Anda di halaman 1dari 5

Hantaran Gulai Ayam

Oleh
PUSPA SERUNI

Aku memandangi mangkuk melamin putih berukuran jumbo yang berisi potongan
ayam disertai kuah santan kental berwarna kuning kemerahan dengan taburan
bawang goreng di atasnya. Asap tipis yang menguar membawa aromanya menggelitik
penciuman dan membangkitkan rasa laparku. Kata suamiku, gulai ayam buatanku
mengalahkan gulai ayam di rumah makan Padang mana pun. Dan hari ini, aku
memasaknya khusus untuk keluarga Lego, tetangga sebelah kanan, yang beberapa
waktu lalu sempat ribut denganku. Setelah berpikir berulang kali, kurasa hantaran
gulai ayam ini akan menjadi senjata pamungkas menyelesaikan kemelut di antara
kami.

Segera kubergegas mencuci muka, mengganti daster dengan pakaian pantas, dan
sedikit menggunakan bedak serta menyemprotkan parfum supaya bau bawang tidak
tercium menyengat dariku. Aku yakin, aroma gulai ini sudah sampai di cuping hidung
Bu Lego yang sering kembang kempis saat melirikku dengan sinis.

Sebagai tetangga yang baik, aku tidak akan membiarkan tetangga menghidu aroma
masakan tanpa mencicipinya. Membayangkan mulut Bu Lego penuh dengan kuah
gulai, membuatku terkikik-kikik. Aku segera mengambil mangkok kemudian berjalan
keluar rumah. Untuk sementara kuabaikan pot-pot bunga yang bergelimpangan di
teras yang tanahnya menyebar di lantai tercampur dengan kotoran-kotoran ayam.
Aku acuh dan memilih segera bertemu Bu Lego.

Aku mendorong pintu besi rumah Bu Lego, seketika hamparan halaman yang bersih
dan tertata rapi terlihat. Di sudut pelataran, anggrek-anggrek beraneka rupa di
gantung dan sebagian disusun di rak kayu, sementara di teras terlihat pot-pot bunga
di tata artistik pada rak besi. Tampak sangat berbeda dengan halamanku yang
rumput-rumputnya gundul dan tanaman yang habis daunnya. Apalagi, pagi ini
hampir semua pot jatuh bergelimpangan. Aku menarik napas panjang, satu per satu
peristiwa beberapa bulan belakangan berserakan di dalam labirin ingatan.

Aku bukan warga baru di desa ini, rumah ini adalah rumah orang tuaku. Sejak kecil
aku lahir dan tumbuh di sini. Sejak menikah lima tahun lalu, aku ikut bersama suami
di rumah orang tuanya di luar kota. Tahun kemarin, setelah ibu mulai sakit-sakitan,
kami memutuskan untuk kembali ke kota ini dan menetap disini untuk merawat ibu
yang tinggal sendirian sejak bapak meninggal dua tahun lalu.
Bu Lego, perempuan berusia lebih dari lima puluh tahun, adalah tetangga sebelah
kanan. Dia tinggal bersama suaminya yang seorang pensiunan. Beberapa kali aku
sempat melihat ketiga anak beserta keluarganya datang berkunjung. Mereka adalah
keluarga besar yang hangat. Jika anak-anaknya datang, suasana rumah Bu Lego selalu
ramai. Mereka akan berkumpul di halaman depan sambil menggelar berbeku. Tentu
saja aku hanya bisa menghirup aroma hidangan panggang itu.

Aku dan Bu Lego tidak terlalu sering berinteraksi. Akan tetapi beberapa bulan
terakhir, rasanya aku tidak bisa lagi menahan diri untuk tak mendatangi rumahnya.
Bukan karena aku tertarik ikut barbeku bersama keluarga Bu Lego tentu saja,
kedatanganku justru mau menyampaikan keberatanku. Mendengar protes yang
kusampaikan, Bu Lego biasanya hanya melirik dengan tajam. Salah satu sudut
bibirnya akan ditarik ke arah pipi, kemudian megalirlah kicauan sinis ala Bu Lego.
Bahkan, setelah aku berkali-kali mengunjunginya, dia tetap abai pada keluhanku. Aku
sebenarnya sudah lelah, itulah kenapa akhirnya aku memutuskan untuk memberi
gulai ayam ini kepadanya.

Aku baru saja hendak mengetuk pintu rumah Bu Lego saat tiba-tiba pintu terbuka. Bu
Lego, dengan rambut keritingnya yang sedikit mengembang, muncul di pintu. Dia
terkejut melihatku datang. Matanya langsung menatap mangkuk melamin putih berisi
gulai ayam dengan kuah kental kemerahan.

”Wah, ada apa, nih?” tanya Bu Lego dengan mimik wajah bingung.

”Kebetulan saya masak banyak, Bu. Saya khawatir ibu mencium aroma masakan saya,
akan jadi bersalah kalau saya tidak membaginya dengan ibu,” jawabku sambil
tersenyum, sambil sedikit menyindir Bu Lego.

”Iya, nih. Dari tadi nyium aroma masakan, bikin perut lapar.” Bu Lego masih menatap
dengan penuh selidik. Mungkin dia berpikir, kok tumben aku datang bukan untuk
protes.

”Iya, Bu. Silakan dinikmati, khusus buat Bu Lego dan Pak Lego.”

Tangan Bu lego antusias menerima mangkuk yang kusodorkan. Matanya tak lepas
terus menatap gulai ayam.

”Tetangga memang seharusnya begini, saling menghormati, saling menghargai dan


berbagi.”

Aku mengangguk dan tersenyum. Setelah berpamitan, aku berbalik badan. Tanpa
sadar sudut bibirku tertarik ke arah pipi. Aku mencoba menahan diri untuk tidak
tertawa sinis. Aku terus melangkah keluar halaman dengan tenang. Kudengar di
belakangku Bu Lego sudah menutup pintu rumah. Sebelum menutup pintu pagar
rumah Bu Lego yang tinggi, kusempatkan melihat deretan tanaman anggrek yang
kutaksir berharga mahal itu.

Rumahku dan Bu Lego memang sangat berbeda. Rumahku adalah rumah tua, yang
ditempati turun temurun dari kakek nenekku. Bangunan sedang dengan model yang
sudah kuno, halaman depan dan belakang cukup. Pagar rumahku terbuat dari bambu
dengan tinggi kurang lebih satu meter dan tanpa pintu yang kokoh. Ibuku memiliki
banyak tanaman di halaman depan. Tidak semahal anggrek-anggrek Bu Lego tentu
saja, hanya tanaman biasa yang dirawat ibu untuk mengisi waktu di masa tuanya
setelah bapak tiada. Mungkin karena itu, Bu Lego tak pernah mau mendengarkan
teguranku. Dia menganggap, tidak ada sesuatu di halaman rumahku yang harus dijaga
sehingga dia membiarkan saja ayam jago peliharaan suaminya mengacak-acak
halamanku.

Pak Lego sangat hobi memelihara binatang, mulai dari burung, ayam jago, kucing
hingga anjing. Sudah bukan rahasia lagi, kalau ayam-ayam Pak Lego suka berkeliaran
ke halaman rumah tetangga. Pak Lego memang sengaja melepaskan ayam-ayam itu
di luar pagar rumahnya dengan alasan agar ayam-ayam kampung itu bebas seperti di
habitat aslinya. Tidak hanya itu, anjing Pak Lego sering mengorek-ngorek tempat
sampah di depan rumah warga dan membuat isinya berhamburan. Dan, tentu saja
yang paling sering kedatangan ayam-ayam dan anjing Pak Lego adalah rumahku.

Aku tidak tahu bagaimana selama ini ibuku menghadapinya. Ibu sama sekali tidak
pernah mengeluhkan ayam dan anjing peliharaan Pak Lego yang bertandang ke
rumah. Akan tetapi sejak aku tinggal di rumah ini, aku melihat Pak Lego dan Bu Lego
dengan seenaknya saja melepas liarkan peliharaan mereka yang ujung-ujungnya
mengganggu, setidaknya untukku. Ayam-ayam itu sering terlihat mematuk rumput
atau daun-daun bunga milik ibu, belum lagi tak jarang meninggalkan kotoran di teras
rumah dan halaman. Sedangkan anjing itu, acapkali membuat sampah di depan rumah
berantakan dan sering tanpa permisi duduk di bangku di teras rumahku.

Awalnya, aku menyampaikan keberatanku kepada Pak Lego dan Bu Lego dengan cara
yang baik, tetapi tidak pernah ada tindak lanjut. Bahkan, setelah aku cukup menahan
diri untuk tidak marah, aku kembali datang ke rumah mereka untuk menyampaikan
bahwa selama ini ayam-ayam mereka sudah menggangguku.

”Ya, salah sendiri nggak di pagar. Emangnya ayam-ayam itu tahu bunga-bunga itu
nggak boleh di makan. Kita mana bisa mengatur kemana ayam itu mau berkeliaran,”
Bu Lego menjawab dengan sinis.
Sejak saat itu, aku memutuskan untuk membuat pintu pagar. Anjing Bu Lego memang
tidak lagi masuk halaman meskipun masih terus membuat tempat sampahku
berantakan. Sedangkan ayam-ayam itu tetap saja datang, melompati pagar yang
memang tidak terlalu tinggi.

“Bikin pagar yang tinggi. Warga lain nggak ada yang protes, loh. Mbak Ririn aja, nih,
yang bolak-balik protes. Lagian, bunga apa sih yang dimakan ayam-ayam saya?
Mahal?”

Masih dengan nada sinis Bu Lego menanggapi keluhanku karena ayam-ayamnya


tetap masuk ke halaman rumah meski sudah di pagar.

“Tolonglah, Bu. Kita saling menghargai. Usahakan ayam ibu tidak masuk ke rumah
saya. Kalau ibu mau melepaskan ayam-ayamnya, di halaman sendiri saja. Tanaman
ibu saya sudah habis, Bu.”

“Masak urusan ayam saja dibesar-besarkan.”

Bu Lego dan Pak Lego tak pernah menggubris keluhanku. Malah tak lama setelah itu,
kulihat ayam-ayam peliharaannya bertambah menjadi lima ekor. Mereka seolah
sengaja membuatku semakin geram. Aku pernah berusaha mengadukan
ketidaknyamananku kepada Pak RT, tetapi Pak RT tampaknya juga enggan menegur.

“Nggak enak, Mbak. Pak Lego itu rajin nyumbang kalau ada acara RT dan desa. Sabar,
Mbak, Akan lebih nyaman bertetangga kalau saling tepa selira.”

Aku mendengkus kasar mendengar jawaban Pak RT. Saat kubicarakan dengan ibu
perihal ayam-ayam Bu Lego, ibu hanya tersenyum sambil mengusap-usap
punggungku.

“Kadang memang ada orang yang tipe seperti itu. Merasa bahwa dia boleh saja
memasuki halaman rumah orang lain tanpa ijin, bahkan mungkin mengacak dan
mengotori. Tapi saat yang punya rumah marah, malah bersikap seolah teraniaya dan
mengatakan kita tidak toleran terhadap mereka.”

Aku sudah hampir putus asa, karena setiap hari harus membersihkan kotoran ayam
dari teras dan harus merapikan tanaman-tanaman ibu yang diacak-acak ayam.
Setelah hampir satu tahun berkutat dengan ayam-ayam Bu Lego yang melanggar
batas teritori, hari ini aku memutuskan untuk mengakhiri kemelut itu. Aku tidak
mungkin merubah pagar bambu pendek rumahku dengan pagar besi tinggi seperti
milik Bu Lego, aku tidak punya dana untuk itu. Maka salah satu cara termudah adalah
mengembalikan ayam-ayam itu ke rumah Bu Lego.
Langit sudah memerah saat tiba-tiba pintu rumahku diketuk. Aku bergegas keluar
untuk membuka pintu. Kulihat Pak Lego berdiri dengan wajah cemas.

”Mbak, lihat ayam-ayam saya? Ada dua ekor belum kembali.” Pak Lego bertanya
dengan dahi berkerut.

”Tadi lihat, Pak. Itu pot-pot saya masih bergelimpangan karena ayam-ayam Bapak.
Dan ini tai-tainya juga masih ada di teras bahkan, nih, di meja.”

Aku menunjuk kondisi terasku yang berantakan. Pak Lego tampak menelan ludah dan
bergidik jijik.

”Ayam saya nggak pulang, biasanya kalau sudah gelap begini mereka pulang sendiri.”
Pak Lego terlihat cemas.

”Oh, tadi sore saya liat ayamnya sudah kembali ke rumah Pak Lego. Coba tanya Bu
Lego, sepertinya ibu yang menyambut ayamnya tadi.”

Aku menahan diri untuk tidak tersenyum. Pak Lego mengangguk kemudian berbalik.
Aku menatap punggung Pak Lego dengan dada lega. Jembrana, 27 Juni 2022

***

Anda mungkin juga menyukai