Anda di halaman 1dari 21

Saksi mata itu datang tanpa mata.

Ia berjalan
tertatih-tatih di tengah ruang pengadilan dengan
tangan meraba-raba udara.

Dari lubang pada bekas tempat kedua matanya


mengucur darah yang begitu merah bagaikan
tiada warna merah yang lebih merah dari
merahnya darah yang mengucur perlahan-lahan
dan terus-menerus dari lubang mata itu.

Darah membasahi pipinya, membasahi bajunya,


membasahi celananya, membasahi sepatunya,
dan mengalir perlahan-lahan di lantai ruang
pengadilan yang sebetulnya sudah dipel bersih-
bersih dengan karbol yang tercium oleh para
pengunjung yang kini menjadi gempar dan
berteriak-teriak dengan emosi meluap-luap,
sementara para wartawan yang selalu
menanggapi peristiwa menggemparkan dengan
penuh gairah segera memotret Saksi Mata itu dari
segala sudut sampai menungging-nungging
sehingga lampu kilat yang berkeredep membuat
suasana makin panas.

"Terlalu!"
"Edan!"

"Sadis!"

Bapak Hakim yang Mulia, yang segera tersadar,


mengetuk-ngetukkan palunya. Dengan sisa
wibawa yang masih ada, ia mencoba
menenangkan keadaan. "Tenang Saudara-
Saudara! Tenang! Siapa yang mengganggu
jalannya pengadilan akan saya usir keluar
ruangan!"
Syukurlah para hadirin bisa ditenangkan. Mereka
juga ingin segera tahu, apa yang sebenarnya telah
terjadi.

"Saudara Saksi Mata."

"Saya, Pak."

"Di mana mata Saudara?"

"Diambil orang, Pak."

"Diambil?"

"Saya, Pak."

"Maksudnya dioperasi?"

"Bukan, Pak. Diambil pakai sendok."

"Haaa? Pakai sendok? Kenapa?"

"Saya tidak tahu kenapa, Pak, tapi katanya mau


dibikin tengkleng."

"Dibikin tengkleng¹? Terlalu! Siapa yang bilang."


"Yang mengambil mata saya, Pak."

"Tentu saja, Bego! Maksud saya siapa yang


mengambil mata Saudara pakai sendok?"
"Dia tidak bilang siapa namanya, Pak." "Saudara
tidak tanya, Bego?"

"Tidak, Pak."

"Dengar baik-baik, Bego, maksud saya seperti apa


rupa orang itu? Sebelum mata Saudara diambil
dengan sendok yang katanya untuk dibuat
tengkleng atau campuran sup kambing barangkali,
mata Saudara masih ada di tempatnya, kan?"

"Saya, Pak."

"Jadi, Saudara melihat seperti apa orangnya,


kan?"

"Saya, Pak."

"Coba ceritakan apa yang dilihat mata Saudara


yang sekarang mungkin sudah dimakan para
penggemar tengkleng itu."

Saksi Mata itu diam sejenak. Segenap pengunjung


di ruang pengadilan menahan napas.

"Ada beberapa orang, Pak."


"Berapa?"

"Lima, Pak."

"Seperti apa mereka?" "Saya tidak sempat


meneliti, Pak, habis mata saya keburu diambil,
sih."
"Masih ingat pakaiannya barangkali?"

"Yang jelas mereka berseragam, Pak."

Ruang pengadilan jadi riuh kembali. Seperti


dengungan seribu lebah. Hakim mengetuk-
ngetukkan palunya.

Suara lebah menghilang. "Seragam tentara


maksudnya?"

"Bukan, Pak."

"Polisi?"

"Bukan juga, Pak."

"Hansip barangkali?"

"Itu lho, Pak, yang hitam-hitam seperti di film."

"Mukanya ditutupi?"

"Iya, Pak, cuma kelihatan matanya."

"Aaah, saya tahu! Ninja², kan?"


"Nah, itu Pak, ninja! Mereka itulah yang
mengambil mata saya pakai sendok!"

Lagi-lagi hadirin ribut dan saling bergunjing seperti


di warung kopi. Lagi-lagi Bapak Hakim yang Mulia
mesti mengetuk-ngetukkan palu supaya orang
banyak itu menjadi tenang.
Darah masih menetes perlahan-lahan, tapi terus-
menerus dari lubang hitam bekas mata Saksi Mata
yang berdiri seperti patung di ruang pengadilan.
Darah mengalir di ruang pengadilan yang sudah
dipel dengan karbol. Darah mengalir memenuhi
ruang pengadilan sampai luber melewati pintu
menuruni tangga sampai ke halaman.

Tapi, orang-orang tidak melihatnya.

"Saudara Saksi Mata."

"Saya, Pak."

"Ngomong-ngomong, kenapa Saudara diam saja.


ketika mata Saudara diambil pakai sendok?"

"Mereka berlima, Pak."

"Saudara, kan, bisa teriak-teriak atau melempar


barang apa saja di dekat Saudara atau ngapain
kek supaya tetangga mendengar dan menolong
Saudara. Rumah Saudara, kan, di gang kumuh,
orang berbisik di sebelah rumah saja kedengeran,
tapi kenapa Saudara diam saja?"
"Habis, terjadinya dalam mimpi, sih, Pak."

Orang-orang tertawa. Hakim mengetuk lagi


dengan marah.

"Coba tenang sedikit! Ini ruang pengadilan, bukan


Srimulat!"
Ruang pengadilan itu terasa sumpek. Orang-orang
berkeringat, tetapi mereka tak mau beranjak.
Darah di halaman mengalir sampai ke tempat
parkir. Hakim meneruskan pertanyaannya.

"Saudara Saksi Mata tadi mengatakan terjadi di


dalam mimpi. Apakah maksud Saudara
kejadiannya begitu cepat seperti dalam mimpi?"

"Bukan, Pak, bukan seperti mimpi, tapi memang


terjadinya dalam mimpi, itu sebabnya saya diam
saja ketika mereka mau menyendok mata saya."

"Saudara serius? Jangan main-main, ya, nanti


Saudara harus mengucapkannya di bawah
sumpah."

"Sungguh mati saya serius, Pak, saya diam saja


karena

saya pikir, toh, terjadinya cuma dalam mimpi. Saya


malah ketawa-ketawa, Pak, waktu mereka bilang
mau dibikin tengkleng."

"Jadi, menurut Saudara Saksi Mata, segenap


pengambilan mata itu hanya terjadi dalam mimpi."
"Bukan hanya menurut saya, Pak, memang
terjadinya di dalam mimpi."

"Saudara, kan, bisa saja gila."

"Lho, ini bisa dibuktikan, Pak, banyak saksi yang


tahu kalau sepanjang malam saya cuma tidur,
Pak, dan selama tidur tidak ada orang yang
mengganggu saya, Pak."
"Jadi, terjadinya pasti di dalam mimpi, ya?"

"Saya, Pak."

"Tapi, waktu terbangun mata Saudara sudah tidak


ada?"

"Betul, Pak. Itu yang saya bingung. Kejadiannya di


dalam mimpi, tapi waktu bangun, kok, ternyata
betul- betul, ya?"

Hakim menggeleng-gelengkan kepala tidak bisa

mengerti. "Absurd," gumamnya.

Darah yang mengalir telah sampai ke jalan raya.

Apakah Saksi Mata yang sudah tidak punya mata


lagi masih bisa bersaksi? Tentu saja bisa, pikir
Bapak Hakim yang Mulia, bukankah ingatannya
tidak ikut terbawa oleh matanya?

"Saudara Saksi Mata."

"Saya, Pak."

"Apakah Saudara masih bisa bersaksi?"


"Saya siap, Pak. Itu sebabnya saya datang ke
pengadilan ini lebih dulu ketimbang ke dokter
mata, Pak." "Saudara Saksi Mata masih ingat
semua kejadian itu

meskipun sudah tidak bermata lagi?"


"Saya, Pak."

"Saudara masih ingat bagaimana pembantaian itu


terjadi?"

"Saya, Pak."

"Saudara masih ingat bagaimana mereka


menembak dengan serabutan dan orang-orang
tumbang seperti pohon pisang ditebang?"

"Saya, Pak."

"Saudara masih ingat bagaimana darah mengalir,


orang mengerang, dan mereka yang masih
setengah mati ditusuk dengan pisau sampai
mati?"

"Saya, Pak."

"Ingatlah semua itu baik-baik karena, meskipun


banyak saksi mata, tidak ada satu pun yang
bersedia menjadi saksi di pengadilan, kecuali
Saudara."

"Saya, Pak."
"Sekali lagi, apakah Saudara Saksi Mata masih
bersedia bersaksi?"

"Saya, Pak."

"Kenapa?"

"Demi keadilan dan kebenaran, Pak."


Ruang pengadilan jadi gemuruh. Semua orang
bertepuk tangan, termasuk Jaksa dan Pembela.
Banyak yang bersorak-sorak. Beberapa orang
mulai meneriakkan yel.

Bapak Hakim yang Mulia segera mengetukkan


palu wasiatnya.

"Husss! Jangan kampanye di sini!" ia berkata


dengan tegas.

"Sidang hari ini ditunda, dimulai lagi besok untuk


mendengar kesaksian Saudara Saksi Mata yang
sudah tidak punya mata lagi!"

Dengan sisa semangat, sekali lagi ia ketukkan


palu, tetapi palu itu patah. Orang-orang tertawa.
Para wartawan, yang terpaksa menulis berita kecil
karena tidak kuasa menulis berita besar, cepat-
cepat memotretnya. Klik-klik-klik-klik! Bapak Hakim
yang Mulia diabadikan sedang memegang palu
yang patah.

Dalam perjalanan pulang, Bapak Hakim yang


berkata kepada sopirnya. Mulia
"Bayangkanlah betapa seseorang harus
kehilangan kedua matanya demi keadilan dan
kebenaran. Tidakkah aku sebagai hamba hukum
mestinya berkorban lebih besar lagi?"

Sopir itu ingin menjawab dengan sesuatu yang

menghilangkan rasa bersalah, semacam kalimat,


"Keadilan
tidak buta". Namun, Bapak Hakim yang Mulia telah
tertidur dalam kemacetan jalanan yang
menjengkelkan.

Darah masih mengalir perlahan-lahan, tapi terus-


menerus sepanjang jalan raya sampai kota itu
banjir darah. Darah membasahi segenap pelosok
kota, bahkan merayapi gedung-gedung bertingkat
sampai tiada lagi tempat yang tidak menjadi
merah karena darah. Namun, ajaib, tiada seorang
pun melihatnya.

Ketika hari sudah menjadi malam, Saksi Mata


yang sudah tidak bermata itu berdoa sebelum
tidur. Ia berdoa agar kehidupan di dunia yang fana
ini baik-baik saja adanya agar segala sesuatu
berjalan dengan mulus dan semua orang
berbahagia.

Pada waktu tidur lagi-lagi ia bermimpi, lima orang


berseragam ninja mencabut lidahnya-kali ini
menggunakan catut.

Jakarta, 4 Maret 1992

Catatan
1. Tengkleng masakan khas Surakarta, semacam
sop tulang-belulang kambing dengan tempelan
daging di sana sini (tetelan), yang sangat digemari
sastrawan Danarto, yang memperkenalkannya
kepada penulis cerpen ini. Kadang-kadang yang
dimaksud tulang itu berwujud tengkorak kambing
yang masih ada matanya. Menurut koreografer
asal Surakarta, Sardono W. Kusumo, barangkali
masakan tengkleng merupakan sisa cara hidup
"kebudayaan
Sangiran", ketika Manusia Jawa, Homo
Pithecantropus Erectus-yang tulang-tulangnya
ditemukan oleh GHR von Koenigswald pada 1930,
di Sangiran, dekat Surakarta, maupun oleh
Eugene Dubois di Trinil pada 1891-masih lontang-
lantung di sana, antara 300.000 sampai 1.500.000
tahun yang lalu. Mungkinkah waktu itu Manusia
Jawa masih doyan mata orang?

Anda mungkin juga menyukai