Saksimata
Saksimata
Ia berjalan
tertatih-tatih di tengah ruang pengadilan dengan
tangan meraba-raba udara.
"Terlalu!"
"Edan!"
"Sadis!"
"Saya, Pak."
"Diambil?"
"Saya, Pak."
"Maksudnya dioperasi?"
"Tidak, Pak."
"Saya, Pak."
"Saya, Pak."
"Lima, Pak."
"Bukan, Pak."
"Polisi?"
"Hansip barangkali?"
"Mukanya ditutupi?"
"Saya, Pak."
"Saya, Pak."
"Saya, Pak."
"Saya, Pak."
"Saya, Pak."
"Saya, Pak."
"Saya, Pak."
"Sekali lagi, apakah Saudara Saksi Mata masih
bersedia bersaksi?"
"Saya, Pak."
"Kenapa?"
Catatan
1. Tengkleng masakan khas Surakarta, semacam
sop tulang-belulang kambing dengan tempelan
daging di sana sini (tetelan), yang sangat digemari
sastrawan Danarto, yang memperkenalkannya
kepada penulis cerpen ini. Kadang-kadang yang
dimaksud tulang itu berwujud tengkorak kambing
yang masih ada matanya. Menurut koreografer
asal Surakarta, Sardono W. Kusumo, barangkali
masakan tengkleng merupakan sisa cara hidup
"kebudayaan
Sangiran", ketika Manusia Jawa, Homo
Pithecantropus Erectus-yang tulang-tulangnya
ditemukan oleh GHR von Koenigswald pada 1930,
di Sangiran, dekat Surakarta, maupun oleh
Eugene Dubois di Trinil pada 1891-masih lontang-
lantung di sana, antara 300.000 sampai 1.500.000
tahun yang lalu. Mungkinkah waktu itu Manusia
Jawa masih doyan mata orang?