Anda di halaman 1dari 12

Kliping Sejarah Budi Utomo

XI MIPA 4
Anggota kelompok
1. Gracia Sarah / 15
2. Maria Estherlita / 21
3. Nicholas Hans / 27

SMA STRADA ST. THOMAS AQUINO


Tahun Pelajaran 2022/2023
Jl. Pabuaran Indah Pabuaran, RT.002/RW.00, Pabuaran, Banten, Kota Tangerang,
Banten 15114
Kliping Sejarah Budi Utomo
Perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia mengalami banyak proses yang
sulit,salah satunya pergerakan Indonesia pada zaman sebelum kemerdekaan. Saat itu
perjuangan Indonesia masih bersifat kedaerahan dan masih menggunakan cara konvensional
untuk memperoleh kemerdekaan,yaitu berperang. Hingga akhirnya pada 1908 lahirlah sebuah
organisasi pertama pergerakan nasional bernama Budi Utomo.

Adapun faktor faktor yang timbul dari dalam negeri. Untuk bergerak secara nasional.
Adalah sebagai berikut:
1. Adanya tekanan dan penderitaan yang terus menerus. Sehingga rakyat
Indonesia harus bangkit melawan penjajah
2. Adanya rasa senasib-sepenanggungan yang hidup dalam cengkeraman
penjajah. Sehingga timbul semangat bersatu membentuk negara.
3. Adanya rasa kesadaran nasional dan harga diri. Karena kehendak untuk
memiliki tanah air dan hak menentukan nasib sendiri .
4. Dan lain lain

Sedangkan menurut Sudiyo, faktor luar negeri yang turut mempercepat proses
timbulnya pergerakan nasional, antara lain:
1. Adanya paham baru, yakni liberalisme dan human rights, akibat dari Perang
Kemerdekaan Amerika (1774-1783) dan Revolusi Perancis (1789), yang
sudah mulai dikenal oleh para elit intelektual.
2. Diterapkannya pendidikan sistem Barat dalam pelaksanaan Politik Etis (1902),
yang menimbulkan wawasan secara luas bagi pelajar Indonesia, walaupun
jumlahnya sangat sedikit.
3. Kemenangan Jepang terhadap Rusia tahun 1905, yang membangkitkan rasa
percaya diri bagi rakyat Asia-Afrika dan bangkit melawan bangsa penjajah
(bangsa berkulit putih).
4. Gerakan Turki Muda (1896-1918), yang bertujuan menanamkan dan
mengembangkan nasionalisme Turki, sehingga terbentuk negara kebangsaan
yang bulat, dengan ikatan satu negara, satu bangsa, satu bahasa, ialah Turki.
5. Gerakan Pan-Islamisme, yang ditumbuhkan oleh Djamaluddin al-Afgani
bertujuan mematahkan dan melenyapkan imperialisme Barat untuk
membentuk persatuan semua umat Islam di bawah satu pemerintahan Islam
pusat. Gerakan ini menimbulkan nasionalisme di Negara terjajah dan
antiimperialis.
6. Pergerakan nasional di Asia, seperti gerakan Nasionalisme di India, Tiongkok,
dan Philipina.

Situasi sosial ekonomi di Jawa pada abad ke 19 semakin memburuk setelah berganti-
ganti dilaksanakan eksploitasi kolonial dari cara tradisional sampai eksploitasi liberalisasi,
politik ethis dan semakin derasnya westernisasi yang dilakukan pemerintah kolonial. Dengan
demikian perubahan sosial ekonomi masyarakat tidak dapat dielakkan lagi dan keuntungan
ekonomi Indonesia mengalir ke negeri Belanda. Akibatnya kemelaratan dan kesengsaraan
semakin melekat dihati masyarakat. Dalam bidang pendidikan seperti janji pemerintah tidak
terpenuhi, karena banyak anak Indonesia yang belum dapat pendidikan dikarenakan
kurangnya dana. Hal itu menimbulkan keprihatinan Dokter Wahidin Sudirohusodo dari
Yogyakarta. Pada tahun 1906 Wahidin mendirikan Yayasan Bea Siswa (Studie-fonds) untuk
membiayai pemuda-pemuda yang pandai tapi miskin yang ingin melanjutkan pelajaran ke
sekolah lebih tinggi. Untuk menghimpun dana, Wahidin melakukan propaganda keliling
Jawa.

Pada tahun 1907, Wahidin Sudirohusodo melakukan kunjungan ke STOVIA dan


bertemu dengan para mahasiswa yang masih bersekolah di sana. Lalu, ia menyerukan
gagasan pada mereka untuk membentuk organisasi yang dapat mengangkat derajat bangsa.
Para siswa STOVIA, yang kebanyakan berasal dari kota-kota kecil itu juga memperoleh
dorongan intelektual dari kota besar dan modern. Sekolah itu terletak di Weltevreden di
jantung Batavia, sebagai kota terbesar, menjadi pusat kegiatan politik, perekonomian dan
kebudayaan serta merupakan pintu gerbang paling penting ke dunia luar. Di Batavia ini
menjadi kediaman kelompok intelektual non politik pribumi yang kecil namun sedang
tumbuh. Oleh karena STOVIA pada hakikatnya merupakan satu-satunya lembaga pendidikan
menengah di Batavia, maka wajarlah bila siswa- siswanya bergaul dengan kelompok
intelektual dan terpengaruh oleh ide-ide mereka.Selain itu, Sudirohusodo juga ingin
mendirikan sebuah organisasi di bidang pendidikan untuk bisa membantu biaya orang-orang
pribumi yang berprestasi dan mempunyai keinginan untuk bersekolah, tetapi terhambat oleh
karena tidak memiliki biaya. Gagasan ini menarik bagi para mahasiswa di sana, khususnya
Soetomo, Gunawan Mangunkusumo, dan Soeradji Tirtonegoro.

Selanjutnya, Soetomo bersama dengan M. Soeradji mengadakan pertemuan dengan


mahasiswa STOVIA yang lain untuk membicarakan gagasan organisasi yang disampaikan
oleh Sudirohusodo. Organisasi untuk kaum muda Jawa ini didirikan oleh Soetomo pada hari
Minggu tanggal 20 Mei 1908 pukul sembilan pagi. Para hadirin yang berkumpul di aula
STOVIA tidak hanya para siswanya saja, tetapi juga siswa- siswa dari sekolah pertanian dan
kehewanan di Bogor, sekolah pamong praja di Magelang dan Probolinggo,siswa sekolah
petang di Surabaya, sekolah pendidikan guru di Bandung dan Yogyakarta. Seruan kelompok
STOVIA dengan cepat tersebar di seluruh Jawa. Walaupun tanggal 20 Mei selalu dirayakan
sebagai hari kebangkitan nasional, tidak banyak informasi yang terungkap mengenai apa
yang sebenarnya telah terjadi di aula. Di dalam Budi Utomo, Soetomo akan dibantu oleh
Goenawan, Soemarmo, Mohammad Soleh dan Soelaeman yang rata-rata berusia 20-22 tahun.
Organisasi Budi Utomo ini menjadi sebuah wadah dalam perjuangan. Tujuannya untuk
membebaskan rakyat dari kesengsaraan yang ada. Organisasi ini didirikan oleh 9 tokoh.
Pengurusnya diantara lain :
1. Ketua: R. Soetomo.
2. Wakil ketua: M. Soelaiman.
3. Sekretaris I: Soewarno I (Gondo Soewarno).
4. Sekretaris II: M. Goenawan.
5. Bendahara: R. Angka.
6. Komisaris: M. Soeradji, M. Moh. Saleh, Soewarno II (M. Soewarno), dan
R.M. Goembrek.
Golongan terpelajar berharap dengan banyaknya pemuda-pemuda Indonesia yang
memperoleh pendidikan dapat mempercepat kemajuan bangsanya. Golongan terpelajar
berupaya agar masyarakat Indonesia memiliki kesadaran nasional yang tinggi terhadap
bangsanya melalui pendidikan. Hatta (1980:9) dalam buku yang berjudul “Permulaan
Pergerakan Nasional” menjelaskan tentang munculnya pergerakan nasional Indonesia yang
tidak dapat dipisahkan dari pelaksanaan pendidikan kolonial Belanda di Indonesia.
Pergerakan nasional mempunyai asas tujuan dan ideologi yaitu menciptakan masyarakat yang
maju. Pergerakan nasional dipengaruhi oleh politik kolonial Belanda yaitu politik etis.
Kesadaran nasional mendorong kaum terpelajar untuk mendirikan suatu gerakan, baik yang
berasaskan politik maupun sosial budaya. Gerakan awal yang didirikan pada masa pergerakan
nasional yaitu organisasi Budi Utomo yang bertujuan memperbaiki kehidupan masyarakat
dalam bidang pendidikan. Said dan Mansoer (1953:177) dalam buku yang berjudul
“Mendidik dari Zaman ke Zaman” menjelaskan bahwa pendidikan yang dilaksanakan
pemerintah kolonial Belanda tidak membuat rakyat puas dengan kebijakan-kebijakan yang
dijalankan. Awal abad ke-20 kesadaran nasional mulai tumbuh dikalangan pemuda yang telah
mendapat pendidikan. Golongan terpelajar mulai bergerak untuk mengadakan perrkumpulan
dalam wadah organisasi dalam melawan penjajah. Golongan terpelajar muncul sebagai
penggagas dan pemimpin-pemimpin organisasi-organisasi yang didirikan

Acara itu berlangsung tidak resmi di Ruang Anatomi milik STOVIA, saat tidak ada
jam pelajaran. Pertemuan tersebut membentuk sebuah organisasi yang diberi nama
"Perkumpulan Budi Utomo" sehingga Budi Utomo pun berdiri pada tanggal 20 Mei 1908 di
Jakarta. Berdirinya Budi Utomo menandai perkembangan baru dalam sejarah bangsa
Indonesia. Van Deventer berkomentar “ India, negeri cantik jelita yang selama ini tidur
nyenyak, kini telah bangkit”. Pers Belanda juga berkomentar tentang berdirinya Budi Utomo
dengan kata-kata “Java vooruit” (Jawa Maju) dan “Java onwaakt” (Jawa Bangkit).
Sebaliknya, pemerintah tidak senang dengan kelahiran “si molek”, orang Jawa semakin
banyak “cingcong”. Kelompok etisi justru mendukung dan menganggap sebagai renaissance
atau kebangkitan di Timur (Oostensche Renaissance) yaitu kebangkitan budaya Timur.
“Priyayi gede” yang mapan juga tidak senang terhadap kelahiran Budi Utomo, bupati
membentuk perkumpulan Regenten Bond Setia Mulia pada tahun 1908 di Semarang. Para
bupati menganggap bahwa Budi Utomo mengganggu stabilitas sosial mereka, sebaliknya
bupati progresif seperti Tirtokusumo dari Karanganyar justru mendukung. Budi Utomo
merupakan organisasi pertama yang ada di Indonesia dan disusun dengan bentuk modern.
Namun demikian keberadaan Budi Utomo bukan hanya berdasarkan kejadian- kejadian di
luar negeri yang akan menyadarkan tentang keadaan bangsanya akan tetapi berhubungan juga
dengan seacam organisasi yang ada sebelum tahun 1908. dalam majalah Retno Doemilah
yang terbit tahun 1895 dan Pewarta Priyayi, telah tercermin kenyataan tentang adanya
pertumbuhan di kalangan elite pribumi
Budi Utomo pun menjadi awal sebuah era nasionalisme indonesia yang dikenal
dengan nama pergerakan nasional. Tokoh-tokoh yang tercatat sebagai pendiri Budi Utomo
terdiri dari sembilan orang, yaitu Mohammad Soelaiman, Gondo Soewarno, Goenawan
Mangoenkoesoemo, Raden Angka Prodjosoedirdjo, Mochammad Saleh, Raden Mas
Goembrek dan M. Soewarno. Sifat Budi Utomo dapat dijelaskan berikut ini4 : pertama, pada
mulanya keanggotaannya terbatas pada golongan elite Jawa yaitu terdiri dari kaum intelektual
(terpelajar) dan pegawai pangreh praja (white collar) serta bangsawan. Terbatasnya anggota
karena adanya perasaan ketakutan mendapat saingan rakyat jelata. Kedua, sifat tersebut baru
lenyap sesudah 1927 karena pengaruh pergerakan lain, terutama Perhimpunan Indonesia dan
PNI. Ketiga, pada mulanya Budi Utomo hanyalah pergerakan sosial kultural yang bertujuan
membangun masyarakat Jawa-Madura harmonis. Sebagai organisasi pergerakan perintis, sifat
sosial kultural terpaksa dimiliki yang melarang berdirinya perkumpulan perkumpulan politik.
Keempat, Budi Utomo juga bersifat loyal-kooperasi terhadap pemerintah. Hal itu dapat
dipahami karena pemuka-pemuka dan pendukungnya kebanyakan orang-orang yang erat
dengan masyarakat Belanda bahkan diantaranya pegawai pemerintah.

Kelahiran Budi Utomo membawa dampak yang sangat luas. Organsasi ini bergerak di
bidang pendidikan yang kemudian menjadi pelopor kesadaran masyarakat dalam merintis
perkembangan yang harmonis bagi negeri dan bangsa Hindia Belanda. Budi Utomo juga
memberikan penekanan pada pendidikan karena bidang ini merupakan alat penting untuk
memajukan suatu bangsa. Budi Utomo juga meminta kepada pemerintah Hindia Belanda agar
bisa memberikan bea siswa agar bisa belajar ke negeri Belanda.

Saat masih didirikan di STOVIA, organisasi tersebut telah memiliki susunan pengurus
organisasi yang tertulis di dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga organisasi
tersebut. Pada masa itu, Soetomo menjadi Ketua dengan wakilnya, yaitu Soelaiman.
Pengurus lainnya terdiri dari Gondo Soewarno sebagai sekretaris I dan Goenawan sebagai
sekretaris II serta bendahara yang dijabat oleh Angka. Sisa pendiri lainnya menjabat sebagai
komisaris.

Seiring perkembangan waktu, Budi Utomo terus menambah anggota dan tokoh-tokoh
penting pergerakan Indonesia yang mulai bergabung, seperti Ki Hadjar Dewantara, Tjipto
Mangoenkoesoemo, Tirto Adhi Soerjo, Pangeran Ario Noto Dirodjo dan Raden Adipati
Tirtokoesoemo.Berita berdirinya perkumpulan ini tersebar di surat kabar dan menimbulkan
gerakan untuk mendirikan cabang di berbagai kota. Kantor-kantor cabang pun didirikan di
kota Magelang, Probolinggo dan Yogyakarta. Namun, fenomena ini mengancam status para
pendiri perkumpulan tersebut. Terutama Soetomo, karena Soetomo dianggap sebagai
pemimpin kelompok pemberontakan terhadap Hindia Belanda bersama dengan teman-teman
pelajarnya. Atas dasar ini, Soetomo terancam dikeluarkan dari STOVIA

Sebagai bentuk solidaritas, teman-temannya ikut berjanji untuk keluar dari sekolah
tersebut, jika Soetomo dikeluarkan. Namun, Soetomo tidak jadi dikeluarkan karena
mendapatkan pembelaan dari Hermanus Frederik Roll yang menyampaikan pembelaan
bahwa umur Soetomo yang muda menjadi alasan sifat berapi-apinya sama seperti orang yang
menuduh Soetomo ketika mereka saat muda. Pada bulan Juli 1908, Budi Utomo telah
mencapai anggota yang berjumlah 650 orang yang terdiri dari priyayi berpangkat rendah dan
pelajar.

Budi Utomo yang dilahirkan tanggal 20 Mei 1908 di STOVIA ini pun mulai menata
diri sistem organisasinya dengan melakukan kongres pertama yang dilakukan tanggal 3-5
Oktober 1908, bertempat di sekolah pendidikan guru Yogyakarta. Karena Budi Utomo
merupakan organisasi orang Jawa pribumi yang pertama, maka kongres akan menarik
perhatian luar biasa di kalangan pers dan tokoh masyarakat Jawa dalam kongres Budi Utomo
ini Dr. Wahidin terpilih menjadi ketua kongres tetapi pada hari kedua digantikan oleh Panji
Broto Atmojo, karena kesehatannya terganggu. Dalam kongres tersebut berhasil diputuskan
beberapa hal, yaitu
1. Menyusun Pengurus Besar Budi Utomo dengan diketui oleh R.A Tirtokusumo
yang merupakan mantan Bupati Karang Anyar
2. Mengesahkan AD/ART Budi Utomo
3. Ruang gerak terbatas pada daerah Jawa-Madura
4. Yogjakarta menjadi pusat organisasi

Melihat hasil kongres yang dinilai positif, maka tidak lama setelahnya di Jawa atau
luas Jawa juga didirikan cabang Budi Utomo. Kehadiran cabang tersebut tidak
mempengaruhi langkah perjuangan Budi Utomo untuk tetap berjuang di bidang sosial.
Hubungan antara Budi Utomo dengan pemerintah juga cukup dekat. Hal ini dikarenakan
banyak pengurus organisasi ini yang menjadi pegawai pemerintah. Oleh sebab itu, gerakan
dari Budi Utomo terkesan lambat dan hati-hati.

Hal tersebut yang membuat dr. Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat
akhirnya keluar dari Budi Utomo. Mereka ingin gerakan yang militan dan bisa bergerak
langsung di bidang politik. Sebenarnya Budi Utomo bukan tidak mau bergerak di bidang
politik, namun pergerakan di politik tidak boleh terlalu cepat. Pasalnya sejak awal, tujuan dari
organisasi Budi Utomo yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Maka dari itu, segala
sesuatu yang diperlukan harus bekerjsama dengan pemerintah.

Dalam pidatonya, Dr. Wahidin menekankan pada masalah tradisi Jawa masa lampau
dari pada modernisasi Jawa pada masa depan. Para siswa STOVIA dan sebagian hadirin
lainnya tentu saja tidak keberatan terhadap pendapat Dr Wahidin yang mementingkan
pendidikan Barat. Tetapi timbul sikap pesimis dari peserta kongres dimana pendidikan Barat
itu hanya bagi priyayi sedangkan para peserta menghendaki pendidikan untuk seluruh
penduduk di Hindia Timur Belanda. Jadi kongres tersebut dibagi dalam dua kelompok, yaitu
kelompok pertama yang diwakili Wahidin, Radjiman dan Swidjosewoyo yang berpendapat
“apabila elite masyarakat Jawa telah berpendidikan, maka rakyat jelata akan segera
mengikutinya atau pendekatan pendidikan dari atas”.

Rakyat pribumi awalnya menolak terhadap penyelenggaraan pendidikan oleh


pemerintah Belanda, namun jika menolak maka kemajuan pendidikan tidak akan tercapai. Dr.
Wahidin berusaha untuk menemui orang-orang terkemuka untuk membicarakan
kemungkinan mengadakan Studie Fonds (Dana Belajar) yang akan memberi kesempatan
kepada pemuda Indonesia untuk dapat melanjutkan pendidikan dan pengajaran (Agung &
Suparman, 2016:27). Dana Belajar tersebut diharapkan dapat menambah lahirnya golongan
terpelajar yang kelak akan bergerak untuk kemajuan bangsanya. Dr. Wahidin melalui
organisasi Budi Utomo memperjuangkan kemajuan dan perluasan pendidikan.

Kelompok kedua yang mewakili Tjipto, Goenawan dan Soetomo lebih mementingkan
kebutuhan akan pendidikan desa. Banyak di kalangan utusan, termasuk sementara STOVIA
sangat tidak berminat terhadap pendirian dari bawah. Mayoritas peserta kongres berasal dari
priyayi kecil yang tentu saja menginginkan kedudukan yang lebih tinggi. Mengingat situasi
sosial saat itu dan gagasan “pendidikan dari atas” yang diterima secara luas, maka sangat
tidak realistis kiranya apabila mengharapkan Budi Utomo dipimpin oleh seorang yang lebih
progresif sejak awal. Sebaiknya organisasi ini dipandang sebagai sarana untuk mewujudkan
cita-cita yang lebih bercorak tradisional. Nampaknya akan terjadi suatu argumentasi tentang
bentuk organisasi Budi Utomo apakah bentuk organisasi politik atau organisasi sosial. Kalau
menjadi organisasi politik tidak memungkinkan karena masih berlakunya peraturan Belanda,
Regeering Reglement pasal 111 yang melarang mendirikan perkumpulan politik atau yang
serupa dengan perkumpulan yang mengganggu ketentraman umum. Oleh karena itu Budi
utomo mengutamakan bergerak dalam bidang pendidikan.

Pada tahun 1908 Ki Hajar Dewantara bergabung dengan organisasi Budi Utomo,
ketika masih menjadi pelajar STOVIA. Suwardi Suryaningrat merupakan golongan terpelajar
yang lahir akibat pelaksanaan pendidikan kolonial Belanda. Suwardi Suryaningrat sangat
menaruh perhatiannya terhadap kemajuan pendidikan, hal ini dibuktikan dengan usahanya
untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran.

Hal penting lainnya dalam kongres Budi utomo adalah dengan terpilihnya R. A. A.
Tirtikoesoemo, Bupati Karanganyar sebagai ketua umum. Beliau salah seorang yang giat
dalam memajukan pendidikan Barat, dengan prakarsa sendiri sebelum tahun 1908 ia
mendirikan sekolah gadis dan itu merupakan salah satu dari jasa-jasa Tirtokoesoemo dimata
sidang Budi Utomo. Terpilihnya Tirtokoesoemo merupakan penyerahan tidak langsung
kepemimpinan dari tangan siswa STOVIA kepada anggota-anggota yang lebih dewasa. Telah
terjadi kerusuhan di kalangan pejabat Hindia Belanda terhadap perkembangan Budi Utomo.
Pengangkatan Tirtokoesoemo akan dipandang sebagai pertanda baik, tetapi secara resmi
pemerintah Hindia Belanda bersikap hati-hati dengan tidak memberikan pendapat tentang
organisasi Budi Utomo. Pemerintah Hindia Belanda tidak tergesa-gesa memberikan
pengakuan yang sah terhadap Budi Utomo. Dalam tubuh Budi Utomo akan terjadi perbedaan
pendapat di antara pimpinan Budi Utomo. Kelompok yang satu menganjurkan agar Budi
Utomo menjadi partai politik dan kelompok lainnya lagi menghendaki agar Budi Utomo
memperluas perhatiannya sehingga meliputi seluruh Hindia. Lebih tepatnya dua kelompok ini
adalah orang-orang yang cenderung berpihak kepada cita-cita Hindia daripada cita- cita Jawa
yang sempit, tidak bisa lagi menerima homogenitas etnis dan kultur sebagai basis persatuan.
Terpaksalah mereka berbicara dalam bahasa politik dengan tidak memandang masa lampau,
tetapi cenderung mengutamakan masa kini.

Sebagai ketua, Tirtokoesoemo ternyata tidak cukup mampu menghadapi pertentangan


tersebut, betapapun ia seorang yang berpikiran maju dan berpandangan jauh, namun bukanlah
orang yang punya kecakapan bertindak. Maka gugurlah ia memenuhi harapan-harapan besar
para anggota Budi Utomo yang telah memberikan kepercayaan.

Kongres kedua diadakan di gedung “Mataram” Yogyakarta pada tanggal 10-11


Oktober 1909 yang dihadiri oleh sembilan cabang. Dalam kongres yang kedua ini sangat
berbeda dengan kongres yang pertama, di mana kongres berlangsung tanpa banyak berarti
oleh karena menurunnya semangat organisasi yang mencolok. Jika kongres pertama
tahun1908 memberikan kesempatan pertama kepada orang- orang Jawa terpelajar untuk
memperbincangkan masalah dengan bebas dan spontan, kongres kedua ini sedikit banyak
hanya memberikan hierarki baru, lebih terorganisasi tetapi kurang gairah. Perkembangan
Budi Utomo ternyata tidak memuaskan anggotanya dan ini terbukti ketika tahun 1910, Badan
pengurus memutuskan untuk tidak menyelenggarakan kongres ketiga yang seedianya akan
diadakan bulan Oktober karena alasan dan organisasi. Rapat lokal akan diselenggarakan pada
tanggal 21 Agustus dan akan berlangsung semarak dengan dihadiri wakil-wakil dari
perhimpunan calon pegawai pribumi, siswa STOVIA dan siswa sekolah hukum Batavia. Jika
kongres pertama tahun 1908 memberikan kesempatan pertama kepada orang- orang Jawa
terpelajar untuk memperbincangkan masalah dengan bebas dan spontan, kongres kedua ini
sedikit banyak hanya memberikan hierarki baru, lebih terorganisasi tetapi kurang gairah.

Perkembangan Budi Utomo ternyata tidak memuaskan anggotanya dan ini terbukti
ketika tahun 1910, Badan pengurus memutuskan untuk tidak menyelenggarakan kongres
ketiga yang sedianya akan diadakan bulan Oktober karena alasan dan organisasi. Rapat lokal
akan diselenggarakan pada tanggal 21 Agustus dan akan berlangsung semarak dengan
dihadiri wakil-wakil dari perhimpunan calon pegawai pribumi, siswa STOVIA dan siswa
sekolah hukum Batavia. Dalam Persidangan masalah yang dibahas ialah perlu
ditingkatkannya mutu sekolah dasar pribumi, agar murid bisa meneruskan pendidikan
menengahnya pada lembaga-lembaga di mana bahasa Belanda menjadi bahasa pengantar.
Juga dibicarakan masalah desa organ baru organisasi, tetapi suasana rapat pada umumnya
mencerminkan kelesuan Budi Utomo.

Budi Utomo dilahirkan tidak sebagai organisasi politik, tetapi dalam perkembangan
selanjutnya didorong ke dalam bidang politik. Hal yang mendorong perubahan ini karena
terjadinya perubahan di Eropa dengan munculnya Perang Dunia I maka para pengurus budi
Utomo mengusulkan agar dibentuk milisi pribumi jika ada serbuan ke Hindia. Apa yang
diungkapkan oleh Budi Utomo akan menimbulkan suara- suara kontra dari organisasi yang
lain seperti Syarikat Islam.Gagasan yang diungkapkan Tjokroaminoto akan berpengaruh
dalam kalangan anggota Budi Utomo yang bersidang di Bandung pada tanggal 5 dan 6
Agustus 1915. Dalam persidangan itu akan melahirkan sebuah mosi yang berbunyi yaitu
tidak perlunya pemberlakuan wajib milisi bagi rakyat pribumi akan tetapi pemerintah Hindia
Belanda harus mendengar pendapat rakyat. Oleh karena itu perlu dibentuknya sebuah
perwakilan rakyat. Jadi telah terjadi pergeseran kepentingan Budi Utomo ke dalam bidang
politik.

Pengesahan ini mencerminkan perubahan yang benar-benar radikal bagi suatu


organisasi yang terutama terdiri atas para pejabat pribumi. Lebih lanjut Budi Utomo tidak
ragu melangkah atas dasar kesederhanaan politiknya yang baru. Tiba-tiba pemerintah
menghadapi situasi yang baru sama sekali, pemuda pribumi yang berpendidikan Barat yang
semula diperhitungkan sebagai sasaran sistem milisi, ternyata menunjukkan kemampuan
mereka dalam membahas tawar menawar kepentingan mereka. Perwakilan rakyat telah
menjadi masalah paling penting dalam tubuh Budi Utomo. Pemerintah kolonial Hindia
Belanda tidak mengabaikan masalah perwakilan rakyat dan menetapkan undang-undang
pembentukan Volksraad (Dewan Rakyat) pada bulan Desember 1916. Dalam Volksraad
terdapat 15 anggota pribumi, 10 dipilih dan 5 diangkat dari 38 anggota seluruhnya. Volksraad
dibuka secara resmi oleh Gubernur Jenderal Limburg Stirum pada tanggal 18 Mei 1918,
pembukaan Volksraad merupakan permulaan jalan baru, namun pada bulan pertama timbul
sebuah masalah yang kontroversial dan mengancam keutuhan Volkstraad yaitu tentang
bahasa resmi dalam Volkstraad dan akhirnya dapat diambil suatu kesepakatan yang akhirnya
bahasa Melayu dan bahasa Belanda Boleh digunakan.

Perkembangan Volkstraad tidak bisa lepas dari perkembangan di negeri Belanda, di


mana pada November 1918 adanya usaha perebutan kekuasaan dengan kekerasan dari partai
Buruh sosial Demakrasi walaupun akhirnya dapat digagalkan. Apa yang terjadi di negeri
Belanda tidak terlalu membawa perubahan di Hindia. Sesudah krisis November yang menjadi
pertanda dimulainya perubahan secara fundamental pada pendirian Budi Utomo. Walaupun
organisasi ini tidak melepaskan keinginannya agar tetap berusaha kampanye politik karena
mereka menyadari bahwa keberhasilan kegiatan politik karena mereka menyadari bahwa
keberhasilan kegiatan politik tergantung pada sejauh mana dukungan massa yang bisa
diperoleh suatu partai. Budi Utomo juga harus membebaskan diri dari reputasinya sebagai
partai yang khusus untuk pejabat pemerintah serta hanya memperhatikan kepentingan para
ningrat. Kekecewaan Budi Utomo sehubungan dengan tindakan-tindakan reaksioner
pemerintah, telah berpengaruh sangat dalam pada moral organisasi karena terombang-ambing
antara poliktik kooperasi dan non kooperasi. Hal demikian akan merugikan Budi Utomo,
dalam perkembangan selanjutnya Budi Utomo akan bergabung dengan Parindra yang
dipimpin Soetomo.

Pergerakan nasional yang muncul di Indonesia tidak akan terlepas dari faktor dalam
dan faktor luar yang mempengaruhinya. Pengaruh dari dalam yang merupakan pengruh
langsung adalah pengaruh kaum intelektual atau pelajar. Di Indonesia lahirnya Budi Utomo
akan membawa dampak yang luas seperti yang diungkapkan Van Deventer “Sesuatu yang
ajaib telah terjadi. Insulide, putri cantik yang tidur sudah terbangun” Budi Utomo bergerak
dalam bidang pendidikan pada awalnya karena masih berlakunya peraturan Belanda,
Regeering Reglement pasl 111 yang melarang mendirikan perkumpulan politik. Akan tetapi
jelaslah bahwa Budi Utomo menjadi pelopor bagi kesadaran masyarakat Jawa dan merintis
jalan bagi perkembangan yang harmonis bagi negeri dan bangsa Hindia Belanda. Budi
Utomo juga memberikan penekanan pada pendidikan karena pendidikan adalah alat yang
penting bagi kemajuan suatu bangsa. Budi Utomo meminta pada pemerintah Belanda dan
pemberian bea siswa hendaknya diberikan pada anak-anak muda agar bisa belajar ke negeri
Belanda. Pembaharuan yang akan menyebabkan elemen-elemen radikal akan muncul ke
depan dalam rangka membuka kesadaran para pimpinan Budi utomo agar terus berjuang
untuk menuntut hak bagi rakyat pribumi sebagaimana mestinya walaupun tidak memberikan
suatu program politik yang kongkret. Hal yang menyebabkan seperti itu karena Budi Utomo
tidak pernah memiliki kesatupaduan dan daya dari unsur pemimpinnya.

Peranan Budi Utomo yang cukup penting dalam kehidupan masyarakat dan bernegara
ini, bukan hanya bermanfaat bagi pemerintah kolonial. Kemampuannya yang istimewa untuk
berfungsi sebagai jembatan antara para pejabat kolonial yang maju dengan kaum terpelajar
Jawa sehingga dalam perkembangannya Budi Utomo akan mendapat kesempatan
memperoleh kemampuan berorganisasi politik. Budi Utomo juga mengajukan suatu tuntutan
untuk adanya persamaan kedudukan dalam hukum. Periode 1918-195 merupakan periode
kemerosotan dan pudarnya pengaruh yang membuat Budi Utomo bergabung dengan
Parindra. Akan tetapi peranan parindra ini akan sangat terbatas seperti peranan Budi Utomo.

Budi Utomo memperluas perhatiannya sehingga meliputi seluruh Hindia. Lebih


tepatnya dua kelompok ini adalah orang-orang yang cenderung berpihak kepada cita-cita
Hindia daripada cita- cita Jawa yang sempit, tidak bisa lagi menerima homogeritas etnis dan
kultu sebagai basis persatuan. Terpaksalah mereka berbicara dalam bahasa politik dengan
tidak memandang masa lampau, tetapi cenderung mengutamakan masa kini. Sebagai ketua,
Tirtokoesoemo ternyata tidak cukup mampu menghadapi pertentangan tersebut, betapapun ia
seorang yang berpikiran maju dan berpandangan jauh, namun bukanlah orang yang punya
kecakapan bertindak. Maka gagallah ia memenuhi harapan-harapan besar para anggota Budi
Utomo yang telah memberikan kepercayaan.

Peran Budi Utomo semakin memudar seiring berdirinya organisasi lain yang lebih
aktif dan penting bagi pribumi. Beberapa diantaranya bersifat keagamaan, kebudayaan dan
pendidikan serta organisasi yang bersifat politik. Dengan munculnya organisasi baru yang
menyebabkan organisasi tersebut mengalami kemunduran.

Penyebab Berakhirnya Organisasi Budi Utomo Selain karena meleburnya organisasi


ini juga karena eksitensi organisasi yang kian cemerlang membuat banyak pihak yang merasa
khawatir seperti dari pihak Belanda, apalagi pada saat itu berhasil membentuk Dewan
Rakyat. Dengan keberhasilan ini, membuat Budi Utomo semakin eksis namun disisi lain
memicu kedekatan orgnisasi ini dengan pemerintah Belanda apalagi saat Budi Utomo diakui
sebagai organisasi resmi pada bulan Desember 1909 yang merupakan strategi politik etis dari
Pihak Belanda kepada Budi Utomo. Dukungan dari pemerintah ini membuat Budi Utomo
sering dicurigai sebagai organisasi boneka kolonial Belanda oleh masyarakat Bumiputera.
Meskipun Budi Utomo memiliki peranan penting dalam pendidikan, namun
perkembangan organisasi ini tidaklah pesat. Organisasi ini hanya terfokus pada Jawa dan
Madura saja. Pada waktu yang sama, organisasi yang berkembang di Indonesia juga ada
Sarekat Islam, di mana SI terbuka secara keanggotaan bagi kalangan masyarakat tanpa ada
batasan wilayah. Hal ini mengakibatkan organisasi Budi Utomo mengalami kemunduran.
Akhirnya, pada 1935, Budi Utomo bergabung dengan pergerakan lainnya dan membentuk
Partai Indonesia Raya (Parindra). Terbentuknya partai baru ini juga menjadi akhir dari kiprah
Budi Utomo.Walaupun demikian berkat dari kehadiran Budi Utomo ini bisa menginspirasi
para putra Indonesia untuk mendirikan organisasi lain contohnya Jong Sumatera, Jong
Ambon, Sedio Tomo, Muhammadiyah dan yang lainnya. Hal ini juga yang membuat
kemerdekaan semakin di depan mata.
Berdasarkan dari penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan faktor-faktor yang menyebabkan
berakhirnya organisasi budi utomo adalah:
1. Lebih memajukan pendidikan kaum priyayi dibandingkan rakyat jelata
2. Keluarnya anggota Budi Utomo dari kalangan mahasiswa
3. Adanya kesulitan finansial
4. Kedekatan dengan pemerintah Belanda
5. Orientasi pergerakan yang mengarah ke politik
6. Adanya sikap Tirto Kusumo yang lebih memperhatikan kepentingan pemerintah
kolonial Belanda
7. Bahasa Belanda lebih menjadi prioritas daripada bahasa Indonesia
8. Priyayi lebih banyak yang mementingkan jabatan daripada mementingkan
kepentingan nasionalisme.

Momentum berdirinya Budi Utomo yakni 20 Mei dijadikan sebagai hari Kebangkitan
Nasional. Peringatan ini mulai digelar pada 20 Mei 1948 di Istana Kepresidenan di
Yogjakarta, dimana Presiden Soekarno berpidato tentang kebangkitan nasional. Informasi
pidatonya tidak ada yang lengkap, hanya “inti pidato Bung Karno” yang disimpulkan para
pendengar serta media masa yang hadir pada peristiwa penting itu adalah sebagai Hari
Kebangkitan Nasional.

Dari Sumber lain menjelaskan terdapat 2 alasan yang cukup kuat mengapa Budi
Utomo dianggap simbol Hari Kebangkitan Nasional Indonesia:
1. Budi Utomo memiliki struktur sebagai organisasi yang benar baru dan
menandai suatu perbedaan yang jelas dengan masa lampau. Budi Utomo
merupakan suatu benih yang melahirkan gerakan Nasional Indonesia karena
memiliki rencana kerja, cabang-cabang di berbagai daerah, memiliki anggota,
laporan organisasi yang baik dan menyelengaraan kongres.
2. Kelahiran Budi Utomo menjadi motivator dan ispirator bagi berdirinya
organisasi yang lain. Bagaimanapun penetapan hari lahirnya Budi Utomo
sebagai Hari Kebangkitan Nasional lebih banyak mengandung unsur politik
dan kurang akademik karena bersifat kontorversial, hal ini barangkali karena
semata-mata keinginan pemerintah yang berkuasa pada saat itu.
DAFTAR PUSTAKA

Adryamarthanino,Verelladevanka. 2021. Penyebab Gerakan Budi Utomo Semakin


Lamban. Diakses pada 12 Januari 2022,dari
https://www.kompas.com/stori/read/2022/02/10/090000179/penyebab-
gerakan-budi-utomo-semakin-lamban
Aeni,Siti Nur. 2022. Sejarah Budi Utomo dan Peranannya dalam Pergerakan
Nasional. Diakses pada 14 Januari 2022,dari
https://katadata.co.id/agung/berita/623d1efab2485/sejarah-budi-utomo-dan-
peranannya-dalam-pergerakan-nasional
Anwar, Yozar. 1981. Pergolakan Mahasiswa Abad 20. Jakarta:Sinar Harapan.
Arum,Rifda. 2021. Siapakah Tokoh Pendiri Budi Utomo? Simak Profil Singkatnya.
Diakses pada 14 Januari 2022,dari
https://www.gramedia.com/literasi/profil-tokoh-pendiri-budi-utomo/
Hadisutjipto.S.Z.1977.Gedung STOVIA sebagai Cagar Sejarah.DKI Jakarta:DMS.
Hatta,Mohammad.1988.Sekitar Proklamasi.Jakarta : Tinta Mas.
Hatta, Mohammad.1980. Permulaan Pergerakan Nasional. Jakarta: Yayasan Idayu.
Kansil, C. S. T. 1982. Sejarah perjuangan Pergerakan Kebangsaan Indonesia.
Jakarta: Erlangga.
Harian,Kabar. 2021. Pengaruh Organisasi Budi Utomo terhadap Peristiwa Sumpah
Pemuda. Diaskes pada 14 Januari 2022,dari https://kumparan.com/kabar-
harian/pengaruh-organisasi-budi-utomo-terhadap-peristiwa-sumpah-pemuda-
1wRapbJJTTS/1
Kartodirdjo, Sartono. 1990. Pengantar Sejarah Indonesia Baru, Sejarah Pergerakan
Nasional, Dari kolonialisme Sampai Nasionalisme. Jakarta:PT. Gramedia.
Pringodigdo, A. K. 1991. Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. Jakarta: Dian
Rakyat.
Nagazumi, Akira. 1989. Bangkitnya Nasionalisme Indonesia. Jakarta: Puastaka
Utama Grafiti.
Ricklefs, M. C. 1995. Sejarah Indonesia Modern . Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Van Niel, Robert.Munculnya Elit Modern Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya.

Anda mungkin juga menyukai