
1 Bengkalis 107,195 75,944 14,015 12,790 4,446
2 Indragiri Hulu 81,213 71,611 2,887 4,357 2,358
3 Indragiri Hilir 105,515 94,924 2,876 6,236 1,479
4 Kampar 163,553 137,834 6,851 10,260 8,608
5 Kepulauan 43,223 34,597 1,329 5,740 1,557
Meranti
6 Kuantan 64,839 52,353 2,658 7,704 2,124
Singingi
7 Rokan Hilir 83,680 76,664 2,553 3,690 773
8 Rokan Hulu 79,646 66,693 3,953 7,752 1,248
9 Siak 72,323 66,866 1,796 2,873 788
10 Pelalawan 50,409 34,329 5,516 7,179 3,385
11 Dumai 47,437 29,711 10,335 5,409 1,982
12 Pekanbaru 162,248 93,834 43,021 14,781 10,612
Provinsi 1,061,281 835,360 97,790 88,771 39,360
Sumber: BKKBN Tahun 2016
835,360
1973
800 800
640
415
320
Jumlah Pembangunan Rumah Sederhana Layak Huni (RSLH) Tahun 2009 – 2017
Provinsi Riau
Jumlah rumah layak huni yang telah dibangun selama ini jauh lebih rendah
dibanding jumlah keluarga miskin yang menempati rumah yang belum layak.
Pada tahun 2017, jumlah unit rumah layak huni yang dibangun sebanyak 1.973
unit. dengan jumlah penduduk miskin berdasarkan Basis Data Terpadu tahun
2017 sebesar 369.081 rumah tangga, berdasarkan data analisis backlog perumahan
yang dikeluarkan oleh BKKBN tahun 2016 setidaknya masyarakat miskin yang
belum memiliki rumah sebanyak 314.692 unit rumah tangga. Oleh karena itu,
program pembangunan rumah layak huni bagi keluarga miskin harus menjadi
prioritas dalam RPJMD 2019 – 2023.
Selain itu, yang perlu mendapatkan perhatian adalah penanganan kawasan
kumuh. Seyogyanya pembangunan rumah layak huni sekaligus dapat menata
kawasan kumuh yang ada. Adapun kondisi kawasan kumuh di Provinsi Riau yang
menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi dengan luasan 10 hektar sampai dengan
15 hektar adalah seperti tersaji pada Tabel 2.84 – Tabel 2.87.
Tabel 2.84. Persentase Kawasan Kumuh di Provinsi Riau
Tahun Pertumbuhan Tahun SK
Kabupaten/
No. Per Tahun Bupati/
Kota 2012 2013 2014 2015 2016 (%) Walikota
1 Kuantan - - 0.004 0.004 0.004 0.000 2014
Singingi
2 Indragiri Hilir - - 0.004 0.004 0.004 0.000 2014
3 Bengkalis - - 0.026 0.026 0.026 0.000 2014
4 Pekanbaru - - 0.197 0.197 0.18 -0.006 2014/2016
5 Dumai - - 0.126 0.063 0.063 -0.042 2014/2015
b. Konflik Sosial
Disamping masalah lahan yang rawan dan berpotensi menjadi konflik
sosial ditengah masyarakat, adalah persoalan Suku Agama dan Ras (SARA). Hal
ini karena di Provinsi Riau terdapat berbagai macam suku, agama dan ras.
Beberapa kasus yang terjadi misalnya pendirian rumah ibadah di Kabupaten
Kampar, Pelalawan dan Indragiri Hulu yang sedikit menganggu kerukunan umat
beragama. Hal ini patut menjadi perhatian mengingat Provinsi Riau terdapat
beragam macam etnis, suku dan agama. Oleh itu kebijakan-kebijakan yang dapat
menciptakan kerukunan antara agama, suku dan ras patut menjadi perhatian
kedepannya.
c. Kriminalitas
Angka kriminalitas adalah menunjukkan jumlah tindak kejahatan yang
terjadi dalam suatu wilayah. Tindak kejahatan tentunya dapat menganggu
ketenteraman dan ketertiban masyarakat. Oleh sebab itu penekanan angka
kriminalitas menjadi penting untuk mewujudkan rasa aman, rasa tentram
masyarakat. Tingkat kriminalitas yang terjadi di Provinsi Riau Tahun 2014-2016
seperti terlihat pada tabel berikut:
Selama kurun tahun 4 tahun terakhir angka kriminalitas yang terjadi di Provinsi
Riau menunjukkan kecenderungan yang meningkat dari 7.043 kasus tahun 2014
meningkat menjadi 9,629 kasus pada tahun 2017. Sementara dari sisi rasio dengan jumlah
penduduk selama kurun tahun yang sama tidak terjadi perubahan. Peningkatan angka
kriminalitas ini tidak bisa dilepaskan dari perkembangan kota-kota dan perekonomian
Provinsi Riau. Oleh sebab itu upaya-upaya untuk menekan angka kriminalitas terutama
upaya preventif haruslah menjadi kebijakan kedepannya. Karena angka kriminalitas yang
tinggi tidak hanya menganggu ketenteraman masyarakat tetapi juga akan berdampak pada
kurang kondusifnya iklim investasi.
Dari 136 panti sosial yang ada di Provinsi Riau, milik pemerintah hanya
sebanyak 5 panti sosial dan semuanya terletak di Kota Pekanbaru dengan
penghuni dan saya tamping sebanyak 395 orang. Sebagian besar panti sosial yang
ada saat ini adalah Panti Asuhan, dan sedikit Panti Jompo, sementara panti sosial
lainnya belum ada.
Keberadaan Panti Sosial yang ada bila dibanding dengan penyandang
masalah kesejahteraan sosial khususnya anak balita terlantar, anak terlantar, anak
nakal, lanjut usia terlantar pada tahun 2016 uyang memerlukan panti sebanyak
49.303 masih jau dari mencukupi. Keadaan menunjukkan bahwa keberadaan panti
sosial belum dapat sepenuhnya menampung penyandang masalah sosial yang
memerlukan panti. Adapun jumlah penyandang sosial dari tahun 2012 sampai
dengan 2016 dapat dilihat pada Tabel 2.91.
Tabel 2.91. Jumlah Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)
Provinsi Riau Tahun 2012–2016
Tahun
No Jenis PMKS
2012 2013 2014 2015 2016
1 Anak Balita Terlantar 1.711 1.662 1736 1.083 1.022
2 Anak Terlantar 27.013 25.715 19.200 5.892 3.517
3 Anak Nakal 1.297 1.293 458 119 133
4 Anak Jalanan 791 798 888 827 2.743
5 Wanita Rawan Sosek 15.712 15.783 14.097 8.978 7.803
6 Lanjut Usia Terlantar 16.337 14.661 20.896 15.203 20.934
7 Korban Tindak Kekerasan 1.025 1.208 476 439 1.694
8 Penyandang Cacat 16.064 16.064 11.838 7.937 15.299
9 Tuna Susila 1.229 1.036 1.166 1.144 699
10 Pengemis 478 497 379 353 131
11 Gelandangan 181 179 132 150 226
12 Bekas BWBLK 1.616 2.117 891 1.462 1.442
13 Korban Napza 561 551 185 530 387
14 Keluarga Fakir Miskin 113.053 100.619 142.291 176.081 209.515
Keluarga Rumah Tak Layak
15 29.323 29.410 0 0 0
Huni
16 Keluarga Bermasalah Psikologis 596 609 900 557 811
17 Komunitas Adat Terpencil 19.876 19.282 19.219 8.519 7.829
18 Korban Bencana Alam 95.720 112.559 83.633 44.295 45.754
19 Korban Bencana Sosial 13.644 14.422 1.298 2.692 2.263
Pekerja Migran Bermasalah
20 1.704 2.182 445 352 365
Sosial
21 HIV/AIDS (ODHA) 1.704 2.182 390 286 459
22 Keluarga Renran 8.126 9.698 1736 1.083 0
Anak Memerlukan Perlind
23 147
Khusus
24 Pemulung 242
25 Kelompok Minoritas 96
Jumlah 315.668
Sumber: Dinas Sosial Provinsi Riau Tahun 2017
dari tahun 2012 sampai dengan tahun 2016. Sebagai daerah yang rawan bencana
seperti banjir dan kebakaran hutan, dan tingginya angka migrasi masuk yang
berpotensi meningkatkan penyandang masalah sosial patut menjadi pertimbangan
kebijakan dalam penanganan masalah sosial ini kedepannya.
Indikator lain mengani PKMS adalah melihat besaran jumlah PMKS yang
terangani dengan membandingkan jumlah penyandang masalah kesejahteraan
sosial yang ditangani melalui pemberian modal kerja dan pelatihan pengembangan
ketrampilan usaha dengan jumlah masyarakat penyandang masalah kesejahteraan
sosial dengan jumlah keseluruhan PMKS yang ada. Jumlah PMKS yang
tertangani dapat dilihat pada tabel berikut:
meningkat dari 3.963.872 pada tahun 2012 menjadi 4.634.041 pada tahun 2017
atau meningkat rata-rata 4,2 persen per tahun. Perkembangan TPAK Provinsi
Riau selama kurun tahun 2012 sampai dengan 2017 terlihat pada Tabel 2.93.
Tabel 2.93. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja
di Provinsi Riau Tahun 2012-2017
Pertumbuhan/
Tahun Tahun (%)
Uraian
2013 2014 2015 2016 2017
Penduduk Usia Kerja 4,093,227 4,213,077 4,383,550 4,509,908 4,634,041 4,2
Angkatan Kerja 2,623,310 2,695,247 2,771,349 2,987,952 2,965,585 4,57
TPAK 64.09
63.97
63.22 66.25 64.00 (0,34)
Sumber: BPS Provinsi Riau Tahun 2017
Sementara itu dilihat dari jenis kelamin, TPAK laki-laki lebih besar
dibandingkan perempuan. Hal ini disebabkan TPAK laki-laki bersifat universal
karena setiap laki-laki dewasa dituntut untuk mencari nafkah dirinya maupun
keluarganya. TPAK perempuan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain
meningkatnya pendidikan perempuan, terbukanya kesempatan kerja bagi
perempuan, meningkatnya kebutuhan ekonomi keluarga dan kemajuan sosial
ekonomi masyarakat, seperti pandangan terhadap perempuan yang bekerja di luar
rumah dan sebagainya.
Angkatan Kerja yang tidak 148.817 176.762 138,352 222.000 184.560 12,00
bekerja. (Pengangguran )
TPI 5,67 6,56 4,99 7,42 6,22 2,41
Sumber: BPS Provinsi Riau Tahun 2017
Mencermati data di atas, IPG Provinsi Riau dalam kurun tahun 2011
sampai dengan 2016 terus mengalami peningkatan dari 85,17 tahun 2011
meningkat menjadi 88,00 pada tahun 2016 atau meningkat rata-rata 0,45 persen
per tahun.. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas sumberdaya manusia perempuan
di Provinsi Riau selama kurun tahun tersebut menunjukkan arah yang semakin
membaik. Namun demikian jika dibandingkan dengan IPG nasional capaian IPG
Provinsi Riau pada tahun 2016 masih di bawah capaian nasional yang mencapai
90,82.
Selanjutnya bila dilihat dari sebaran IPG pada Kabupaten/Kota di Provinsi
Riau terdapat 5 Kabupaten capaian IPG nya di bawah capaian Provinsi antara lain
Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Indragiri Hilir, Kabupaten Rokan Hilir,
Kabupaten Kepulauan Meranti, dan Kabupaten Indragiri Hulu. Capaian IPG pada
tahun 2016 paling rendah adalah Kabupaten Rokan Hulu yakni sebesar 79,79
sedangkan yang paling tinggi adalah Kota Pekanbaru sebesar 92,36. Hal ini
menunjukkan bahwa kualitas sumberdaya manusia perempuan di Kabupaten
Rokan Hulu adalah yang paling rendah di Provinsi Riau, sementara Kota
Pekanbaru merupakan yang paling tinggi.
agama, keyakinan, budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan
produktif secara berkelanjutan”. Dengan kondisi ini, maka pangan terutama beras
memiliki nilai strategis, disebabkan beras merupakan makanan pokok bangsa dan
daerah Riau khususnya, disamping itu beras juga merupakan sumber utama
pemenuhan gizi yang meliputi kalori, protein, lemak dan vitamin. Khusus untuk
Provinsi Riau saat ini dan yang akan datang, masalah beras tentu akan semakin
penting, disebabkan semakin terbatasnya daerah produksi dan dilain pihak
konsumsi akan beras juga semakin bertambah seiiring dengan semakin
bertambahnya penduduk, sehingga gap antara produksi dan konsumsi akan
semakin melebar, sebagaimana digambarkan pada Tabel 2.98.
Tabel 2.98. Perkembangan Rasio Produksi dan Kebutuhan Beras dan
Jagung di Provinsi Riau Tahun 2013-2017
Tahun Rata-Rata
Komoditas Pertumbuhan/
2013 2014 2015 2016 2017* Tahun (%)
Produksi (ton)
1. Beras 272.382 241.847 247.144 234.356 234.357 (3,65)
2. Jagung 28.052 28.651 30.870 32.850 33.173 3,41
Konsumsi (ton)
1. Beras 641.929 647.929 662.990 679.351 695.751 1,38
2. Jagung 1.207 1.238 1.269 1.300 1.332 1,99
Perimbangan (ton)
1. Beras (369.547) (406,082) (415.8446) (444.995) (461.394) 4,65
2. Jagung 26.845 27.413 29.601 31.550 31.841 3,47
Rasio
1. Beras 0,42 0,37 0,37 0,34 0,34 (4,95)
2. Jagung 23,24 23,14 24,33 25,27 24,90 1,39
Sumber: BPS Provinsi Riau, Riau Dalam Angka, dan Data Olahan
*Data tahun 2017 (Angka Sementara)
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa produksi beras Provinsi Riau dari
tahun 2013 sampai dengan 2017 cenderung menurun, dengan rata-rata penurunan
sebesar 3,65 persen. Terjadinya penurunan produksi beras selama beberapa tahun
terakhirnya ini, disebabkan semakin menurunnya luas tanam dan luas panen padi
di Provinsi Riau sebagai akibat dari tingginya alih fungsi lahan dari lahan sawah
ke penggunaan lainnya baik disektor pertanian maupun keluar sektor pertanian,
seperti perumahan, jalan, pertokoan dan sebagainya. Sementara itu produksi
komoditas Jagung cenderung meningkat, dengan pertumbuhan 3,41 persen.
Kebutuhan konsumsi beras penduduk Riau dari tahun 2013 sampai dengan tahun
Tabel 2.99. Rasio Produksi dan Konsumsi Komoditas Beras dan Jagung
Menurut Kabupaten/Kota Provinsi Riau Tahun 2016
Produksi (Ton) Konsumsi (Ton) Rasio
Kabupaten/Kota
Beras Jagung Beras Jagung Beras Jagung
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa rasio produksi dan kebutuhan beras
Kabupaten Kuantan Singingi menunjukkan paling tinggi yaitu 86 persen, artinya
86 persen kebutuhan konsumsi beras di Kabupaten Kuantan Singingi dapat
dipenuhi dari produksi lokal yang dihasilkan. Sedangkan rasio produksi dan
kebutuhan yang terendah berada di Kota Pekanbaru, karena Kota Pekanbaru
bukan merupakan daerah penghasil beras di Provinsi Riau, tapi merupakan daerah
perkotaan.
Rasio produksi dan kebutuhan jagung tertinggi terdapat di Kabupaten
Pelalawan dengan kemampuan memenuhi kebutuhan sendiri sebanyak 83,99
persen, sedangkan rasio terendah untuk komoditi jagung berada di Kabupaten
Bengkalis sebanyak 4,03 persen. Walaupun produksi jagung menunjukkan trend
meningkat, namun sesungguhnya produksi Jagung ini tidak terlalu besar
dibanding dengan daerah lain, hal ini juga disebabkan semakin berkurangnya
lahan kering yang merupakan basis untuk komoditi jagung.
Untuk komoditi sayur dan buah, kondisi juga tidak jauh berbeda dengan
beras dan jagung, untuk jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2.100. di bawah ini.
Hasil RISKESDAS tahun 2010-2013 menunjukkan bahwa secara nasional
perilaku penduduk umur di atas 10 tahun yang kurang memakan sayur masih di
atas 90 %, kondisi ini sejalan dengan temuan hasil Survey Konsumsi Makanan
Individu (SKMI) dalam studi diet total tahun 2014 bahw konsumsi penduduk
terhadap sayur dan olahannya masih rendah dan untuk Provinsi Riau secara rinci
angka tersebut memang belum tersedia.
Tabel 2.100. Perkembangan Rasio Produksi dan Konsumsi Komoditi
Sayur-Sayuran dan Buah-Buahan di Provinsi Riau Tahun 2012 – 2016
Pertumbuha
Tahun
Komoditas n
2012 2013 2014 2015 2016 /Tahun (%)
Produksi (ton)
1. Sayuran 85.759 101.247 88.767 80.207 63.882 -7,10
2. Buah-
185.292 189.931 206.119 180.352 199.419 1,85
Buahan
Konsumsi (ton)
1. Sayuran 286.972 293.822 243.206 278.519 176.277,2 -11,47
2. Buah-
186.769 190.049 120.675 171.299 156.891 -4,26
Buahan
Perimbangan (ton)
- - - - -
1. Sayuran -13,55
201.213 192.575 154.439 198.312 112.395,2
2. Buah-
-1.477 -118 -12.671 9.053 42.528 11,00
Buahan
Rasio
1. Sayuran 0,3 0,34 0,36 0,29 0,36 4,94
2. Buah-
0,99 1 0,94 1,05 1,27 6,39
Buahan
Sumber: BPS Provinsi Riau (Riau Dalam Angka Tahun 2015)
Dari tabel di atas dapat dilihat, jumlah produksi untuk tanaman sayuran
dari tahun 2012-2016 mengalami pertumbuhan yang fluktuatif dengan rata-rata
pertumbuhan sebesar -7,10%. Penurunan ini antara lain disebabkan oleh musim
kemarau panjang serta bencana kabut asap pada tahun 2015 yang sangat
mempengaruhi produksi. Sedangkan pada tahun 2016 selain adanya faktor
anomali iklim, juga disebabkan oleh tidak terlaksananya beberapa
program/kegiatan bantuan yang diberikan pemerintah karena ada kendala regulasi.
Rasio produksi buah-buahan terhadap konsumsi sebagaimana ditunjukkan
pada Tabel 2.100. terkategori berfluktuasi. Rasio sebesar 1,27 pada tahun 2016
memberi makna bahwa produksi buah-buahan Provinsi Riau tahun 2016 sudah
surplus jika dilihat dari kebutuhan konsumsi buah-buahan penduduk Riau sesuai
anjuran FAO sebesar 73 kg/kapita/tahun. Meningkatnya produksi buah dari tahun
2012-2014 ini menunjukkan berhasilnya program Gerinam Buah (Gerakan Riau
Menanam Buah) tahun 2010-2014. Sementara penurunan produksi secara teknis
disebabkan karena musim kemarau panjang serta bencana kabut asap pada tahun
2015 .
Dari sisi konsumsi berdasarkan tabel di atas di Provinsi Riau justru
semakin menurun, dimana pada tahun 2012 jumlah konsumsi sayur di Provinsi
Riau sebesar 286.972 ton dan terus menurun, sehingga pada tahun 2016 hanya
sebesar 176.277,2 ton atau rata-rata penurunan sebesar 11,47 %. Hal yang sama
juga terjadi pada komoditi buah-buahan yang trennya juga menurun, dimana
konsumsi pada tahun 2012 sebesar 186.769 ton dan menurun menjadi sebesar
156.891 ton pada tahun 2016 atau rata-rata penurunan sebesar 4,26 %. Melihat
tren angka ini tentu perlu diwaspadai dan dicermati, karena akan sangat
mempengaruhi kondisi penduduk Riau untuk masa akan datang. Menurunnya
angka komsumsi sayur memamng sejalan dengan mernurunnya angka produksi
sayur di Provinsi Riau, namun berbeda dengan komoditi buah-buahan, dimana
produksi sudah melebihi dari konsumsi, ditambah lagi dengan banyaknya masuk
buah dari provinsi tetangga dan bahkan buah impor juga banyak terdapat di
Provinsi Riau.
Dari tabel di atas, bila dilihat dari rasio produksi dan konsumsi per
Kabupaten, maka Kabupaten Kampar memberikan kontribusi yang besar dalam
pemenuhan kebutuhan sayuran di Provinsi Riau, dimana Kabupaten Kampar
banyak menghasilkan sayuran semusim seperi Kangkung, bayam dan cabe besar,
dengan ratio 1,75. Sedangkan untuk komoditi buah-buahan kota Dumai yang
kontribusinya terbesar dengan ratio sebesar 7,13. yang didominasi oleh buah
nenas yang terdapat di Kecamatan Medang Kampai dan Bukit Timah.
Peningkatan produksi dan produktivitas sayuran dan buah-buahahan
perKabupaten/Kota harus terus diupayakan dalam rangka meningkatkan rasio
produksi dan konsumsi terutama wilayah-wilayah yang berada di bawah rata-rata
rasio produksi dan konsumsi sayur-sayuran maupun buah-buahan provinsi.
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa Produksi daging ruminansia Provinsi
Riau dari tahun 2013 sampai dengan 2017 terjadi peningkatan pertumbuhan
produksi 10,23 persen, daging unggas 3,05 persen dan rata-rata pertumbuhan
kebutuhan konsumsi daging ruminansia penduduk Riau dari tahun 2013 sampai
dengan tahun 2017, terjadi peningkatan 1,99 persen, hal ini juga terjadi pada
daging unggas 1,99 persen. jika dilihat perimbangan produksi dan kebutuhan
konsumsi daging ruminansia dan daging unggas, berimbang antara produksi dan
kebutuhannya karena produksi dapat memenuhi kebutuhan konsumsi langsung
penduduk Riau. Rata-rata pertumbuhan rasio selama 5 tahun untuk daging
ruminansia 8,08 persen dan daging unggas 1,04 persen.
Hal lain yang membuat produksi daging meningkat karena dalam konsep
produksi semua pemotongan yang terjadi di provinsi Riau dimasukan dalam
kategori produksi walaupun ternaknya berasal dari pemasukan ke provinsi Riau.
Produksi daging yang tersedia di Provinsi Riau sudah melebihi kebutuhan
konsumsi penduduk, hal ini sangat baik untuk konsumsi pangan hewani, tetapi
menjadi kendala dalam mengkonsumsi daging karena harga daging sejak satu
tahun terakhir mengalami kenaikan sehingga membuat konsumsi penduduk
menjadi lebih rendah.
Upaya untuk meningkatkan populasi ternak adalah hal yang sangat
diperlukan dalam upaya peningkatan konsumsi, karena jika ternak tersebut berasal
dari Provinsi Riau maka kemingkinan harga dagingnya dapat lebih rendah dari
waktu saat ini.
Tabel 2.103. Rasio Produksi dan Konsumsi Daging Ruminansia dan Unggas
Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Riau Tahun 2015
Kabupaten/ Produksi (Ton) Konsumsi (Ton) Rasio
Kota Ruminansia Unggas Ruminansia Unggas Ruminansia Unggas
Kuantan Singingi 508 1.509 481 1,704 1.06 0.89
Tabel 2.105. Konsumsi Energi Penduduk di Provinsi Riau Tahun 2012 - 2016
Konsumsi Energi Kkal/Kap/Hari
Kelompk Bahan Pangan
2012 2013 2014 2015 2016
I. Padi-padian 1.221,0 1.217 1.161 1.204 1.115
II. Umbi-umbian 64,0 73 70 73 39
III. Pangan Hewani 136,0 175 167 170 247
IV. Minyak dan Lemak 276,0 257 231 235 293
V. Bh/Biji Berminyak 65,0 61 96 121 71
VI. Kacang-kacangan 77,0 76 74 72 46
VII. Gula 123,0 149 99 119 109
VIII. Sayur dan Buah 51,0 71 75 89 77
IX. Lain-lain - - - - -
Total Energi 2.013,0 2.079 1.973 2.083 2.123
Sumber Data: Susenas (BPS Riau) dan Survey Konsumsi DKP data diolah DKP
a. Potensi produksi pangan pokok padi sudah semakin terbatas karena lahan
untuk pengembangan sangat terbatas dan jumlah penduduk semakin
meningkat;
b. Komoditi sagu memiliki potensi produksi yang tinggi sehingga sangat
memungkinkan untuk di kembangkan menjadi pangan alternative;
c. Sagu sudah menjadi makanan budaya masyarakat Riau sehingga dapat
dikembangkan dan disolisasikan dengan cepat dimasyarakat;
d. Sudah dimulainya pengembangan pangan alternative sagu di provinsi Riau;
e. Komitmen Pemerintah untuk mengangkat komoditi ini menjadi titik awal
kebangkitan sagu sebagai pangan alternatif sumber karbohidrat
daerah lain berjalan dengan baik sesuai dengan makanisme pasar. Gambaran
ketersediaan beras di provinsi Riau, sebagaimana tertera pada Tabel 2.108.
Keamanan pangan telah menjadi salah satu isu sentral dalam perdagangan
produk pangan. Penyediaan pangan yang cukup disertai terjaminnya keamanan,
mutu dan gizi pangan yang dikonsumsi merupakan hal yang tidak bisa ditawar
dalam pemenuhan kebutuhan pangan. Tuntutan konsumen akan keamanan pangan
yang juga turut mendorong kesadaran produsen menuju persaingan sehat yang
berhulu pada jaminan keamanan pangan bagi konsumen. Untuk menjamin bahwa
penanganan pangan hasil pertanian dilaksanakan dengan baik, maka unit usaha
pangan hasil pertanian harus mendapatkan pengakuan jaminan mutu pangan hasil
pertanian. Pengakuan tersebut diberikan setelah dilakukan penilaian terhadap
pelaku usaha yang dinyatakan mampu dan memenuhi persyaratan. Hasil
sertifikasi ini yang akan menetukan produk Prima 1, Prima 2 dan Prima 3.
kelompok kegiatan yang ditetapkan yaitu dianjurkan (A), sangat dianjurkan (SA),
dan wajib. Untuk Sertifikat Prima Satu terdapat 12 kegiatan wajib, 103 kegiatan
sangat dianjurkan, dan 64 kegiatan anjuran. Untuk Sertifikat Prima Dua terdapat
12 kegiatan wajib, 63 kegiatan sangat dianjurkan, dan 39 kegiatan anjuran. Untuk
sertifikat Prima Tiga terdapat 12 kegiatan wajib, 29 kegiatan sangat dianjurkan,
dan 15 kegiatan anjuran (https://ml.scribd.com, 2015).
Terhadap pelaku usaha tani yang sudah mendapatkan sertifikat, OKKPD
atau OKKPP selalu melakukan audit untuk memastikan produk pertanian yang
dihasilkan masih memenuhi standar yang ditetapkan, Ada dua macam audit yang
dilakukan yaitu audit survailen dan audit investigasi. Audit survailen merupakan
audit yang dilakukan untuk memeriksa konsistensi pelaku usaha pertanian yang
telah memenuhi syarat-syarat yang dilakukan dan dilakukan setiap enam bulan.
Sedang audit investigasi merupakan audit yang dilakukan sewaktu-waktu, untuk
memeriksa pelaku usaha pertanian memenuhi syarat yang ditentukan.
Tabel 2.109. Penguatan Cadangan Pangan (Kg) Pengadaan Cadangan
Pangan Pemerintah Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Riau
Tahun 2013-2017
Pengadaan
Pengadaan Tahun (Ton) Penyaluran Sisa Stok Per 31
Tahun
No Kab/Kota Tahun 2013- Desember 2017
2013-2017
2017 (ton) (Ton)
2013 2014 2015 2016 2017 (Ton)
1 Kuantan Singingi - - - - - - - -
2 Indragiri Hulu - 100 - - - 100 40 60
3 Indragiri Hilir - 18 5 - - 23 - 23
4 Pelalawan - 23 - - - 23 - 23
5 Siak - - - - - - - -
6 Kampar - - - - - - - -
7 Rokan Hulu - - - - - - - -
8 Bengkalis - - 20 - - 20 - 20
9 Rokan Hilir - - - - - - - -
10 Kep. Meranti - 10 - - - 10 10 -
11 Pekanbaru - - - - - - -
12 Dumai - - - - - - -
13 Provinsi 112 252 115 - - 478 173 306
Total CPP Provinsi
+ Kab/kota 112 403 140 - - 654 223 431
Sumber: Data Dinas Pertanian Provinsi Riau Tahun 2017
yang membuang air limbah ke badan air. Dari empat sungai besar yang ada di
Provinsi Riau, yaitu Sungai Indragiri, Sungai Rokan, Sungai Siak, dan Sungai
Kampar, dari tahun ke tahun menunjukkan penurunan kualitas mutu air.
Berdasarkan hasil pemantauan dan pengawasan industri di kabupaten/kota masih
ada perusahaan yang membuang limbahnya ke badan air yang melebihi baku mutu
yang ditetapkan di dalam peraturan yang ada dan yang tertuang dalam izin yang
dimiliki. Disamping itu, penurunan kualitas mutu air disebabkan masih rendahnya
kesadaran masyarakat tentang pengelolaan sungai terutama masyarakat
dipinggiran sungai.
pulp dan kertas) industri sektor migas (terminal bahan bakar minyak),
pertanian, perkebunan, transportasi air dan erosi di bantaran sungai akibat
alih fungsi lahan.
2. Sungai Rokan
a) Bagian Hulu mewakili ruas sungai kelas 1 (berdasarkan pergub No.6
Tahun 2005 Tentang Peruntukan dan Baku mutu Air Sungai Rokan
Provinsi Riau) dengan lokasi titik pantau Tangun, Hulu Batang Sosa,
Kota Tengah, Hulu Rokan IV Koto, Ujung Batu, Kota lama, Batang
Kumu, Siarang-arang, Kuala Sako, sedangkan bagian hilir mewakili ruas
sungai kelas 2 dengan lokasi titik pantau Sungai Rangau, Desa
Sedinginan, Ujung Tanjung dan Jembatan Jumrah.
b) Kegiatan pencemar di DAS di bagian hulu (Kelas 1) maupun bagian hilir
(kelas 2) umumnya di jumpai daerah pemukiman, Industri sektor agro,
galian C, dan perkebunan.
c) Parameter pencemar dari setiap pemantauan yaitu parameter TSS, DO,
BOD, COD, Fe, NH3, H2S, T.Phospat, fecal coli dan total coliform.
d) Sumber pencemar utama adalah limbah domestik (limbah pemukiman,
MCK, rumah sakit, hotel, pasar, rumah makan, bengkel dan lain-lain),
pabrik kelapa sawit pertanian, perkebunan, dan erosi di bantaran sungai
akibat alih fungsi lahan.
3. Sungai Indragiri
a) Bagian Hulu mewakili ruas sungai kelas 1 (berdasarkan pergub No.24
Tahun 2003 Tentang Peruntukan dan Baku mutu Air Sungai Indragiri
Provinsi Riau) dengan lokasi titik pantau Hulu Lubuk Ambacang, Lubuk
Jambi, Hilir Pasar Taluk Kuantan, Hilir Pasar Usang Baserah, Batang
Peranap Desa Pematang, Hilir Pasar Peranap, Desa Gading Air Molek,
Desa Pasir Ringgit, Pasir Kemilu Rengat, Dermaga Kuala Cinaku
sedangkan bagian hilir mewakili ruas sungai kelas 2 dengan lokasi titik
pantau Pelabuhan Riau Baraharum Mumpa, Pasar Pulau Palas dan
Tembilahan Kota.
b) Kegiatan pencemar di DAS di bagian hulu (Kelas 1) dijumpai daerah
pemukiman, Industri sektor agro, PETI, perkebunan, sedangkan di bagian
dan Siak. Sejak tahun 2015 sumber data menjadi 4 sungai besar yaitu Kampar,
Siak, Rokan dan Indragiri
- Parameter yang dijadikan dasar acuan perhitungan IKA yaitu zat padat
tersuspensi (Total Suspended Solid/TSS), oksigen terlarut (Dissolved
Oxygen/DO), Biochemical Oxygen Demand (BOD), Chemical Oxygen
Demand (COD), kandungan fosfat (Total Phosphat), Fecal Coliform, dan Total
Coliform
- Hasil perhitungan indeks pencemaran air dinarasikan dalam bentuk baku mutu
dengan rumusan:
0≤ PI≤1,0 → memenuhi baku mutu (kondisi baik)
1,0≤ PI ≤5,0 → cemar ringan
5,0≤ PI ≤10 → cemar sedang
PI> 10 → cemar berat
- Transformasi nilai indeks pencemaran air dalam IKA dilakukan dengan
mengalikan bobot nilai indeks dengan persentase pemenuhan baku mutu.
Persentase pemenuhan baku mutu didapatkan dari hasil penjumlah titik sampel
yang memenuhi baku mutu terhadap jumlah sampel dalam persen. Sedangkan
bobot indeks diberikan batasan sebagai berikut: 70 untuk memenuhi baku
mutu, 50 untuk tercemar ringan, 30 untuk tercemar sedang, dan 10 untuk
tercemar berat.
Indikator Udara
- Sumber data adalah data hasil pemantauan kualitas udara ambien dengan
metoda passive sampler.
- Pemantauan dilakukan di 4 (empat) area per kabupaten/kota yaitu area
transportasi, area industri, area perkantoran/komersil dan area pemukiman
dengan frekuensi pemantauan 2 (dua) kali per tahun yang mewakili musim
panas dan musim hujan. Dari keseluruhan parameter kualitas udara ambien,
untuk keperluan perhitungan Indeks Kualitas Udara (IKU) hanya memantau 2
(dua) parameter yaitu Sulfur Dioksida (SO2) dan Nitrogen Dioksida (NO2).
- Kriteria Indeks Kualitas Udara untuk IKLH:
Unggul X > 90
Sangat baik 82 < X ≤ 90
Baik 74 < X ≤ 82
Cukup 66 ≤ X ≤ 74
Kurang 58 ≤ X < 66
Sangat kurang 50 ≤ X < 58
Waspada X < 50
b. Indikator Tutupan Hutan
- Luas tutupan hutan yang dihitung adalah seluruh hamparan daratan yang
ditutupi pohon-pohon berdasarkan hasil analisis citra landsat, dibandingkan
dengan luas wilayah kabupaten/kota.
- Angka luas tutupan lahan dikonversi ke dalam bentuk indeks tutupan hutan
(ITH).
Dengan menggunakan formula dan kondisi di atas, maka perubahan IKLH
Provinsi Riau dari Tahun 2011 sampai dengan 2016, sebagaimana diuraikan pada
Tabel 2.111 di bawah ini.
Dalam kurun tahun 6 (enam) tahun terjadi fluktuasi nilai IKLH. Pada
tahun 2013 terjadi penurunan nilai IKLH cukup signifikan menjadi 34.53 dari
tahun sebelumnya, hal ini disebabkan karena pada tahun tersebut terjadi
kebakaran hutan dan lahan yang sangat besar sehingga nilai kualitas udara pada
saat itu tidak bisa dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan.
Nilai IKLH Provinsi Riau cenderung mengalami penurunan dengan
berbagai penyebab, antara lain:
a. Peningkatan laju alih fungsi lahan yang berakibat berkurangnya tutupan
lahan;
b. Hingga tahun 2015, peristiwa kebakaran hutan dan lahan masih terjadi di
Riau, sehingga mempengaruhi nilai IKU selain pengendalian pencemaran
udara sumber bergerak (transportasi perkotaan) yang belum optimal;
c. Pengelolaan limbah domestik merupakan sumber pencemar utama air
permukaan selain industri dan perkebunan/pertanian. Sampai saat ini
pengelolaan limbah domestrik tersebut belum berdampak terhadap perbaikan
nilai IKA.
d. Selain permasalahan di atas, khusus untuk IKA, data yang digunakan untuk
perhitungan IKA hanya berasal dari 4 sungai besar di Riau (Kampar, Siak,
Rokan dan Indragiri) yang kenyataannya memang kualitasnya sudah
tercemar. Sedangkan sumber air permukaan di Riau tidak hanya keempat
sungai besar tersebut, tetapi banyak anak sungai dan danau dengan kualitas
air yang lebih baik untuk dijadikan sumber data yang dapat meningkatkan
nilai IKA. Permasalahannya adalah diperlukan penambahan sumber daya dan
anggaran untuk memperluas sumber data selain memantau keempat sungai
sudah tercemar tersebut. Perbandingan IKLH Provinsi Riau dengan provinsi
lainnya di Sumatera, sebagaimana tertera pada Gambar 2.61.
Tabel 2.112. Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Provinsi Riau Tahun 2014
dan Sasaran Tahun 2019
Dari tabel di atas, Kota Pekanbaru dan Kabupaten Siak sudah melayani
seluruh kecamatan untuk sampah domestik. Oleh sebab itulah maka kedua kota ini
pernah mendapatkan penghargaan adipura. Untuk kabupaten/kota lainnya,
persentase cakupan pelayanan yang rendah bukan berarti menunjukkan kinerja
Dinas Kebersihan yang rendah, akan tetapi bisa saja penduduk di suatu kecamatan
membakar sampah, membuang sampah ke sungai atau menimbun dalam lubang-
lubang di pekarangan rumah.
a. Kependudukan
Secara ekonomi Provinsi Riau saat ini sedang mengalami perkembangan
pesat, baik itu sektor perkebunan maupun industri. Dampak dari
berkembangannya perekonomian di Provinsi Riau, salah satunya adalah tingginya
angka migrasi masuk yang dapat menyumbangkan pertambahan penduduk
disamping angka kelahiran.
Dampaknya dari tingginya tingkat pertumbuhan penduduk Provinsi Riau
terutama pada Kabupaten/Kota tersebut adalah meningkatnya beban anggaran
untuk menyediakan fasilitas dan pelayanan kepada masyarakat terutama pada
sektor pendidikan dan kesehatan sebagai amanat peraturan dan perundang-
undangan. Sehubungan dengan itu upaya pengendalian penduduk terutama
migrasi masuk menjadi issue penting dalam kebijakan Pemerintah Provinsi Riau.
b. Catatan Sipil
Pelaksanaan administrasi kependudukan mempunyai peranan yang penting
bagi perkembangan pembangunan kependudukan. Database yang lengkap dan
akurat akan sangat membantu tugas-tugas pemerintahan dalam merumuskan dan
menetapkan kebijakan teknis di bidang pencatatan sipil daerah yang meliputi
pendaftaran/pencatatan kependudukan dan pelayanan umum. Salah satu
pelaksanaan administrasi kependudukan adalah pelayanan pembuatan Kartu
Tanda Penduduk (KTP). KTP sebagai identitias dapat mempermudah pemerintah
untuk melakukan berbagai kebijakan. Penduduk yang memliki KTP pada
Kabupaten /Kota di Provinsi Riau Tahun 2016 seperti terlihat pada Tabel 2.114.
Tabel 2.114. Rasio Penduduk ber-KTP per Satuan Penduduk
Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Riau Tahun 2016
Rasio
Jumlah Jumlah
penduduk
penduduk penduduk usia>
No Kabupate/Kota ber-KTP
usia> 17 yang 17 atau telah
persatuan
ber KTP menikah
penduduk
1 Kampar 383.265 492.643 51,89
2 Indragiri Hulu 204.580 288.349 48,63
3 Bengkalis 313.268 366.832 58,50
4 Indragiri Hilir 285.721 439.971 46,50
5 Pelalawan 168.620 237.366 46,23
6 Rokan Hulu 275.420 365.963 49,95
7 Rokan Hilir 310.522 421.354 49,34
8 Siak 206.958 269.602 50,00
9 Kuantan Sngingi 168.913 228.227 51,92
10 Kepulauan Meranti 113.247 147.190 54,98
11 Pekanbaru 499.467 613.588 56,89
12 Dumai 162617 185.047 59,20
Jumlah 3.092.598 4.056.132 51,95
Sumber: Dinas Kependudukan Catatan Sipil dan Pengendalian Penduduk Tahun 2017
Jumlah penduduk yang memliki KTP pada tahun -2016 di Provinsi Riau
adalah sebanyak 3.092.613 jiwa. Sementara itu dalam waktu yang sama jumlah
penduduk yang wajib memiliki KTP adalah sebesar 4.056.132 jiwa. Keadaan ini
menunjukkan besaran persentase penduduk yang memilki KTP di Provinsi Riau
sebesar 51,95 persen.. Ini berarti masih terdapat sebanyak 48,05 persen penduduk
yang belum memiliki KTP.
Kemudian sebaran kepemilikan KTP pada masing-masing
Kabupaten/Kota t terdapat 5 Kabupaten/Kota antara lain Indragiri Hulu, Indragiri
Hilir, Pelalawan, Rokan Hulu dan Rokan Hilir yang kepemilikian KTP
penduduknya belum mencapai 50 persen. Sedangkan yang paling tinggi tingkat
capaiannya adalah Kota Pekanbaru dan Dumai.
Dapat dipastikan kepemilikan KTP tidak hanya berdampak sosial tetapi
juga berdampak ekonomi. Hal ini karena berbagai persyarakata izin, kredit
perbankan dan bantuan pemerintah lainnya harus menggunakan KTP. Oleh sebab
pelayanan pembuatan KTP harus senantiasa ditingkatkan yang tentunya dengan
berbagai persyaratan wajib yang harus dipenuhi.
30,000
25,000
20,000
15,000
10,000
5,000
0
2011 2012 2013 2014 2015 2016
Pesawat Datang 11,883 11,288 16,689 28,185 10,276 17,121
Pesawat Berangkat 11,895 11,316 16,631 28,184 10,251 17,118
b. Perhubungan Laut
Untuk arus keberangkatan/ penumpang naik pada 15 Port/pelabuhan yang
ada di kabupaten/kota di Provinsi Riau secara umum juga mengalami trend
peningkatan dari tahun ke tahunnya dengan jumlah keberangkatan penumpang
tertinggi pada tahun 2015, yaitu sebanyak 1.736.349 orang penumpang berangkat.
1,800,000
1,750,000 1,736,349
1,700,000 1,712,052
1,650,000
1,631,973
1,600,000
1,550,000 1,550,374 1,558,322
1,500,000 1,503,863
1,450,000
1,400,000
1,350,000
2011 2012 2013 2014 2015 2016
Penumpang Naik
Penumpang Turun
c. Perhubungan Darat
Transportasi darat diarahkan terutama melalui pengembangan jaringan
prasarana dan sarana jalan bagi keperluan angkutan barang maupun penumpang.
Dalam konteks pemenuhan pengangkutan barang produk perekonomian, jaringan
prasarana jalan memiliki fleksibilitas dan daya angkut yang besar di samping
biaya ekonominya yang relatif murah.
41786
41117
39745
38662
35800
Kota-kota yang klasifikasi terminal masuk dalam klasifikasi ini adalah Kota
Pekanbaru, Kota Dumai, Kabupaten Bengkalis, Kabupaten Kampar,
Kabupaten Indragiri Hilir, dan Kabupaten Indragiri Hulu.
2. Terminal Penumpang Tipe B, berfungsi melayani kendaraan umum untuk
angkutan antar perkotaan di Provinsi, angkutan dalam perkotaan, dan
angkutan perdesaan. Kota-kota yang masuk dalam klasifikasi terminal type
B Kabupaten Kampar;
3. Terminal Penumpang Tipe C, berfungsi melayani kendaraan umum untuk
angkutan dalam perkotaan dan angkutan perdesaan. Terminal tipe ini
tersebar di kota-kota kecamatan;
4. Terminal barang menurut fungsi pelayanan penyebaran atau distribusinya
dibedakan atas:
• Terminal Utama, berfungsi melayani penyebaran antar Pusat
Kegiatan Nasional (PKN) bagi wilayah yang memiliki PKN di
dalamnya, dari Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) ke Pusat Kegiatan
Nasional (PKN), antar Pusat Kegiatan Wilayah (PKW), serta angkutan
barang perpindahan antar moda di simpul-simpul utama kegiatan
transportasi terutama pelabuhan laut dan penyeberangan.
Direncanakan di Kota Pekanbaru dan Kota Dumai,
• Terminal Pengumpan, berfungsi melayani penyebaran dari Pusat
Kegiatan Lokal (PKL) ke Pusat Kegiatan Wilayah (PKW), dan antar
Pusat Kegiatan Lokal (PKL). Lokasi tersebar di pusat kegiatan
wilayah
• Terminal Lokal, berfungsi melayani penyebaran dari Pusat Kegiatan
Lokal 1 ke Pusat Kegiatan Lokal (PKL) yang lainnya, dan ke
kawasan-kawasan produksi di dalam wilayah Kabupaten/Kota. Lokasi
terminal penumpang dan barang sebagaian besar menjadi satu (dalam
satu kawasan) untuk efisiensi pengembangan. Lokasi tersebar di
pusat-pusat kegiatan lokal.
Hierarki terminal penumpang tipe A setara dengan terminal utama, terminal
penumpang tipe B setara dengan terminal pengumpan, dan terminal
penumpang tipe C setara dengan terminal lokal.
d. Perhubungan Perkeretaapian
Perkembangan pembangunan jaringan jalur kereta api di Provinsi Riau
sampai dengan tahun 2017 baru pada tahap sosialisasi rencana trase yang
diprioritaskan pada jalur kereta api trans Sumatera dengan jalur Rantau Prapat-
Duri-Pekanbaru.
Pendataan untuk koperasi aktif di provinsi Riau dimulai pada tahun 2015
dengan jumlah sebanyak 3.099 unit dengan jumlah anggota sebanyak 505.069
orang. Pada tahun 2016 jumlah koperasi aktif mengalami penurunan menjadi
sebanyak 2.733 unit, namun jumlah anggota koperasi aktif meningkat menjadi
540.742 orang. Penurunan jumlah koperasi aktif ini disebabkan oleh penerapan
regulasi yang mengatur bahwa koperasi yang tidak melaksana RAT (Rapat
Anggota Tahunan) 2 tahun berturut-turut status badan hukumnya dicabut. Pada
tahun 2016 terjadi peningkatan jumlah modal sendiri dan SHU (sisa hasil usaha)
dibandingkan tahun 2015, hal ini menunjukkan peningkatan kualitas koperasi
aktif yang ada.
Jumlah UMKM relatif stabil ditengah gejolak pertumbuhan ekonomi
Provinsi Riau pada kurun tahun tahun 2014 sampai tahun 2015, hal ini
menunjukkan bahwa UMKM terbukti memiliki ketahanan terhadap krisis
ekonomi yang disebabkan oleh jatuhnya harga minyak dunia dan harga komoditi
utama provinsi Riau.
Pertumbuhan koperasi yang yang naik turun di atas, juga diikuti dengan
jumlah koperasi di kabupaten/kota, jumlah anggota, modal, volume usaha dan
Sisa Hasil Usaha per tahun dapat dilihat pada Tabel 2.122. berikut ini.
Data Modal Sendiri, Modal Luar, Volumen Usaha dan SHU tidak tersedia
di OPD. Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa 18,23% koperasi berada di kota
Pekanbaru dengan jumlah anggota 110.587 orang. Distribusi anggota koperasi
diseluruh kabupaten/kota provinsi Riau terlihat tidak merata, seperti di Kabupaten
Kep. Meranti rata-rata jumlah anggota per koperasi 19 orang sedangkan di Kota
Pekanbaru rata-rata jumlah anggota per koperasi 117 orang. Hal ini antara lain
disebabkan oleh masih kurangnya sosialiasi kepada masyarakat tentang
manfaat/keuntungan berkoperasi.
Tabel 2.127. Jumlah Fasilitas Olahraga Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Riau Tahun 2016
Fasilitas Olahraga
Kabupaten/Kota Kolam &
Stadion GOR Padang & Lapangan Hall PKM
Danau
Kuantan Singingi Sport Centre (Sepak Bola) - - - - -
Indragiri Hulu - - - - - -
Indragiri Hilir Sport Centre (Sepak Bola) - - - - -
Pelalawan - Pangkalan Kerinci - - - -
Siak - Sepatu Roda - - - -
Kampar - Kampar (Pencat Silat) Labersa (Golf) - - -
Rokan Hulu - - - - - -
Bengkalis - - - PAS (Bela Diri Tarung Drajat) - -
Rokan Hilir - - - - -
Kep.Meranti - - - - -
1. Grand Stadion–UNRI (Sepak Bola) 1. Remaja (Bulu Tangkis) 1. Chevron (Soft Ball) 1. SC Rumbai (Basket) 1. UNILAK Danau
2. Kaharudin Nasution Rumbai (Sepak Bola) 2. Angkasa (Bulu Tangkis) 2. UNRI (Kawasan Olaharaga) 2. SC Rumbai (Renang) (Anggar) Buatan
3. SC Rumbai (Hockey) 3. SC Rumbai (Senam) 3. UNRI (Panjat Tebing) 3. SC Rumbai (Menembak) 2. UNRI (Sky Air)
4. SC Rumbai (Atletic) 4. Tribuana (Karate) 4. UIR Panahan 4. SC Rumbai (Volly Ball) (Yudo)
5. UIR Volly Ball 3. UIN
Pekanbaru
(Taekwond
o)
4. UIR
(Gulat)
Sasana
Tirta
Dumai - - Chevron (Tennis Meja) - -
Pertamina
(Renang)
Selama kurun tahun 2012-2016 seperti terlihat pada Tabel 2.127, tidak
terdapat perubahan baik jumlah cabang olahraga yang terdaftar maupun jumlah
cabang olahraga yang mendapatkan pembinaan dari Pemerintah Provinsi Riau.
Artinya selama kurun tahun tersebut semua cabang olahraga yang terdaftar
mendapat pembinaan dari pemerintah. Kenyataan ini menunjukkan bahwa
komitmen Pemerintah Provinsi Riau dalam pembinaan cabang olahraga sangat
tinggi.
persen altet mudah yang belum mendapat pembinaan Hal ini menunjukkan bahwa
pembinaan bibit unggul di Provinis Riau belum sepenuhnya dilakukan serius.
Padahal pembinaan terhadap altet muda/bibit unggul adalah membentuk altet-alet
masa yang akan datang.
Mencermati data tabel di atas terlihat bahwa selama kurun tahun 2014-
2016 baik jumlah seluruh organisasi pemuda, maupun jumlah organisasi pemuda
yang aktif terus mengalami peningkatan. Dilihat dari persntase jumlah aktif tidak
terajdi perubahan selama kurun tahun yang sama. Rata-rata selama 3 tahun jumlah
yang aktif sebesar 90 persen. Berarti terdapat 30 persen organisasi pemuda yang
tidak aktif.
Tabel 2.132. Persentase Pelayanan Pengamanan Persandian pada Seluruh Kab/Kota dan OPD
di Provinsi Riau Tahun 2014-2017
1 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
100
2014 55 0 12 0 1 1,82% 0 0 0
%
7 OPD (LPSE ,
100
2015 55 0 12 0 1 1,82% 0 0 0 BPKAD ,
%
DISKOMINFO,
16,27%
SEKRETARIAT
100
2016 55 2 3,64% 12 0 2 3,64% 0 0 0 DAERAH, PTSP,
%
BAPPEDA, DPRD)
100
2017 43 5 11,63% 12 1 2,33% 6 13,95% 2 4,65% 43 100,00% 0
%
Tabel 2.134 Rekapitulasi Jumlah Menengah Yang Menerapkan Muatan Lokal Yang
Berbasis Budaya Melayu Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Riau Tahun 2017
No Kabupaten/Kota SMA SMK
1 Kuantan Singingi 21 4
2 Indragiri Hulu 29 16
3 Indragiri Hilir 25 19
4 Pelalawan 23 17
5 Siak 31 -
6 Kampar 51 29
7 Rokan Hulu 34 36
8 Rokan Hilir 64 1
9 Bengkalis 45 7
10 Kep. Meranti 23 2
11 Pekanbaru 17 -
12 Dumai 6 7
Provinsi Riau 369 138
Sumber: Dinas Kebudayaan Provinsi Riau Tahun 2017
Secara keseluruhan sampai dengan tahun 2017 di Provinsi Riau terdapat 369 SMA
dan 138 SMK yang sudah memasukkan kurikulum Budaya Melayu dalam muatan lokal.
Jika dibandingkan dengan jumlah SMU dan SMK yang ada di Provinsi Riau, sebanyak
675 buah, maka jumlah sekolah yang sudah maemasukkan kurikulum budaya melayu
sebagai muatan lokal adalah sebanyak 75,11 persen. Ini berarti masih ada sebesar 24,89
persen SMU dan SMK yang belum memasukkan budaya melayu sebagai kurikulum
muatan lokal. Sejalan dengan hal tersebut dengan beralihnya kewenangan urusan SMU
kepada Provinsi sesuai dengan UU No. 23 Tahun 2014, kebijakan memasukkan budaya
melayu sebagai kurikulum muatan untuk sekolah yang belum haruslah menjadi prioritas.
Tabel 2.135. Jumlah Karya Seni Budaya Yang di Revitalisasi dan Diinventarisasi
Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Riau Tahun 2012-2017
Tahun
Kabupaten/Kota 2017
2012 2013 2014 2015 2016
Kuantan Singingi 4 3 2 1 3
Indragiri Hulu 4 3 2 1 5
Indragiri Hilir 3 3 1 1 2
Pelalawan 3 3 1 1 6
Siak 3 4 2 3 5
Kampar 4 4 2 4 8
Rokan Hulu 3 3 2 3 6
Rokan Hilir 2 3 1 1 4
Bengkalis 5 3 3 3 6
Kep. Meranti 2 2 2 3 5
Pekanbaru 1 - -
Dumai 1 - 1
Provinsi Riau 35 31 18 21 50
Sumber: Dinas Kebudayaan Provinsi Riau Tahun 2017
Selama kurun tahun 6 tahun sudah 155 karya seni di Provinsi Riau yang berbasis
melayu direvitalisasi dan diinvetarisasi. Sesungguhnya potensi karya seni dan budaya
melayu yang sejatinya direvitalisasi masih sangat banyak. Basis budaya melayu yang
berada pada 4 aliran sungai besar sebagai tempat peradaban budaya melayu masa lalu
harus menjadi sumber revitalisasi dan inventarisasi. Empat sungai besar harus menjadi
fokus dalam pelestarian budaya melayu, terutama budaya lisan dan karya seni budaya
melayu lainnya . Hal ini mengingat generasi tua yang tahu persis tentang budaya lisan
dan karya seni budaya melayu sudah mulai berangsur-angsur termakan usia tua.
yang tidak bergerak. Adapun jumlah cagar budaya yang sudah dilestasikan di Provinsi
Riau dapat dilihat pada Tabel 2.136.
Tabel 2.136. Persentase Jumlah Cagar Budaya yang dilestasikan di Provinsi Riau
Tahun 2012-2016
No Uraian 2012 2013 2014 2015 2016
Jumlah Cagar Budaya yang
1
dilestarikan 1 32 25 1 433
Total Cagar Budaya yang
2 na na na na
dimiliki daerah 2,862
Pada tahun 2016 jumlah cagar budaya yang ada di Provinsi Riau baik bergerak
maupun tidak bergerak yang terinventarisasi sebanyak 2,862 buah. Sementara yang baru
dilestarikan sebanyak 433 buah atau sebesar 16,11 persen. Ini berarti masih terdapat
sebanyak 83,89 persen yang belum mendapat sentuhan pelestarian. Kondisi ini
memberikan gambaran bahwa pelastian cagar budaya belum optimal dilakukan di Provinsi
Riau.
7.00 6.24
6.00 5.27 5.22
4.91
5.00
3.89
4.00
3.00
2.00
1.00
0.00
2013 2014 2015 2016 2017
Pengelolaan arsip yang dilaksanakan dengan baik dan benar sesuai dengan kaidah
yang ada akan menghadirkan kemanfaatan besar bagi kehidupan organisasi, pemerintah,
dan masyarakat. Ketersediaan arsip secara utuh, otentik, dan terpercaya, pada lembaga
pemerintahan akan memberikan dukungan nyata bagi pelaksanaan reformasi birokrasi
utamanya untuk kemanfaatan penilaian kinerja, pertanggungjawaban kinerja, pelayanan
publik, serta penyediaan indikator bukti bagi kepentingan lain.
Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap penyelenggaraan kearsipan sesuai
dengan keinginan, diantaranya yaitu keberadaan sumber daya manusia (arsiparis).
Sumberdaya manusia kearsipan yang baik dan mencukupi merupakan faktor yang dapat
mewujudkan ketertaaan kearsipan. Sumberdaya yang mengelola arsip secara baku di
Provinsi Riau selama kurun tahun 2012-2016 dapat dilihat pada Tabel 2.138.
Tabel 2.138. Persentase Perangkat Daerah yang Mengelola Arsip Secara Baku
Provinsi Riau Tahun 2012-2016
No Uraian 2012 2013 2014 2015 2016
1 Jumlah Perangkat Daerah yang telah menerapkan arsip
0 0 2 4 6
secara baku
2 Jumlah Perangkat Daerah 33 33 33 54 54
3 Persentase Perangkat Daerah yang mengelola arsip
0 0 6,06 7,40 11,11
secara baku
Sumber: Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Riau Tahun 2017
Data pada tabel di atas memperlihatkan bahha jumlah perangka daerah yang telah
menerapkan arsip secara baku meningkat dari tidak ada pada tahun 2012 meningkat
menjadi 6 orang pada tahun 2016. Jika dibandingkan dengan jumlah perangkat daaerah
pada tahun yang sama terjadi peningktan persentase jumlah perangkat daerah yang
menerapkan arsip secara baku dari tidak ada meningkat menjadi 11,11 persen.
Konsumsi (Ton) 179.477,30 182.855,77 188.930,16 111.480,15 112.630,00 277,250 260.039 17,53
Perimbangan
(43.475 ,70) (32.915,97) (38.142,16) 50.192,05 67.932 (67.558,44) (40.632,64)
(Ton)
Rasio 0,74 0,82 0,79 1,45 1,60 0.76 0.84 0,50
Dari Tabel 2.140 dapat dijelaskan bahwa kemampuan produksi ikan Provinsi Riau
Tahun 2016 sebesar 219.406,20 ton dan jika dibandingkan dengan kebutuhan konsumsi
penduduk Riau sebesar 260.039 ton maka terjadi kekurangan atau devisit sebesar -
40.632,64 ton (18,51%). Tingkat kekurangan yang tertinggi terdapat di Kota Pekanbaru
lalu diikuti Kabupaten Siak dan Kabupaten Rokan Hulu.Tingginya tingkat kekurangan di
Pekanbaru lebih disebabkan karena daerah ini merupakan daerah yang jumlah
penduduknya terbesar sementara potensi produksi sangat rendah. Kemudian daerah dengan
tingkat komsumsi ikan terendah adalah Kota Dumai, hal ini dipengaruhi oleh faktor
keterbatasan masyarakat mengakses bahan baku ikan karena terbatasnya pasokan dan juga
tingginya harga ikan.
Selama ini, kekurangan suplai ikan di Provinsi Riau umumnya didatangkan dari
Sumatera Barat dan Kepulauan Riau. Rendahnya produksi perikanan dibanding konsumsi
yang selama ini dialami Provinsi Riau perlu menjadi perhatian serius. Pada perikanan laut
dan budidayanya, permasalahan terbatasnya kemampuan jelajah kapal penangkapan ikan
nelayan dan over fishing disekitar pantai perlu diantisipasi melalui modernisasi kapal dan
perindikatoran tangkap serta pengembangan budidaya perikanan laut. Pada perikanan
perairan umum, upaya penegakan peraturan tentang pencemaran sungai perlu ditingkatkan
disamping pengaturan penangkapan ikan diperairan umum. Khusus perikanan kolam
keramba yang saat ini menjadi andalan produksi perikanan Provinsi Riau perlu diikuti
pengembangan industri pengolahan ikan oleh UKM atau perusahaan besar sehingga harga
ikan (patin) dapat stabil.
Produksi ikan di Provinsi Riau diperoleh dari berbagai jenis usaha antara lain usaha
perikanan tangkap di laut, perikanan tangkap di perairan umum, budidaya di tambak dan di
kolam, budidaya keramba di perairan umum, jaring reaping serta budidaya di laut. Jumlah
produksi dari tahun 2019 sampai dengan 2016 menurut jenis usaha dapat dilihat pada
Tabel 2.141.
Tabel 2.141. Produksi Perikanan Menurut Jenis di Provinsi Riau
Tahun 2011-2016
Tahun Rata-Rata
Jenis Usaha Perikanan Pertumbuhan/
2011 2012 2013 2014 2015 2016
Tahun (%)
Perikanan Tangkap di Laut 90.505,30 95.611,00 93.279,20 107.306,20 105.296,30 102.100,9 2.67
Perikanan Tangkap di Perairan Umum 12.285,70 16.068,60 17.455,90 18.384,10 17.097,80 27.406,6 19.61
total produksi Perikanan tangkap dilaut mengalami penurunan sebesar 3.195,4 ton
dibandingkan total produksi tahun 2015 hal ini diakibatkan oleh bencana asap yang
terjadi di Provinsi Riau pada pertengahan tahun 2015. Sedangkan untuk usaha perikanan
tangkap di periaran umum mengalami peningkatan pada tahun 2016 dibandingkan dengan
tahun 2015 sebesar 10.308,8 ton, peningkatan ini cukup signifikan karena kesempurnaan
pendataan di lapangan pada setiap Kabupaten/kota.
Pada sektor perikanan budidaya mengalami peningkatan produksi pada semua jenis
usaha pada tahun 2016, kecuali budidaya jaring apung yang mengalami penurunan sangat
cukup signifikan yakni mencapai 61% hal ini di sebabkan tingginya modal dalam
pengembangan usaha dan juga dipengaruhi oleh mentalitas pembudidaya yang belum
berorientasi bisnis. Produksi perikanan menurut kabupaten/kota di Provinsi Riau
berdasarkan jenis usaha perikanan dapat dilihat pada Tabel 2.142.
Tabel 2.142. Produksi Perikanan Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Riau
Tahun 2016
Jenis Usaha Perikanan
Budidaya
Perairan Keramba Kontribusi
No Kabupaten/Kota Keramba Budidaya
Perikanan Tangkap Jaring (%)
Budidaya Budidaya di Budidaya Jaring Jaring
Tangkap di di Tancap di Jumlah
di Tambak Kolam di Keramba Apung di Apung di
Laut Perairan Perairan
Perairan Laut
Umum Umum
Umum
Berdasarkan Tabel 2.143 dapat dijelaskan bahwa daerah yang memiliki perairan
terluas adalah Kabupaten Bengkalis, lalu diikuti Kabupaten Rokan Hilir, dan Indragiri
Hilir, sedangkan Kabupaten yang terendah adalah Kabupaten Dumai dan Pekanbaru. Luas
perairan tidak berbading lurus dengan jumlah produksi, karena besaran produksi sangat
dipengaruhi seberapa besar pemanfaatan potensi diperairan tersebut. Sebagai perbadingan,
Kabupaten Siak yang hanya memiliki luas perairan 9.216 (0.44%), tetapi memiliki jumlah
produksi lebih besar dibandingkan dengan Kabupaten Bengkalis dengan luas perairan
677.472 (32.33%).Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa Kabupaten Siak telah
Berdasarkan tabel 2.144 dapat dijelaskan bahwa kontribusi sektor kelautan dan
perikanan terhadap PDRB Provinsi Riau dari tahun ke tahun terus meningkat mulai dari
2,41% pada tahun 2012 naik hingga 2,67 % pada tahun 2015. Angka sementara tahun 2016
terjadi sedikit penurunan yaitu 0,03 % dari 2,67 % Tahun 2015 menjadi 2,64 % tahun
2016.
Sektor kelautan dan perikanan di Provinsi Riau rata-rata menyumbang 2,55 %
setiap tahun terhadap laju pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) daerah Riau. Meski
masih dalam proporsi yang kecil disbanding industri lainnya, namun porsi sumbangan ini
secara tahunan terus meningkat dalam empat tahun terakhir. Pertumbuhan sektor kelautan
dan perikanan ini terdorong oleh peningkatan produksi hasil tangkapan baik dilaut maupun
di perairan umum dan budidaya perikanan air tawar, payau dan pantai (laut).
banyak adalah Kabupaten Kuantan Singingi dengan tujuhpuluh sembilan objek wisata dan
yang paling sedikit adalah Rokan Hilir, Kep.Meranti dan Indragiri Hilir.
Objek wisata alam dan wisata budaya yang ada di Provinsi Riau perlu dukungan
aksesibilitas dan fasilitasi destinasi wisata agar dapat memudahkan wisatawan domestik
dan mancanegara untuk menuju dan menikmatinya objek wisata tersebut. Dengan
terbangunnya sarana dan prasarana wisata serta dukungan terhadap pemasaran pariwisata
dapat dapat berkontribusi secara signifikan terhadap pertumbuhan perekonomian Provinsi
Riau. Selain daya tarik wisata alam dan budaya, Provinsi Riau juga berpotensi untuk
dikembangkan untuk menjadi daerah tujuan wisata MICE (Meeting, Incentive, Conference
dan Exhibition) dan wisata minat khusus, dengan memanfaatkan keunikan alam, sarana
dan prasarana olah raga yang telah dibangun dalam rangka PON XVIII Tahun 2012, serta
sarana MICE yang telah dimiliki pihak swasta.
Kuantan Singingi 44 7 11 5 0 12 0 0 79
Indragiri Hulu 26 8 8 3 0 3 0 0 48
Indragiri Hilir 6 5 2 2 3 2 1 0 21
Pelalawan 23 19 7 2 0 1 0 2 54
Siak 8 37 4 6 0 2 0 1 58
Kampar 21 11 7 14 0 5 3 3 64
Rokan Hulu 29 8 2 4 0 2 0 6 51
Bengkalis 5 3 3 0 10 5 7 8 41
Rokan Hilir 3 5 1 5 1 0 1 2 18
Kep. Meranti 7 8 0 0 0 0 0 4 19
Pekanbaru 1 9 2 2 0 1 4 7 26
Dumai 7 8 0 3 0 3 1 3 25
mendorong pariwisata di Provinsi Riau. Di samping itu juga dilakukan kegiatan sadar
wisata untuk membangun kesadaran masyarakat serta upaya promosi melalui media sosial,
yaitu “Cerita Baru Centre”. Dukungan yang sangat penting adalah pembenahan dan
pembangunan infrastruktur pariwisata melalui alokasi APBN & APBD.
Sejak dilaunchingnya Brand Image The Homeland of Melayu pada tahun 2016,
Dinas Pariwisata Provinsi Riau melakukan program POSE untuk pengembangan
pariwisata di Provinsi Riau. Program POSE tersebut antara lain:
1. Paid Media, promosi pariwisata Provinsi Riau dengan melibatkan media dalam dan
luar negeri.
2. Owened Media: website resmi Dinas Pariwisata Provinsi Riau
(http://pariwisata.riau.go.id/) digunakan untuk mempromosikan Pariwisata Provinsi
Riau.
3. Social Media: promosi Pariwisata Provinsi Riau yaitu melalui Path, Facebook,
Instagram dan Twitter.
Pariwisata merupakan lokomotif penggerak ekonomi rakyat karena memiliki multiplier
efek yang luas bagi masyarakat. Pariwisata ke depannya diharapkan menjadi penghasil
devisa utama mengingat besarnya potensi wisata di Provinsi Riau dengan berbagai
keragaman alam dan budaya. Oleh karena itu, peranan dari pemerintah dan industri
pariwisata termasuk pengusaha industri perhotelan yang sangat penting dalam upaya
memajukan menyukseskan pembangunan pariwisata di Provinsi Riau.
Terjadinya peningkatan yang signifikan pada jumlah objek wisata di Provinsi Riau
pada tahun 2016 bila dibandingkan dengan yang ada pada tahun 2015 tak lepas dari
beberapa strategi yang dilakukan oleh Dinas Pariwisata Provinsi Riau, diantaranya:
1. "Kebijakan pemerintah pusat yang termasuk pada NAWACITA Presiden RI, Pariwisata
menjadi prioritas dalam pengembangan dan pembangunan indonesia yg dikarenakan
meningkatkan perhimbuhan ekonomi negara. Kebijakan gubernur Riau seiring dengan
arahan pemerintah pusat, untuk mendorong pariwisata di daerah-daerah yang targer
prioritas pembangunan di provinsi Riau. Pemerintah kab/kota juga mensinergitaskan
program pengembangan pariwisata untuk mendukung program pemeritahan pusat dan
provinsi. Sasaran pemerintah tentunya mendorong pembangunan infranstruktur
kedestinasi destinasi wisata yang ada di daerah daerah disamping pemerintah juga
melakukan kepada masyarakat (SDM) untuk mengembangkan potensi wisata yang ada
didaerahnya. Dengan adanya hal tersebut dari tahun 2015 sampai dengan saat ini,
potensi wisata yang ada di provinsi Riau secara signitifikan mengalami peningkatan, hal
ini dikarenakan masyarakat dan pemerintah telah menyadari dan berkomitmen bersama.
Pariwisata merupakan potensi baru yang dapat meningkatkan perekonomian
masyarakat. Dinas Pariwisata provinsi Riau melalui bidang destinasi melakukan
eksplorasi dan identifikasi destinasi serta melakukan pembinaan dalam pengembangan
destinasi terhadap pengelola destinasi wisata provinsi Riau. Pemerintahan provinsi riau
fokus dalam pembenahan dan pembangunan infranstruktur pariwisata melalui lokasi
APBN & APBD.
2. Dinas Pariwisata memunculkan Cerita Baru Centre sebagai sarana promosi pariwisata
Provinsi Riau melalui media sosial.
3. Dinas Pariwisata Provinsi Riau membangun kesadaran masyarakat dalam program
kegiatan Sadar Wisatanya, sehingga membuat masyarakat mengerti peran mereka
sebagai masyarakat yang berada di lokasi wisata. Selain itu, masyarakat juga
Tingginya penurunan luas panen dan produksi tanaman padi dan palawija selama
periode tersebut, maka diperlukan upaya peningkatkan pemanfaatan lahan yang ada
melalui program pengembangan komoditas tersebut secara intensif dengan meningkatkan
kapasitas penggunaan lahan misalnya dengan cara intensifikasi. Peningkatan kapasitas
penggunaan lahan tentunya harus dibarengi dengan penyediaan infrastruktur (energi,
pengairan dan teknologi input baik perindikatoran, benih unggul dan pupuk serta
perbaikan manajemen usahatani) pertanian yang dapat mendukung berjalannya program
tersebut.
Menurunya luas panen tanaman pangan, berdampak terhadap penurunan produksi.
Penurunan produksi sebesar 15,07% untuk ubi jalar,13,38% untuk kacang tanah dan
10,75% untuk Kacang Kedelai. Sedangkan Produktivitas untuk Kacang Kedelai meningkat
sebesar 1,51% dan Kacang tanah juga meningkat sebesar 0,26% sedangkan untuk ubi jalar
terjadi penurunan produktivitas sebesar 0,24%. Peningkatan Produktivitas yang besar
terjadi pada ubi kayu sebesar 5,37%, padi ladang 1,75% dan padi sawah sebesar 1,59%
serta jagung 1,24%. Peningkatan produktivitas untuk Padi, Jagung dan Kacang Kedelai
seiring dengan pelaksanaan program pemerintah ‘pajale’ yaitu pengembangan padi, jagung
dan kedele. Sedangkan untuk peningkatan ubi kayu karena petani sudah menanam varietas
unggul.
Tabel 2.147. Luas Panen dan Produksi Padi dan Palawija di Provinsi Riau
Tahun 2012-2016
Tahun Rata-Rata
Komoditas Pertumbuhan/
2012 2013 2014 2015 2016 Tahun (%)
Luas Panen (ha)
1. Padi Sawah 117.649 97.796 85.062 86.218 79.475,4 -9,34
2. Padi Ladang 26.366 20.722 20.975 21.328 19.955,0 -6,73
3. Jagung 13.284 11.748 12.057 12.425 13.205,4 -0,15
4. Ubi Kayu 3.642 3.863 4.038 3.578 3.535,7 -0,74
5. Kacang Tanah 1.732 1.325 1.194 1.081 959,5 -13,73
6. Ubi Jalar 1.137 1.028 981 793 597,1 -14,87
7. Kacang Kedelai 3.686 1.949 2.030 1.516 2.207,3 -12,03
8. Kacang Hijau 865 585 598 576 599,3 -8,77
Produksi (ton)
1. Padi Sawah 453.294 387.849 337.233 345.441 325.826,0 -7,92
2. Padi Ladang 58.858 46.295 48.242 48.476 47.710,0 -5,11
3. Jagung 31.433 28.052 28.651 30.870 32.850,0 -1,11
4. Ubi Kayu 88.577 103.070 117.287 103.599 105.992,0 4,59
5. Kacang Tanah 1.622 1.243 1.134 1.036 913,0 -13,38
6. Ubi Jalar 9.424 8.462 8.038 6.562 4.904,0 -15,07
7. Kacang Kedelai 4.182 2.211 2.332 2.145 2.654,0 -10,75
8. Kacang Hijau 920 619 645 598 650,0 -8,32
Produktivitas (Kw/ha)
1. Padi Sawah 38,5 39,7 39,6 40,1 41,0 1,59
2. Padi Ladang 22,3 22,3 23,0 22,7 23,9 1,75
3. Jagung 23,7 23,9 23,8 24,8 24,9 1,24
4. Ubi Kayu 243,2 266,8 290,5 289,5 299,8 5,37
5. Kacang Tanah 9,4 9,4 9,5 9,6 9,5 0,26
6. Ubi Jalar 82,9 82,3 81,9 82,7 82,1 -0,24
7. Kacang Kedelai 11,3 11,3 11,5 14,1 12,0 1,51
8. Kacang Hijau 10,6 10,6 10,8 10,4 10,9 0,70
Sumber: BPS Provinsi Riau, Riau Dalam Angka 2017 dan Data Olahan
Secara umum untuk tanaman pangan khusunya padi masih diperlukan peningkatan
produktivitas melalui pemanfaatan lahan yang ada. Untuk itu masih diperlukan program
peningkatan produktivitas tanaman padi melalui peningkatan penggunaan teknologi input
berupa benih unggul, pupuk yang cepat direspon oleh tanaman dan pemupukan yang
berimbang atau kombinasi optimal dalam penggunaan teknologi input, penggunaan
perindikatoran tepat guna dan peningkatan infrastruktur pengairan serta perbaikan
manajemen usaha tani.
Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa luas baku lahan sawah Provinsi Riau
sebesar 96.912,5 Ha, baru dimanfaatkan seluas 72.151,2 Ha, sisanya berpotensi untuk
ditanami padi IP100 seluas 24.761,3 ha. Dari luas lahan IP 100 yang potensi itu
ditingkatkan menjadi IP 200 seluas 21.200 ha yang tersebar di Kabupaten Indragiri Hilir
seluas 10.000 ha, Kabupaten Rokan Hilir seluas 5.000 ha, Kabupaten Kuantan singingi
seluas 4.500 ha, Kabupaten Kampar seluas 1.500 dan Kabupaten Rokan Hulu seluas 200
ha. Potensi peningkatan produksi padi sawah ini harus didukung dengan teknik budidaya
yang baik dan benar (Standar Operasional Prosedure), teknologi inovasi dan saluran
irigasi yang mendukung.
Tanaman sayuran juga berpotensi dikembangkan di Provinsi Riau. Pada tahun 2002
– 2008 dikembangkan sayuran daun lebar di Provinsi Riau kemudian dilanjutkan lagi
tahun 2012 – 2004. Pengembangan sayuran daun lebar ini dengan sistem semi organik dan
penjualannya ekspor ke Singapura. Stagnannya pengembangan sayur daun lebar ini dan
akhirnya tidak bisa dilanjutkan lagi terkait masalah harga jual yang belum bisa
menguntungkan petani. Rendahnya keuntungan petani karena biaya sarana produksi yang
tinggi termasuk juga ongkos kirim ke Singapura masih ditanggung petani.
Sayuran yang dikembangkan di Provinsi Riau meliputi sayuran daun (bayam,
kangkung dan aneka sawi), sayuran buah (cabe, cabe rawit, terung, kacang panjang,
gambas, mentimun dan pare) dan akhirnya berkembang penanaman sayuran umbi yaitu
bawang merah. Pengembangan bawang merah ini awalnya karena campur tangan
pemerintah untuk memberikan bantuan berupa bibit dan pupuk kepada kelompok tani-
kelompok tani. Perkembangan luas panen sayur-sayuran di Provinsi Riau selama tahun
2012-2016 dapat dilihat pada tabel 2.149.
Tabel 2.149. Perkembangan Luas Panen Sayur-Sayuran Di Provinsi Riau,
2012-2016
Tahun Pertumbuhan/
Komoditas
2012 2013 2014 2015 2016 Tahun (%)
Luas Panen (ha)
1. Cabe 3.488 3.105 3.222 3.088 2.954 -4,07
2. Bawang Merah 0 0 0 41 75 82,93
2. Ketimun 2.255 1.913 1.969 1.675 1.685 -7,03
3. Terong 1.681 1.483 1.553 1.321 1.277 -6,64
4. Kacang Panjang 2.878 2.546 2.584 2.194 2.241 -6,06
5. Bayam 2.592 2.447 2.507 2.226 2.183 -4,20
6. Kangkung 2.768 2.531 2.534 2.361 2.252 -5,03
7. Petsai dan Sawi 614 597 553 573 596 -0,74
8. Labu 101 106 62 29 34 -23,83
9. Sayuran Lainnya 5.252 138 102 76 103 -62,58
Jumlah 21.629 14.866 15.086 13.584 13.400 -11,28
Produksi (ton)
1. Cabe 15.906 15.509 15.608 11.956 18.644 4,05
2. Bawang merah 0 0 0 140 303 116,43
2. Ketimun 13.545 20.726 19.332 14.175 1.740 -40,13
3. Terong 13.861 17.257 14.883 12.102 1.422 -43,41
4. Kacang Panjang 11.573 12.447 12.787 8.795 1.253 -42,64
5. Bayam 7.804 8.381 7.984 7.258 8.734 2,85
6. Kangkung 12.556 13.955 13.884 9.587 9.298 -7,23
7. Petsai dan Sawi 3.266 3.484 3.190 1.540 2.547 -6,03
8. Labu 251 515 522 53 300 4,56
9. Sayuran Lainnya 4.747 8.973 577 1.017 503 -42,95
Jumlah 83.509 101.247 88.767 66.483 44.744 -14,44
Produktivitas (ton/ha)
1. Cabe 4,56 4,99 4,84 3,87 6,31 8,46
2. Bawang Merah 0 0 0 3,41 4,04 18,48
2. Ketimun 6,01 10,83 9,82 8,46 10,30 14,42
3. Terong 8,25 11,64 9,58 9,16 11,10 7,70
4. Kacang Panjang 4,02 4,89 4,95 4,01 5,59 8,59
5. Bayam 3,01 3,43 3,18 3,26 4,00 7,37
6. Kangkung 4,54 5,51 5,48 4,06 4,13 -2,34
7. Petsai dan Sawi 5,32 5,84 5,77 2,7 4,27 -5,35
8. Labu 2,49 4,86 8,42 1,83 8,82 37,19
9. Sayuran Lainnya 0,90 65,02 5,66 8,69 4,88 52,60
Sumber: Data dan Informasi Pembangunan Provinsi Riau Tahun 2017 dan Data Olahan
terutama untuk sayuran lainnya yaitu sebesar 11,28%, penurunan luas panen ini
disebabkan banyaknya petani yang beralih menanam cabe dan bawang karena harga yang
menjanjikan dan adanya bantuan bibit dan pupuk dari pemerintah, terutama untuk
Kabupaten Kampar didukung program Pemerintah Kabupaten Kampar menjadikan
Kampar sebagai sentra Bawang Merah di Riau. Penurunan luas panen untuk tanaman
sayuran secara umum kecuali bawang merah juga disebabkan oleh faktor anomali iklim
dan hama penyakit. Menurunnya luas panen tanaman hortikultura (sayuran semusim)
berdampak terhadap penurunan produksi.
Berdasarkan Tabel 2.150 dapat dijelaskan bahwa pertumbuhan luas panen sayuran
di Provinsi Riau untuk 5 (lima) tahun terakhir cenderung mengalami penurunan, kecuali
komoditi cabe dan bawang merah. Hal ini disebabkan karena komoditi cabe dan bawang
mempunyai harga yang cukup baik dibandingkan komoditi lainnya, sehingga diminati oleh
petani dan didukung dengan adanya program pengembangan dari Pemerintah Pusat dan
Pemerinta Daerah. Pengembangan sayur-sasyuran agar dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat di Provinsi raiau maka diperlukan program pengembangan sayur-sayuran agar
produksi sayur-sayuran dapat ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan di Provinsi Riau.
Salah satu jalan yang dapat ditempuh adalah melaksanakan suatu sistem budidaya dengan
model agribisnis terpadu (integrated agribusiness) di mana kegiatan budidaya yang pada
umumnya dilaksanakan oleh para petani kecil terpadu dengan kegiatan proses penanganan
hasil dan distribusi yang dilaksanakan secara bersama terintegrasi.
Tabel 2.150. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Sayur- Sayuran
Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Riau Tahun 2016
Sayur-Sayuran
Kabupaten/Kota Produksi
Luas Panen (ha) Kontribusi (%) Kontribusi (%)
(ton)
Kuantan Singingi 571 3,85 1.259 1,97
Indragiri Hulu 1.234 8,33 4.160 6,51
Indragiri Hilir 1.358 9,17 2.102 3,29
Pelalawan 1058 7,14 2.587 4,05
Siak 1.251 8,45 13.488 21,11
Kampar 3.057 20,64 19.114 29,92
Rokan Hulu 1.480 9,99 3.086 4,83
Bengkalis 928 6,26 4.086 6,40
Rokan Hilir 1453 9,81 1.928 3,02
Kep. Meranti 284 1,92 1.635 2,56
Pekanbaru 1.513 10,21 6.867 10,75
Dumai 626 4,23 3.569 5,59
Provinsi Riau 14.813 100 63.881 100
Sumber: Data dan Informasi Pembangunan Provinsi Riau Tahun 2017
Untuk tanaman buah-buahan juga banyak potensi yang tersedia. Potensi ini berupa
potensi lahan, dan potensi kecocokan komoditi pada lahan tersebut. Seperti manggis
Tembilahan yang sudah dikukuhkan oleh Kementrian Pertanian menjadi Manggis Ratu
Tembilahan. Ada juga durian Omeh Kampar, Jeruk Kuok dan Rokan Hulu, nenas Kampar,
Siak dan Dumai serta Indragiri Hulu dan Indragiri Hilir (sesuai jenis dan varietas
daerahnya). Untuk lebih jelasnya perkembangan jumlah tanaman menghasilkan dan
produksi buah-buahan dapat dilihat Tabel 2.151.
Dari Tabel 2.151 dapat dijelaskan bahwa jumlah tanaman menghasilkan pada
komoditi Jeruk, Durian, Mangga, Manggis dan Nenas yang merupakan komoditi buah
unggulan Provinsi Riau cenderung mengalami peningkatan kecuali Rambutan, hal ini
disebabkan Tanaman Tua Rusak (TTR). Pada tanaman durian pada tahun 2016 terjadi
peningkatan rumpun sebanyak 38,329 pohon dari tahun 2015, namun produksi mengalami
penurunan +/- 50%. Penurunan produksi selain dipengaruhi oleh faktor anomali iklim,
juga disebabkan banyaknya Tanaman Tua Rusak (TTR) yang direplanting. Penambahan
rumpun baru untuk tanaman tahunan tidak secara langsung berproduksi ditahun
penanaman, tetapi baru berproduksi 5 (lima) tahun yang akan datang. Sedangkan produksi
nenas cendrung meningkat kecuali pada tahun 2015 (bencana kabut asap) dan untuk
komoditi jeruk terus meningkat dari tahun ketahun. Peningkatan produksi nenas dan jeruk
ini seiiring banyaknya permintaan akan buah nenas dan jeruk, namun akhir-akhir ini
produksi melimpah pada saat panen raya (bulan April dan September untuk jeruk) untuk
itu diperlukan industri hilir (manufacture) untuk kedua komoditi ini.
Tahun Rata-Rata
Komoditas Pertumbuhan/
2011 2012 2013 2014 2015 Tahun (%)
9. Lada 0,25 0,08 0,14 0,17 0,20 13,29
10. Sagu 3,45 3,41 1,52 4,07 4,37 29,85
Sumber: Riau Dalam Angka, 2016 dan Data Olahan
Pada Tabel 2.153 dapat dilihat bahwa luas areal beberapa komoditi perkebunan
mengalami penurunan pada tahun 2016 jika dibandingkan tahun 2015. Komoditi yang
mengalami penurunan antara lain kelapa sawit, kelapa, karet, kopi dan sagu. Penurunan ini
disebabkan oleh alih fungsi komoditi terutama ke komoditi kelapa sawit, serta disebabkan
oleh intrusi air laut pada daerah pasang surut dan adanya kegiatan konservasi daerah
pantai. Khusus komoditi kelapa sawit penurunan luas lahan disebabkan adanya tanaman
tua dalam proses replanting.
Produksi untuk beberapa komoditi perkebunan mengelami penurunan seperti
kelapa sawit, kelapa dan karet. Hal ini disebabkan oleh bertambahnya luas lahan tanaman
tua rusak dan menurunnya produktifitas. Pada komoditi kelapa sawit luas tanaman tua
rusak (TTR) seluas 40.363 ha, Kelapa 114.811 ha dan Karet 85.039 ha.
Tabel 2.154. Luas, Produksi dan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit, Kelapa
dan Karet per Kabupaten/Kota di Provinsi Riau Tahun 2016
Komoditas Utama
Kelapa Sawit Kelapa Karet
No Kabupaten/ Kota
Produktivit
Produktivit
Produktivit
as (kg/ha)
(kg/ha/th)
(kg/ha/th)
Luas (ha)
Luas (ha)
Luas (ha)
Produksi
Produksi
Produksi
(ton)
(ton)
(ton)
as
1 Kuantan Singingi 130.487 431.387 3.632 2.759 1.863 818 144.414 88.515 as
1.053
2 Indragiri Hulu 117.820 424.022 4.057 1.828 446 327 61.392 44.421 1.250
3 Indragiri Hilir 227.806 721.084 4.239 440.696 359.397 1.188 5.364 4.108 1.393
4 Pelalawan 306.977 1.249.219 4.415 16.931 15.282 1.488 30.009 40.520 1.463
5 Siak 324.216 1.093.407 3.754 1.548 1.327 1.140 15.659 13.571 1.054
6 Kampar 396.623 1.178.672 3.218 1.718 528 427 94.005 58.975 970
7 Rokan Hulu 407.479 1.489.019 4.672 1.134 647 570 56.800 55.781 1.109
8 Rokan Hilir 281.531 807.920 3.492 5.182 4.248 1.125 24.595 22.184 1.059
9 Bengkalis 182.099 257.904 1.995 6.101 4.213 944 32.773 23.586 1.017
10 Kep. Meranti - - - 31.453 27.384 1.112 20.481 9.976 980
11 Pekanbaru 10.929 31.219 4.133 15 9 1.500 3.085 438 564
12 Dumai 37.795 78.306 3.179 1.586 868 749 2.448 1.660 1.296
Jumlah 2.423.761 7.762.159 3.710 510.950 416.212 1.176 491.025 363.734 1.100
Sumber: : Buku Statistik Perkebunan Dinas TPHBUN Prov Riau Tahun 2017
Dari Tabel 2.154 dapat dijelaskan bahwa pada tahun 2016 lahan kelapa sawit
yang terluas ada di Kabupaten Rokan Hulu, Kampar dan Siak. Sedangkan komoditi
kelapa yang terluas di Kabupaten Indragiri Hilir dan Kepulauan Meranti. Jika dilihat dari
proporsi penggunaan lahan perkebunan kelapa sawit Kabupaten Bengkalis didominasi
oleh perkebunan rakyat yang mencapai 79% sedangkan di Kabupaten lain luasan
perkebunan rakyat hanya berkisar antara 38–65% sehingga produktivitas kelapa sawit
yang rendah, hal ini disebabkan rendahnya penerapan teknologi budidaya yag baik dan
benar.
Selanjutnya untuk produktivitas komoditi kelapa dalam, dari 3 (tiga) Kabupaten
yang merupakan sentra perkebunan kelapa dalam di Provinsi Riau yaitu Kabupaten
Kepulauan Meranti dan Indragiri Hilir masih rendah bila di bandingkan dengan
Kabupaten Pelalawan hal ini disebabkan karena adanya intrusi air laut.
Untuk komoditi karet produktivitas tertinggi berada di Kabupaten Pelalawan dan
Indragiri Hilir sedangkan Kabupaten yang produktivitasnya masih di bawah 1.000
(kg/ha/tahun) yaitu Kabupaten Kampar, Kepulauan Meranti dan Pekanbaru. Hal ini lebih
disebabkan karena banyaknya tanam tua rusak (TTR) dan pola budidaya belum sesuai
dengan teknik budidaya yang dianjurkan.
Untuk komoditi kelapa sawit, strategi dan program yang tepat dan terencana
dengan baik harus menjadi prioritas, karena tanpa ini semua maka dikhawatirkan
pemanfaatan sumber daya alam kelapa sawit tidak mencapai nilai yang optimal dan akan
berakhir sama dengan yang terjadi pada komoditas sumber daya alam lainnya yang secara
perlahan mulai ditingggalkan oleh petani dan beralih ke komoditas lainnya.
Keberhasilan strategi pengembangan industri berbasis kelapa sawit memerlukan
integrasi dan koordinasi dari berbagai pemangku kepentingan baik pemerintah, pelaku
usaha terkait, pihak lembaga penelitian dan pengembangan serta perguruan tinggi serta
Lembaga Penelitian dan Pengembangan pemerintah dan swasta agar semua aspek yang
menjadi penentu keberhasilan pengembangan komoditas tersebut dapat terpenuhi.
Untuk mensinergikan hal tersebut, maka program pemetaan luas lahan perkebunan
kelapa sawit sesuai dengan umur tanaman dan pabrik kelapa sawit (PKS) baik dari aspek
jumlah existing, kapasitas terpasang serta utilisasi diperlukan untuk mengetahui secara
tepat dan akurat produksi dan rencana kebutuhan pengembangan produksi dan kenutuhan
input kelapa sawit dan PKS.
Laju perkembangan luas lahan perkebunan kelapa sawit dan produksi TBS di
Provinsi Riau yang cukup signifikan telah memacu perkembangan pembangunan pabrik
kelapa sawit (PKS) dapat dilihat pada Tabel 2.155.
Tabel 2.155. Jumlah Pabrik Kelapa Sawit (PKS) di Provinsi Riau Tahun 2017
Luas Luas
Jumlah PKS Kapasitas
No Kabupaten/Kota Kebun Kelapa Kebun/PKS
Unit (Ton/Jam)
Sawit (Ha) (Ha/PKS)
1 KuantanSingingi 133.995 22 1.005 -
2 Indragiri Hulu 120.585 23 975 -
3 Indragiri Hilir 238.559 29 1.350 -
4 Pelalawan 310.195 35 1.670 -
5 Siak 334.969 26 1.160 -
6 Kampar 400.734 36 1.785 -
7 RokanHulu 407.679 38 1.665 -
8 RokanHilir 281.531 32 1.325 -
9 Bengkalis 184.862 16 740 -
10 Kep. Meranti - - - -
11 Pekanbaru 10.929 2 75 -
12 Dumai 37.795 2 120 -
Jumlah 2.461.833 261 11.870
Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan Provinsi Riau Tahun 2017
Tabel 2.155 menunjukan bahwa potensi produksi TBS (Tandan Buah segar)
dengan luas lahan 2.461.833 ha sebesar 49.236.660 ton/tahun dengan asumsi (20
ton/ha/tahun) sedangkan kebutuhan TBS untuk PKS (Pabrik Kelapa Sawit) dengan total
kapasitas 11.870 ton/jam selama 1 (satu) tahun sebesar 71.220.000 ton dengan asumsi
(kapasitas ton TBS/jam x 20 jam/hari x 25 hari x 12 bulan). Dari data tersebut dapat
disimpulkan bahwa terdapat kekurangan TBS dalam setahun sebesar 18.334.780, kondisi
ini seharusnya ada sekitar 101 unit PKS tidak bisa operasional karena kekurangan bahan
baku TBS dengan asumsi kebutuhan 180.000 ton/PKS (TBS 30 ton TBS/jam x 20 jam x
25 hari x 12 bulan).
Berdasarkan Tabel 2.156, jika diperhatikan terjadi peningkatan populasi pada
ternak sapi, domba dan ayam broiler serta ayam kampung. Peningkatan populasi terbesar
adalah pada ternak domba yang tumbuh sebesar 21,92%, diikuti oleh ayam kampung
sebesar 15,24% serta sapi yang meningkat sebesar 6,80%. Namun bila dilihat dari sisi
produksi pertumbuhan terbesar terjadi pada komoditas domba sebesar 44,70%, diikuti oleh
ayam kampung yaitu sebesar 38,80% serta kerbau yang tumbuh sebesar 17,18%.
Terjadinya peningkatan ini, disamping besarnya peranan program pemerintah dalam
mengembangkan komoditas ini, juga usaha ini cukup menguntungkan. Untuk populasi
ternak kerbau dan kambing, terus mengalami penurunan akibat tingginya permintaan/
konsumsi ternak kerbau dan kambing terutama untuk kebutuhan hari raya dan hari-hari
besar lainnya dibandingkan pertumbuhan ketersediaan.
Populasi (Ekor)
Sapi 189,060 175,431 217,652 229,634 231,860 6.80
Kerbau 41,229 32,237 43,163 39367 33,855 -1.93
Kambing 208,428 175,832 184,899 195,827 180,671 -1.31
1 Domba 4,583 4,739 8,242 7,354 9,225 21.92
Ayam
38,165,987 36,930,599 39,987,136 39,304,056 46,266,787 3.58
Broiler
Ayam
3,377,652 3,163,705 3,327,820 3,746,784 5,372,975 15.24
Kampung
Itik 289,564 243,483 289,238 259,363 244,039 -1.82
Produksi (Kg)
Sapi 11,317,359 8,242,781 9,297,618 8,676,703 9,396,286 1.18
Kerbau 1,607,797 1,367,217 1,839,676 1,813,239 2,074,966 17.18
Kambing 465,571 550,139 620,342 648,242 652,278 7.66
2 Domba 6,386 10,174 13,462 15,779 15,715 44.70
Ayam
37,034,456 26,609,747 40,731,586 45,307,621 47,575,101 14.28
Broiler
Ayam
2,702,121 3,302,202 4,043,996 5,613,968 4,178,656 38.80
Kampung
Itik 231,651 245,625 282,502 292,575 266,426 1.39
Sumber: Data dan Informasi Pembangunan Provinsi Riau Tahun 2016 dan Data olahan
kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat, cenderung menurun kondisinya, oleh karena
itu harus dipertahankan secara optimal, dijaga daya dukungnya secara lestari, dan diurus
dengan akhlak yang mulia, adil, arif, bijaksana, terbuka, professional, serta bertanggung
gugat, sehingga harus diperhatikan kelestariannya.
Luas kawasan hutan Provinsi Riau hutan berdasarkan Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kahutanan Republik Indonesia Nomor:
SK.903/MENLHK/SETJEN/PLA.2/12/2016 tanggal 7 Desember 2016 adalah
± 5.406.992 hektar. Untuk jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2.157.
Luasan kawasan hutan yang berada di Provinsi Riau berdasarkan Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: 903/MenLHK/II/2016, paling luas adalah
kawasan Hutan produksi tetap (HP) yaitu ± 2.339.578,00 Ha (dua juta tiga ratus tiga puluh
sembilan ribu lima ratus tujuh puluh delapan hektar) atau meliputi 43,27% dari luas
kawasan hutan yang ada di provinsi Riau. Selanjutnya berturut-turut diikuti oleh Hutan
Produksi yang dapat Dikonversi (HPK) seluas ± 1.185.433 Ha (satu juta seratus delapan
puluh lima ribu empat ratus tiga puluh tiga hektar) atau 21,92% (dua puluh satu koma
sembilan puluh dua persen), Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas ± 1.017.318,00 Ha
(satu juta tujuh belas ribu tiga ratus delapan belas) hektar atau 18,81 (delapan belas koma
delapan puluh satu persen), Hutan Konservasi seluas ± 630.753,00 Ha (enam ratus tiga
puluh ribu tujuh ratus lima puluh tiga) hektar atau seluas 11.67% (sebelas koma enam
puluh tujuh persen) dan Hutan Lindung seluas ± 233.910,00 Ha (dua ratus tiga puluh tiga
ribu sembilan ratus sepuluh hektar) atau 4,33% (empat koma tiga puluh tiga persen) dari
total luas Kawasan Hutan Provinsi Riau.
Kerusakan kawasan hutan di Provinsi Riau menunjukkan angka yang berfluktuasi
dan cenderung meningkat. Pada tahun 2011 kerusakan kawasan hutan seluas 1.253.799,40
hektar meningkat menjadi 4.219.418,33 hektar pada tahun 2016. Terdapat tiga kondisi
lahan kritis yaitu sangat kritis seluas 230.369,93 hektar, agak kritis seluas 2.395.814,29
hektar dan kritis seluas 1.593.234,11 hektar, sebagaimana tercantum dalam Tabel 2.158.
Tabel 2.158. Kerusakan Kawasan Hutan dan Rehabilitasi Hutan
dan Lahan Kritis di Provinsi Riau Tahun 2011 -2016
Tahun Rata-Rata
No Keterangan Pertumbuhan/
2011 2012 2013 2014 2015 Tahun (%)
2016
1 Kerusakan Kawasan Hutan 1.253.799,40 1.195.807,75 1.536.653,99 1.039.531,17 4.793.369,09 88,16
4.219.418,33
a. Sangat Kritis - - - - 142.081,57 230.369,93 -
b. Agak Kritis - - - - 2.998.285,94 2.395.814,29 -
c. Kritis - - - - 1.653.001,58 1.593.234,11 -
2 Rehabilitasi Hutan dan Lahan Kritis 61.000,00 85.000,00 95.000,00 152.455,00 158.531,00- -
151.287,00
Sumber: BPS,Riau Dalam Angka, 2012; 2013; 2014; 2015 dan 2016
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik dan Riau dalam Angka Tahun 2011 sampai
dengan Tahun 2016, kerusakan kawasan hutan meningkat signifikan pada tahun 2015 yaitu
mencapai 4.793.369.09 Ha (tiga juta tujuh ratus sembilan puluh tiga ribu tiga ratus enam
puluh sembilan koma kosong sembilan hektar), hal ini banyak disebabkan oleh pembukaan
lahan perkebunan secara besar-besaran dan kebakaran hutan yang terjadi hampir setiap
tahun hingga tahun 2015, dimana kebakaran hebat terjadi pada awal tahun 2014 pada
kawasan hutan gambut di kawasan kawasan Kabupaten Inderagiri Hilir, Kabupaten
Kampar, Kabupaten bengkalis dan Kabupaten Rokan Hilir. Akan tetapi dengan
pelaksanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan, kerusakan Kawasan Hutan dan Lahan tersebut
berangsur berkurang. Hal ini dapat dilihat dari trend penurunan luasan kerusakan kawasan
hutan pada tahun 2016.
Berdasarkan Keputusan menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor:
SK.903/MENLHK/SETJEN/PLA.2/12/2016, luas lahan kritis di dalam kawasan hutan di
Provinsi Riau, berturut-turut dari yang terluas adalah Kabupaten Indragiri Hilir yaitu
seluas 195.702,02 Ha (seratus sembilan puluh lima ribu tujuh ratus dua koma nol dua
hektar) atau sebesar 18.835 (delapan belas koma delapan puluh tiga persen) dari total luas
lahan kritis dalam kawasan hutan di Provinsi Riau, selanjutnya berada di Kabupaten
Kampar yaitu seluas 159.786,38 Ha (seratus lima puluh sembilan ribu tujuh ratus delapan
puluh enam koma tiga puluh delapan hektar) atau sebesar 15,37% (lima belas koma tiga
puluh tujuh persen), Kabupaten Bengkalis 127.019,19 Ha (seratus dua puluh tujuh ribu
sembilan belas koma sembilan belas hektar) atau 12,225 (dua belas koma dua puluh dua
persen). Lebih jelasnya luas lahan kritis di dalam kawasan hutan pada tiap-tiap kabupaten
di Provinsi Riau, sebagaimana tabel 2.159 di bawah ini.
Tabel 2.159. Luas Lahan Kritis Dalam Kawasan Hutan di Provinsi Riau Tahun 2015
Luas Lahan Kritis (Ha)
Hutan
Kabupaten/Kota Hutan Hutan Hutan Distribusi
Prod Jumlah (ha)
Lindung Konservasi Prod Tetap (%)
Terbatas
Kuantan Singingi 19.738,21 5.037,97 62.778,87 6,04
38.002,69 -
Indragiri Hulu 4.151,86 62,69 65.198,29 6,27
51.774,48 9.209,26
Indragiri Hilir 1.849,53 195.702,02 18,83
- 83.275,19 110.577,30
Pelalawan 90.338,28 8,69
- 2.016,75 84.112,57 4.208,97
Siak 2.217,48 90.060,26 8,66
- 24.259,44 63.583,34
Kampar 11.924,72 159.786,38 15,37
15.482,05 120.994,04 11.385,56
Rokan Hulu 11.317,16 93.958,23 9,04
- 60.627,53 22.013,55
Bengkalis - 127.019,19 12,22
15.346,72 91.231,14 20.441,33
Rokan Hilir 27.456,05 146,96 124.512,53 11,98
47.473,31 49.436,21
Kepulauan Meranti - - 92,87 0,01
50,29 42,58
Pekanbaru - 8.436,11 0,81
- 8.436,11 -
Dumai - 21.648,14 2,08
- 5.709,39 15.938,75
Provinsi Riau 76.437,53 40.310,62 615.946,17 306.836,85 1.039.531,17 100,00
Sumber: BPS, Riau Dalam Angka Tahun 2015
Produksi pertambangan Provinsi Riau yang terus diusahakan selama periode 2011-
2015 meliputi minyak bumi, gas bumi, dan batu bara. Selama periode ini, produksi
minyak bumi cenderung menurun dengan rata-rata penurunan pertumbuhan produksi
sebesar -11,49 per tahun. Penurunan pertumbuhan produksi ini lebih dikarenakan jumlah
sumur yang tua dan kurang produktif. Produksi pertambangan gas bumi adalah satu-
satunya yang memiliki trend meningkat dengan rata-rata pertumbuhan produksi meningkat
sebesar 29,90% per tahun.
Beberapa hal yang perlu menjadi perhatian disektor pertambangan dan penggalian
ini adalah produksi minyak mentah Provinsi Riau besar ini hanya sebagian kecil saja yang
diolah di Provinsi Riau yaitu sebesar yaitu 1,235,261 liter atau setara 0,88% dari total
produksi minyak mentah Provinsi Riau tahun 2011. Sebagian besar diekspor dalam bentuk
minyak mentah sehingga nilai tambah diperoleh negara pengimpor, Sebaliknya Provinsi
Riau mengimpor hasil minyak sebesar 492,223 ton dari luar. Oleh karena itu, potensi
produksi minyak mentah yang dimiliki Provinsi Riau seharusnya dapat dikembangkan
dengan meningkatkan jumlah dan/atau kapasitas terpasang pabrik pengolahan minyak
mentah yang ada di Provinsi Riau sehingga nilai produksi minyak akan semakin
meningkatkan kontribusinya dalam PDRB Provinsi Riau.
Kondisi pertambangan di Provinsi Riau berdasarkan temuan di lapangan tentang
keberadaan Pertambangan Tanpa Izin (PETI) dan dari informasi yang diperoleh dari
masyarakat, serta data Dinas teknis di daerah dan kegiatan penertiban yang dilakukan oleh
kab./kota, bahwa saat ini masih banyak terdapat aktivitas PETI. Persentase pertambangan
tanpa ijin dihitung dengan rumus luas penambangan liar yang ditertibkan dibagi dengan
luas PETI tahun sebelumnya.
Temuan di lapangan merupakan spot-spot PETI, diasumsikan setiap spot memiliki luas 1-2
ha, Data Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dijadikan perkiraan akan adanya kegiatan
PETI, Data untuk Kab. Kuansing dihitung oleh Badan Lingkungan Hidup Kab. Kuansing
dengan asumsi memiliki luasan hingga daerah yang terpengaruh kegiatan PETI, Data PETI
merupakan kompilasi kegiatan dari APBD Kabupaten, laporan masyarakat, maupun media
internet, Untuk Kab. Kepulauan Meranti dan Rokan Hilir tidak tersedia data PETI,
Persentase pertambangan tanpa ijin bisa dihitung untuk yang memiliki data dan dilakukan
penertiban. Mungkin terjadi suatu daerah memiliki PETI tetapi tidak dilakukan penertiban
atau tidak ada informasi mengenai penertiban yang dilaporkan ke Pemda setempat,
sehingga persentasenya tidak dapat dihitung.
Dari tabel di atas, terlihat bahwa aktivitas PETI di Provinsi Riau masih cukup tinggi
dan terjadi hampir di seluruh wilayah Provinsi Riau kecuali Kabupaten Rokan Hilir dan
menunjukan trend yang semakin meningkat kecuali di Kabupaten Indragiri Hilir dan
Kabupaten Siak yang sudah menunjukan trend menurun masing sebesar 15,20 % dan
11,51%. Pertumbuhan aktivitas PETI tertinggi terjadi di Kabupaten Bengkalis yaitu
dengan pertumbuhan sebesar 131,22%, diikuti oleh Kabupaten Kampar dan Inderagiri
Hulu masing-masing sebesar 76.71% dan 58.10%. Kondisi ini tentunya sangat
memprihatinkan karena aktivitas ini hanya mengguntungkan segelintir pihak dan juga
menimbulkan kerusakan lingkungan yang sangat parah serta tidak memberikan kontribusi
baik bagai daerah maupun Negara dan masyarakat.
Permasalahan utama bidang energi dan sumber daya mineral adalah:
1. Penurunan produksi hasil tambang khususnya minyak bumi dengan rata-rata
pertumbuhan penurunan sebesar 11,49%. Penurunan pertumbuhan ini diperparah
dengan turunnya harga komoditas utama tersebut sehingga berakibat pada turunnya
penerimaan DBH migas dan dividen dari perusahaan BUMD yang bergerak pada
usaha tersebut. Demikian halnya hasil tambang batubara yang mengalami penurunan
sebesar 31,20% per tahun;
2. Belum adanya hilirisasi migas dari hasil produksi migas sehingga memiliki nilai
tambah yang rendah;
3. Belum optimalnya cakupan pelayanan energi listrik dimana masih terdapat sebanyak
12,19% RT yang belum terlayani oleh PLN dan Non PLN dan yang tertinggi terdapat
di kabupten Rokan Hulu sebesar 38,17%; (5) Belum optimalnya pemanfaatan energi
baru dan terbarukan; (6) Belum optimalnya konservasi energi dan sumber daya
mineral serta pendayangunaannya.
Sedangkan isu strategis bidang energi dan sumber daya mineral adalah Peningkatan
Ketahanan Energi, minyak merupakan salah satu energi yang masih tetap dipertahankan
dan dibutuhkan, namun saat ini dihadapkan pada produksi minyak yang terus menurun dan
sebaliknya kebutuhan akan konsumsi minyak terus meningkat sebanding dengan jumlah
populasi penduduk. Indonesia sepanjanglima tahun terakhir ini, mengalami penurunan
produksi rata-rata minyak bumi di bawah 1 (satu) juta barel per hari. Tingkat produksi
yang cukup rendah ini terutama disebabkan oleh sebagian besar produksi minyak bumi
berasal dari ladang minyak tua (mature), di mana tingkat produksinya terus mengalami
penurunan (natural depletion). Sementara kondisi yang sama terjadi di provinsi Riau
ladang atau sumur minyak yang sudah lama berproduksi terutama yang berlokasi di Minas
dan Duri juga mengalami penurunan produksi setiap tahunnnya. Penurunan produksi
minyak dan gas tersebut di perparah dengan penurunan harga komoditas utama tersebut
dua tahun terakhir. Oleh karena itu diperlukan upaya pencarian sumber-sumber baru migas
dan gas serta penetapan regulasi DMO (domestic market obligation) terhadap gas dan
batubara, kemudian pemanfaatan energi terbarukan dengan mengupayakan terwujudnya
madate energi biofuel sebesar 20% serta melakukan efisiensi penggunaan energi.
Listrik merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat yang sangat penting dan
sebagai sumber daya ekonomis yang paling utama yang dibutuhkan dalam suatu kegiatan
usaha. Dalam waktu yang akan datang kebutuhan listrik akan meningkat seiring dengan
adanya peningkatan dan perkembangan baik dari jumlah penduduk, jumlah investasi yang
semakin meningkat akan memunculkan berbagai industri-industri baru. Penggunaan listrik
merupakan factor yang penting dalam kehidupan masyarakat, baik pada sektor rumah
tangga, penerangan, komunikasi, industri dan sebagainya. Seiring dengan perkembangan
dan kemajuan teknologi, pembangunan teknologi industri berkaitan erat dengan tenaga
listrik yang merupakan salah satu faktor yang penting yang sangat mendukung
perkembangan pembangunan khususnya sektor industri, dalam kehidupan modern tenaga
listrik merupakan unsur mutlak untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat oleh karena
itu energi listrik merupakan tolak ukur kemajuan masyarakat.
Sektor listrik di Provinsi Riau secara umum menunjukkan perkembangan yang
positif. Besarnya rasio elektrifikasi per kabupaten/kota dapat dilihat sebagaimana Tabel
2.162.
Tabel 2.162. Rasio Elektrifikasi Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Riau
Tahun 2011-2017
Tahun Rata-rata
No Kabupaten/Kota
Pertumbuhan
2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
1 Kuantan Singingi 47.81 69.71 72.4 86.3 94.84 83.85 88.15 12.05
2 Indragiri Hulu 66 93.63 99 99.16 98.04 73.91 83.89 5.92
3 Indragiri Hilir 26.09 68.47 69.42 75.04 70.72 42.51 49.47 23.77
4 Pelalawan 28.18 62.1 69.76 67.19 71.59 53.52 57.83 19.73
5 Siak 37.71 62.85 67.44 54.93 77.94 67.74 73.87 15.55
6 Kampar 80.05 71.88 76.68 83.93 87.89 94.81 102.44 4.43
7 Rokan Hulu 36.82 52.55 57.81 57.63 61.83 57.5 65.8 11.19
8 Bengkalis 67.72 77.48 80.93 106.11 98.69 89.99 95.4 6.7
9 Rokan Hilir 28.73 84.69 90.74 85.79 91.97 70.05 75.76 31.33
10 Kep. Meranti 39.17 95.45 95.48 100.42 96.64 62.12 66.9 19.52
11 Pekan Baru 65.95 108.33 115.71 105.41 104.97 109.74 114.52 11.78
12 Dumai 73.58 90.19 95.38 97.25 100 99.04 103.85 6.17
Provinsi Riau 53.06 78.88 83.73 85.19 87.81 78.03 84.26 5.88
Sumber: PLN 2017
Secara keseluruhan, selama periode 2011 – 2015 rasio elektrifikasi provinsi Riau
mengalami rata-rata pertumbuhan sebesar 5.88% per tahun, dengan wilayah pertumbuhan
tertinggi terjadi di Kabupaten Rokan Hilir sebesar 31,33% per tahun dan terendah di
Kabupaten Kampar dengan rata-rata pertumbuhan terendah 4,43% per tahun. Pertumbuhan
yang rendah wilayah tersebut disebabkan oleh rasio pertumbuhan jumlah rumah tangga
lebih tinggi berbanding laju pertumbuhan pembangunan energi listrik.
100
83.73 85.19 87.81
78.88 78.03
80 84.26
60
53.06
40
20
0
2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
Rasio elektrifikasi didefinisikan sebagai jumlah rumah tangga yang sudah berlistrik
dibagi dengan jumlah rumah tangga yang ada. Dilihat dari Rasio elektrifikasi Provinsi
Riau dari tahun 2011 sampai tahun 2015 mengalami peningkatan tetapi pada tahun 2016
dan 2017 rasio elektrifikasi mengalami penurunan karena hanya memperhitungkan rumah
tangga yang penerangannya bersumber dari PLN sedangkan pada tahun 2011 – 2015
menggabungkan rumah tangga yang penerangannya bersumber dari non PLN dan PLN.
Hal ini menunjukan bahwa laju pertumbuhan rumah tangga lebih tinggi dibandingkan laju
pertumbuhan pembangunan energi listrik.
Berdasarkan pada Gambar 2.69 menunjukkan bahwa rasio elektrifikasi di bawah rata
rata provinsi terdapat 6 kabupaten dan 6 kabupaten di atas rata-rata provinsi. Wilayah
terendah rasio elektrifikasi di bawah provinsi yaitu Kabupaten Indragiri Hilir, Indragiri
Hulu, Siak Pelalawan, Rokan Hulu dan Kepulauan Meranti. Berdasarkan UU no 23 Tahun
2014 Tentang Pemerintahan Daerah, perpindahan kewenangan dalam pengurusan energi
dan sumberdaya mineral ke provinsi maka wilayah-wilayah terendah rasio elektrifikasinya
harus mendapatkan prioritas dalam pembangunan energi kedepan.
Tabel 2.163. Rasio Desa Berlistrik di Provinsi Riau sampai 31 Desember 2016
Desa Rasio
Kelurahan Sudah
No Kabupaten/Kota Kecamatan Kelurahan Desa Belum Desa
+Desa Belistrik
Belistrik (%)
1 Kampar 21 2 242 244 224 20 92%
2 Indragiri Hulu 14 16 178 194 183 11 94%
3 Bengkalis 8 19 136 155 150 5 97%
4 Indragiri Hilir 20 39 198 237 93 144 39%
5 Pelalawan 12 14 104 118 107 11 91%
6 Rokan Hulu 16 6 139 145 126 19 87%
7 Rokan Hilir 15 25 159 184 174 10 95%
8 Siak 14 9 122 131 117 14 89%
9 Kuansing 15 11 218 229 226 3 99%
10 Kep. Meranti 9 5 96 101 78 23 77%
11 Dumai 7 33 0 33 32 1 97%
12 Pekanbaru 12 58 0 58 58 0 100%
JUMLAH 163 237 1592 1829 1568 261 86.06%
Sumber: PLN Tahun 2017
Sedangkan jumlah desa yang sudah terlayani listrik di Provinsi Riau hingga tahun
2016 baru memcapai 86,06% dan yang belum terlayani 13,94%. Kabupaten yang belum
terlayani listrik yang paling rendah adalah Indragiri Hilir yang desanya tersedia listrik baru
mencapai 39% dan yang belum tersedia listrik sebesar 61%. Jika dilihat rata-rata desa yang
belum teraliri listrik di provinsi Riau masih terdapat sebanyak 14,27% dari jumlah desa
dan kelurahan yang ada sebanyak 1.829 atau sebanyak 261 desa dan kelurahan yang belum
teraliri listrik dan yang terbanyak di Kabupaten Indragiri Hilir dari 237 desa masih terdapat
144 desa yang belum teraliri listrik, kemudian diikuti Kabupaten Kepulauan Meranti dari
101 Desa dan Kelurahan yang baru dialiri listrik 78 desa dan kelurahan sementara 23 desa
lagi belum dialiri listrik.
Permasalahan kelistrikan yang dihadapi di Provinsi Riau adalah masih terbatasnya
pasokan listrik sehingga menyebabkan rendahnya rasio elektrikasi di Provinsi Riau.
Sampai dengan tahun 2015, system interkoneksi kelistrikan 150 KV baru menjangkau
lebih kurang 60% wilayah Provinsi Riau melalui 8 (delapan) Gardu Induk. Sementara total
daya mampu pembangkit listrik di Provinsi Riau sebesar 486 MW dengan Beban Puncak
549 MW atau defisit kapasitas pembangkit listrik sebesar 63 MW. Dalam kondisi normal,
defisit kapasitas pembangkit tersebut dapat disuplai oleh pembangkit dari wilayah lain
melalui system interkoneksi 150 kV. Namun demikian secara umum system interkoneksi
cukup berhasil dan menggembirakan. Sementara itu rasio ketersediaan daya listrik per
Kab/Kota tidak bisa dihitung karena tidak semua kab/kota yang memiliki sumber
pembangkit/gardu induk sendiri, sehingga tidak diketahui rasio ketersediaan daya pada
setiap Kab/Kota.
Tabel 2.164. Rasio Ketersediaan Daya Listrik Tahun 2011 - 2016
Provinsi Riau
Tahun Pertumbuhan/Tahun
2012 2013 2014 2015 2016 (%)
70.62 76.93 82.15 88.56 98.81 7%
terdapat ada alokasi lahan kawasan migas 50 ha, kawasan CPO 54 ha, kawasan
multipurpose- 24 ha, Kawasan Container & Bulk Cargo – 117 Ha, Kawasan
Galangan Kapal – 36 Ha, Kawasan Bisnis Maritim – 10 Ha, Kawasan Fasilitas
Umum – 5 Ha, Kawasan Karantina – 5 Ha, sementara itu untuk area pelabuhan dan
kawasan industri saja dialokasikan masing-masing sebesar 300 ha. Pemerintah
Kabupaten Siak telah menunjuk BUMD PT. KITB sebagai badan pengelola
kawasan industry Tanjung Buton dan saat ini telah menjalin kerjasama investasi
pergudangan PT. BOSOWA
3. Kawasan Industri Buruk Bakul
Kawasan Industri Buruk Bakul mempunyai Lahan sekitar 3.000 hektar dan
1.000 hektar sebagai inti dari rencana kawasan industri dan pelabuhan. Kebutuhan
infrastruktur untuk mendukung kawasan ini yakni peningkatan kualitas dan
kapasitas jalan Dumai – Pelintung, peningkatan kualitas dan kapasitas jalan Dumai
– Lubuk Gaung, penyediaan layanan air minum melalu pembangunan SPAM
regional Durolis (Dumai-Rokan Hilir-Bengkalis), pembangunan pengamanan tebing
sungai dan pantai, dan penataan kawasan.
Provinsi Riau dan Pulau Sumatera, serta berhadapan langsung dengan Asia
Tenggara.
6. Kawasan Teknopolitan
Secara umum kawasan perencanaan Teknopolitan di Pelalawan akan dibagi
menjadi tujuh Blok, yaitu:
1) Blok A (80 ha): Blok Kegiatan Pendidikan dan R&D Center meliputi Institut
Teknologi Pelalawan, Akademi Komunitas/Politeknik dan Pusat Penelitian dan
Pengembangan (R&D Center).
2) Blok B (600 ha): Blok Kegiatan Industri dan UKM; beberapa bangunan
fasilitas utama yang ada di areal ini adalah bangunan pabrik oleo kimia, oleo
pangan, dan limbah sawit.
3) Blok C (140 ha): Blok Kegiatan permukiman yang berwawasan lingkungan,
seperti kawasan hunian, rumah ibadah, rekreasi, dan rumah sakit.
4) Blok D (40 ha): Blok Kegiatan perkantoran; beberapa bangunan fasilitas utama
yang ada di areal ini adalah kantor pengelola kawasan, kantor pelayanan
pengurusan perijinan, kantor pengelola keamanan kawasan.
5) Blok E (40 ha): Blok Kegiatan perdagangan dan jasa beberapa fasilitas utama
yang ada di areal ini adalah kawasan perdagangan dan layanan jasa.
6) Blok F (600 ha): Blok Kegiatan Rekreasi, Olah Raga, Rumah Ibadah, Ruang
Terbuka Hijau dan Buffer.
7) Area Fasilitas prasarana dan sarana penunjang kawasan meliputi Badan jalan,
drainase dan sanitasi lingkungan, jaringan TIK, pengolahan air bersih,
pengolahan air limbah, jaringan listrik, pengolahan sampah sebesar 170 ha.
Industri adalah suatu usaha atau kegiatan pengolahan bahan mentah atau barang
setengah jadi menjadi barang jadi yang memiliki nilai tambah untuk mendapatkan
keuntungan. Para |ekonom menganggap bahwa sektor industri yang kuat menjadi tanda
perekonomian berfungsi dengan baik dengan PDB (produk domestik bruto) yang tinggi
dan kualitas hidup yang tinggi. Berikut tabel perkembangan sektor industri Provinsi Riau.
Dari tabel di atas bahwa data nilai output dan nilai tambah baik rupiah dan tenaga
kerja tidak ada, karena perlu pengolahan data lebih lanjut.
Salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu daerah
dalam satu periode tertentu adalah data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), baik
atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan. PDRB pada dasarnya
merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu
daerah tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir (netto) yang dihasilkan
oleh seluruh unit ekonomi. PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah
barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga berlaku pada setiap tahun, sedangkan
PDRB atas dasar harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa tersebut yang
dihitung menggunakan harga berlaku pada suatu tahun tertentu sebagai dasar.
Pertumbuhan ekonomi negara-negara maju ditopang oleh sektor industri yang maju,
dengan demikian mau tidak mau dan suka tidak suka, provinsi Riau harus mengalihkan
sektor pertambangan dan pengalian yang selama ini menjadi primadona ke sektor industri.
Ini terlihat dari table di bawah ini bahwa pertumbuhan sektor industri terus mengalami
peningkatan.
Tahun
Pertumbuhan/Ta
No Jenis Penerimaan
2017 hun (%)
2013 2014 2015 2016
Tahun
Pertumbuhan/Ta
No Jenis Penerimaan
2017 hun (%)
2013 2014 2015 2016
A Dana Bagi Hasil Pajak/SDA 2.844.812.993 3.367.086.539 1.831.045.031 1.676.598.377 1.473.538.188 -15,16
DBH Pajak 618.581.035 668.492.186 756.114.292 836.925.397 723.990.115
DBH Bukan Pajak/SDA 2.226.231.958 2.698.594.352 1.074.930.738 839.672.980 749.548.072
B Dana Alokasi Umum 726.630.916 820.984.584 654.220.250 737.744.590 1.457.997.067 19,02
3 Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah 636.219.961 655.513.513 883.578.327 7.788.800 3.078.000 -73,63
Dari tabel di atas, bahwa ada penurunan total pendapatan pada tahun 2016 dari
tahun 2015, penurunan ini disebabkan oleh turunnya realisasi Pendapatan Asli Daerah dari
tahun 2015 ke tahun 2016, hal ini dipengaruhi oleh menurunnya daya beli masyarakat,
sehingga menyebabkan menurunnya pembayaran pajak masyarakat ke daerah. Disamping
itu juga kesadaran masyarakat dalam membayar pajak masih rendah.
Kabupaten/kota PNS
Rasio (%) Keterangan
Laki-Laki Perempuan
Kuantan Singingi 2.904 3.317 114,22 Pr > Lk
Indragiri Hulu 3.011 3.671 121,92 Pr > Lk
Indragiri Hilir 3.773 4.250 112,64 Pr > Lk
Pelalawan 2.510 2.978 118,65 Pr > Lk
Siak 2.912 3.757 129,02 Pr > Lk
Kampar 5.052 5.873 116,25 Pr > Lk
Rokan Hulu - - - -
Bengkalis 3.318 4.902 147,74 Pr > Lk
Rokan Hilir 2.743 3.611 131,64 Pr > Lk
Kep.Meranti 1.646 1.742 105,83 Pr > Lk
Pekanbaru 6.528 2.942 45,07 Pr < Lk
Dumai 1.699 3.003 176,75 Pr > Lk
Provinsi Riau 4.468 3.462 77,48 Pr < Lk
Sumber: BPS Provinsi Riau (Riau Dalam Angka Tahun 2015, Kabupaten/Kota Dalam Angka, 2015)
Jumlah 37 8 46 21 15 1 8
Sumber: Ristekdikti Tahun 2017
Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa penelitian terbanyak dilakukan
pada tahun 2012 sebanyak 46 judul dan terendah tahun 2015 dan 2016 sebanyak 1 judul
dengan judul penelitian terbanyak adalah bidang kebijakan dan perpolitikan. Dari hasil
penelitian tersebut, hal yang dapat dicermati adalah tidak adanya konsistensi jumlah per
bidang penelitian. Sebaiknya penelitian dilakukan secara konsisten dengan melakukan
penelitian sesuai dengan kebutuhan pembangunan dan sumberdaya serta prospek yang
dapat dikembangkan di Provinsi Riau kedepan.
Dalam dokumen RPJMD Tahun 2014-2019, untuk meningkatkan ekonomi melalui
peningkatan nilai tambah, maka yang dilakukan penelitian yang berkaitan dengan hilirisasi
produk pertanian, akan tetapi penelitian dan pengembangan bidang industri hanya ada
empat kegiatan selama periode 2014-2016.
Hal yang perlu mendapatkan perhatian dari penelitian ini adalah seberapa banyak
dari jumlah penelitian tersebut yang sudah diterapkan oleh perangkat daerah, masyarakat
atau dunia usaha sehingga dapat meningkatkan produksi barang dan jasa, baik dari segi
produktivitas, efektivitas dan efisiensi serta perbaikan sosial budaya masyarakat yang
berdampak terhadap peningkatkan produktivitas wilayah dan kesejahteraan masyarakat di
Provinsi Riau.