Anda di halaman 1dari 4

TUGAS ALAT MUSIK BAMBU

Angklung

Angklung adalah alat musik multitonal (bernada ganda) yang secara tradisional berkembang
dalam masyarakat berbahasa Sunda di Pulau Jawa bagian barat. Alat musik ini dibuat dari
bambu, dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi disebabkan oleh benturan badan pipa
bambu) sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar dalam susunan nada 2, 3, sampai 4 nada
dalam setiap ukuran, baik besar maupun kecil. Angklung terdaftar sebagai Karya Agung
Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi Manusia dari UNESCO sejak November 2010.

Tidak ada petunjuk sejak kapan angklung digunakan, tetapi diduga bentuk primitifnya telah
digunakan dalam kultur Neolitikum yang berkembang di Nusantara sampai awal penanggalan
modern, sehingga angklung merupakan bagian dari relik pra-Hinduisme dalam kebudayaan
Nusantara.

Catatan mengenai angklung baru muncul merujuk pada masa Kerajaan Sunda (abad ke-12
sampai abad ke-16). Asal usul terciptanya musik bambu, seperti angklung berdasarkan
pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris dengan sumber kehidupan dari padi (pare)
sebagai makanan pokoknya. Hal ini melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohaci
sebagai lambang Dewi Padi pemberi kehidupan (hirup-hurip). Masyarakat Baduy, yang
dianggap sebagai sisa-sisa masyarakat Sunda asli, menerapkan angklung sebagai bagian dari
ritual mengawali penanaman padi. Permainan angklung gubrag di Jasinga, Bogor, adalah salah
satu yang masih hidup sejak lebih dari 400 tahun lampau. Kemunculannya berawal dari ritus
padi. Angklung diciptakan dan dimainkan untuk memikat Dewi Sri turun ke bumi agar tanaman
padi rakyat tumbuh subur.
Calung

Calung adalah alat musik Sunda yang merupakan prototipe (purwarupa) dari angklung.
Berbeda dengan angklung yang dimainkan dengan cara digoyangkan, cara menabuh calung
adalah dengan memukul batang (wilahan, bilah) dari ruas-ruas (tabung bambu) yang tersusun
menurut titi laras (tangga nada) pentatonik (da-mi-na-ti-la). Jenis bambu untuk pembuatan
calung kebanyakan dari awi wulung (bambu hitam), namun ada pula yang dibuat dari awi temen
(bambu yang berwarna putih).

Pengertian calung selain sebagai alat musik juga melekat dengan sebutan seni pertunjukan.
Ada dua bentuk calung Sunda yang dikenal, yakni calung rantay dan calung jinjing.
Karinding

Karinding merupakan salah satu alat musik tiup tradisional Sunda. Ada beberapa tempat yang
biasa membuat karinding, seperti di lingkung Citamiang, Pasirmukti, Tasikmalaya, Lewo
Malangbong, (Garut), dan Cikalongkulon (Cianjur) yang dibuat dari pelepah kawung (enau). Di
Limbangan dan Cililin karinding dibujat dari bambu, dan yang menggunakannya adalah para
perempuan, dilihat dari bentuknya saperti tusuk biar mudah ditusukan di sanggul rambut. Dann
bahan enau kebanyakan dipakai oleh lelaki, bentuknya lebih pendek biar bisa diselipkan dalam
wadah rokok. Bentuk karinding ada tiga ruas.

Karinding yaitu alat buat mengusir hama di sawah. Suara yang dihasilkan dari getaran jarum
karinding biasanya bersuara rendah low decible. Suaranya dihasilkan dari gesekan pegangan
karinding dan ujung jari yang ditepuk-tepakkan. Suara yang keluar biasanya terdengar seperti
suara wereng, belalang, jangkrik, burung, dan lain-lain. Yang jaman sekarang dikenal dengan
istilah ultrasonik. Biar betah di sawah, cara membunyikannya menggunakan mulut sehingga
resonansina menjadi musik. Sekarang karinding biasa digabungkan dengan alat musik lainnya.
Saluang

Saluang adalah alat musik tradisional khas Minangkabau, Sumatera Barat. Yang mana alat
musik tiup ini terbuat dari bambu tipis atau talang (Schizostachyum brachycladum Kurz). Orang
Minangkabau percaya bahwa bahan yang paling bagus untuk dibuat saluang berasal dari talang
untuk jemuran kain atau talang yang ditemukan hanyut di sungai[1]. Alat ini termasuk dari
golongan alat musik suling, tapi lebih sederhana pembuatannya, cukup dengan melubangi
talang dengan empat lubang. Panjang saluang kira-kira 40-60 cm, dengan diameter 3-4 cm.
Adapun kegunaan lain dari talang adalah wadah untuk membuat lamang (lemang), salah satu
makanan tradisional Minangkabau.

Pemain saluang legendaris bernama Idris Sutan Sati dengan penyanyinya Syamsimar.

Keutamaan para pemain saluang ini adalah dapat memainkan saluang dengan meniup dan
menarik napas bersamaan, sehingga peniup saluang dapat memainkan alat musik itu dari awal
dari akhir lagu tanpa putus. Cara pernapasan ini dikembangkan dengan latihan yang terus
menerus. Teknik ini dinamakan juga sebagai teknik manyisiahan angok (menyisihkan napas).

Tiap nagari di Minangkabau mengembangkan cara meniup saluang, sehingga masing-masing


nagari memiliki ciri khas tersendiri. Contoh dari ciri khas itu adalah Singgalang, Pariaman, Solok
Salayo, Koto Tuo, Suayan dan Pauah. Ciri khas Singgalang dianggap cukup sulit dimainkan
oleh pemula, dan biasanya nada Singgalang ini dimainkan pada awal lagu. Sedangkan, ciri
khas yang paling sedih bunyinya adalah Ratok Solok dari daerah Solok.

Anda mungkin juga menyukai