Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kegiatan produksi minyak dan gas bumi merupakan suatu rangkaian proses
yang kompleks dengan melibatkan berbagai kegiatan industri minyak bumi, mulai
dari hulu (upstream) sampai dengan hilir (downstream). Kegiatan hulu meliputi
kegiatan eksplorasi (pencarian), eksploitasi (pengangkatan) melalui kegiatan
pengeboran dan penyelesaian sumur, sarana pengolahan minyak mentah untuk
pemisahan dan pemurnian minyak dan gas bumi di lapangan minyak. Kegiatan
hilir (downstream) meliputi kegiatan pengolahan melalui kilang minyak
(refinery) untuk memproduksi bahan bakar beserta turunannya, pemasaran
(marketing), serta distribusi melalui kegiatan penyimpanan (storage) (Hasiany
dkk, 2015).
Kegiatan eksplorasi dan produksi minyak dan gas bumi menghasilkan
limbah kegiatan yang berbentuk padat, cair, dan gas. Dengan komposisi 80%
merupakan air terproduksi, bahkan pada sumur minyak yang telah dimanfaatkan
bertahun-tahun volumenya dapat mencapai 95% (Igunnu & Chen, 2014). Air
yang ikut terproduksi bersama dengan minyak ataupun gas disebut dengan air
terproduksi. Setelah melalui tahap pemisahan minyak dan air, maka air
terproduksi tersebut sebagian besar diinjeksikan kembali ke dalam sumur tua
yang memerlukan injeksi air lebih banyak untuk mengekstrak minyak. Namun,
apabila sumur sedang gangguan, maka air terproduksi tidak dapat diinjeksikan ke
dalam sumur sehingga harus di buang ke lingkungan (Tiana, 2015).
Pembuangan air terproduksi yang belum diolah mengandung banyak bahan
berbahaya seperti komponen ion natrium dan klorida yang dapat mengganggu
keseimbangan lingkungan. Serta komponen padatan terlarut total (TDS) dengan
nilai konsentrasi berkisar antara 3.000 - 300.000 ppm. Nilai konsentrasi TDS yang
tinggi ini jika langsung dibuang ke sungai dapat menimbulkan masalah bagi biota
sekitar dan juga menimbulkan korosi pada pipa-pipa logam di sekitar industri

1
2

(Partuti, 2014). Sebelum dibuang ke lingkungan air terproduksi perlu diolah


terlebih dahulu agar memenuhi baku mutu Peraturan Menteri Negara Lingkungan
Hidup Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2010 (Permen LH RI No. 19 tahun
2010). Oleh karena itu, diperlukan cara pengolahan yang tepat untuk mengurangi
kadar bahan berbahaya di dalam air tersebut. Pengolahan yang tepat akan
membuat air terproduksi dapat dimaanfaatkan dengan baik (Tiana, 2015).
Salah satu alternatif pengolahan limbah cair adalah dengan menggunakan
reaktor elektrokoagulasi. Metode elektrokoagulasi merupakan metode
elektrokimia untuk pengolahan air dimana pada anoda terjadi pelepasan koagulan
aktif berupa ion logam (biasanya aluminium atau besi) kedalam larutan,
sedangkan pada katoda terjadi reaksi elektrolisis berupa pelepasan gas hidrogen.
Proses ini di pengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya arus listrik, tegangan
listrik, waktu kontak, suhu, pH, dan konduktivitas (Liu dkk, 2010).
Saat ini penggunaan teknologi elektrokoagulasi dikembangkan untuk
meningkatkan kualitas efluen air limbah. Metode elektrokoagulasi digunakan
untuk mengolah efluen dari beberapa air limbah yang berasal dari industri
makanan, limbah tekstil, limbah rumah tangga, limbah yang mengandung
senyawa arsenik, air yang mengandung fluorida, dan air yang mengandung
partikel yang sangat halus, bentonit, dan kaolit.
Reaktor elektrokoagulasi mampu mengolah berbagai polutan termasuk
padatan tersuspensi, logam berat, tinta, bahan organik (seperti limbah domestik),
minyak dan lemak, ion, dan radionuklida. Karakteristik polutan mempengaruhi
mekanisme pengolahan, misalnya polutan berbentuk ion akan diturunkan melalui
proses presipitasi, sedangkan padatan tersuspensi yang bermuatan akan diabsorbsi
ke koagulan yang bermuatan.
Keuntungan dari metode elektrokoagulasi adalah tidak memerlukan bahan
kimia, sehingga tidak bermasalah dengan netralisasi. Metode elektrokoagulasi
lebih cepat mereduksi kandungan koloid yang paling kecil, hal ini disebabkan
menggunakan medan listrik dalam air sehingga mempercepat proses pengendapan
(Kamilul, 2008).
3

1.2 Rumusan Masalah


Banyak hal yang dapat mempengaruhi penurunan kualitas lingkungan, salah
satunya pembuangan limbah air terproduksi yang dibuang ke laut dan diinjeksikan
ke dalam tanah. Untuk itu diperlukan pengolahan yang tepat untuk mengurangi
kadar bahan berbahaya yang terdapat dalam limbah tersebut.

Ni’am dkk, (2017) telah melakukan penelitian menurunkan kandungan


COD dan TSS limbah cair tekstil menggunakan metode elektrokoagulasi dengan
variasi jumlah elektroda dan besar tegangan listrik. Pada penelitian ini
menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah elektroda dengan besar tegangan
tinggi mampu menurunkan kandungan COD dan TSS dengan waktu yang
tidak lama yaitu selama 75 menit dengan jumlah elektroda 4 elektroda dan
tegangan 12 volt mampu menurunkan kandungan COD hingga 76% dan
kandungan TSS hingga 85%.

Awalsya dkk, (2019) melakukan penelitian pengolahan limbah cair industri


pelapisan logam dengan proses elektrokoagulasi secara kontinyu. Penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui penerapan metoda elektrokoagulasi dalam
menentukan pengaruh perubahan laju alir dan kuat arus untuk menetralkan pH,
TSS, dan Cr pada limbah. Percobaan dilakukan dengan variasi kuat arus (1,2;
1,6; 2 A) dan laju alir (0,78; 1,32; 2,7 L/menit). Dari percobaan diperoleh kondisi
optimum pada kuat arus 2 A dan laju alir 0,78 L/min, dengan kenaikan pH dari
4,5 menjadi 6,6, penurunan TSS dari 3,2 menjadi 1,2 mg/L, penurunan Cr
sebesar 82,4% dari 1,5 mg/L menjadi 0,263 mg/L.

Alperdo dkk, (2019) telah melakukan penelitian pengolahan air payau


menjadi air bersih dengan proses elektrokoagulasi secara kontinyu. Penelitian ini
dilakukan untuk menentukan pengaruh perubahan laju alir dan kuat arus untuk
menetralkan pH, serta menurunkan kadar TDS dan Fe pada air payau. Percobaan
dilakukan dengan variasi kuat arus (1,4; 2; 2,6 A) dan variasi laju alir (0,53; 1,15;
2,7 L/menit). Dari percobaan diperoleh kondisi optimum pada kuat arus 2,6 A dan
4

laju alir 0,53 L/menit dengan kenaikan pH dari 5,8 menjadi 6,8, penurunan TDS
dari 480 menjadi 295 mg/L, penurunan Fe sebesar 66.97 % dari 0,5971 mg/L
menjadi 0,1972 mg/L.

Destinefa dkk, (2020) melalukan penelitian pengolahan limbah cair tahu


menjadi air bersih dengan metode elektrokoagulasi secara kontinyu. Penelitian ini
dilakukan untuk menentukan pengaruh voltase listrik dan kecepatan alir untuk
menetralkan pH dan menurunkan tingkat COD, BOD, dan TSS. Percobaan
dilakukan dengan voltase bervariasi (8;10;12 V) dan kecepatan alir (0,439; 0,243;
0,087 L/min). berdasarkan hasil percobaan ini, ditemukan bahwa kondisi optimum
terdapat pada voltase 12 Volt dan kecepatan alir 0,087 L/min. Hal ini diketahui
dari indikator pH yang mengalami peningkatan dari 3,6 menjadi 6,7. Selain itu
indikator COD mengalami penurunan sebesar 72,17% yaitu dari 1017 mg/L
menjadi 283 mg/L, indikator TSS mengalami penurunan sebesar 90,90% yaitu
dari 1100 mg/L menjadi 100 mg/L, serta BOD sebesar 71,53% yaitu dari 513
mg/L menjadi 146 mg/L.

Pada penelitian ini dilakukan pengolahan limbah air terproduksi dengan


menggunakan reaktor elektrik kontinyu yang diberi tegangan listrik dengan
variasi voltase dan laju alir. Selanjutnya, produk air dari hasil pengolahan limbah
cair ini akan diuji TDS, NH3-N (amonia) serta Chemical Oxygen Demand (COD).

1.3 Tujuan Penelitian


1. Untuk mengolah limbah air terproduksi dengan metode elektrokoagulasi
secara kontinyu.
2. Untuk menurunkan kadar COD, TDS, serta NH3-N (amonia) dalam
limbah air terproduksi.
3. Menentukan laju alir dan tegangan proses elektrokoagulasi untuk
menghasilkan limbah air terproduksi yang sesuai dengan standar baku
mutu lingkungan hidup.
5

1.4 Manfaat Penelitian


1. Mengembangkan ilmu pengetahuan serta menambah wawasan tentang
pengolahan limbah air terproduksi dengan menggunakan metode
elektrokoagulasi.
2. Mengatasi permasalahan limbah air terproduksi dengan metode
pengolahan limbah yang inovasi, murah, dan efektif.
3. Sebagai sumber literature penunjang bagi pihak-pihak yang ingin
melakukan penelitian dengan topik yang sama.

Anda mungkin juga menyukai