Anda di halaman 1dari 23

BAB 4

PENINGKATAN KEAMANAN, KETERTIBAN, DAN


PENANGGULANGAN KRIMINALITAS

Pelaksanaan agenda aman dan damai dari aspek pembangunan


keamanan, ketertiban, dan penanggulangan kriminalitas sampai
dengan pertengahan 2009, secara umum menunjukkan hasil yang
memuaskan. Hal tersebut ditunjukkan dengan tidak adanya tindak
kriminalitas yang secara signifikan mengganggu aktivitas masyarakat
Indonesia. Di samping itu, maraknya kunjungan wisata ke Indonesia
- terutama untuk tujuan Pulau Bali sebagai tolok ukur utama
keamanan Indonesia - menunjukkan bahwa Indonesia di mata
internasional dianggap aman bagi wisatawan asing. Indikator lainnya
adalah suksesnya pelaksanaan beberapa kegiatan (event) berskala
dunia seperti United Nations Framework Convention on Climate
Change (UNFCCC) di Bali pada akhir tahun 2007 dan World Ocean
Conference (WOC) di Manado pada Mei 2009 yang melibatkan
banyak negara. Sementara itu tidak adanya gangguan yang berarti
dalam pelaksanaan Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden
tahun 2009 semakin menegaskan bahwa kondisi keamanan semakin
dirasakan oleh masyarakat.
Krisis global yang melanda hampir seluruh negara di dunia,
dan diprediksi belum segera berakhir, merupakan salah satu batu
sandungan dalam menciptakan kondisi keamanan dan ketertiban.
Menurunnya kejayaan ekonomi negara-negara maju, khususnya
Amerika Serikat, mengakibatkan pertumbuhan ekonomi merosot
drastis, nilai ekspor negara-negara berkembang menurun, dan
investasi kurang menggairahkan. Kondisi tersebut mengakibatkan
tingginya angka pengangguran dan menurunnya daya beli
masyarakat. Di samping itu, beberapa kebijakan dalam negeri yang
dianggap tidak berpihak pada kepentingan rakyat merupakan potensi
kriminalitas yang sewaktu-waktu dapat berubah menjadi tindakan
nyata. Oleh karena itu, tidak dapat disangkal bahwa berbagai tindak
kriminal seperti kejahatan konvensional maupun transnasional,
konflik horizontal dan vertikal, penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkoba, serta berbagai bentuk kriminalitas yang lainnya, baik secara
kuantitas maupun kualitas, masih menunjukkan angka yang cukup
tinggi. Di sisi lain, upaya meningkatkan profesionalitas aparat
keamanan, baik melalui peningkatan kompetensi, pendidikan dan
latihan, peningkatan intensitas kehadiran polisi di masyarakat,
maupun peningkatan kesejahteraan (antara lain melalui remunerasi)
tidak serta merta menurunkan tingkat pelanggaran disiplin kode etik
kepolisian.
Dengan demikian peningkatan keamanan, ketertiban dan
penanggulangan kriminalitas masih perlu dijadikan prioritas dalam
pembangunan jangka menengah periode 2010 – 2014. Keberhasilan
program itu akan turut menentukan keberhasilan pembangunan di
segala bidang.

I. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI


Tingginya tuntutan hidup dan dihadapkan pada rendahnya
daya beli masyarakat sebagai konsekuensi krisis global yang sangat
berpengaruh kepada kondisi perekonomian nasional, berdampak
pada semakin tingginya intensitas kejahatan, khususnya kejahatan
konvensional. Banyaknya angkatan kerja yang tidak terserap ke
pasar kerja, kesenjangan kesejahteraan, dan munculnya enclave atau
kantong-kantong masyarakat yang relatif lebih sejahtera merupakan
faktor korelatif kriminogen yang apabila tidak dapat dikelola dengan
baik berpotensi meningkatkan tindak kriminalitas. Di samping itu,
pesatnya teknologi informatika dan telematika turut mendukung
munculnya jenis-jenis kejahatan baru yang tidak diprediksi
sebelumnya seperti penyebaran pornografi, pencemaran nama baik
04 - 2

 
melalui foto-foto mesum, penipuan dengan beraneka ragam modus
operandi, atau perdagangan perempuan, baik melalui surat menyurat
singkat (short message service/SMS) maupun melalui jaringan
internet. Akses informasi dan telematika yang dapat menjangkau
seluruh pelosok negeri seperti televisi, handphone, dan internet dapat
menginspirasi masyarakat untuk bertindak kriminal layaknya
kejahatan perkotaan.
Sebagai bagian masyarakat global dan dengan pintu-pintu
perbatasan darat dan laut yang relatif terbuka menjadikan wilayah
Indonesia sebagai mata rantai kejahatan lintas negara seperti
narkotika, perdagangan manusia (human trafficking), atau terorisme.
Sementara itu, kejahatan konvensional dan kejahatan yang
berimplikasi kontingensi lebih banyak disebabkan oleh kondisi sosial
dan ekonomi dalam negeri, intensitasnya cenderung meningkat. Di
sisi lain, kemampuan aparat keamanan dalam melakukan penjagaan,
pengawalan dan patroli belum didukung oleh sistem pelaporan
kejahatan termasuk sistem emergensi nasional dan penanganan
kejahatan yang modern. Akibatnya, banyak laporan kejahatan yang
menimpa masyarakat tidak dapat direspon dengan cepat dan tepat,
sehingga pada banyak kasus kejahatan tidak dapat dicegah.
Dalam berbagai kerumunan massa seperti pertunjukan konser
musik, aktivitas keagamaan (pembayaran zakat), kegiatan (event)
olah raga, atau aksi-aksi demonstrasi masih banyak dijumpai jatuh
korban sia-sia akibat ketidakteraturan yang ditimbulkan oleh
masyarakat itu sendiri. Dalam berbagai kasus, koordinasi panitia
kegiatan yang menimbulkan kerumunan massal dengan aparat
keamanan tidak dapat berjalan dengan efektif. Hal ini ditunjukkan
pada proses pembagian zakat oleh seorang dermawan di Jawa Timur
yang menewaskan 21 orang akibat berdesak-desakan, konser musik
di Gedung Asia Afrika Culture Center (AACC) yang menewaskan
10 orang, dan masih banyak lagi kasus yang pada intinya timbul
karena sistem pengamanan tidak dapat disiapkan secara matang.
Kasus paling aktual adalah aksi demo menuntut pembentukan
Provinsi Tapanuli pada tanggal 3 Februari 2009 yang berujung pada
tewasnya Ketua DPRD Sumatra Utara, Abdul Aziz Angkat. Kejadian

04 - 3

 
tragis yang menyerang simbol kedaulatan negara dan menodai
demokrasi tersebut menunjukkan kekurangsigapan aparat keamanan
dalam mengamankan aksi tersebut. Oleh karena itu, kehadiran aparat
keamanan sebagai pengayom dan pelindung masyarakat perlu
ditingkatkan agar jatuhnya korban sia-sia tidak terulang.
Penuntasan perkara kejahatan baik kejahatan konvensional,
transnasional, kejahatan terhadap kekayaan negara, maupun
kejahatan berimplikas kontingensi rata-rata masih bertengger pada
kisaran 52 persen setiap tahunnya. Bahkan apabila dilihat tingkat
keberhasilannya, proporsi penuntasan kejahatan konvensional relatif
paling rendah dibandingkan dengan kejahatan yang lainnya.
Kejahatan transnasional, kejahatan terhadap kekayaan negara,
maupun kejahatan berimplikasi kontingensi yang cenderung
memiliki nilai politis relatif pencapaian keberhasilannya lebih tinggi.
Hal itu menunjukkan bahwa langkah penuntasan belum secara
maksimal menyentuh keselamatan masyarakat sebagai hak dasar atas
keamanan dan kenyamanan dalam beraktivitas. Di sisi lain,
permasalahan yang masih dihadapi institusi adalah proses
penyelidikan dan penyidikan belum didukung kemampuan sumber
daya manusia dan teknologi penyidikan yang memadai, dan
dukungan biaya penyidikan yang sangat kecil. Banyaknya kasus
salah tangkap dan kekerasan yang menimpa para tersangka telah
menimbulkan keprihatinan akan akuntabilitas penuntasan perkara.
Salah satu indikator keberhasilan pelaksanaan tugas dan fungsi
kepolisian, terutama dalam hal penanganan tindak kriminalitas,
adalah seberapa besar partisipasi masyarakat dalam melaporkan
tindak kejahatan yang dialaminya. Tanpa laporan dari masyarakat,
polisi tidak dapat melakukan langkah penyelidikan dan penyidikan
terhadap suatu kasus kejahatan yang menimpa masyarakat. Sayang
sampai saat ini lembaga kepolisian belum sepenuhnya mendapatkan
kepercayaan dari masyarakat. Seringkali masyarakat merasa tidak
nyaman bila berhubungan dengan lembaga kepolisian karena proses
yang berbelit-belit, makan waktu yang lama, dan membutuhkan
biaya yang tidak sedikit. Bahkan, masih banyaknya anggota Polri
yang melakukan tindakan menyimpang dari tugas pokok dan

04 - 4

 
fungsinya berupa pelanggaran kode etik dan tindak pidana, seperti
narkoba, penganiayaan, pencurian, perjudian, dan perbuatan tidak
menyenangkan yang pada tahun 2008 kasusnya mencapai hampir 2,5
persen dari total anggota Polri, menjadikan lembaga kepolisian
belum sepenuhnya menjadi andalan masyarakat dalam mengatasi
gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat. Hal ini ditunjukkan
oleh masih banyaknya main hakim terhadap penyelesaian kejahatan
di masyarakat atau dengan cara menyewa pengamanan swasta yang
seringkali bertindak bengis dan anarkhis.
Misi pemerintah Indonesia dalam mendukung kawasan
ASEAN bebas narkoba pada tahun 2015 masih dibayang-bayangi
oleh tingginya tingkat kejahatan penyalahgunaan narkoba. Dalam
kurun waktu tahun 2000 sampai dengan pertengahan tahun 2008
kasus tindak pidana narkoba meningkat lebih dari 7 (tujuh) kali lipat,
dengan kecenderungan tersangka semakin muda usianya. Kondisi ini
akan sangat membahayakan perkembangan generasi bangsa bila
tidak mampu dikelola secara lebih baik. Apalagi kesadaran untuk
melakukan terapi dan rehabilitasi di kalangan masyarakat masih
rendah (berkisar 10 persen) karena dianggap sebagai aib keluarga.
Untuk menekan tindak kejahatan dan penyalahgunaan narkoba,
Pemerintah telah melakukan berbagai upaya penindakan dan
pencegahan. Dalam 10 (sepuluh) tahun terakhir puluhan ribu kasus
penyalahgunaan narkoba berhasil di selesaikan, puluhan produsen
gelap narkoba dalam skala kecil dan besar berhasil diungkap, dan
lebih dari 70 orang diputus pidana mati, 5 (lima) diantaranya telah
dieksekusi mati. Sementara itu dalam upaya meningkatkan upaya
terapi dan rehabilitasi korban penyalahgunaan narkotika, Unit Terapi
dan Rehabilitasi BNN semakin meningkatkan pelayanannya. Namun,
upaya tersebut tampaknya tidak mengurangi keinginan pelaku
kejahatan narkoba untuk berkecimpung di jalur supply dan demand,
mengingat tingginya nilai ekonomi narkoba. Laporan World Drug
Report tahun 2008 menempatkan Indonesia sebagai salah satu dari
10 (sepuluh) negara terbesar yang melakukan penyitaan metafetamin
dan memiliki kisaran harga narkoba cukup tinggi dibandingkan
dengan negara-negara Asia lainnya. Dengan demikian, Indonesia

04 - 5

 
dapat dikatakan sebagai negara produsen sekaligus pasar potensial
dalam perdagangan narkoba internasional.
Luasnya wilayah perairan Indonesia yang dihadapkan pada
keterbatasan sarana dan prasarana penjagaan terutama kapal patroli,
surveillance system, dan pos-pos pertahanan dan keamanan
mengakibatkan masih banyaknya area kosong (blank spot) yang
tidak terjangkau operasi pengawasan dan pengamanan. Di samping
itu, intensitas operasi juga sangat terbatas baik yang dilakukan secara
terpadu maupun secara mandiri oleh lembaga-lembaga yang
berwenang di laut. Akibatnya banyak gangguan keamanan dan
pelanggaran hukum di wilayah yuridiksi NKRI tidak dapat ditangani
sehingga merugikan negara triliunan rupiah setiap tahunnya.
Pembentukan Badan Keamanan Laut dan Pantai (Sea and Coast
Guard) sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2008 tentang Pelayaran, yang sampai saat ini belum dapat
direalisisasikan, diharapkan dapat meningkatkan kinerja pengamanan
dan pengawasan di laut. Sementara itu, Angkatan Laut yang
merupakan kekuatan utama di laut, selain dihadapkan pada
keterbatasan kapal, fokus operasinya berada di wilayah ZEE dan
dalam rangka penegakan kedaulatan NKRI, sehingga perannya
kurang optimal dalam menangani gangguan keamanan dan
pelanggaran hukum di wilayah NKRI.
Wilayah internasional di Selat Malaka dan tiga jalur ALKI
secara umum kondisinya semakin aman, terutama dari tindak
kejahatan perompakan yang menimpa kapal-kapal asing. Dalam
kurun waktu 4 (empat) tahun terakhir di Selat Malaka, telah terjadi
penurunan aksi perompakan yang sangat signifikan yaitu lebih dari 5
kali. Namun demikian dunia pelayaran internasional masih
menempatkan Selat Malaka dan perairan internasional Indonesia
lainnya sebagai wilayah yang relatif berbahaya bagi pelayaran kapal-
kapal asing. Di sisi lain, munculnya Resolusi Dewan Keamanan PBB
Nomor 1816 pada tanggal 2 Juni 2008 yang memberikan
kewenangan kepada cooperating states untuk melakukan penegakan
hukum terhadap perompak di sekitar perairan Somalia, dapat
memunculkan kekhawatiran bagi negara-negara pantai dan

04 - 6

 
merupakan tantangan bagi Indonesia – Singapura – Malaysia untuk
meningkatkan kerja sama trilateral pengamanan Selat Malaka.
Meningkatnya potensi gangguan keamanan dalam negeri baik
karena faktor eksternal (luar negeri) maupun internal (dalam negeri)
memerlukan peningkatan langkah antisipasi, terutama pengamanan
rahasia negara dan deteksi dini agar potensi gangguan keamanan
tersebut dapat diredam. Namun, cakupan pengamanan rahasia negara
yang belum mencapai separuh dari yang direncanakan, berpotensi
terjadinya kebocoran rahasia negara. Masih banyak daerah dan kota
strategis belum terjangkau sistem persandian nasional (Sisdinas),
yang berpotensi mengganggu komunikasi strategis di antara
pimpinan pemerintah di pusat dan di daerah. Di sisi lain,
ketertinggalan teknologi deteksi dini dapat mengganggu kinerja
intelijen dalam pengumpulan data gangguan keamanan nasional.
Deteksi dini yang pada hakikatnya adalah fungsi intelijen dan
kontra-intelijen merupakan kunci utama dan penentu awal
penciptaan keamanan nasional yang meliputi pertahanan (defense),
keamanan dalam negeri (homeland security) serta keamanan sosial/
insani (social/ human security). Di seluruh dunia, deteksi dini ini
merupakan sumber utama pengambilan keputusan dan kebijakan
oleh pimpinan negara (The Mother of Information and Policy). Di
berbagai negara di dunia, terutama Amerika Serikat dan Eropa,
setiap pagi sebelum memulai aktivitas, pimpinan negara meminta
dan mendengarkan briefing yang terkait dengan deteksi dini dan
situasi nasional/ internasional terkini. Dengan semakin derasnya arus
informasi dan kondisi informasi yang asimetrik, dalam 5 (lima) tahun
mendatang aspek deteksi dini sangat dibutuhkan oleh pemimpin
negara dan para pengambil keputusan serta sangat relevan untuk
dijadikan prioritas.
Pembalakan kayu secara liar dan penyelundupan kayu masih
terjadi di hutan Indonesia. Kejahatan tersebut tidak saja dilakukan
oleh pelaku dari dalam negeri, tetapi juga warga negara asing dari
negara tetangga yang berperan aktif memfasilitasi perdagangan kayu
hasil pembalakan liar. Sementara itu, penegakan hukum belum
berjalan secara konsisten dan pemahaman tentang peraturan
04 - 7

 
perundangan-undangan antarinstansi penegak hukum juga belum
sejalan sehingga penerapan mandat Undang-Undang No. 41 Tahun
1999 belum bisa optimal. Masih maraknya praktik pembalakan liar
merupakan ancaman serius bagi keberlanjutan fungsi hutan, baik
fungsi ekonomis, ekologis, maupun sosial. Kerugian hutan Indonesia
akibat praktik pembalakan liar diperkirakan mencapai US$ 5,7 miliar
atau sekitar Rp46,74 triliun per tahun, belum termasuk nilai kerugian
dari aspek ekologis seperti musnahnya spesies langka, terganggunya
daerah aliran sungai yang berimbas pada kehidupan manusia dan
sekitarnya yang berpotensi menimbulkan dampak bencana, seperti
tanah longsor, kebakaran hutan, dan kekeringan. Upaya untuk
mengatasi masalah pencurian kayu ini sangat sulit karena pelakunya
memiliki jaringan yang sangat luas dan sulit tersentuh.
Berdasarkan berbagai permasalahan tersebut, tantangan yang
dihadapi dalam rangka meningkatkan keamanan, ketertiban, dan
penanggulangan kriminalitas adalah menurunkan tingkat kriminalitas
agar aktivitas masyarakat dapat berjalan secara wajar. Keberhasilan
dalam menurunkan tingkat kriminalitas akan menjadi landasan bagi
keberlangsungan pembangunan secara keseluruhan. Di samping itu,
profesionalitas aparat keamanan dalam menyelesaikan kasus
kriminal, mengungkap jaringan kejahatan transnasional, mencegah
terjadinya konflik komunal, serta mengamankan laut dari gangguan
keamanan, dan pencurian kekayaan negara merupakan determinan
penting bagi kepercayaan masyarakat dan dunia usaha terhadap iklim
investasi di Indonesia. Selanjutnya, pembenahan secara internal
terkait dengan disiplin para anggota Polri yang cenderung menurun
merupakan salah satu tantangan dalam meningkatkan citra kepolisian
di masyarakat.

II. LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN DAN HASIL-


HASIL YANG DICAPAI
Langkah kebijakan yang ditempuh dalam upaya meningkatkan
keamanan, ketertiban, dan penanggulangan kriminalitas adalah
sebagai berikut.

04 - 8

 
1. Peningkatan kemampuan dan pemantapan koordinasi lintas
sektoral dan lintas wilayah dalam rangka meningkatkan
keamanan dan ketertiban, penanggulangan kriminalitas
termasuk penanganan perdagangan orang (perempuan dan
anak), serta penanganan dan pencegahan tindak kekerasan
dalam rumah tangga (KDRT).
2. Penurunan kejadian kriminal (criminal index) melalui: (a)
meningkatkan penjagaan, pengawalan dan patroli rutin di
ruang publik dan wilayah permukiman; dan (b) modernisasi
sistem pelaporan kejahatan termasuk sistem emergensi
nasional dan penanganan kejahatan secara cepat.
3. Peningkatan penuntasan kejahatan melalui: (a) peningkatan
SDM dan teknologi lidik dan sidik; dan (b) peningkatan
akuntabilitas penuntasan perkara.
4. Peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga
kepolisian melalui : (a) peningkatan kinerja dan transparansi
lembaga kepolisian; dan (b) perbaikan tata kelola complain
resolution dari masyarakat.
5. Pembinaan toleransi terhadap keberagaman dan penghargaan
pluralitas; penegakan hukum non-diskriminatif; dan
pemolisian masyarakat (community policing) untuk
pemantapan pemeliharaan kamtibmas.
6. Peningkatan kemampuan mencegah, menangkal dan
menindak, serta penegakan hukum terhadap penyalahgunaan
dan peredaran gelap narkoba baik di pusat maupun di daerah,
khususnya kepada produsen, jaringan dan pengedar narkoba
melalui upaya interdiksi darat, laut dan udara, serta kerja sama
antarlembaga terkait maupun internasional.
7. Peningkatan pelayanan therapi dan rehabilitasi korban
penyalahgunaan narkoba, sosialisasi bahaya narkoba, serta
pemutusan aktivitas jaringan peredaran dan produksi narkoba;
serta upaya-upaya penelitian dan pengembangan di bidang
P4GN.

04 - 9

 
8. Peningkatan koordinasi dan pelaksanaan penanganan
keamanan jalur pelayaran perdagangan dan distribusi
internasional serta peningkatan kerja sama pengamanan
wilayah perbatasan baik secara internal maupun eksternal luar
negeri.
9. Peningkatan upaya pencegahan dan penindakan kegiatan
illegal logging, illegal mining dan illegal fishing guna menjaga
sustainabilitas pemanfaatan sumber daya alam dan dalam
rangka mendukung perlambatan perubahan iklim.
10. Peningkatan perlindungan informasi negara melalui
peningkatan tata kelola pengumpulan, penyimpanan,
transmisi, dan penerimaan informasi negara.
11. Peningkatan pemantauan dan deteksi dini melalui peningkatan
kapasitas dan modernisasi teknologi intelijen;

Dalam kurun waktu 2005 sampai dengan pertengahan 2009,


hasil-hasil penting yang telah dicapai adalah sebagai berikut.
1. Pembangunan lembaga intelijen yang dilakukan melalui
pengembangan SDM intelijen, pengadaan peralatan intelijen,
pengembangan sistem informasi intelijen, dan jaringan
komunikasi intelijen mampu mewujudkan kemampuan
lembaga intelijen dalam menjalankan tugas pokok dan
fungsinya baik secara internal maupun antarlembaga pusat dan
daerah. Sementara itu, terlaksananya operasi kontraintelijen
dan operasi intelijen mampu meningkatkan daya tangkal
intelijen; terdeteksi dan tereliminasinya ancaman, tantangan,
gangguan dan hambatan keamanan yang berasal dari dalam
dan luar negeri; tereliminasinya ancaman terorisme di dalam
negeri; tertanggulanginya ancaman separatisme, dan
tertanggulanginya gangguan keamanan dan ketertiban
masyarakat. Sebagai bagian masyarakat intelijen, Indonesia
secara berkelanjutan terus melakukan kerja sama intelijen
terpadu, baik antar - intelligence community dalam negeri,
kerja sama institusi intelijen negara-negara ASEAN, maupun
04 - 10

 
dengan masyarakat internasional berupa intelligence exchange
dan mutual legal assistance. Kerja sama intelijen tersebut di
masa mendatang diharapkan akan terus ditingkatkan seiring
dengan makin meningkatnya tantangan keamanan nasional,
regional, maupun global, baik berupa kejahatan yang bersifat
tradisional maupun kejahatan-kejahatan jenis baru.
2. Seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi khususnya di bidang kriptografi serta perubahan
hakekat ancaman terhadap informasi yang berklasifikasi
rahasia, Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) terus melakukan
pembinaan terhadap sumber daya manusia, perangkat keras
persandian, dan perangkat lunak persandian. Pembinaan
sumber daya manusia persandian dilakukan melalui pendidikan
dan latihan, baik pada strata D-IV, S1, dan S-2 bidang
persandian maupun bidang umum. Pembinaan perangkat keras
dilaksanakan melalui aplikasi peralatan sandi yang “fully
national algorithm” yang memenuhi tuntutan pengguna yaitu
instansi pemerintah, VIP, dan VVIP bagi pejabat pemerintah
dalam hal kecepatan kirim terima informasi rahasia. Sementara
itu, pembinaan perangkat lunak di antaranya dengan
melakukan bimbingan teknis pembentukan UPT persandian,
optimalisasi pemanfaatan fungsi persandian di instansi
pemerintah, serta melakukan langkah-langkah penyelesaian
RUU Rahasia Negara. Anggaran yang diterima Lemsaneg
sampai dengan tahun 2009 baru memenuhi 43,56 persen
penyelenggaraan sistem persandian negara (SISDINA).
Konsekuensi dari keterbatasan anggaran ini, sampai dengan
tahun 2009, institusi pemerintah yang telah menyelenggarakan
sistem persandian negara baru mencapai 40 persen dengan
dukungan peralatan sandi Fully Electronic dari Lemsaneg.
3. Kondisi keamanan dan ketertiban secara umum semakin
dirasakan lebih baik oleh masyarakat dan dunia usaha. Dalam
lima tahun terakhir, dapat dikatakan hampir tidak ada
gangguan keamanan dan ketertiban yang menonjol yang
berpotensi mengganggu aktivitas masyarakat dan dunia usaha.

04 - 11

 
Masih tingginya tingkat kriminalitas, lebih banyak diakibatkan
oleh kondisi sosial ekonomi masyarakat yang kurang
menguntungkan. Namun, hal tersebut secara umum dapat
diantisipasi dan ditangani oleh aparat keamanan. Di wilayah-
wilayah yang dahulu akrab dengan konflik seperti Aceh,
Papua, Maluku, Poso, dan Sampit secara umum telah tercipta
rasa keadilan, kepastian hukum, keamanan yang kondusif,
kehidupan yang harmonis, serta pulihnya sarana dan prasarana
sosial. Kekhawatiran akan terjadinya kekacauan pada proses
Pemilu 2009, khususnya di NAD, tidak terbukti karena Pemilu
itu berlangsung secara damai. Demikian juga, silang pendapat
tentang hasil pemilihan anggota legislatif tidak sampai
menimbulkan benturan-benturan yang berujung anarkhis.
4. Untuk memenuhi target rasio polisi ideal, yaitu 1:500, pada
tahun 2008 telah direkrut sebanyak 10.812 orang (92,39
persen) dari target 11.702 orang. Dengan adanya penambahan
(recruitment/intake) tersebut, jumlah anggota Polri sampai
dengan akhir tahun 2008 mencapai 381.438 orang dengan
rasio 1:578. Diharapkan pada akhir tahun 2009, sasaran rasio
polisi ideal 1:500 dapat tercapai. Peningkatan kemampuan
Polri selain diupayakan melalui peningkatan kuantitas
personel, juga ditempuh dengan upaya peningkatan kualitas
personel melalui pendidikan sarjana lanjutan (S2), baik di
universitas-universitas di dalam negeri maupun di luar negeri.
Di dalam negeri, proses penerimaan Taruna dan Taruni
AKPOL telah mendapatkan sertifikat standar manajemen mutu
ISO 9001 : 2000 karena berjalan secara bersih, transparan,
akuntabel dan humanis, serta melibatkan pengawasan
eksternal dari lembaga di luar Polri. Selanjutnya, untuk
menunjang keberhasilan tugas operasional, pemeliharaan
keamanan, dan penanggulangan kejahatan, latihan bersama
dan kerja sama operasional di lapangan secara berkelanjutan
terus dilaksanakan dengan negara-negara yang berbatasan
langsung, khususnya Malaysia, Singapura, Filipina, Timor
Leste, Australia, dan Selandia Baru.

04 - 12

 
5. Dalam beberapa kasus, seringkali WNI yang berada di luar
negeri, khususnya TKI/TKW, terjerat masalah hukum dan
tindak kesewenangan dari majikan yang mempekerjakannya
seperti mengalami penyiksaan, tidak dibayar, pelecehan
seksual, atau kerja melebihi batas waktu. Pada tahun 2006 TKI
bermasalah mencapai 53.843 kasus, tahun 2007 mencapai
54.537 kasus, dan tahun 2008 mencapai 45.626 kasus. Pada
tahun 2008, TKI paling banyak mengalami masalah ada di
Arab Saudi (22.035 kasus atau 48,7 persen). Urutan kedua di
negara Taiwan (4.497 kasus atau 9,9 persen) dan urutan ketiga
di Uni Emirat Arab (3.866 kasus atau 8,5 persen). Dalam
rangka memberikan perlindungan bagi WNI yang berada di
luar negeri dan untuk memfasilitasi penanganan perkara yang
melibatkan WNI di luar negeri, secara bertahap telah
ditempatkan perwira penghubung di bidang kepolisian (Senior
Liasion Officer/Liasion Officer – SLO) di berbagai negara
seperti Amerika Serikat, Arab Saudi, Malaysia, Filipina,
Thailand, Timor Leste, dan Australia. Di masa mendatang,
penempatan SLO dapat dikembangkan di negara-negara lain
yang intensitas kejadian perkaranya cukup tinggi, terutama
negara-negara yang banyak terdapat TKI seperti Singapura,
Hongkong, Jepang, Syria, dan beberapa negara di Timur
Tengah.
6. Pengungkapan perkara dari 4 (empat) golongan jenis
kejahatan, yaitu kejahatan konvensional, kejahatan
transnasional, kejahatan terhadap kekayaan negara, dan
kejahatan berimplikasi kontingensi tahun 2005 sampai dengan
2009 adalah sebagaimana tersaji dalam table 4.1. Dari ke-4
jenis kejahatan tersebut, kejahatan konvensional tingkat
penyelesaiannya (clearing rate) relatif meningkat, tetapi masih
pada kisaran 50 persen (Tabel 4.1).
7. Terkait dengan penindakan kasus korupsi, pola penindakan
hukum dilakukan secara tegas tanpa pandang bulu dan dengan
penekanan kepada upaya pengembalian kerugian negara
semaksimal mungkin. Bahkan dalam upaya pengembalian

04 - 13

 
kerugian negara, pada sidang Regional Conference ICPO
INTERPOL ke-19 tanggal 19 April 2006 di Jakarta telah 
disepakati korupsi sebagai salah satu bentuk kejahatan
transnasional yang menjadi sasaran kerja sama Interpol.

Tabel 4.1.
Kasus Tindak Pidana dan Tingkat Penyelesaiannya
2005 – 2009*)
(Kasus)
Uraian 2004 2005 2006 2007 2008 2009*

Kejahatan Konvensional
Jumlah Kasus 115.404 161.671 168.685 244.875 147.904 109.176
Jumlah Kasus 56.495 72.888 75.487 114.875 75.583 57.456
Terselesaikan
Tingkat Penyelesaian 48.95 45.08 44.75 46.91 51.10 50.00
Perkara (%)

Kejahatan
Transnasional
Jumlah Kasus 3.126 3.441 9.331 5.391 13.154 1.580
Jumlah Kasus 3.154 3.471 8.702 5.009 12.459 1.456
Terselesaikan
Tingkat Penyelesaian 100.90 100.87 93.26 92.91 94.67 92.00
Perkara (%)

Kejahatan terhadap
Kekayaan Negara
Jumlah Kasus 1.617 3.049 4.327 2.559 1.149 1.476
Jumlah Kasus 1.249 2.335 2.859 1.816 1.030 1.388
Terselesaikan
Tingkat Penyelesaian 77.24 76.58 66.07 69.87 89.64 94.00
Perkara (%)

Kejahatan Berimplikasi
Kontingensi
Jumlah Kasus 30 147 273 1.486 9 35
Jumlah Kasus 8 95 69 464 9 35
Terselesaikan
Tingkat Penyelesaian 26.67 64.62 25.27 31.22 100.00 100.00
Perkara (%)

Indeks Kriminalitas 91 110 104 140.89 128.81 37


Sumber:Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia
Keterangan:*) Angka Triwulan II 2009

04 - 14

 
Sejauh ini Pemerintah tidak pernah mengintervensi aparat
hukum dalam menangani kasus korupsi, baik dalam skala
besar maupun skala kecil. Dalam kurun waktu 2005–2008,
Polri berhasil menangani kasus korupsi sebanyak 1.096
perkara yang merugikan negara lebih dari Rp2,10 triliun dan
berhasil diselesaikan sebanyak 795 perkara (72,54 persen).
Semangat memerangi korupsi yang terus menggelora
diharapkan dapat semakin menambah kepercayaan dunia
internasional khususnya para invenstor kepada Indonesia.
Untuk itu, kerja sama interpol terus diintensifkan, baik dalam
upaya pengejaran pelaku ataupun penyelamatan aset negara
yang dibawa lari ke luar negeri.
8. Keberhasilan upaya penindakan kejahatan narkoba pada tahun
2005 sampai dengan tahun 2009 adalah sebagaimana tersaji
pada table 4.2. Upaya memutus rantai produksi narkotika
dalam periode 2005 - 2009 telah membuahkan hasil di
antaranya adalah penanganan sejumlah kasus berskala besar
seperti: pengungkapan pabrik ekstasi dan shabu-shabu,
penangkapan warga negara asing yang diduga sebagai anggota
jaringan besar pengedar narkoba, penemuan ladang ganja, dan
penangkapan artis pengguna dan yang terlibat jaringan
narkoba. Sebagian dari yang tertangkap sudah diproses hukum
dan lima orang di antaranya telah diesksekusi mati. Untuk
mengintensifkan penanggulangan narkoba di seluruh
Indonesia, Pemerintah telah menetapkan Keputusan Presiden
Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional,
Badan Narkotika Provinsi, dan Badan Narkotika
Kabupaten/Kota yang merupakan penyempurnaan keputusan
sebelumnya. Munculnya Keputusan Presiden ini diharapkan
akan mempermudah pelaksanaan organisasi di daerah
termasuk dalam hal pendanaannya. Untuk meningkatkan
pengawasan jalur masuk narkoba melalui bandara
internasional, secara bertahap telah dibentuk Airport
Interdiction dan Seaport Interdiction Task Force. Selanjutnya,
kerja sama internasional untuk memerangi kejahatan narkoba
yang bersifat transnasional dengan Jepang, Amerika Serikat,
04 - 15

 
dan Australia makin ditingkatkan, baik dalam pendidikan dan
pengembangan teknis profesional penanggulangan kejahatan
maupun dalam kegiatan operasional penanggulangan
kejahatan narkoba.
Tabel 4.2.
Kasus Narkoba di Indonesia
2004-2009*)
(Kasus)
Uraian 2004 2005 2006 2007 2008 2009*)

Jenis Narkoba
Narkotika 3.874 8.171 9.422 11.380 10.008 2.596
Psikotropika 3.887 6.733 5.658 9.289 9.783 2.775
Bahan Adiktif 648 1.348 2.275 1.961 9.573 1.635
Jumlah 8.409 16.252 17.355 22.630 29.364 7.006

Kasus Menonjol (Skala 6 7 13 30 16 13


Besar)

Korban/Pengguna
Narkoba
Berdasarkan Usia
<16 Tahun 71 127 175 110 133 42
16-19 Tahun 763 1.668 2.447 2.617 2.001 391
20-24 Tahun 2.879 5.503 8.383 8.275 6.441 1.415
25-29 Tahun 2.888 6.442 8.105 9.278 10.136 2.229
>29 Tahun 4.722 9.040 12.525 15.889 26.000 5.122

Sumber:Badan Narkotika Nasional


Keterangan: *) Angka Triwulan I 2009

9. Kejahatan perdagangan manusia merupakan salah satu bentuk


kejahatan yang meresahkan dan menjadi perhatian masyarakat
internasional. Sepanjang tahun 2008 sebanyak 150.000 anak
menjadi korban perdagangan manusia. Angka ini cukup
mengkhawatirkan karena modus operandi perdagangan tidak
hanya melalui tipu daya, tetapi ada kecenderungan melalui
penculikan secara langsung dan bahkan secara sadar orang tua
04 - 16

 
terlibat langsung dalam tindak kejahatan ini. Upaya intensif
yang sudah dilakukan melalui penindakan secara intensif
mulai dari hulu (daerah pengiriman) sampai hilir (daerah
tujuan pengirimannya) disertai dengan penguatan pos-pos
pelayanan TKI di Batam ataupun di lintasan perbatasan
lainnya, cukup banyak mengungkap kasus-kasus pengiriman
TKI ilegal. Di samping itu, dalam hal mencegah tindak pidana
perdagangan orang termasuk anak-anak dan perempuan,
kekerasan terhadap pekerja rumah tangga, dan tindak
diskriminasi terhadap perempuan, pemerintah telah
menetapkan sejumlah peraturan perundang-undangan seperti
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002, UU No. 21 tahun
2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang, dan meratifikasi Convention on the Elimination of All
Form of Discrimination Against Women (CEDAW) dan
Convention on the Rights of Child (CRC).
10. Pencegahan dan upaya mengurangi kerugian akibat
pembalakan hutan ditempuh dengan penyidikan dan
pelindungan hutan melalui operasi intelijen dan operasi
represif pengamanan hutan. Operasi intelijen menghasilkan
informasi terkait dengan modus dan pelaku pembalakan liar,
sedangkan operasi represif diupayakan untuk menghentikan
kegiatan kejahatan kehutanan. Beberapa hasil operasi tersebut
telah ditindaklanjuti dengan proses penegakan hukum oleh
polisi. Pada tahun 2005 telah digelar operasi hutan lestari
dengan jumlah laporan 363 kasus, tersangka 488 orang, dan
kasus yang telah diselesaikan sebanyak 60 kasus. Selanjutnya
antara tahun 2006 sampai dengan tahun 2007 telah diproses
5.501 kasus pembalakan liar dengan jumlah pelaku 5.936
orang, berikut penyitaan berbagai macam barang bukti yang
terdiri atas kayu sebanyak : 627.456,54 m3, 903.810 batang,
5.667 lembar dan 9.163 keping ; kapal sebanyak 519 unit,
poton/klotok sebanyak 124 unit, alat pemotong 968 unit, dan
sepeda motor 85 unit. Sedangkan pada tahun 2008 terdapat
1.149 dapat diselesaikan 1.030 kasus atau sebesar 89,64 persen
dengan tersangka sebanyak 1.338 orang. Selanjutnya sampai
04 - 17

 
dengan Mei 2009, terdapat 10 kasus yang ditangani, 6 kasus
sudah P.21 dengan jumlah tersangka sebanyak 4 orang.
11. Dalam rangka mendukung operasi pemberantasan pembalakan
liar dan tindak pidana kehutanan, dilakukan penguatan sarana
dan prasarana berupa pengadaan senapan laras panjang
sebanyak 200 unit, amunisi sebanyak 75.000 butir, telepon
genggam (handphone) satelit sebanyak 20 unit, kendaraan
patrol, speedboat, floating boat, kapal patrol cepat, pesawat
ultraringan, GPS, peralatan SAR, dan sarana komunikasi . Di
samping itu, untuk memperkuat operasi, telah dilaksanakan
rekruitmen dan pelatihan satuan tugas khusus polisi hutan
(polhut) sebanyak 298 orang di 13 provinsi.
12. Penyusunan payung hukum pencegahan kejahatan kehutanan,
di antaranya dilakukan melalui penyelesaian penyusunan RUU
Pemberantasan Pembalakan Liar dan Penyusunan draft
Peraturan Menteri Kehutanan tentang Perlindungan Hutan di
Kawasan Hutan yang Dibebani Hak serta draft Permenhut
tentang Penanganan Barang Bukti Hasil Kejahatan Kehutanan
yang merupakan tindak lanjut pelaksanaan PP No. 45 Tahun
2004 tentang Perlindungan hutan.
13. Peningkatan kerja sama dengan negara-negara konsumen kayu
serta LSM nasional dan internasional dalam pemberantasan
pencurian kayu dan perdagangan kayu gelap. Kerja sama
tersebut diwujudkan dalam forum ASEAN; forum kerja sama
Ekonomi Subregional, seperti Brunei, Indonesia, Malaysia,
Philippines East Asia Growth Area (BIMP-EAGA), Indonesia,
Malaysia, Thailand Growth Triangle (IMT-GT), Asian Forest
Partnership (AFP), dan proyek penegakan hukum Forest Law
Enforcement, Governance and Trade (FLEGT), serta kerja
sama bilateral dengan Cina, Jepang, Inggris, Korea Selatan,
dan Norwegia.
14. Dalam rangka pengendalian dan pengawasan pemanfaatan
sumber daya kelautan dan perikanan sampai dengan tahun
2008 telah dilakukan pengawasan dan penegakan hukum

04 - 18

 
melalui pengadaan kapal hingga 20 unit, kerja sama patroli
dengan berbagai pihak (TNI AL, Polair, Departemen Kelautan
dan Perikanan, Badan Koordinasi Keamanan Laut
(Bakorkamla)), peningkatan jumlah awak kapal pengawas
hingga saat ini mencapai 233 orang, peningkatan hari operasi
menjadi 180 hari, dan pembentukan kelompok masyarakat
pengawas (pokmaswas) yang telah mencapai 1.369 kelompok
di 33 propinsi. Melalui kegiatan-kegiatan tersebut telah
dicapai peningkatan jumlah kapal yang di-ad-hoc menjadi 242
kapal pada tahun 2008 dari 184 kapal pada tahun sebelumnya.
Sementara itu, jumlah tindak pidana terus menurun dari 116
kasus pada 2007 menjadi 62 kasus pada tahun 2008 dan
diperkirakan potensi kerugian negara yang berhasil
diselamatkan sekitar Rp556 miliar atau total sebesar Rp1,9
triliun.
15. Dalam rangka meningkatkan kepekaan untuk menghadapi
ancaman bahaya gempa bumi, khususnya bahaya tsunami, kini
telah dibangun sistem deteksi dini (early warning system)
terjadinya tsunami melalui pembangunan jaringan daring (on-
line) di seluruh Indonesia. Pembangunan manajemen sistem
informasi tersebut memungkinkan penyampaian data
terjadinya gempa secara waktu nyata (real time) yang secara
langsung terhubung dengan ruangan kendali pusat krisis (crisis
centre) di Markas Besar yang juga terhubung ke seluruh Polda
secara daring (on-line). Dengan demikian, di samping dapat
mendukung kecepatan informasi peringatan terjadinya gempa,
juga dapat mendukung kendali operasional penanggulangan
bencana tsunami/gempa di lingkungan yang terkena bencana
alam. Terpasangnya sistem tersebut, akan ditindaklanjuti
dengan upaya sosialisasi dan pelatihan secara berkala agar
peralatan tersebut dapat berfungsi dan bermanfaat sewaktu-
waktu diperlukan. Tanpa disertai upaya sosialisasi dan
pelatihan bagi warga masyarakat di lokasi yang rawan gempa,
keberadaan peralatan itu tidak akan ada manfaatnya untuk
mencegah terjadinya korban dan kerugian yang lebih besar
apabila terjadi gempa.
04 - 19

 
III. TINDAK LANJUT YANG DIPERLUKAN
Untuk meningkatkan keamanan, ketertiban, dan
penanggulangan kriminalitas diperlukan upaya-upaya pengembangan
penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan keamanan negara;
pengembangan sistem pengamanan rahasia negara; pengembangan
sumber daya manusia (SDM) kepolisian; pengembangan sarana dan
prasarana kepolisian; pengembangan strategi keamanan dan
ketertiban; pemberdayaan potensi keamanan; pemeliharaan
keamanan dan ketertiban masyarakat; kerja sama keamanan dan
ketertiban; penyelidikan dan penyidikan tindak pidana; pencegahan
dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba;
serta pemantapan keamanan dalam negeri.
Dalam pengembangan penyelidikan, pengamanan, dan
penggalangan keamanan negara tindak lanjut yang diperlukan
adalah: (1) pengadaan intelijen device, peralatan komunikasi,
kendaraan operasional, dan penyelesaian pembangunan gedung
diklat intelijen; (2) pengembangan jaringan Sistem Informasi
Intelijen; (3) pengembangan dan peningkatan jaringan komunikasi
intelijen (4) operasi intelijen penanggulangan transnasional crime
dan uang palsu/kertas berharga; (5) operasional intelijen
penanggulangan keamanan dan ketertiban; (6) peningkatan kerja
sama intelijen internasional; (7) pembangunan pos intelijen wilayah
di provinsi, kabupaten/kota; (8) koordinasi badan-badan intelijen
pusat dan daerah dalam pelaksanaan operasi intelijen; (9)
peningkatan kualitas dan kuantitas pelaksanaan operasi
kontraintelijen; (10) operasi intelijen strategis di luar dan di dalam
negeri; dan (11) penyelenggaraan pendidikan sekolah tinggi intelijen
negara.
Guna meningkatkan kemampuan pengamanan rahasia negara
baik secara kelembagaan jaringan, maka tindak lanjut yang
diperlukan adalah : (1) penyusunan, pengkajian dan pengembangan
kebijakan strategi; (2) pembinaan dan fasilitasi sistem persandian; (3)
peningkatan gelar peralatan sandi; (4) peningkatan Litbang dan SDM
pengamanan rahasia negara.

04 - 20

 
Selanjutnya dalam rangka pengembangan SDM kepolisian,
tindak lanjut yang diperlukan adalah : (1) pengembangan kekuatan
personel melalui rekruitmen anggota Polri dan PNS menuju rasio 1 :
500; (2) pengembangan kemampuan personel Polri, menuju
profesionalisasi kepolisian dan peningkatan kemampuan PNS Polri
yang perannya diarahkan menjadi komplemen dalam organisasi
Polri; dan (3) peningkatan kapasitas dan pemahaman Polri mengenai
konvensi-konvensi internasional, pemenuhan hak-hak anak dan
perempuan, serta keadilan gender.
Pengembangan sarana dan prasarana kepolisian memerlukan
tindak lanjut berupa: (1) penataan kelembagaan Polri termasuk
mekanisme kontrol masyarakat terhadap kinerja kepolisian; (2)
pemeliharaan sarana-prasarana dan peralatan Polri untuk
memperpanjang usia pakai; dan (3) pembangunan materiel dan
fasilitas polri : (a) mengembangkan organisasi satwil operasional
yang lebih mampu mengamankan wilayah perairan dengan
pengembangan kekuatan polisi perairan; (b) pengadaan perlengkapan
operasional kepolisian berupa alat komunikasi, sarana transportasi,
alsus serse, alsus intel, perlengkapan perorangan (senpi, revolver,
borgol, tongkat), aldalmas; (c) pembangunan Mapolda, lanjutan
pembangunan Mapolres persiapan dan Mapolsek persiapan sebagai
tindak lanjut dari pemekaran wilayah, serta pembangunan Mako
Polres dan Polsek yang masih menyewa, rumah dinas, dan fasilitas
satuan Opsnal di kewilayahan, termasuk pembangunan fasilitas Unit
Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) dan fasilitas di wilayah
perbatasan; (d) meningkatkan jumlah dan kualitas ruang pelayanan
khusus (RPK) di setiap wilayah kepolisian; dan (e) peningkatan
kualitas dan kuantitas pos-pos keamanan dalam rangka mencegah
tindak kejahatan transnasional
Dalam rangka pengembangan strategi keamanan dan ketertiban
tindak lanjut yang diperlukan adalah melakukan: (1) pengkajian
sistem keamanan: (a) pengembangan sistem dan metode dalam
rangka mendukung tugas pokok organisasi/satuan; dan (b)
Pengkajian sistem keamanan; (2) pengkajian potensi konflik; (3)
pengondisian situasi aman dan tertib; (4) deteksi kegiatan

04 - 21

 
masyarakat/potensi gangguan keamanan dan ketertiban; (5)
peningkatan pengawasan orang asing, pengawasan senjata api dan
bahan peledak, perizinan, dan criminal record.
Upaya untuk membemberdayaan potensi keamanan
ditindaklanjuti melalui: (1) pemberdayaan community policing di 20
polda; (2) bimbingan dan penyuluhan keamanan pada wilayah
permukiman dan lokasi kegiatan perekonomian; (3) pemberdayaan
pengamanan swakarsa; dan (4) operasi intelijen penanggulangan
keamanan dan ketertiban.
Pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat
memerlukan tindak lanjut melalui: (1) peningkatan kualitas
pelayanan hukum di bidang pencegahan tindak kriminal yang tidak
diskriminatif gender dan ramah terhadap anak; (2) pembimbingan,
pengayoman, dan perlindungan masyarakat; (3) pengaturan dan
penertiban kegiatan masyarakat/instansi; (4) penyelamatan
masyarakat dan pemulihan keamanan termasuk penanganan
keamanan di wilayah konflik; (5) pemulihan keamanan pada daerah-
daerah rawan konflik guna terciptanya masyarakat tertib hukum; (6)
pemantapan community policing dan tokoh-tokoh masyarakat serta
komponen-komponen masyarakat lainnya; dan (7) peningkatan pos-
pos wilayah perbatasan di Papua, Kalimantan, dan NTT, serta pulau-
pulau terluar berpenghuni.
Tindak lanjut kerja sama keamanan dan ketertiban dilakukan
melalui : (1) kerja sama internasional, baik secara bilateral maupun
multilateral dalam pencegahan kejahatan transnasional, terutama di
wilayah perbatasan; dan (2) kerja sama keamanan lintas sektoral dan
lintas wilayah dalam rangka perbaikan mekanisme pengamanan
tindak kriminal termasuk perdagangan orang, perempuan, dan anak.
Tindak lanjut upaya penyelidikan dan penyidikan tindak
pidana dilakukan melalui: (1) penyelidikan dan penyidikan tindak
pidana, antara lain kejahatan konvensional, kejahatan transnasional,
kejahatan terhadap kekayaan Negara, kejahatan yang berimplikasi
kontingensi, makan dan perawatan tahanan, serta kegiatan

04 - 22

 
koordinasi; dan (2) koordinasi dan pengawasan teknis penyidikan
PPNS.
Pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran
gelap narkoba memerlukan tindak lanjut: (1) penegakan hukum di
bidang narkoba; (2) pencegahan penyalahgunaan dan peredaran
gelap narkoba yang salah satunya melalui kampanye nasional dan
sosialisasi antinarkoba; (3) terapi dan rehabilitasi korban
penyalahgunaan narkoba; (4) penelitian dan pengembangan
informatika penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba; (5)
penguatan kelembagaan anti narkoba; (6) penyelesaian sarana dan
prasarana terapi dan rehabilitasi korban narkoba RS Lido; (7)
intensifikasi kegiatan intelijen dan operasi pencegahan dan
penindakan P4GN; (8) penyelenggaraan pengembangan pendidikan
SDM; (9) pembangunan lembaga Pusdiklat BNN yang mampu
melaksanakan transfer pengetahuan kepada seluruh jajaran institusi,
lembaga-lembaga, serta masyarakat; dan (10) mengembangkan Pilot
Project pencegahan, pemberantasan, penyalahgunaan dan peredaran
gelap narkoba di wilayah rawan penyalahgunaan narkoba;
Akhirnya tindak lanjut yang diperlukan untuk pemantapan
keamanan dalam negeri adalah: (1) operasi keamanan laut dan
penegakan hukun di dalam wilayah laut Indonesia;
(2) pembangunan/pengadaan/peningkatan sarana dan prasarana;
(3) peningkatan operasi pengamanan hutan; (4) peningkatan
pengamanan hutan berbasis sumber daya masyarakat;
(5) pembentukan Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat (SPORC);
(6) penegakan undang-undang dan peraturan serta mempercepat
proses penindakan pelanggaran hukum di sektor kehutanan;
(7) penggalangan kerja sama dengan negara-negara konsumen, LSM
nasional dan internasional; dan (8) pembentukan Pokmaswas
(kelompok masyarakat pengawas) untuk mengendalikan dan
mengawasi sumber daya kelautan dan perikanan.

04 - 23

Anda mungkin juga menyukai