Anda di halaman 1dari 3

AKU RINDU AYAH

Saudaraku ada lima orang. Ditambah aku, Ayah, dan Ibu jumlahnya jadi delapan orang. Banyak, ya?
lya, makanya suasana rumah kami selalu riuh rendah. Gelak tawa, rengek tangis, omelan, atau
nyanyian, silih berganti. Suasana rumah tidak pernah lengang, kecuali bila Ayah di rumah.

"khara, turunkan sikutmu dari meja!" perintah Ayah sewaktu makan bersama.

“Ya, Ayah," jawab khara, kakakku dengan manis.

"Jangan bicara selagi makan, emma!" tegur Ayah padaku.

"Baik, Ayah!" jawabku dengan patuh.

Itu sebagian aturan yang diberlakukan Ayah di meja makan. Aturan yang membuat suasana saat
makan bersama terasa hikmat seperti saat upacara bendera di sekolah. Belum lagi aturan-aturan
rumah lainnya. Duh, ampuuuunn, banyak sekali. Makanya, kalau Ayah di rumah, rumah jadi
lengang.

Ayah punya seorang adik perempuan, aku memanggilnya Tante Mikha. Tante Mikha tinggal di Jogja.
Suasana rumah Tante Mikha sangat berbeda dengan suasana rumahku. Soalnya, penghuni rumah
Tante Mikha tidak banyak. Anaknya cuma satu, sebaya denganku, namanya Luke.

"Sabtu ini ibumu mau ke Jogja, menengok Oma di rumah Tante Mikha. Kamu temani Ibu, mau?"
tanya Ayah padaku, seusai makan malam. Aku terkesiap.

Adikku protes, "Kok Kak Emma boleh ke Jogja, aku tidak!"

"Kak Emma ulangannya bagus-bagus minggu ini, jadi dia dapat hadiah," jawab Ayah dengan tenang.

Adikku Nike cemberut.


"Kamu tidak mau, Emma?" tanya Ayah.

"Eh, mau, mau, Ayah!" jawabku cepat-cepat.

Kalau aku tidak segera menjawab bukan karena aku menolak, tetapi aku terlalu gembira. Sudah
lama aku ingin berlibur ke Jogja, di rumah Tante Mikha. Ohoho, di sana tak ada macam-macam
aturan ketat. Semula kami berencana hanya tinggal dua hari di Jogja, hari Sabtu dan Minggu.
Ternyata, Oma masih rindu padaku. Oma meminta kami tinggal dua hari atau tiga hari lagi.

"Lo, Emma harus sekolah, Bu!" Ibu memberi alasan.

"Aku masih ingin bersama cucuku. Minta izin pada Bu Guru untuk bolos sehari lagi saja," ujar Oma,
ringan.

Ibuku kelihatan hendak membantah. Wah, apa kata Ayah nanti? Aku tak berani komentar. Aku, sih,
mau saja berapa lama pun tinggal di rumah Tante Mikha. Soalnya, segalanya serba menyenangkan.
Tidak ada aturan begini, begitu! Mana mungkin Ibu menolak permintaan Omaku yang sudah hampir
delapan puluh tahun itu? Jadi, kami memperpanjang tinggal di rumah Tante Mikha. Ternyata,
perpanjangan tinggal bukan cuma satu dua hari seperti permintaan Oma semula. Sekarang ini
sudah memasuki hari keempat!

Wah, wah, bagaimana sekolahku? Ibu bolak-balik telepon ke rumah, tapi Ayah masih dinas di luar
kota. Duh, duh, aku mulai resah. Perlahan, kegembiraanku surut. Tetapi aku tidak berani mengeluh
pada Ibu. Sebab kulihat setiap hari Ibu keletihan merawat Oma. Hebatnya, Ibu tidak pernah
mengeluh. Malah Ibu berkata, "Begitulah kalau sudah tua. Kita harus maklum, makin tua orang
cenderung bertingkah seperti kanak-kanak."

Oh, begitukah?

Perlahan juga aku mulai merasakan ada sesuatu yang hilang dari keseharianku. Sebelum makan,
aku terpaksa berdoa sendiri. Padahal biasanya aku berdoa bersama adik dan kakakku. Begini
rupanya perbedaan rumahku dengan rumah Tante Mikha, batinku. Tante Mikha dan keluarganya
memang baik padaku. Tetapi sosok seperti Ayah? Yang disiplin dan tegas seperti tentara, yang bisa
menciptakan suasana rumah lengang atau gaduh tak terkira, hanya ada di rumahku.

"Oh, aku ingin cepat pulang, Bu. Aku rindu Ayah," kataku sambil mendekap ibuku sekali lagi.

“Tak usah sedih, besok kita pulang!" kata Ibu sambil mengelus rambutku.

Anda mungkin juga menyukai