Abstrak
Artikel ilmiah ini bertujuan untuk memberikan gagasan alternatif terkait
pengajaran d sekolah-sekolah Finlandia. Penulis menggunakan literatur pustaka dan
data ilmiah dari OECD.org tahun 2021 dan World Happiness Report (WHR) tahun 2021
sebagai sumber gagasan. Pada pendahuluan berisi tentang laporan Finlandia
merupakan negara paling bahagia pada tahun 2018-2020 menurut WHR tahun 2021
serta Finlandia memiliki nilai PISA yang tinggi dari tahun 2000-2018 berdasarkan data
dari OECD tahun 2021. Pada bagian isi membahas waktu pengajaran di sekolah
Finlandia yang relatif singkat serta strategi-strategi yang diterapkan pada pengajaran
di sekolah-sekolah Finlandia sehingga dapat menghasilkan prestasi terbaik di dunia
pendidikan internasional. Bagian penutup berisi kesimpulan gagasan alternatif terkait
pengajaran di sekolah Finlandia yang dapat diadopsi dan diterapkan sesuai dengan
minat dan kebutuhan pembelajaran di sekolah masing-masing.
PENDAHULUAN
Sebelum siklus pertama PISA pada tahun 2000, banyak negara mengira sistem
pendidikan berkelas dunia dan siswa-siswanya merupakan pembelajar terbaik berasal dari
negara-negara maju seperti Jerman, Prancis, Norwegia, Inggris, Rusia, Kanada, Australia dan
Amerika Serikat. Beberapa kalangan berpendapat bahwa secara internasional tingkat
pengetahuan dan keterampilan matematika dan sains siswa Finlandia pada posisi sedang-
sedang saja. Pada awal tahun 2000, Inggris telah satu dekade melakukan reformasi sekolah
fundamental yang mengutamakan pada target pencapaian yang lebih tinggi dan penilaian
siswa yang lebih sering. Swedia tengah mengimplementasikan reformasi sekolah dengan
membebaskan orang tua dalam memilih pendidikan alternatif untuk anak-anak mereka. Di
Asia, negara seperti di Jepang, Hong Kong, Korea Selatan, dan Singapura
mengimplementasikan sistem pendidikannya menjadi lebih cepat dan hasil pembelajaran
yang lebih maju terutama dalam bidang kemampuan membaca, matematika, dan IPA
menurut Hargreaves dan Shirley (dalam Walker, 2017). Sedang di Amerika fokus
memperketat akuntabilitas guru dan sekolah demi tingkat pencapaian siswa dan kelulusan
tinggi, mengejar kesuksesan atau menjadi yang terbaik adalah hal yang paling berarti.
Dorongan tersebut bagi anak-anak di Amerika untuk menjadi sukses, menjadi yang terbaik
merupakan kultur yang telah ditanamkan para orang tua kepada para anak-anak mereka.
Orang tua berupaya bekerja sekeras mungkin untuk memberikan apapun yang mampu
menunjang keberhasilan pendidikan anak yang biaya tidak sedikit sekitar USD 30.000 (+/- Rp
400 juta) setahun (Walker, 2017). Nilai kompetisi berlomba-lomba menjadi yang terbaik
sangat terasa di kultur pendidikan di Amerika dan hal ini tidak terlihat pada sistem
pendidikan Finlandia.
Finlandia dapat disebut sebagai negara yang memiliki prioritas yang lurus dalam
hubungan paradigma pendidikan yang dianutnya. Memiliki kesadaran bahwa segala macam
keterampilan dan kemampuan akademik adalah sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang
lebih tinggi, yakni kebahagiaan lahir dan batin. Tak seperti yang terjadi di negara-negara
yang paling makmur sekalipun, seringkali pendidikan dilihat lebih sebagai tujuan mencapai
kemakmuran yang setinggi-tingginya, baik individu maupun masyarakat atau bangsa secara
keseluruhan. Maka dapat ditemui adanya negara-negara yang memiliki tingkat penguasaan
yang tinggi dalam hal kemampuan sains dan teknologi, tapi indeks kebahagiaannya justru
sebaliknya. Dari hal tersebut pelajaran dari Finlandia yang bisa dipetik yakni “Kebahagiaan
bukanlah hasil dari kesuksesan, namun kebahagiaan adalah kunci kesuksesan”. Sekolah di
Finlandia menggarisbawahi pentingnya kesehatan fisik, emosi dan mental para guru dan
siswa, langkah sederhana ini yang pada akhirnya memperbaiki kualitas belajar mengajar dan
membuat kelas menjadi lebih menyenangkan.
Skor Reading Performance (PISA) Finlandia dari tahun 2000 hingga 2018 selalu
konsisten menjadi salah satu negara skor tertinggi diatas skor 520. Dan skor Mathematics
Performance (PISA) Finlandia dari tahun 2003-2018, Finlandia kembali konsisten berada di
atas rata-rata negara yang tergabung di OECD diatas skor 500. Begitu pula dengan skor
Science Performance (PISA) tahun 2006-2018 meskipun cenderung turun namun Finlandia
tetap menjadi salah satu negara-negara yang memiliki skor tertinggi diatas 522. Hal ini
menambah keyakinan dunia internasional bahwa sistem pendidikan Finlandia merupakan
salah satu yang terbaik di dunia dan bisa menjadi contoh bagi negara-negara lain. Meski
tetap ada pandangan-pandangan skeptis terkait keberhasilan sistem pendidikan di Finlandia
karena tidak akan sama hasilnya jika diterapkan di negara lain karena beberapa faktor.
Pertama, secara kultur dan etnis, Finlandia cukup homogen sehingga terlalu berbeda
dengan negara-negara besar seperti Amerika, Kanada, Australia, Jerman, bahkan Indonesia
yang multikultural dan multietnis sangat beragam. Kedua, Finlandia dipandang terlalu kecil
untuk menjadi model untuk reformasi sistem pendidikan di Amerika, Kanada, Australia,
Jerman dan yang lainnya termasuk Indonesia. Dimana Finlandia memiliki populasi sekitar 5,5
juta jiwa, sehingga ada pandangan sistem pendidikan kecil tidak relevan sebagai model
reformasi pendidikan di negara-negara besar. Sekalipun terdapat pandangan skeptis yang
meremehkan, Finlandia telah berprestasi secara konsisten menunjukkan kinerja terbaik
mengalahkan negara-negara lainnya.
Model belajar Finlandia lebih menekankan pada kemampuan kreatif dan inovasi yang
didasarkan pada model belajar yang berorientasi membangkitkan rasa ingin tahu serta
kemampuan belajar mandiri siswa. Kolaboratif aktif guru dan siswa memberikan keleluasaan
dan kebebasan dalam menentukan bagaimana merancang pembelajaran, apa yang
dipelajari, dan kapan dipelajarinya. Landasan kultural ini merupakan dasar penyemaian rasa
percaya antara otoritas pendidikan dan sekolah. Finlandia telah dapat meningkatkan
sumber daya manusianya dengan mengubah sistem pendidikannya dari biasa-biasa saja
menjadi salah satu terbaik di dunia internasional. Finlandia dapat meningkatkan partisipasi
dalam pendidikan, menciptakan kesempatan pendidikan yang sama bagi semua dan
menyebarluaskan pengajaran berkualitas baik ke sekolah-sekolah. Tidak menambah waktu
mengajar dan belajar serta menguji siswa lebih sering, Finlandia justru melakukan
kebalikannya. Sistem pendidikan Finlandia menyediakan cara-cara alternatif untuk
membangun sistem pendidikan publik yang lebih berkeadilan.
Gambar 6. Chart Jumlah Jam Mengajar SD, SMP dan SMA di Finlandia
Sumber: *OECD.org (2021)
Menurut Gambar 6. (OECD, 2021), jam mengajar di Finlandia di tahun 2020 baik
sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah atas merupakan salah
satu negara yang paling sedikit dalam 1 tahun ajaran. Bahkan di setiap jenjang baik SD, SMP,
maupun SMA tidak terdapat perbedaan jauh terkait waktu mengajar. Di sekolah dasar jam
mengajar per tahun sebanyak 673 jam mengajar, sekolah menengah pertama sebanyak 589
jam mengajar per tahun, dan sekolah menengah atas sebanyak 548 jam mengajar per
tahun. Jam mengajar sedikit di semua jenjang ternyata mampu menghasilkan salah satu
prestasi tertinggi di dunia internasional. Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Keberhasilan
pendidikan Finlandia telah mendorong negara-negara lain untuk mencari sebab-sebab
terbaiknya kinerja internasional tersebut. Model belajar di Finlandia berorientasi
membangkitkan rasa ingin tahu serta kemampuan belajar mandiri siswa yang ditanamkan
pada seluruh warga sekolah sejak puluhan tahun pada awal reformasi sistem pendidikan
dijalankan. Dengan jam mengajar sedikit, justru siswa secara mandiri mampu belajar dan
mengeksplorasi diri dengan banyak waktu. Besarnya otonomi yang dinikmati sekolah, sedikit
campur tangan dari administrasi pendidikan pusat terhadap kegiatan pembelajaran di
sekolah, metode-metode sistematis untuk menangani masalah-masalah dalam kehidupan
siswa dan pendampingan profesional yang sesuai untuk warga sekolah yang membutuhkan.
Salah satu nilai pendidikan Finlandia adalah meletakkan pengajaran dan belajar di atas
segala-galanya ketika kebijakan dan reformasi pendidikan sedang dirumuskan. Hal-hal
tersebut dapat membantu dalam melakukan kaji banding praktik-praktik di negara lain
terhadap pendidikan di negara Finlandia. Maka tidak heran jika skor PISA siswa Finlandia
merupakan salah satu yang tertinggi dan konsisten sejak tahun 2000an.
Ketika kebanyakan negara atau pada logika lazimnya dalam pengembangan
pendidikan yang berupaya memperbaiki kinerja siswa dibawah harapan adalah dengan
memperpanjang masa pendidikan dan memperlama atau menambah waktu pembelajaran.
Sebagai contoh, ketika siswa tidak belajar cukup matematika maka pada umumnya akan
dilakukan perbaikan kurikulum dengan menambah jam pelajaran di kelas dan masih
ditambah dengan pekerjaan rumah. Cara Finlandia menentang logika ini. Data Gambar 6.
(OECD, 2021), indikator jam mengajar Finlandia menunjukkan salah satu yang paling sedikit
dalam kurun waktu 1 tahun ajaran, namun menunjukkan prestasi terbaik di dunia
internasional. Menariknya, sedangkan di negara-negara maju dengan tingkat prestasi
akademik jauh lebih rendah seperti Amerika Serikat dan New Zealand menuntut secara
signifikan lebih banyak waktu pengajaran untuk siswa-siswa mereka, bahkan waktu
pengajaran di Amerika Serikat dan New Zealand diatas rata-rata waktu pengajaran diantara
negara-negara anggota OECD. Kecenderungan kelebihan waktu pengajaran ini membuat
siswa-siswa di Amerika Serikat dan New Zealand memiliki kinerja siswa dibawah harapan.
Selain waktu pengajaran, siswa-siswa di Finlandia menghabiskan lebih sedikit waktu untuk
pekerjaan rumah (PR) yang diberikan sekolah dibandingkan dengan siswa-siswa di negara
lain. Ini adalah perbedaan mencolok antara Finlandia dan banyak negara lainnya yakni
waktu pengajaran sedikit, waktu mengerjakan PR minimum dan cara-cara lain telah
diperkenalkan untuk menjamin agar siswa tetap sibuk belajar di luar jam pembelajaran di
sekolah.
PEMBAHASAN
Sistem pendidikan di Finlandia telah dapat meningkatkan sumber daya manusianya
dengan mengubah sistem pendidikannya dari biasa-biasa saja menjadi salah satu terbaik
internasional dengan konsisten meneruskan tongkat estafet sistem pendidikan kurang lebih
30 tahun sejak 1970-an baru terlihat hasil prestasi kualitas pembelajaran yang baik pada
tahun 2000 pada awal PISA dilaksanakan yang berhasil memberikan kejutan didunia
internasional. Terlepas dari konsistensi implementasi kebijakan-kebijakan strategis
pendidikan cerdas dan berkelanjutan, ternyata dalam hal pembelajaran di Finlandia
menambah kejutan dunia internasional. Jam mengajar pembelajaran di sekolah sangat
sedikit, namun menghasilkan hasil skor 3 kategori PISA menjadi salah satu negara-negara
tertinggi dan konsisten hingga terkini.
Cara Finlandia ini menggambarkan paradoks kuantitas melawan kualitas adalah
dengan memeriksa bagaimana guru menggunakan waktu kerja di berbagai negara. Menurut
Gambar 6. (OECD, 2021), guru di Finlandia rata-rata mengajar sekitar 600 jam per tahun
setara dengan empat jam pelajaran per hari. Dibandingkan di Amerika Serikat, berdasarkan
chart 4 (OECD, 2021) rata-rata total waktu mengajar per tahun sekitar 1000 jam setara
dengan enam jam pelajaran per hari. Jam mengajar yang rendah memberikan guru
kesempatan lebih untuk terlibat dalam pengembangan sekolah, perancangan kurikulum,
dan pengembangan professional pribadi, melakukan refleksi terhadap pengajaran bersama-
sama guru lain. Guru-guru di sekolah Finlandia memiliki banyak tanggungjawab diluar
mengajar, menilai prestasi dan kemajuan menyeluruh siswa mereka, mempersiapkan secara
terus menerus mengembangkan kurikulum sekolah, ikut serta dalam beberapa inisiatif
tentang kesehatan dan kesejahteraan sekolah yang berkaitan dengan siswa, menyediakan
dukungan pendampingan bagi para siswa yang membutuhkan bantuan tambahan.
Kebanyakan sekolah di Finlandia merupakan komunitas belajar profesional, menggabungkan
kerja bersama siswa dengan kolaborasi bersama sejawat sesama profesi guru untuk
memberikan pelayanan pembelajaran yang berkualitas.
Gambar 7. Grafik persentase waktu pengajaran per mata pelajaran di pendidikan dasar
Sumber: *OECD.org (2021)
Gambar 8. Grafik persentase waktu pengajaran per mata pelajaran di pendidikan menengah
Sumber: *OECD.org (2021)
Menurut gambar 8 (OECD, 2021) rata-rata di seluruh negara OECD waktu pengajaran
per mata pelajaran yakni; membaca, menulis dan sastra 14%, matematika 13%, 27% dari
kurikulum wajib, 15% lebih rendah dari pada pendidikan dasar. Pada pendidikan menengah
terdapat beberapa negara yang memiliki perbedaan signifikan dalam mengalokasikan waktu
pengajarannya seperti Irlandia, Belgia, Inggris dan Belanda yang sangat dominan pada
kurikulum fleksibel yang diwajibkan. Dalam gambar 8 (OECD, 2021) data Finlandia
menunjukkan persentase waktu pengajaran per mata pelajaran di pendidikan menengah
hampir sama pada jenjang pendidikan dasar yakni menerapkan 9,4 % kurikulum fleksibel
yang diwajibkan, 36,5% kurikulum wajib lainnya, 12,9 % bahasa asing, 16,5% ilmu
pengetahuan alam, 12,9 % matematika, dan membaca, menulis dan literasi sebesar 11,8%.
Seperti yang ditunjukkan Gambar 7 dan Gambar 8 (OECD, 2021) perbedaan antara
tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, ada perbedaan yang signifikan dalam
hal waktu dialokasikan untuk mata pelajaran sekolah seiring bertambahnya usia siswa.
Terlepas dan pembagian alokasi waktu per mata pelajaran di Finlandia yang pada umumnya
hampir sama yang dialokasikan di negara-negara OECD bahkan menurut gambar 6 (OECD,
2021) Finlandia merupakan salah satu negara yang memiliki waktu mengajar terendah yakni
untuk sekolah dasar 673 jam mengajar, sekolah menengah pertama sebanyak 589 jam
mengajar per tahun, dan sekolah menengah atas sebanyak 548 jam mengajar per tahun
namun menghasilkan prestasi yang paling menonjol di dunia internasional. Sehingga hal
yang menjadi perhatian banyak pihak yakni bagaimana pengajaran yang dipraktikkan oleh
para guru di Finlandia dengan gambaran paradoks sedikit tapi banyak, mengajar lebih
sedikit namun belajar lebih banyak. Waktu guru mengajar di sekolah relative sekitar 4 jam
namun memberikan prestasi terbaik di dunia pendidikan internasional.
KESEJAHTERAAN
Analogi umumnya pendidik yang baik adalah mereka yang bekerja paling keras,
bahkan mengurangi jam tidur untuk menyiapkan pembelajaran esoknya, melewatkan waktu
istirahat pembelajaran demi mempersiapkan kelas, dan minim waktu untuk bersosialisasi
dengan rekan kerja lainnya. Para pendidik hebat yang memiliki semangat yang berkobar-
kobar atas profesinya, justru hal itu sebagai bentuk bekerja yang berlebihan. Hal ini berbeda
yang terjadi dengan para guru di Finlandia, para guru tidak ada yang bekerja pada saat jam
istirahat, relatif lebih bebas dari tekanan dibandingkan dengan sekolah-sekolah di Amerika,
dan hal yang mengejutkan ternyata siswa-siswinya juga (Walker, 2017). Jika di negara-
negara maju prioritas kultur yang dibangun untuk mengajarkan bahwa pada akhirnya
mengejar kesuksesan atau menjadi yang terbaik ternyata secara luar biasa menggerogoti
kesejahteraan para pendidik yang konsekuensinya, kesejahteraan anak-anak bangsa yang
dirugikan. Dorongan bagi anak-anak di negara maju untuk menjadi sukses sejak dini, dengan
para orang tua yang rela melakukan apa saja demi pendidikan anak yang biayanya tidak
murah. Bahkan di sekolah menengah, banyak siswa didorong untuk memiliki hasil belajar
yang menonjol jika ingin masuk ke perguruan tinggi terbaik, akibatnya mereka memforsir
mereka untuk mendapatkan nilai diatas rata-rata, mengikuti segala kegiatan pendukung,
mengambil kelas tambahan, bahkan beberapa masih mengambil belajar privat di lembaga
pendidikan swasta.
Menurut Seppala (dalam Walker, 2017) guru-guru di Amerika dan guru-guru di
Finlandia bekerja untuk memenuhi tenggat waktu serupa. Namun secara khas terdapat
perbedaan diantara 2 negara ini, yang satu pendekatan mengajarnya kelihatan lebih cepat,
lebih keras, dan lebih fokus pada pencapaiannya, sementara yang lain kelihatan lebih
lambat, lebih lunak, dan lebih fokus pada kesejahteraan. Kultur di Finlandia telah
menanamkan nilai dasar yang kuat bahwa “kebahagiaan bukanlah hasil dari kesuksesan
melainkan kebahagiaan merupakan kunci kesuksesan.” Pondasi untuk merasakan
kebahagiaan adalah terpenuhinya kebutuhan pokok seperti makan, minum, pakaian dan
tempat tinggal. Selain nilai dasar kultur yang telah ditanamkan seperti yang disebutkan di
atas, secara teknis pengajaran sekolah-sekolah di Finlandia mempromosikan pentingnya
kesehatan fisik, emosi, serta mental guru dan siswa. Dan langkah sederhana ini pada
akhirnya memperbaiki kualitas belajar mengajar dan membuat kelas menjadi lebih
menyenangkan. Salah satunya menyadari pentingnya pit stop (jeda), istirahat dengan
frekuensi yang cukup membuat siswa tetap segar seharian.
Menurut penelitian Pellegrini (dalam Walker, 2017) di Asia Timur dimana banyak
sekolah dasar memberikan anak didik mereka beristirahat 15 menit setelah 45 menit
pelajaran sama halnya dilakukan di sekolah Finlandia, setelah jeda pendek ini anak-anak
tampak lebih fokus di kelas. Dalam penelitian tersebut juga menemukan bahwa anak-anak
kurang fokus ketika jam istirahat ditunda atau ketika pelajaran di perpanjang. Di Finlandia
guru sekolah dasar tampaknya mengetahui betul hal ini, dengan meminta para siswa ke luar
ruangan baik cuaca cerah atau hujan selama waktu istirahat supaya para siswa setelah
istirahat dapat lebih fokus di kelas. Levitin, professor psikologi, behavioural neuroscience
(ilmu syaraf tentang kebiasaan) di Universitas McGill percaya bahwa memberikan otak
waktu untuk beristirahat melalui jeda yang teratur akan mengarah pada produktivitas dan
kreativitas yang lebih besar. Perlunya memberikan waktu bagi otak untuk beristirahat
sehingga dapat mengkonsolidasi semua informasi yang masuk menurut Schwartz, 2014
(dalam Walker, 2017). Dari hasil penelitian tersebut dan implementasi sekolah dasar di
Finlandia mengonfirmasi bahwa istirahat yang sering, menambah perhatian fokus siswa di
kelas. Dengan mempertimbangkan hal itu tidak perlu khawatir bahwa siswa tidak akan
mempelajari apa yang perlu mereka pelajari jika para guru membiarkan siswa melepaskan
diri sejenak dari tugas siswa dengan 4 kali istirahat 15 menit dalam sehari di sekolah.
Belajar sambil gerak juga memberikan manfaat yang kaya dari gerak aktif secara fisik
dapat menangkal obesitas, mengurai risiko penyakit kardiovaskular, serta memperbaiki
fungsi kognitif (seperti ingatan dan perhatian), dan secara positif mempengaruhi kesehatan
mental (Walker, 2017). Kurangnya kegiatan fisik di sekolah menjadi salah satu masalah
akibat dari lamanya sekolah dan terbatasnya kesempatan untuk istirahat. Karena banyak
siswa yang diminta duduk tenang selama pelajaran menjadikannya tidak aktif sepanjang hari
sehingga para siswa kehilangan banyak manfaat dari gerak aktif secara fisik. Sehingga
perpaduan antara waktu istirahat yang sering dan kegiatan aktif secara fisik dapat
menjadikan siswa lebih aktif di sekolah. Sekolah-sekolah Finlandia mendorong para siswa
untuk mempunyai rasa memiliki dengan cara meminta ide dan menyediakan waktu dan
ruang mereka agar kegiatan-kegiatan tersebut terwujud di sekolah. Hal ini tidak hanya
menggarisbawahi nilai pemberdayaan siswa, juga mendemonstrasikan bahwa meningkatnya
kegiatan fisik tidak serta merta hanya demi mengisi jam istirahat atau kelas olahraga. Di
Finlandia terdapat program Schools on the Move (Sekolah Finlandia Bergerak), sebuah
inisiatif pemerintah untuk dapat meningkatkan kegiatan fisik siswa dengan melibatkan
semua murid dalam gaya belajar aktif dan memotivasi para guru, untuk mencari strategi
kreatif untuk membuat para siswa bergerak dalam hari sekolah. Dari implementasi tersebut
dapat memberikan pelajaran yang bisa diambil diantaranya; guru mencari cara untuk
memasukkan kegiatan yang mengandung unsur berdiri, atau gerakan, yang terlihat alami ke
dalam pembelajaran misal meminta siswa untuk berdiri dan mempraktikkan sebagian teks
yang sedang dibaca; ketika ada siswa yang mengantuk cara yang terbaik yakni menarik
perhatian siswa misal meminta siswa berdiri untuk melakukan gerak-gerak kecil
menggerakan seluruh anggota tubuh selama 20 detik; jika di sekolah dasar, guru dapat
menunjuk “penggiat istirahat” di kelas yang mampu mengkoordinasi teman-temannya
bermain secara bergiliran.
Peningkatan kesejahteraan selanjutnya yakni dengan me-recharge sepulang sekolah.
Beban mengajar rutin di sekolah Finlandia kurang lebih hanya 24 jam setiap minggu
termasuk waktu istirahat 15 menit 4x dalam sehari. Para guru di Finlandia pada umumnya
menghabiskan waktu yang pendek di dalam kelas, banyak yang mengira guru Finlandia
menggunakan waktu lebih banyak waktu luang sepulang sekolah untuk mempersiapkan
kelas, mengirim email, dan merencanakan pembelajaran, namun pada kenyataannya justru
gedung sekolah lekas kosong sebelum sore. Para guru bergegas pulang setelah jam
mengajar kelas selesai, mereka tahu pentingnya meninggalkan tempat kerja untuk mengisi
ulang, dalam rangka untuk tetap kuat sebagai guru. Diketahui bahwa mengajar penuh itu
lebih seperti lari maraton, nonstop yang pada hasilnya jika tidak me-recharge sepulang
sekolah maka dapat diduga para pendidik akan sangat kelelahan. Banyak pendidik mengira
bahwa semakin lama bekerja/mengajar maka semakin sukses sebagai seorang pendidik,
namun bekerja keras saja tidak cukup melainkan bekerja cerdas. Semua guru mengenali
beban kerja masing-masing dan para guru telah menyusun kalender jadwal pengajaran,
sehingga setiap guru mampu memperhitungkan kecepatan langka sendiri-sendiri. Para
pendidik harus tahu cara menilai diri sendiri kapan membagi waktu itu mengajar, mengisi
ulang daya tenaga, serta pengembangan kompetensi profesi supaya kesejahteraan lahir
batin tetap dimiliki. Mengisi ulang tenaga setelah sekolah bisa dalam beragam bentuk,
beberapa mungkin dapat disegarkan dengan lari jarak pendek santai, kemudian bermain
bersama anak bayi mereka, bisa juga membaca tulisan favorit di waktu luang. Di Finlandia
sekolah memberikan pekerjaan rumah relatif sedikit, jika ada bisa diselesaikan secara
mandiri dengan waktu yang relatif singkat. Para guru tidak ingin membebani siswa dengan
tambahan pekerjaan sekolah, karena para guru memahami pentingnya waktu mengisi ulang
tenaga di malam hari. Hal ini menekankan bahwa harus ada batasan kapan bekerja dan saat
beristirahat dalam upaya menjaga kesehatan fisik, mental dan emosi para guru dan siswa.
Paradoks orang-orang Finlandia “sedikit itu banyak” dibuktikan dengan desain ruang
sesederhana mungkin baik gedung dan rumah di Finlandia yang minimalis, rapi dan nyaman.
Menurut penelitian dari Universitas Carnegie Mellon (dalam Walker, 2017) menyelidiki
bagaimana ruang kelas yang terlalu banyak dekorasi berpotensi membuat anak-anak sulit
fokus pada pelajaran. Fisher, Godwin, dan Seltman (dalam Walker, 2017) menyatakan studi
bahwa anak-anak lebih mudah teralihkan perhatiannya oleh lingkungan visual,
membutuhkan waktu yang lebih banyak untuk menyelesaikan tugas, dan menunjukkan hasil
belajar yang kurang maksimal saat dinding penuh dekorasi daripada ketika dekorasi tersebut
dihilangkan. Guru di Finlandia berupaya mengurangi rangsangan eksternal di dalam kelas
para siswa muda, karena kemampuan untuk fokus adalah sesuatu yang berkembang seiring
usia anak. Berbeda dengan siswa kelas 6 yang sudah mampu mengabaikan rangsangan yang
tidak relevan jauh lebih mudah daripada siswa usia prasekolah. Keputusan membuat ruang
kelas tetap sederhana, rapi dan minimalis adalah untuk mengurangi rangsangan dari
eksternal dan memudahkan fokus pada proses belajar mengajar.
Menurut Cheryan, Ziegler, Plaut, dan Meltzoff (dalam Walker, 2017) kebanyakan bukti
ilmiah mengatakan bahwa pembelajaran dan pencapaian siswa sangat dipengaruhi
lingkungan tempat pembelajaran tersebut. Selain menjaga ruang kelas sesederhana
mungkin, suara, pencahayaan, guru di Finlandia memperhatikan pentingnya mendapatkan
udara segar baik didalam maupun diluar ruangan. Sekolah Finlandia khususnya di tingkat
dasar siswa diminta untuk ke luar ruangan kecuali suhu udara lebih dingin dari -15 derajat C,
serta para guru dan siswa menjaga udara dengan membuka jendela kelas. di Finlandia juga
terdapat peraturan jelas tentang berapa banyak siswa dalam suatu ruangan sekaligus
peraturan ukuran ruang yang boleh menampung sekian banyak siswa. Apresiasi orang
Finlandia untuk udara segar bukan hanya udara di sekolah, namun dalam kehidupan sehari-
hari sering membiarkan anak bayi untuk menghirup udara segar di balkon rumah, bahkan
dari kegiatan tersebut terlihat anak bayi mereka tidur lebih nyenyak dengan menghirup
udara segar. Ketika kita menghirup udara napas kemudian mengeluarkan karbondioksida,
dan jika kadar karbondioksida menjadi tinggi di dalam kelas itu akan mengganggu suasana
pembelajaran. Sebuah strategi sederhana ini untuk kesejahteraan dan proses belajar yang
lebih baik di dalam kelas.
Pada musim semi sekolah Finlandia menerapkan strategi pembelajaran di luar
ruangan, berjalan-jalan disekitar sekolah, bermain ski di atas es, bermain kereta luncur,
kemah bersama, pergi ke hutan dimana siswa bisa belajar beberapa konsep matematika dan
semua itu dilakukan di hari sekolah. Sekolah di Finlandia mendorong penyelenggaraan
pembelajaran berbasis lingkungan dengan memindahkan sejumlah pengalaman ruang kelas
yang substansial ke alam sekitar. Pembelajaran berbasis alam juga dapat membantu anak
belajar membangun interaksi, kepercayaan diri, mempertebal rasa, kemandirian, saling
peduli satu sama lain serta memberikan manfaat psikologis dan kesehatan fisik para siswa.
Pengalaman pembelajaran di luar ruangan memiliki aspek geografis, artistik dan linguistik,
ilmiah dan historis, semua itu tidak bisa didapat pada pembelajaran di dalam kelas.
Didukung pernyataan Gardner (dalam Walker, 2017) pembelajaran di luar ruangan berbasis
alam dapat menambahkan kecerdasan jenis lain ke dalam daftar teori multiple intelligences
yakni “kecerdasan alam”. Secara sederhana, alternatif pembelajaran di luar ruangan juga
bisa dilaksanakan di sekitar halaman kelas atau sekolah, seperti menghijaukan sekolah
melalui menanam bunga, merawat tanaman di kebun, membersihkan kolam secara
bersama-sama. Pelaksanaan kegiatan tersebut bisa menjadi sumber kegembiraan para
siswa, meningkatkan antusiasme para siswa terhadap alam, para guru perlu berupaya
melaksanakan aktivitas dan memetik manfaat dari pembelajaran berbasis lingkungan untuk
membangun jembatan antara ruang kelas dan alam atau lingkungan sekitar.
Strategi untuk meningkatkan kesejahteraan pada pembelajaran yang terakhir yakni
menciptakan lingkungan sekolah yang damai. Sekolah di Finlandia telah meningkatkan
sebuah atmosfer yang menenangkan bagi para guru dan siswa, serta kepala sekolah
menerapkan hal ini menjadi prioritas sekolah. Hal ini yang membedakan dengan sekolah-
sekolah di negara maju lainnya yang menjadikan sekolah yang ketat, atau berbasis proyek,
atau pencapaian yang tinggi sehingga kedamaian di sekolah susah ditemui. Fitur ketenangan
di sekolah-sekolah Finlandia serta suasana hati yang damai menciptakan proses belajar
dengan suasana belajar yang damai dan bersahabat merupakan alasan utama mengapa para
siswa dapat belajar secara efisien dan telah menunjukkan hasil belajar yang sangat baik di
dunia internasional seperti PISA.
RASA DIMILIKI
Salah satu bahan utama kebahagiaan menurut literatur akademik adalah rasa memiliki
(sense of belonging) menurut Pinkser (dalam Walker, 2017). Di Finlandia memandang kelas
dengan kacamata berbeda, yakni bukan hanya kelas “saya” namun itu kelas “kami”. Sebagai
guru, ada berbagai cara yang dapat dilakukan untuk membudayakan suatu perasaan saling
terhubung dalam kelas pada kegiatan mengajar sebagai suatu usaha kolaboratif. Sebagai
guru memang perlu waktu untuk mengenal siswa dengan baik, dan bagi banyak pendidik
akan terasa sulit jika harus terpaksa melambaikan selamat tinggal kepada para siswa setiap
akhir tahun ajaran yang menunjukkan hal itu merupakan keberhasilan menjalin ikatan yang
kuat di kelasnya. Salah satu contoh sederhana yang bisa diimplementasikan yakni memberi
salam dan menyapa para siswa di depan pintu saat akan memasuki kelas. Salamnya pun bisa
divariasikan dengan keinginan para siswa, bisa jabat tangan, tos (high fives), atau lengan
ketemu lengan dengan selingan guyonan kecil, memuji siswa dengan rambut barunya,
bertanya tentang berita olahraga favoritnya, dan beberapa hal kecil lainnya pada aktivitas
tersebut. Bahkan aktivitas sederhana tersebut dilakukan tidak hanya pada awal sebelum
masuk kelas namun juga dilakukan pada saat mengakhiri kelas dengan berdiri di depan pintu
kelas, siap mengiringi para siswa pulang dengan ucapan yang semangat dan ceria. Rutinitas
sederhana ini merupakan sesuatu yang dapat menjadi peluang guru untuk mengenal setiap
siswa, memberi pesan bahwa guru bisa melihat siswa secara individual bukan sekedar
sekumpulan anak dengan memupuk hubungan personal setiap siswa dan setiap hari.
Pada sekolah umumnya jika pada tahun ajaran baru, maka para guru sibuk untuk
menyelesaikan semua persiapan dan mengatur semuanya sebelum sekolah dimulai. Bahkan
sampai pada tingkat menyusun rencana pembelajaran yang rinci, menit demi menit untuk
beberapa hari pertama sekolah. Namun di Finlandia ketika minggu pertama sekolah tiba,
mereka lebih santai. Memulai start yang lebih lunak supaya rutinitas dan prosedur sekolah
tumbuh perlahan dalam diri para siswa. Biasanya hari pertama sekolah dihabiskan dengan
mengobrol tentang liburan musim panas, bermain, dna berolahraga bersama. Lebih
menyukai jika para siswa menjalani “proses organik” kembali ke sekolah, bukan
membagikan buku paket atau bahkan memberikan pekerjaan rumah. Menurut Linnanen
(dalam Walker, 2017) menggambarkan hari pertama sekolah sebagai “rhymayttaminen”
yang artinya berkelompok yang diwujudkan dalam bentuk “team building” untuk
bersemangat mengawali tahun ajaran secara bersama-sama. Jadi yang dilakukan pada hari-
hari awal sekolah yakni santai, menikmati hubungan yang menyenangkan bermain bersama
dengan siswa untuk memperkuat hubungan personal antara lingkungan, guru dan siswa.
Pada intinya, para siswa juga membutuhkan rasa dimiliki mulai saat tahun ajaran dimulai.
Memperkuat rasa dimiliki seperti yang disebut di atas juga bisa berdampak
mengurangi atau bahkan menghapus bullying (perisakan). Meskipun dalam prakteknya telah
melakukan segala daya upaya terbaik untuk mendukung interaksi positif di kelas, perisakan
masih saja tetap terjadi dan ketika itu terjadi, memerlukan pendekatan yang segera.
Menurut US National Academies of Sciences, Engineering, and Medicine (Dalam Walker,
2017) bahwa 18 %- 31 % anak-anak dan remaja di Amerika mengalami perisakan (bullying)
di sekolah. Di Finlandia diperkenalkan program anti bullying yakni KiVa, singkatan dari
kiusaamista vastaan yang berati melawan perisakan atau arti kata dari kiva itu sendiri
berarti “baik” (Khamsi dalam Walker, 2017). Dalam sebuah studi terhadap 7000 anak
sekolah di Finlandia, para peneliti menemukan bahwa KiVa secara signifikan memperbaiki
kesehatan mental anak-anak yang diakibatkan oleh tingginya frekuensi bullying (Ring dalam
Walker, 2017). Strategi KiVa yakni para siswa mendapatkan instruksi yang berhubungan
dengan bullying dan mereka memainkan peran di kelas. Ketika terjadi konflik di antara
beberapa murid yang dianggap bully, para siswa dapat meminta suatu pertemuan KiVa
dengan guru. Kemudian guru bersama para siswa yang terlibat mengisi formulir yang
menjelaskan kejadian, menyepakati tanggal dan tempat pertemuan negosiasi kemudian
menunjuk dan berkomunikasi 1 siswa yang lebih tua yang telah dilatih untuk menangani
konflik ini. Dengan harapan siswa yang lebih tua dapat menghadiri dan memfasilitasi
negosiasi penangan konflik bully tersebut. Fokus awalnya adalah mendengarkan satu sama
lain dengan sudut pandang masing-masing, kemudian mengidentifikasi solusi untuk
mencegah kondisi seperti sebelumnya, dan satu pihak berjanji untuk melaksanakan strategi
pencegahan yang telah disepakati oleh oleh fasilitator KiVa. Jika dikemudian hari ternyata
masih mengulangi perisakan maka protokol tambahan diikuti peran orang tua dalam
penyelesaian konflik tersebut.
Di Finlandia untuk memperkuat rasa dimiliki, dikenal sebuah tradisi dimana siswa kelas
6 berpasangan dengan siswa kelas 1. Kolaborasi ini dapat sistem berkawan ini dapat
menumbuhkan rasa dimiliki dalam diri anak-anak kelas 1, mengikuti siswa kelas 6 dan
memeluknya sesering mungkin. Salah bentuk kegiatan berkawan ini yakni mengikuti
kegiatan beberapa pelajaran bersama-sama, saling membantu menyelesaikan pekerjaan
sekolahnya, kemudian melakukan pengamatan lapangan pada suatu kesempatan sehingga
berkontribusi meningkatkan level rasa dimiliki. Strategi berkawan ini tidak memerlukan
persiapan yang banyak, pada intinya ikatan antara kelas 6 dan kelas 1 terjadi sebelum tahun
pelajaran berlangsung sehingga para siswa dan para guru dapat menikmati rasa dimiliki yang
meningkat selama tahun ajaran.
KEMANDIRIAN
Guru Finlandia memegang prinsip bahwa memberi kebebasan adalah hal yang bijak
untuk dilakukan, memberikan siswa kesempatan berisiko rendah yang lebih banyak ketika
belajar membuat siswa mampu belajar secara mandiri. Seperti salah satu contoh yang
diberikan guru pada siswa kelas 6 untuk menyusun penilaiannya sendiri. Kemudian para
siswa secara bersama-sama menyusun dan sepakat untuk merancang penilaiannya sendiri
melalui kuis Kahoot!, kemudian divalidasi oleh guru ketika siap digunakan. Hal ini
merupakan pelajaran yang berharga, sebuah nilai dari tidak memberikan kekangan dan
mengajak siswa untuk memikul tanggung jawab yang lebih besar secara bersama-sama
dapat menumbuhkan kemandirian pada diri siswa lewat pemberian sedikit kebebasan.
Memberikan sedikit kebebasan dan meninggalkan batas dalam pembelajaran di kelas
seperti pada waktu pembelajaran berbasis proyek, siswa dibebaskan mengerjakan di mana
saja, aktivitas apa saja misal membaca di perpustakaan atau berdiskusi di taman atau
bahkan mengijinkan siswa mengerjakan tugas sambil mendengarkan musik MP3 selama
siswa tetap dipantau tetap fokus pada tujuan pembelajaran. Dengan memberikan siswa
kemandirian yang lebih banyak, maka guru akan mendapatkan kemandirian yang lebih besar
juga.
PENGUASAAN
Pada tanggal 4 Desember 2021, hasil PISA pertama kali diluncurkan diantara negara-
negara OECD Finlandia berada di peringkat tertinggi pada ketiga area akademik; membaca,
matematika, dan IPA (Sahlberg, dalam Walker 2017). Hal ini menunjukkan bahwa gap
prestasi antara siswa Finlandia dengan Jepang, Korea dan Hong Kong tidak terlalu jauh.
Siswa Finlandia mempelajari semua pengetahuan dan keahlian yang mereka tunjukkan
dalam tes tersebut tanpa bantuan tutor pribadi, kelas tambahan seusai sekolah, serta tanpa
setumpuk pekerjaan rumah khusus seperti siswa di Asia Timur. Menjadi bahagia merupakan
salah satu hal mendasar yang harus dimiliki adalah perasaan kompeten (penguasaan) dalam
suatu area bidang. Raj Raghunathan (dalam Walker, 2017) mengatakan bahwa penguasaan
akan suatu hal adalah menjadi sebuah kebutuhan. Strategi penguasaan sebuah konten/ unit
pembelajaran yakni fokus mengajarkan hal-hal mendasar, membuat rencana dengan
menjajarkan rencana unit pembelajaran lebih dekat dengan kurikulum bisa menjadikan
siswa lebih mudah untuk mencapai penguasaan di kelas. Memprioritaskan hal-hal yang
mendasar dalam kelas dan tidak terpengaruh oleh aspek tambahan dalam mengajar
menjadi salah cara terbaik untuk tetap fokus dengan mempraktekkan sesuatu dengan
menggunakan buku pegangan.
Hal yang mendasar terdapatnya perbedaan prestasi pembelajaran antar negara yakni
mindset/pola pikir. Di Finlandia terdapat moto kultur yang sudah ada sejak jaman dulu yakni
“bekerja untuk hidup” dan bukan “hidup untuk bekerja”. Banyak guru atau profesional
lainnya yang kompeten, bekerja keras, tampak serius dengan pekerjaannya namun di waktu
luang mereka cenderung tenggelam dengan hobi yang dapat meningkatkan kebahagiaan
dalam hidupnya yang pada akhirnya meningkatkan pertumbuhan profesinya. Ada dua tipe
pandangan predominan yang dibawa manusia dalam kehidupannya (Raghunathan dalam
Walker, 2017) pertama pendekatan scarcity-minded (menekankan kelangkaan), dimana
kemenangan seseorang akan berujung pada kekalahan orang lain yang berujung pada
perbandingan sosial. Pandangan kedua yakni abundance-minded (berorientasi pada
kelimpahan) dimana ada ruang bagi setiap orang untuk tumbuh. Pinsker (dalam Walker,
2017) peneliti menunjukkan bahwa anak-anak yang menjadi model orang-orang yang
mengadopsi pendekatan scarcity-oriented karena “tolok ukur ekstrinsik” gagal untuk
mengalihkan mereka, anak-anak mengejar apapun untuk membuat mereka bahagia.
Sedangkan Finlandia mengadopsi pendekatan abundance-oriented, tidak terpengaruh
dengan bagaimana mereka bergantung pada guru lain, dan sikap itu mempengaruhi
pekerjaan mereka dengan perasaan bahagia dengan ditunjukan angka kolaborasi yang
sangat tinggi di sekolah-sekolah Finlandia. Menggeser sudut pandang dari apapun yang
bersifat kompetitif, dimana tidak lagi mencari yang lebih baik dari yang lain melainkan fokus
pada upaya terbaik yang bisa diberikan.
Dalam praktiknya, guru Finlandia menyarankan untuk menemukan flow yang tepat
dalam proses pembelajaran, karena tidak hanya membawa perasaan bahagia juga dapat
meningkatkan kinerja dan mengembangkan keterampilan seseorang (Cherry dalam Walker,
2017) sehingga mengalami emosi positif ketika bekerja secara efisien untuk menguasai
sesuatu. Salah satu gangguan terbesar yang perlu dihilangkan adalah sesuatu yang
tersembunyi yakni budaya persaingan. Siswa senantiasa mengawasi para kinerja para guru,
jika guru bekerja sebaik mungkin tanpa membandingkan siswa satu dengan yang lain maka
akan menjadi contoh siswa yang akan memupuk budaya non-kompetisi di dalam kelas
dengan memperbanyak kolaborasi karena tidak ada seorang pun yang mencapai apa pun
seorang diri. Salah satu jawaba popular dari para guru Finlandia yang berkenaan dengan apa
yang membuat gembira adalah kolaborasi. Membantu satu sama lain untuk melacak sumber
belajar yang diperlukan untuk pelajaran berikutnya, berdiskusi cara yang terbaik untuk
siswa, menganalisis kurikulum secara bersama-sama, bagaimana cara memperbaiki jam
istirahat siswa, cara menilai ujian, para guru Finlandia saling menawarkan bantuan di
tengah-tengah asiknya minum kopi pada waktu istirahat sehari-hari. Para guru Finlandia
bekerjasama karena kebiasaan yang dilakukan dua orang atau lebih untuk meningkatkan
mutu belajar mengajar termasuk bagaimana mengakomodasi kebutuhan siswa yang
mengalami kesulitan. Sehingga kolaborasi ini adalah tentang mindset/pola pikir yang sering
dilakukan para guru pada waktu istirahat dengan Tindakan sederhana duduk beberapa
menit dengan rekan guru lainnya yang dilakukan setiap hari berarti menyusun setapak demi
setapak kolaborasi yang lebih besar.
Para guru Finlandia selalu meluangkan satu waktu periode khusus untuk beristirahat
dan bersantai untuk mengisi ulang tenaga untuk mempersiapkan diri pada tugas
pembelajaran berikutnya. Meluangkan waktu liburan dengan melepaskan segala aktivitas
belajar mengajar, email dan sosial media untuk self healing dan self reward atas pekerjaan
yang dilakukan periode sebelumnya. Hal ini yang membuat para guru tetap bahagia dan
menikmati pekerjaannya yang akan berdampak positif pada belajar siswa. Strategi paling
sederhana yang bisa diambil yakni jangan lupa bahagia, kebahagiaanlah yang membuat para
guru tetap mengajar dan selalu berkomitmen untuk memprioritaskan pembelajaran.
Kesimpulan
Sekolah di Finlandia menggarisbawahi pentingnya kesehatan fisik, emosi dan mental
para guru dan siswa, langkah sederhana ini yang pada akhirnya memperbaiki kualitas belajar
mengajar dan membuat kelas menjadi lebih menyenangkan. Finlandia mengajarkan bahwa
“Kebahagiaan bukanlah hasil dari kesuksesan, namun kebahagiaan adalah kunci
kesuksesan”. Terbukti Finlandia memiliki indeks kebahagiaan paling tinggi menurut World
Happiness Report (2021) memiliki skor 7.842 jauh mengungguli negara-negara adidaya
seperti Amerika, Australia, Jerman, Selandia Baru, Kanada, dan Singapore. Prinsip dasar
kebahagiaan yang diterapkan Finlandia memberikan prestasi pendidikan dunia internasional
yang luar biasa dengan memiliki skor PISA membaca, matematika, sains dari tahun 2000
hingga 2018 konsisten menjadi salah satu negara dengan nilai yang paling tinggi. Finlandia
memiliki sejumlah strategi pengajaran sederhana untuk kelas yang menyenangkan bagi para
siswa yang bisa dipelajari dan diterapkan di tempat lain.
Strategi pengajaran di Finlandia pertama meraih kesejahteraan, yakni memberikan
jadwal istirahat otak yang sering pada saat pembelajaran, belajar sambil bergerak, recharge
sepulang sekolah, menyederhanakan ruang, menghirup udara segar, masuk ke alam liar,
menjaga kedamaian. Strategi pengajaran berikutnya yakni mengikat para siswa dengan rasa
dimiliki dengan mengenal setiap siswa, bermain dengan para siswa, merayakan
pembelajaran siswa, mengejar mimpi kelas, menghapus bullying, dan berkawan. Kemudian
menanamkan pribadi penuh kemandirian dengan memulai dengan kebebasan,
meninggalkan batas, menawarkan pilihan, membuat rencana bersama siswa, membuat
pembelajaran jadi nyata, tuntutan tanggung jawab. Kemudian mencapai penguasaan,
dengan mengajarkan hal-hal mendasar, menggunakan buku pegangan, memanfaatkan
teknologi secukupnya, memasukkan musik dalam pembelajaran, menjadi pelatih,
membuktikan pembelajaran, serta mendiskusikan nilai dengan para siswa. Dan yang terakhir
dan paling penting yakni menanamkan pola pikir dengan mencari flow tepat sesuai minat
dan kebutuhan siswa, berkolaborasi, melepaskan diri untuk berlibur, dan jangan lupa
bahagia. Strategi-strategi pengajaran sederhana diatas telah membuktikan prestasi
pendidikan secara internasional dapat diadopsi oleh para pelaku pendidikan sebagai solusi
alternatif dalam upaya peningkatan mutu pembelajaran dan menciptakan generasi masa
depan yang hebat.
Referensi:
Helliwell F., John, dkk. 2021. World Happiness Report. New York: 2021
Walker, D. Timothy. 2017. Teach Like Finland. Jakarta: Gramedia
OECD. 2021. Education. https://data.oecd.org/education.htm diakses pada 23 Desember
2021