Anda di halaman 1dari 48

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dewasa ini kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta

pengaruh transformasi global telah merambah masuk ke seluruh aspek kehidupan.

Kemajuan ini tidak saja membawa kemudahan dalam menjalankan aktifitas

kehidupan, tetapi juga membawa persoalan-persoalan baru yang membutuhkan

pemecahan.

Fatwa menjadi sebuah jawaban hukum atas persoalan-persoalan yang dihadapi

oleh umat Islam, sehingga hukum Islam dapat menjawab tantangan zaman. Selain itu,

fatwa adalah salah satu dari lima produk pemikiran yang dipelajari dan diteliti seperti

kitab-kitab fikih, pengadilan agama, perundangan yang berlaku di negara muslim,

kompilasi hukum Islam dan fatwa.1 Hukum Islam pada dasarnya hadir untuk

mewujudkan kemaslahatan umat Islam yang harus sesuai dengan tuntutan perubahan.

Kemaslahatan yang dituju dan disyariatkan Islam mencakup lima bidang yang

dikenal sebagai Maqasid Syariah yaitu pemeliharaan agama, jiwa, keturunan, harta,

akal.2

Fatwa adalah pendapat hukum Islam dari ulama sebagai jawaban atas

pertanyaan yang diajukan atau sebagai respon atas masalah yang berkembang di

1
M. Atho Mudzar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar Offset, 1998), h. 245.
2
Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam (Yogyakarta: UII Press, 2002), h. 156.

1
masyarakat mengenai masalah keagamaan dan berlaku untuk umum.
3

Fatwa MUI dikeluarkan untuk memenuhi permintaan dari perseorangan,

maupun lembaga juga dikeluarkan fatwa, nasihat, atau rekomendasi untuk merespon

berbagai persoalan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Salah

satu persoalan yang sangat membutuhkan adanya fatwa adalah masalah ekonomi

syariah. Adanya fatwa tentang ekonomi syariah sangat berperan dalam menjawab

kebutuhan dan perkembangan perbankan syariah.

Seiring dengan perkembangan ekonomi syariah di Indonesia maka MUI


menambah perangkat dalam struktur organisasinya dengan nama Dewan Syariah

Nasional (DSN) pada tahun 1999. Lembaga ini didirikan dengan tujuan untuk

menangani masalah yang berhubungan dengan Lembaga Keuangan Syariah.

Berdasarkan SK. MUI No. Kep.754/II/1999, MUI memandang perlu diadakannya

dewan syariah yang mempunyai tugas untuk mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis

produk lembaga keuangan syariah seperti perbankan syariah, asuransi syariah dan

lain-lain, agar sesuai dengan nilai-nilai syariah.

Dewan Syariah Nasional inilah yang menjadi harapan agar dapat memberikan

jawaban atas permasalahan yang muncul akibat dampak globalisasi. Globalisasi ini
pada dasarnya muncul akibat suatu negara tidak bisa memenuhi kebutuhan

penduduknya sendiri tanpa memerlukan adanya negara lainnya. Hal ini disebabkan

suatu negara memiliki karakteristik yang berbeda, baik sumber daya alam, sumber

daya manusia, geografis, politik, ekonomi dan sosial. Adanya kekurangan dan

kelebihan dari suatu negara misalkan suatu negara memiliki kelebihan sumber daya

alam tetapi memiliki keterbatasan sumber daya manusia. Selain itu, suatu negara

memiliki keterbatasan sumber daya alam tetapi unggul dalam sumber daya manusia.

Hal ini menyebabkan kedua negara tersebut memiliki hubungan saling


4

ketergantungan satu dengan yang lain.

Adanya hubungan saling ketergantungan ini melahirkan transaksi bisnis

internasional atau perdagangan internasional. Perdagangan internasional adalah

perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara

lain atas dasar kesepakatan bersama. Penduduk yang dimaksud dapat berupa antar

perorangan, instansi dan suatu negara atau pemerintah suatu negara. Adanya

kesepakatan ini mengakibatkan lahirnya transaksi bisnis internasional yang mana


muncul pihak penjual (eksportir) dan pihak pembeli (importir).

Dalam transaksi perdagangan luar negeri, terjadi hubungan dagang antara

penjual dari suatu negara dengan pembeli dari negara lainnya. Permasalahannya

adalah bagaimana menyelesaikan kondisi ini dimana antara penjual dan pembeli

dibatasi oleh jarak yang sangat jauh, sehingga transaksi dengan cara tunai jelas sangat

sulit dilakukan. Pembeli akan merasa khawatir jika ia mengirim uang lebih dahulu

sebelum barang tersebut sampai di tangannya. Sebaliknya penjual juga tidak bersedia

untuk melepas barangnya sebelum ada kepastian pembayaran dari pembeli. Inti dari

persoalannya adalah adanya kekhawatiran dari kedua belah pihak terhadap resiko
kerugian apabila salah satu ada yang tidak memenuhi kewajibannya Untuk mengatasi

persolan tersebut, bank dapat bertindak sebagai pihak ketiga yang memberikan jasa

keperantaraan dengan menjamin pembayaran pihak importir kepada pihak eksportir.

Salah satu mekanisme ekonomi yang dijadikan instrumen untuk mendukung

perdagangan internasional ini adalah melalui instrumen Letter of Credit (L/C). Letter

of Credit (L/C) adalah jasa bank yang diberikan kepada masyarakat untuk

mempermudah dan memperlancar pelayanan arus barang, baik arus barang dalam

negeri (antar pulau) atau arus barang ke luar negeri (ekspor-impor). Peranan bank
5

dalam cara pembayaran ekspor impor dengan sarana L/C yaitu pihak bank penerbit

bertindak sebagai pengganti importir. Letter of Credit (L/C) yang diterbitkan oleh

bank tersebut adalah atas nama dan untuk kepentingan importir. Pembayaran akan

dilakukan oleh pihak bank sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang terdapat di

dalam L/C.3 Fasilitas yang diberikan oleh bank adalah berupa penangguhan

pembayaran oleh pembeli dalam jangka waktu tertentu sesuai perjanjian yang

disepakati antara kedua belah pihak.


Faktor-faktor yang menjadi dasar terus berkembangnya penggunaan L/C

tersebut antara lain adalah adanya pengekangan/pengawasan devisa di beberapa

negara, ketidakpastian situasi perekonomian dan diperlukannya suatu cara bagi

eksportir untuk melancarkan pembayaran barang-barang ekspornya. Walaupun ada

perbedaan-perbedaan bahasa, adat kebiasaan dan prosedur, tetapi L/C tidak mengenal

perbedaan-perbedaan itu. Dengan kata lain L/C menjamin kelancaran pembayaran

dan pengiriman barang sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat antara eksportir

dengan importir melalui itikad baik kedua belah pihak.

Menghadapi keinginan masyarakat muslim Indonesia sebagai umat mayoritas


di negara ini yang ingin mengaplikasikan keislaman secara kaffah (menyeluruh)

dalam setiap sendi kehidupan termasuk dalam melakukan transaksi bisnis, maka jasa

perbankan syariah yang melayani transaksi bisnis seperti Letter of Credit (L/C)

sangat diharapkan keberadaannya, mengingat L/C yang dilaksanakan oleh bank-bank

konvensional dalam prakteknya masih menerapkan bunga, hal ini sangat ditentang

oleh syariat Islam.

3
Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2006), h. 443.
6

Adapun pengaturan L/C dalam UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan

Syariah dapat dilihat pada pasal 19 ayat(1) huruf p yang menyebutkan salah satu

kegiatan usaha bank syariah adalah memberikan fasilitas Letter of Credit atau bank

garansi berdasarkan prinsip syariah.4 Undang-undang ini tidak mengatur lebih lanjut

mengenai bagaimana L/C yang sesuai dengan prinsip syariah secara khusus, namun

pada pasal 1 angka 12 dijelaskan tentang prinsip syariah yaitu prinsip hukum Islam

dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang
memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.5

Sebelum diundangkannya UU No. 21/2008 tentang Perbankan Syariah,

Dewan Syariah Nasional (DSN) telah menetapkan fatwa dalam hal Letter of Credit

(L/C) ini dengan mengajukan sejumlah argumen normatif sebagai dasar hukum

transaksi menggunakan instrumen L/C dalam perdagangan internasional. 6 Salah satu

ayat yang dirujuk para ulama untuk dijadikan justifikasi atas instrumen perdagangan

internasional adalah Q.S. Al-Baqarah/2: 283 Allah Swt. berfirman:

‫ض ُكم بَعۡ ضٗ ا فَ ۡلي ُ َؤ ِد‬ ٞۖ ‫ن م ۡقبو‬ٞ ‫۞وإن ُكنتُم علَى سفَر ولَم تَجد ُواْ َكاتبٗ ا فَر ٰ َه‬
ُ ۡ‫ة فَإِ ۡن أ َ ِم َن بَع‬ٞ ‫ض‬ َ ُ َّ ِ ِ ِ ۡ َ ٖ َ ٰ َ ۡ َِ
‫ٱَّللُ ِب َما‬َّ ‫م قَ ۡلبُ ۗۥه ُ َو‬ٞ ‫ش ٰ َهدَ َۚة َ َو َمن يَ ۡكتُمۡ َها فَإِنَّ ٓۥهُ َءا ِث‬
َّ ‫ٱَّللَ َربَّ ۗۥه ُ َو ََل ت َ ۡكت ُ ُمواْ ٱل‬
َّ ‫ق‬ ِ َّ ‫ٱلَّذِي ۡٱؤت ُ ِمنَ أ َ ٰ َمنَت َ ۥه ُ َو ۡليَت‬
َ َ‫ت َعۡ َملُون‬
٢٨٣ ‫يم‬ٞ ‫ع ِل‬
Terjemahnya:
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika
sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang

4
Pasal 19 ayat (1) huruf p Undang-undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
5
Pasal 1 angka 12 Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
6
Muhammad, Aspek Hukum dalam Muamalat, (Yogyakarta: Graga Ilmu, 2007), h. 101.
7

dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia


bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi)
menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang menyembunyikannya,
Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan.7
Aturan tentang L/C Syariah yang dikeluarkan oleh DSN-MUI yaitu fatwa No.

34/DSN-MUI/IX/2002 tentang Letter of Credit (L/C) Impor Syariah dan fatwa No.

35/DSN-MUI/IX/2002 tentang Letter of Credit (L/C) Ekspor Syariah. Kedua fatwa

ini memaparkan prinsip-prinsip syariah tentang perdagangan antar negara sebagai


solusi bagi kedua belah pihak. Dalam fatwanya Majelis Ulama Indonesia menetapkan

bahwa Letter of Credit yang sesuai dengan prinsip syariah adalah yang menggunakan

akad-akad seperti wakalah bil ujrah, qardh, murabahah, salam, istisna’,

musyarakah, mudharabah, dan hawalah yang merupakan instrumen-instrumen

penting yang dimiliki bank Islam untuk mendukung kelancaran transaksi bisnis dan

perdagangan.8 Namun belakangan ini pada tahun 2007, DSN-MUI mengeluarkan

fatwa baru berkenaan dengan Letter of Credit yaitu fatwa No. 57/DSN-MUI/V/2007

tentang Letter of Credit (L/C) dengan akad kafalah bi al- ujrah. Pengertian akad

kafalah adalah akad penjaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada

pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung (makful
‘anhu atau ashil). Sehingga dalam transaksi ekspor impor dengan menggunakan

Letter of Credit Syariah terdapat unsur saling tolong menolong sebagaimana

dijelaskan dalam

Q.S. Al-Ma’idah/5: 2 yang juga menjadi salah satu landasan hukum yang digunakan

dalam fatwa No. 57/DSN-MUI/V/2007 sebagai berikut:

7
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-qur’an dan Terjemahan, (Surabaya: CV Penerbit
Fajar Mulya, 2009), h. 49.
8
Muhammad, Aspek Hukum dalam Muamalat, h. 102.
8

ُ ‫ددِيد‬ ٞۖ َّ ْ‫ٱۡل ۡث ِم َو ۡٱلعُ ۡد ٰ َو َۚ ِن َوٱتَّقُوا‬


َّ ‫ٱَّللَ ِإ َّن‬
َ َ‫ٱَّلل‬ ِ ۡ ‫علَى‬ َ َ‫ى َو ََل تَع‬ٰٞۖ ‫علَى ۡٱل ِب ِر َوٱلت َّ ۡق َو‬
َ ْ‫اونُوا‬ َ ْ‫اونُوا‬
َ َ‫َوتَع‬
٢ ‫ب‬ ِ ‫ۡٱل ِعقَا‬
Terjemahannya:
.…dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-
Nya.9
Fatwa yang dikeluarkan Dewan Syariah Nasional tersebut diharapkan dapat

menjadi rujukan dalam inovasi produk bagi perbankan syariah di Indonesia di

tengah persaingan dengan bank konvensional. Namun inovasi semacam ini juga

perlu diperhatikan hukum yang terkait dengan akad- akad yang digunakan sehingga

dapat membedakan produk-produk bank syariah dengan bank konvensional,

sehingga tidak muncul tuduhan yang mengatakan bahwa produk bank syariah itu

hanyalah jiplakan (copy paste) semata dari bank konvensional yang ditambah label

atau akad-akad syariah. Dan masyarakat muslim Indonesia yang berkecimpung

langsung di dunia bisnis perlu mengetahui hukum syariah dalam setiap transaksi

yang mereka lakukan sehingga merekapun dapat terhindar dari praktek gharar dan

riba’.

Pertimbangan Dewan Syariah Nasional menetapkan fatwa tentang Letter of

Credit (L/C) dengan akad kafalah bi al-ujrah adalah salah satu bentuk jasa LKS

adalah penyediaan fasilitas penjaminan transaksi perdagangan luar negeri yang

dilakukan oleh nasabah, yang dikenal dengan istilah Letter of Credit (L/C); untuk

9
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-qur’an dan Terjemahan, h. 106.
9

memenuhi kebutuhan transaksi L/C tersebut, LKS berkewajiban untuk menyediakan

satu skema penjaminan yang berdasarkan prinsip- prinsip syariah; di antara prinsip

syariah dalam menjalankan transaksi tersebut adalah penggunaan akad kafâlah; agar

kegiatan L/C tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip syariah.10

Penetapan Fatwa No. 57/DSN-MUI/V/2007 tentang Letter of Credit (L/C)

dengan akad kafalah bi al-ujrah berdasarkan pertimbangan mufti yaitu Dewan

Syariah Nasional menunjukkan bahwa fatwa tersebut merupakan kegiatan lanjutan


sebagai rangkaian proses dari kegiatan produk usaha Lembaga Keuangan Syariah

khususnya perbankan syariah yang mana sebelumnya telah ditetapkan fatwa

mengenai kegiatan ekspor impor yaitu fatwa No. 34/DSN-MUI/IX/2002 tentang

Letter of Credit (L/C) Impor Syariah dan Fatwa No. 35/DSN-MUI/IX/2002 tentang

Letter of Credit (L/C) Ekspor Syariah.

Akad kafalah bi al-ujrah merupakan terobosan dan wacana baru dalam dunia

fiqh, karena al-kafalah dikenal sebagai bagian dari akad tabarru’. Yang mana akad

tabarru’ ialah segala macam perjanjian yang menyangkut not profit (transaksi

nirlaba) yang bertujuan tolong-menolong dalam rangka berbuat kebaikan (tabarru’).


Di dalam ketentuan akad pada fatwa No. 57/DSN-MUI/V/2007 menyebutkan fee

atas transaksi akad kafâlah harus disepakati dan dituangkan di dalam akad. Hal ini

menunjukkan adanya persyaratan imbalan pada akad kafalah yang digunakan dalam

transaksi ekspor impor dengan menggunakan jasa Letter of Credit (L/C). Dan

menurut salah satu ulama Syafi’iyyah yaitu Al- Mawardi mengemukakan bahwa

10
Yeni Salma Barlinti, Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional dalam Sistem Hukum
Nasional di Indonesia, Disertasi, (Jakarta, Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2010), h.
203.
10

akad kafalah yang dengan persyaratan imbalan tidak sah. Berbeda dengan pendapat

ulama mazhab Hanafi yang memberikan toleransi atas menerimanya ujrah oleh

pihak penjamin selama ada saling kerelaan dari pihak yang bersangkutan.

Maka atas dasar itulah peneliti tergerak untuk mengkaji salah satu fatwa

yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia yaitu

fatwa No. 57/DSN-MUI/V/2007 tentang Letter of Credit dengan akad kafalah bi

al-ujrah yang sedikit banyaknya diharapkan mampu memberikan pemahaman bagi


masyarakat muslim Indonesia dalam bertransaksi bisnis yang sesuai dengan prinsip

syariah. Peneliti mengkaji fatwa tersebut dengan menggunakan perbandingan

mazhab Syafi’i dan mazhab Hanafi tentang pendapat mereka bagaimana hukum

kafalah bi al-ujrah dalam jasa pembiayaan Letter of Credit.

Berdasarkan hal tersebut maka penulis akan mengkaji sebuah judul

penelitian “Fatwa Dewan Syariah Nasional NO. 57/DSN-MUI /V/2007 Tentang

Letter Of Credit dengan Akad Kafalah Bi Al-ujrah Perspektif Mazhab Syafi’I dan

Mazhab Hanafi”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka pokok masalah dalam penelitian ini

adalah bagaimana Ketentuan Fatwa Dewan Syariah Nasional NO. 57/DSN-MUI

/V/2007 tentang Letter Of Credit dengan Akad Kafalah Bi Al-ujrah yang dijabarkan

dalam rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pandangan pemikiran mazhab Syafi’i dan mazhab Hanafi tentang

pembiayaan Letter of Credit dengan akad kafâlah bi al-ujrah?


11

2. Apa persamaan dan perbedaan pandangan mazhab Syafi’i, dan Hanafi

mengenai fatwa No. 57/DSN-MUI/V/2007 tentang pembiayaan Letter of Credit

dengan akad kafâlah bi al-ujrah?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mendeskripsikan pandangan pemikiran mazhab Syafi’i dan mazhab


Hanafi tentang pembiayaan Letter of Credit dengan akad kafâlah bi al-ujrah.

2. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan pandangan mazhab Syafi’i, dan

Hanafi mengenai fatwa No. 57/DSN-MUI/V/2007 tentang pembiayaan Letter of

Credit dengan akad kafalah bi al-ujrah.

D. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Teoritis

Penelitian ini diharapkan mampu menjadi sumber referensi teoritis untuk

penelitian sejenis di masa mendatang sehingga dapat menghasilkan penelitian yang


lebih konkrit dan mendalam dengan teori yang terdapat di dalam penelitian ini.

2. Kegunaan Praktis

a. Bagi peneliti, diharapkan mampu menjadi acuan untuk penerapan ilmu

perbankan syariah kedepannya.

b. Bagi pembaca, semoga hasil penelitian ini dapat memberikan informasi dan

masukan yang bermanfaat dan sekaligus memberikan sumbagsi bagi ilmu

pengetahuan.
12

E. Definisi Istilah/Pengertian Judul

Agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam memberikan pengertian ataupun

makna maka peneliti maka peneliti memberikan penjelasan dari beberapa kata yang

dianggap perlu agar mudah dipahami, yaitu sebagai berikut:

1. Fatwa

Fatwa menurut syara’ ialah menerangkan hukum syara’ dalam suatu

persoalan sebagai jawaban dari suatu pertanyaan, baik si penanya itu jelas
identitasnya maupun tidak, baik perseorangan maupun kolektif.11 Fatwa merupakan

jawaban atau penjelasan dari ulama mengenai masalah keagamaan dan berlaku

untuk umum.

2. Letter of Credit (L/C)

Letter of credit adalah dokumen kegiatan ekspor impor yang berisi perjanjian

tertulis dari bank yang diberikan kepada penjual (eksportir) sesuai instruksi dari

importir untuk melakukan pembayaran setelah eksportir menyerahkan dokumen-

dokumen yang disyaratkan dalam L/C. 12 Letter of Credit (surat kredit berdokumen)

adalah suatu bentuk jasa yang ditawarkan oleh bank dalam rangka pembelian
barang, berupa penangguhan pembayaran oleh pembeli dalam jangka waktu

tertentu sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.

3. Kafalah

Kafalah merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada

pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dalam

11
Yusuf Qardawi, Fatwa Antara Ketelitian & Kecerobohan, (Jakarta: Gema Insani Press,
1997), h. 5.
12
Henry S. Siswosoediro, Buku Pintar Pengurusan Perizinan & Dokumen, (Jakarta: Visi
Media, 2008), h. 78
13

pengertian lain, kafalah juga berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang

dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai penjamin. 13

4. Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi’I

Mazhab adalah cara berpikir atau metode berijtihad yang diterapkan oleh

imam atau mujtahid untuk menentukan hukum suatu kasus berdasarkan Al-Qura’an

dan hadis.14 Adapun pengertian mazhab menurut ulama fiqih adalah sebuah

metodologi fiqih khusus yang dijalani oleh seorang ahli fiqih mujtahid, yang
berbeda dengan ahli fiqih lain, yang menghantarkannya memilih jumlah hukum

dalam kawasan ilmu furu’.15

Mazhab Hanafi merupakan mazhab yang dicetuskan imam Hanafi, yang

kemudian ada umat islam mengikuti cara istinbatnya atau mengikuti mazhab

Hanafi tentang masalah hukum islam. Sedangkan Mazhab Syafi’I merupakan

mazhab yang dicetuskan imam Syafi’I, yang kemudian ada umat islam mengikuti

cara istinbatnya atau mengikuti mazhab Syafi’I tentang masalah hukum islam.

Berdasarkan dari pengertian di atas maka yang dimaksud dalam judul

penelitian ini adalah mengkaji mengenai akad kafalah bi al-ujrah pada pembiayaan
transaksi ekspor impor dengan Letter of Credit menurut mazhab Syafi’i dan

mazhab Hanafi.

F. Tinjauan Penelitian Relevan

Penelitian terdahulu bertujuan untuk mendapatkan bahan perbandingan dan

acuan. Selain itu untuk menghindari anggapan kesamaan dengan penelitian ini.

13
Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Tazkia Cendekia
& Gema Insani, 2001), h.123
14
Djohan Effendi, Pembaruan Tanpa Membongkar Tradisi, (Jakarta: Kompas, 2010), h. 146
15
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 29
14

Sepanjang penelusuran referensi yang penulis lakukan, penelitian yang berkaitan

dengan topik yang dibahas. Penulis menemukan beberapa penelitian yang terkait

dengan judul penulis diantaranya yaitu:

Pertama Skripsi Siti Nurbaya dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang

berjudul “Implementasi Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia

(MUI) No. 34 dan 35 Tentang Letter Of Credit (L/C) Ekspor-Impor Di Bank

Syariah (Studi Pada PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk)”. Penelitian ini
merupakan jenis penelitian dengan Metode Deskriptif Kualitatif, Metode

pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan obsevasi,

wawancara dan dokumenentasi, selanjutnya dianalisis dengan cara

membandingkan dengan kepustakaan serta pendapat peneliti.

Fokus penelitian untuk mengetahui konsep dan operasionalisasi L/C Ekspor-

Impor yang Sesuai dengan ketetapan Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN).

Adapun kesimpulan dari penelitian tersebut adalah Konsep dan Operasionalisasi

Letter of Credit (L/C) Ekspor-Impor dalam Fatwa DSN-MUI meliputi berbagai

macam akad untuk Ekspor Syariah, yaitu: Wakalah bil Ujrah,


Mudharabah,Musyarakah, dan AL-Ba’i dan Akad untuk Impor Syariah meliputi:

Wakalah bil Ujrah, Wakalah bil ujrah dan Qardh, Murabahah,Salam/Istishna’ dan

Murabahah dan wakalah bil ujrah dan Murabahah.16

Kedua Skripsi Febry Amalia Firdausi dari Universitas Islam Negeri Sunan

Ampel yang berjudul “Analisis Hukum Islam dan Fatwa DSN NO. 57/DSN-

16
Siti Nurbaya, “Implementasi Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia
(MUI) No. 34 dan 35 Tentang Letter Of Credit (L/C) Ekspor-Impor Di Bank Syariah (Studi Pada PT.
Bank Muamalat Indonesia, Tbk)” (Skripsi Sarjana; Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif
Hidayatullah: Jakarta,2011).
15

MUI/V/2007 Terhadap Praktik Akad Kafalah BI Al-Ujrah Pada Pembiayaan

Konsumtif Di BMT UGT Sidogiri Capem Waru”. Penelitian ini merupakan jenis

penelitian lapangan (field research). Metode pengumpulan data yang digunakan

dalam penelitian ini adalah obsevasi, wawancara dan dokumentasi, selanjutnya

dianalisis dengan teknik deskriptif analisis yaitu metode yang diawali dengan

menjelaskan atau menggambarkan data hasil penelitian, yaitu data tentang praktik

akad kafalah bil ‘ujrah pada pembiayaan konsumtif di BMT UGT Sidogiri cabang
Waru hingga menemukan sebuah pemahaman kemudian dilanjutkan dengan

membuat kesimpulan menurut hukum Islam.

Secara garis besar kesimpulan dari penelitian tersebut adalah dalam praktik

akad kafalah bi al-ujrah pada pembiayaan konsumtif ini BMT UGT Sidogiri

Capem Waru tidak melibatkan makful lahu atau wakilnya dalam pelaksanaan akad

kafalah, dan dalam praktiknya tidak ada ikatan hutang sebelumnya antara pihak

makful anhu dengan makful lahu sehingga bukan merupakan hutang yang lazim

dan mengikat. Menurut hukum Islam akad kafalah yang dilakukan oleh BMT

UGT Sidogiri Capem Waru adalah batal karena tidak terpenuhinya syarat dan
rukun akad. Selain itu mengenai ujrah yang ditetapkan oleh BMT UGT Sidogiri

kepada nasabah adalah dengan menggunakan sistem prosentase yakni antara 1,8%-

2,3% yang menyebabkan ujrah yang didapatkan oleh setiap nasabah adalah

berbeda- beda, dan hal tersebut bertentangan dengan hukum islam yakni ujrah

yang diberikan tidak boleh dipersyaratkan apalagi memberatkan.17

17
Febry Amalia Firdausi, “Analisis Hukum Islam dan Fatwa DSN NO. 57/DSN-
MUI/V/2007 Terhadap Praktik Akad Kafalah BI Al-Ujrah Pada Pembiayaan Konsumtif Di BMT
UGT Sidogiri Capem Waru” (Skripsi Sarjana; Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri Sunan Ampel: Surabaya,2019).
16

Ketiga Skripsi Nurhalimah dari Institut Agama Islam Negeri Raden Intan

Lampung yang berjudul “Letter Of Credit Dalam Produk Bank Syariah (Studi atas

Fatwa DSN-MUI tentang Letter of Credit Impor dan Ekspor Syariah)”. Fokus

penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana bentuk- bentuk akad dalam

Fatwa DSN-MUI Letter of Credit Ekspor dan Impor Syariah dan untuk mengetahui

apakah akad-akad Fatwa DSN-MUI sesuai dengan esensi terbentuknya Letter of

Credit.
Kesimpulannya adalah ada beberapa akad Letter of Credit yang ada di Fatwa

DSN-MUI yaitu, L/C Impor syariah dengan pelaksanaan akad Wakalah Bil Ujrah,

Qardh, Murbabah, Salam/Istishna, ’Mudharabah, Musyarakah dan Hawalah, dan

akad L/C Ekspor syariah dengan pelaksanaan akad Wakalah Bil ujrah, Qardh,

Mudharabah, Musyarukah, dan Al-Bai sebagai pelayanaan jasa dan produk

pembiayaan transaksi jual beli perdagangan internasional dan dilihat dari proses

terjadinya L/C sendiri, maka akad Wakalah bi al-ujrah dan Murabahah lebih

sesuai dengan esensi dari terbentuknya Letter of Credit. tetapi walaupun demikian

akad-akad L/C impor syariah dan L/C ekspor syariah yang difatwakan oleh DSN-
MUI menunjukkan bahwa dengan adanya akad-akad tersebut bank syariah dapat

memberikan lebih banyak opsi kepada nasabah karena dengan beragamnya akad

dalam penerbitan Letter of Credit nasabah bisa memilih akad yang dibutuhkan

untuk melaksanakan transaksi ekspor-impor dengan perantara bank syariah sebagai

pembuka Letter of Credit.18

Penelitian yang diangkat oleh peneliti memiliki persamaan dari penelitian-

18
Nurhalimah, “Letter Of Credit Dalam Produk Bank Syariah (Studi atas Fatwa DSN-MUI
tentang Letter of Credit Impor dan Ekspor Syariah)” (Skripsi Sarjana; Fakultas Syariah, IAIN Raden
Intan: Lampung,2017).
17

penelitian terdahulu yaitu, membahas tentang fatwa DSN menyangkut Letter Of

Crediit (L/C) pada Bank Syariah. Sementara perbedaan secara signifikan

diantaranya adalah:

Pertama; penelitian ini merupakan bentuk penelitian kajian pustaka (library

research). Sedangkan penelitian Siti Nurbaya dan Nurhalimah metode penelitian

yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif dan penelitian Febry Amalia

Firdausi menggunakan metode penelitian lapangan (Field Research).


Kedua; penelitian ini terfokus pada Fatwa Dewan Syariah Nasional NO.

57/DSN-MUI/V/2007 Tentang Letter Of Credit dengan akad Kafalah Bi AL-Ujrah

dengan perbandingan 2 pendapat Mazhab. Dan menitikberatkan pada bagaimana

pendapat para fuqaha’ mazhab Syafi’i dengan mazhab Hanafi mengenai akad

kafalah yang disertai dengan ujrah (upah) dalam transaksi ekspor impor

menggunakan jasa pembiayaan Letter of Credit. Sedangkan penelitian yang

dilakukan Siti Nurbaya fokus penelitian untuk mengetahui konsep dan

operasionalisasi L/C Ekspor-Impor yang Sesuai dengan ketetapan Fatwa Dewan

Syariah Nasional (DSN). Dan yang dilakukan oleh Nurhalimah fokus penelitian ini
adalah untuk mengetahui bagaimana bentuk- bentuk akad dalam Fatwa DSN-MUI

Letter of Credit Ekspor dan Impor Syariah dan untuk mengetahui apakah akad-

akad Fatwa DSN-MUI sesuai dengan esensi terbentuknya Letter of Credit.

G. Landasan Teori

1. Fatwa Dewan Syariah Nasional NO. 57/DSN-MUI/V/2007

Fatwa berasal dari bahasa Arab yaitu al-fatwâ, dengan bentuk jamak fatawa,
18

yang berarti petuah, nasihat, jawaban pertanyaan hukum.19 Kamus Istilah Keuangan

dan Perbankan Syariah mendifinisikan fatwa sebagai penjelasan tentang hukum

islam yang diberikan oleh seorang faqih atau lembaga fatwa kepada umat, yang

muncul baik karena adanya pertanyaan maupun tidak. Fatwa menurut syara’ ialah

menerangkan hukum syara’ dalam suatu persoalan sebagai jawaban dari suatu

pertanyaan, baik si penanya itu jelas identitasnya maupun tidak, baik perseorangan

maupun kolektif.20 Dan secara sederhan fatwa didefinisikan sebagai jawaban atau
penjelasan dari ulama mengenai masalah keagamaan dan berlaku untuk umum.

Pada tanggal 29-30 Juli 1997 diadakan Lokakarya Ulama tentang Reksa Dana

Syariah yang mana pada saat itu pembahasan yang dilakukan mengenai pandangan

syariah terhadap reksa dana dan juga merekomendasikan untuk membuat suatu

lembaga sebagai wadah atas kebutuhan para praktisi ekonomi. Atas dasar hasil

rekomendasi lokakarya tersebut maka MUI membentuk DSN pada tanggal 10

Februari 1999 melalui SK MUI No. Kep-754/MUI/II/1999 Tentang Pembentukan

Dewan Syariah Nasional. Dewan Syari’ah Nasional (DSN) adalah salah satu

lembaga yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk menangani
masalah-masalah yang berhubungan dengan aktivitas lembaga keuangan syari’ah.21

Terdapat 34 fatwa DSN yang diterbitkan berasal dari pertanyaan yang

19
A. Wangsawidjaja, Pembiayaan Bank Syariah, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2012),
h. 20.
20
Yusuf Qardawi, Fatwa Antara Ketelitian & Kecerobohan, h. 5.
21
Yeni Salma Barlinti, Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional dalam Sistem Hukum
Nasional di Indonesia, Disertasi, h. 143.
19

diajukan oleh LKS kepada DSN dalam bentuk permohonan pembuatan fatwa.22

Sedangkan Fatwa No. 57/DSN-MUI/V/2007 tentang Letter of Credit dengan Akad

kafalah bi al-ujrah termasuk dalam kelompok fatwa yang tidak menunjukkan

adanya pertanyaan atau permasalahan yang diajukan oleh mustafti 34 fatwa. Dan

pada tanggal 30 Mei 2007 Dewan Syariah Nasional (DSN) mengeluarkan fatwa

terkait dengan kegiatan perdagangan ekspor impor luar negeri, yaitu Letter of Credit

dengan akad kafâlah bi al- ujrah.


Fatwa DSN NO. 57/DSN-MUI/V/2007 menyangkut ketentuan tentang Letter

Of Credit (L/C) dengan akad kafalah bi al-ujrah diantaranya yaitu:

Pertama: Ketentuan Umum

Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan:

a. Kafalah adalah akad penjaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil)

kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang

ditanggung (makful’anhu, ashil);

b. L/C akad kafalah bil ujrah adalah transaksi perdagangan ekspor impor yang

menggunakan jasa LKS berdasarkan akad kafalah, dan atas jasa tersebut LKS
memperoleh fee (ujrah).

Kedua: Ketentuan hukum

Transaksi L/C ekspor impor boleh menggunakan akad kafalah bil ujrah.

Ketiga: Ketentuan Akad

a. Seluruh rukun dan syarat akad kafalah bil ujrah dalam fatwa ini merujuk pada

Fatwa No. 11/DSN-MUI/IV/2000 tentang Kafalah.

22
Yeni Salma Barlinti, Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional dalam Sistem Hukum
Nasional di Indonesia, h. 172-176.
20

b. Penerapan akad kafalah dalam transaksi L/C ekspor maupun impor merujuk

kepada Fatwa No. 34/DSN-MUI/IX/2002 tentang Letter Of Credit (L/C)

Impor Syariah dan Fatwa No. 35/DSN/MUI/IX/2002 tentang Letter Of Credit

(L/C) Ekspor Syariah.

c. Fee atas transaksi akad kafalah harus disepakati dan dituangkan di dalam

akad.

Keempat: Ketentuan Penutup:


a. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi

perselisihan diantara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui

Badan Arbitrase Syariah atau Pengadilan Agama setelah tidak tercapai

kesepakatan melalui musyawarah.

b. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian

hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan

sebagaimana mestinya.23

Dalam fatwa ini Dewan syariah Nasional merumuskan berdasarkan

No.57/DSN-MUI/V/2007 merujuk pada fatwa No. 34/DSN-MUI/IX/2002 dan fatwa


No. 35/DSN-MUI/IX/2002 bahwa kafalah merupakan jaminan yang diberikan oleh

penanggung untuk memenuhi kewajiban yang ditanggungnya. Dan letter of credit

(L/C) merupakan suatu bentuk jasa yang ditawarkan oleh bank dalam rangka

pembelian barang berupa penangguhan pembayaran oleh pembeli dan atas jasa

transaksi tersebut memperoleh upah sebagaimana yang telah disepakati dan

dituangkan dalam akad.

23
Mardani, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2017)
h. 59-60
21

Isi dalam Fatwa DSN NO. 57/DSN-MUI/V/2007 tentang Letter Of Credit

(L/C) dengan akad kafalah bi al-ujrah yaitu:

Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), setelah:

Menimbang:

a. Bahwa salah satu bentuk jasa Lembaga Keuangan Syariah (LKS) adalah

penyediaan fasilitas penjaminan transaksi perdagangan luar negeri yang

dilakukan oleh nasabah, yang dikenal dengan istilah Letter of Credit (L/C);
b. Bahwa untuk memenuhi kebutuhan transaksi L/C tersebut, LKS berkewajiban

untuk menyediakan skema penjaminan yang berdasarkan prinsip-prinsip

syariah;

c. Bahwa di antara prinsip syariah dalam menjalankan transaksi tersebut adalah

penggunaan akad kafalah;

d. Bahwa agar kegiatan L/C tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip syariah,

DSN-MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang Letter Of Credit (L/C)

dengan Akad Kafalah bil Ujrah untuk dijadikan pedoman oleh LKS.

Mengingat:
1. Firman Allah SWT antara lain:

a. Q.S. Al-Kahfi/18: 19

‫طعَ ٗاما فَ ۡليَ ۡأتِ ُكم‬ ُ ‫فَ ۡٱبعَث ُ ٓواْ أ َ َحدَ ُكم بِ َو ِر ِق ُك ۡم ٰ َه ِذ ِٓۦه ِإلَى ۡٱل َمدِينَ ِة فَ ۡليَن‬
َ ‫ظ ۡر أَيُّ َها ٓ أ َ ۡز َك ٰى‬
َّ َ‫ِب ِر ۡز ٖق ِم ۡنهُ َو ۡليَتَل‬
١٩ ‫ط ۡف َو ََل يُ ۡش ِع َر َّن ِب ُك ۡم أ َ َحدًا‬

Terjemahannya:
Maka suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa
uang perakmu ini. Dan hendaklah ia lihat manakah makanan yang lebih baik,
maka hendaklah ia membawa makanan yang lebih baik bagimu, dan
hendaklah ia berlaku lemah lembut, dan janganlah sekali-kali menceritakan
22

halmu kepada seseorangpun.

b. Q.S. Al-Qashash/28: 26

ُّ ‫ٱستَ ٔ ۡٔ َج ۡرتَ ۡٱلقَ ِو‬


٢٦ ‫ي ۡٱۡل َ ِمي ُن‬ ۡ ‫هُ ِإ َّن خ َۡي َر َم ِن‬ٞۖ ‫ٱستَ ٔ ۡٔ ِج ۡر‬
ۡ ‫ت‬ِ َ‫قَالَ ۡت ِإ ۡحدَ ٰى ُه َما ٰيَٓأَب‬
Terjemahannya:
Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: Hai ayahku ambillah ia sebagai
orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik
kamu ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi dipercaya.

c. Q.S. Yusuf /12: 72

٧٢ ‫يم‬ٞ ‫ع ۡٱل َم ِل ِك َو ِل َمن َجا ٓ َء ِبِۦه ِحمۡ ُل بَ ِع ٖير َوأَن َ۠ا ِبِۦه زَ ِع‬ ُ ُ ‫قَالُواْ ن َۡف ِقد‬
َ ‫ص َوا‬
Terjemahannya:
Penyeru-penyeru itu berseru: ‘Kami kehilangan piala Raja; dan barang siapa
yang dapat mengembalikannya, akan memperoleh bahan makanan (seberat)
beban unta, dan aku menjamin terhadapnya.

d. Q.S. al-Ma’idah /5: 2

ُ ‫ددِيد‬ ٞۖ َّ ْ‫ٱۡل ۡث ِم َو ۡٱلعُ ۡد ٰ َو َۚ ِن َوٱتَّقُوا‬


َّ ‫ٱَّللَ إِ َّن‬
َ َ‫ٱَّلل‬ ِ ۡ ‫علَى‬ َ َ‫ى َو ََل تَع‬ٰٞۖ ‫علَى ۡٱلبِ ِر َوٱلت َّ ۡق َو‬
َ ْ‫اونُوا‬ َ ْ‫اونُوا‬
َ َ‫َوتَع‬
٢ ‫ب‬ ِ ‫ۡٱل ِعقَا‬
Terjemahannya:
Dan tolong-menolonglah dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan
janganlah tolong-menolong dalam (mengerjakan) dosa dan pelanggaran.
2. Hadis Nabi SAW antara lain:
a. Hadis Nabi riwayat Bukhari dari Salamah bin Akwa’:
23

Artinya:
Telah dihadapkan kepada Rasulullah SAW jenazah seorang laki-laki untuk
disalatkan. Rasulullah SAW bertanya, Apakah ia mempunyai utang? Sahabat
menjawab, ‘Tidak’. Maka, beliau mensalatkannya. Kemudian dihadapkan lagi
jenazah lain, Rasulullah pun bertanya, Apakah ia mempunyai utang? Sahabat
menjawab, ‘Ya’. Rasulullah berkata, ‘Salatkanlah temanmu itu’ (beliau sendiri
tidak mau mensalatkannya). Lalu Abu Qatadah berkata, ‘Saya menjamin
utangnya, ya Rasulullah’. Maka Rasulullah pun mensalatkan jenazah tersebut.
(HR. Bukhari dari Salamah bin Akwa’)
b. Hadis Nabi riwayat Imam Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, dan Ibn Majah

dari Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda:

Artinya:

Allah menolong hamba selama hamba menolong saudaranya.

1. Hadis Nabi riwayat Imam al-Tirmidzi dan Ibn Majah dari ‘Amr bin ‘Auf al-

Muzani, Nabi SAW bersabda:

Artinya:
Shulh (penyelesaian sengketa melalui musyawarah untuk mufakat) boleh
dilakukan di antara kaum muslimin kecuali shulh yang mengharamkan yang
halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan
syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram.

3. Kaidah Fikih:
24

Artinya:
Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil
yang mengharamkannya.

Artinya:

Bahaya (beban berat) harus dihilangkan.

Memperhatikan:

1. Pendapat para ulama, antara lain Mushthafa ‘Abdullah al-Hamsyari


sebagaimana dikutip oleh Syaikh ‘Athiyah Shaqr, dalam kitab Ahsan al-Kalam

fi al-Fatawa wa al-Ahkam, jilid 5, hal. 542-543:

Letter of Credit (L/C) yang berisi ketetapan bahwa bank berjanji kepada (fee) i

Artinya:
Letter of Credit (L/C) yang berisi ketetapan bahwa bank berjanji kepada
eksportir untuk membayar hak-haknya (eksportir) atas importir adalah boleh.
Upah yang diterima oleh bank sebagai imbalan atas penerbitan L/C adalah
boleh. Hukum “boleh” ini oleh Muhsthafa al-Hamsyari didasarkan pada
karakteristik muamalah L/C tersebut yang berkisar pada akad wakalah,
hawalah dan dhaman (kafalah). Wakalah dengan imbalan (fee) tidak haram;
demikian juga (tidak haram) hawalah dengan imbalan.
Adapun dhaman (kafalah) dengan imbalan oleh Musthafa al-Hamsyari

disandarkan pada imbalan atas jasa yang menurut mazhab Syafi’i, hukumnya boleh
25

(jawaz) walaupun menurut beberapa pendapat yang lain hukumnya haram atau

makruh. Musthafa al-Hamsyari juga menyandarkan dhaman (kafalah) dengan

imbalan pada ju’alah yang dibolehkan oleh madzhab Syafi’i.

Mushthafa ‘Abdullah al-Hamsyari juga berpendapat tentang bank garansi dan

berbagai jenisnya. Bank garansi adalah dokumen yang diberikan oleh bank atas

permohonan nasabahnya yang berisi jaminan bank bahwa bank akan memenuhi

kewajiban-kewajiban nasabahnya terhadap rekanan nasabah. Musthafa menyatakan


bahwa bank garansi hukumnya boleh. Bank garansi tersebut oleh Musthafa

disejajarkan dengan wakalah atau kafalah; dan kedua akad ini hukumnya boleh.

Demikian juga pengambilan imbalan (fee) atas kedua akad itu tidak diharamkan. 24

2. Teori Letter Of Credit (L/C)

a. Definisi Letter Of Credit (L/C)

Letter of Credit (L/C) atau dalam bahasa Indonesia disebut Surat Kredit

Berdokumen merupakan salah satu jasa yang ditawarkan bank dalam rangka

pembelian barang, berupa penangguhan pembayaran pembelian oleh pembeli sejak

L/C dibuka sampai dengan jangka waktu tertentu sesuai perjanjian.


Dalam kamus Perbankan Letter of Credit (L/C) adalah janji tertulis yang

diterbitkan oleh issuing bank atas dasar permohonan tertulis applicant atau dirinya

sendiri kepada beneficiary untuk membayar atau mengaksep draf, mengizinkan bank

lain untuk membayar atau mengaksep, atau mengambil alih draf apabila dokumen

yang diserahkan oleh beneficiary sesuai dengan syarat dan kondisi janji tertulis yang

diterbitkan oleh issuing bank.25Pembayaran L/C terdiri atas pembayaran atas unjuk,

24
Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI NO. 57/DSN-MUI/V/2007
25
Trikaloka H. Putri, Kamus Perbankan, (Yogyakarta: Mitra Pelajar, 2009), h. 194.
26

pembayaran yang ditangguhkan, pembayaran akseptasi dan pembayaran negoisasi. 26

Tipe perjanjian yang dapat difasilitasi L/C terbatas hanya pada perjanjian jual

beli, sedangkan fasilitas yang diberikan adalah berupa penangguhan pembayaran.

Dengan fasilitas ini pembeli dapat melakukan pembayaran setelah yakin barang/jasa

akan diterima dengan spesifikasi sesuai perjanjian dengan penjual, dengan kata lain

pembeli tidak harus membayar terlebih dahulu sebelum barang/jasa dikirim atau

disampaikan oleh penjual. Dalam ranah pembahasan L/C berbasis syariah dikenal
dua jenis L/C, yaitu L/C impor syariah dan L/C ekspor syariah. Menurut Fatwa

Dewan Syariah Nasional MUI No. 34/DSN-MUI/IX/2002 yang dimaksud dengan

L/C (Letter of Credit) Syariah adalah surat pernyataan akan membayar kepada

eksportir (beneficiery) yang diterbitkan oleh bank syariah (issuing bank) atas

permintaan atau untuk kepentingan importir dengan pemenuhan persyaratan tertentu

sesuai dengan prinsip syariah. Jika bank menerbitkan L/C kepada nasabah, berarti

bank menjamin akan membayar sejumlah tertentu kepada pihak lain atas permintaan

nasabah tersebut.27

Berdasarkan transaksi L/C impor syariah ini, bank mendapatkan imbalan


(ujrah) ataupun keuntungan dalam bentuk margin (dalam hal menggunakan akad

jual beli) ataupun bagi hasil. Sedangkan bagi nasabah, memperoleh jasa

penyelesaian pembayaran dan/atau penjaminan dan aksepsi yang mendukung

aktivitasnya dalam perdagangan internasional. Pada dasarnya risiko dari transaksi

26
Ramlan Ginting, Transaksi Bisnis dan Perbankan Intenasional, (Jakarta: Salemba
Empat,2007), h. 67.
27
Rachmadi Usman, Produk dan Akad Perbankan Syariah di Indonesia Implementasi dan
Aspek Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2009), h. 275.
27

L/C impor syariah bagi bank adalah risiko pembiayaan (credit risk) dalam hal

nasabah (importir) tidak membayar tagihan penyelesaian L/C. Selain itu, terdapat

resiko likuiditas dalam hal bank mengalami kesulitan memperoleh jenis valuta yang

disyaratkan pada waktunya dan resiko reputasi dalam hal bank tidak dapat

memenuhi komitmen yang disyaratkan. Adapun resiko lainnya terkait dengan

keandalan manajemen teknologi informasi (resiko operasional) serta resiko akad

yang menyertai pemberian fasilitas L/C, misalnya, akad murabahah dalam


pembelian barang yang diimpor.

Kondisi dimana antara penjual dan pembeli dalam aktivitasnya dibatasi oleh

jarak dan waktu tempuh yang lama hal ini mengakibatkan sulit terjadinya transaksi

secara tunai yang dilakukan lintas negara kerena adanya kekhawatiran dari kedua

belah pihak terhadap resiko kerugian apabila salah satu pihak ada yang tidak

memenuhi kewajibannya. Sehingga dengan adanya Letter Of Credit ini

mempermudah dan memberikan jaminan keamanan dalam kegiatan transaksi lintas

negara yang berupa ekspor-impor.

b. Pelaku atau Pihak-pihak dalam Letter Of Credit


Terdapat 3 pihak yang terlibat dalam Letter Of Credit (L/C), yaitu:

1) Opener (Account)

Yaitu pihak yang mengajukan permintaan pembukaan letter of credit kepada

bank. Sebagai opener dalam perdagangan Internasional adalah importir.

2) Issuer (Issuing bank)

Yaitu bank di negara importir yang mengeluarkan letter of credit atas

permintaan importir.

3) Beneficiary (Acceredite)
28

Yaitu pihak untuk siapa letter of credit di buka. Dalam perdagangan

internasional, pihak beneficiary adalah eksportir. 28

Di samping ketiga pihak yang tertera di atas dalam transaksi letter of credit

terdapat tiga pihak lagi yang sifatnya membantu memperlancar pelaksanaan

transaksi letter of credit tersebut, yaitu:

a) The confirming bank Yaitu yang bertindak menjamin kredit tersebut.

b) The notifing bank Yaitu yang atas permintaan issuing bank akan
memberitahukan kepada beneficiary bahwa telah dibuka L/C untuknya.

c) Accepting bank Yaitu bank yang bertindak melakukan akseptasi atau janji

bayar tertentu kepada beneficiary.

c. Jenis-jenis Letter Of Credit

Berikut adalah jenis-jenis letter of credit antara lain adalah:29

1) Transferable L/C

Adalah L/C yang memberi hak kepada eksportir untuk memindahkan

sebagian atau keseluruhan nilai L/C kepada satu atau beberapa pihak lain.

2) Back to Back L/C


Sama dengan Transferable L/C, namun beneficiary-nya bukan merupakan

eksportir seseungguhnya, tetapi pihak ketiga.

3) Revolving L/C

Adalah L/C yang penggunaannya dapat dilakukan secara berulang-ulang.

4) Red Clause L/C

Merupakan L/C di mana opening bank memberi kuasa kepada bank

28
Sattar, Ekonomi Internasional, (Yogyakarta: CV Budi Utama,2017), h. 135-136.
29
Ikatan Bankir Indonesia, Mengenal Operasional Perbankan 1, h. 98
29

pembayar (negotiating bank) untuk membayar uang muka kepada beneficiary

sebagian atau seluruh nilai L/C sebelum beneficiary menyerahkan dokument.

5) UPAS (Usanse Payable At Sight)

Adalah L/C yang pembayarannya kepada supplier secara tuani (at sight),

tetapi pembeli membayar kepada bank secara berjangka/kredit.

Letter Of Credit memegang peranan sangat penting dalam aktifitas bisnis atau

transaksi lintas Negara, oleh karena itu dalam pengaplikasiannya Letter Of Credit
haruslah sesuai dengan ketentuan yang berlaku universal dalam prosedur dan

situasinya.

d. Perbedaan Letter of credit dengan Bank Garansi

1) Letter of Credit adalah komitmen bank pembeli kepada bank penjual bahwa ia

akan menerima faktur yang disajikan oleh penjual dan melakukan pembayaran,

tergantung pada kondisi tertentu. Jaminan yang diberikan oleh bank kepada

penerima atas nama pemohon, untuk melakukan pembayaran, jika pemohon

gagal dalam pembayaran, disebut Bank Garansi.

2) Dalam letter of credit, kewajiban utama hanya terletak pada bank, yang
mengumpulkan pembayaran dari klien setelahnya. Di sisi lain, dalam garansi

bank, bank menanggung kewajiban, ketika klien gagal melakukan pembayaran.

3) Dalam hal risiko, letter of credit lebih berisiko untuk bank tetapi lebih sedikit

untuk pedagang. Sebaliknya, bank garansi lebih berisiko bagi pedagang tetapi

kurang untuk bank.

4) Ada lima atau lebih pihak yang terlibat dalam transaksi letter of credit, seperti

dalam pemohon, penerima, bank penerbit, bank penasihat, bank negosiasi dan
30

bank konfirmasi (mungkin atau mungkin tidak). Sebaliknya, hanya tiga pihak

yang terlibat dalam bank garansi, yaitu pemohon, penerima manfaat dan bankir.

5) Dalam letter of credit, pembayaran dilakukan oleh bank, karena jatuh tempo,

sehingga tidak menunggu default pemohon dan penerima manfaat untuk

menjalankan usaha. Sebaliknya, bank garansi menjadi efektif, ketika pemohon

default dalam melakukan pembayaran kepada penerima.

6) Letter of credit memastikan bahwa jumlah akan dibayarkan selama layanan


dilakukan dengan cara yang ditentukan. Tidak seperti, bank garansi mengurangi

kerugian, jika para pihak dalam jaminan, tidak memenuhi ketentuan yang

ditentukan.

7) Letter of credit sesuai untuk bisnis impor dan ekspor. Sebaliknya, bank garansi

sesuai dengan kontrak pemerintah.

3. Teori Akad Kafalah

a. Definisi Kafalah

Al-kafalah menurut bahasa berarti al-Dhaman (jaminan), hamalah (beban),

dan za’amah (tanggungan). Dikalangan ahli fikih terdapat sejumlah nama lain untuk
akad kafalah ini, yaitu akad Hamalah, Dhamanah, dan Za’amah, namun yang paling

masyhur adalah akad kafalah. Imam Mawardi membedakan akad Dhamanah itu

akad menenggung terkait harta kekayaan, Hamalah terkait dengan hukuman atau

denda, dan Za’amah terkait dengan harta kekayaan yang berjumlah besar.30

Kafalah dalam arti bahasa berasal dari kata: kafala, yang sinonimnya:

dhamina, artinya menanggung. Kafalah sebagaimana yang terdapat dalam kitab-

30
M. Pudjihardjo & Nur Faizin Muhith, Fikih Muamalah Ekonomi Syariah, (Malang: UB
Press,2019) h. 99
31

kitab ulama Hanafiyyah dan ulama Hambali juga diartikan: adh-dhammu, yakni

mengumpulkan/menggabungkan. 31Sedangkan dalam kitab-kitab ulama Syafi’iyyah,

artinya adalah al-Iltizam yakni mengharuskan atau mewajibkan atas diri sendiri

sesuatu yang sebenarnya tidak wajib atas dirinya, membuat komitmen.

Kafalah secara istilah telah dikemukakan oleh ulama. Ulama Hanafiah

mengemukakan kafalah atau dhaman adalah mengumpulkan suatu tanggungan

kepada tanggungan lain dalam penagihan atau penuntutan terhadap jiwa, harta, atau
benda.32Definisi yang lain dikemukakan bahwa kafalah atau dhaman adalah

mengumpulkan tanggungan kepada tanggungan yang lain di dalam pokok hutang.

Dari kedua definisi tersebut, definisi yang pertama lebih shahih karena lebih

umum yakni mencakup tiga jenis kafalah, yaitu kafalah terhadap jiwa, utang atau

benda. Sedangkan definisi yang kedua hanya mencakup kafalah terhadap hutang

saja.33

Dikalangan mayoritas mazhab Hanafi berdasarkan dampak apa yang

dimunculkan oleh akad ini. Memberikan pengertian akad kafalah adalah penyatuan

tanggungan seseorang (kafil) kedalam tanggungan penanggung terkait nyawa, harta,


atau benda-benda berharga.34dan menurut mazhab Hanafi hutang dalam akad

kafalah tidak beralih kepada al-Kafil (orang yang menanggung) dan tidak gugur

dalam tanggung jawab al-Ashil (orang yang berhutang).

31
Ahmad Wardi Muslich, Fikih Muamalat, (Cetakan I; Jakarta: AMZAH,2010), h. 433.
32
Abdurrahman Al-Jaziri, Kitab Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, Juz 3 (Beirut: Dar Al-
Fikr, t.t), h. 221.
33
Ahmad Wardi Muslich, Fikih Muamalat, h. 434.
34
M. Pudjihardjo & Nur Faizin Muhith, Fikih Muamalah Ekonomi Syariah, h. 99.
32

Mazhab Syafi’i mengemukakan dhaman dalam pengertian syara’ adalah suatu

akad yang menghendaki tetapnya suatu hak yang ada dalam tanggungan orang lain,

atau menghadirkan benda yang ditanggungkan, atau menghadirkan badan orang

yang harus dihadirkan.35

Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh para ulama Syafi’iyyah hutang

yang ada menjadi tanggungan kedua belah pihak, yaitu pihak yang menjamin dan

pihak yang dijamin. Perlu diperhatikan bahwa tertetapkannya hutang yang dijamin
tersebut dalam tanggungan kafil (pihak penjamin) dan pada waktu yang sama

hutang tersebut juga masih tetap berada dalam tanggungan ashil (pihak yang

dijamin, pihak yang berutang) atau dengan kata lain meskipun hutang yang ada

sama-sama menjadi tanggungan kedua belah pihak, yaitu yang menjamin dan yang

dijamin, namun tidak serta merta berarti nilai utang bertambah, dan pihak

berpiutang diuntungkan. Karena meskipun hutang tersebut berada dalam

tanggungan kafil, namun pihak yang berpiutang hanya berhak menagih dan

mendapatkan haknya sejumlah yang pernah ia berikandari salah seorang diantara

mereka yaitu dari kafil atau dari ashil.


Dewan Syariah merumuskan berdasarkan No. 57/DSN-MUI/V/2007 bahwa

kafalah adalah akad penjaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada

pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung

(makful’anhu, ashil);

Kafalah ini merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung kepada

pihak ketiga dalam rangka memenuhi kewajiban yang ditanggungnya. Apabila

35
Abdurrahman Al-Jaziri, Kitab Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, h. 225.
33

dihubungkan dengan teknis perbankan, dapat dikatakan bahwa pihak bank dalam

hal ini memberikan jaminan kepada nasabahnya sehubungan dengan kontrak

kerja/perjanjian yang telah disepakati antara nasabah dan pihak ketiga. Pada

hakikatnya pemberian kafalah ini akan memberikan kepastian dan keamanan bagi

pihak ketiga untuk melaksanakan isi kontrak/perjanjian yang telah disepakati tanpa

khawatir jika terjadi sesuatu dengan nasabah. Karena itu, konsep kafalah dalam

term fiqh identik dengan perjanjian penanggungan/penjaminan (borgtocht) atau


personal guaranty dalam term hukum perdata.

Berkenaan dengaan akad kafalah dalam operasional perbankan syariah, DSN

telah mengeluarkan fatwa Nomor 11/DSN-MUI/IV/2000 tentang kafalah dengan

pertimbangan bahwa dalam rangka menjalankan usahanya seseorang sering

memerlukan penjaminan dari pihak lain melalui akad kafalah dan hal ini bisa

dilakukan oleh LKS. Agar kegiatan kafalah tersebut dilakukan sesuai dengan ajaran

Islam, maka DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang kafalah untuk

dijadikan pedoman LKS dalam menyediakan suatu skema penjaminan (kafalah)

yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah.


Dengan adanya kafalah pihak yang dijamin dapat menyelesaikan proyek atau

pekerjaan dengan ditanggung pengerjaannya dan dapat selesai dengan tepat waktu

dengan jaminan pihak ketiga. Sedangkan pihak yang menerima jaminan akan lepas

dari tanggung jawab dengan tepat waktu dan sesuai dengan jadwal yang telah

ditentukan.

Isi fatwa Nomor 11/DSN-MUI/IV/2000 tentang kafalah yaitu: Dewan Syariah

Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), setelah:

Menimbang:
34

a. Bahwa dalam rangka menjalankan usahanya, seseorang sering memerlukan

penjaminan dari pihak lain melalui akad kafalah, yaitu jaminan yang diberikan

oleh penanggung (kafiil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban

pihak kedua atau yang ditanggung (makfuul ‘anhu, ashil);

b. Bahwa untuk memenuhi kebutuhan usaha tersebut, Lembaga Keuangan

Syariah (LKS) berkewajiban untuk menyediakan satu skema penjaminan

(kafalah) yang berdasarkan prinsip-prinsip syar’iah;


c. Bahwa agar kegiatan kafalah tersebut dilakukan sesuai dengan ajaran Islam,

DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang kafalah untuk dijadikan

pedoman oleh LKS.

Mengingat:

1. Firman Allah dalam QS. Yusuf /12: 72

٧٢ ‫يم‬ٞ ‫ع ۡٱل َم ِل ِك َو ِل َمن َجا ٓ َء بِِۦه ِح ۡم ُل بَ ِع ٖير َوأَن َ۠ا بِِۦه زَ ِع‬ ُ ُ‫قَالُواْ ن َۡف ِقد‬
َ ‫ص َوا‬

Terjemahannya:
Penyeru-penyeru itu berseru: Kami kehilangan piala Raja; dan barang siapa
yang dapat mengembalikannya, akan memperoleh bahan makanan (seberat)
beban unta, dan aku menjamin terhadapnya.
2. Firman Allah Q.S. Al-Ma’idah/5: 2

ُ ‫ددِيد‬ ٞۖ َّ ْ‫ٱۡل ۡث ِم َو ۡٱلعُ ۡد ٰ َو َۚ ِن َوٱتَّقُوا‬


َّ ‫ٱَّللَ ِإ َّن‬
َ َ‫ٱَّلل‬ ِ ۡ ‫علَى‬ َ َ‫ى َو ََل تَع‬ٰٞۖ ‫علَى ۡٱل ِب ِر َوٱلت َّ ۡق َو‬
َ ْ‫اونُوا‬ َ ْ‫اونُوا‬
َ َ‫َوتَع‬
ِ ‫ۡٱل ِعقَا‬
٢ ‫ب‬
Terjemahannya:
Dan tolong-menolonglah dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan
janganlah tolong-menolong dalam (mengerjakan) dosa dan pelanggaran.
3. Hadis Nabi riwayat Bukhari:

،‫سلَّ َم‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬


َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ً ‫ ُكنَّا ُجلُو‬:َ‫ قَال‬،ُ ‫ع ْنه‬
َ ِ ‫سا ِع ْندَ النَّ ِبي‬ َّ ‫ي‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫ض‬
ِ ‫ع َر‬ َ
ِ ‫سلَ َمةَ ب ِْن اۡل ْك َو‬
َ ‫ع ْن‬
َ
‫ «فَ َه ْل‬:َ‫ قَال‬،َ‫ َل‬:‫ قَالُوا‬،»‫علَ ْي ِه دَيْن؟‬ َ :‫ فَقَالُوا‬،ٍ‫ي ِب َجنَازَ ة‬ ُ
َ ‫ «ه َْل‬:َ‫ فَقَال‬،‫علَيْ َها‬
َ ‫ص ِل‬ َ ِ‫ِإذْ أت‬
35

،َ‫ َل‬:‫ قَالُوا‬،»‫د ْيئًا؟‬


َ َ‫ص ِل ت َ َرك‬ ُ ‫ يَا َر‬:‫ فَقَالُوا‬،‫ي ِب َجنَازَ ةٍ أ ُ ْخ َرى‬
ِ َّ ‫سو َل‬
َ ،‫َّللا‬ ُ َ ‫صلَّى‬
َ ِ‫ ث ُ َّم أت‬،‫علَ ْي ِه‬ َ
َ ‫ ث َالَثَةَ دَنَا ِن‬:‫ قَالُوا‬،»‫د ْيئًا؟‬
،‫ير‬ َ َ‫ «فَ َه ْل ت َ َرك‬:َ‫ قَال‬،‫ نَعَ ْم‬:َ‫علَ ْي ِه دَيْن؟» ِقيل‬ َ ‫ «ه َْل‬:َ‫ قَال‬،‫علَ ْي َها‬ َ
،َ‫ َل‬:‫ قَالُوا‬،»‫د ْيئًا؟‬ َ :‫ فَقَالُوا‬،‫ي ِبالثَّا ِلث َ ِة‬ ُ َ ‫صلَّى‬
َ َ‫ «ه َْل ت َ َرك‬:َ‫ قَال‬،‫علَ ْي َها‬
َ ‫ص ِل‬ َ ِ‫ ث ُ َّم أت‬،‫علَيْ َها‬ َ َ‫ف‬
‫ قَا َل أَبُو‬،»‫اح ِب ُك ْم‬
ِ ‫ص‬ َ ‫علَى‬ َ ‫صلُّوا‬
َ « :َ‫ قَال‬،‫ير‬ َ ِ‫ ثَالَثَةُ دَنَان‬:‫ قَالُوا‬،»‫علَ ْي ِه دَيْن؟‬ َ ‫ «فَ َه ْل‬:َ‫قَال‬
َ ‫صلَّى‬
‫علَ ْي ِه‬ َّ َ‫عل‬
َ َ‫ ف‬،ُ ‫ي دَ ْينُه‬ ُ ‫علَ ْي ِه يَا َر‬
ِ َّ ‫سو َل‬
َ ‫َّللا َو‬ َ َ ‫قَتَادَة‬
َ ‫ص ِل‬
Artinya:
Dari Salamah bin Al’Alwa ra. bahwa ke hadapan Nabi dibawa satu jenazah
untuk dishalatkan. Nabi kemudian bertanya: “Apakah ia mempunyai utang?”
Para sahabat menjawab: “Tidak.” Nabi kemudian menyalatkannya. Kemudian
dibawa lagi jenazah yang lain. Nabi bertanya: “Apakah ia mempunyai utang?”
Para sahabat menjawab: “Ya.” Nabi kemudian bersabda: “Shalatilah temanmu
itu oleh kalian.” Berkata Abu Qutadah: “Saya yang menanggung utangnya ya
Rasullullah.” Rasulullah SAW kemudian menyalatkannya. (HR. Bukhari dari
Salamah bin Akwa’).
4. Sabda Rasulullah SAW:

Artinya:
Allah menolong hamba selama hamba menolong saudaranya.
5. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf:

Artinya:
Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian
yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum
muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.

6. Kaidah fiqh:
36

Artinya:
Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil
yang mengharamkannya.

Artinya:
Bahaya (beban berat) harus dihilangkan.
Memperhatikan: Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syari'ah Nasional pada hari

Kamis, tanggal 8 Muharram 1421 H./13 April 2000.

MEMUTUSKAN

Menetapkan: FATWA TENTANG KAFALAH

Pertama: Ketentuan Umum Kafalah

1. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk

menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).

2. Dalam akad kafalah, penjamin dapat menerima imbalan (fee) sepanjang tidak

memberatkan.

3. Kafalah dengan imbalan bersifat mengikat dan tidak boleh dibatalkan secara

sepihak.

Kedua: Rukun dan Syarat Kafalah

1. Pihak Penjamin (Kafiil)

a. Baligh (dewasa) dan berakal sehat.

b. Berhak penuh untuk melakukan tindakan hukum dalam urusan hartanya dan

rela (ridha) dengan tanggungan kafalah tersebut.

2. Pihak Orang yang berutang (Ashiil, Makfuul ‘anhu)


37

a. Sanggup menyerahkan tanggungannya (piutang) kepada penjamin.

b. Dikenal oleh penjamin.

3. Pihak Orang yang Berpiutang (Makfuul Lahu)

a. Diketahui identitasnya.

b. Dapat hadir pada waktu akad atau memberikan kuasa.

c. Berakal sehat.

4. Obyek Penjaminan (Makful Bihi)


a. Merupakan tanggungan pihak/orang yang berutang, baik berupa uang, benda,

maupun pekerjaan.

b. Bisa dilaksanakan oleh penjamin.

c. Harus merupakan piutang mengikat (lazim), yang tidak mungkin hapus

kecuali setelah dibayar atau dibebaskan.

d. Harus jelas nilai, jumlah dan spesifikasinya.

e. Tidak bertentangan dengan syari’ah (diharamkan).

Ketiga: Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi

perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan


Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. 36

b. Dasar Hukum Kafalah

Kafalah hukumnya dibolehkan berdasarkan Al-Qur’an, sunnah, dan ijma’

1) Al-Qur’an

a) Q.S. Yusuf/12: 66

ٓ َّ ‫ٱَّلل لَت َ ۡأتُنَّنِي ِب ِ ٓۦه ِإ‬


َ ‫َل أَن يُ َحا‬
ُ‫م فَلَ َّما ٓ َءات َ ۡوه‬ٞۖۡ ‫ط بِ ُك‬ ِ ُ ‫قَا َل لَ ۡن أ ُ ۡر ِسلَ ۥهُ َمعَ ُك ۡم َحت َّ ٰى ت ُ ۡؤت‬
ِ َّ َ‫ون َم ۡوثِ ٗقا ِمن‬
ٞ ‫علَ ٰى َما نَقُو ُل َو ِك‬
٦٦ ‫يل‬ َّ ‫َم ۡو ِثقَ ُه ۡم قَا َل‬
َ ُ‫ٱَّلل‬
36
Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 11/DSN-MUI/IV/2000.
38

Terjemahnya:
Ya’qub berkata, Aku sekali-kali tidak akan melepaskannya (pergi) bersama-
sama kamu, sebelum kamu memberikan kepadaku janji yang teguh atas nama
Allah. Bahwa kamu pasti akan membawanya kepadaku kembali, kecuali kamu
dikepung musuh. Tatkala mereka memberikan janji mereka, maka Ya’qub
berkata Allah adalah saksi terhadap apa yang kita ucapkan ini.37

b) Q.S. Yusuf/12: 72

٧٢ ‫يم‬ٞ ‫ع ۡٱل َم ِل ِك َو ِل َمن َجا ٓ َء ِبِۦه ِحمۡ ُل بَ ِع ٖير َوأَن َ۠ا ِبِۦه زَ ِع‬ ُ ُ ‫قَالُواْ ن َۡف ِقد‬
َ ‫ص َوا‬

Terjemahnya:
Penyeru-penyeru itu berkata: “Kami kehilangan piala Raja, dan siapa yang
dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban
unta, dan aku menjamin terhadapnya.”38
Ayat di atas mengisahkan tentang apa yang dilakukan oleh Nabi Yusuf

terhadap saudara-saudaranya yang datang ke Mesir dan Yusuf telah diangkat sebagai

Raja. Tatkala saudaranya mau masuk istana, Yusuf memasukkan “tempat minum

dari emas” ke dalam karung yang berisi makanan. Kemudian para pengawal istana

mengumumkan bahwa raja kehilangan barang tersebut. Barangsiapa yang bisa

menemukan maka mereka akan menjadi penjamin (za’îm) atas hadiah yang akan

diberikan kepada orang tersebut.

Ayat di atas dapat dijadikan landasan hukum dalam kafâlah karena di sana

telah tercantum munculnya kesanggupan seseorang (dalam ayat tersebut dituturkan,

mereka adalah punggawa kerajaan) untuk menjadi penjamin atas hak yang akan

diberikan kepada orang lain (dalam ayat tersebut disebutkan siapapun yang bisa

37
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-qur’an dan Terjemahan, h. 243.
38
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-qur’an dan Terjemahan, h. 244.
39

menemukan tempat minum dari emas). Hal ini mengisyaratkan bahwa kesanggupan

tersebut adalah sesuatu yang diizinkan oleh Al-Qur’an. Hal ini memiliki keterkaitan

dengan akad kafâlah, sebab dalam kafâlah hal yang paling pokok di dalamnya adalah

munculnya kesanggupan tersebut untuk menjamin hak orang lain.

2) Hadist

،‫سلَّ َم‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬


َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ِ ‫سا ِع ْندَ النَّ ِبي‬ ً ‫ ُكنَّا ُجلُو‬:َ‫ قَال‬،ُ ‫ع ْنه‬ َّ ‫ي‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫ض‬ِ ‫ع َر‬ َ
ِ ‫سلَ َمةَ ب ِْن اۡل ْك َو‬ َ ‫ع ْن‬ َ
‫ «فَ َه ْل‬:َ‫ قَال‬،َ‫ َل‬:‫ قَالُوا‬،»‫علَ ْي ِه دَيْن؟‬ َ :‫ فَقَالُوا‬،ٍ‫ي بِ َجنَازَ ة‬ ُ
َ ‫ «ه َْل‬:َ‫ فَقَال‬،‫علَيْ َها‬ َ ‫ص ِل‬ َ ِ‫إِذْ أت‬
،َ‫ َل‬:‫ قَالُوا‬،»‫د ْيئًا؟‬ َ َ‫ص ِل ت َ َرك‬ َ ،‫َّللا‬ِ َّ ‫سو َل‬ ُ ‫ يَا َر‬:‫ فَقَالُوا‬،‫ي ِب َجنَازَ ةٍ أ ُ ْخ َرى‬ ُ
َ ِ‫ ث ُ َّم أت‬،‫علَ ْي ِه‬َ ‫صلَّى‬ َ
،‫ير‬ َ ‫ ثَالَثَةَ دَنَا ِن‬:‫ قَالُوا‬،»‫د ْيئًا؟‬ َ َ‫ «فَ َه ْل ت َ َرك‬:َ‫ قَال‬،‫ نَعَ ْم‬:َ‫علَ ْي ِه دَيْن؟» ِقيل‬ َ ‫ «ه َْل‬:َ‫ قَال‬،‫علَ ْي َها‬ َ
،َ‫ َل‬:‫ قَالُوا‬،»‫د ْيئًا؟‬ َ :‫ فَقَالُوا‬،‫ي بِالثَّا ِلث َ ِة‬ ُ َ ‫صلَّى‬
َ َ‫ «ه َْل ت َ َرك‬:َ‫ قَال‬،‫علَ ْي َها‬ َ ‫ص ِل‬ َ ِ‫ ث ُ َّم أت‬،‫علَيْ َها‬ َ َ‫ف‬
‫ قَا َل أَبُو‬،»‫اح ِب ُك ْم‬
ِ ‫ص‬َ ‫علَى‬ َ ‫صلُّوا‬ َ « :َ‫ قَال‬،‫ير‬ َ ِ‫ ثَالَثَةُ دَنَان‬:‫ قَالُوا‬،»‫علَ ْي ِه دَيْن؟‬ َ ‫ «فَ َه ْل‬:َ‫قَال‬
َ ‫صلَّى‬
‫علَ ْي ِه‬ َّ َ‫عل‬
َ َ‫ ف‬،ُ ‫ي دَ ْينُه‬ ِ َّ ‫سو َل‬
َ ‫َّللا َو‬ ُ ‫علَ ْي ِه يَا َر‬ َ ‫ص ِل‬ َ َ ‫قَتَادَة‬
Artinya:
Dari Salamah bin Al’Alwa ra. bahwa ke hadapan Nabi dibawa satu jenazah
untuk dishalatkan. Nabi kemudian bertanya: “Apakah ia mempunyai utang?”
Para sahabat menjawab: “Tidak.” Nabi kemudian menyalatkannya. Kemudian
dibawa lagi jenazah yang lain. Nabi bertanya: “Apakah ia mempunyai
utang?” Para sahabat menjawab: “Ya.” Nabi kemudian bersabda: “Shalatilah
temanmu itu oleh kalian.” Berkata Abu Qutadah: “Saya yang menanggung
utangnya ya Rasullullah.” Rasulullah SAW kemudian menyalatkannya. (HR.
Bukhari).
Hadits tersebut menceritakan sebuah kejadian pada zaman Rasulullah SAW

tentang seseorang yang meninggal dunia dan kepadanya masih memiliki


40

tanggungan hutang kepada orang lain. Saat jenazah orang tersebut dimintakan

kepada Nabi untuk dishalatkan, Nabi tidak mau melakukannya. Namun setelah

salah satu temannya (Abu Qatadah) mau menanggung hutang tersebut, Rasulullah

SAW menerima permintaan untuk menshalatkan jenazah tersebut. Dari preseden ini

dapat dipahami bahwa setelah Rasulullah mau menshalatkan jenazah, kewajiban

hutang yang menjadi beban jenazah tersebut beralih kepada Abu Qatadah yang telah

bersedia untuk menjamin hak piutang. Maka, Abu Qatadah adalah sudah menjadi
penjamin (al-kâfil) dari hutang jenazah. Berdasarkan kejadian ini kafâlah adalah

akad yang sah menurut syar’i.

c. Rukun d Kafalah

1) Menurut Mazhab Hanafi

Menurut mazhab Hanafiyah, rukun kafalah hanya satu, yaitu shighat (redaksi)

ijab dan qabul,39 maksudnya ijab dari pihak kafil (penjamin) dan qabul dari makful

lahu (pihak yang berpiutang atau yang memiliki hak).

2) Menurut Mazhab Syafi’I

Menurut mayoritas ulama, rukun kafalah ada empat, yaitu:


a) Ijab (Shighat)

b) Pihak penjamin/penanggung (kafil),

c) Pihak yang berhutang (makfulʻanhu/ashil),

d) Obyek jaminan (makful bih),

Ulama Syafi’iyyah menambahkan satu rukun lagi, yaitu:

e) Pihak yang berpiutang/pihak pemilik hak yang dijamin (makful lahu).40

39
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, h. 437.
41

Berdasarkan penjelasan diatas, rukun kafalah menurut pandangan Mazhab

Hanafi dan Syafi’I berbeda. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa rukun kafalah hanya

ada satu yaitu Ijab dan qabul (shighat). Sedangkan Mazhab Syafi’I berpendapat

bahwa rukun kafalah terdiri dari Ijab (Shighat), pihak penjamin/penanggung

(kâfil),pihak yang berhutang (makfulʻanhu/ashil), obyek jaminan (makful bih), pihak

yang berpiutang/pihak pemilik hak yang dijamin (makfûl lahu).

Berikut adalah skema aplikasi akad kafalah pada lembaga keuangan syariah

(LKS):41

PENANGGUNG TERTANGGUNG
Agunan
(BANK SYARIAH) (NASABAH)

DITANGGUNG
(PEMBERI KERJA)

Gambar 1.1
Skema Transaksi Kafalah

40
Wahbah Zuhailiy, Terjemahan Fiqh Islam Wa Adillatuhu, Jilid 6, (Jakarta: Gema Insani,
2011), h. 39
41
Ismail, Perbankan Syariah, (Jakarta: Kencana, 2017), h. 229.
42

Keterangan :

1) Nasabah mengajukan permohonan penjaminan kepada bank syariah atas suatu

pekerjaan yang dilaksanakan, dan bank syariah memberikan

penjaminan/garansi kepada pemberi kerja atas pekerjaan nasabah.

2) Atas penjaminan yang diberikan oleh bank syariah, maka bank syariah meminta

agunan kepada tertanggung/nasabah.


3) Nasabah wajib melaksanakan pekerjaan sesuai dengan kontrak antara nasabah

dan pemberi kerja.

4) Bila nasabah tidak melaksanakan pekerjaan sesuai dengan kontrak, maka bank

syariah akan menanggung kerugian.

4. Teori Ujrah

a. Pengertian Ujrah

Ujrah berasal dari kata al-ajru yang artinya menurut bahasa adalah al-iwad yang

berarti ganti atau upah. Sedangkan ujrah menurut istilah adalah akad yang berkenaan

dengan kemanfaatan, dengan memberikan pembayaran atau sewa tertentu.42 Adapun


pengertian ujrah menurut para ulama, antara lain sebagai berikut:

1) Menurut Hanafiyah

Ujrah ialah akad untuk membolehkan pemilikan manfaat yang diketahui dan

disengaja dari suatu zat yang disewa dengan imbalan.

Dalam transaksi yang menggunakan akad jaminan (kafalah) dilarang menerima

hadiah (upah) bagi kafil yang telah memberikan pinjaman atau jaminan kepada ashil

42
Dr. Sohari Sahrani, Fikih Muamalah, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), h.167.
43

kecuali sebelumnya ada kesepakatan di antara kedua pihak. Ulama Hanafi hanya

mensyaratkan adanya ijab dan qabul di antara kedua belah pihak, maka dapat

dipahami bahwa kesepakatan baik menyebutkan ujrah-nya atau tidak tetap sah

asalkan tidak ada unsur paksaan bagi salah satu pihak.

2) Menururt mazhab Syafi’I

Akad ijarah/ujrah adalah suatu akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung

maksud tertentu yang bisa diberikan dan dibolehkan dengan imbalan tertentu.

5. Kerangka Pikir
Kerangka pikir adalah sebuah gambaran atau model berupa konsep yang
didalamnya menjelaskan tentang hubungan antara variabel yang satu dengan variabel
yang lain. Hubungan tersebut dikemukakan dalam bentuk diagram atau skema
dengan tujuan untuk mempermudah memahami.43
Dalam penelitian ini peneliti peneliti memulai dengan melihat Fatwa Dewan
Syariah Nasional NO. 57/DSN-MUI /V/2007 Tentang Letter Of Credit dengan Akad
Kafalah Bi Al-ujrah Perspektif Mazhab Syafi’I dan Mazhab Hanafi. Penelitian ini
terfokus untuk mengetahui Fatwa Dewan Syariah Nasional NO. 57/DSN-
MUI/V/2007 Tentang Letter Of Credit dengan akad Kafalah Bi AL-Ujrah dengan
perbandingan 2 pendapat Mazhab yaitu Mazhab Syafi’I dan Hanafi. Dan
menitikberatkan pada bagaimana perbedaan dan persamaan pendapat para fuqaha’
mazhab Syafi’i dengan mazhab Hanafi mengenai akad kafalah yang disertai dengan
ujrah (upah) dalam transaksi ekspor impor menggunakan jasa pembiayaan Letter of

43
Muhammad Kamal Zubair, et al., eds., Pedoman Penulisan Karya Ilmiah IAIN Parepare,
(Parepare: IAIN Parepare Nusantara Press, 2020).
44

Credit.

Berdasarkan uraian diatas, disusunlah bagan kerangka pikir yang akan diteliti

sebagai berikut:

Fatwa DSN MUI NO


57/DSN-MUI/V/2007

Mazhab Syafi’i Mazhab Hanafi

Letter Of Credit

Kafalah Bi Al-Ujrah

Gambar 1.2. Bagan Kerangka Pikir


45

H. Metodologi Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini merujuk pada

Pedoman Penulisan Karya Tulis Ilmiah (Makalah dan Skripsi) yang diterbitkan

IAIN Parepare, tanpa mengabaikan buku-buku metodologi lainnya. Metode

penelitian dalam buku tersebut, mencakup beberapa bagian, yakni jenis penelitian,

lokasi dan waktu penelitian, focus penelitian, jenis dan sumber data yang
digunakan, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data.44

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini ditinjau dari sumber data termasuk penelitian (library

research) teknik library research adalah teknik yang digunakan karena pada

dasarnya setiap penelitian memerlukan bahan yang bersumber dari perpustakaan.45

Seperti halnya dilakukan oleh penulis, penulis membutuhkan buku-buku, karya

ilmiah dan berbagai literatur yang terkait dengan judul dan permasalahan yang

diangkat oleh penulis. Ditinjau dari sifat-sifat data maka termasuk penelitian

kualitatif.
Dengan penelitian kualitatif, perlu dilakukan analisis deskrptif. Metode

analisis deskriptif memberikan gambaran dan keterangan yang secara jelas,

objektif, sistematis, analitis dan kritis mengenai konsep sukuk dari kedua pendapat

ulama tersebut. Pendekatan kualitatif yang didasarkan pada langkah awal yang

ditempuh dengan mengumpulkan data-data yang dibutuhkan, kemudian dilakukan

44
Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Makalah dan Skripsi), Edisi Revisi
(Parepare: STAIN Parepare, 2013), h. 30-36.
45
S. Nasution, Metodologi Research (Penelitian Ilmiah), (Jakarta: Bumi Aksara 2007), h.145.
46

klarifikasi dan deskripsi.

2. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Sebab sumber data maupun

hasil penelitian dalam penelitian kepustakaan (library research) berupa deskripsi

kata-kata. Secara umum pendekatan penelitian kualitatif pada studi kepustakaan

sama dengan penelitian kualitatif yang lain. Yang menjadi perbedaan hanyalah

sumber data atau informasi yang dijadikan sebagai bahan penelitian. Metode
kualitatif digunakan untuk mendapatkan data yang mendalam, suatu data yang

mengandung makna. Penulis dalam penelitian ini akan menggali makna dari

informasi atau data empirik yang didapat dari buku-buku, hasil laporan penelitian

ilmiah atau pun resmi maupun dari literatur yang lain.

3. Jenis Data

Sebagai penelitian kepustakaan, maka sumber data ada dua macam yang akan

dipaparkan sebagai berikut:

a. Data Primer

Data primer yaitu sumber data penelitian dari referensi-referensi yang dijadikan
sumber utama acuan penelitian. Dalam penelitian ini, sumber primer yang digunakan

adalah buku-buku dan jurnal ilmiah yang secara resmi menjadi pegangan dalam

mempelajari ilmu ekonomi, dan buku terkait pemikiran Mazhab Syafi’I dan Hanafi

tentang Letter Of Kredit dengan akad kafalah bi Al-Ujrah dan Fatwa DSN No.

57/DSN-MUI/V/2007. Salah satunya adalah buku yang berjudul Fiqih Islam Wa

Adillatuhu yang disusun oleh Wahbah Zuhailiy.

b. Data Sekunder
47

Data sekunder adalah data pelengkap yang dapat dikorelasikan dengan data

primer, data tersebut sebagai bahan tambahan yang bersal dari sumber tertulis yang

terdiri atas sumber buku, majalah ilmiah, sumber dari arsip, dokumen pribadi,

disertasi atau tesis, jurnal, dan dokumen resmi. Data sekunder ini dapat menjadi

bahan pelengkap bagi penelitian untuk membuktikan penelitiannya menjadi lebih

valid, sehingga membantu peneliti untuk memecahkan masalah dan menyelesaikan

dengan baik. Dalam penelitian ini data sekunder yang dipakai peneliti adalah berupa
buku.

4. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan dokumentasi. Dokumentasi adalah cara

yang dilakukan untuk mengambil data dari dokumen-dokumen seperti buku, dan

internet yang berkaitan dengan Fatwa DSN No. 57/DSN-MUI/V/2007 tentang Letter

Of Credit dengan akad Kafalah Bi Al-Ujrah.

5. Metode Pengolahan Data

Setelah data berhasil dikumpulkan dari semua sumber, maka selanjutnya adalah

pengolahan data dengan teknik-teknik sebagai berikut:


a. Editing

Editing adalah pemeriksaan kembali semua data yang diperoleh terutama dari

segi kelengkapan data yang diperoleh, kejelasan makna, keselarasan antara data yang

ada dan relevansi dengan penelitian.

b. Coding dan Kategorisasi

Menyusun kembali data yang telah diperoleh dalam penelitian diperlukan,

kemudian melakukan pengkodean yang dilanjutkan dengan pelaksanaan kategorisasi

yang berarti penyusunan kategori.


48

Melakukan Penafsiran Data pada tahap ini, penulis mencoba menganalisis data

yang telah diperoleh dari penelitian untuk menghasilkan kesimpulan mengenai teori

yang akan digunakan disesuikan dengan kenyataan yang akan ditemukan yang

akhirnya merupakan sebuah jawaban dari rumusan masalah.

Langkah selanjutnya adalah menganalisis data. Analisis data adalah proses

mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil data dari buku

dan data dari halaman web sehingga dapat dengan mudah dipahami. Teknik analisis
data yang digunakan dalam penelitian ini ada analisis berupa isi (content analysis).

Anda mungkin juga menyukai