center
INSTITUT TAZKIA
MODUL PERPAJAKAN
BREVET A
Pengantar Perpajakan
Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan
PBB, BPHTB, dan Bea Meterai
PPh Orang Pribadi
PPh Pemotongan dan Pemungutan
PPN dan PPN-BM
i
O. RESTITUSI .............................................................................................. 56
BAB III PBB, BPHTB, DAN BEA METERAI .................................................. 61
A. PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (PBB).......................................................... 61
B. PENGERTIAN PBB-P2 ............................................................................... 61
C. ISTILAH-ISTILAH PBB-P2 ......................................................................... 61
D. BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN ATAU BANGUNAN (BPHTB) .......... 75
E. BEA METERAI .......................................................................................... 86
F. Latihan Soal PBB ...................................................................................... 95
G. Latihan Soal BPHTB .................................................................................. 96
BAB IV PPh ORANG PRIBADI .................................................................... 98
A. KARAKTERISTIK PAJAK PENGHASILAN ...................................................... 98
B. SUBJEK PAJAK PENGHASILAN ................................................................. 100
C. OBJEK PAJAK PENGHASILAN (TAXABLE INCOME) .................................... 107
D. BIAYA DAN BUKAN BIAYA ...................................................................... 110
E. NORMA PENGHITUNGAN PENGHASILAN NETO ........................................ 117
F. PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK (PTKP) .............................................. 118
G. PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK (PKP) ................................. 120
H. TARIF PAJAK ......................................................................................... 123
I. KREDIT PAJAK ....................................................................................... 126
J. ANGSURAN PPh PASAL 25 ...................................................................... 131
K. Jenis SPT PPh Orang Pribadi ................................................................... 136
BAB V PPh PEMOTONGAN PEMUNGUTAN ............................................... 138
A. JENIS PPh Pot-Put .................................................................................. 138
B. KEWAJIBAN PEMOTONG PAJAK .............................................................. 138
C. HAK WP YANG DIPOTONG ...................................................................... 138
D. HAK PEMOTONG PAJAK .......................................................................... 139
E. PPh PASAL 21 ........................................................................................ 141
F. CONTOH KASUS PENGHITUNGAN PPH PASAL 21 ..................................... 153
G. PPh PASAL 22 ........................................................................................ 186
H. PPh PASAL 23 ........................................................................................ 194
I. PPh FINAL PASAL 4 AYAT (2) .................................................................. 206
J. PPh PASAL 15 ........................................................................................ 219
ii
K. PPh PASAL 26 ........................................................................................ 224
BAB VI PPN DAN PPN-BM ........................................................................ 248
A. PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) ......................................................... 248
B. PPN ATAS PENYERAHAN BKP/JKP DI DALAM DAERAH PABEAN ................. 254
C. PPN ATAS IMPOR BKP ............................................................................ 263
D. PEMANFAATAN BKP TIDAK BERWUJUD DAN JKP DARI LUAR DAERAH PABEAN
DI DALAM DAERAH PABEAN ................................................................... 264
E. EKSPOR OLEH PKP ................................................................................. 266
F. KEGIATAN MEMBANGUN SENDIRI........................................................... 266
G. PPN ATAS PENYERAHAN AKTIVA YANG MENURUT TUJUAN SEMULA TIDAK
UNTUK DIPERJUALBELIKAN .................................................................... 269
H. PEMUNGUTAN DAN PEMUNGUT PPN ....................................................... 270
I. FAKTUR PAJAK....................................................................................... 272
J. NOTA RETUR ......................................................................................... 281
K. PENGKREDITAN PPN (PAJAK MASUKAN/PM) ............................................ 282
L. PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH (PPn BM ) .............................. 285
M. SENTRALISASI PENGENAAN PPN ............................................................ 289
N. FASILITAS DIBIDANG PPN/PPn BM ......................................................... 293
O. RESTITUSI KELEBIHAN PEMBAYARAN PPN .............................................. 306
P. SPT MASA PPN DAN PPn BM 1111 ........................................................... 311
Q. PENYAMPAIAN SPT PPN MELALUI e-FILING ............................................. 314
iii
BAB I
PENGANTAR HUKUM
PERPAJAKAN
Pengantar Hukum Perpajakan
BAB I
PENGANTAR HUKUM PERPAJAKAN
A. PENDAHULUAN
Pajak merupakan kewajiban segenap lapisan masyarakat baik melalui entitas usaha
maupun secara individual sebagai Wajib Pajak orang pribadi. Banyak pakar ilmu
hukum pajak dari dalam dan luar negeri yang memberikan defisini pajak, diantaranya
menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H. , dalam bukunya “Dasar-dasar Hukum
Pajak dan Pajak Pendapatan” (1990:5):
“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang
dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung
dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.”
Sedangkan menurut :
“Hukum Pajak yang disebut juga Hukum Fiskal, adalah keseluruhan dan peraturan-
peraturan yang meliputi wewenang pemerintah, untuk mengambil kekayaan
seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat dengan melalui Kas
Negara, sehingga ia merupakan bagian dari Hukum Publik, yang mengatur hubungan-
hubungan hukum antar negara dan orang-orang atau badan-badan (Hukum) yang
berkewajiban membayar pajak (selanjutnya disebut Wajib Pajak)”
Kewajiban perpajakan itu muncul dari ketentuan yang disebutkan dalam Pasal 23A
UUD 1945 yang berbunyi :
“Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur
dengan undang-undang.”
Berdasarkan ketentuan diatas, bisa dilihat bahwa pajak memang bersifat memaksa.
Oleh sebab itu, pajak harus dibayar oleh semua orang. Dan itu pula sebabnya
pembayar pajak disebut dengan Wajib Pajak, artinya pihak yang harus membayar
pajak atau melaksanakan kewajiban perpajakan lainnya.
1
Pengantar Hukum Perpajakan
Pajak juga merupakan suatu bukti bahwa eksistensi suatu Negara beserta
pemerintahannya diakui oleh rakyat. Jika rakyat patuh melaksanakan kewajiban
perpajakan berarti semakin mengokohkan eksistensi pemerintahan tersebut. Dalam
hidup bernegara, sudah pasti masing-masing pihak memiliki hak dan kewajiban satu
sama lain. Di satu sisi pemerintah harus memberikan rasa aman dan pelayanan umum
kepada rakyat. Dan sisi lain rakyat harus memenuhi salah satu kewajibannya, yaitu
membayar pajak.
Sebagai pungutan yang bisa dipaksakan, pajak bisa ditagih dengan cara kekerasan
melalui proses penagihan pajak. Misalnya dengan surat paksa, surat sita atau bahkan
penyanderaan (gijzeling). Jika kewajiban perpajakan baik secara formal maupun
material tidak dilaksanakan oleh Wajib Pajak, maka pihak otoritas perpajakan bisa
mengenakan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku. Jenis-jenis sanksi tersebut bisa
dikelompokan menjadi sanksi bunga, denda, kenaikan maupun sanksi pidana
Sesuai ketentuan Pasal 23A UUD 1945 di atas, pelaksanaan pemungutan dan
pengadministrasian perpajakan dilakukan berdasarkan undang-undang perpajakan
yang terdiri dari :
HUKUM
PAJAK
HUKUM HUKUM
PAJAK PAJAK
MATERIAL FORMAL
B. RETRIBUSI
Di samping pungutan dalam bentuk pajak, Negara juga dapat menarik pungutan lain
yang bersifat memaksa. Misalnya berbentuk retribusi. Hanya saja pajak dan retribusi
memiliki perbedaan pokok. Retribusi pada umumnya mempunyai hubungan langsung
dengan kembalinya prestasi (atau ada kontra-prestasi secara langsung) karena
pembayaran tersebut ditujukan semata-mata untuk mendapatkan suatu prestasi
2
Pengantar Hukum Perpajakan
Pungutan berbentuk sumbangan juga biasa dilakukan oleh Negara dalam kondisi-
kondisi tertentu. Hanya saja sumbangan tidak bersifat memaksa. Bila yang menikmati
pajak adalah semua lapisanmasyarakat karena pajak tidak memiliki kontraseprestasi
langsung yang dapat ditunjuk. Berbeda dengan sumbangan justru dinikmati oleh
penerima sumbangan. Namun sumbangan ini tentu tidak bisa dipaksakan kepada
semua orang. Misalnya sumbangan bencana alam (gempa bumi, tsunami, banjir,
tanah longsor dsb) dan sumbangan pengungsi.
C. ASAS PEMAJAKAN
Adam smith dalam bukunya An Inquiri into the Natura and Causes of the Wealth of
Nations menyatakan bahwa asas-asas dalam system pemajakan harus mencakup :
1. Keadilan (equality)
Pemungutan pajak harus bersifat final adil dan merata, yaitu dikenakan kepada
orang pribadi yang harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak (ability
to pay) dan sesuai dengan manfaat yang diterima. Adil dimaksudkan bahwa setiap
wajib pajak menyumbangkan uang untuk pengeluaran pemerintah sebanding
dengan kepentingannya dan manfaat yang diminta. Asas keadilan bermakna adil
dalam prinsip perundang-undangan perpajakan maupun adil dalam
pelaksanaannya. Disinilah dibutuhkan dukungan dari masyarakat dan aparat pajak
yang profesional.
2. Kepastian (Certainty)
Pemungutan pajak itu tidak boleh ditentukan sewenang-wenang, tetapi Wajib
Pajak harus mengetahui secara jelas dan pasti pajak yang terutang, Objek
Pajaknya, kapan harus dibayar, di mana harus dibayar, bagaimana administrasinya
serta batas waktu pembayaran.
3
Pengantar Hukum Perpajakan
4
Pengantar Hukum Perpajakan
Teori yang menjadi “dasar” bagi Negara untuk memungut pajak antara lain :
1. Teori Asuransi
Dalam perjanjian asuransi diperlukan pembayaran premi. Premi tersebut
dimaksudkan sebagai pembayaran atas usaha melindungi orang dari segala
kepentingannya misalnya keselamatan atau keamanan harta bendanya.
Masyarakat seakan mempertanggungkan keselamatan dan keamanan jiwanya
kepada Negara sehingga masyarakat harus membayar “premi” kepada Negara.
2. Teori Kepentingan
Teori kepentingan diartikan bahwa Negara yang melindungi kepentingan harta dan
jiwa warga Negara dengan memperhatikan pembagian beban yang harus dipungut
dari masyarakat. Pembebanan ini didasarkan pada kepentingan setiap orang
termasuk perlindungan jiwa dan hartanya. Oleh karena itu, pengeluaran Negara
untuk melindunginya dibebankan pada masyarakat. Warga Negara yang memiliki
harta lebih banyak akan membayar pajak yang lebih besar sebaliknya yang
memiliki harta lebih sedikit membayar pajak yang lebih kecil untuk melindungi
kepentingannya.
3. Teori Gaya Pikul
Teori ini berpangkal pada azas keadilan yaitu bahwa setiap orang dikenakan pajak
dengan bobot sama. Pajak yang dibayar adalah menurut gaya pikul dengan ukuran
besarnya penghasilan dan pengeluaran seseorang. Kekuatan (gaya pikul) untuk
membayar pajak baru ada setelah terpenuhinya kebutuhan primer seseorang.
Dalam Pajak Penghasilan dikenal konsep Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
Bila seseorang berpenghasilan dibawah PTKP berarti gaya pikulnya tidak ada
sehingga ia tidak harus membayar pajak. Teori ini lebih menekankan unsur
kemampuan seseorang dan rasa keadilan.
4. Teori Bakti
Teori ini disebut juga teori kewajiban pajak mutlak. Teori ini mendasarkan bahwa
Negara mempunyai hak mutlak untuk memungut pajak. Di lain pihak, masyarakat
menyadari bahwa membayar pajak sebagai suatu kewajiban untuk membuktikan
tanda baktinya kepada Negara karena Negara lah yang bertugas
menyelenggarakan kepentingan masyarakatnya. Dengan demikian, dasar hukum
pajak terletak pada hubungan masyarakat dengan Negara.
5. Teori Daya Beli
Pembayaran pajak dimaksudkan untuk memelihara masyarakatnya. Pembayaran
pajak yang dilakukan kepada Negara lebih ditekankan pada fungsi mengatur dari
pajak agar masyarakat tetap eksis. Teori ini mendasarkan pada penyelenggaraan
kepentingan masyarakat yang dianggap sebagai dasar keadilan pemungutan
5
Pengantar Hukum Perpajakan
pajak, bukan kepentingan individu atau Negara, sehingga pajak lebih menitik
beratkan pada fungsi mengatur. Dalam teori ini kemaslahatan masyarakat akan
tetap terjamin dengan adanya pembayaran pajak.
E. ASPEK HUKUM
Hukum pajak mengatur hubungan antara pemerintah (fiskus) selaku pemungut pajak
dengan Wajib Pajak. Hukum pajak dibedakan menjadi :
1. Hukum Pajak Material, memuat norma-norma yang menerangkan keadaan,
perbuatan, peristiwa hukum yang dikenakan pajak (objek pajak), siapa yang
dikenakan pajak (subjek pajak), berapa besar pajak yang dikenakan, segala
sesuatu tentang timbul dan hapusnya utang pajak, dan hubungan hukum antara
pemerintah dan Wajib Pajak. Hukum pajak material meliputi :
a. UU Pajak Penghasilan
b. UU Pajak Pertambahan Nilai
c. UU Pajak Bumi dan Bangunan
d. UU Bea perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan
e. UU Bea Materai
2. Hukum Pajak Formal, memuat bentuk atau tata cara untuk mewujudkan hukum
material menjadi kenyataan, hukum pajak ini memuat antara lain :
a. Tata Cara penetapan utang pajak
b. Hak-hak fiskus untuk mengawasi Wajib Pajak mengenai keadaan, perbuatan
dan peristiwa yang dapat menimbulkan utang pajak.
c. Kewajiban Wajib Pajak, sebagai contoh penyelenggaraan
pembukuan/pencatatan dan hak-hak wajib pajak mengajukan keberatan dan
banding.
Hukum Pajak Formal meliputi UU Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan, UU
Penagihan Pajak dengan Surat Pajak dan UU Pengadilan Pajak.
Cara menafsirkan suatu peraturan sangat berhubungan erat dengan sistem hukum
yang berlaku. Di dunia ini dikenal dua macam sistem hukum, yaitu sistem hukum
continental dan sistem hukum Anglo Saxon.
6
Pengantar Hukum Perpajakan
tergantung pada pelaku hukum itu sendiri, baik itu masyarakat subjek hukum, jaksa,
polisi atau hakim. Bila penafsiran mereka berbeda satu sama lain, maka yang paling
afdol adalah penafsiran hakim.
Dalam sistem Anglo saxon (misalnya yang diterapkan oleh Amerika Serikat),
keputusan hakim adalah aturan hukum. Para hakim membuat keputusan yang
dijadikan sebagai hukum yang akan digunakan oleh hakim-hakim selanjutnya. Oleh
karena itu dalam sistem ini, yurisprudensi dipegang kuat sebagai dasar hukum.
Di Negara yang menganut sistem hukum continental seperti Indonesia setiap pelaku
hukum boleh memberikan tafsir hukum itu sendiri. Dalam sistem hukum continental
ini, hukum adalah sesuatu yang tertulis di undang-undang yang implementasinya
tergantung kepada para pelaku hukum, masyarakat, jaksa, penyidik, dan
sebagiannya. Bila di antara mereka terdapat perbedaan penafisiran atau sengketa,
maka penafsiran hakim yang harus menjadi pegangan. Penafsiran hakim tersebut
mengikat bagi pihak-pihak yang bersengketa, tetapi tidak mengikat masyarakat pada
umumnya.
Secara umum penafsiran hukum (termasuk hukum pajak) bisa diurutkan berdasarkan
kekuatan hukumnya, yaitu penafsiran otentik, sistematis, historis, gramatikal, analogi,
acontrario dan kebiasaan. Penjelasaan masing-masing kaidah penafisiran hukum
tersebut adalah :
a. Penafsiran Otentik
Hukum ditafsirkan sesuai dengan bunyi dari hukum itu sendiri. Penafsiran terhadap
peraturan itu ada di dalam peraturan itu sendiri. Biasanya hal ini diatur dalam
bagian awal suatu peraturan. Pelaku hukum mencoba menafsirkan hukum sesuai
dengan tafsiran yang ada di dalam undang-undang itu sendiri, baik dalam pasal-
pasal maupun penjelasannya.
b. Penafsiran Sistematik
Hukum ditafsirkan berdasarkan konteks permasalahan. Penafsiran terhadap suatu
peraturan, dikaitkan dengan berbagai peraturan lain yang berkonteks sama atau
saling berkaitan. Penafsiran sistematis dilakukan bila suatu hukum mempunyai
relevansi atau keterkaitan dengan aturan lain. Jadi semua aturan yang relevan
akan dikumpulkan dan dilihat sesuai dengan konteks masalahnya. Hal ini dilakukan
karena suatu pasal undang-undang tidak akan berdiri sendiri, tetapi akan memiliki
satu kesatuan kerangka pikir dengan pasal-pasal lainnya.
c. Penafsiran Historis
Hukum ditafsirkan berdasarkan latar belakang sejarah dari munculnya peraturan
yang bersangkutan. Penafsiran terhadap peraturan itu mengacu pada sebab,
7
Pengantar Hukum Perpajakan
d. Penafsiran Gramatikal
Hukum ditafsirkan sesuai bunyi (tata bahasa) dari hukum itu sendiri, akan tetapi
penafsirannya tergantung pada pihak-pihak yang melakukan interpretasi.
Penafsiran secara gramatikal ini hanya mengandalkan redaksi dan tata bahasa dari
undang-undang itu sendiri. Ini dilakukan bila tidak ada aturan lain yang berkaitan
atau dalam konteks yang sama. Penafsiran ini cenderung bersifat subjektif oleh
masing-masing pihak karena sangat dipengaruhi oleh pemahaman yang
bersangkutan.
e. Penafsiran Analogi
Hukum ditafsirkan berdasarkan analogi yang bisa ditarik dari peraturan lain yang
sudah ada. Penafsiran sebisa mungkin disesuaikan dengan penafsiran asli yang
berkaitan dengan sumber analogi. Dalam penafsiran analogi, peraturan yang
sudah ada digunakan untuk menjustifikasi suatu kejadian atau transaksi yang
memiliki kemiripan (analog) dari segi sifat, karakter, dan mekanismenya.
Penafsiran analog
ini sering disebut sebagai penafsiran secara ekstensif (diperluas). Model penafsiran
ini diragukan kesohihannya dalam sistem hukum continental.
f. Penafsiran A Contrario
Hukum ditafsirkan berdasarkan aturan lain yang ada, yang sifatnya bertentangan
atau kebalikan dengan kondisi yang dihadapi. Cara ini diterapkan berkaitan dengan
dua permasalahan yang berkonteks sama tapi saling bertentangan, dan salah
satunya tidak diatur dalam hukum. Logikanya bisa dipersamakan dengan cara
berpikir berikut ini. Kalau positif, maka hamil. Kalau negative maka kebalikan hamil
(tidak hamil).
8
Pengantar Hukum Perpajakan
Di samping itu, seorang pelaku hukum juga harus memahami asas-asas dalam
memberikan tafsiran hukum. Ada tiga asas yang harus dipahami dengan baik oleh
para pelaku hukum, yaitu :
• Lex spesialis derogate legi generalis, yaitu peraturan yang khusus mengalahkan
yang peraturan yang umum;
• Lex superior derogate legi inferiori yaitu peraturan yang tinggi mengalahkan
peraturan yang lebih rendah. Dalam hal ini pelaku hukum harus memahami pula
hirarki (tata urutan) hukum yang berlaku;
• Lex posteriori derogate legi priori, yaitu peraturan yang baru mengalahkan
peraturan yang lama.
Ketiga asas di atas tidak bisa diterapkan untuk kejadian atau kasus yang berbeda,
akan tetapi harus diterapkan dalam konteks permasalahan yang sama. Dan dalam
hukum pada prinsipnya suatu kejadian tidak bisa dijustifikasi dengan undang-undang
yang baru di mana pada saat kejadiaan undang-undang tersebut belum ada. Suatu
peristiwa masa lampau tidak bisa dijustifikasi menggunakan ukuran hukum masa kini
yang pada saat peristiwa tersebut terjadi hukumnya belum ada.
9
Pengantar Hukum Perpajakan
Perlawanan aktif secara nyata terlihat pada semua usaha dan perbuatan yang secara
langsung ditunjukan kepada pemerintah (fiskus) dengan tujuan untuk menghindari
pajak. Di antaranya dapat dibedakan cara-cara sebagai berikut :
10
Pengantar Hukum Perpajakan
11
Pengantar Hukum Perpajakan
adalah suatu sistem pengenaan pajak yang didasarkan pada suatu fiktif /
anggapan. Bunyi suatu fiksi tergantung dari ketentuan undang-undang
perpajakan yang bersangkutan
6. Stelsel Campuran
adalah suatu sistem pengenaan pajak yang didasarkan baik pada stelsel riil
maupun stelsel fiktif. Pada awal tahun pajak menganut stelsel fiktif dan setelah
akhir tahun pajak menganut stetsel riil
Sejak undang-undang perpajakan tahun 1984 sampai dengan saat ini, cara yang
diterapkan di Indonesia adalah kombinasi dari sistem self assessment, official
assessment dan withholding system serta stelsel campuran.
Maksud dari stelsel campuran adalah Wajib Pajak diharuskan membuat asumsi berapa
pajak yang terhutang dalam satu tahun yang diangsur secara bulanan (PPh Pasal 25)
dan kemudian menghitung berapa realisasi sesungguhnya PPh terhutang pada SPT
Tahunan.
2. Asas Kebangsaan
Pengenaan pajak dihubungkan dcngan kebangsaan suatu negara. Asas ini
diperlakukan kepada setiap orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia
untuk membayar pajak.
3. Asas Sumber
Negara mempunyai hak untuk memungut pajak atas penghasilan yang bersumber
dari suatu negara yang memungut pajak.
2. Tarif Efektif
Presentase tarif pajak 'yang efektif berlaku atau harus diterapkan atas dasar
pengenaan pajak tertentu. Misalnya, jika diketahui Penghasilan Kena Pajaknya
sebesar Rp60 juta, dengan menggunakan tarif Pasal 17 UU PPh, pajaknya dapat
12
Pengantar Hukum Perpajakan
Struktur tarif yang berhubungan dengan pola persentase tarif pajak dikenal empat
macam tarif, yaitu:
Dimana Indonesia menganut tarif pajak proporsional, progresif dan tarif yang tetap.
13
BAB II
KETENTUAN UMUM DAN
TATA CARA
PERPAJAKAN
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
BAB II
KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN
A. PENGANTAR
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, termasuk peraturan pelaksanaannya yaitu
Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan
Pemenuhan Kewajiban Perpajakan, dengan perubahan terakhir Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 2021 Tentang Perlakuan Perpajakan Untuk Mendukung Kemudahan
Berusaha.
B. TUJUAN PERUBAHAN
Isu penting dalam UU KUP ini adalah mengenai keseimbangan hak dan kewajiban
antara Wajib Pajak dan aparatur pajak. Selain itu, perbaikan dan penguatan
kewenangan aparatur pajak diharapkan tetap dapat berfungsi efektif, namun tetap
menjaga prinsip-prinsip akuntabilitas, proporsional, dan integritas. UU KUP ini akan
menjadi acuan bagi perubahan undang-undang perpajakan Iainnya mengenai Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh).
C. ACUAN PERUBAHAN
15
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
D. SUBSTANSI PERUBAHAN
E. PENAMBAHAN DEFINISI
16
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
17
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) merupakan ketentuan formal yang
mendasari pelaksanaan undang-undang perpajakan. KUP merupakan gerbang
pengenalan terhadap jenis-jenis pajak yang dikelola Pemerintah Pusat, seperti PPh,
PBB, BPHTB, dan BM. Dimana KUP memuat aturan-aturan umum yang pengenaannya
tidak memandang jenis pajak. Hal-hal umum yang diatur dalam KUP, yaitu:
- Tata Cara Pendaftaran sebagai Wajib Pajak (WP);
- Hak dan Kewajiban Perpajakan;
- Prosedur penagihan;
- Dan beberapa hal umum lainnya.
Ciri dan corak tersendiri dari sistem pemungutan pajak yang terdapat di Indonesia,
adalah:
a. Pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian dan peran serta
WP untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban
perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan Negara dan pembangunan
nasional;
b. Tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaan pemungutan pajak sebagai
pencerminan kewajiban dibidang perpajakan berada pada anggota masyarakat
WP sendiri. Pemerintah, dalam hal ini aparat perpajakan, sesuai dengan
fungsinya berkewajiban melakukan pembinaan, pelayanan dan pengawasan
terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan berdasarkan ketentuan yang
digariskan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan;
c. WP diberi kepercayaan untuk dapat melaksanakan sikap gotong royong
nasional melalui sistem menghitung, memperhitungkan, membayar dan
melaporkan sendiri pajak yang terutang (self assessment), sehingga melalui
18
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Sebagai hukum pajak formal, KUP memuat bentuk atau tata cara untuk mewujudkan
hukum materill menjadi kenyataan, hukum pajak ini memuat antara lain:
a. Tata cara penetapan utang pajak.
b. Hak-hak fiskus untuk mengawasi WP mengenai keadaan, perbuatan dan
peristiwa yang dapat menimbulkan utang pajak.
c. Kewajiban WP, sebagai contoh penyelenggaraan pembukuan/pencatatan dan
hak-hak WP mengajukan keberatan dan banding.
2. Self assessment
Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenanng kepada wajib pajak untuk
menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.
Ciri-cirinya:
- Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib
pajak sendiri;
- Wajib pajak aktif mulai dari menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri
besar pajaknya;
- Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
Contoh: Pajak Penghasilan.
19
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Ciri-cirinya:
- Wewenang memotong atau memungut pajak yang terutang ada pada pihak
ketiga, selain fiskus atau WP.
Contoh: Pajak-pajak yang masuk dalam kategori pemotongan atau
pemungutan (potput). Antara lain: PPh Pasal 21, 22, 23, 4 ayat (2).
Hak dan kewajiban WP serta wewenang fiskus dalam mengawasi pengenaan pajak
secara lengkap dipaparkan dalam Undang-undang Nomor 6 tahun 1983 yang
telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 28 tahun 2007 (UU KUP).
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) merupakan nomor yang diberikan kepada Wajib
Pajak (WP) sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai
tanda pengenal diri atau indentitas WP dalam melaksanakan hak dan kewajiban
perpajakannya. Oleh karena itu kepada setiap wajib pajak hanya diberikan satu NPWP.
Terhadap WP yang tidak mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP dikenakan
sanksi sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan.
NPWP pada dasarnya merupakan identitas atau tanda pengenal bagi WP. NPWP
merupakan sarana dalam administrasi perpajakan yang digunakan oleh WP dalam
melaksanakan hak dan kewajibannya. Sejak 1 April 2001 NPWP terdiri dari 15 digit.
Kewajiban untuk memiliki NPWP merupakan kewajiban bagi setiap WP, hal ini seperti
ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (1) undang-undang No. 28 Tahun 2007 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), yang menyatakan:
“Setiap Wajib Pajak wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak
yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak
dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak”.
Orang Pribadi yang memiliki penghasilan tidak melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP) dalam satu tahun pajak, tidak wajib untuk memiliki NPWP. Sesuai Pasal 7
undang-undang Nomor 36 tahun 2008 (UU PPh). Besarnya PTKP sesuai (Peraturan
Menteri Keuangan Nomor-101/PMK.010/2016), terhitung sejak 1 Juli 2016 adalah
sebagai berikut
a. Rp54.000.000,00 untuk diri Wajib Pajak Orang Pribadi
b. Rp4.500.000,00 tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin
c. Rp54.000.000,00 tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung
dengan penghasilan suami. (Pasal 8 ayat 1 UU PPh)
20
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Subjek yang wajib untuk mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP adalah WP
Orang Pribadi dan WP Badan. Jangka waktu pendaftaran NPWP berbeda untuk setiap
Subjek. Khusus untuk WP Orang Pribadi dibedakan menjadi dua jenis, yaitu orang
yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan orang yang tidak menjalankan
usaha.
Bagi WP Orang Pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dan WP Badan,
wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP paling lama satu bulan setelah saat
usaha mulai dijalankan. Yang dimaksud dengan saat usaha mulai dijalankan adalah
saat yang terjadi lebih dulu antara saat pendirian dan saat usaha nyata-nyata mulai
dilakukan.
Sementara bagi WP Orang Pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan
bebas, apabila sampai dengan suatu bulan memperoleh penghasilan yang jumlahnya
telah melebihi PTKP setahun, wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP paling
lambat pada akhir bulan berikutnya.
Contoh :
Tommy, status K/3 Bekerja sebagai pegawai tetap di PT ABC sejak 1 Agustus 2016 dengan penghasilan neto sebulan
Rp. 6.000.000,00 Penghitungan untuk menentukan apakah Tommy harus ber-NPWP adalah:
Dari data di atas, Penghasilan Tommy bulan Agustus yang disetahunkan sudah melebihi PTKP. Dengan demikian
Tommy harus mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP paling lambat akhir September 2016
Warisan yang belum dibagi. Atas warisan yang belum terbagi, maka NPWP belum
akan dihapus untuk mengakomodir kewajiban pajak warisan sebagai subjek pajak
pengganti. Namun, bila warisan tersebut sudah dibagikan kepada ahli warisnya,
21
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
maka NPWP almarhum atau warisan dalam kedudukannya sebagai subjek pajak
pengganti baru bisa dihapuskan.
Bila karena suatu hal warisan tersebut belum dibagikan dan si ahli waris kemudian
meneruskan usaha almarhum, maka status NPWP-nya dapat diperlakukan
berdasarkan dua opsi. Pertama, bila sebelum almarhum meninggal, ahli waris
ternyata telah memiliki NPWP, maka kewajiban pajaknya tidak berubah. Artinya,
ahli waris tersebut tetap menjalankan kewajiban pajaknya sesuai dengan NPWP
yang dimilikinya.
Kedua, bila ahli waris tidak memiliki NPWP sendiri sepanjang tidak memperoleh
penghasilan lain yang merupakan objek pajak, maka tidak wajib baginya
mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP. Jadi selama mengurus usaha
almarhum, ahli waris tersebut dapat terus memakai NPWP almarhum sampai
warisan tersebut dibagikan.
TEMPAT PENDAFTARAN
Pada prinsipnya WP Orang Pribadi atau WP Badan wajib mendaftarkan diri untuk
memperoleh NPWP ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang wilayah kerjanya
meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan WP, dengan ketentuan
sebagai berikut :
● WP Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha di beberapa tempat, juga wajib
mendaftarkan diri ke KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat-tempat kegiatan
usaha WP.
● Dalam hal tempat tinggal atau tempat kedudukan WP berada dalam dua atau lebih
wilayah kerja KPP, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan KPP tempat WP
terdaftar.
CARA PENDAFTARAN
WP OP atau badan dapat mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dengan cara ke
KPP domisili tempat tinggal Orang Pribadi atau tempat kedudukan WP Badan. Dalam
praktiknya NPWP dapat diperoleh dengan tiga cara yaitu:
a. Mendaftar dengan kesadaran diri untuk memperoleh NPWP.
b. Pendaftaran NPWP melalui pemberi kerja, dan
c. Diberikan secara jabatan.
22
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Jika mendaftar dengan kemauan sendiri, WP atau orang yang diberi kuasa khusus
harus mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang wilayah kerjanya
meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan WP. Direktur Jenderal Pajak (Dirjen
Pajak) dapat menetapkan tempat pendaftaran selain di KPP yang wilayah kerjanya
meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan WP.
DATA PENDUKUNG
Data pendukung yang perlu dipersiapkan dalam mendaftarkan diri untuk memperoleh
NPWP adalah:
1. Orang Pribadi
● Kartu tanda penduduk bagi Penduduk Indonesia, atau
● Paspor bagi Orang Asing
2. WP Badan
● Akte pendirian dan perubahan atau Surat Keterangan penunjukan dari
Kantor Pusat bagi BUT
● NPWP Pimpinan/Penanggung jawab Badan
● KTP bagi penduduk Indonesia, atau paspor bagi Orang Asing sebagai
Penanggung jawab
3. Bendahara sebagai Wajib Pajak Pemungut/Pemotong.
● Surat penunjukan sebagai Bendahara
● KTP Bendahara
4. Joint Operation (JO) sebagai Wajib Pajak Pemungut/Pemotong
● Perjanjian kerjasama/akta pendirian sebagai Jo
● KTP bagi Penduduk Indonesia, atau paspor Orang Asing sebagai
penanggung jawab
● NPWP Pimpinan atau Penanggung jawab JO
23
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Pejelasan:
1. KPP lokasi dapat mengirim Surat Permintaan bantuan pendaftaran WP OP yang
berstatus sebagai Karyawan kepada Pemberi kerja atau Bendaharawan, dengan
melampirkan formulir daftar nominatif dan penjelasan mengenai tata cara
pengisian e-NPWP
❖ Bila surat tersebut tidak direspon dalam 14 hari, maka KPP Lokasi juga dapat
mengirimkan Surat Permintaan Keterangan Data WP OP yang berstatus
Sebagai Karyawan beserta lampiran yang diperlukan.
❖ Bila surat Permintaan Keterangan tidak dipenuhi dalam waktu 7 hari, maka
KPP Lokasi dapat melakukan pencarian data WP OP yang berstatus sebagai
Karyawan.
2. Pemberi kerja atau Bendaharawan harus merespon permintaan KPP Lokasi dengan
mengisi formulir yang diperlukan serta meneruskannya ke karyawan untuk
meminta fotokopi KTP, Kartu Keluarga, Paspor, Kartu NPWP (bagi yang sudah
memiliki NPWP atau NPWP Suami untuk Karyawati), dan dokumen lain yang
diperlukan. Karyawan wajib mengisi dan menandatangani formulir Permohonan
Pendaftaran dan Perubahan Data WP.
5a. Setelah disortir per-KPP Domisili, KPP Lokasi kemudian memproses permohonan
daftar nominatif dan e-NPWP tersebut, mencetak kartu NPWP dan
mengirimkannya kepada Pemberi Kerja atau Bendaharawan
5b. KPP lokasi mengirimkan daftar penerbitan NPWP per KPP domisili serta berkas
NPWP yang bersangkutan kepada KPP Domisili.
24
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
6. Pemberi kerja dan Bendaharawan mengirimkan kartu NPWP dan Surat Keterangan
Terdaftar kepada Karyawan.
1. Dalam hal WP terdaftar dan/atau PKP terdaftar pindah tempat tinggal atau
tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha ke wilayah kerja KPP lain,
WP dan/atau PKP wajib mengajukan permohonan pindah ke KPP Lama atau ke
KPP Baru dengan mengisi Formulir Perubahan Data dan WP Pindah dan/atau
Formulir Perubahan Data dan KPP Pindah
2. Berdasarkan permohonan tersebut:
a) KPP Lama wajib menerbitkan Surat Pindah untuk disampaikan kepada WP
dan ditembuskan kepada KPP Baru; atau
b) KPP Baru meneruskan permohonan pindah ke KPP Lama sebagai dasar
permohonan Surat Pindah.
Paling lama satu (1) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima secara
lengkap.
3. KPP Baru wajib menerbitkan NPWP dan SKT dan/atau SPPKP paling lama 1 hari
kerja terhitung sejak diterimanya Surat Pindah dari KPP Lama dan ditembuskan
ke KPP Lama.
4. KPP Lama menerbitkan Surat Pencabutan SKT, Surat Penghapusan NPWP,
dan/atau Surat Pencabutan SPPKP paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung sejak
diterimanya tembusan kartu NPWP dan SKT dan/atau SPPKP dari KPP Baru.
Dalam hal terjadi pemindahan tempat tinggal atau tempat usaha. KPP Lama harus
mengirim berkas Wajib Pajak dan/atau berkas PKP yang bersangkutan berikut uraian
singkat mengenai hal-hal yang dianggap perlu kepada KPP baru yang berisi, antara
lain:
a. Jumlah tunggakan pajak yang masih harus ditagih.
b. Tindakan penagihan yang harus dilaksanakan atas tunggakan pajak.
25
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
PENGHAPUSAN NPWP
Sesuai Peraturan penghapusan NPWP dilakukan dengan cara mengisi formulir
Permohonan Pendaftaran dan Perubahan Data WP, dalam hal:
b. Dianggap perlu oleh Direktur Jenderal Pajak untuk menghapuskan NPWP dari
Wajib Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan Subjektif dan atau
Objektif sesuai dengan Ketentuan Peraturan Perundang-undangan Perpajakan.
Penghapusan NPWP tersebut diatas dapat dilakukan apabila utang pajak telah dilunasi
atau hak untuk melakukan penagihan telah daluwarsa, kecuali dari hasil pemeriksaan
pajak diketahui bahwa utang pajak tersebut tidak dapat atau tidak mungkin ditagih
lagi antara lain karena:
a. Wajib Pajak Orang Pribadi meninggal dunia dengan tidak meninggalkan warisan
dan tidak mempunyai Ahli Waris tidak dapat ditemukan; atau
b. Wajib Pajak tidak mempunyai harta kekayaan.
Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan harus memberikan keputusan
atas permohonan penghapusan NPWP dalam jangka waktu 6 (enam) bulan untuk
Wajib Pajak Orang Pribadi atau 12 (dua belas) bulan untuk Wajib Pajak Badan, sejak
tanggal permohonan Wajib Pajak diterima secara lengkap.
Apabila jangka waktu tersebut telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberi
suatu keputusan, maka permohonan penghapusan NPWP dianggap dikabulkan. Dalam
hal permohonan Wajib Pajak dianggap dikabulkan, Direktur Jenderal Pajak harus
menerbitkan Surat Keputusan Penghapusan NPWP dalam jangka waktu paling lama 1
(satu) bulan setelah jangka waktu penyelesaian permohonan penghapusan NPWP
terakhir.
26
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
KEWAJIBAN PAJAK
Adanya NPWP akan menimbulkan kewajiban perpajakan yaitu menghitung, menyetor
dan melaporkan pajak, baik pajak sendiri atau pajak pihak lain yang dipotong. Bagi
WP orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, yang
hanya menerima penghasilan karyawan, maka secara umum kewajiban
perpajakannya hanya meliputi kewajiban untuk menyampaikan SPT tahunan saja.
Dalam hal ini WP tersebut tidak perlu melakukan kewajiban pajak yang lain seperti
menghitung dan menyetor pajak sendiri atas gaji yang diperolehnya setiap bulan.
Selain itu WP orang pribadi tersebut juga tidak perlu untuk membuat laporan (SPT
Masa) ke KPP setiap bulannya karena penghitungan, penyetoran dan pelaporan pajak
atas gaji tersebut dilakukan oleh perusahaan sebagai pemotong PPh Pasal 21.
Namun demikian, bila Orang Pribadi tersebut bekerja lebih dari satu pemberi kerja,
maka Orang Pribadi tersebut harus menghitung kembali penghasilannya dalam SPT
tahunan Orang Pribadinya.PPh Pasal 21 yang dipotong dari Pemberi Kerjanya dapat
dijadikan sebagai kredit pajak di SPT tahunannya. Biasanya di akhir tahun pajak bagi
WP Orang Pribadi yang memperoleh penghasilan lebih dari satu Pemberi Kerja, maka
SPT tahunannya akan cenderung kurang bayar, sehingga akan menimbulkan angsuran
PPh Pasal 25 di tahun selanjutnya. Sehingga akan timbul kewajiban pelaporan SPT
Masa PPh Pasal 25 setiap bulannya.
Bagi wajib pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan pekerjaan bebas
serta Wajib Pajak Badan memiliki kewajiban perpajakan untuk menghitung,
memotong,menyetor dan melaporkan PPh pihak lain yang dipotong (withholding tax)
dan pajaknya sendiri.
27
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
SANKSI-SANKSI TERKAIT
Setiap kewajiban dalam hukum biasa akan diikuti dengan sanksi bila tidak dijalankan.
Demikian pula dengan kewajiban ber-NPWP yang tidak dilaksanakan juga bisa dikenai
sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana.
Pengenaan sanksi perpajakan dan implikasi lain dari pelanggaran atas kewajiban
NPWP antara lain adalah dikenai sanksi perpajakan. Sesuai dengan Pasal 39 UU KUP
diatur bahwa setiap orang yang bekerja dengan sengaja:
a. Tidak mendaftarkan diri, atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak
NPWP atau Pengukuhan PKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2; atau
b. Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
c. Menyampaikan Surat Pemberitahuan dan atau keterangan yang isinya tidak atau
tidak lengkap; atau
d. Dan seterusnya.
PENGERTIAN
Kewajiban untuk mengukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) hanya dilakukan
oleh Pengusaha, baik Orang Pribadi maupun Badan yang melakukan:
a. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dalam Daerah Pabean.
b. Penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) dalam Daerah Pabean; dan
c. Ekspor BKP.
Pelaporan untuk dikukuhkan menjadi PKP Wajib dilakukan sebelum Pengusaha yang
bersangkutan melakukan penyerahan BKP dan atau JKP. Bagi Pengusaha yang tidak
melakukan kewajiban tersebut dapat dikukuhkan menjadi PKP secara jabatan oleh
Dirjen Pajak.
Identitas sebagai PKP ini ditandai dengan diberikannya Nomor Pengukuhan
Pengusaha Kena Pajak (NPPKP), yaitu nomor yang diberikan kepada PKP untuk
memenuhi kewajiban Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Sejak tahun 2002, jumlah digit
NPPKP sama dengan jumlah digit NPWP yang terdiri dari 15 (lima belas digit). 9
28
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
FUNGSI NPPKP
NPPKP berfungsi sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang digunakan
sebagai tanda pengenal diri atau identitas PKP dalam melaksanakan hak dan
kewajiban PPN nya.Pada dasarnya NPPKP yang dimiliki oleh PKP hanya 1 (satu).
Namun jika PKP mempunyai lebih dari satu tempat usaha,dan PKP yang bersangkutan
tidak mendapatkan izin untuk melakukan pemusatan PPN terutang, maka masing-
masing tempat usaha tersebut harus dikukuhkan sebagai PKP. Dalam hal ini, NPPKP
tersebut pada dasarnya hanyalah satu.Yang membedakan NPPKP yang satu dengan
yang lainnya hanyalah perbedaan kode KPP dan Kode Cabang.
WAJIB NPPKP
NPPKP wajib bagi Pengusaha yang omzet penyerahan Barang Kena Pajak (BKP)
dan/atau Jasa Kena Pajak selama satu tahun bukunya lebih dari Rp4.800.000.000,00
(empat milyar delapan ratus juta rupiah). Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri
Keuangan (PMK) Nomor. 197/PMK.03/2013 Tentang Batasan Pengusaha Kecil
Pajak Pertambahan Nilai. Pengukuhan sebagai PKP wajib dilakukan paling lambat akhir
Masa Pajak berikutnya.
Jika tidak memenuhi kewajiban sesuai dengan batas waktu yang ditetapkan, maka
saat pengukuhan adalah awal bulan berikutnya setelah bulan batas waktu tersebut.
Kewajiban untuk memungut, menyetorkan dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang terutang dimulai sejak
saat dikukuhkan sebagai PKP.
29
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
5 3
CARA PENDAFTARAN
Pelaporan usaha untuk dikukuhkan sebagai PKP ditujukan ke KPP yang wilayah
kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha WP. WP atau orang yang diberi kuasa khusus
untuk melaporkan kegiatan usaha untuk dikukuhkan sebagai PKP wajib mengisi,
menandatangani, dan menyampaikan formulir pendaftaran ke KPP. Formulir tersebut
tersedia di KPP dan formatnya sesuai yang tertera pada lampiran PER-20/PJ./2013.
PERUBAHAN IDENTITAS
Alamat maupun status WP tidaklah abadi.Perubahan identitas WP amat sangat
mungkin terjadi. Berkenaan dengan hal ini, jika PKP mengalami perubahan identitas
misalnya perubahan alamat. Tata cara perubahan identitas PKP dalam hal PKP pindah
alamat ke KPP lainnya dilakukan dengan cara seperti pemindahan NPWP. Hal ini dapat
dilihat pada Tata Cara Pemindahan Wajib Pajak atau Pengusaha kena Pajak.
30
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
PENCABUTAN NPPKP
Seperti halnya NPWP,NPPKP juga tidak berlaku seumur hidup. Ada masanya dimana
NPPKP dapat dicabut, sesuai dengan PMK Nomor-182/PMK.03/2015, Direktur
Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat melakukan
Pencabutan Pengukuhan PKP dalam hal:
● Pindah alamat ke wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak lain; atau
● Sudah memenuhi persyaratan sebagai Pengusaha Kena Pajak termasuk
Pengusaha Kena Pajak jumlah peredaran dan atau penerimaan bruto untuk
suatu tahun buku tidak melebihi batas jumlah peredaran dan atau penerimaan
bruto untuk pengusaha kecil.
KEWAJIBAN PAJAK
Adanya NPPKP akan menimbulkan kewajiban perpajakan yaitu menghitung, menyetor,
dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai, yaitu memungut PPN, menerbitkan Faktur
Pajak dan menyampaikan PPN dan PPnBM.
31
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
SANKSI-SANKSI
Seperti halnya tidak mendaftarkan diri untuk memiliki NPWP, tidak mendaftarkan diri
untuk dikukuhkan sebagai PKP juga memiliki konsekuensi pajak yang tidak dapat
dikatakan ringan. Pengenaan sanksi perpajakan dan implikasi lain dari pelanggaran
atas kewajiban NPWP antara lain:
1. Dikenai sanksi perpajakan sesuai dengan pasal 39 UU KUP;
2. Jika WP sudah memenuhi persyaratan untuk dikukuhkan sebagai PKP namun
tidak mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pengukuhan pengusaha
Kena Pajak (NPPKP), maka kepada WP yang bersangkutan dapat diterbitkan
NPPKP secara jabatan.
I. SURAT PEMBERITAHUAN
PENGERTIAN
Surat Pemberitahuan (SPT) adalah Surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk
melaporkan penghitungan, pembayaran pajak, objek pajak/bukan objek pajak, harta,
dan kewajiban menurut ketentuan perundang-undangan perpajakan.
32
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Bagi Pengusaha Kena Pajak, SPT berfungsi sebagai sarana untuk melaporkan dan
mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah PPN dan PPnBM yang sebenarnya
terutang untuk melaporkan tentang :
● Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran;
● Pembayaran atau Pelunasan Pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha
Kena Pajak dan atau melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak, yang ditentukan
oleh Ketentuan Peraturan perundang-undangan Perpajakan yang berlaku;
● Bagi Pemotong atau Pemungut Pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai
sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong
atau dipungut dan disetorkan.
WAJIB SPT
Setiap pihak yang telah terdaftar di KPP pada dasarnya wajib mengisi SPT dalam
bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka arab, satuan mata uang
Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke Kantor Ditjen Pajak tempat
WP terdaftar atau dikukuhkan. Namun, ada pihak yang dikecualikan dari kewajiban
penyampaian SPT yaitu :
- WP Orang Pribadi yang penghasilan netonya tidak melebihi jumlah PTKP, WP ini
dikecualikan dari penyampaian SPT Tahunan maupun Masa;
- WP Orang Pribadi yang tidak menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas
WP hanya dikecualikan dari kewajiban penyampaian SPT Masa.
JENIS SPT
SPT banyak ragamnya. Jika dibedakan dalam jenis kewajiban pajaknya, maka hampir
semua jenis pajak mewajibkan adanya penyampaian SPT. Dan jika dibedakan dalam
periodisasi penyampaian kewajiban SPT, maka hal itu bisa dibedakan menjadi dua
jenis, yaitu SPT Tahunan dan SPT Masa.
SPT Masa adalah SPT untuk suatu Masa Pajak. Adapun yang dimaksud dengan Masa
Pajak adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan 1 (satu) bulan takwim atau
jangka waktu lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan paling lama
3 (tiga) bulan takwim.
SPT Tahunan adalah SPT untuk suatu tahun pajak atau bagian tahun pajak. Adapun
yang dimaksud dengan tahun pajak adalah jangka waktu 1(satu) tahun takwim,
kecuali bila WP menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun takwim.
Sedangkan pengertian dari bagian tahun pajak adalah bagian dari jangka waktu
1(satu) tahun pajak.
33
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
SPT Tahunan hanya dikhususkan untuk kewajiban pajak penghasilan, yaitu SPT
Tahunan PPh Orang Pribadi/Badan dan SPT Tahunan PPh Pasal 21. Sementara SPT
Masa bisa dibedakan sebagai berikut:
a. SPT Masa PPh Pasal 21/26;
b. SPT Masa PPh Pasal 22;
c. SPT Masa PPh Pasal 23/26;
d. SPT Masa PPh Pasal 25;
e. SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2);
f. SPT Masa PPh Pasal 15;
g. SPT Masa PPN dan PPnBM bagi PKP Non Pemungut maupun Pemungut;
MEDIA PENYAMPAIAN
Dilihat dari media penyampaiannya, SPT dapat terbagi menjadi 2 jenis yaitu:
1. SPT Hardcopy, SPT dalam tampilan kertas yang sudah sejak lama dikenal;
2. E-spt: SPT dalam bentuk aplikasi (software) yang dibuat oleh Ditjen Pajak untuk
digunakan oleh WP demi kemudahan dalam menyampaikan SPT. Istilahnya, e-
Spt adalah bentuk mutakhirnya SPT hardcopy yang telah sekian lama
digunakan.
34
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
mengakibatkan jumlah pajak yang terutang kurang bayar, akan dikenai sesuai
peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
Yang perlu dicermati oleh WP adalah, SPT yang lengkap tidak tidak hanya terdiri dari
SPT Induk dan lampirannya saja. SPT yang lengkap adalah SPT yang disertai dengan
keterangan dan atau dokumen yang harus dilampirkan yang telah ditetapkan dengan
keputusan Menteri Keuangan dan telah ditandatangani oleh WP. Khususnya untuk WP
yang menyelenggarakan pembukuan , salah satu dokumen yang harus disertakan
adalah laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi.
SPT dapat dianggap tidak disampaikan apabila tidak ditandatangani atau tidak
sepenuhnya dilampiri keterangan dan atau dokumen yang telah ditetapkan. Dengan
demikian apabila SPT tidak ditandatangani, atau disampaikan tetapi tidak atau tidak
sepenuhnya dilampiri keterangan dan atau dokumen yang telah ditentukan, maka SPT
dapat dianggap tidak disampaikan.
Atas permohonan WP, Dirjen Pajak dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian
SPT untuk paling lama 6 (enam) bulan. Permohonan memperpanjang jangka waktu
penyampaian SPT Tahunan diajukan secara tertulis disertai Surat Pernyataan
mengenai penghitungan sementara pajak yang terutang dalam 1 (satu) tahun pajak
dan bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang terutang.
35
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
36
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Jika pembetulan SPT mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, maka terhadap
WP dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas
jumlah pajak yang kurang bayar. Sanksi ini dihitung sejak saat penyampaian SPT
berakhir sampai dengan tanggal pembayaran karena pembetulan SPT itu.
37
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Kemudian meskipun jangka waktu pembetulan SPT telah berakhir, dengan syarat
Dirjen Pajak belum menerbitkan surat ketetapan pajak, WP dengan kesadaran sendiri
dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian
SPT yang telah disampaikan, dengan syarat:
a. Pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar;
b. Rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil;
c. Jumlah harta menjadi lebih besar;
d. Jumlah modal menjadi lebih besar.
Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari pengungkapan
ketidakbenaran pengisian SPT beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar
50% (lima puluh persen) dari pajak yang kurang dibayar, harus dilunasi sendiri oleh
WP sebelum laporan tersendiri dimaksud disampaikan.
Selanjutnya walaupun jangka waktu pembetulan SPT telah berakhir, dengan syarat
Dirjen Pajak belum melakukan pemeriksaan, WP dapat membetulkan SPT Tahunan
PPh yang telah disampaikan, dalam hal WP menerima Keputusan Keberatan atau
putusan banding mengenai surat ketetapan pajak tahun sebelumnya, yang
menyatakan rugi fiskal yang berbeda dari ketetapan pajak yang diajukan keberatan
atau keputusan keberatan yang diajukan banding, dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan
setelah menerima keputusan keberatan atau putusan banding tersebut.
38
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Dan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, jika WP melakukan pembetulan SPT
yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, maka WP yang bersangkutan
akan dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan atas jumlah pajak
yang kurang dibayar. Sanksi ini dihitung sejak saat berakhirnya penyampaian SPT
sampai dengan tanggal dilakukanya pembayaran karena pembetulan SPT.
39
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
J. PEMBAYARAN/PENYETORAN PAJAK
PENGERTIAN
Setiap pajak yang terutang wajib dibayar atau disetor oleh WP. Namun dalam hal ini
WP perlu membedakan antara penyetoran dengan pembayaran pajak. Dalam praktik,
istilah pembayaran dan penyetoran sering dicampuradukkan dan sering dianggap
mempunyai pengertian yang sama. Penyetoran pajak diartikan sebagai pembayaran
pajak dan begitu pula sebaliknya pembayaran pajak kadang-kadang diartikan juga
sebagai penyetor pajak.
TEMPAT PENYETORAN/PEMBAYARAN
Pembayaran atau penyetoran pajak tidak ditujukan ke KPP/Ditjen Pajak, melainkan ke
kas Negara melalui Kantor Pos/Bank Badan Usaha Milik Negara/ Bank Badan Usaha
Milik Daerah (disebut bank persepsi/ bank devisa bank persepsi). Selain itu,
pembayaran atau penyetoran pajak juga dapat ditujukan ke tempat pembayaran yang
lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Ditjen Pajak tidak diperbolehkan
menerima Setoran Pajak dari WP.
22, harus disetor pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran kepada
pengusaha kena pajak rekanan pemerintah melalui kantor Pelayanan
Perbendaharaan Negara.
8. PPh Pasal 22 yang pemungutannya dilakukan oleh Wajib Pajak Badan tertentu
sebagai Pemungut Pajak harus disetor paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan
takwim berikutnya.
9. PPN dan PPnBM yang terutang dalam satu Masa Pajak, harus disetor paling lambat
akhir bulan takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir Sebelum SPT Masa
PPN disampaikan.
10. PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh Bendaharawan Pemerintah
atau Instansi Pemerintah yang ditunjuk, harus disetor paling lambat tanggal 7
(tujuh) bulan takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
11. PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh Pemungut PPN selain
Bendaharawan Pemerintah atau Instansi Pemerintah yang ditunjuk, harus disetor
paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan takwim berikutnya setelah Masa Pajak
berakhir.
Jika tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran bertepatan dengan hari libur,
(termasuk hari Sabtu*), maka pembayaran atau penyetoran dapat dilakukan pada
hari kerja berikutnya.Termasuk hari libur tersebut adalah hari libur nasional atau hari-
hari cuti bersama yang ditetapkan oleh Pemerintah.
41
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Surat keputusan yang menerima seluruhnya atau sebagian, dengan jangka waktu
masa angsuran atau penundaan tidak melebihi 12 (dua belas) bulan dengan
mempertimbangkan kesulitan likuiditas atau keadaan diluar kekuasaan Wajib Pajak.
Terhadap utang pajak yang telah diterbitkan surat keputusan tidak dapat lagi diajukan
permohonan untuk mengangsur atau menunda pembayaran.
PENGERTIAN
Surat Setoran Pajak (SSP) adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk
melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke kas Negara melalui
kantor pos dan atau bank badan usaha milik Negara/daerah atau tempat pembayaran
lain yang ditujukan oleh Menteri Keuangan. SSP ini bias dibedakan dalam 2 (dua) jenis
yaitu SSP standar, dan Surat Setoran Pabean Cukai dan Pajak (SSPCP). Bentuk dan
isi formulir SSP dapat dilihat seperti yang ditetapkan dalam peraturan perpajakan.
Formulir SSP dibuat dalam rangkap 4 (empat), dengan peruntukan sebagai berikut:
❖ Lembar ke-1, untuk arsip WP,-
❖ Lembar ke-2, untuk KPP melalui KPPN (Kantor Pelayanan Perbendaharaan
Negara).
❖ Lembar ke-3, untuk diarsipkan oleh WP ke KPP.
❖ Lembar ke-4, untuk arsip Kantor Penerima Pembayaran.
Namun apabila diperlukan, SSP dapat dibuat rangkap 5 (lima) dengan peruntukan
lembar ke-5 untuk arsip wajib pungut atau pihak lain sesuai dengan ketentuan
perpajakan yang berlaku.
Satu formulir SSP hanya bisa digunakan untuk pembayaran satu jenis pajak dan untuk
satu Masa Pajak atau satu Tahun Pajak/Surat ketetapan Pajak/Surat tagihan Pajak
dengan menggunakan satu kode akun pajak satu Kode jenis Setoran, kecuali Wajib
pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam penjelasan pasal 3 ayat
(3a) huruf a UU KUP nomor 25 tahun 1983 yang telah diubah terakhir dengan UU
42
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Nomor 28 tahun 2007 dapat membayar pajak penghasilan pasal 25 untuk beberapa
Masa Pajak satu SSP.
SSPCP yang dilaporkan dalam SPT Masa PPN adalah SSPCP lembar ke-3a. Apabila
dalam SSPCP tersebut terdapat pembayaran PPnBM impor, maka SSPCP yang
dilaporkan dalam SPT Masa PPnBM adalah fotokopi SSPCP lembar ke-3a.
SSPCP yang dilaporkan dalam SPT Masa PPh adalah SSPCP lembar ke-3b. SSPCP yang
diterima yang diterima KPP dari KPPN, digunakan untuk administrasi penerimaan PPh
adalah SSPCP lembar ke-2b. SSPCP yang diterima KPP dari KPPN, digunakan untuk
administrasi penerimaan PPN adalah SSPCP lembar ke-2c.
Apabila dalam SSPCP tersebut terdapat pembayaran PPnBM impor, maka untuk
administrasi penerimaan PPnBM digunakan foto kopi SSPCP lembar ke-2c.
Surat Setoran Cukai Atas Barang Kena Cukai dan PPN (SSCP)
SSCP adalah SSP yang digunakan oleh PKP untuk cukai atas Barang Kena Cukai dan
PPN hasil tembakau buatan dalam negeri.
SSCP digunakan untuk melakukan penyetoran penerimaan Negara dari cukai atas
Barang Kena Cukai dan PPN hasil tembakau buatan dalam negeri.SSCP dibuat dalam
rangkap 6 (enam) yang diperuntukannya sebagai berikut :
❖ Lembar ke-1a, untuk KPBC melalui Penyetor/WP;
❖ Lembar ke-1b, untuk Penyetor/WP;
❖ Lembar ke-2a, untuk KPBC melalui KPPN;
❖ Lembar ke-2b, untuk KPP melalui KPPN;
❖ Lembar ke-3, untuk KPP melalui Penyetor/WP;
❖ Lembar ke-4, untuk Bank Persepsi atau PT.Pos Indonesia.
43
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Apabila terdapat kekurangan pembayaran pajak atas impor selain yang ditagih dengan
Surat Tagihan Pajak (STP) atau Surat Ketetapan Pajak, maka pelunasan kekurangan
pembayaran tersebut dilakukan dengan menggunakan SSPCP.
Kemudian apabila terdapat kekurangan pembayaran pajak untuk cukai atas Barang
Kena Cukai dan PPN hasil tembakau buatan dalam negeri selain yang ditagih dengan
Surat Tagihan Pajak (STP), maka pelunasan kekurangan pembayaran tersebut
dilakukan dengan menggunakan SSCP.
Dalam hal Wajib Pajak membuat sendiri Kode ID Billing sebagaimana dimaksud diatas,
dengan menginput data setoran pajak yang akan dibayarkan melalui aplikasi DJP
online dengan terlebih dahulu mendaftarkan diri untuk memperoleh USER ID dan PIN
secara online , kemudian dilanjutkan dengan input data wajib pajak, terlebih dahulu
harus melakukan log in dengan memasukan USER ID dan PIN akun pengguna Aplikasi
DJP Online yang telah aktif.
Kode Billing yang dibuat oleh Wajib Pajak berlaku selama 720 Jam atau 30 x 24 jam
sejak diterbitkan dan tidak dapat dipergunakan setelah melewati jangka waktu
tersebut dan Wajib Pajak dapat membuat kembali kode ID Billing tersebut.
44
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
L. PEMERIKSAAN
PENGERTIAN
Pemeriksaan merupakan serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan,
mengolah data dan atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan. Pemeriksaan dapat dilakukan di kantor
(Pemeriksaan Kantor) atau di tempat WP (Pemeriksaan Lapangan) yang ruang lingkup
pemeriksaannya dapat meliputi tahun-tahun yang lalu maupun tahun berjalan.
Pemeriksaan dilakukan oleh Pemeriksa Pajak, yaitu Pegawai Negeri Sipil di lingkungan
Direktorat Jenderal Pajak atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Dirjen Pajak yang diberi
tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk melaksanakan pemeriksaan pajak.
TUJUAN PEMERIKSAAN
Secara garis besar, pemeriksaan pajak ditujukan untuk menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
Pemeriksaan ini antara lain harus dilakukan dalam hal Wajib Pajak mengajukan
permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud
dalam pasal 17B undang-undang KUP. Selain itu, pemeriksaan untuk menguji
kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dapat dilakukan dalam
hal Wajib Pajak:
a. Menyampaikan SPT yang menyatakan lebih bayar, selain yang mengajukan
permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
b. Yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran
pajak.
c. SPT Tahunan PPh menunjukan rugi.
d. Tidak menyampaikan atau menyampaikan SPT tetapi melampaui jangka
waktu yang telah ditetapkan dalam Surat Teguran yang terpilih untuk
dilakukan pemeriksaan berdasarkan analisis resiko.
e. Melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi, pembubaran,
atau akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya, atau
45
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
46
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
47
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
PENYIDIKAN
Disamping melakukan pemeriksaan, Ditjen Pajak pun berhak melakukan penyidikan
pajak, khususnya bila dicurigai adanya tindakan pidana dibidang perpajakan.
Penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan, merupakan serangkaian tindakan yang
dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti
48
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
itu membuat terang tindak pidana dibidang perpajakan yang terjadi serta menemukan
tersangkanya.
Instruksi untuk melakukan penyidikan pajak diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak
berdasarkan Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan. Dengan demikian, suatu
penyidikan pajak pada prinsipnya harus diawali dengan pemeriksaan bukti permulaan.
WEWENANG PENYIDIK
Seorang Penyidik berwenang untuk:
a. Menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan
berkenaan dengan tindak pidana dibidang perpajakan agar keterangan atau
laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas.
b. Meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau
badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak
pidana dibidang perpajakan.
c. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan
dengan tindak pidana dibidang perpajakan.
d. Memeriksa buku-buku, catatan-catatan dan dokumen-dokumen lain berkenaan
dengan tindak pidana dibidang perpajakan.
e. Melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan,
pencatatan dan dokumen-dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap
bahan bukti tersebut.
f. Meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak
pidana dibidang perpajakan.
g. Menyuruh berhenti dan atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau
tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang
dan atau dokumen yang dibawa sebagaimana dimaksud pada huruf e.
h. Memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana dibidang perpajakan.
i. Memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka
atau saksi.
j. Menghentikan penyidikan.
49
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
k. Melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana
dibidang perpajakan menurut hukum yang bertanggungjawab.
KEWAJIBAN PENYIDIK
Dalam melakukan Penyidikan, Penyidik wajib memenuhi hal-hal sebagai berikut:
a. Memperhatikan asas-asas hukum yang berlaku, termasuk:
1) Asas praduga tak bersalah, yaitu bahwa setiap orang yang disangka,
dituntut, dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib
dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang
menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
2) Asas persamaan dimuka hukum, yaitu bahwa setiap orang mempunyai
hak dan kewajiban yang sama dimuka hukum, tanpa ada perbedaan.
b. Berlandaskan pada undang-undang hukum acara pidana, hukum pidana dan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
c. Memelihara dan meningkatkan sikap terpuji sejalan dengan tugas, fungsi,
wewenang serta tanggung jawabnya.
d. Menunjukan Tanda Pengenal Penyidik Pajak dan Surat Perintah Penyidikan
pada saat melakukan Penyidikan.
e. Membuat laporan dan berita acara.
f. Berpedoman pada kode etik yang berlaku.
g. Memberitahukan secara tertulis saat dimulainya penyidikan dan menyampaikan
hasil penyidikannya kepada Jaksa atau Penuntut Umum melalui penyidik
Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
h. Mendapat izin tertulis Ketua Pengadilan Negeri setempat dan harus
berdasarkan Surat Perintah Penggeledahan dan atau Penyitaan dari pejabat
yang berwenang selaku Penyidik.
i. Membuat berita acara dalam waktu 2 (dua) hari setelah melakukan
penggeledahan dan atau penyitaan, dan tindakannya disampaikan kepada
pihak atau wakil atau kuasa atau pegawai dari pihak yang menguasai tempat
yang digeledah dan atau bahan bukti yang disita.
j. Memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil
penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polri, sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana
yang berlaku.
PENGHENTIAN PENYIDIKAN
Penyidikan dapat menghentikan penyidikan dalam hal peristiwanya memenuhi
ketentuan Pasal 44A UU KUP, yaitu dalam hal:
50
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
a. Tidak terdapat cukup bukti, atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak
pidana dibidang perpajakan, atau penyidikan dihentikan karena peristiwanya telah
daluwarsa, atau tersangka meninggal dunia.
b. WP melunasi pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya
dikembalikan, ditambahkan dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar
empat kali jumlah pajak yang tidak atau kurang bayar, atau yang tidak seharusnya
dikembalikan.
PENGERTIAN
Berdasarkan metode self assessment WP telah diberikan kepercayaan untuk
menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak yang
terutang. Pada saat-saat tertentu, Dirjen Pajak melalui para aparatnya akan
mengevaluasi penghitungan, perhitungan, pembayaran dan pelaporan pajak yang
telah dilakukan WP dengan melakukan pemeriksaan.
JENIS SKP
Surat Ketetapan Pajak (SKP) ini meliputi:
1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) adalah surat ketetapan pajak yang
menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah
kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi dan jumlah
yang masih harus dibayar, atau
2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), yaitu surat ketetapan
pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
51
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
3. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) adalah surat ketetapan yang
menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih
besar daripada pajak yang terutang atau tidak seharusnya terutang.
4. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN), yaitu surat ketetapan pajak yang menentukan
jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak
terutang dan tidak ada kredit pajak.
Jumlah pajak yang terutang yang tercantum dalam SKPKB dan SKPKBT sesuai
ketentuan Pasal 9 ayat (3) UU KUP adalah 1 (satu) bulan sejak diterbitkan. Jadi bila
setelah jangka waktu satu bulan sejak penerbitan ketetapan pajak diatas WP tidak
juga membayar utang pajaknya, otoritas pajak akan memulai tindak penagihan
dengan menerbitkan surat teguran sementara untuk SKPLB bisa dimintai
pengembaliannya dengan mengajukan restitusi.
PEMBETULAN SKP
Karena jabatan atau atas permohonan WP, Dirjen Pajak dapat membetulkan Surat
Ketetapan Pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan
Pengurangan atau Penghapusan sanksi administrasi, Surat Keputusan Pengurangan
atau Pembatalan Ketetapan Pajak yang tidak benar, atau Surat Keputusan
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, yang dalam penerbitannya terdapat
kesalahan tulis, kesalahan hitung dan atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu
dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Pengertian “membetulkan” di sini
antara lain, menambahkan, mengurangkan, atau menghapuskan tergantung pada
sifat kesalahan dan kekeliruan.
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat
permohonan pembetulan diterima harus memberi keputusan atas permohonan
pembetulan yang diajukan Wajib Pajak. Apabila jangka waktu tersebut telah lewat,
tetapi Direktur jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan
pembetulan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.Apabila diminta oleh Wajib
Pajak, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis mengenai
hal-hal yang menjadi dasar untuk menolak atau mengabulkan sebagian permohonan
WP.
Ruang lingkup pembetulan yang diatur dalam ayat ini terbatas pada kesalahan atau
kekeliruan sebagai akibat dari:
a. Kesalahan tulis, yaitu antara lain kesalahan yang dapat berupa nama, alamat
NPWP, Nomor Surat Ketetapan Pajak, Jenis Pajak, Masa atau Tahun Pajak, dan
Tanggal Jatuh Tempo.
52
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
b. Kesalahan hitung yaitu kesalahan yang berasal dari penjumlahan dan atau
pengurangan dan atau perkalian dan atau pembagian suatu bilangan.
c. Kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-
undangan perpajakan, yaitu kekeliruan dalam penetapan tarif, kekeliruan dalam
penerapan persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto, kekeliruan
penerapan sanksi administrasi, kekeliruan Penghasilan Tidak Kena Pajak,
kekeliruan penghitungan PPh dalam tahun berjalan dan kekeliruan dalam
pengkreditan.
Jika masih terdapat kesalahan tulis,kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam
penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam Surat
Keputusan Pembetulan tersebut, WP dapat mengajukan lagi permohonan pembetulan
kepada Dirjen Pajak atau Dirjen Pajak dapat melakukan pembetulan lagi karena
jabatan.
PEMBATALAN SKP
Karena jabatannya atau atas permohonan WP, Dirjen Pajak dapat mengurangkan atau
membatalkan ketetapan pajak yang tidak benar.Setiap permohonan pembatalan
ketetapan pajak diajukan untuk suatu Surat Ketetapan Pajak.
Setiap permohonan ketetapan pajak yang tidak benar harus menyebutkan jumlah
pajak yang menurut penghitungan WP seharusnya terutang.Dirjen Pajak harus
memberikan keputusan atas permohonan pembatalan paling lama 12 (dua belas)
bulan sejak tanggal permohonan diterima.
Apabila jangka waktu tersebut telah lewat Dirjen Pajak tidak memberi suatu
keputusan, maka permohonan yang diajukan tersebut dianggap diterima.
PENGURANGAN SANKSI
Dirjen Pajak karena jabatannya atau atas permohonan WP dapat mengurangkan atau
menghapus sanksi administrasi berupa, denda dan kenaikan yang ternyata dikenakan
karena adanya kekhilafan WP atau bukan karena kesalahan WP.
53
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Direktur Jenderal Pajak harus memberi keputusan atas permohonan Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal
diterimanya permohonan Wajib Pajak. Apabila dalam jangka waktu tersebut telah
lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan yang
diajukan oleh Wajib Pajak dianggap dikabulkan dan Direktur Jenderal Pajak harus
menerbitkan keputusan sesuai dengan permohonan yang diajukan.
PENGERTIAN
Sesuai namanya, Surat Tagihan Pajak (STP) merupakan surat yang digunakan aparat
pajak untuk melakukan penagihan pajak dan atau sanksi administrasi berupa bunga
dan atau denda. STP mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan SKP, sehingga
penagihannya pun bisa dilakukan melalui Surat Paksa.
ALASAN PENERBITAN
STP dapat diterbitkan oleh Dirjen Pajak apabila:
a. PPh dalam Tahun berjalan tidak atau kurang bayar.
b. Dari hasil penelitian SPT terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat
salah tulis dan atau salah hitung.
c. WP dikenai sanksi administrasi berupa denda dan atau bunga.
d. Pengusaha yang dikukuhkan sebagai PKP, tetapi tidak membuat faktur pajak atau
membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat waktu.
54
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
e. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP yang tidak mengisi Faktur Pajak
secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat (5) huruf b UU PPN,
selain:
1. Identitas pembeli sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (5) huruf b
UU PPN, atau
2. Identitas pembeli serta nama dan tandatangan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 13 ayat (5) huruf b dan huruf g UU PPN, dalam hal penyerahan
dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak Pedagang eceran.
f. Pengusaha Kena Pajak melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan masa
penerbitan faktur pajak; atau
g. Pengusaha Kena Pajak yang gagal berproduksi dan telah diberikan pengembalian
pajak masukan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (6a) UU PPN.
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam STP sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dan huruf b ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2%
(dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.Sanksi tersebut
dihitung sejak saat terutangnya pajak atau Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak
sampai dengan diterbitkannya STP.
Terhadap Pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf
d, huruf e, atau huruf f masing-masing, selain wajib menyetor pajak terutang, dikenai
sanksi administrasi berupa bunga 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.
Terhadap Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf g dikenai sanksi
administrasi berupa bunga 2% (dua persen) per bulan dari jumlah pajak yang ditagih
kembali, dihitung dari tanggal penerbitan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan
Pembayaran Pajak sampai dengan tanggal penerbitan Surat Tagihan Pajak, dan
bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
Jumlah pajak yang terutang yang mencantumkan dalam STP sesuai ketentuan Pasal
9 ayat (3) UU KUP adalah 1 (satu) bulan sejak diterbitkan. Jadi bila setelah jangka
waktu satu bulan sejak penerbitan ketetapan pajak di atas, WP tidak juga membayar
utang pajaknya, otoritas pajak akan memulai tindak penagihan.
55
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
O. RESTITUSI
PENGERTIAN
Restitusi merupakan pengembalian kelebihan pembayaran pajak. Adanya kelebihan
pembayaran pajak terjadi jika telah dilakukan pembayaran pajak yang tidak
seharusnya terutang atau jumlah pajak yang telah dibayar lebih besar dari kredit pajak
yang ada.
Pajak yang dapat dimintakan kembali adalah pajak yang lebih bayar berdasarkan:
● SKPLB (Pasal 17 dan Pasal 17B UU KUP).
● Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak atau SKPPKP
(Pasal 17C UU KUP);
● Keputusan Keberatan atau Putusan Banding (Pasal 26 dan Pasal 27 UU KUP);
● SK Pengurangan atau Penghapusan Sanksi administrasi (Pasal 26 ayat (1) a UU
KUP) sebagai akibat diterbitkan Surat Keputusan Keberatan atau Putusan
Banding yang menerima sebagian atau seluruh permohonan WP.
PENGEMBALIAN SKPLB
Untuk mendapatkan pengembalian kelebihan pembayaran pajak berdasarkan Pasal
17, 17 B, 17C UU KUP, WP harus mengajukan permohonan terlebih
dahulu.Permohonan diajukan ke KPP tempat WP terdaftar. Pajak yang telah dibayar
hanya akan dikembalikan jika WP tidak mempunyai utang pajak, baik dipusat maupun
di cabang. Bila masih mempunyai utang pajak, maka kelebihan pembayaran pajak
tersebut akan langsung diperhitungkan (dikompensasikan) untuk melunasi utang
pajak terlebih dahulu.
56
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
SKPLB harus diterbitkan dalam waktu paling lambat 1 bulan setelah jangka waktu
tersebut berakhir.
Jika SKPLB terlambat diterbitkan dalam jangka waktu di atas, maka kepada WP
diberikan imbalan bunga sebesar 2% sebulan dihitung sejak berakhirnya jangka waktu
itu sampai dengan saat diterbitkan surat ketetapan.
PENGEMBALIAN SKPPKP
Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak dengan kriteria tertentu, menerbitkan
Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lambat 3 bulan
sejak permohonan diterima untuk pajak Penghasilan dan paling lambat 1 bulan sejak
permohonan diterima untuk Pajak Pertambahan Nilai.
57
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Dirjen Pajak dapat melakukan pemeriksaan atas wajib pajak kriteria tertentu yang
memperoleh pengembalian pendahuluan kelebihan pajak dan menerbitkan SKP
setelah Wajib Pajak memperoleh pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.Jika
berdasarkan hasil pemeriksaan atas pengembalian Direktur Jenderal Pajak
menerbitkan SKPKB, maka atas jumlah pajak yang kurang dibayar ditambah dengan
sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen).
58
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
59
BAB III
PBB, BPHTB, DAN BEA
METERAI
PBB, BPHTB, dan Bea Meterai
BAB III
PBB, BPHTB, DAN BEA METERAI
PENDAHULUAN
Berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 2009 mengenai UU PDRD, terhitung sejak 1 Januari
2011 Pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor Pedesaan dan Perkotaan
dialihkan ke Pemerintah Kabupaten/Kota Pasal 2 UU PDRD dikatakan bahwa PBB
Perdesaan dan Perkotaan merupakan salah satu jenis Pajak Daerah yang dikelola oleh
Kabupaten/Kota dan untuk sektor perkebunan, kehutanan,perikanan dan
pertambangan masih tetap dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak .
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) pada dasarnya merupakan Pajak Pusat yang
pemungutannya diserahkan kepada Pemda. PBB merupakan pajak atas harta berupa
tanah dan bangunan sehingga bersifat kebendaan, artinya besarnya pajak yang
terutang sangat ditentukan oleh keadaan objek pajak tersebut pada awal tahun.
Keadaan subjek pajak tidak memengaruhi jumlah pajak terutang.
B. PENGERTIAN PBB-P2
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Sektor Pedesaan dan Perkotaan yang selanjutnya
disebut PBB-P2 adalah Pajak Daerah yang dikenakan terhadap bumi dan/atau
bangunan berdasarkan Bagian Keenam Belas "Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan
dan Perkotaan" Undang-Undang nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah. PBB-P2 dikelola Pemerintah Daerah dalam waktu paling Iambat
tanggal 31 Desember 2013.
PBB-P2 adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau
dimanfaatkan Oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk
kegiatan usaha perkebunan, perhutanan dan pertambangan.
C. ISTILAH-ISTILAH PBB-P2
1. Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) adalah surat yang digunakan oleh Wajib
Pajak untuk melaporkan data subjek dan objek PBB-P2 sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
Pendataan dilakukan dengan menggunakan SPOP dan SPOP harus diisi dengan
jelas, benar, dan lengkap serta ditandatangani dan disampaikan kepada Kepala
Daerah yang wilayah kerjanya meliputi letak objek pajak, selambat-lambatnya 30
61
PBB, BPHTB, dan Bea Meterai
(tiga puluh) hari kerja setelah tanggal diterimanya SPOP oleh subjek pajak (Pasal
83 UU PDRD).
2. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) adalah surat yang digunakan untuk
memberitahukan besarnya PBB-P2 yang terutang kepada Wajib Pajak.
Berdasarkan SPOP, Kepala Daerah menerbitkan SPPT. Kepala Daerah dapat
mengeluarkan SKPD (adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya
jumlah pokok pajak yang terutang) dalam hal-hal sebagai berikut (Pasal 84 UU
PDRD):
a. Apabila SPOP tidak disampaikan dan setelah Wajib Pajak ditegur secara tertulis
oleh Kepala Daerah sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran.
b. Berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan Iain ternyata jumlah pajak
yang terutang lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung berdasarkan SPOP
yang disampaikan oleh Wajib Pajak.
3. Tahun pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender
4. Saat yang menentukan pajak yang terutang adalah menurut keadaan objek pajak
pada tanggal 1 Januari
5. Tempat pajak yang terutang adalah di wilayah daerah meliputi objek pajak
OBJEK PBB
Objek PBB adalah bumi dan bangunan. Bumi adalah permukaan bumi (tanah
dan perairan) dan tubuh bumi yang ada dibawahnya. Seperti: sawah, ladang,
kebun, tanah, pekarangan, tambang. Sedangkan bangunan adalah konstruksi
teknik yang ditanamkan atau diletakkan secara tetap pada tanah dan/atau
perairan di wilayah Republik Indonesia. Misal rumah tempat tinggal, bangunan tempat
usaha atau pusat perbelanjaan.
62
PBB, BPHTB, dan Bea Meterai
1. Jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti hotel,
pabrik, dan emplasemennya dan lain-lain yang merupakan satu kesatuan
dengan kompleks bangunan tersebut;
2. Jalan Tol;
3. Kolam renang;
4. Pagar mewah;
5. Tempat olah raga;
6. Galangan kapal, dermaga;
7. Taman mewah;
8. Tempat penampungan, kilang minyak, air dan gas, pipa minyak;
9. Fasilitas lain yang memberikan manfaat.
63
PBB, BPHTB, dan Bea Meterai
SUBJEK PBB
Subjek PBB adalah Orang Pribadi atau Badan yang secara nyata:
❖ Mempunyai hak atas bumi; dan/atau
❖ Memperoleh manfaat atas bumi; dan/atau
❖ Memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.
Subjek Pajak yang sudah dikenakan kewajiban membayar PBB disebut WP PBB. Bila
suatu objek PBB belum jelas diketahui WP-nya, Direktur Jenderal Pajak dapat
menetapkan subjek pajak yang secara nyata mempunyai hak atas bumi, memperoleh
manfaat atas bangunan bangunan tersebut sebagai WP.
Meski demikian, subjek pajak yang ditetapkan secara jabatan tersebut dapat
memberikan keterangan secara tertulis secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak
bahwa ia bukan WP terhadap objek pajak dimaksud.
Bila subjek pajak dalam jangka waktu yang telah ditentukan ternyata belum
mengembalikan SPOP lebih dari 30 hari, kepadanya akan diberikan surat teguran oleh
Direktur Jenderal Pajak. Bila ternyata dalam jangka waktu yang tertera dalam surat
teguran tersebut subjek pajak belum juga mengembalikan SPOP, Kepala Bappenda
akan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak secara jabatan. Hal yang sama bisa
dilakukan bila data yang tercantum dalam SPOP yang dikembalikan oleh subjek pajak
tidak jelas, benar, dan lengkap.
64
PBB, BPHTB, dan Bea Meterai
Contoh
Tuan Makbul, seorang warga Duren Sawit memiliki 2 (dua) objek pajak sebagai
berikut:
a. Sebidang tanah senilai Rp. 7.000.000,00
b. Tanah dan bangunan senilai Rp. 7.500.000,00
Dalam hal ini NJOPTKP hanya boleh dikurangkan dari objek “b” (tanah dan bangunan),
sedangkan selisih Rp. 4.500.000,00 – (Rp. 12.000.000,00 – Rp. 7.500.000,00) tidak
boleh dikurangkan dari objek pajak “a”, sehingga PBB dihitung berdasarkan nilai objek
“a” saja sebesar Rp. 7.000.000,00.
Contoh
65
PBB, BPHTB, dan Bea Meterai
2. Nilai Jual suatu Objek Pajak sebesar Rp1.000.000,00 persentase NJKP misalnya
50% maka besarnya NJKP adalah 50% x Rp1.000.000,00 =Rp500.000,00.
Penentuan NJKP sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2002 tanggal
13 Mei 2002 sebagai berikut:
Tarif pajak yang dikenakan atas Objek PBB adalah sebesar 0.5% (lima persepuluh
persen) berdasarkan UU No.12 Tahun 1994. Sedangkan menurut UU PDRD No.28
Tahun 2009 tarif pajak yang dikenakan untuk sektor Pedesaan dan Perkotaan adalah
sebesar 0,3% (tiga persepuluh persen) tarif paling tinggi yang ditetapkan dengan
Peraturan Daerah.
Catatan: NJOPTKP berbeda pada setiap daerah, sesuai dengan Perda masing –
masing.
66
PBB, BPHTB, dan Bea Meterai
Contoh:
1. Tarif PBB-P2 = 0,01%, NJOP di bawah Rp200 juta
NJOP Bumi 90 1.500.000 135.000.000
NJOP Bangunan 60 1.000.000 60.000.000
NJOP Bumi dan Bangunan
195.000.000
NJOPTKP 15.000.000
NJOPKP 180.000.000
PBB Terutang 0,01%
18.000
67
PBB, BPHTB, dan Bea Meterai
NJOPKP 4.985.000.000
PBB Terutang 0,2% 9.970.000
68
PBB, BPHTB, dan Bea Meterai
c. Objek pajak berupa bangunan adalah sebesar nilai konversi biaya pembangunan
baru setiap jenis bangunan setelah dikurangi penyusutan fisik berdasarkan metode
penilaian ke dalam klasifikasi, penggolongan dan ketentuan nilai jual bangunan
sebagaimana dimaksud KMK No. 523/KMK.04/1998 tanggal 18 Desember 1998.
NJOP atas objek pajak sektor pertambangan yang dikelola berdasarkan kontrak karya
atau kontrak kerjasama, ditetapkan sesuai dengan kesepakatan yang tercantum di
dalamnya.
Apabila pajak yang terutang yang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak dibayar
atau kurang dibayar, maka WP akan dikenakan denda administrasi sebesar 2% (dua
persen) sebulan, yang dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran
untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
SPPT, SKP, dan STP merupakan dasar penagihan pajak. Jumlah pajak yang terhutang
berdasarkan STP yang tidak dibayar pada waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa.
Menteri Keuangan dapat melimpahkan kewenangan penagihan pajak kepada
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dan/atau Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah
Tingkat II.
69
PBB, BPHTB, dan Bea Meterai
Pengurangan PBB diberikan atas pajak terutang yang tercantum dalam SPPT atau
SKP. Pengurangan pada angka 1 dan 3 dapat diberikan setinggi-tingginya 75% dari
besarnya pajak terutang, dan ditetapkan berdasarkan pertimbangan kondisi objek
pajak serta penghasilan wajib pajak. Sementara pengurangan pada 2 angka 2 dapat
diberikan sampai dengan 100% dari besarnya pajak terutang.
70
PBB, BPHTB, dan Bea Meterai
Kepala Kanwil DJP melalui Kepala Bappenda yang menerbitkan SPPT dan atau SKP,
atas nama Menteri Keuangan memberikan keputusan atas permohonan pengurangan
pajak terutang yang lebih dari Rp.500.000.000,00. Dan Kepala Bappenda yang
menerbitkan SPPT dan atau SKP, atas nama Menteri Keuangan memberikan
Keputusan atas permohonan pengurangan pajak terutang yang tidak lebih dari
Rp.500.000.000,00.
71
PBB, BPHTB, dan Bea Meterai
Pengurangan PBB diberikan atas pajak terutang yang tercantum dalam SPP atau SKP.
Pengurangan dapat diberikan sampai dengan 100% dari besarnya pajak terutang.
Permohonan pengurangan seperti yang diajukan secara tertulis dalam bahasa
Indonesia kepada Kepala Bappenda yang menerbitkan SPPT atau SKP.
Direktur Jendral Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 bulan sejak tanggal Surat
Keberatan diterima, memberikan keputusan. Sebelum surat keputusan diterbitkan, WP
dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis. Keputusan Dirjen
Pajak atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak atau
menambah besarnya jumlah pajak yang terhutang. Apabila jangka waktu 12 bulan
telah lewat dan Dirjen Pajak tidak memberi suatu keputusan, maka keberatan yang
diajukan tersebut dianggap diterima.
Dua kewajiban diatas adalah mutlak.Dalam hal pejabat-pejabat tersebut terikat oleh
kewajiban untuk memegang rahasia jabatan, kewajiban untuk merahasiakan itu
ditiadakan sepanjang menyangkut pelaksanaan UU PBB. Pejabat yang tidak
72
PBB, BPHTB, dan Bea Meterai
Pejabat yang tugas pekerjaannya, berkaitan langsung dengan objek pajak adalah,
Camat sebagai Pejabat Pembuat akta tanah, Notaris Pejabat Pembuat akta tanah, dan
pejabat pembuat akta tanah. Laporan tertulis tentang mutasi objek pajak misalnya
antara lain jual beli, hibah, warisan, harus disampaikan kepada Dirjen Pajak yang
wilayah kerjanya meliputi letak objek pajak.
73
PBB, BPHTB, dan Bea Meterai
Sementara sanksi pidana terbagi lagi menjadi dua, karena kealpaan (digolongkan
sebagai pelanggaran) dari WP yang bersangkutan. Atau tindak pidana yang dilakukan
karena kesengajaan (digolongkan sebagai kejahatan) dari WP yang bersangkutan.
Pidana karena kealpaan akan diberlakukan kepada siapapun (baik subjek Pajak
maupun bukan) bila :
a. Tidak mengembalikan/menyampaikan SPOP kepada Direktorat Jendral Pajak;
b. Menyampaikan surat pemberitahuan objek pajak, tetapi isinya tidak benar atau
tidak lengkap dan/atau melampirkan keterangan tidak benar;
Ancaman pidana itu akan dilipatgandakan menjadi 2 apabila seseorang melakukan lagi
tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 tahun, terhitung sejak selesainya
menjalani sebagian atau seluruh pidana penjara yang dijatuhkan atau sejak
dibayarnya denda.
Tindak pidana (baik karena kealpaan maupun kesengajaan) tidak dapat dituntut
setelah lampau waktu 10 tahun sejak berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan.
74
PBB, BPHTB, dan Bea Meterai
PENGERTIAN
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak yang
dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Perolehan hak
tersebut merupakan perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan
diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.
Dengan pertimbangan hal tersebut di atas dan sebagai pengganti Bea Balik Nama atas
harta tetap berupa hak tanah yang tidak dipungut lagi sejak diundangkannya Undang-
undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, akhirnya pungutan pajak atas
perolehan Hak Atas Tanah dan atau Bangunan dilakukan dengan nama Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan.
OBJEK PAJAK
75
PBB, BPHTB, dan Bea Meterai
Yang menjadi Objek Pajak adalah perolehan hak atas tanah dan bangunan. Perolehan
hak atas tanah dan atau bangunan meliputi pemindahan hak dan pemberian hak baru.
Pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan ini bisa berupa:
1. Jual beli;
2. Tukar-menukar;
3. Hibah;
4. Hibah wasiat;
5. Waris;
6. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya;
7. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
8. Penunjukan pembeli dalam lelang;
9. Pelaksaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
10. Penggabungan usaha;
11. Peleburan usaha;
12. Pemekaran usaha;
13. Hadiah.
❖ Hak milik;
❖ Hak guna usaha;
❖ Hak guna bangunan;
❖ Hak pakai;
❖ Hak milik atas satuan rumah susun;
❖ Hak pengelolaan.
76
PBB, BPHTB, dan Bea Meterai
SUBJEK PAJAK
Subjek BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh Hak atas Tanah
dan atau Bangunan. Dengan adanya kewajiban membayar pajak tersebut, maka
Subjek Pajak tersebut akan menjadi Wajib Pajak menurut UU BPHTB.
Meski demikian, bila NPOP tersebut tidak diketahui atau lebih rendah daripada Nilai
Jual Objek Pajak (NJOP) yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB) pada tahun terjadinya perolehan, DPP yang dipakai adalah NJOP PBB ditetapkan
oleh Menteri Keuangan.
3. Tarif Pajak
Besarnya tarif pajak ditetapkan sebesar 5%. Perhitungan BPHTB terutang dilakukan
dengan mengalikan Nilai Perolehan Objek Pajak kena Pajak (NPOPKP) dengan besaran
tarif sebesar 5% tersebut. NPOPKP ini diperoleh dari NPOP dikurangi NPOPTKP.
77
PBB, BPHTB, dan Bea Meterai
= 5% x NPOPKP
= 5% x NPOPKP
Contoh:
Tuan Heri, seorang warga Tanjung Priok membeli sebidang tanah dan bangunan
seharga Rp300.000.000,00.
Maka perhitungan BPHTB-nya adalah:
5% x (Rp300.000.000,00 - Rp60.000.000,00).
= 5% x Rp240.000.000,00 = Rp12.000.0000,00.
Jumlah tersebut harus dibayar oleh Tuan Heri di Bank Persepsi atau Kantor Pos dan
Giro, atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan di Wilayah
Jakarta Utara dengan menggunakan Surat Setoran BPHTB.
1. Atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan untuk waris dan hibah
wasiat adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan
haknya ke Kantor Pertanahan.
2. Atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan karena lelang adalah sejak
tanggal penunjukan pemenang lelang.
3. Atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan karena adanya putusan
hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum yang tetap
78
PBB, BPHTB, dan Bea Meterai
4. Atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan karena adanya pemberian
hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah sejak tanggal
ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
5. Atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan karena adanya pemberian
hak baru diluar pelepasan hak adalah sejak tanggal ditandatangani dan
diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
Pajak yang terutang dibayar ke kas negara melalui Kantor Pos dan atau Bank Badan
Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah atau tempat pembayaran
lain yang ditunjuk oleh Menteri dengan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan (Saat ini menjadi Surat Setor Pajak Daerah BPHTB atau disingkat
menjadi SSPD BPHTB)
PENETAPAN PAJAK
Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terhutangnya pajak, Dirjen Pajak
berwenang untuk menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan Kurang Bayar (SK BPHTB KB atau SKBKB) apabila berdasarkan hasil
pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terutang kurang bayar.
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKBKB ditambah dengan sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk jangka waktu
paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung mulai saat terutangnya pajak
sampai dengan diterbitkannya surat ketetapan.
Selain itu, Dirjen Pajak dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya
pajak, dapat menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan Kurang Bayar Tambahan (SK BPHTB KBT atau SKBKBT) apabila
ditemukan data baru dan atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan
79
PBB, BPHTB, dan Bea Meterai
penambahan jumlah pajak yang terutang setelah diterbitkannya Surat Ketetapan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar.
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKBKB ditambah dengan sanksi
administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan
pajak tersebut, kecuali WP melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan
pemeriksaan.
PENAGIHAN PAJAK
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan (STBPHTB atau STB) apabila:
Jumlah pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar dalam STB sebagaimana
dimaksud pada huruf a dan huruf b ditambah sanksi administrasi berupa bunga
sebesar 2%/bulan untuk jangka waktu paling lama 24 (duapuluh empat atau 48%)
bulan sejak saat terutangnya pajak.
STB tersebut mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan surat ketetapan pajak.
Meski demikian, SKBKB, SKBKBT, dan STB, dan SK Pembetulan, SK Keberatan
maupun Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar
bertambah, merupakan dasar penagihan pajak. Pajak yang terutang dalam ketetapan
pajak yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar tersebut bertambah, harus
dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1(satu) bulan sejak diterima oleh WP. Bila
tidak atau kurang dibayar pada waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa.
PENGAJUAN KEBERATAN
WP dapat mengajukan keberatan hanya kepada Dirjen Pajak atas suatu:
a. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar;
b. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar
Tambahan;
c. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar;
d. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil.
Pengajuan keberatan harus memenuhi beberapa persyaratan. Pertama, keberatan
diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia. Dua, disampaikan dengan
mengemukakan jumlah pajak yang terutang menurut perhitungan WP dengan disertai
alasan-alasan yang jelas. Ketiga, keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling
80
PBB, BPHTB, dan Bea Meterai
lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya penetapan pajak diatas, kecuali apabila
WP dapat menunjukan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan
di luar kekuasaannya. Keberatan yang tidak memenuhi tiga persyaratan di atas tidak
dianggap sebagai Surat Keberatan sehingga tidak dipertimbangkan.
Dirjen Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal SK
Keberatan diterima, harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan. Sebelum
SK diterbitkan, WP dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis.
Keputusan Dirjen Pajak atas keberatan dapat berupa mengabulkan seluruhnya,
sebagian, menolak, atau menambah besarnya jumlah pajak yang terutang. Apabila
jangka waktu 12 bulan tersebut telah lewat dan Dirjen Pajak tidak memberi suatu
keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.
PENGAJUAN BANDING
WP dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada peradilan pajak terhadap
keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Dirjen Pajak. Permohonan
diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan yang
jelas dalam jangka waktu paling lama 3 bulan sejak keputusan keberatan diterima,
dilampiri salinan SK tersebut. Pengajuan banding tidak menunda kewajiban membayar
pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.
IMBALAN BUNGA
Apabila pengajuan keberatan atau permohonan banding dikabulkan sebagian atau
seluruhnya, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan
bunga sebesar 2%/bulan (dua persen) untuk jangka waktu paling lama 24 bulan
(48%) dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran
pajak sampai dengan diterbitkannya Keputusan Keberatan atau Putusan Banding. ”
PENGURANGAN PAJAK
Atas permohonan WP, pengurangan pajak yang terutang dapat diberikan oleh Menteri
Keuangan karena:
1. Wajib Pajak yang memperoleh hak baru melalui program pemerintah di bidang
pertanahan dan tidak mempunyai kemampuan secara ekonomis;
2. Wajib Pajak badan yang memperoleh hak baru selain Hak Pengelolaan dan
telah menguasai tanah dan atau bangunan secara fisik lebih dari 20 tahun yang
dibuktikan dengan surat Pernyataan Wajib Pajak dan keterangan dari Pejabat
Pemerintah Daerah setempat;
3. Wajib Pajak Orang Pribadi yang memperoleh hak atas tanah dan atau
bangunan Rumah Sederhana (RS) dan rumah susun sederhana serta Rumah
Sangat Sederhana (RSS) yang diperoleh langsung dari pengembangan dan
dibayar secara angsuran;
4. Wajib Pajak orang pribadi yang menerima hibah dari orang pribadi yang
mempunyai hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat ke atas atau satu derajat ke bawah.
Sementara kondisi Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan sebab-sebab tertentu
yaitu:
1. WP yang memperoleh hak atas tanah melalui pembelian dari hasil ganti rugi
pemerintah yang nilai ganti ruginya dibawah NJOP;
2. Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah sebagai pengganti atas tanah di
bebaskan oleh pemerintah untuk kepentingan umum;
3. Wajib Pajak Badan yang terkena dampak krisis ekonomi dan monometer yang
berdampak luas pada kehidupan perekonomian nasional sehingga Wajib Pajak
harus melakukan restrukturisasi usaha dan atau utang usaha sesuai dengan
kebijaksanaan pemerintah;
4. Wajib Pajak Bank Mandiri yang memperoleh hak atas tanah yang berasal dari
Bank Bumi Daya, Bank Dagang Negara, Bank Pembangunan Indonesia, dan
Bank Ekspor Impor dalam rangkaian proses penggabungan usaha (merger);
5. Wajib Pajak Badan yang melakukan Penggabungan usaha (merger) atau
Peleburan usaha (konsolidasi) dengan atau tanpa terlebih dahulu mengadakan
likuidasi dan telah memperoleh keputusan persetujuan penggunaan Nilai Buku
dalam rangka penggabungan atau peleburan usaha dari Direktur Jenderal
Pajak;
6. Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan yang tidak
berfungsi lagi seperti semula disebabkan bencana alam atau sebab-sebab
lainnya seperti kebakaran, banjir, tanah longsor, gempa bumi, gunung meletus
82
PBB, BPHTB, dan Bea Meterai
dan huru-hara yang terjadi dalam jangka waktu paling lama 3 bulan sejak
penandatanganan akta;
7. Wajib Pajak Orang Pribadi Veteran, Pegawai Negeri Sipil (PNS), Tentara
Nasional Indonesia (TNI), Polisi Republik Indonesia (POLRI), Pensiunan PNS,
Purnawirawan TNI, Purnawirawan POLRI, atau Janda/Dudanya yang
memperoleh Hak atas Tanah dan atau Bangunan Rumah Dinas Pemerintah;
8. Wajib Pajak Badan Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) yang
memperoleh Hak atas Tanah dan atau Bangunan dalam rangka pengadaan
perumahan bagi anggota KORPRI/PNS;
9. Wajib Pajak Badan anak perusahaan dari perusahaan asuransi dan reasuransi
yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan yang berasal dari
perusahaan induknya selaku pemegang saham tunggal sebagai kelanjutan dari
pelaksanaan Keputusan Menteri Keuangan tentang Kesehatan Keuangan
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan reasuransi;
10. Wajib Pajak yang domisilinya termasuk dalam wilayah program rehabilitas dan
rekontruksi yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan melalui
program Pemerintah di bidang pertanahan atau Wajib Pajak yang Objek
Pajaknya terkena bencana alam gempa bumi dan gelombang tsunami di
Provinsi Nangroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias, Sumatera Utara.
11. Wajib Pajak yang Objek Pajaknya terkena bencana alam gempa bumi di
Provinsi DI Yogyakarta dan sebagian di provinsi Jawa Tengah yang perolehan
haknya atau saat terutangnya terjadi 3 bulan sebelum terjadinya bencana.
12. Wajib Pajak yang Objek Pajaknya terkena bencana alam gempa bumi dan
tsunami di pesisir pantai selatan pulau Jawa yang perolehan haknya atau saat
terutangnya terjadi 3 bulan sebelum terjadinya bencana.
Besarnya pengurangan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan ditetapkan
sebagai berikut :
a. Sebesar 25% dari pajak yang terutang untuk wajib pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 huruf a angka 3;
b. Sebesar 50% dari pajak yang terutang untuk Wajib Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 huruf a angka 2 dan angka 4, huruf b angka 1, angka 2, angka 5
angka 6 dan angka 9 serta huruf c;
c. Sebesar 75% dari pajak yang terutang untuk Wajib Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 huruf a angka 1, dan huruf b angka 3 dan angka 7;
d. Sebesar 100% dari pajak yang terutang untuk Wajib Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 huruf b angka 4, angka 8, angka 10, dan angka 11, angka 12 dan
Pasal 1 huruf d.”
83
PBB, BPHTB, dan Bea Meterai
SANKSI ADMINISTRASI
Sanksi yang bisa diterapkan kepada Wajib Pajak dan Pejabat tertentu terdiri dari
beberapa jenis, yaitu :
1. Sanksi adminstrasi berupa bunga sebesar 2%/bulan untuk jangka waktu paling
lama 24 (duapuluh empat) bulan, dihitung mulai saat terutangnya pajak sampai
dengan diterbitkannya SKBKB. Surat Ketetapan kurang bayar ini diterbitkan
bila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak
yang terutang kurang bayar.
2. Sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% dari jumlah kekurangan
pajak atas penerbitan SKBKBT. Sanksi ini merupakan implikasi dari
ditemukannya data baru dan atau data yang semula belum terungkap yang
menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah diterbitkannya
Surat SKBKB. Namun bila Wajib Pajak melaporkan diri sendiri sebelum
dilakukan tindakan pemeriksaan, maka sanksi kenaikan ini bisa jadi urung
diaplikasikan.
3. Sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2%/bulan untuk jangka waktu paling
lama 24 (duapuluh empat) bulan sejak terutangnya pajak, bila pajak yang
terutang tidak atau kurang bayar atau dari hasil pemeriksaan SSPD BPHTB
terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan atau
salah hitung;
4. Sanksi administrasi dan denda sebesar Rp. 7.500.000,00 untuk setiap
pelanggaran yang dilakukan Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan Pejabat
Lelang Negara yang melanggar Ketentuan dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2)
UU BPHTB.
84
PBB, BPHTB, dan Bea Meterai
Pemindahan Hak dan Pemberian Hak Baru Beserta DPP dan Saat
Terhutangnya Pajak
DPP (Nilai
Objek Pajak adalah
Perolehan Objek Saat Terhutang
Pemindahan Hak karena :
Pajak)
1. Jual beli Sejak tanggal dibuat atau
Harga Transaksi
ditandatanganinya akta
Sejak tanggal dibuat dan
2. Tukar menukar Nilai Pasar
ditandatanganinya akta
Sejak tanggal dibuat dan
3. Hibah Nilai pasar
ditandatanganinya akta
Sejak tanggal yang
bersangkutan mendaftarkan
4. Hibah wasiat Nilai pasar
peralihan haknya ke Kantor
Pertahanan
Sejak tanggal yang
bersangkutan mendaftarkan
5. Waris Nilai pasar
peralihan haknya ke Kantor
Pertahanan
6. Pemasukan dalam
Sejak tanggal dibuat dan
Perseroan atau badan Nilai pasar
ditandatanganinya akta
hukum lainnya
7. Pemisahan hak yang Sejak tanggal dibuat dan
Nilai pasar
mengakibatkan peralihan ditandatanganinya akta
Harga transaksi yang
8. Penunjukan pembeli Sejak tanggal penunjukan
tercantum dalam
dalam lelang pemenang lelang
risalah lelang
9. Pelaksanaan putusan Sejak tanggal putusan
hakim yang mempunyai Nilai pasar pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum tetap kekuatan hukum tetap
10. Penggabungan, peleburan Sejak tanggal dibuat dan
Nilai pasar
dan pemekaran usaha ditandatanganinya akta
Sejak tanggal dibuat dan
11. Hadiah Nilai pasar
ditandatanganinya akta
12. Pemberian hak baru Sejak ditandatangani dan
karena kelanjutan Nilai pasar diterbitkannya surat keputusan
pelepasan hak pemberian hak
Sejak tanggal ditandatangani
13. Pemberian hak baru di
Nilai pasar dan diterbitkannya surat
luar pelepasan hak
keputusan pemberian hak
Apabila Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dalam tabel di atas tidak diketahui atau
lebih rendah dari NJOP untuk PBB pada tahun terjadinya perolehan, maka Dasar
85
PBB, BPHTB, dan Bea Meterai
Pengenaan Pajak yang dipakai adalah NJOP PBB. Dan apabila NJOP PBB belum
ditetapkan, besarnya NJOP PBB ditetapkan oleh Menteri.
E. BEA METERAI
PENGERTIAN
Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen yaitu kertas yang berisikan
tulisan yang mengandung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan atau
kenyataan bagi seseorang dan/atau pihak-pihak yang berkepentingan. Pengenaan
pajak atas dokumen itu dilakukan melalui Benda Meterai, yaitu meterai tempel dan
kertas meterai yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Produk hukum peninggalan Belanda tidak sesuai lagi dengan keperluan dan
perkembangan keadaan di Indonesia sehingga perlu disederhanakan. Awalnya
ketentuan tentang Bea Meterai dilakukan dengan mencantumkan Bea Meterai
menurut luas kertas dan Bea Meterai sebanding. Saat ini Bea Meterai dikenakan
berdasarkan Bea Meterai tetap sebesar Rp3.000,00 atau Rp6.000,00
Dokumen yang dikenakan Bea Meterai berdasarkan UU Bea Meterai adalah dokumen
yang berbentuk :
a. Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk
digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan, atau
keadaan yang bersifat perdata;
b. Akta-akta Notaris termasuk salinannya;
c. Akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) termasuk
rangkap-rangkapnya;
d. Surat yang memuat jumlah uang, yaitu:
1) Yang menyebutkan penerimaan uang;
2) Yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening
di Bank;
86
PBB, BPHTB, dan Bea Meterai
Dokumen yang Bea Materainya tidak atau kurang dilunasi sebagaimana mestinya
dikenakan denda administrasi sebesar 200% dari Bea Materai yang tidak atau kurang
dibayar. Pemegang dokumen-dokumen tersebut harus melunasi bea materai yang
terhutang berikut dendanya dengan cara pemeteraian kemudian.
88
PBB, BPHTB, dan Bea Meterai
Jika surat perjanjian dibuat dengan Akta Notaris, maka Bea Meterai yang terhutang
baik atas asli sahih yang disimpan oleh Notaris maupun salinanya yang diperuntukan
pihak-pihak yang bersangkutan terhutang oleh pihak-pihak yang mendapat manfaat
dari dokumen tersebut atau pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Jika pihak atau
pihak-pihak yang bersangkutan menentukan lain, maka Bea Meterai terhutang oleh
pihak atau pihak-pihak yang ditentukan dalam dokumen tersebut.
Meterai tempel direkatkan seluruhnya dengan utuh dan tidak rusak di atas dokumen
yang dikenakan Bea Meterai. Meterai tempel direkatkan di tempat di mana tanda
tangan akan dibubuhkan. Pembubuhan tanda tangan disertai dengan pencantuman
tanggal, bulan dan tahun dilakukan dengan tinta atau yang sejenis dengan itu,
sehingga sebagian tanda tangan ada di atas kertas dan sebagian lagi di atas meterai
tempel. Jika digunakan lebih dari satu meterai tempel, tanda tangan harus dibubuhkan
sebagaian di atas semua meterai tempel dan sebagian di atas kertas.
Khusus untuk kertas meterai, bila sudah digunakan tidak boleh digunakan lagi. Jika isi
dokumen yang dikenakan Bea Meterai terlalu panjang untuk dimuat seluruhnya di atas
kertas meterai yang digunakan, maka untuk bagian isi yang masih tertinggal dapat
digunakan kertas tidak bermeterai. Seluruh cara penggunaan ini wajib dipenuhi oleh
masing-masing pihak. Apabila ketentuan penggunaan meterai itu tidak dipenuhi,
dokumen yang bersangkutan dianggap tidak bermeterai. Bentuk, ukuran, warna
meterai tempel, dan kertas meterai, demikian pula pencetakan, pengurusan,
penjualan serta penelitian keabsahannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
89
PBB, BPHTB, dan Bea Meterai
PEMETERAIAN KEMUDIAN
Pemeteraian kemudian dilakukan atas :
a. Dokumen yang semula tidak terutang Bea Meterai namun akan digunakan
sebagai alat pembuktian di muka pengadilan. Besarnya Bea Meterai yang harus
dilunasi dengan cara pemeteraian kemudian adalah Bea Materai yang
terhutang sesuai dengan peraturan yang berlaku pada saat pemeteraian
kemudian dilakukan.
b. Dokumen yang Bea Meterainya tidak atau kurang dilunasi sebagaimana
mestinya. Besarnya Bea Meterai yang harus dilunasi dengan cara pemeteraian
kemudian adalah sebesar Bea Meterai yang terutang
c. Dokumen yang dibuat di luar negeri yang akan digunakan di Indonesia.
Besarnya Bea Materai yang harus dilunasi dengan cara pemeteraian kemudian
adalah sebesar Bea Meterai yang harus dilunasi dengan cara peraturan yang
berlaku pada saat pemeteraian kemudian dilakukan.
Dalam hal pemeteraian kemudian atas dokumen yang dibuat di luar negeri yang akan
digunakan di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf c baru dilakukan
setelah dokumen digunakan, pemegang dokumen wajib membayar denda sebesar
200% dari Bea Meterai yang terutang. Denda-denda terkait pemeteraian kemudian ini
dilunasi dengan menggunakan SSP.
(Peruri) dan/atau Perusahaan Sekuriti yang mendapat ijin dari badan Koordinasi
Pemberantasan Uang Palsu (Botasupal) yang ditunjuk oleh Bank Indonesia.
Bea Meterai yang telah dibayar atas tanda Bea Meterai Lunas yang tercetak pada
dokumen yang tidak terutang Bea Meterai ataupun yang belum digunakan untuk
mencetak tanda Bea Meterai Lunas, dapat dialihkan untuk penggunaan berikutnya.
Penerbit Dokumen dengan tanda Bea Meterai Lunas yang Bea Meterainya tidak kurang
atau kurang dilunasi harus melunasi Bea Meterai yang terutang berikut dendanya
200% dari Bea Meterai yang tidak atau kurang dilunasi dengan cara menyetorkan ke
Kas Negara atau Bank Persepsi.
Ijin pengunaan mesin teraan meterai berlaku selama 2 (dua) tahun sejak tanggal
ditetapkannya,dan dapat diperpanjang selama memenuhi persyaratan. Bea Meterai
yang belum dipergunakan karena mesin teraan meterai rusak atau tidak dipergunakan
lagi, dapat dialihkan untuk pengisian deposit mesin teraan meterai lain atau
91
PBB, BPHTB, dan Bea Meterai
pencetakan tanda Bea Materai Lunas dengan teknologi percetakan ataupun dengan
sistem komputerisasi.
Penerbit dokumen yang akan melakukan pengalihan Bea Materai harus mengajukan
permohonan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak setempat dengan
mencantumkan alasan dan jumlah Bea Meterai yang akan dialihkan.
Penggunaan mesin teraan meterai tanpa izin tertulis dari Direktur Jenderal Pajak
dikenakan sanksi pidana berdasarkan Pasal 14 Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985
tentang Bea Meterai. Bea Meterai kurang bayar yang disebabkan oleh kelebihan
pemakaian dari deposit yang disetor dikenakan sanksi denda administrasi sebesar
200% dari Bea Meterai kurang bayar, dan pencabutan izin penggunaan mesin teraan
meterai. Penggunaan mesin teraan meterai yang melewati masa berlakunya izin yang
diberikan, dikenakan sanksi pencabutan ijin.
Penerbit dokumen yang akan yang akan melakukan pelunasan Bea Meterai dengan
membubuhkan tanda Bea meterai Lunas dengan tekhnologi percetakan harus
melakukan pembayaran bea Meterai dimuka sejumlah dokumen yang harus dilunasi
Bea Meterai, dengan mengunakan SSP ke Kas Negara melalui Bank Persepsi.
Penerbit dokumen yang akan melakukan pelunasan Bea Meterai yang akan
membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan teknologi percetakan, harus
mengajukan permohonan izin secara tertulis kepada Dirjen Pajak dengan
mencantumkan jenis dokumen yang akan dilunasi Bea Meterai dan jumlah Bea Meterai
yang telah dibayar.
Bea Meterai kurang bayar atas cek, bilyet giro, dan efek dengan nama dan dalam
bentuk apapun yang tanda Bea Meterai Lunasnya dibubuhkan sebelum tanggal 1 Mei
2000 harus dilunasi dengan mengunakan mesin teraan meterai atau dengan
menggunakan meterai tempel.
Bea Meterai Kurang bayar atas cek, bilyet giro, dan efek dengan nama dan dalam
bentuk apapun yang tanda Bea Meterai Lunasnya dibubuhkan sejak tanggal 1 Mei
92
PBB, BPHTB, dan Bea Meterai
2000 harus dilunasi dengan menggunakan mesin teraan meterai atau dengan
menggunakan meterai tempel dengan ditambah denda administrasi sebesar 200%
dari Bea Meterai Kurang Bayar tersebut. Pelunasan denda administrasi di atas
dilakukan dengan menyetorkan ke Kas Negara melalui Bank Persepsi dengan
menggunakan SSP.
Bea Meterai yang dibayar atas tanda Bea Meterai Lunas yang tercetak pada cek, bilyet
giro, dan efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang belum dipergunakan
dapat dialihkan untuk pengisian deposit mesin teraan meterai, pembubuhan tanda
Bea Meterai Lunas lainnya dengan teknologi percetakan atau pembubuhan tanda Bea
Meterai Lunas dengan sisitem komputerisasi. Penerbit dokumen yang akan melakukan
pengalihan Bea Meterai harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada
Direktur Jenderal Pajak dengan mencantumkan alasan dan jumlah Bea Meterai yang
akan dialihkan.
Izin pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan
sistem komputerisasi berlaku selama saldo Bea Meterai yang telah dibayar pada saat
mengajukan ijin masih mencukupi kebutuhan pemeteraian 1 (satu) bulan berikutnya.
93
PBB, BPHTB, dan Bea Meterai
Penerbit dokumen yang mempunyai saldo Bea Meterai kurang dari estimasi kebutuhan
satu bulan, harus mengajukan permohonan ijin baru dengan terlebih dahulu
melakukan pembayaran Bea Meterai di muka minimal sebesar kekurangan yang harus
dipenuhi untuk mencukupi kebutuhan 1 (satu) bulan.
Bea Meterai yang belum dipergunakan karena suatu hal, dapat dialihkan untuk
pengisian deposit mesin teraan meterai, atau pencetakan tanda Bea Meterai Lunas
dengan teknologi pencetakan. Penerbit dokumen yang akan melakukan pengalihan
Bea Meterai harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Direktur jenderal
Pajak dengan mencantumkan alasan dan jumlah Bea Meterai yang akan dialihkan.
KETENTUAN KHUSUS
Pejabat Pemerintah, Hakim, Panitera, Jurusita, Notaris, dan Pejabat umum lainnya,
masing dalam tugas atau jabatannya tidak dibenarkan:
SANKSI PIDANA
a. Barang siapa meniru atau memalsukan meterai tempel dan kertas meterai atau
meniru dan memalsukan tandatangan yang perlu untuk mensahkan meterai;
b. Barang siapa yang sengaja menyimpan dengan maksud untuk diedarkan atau
memasukan ke Negara Indonesia meterai palsu, yang dipalsukan atau yang dibuat
dengan melawan hak;
c. Barang siapa dengan sengaja menggunakan, menjual, manawarkan,
menyerahkan, menyediakan untuk dimasukkan ke Negara Indonesia meterai yang
merknya, capnya, tandatangannya, tanda sah atau tanda waktu
mempergunakannya telah dihilangkan seolah-olah meterai itu belum dipakai dan
atau menyuruh orang lain menggunakannya dengan melawan hak;
94
PBB, BPHTB, dan Bea Meterai
95
PBB, BPHTB, dan Bea Meterai
1. Hitung BPHTB Terutang Tuan B atas rumah yang Saudara tempati tersebut dijual
kepada Tn B! Apabila Tarif BPHTB 5% dan harga transaksi di bawah NJOP PBB-
P2 yang telah Saudara hitung.
2. Apa perbedaan Waris, Hibah dan Hibah Wasiat?
3. Pada tanggal 2 Mei 2017 Bapak Agus dengan PT Baling Baling Bambu melakukan
transaksi di depan Notaris PPAT dengan harga transaksi sebesar
Rp300.000.000,00. Surat Setoran BPHTB (SSB) dibuat dengan bantuan salah
seorang pegawai notaris dan telah dibayarkan ke Bank Syariah
a. Hitunglah BPHTB yang dibayar oleh Bapak Agus jika diketahui NPOPTKP =
Rp80.000.000 atau Rp350.000.000.
b. Atas objek tersebut dilakukan pemeriksaan oleh Dinas Pajak Daerah setempat
diterbitkan SKBKB pada tanggal 30 Juni 2018 dengan data Luas tanah 300 m2;
dengan nilai tanah Rp1.200.000 dan Luas bangunan 150 m2; dengan nilai
bangunan Rp950.000. Hitunglah besarnya SKBKB yang diterbitkan oleh Dinas
Pajak Daerah setempat pada tanggal 30 Juni 2018!
4. Bapak Asep adalah seorang broker tanah di wilayah Jabodetabek, pada tanggal
14 Februari 2012 menjadi pemenang lelang yang diselenggarakan oleh Kantor
Pelayanan dan Piutang Lelang Negara atas sebuah rumah dengan harga
Rp1.700.000.000 sedangkan NJOP PBB tersebut adalah Rp1.900.000.000.
Pertanyaan:
a. Kewajiban Bapak Asep saat menjadi pemenang lelang adalah membayar
BPHTB, hitung besarnya BPHTB terutang apabila NPOPTKP Rp60.000.000 atau
Rp300.000.000! dan sarana apa yang digunakan untuk membayar?
b. Kapan kasus tersebut terutang BPHTB?
5. Kapan saat terutang untuk transaksi jual beli yang belum ada haknya (dalam hal
ini sertifikat/ sertipikat belum ada)?.
96
BAB IV
PPh ORANG PRIBADI
PPh Orang Pribadi
BAB IV
PPh ORANG PRIBADI
Pada dasarnya setiap individu yang terlahir tidak membawa apa-apa. Namun
demikian, semenjak dilahirkan di dunia ini ada status yang telah melekat pada diri
setiap individu, yaitu status sebagai Subjek Pajak. Disadari atau tidak, setiap individu
di Negara manapun di dunia ini (termasuk Indonesia) terlahir untuk dipajaki (born to
be taxed).
Benyamin Franklin pernah menyatakan bahwa “there is nothing certain in this world
except death and taxes”. Di dunia ini tidak ada yang pasti selain kematian dan pajak.
Semua orang yang hidup pasti akan mati, sedangkan pajak juga pasti akan dikenakan
pada setiap orang karena keberadaannya telah diatur dalam undang-undang. Itu
sebabnya siapapun individu itu tidak bisa menghindar dari kewajiban perpajakan,
sebab pajak merupakan sesuatu yang pasti akan dihadapi.
Di Indonesia, pengenaan pajak terhadap individu ataupun subjek lainnya, baik orang
pribadi maupun badan usaha, dikenal dengan nama Pajak Penghasilan (PPh). Subjek
Pajak tersebut dikenakan pajak apabila menerima atau memperoleh penghasilan.
Subjek Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan tersebut merupakan
Wajib Pajak yang kepadanya dilekati Kewajiban PPh.
Wajib Pajak ini disamping dikenakan PPh atas penghasilan yang diterima atau
diperolehnya selama satu tahun pajak, dapat pula dikenakan pajak untuk penghasilan
dalam bagian tahun pajak, apabila kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau berakhir
dalam tahun pajak. Adanya dua mekanisme pengenaan pajak ini dilakukan karena
kewajiban pajak subjektif untuk setiap Subjek Pajak berbeda satu sama lain.
1. Pajak Subjektif
Pada dasarnya, sasaran PPh merujuk pada ketentuan Pasal 1 Undang-undang
Nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan sebagaimana telah diubah
terakhir dengan (s.t.d.t.d) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh)
memang ditunjukan untuk setiap Subjek Pajak. Dalam ketentuan tersebut
dinyatakan bahwa
98
PPh Orang Pribadi
Lebih jauh, sasaran utama pengenaan pajak pada subjeknya terlebih dahulu ini
merupakan salah satu bentuk jaminan tercapainya prinsip keadilan pajak (the
equity principle) seperti dinyatakan Frizt Neumark. Menurut Neumark, orang-
orang yang berada dalam kedudukan dan posisi ekonomi yang sama harus
menanggung utang pajak yang sama pula. Singkatnya, dengan sasaran pada
subjek pajaknya, terlebih dahulu, maka asas keadilan horizontal dan vertical bisa
digapai.
2. Pajak Langsung
Dilihat dari sifat pengenaannya, PPh merupakan jenis pajak langsung. Ini terjadi
karena beban PPh tidak dapat dialihkan atau dilimpahkan (tax burden can’t be
shifted) kepada pihak lain. Pihak yang dilekati kewajiban PPh harus menanggung
sendiri beban pajaknya, dan tidak bisa meminta pihak lain untuk menanggung
beban pajak yang menjadi kewajibannya.
Dengan adanya kewajiban pajak satu tahun sekali, maka seluruh penghasilan
yang dikenai pajak akan dihitung secara tahunan. Hal yang sama diberlakukan
juga untuk biaya-biaya dan pengurangan-pengurangan yang diperkenankan untuk
mengurangi penghasilan bruto, termasuk Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
yang menjadi pengurang penghasilan bagi orang pribadi.
99
PPh Orang Pribadi
3. Pajak Pusat
Sebagai pajak pusat, pihak yang berwenang untuk melakukan pengenaan PPh ada
dipihak pemerintah pusat. Hasil yang diperoleh dari pengenaan PPh ini nantinya
akan digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara.
Meski pemungutan PPh dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah pun
bisa menikmati hasil dari penerimaan pajak tersebut. Ini dilakukan karena
semangat otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang dianut pemerintahan di
Indonesia beberapa tahun terakhir ini.
Dalam UU PPh disebutkan bahwa penerimaan Negara dari PPh Orang Pribadi
dalam Negeri dan PPh Pasal 21 yang dipotong oleh pemberi kerja dibagi dengan
imbangan 80% untuk Pemerintah Pusat dan 20% untuk pemerintah daerah
tempat Wajib Pajak terdaftar.
PENGERTIAN
Subjek Pajak dapat diartikan sebagai pihak yang menurut undang-undang perpajakan
dapat dilekati dengan hak dan kewajiban perpajakan. Subjek Pajak juga bisa berarti
pihak yang memiliki potensi untuk membayar pajak. Sesuai dengan ketentuan UU PPh,
Subjek Pajak terbagi menjadi empat kelompok, yaitu orang pribadi, warisan yang
belum terbagi, badan usaha dan Bentuk Usaha tetap. Jika dilihat dari domisilinya,
Subjek Pajak bisa dibedakan menjadi dua, yaitu Subjek Pajak Dalam Negeri, dan
Subjek Pajak Luar Negeri.
ORANG PRIBADI
Termasuk dalam pengertian Subjek Pajak dalam negeri adalah :
1. Orang Pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, termasuk yang memiliki niat
tinggal di Indonesia;
2. Orang Pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu
12 bulan sejak kedatangannya. Keberadaan orang pribadi di Indonesia lebih dari
183 hari tidaklah harus berturut-turut tetapi ditentukan oleh jumlah hari orang
tersebut berada di Indonesia dalam jangka waktu 12 bulan sejak kedatangannya
di Indonesia.
Orang Pribadi sebagai Subjek Pajak dalam negeri ini tidak merujuk pada usia,
kewarganegaraan, kedudukan, pekerjaan, status atau hal-hal lain. Dengan kata lain,
orang pribadi sebagai Subjek pajak ini bersifat luas, mulai dari seseorang yang baru
dilahirkan hingga yang sudah uzur, entah berprofesi sebagai buruh, pengusaha, tuna
wisma, pramuniaga, atau pekerjaan lainnya, sepanjang berdomisili di Indonesia atau
100
PPh Orang Pribadi
berada di Indonesia melebihi 183 hari merupakan Subjek Pajak orang pribadi dalam
negeri.
Orang Pribadi disebut sebagai subjek pajak luar negeri bila orang pribadi yang tidak
bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak melebihi 183 hari dalam
jangka waktu 12 bulan.
Subjek pajak orang pribadi dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila telah menerima
atau memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi penghasilan tidak kena pajak
(PTKP). Sedangkan Subjek Pajak luar negeri sekaligus menjadi wajib pajak apabila
menerima penghasilan yang bersumber di Indonesia. Dengan kata lain Wajib Pajak
adalah orang pribadi yang telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif.
Sehubungan dengan pemilikan NPWP, wajib pajak orang pribadi yang menerima
penghasilan di bawah PTKP tidak perlu mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP.
Pihak yang menerima warisan disebut sebagai ahli waris, yaitu setiap orang yang
berhak atas harta peninggalan pewarisan dan berkewajiban menyelesaikan hutang-
hutangnya. Hak dan kewajiban itu timbul setelah pewaris meninggal dunia.
Dari sisi perpajakan, tidak ada ketentuan yang mendefinisikan terminologi warisan
secara khusus. Yang pasti, perlakuan pajak atas warisan dapat digolongkan “unik”.
Walaupun berbentuk barang (yang tentunya tidak bernyawa), warisan
dipersonifikasikan sebagai subjek pajak pengganti ahli waris. Dengan catatan warisan
tersebut belum dibagikan kepada ahli waris yang berhak. Tujuan penunjukan warisan
yang belum terbagi sebagai subjek pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan
pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan.
Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi Subjek Pajak dalam
negeri dianggap sebagai Subjek Pajak dalam negeri dalam pengertian UU PPh
mengikuti status pewaris. Tentunya, dalam statusnya sebagai Subjek Pajak pengganti,
101
PPh Orang Pribadi
pemenuhan kewajiban pajak atas warisan yang belum terbagi tersebut jatuh ke
pundak para ahli waris. Bila warisan tersebut telah dibagi, maka kewajiban
perpajakannya secara murni beralih kepada ahli waris.
Di sisi lain, warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi sebagai
Subjek Pajak luar negeri yang tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui suatu BUT di Indonesia. Menurut memori penjelasan Pasal 2 ayat (3) huruf c
UU PPh tidak dianggap sebagai Subjek pajak pengganti. Hal ini terjadi karena
pengenaan PPh yang diterima atau diperoleh orang pribadi luar negeri tersebut
melekat pada objeknya.
BADAN
Sesuai dengan UU Nomor 28 tahun 2007 (UU KUP), yang dimaksud dengan badan
adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang
melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan
terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik Negara atau
daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana
pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi social
politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk badan
lainnya.
Subjek Pajak badan pun terbagi menjadi dua, yaitu Subjek Pajak luar negeri dan dalam
negeri. Subjek pajak badan dalam negeri menjadi wajib pajak sejak didirikan atau
bertempat kedudukan di Indonesia. Sementara yang dimaksud Subjek Pajak luar
negeri adalah badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia
yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia
yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
Badan Usaha Milik Negara dan Daerah merupakan Subjek Pajak tanpa memperhatikan
nama dan bentuknya, sehingga setiap unit tertentu dari Badan Pemerintah, misalnya
lembaga, badan dan sebagainya yang dimiliki oleh pemerintah pusat dan pemerintah
daerah yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh
penghasilan merupakan Subjek Pajak.
Unit tertentu dari Badan Pemerintah yang memenuhi kriteria berikut tidak termasuk
sebagai Subjek Pajak, yaitu :
BUT mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (place of business) yaitu
fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin dan
peralatan. Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat
tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.
Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen
yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi
atau badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan di
103
PPh Orang Pribadi
Indonesia. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan
dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tidak dapat dianggap mempunyai bentuk
usaha tetap di Indonesia apabila orang pribadi atau badan dalam menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker, atau perantara
yang mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara tersebut dalam
kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan perusahaannya
sendiri.
BUT pada dasarnya merupakan Subjek Pajak luar negeri. Namun demikian,
pemenuhan kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban
perpajakan Wajib Pajak dalam negeri.
104
PPh Orang Pribadi
Beda Subjek Pajak Dalam Negeri dan Subjek Pajak Luar Negeri
105
PPh Orang Pribadi
1. Kewajiban pajak subjektif orang pribadi dalam negeri dimulai pada saat orang
pribadi tersebut dilahirkan, berada atau berniat untuk bertempat tinggal di
Indonesia dan berakhir pada saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia
untuk selama-lamanya.
2. Kewajiban pajak subyektif badan dalam negeri dimulai pada saat badan tersebut
didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat
dibubarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia.
3. Kewajiban pajak subyektif orang pribadi atau badan luar negeri dimulai pada saat
orang pribadi atau badan tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegaitan
BUT dan berakhir pada saat tidak lagi menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui BUT.
4. Kewajiban pajak subyektif orang pribadi atau badan luar negeri dimulai pada saat
orang pribadi atau badan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan dari
Indonesia dan berakhir pada saat tidak lagi menerima atau memperoleh
penghasilan tersebut.
5. Kewajiban pajak subyektif warisan yang belum terbagi dimulai pada saat
timbulnya warisan yang belum terbagi tersebut dan berakhir pada saat warisan
tersebut selesai dibagi.
106
PPh Orang Pribadi
Apabila kewajiban pajak subyektif orang pribadi yang bertempat tinggal atau yang
berada di Indonesia hanya meliputi sebagian dari tahun pajak, maka bagian tahun
pajak tersebut menggantikan tahun pajak.”
PENGERTIAN
Objek pajak (penghasilan) adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari manapun sumbernya, baik dari Indonesia
maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah
kekayaan dengan nama dan dalam bentuk apapun. Pengertian penghasilan dalam UU
PPh tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada
adanya tambahan kemampuan ekonomis dari apapun dan dari manapun sumbernya.
1. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti
gaji, honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, akutan, aktuaris,
pengacara, dan sebagiannya;
2. Penghasilan dari usaha dan kegiatan ;
3. Penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak
seperi bunga, deviden, royalty, sewa, keuntungan, penjualan harta atau hak
yang tidak digunakan untuk usaha, dan lain sebagainya;
4. Penghasilan lain-lain seperti pembebasan utang, hadiah, dan lain sebagiannya.
OBJEK PPh
Secara lengkap jenis-jenis objek PPh dapat kita lihat dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh,
adalah :
107
PPh Orang Pribadi
PPh FINAL
Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan
dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan
harta berupa tanah dan atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan
pajaknya diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah (special treatment).
108
PPh Orang Pribadi
a. 1) bantuan sumbangan, termasuk zakat yang diterima, oleh badan amil zakat atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan para
penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi
pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan
yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima
sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Pemerintah;dan
2) Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus
satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan atau badan social termasuk
yayasan, koperasi dan atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan
kecil,yang ketentuannya diatur dengan berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan ,sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan,
kepemilikan, atau penguasaan diantara pihak-pihak yang bersangkutan.
b. Warisan;
c. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti
penyertaan modal;
d. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau
Pemerintahan, kecuali yang diberikan oleh bukan wajib pajak,wajib pajak yang
dikenakan pajak secara final atau wajib pajak yang menggunakan norma
penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam pasal 15;
e. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan
asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
asuransi bea siswa;
f. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai
Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha
Milik Daerah dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan
bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat :
1) Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
2) Bagi perseroan terbatas, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik
Daerah yang menerima deviden, kepemilikan saham pada badan yang
109
PPh Orang Pribadi
memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor dan
harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut;
g. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
oleh Menteri Keuangan baik yang dibayar oleh pemberi kerja;
h. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana
dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan ;
i. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan
kongsi;
j. Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama 5 tahun
pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian ijin usaha;
k. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa
bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha
atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut :
1) Merupakan perusahaan kecil, menegah atau yang menjalankan kegiatan dalam
sektor-sektor usaha yang ditetapkan dengan keputusan menteri keuangan
(lihat KMK 250/KMK.04/1995);
2) Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
Disamping itu juga terdapat ketentuan yang mengatur tentang penghasilan berupa
dividen yang dikecualikan dari pengenaan PPh sebagaimana diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 94 TAHUN 2010, yaitu :
PENGERTIAN
Setiap transaksi bisnis akan melibatkan paling sedikit dua pihak. Jika salah satu pihak
menerima uang, maka yang lain akan mengeluarkan uang. Jika salah satu pihak
mengakui hutang, maka pihak lain akan mengakui piutang. Jika salah satu pihak
mengakui penghasilan (pendapatan) maka pihak lainnya akan mengakui beban atau
aktiva. Perlakuan-perlakuan tersebut berlaku umum di dalam akutansi keuangan dan
seluruh transaksi yang dilakukan oleh suatu entitas bisnis akan terakumulasi dan
tercermin di dalam laporan keuangan berupa neraca dan laba rugi.
Secara garis besar, laporan laba rugi perusahaan dikelompokan dalam dua bagian
yaitu pendapatan (revenue) dan beban (expenses). Setiap pengeluaran yang
dilakukan oleh perusahaan dapat dibebankan sebagai pengurang pendapatan, baik
110
PPh Orang Pribadi
DEDUCTIBLE EXPENSES
Biaya yang diperbolehkan sebagai pengurang penghasilan bruto untuk menentukan
besarnya Penghasilan Kena Pajak adalah;
111
PPh Orang Pribadi
2) Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih
kepada Direktorat Jenderal Pajak dan
3) Telah diserahakan perkara penagihannya kepada Pengadilan negeri atau
Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) atau adanya perjanjian
tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur
dan debitur yang bersangkutan; Telah dipublikasikan dalam penerbitan
umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya
telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu, dan
4) Syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk
penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k, yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan
i. Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya
diatur dengan Peraturan Pemerintah
j. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di
Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah,
k. Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketetntuannya diatur dengan
peraturan Pemerintah
l. Sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan peraturan
pemerintah
m. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketetentuannya diatur
dengan Peraturan Pemerintah
n. Kompensasi kerugian fiscal tahun sebelumnya (maksimal 5 tahun)
a. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti deviden,
termasuk deviden yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada
pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
b. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang
saham, sekutu atau anggota;
c. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan kecuali cadangan piutang tak
tertagih untuk usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi, cadangan
untuk usaha asuransi, dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha
pertambangan, yang ketentuan dan syarat-syaratnya ditetapkan oleh Menteri
Keuangan (KMK. No.81/PMK.03/2009) sebagaimana telah diubah terakhir
dengan (PMK. No. 219/PMK.011/2012);
d. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi,
kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai
penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan;
e. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan
dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam
112
PPh Orang Pribadi
bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan
pelaksanaan pekerjaan, yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan
(PMK. NOMOR 83/PMK.03/2009) jo. Kep. Dirjen Pajak Nomor KEP-51/PJ/2009);
f. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham
atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan
sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan;
g. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan dan warisan, kecuali zakat
dan luran Wajib Keagamaan. Jumlah zakat dan sumbangan keagamaan yang
wajib yang dapat dikurangkan adalah yang nyatanyata dibayarkan oleh Wajib
Pajak Orang Pribadi dengan syarat dibayarkan melalui badan/lembaga
penerima zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dibentuk
atau disahkan oleh Pemerintah.
Badan/Lembaga penerima Zakat yang diatur sesual Lamplran PER-08/PJ/2021
I. Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) sebagai berikut:
1. Badan Amil Zakat Naslonal
2. Badan Amil Zakat Naslonal Provinsi
3. Badan Amil Zakat Naslonal Kabupaten/Kota
II. Lembaga Amil Zakat (LAZ) Skala Nasional sebagai berikut:
1. LAZ Rumah Zakat Indonesia
2. LAZ Nurul Hayat (LAZ NH)
3. LAZ Inisiatif Zakat Indonesia (LAZ IZI)
4. LAZ Baitul Maal Hidayatullah (LAZ BMH)
5. Yayasan Lembaga Manajemen Infaq Ukhuwah Islamiyah (LAZ LMI)
6. Yayasan Yatim Mandiri (LAZ Yatim Mandlri) Surabaya
7. Yayasan Dompet Dhuafa Republika (LAZ DD)
8. Yayasan Pesantren Islam Al Azhar (LAZ Al Azhar)
9. Yayasan Baitul Maal Muamalat (LAZ BMM)
10. Yayasan Daarut Tauhid (LAZ Daarut Tauhid)
11. Yayasan Dana Sosial Al Falah (LAZ YDSF)
12. Yayasan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (LAZ DDII)
13. Yayasan Global Zakat
14. Perkumpulan Persatuan Islam (PERSIS)
15. Perwakilan LAZ Nasional Yayasan Dompet Dhuafa Republika Provinsi
Jawa Barat
16. Perwakilan LAZ Nasional Baitul Maal Hidayatullah Provinsi Jawa Barat
17. Yayasan Rumah Yatim Ar Rohman Indonesia
18. Yayasan Kesejahteraan Madani (YAKESMA)
19. Perwakilan LAZ Nasional Rumah Yatim Arrohman Indonesia Provinsi
Jawa Barat
20. Perwakilan LAZ Nasional Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia Provinsi
Jawa Barat
113
PPh Orang Pribadi
21. Perwakilan LAZ Nasional Daarut Tauhid Peduli Provinsi Jawa Barat
22. Yayasan Griya Yatim & Dhuafa
23. Yayasan Daarul Qur'an Nusantara (PPPA)
24. Yayasan Baitul Ummah Banten
25. Yayasan Mizan Amanah
26. LAZ YYSN Panti Yatim Indonesia Al Fajr
27. LAZ YYSN Wahdah Islamiyah
28. YYSN Hadji Kalla
29. Yayasan Wakaf Djalaludin Pane
30. Yayasan Sahabat Yatim Indonesia
III. Lembaga Amil Zakat, Infaq, dan Shadaqah (LAZIS) sebagai berikut:
1. Lembaga Amil, Zakat, Infaq, dan Shadaqah Nahdlatul Ulama (LAZIS
NU)
2. Lembaga Amil, Zakat, Infaq, dan Shadaqah (LAZIS) Muhammadiyah
IV. Lembaga Amil Zakat Skala Provinsi sebagai berikut:
1. Yayasan Solo Peduli Ummat (LAZ Solo Peduli Ummat)
2. Yayasan Dompet Amal Sejahtera Ibnu Abbas (LAZ DASI) NTB
3. Yayasan Baitul Maal Forum Komunikasi Aktifis Masjid (LAZ FKAM)
4. Yayasan Dana Peduli Ummat (LAZ DPU) Kalimantan Timur
5. Yayasan Dompet Sosial Madani (LAZ DSM) Bali
6. Yayasan Sinergi Foundation (LAZ Sinergi Foundation)
7. Yayasan Harapan Dhuafa (LAZ Harfa) Banten
8. Yayasan Al Ihsan (LAZ Al Ihsan) Jawa Tengah
9. Yayasan Gema Indonesia Sejahtera (LAZ GIS)
10. Yayıısan Nurul Fikri (LAZ NF) Palangkaraya
11. Yapsan Insan Madani Jambi
12. Yayasan Nurul Falah Surabaya
13. Yapsan As Salam Jayapura
14. LAZ YYSN Al-Hilal
15. LAZ YYSN Al-Haromain
16. LAZ YYSN Bangun Kecerdasan Bangsa
17. LAZ YYSN Sahabat Mustahiq Sejahtera
18. LAZIS Universitas Islam Indonesia (LAZIS UNISIA)
19. Yayasan Lembaga Amil Zakat LAZ Mukmin Mandiri
20. LAZ Dompet Al-Qur'an Indonesia
21. LAZ Persada Jatim Indonesia
V. Lembaga Amil Zakat Skala Kabupaten/ Kota sebagai berikut:
1. LAZ Yayasan Swadaya Ummah Provinsi Riau
2. LAZ Ibadurrahman Provinsi Riau
3. LAZ Bina Muda Kabupaten Bandung Provinsi Jawa Barat
114
PPh Orang Pribadi
115
PPh Orang Pribadi
h. Pajak penghasilan;
i. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak
atau orang yang menjadi tanggungannya;
j. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham;
k. Sanksi administrasi berupa bunga, denda dan kenaikan serta sanksi pidana
berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di
bidang perpajakan.
116
PPh Orang Pribadi
a. Tidak terdapat dasar penghitungan yang lebih baik, yaitu pembukuan yang
lengkap, atau
b. Pembukuan atau catatan peredaran bruto Wajib Pajak ternyata diselenggarakan
secara tidak benar.
Norma penghitungan disusun sedemikian rupa berdasarkan hasil penelitian atau data
lain, dan dengan memperhatikan kewajaran. Norma penghitungan akan sangat
membantu Wajib Pajak yang belum mampu menyelenggarakan pembukuan untuk
menghitung penghasilan neto. Singkatnya, Norma penghitungan Penghasilan Neto
merupakan salah satu bentuk fasilitas untuk memberikan kemudahan dalam
menghitung besarnya penghasilan neto bagi wajib pajak yang menjalankan usaha
atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto tertentu.
PERSYARATAN PENGGUNAAN
Informasi yang benar dan lengkap tentang penghasilan Wajib Pajak sangat penting
untuk dapat mengenakan pajak yang adil dan wajar sesuai dengan kemampuan
ekonomis Wajib Pajak. Untuk dapat menyajikan informasi dimaksud, Wajib Pajak
harus menyelenggarakan pembukuan. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan
usaha atau melakukan pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran tertentu, tidak
diwajibkan untuk menyelenggarakan pembukuan.
Wajib Pajak orang pribadi yang peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp
4.800.000.000,- boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto, dengan syarat memberitahukan kepada Direktur
Jenderal Pajak untuk menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto, dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.
Bagi Wajib Pajak yang menyelenggarakan pembukuan, maka penghasilan neto akan
dihitung sesuai dengan prinsip standar akutansi yang berlaku. Sedangkan untuk Wajib
Pajak yang menyelenggarkan pencatatan, maka penghasilan neto fiskalnya ditentukan
dengan norma, yaitu persentase tertentu yang besarnya ditetapkan oleh Dirjen Pajak
Nomor PER-17/PJ./2015
Penghasilan kena pajak = penghasilan neto dikurangi Penghasilan tidak kena pajak
= Rp 95.000.000,- -Rp 72.000.000,- = Rp 23.000.000,-
Catatan :
a. Angka 12,5% untuk industri rotan, lihat kode 33100
F. PENGHASILAN
b. Angka 45% sebagaiTIDAK KENA
dokter, PAJAK
lihat kode (PTKP)
93213
c. Istri tidak punya penghasilan
PENGERTIAN
Disamping biaya-biaya yang berkaitan dengan kegiatan mendapatkan, menagih dan
memelihara (3M) penghasilan, khusus untuk WP orang pribadi mendapat
pengurangan bernama Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Penerapan besarnya
PTKP ditentukan oleh keadaan pada waktu awal tahun pajak yang dilaporkan (1
Januari 20XX) sehingga awal tahun tersebut sebagai dasar cut off dengan periode
pajak berikutnya.
WP yang mempunyai anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan
lurus yang menjadi tanggungan sepenuhnya, misalnya orang tua, mertua, anak
kandung, anak angkat, diberikan tambahan PTKP untuk paling banyak 3 orang.
Yang dimaksud dengan anggota keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya
118
PPh Orang Pribadi
adalah anggota keluarga yang tidak mempunyai penghasilan dan seluruh biaya
hidupnya ditanggung oleh WP.
BESARAN PTKP
Mulai tahun pajak 2016, besarnya PTKP didasarkan pada Peraturan Menteri Keuangan
(PMK) No. 101/PMK.010/2016, tanggal 27 Juni 2016 adalah sebagai berikut:
119
PPh Orang Pribadi
PENGERTIAN
Dalam menghitung dan melunasi PPh, WP harus bisa menentukan terlebih dahulu
dasar penghitungan pajaknya, yaitu Penghasilan Kena Pajak (PKP). Bagi Wajib Pajak
dalam negeri pada dasarnya terdapat dua cara untuk menentukan besarnya
Penghasilan Kena Pajak, yaitu penghitungan dengan cara biasa dan penghitungan
dengan menggunakan norma penghitungan.
a. Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia;
b. Wajib Pajak luar negeri lainnya.
120
PPh Orang Pribadi
Contoh :
Rp 2.000.000,- (+)
Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang berhak untuk tidak menyelenggarakan
pembukuan, Penghasilan Kena Pajaknya dihitung dengan menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto dengan contoh sebagai berikut :
121
PPh Orang Pribadi
Contoh :
122
PPh Orang Pribadi
Contoh :
Misalnya orang pribadi tidak kawin yang berkewajiban pajak subjektifnya sebagai
Subjek Pajak dalam negeri adalah 3 bulan, dan dalam jangka waktu tersebut
memperoleh penghasilan sebesar Rp 30.000.000,- maka penghitungan Penghasilan
Kena Pajaknya adalah sebagai berikut :
3 x 30
H. TARIF PAJAK
1. Tarif umum PPh Pasal 21, sebagaimana diatur dalam pasal 17 UU PPh sesuai
perubahan UU Nomor 7 Tahun 2021, adalah sebagai berikut:
2. Untuk keperluan penerapan tarif pajak diatas, jumlah Penghasilan Kena Pajak
dibulatkan ke bawah dalam ribuan rupiah penuh.
3. Contoh perhitungan tarif diatas:
Contoh Perhitungan Tarif di atas:
Jumlah penghasilan neto Bapak Misbah Tahun 2018 adalah sebesar
Rp590.000.950,- maka PPh Terutang Bapak Misbah Tahun 2018 adalah sebesar:
Penghasilan Kena Pajak Rp590.000.000,00 (pembulatan ke bawah)
123
PPh Orang Pribadi
PPh Terutang:
5% x Rp60.000.000,- 3.000.000,-
15% x Rp190.000.000,- 28.500.000,-
25% x Rp250.000.000,- 62.500.000,-
30% x Rp90.000.000,- 27.000.000,-
Rp121.000.000,-
Misal :
Ricard Gere (suami) adalah produser (pengusaha) film layar lebar, sementara Julia
Robert (istri) berprofesi sebagai aktris dan memiliki usaha boutique yang tidak ada
hubungannya dengan usaha suami.
Pada tahun 2016 Ricard Gere memperoleh penghasilan dari usahanya sebesar Rp
2.000.000.000,- dan total biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan brutonya
(deductible expenses) adalah sebesar Rp 1.000.000.000,-. Sedangkan penghasilan
Julia Robert pada tahun yang sama adalah sebesar Rp 3.000.000.000,- dengan total
biaya yang deductible sebesar Rp 1.500.000.000,-.
Berapa jumlah PPh yang terutang atas penghasilan suami istri tersebut? Dan berapa
beban pajak yang harus dipikul oleh masing-masing?
124
PPh Orang Pribadi
PPh Terutang tahun 2016 (Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh) atas Rp 661.250.000,-
suami-istri
*) catatan :
Karena penghasilan istri digabung dengan penghasilan suami, maka
penghitungan PTKP-nya (status K/I/0) adalah :
PTKP suami Rp 54.000.000,-
Tambahan PTKP karena status kawin (K) Rp 4.500.000,-
Tambahan PTKP untuk seorang istri yang penghasilannya
Digabung dengan penghasilan suami (I) Rp 54.000.000,-
Jumlah PTKP Rp 112.500.000.,-
Jadi total PPh tahun 2016 yang terutang atas penghasilan suami-istri tersebut, sebesar
Rp 661.250.000,- menjadi beban dan wajib dibayar masing-masing oleh Ricard Gere
(suami) sebesar Rp 264.500.000,- dan oleh Julia Robert (istri) sebesar Rp
396.750.000,
125
PPh Orang Pribadi
I. KREDIT PAJAK
PENGERTIAN
Kredit Pajak adalah Pajak yang telah dilunasi setiap bulan atau masa pajak lain dalam
tahun berjalan, baik yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak maupun yang dipotong
serta dipungut oleh pihak lain, yang merupakan angsuran pajak yang boleh
dikurangkan dari pajak yang terutang pada akhir tahun pajak yang bersangkutan.
Kecuali pembayaran PPh yang bersifat final. Kredit pajak yang diperkenakan untuk
mengurangi pajak terutang ini bisa berupa kredit pajak dalam negeri ataupun kredit
pajak luar negeri.
PPh yang dipotong atau dipungut pihak lain atau withholding tax adalah :
1. PPh pasal 21, adalah pemotongan pajak atas penghasilan dari pekerjaan, jasa
dan kegiatan;
2. PPh Pasal 22, adalah pemungutan pajak atas penghasilan dari kegiatan
dibidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain;
3. PPh Pasal 23, pemotongan pajak atas penghasilan berupa deviden, bunga,
royalti, sewa, hadiah, dan penghargaan, dan imbalan jasa;
4. PPh Pasal 26, pemotongan pajak atas penghasilan dari pekerjaan, jasa dan
kegiatan yang dilakukan kepada Wajib Pajak Luar Negeri sepanjang status WP
luar negeri tersebut telah berubah menjadi Subjek pajak dalam negeri (Pasal
26 ayat (5) UU PPh);
Catatan :
Pembahasan lebih lanjut mengenai masing-masing withholding tax akan dibahas dalam mata kuliah
tersendiri.
PPh yang disetor sendiri adalah PPh Pasal 25 adalah Angsuran PPh yang harus dibayar
sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan dalam tahun pajak berjalan. Sementara
Fiskal Luar Negeri (FLN) adalah kredit pajak bagi WP orang pribadi yang bertolak ke
luar negeri dan diwajibkan membayar pajak yang ketentuannya diatur dalam
Peraturan Pemerintah (PP 80 TAHUN 2008).
FLN tersebut merupakan angsuran PPh dalam tahun berjalan (PPh Pasal 25) yang
dapat dikreditkan dengan PPh terutang pada akhir tahun dalam SPT Tahunan PPh WP
orang Pribadi untuk tahun Pajak yang bersangkutan.
➢ Tarif FLN
Rp.2.500.000,- bagi setiap orang pribadi untuk setiap kali bertolak keluar negeri
dengan menggunakan pesawat udara.
126
PPh Orang Pribadi
Apabila penghasilan luar negeri bersumber dari beberapa Negara, maka jumlah
maksimum kredit pajak luar negeri dihitung untuk masing-masing Negara dengan
menerapkan cara penghitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Contoh :
Tn Joni di Jakarta dalam tahun 2013 memperoleh penghasilan neto sebagai berikut :
- Penghasilan dari dalam negeri = Rp.2.000.000.000,-
- Penghasilan dari Negara X (dengan tarif pajak 40%) = Rp.1.000.000.000,-
- Penghasilan dari Negara Y (dengan tarif pajak 30%) = Rp. 500.000.000,- (+)
- Jumlah penghasilan neto = Rp.3.500.000.000,-
Apabila penghasilan neto sama dengan Penghasilan Kena Pajak, maka Pajak
Penghasilan terutang menurut tarif Pasal 17 sebesar Rp 995.000.000,-
127
PPh Orang Pribadi
➢ Untuk Negara x =
Rp 1.000.000.000,-
…………………………… x Rp 995.000.000,- = Rp 284.285.714,29
Rp 3.500.000.000,-
Pajak yang terutang diluar negeri sebesar Rp.400.000.000,- lebih besar dari batas
maksimum kredit pajak yang dapat dikreditkan, maka jumlah kredit yang
diperkenankan hanya sebesar Rp. 284.285.714,29
➢ Untuk Negara Y =
➢ Rp 500.000.000,-
➢ …………………………… x Rp 995.000.000,- = Rp 142.142.857,15
➢ Rp 3.500.000.000,-
Pajak yang terutang diluar negeri sebesar Rp.150.000.000,- lebih kecil dari batas
maksimum kredit pajak yang dapat dikreditkan, maka jumlah kredit pajak yang
diperkenankan adalah Rp. 142.142.857,15
128
PPh Orang Pribadi
Contoh:
Dalam hal, kewajiban perpajakan Bapak Solihin dan Ibu Neneng dilaksanakan secara
sendiri-sendiri (pisah harta atau memilih terpisah), PPh Luar Negeri yang dapat
dikreditkan dengan Pajak Penghasilan terutang di dalam negeri dilakukan sesuai
dengan Pasal 6 ayat (5) Peraturan Menteri 192/PMK.03/2018 yang dihitung sebagai
berikut:
129
PPh Orang Pribadi
Rp2.200.000.000,-
=
Rp.4.000.000.000,- x Rp1.110.250.000,-
= Rp610.637.500,-
RP.1.800.000.000,-
=
Rp.4.000.000.000,- x Rp1.110.250.000,-
= Rp499.612.500,-
Besarnya PPh Luar Negeri dari negara X yang dapat dikreditkan oleh Bapak Solihin
ditentukan berdasarkan jumlah yang paling sedikit di antara:
- PPh Luar Negeri dari negara X bagi Bapak Solihin yaitu sebesar Rp40.000.000,-
- jumlah tertentu bagi Bapak Solihin:
Penghasilan luar negeri suami PPh terutang atas
= X
Penghasilan Kena Pajak PPh Kena Pajak
Rp200.000.000,-
= X Rp1.110.250.000,-
Rp3.887.500.000,-
= Rp57.118.971,-
maka jumlah PPh Luar Negeri yang dapat dikreditkan dengan Pajak Penghasilan
terutang di dalam negeri sebesar PPh Luar Negeri dari negara X bagi Bapak Solihin,
yaitu sebesar Rp40.000.000,00. Selanjutnya, besarnya PPh Luar Negeri dari negara X
yang dapat dikreditkan oleh Ibu Neneng ditentukan berdasarkan jumlah yang paling
sedikit di antara:
- PPh Luar Negeri dari negara X bagi Ibu Neneng yaitu sebesar Rp60.000.000,-
- jumlah tertentu bagi Ibu Neneng:
- tertentu bagi Bapak Solihin:
Penghasilan luar negeri istri PPh terutang atas
= X
Penghasilan Kena Pajak PPh Kena Pajak
Rp300.000.000,-
= X Rp1.110.250.000,-
Rp3.887.500.000,-
= Rp85.678.456.-
130
PPh Orang Pribadi
maka jumlah PPh Luar Negeri yang dapat dikreditkan dengan Pajak Penghasilan
terutang di dalam negeri sebesar PPh Luar Negeri dari negara X bagi Ibu Neneng,
yaitu sebesar Rp60.000.000,-
PENGERTIAN
Kredit Pajak adalah Pajak yang telah dilunasi setiap bulan atau masa pajak lain dalam
tahun berjalan, baik yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak maupun yang dipotong
serta dipungut oleh pihak lain, yang merupakan angsuran pajak yang boleh
dikurangkan dari pajak yang terutang pada akhir tahun pajak yang bersangkutan.
Kecuali pembayaran PPh yang bersifat final. Kredit pajak yang diperkenankan untuk
mengurangi pajak terutang ini bisa berupa kredit pajak dalam negeri ataupun kredit
pajak luar negeri.
Besarnya PPh Pasal 25 untuk bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian SPT
Tahunan PPh adalah sama dengan besarnya angsuran PPh untuk bulan terakhir tahun
pajak yang lalu. Apabila SPT Tahunan PPh Tahun 2015 disampaikan pada bulan Maret
2016, maka besarnya angsuran PPh Pasal 25 untuk bulan Januari dan Februari 2016
adalah sama dengan angsuran bulan desember 2015
Contoh 1 :
PPh yang terutang berdasarkan SPT Tahun 2015 = Rp. 50.000.000,-
Dikurangi dengan PPh yang dipotong/dipungut pihak lain :
PPh Pasal 21 = Rp.15.000.000,-
PPh Pasal 22 = Rp.10.000.000,-
PPh Pasal 23 = Rp. 2.500.000,-
PPh Pasal 24 = Rp. 7.500.000,-(+)
Jumlah = Rp.35.000.000,-(-)
PPh yang harus dibayar sendiri = Rp. 15.000.000,-
Besarnya angsuran PPh Pasal 25 setiap bulan untuk tahun 2016 = Rp. 15.000.000,-/12
= Rp. 1.250.000,-
131
PPh Orang Pribadi
Contoh 2 :
ANGSURAN BILA
Apabila PPh pada DALAM
contoh TAHUN
diatas BERJALAN
berkenaan TERBIT SKP
dengan penghasilan untuk bagian tahun pajak
yang meliputi
Apabila dalam 6tahun
bulan berjalan
dalam tahun 2015, maka
diterbitkan SKPbesarnya angsuran
untuk tahun PPhyang
pajak Pasal lalu,
25 setiap
maka
bulan dalam tahun 2016 sebesar = Rp. 15.000.000,-/6 = Rp.2.500.000
angsuran PPh Pasal 25 tahun berjalan dihitung kkembali berdasarkan SKP tersebut,
yang mulai berlaku untuk bulan berikutnya setelah bulan terbitnya SKP.
Contoh :
Berdasarkan SPT Tahun 2015 yang disampaikan bulan Maret 2016, perhitungan angsuran
PPh Pasal 25 adalah sebesar Rp. 1.250.000,- Dalam bulan Juli 2016 diterbitkan SKP untuk
tahun Pajak 2015 yang menghasilkan besarnya angsuran PPh Pasal 25 menjadi
Rp.2.000.000,- Besarnya angsuran Pasal 25 bisa menjadi lebih besar, lebih kecil atau
sama.
132
PPh Orang Pribadi
Contoh :
Penghasilan Neto PT. X tahun 2015 = Rp.120.000.000
Kompensasi kerugian tahun 2014 = 150.000.000,-
Sisa kerugian yang masih dapat dikompensasikan dikurangi di tahun 2015 = Rp. 30.000.000
Penghitungan PPh Pasal 25 tahun 2016 adalah sbb:
Penghasilan yang menjadi dasar penghitungan PPh Pasal 25 adalah
= Rp. 120.000.000,- Rp.30.000.000,-= Rp. 90.000.000,-
Dengan asumsi dalam tahun 2015 besarnya PPh yang dipotong/dipungut pihak lain sebesar
WPRp.Memperoleh
5.000.000, maka besarnya angsuran
Penghasilan TidakPPh Pasal 25 PT. X tahun 2016 adalah :
Teratur
Angsuran Pasal 25 dihitung
1/12 x (Rp.8.500.000,-- hanya dari=penghasilan
Rp. 5.000.000,-) Rp. 291.666,-yang teratur saja. Penghasilan
teratur adalah penghasilan yang lazimnya diterima atau diperoleh secara berkala
sekurang-kurangnya sekali dalam setiap tahun pajak, yang bersumber dari kegiatan
usaha, pekerjaan bebas, pekerjaan, harta dan atau modal, kecuali penghasilan yang
telah dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final.
Tidak termasuk dalam penghasilan teratur adalah keuntungan selisih kurs dari
utang/piutang dalam mata uang asing dan keuntungan dari pengalihan harta (capital
gain) sepanjang bukan merupakan penghasilan dari kegiatan usaha pokok, serta
penghasilan lainnya yang bersifat insidentil.
133
PPh Orang Pribadi
permohonan tertulis kepada Kepala KPP untuk mengurangi besarnya angsuran PPh
Pasal 25nya.
Syarat-syarat :
134
PPh Orang Pribadi
Bila diberi Ijin Perpanjangan maka besarnya angsuran PPh Pasal 25 mulai batas waktu
penyampaian SPT s.d bulan disampaikannya SPT dihitung berdasarkan penghitungan
sementara PPh terutang yang disampaikan WP. Setelah SPT Tahunan disampaikan,
besarnya angsuran PPh pasal 25 harus dihitung kembali berdasarkan SPT Tahunan
PPh yang disampaikan.
Apabila terjadi kekurangan setor akibat penyampaian SPT yang melewati batas waktu
pelaporan, maka kekurangan angsuran mulai batas waktu penyampaian SPT harus
disetor ditambah bunga 2% per bulan dihitung sejak jatuh tempo s.d. tanggal
penyetoran. Dan apabila terjadi lebih setor, kelebihan diperhitungkan dengan
angsuran untuk bulan-bulan berikutnya.
25 adalah sebesar 0,75% dari jumlah peredaran bruto dari masing-masing tempat
usaha tersebut sejak Januari 2016.
135
PPh Orang Pribadi
Contoh :
Tuan Joni adalah pengusaha yang bergerak dalam usaha jual beli hand phone yang
memiliki gerai handphone tersebar di beberapa wilayah di Jakarta. Berikut adalah
data-data omset dari masing-masing gerai di bulan Januari 2016.
Perhitungan PPh Pasal 25 untuk WP tertentu atas Tn. Joni adalah sebagai berikut :
Catatan :
PPh Pasal 25 tersebut, di laporkan ke KPP tempat kedudukan usaha atau tempat gerai-
gerai tersebut berada.
136
BAB V
PPh POT-PUT
PPh Pot-Put
BAB V
PPh PEMOTONGAN PEMUNGUTAN
Pajak Penghasilan Pemotongan Pemungutan (PPh Pot Put) merupakan penerapan dari
system perpajakan yang menggunakan with holding tax di mana pajak yang dibayar
seseorang atau badan dipotong/dipungut oleh pihak ketiga, yaitu pihak yang
berkewajiban memotong/memungut pajak dari penerima penghasilan, menyetorkan
pajak tersebut ke kas Negara melalui Bank Persepsi, dan melaporkannya ke Kantor
Pelayanan Pajak.
Jenis pajak yang dikategorikan dalam PPh Pot-put adalah sebagai berikut:
1. PPh pasal 21
2. PPh Pasal 22
3. PPh pasal 23
4. PPh Pasal 26
5. PPh pasal 4 (2)/PPh final*
*PPh Final adalah pajak penghasilan yang penghitungan dan penyetorannya langsung
dilakukan pada saat itu juga, sehingga tidak dapat digabung dengan penghasilan lain
pada akhir tahun pajak dan tidak dapat dikreditkan.
1. Mendaftar NPWP
2. Melaksanakan pemotongan pajak
3. Membuat bukti pemotongan pajak
4. Menyetorkan pajak
5. Melaporkan pemotongan pajak
6. Menyimpan data-data selama 5 tahun
138
PPh Pot-Put
pemungutan dari Pajak Penghasilan oleh pihak lain kepada Direktur Jenderal
Pajak karena:
a. WP yang dalam tahun pajak berjalan dapat menunjukan tidak atau terutang
Pajak Penghasilan karena mengalami kerugian fiskal dengan mengajukan
SKB (Surat Keterangan Bebas). SKB dapat diterbitkan dalam hal:
- WP yang baru berdiri dan masih dalam tahap investasi; atau
- WP belum sampai pada tahap produksi komersial; atau
- Karena suatu peristiwa yang berada di luar kemampuan (force majeur)
sehingga menderita kerugian dan tidak akan terutang pajak Penghasilan.
b. WP berhak melakukan kompensasi kerugian fiskal sepanjang kerugian
tersebut jumlahnya lebih besar daripada perkiraan penghasilan neto tahun
pajak yang bersangkutan; atau
c. Pajak Penghasilan yang telah dibayar lebih besar dari Pajak Penghasilan yang
akan terutang.
d. WP yang atas seluruh penghasilannya dikenakan pajak bersifat final.
Persyaratan:
1. Mengajukan permohonan untuk memperoleh SKB pemotongan PPh;
2. Menyampaikan perkiraan penghasilan neto tahun berjalan;
3. Menyampaikan daftar pihak-pihak pemberi penghasilan beserta nilai transaksi
yang diperkirakan akan diterima/diperoleh.
4. Permohonan untuk memperoleh SKB diajukan dengan menggunakan Formulir
SKB pemotongan/pemungutan PPh sebagaimana dimaksud dalam lampiran
1 PER-21/PJ/2014, kepada Kantor Pelayanan Pajak tempat dimana WP
pemohon terdaftar.
139
PPh Pot-Put
terutang beserta sanksi administrasi berupa bunga 150% (seratus lima puluh
persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar.
● Walaupun Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) telah melakukan
pemeriksaan, dengan syarat Dirjen Pajak belum menerbitkan Surat Ketetapan
Pajak, WP dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkan dalam laporan
sendiri tentang ketidakbenaran pengisian SPT yang telah disampaikan sesuai
keadaan sebenarnya, yang dapat mengakibatkan:
a. Pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar atau lebih kecil;
b. Rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil atau lebih
besar;
c. Jumlah harta menjadi lebih besar atau lebih kecil; dan
d. Jumlah modal menjadi lebih besar atau lebih kecil.
*Proses pemeriksaan tetap dilanjutkan.
● WP dapat membetulkan SPT Tahunan yang telah disampaikan, dalam hal WP
menerima Surat Ketetapan Pajak, Surat Keputusan (SK) Keberatan, SK
Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali Tahun pajak
sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi
fiskal yang telah dikompensasikan dalam SPT Tahunan yang akan dibetulkan
tersebut, dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah menerima Surat
Ketetapan Pajak, SK keberatan, SK Pembetulan, Putusan Banding, atau
Putusan Peninjauan Kembali, dengan syarat Dirjen Pajak belum melakukan
tindakan pemeriksaan.
140
PPh Pot-Put
Pbk atas SSP adalah memindahbukukan sebagian atau seluruh setoran pajak pada
satu atau beberapa masa ke jenis pajak dan atau masa pajak lainnya.
1. Membuat permohonan secara tertulis kepada kepala KPP yang berwenang dan
ditandatangani oleh Wajib Pajak/Pengurus Badan atau kuasanya dengan
ketentuan permohonan diajukan oleh Wajib Pajak pemegang asli SSP dengan
dilampiri:
- SSP asli yang akan dipindahbukukan;
- PIUD asli (dalam hal pemindahbukuan dilakukan untuk pembayaran PPh
Pasal 22 atau PPN Impor);
- Daftar nominatif Wajib Pajak menerima pemindahbukuan untuk
pemecahan SSP oleh Bendaharawan/Pemungut/Pemotong.
2. Dalam hal nama dan NPWP pemegang SSP ( yang mengajukan permohonan
pemindahbukuan) tidak sama dengan nama dan NPWP yang tercantum dalam
SSP, maka permohonan tersebut harus dilampiri sebagaimana dimaksud nomor
1 di atas dan juga dilampiri dengan surat pernyataan dari Wajib Pajak yang
nama dan NPWP-nya tercantum dalam SSP bahwa SSP tersebut sebenarnya
buka pembayaran pajak untuk kepentingannya sendiri dan tidak keberatan
dipindahbukukan kepada WP yang mengajukan permohonan.
3. SSP lembar ke-2 yang ditera Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN)
telah ditatausahakan di KPP.
4. SSP yang dimohonkan untuk dipindahbukukan belum diperhitungkan sebagai
pembayaran pajak yang terutang;
5. Surat Pernyataan dan Surat Kuasa sebagaimana disebutkan di atas harus
dibubuhi Bea Meterai.
E. PPh PASAL 21
141
PPh Pot-Put
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ditegaskan bahwa orang pribadi yang tidak
termasuk sebagai pemberi kerja adalah orang peribadi yang tidak melakukan
kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang semata-mata memperkerjakan orang
pribadi untuk melakukan pekerjaan rumah tangga atau pekerjaan bukan dalam
rangka melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
C. Objek PPh Pasal 21
Yang menjadi objek PPh Pasal 21 adalah:
1. Penghasilan berupa gaji, upah, hononarium, tunjangan, dan pembayaran lain
dengan nama dan dalam bentuk apapun.
● Sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan/atau kegiatan,
● Diperoleh atau diterima Wajib Pajak Orang Pribadi.
2. Khusus natura dan kenikmatan objek PPh bagi penerimanya apabila diberikan
oleh:
● Bukan Wajib Pajak; atau
● Wajib Pajak yang dikenakan PPh final;
● Wajib Pajak dikenakan PPh berdasarkan Norma Penghitungan Khusus
Deemed Profit.
142
PPh Pot-Put
3. Penghitungan DPP-nya.
Secara umum rumus perhitungan PPh Pasal 21/26 adalah:
Tarif umum PPh Pasal 21, sebagaimana diatur dalam pasal 17 UU PPh sesuai
perubahan UU Nomor 7 Tahun 2021, adalah sebagai berikut:
Pensiunan
PPh Pasal 21 = Tarif Pasal 17 UU PPhXPh KP
Ph KP = Ph Bruto–Biaya Pensiun-PTKP
144
PPh Pot-Put
Biaya Jabatan
Ketentuan mengenai biaya jabatan:
2. Iuran pensiun/THT/JHT
Ketentuan mengenai iuran pensiun yang dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto pegawai:
1. Iuran pensiun yang terkait gaji dan dibayarkan kepada dana pensiun
yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
2. Iuran THT kepada badan penyelenggara Taspen dan Jamsostek.
145
PPh Pot-Put
146
PPh Pot-Put
Keterangan :
147
PPh Pot-Put
1. Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara,
akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
2. Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, binatang
sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/I,
pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya;
3. Olahragawan;
4. Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
5. Pengarang, peneliti, dan penerjemah;
6. Pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem
aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi ekonomi dan sosial serta
pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan;
7. Agen iklan;
8. Pengawas atau pengelola proyek;
9. Pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi
perantara;
10. Petugas penjaja barang dagangan;
11. Petugas dinas luar asuransi;
12. Distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan
jenis lainnya.
a. PPh Pasal 21 Bagi Orang Pribadi Dalam Negeri Bukan Pegawai Atas
Imbalan Yang Bersifat Berkesinambungan
Penerima penghasilan bukan pegawai yang menerima penghasilan secara
berkesinambungan dapat menggunakan PTKP sepanjang memenuhi syarat,
yaitu:
148
PPh Pot-Put
b. Bagi yang Tidak Memiliki NPWP atau Menerima Penghasilan Dari Selain
Pemotong Pajak yang Bersangkutan
PPh Pasal 21 = Tarif Pasal 17x50%xPenghasilan Bruto
kumulatif
b. PPh Pasal 21 Bagi Orang Pribadi Dalam Negeri Bukan Pegawai Atas
Imbalan yang Tidak Bersifat Berkesinambungan
PPh Pasal 21 = tarif Pasal 17 x 50% x Jumlah Penghasilan
Bruto
Catatan:
Dalam hal bukan pegawai adalah dokter yang melakukan praktik di rumah
sakit dan/atau klinik, maka besarnya jumlah penghasilan bruto adalah
sebesar jasa dokter yang dibayarkan pasien melalui rumah sakit dan/atau
klinik sebelum dipotong biaya-biaya atau bagi hasil oleh rumah sakit
dan/atau klinik.
Catatan:
Penghitungan di atas diterapkan atas setiap kali pembayaran yang bersifat rutin dan
tidak dipecah, yang diterima oleh peserta kegiatan.
149
PPh Pot-Put
Jika pajak bersifat tidak final, maka dikenakan tarif 20% lebih tinggi bagi
yang tidak punya NPWP.
150
PPh Pot-Put
Pasal 21 DTP nya hanya diberikan untuk pekerja yang memenuhi kriteria di
atas telah ber-NPWP. Dalam hal setelah masa pajak Juni 2009 pekerja
belum ber-NPWP, PPh pasal 21 DTP hanya diberikan sejak masa pajak
pekerja yang bersangkutan ber-NPWP.
151
PPh Pot-Put
152
PPh Pot-Put
3. Sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 100% (seratu persen) dari pokok
pajak yang terutang.
PTKP (K/0)
- Untuk WP sendiri Rp 54.000.000,00
- Tambahan WP kawin Rp 4.500.000,00 (+)
Rp 58.500.000,00 (-)
153
PPh Pot-Put
154
PPh Pot-Put
PTKP
Untuk WP sendiri Rp54.000.000,00
Tambahan WP kawin RP 4.500.000,00 (+)
Rp 58.500.000,00
(-)
Penghasilan Kena Pajak Setahun Rp 30.309.600,00
Pembulatan Rp 30.309.000,00
PPh Pasal 21 Terutang
5% x Rp 30.309.000,00 Rp 1.515.300,00
PPh Pasal 21 sebulan
Rp 1.515.300,00 : 12 Rp 126.275,00
155
PPh Pot-Put
Gaji Rp 8.750.000,00
Pengurangan:
1. Biaya Jabatan
5% x Rp 8.750.000,00 = Rp 437.500,00
2. Iuran Pensiun Rp 100.000,00 (+)
Rp 537.500,00(-)
Penghasilan neto sebulan Rp 8.212.500,00
PTKP
- Untuk Wajib Pajak Rp 54.000.000,00
- Tambahan karena menikah Rp 4.500.000,00
Rp 58.500.000,00(-)
Penghasilan Kena Pajak Rp 40.050.000,00
PPh Pasal 21 Setahun
5% x Rp40.050.000,00 Rp 2.002.500,00
PPh Pasal 21 sebulan
Rp2.002.500,00 : 12 Rp 166.875,00
PPh Pasal 21 terutang masa Januari s.d Mei 2017 seharusnya adalah
5 x Rp166.875,00 = Rp 834.375,00
PPh Pasal 21 terutang yang sudah dipotong Januari s.d Mei 2017
5 x Rp78.750,00 (soal 1.a) = Rp 393.750,00 (-)
PPh Pasal 21 untuk uang rapel Rp 440.625,00
156
PPh Pot-Put
Contoh:
Karyawati Senja Menyapa (belum menikah) bekerja pada PT. Langit Biru
dengan memperoleh gaji sebesar Rp5.500.000,00 sebulan. Perusahaan ikut
dalam program Jamsostek. Premi JKK, premi Jaminan Kematian, dan iuran
JHT dibayar oleh pemberi kerja setiap bulan masing-masing sebesar 1,00%,
0,30%, dan 3,70% dari gaji. Senja Menyapa membayar iuran pensiun
Rp50.000,00 dan Jaminan Hari Tua sebesar 2,00% dari gaji untuk setiap
bulan. Dalam tahun berjalan dia juga menerima bonus sebesar
Rp4.000.000,00.
PTKP
o Untuk WP sendiri Rp 54.000.000,00 (-)
Penghasilan Kena Pajak Rp 10.675.100,00
PPh Pasal 21 Terutang
157
PPh Pot-Put
5 % x Rp10.675.100,00 Rp 533.755,00
PTKP
- Untuk WP sendiri Rp 54.000.000,00(-)
Penghasilan Kena Pajak Rp 6.875.100,00
158
PPh Pot-Put
Contoh Penghitungan:
Langit Biru berstatus belum menikah adalah pegawai PT. Nusantara Ceria di
Jakarta, sejak 1 Juni 2017 dipindahtugaskan ke kantor cabang di Bandung,
dan pada 1 Oktober 2017 dipindahtugaskan lagi ke kantor cabang Garut. Gaji
Langit Biru sebesar Rp8.500.000,00 dan pembayaran iuran pensiun yang
dibayar sendiri sebulan sejumlah Rp200.000,00. Selama bekerja di PT.
Nusantara Ceria, Langit Biru hanya mendapat penghasilan berupa Gaji saja.
PPh Pasal 21 terutang yang dipotong masa Januari s.d. Mei 2017 adalah:
5/12 x Rp2.025.000,00 = Rp 843.750,00
PPh Pasal 21 terutang yang dipotong masa Januari s.d. Mei 2017 adalah:
5 x Rp168.750,00 = Rp 843.750,00(-)
PPh Pasal 21 kurang (lebih) dipotong Nihil
159
PPh Pot-Put
5% x Rp42.500.000,00 Rp2.125.000,00
2. Iuran Pensiun
5 x Rp200.000,00 Rp1.000.000,00 (+)
Rp3.125.000,00(-)
Penghasilan neto 5 bulan adalah Rp 39.375.000,-
Penghasilan neto disetahunkan
12/5 x Rp 39.375.000,00 Rp 94.500.000,00
PTKP
- Untuk WP sendiri Rp 54.000.000,00 (-)
Penghasilan Kena Pajak Disetahunkan Rp 40.500.000,00
PPh Pasal 21 disetahunkan
5% x Rp 40.500.000,- Rp 2.025.000,00
PPh Pasal 21 Terutang
5/12 x Rp2.025.000,- Rp 843.750,00
PPh Pasal 21 yang dipotong dan dilunasi
(Januari s.d. Mei 2017) adalah
5 x Rp 168.750,00 Rp 843.750,00
PPh Pasal 21 kurang (lebih) bayar NIHIL
160
PPh Pot-Put
PTKP
- Untuk WP sendiri Rp 54.000.000,00(-)
Penghasilan Kena Pajak disetahunkan Rp 40.500.000,00
PPh Pasal 21 disetahunkan
5% x Rp40.500.000,00 Rp 2.025.000,00
PPh Pasal 21 Terutang
9/12 x Rp2.025.000,00 Rp 1.518.750,00
PPh Pasal 21 telah dipotong dan dilunasi:
Di Jakarta sesuai dengan Form. 1721_A1 Rp 843.750,00(-)
161
PPh Pot-Put
PTKP
- Untuk WP sendiri Rp 54.000.000,00(-)
Penghasilan Kena Pajak Rp 40.500.000,00
PPh PAsal 21 terutang setahun
5% x Rp40.500.000,00 Rp 2.025.000,00
PPh PAsal 21 terutang di Jakarta dan Bandung
Sesuai dengan Form 1721-A1 Rp 1.518.750,00 (-)
PPh PAsal 21 terutang di Garut Rp 506.250,00
PPh Pasal 21 sebulan yang harus dipotong di Garut
(Rp506.250,00 : 3) Rp 168.750,00
Biru Laut bekerja pada PT. Semesta Indah sebagai pegawai tetap sejak 1
September 2017. Biru Laut menikah tetapi belum punya anak. Gaji sebulan
162
PPh Pot-Put
adalah Rp16.000.000,00 dan iuran pensiun yang dibayar tiap bulan sebesar
Rp150.000,00.
163
PPh Pot-Put
PTKP (K/3)
- Untuk WP sendiri Rp 54.000.000,00
- Tambahan WP kawin Rp 4.500.000,00
- Tambahan 3 orang anak
- (3 x Rp4.500.000,00) Rp 13.500.000,00 (+)
Rp 72.000.000,00 (-)
Penghasilan Kena Pajak Disetahunkan Rp 162.000.000,00
PPh Pasal 21 disetahunkan
5% x Rp50.000.000,00 Rp 2.500.000,00
15% x Rp112.000.000,00 Rp 16.800.000,- (+)
Rp 19.300.000,00
PPh Pasal 21 Terutang untuk tahun 2017
4/12 x Rp19.300.000,00 Rp 6.433.334,00
PPh Pasal 21 terutang sebulan
1/4 x Rp7.633.334,00 Rp 1.608.334,00
164
PPh Pot-Put
PTKP
- Untuk WP sendiri Rp 54.000.000,00(-)
Penghasilan Kena Pajak Rp 40.500.000,00
Penghitungan PPh Pasal 21 yang terutang selama bekerja pada PT. Antariksa
Perkasa dalam tahun kalender 2017 (s.d bulan September 2013)
dilakukan pada saat berhenti bekerja:
PTKP
- Untuk WP sendiri Rp 54.000.000,00(-)
Penghasilan Kena Pajak Rp 40.500.000,00
165
PPh Pot-Put
Catatan:
Kelebihan pemotongan PPh Pasal 21 sebesar Rp168.750,00
dikembalikan oleh PT. Antariksa Perkasa kepada yang bersangkutan
pada saat pemberian bukti pemotongan PPh Pasal 21.
PTKP (K/3)
- Untuk WP sendiri Rp 54.000.000,00
- Tambahan WP kawin Rp 4.500.000,00
- Tambahan 3 orang anak Rp 13.500.000,00(+)
Rp 72.000.000,00(-)
Penghailan Kena Pajak Rp
102.000.000,00
PPh Pasal 21 atas gaji setahun
5% x Rp50.000.000,00 Rp 2.500.000,00
15% x Rp52.000.000,00 Rp 7.800.000,00 (+)
Rp 10.300.000,-
PPh Pasal 21 atas gaji sebulan
(Rp10.300.000,00 : 12) Rp 858.334,00
166
PPh Pot-Put
Rp200.000.000,00
Pengurangan:
Biaya Jabatan:
5% x Rp200.000.000,00 = Rp 10.000.000,00
Maksimum diperkenankan
(12 x Rp500.000,00) = Rp 6.000.000,00 (-)
Penghasilan neto atas gaji setahun dan bonus
Rp194.000.000,00
PTKP (K/3)
- Untuk WP sendiri Rp 54.000.000,00
- Tambahan WP kawin Rp 4.500.000,00
- Tambahan 3 orang anak
(3 x Rp3.000.000,00) Rp 13.500.000,00 (+)
Rp 72.000.000,00(-)
Penghasilan Kena Pajak
Rp122.000.000,00
Pengurangan:
Biaya Jabatan:
167
PPh Pot-Put
5% x Rp95.000.000,00 = Rp 4.750.000,00
Maksimum diperkenankan
5 x Rp500.000,00 = Rp 2.500.000,00 (-)
Penghasilan neto selama 5 bulan Rp 92.500.000,00
Jumlah seluruh penghasilan neto disetahunkan
12/5 x Rp92.500.000,00 Rp 222.000.000,00
PTKP (K/3)
- Untuk WP sendiri Rp 54.000.000,00
- Tambahan WP kawin Rp 4.500.000,00
- Tambahan 3 orang anak
(3 x Rp3.000.000,00) Rp 13.500.000,00 (+)
Rp 72.000.000,00(-)
Penghasilan Kena Pajak
Rp150.000.000,00
PPh Pasal 21 atas gaji setahun dan bonus:
5% x Rp50.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
15% x Rp100.000.000,00 = Rp 15.000.000,00 (+)
Rp 17.500.000,00
PPh Pasal 21 terutang atas penghasilan 5 bulan:
(5/12 x Rp17.500.000,00) = Rp 7.291.667,00
Rp 858.334,00
Catatan
Cara penghitungan di atas berlaku juga bagi pegawai yang
kehilangan kewajiban subjektifnya pada tahun berjalan Karena
meninggal dunia.
168
PPh Pot-Put
Pengurangan:
Biaya Jabatan
5% x Rp7.080.000,00 = Rp. 354.000,00(-
)
Penghasilan neto sebulan Rp 6.726.000,00
Penghasilan neto setahun
12 x Rp6.726.000,00 Rp 80.712.000,00
PTKP
- Untuk WP sendiri Rp54.000.000,00
- Tambahan menikah Rp 4.500.000,00
- Tambahan 1 orang anak Rp 4.500.000,00 (+)
Rp 63.000.000,00 (-)
Penghasilan Kena Pajak Rp17.712.000,00
169
PPh Pot-Put
Dermaga Aksara baru memiliki NPWP pada bulan Juni 2016 dan
menyerahkan fotokopi kartu NPWP kepada PT. Nuansa Renjana untuk
digunakan sebagai dasar pemotongan PPh Pasal 21 bulan Juni.
PTKP (TK/0)
o Untuk WP sendiri
Rp54.000.000,00(-)
Penghasilan Kena Pajak Rp 6.300.000,00
PPh Pasal 21 atas penghasilan setahun:
(5% x Rp6.300.000,00) Rp 315.000,00
PPh Pasal 21 atas gaji sebulan
(Rp315.000,00 : 12) Rp 26.250,00
170
PPh Pot-Put
(5 x Rp31.500,00) Rp 157.500,00
Jumlah PPh Pasal 21 terutang apabila yang bersangkutan
memiliki NPWP
(5 x Rp26.250,00) Rp 131.250,00
Selisih (20% x 5 x Rp26.250,00) = Rp 26.250,00
Penghitungan PPh Pasal 21 terutang dan yang harus dipotong untuk
bulan Juni 2016, setelah yang bersangkutan memiliki NPWP dan
menyerahkan fotokopi kartu NPWP kepada pemberi kerja, dengan
catatan gaji dan tunjangan untuk Bulan Juni 2016 tidak berubah,
adalah sebagai berikut:
PPh Pasal 21 terutang sebulan
(sama dengan perhitungan sebelumnya): Rp26.250,00
Diperhitungkan dengan pemotongan atas tambahan 20%
Sebelum memiliki NPWP (Januari-Mei 2016)
20% x (5 x Rp26.250,00) Rp26.250,00(-)
PPh Pasal 21 yang harus dipotong bulan Juni 2016 NIHIL
171
PPh Pot-Put
PTKP (TK/0)
Untuk Wajib Pajak Rp54.000.000,00 (-)
Penghasilan Kena Pajak Rp 6.300.000,00
172
PPh Pot-Put
Contoh:
Jaka Buana, status belum menikah tanggungan keluarga, bekerja
pada PT. Terik Baskara dengan memperoleh gaji dan tunjangan
setiap bulan sebesar Rp5.500.000,00 dan yang bersangkutan
membayar iuran pensiun kepada perusahaan Dana Pensiun yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan setiap bulan
sebesar Rp200.000,00 Mulai bulan Juli 2016, Jaka Buana
memperoleh kenaikan penghasilan tetap setiap bulan menjadi
sebesar Rp7.000.000,00
PTKP (TK/O)
173
PPh Pot-Put
PTKP (TK/0)
- Untuk Wajib Pajak
Rp54.000.000,00(-)
Penghasilan Kena Pajak Rp23.400.000,00
Pengurangan:
1. Biaya Jabatan:
5% x Rp75.000.000,00 = Rp3.750.000,00
2. Iuran Pensiun
12 x Rp200.000,00 = Rp2.400.000,00 (+)
174
PPh Pot-Put
Rp6.150.000,00 (-)
Penghasilan Neto Rp68.850.000,00
PTKP (TK/0)
- Untuk Wajib Pajak
Rp54.000.000,00(-)
Penghasilan Kena Pajak Rp14.850.000,00
PPh Pasal 21 terutang:
5% x Rp14.850.000,00 Rp 742.500,00
Penghitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada bulan terakhir pegawai tetap
memperoleh penghasilan tetap dan teratur karena yang bersangkutan
berhenti bekerja sebelum bulan Desember.
Sampai dengan hari ke-10, karena kumulatif upah yang diterima belum melebihi
Rp3.000.000,00 maka tidak ada PPh Pasal 21 yang dipotong.
175
PPh Pot-Put
Pada hari ke-11 jumlah kumulatif upah yang diterima belum melebihi
Rp3.000.000,00 maka PPh Pasal 21 terutang dihitung berdasarkan upah
setelah dikurangi PTKP yang sebenarnya.
Sehingga pada hari ke-11, upah bersih yang diterima sentot sebesar:
Rp300.000,00 – Rp82.500,00 = Rp217.500,00
Misalkan Sentot bekerja selama 12 hari, maka penghitungan PPh Pasal 21 yang harus
dipotong pada hari ke-12 adalah sebagai berikut:
Upah sehari Rp300.000,00
PTKP sehari untuk WP sendiri
(Rp54.000.000,00 : 360 hari) Rp150.000,00 (-)
Penghasilan Kena Pajak Rp150.000,00
PPh Pasal 21 terutang
5% x Rp150.000,00 Rp 10.000,00
Sehingga pada hari ke-12, Sentot menerima upah bersih sebesar:
Rp300.000,00 – Rp10.000,00 = Rp290.000,00
176
PPh Pot-Put
177
PPh Pot-Put
178
PPh Pot-Put
Bulan April 2015 Filosofi Nada memerlukan biaya untuk perbaikan rumahnya
maka ia mengambil iuran dana pensiun yang telah dibayar sendiri sebesar
Rp20.000.000,00. Kemudian pada bulan Juni 2015 ia menarik lagi dana
sebesar Rp15.000.000,00. Kemudian bulan Oktober 2015 untuk keperluan
lainnya ia menarik lagi dana sebesar Rp25.000.000,00.
179
PPh Pot-Put
jasa dokter yang dibayarkan pasien atas tindakan dr. Buana Semesta
adalah sebagai berikut:
Penghitungan PPh Pasal 21 untuk bulan Januari sampai dengan Juni 2015:
Dasar Tarif
Dasar
Dokter yang Pemotonga Pasal PPh Pasal
Pemotonga
dibayar n PPh 17 Ayat 21
Bulan n PPh
pasien Pasal 21 (1) terutang
Pasal 21
(Rupiah) Kumulatif huruf a (Rupiah)
(Rupiah)
(Rupiah) UU PPh
(1) (2) (3)=50% (4) (5) (6)=(3)
x(2) x(5)
Januari 30.000.000,- 15.000.000,- 15.000.000,- 5% 750.000,-
Februari 30.000.000,- 15.000.000,- 15.000.000,- 5% 750.000,-
Maret 25.000.000,- 12.500.000,- 12.500.000,- 5% 625.000,-
April 15.000.000,- 7.500.000,- 50.000.000,- 5% 375.000,-
25.000.000,- 12.500.000,- 62.000.000,- 15% 1.875.000,
-
Mei 30.000.000,- 15.000.000,- 77.500.000,- 15% 2.250.000,
-
Juni 25.000.000,- 12.500.000,- 90.000.000,- 15% 1.875.000,
-
Jumlah 180.000.000,- 90.000.000,- 8.500.000,
-
Apabila dr. Buana Semesta belum memiliki NPWP, maka PPh Pasal 21
terutang adalah sebesar PPh 21 terutang sebagaimana contoh di atas.
180
PPh Pot-Put
Nyala Aura adalah petugas dinas luar asuransi dari PT. Singhasari Damai.
Suami Nyala Aura telah terdaftar sebagai wajib pajak dan mempunyai NPWP,
dan yang bersangkutan bekerja pada PT. Bumi Majapahit. Nyala Aura telah
menyampaikan fotokopi kartu NPWP suami, fotokopi surat nikah dan fotokopi
kartu keluarga kepada pemotong pajak.
Dalam hal Nyala Aura tidak dapat menunjukkan fotokopi kartu NPWP suami, fotokopi
surat nikah dan fotokopi kartu keluarga dan Neneng sendiri tidak memiliki NPWP,
maka penghitungan PPh Pasal 21 dilakukan sebagaimana contoh di atas namun tidak
memperoleh pengurangan PTKP setiap bulan, dan jumlah PPh Pasal 21 yang
182
PPh Pot-Put
terutang adalah sebesar 120% dari PPh Pasal 21 yang seharusnya terutang apabila
memiliki NPWP seperti penghitungan berikut ini:
Dalam hal suami Nyala Aura atau Nyala Aura sendiri telah memiliki NPWP, tetapi
Nyala Aura mempunyai penghasilan lain di luar kegiatannya sebagai petugas dinas
luar asuransi, maka penghitungan PPh Pasal 21 terutang adalah sebagaimana contoh
di atas, namun tidak dikaenakan tarif 20% lebih tinggi karena yang bersangkutan
atau suaminya telah memiliki NPWP.
183
PPh Pot-Put
184
PPh Pot-Put
Catatan:
Untuk pembayaran upah harian kepada masing-masing pekerja wajib
dipotong PPh Pasal 21 oleh Artha Nugraha.
185
PPh Pot-Put
G. PPh PASAL 22
Catatan:
Sesuai dengan Pasal 22 ayat (1) huruf c UU No. 36 Tahun 2008, pemungutan PPh
Pasal 22 juga dapat dilakukan oleh wajib pajak badan tertentu yang ditetepkan oleh
Menteri Keuangan untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan barang yang
tergolong sangat mewah.
Ketentuan mengenai dasar pemungutan, sifat dan besarnya pungutan, tata cara
penyetoran, dan tata cara pelaporan pajak ditetapkan oleh Menteri Keuangan, yaitu
PMK 34/PMK.010/2017 berlaku 1 Maret 2017 dengan perubahan terakhir PMK
110/PMK.010/2018 berlaku 5 September 2018.
186
PPh Pot-Put
187
PPh Pot-Put
188
PPh Pot-Put
189
PPh Pot-Put
manufaktur oleh badan usaha industri atau eksportir sebesar 0,25% (nol
koma dua puluh lima persen) dari harga pembelian tidak termasuk Pajak
Pertambahan Nilai.
8) Atas pembelian batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam, dari
badan atau orang pribadi pemegang izin usaha pertambangan oleh industri
atau badan usaha sebesar 1,5% (satu koma lima persen) dari harga
pembelian tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.
9) Atas penjualan emas batangan oleh badan usaha yang melakukan
penjualan, sebesar 0,45% (nol koma empat puluh lima persen) dari harga
jual emas batangan.
10) Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor oleh
badan usaha industri atau eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan,
perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan, sebesar 0,25% (nol
koma dua puluh lima persen) dari harga pembelian tidak termasuk Pajak
Pertambahan Nilai.
Nilai impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan Bea
Masuk yaitu Cost Insurance and Freight (CIF) ditambah dengan Bea Masuk dan
pungutan Iainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan kepabeanan di bidang impor.
Nilai ekspor adalah nilai Free on Board (FOB) yang tercantum pada
Pemberitahuan Pabean Ekspor, termasuk Pemberitahuan Pabean Ekspor yang
nilai ekspomya telah dibetulkan.
Besarnya tarif pemungutan yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak lebih tinggi 100% (seratus persen) daripada
tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan Nomor
Pokok Wajib Pajak dan berlaku untuk pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22
yang bersifat tidak final.
Catatan:
Secara umum menurut ketentuan Pasal 28 UU PPh, PPh Pasal 22 merupakan
pembayaran uang muka pajak yang dapat dikreditkan pada akhir tahun. Dalam
190
PPh Pot-Put
hal ini. Jenis PPh Pasal 22 yang terbaru yaitu atas penjualan barangyang
tergolong sangat mewah, bersifat tidak final.
193
PPh Pot-Put
termasuk sebagai Subjek Pajak (Non Subjek Pajak) PPh, maka PPh Pasal 22 yang
terutang berdasarkan objeknya tersebut tidak dipungut.
Termasuk sebagai WP yang Non Subjek PPh berdasarkan penjelasan Pasal 2 UU PPh
adalah unit tertentu dari badan Pemerintah yang memenuhi kriteria sebagai
berikut:
● Dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; seperti PP,
Keppres
● Dibiayai dengan dana bersumber dari APBN atau APBD;
● Penerimaan lembaga tersebut dimasukan dalam anggaran pemerintah Pusat atau
Daerah; dan
● Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawas fungsional Negara, misalnya Itjen,
BPKP, dan BPK.
Contoh: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Departemen Pertanian.
H. PPh PASAL 23
PENGERTIAN
PPh PASAL 23 merupakan pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan BUT (Bentuk Usaha Tetap) yang berasal dari
modal, penyerahan jasa atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong
PPh Pasal 21.
SUBJEK PAJAK
Subjek Pajak PPh Pasal 23 terdiri dari 2 kategori. Pertama adalah Subjek Pajak
pemotong yaitu: Badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, Bentuk Usaha
Tetap (BUT) atau perwakilan Perusahaan Luar negeri lainnya dan orang pribadi yang
ditunjuk oleh Dirjen Pajak. Kedua adalah Subjek Pajak yang dipotong penghasilannya,
yaitu WP dalam negeri, baik badan maupun orang pribadi.
Pemotongan PPh Pasal 23 orang pribadi hanya dilakukan terbatas hanya pada
penghasilan berupa sewa saja, sedangkan kewajiban pemotongan PPh atas
penghasilan lain sebagaimana disebutkan dalam Pasal 23 ayat (1) UU PPh tidak perlu
dilakukan. Penunjukkan dari Dirjen Pajak akan dilakukan melalui Surat Keputusan
Penunjukkan sebagai Pemotong PPh Pasal 23.
Orang Pribadi yang ditunjuk untuk melakukan pemotongan PPh Pasal 23 adalah
sebagai berikut:
a. Akuntan, arsitek, dokter, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT) kecuali PPAT
tersebut adalah camat, pengacara, dan konsultan, yang melakukan pekerjaan
bebas;
b. Orang Pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan.
194
PPh Pot-Put
OBJEK PAJAK
PPh Pasal 23 merupakan pemotongan PPh yang dilakukan oleh WPDN yang melakukan
pembayaran kepada WPDN lainnya, atas penghasilan berupa:
1. Dividen;
2. Bunga;
3. Royalty;
4. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
5. Hadiah dan penghargaan;
6. Imbalan jasa teknik, Jasa Manajemen, Jasa Konstruksi, Jasa Lain dan beberapa
jenis Jasa Tertentu lainnya yang ditetapkan dengan peraturan Menteri
Keuangan nomor 244/PMK.03/2008
Jika dilihat dari sumbernya, maka sumber penghasilan tersebut berasal dari :
Catatan:
● Seiring berlakunya UU. No 36 Tahun 2008, bunga obligasi yang diterima atau
yang diperoleh reksadana selama 5 tahun pertama sejak pendirian perusahaan
atau pembelian izin usaha, sudah tidak dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal
23.
● Sementara itu, ketentuan Pasal 23 ayat (1) huruf b UU No. 36 Tahun 2008 yang
mengatur bahwa bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada
195
PPh Pot-Put
anggota koperasi oang pribadi dikenakan PPh Pasal 23 sebesar 15% bersifat
final, juga telah dihapus.
Penghapusan juga dilakukan atas ketentuan PPh Pasal 23 ayat (4) huruf g yang
mengatur tentang pengecualian pemotongan PPh Pasal 23 bagi bunga
simpanan yang tidak melebihi batas yang diatur dalam Keputusan menteri
Keuangan NOMOR 112/PMK.03/2010 jo. SE-43/PJ.43/1998, yaitu sebesar
Rp240.000,00 setiap bulan.
Disaat yang sama, Pasal 4 ayat (2) UU PPh No. 36 Tahun 2008 mengatur bahwa
bunga simpanan koperasi menjadi salah satu objek PPh Pasal 4 ayat (2).
Sementara itu, dividen yang diterima oleh orang pribadi yang selama ini
dikenakan PPh Pasal 23, sekarang menjadi objek PPh Final dengan tarif
maksimal sebesar 10%. Khusus untuk intercorporate dividen, saat ini sudah
tidak ada lagi syarat `memiliki usaha aktif` untuk dikecualikan dari pengenaan
PPh Pasal 23.
Namun dengan berlakunya UU No. 36 Tahun 2008, Dasar Pengenaan Pajak PPh
untuk seluruh objek Pasal 23 adalah imbalan bruto (tidak ada lagi Dasar
Pengenaan Pajak berupa perkiraan penghasilan bruto). Sementara tarif PPh
Pasal 23 yang berlaku mulai tahun 2009 ini dapat dibedakan menjadi 2 yaitu:
● Tarif sebesar 2%
Tarif ini dikenakan dari imbalan bruto untuk jenis penghasilan sebagai
berikut:
1. Sewa dang penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta,
kacuali dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
yang telah dikenai pajak penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (2); dan
2. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa
konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yangbtelah dipotong
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
Jenis jasa lain tersebut kemudian dijelaskan dalam Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 141/PMK.03/2015 sebagai berikut:
197
PPh Pot-Put
198
PPh Pot-Put
Pengertian:
Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.03/2015, dijelaskan beberapa
pengertian jenis jasa yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23, antara lain:
1. Jasa penunjang di bidang penambangan migas adalah jasa penunjang di bidang
penambangan migas dan panas bumi berupa:
a. Jasa penyemenan dasar (primary cementing), yaitu penempatan bubur semen
secara cepat diantara pipa selubung dan lubang sumur;
b. Jasa penyemenan perbaikan (remedial cementing), yaitu penempatan bubur
semen untuk maksud-maksud:
- Penyumbatan kembali formasi yang sudah kosong
- Penyumbatan kembali zona yang berproduksi air;
- Perbaikan penyemenan dasar yang sudah gagal;
- Penutupan sumur;
c. Jasa pengontrolan pasir (sand control), yaitu jasa yang menjamin bahwa
bagian-bagian formasi yang tidak terkonsolidasi tidak akan ikut terproduksi ke
dalam rangkaian pipa produksi dan menghilangkan kemungkinannya
tersumbat pipa;
d. Jasa pengasaman (matrix acidizing), yaitu pekerjaan untuk memperbesar daya
tembus formasi dan menaikan produktivitas dengan jalan menghilangkan
material penyumbat yang tidak diinginkan;
e. Jasa percetakan hidrolika (hydraulic), yaitu pekerjaan yang dilakukan dalam
hal cara pengasaman tidak cocok, misalnya perawatan pada formasi, yang
mempunyai daya tembus sangat kecil;
f. Jasa nitrogen dan gulungan pipa (nitrogen dan coil tubing), yaitu jasa yang
dikerjakan untuk menghilangkan cairan buatan yang berada dalam sumur baru
yang telah selesai, sehngga aliran yang terjadi sesuai tekanan asli formasi dan
kemudian menjadi besar sebagai akibat ari gas nitrogen yang telah
dipompakan ke dalam cairan buatan dalam sumur;
g. Jsa uji kandung lapisan (drill stem testing), penyelesaian sementara suatu
sumur baru agar dapat mengevaluasi kemampuan berproduksi;
h. Jasa reparasi pompa reda (reda repair);
i. Jasa pemasangan instalasi dan perawatan;
j. Jasa penggantian peralatan/material;
k. Jasa mud logging, yaitu memasukkan lumpur ke dalam sumur;
l. Jasa mud engineering;
m. Jasa well logging & perforating;
n. Jasa stimulasi dan secondary decovery
o. Jasa well testing & wire line service;
p. Jasa alat kontrol navigasi lepas pantai yang berkaitan dengan drilling;
q. Jasa pemeliharaan untuk pekerjaan drilling;
199
PPh Pot-Put
200
PPh Pot-Put
Catatan:
Sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat (1a) UU PPh No. 36 Tahun 2008, wajib pajak
penerima penghasilan yang merupakan objek pajak Pasal 23 yang tidak ber-NPWP,
akan dikenakan tarif pemotongan lebih tinggi sebesar 100% dari tarif di atas.
Berdasarkan Pasal 8 PP No. 138 Tahun 2000, PPh Pasal 23/Pasal 26 terutang pada
akhir bulan saat penghasilan diterima atau diperoleh, mana yang terjadi lebih dahulu.
Ditinjau dari Pemotong Pajak, PPh Pasal 23 terutang pada saat pembayaran atau pada
saat pengakuan beban sebagai hutang, mana yang terjadi lebih dahulu.
201
PPh Pot-Put
Jumlah bruto adalah seluruh jumlah penghasilan dengan nama dan dalam bentuk
apapun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan,atau telah jatuh tempo
pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri,
penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri
lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, tidak termasuk:
a. Pembayaran gaji, upah honorarium, tunjangan dan pembayaran lain sebagai
imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak
penyedia tenaga kerja kepada tenaga kerja yang melakukan pekerjaan,
berdasarkan kontrak dengan pengguna jasa;
b. Pembayaran atas pengadaan/pembelian barang atau material;
c. Pembayaran kepada pihak kedua (sebagai perantara) untuk selanjutnya
dibayarkan kepada pihak ke dua;
d. Pembayaran penggantian biaya (reimbursement) yaitu penggantian pembayaran
sebesar jumlah yang nyata-nyata telah dibayarkan oleh pihak ke dua kepada pihak
ke tiga.
Contoh 1
PT. Sumber Rezeki merupakan perusahaan penyedia tenaga kerja. PT. Sumber Rezeki
mendapat kontrak baru dari PT. Maju Terus untuk menyediakan tenaga kerja
pemasaran sebanyak 20 orang dengan mendapat imbalan jasa sebesar
Rp.20.000.000,- Tenaga Kerja tersebut selanjutnya menjadi pegawai PT. Maju Terus.
Atas pembayaran yang dilakukan PT. Maju Terus kepada PT. Sumber Rezeki dipotong
PPh Pasal 23 oleh PT. Maju Terus sebesar: 2% x Rp.20.000.000,- = Rp.400.000,-
202
PPh Pot-Put
Contoh 2
PT. Aman Selalu merupakan perusahaan penyedia tenaga kerja untuk keamanan
(satpam). PT Aman Selalu mendapat kontrak penyediaan tenaga kerja satpam
sebanyak 20 orang dari PT Makmur Jaya. Tenaga kerja satpam tersebut tetap
merupakan pegawai PT. Aman Selalu. Dalam kontrak disepakati bahwa pembayaran
atas penyerahan jasa oleh PT. Aman Selalu terdiri dari gaji untuk 20 orang satpam
perbulan sebesar Rp20.000.000,- dan imbalan atas jasa penyedian satpam per bulan
sebesar Rp2.000.000,-
a. Rincian tagihan PT. Aman Selalu kepada PT. Makmur Jaya :
Pembayaran gaji 20 orang satpam Rp.2.000.000,-
Imbalan jasa Rp.2.000.000,-
b. Atas pembayaran yang dilakukan PT. Makmur Jaya kepada Aman Selalu dipotong
PPh Pasal 23 oleh PT Makmur Jaya sebesar: 2% x Rp.2.000.000,-
=Rp40.000,-
c. Dalam hal tidak ada bukti pendukung atas rincian tagihan di tasa maka jumlah
bruto sebagai dasar pemotongan PPh Pasal 23 adalah sebsar Rp.22.000.000,-
sehingga PPh Pasal 23 yang harus dipotong oleh PT. makmur Jaya atas
pembayaran kepada PT. Aman Selalu adalah sebesar:
2% x Rp.22.000.000,- = Rp.440.000,-
Contoh 3
PT .Megah Indah (Pihak Pertama) melakukan kontrak dengan PT. Sarana Prasarana
selaku perusahaan agen periklanan (pihak kedua) untuk membuat iklan sekaligus
memasang iklan pada perusahaan media (pihak ketiga). Nilai kontrak yang telah
disepakati adalah sebesar Rp.103.000.000,-
a. Rincian tagihan PT. Sarana Prasarana kepada PT. Megah Indah adalah:
1. Pembelian material untuk pembuatan iklan
Rp15.000.000,-
2. Jasa konsultan (terkait pembuatan dan pemasangan iklan) Rp5.000.000,-
3. Fee agen Rp3.000.000,-
4. Biaya pemasangan iklan ke perusahaan media Rp80.000.000,-
b. Pemotongan PPh Pasal 23 yang dilakukan PT. Sarana Prasarana atas pembayaran
jasa pemasangan iklan kepada perusahaan media adalah sebesar:
2% x Rp80.000.000,00 = Rp1.600.000,00
c. Pemotongan PPh Pasal 23 yang dilakukan PT. Megah Indah atas pembayaran jasa
konsultasi dan jasa keagenan kepada PT. Sarana Prasarana adalah sebesar:
1. 2% x Rp5.000.000,- = Rp.100.000,- untuk jasa konsultasi; dan
2. 2% x Rp3.000.000,- = Rp. 60.000,- untuk jasa keagenan
203
PPh Pot-Put
d. Dalam hal tidak ada bukti pendukung atas rincian tagihan di atas maka jumlah
bruto sebagai dasar pemotongan PPh Pasal 23 adalah sebesar Rp103.000.000,-
sehingga PPh Pasal 23 yang harus dipotong oleh PT. Megah Atas pembayaran
kepada PT. Sarana Prasarana adalah sebesar: 2% x Rp.103.000.000,- =
Rp.2.060.000
Contoh 4
PT. Terang Bulan mengikat kontrak dengan PT. Lima Serangkai untuk pembuatan
seragam kantor PT. Terang Bulan berdasarkan model dan spesifikasi yang telah
ditentukan oleh PT. Terang Bulan. Dalam kontrak disepakati bahwa PT. Terang Bulan
akan menyediakan bahan baku utama berupa kain dan PT. Lima Serangkai akan
menyediakan bahan tambahan. Imbalan yang disepakati atas kontrak tersebut adalah
sebesar Rp.25.000.000,- tidak termasuk biaya bahan tambahan. PT Lima Serangkai
mengeluarkan biaya sebesar Rp.5.000.000,- untuk bahan tambahan.
Contoh 5
Untuk acara pembukaan cabang baru, PT. Sinar Abadi meminta CV. Sedap Rasa rasa
yang bergerak dibidang pengadaan catering untuk menyediakan makanan yang terdiri
dari makanan pembuka, makanan utama, dan makanan penutup untuk sekitar 500
orang. Kontrak yang disepakati untuk pengadaan catering tersebut adalah
Rp.20.000.000,-. Atas pembayaran yang dilakukan PT. Sinar Abadi kepada CV. sedap
Rasa dipotong PPh Pasal 23 oleh PT. Sinar Abadi sebsar: 2% x Rp.20.000.000,- =
Rp.400.000,-
204
PPh Pot-Put
205
PPh Pot-Put
Pengenaan pajaknya (sifat, besaran tarif serta tata cara pelaksanaan pembayaran,
pemotongan atau pemungutannya) diatur dengan peraturan pemerintah. Beberapa
alasan pengenaan PPh Final sesuai dengan penjelasan Pasal 4 ayat (2) antara lain
adalah:
● Kesederhanaan dalam pemungutan pajak
● Keadilan,
● Pemerataan dalam pengenaan pajaknya,
● Memperhatikan perkembangan ekonomi dan moneter,
● Tidak menambah beban administrasi baik bagi wajib pajak maupun Direktorat
Jenderal Pajak;
206
PPh Pot-Put
- Bunga dan Diskonto yang diterima oleh Dana Pensiun yang pendiriannya
telah disyahkan oleh Menteri Keuangan sepanjang dananya bersumber dari
pendapatan sesuai Pasal 29 UU No. 11 Th. 1992 tentang dana pensiun.
- Bunga tabungan pada bank yang ditunjuk pemerintah dalam rangka
pemilikan rumah sederhana dan sangat sederhana, kaveling siap bangun
untuk rumah sederhana dan sangat sederhana atau rumah susun
sederhana sesuai ketentuan, untuk dihuni sendiri.
Contoh :
PT .Arung Jeram menabung deposito di Bank Akima. Setiap bulannya PT.. Arung
Jeram mendapatkan bunga deposito sebesar Rp 500.000,-.
Atas bunga deposito tersebut Bank Akima wajib memotong PPh Final Pasal 4 ayat
(2) sebesar 15% x Rp. 500.000,- = Rp. 75.000,-
Contoh :
Bang saud mendapatkan hadiah undian berupa sepeda motor dari PT. Kopi Beruang
sebesar Rp. 20.000.000,-.
Atas hadiah undian tersebut, PT. Kopi Beruang wajib memotong sebesar:
3. Sewa Tanah dan atau Bangunan (PP Nomor 29 Tahun 1996 stdd PP No.
5 Tahun 2002)
Mengatur Pengenaan Pajak atas penghasilan sewa atas tanah dan/atau bangunan
● Penghasilan sewa atas tanah dan/atau bangunan dikenakan pemotongan PPh
Final
● Sewa atas tanah dan bangunan yang dimaksud berupa tanah, rumah, rumah
susun, apartemen, kondominium, gedung kantor, rumah kantor, toko, rumah
toko, gudang dan industri.
207
PPh Pot-Put
Yang dimaksud dengan jumlah bruto nilai persewaan adalah semua jumlah yang
dibayarkan atau terutang oleh pihak yang menyewa dengan nama dan dalam bentuk
apapun yang berkaitan dengan tanah dan atau bangunan yang disewa, termasuk
biaya perawatan, biaya pemeliharaan, biaya keamanan, dan service charge baik yang
perjanjiannya dibuat secara terpisah maupun yang disatukan dengan perjanjian
persewaan yang bersangkutan. (KEP-227/PJ./2002)
Contoh
Dalam hal penyedia jasa adalah bentuk usaha tetap (BUT), tarif PPh tersebut,
tidak termasuk PPh atas sisa laba bentuk usaha tetap setelah Pajak Penghasilan
yang bersifat final.
208
PPh Pot-Put
209
PPh Pot-Put
2. Penghasilan lain yang diterima atau diperoleh Penyedia Jasa dari luar usaha
Jasa Konstruksi dikenakan tarif berdasarkan ketentuan umum Undang-Undang
PPh.
3. Keuntungan atau kerugian selisih kurs dari kegiatan usaha Jasa Konstruksi
termasuk dalam perhitungan Nilai Kontrak Jasa Konstruksi yang dikenakan PPh
yang bersifat final
4. Peneydia Jasa wajib melakukan pencatatan yang terpisah atas biaya yang
timbul dari penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha selai
usaha Jasa Konstruksi.
5. PPh atas Penghasilan hak Tanah dan atau Bangunan (PP Nomor 48
Tahun 1994 stdd PP Nomor 34 Tahun 2016)
Mengatur pengenaan pajak atas penghasilan hak atas tanah dan/atau bangunan.
Ketentuan PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan yang diatur dalam PP. No. 48 Tahun 1994 yang telah diubah terakhir
dengan PP.No. 34 Tahun 2016 tanggal 08 Agustus 2016. Ketentuan pengenaan
PPh atas pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan sampai dengan
perubahan terakhir yaitu:
1. Objek PPh TB
PPh TB dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi
atau badan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
Yang dimaksud dengan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah:
a. Penjualan,tukar-menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak,
penyerahan hak, lelang,hibah,atau cara lain yang disepakati dengan pihak
lain selain pemerintah.
b Penjualan,tukar – menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain
yang disepakati dengan pemerintah guna pelaksanaan pembangunan,
termasuk pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak memerlukan
persyaratan khusus.
c. Penjualan, tukar menukar, pelepasan hak, atau cara lain kepada pemerintah
guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak
memerlukan persyaratan khusus.
2. Tarif
a. 2,5% (lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan,
b. 1% (satu persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan berupa Rumah Sederhana dan Rumah Susun
210
PPh Pot-Put
Nilai pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan adalah nilai berdasarkan
Akta Pengalihan Hak atau NJOP PBB, mana yang lebih tinggi. Penegcualian atas
ketentuan ini yaitu:
a. Dalam hal pengalihan hak kepada pemerintah adalah nilai berdasarkan
keputusan pejabat yang bersangkutan;
b. Dalam hal pengalihan sesuai dengan peraturan lelang (Staatsblad Tahun
1908 Nomor 189 dengan segala perubahannya) adalah nilai menurut risalah
lelang tersebut.
3. Sifat PPh
Pembayaran PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan bersifat final bagi wajib pajak orang pribadi maupun wajib pajak
badan tanpa melihat jenis usaha atau kegiatan yang dilakukan.
4. Saat Pelunasan
PPh TB harus dilunasi oleh penjual dengan menggunakan SSP sebelum
penandatanganan akta oleh pejabat yang berwenang. Pejabat hanya
menandatangani akta apabila WP sudah memberikan fotokopi SSP yang
bersangkutan dan menunjukkan aslinya.
211
PPh Pot-Put
yayasan, koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan
kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Menteri Keuangan,
sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan
kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
d. Badan yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan dengan cara
hibah kepada badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk
yayasan, koperasai atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan
kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri
Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungan dengan usaha,
pekerjaan, kepemilikan, atau kepenguasaan antara pihak-pihak yang
bersangkutan; atau,
e. Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan karena warisan.
Contoh
Oleh karena itu, atas penghasilan yang diterima oleh PT. Reality dipotong PPh Final
oleh PT .Angin Mamiri sebesar 2% dari Rp.300.000.000,- = Rp.6.000.000,-
6. Penjualan Saham di Bursa Efek (PP No. 41 Tahun 1994 dan PP No. 14
Tahun 1997)
Mengatur pengenaan PPh atas penghasilan dari transaksi penjualan saham di
bursa efek.
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari
transaksi penjualan saham di bursa efek dipungut Pajak Penghasilan yang bersifat
final.
Besarnya PPh:
1. Adalah 0,1% (satu per seribu) dari jumlah bruto nilai transaksi penjualan.
2. Pemilik saham pendiri dikenakan tambahan Pajak Penghasilan sebesar 0,5%
(setengah persen) dari nilai saham perusahaan pada saat penutupan bursa di
akhir tahun 1996.
212
PPh Pot-Put
8. Bunga dan Diskonto Obligasi (PP No 16 Tahun 2009) stdtd (PP No 100
Tahun 2013)
Mengatur pengenaan PPh atas penghasilan berupa bunga dan diskonto obligasi.
Pada tanggal 9 Februari 2009, pemerintah menerbitkan PP No. 16 Tahun 2009
yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009. Dengan berlakunya PP ini, PP
No 6 Tahun 2002 tentang Pajak Penghasilan atas bunga dan diskonto obligasi
yang diperdagangkan dan/atau dilaporkan perdagangannya di Bursa Efek dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku. Pokok-pokok ketentuan PP No. 16 Tahun 2009 stdtd
PP No 100 Tahun 2013 ini adalah sebagai berikut:
● Definisi Obligasi
Yang dimaksud dengan obligasi dalam PP ini adalah surat utang dan surat utang
negara, yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan. Sedangkan
definisi bunga obligasi dalam PP ini adalah imbalan yang diterima atau diperoleh
pemegang obligasi dalam bentuk bunga dan/ayau diskonto.
● Tarif dan pengenaannya
Atas penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh Wajib pajak berupa Bunga
Obligasi dikenai pemotongan PPh yang bersifat Final. Besarnya PPh yang
bersifat final tersebut adalah sebagai berikut:
a. Bunga dari Obligasi dengan kupon sebesar:
1. 15% (lima belas persen) bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk
usaha tetap; dan
213
PPh Pot-Put
9. Dividen untuk WP Orang Pribadi Dalam Negeri (PP No.19 Tahun 2009)
Mengatur penegnaan PPh atas dividen yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
Orang Pribadi dalam negeri. Atas penghasilan berupa dividen yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri dikenai PPh sebesar 10%
(sepuluh persen) dan bersifat final.
Pengenaan PPh sebesar 10% tersebut dilakukan melalui pemotongan oleh pihak
yang mebayar atau pihak lain yang ditunjuk selaku pembayar dividen. Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara pemotongan, penyetoran dan pelapoan PPh atas
dividen ini akan diatur dengan atau berdasarkan peraturan Menteri Keuangan.
Dengan adanya PP. Nomor 31 TAHUN 2011 maka Penghasilan Dari Transaksi
Derivatif menjadi bukan objek pajak
11. Penghasilan yang diterima Wajib Pajak dari usaha dengan peredaran
bruto tidak melebihi 4,8 Miliar setahun (PP NO. 46 Tahun 2013)
Objek Pajak :
❑ Penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dengan
peredaran bruto tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam 1 tahun.
215
PPh Pot-Put
Subjek Pajak :
❑ Orang Pribadi
❑ Badan, tidak termasuk BUT, yang menerima penghasilan dari usahadengan
peredaran bruto tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
Tarif :
❑ Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dengan
peredaran bruto tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam 1 tahun dikenai PPh final
dengan tarif sebesar 1% (satu persen) dari jumlah peredaran bruto setiap
bulan dari setiap tempat usaha
❑ Pajak Penghasilan terutang dihitung berdasarkan tarif 1% (satu persen)
dikalikan dengan dasar pengenaan pajak,yaitu jumlah peredaran bruto setiap
bulan dari setiap tempat usaha
216
PPh Pot-Put
❑ Dalam hal WP baru terdaftar pada Tahun Pajak yang sama sebelum PP ini
berlaku → dasar Peredaran Bruto adalah: akumulasi peredaran bruto dari
bulan berdiri s.d. bulan sebelum PP ini berlaku, yang disetahunkan.
❑ Dalam hal WP baru terdaftar setelah PP ini berlaku → dasar peredaran bruto
adalah: penghasilan bruto bulan pertama disetahunkan.
Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dapat dikreditkan terhadap Pajak
Penghasilan yang terutang berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak
Penghasilan dan peraturan pelaksanaannya.
217
PPh Pot-Put
Kompensasi Rugi :
❑ WP yang menyelenggarakan pembukuan dapat melakukan kompensasi
kerugian dengan penghasilan yang tidak dikenai Pajak Penghasilan
yang bersifat final.
218
PPh Pot-Put
J. PPh PASAL 15
PENGERTIAN
Pengenaan PPh Pasal 15 merupakan salah satu special treatment yang diberikan
dalam UU PPh. Pengenaan PPh Pasal 15 dilakukan Norma Penghitungan Khusus untuk
menghitung penghasilan neto dari Wajib Pajak tertentu, yang tidak dapat dihitung
melalui mekanisme yang berlaku. Secara umum, pemotongan/pemungutan PPh
dilakukan melalui penentuan Penghasilan Kena Pajak.
Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif bagi Wajib Pajak dalam negeri
dalam suatu tahun pajak dengan cara mengurangkan penghasilan dengan
pengurangan biaya-biaya yang diperkenankan dalam UU PPh. Khusus untuk PPh Pasal
15, PPh ditentukan Norma Penghitungan Khusus dan Ketentuan dari pelaksanaan
pemotongan atau pemungutan pajak ini diatur dalam Keputusan/Peraturan Menteri
Keuangan. Sampai dengan saat ini, Objek PPh Pasal 15 terdiri dari 3 jenis saja, yaitu
atas penghasilan yang diterima perusahaan pelayaran dalam negeri, perusahaan
penerbangan dalam negeri serta perusahaan pelayaran dan penerbangan luar negeri.
219
PPh Pot-Put
Penghasilan yang menjadi Objek pengenaan PPh meliputi penghasilan yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak dari pengangkutan orang dan/atau barang, termasuk
penghasilan penyewaan kapal yang dilakukan dari :
- Pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan lainnya di Indonesia;
- Pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan di luar Indonesia ;
- Pelabuhan di luar Indonesia ke pelabuhan di Indonesia; dan
- Pelabuhan di luar Indonesia ke pelabuhan lainnya di luar Indonesia.
Sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 416/KMK.4/1996, Norma
Penghitungan Khusus untuk perusahaan pelayaran dalam negeri adalah sebesar 4%
(empat persen) dari peredaran bruto.
Besarnya PPh yang terutang adalah 1,2% (satu koma dua persen) dari
peredaran bruto dan bersifat final.
Pelunasan PPh yang terutang dilakukan sebagai berikut :
1. Dalam hal penghasilan diperoleh berdasarkan perjanjian persewaan atau
charter dengan pemotong pajak, maka pihak yang membayar atau terutang hasil
tersebut wajib:
a. Memotong PPh yang terutang pada saat pembayaran atau terutangnya imbalan
atau nilai pengganti;
b. Memberikan bukti pemotongan PPh atas Penghasilan Perusahaan Pelayaran
dalam negeri (Final) kepada pihak yang menerima atau memperoleh
penghasilan.
c. Menyetor PPh yang terutang ke bank persepsi atau Kantor Pos Giro selambat-
lambatnya 10 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya
imbalan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP);
d. Melaporkan pemotongan dan penyetoran yang dilakukan ke Kantor Pelayanan
Pajak selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan
pembayaran atau terutangnya imbalan, dilampiri dengan Lembar ke-3 SSP dan
Lembar ke-2 Bukti Pemotongan PPh atas Penghasilan Perusahaan Pelayaran
Dalam Negeri (Final).
2. Dalam hal penghasilan diperoleh selain sebagaimana dimaksud pada huruf a, maka
Wajib Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri wajib :
a. Menyetor PPh yang terutang ke Bank Persepsi atau Kantor Pos Giro selambat-
lambatnya tanggal 15 bulan berikut setelah bulan diterima atau diperolehnya
penghasilan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) Final;
b. Melaporkan penyetoran yang dilakukan ke Kantor Pelayanan Pajak selambat-
lambatnya tanggal 20 bulan berikut setelah bulan diterima atau diperolehnya
penghasilan dilampiri dengan lembar ke-3 SSP Final;
220
PPh Pot-Put
Contoh
PT. Sumber Makmur adalah perusahaan yang bergerak di bidang batu bara. Untuk
mengangkut batu bara tersebut, PT. Sumber Makmur mencharter kapal laut. Milik PT.
Latansa II sebesar Rp 1.000.000.000,00. Dengan demikian, PT. Sumber Makmur
harus memotong PPh Pasal 15 sebesar 1,2% x Rp. 1.000.000.000,00 = Rp.
12.000.000,00.
PT. Alam Jaya menggunakan kapal milik PT. Lavenia II untuk mengangkut barang-
barangnya. Pengangkutan barang tersebut tidak dengan system charter. Untuk
pengangkutan tersebut PT. Alam Jaya dikenakan biaya Rp. 10.000.000,00. Dari
pembayaran tersebut, PT. Alam Jaya tidak perlu memotong PPh Pasal 15. PPh Pasal
15 akan disetor sendiri oleh PT. Lavenia II pada akhir bulan.
Peredaran bruto Wajib Pajak perusahaan penerbangan dalam negeri yang dijadikan
dasar penghitungan norma penghasilan neto adalah semua nilai pengganti atau
imbalan berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh dari pengangkutan
orang dan/atau barang yang dimuat dari suatu pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan
di luar negeri berdasarkan perjanjian charter.
Besarnya Norma Penghitungan Neto bagi Wajib Pajak perusahaan penerbangan dalam
negeri sebagaimana dimaksud pada butir 2 adalah sebesar 6% dari peredaran bruto.
Besarnya pajak penghasilan yang wajib dilunasi adalah 1,8% (satu koma delapan
persen) dari peredaran bruto.
Pelunasan PPh merupakan pembayaran PPh Pasal 23 yang dapat dikreditkan terhadap
PPh yang terutang dalam SPT Tahunan PPh untuk tahun pajak yang bersangkutan.
Pembayaran PPh yang terutang dilakukan melalui pemotongan oleh pen-charter
sepanjang yang bersangkutan adalah badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam
negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap atau perwakilan perusahaan luar
negeri lainnya. Pemotongan dilakukan pada saat pembayaran atau saat terutangnya
imbalan atau nilai pengganti.
221
PPh Pot-Put
Peredaran bruto Wajib Pajak perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri
adalah semua nilai pengganti atau imbalan berupa uang atau nilai uang dari
pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat dari suatu pelabuhan ke
pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan di Indonesia ke Pelabuhan di
luar negeri.
Dengan demikian tidak termasuk penggantian atau imbalan yang diterima atau
diperoleh perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri tersebut dari
pengangkutan orang dan/atau barang dari pelabuhan di luar negeri ke pelabuhan di
Indonesia.
Besarnya Norma Penghasilan Neto bagi Wajib Pajak perusahaan pelayaran dan/atau
penerbangan luar negeri sebagaimana dimaksud pada butir 3 adalah sebesar 6% dari
peredaran bruto. Besarnya PPh yang wajib dilunasi Wajib Pajak perusahaan pelayaran
dan/atau penerbangan luar negeri seperti tersebut adalah sebesar 2,64% dari
peredaran bruto dan bersifat final. *)
222
PPh Pot-Put
1. Dalam hal penghasilan diperoleh berdasarkan perjanjian charter, maka pihak yang
membayar atau pihak menchater wajib :
a. Memotong PPh yang terutang pada saat pembayaran atau terutangnya
imbalan/nilai pengganti;
b. Memberikan bukti pemotongan PPh atas Penghasilan Perusahaan Pelayaran
dan/atau Penerbangan luar negeri (final) kepada pihak yang menerima atau
memperoleh penghasilan;
c. Menyetor PPh yang terutang ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro
selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran
atau terutangnya imbalan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP);
d. Melaporkan pemotongan dan penyetoran yang dilakukan ke Kantor Pelayanan
Pajak selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan
pembayaran terutangnya imbalan dilampiri dengan lembar ke-3 SSP dan
lembar ke-2 Bukti Pemotongan PPh atas Penghasilan perusahaan pelayaran
dan/atau penerbangan luar negeri (final);
2. Dalam hal penghasilan diperoleh selain sebagaimana dimaksud pada huruf a, maka
Wajib Pajak perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri wajib :
a. Menyetor PPh yang terutang ke bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro
selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikut setelah bulan diterima atau
diperolehnya penghasilan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP)
Final;
b. Melaporkan penyetoran yang dilakukan ke Kantor Pelayanan Pajak selambat-
lambatnya tanggal 20 bulan berikut setelah bulan diterima atau diperolehnya
penghasilan, dilampiri dengan lembar ke-3 SSP Final.
Jika perusahaan pelayaran luar negeri tidak memiliki BUT di Indonesia maka atas
pembayaran jasa angkutan baik charter atau tidak terutang PPh Pasal 26 sebesar 20%
dari bruto, atau jika ada tax treaty maka pemotongannya sesuai dengan tarif tax
treaty. (kebanyakan tax treaty membebaskan pemotongan pajak dalam jalur
pelayaran internasional baik ke dalam maupun ke luar Indonesia).
223
PPh Pot-Put
K. PPh PASAL 26
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri dari Indonesia,
Undang-Undang PPh menganut dua sisitem pengenaan pajak, yaitu pemenuhan
sendiri kewajiban perpajakannya bagi Wajib Pajak Luar Negeri yang menjalankan
usaha atau melakukankegiatan melalui suatu BUT di Indonesia, dan pemotongan oleh
pihak yang wajib membayar bagi Wajib Pajak Luar Negeri.
224
PPh Pot-Put
❖ penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di
Indonesia dikenakan pajak sebesar 20% (dua puluh persen), kecuali
penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, yang ketentuannya diatur
lebih lanjut dengan PMK. 14/PMK.03/2011.
Contoh 1:
Penghasilan Kena Pajak Bentuk usaha tetap di Indonesia 2009 Rp.
17.500.000.000,-
Pajak Penghasilan :
28% x Rp.17.500.000.000,- Rp. 4.900.000.000,-
Penghasilan Kena Pajak
Setelah dikurangi Pajak Rp.
12.600.000.000,-
Pajak Penghasilan Pasal 26 yang terutang *)
20% x Rp. 12.600.000.000 = Rp. 2.520.000.000,-
*) Catatan:
Tarif PPh Pasal 26 atas penghasilan setelah PKP dikurangi Pajak (branch profit tax),
tergantung pada ada tidaknya Tax Treaty dengan Negara yang bersangkutan.
Catatan :
Tarif PPh Pasal 26 atas penghasilan setelah PKP dikurangi pajak (branch profit tax)
yang tidak memenuhi persyaratan tidak dikenakan PPh Pasal 26 berdasarkan PMK No.
14/PMK.03/2011, tergantung ada atau tidaknya Tax Treaty dengan Negara yang
bersangkutan. jika ada Treaty, maka dikenai PPh Pasal 26 sesuai dengan tarif tax
treaty. tapi jika tidak ada treaty, maka dikenai PPh Pasal 26 dengan tarif sebesar 20%.
PPh Pasal 26 Atas Penghasilan yang Diterima Atau Diperoleh WPLN Selain
BUT Atas Keuntungan Dari Penjualan Saham
● Atas penghasilan dari penjualan Saham Perseroan yang diperoleh WPLN selain
Bentuk Usaha Tetap (BUT) dipotong Pajak sebesar 20% dari perkiraan
penghasilan netto.
● Terhadap WPLN berkedudukan di Negara-negara yang telah mempunyai
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan Indonesia, maka
pemotongan pajak hanya dilakukan apabila berdasarkan P3B yang berlaku, hak
pemajakannya ada pada pihak Indonesia.
225
PPh Pot-Put
● Besarnya perkiraan penghasilan netto adalah 25% dari harga jual, sehingga
besarnya PPh Pasal 26 adalah 20% x 25% atau 5% (lima persen) dari harga
jual dan bersifat final.
● Penghasilan dari penjualan saham di dalam negeri yang diperoleh atau diterima
WPLN, dipotong pajak oleh pembeli yang ditunjuk sebagai pemotong pajak
dan kepadanya diberikan bukti pemotongan PPh Pasal 26
a. Perseroan hanya mencatat akta pemindahan hak atas saham yang dijual
apabila kepadanya dibuktikan oleh WPLN bahwa PPh Pasal 26 terutang telah
dibayar lunas dengan menyerahkan fotokopi bukti pemotongan PPh pasal 26
dengan menunjukan yang aslinya.
b. Pemotong pajak wajib menyetorkan PPh Pasal 26 yang terutang selambat-
lambatnya tanggal 10 bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutangnya
pajak di Bank Persepsi atau Kantor Pos, dan melaporkan kepada Direktur
Jenderal pajak selambat-lambatnya 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.
● Dalam hal pembelinya adalah WPLN, maka yang ditunjuk sebagai pemungut pajak
adalah Perseroan.
● Pelaksanaan pemungutan dan penyetoran pajak dilakukan oleh Perseroan dengan
menggunakan nama WPLN pemegang saham selambat-lambatnya tanggal 10
bulan takwim, berikutnya setelah bulan saaat terutangnya pajak di Bank Persepsi
atau Kantor Pos, dan melaporkannya kepada Direktur Jenderal Pajak selambat-
lambatnya 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.
226
PPh Pot-Put
Besarnya perkiraan penghasilan neto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
sebagai berikut:
a. Atas premi dibayar tertanggung kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik
secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 50% dari jumlah premi yang
dibayar;
➢ Pemotongan PPh 26 dilakukan oleh tertanggung.
b. Atas premi yang dibayar oleh perusahaan asuransi yang berkedudukan di
Indonesia kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung
maupun melalui pialang, sebesar 10% dari jumlah premi yang dibayar;
➢ Pemotongan dilakukan oleh Perusahaan asuransi yang berkedudukan di
Indonesia.
c. Atas Premi yang dibayar oleh perusahaan reasuransi yang berkedudukan di
Indonesia kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung
maupun melalui pialang, sebesar 5% dari jumlah premi yang dibayar.
➢ Pemotongan dilakukan oleh perusahaan reasuransi yang berkedudukan
di Indonesia.
Pajak penghasilan Pasal 26 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran premi
atau pada akhir bulan terutangnya premi asuransi tersebut.
227
PPh Pot-Put
Pengecualian:
a. Bunga deposito dan tabungan serta
diskonto SBI sepanjang jumlah deposito
dan tabungan serta SBI tersebut tidak
melebihi Rp 7.500.000,00 dan bukan
merupakan jumlah yang dipecah-pecah.
b. Bunga dan diskonto yang diterima atau
diperoleh bank yang didirikan di Indonesia
atau cabang bank luar negeri di Indonesia.
c. Bunga deposito dan tabungan serta 20% (untuk Jumlah Bruto Final
diskonto SBI yang diterima atau diperoleh WPDN & Bunga
Dana Pensiun yang telah disahkan Menteri BUT)
Keuangan, sepanjang dananya diperoleh 20% atau
dari sumber pendapatan sebagaimana Tarif P3B
dimaksud dalam Pasal 29 Undang-Undang (untuk
Nomor 11 Tahun 1992 Tentang Dana WPLN)
Pensiun.
d. Bunga tabungan pada bank yang ditunjuk
Pemerintah dalam rangka pemilikan rumah
sederhana dan sangat sederhada, kapling
siap bangun untuk rumah sederhana dan
sangat sederhana, atau rumah susun
sederhana sepanjang untuk dihuni sendiri.
2. Transaksi Saham Di Bursa Efek
Dasar Hukum : PP No.41 Tahun 1994 jo
PP No.14 Tahun 1997
228
PPh Pot-Put
229
PPh Pot-Put
obligasi/selisih
lebih harga jual
Pengecualian : atau nilai
a. Wajip Pajak dana pensiun yg nominal di atas
pendirian atau pembentukannya telah harga
disahkan oleh Menteri Keuangan dan perolehan
memenuhi persyaratan sebagaimana obligasi
diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf h
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2008
tentang Perubahan Keempat atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan
b. Wajib Pajak bank yang didirikan di
Indonesia atau cabang bank luar
negeri di Indonesia
4. Hadiah Undian.
Dasar hukum : PP No. 132 tahun 2000 25 % Jumlah Bruto Final
KEP-395/PJ./2001 Hadiah Undian
231
PPh Pot-Put
II PPh Pasal 15
Dasar Hukum : 248/KMK.04/1995
416/KMK.04/1996
417/KMK.04/1996
475/KMK.04/1996
KEP-667/PJ./2001
233
PPh Pot-Put
setahun sesuai
dengan
statusnya
dibagi dengan
360))
- Apabila telah memperoleh penghasilan
kumulatif dalam 1 (satu) bulan kalender Pasal 17 UU PKP = (PB – IP)
melebihi Rp 7.000.000 PPh – PTKP
234
PPh Pot-Put
235
PPh Pot-Put
a. 0-50 juta
b. > Rp. 50 juta s.d. Rp. 100 juta
c. > Rp. 100 juta s.d. Rp. 500 juta 0% PB -
d. > Rp. 500 juta 5% PB Final
15% PB Final
Sementara jika Uang pesangon , uang 25% PB Final
tebusan pensiun yang dibayar oleh
dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan, dan
THT atau JHT dibayarkan secara
bertahap dan pembayaran dilakukan
pada tahun ketiga dan tahun-tahun
berikutnya, PPh Pasal 21 yang dikenakan
tidak bersifat final dengan tarif:
a. 0-50 juta
b. > Rp. 50 juta s.d. Rp. 100 juta
c. > Rp. 100 juta s.d. Rp. 500 juta 5% PB Final
d. > Rp. 500 juta 15% PB Final
25% PB Final
12. Penghasilan dari pekerjaan, jasa, dan 30% PB Final
kegiatan yang diterima oleh Tenaga Asing
(Expatriate) yang telahmberstatus sebagai Pasal 17 UU PKP= (PB - (BJ
WPDN Penghasilan dari pekerjaan yang PPh + BP) – PTKP
diterima oleh Tenaga.
a. General Manager
236
PPh Pot-Put
Ket :
PKP : Penghasilan Kena Pajak
PB : Penghasilan Bruto
BJ : Biaya Jabatan
IP : Iuran Pensiun
BP : Biaya Pensiun
IV PPh Pasal 22
2. Impor Barang :
237
PPh Pot-Put
c. Premix/Super TT
0,3 % Penjualan
0,25%
d. Minyak Tanah
0,3 % Penjualan
e. Gas/LPG
0,3 % Penjualan
f. Pelumas
0,3 % Penjualan
238
PPh Pot-Put
239
PPh Pot-Put
240
PPh Pot-Put
241
PPh Pot-Put
242
PPh Pot-Put
Catatan:
Dalam hal penerima imbalan sehubungan
dengan jasa sebagaimana dimaksud di atas
tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak,
besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi
100% (seratus persen) daripada tarif
sebagaimana dimaksud di atas
PPH Pasal 26
Dasar Hukum : UU Nomor 36 Tahun 2008
244
PPh Pot-Put
624/KMK.04/1994
SE – 25/PJ.4/1995
2. Bunga termasuk premium, diskonto dan 20% atau Jumlah Bruto Final
imbalan sehubungan dengan jaminan tarif P3B
pengembalian utang
3. Royalti, sewa dan penghasilan lain 20% atau Jumlah Bruto Final
sehubungan dengan penggunaan harta tarif P3B
6. Pensiunan dan Pembayaran berkala lainnya 20% atau Jumlah Bruto Final
tarif P3B
7. Premi swap dan transaksi lindung 20% atau Jumlah Bruto Final
nilailainnya tarif P3B
20% x 50%
9. Penghasilan dari penjualan atau pengalihan atau 10% Final
harta di Indonesia, kecuali yang di atur atau tarif P3B
dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh yang diterima
WP LN selain BUT di Indonesia
20% x10%
10. Premi asuransi, termasuk premi atau 2% atau
reasuransi tarif P3B
245
PPh Pot-Put
246
BAB VI
PPN DAN PPN-BM
PPN dan PPN BM
BAB VI
PPN DAN PPN-BM
PENDAHULUAN
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas setiap
pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke
konsumen. PPN merupakan jenis pajak konsumsi, dan bersifat tidak langsung. Tidak
langsung di sini yaitu PPN disetorkan oleh pihak lain yang secara tidak langsung
bukanlah penanggung pajak.
Sebelum Pajak Pertambahan Nilai (PPN) diberlakukan, pada era 1950-an Indonesia
menerapkan pemungutan pajak Penjualan (PPn). Namun Pajak Penjualan ternyata
tidak sesuai dengan kondisi pada saat itu. Apalagi Pajak Penjualan ternyata berpotensi
menciptakan pajak berganda, terlalu banyak pengelompokan tarif, tidak netral, dan
beberapa alasan lain. Undang-undang No. 8 Tahun 1983 tentang PPN/PPn-BM
menjadi solusi atas permasalahan tersebut. Hingga kini telah disempurnakan dengan
Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009, perubahan ke-3 atas UU terdahulu.
KARAKTERISTIK PPN
PPN memiliki beberapa karakteristik legal, antara lain sebagai pajak tidak langsung,
dikenakan secara bertingkat, merupakan pajak konsumsi, bersifat netral, tidak
berpotensi timbulnya pajak berganda, merupakan pajak objektif, dan dalam
pemungutannya menggunakan faktur.
248
PPN dan PPN BM
2) Pajak Konsumsi
Karena pemikul beban pajak terakhir pada konsumen akhir, maka PPN sering
disebut sebagai pajak atas konsumsi barang dan jasa di dalam daerah pabean.
Jika pembeli adalah pemakai akhir dari barang dan jasa, maka pembelilah yang
menanggung beban PPN.
Beda halnya jika pembeli barang adalah pengusaha yang akan mengolahnya lebih
lanjut atau untuk dijual kembali, maka beban PPN yang dibayarkan saat membeli
barang dapat digeser kepada pembeli berikutnya. Disini, PPN memiliki karekteristik
sebagai pajak tidak langsung, di mana pembayaran pajak belum tentu merupakan
pemikul beban pajak karena beban pajak tersebut akan digeser ke konsumen
akhir.
3) Bersifat Netral
PPN dikatakan memiliki sifat netral dalam perdagangan domestik maupun
internasional karena pengenaan PPN didasarkan pada destination principle (prinsip
tempat tujuan) dan hanya dikenakan atas nilai tambahannya saja. Pengenaan
berdasarkan destination principle berarti bahwa PPN dipungut di tempat barang
atau jasa tersebut dikonsumsi. Dengan demikian, barang impor dan barang
domestik akan menanggung beban pajak yang sama. Pengenaan pajak yang
mendasarkan pada nilai tambahannya saja tidak akan menimbulkan pajak
berganda dalam perdagangan.
4) Pajak Objektif
Sebagai pajak objektif, PPN hanya dikenakan bila terdapat faktor objektif, yaitu
keadaan, peristiwa, atau perbuatan hukum yang dapat dikenai pajak. Berbeda
dengan pengenaan PPh yang merupakan pajak subjektif, maka PPN lebih
mendahulukan objek daripada subjeknya.
SISTEM FAKTUR
Pemungutan PPN sendiri menggunakan faktur sebagai bukti terjadinya transaksi yang
wajib dikenakan PPN. Artinya setiap penyerahan objek PPN, mengharuskan
pengusaha membuat Faktur Pajak sebagai bukti pemungutan PPN. Bagi pihak
pembeli, Faktur Pajak merupakan bukti pembayaran PPN.
OBJEK PAJAK
Objek PPN adalah berupa keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum tertentu yang
ditetapkan oleh undang-undang. Walaupun PPN pada hakikatnya adalah pajak atas
249
PPN dan PPN BM
konsumsi barang dan jasa di dalam negeri, namun objek PPN tersebut bukanlah
barang atau jasanya itu sendiri, melainkan keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum
yang berkaitan dengan barang atau jasa tersebut.
Objek PPN sebagaimana yang telah ditetapkan dalam UU PPN adalah sebagai berikut:
1. Pasal 4 UU PPN:
a. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan
oleh Pengusaha;
b. Impor Barang Kena Pajak;
c. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan
oleh Pengusaha;
d. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean
di dalam Daerah Pabean;
e. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean;
f. Ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
g. Ekspor Barang Kena Pajak tidak berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak.
h. Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
2. Pasal 16 C UU PPN:
Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau
pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau
oleh pihak lain, untuk tempat tinggal atau tempat usaha.
(PMK.163/PMK.03/2012)
MEKANISME PEMUNGUTAN
Mekanisme pemungutan, penyetoran dan pelaporan PPN pada dasarnya
menggunakan mekanisme Credit Methode atau Indirect Substraction Methode (PK
Minus PM). Mekanisme tersebut diberlakukan secara konsisten sejak pemberlakuan
UU Nomor 8 Tahun 1983. Namun dalam perkembangannya mengalami beberapa
modifikasi, misalnya dengan perubahan Pasal 4 serta Pemberlakuan Pasal 16A, 16C,
dan 16D dalam UU Nomor 11 tahun 1994.
Namun seiring dengan perluasan objek PPN dalam UU Nomor 11 Tahun 1994,
mekanisme credit methode pun mengalami modifikasi. Secara lengkap, mekanisme
pemungutan PPN yang berlaku sekarang ini adalah seperti yang ada dalam tabel
Mekanisme Pemungutan PPN dibawah ini.
250
PPN dan PPN BM
KEWAJIBAN ADMINISTRASI
Dilakukan oleh Pengusaha dengan cara melaporkan usaha untuk dikukuhkan menjadi
PKP, memungut, menyetor, melaporkan PPN, dan menerbitkan Faktur Pajak.
Pengusaha yang wajib PKP hanyalah pengusaha yang memenuhi syarat PKP:
Syarat Subjek: WP Orang Pribadi ataupun Badan dalam bentuk apapun yang dalam
kegiatan usaha atau pekerjaannya:
251
PPN dan PPN BM
1. Menghasilkan Barang
2. Mengimpor barang
3. Mengekspor barang
4. Melakukan usaha perdagangan
5. Memanfaatkan barang tidak berwujud dari Luar Negeri
6. Melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa atau
7. Memanfaatkan jasa dari luar negeri
Syarat Objektif: WP Orang Pribadi atau Badan dalam bentuk apapun yang
melakukan,
Bagi pengusaha yang masih tergolong pengusaha kecil PPN dapat memilih untuk
tidak menjadi PKP. Pengusaha kecil PPN adalah pengusaha yang jumlah omzet
atau peredaran brutonya dalam satu tahun buku tidak melebihi Rp
4.800.000.000,00. Batasan tersebut diberlakukan baik untuk pengusaha yang
hanya menyerahkan BKP saja, atau hanya menyerahkan JKP saja atau
menyerahkan BKP dan JKP secara berkesinambung.
252
PPN dan PPN BM
penyerahan BKP dan atau JKP dilakukan kepada pihak yang ditunjuk menjadi
pemungut PPN atas pembelian atau perolehan BKP dan atau JKP yang mereka
lakukan.
Kewajiban terakhir yang harus dilakukan oleh PKP adalah menyampaikan SPT
Masa PPN. Sedangkan hak paling utama PKP adalah hak untuk mengkreditkan
PPN Masukan sesuai dengan ketentuan Pasal 9 UU PPN.
253
PPN dan PPN BM
DASAR HUKUM:
➢ Pasal 1A UU PPN/PPn BM;
➢ Pasal 4 huruf a dan huruf c PPN/PPn BM
➢ Pasal 4A UU PPN/PPn BM;
➢ Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah
Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009
➢ KMK Nomor 75/PMK.03/2010 tentang NIlai Lain Sebagai Dasar Pengenaan
Pajak s.t.d.t.d PMK Nomor 121/PMK.03/2015;
➢ Peraturan Direktur Jenderal Pajak NO. : PER - 22/PJ/2012 tentang Pengenaan
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Atas
Pemakaian Sendiri Dan Atau Pemberian Cuma-Cuma Barang Kena Pajak Dan
Atau Jasa Kena Pajak.
PENGERTIAN
Penyerahan Barang Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Barang Kena
Pajak, yang memenuhi keempat syarat berikut:
1. Dilakukan oleh PKP atau pengusaha yang seharusnya dikukuhkan menjadi PKP;
2. Barang yang diserahkan masuk dalam kategori Barang Kena Pajak;
3. Penyerahan terjadi di dalam Daerah Pabean; dan
4. Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.
Perlakukan yang sama ditujukan juga atas penyerahan JKP. Penyerahan jasa yang
terutang pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
254
PPN dan PPN BM
Sedangkan kelompok jasa yang ditetapkan sebagai non-JKP adalah sebagai berikut :
a. Jasa di bidang pelayanan kesehatan medis;
b. Jasa di bidang pelayanan sosial;
c. Jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko;
d. Jas di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi;
e. Jasa di bidang keagamaan
f. Jasa di bidang pendidikan
g. Jasa di bidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak tontonan;
h. Jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan;
i. Jasa di bidang angkutan umum di darat dan di air;
j. Jasa di bidang tenaga kerja;
k. Jasa di bidang perhotelan
l. Jasa yang disediakan oleh Pemerintah dalam rangka menjalankan
pemerintahan secara umum.
m. Jasa penyediaan tempat parkir
n. Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam
o. Jasa pengiriman uang dengan wesel pos
p. Jasa Boga atau catering.
PENYERAHAN BKP
Secara prinsip UU PPN menganggap bahwa semua penyerahan BKP yang
mengakibatkan berpindahnya hak penguasaan dan kepemilikan atas suatu barang
merupakan “penyerahan BKP” yang terutang PPN, kecuali jka UU PPN menentukan
lain.
Dalam Pasal 1A ayat (2) UU PPN telah ditetapkan 5 (lima) penyerahan yang tidak
termasuk dalam pengertian “penyerahan BKP” yaitu:
255
PPN dan PPN BM
b. Pengalihan BKP oleh karena suatu perjanjian sewa beli dan perjanjian
leasing
Leasing dapat dibedakan menjadi dua yaitu leasing tanpa hak opsi dan leasing
dengan Hak opsi. Leasing tanpa hak opsi pada hakikatnya adalah sewa menyewa
biasa. Leasing yang termasuk pengalihan BKP adalah leasing dengan hak opsi.
Dalam leasing dengan hak opsi, pada hakekatnya terjadi dua transaksi yaitu
transaksi penyerahan barang dan penyerahan jasa. PPN terutang atas penyerahan
BKP kepada Lessee. Sedangkan atas penyerahan jasa leasing dengan hak opsi,
tidak terutang PPN. Hal ini berbeda dari penyerahan jasa penyerahan jasa leasing
tanpa terutang PPN sebab hakekatnya sama seperti jasa sewa biasa.
Dalam transaksi leasing dengan hak opsi, PPN dipungut oleh supplier atas
penyerahan BKP yang dilakukannya. Oleh supplier, barang dibuat Faktur Pajak atas
nama lessor untuk dan atas nama (qq) lessee, dengan mencantumkan identitas
lessor maupun lessee (nama, NPWP, dan alamat). Dengan demikian, yang dapat
mengkreditkan PPN tersebut adalah lessee.
sendiri. Pemakaian sendiri dapat dibedakan menjadi dua yaitu pemakaian sendiri
yang bersifat produktif dan pemakaian sendiri yang bersifat konsumtif.
Pemakaian sendiri yang bersifat produktif adalah pemakaian BKP dan atau JKP
yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan produksi selanjutnya atau untuk
kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha Pengusaha
bersangkutan.
Contoh :
PT. A adalah perusahaan yang bergerak dibidang usaha jasa konstruksi. Pada bulan Januari
2013, PT. A membangun sebuah ruangan kantor yang akan ditempati oleh divisi marketing.
Pemakaian sendiri yang bersifat konsumtif dapat berupa pemakaian jasa PT. A untuk
membangun ruang penitipan anak bagi karyawati yang bekerja pada PT. A.
Contoh :
• Untuk setiap pembelian 1 buah sampo, PT. A akan memberikan secara cuma-cuma 1
buah sampo kepada pembeli.
• Untuk setiap pembelian 1 buah kulkas, PT. B akan memberikan 1 buah mini compo secara
gratis kepada pembeli.
Pemakaian sendiri yang terutang PPN hanyalah pemakaian sendiri yang bersifat
konsumtif. Sedangkan pemakaian sendiri yang bersifat produktif dianggap belum
terutang PPN. Pemberian cuma-cuma, baik atas produksi sendiri maupun bukan
produksi sendiri tetap terutang PPN. PPN dipungut dengan DPP PPN berupa harga
jual dikurangi dengan laba kotor.
e. Persediaan BKP dan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan,
sepanjang PPN atas perolehan aktiva tersebut menurut ketentuan dapat
dikreditkan
257
PPN dan PPN BM
Syarat pengenaan PPN atas persediaan BKP dan aktiva yang menurut tujuan
semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran
perusahaan adalah sepanjang Pajak Masukan atas perolehan aktiva dapat
dikreditkan.
SUBJEK PAJAK
Dalam pajak objektif biasanya pihak yang ditujukan sebagai Subjek Pajak adalah pihak
yang paling dekat dengan objeknya dengan mempertimbangkan kondisi-kondisi
tertentu. Dan subjek dari masing-masing objek PPN tersebut di atas berbeda-beda
tergantung pada mekanisme pemungutan PPN yang berlaku. Subjek PPN biasa disebut
dengan pengusaha, baik Pengusaha Kena Pajak (PKP) maupun non PKP. Dengan
memperhatikan objek Pajak dan mekanisme pemungutan yang telah ditetapkan, akan
diketahui siapa subjek pajak yang dimaksud.
258
PPN dan PPN BM
TARIF PPN
Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 11% (sebelas persen).
Tarif pajak sebagaimana dimaksud di atas dapat diubah menjadi paling rendah 5%
(lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen) yang perubahan tarifnya
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena
Pajak di dalam Daerah Pabean. Oleh karena itu:
• Harga jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang dimintai atau
seharusnya dimintai oleh penjual karena penyerahan BKP, tidak termasuk pajak
259
PPN dan PPN BM
yang dipungut menurut UU ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam
FP;
• Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta
atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan JKP, tidak
termasuk pajak yang dipungut menurut Undang-undang ini dan potongan
harga yang dicantumkan dalam FP;
• Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea
masuk ditambah pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan
dalam peraturan perundang-undangan Pabean untuk impor BKP, tidak
termasuk pajak yang dipungut menurut UU ini;
• Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang termasuk semua biaya yang diminta
atau yang seharusnya diminta oleh eksportir;
• Nilai lain adalah suatu jumlah yang ditetapkan sebagai dasar pengenaan
Pajak. Diatur dalam PMK No. 75/PMK.03/2010 stdd PMK No. 121/PMK.03/2015.
Nilai lain ditetapkan sebagai berikut:
1 Pemakaian sendiri BKP dan atau JKP Harga jual atau Penggantian setelah
dikurangi laba kotor
2 Pemberian cuma-cuma BKP/JKP Harga Jual atau Penggantian setelah
dikurangi laba kotor
3 Penyerahan film cerita Perkiraan hasil rata-rata perjudul film
4 Penyerahan Produk hasil tembakau Harga Jual eceran
5 Aktiva yang menurut tujuan semula Harga pasar wajar
tidak untuk diperjualbelikan
sepanjang PPN atas perolehan aktiva
tersebut menurut ketentuan dapat
dikreditkan
6 Penyerahan BKP dari Pusat ke cabang Harga Pokok Penjualan atau harga
atau sebaliknya dan atau Penyerahan Perolehan
BKP antar Cabang
7 Penyerahaan jasa biro perjalanan 10% dari jumlah tagihan atau jumlah
atau jasa biro pariwisata yang seharusnya ditagih
8 Jasa pengiriman paket 10% dari jumlah tagihan atau jumlah
yang seharusnya ditagih
9 Penyerahan jasa pengurusan 10% dari Jumlah tagihan atau jumlah
transportasi (Freigth Forwarding) yang seharusnya ditagih
yang didalam tagihan jasa
pengurusan transportasi tersebut
terdapat biaya trasnportasi (Freigth
Charges)
260
PPN dan PPN BM
Apabila PKP mempunyai satu atau lebih tempat kegiatan usaha di luar tempat tinggal
atau tempat kedudukannya, maka setiap tempat kedudukan atau tempat tinggal
tersebut dapat menjadi tempat terutangnya pajak. Dalam hal ini, PKP wajib
mendaftarkan diri untuk dikukuhkan sebagai PKP di masing-masing tempat kecuali
jika sudah mendapatkan ijin sentralisasi.
Sementara terutangnya PPN atas penyerahan BKP berwujud yang menurut sifat atau
hukumnya berupa barang tidak bergerak, terjadi pada saat penyerahan hak untuk
menggunakan atau menguasai BKP tersebut, baik secara hukum atau secara nyata,
kepada pihak pembeli.
Bila BKP tersebut adalah barang tidak berwujud maka terutangnya PPN adalah pada
saat yang terjadi lebih dahulu dari peristiwa-peristiwa di bawah ini :
a. Saat harga penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud dinyatakan sebagai
piutang oleh Pengusaha Kena Pajak;
b. Saat harga penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud ditagih oleh
Pengusaha Kena Pajak;
261
PPN dan PPN BM
262
PPN dan PPN BM
DASAR HUKUM :
• Pasal 1 angka (9) UU PPN;
• Pasal 1 angka (20) UU PPN;
• Pasal 4 huruf b UU PPN.
Mengingat karakteristik PPN yang bersifat netral, pengenaan PPN atas impor sangat
lumrah untuk dilakukan. Dengan Prinsip tempat tujuan (destination principle),
komoditi impor memang sudah seharusnya menanggung beban pajak yang sama
dengan barang produksi dalam negeri. Artinya, kedua jenis barang tersebut (baik
komoditi impor maupun produksi dalam negeri) sama-sama dikonsumsi di dalam
negeri, sehingga beban pajaknya harus sama.
SUBJEK PPN
PPN dikenakan kepada pihak yang melakukan impor. Impor adalah setiap kegiatan
memasukan barang dari luar daerah pabean ke dalam daerah pabean. Pemungutan
PPN impor tersebut, dilakukan oleh Ditjen Bea dan Cukai (DJBC).
263
PPN dan PPN BM
DASAR HUKUM
- Pasal 3A, Pasal 4 huruf e dan pasal 11 ayat 1 UU PPN.
- PMK No. 40/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Penghitungan, Pemungutan,
Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai Atas Pemanfaatan Barang
Kena Pajak Tidak Berwujud dan atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean.
- SE-08/PJ.5/1995 tentang Saat Dimulainya Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud Atau Jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean, Penghitungan Serta Tata
Cara Pemungutan, Penyetoran, Dan Pelaporannya.
SUBJEK PPN
Subjek PPN atas pemanfaatan BKP tidak berwujud dan JKP dari luar Daerah Pabean
di dalam daerah pabean adalah Orang Pribadi atau Badan yang memanfaatkan BKP
tidak berwujud, dan atau memanfaatkan JKP dari luar Daerah Pabean.
Pihak yang memanfaatkan, yang dibebani kewajiban PPN tersebut bisa berstatus
sebagai Pengusaha Kena Pajak atau (PKP) maupun non PKP. Keduanya tetap
diwajibkan melakukan pemungutan , penyetoran dan pelaporan berdasarkan
mekanisme self imposition method.
Saat dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena
Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah saat yang
diketahui terjadi lebih dahulu dari peristiwa-peristiwa di bawah ini:
a. Saat Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak tersebut
secara nyata digunakan oleh pihak yang memanfaatkannya;
b. Saat harga perolehan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena
Pajak tersebut dinyatakan sebagai utang oleh pihak yang memanfaatkannya;
c. Saat harga jual Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau penggantian Jasa
Kena Pajak tersebut ditagih oleh pihak yang menyerahkan; atau
d. Saat perolehan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak
tersebut dibayar baik sebagian atau seluruhnya oleh pihak yang
memanfaatkannya.
264
PPN dan PPN BM
Dalam hal saat dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau
Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di atas tidak diketahui, maka saat dimulainya
pemanfaatan adalah tanggal ditandatanganinya kontrak atau perjanjian atau saat lain
yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
KONSEP PEMANFAATAN
Penentuan suatu JKP dikenakan PPN atau tidak, sangat tergantung pada
pemanfaatannya (konsep pemanfaatan). Jika dimanfaatkan di Indonesia, maka
terhutang PPN. Penentuan pemanfaatan JKP dari luar negeri yang terhutang PPN
ditentukan oleh tiga alat tes, yaitu:
Alat tes tersebut diterapkan secara berurutan dan jika memenuhi salah satu alat tes
tersebut, maka akan terhutang PPN di Indonesia.
Oleh PKP, PPN tersebut wajib dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai pada Masa Pajak yang sama dengan bulan penyetoran. Bagi non
PKP, penyetoran PPN dilaporkan dengan menggunakan SSP lembar ke-3 paling lambat
pada tanggal 20 bulan penyetoran ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat tinggal
Orang Pribadi atau tempat kedudukan Badan tersebut.
Secara ringkas, pengenaan PPN atas pemanfaatan BKP tidak berwujud dan atau JKP
dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean adalah :
265
PPN dan PPN BM
DASAR HUKUM :
• Pasal 1 angka 11 UU PPN;
• Pasal 1 angka 26 UU PPN;
• Pasal 7 UU PPN.
DASAR HUKUM :
• Pasal 16 C UU PPN;
• Keputusan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 tentang Batasan Dan
Tata Cara Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Atas Kegiatan Membangun
Sendiri Yang Dilakukan Tidak Dalam Kegiatan Usaha Atau Pekerjaan Oleh
Orang Pribadi Atau Badan Yang Hasilnya Digunakan Sendiri Atau Digunakan
Pihak Lain.
Kegiatan mendirikan bangunan yang dilakukan oleh kontraktor atau pemborong bukan
merupakan kegiatan membangun sendiri sepanjang dapat dibuktikan bahwa atas
kegiatan membangun tersebut telah dipungut PPN.
Contoh :
PT A adalah perusahaan yang bergerak di bidang industri makanan. Pada tahun 2013
PT A memutuskan untuk membangun sendiri ruang kantor baru untuk mewujudkan
rencana ekspansi usahanya di sebuah kota. Dalam hal ini, PT A melakukan kegiatan
membangun sendiri.
Kegiatan membangun sendiri dikenakan PPN sepanjang luas bangunan yang dibangun
minimal 200 m² atau lebih dan bersifat permanen. Kegiatan membangun sendiri yang
dilakukan secara bertahap dianggap merupakan satu kesatuan kegiatan sepanjang
266
PPN dan PPN BM
tenggang waktu antar tahapan-tahapan tersebut tidak lebih dari 2 tahun. Pengertian
bangunan bersifat permanen adalah bangunan yang konstruksi utamanya berupa
tembok, kayu tahan lama atau bahan lain yang mempunyai kekuatan sampai 20 tahun
atau lebih.
PPN membangun sendiri terutang setiap bulan, yang saat terutangnya dimulai sejak
dilakukannya kegiatan membangun sendiri secara fisik seperti penggalian fondasi,
pemasangan tiang pancang atau kegiatan fisik lainnya. Besarnya PPN terutang setiap
bulan adalah dengan mengalikan tarif 2% dengan jumlah pengeluaran setiap bulan.
Dalam mengisi SSP PPN membangun sendiri, harus memperhatikan hal-hal berikut:
1. Kolom NPWP : Sembilan digit pertama diisi angka 0, tiga digit berikutnya kode
KPP wilayah bangunan tersebut berada, dan tiga digit terakhir diisi angka 0.
2. Nama Wajib Pajak: diisi nama Wajib Pajak yang melakukan kegiatan
membangun sendiri.
3. Alamat: diisi alamat tempat bangunan di bangun (bukan berdasarkan tempat
tinggal atau domisili Wajib Pajak).
4. MAP/Kode Jenis Pajak: diisi angka 411211
5. Kode Jenis Setoran: diisi angka 103
6. Uraian Pembayaran: diisi Setoran Kegiatan Membangun sendiri
267
PPN dan PPN BM
Wajib Pajak yang melakukan Kegiatan Membangun Sendiri (KMS) harus melaporkan
pembayaran PPN di tempat pajak terutang yaitu pada KPP dimana lokasi KMS tersebut
dilakukan. Pelaporan harus dilakukan paling lambat tanggal 20 pada bulan
dilakukannya penyetoran dengan menggunakan SSP lembar ke-3.
Dalam hal Wajib Pajak yang melakukan KMS adalah PKP sendiri, dan KMS dilakukan
di wilayah KPP terdaftar, maka SSP lembar ke-3 dilampirkan pada pelaporan SPT Masa
PPN.
Pengusaha real estate wajib melaporkan setiap transaksi penjualan tanah kaveling ke
KPP lokasi tanah kaveling berada. Pelaporan harus disertai dengan formulir Surat
Pernyataan Kesanggupan Membayar Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan
Membangun Sendiri yang diisi dan ditandatangani oleh pembeli.
268
PPN dan PPN BM
DASAR HUKUM :
• Pasal 16 UU PPN
Perlu diingat, bahwa jika tidak dapat dikreditkannya PPN atas perolehan aktiva
tersebut terjadi Karena Faktur Pajak Standar) sementara syarat nomor 1, 2 dan 3
terpenuhi maka atas penyerahan aktiva (bekas) tersebut tetap terutang PPN Pasal
16D.
269
PPN dan PPN BM
PEMUNGUTAN PPN
Pemungutan PPN dilakukan oleh pengusaha yang sudah dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak (PKP). Pengusaha yang wajib menjadi PKP hanyalah
pengusaha yang melakukan :
Pelaporan untuk dikukuhkan menjadi PKP wajib dilakukan sebelum pengusaha yang
bersangkutan melakukan penyerahan BKP dan atau JKP. Bagi pengusaha yang tidak
melakukan kewajiban tersebut dapat dikukuhkan menjadi PKP secara jabatan oleh
Dirjen Pajak.
1. Paling lambat tanggal 7 bulan takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir
apabila pemungutan PPN dan PPn BM dilakukan oleh Bendaharawan Pemerintah
atau instansi Pemerintah yang ditunjuk.
2. Paling lambat tanggal 15 bulan takwim berikutnya setelah masa pajak berakhir
apabila pemungutan dilakukan oleh Pemungut PPN selain bendaharawan
pemerintah atau instansi pemerintah yang ditunjuk.
Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran bertepatan dengan hari
libur, maka pembayaran atau penyetoran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
Termasuk hari libur nasional atau hari-hari cuti bersama yang ditetapkan oleh
Pemerintah.
PEMUNGUT PPN
DASAR HUKUM
• PMK Nomor 136/PMK.03/2012
• PMK No. 73/PMK.03/2010
• KMK Nomor 563/KMK.03/2003 jo. SE-32/PJ./2003, dan
• PER-147/PJ/2006
270
PPN dan PPN BM
271
PPN dan PPN BM
I. FAKTUR PAJAK
1. FP;
2. FP Gabungan;
3. Faktur pajak Pedagang Eceran
4. Dokumen tertentu yang diperlakukan sebagai FP
a) Nama, alamat, NPWP penjual atau pihak yang menyerahkan BKP dan atau JKP;
b) Nama, alamat, NPWP pembeli BKP dan atau pihak penerima BKP;
c) Jenis barang atau jasa, jumlah harga jual atau penggantian, dan potongan
harga;
d) PPN yang dipungut;
e) PPn BM yang dipungut (jika ada);
f) Kode, Nomor seri dan tanggal pembuatan FP; dan
g) Nama, jabatan dan tanda tangan yang berhak menandatangani FP.
Data-data tersebut harus diisi dengan lengkap, jelas dan benar dan harus
ditandatangani oleh pejabat atau kuasa yang ditunjuk oleh PKP. Jika tidak, maka FP
tersebut merupakan FP Cacat yang tidak dapat dikreditkan oleh penerima FP (pembeli
atau penerima BKP dan atau JKP). PKP yang menerbitkan FP cacat juga akan dikenai
sanksi denda sebesar 2% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP) yang tercantum di FP
Cacat (pasal 14 ayat (1) dan ayat (4) UU KUP).
272
PPN dan PPN BM
1. Kode dan Nomor seri Faktur Pajak terdiri dari 16 (enam belas) digit yaitu , 2
(dua) digit kode transaksi, 1 (satu) digit kode status, dan 13 (tiga belas) digit
nomor seri faktur pajak.
2. Nomor seri Faktur Pajak diberikan oleh DJP melalui permohonan dengan
instrumen pengaman berupa kode aktivasi dan password.
3. Identitas Penjual dan Pembeli, terutama alamat harus diisi dengan alamat yang
sebenarnya.
4. Jenis Barang atau Jasa Kena Pajak harus diisi dengan keterangan yang
sebenarnya.
5. Pemberitahuan PKP/Pejabat/Pegawai penandatangan Faktur Pajak, harus
dilampiri dengan foto kopi kartu identitas yang sah dan dilegalisasi oleh pejabat
yang berwenang.
6. PKP yang tidak menggunakan nomor seri faktur pajak dari DJP atau
menggunakan nomor seri FP ganda akan menyebabkan Faktur Pajak yang
diterbitkan merupakan FP tidak lengkap.
7. Faktur Pajak tidak lengkap akan menyebabkan PKP pembeli tidak dapat
mengkreditkan pajak masukannya dan PKP Penjual dikenakan sanksi sesuai
dengan aturan yang berlaku.
273
PPN dan PPN BM
Kode FP
Mulai bulan (masa pajak) Januari 2007, PKP harus menerbitkan FP dengan
menggunakan kode dan nomor seri FP yang terdiri dari 6 kode FP 10 nomor seri FP
dengan urutan sebagai berikut :
K K S C C C Y Y N N N N N N N N
- 01 : digunakan untuk penyerahan BKP /JKP kepada selain pemungut (Wapu) PPN,
termasuk penyerahan kepada Perwakilan Negara Asing atau Perwakilan Organisasi
Internasional yang tidak mendapat persetujuan untuk diberikan fasilitas
perpajakan oleh Menteri Keuangan. Selain itu, kode ini juga dipakai untuk
penyerahan BKP/JKP antar pemungut (Wapu) PPN selain bendaharawan yang PPN-
nya dipungut oleh Wapu yang menyerahkan BKP/JKP.
Kode ini digunakan apabila penyerahan dilakukan kepada selain Wapu dan bukan
merupakan jenis penyerahan sebagaimana dimaksud pada Kode Transaksi 04
sampai dengan 09.
274
PPN dan PPN BM
- Nomor seri FP adalah nomor seri yang diberikan oleh DJP kepada PKP.
- Nomor seri Faktur Pajak terdiri dari 11 digit nomor urut yang dipisahkan oleh 2 digit
tahun penerbitan.
- Nomor seri faktur pajak diberikan dalam bentuk blok number dengan jumlah sesuai
dengan permintaan PKP.
Contoh Nomor seri FP: 900.13.00000001 s/d 900.13.00000100
Nomor seri FP yang tidak digunakan dalam satu tahun pajak atau nomor seri FP lebih
diakhir tahun, harus dilaporkan ke KPP bersamaan dengan SPT Masa PPN masa pajak
Desember tahun yang berjalan.
Pada FP Pengganti dibubuhi Cap yang mencantumkan Nomor seri, Kode dan tanggal
FP yang diganti dan FP standar yang diganti harus dilampirkan pada FP pengganti.
275
PPN dan PPN BM
Tanggal : ……………………………………………………………..
• Masa pajak yang sama dengan masa pajak dilaporkannya FP yang diganti
dengan mencantumkan nilai sesuai dengan yang tercantum dalam FP
pengganti; dan
• Masa pajak diterbitkannya FP pengganti dengan mencantumkan nilai 0 (nol)
pada kolom DPP, PPN dan PPn BM untuk menjadi urutan FP yang diterbitkan
oleh PKP.
PEMBATALAN FP
Apabila terjadi pembatalan transaksi penyerahan BKP/JKP, sementara FP telah
terlanjur dibuat (diterbitkan), maka PKP yang menerbitkan FP harus melakukan
pembatalan FP tersebut. Pembatalan transaksi harus didukung bukti atau dokumen
yang membuktikan bahwa telah terjadi pembatalan transaksi.
Bukti tersebut dapat berupa pembatalan kontrak atau dokumen lain yang menunjukan
telah terjadi pembatalan transaksi. PKP Penjual yang membatalkan FP harus memiliki
bukti dari PKP Pembeli yang menyatakan bahwa transaksi dibatalkan. Selain itu, copy
dari FP yang dibatalkan juga harus dikirimkan bersama-sama dengan surat
pemberitahuan kepada KPP tempat PKP Penjual dan pembeli dikukuhkan.
Apabila FP yang dibatalkan belum dilaporkan dalam SPT Masa PPN, PKP harus
melaporkan FP tersebut dalam SPT Masa PPN dengan mencantumkan nilai 0 pada
kolom DPP, PPN dan PPn BM.
Namun apabila FP yang dibatalkan tersebut telah dilaporkan dalam SPT Masa PPN,
maka PKP penjual harus melakukan pembetulan terhadap SPT masa PPN tersebut
dengan cara tetap melaporkan FP yang dibatalkan tersebut dan mencantumkan nilai
0 pada kolom DPP, PPN dan PPn BM. Hal yang sama berlaku juga buat PKP Pembeli
276
PPN dan PPN BM
Pembatalan ini hanya dapat dilakukan paling lambat 2 tahun sejak FP tersebut
diterbitkan, sepanjang SPT Masa PPN dimana FP dilaporkan sebelum dilakukan
pemeriksaan dan PM yang ada belum dibebankan sebagai biaya.
PKP
1. Permohonan PKP
Pembeli
Penjual
4. Diserahkan
3. dikembalikan 2. minta
KPP 1. Tindasan permohonan legalisasi
Pembeli
KPP
Penjual
Saat Pembuatan FP
FP harus dibuat oleh PKP Penjual setiap kali melakukan penyerahan BKP/JKP. FP harus
dibuat paling lambat :
a. Pada akhir bulan berikutnya setelah bulan terjadinya penyerahan BKP dan atau
JKP apabila pembayaran diterima setelah akhir bulan berikutnya setelah bulan
penyerahan BKP dan atau JKP.
b. Pada saat penerimaan pembayaran apabila pembayaran terjadi sebelum akhir
bulan berikutnya setelah bulan penyerahan BKP dan atau JKP;
c. Pada saat penerimaan pembayaran apabila penerimaan terjadi sebelum
peneyerahan BKP dan atau JKP;
d. Pada saat penerimaan pembayaran apabila penyerahan sebagian tahap pekerjaan;
atau
277
PPN dan PPN BM
FP yang diterbitkan setelah melewati jangka waktu 3 bulan sejak saat FP seharusnya
dibuat tersebut di atas, dianggap bukan merupakan FP dan PKP yang menerbitkannya
dianggap tidak menerbitkan atau tidak membuat FP. Implikasinya, PKP yang
menerbitkan FP dapat dikenai sanksi dan PKP pembeli yang menerimanya tidak dapat
mengkreditkan PPN yang tercantum dalam FP tersebut.
a. Penyerahan BKP;
b. Impor BKP;
c. Penyerahan JKP;
d. Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah
pabaean;
e. Pemanfaatan JKP dari luar daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; dan
f. Ekspor BKP.
Saat terutangnya pajak merupakan dasar bagi PKP untuk menentukan kapan FP dibuat
atau diterbitkan. Saat terutangnya PPN merupakan hal yang berbeda dengan saat
pembuatan FP, walaupun FP merupakan bukti pemungutan PPN atas penyerahan BKP
dan atau JKP oleh PKP.
2. FP Gabungan
FP Gabungan merupakan FP untuk semua penyerahan BKP dan atau JKP yang
terjadi selama 1 bulan takwim kepada pembeli atau penerima BKP dan JKP yang
sama. FP Gabungan harus dibuat paling lambat:
a. Pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan BKP dan atau JKP
apabila pembayaran baik sebagian atau seluruhnya terjadi setelah berakhirnya
bulan penyerahan BKP dan atau JKP; atau
278
PPN dan PPN BM
b. Pada akhir bulan penyerahan BKP dan atau JKP apabila pembayaran baik
sebagian atau seluruhnya terjadi sebelum berakhirnya bulan penyerahan BKP
dan atau JKP.
a. Melalui suatu tempat penjualan eceran, seperti toko dan kios atau langsung
mendatangi dari satu tempat konsumen akhir ke tempat konsumen akhir
lainnya;
b. Melakukan penjualan secara eceran langsung kepada konsumen akhir, tanpa
didahului dengan penawaran tertulis, pemesanan tertulis, kontrak atau lelang;
dan
c. Pada umumnya penyerahan BKP atau transaksi jual-beli dilakukan secara tunai
dan penjual atau pembeli langsung menyerahkan atau membawa BKP yang
dibelinya.
Ketentuan pembuatan FP sama dengan PKP lainnya yaitu harus sesuai dengan Pasal
13 ayat (5) UU PPN, hanya ada beberapa pengecualian:
a. Identitas nama, alamat, dan NPWP pembeli BKP atau penerima JKP tidak wajib
dicantumkan;
b. Identitas nama dan tandatangan yang berhak menandatangani FP tidak wajib
dicantumkan;
c. Sampai 31 Desember 2010 PKP PE dapat menggunakan kode dan nomor seri
FP;
d. Kode dan seri Khusus dapat berupa nomor invoice atau nomor struk yang
ditentukan sendiri oleh PKP PE.
Per 1 Januari 2011 Penggunaan FP bagi PKP PE adalah sebagai berikut (PER-
58/PJ/2010)
a. FP atas penyerahan BKP oleh PKP PE paling sedikit harus memuat keterangan
:
- Nama, alamat, NPWP yang menyerahkan BKP dan atau JKP;
- Jenis dan jumlah BKP dan atau JKP yang diserahkan;
- Jumlah harga Jual atau Penggantian yang sudah termasuk PPN atau besarnya
PPN dicantumkan secara terpisah; dan
- Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut; dan
- Kode, Nomor seri dan tanggal pembuatan FP.
b. FP dapat berupa bon kontan, faktur penjualan, segi cash register, karcis,
kuitansi, serta tanda bukti penyerahan atau pembayaran lainnya yang sejenis,
279
PPN dan PPN BM
a. Pemberitahuan impor Barang (PIB) yang dilampiri SSP dan atau bukti pungutan
pajak oleh Ditjen Bea dan Cukai untuk impor BKP;
b. Pemberitahuan Ekspor barang (FEB) yang telah difiat muat oleh Ditjen Bea dan
Cukai dan dilampiri dengan invoice yang merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan dengan PEB tersebut.
c. Surat Perintah Penyerahan Barang (SPPB) yang dibuat atau dikeluarkan oleh
BULOG/DOLOG untuk penyaluran tepung terigu;
d. Faktur Nota Bon Penyerahan (PNBP) yang dibuat atau dikeluarkan oleh
Pertamina untuk Penyerahan BBM dan atau bukan BBM;
e. Tanda pembayaran atau kuitansi untuk penyerahan Jasa telekomunikasi;
f. Ticket, tagihan Surat Muatan Udara (Airway bill) atau Delivery Bill yang
dibuat/dikeluarkan untuk penyerahan jasa angkutan udara dalam negeri;
g. Surat Setoran Pajak (SSP) untuk pembayaran PPN atas pemanfaatan BKP tidak
berwujud atau JKP dari Luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
h. Nota Penjualan Jasa yang dibuat/dikeluarkan untuk penyerahan Jasa
Kepelabuhan.
i. Tanda pembayaran atau kuitansi listrik.
280
PPN dan PPN BM
dapat disesuaikan oleh Pemungut PPN dengan cara mencoret (tidak boleh
dihapus atau di- tip ex).
J. NOTA RETUR
• Mengurangi Pajak Keluaran bagi PKP Penjual, sepanjang FP atas penyerahan BKP
tersebut sudah dilaporkan dalam SPT Masa PPN. Yang dimaksud dengan FP
tersebut meliputi FP;
• Mengurangi Pajak masukan bagi PKP pembeli, sepanjang pajak Masukannya dapat
dikreditkan dan sudah dilaporkan dalam SPT masa PPN;
• Mengurangi harta atau biaya dalam hal Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan dan
telah dikapitalisasi atau telah dibebankan sebagai biaya;
• Mengurangi harta atau biaya dalam hal pembeli bukan PKP.
a. Nomor urut;
b. Nomor dan tanggal FP dari BKP yang dikembalikan;
c. Nama, alamat dan NPWP Pembeli;
d. Nama, alamat, NPWP serta nomor dan tanggal pengukuhan PKP yang
menerbitkan FP;
e. Macam, jenis, kuantum dan harga jual BKP yang dikembalikan;
f. PPN atas BKP yang dikembalikan;
g. PPn BM atas BKP mewah yang dikembalikan;
h. Tanggal pembuatan Nota Retur;
i. Tanda tangan pembeli
281
PPN dan PPN BM
Bentuk dan ukuran nora retur dapat disesuaikan dengan kebutuhan administrasi
pembeli atau dapat dibuat seperti contoh dalam lampiran PMK. No.65/PMK.03/2010.
Nota Retur yang tidak diisi lengkap, tidak dapat diperlakukan sebagai nota retur
sehingga tidak dapat mengurangi pajak Keluaran bagi penjual dan Pajak Masukan,
atau harta/biaya bagi pembeli.
Bagi PKP Penjual Nota retur seharusnya diperhitungkan dalam masa pajak dibuatnya
Nota Retur. Jika Nota retur belum dapat diperhitungkan dan dilaporkan dalam SPT
Masa PPN dalam masa pajak yang sama dengan masa pajak dibuatnya Nota Retur,
maka Nota Retur dapat diperhitungkan dalam masa pajak diterimanya nota retur.
• Lembar ke-1 : untuk PKP Penjual, sebagai bukti pengurangan penjualan dan
Pajak Keluaran
• Lembar ke-2 : untuk arsip pembeli, sebagai bukti pengurangan pembelian,
harta, biaya dan/atau Pajak Masukan.
Dalam hal ini PKP cukup menyetorkan selisih antara PK dengan PM. Jadi PKP tidak lagi
menanggung beban PPN karena beban PPN tersebut dapat digeser kepada
pembeli/pengguna jasa. Mekanisme Indirect Substraction Method ini sering disebut
dengan mekanisme PK Minus PM.
Dalam kaitannya dengan mekanisme indirect substraction method, maka PKP wajib
menyetorkan PPN ke Kas Negara sebagai berikut :
▪ Jika PK > PM, selisihnya merupakan kurang bayar (KB) PPN yang harus disetor;
▪ Jika PK<PM, selisihnya merupakan lebih bayar PPN (LB) yang dapat
dikompensasikan ke masa pajak berikutnya atau dimintakan kembali(restitusi).
MEKANISME PENGKREDITAN PM
PM dikreditkan dengan PK untuk Masa pajak yang sama.
Jika dalam suatu Masa Pajak belum ada PK, maka PM tetap dapat dikreditkan
282
PPN dan PPN BM
Apabila dalam suatu masa pajak, PKP selain melakukan penyerahan yang
terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, maka :
a. Apabila bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan
pasti dari pembukuannya, maka jumlah PM yang dapat dikreditkan adalah
PM yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak.
b. Apabila PM untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui
dengan pasti, maka jumlah PM yang dapat dikreditkan untuk penyerahan
yang terutang pajak dihitung dengan menggunakan pedoman yang diatur
dengan PMK Nomor 78/PMK.03/2010 stdtd PMK Nomor 21/PMK.011/2014
.
Apabila terdapat PM yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan
PK pada Masa pajak yang sama, dapat dikreditkan pada masa pajak berikutnya,
paling lambat 3 bulan setelah berakhirnya masa pajak yang bersangkutan,
sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.
283
PPN dan PPN BM
9. Perolehan BKP atau JKP yang PM-nya tidak dilaporkan dalam SPT masa PPN,
yang diketemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan.
Besarnya PM yang dapat dikreditkan oleh PKP yang dikenakan PPh dengan
menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, dapat dihitung dengan
menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan PM yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan dalam PMK No. 74/PMK.03/2010 tanggal 31 Maret 2010 dan
PMK NOMOR 79/PMK.03/2010 serta PMK Nomor 30/PMK.03/2014.
• PKP wajib memberitahukan secara tertulis ke KPP terkait dengan cara
membubuhkan catatan pada kolom yang tersedia dalam SPT PPN.
• PKP wajib menyelenggarakan catatan jumlah peredaran bruto yang menjadi
DPP, atau catatan terpisah dalam hal melakukan penyerahan Tidak Kena
Pajak.
• Pajak Keluaran dihitungan dengan cara mengalikan nilai peredaran bruto
dan atau penerimaan bruto yang terutang Pajak Pertambahan Nilai pada
Masa Pajak yang bersangkutan dengan tarif Pajak Pertambahan Nilai.
• Nilai peredaran bruto dan atau penerimaan bruto, tidak termasuk pajak
pertambahan Nilai.
• Jika suatu masa pajak PKP tersebut tidak memenuhi syarat menggunakan
NPPN, maka mula tahun buku berikutnya PKP tersebut tidak diperkenankan
menggunakan Pedoman Pengkreditan Pajak Masukan.
• Besarnya PM yang dapat dikreditkan:
1) 70% x PK (jika yang diserahkan BKP);
2) 60% x PK (jika yang diserahkan JKP);
3) 90% x PK (jika yang diserahkan BKP kendaraan bermotor bekas secara
eceran
4) 10% x Nilai lain yang ditetapkan sebesar 20% dari harga jual emas
perhiasan atau nilai penggantian
# Pajak Masukan yang berhubungan dengan penyerahan emas perhiasan dan atau
jasa yang terkait dengan emas perhiasan oleh pengusaha emas perhiasan tidak dapat
dikreditkan.
284
PPN dan PPN BM
PENGERTIAN
PPn BM adalah pungutan pajak tambahan diluar PPN yang dikenakan khusus untuk
Barang Kena Pajak (BKP) yang tergolong mewah. Dalam PPn BM tidak dikenal
pengkreditan Pajak Masukan. Artinya, jumlah PPn BM yang dipungut itulah yang harus
disetor ke Kas Negara tanpa dikurangi dengan PPn BM yang dibayar atas perolehan
BKP-nya.
OBJEK PPn BM
Objek PPn BM adalah :
Penyerahan BKP yang tergolong Mewah yang dilakukan oleh Pengusaha yang
menghasilkan BKP yang tergolong mewah tersebut di dalam Daerah Pabean dalam
kegiatan usaha atau pekerjaanya;
Impor BKP yang tergolong Mewah.
Yang dimaksud dengan “Barang Kena Pajak yang tergolong mewah” Adalah :
1. Barang yang bukan merupakan barang kebutuhan pokok.
2. Barang yang dikonsumsi oleh masyarakat tertentu
3. Barang yang pada umumnya dikonsumsi oleh masyarakat yang ber penghasilan
tinggi; dan/atau
4. Barang yang dikonsumsi untuk menunjukkan status.
Pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas impor barang Kena Pajak yang
tergolong mewah tidak memperhatikan siapa yang menginpor Barang Kena Pajak
tersebut serta tidak memperhatikan apakah impor tersebut dilakukan secara terus-
menerus atau hanya sekali saja. Selain itu, pengenaan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah terhadap suatu penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tidak
memperhatikan apakah suatu bagian dari Barang Kena Pajak tersebut telah dikenai
atau tidak dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah pada transaksi sebelumnya.
SUBJEK PPn BM
Subjek PPn BM adalah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) (sebagai Pengawas
untuk Impor) atau PKP Pabrikan.
285
PPN dan PPN BM
TARIF PPn BM
Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah ditetapkan paling rendah 10% (sepuluh
persen) dan paling tinggi 200% (tujuh puluh lima persen). Khusus untuk ekspor BKP
yang tergolong mewah dikenakan PPn BM dengan tarif 0% (nol persen). Ketentuan
lebih lanjut mengenai tarif dan klasifikasi barang yang tergolong mewah, diatur dalam
Peraturan Pemerintah dan Keputusan (Peraturan) Menteri Keuangan.
286
PPN dan PPN BM
287
PPN dan PPN BM
Pengusaha Kena Pajak yang mengekspor Barang kena Pajak yang tergolong mewah
dapat meminta kembali PPnBM yang telah dibayar pada waktu perolehan Barang Kena
Pajak yang tergolong mewah yang diekspor tersebut sepanjang Pajak Penjualan atas
Barang Mewah tersebut belum dibebankan sebagai biaya.
Dalam hal PPn BM telah menjadi bagian dari harga atau pembayaran atas penyerahan
BKP, maka cara penghitungan pajaknya adalah :
T X harga atau pembayaran atas penyerahan BKP
Keterangan :
TATA CARA
T = tarif PENGHITUNGAN PPn BM
PPn BM
Contoh :
PT A adalah produsen perlengkapan memancing yang tergolong BKP mewah. Pada tanggal
10 Januari 2013, PT A menjual 10 unit perlengkapan memancingnya dengan harga jual
produk sebesar Rp 750.000,00 per unit. Tarif PPn BM adalah 10 %.
Khusus untuk penyerahan dalam Daerah Pabean, penyetoran dilakukan paling lambat
tanggal 15 bulan berikutnya setelah bulan dibuatnya Faktur Pajak atas penyerahan
BKP yang tergolong mewah.
Pelaporan PPh BM Menggunakan SPT Masa PPN BM masa pajak yang sama dengan
bulan penyetoran untuk impor atau bulan pembuatan faktur pajak untuk penyerahan
local (dengan formulir SPT Masa 1111).
288
PPN dan PPN BM
No Perihal Uraian
1. Objek Pajak Impor BKP atau penyerahan BKP yang tergolong mewah
DJBC (sebagai pengawas untuk Impor) atau PKP
2. Subjek Pajak
Pabrikan
Khusus untuk ekspor dikenakan tarif 0% sedangkan
3. Tarif untuk impor atau penjualan lokal berkisar antara 10%
s.d. 200%
Dasar Pengenaan
4. Nilai Impor atau harga jual
Pajak
Saat impor BKP, dan saat penyerahaan atau
5. Saat terutang
pembayaran, mana yang terjadi lebih dahulu.
Tentang BKP yang tergolong mewah dimasukan atau
6. Tempat Terutang
tempat kegiatan usaha PKP Pabrikan
Dengan cara dibayar sendiri oleh Importir bersamaan
dengan pelunasan bea masuk atau penyelesaian
dokumen impor, jika pemungutannya dilakukan oleh
DJBC, harus disetor sehari setelah pemungutan dilakukan
7. Penyetoran
(untuk impor). Khusus untuk penyerahan local
penyetoran dilakukan paling lambar tanggal 15 bulan
berikutnya setelah bulan dibuatnya Faktur Pajak untuk
penyerahan BKP yang tergolong mewah.
Menggunakan SPT masa PPn BM masa pajak yang sama
dengan bulan penyetoran untuk impor atau bulan
8. Pelaporan
pembuatan Faktur Pajak untuk penyerahan local (dengan
formulir 1111 BM).
M. SENTRALISASI PENGENAAN PPN
PENGERTIAN
Sentralisasi pengenaan PPN berarti pemusatan tempat terutangnya PPN. Apabila PKP
telah mendapatkan ijin sentralisasi, maka penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau
sebaliknya dan penyerahan BKP antar cabang tidak terutang PPN.
JENIS-JENIS SENTRALISASI
Sentralisasi dewasa ini sudah berkembang sedemikian rupa untuk mengikuti
perkembangan dunia usaha. Sampai dengan tahun 2007, sentralisasi bisa dibedakan
menjadi beberapa bentuk,yaitu sentralisasi wajib atau otomatis, sentralisasi yang
289
PPN dan PPN BM
e. Wajib Pajak yang terdaftar di lingkungan kantor wilayah DJP Jakarta Khusus
selain KPP BUMN, yaitu :
1) Wajib Pajak yang terdaftar di KPP Penanaman Modal Asing Satu-Enam,
tersentralisasi secara otomatis di KPP Penanaman Modal Asing Satu-
Enam;
2) Wajib Pajak yang terdaftar di KPP Badan dan Orang Asing satu
tersentralisasi secara otomatis di KPP Badan dan Orang Asing Satu;
3) Wajib Pajak yang terdaftar di KPP Badan dan Ornag Asing Dua,
tersentralisasi secara otomatis di KPP Badan dan Orang Asing dua;
4) Wajib Pajak yang terdaftar di KPP Perusahaan Masuk Bursa
tersentralisasi secara otomatis di KPP Perusahaan Masuk Bursa.
290
PPN dan PPN BM
Surat Permohonan izin sentralisasi tersebut harus memuat paling sedikit mengenai
:
a. Nama, alamat dan NPWP tempat pemusatan PPN terutang;
b. Rincian Nama, alamat, dan NPWP tempat kegiatan penyerahan BKP dan atau
JKP yang dipusatkan;
c. Tanggal yang diinginkan untuk dimulainya sentralisasi; dan
d. Pernyataan PKP bahwa sistem administrasinya telah sesuai dengan persyaratan
sentralisasi PPN.
Izin sentralisasi PPN dapat dikabulkan apabila telah memenuhi syarat berikut :
c. Semua Faktur Pajak dan atau Faktur diterbitkan oleh tempat pemusataan PPN
terutang,
d. Tempat kegiatan usaha yang dipusatkan tidak membuat faktur pajak dan atau
faktur penjualan, kecuali Faktur pajak dan atau faktur penjualan yang dicetak
berdasarkan data yang diinput secara online dari Kantor Pusat atau tempat
pemusatannya, dan
e. Kantor Cabang Unit yang dipusatkan hanya mengadministrasikan persediaan
dan administrasi kegiatan perolehan BKP atau JKP untuk keperluan operasional
kantor atau unit bersangkutan yang dananya berasal dari kas kecil (petty cash).
Khusus bagi pedagang eceran, permohonan sentralisasi PPN hanya dapat diberikan
apabila kegiatan dan administrasi pembelian untuk jaringan penjualan yang
tersebar di berbagai tempat pemusatan PPN dimohonkan.
292
PPN dan PPN BM
PENGERTIAN
Sejak berlakunya UU Nomor 18 Tahun 2000, fasilitas dibidang PPN yang dikenal dalam
ketentuan adalah berupa PPN Tidak Dipungut atau PPN Dibebaskan. Khusus untuk
transaksi-transaksi yang mendapatkan fasilitas di bidang PPN, maka pihak-pihak yang
terkait perlu memperhatikan beberapa hal berikut ini :
1. Yakinkan perlakuan perpajakan yang terkait dengan fasilitas tersebut. Hal ini sangat
terkait dengan masalah interprestasi atas ketentuan perpajakan yang harus
dipenuhi agar bisa mendapatkan fasilitas di bidang PPN.
2. Perhatikan Persyaratan substantif dan administratif yang harus dipenuhi agar bisa
mendapatkan fasilitas di bidang PPN.
Bagi PKP yang produk BKP atau JKP-nya mendapatkan fasilitas PPN tidak dipungut,
PPN Masukan yang berhubungan dengan perolehan BKP/JKP tetap dapat
dikreditkan. Fasilitas PPN tidak dipungut yang saat ini berlaku adalah untuk proyek
pemerintah yang dananya berasal dari hibah atau dana pinjaman luar negeri,
tempat penimbunan berikat dan kawasan berikat industry pulau Batam.
293
PPN dan PPN BM
PPN dan PPn BM yang terutang sejak tanggal 1 April 1995 atas impor serta
penyerahan Barang dan Jasa oleh kontraktor utama, tidak dipungut.
Namun demikian, perolehan BKP dan /atau JKP oleh Kontraktor Utama tetap
dikenakan PPN dan PPn BM oleh Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan
BKP dan/atau JKP tersebut. PPN yang telah dibayar oleh Kontraktor Utama
tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan Pajak
Keluaran.
o PPN dan PPn BM yang tidak dipungut sehubungan dengan impor yang
dilakukan oleh Kontraktor, Konsultan, dan Pemasok Utama tidak perlu
dibuatkan Surat Setoran Pajak (SSP).
o Pemberitahuan Impor Barang (PIB) atas impor barang yang telah dibubuhi cap
“BEBAS BEA MASUK DAN BEA MASUK TAMBAHAN, TIDAK DIPUNGUT PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH, PAJAK
PENGHASILAN DITANGGUNG OLEH PEMERINTAH” diberlakukan sebagai bukti
pemungutan pajak-pajak yang terutang.
o Kontraktor, Konsultan dan Pemasok Utama wajib membuat faktur Pajak yang
dibubuhi cap “PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENGJUALAN ATAS
BARANG MEWAH TIDAK DIPUNGUT” atas penyerahan Barang Kena Pajak dan
atau Jasa Kena Pajak yang tidak dipunggut PPN dan PPn BM.
Kawasan berikat (Bonded Zone) Daerah Industri Pulau Batam adalah Daerah
Industri Pulau Batam dan Pulau-pulau disekitarnya yang dinyatakan sebagai
kawasan Berikat sesuai peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Fasilitas PPN/PPn BM tidak dipungut hanya berlaku bagi PKP di kawasan Berikat
Daerah Industri Pulau Batam dan pulau-pulau di sekitarnya yang ditetapkan
sebagai kawasan Berikat (KB Pulau Batam), yang melakukan kegaitan
menghasilkan BKP untuk diekspor, atas:
294
PPN dan PPN BM
Pengecualian Fasilitas
Atas penyerahan BKP dan atau impor BKP yang digunakan selain untuk
menghasilkan BKP yang diekspor dan atas penyerahan JKP di/ke KB Pulau
Batam terutang PPN/PPn BM yang pengenaannya dilakukan secara bertahap,
yaitu :
295
PPN dan PPN BM
Fasilitas PPN dan PPn BM di kawasan Berikat terutang tidak dipungut diberikan
atas transaksi-transaksi berikut :
a. Atas Impor barang Modal atau peralatan dan peralatan perkantoran yang
semata-mata dipakai oleh PKB termasuk PKB merangkap sebagai PDKB;
b. Atas impor barang modal dan peralatan pabrik yang berhubungan langsung
dengan kegiatan produksi PDKB yang semata-mata di pakai di PDKB;
c. Atas impor barang dan/atau bahan untuk diolah di PDKB;
d. Atas pemasukan BKP dari Daerah Pabean Indonesia Lainnya (DPIL) ke PDKB
untuk di olah lebih lanjut;
e. Atas pengiriman barang hasil produksi PDKB ke PDKB lainnya untuk diolah
lebih lanjut;
f. Atas pengeluaran barang dan/atau bahan dari PDKB ke perusahaan
industry di DPIL atau PDKB lainnya dalam rangka subkontrak;
g. Atas penyerahan kembali BKP hasil pekerjaan subkontrak oleh PKP di DPIL
atau PDKB lainnya kepada PKP PDKB asal;
h. Atas peminjaman mesin dan/atau peralatan pabrik dalam rangka subkontrak
dari PDKB kepada perusahaan industri di DPIL atau PDKB lainnya dari
pengembaliannya ke PDKB asal;
i. Penyerahan barang hasil olahan produsen pengguna fasilitas Kemudahan
Impor Tujuan Ekspor dari DPIL untuk diolah lebih lanjut oleh PDKB diberikan
perlakuan perpajakan yang sama dengan perlakuan terhadap barang yang
diekspor;
j. Pengeluaran barang dari KB yang ditujukan kepada orang yang memperoleh
fasilitas pembebasan atau penangguhan BM, Cukai dan Pajak dalam rangka
impor;
k. Pemasukan alat pengemas(packing material) dan alat bantu pengemas dari
DPIL ke KB untuk menjadi satu kesatuan dengan barang hasil olahan PDKB,
tidak dipungut PPN dan PPn BM.
296
PPN dan PPN BM
b. Pengeluaran mesin dan peralatan pabrik ke DPIL untuk direparasi yang lama
maksimumnya 12 bulan;
c. Penyerahan BKP oleh produsen dari DPIL ke PKP EPTE untuk diolah lebih
lanjut (diperlakukan sama dengan ekspor);
d. Penyerahan Jasa dalam rangka melakukan pekerjaan Sub kontrak kepada
PKP EPTE oleh perusahaan industry di DPIL atau PDKB atau PKP EPTE
lainnya;
e. Peminjaman mesin dan/atau peralatan pabrik dalam rangka subkontrak
dari PKP EPTE kepada perusahaan industry di DPL, PKP EPTE atau PDKP
lainnya(lama maksimum 24 bulan );
f. Penyerahan BKP antar PKP EPTE atau dari PDKP kepada PKP EPTE.
Pajak Masukan atas Perolehan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak
sehubungan dengan penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat stategis
yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan.
Fasilitas PPN dibebaskan yang saat ini berlaku adalah untuk impor dan atau
penyerahan BKP/JKP Tertentu yang Bersifat Strategis, Impor dan atau Penyerahan
BKP Tertentu dan atau JKP Tertentu, pemberian restitusi atau pembebasan PPN
dan PPn BM bagi perwakilan Diplomatik Negara asing atau Badan Internasional
serta pejabat atau Tenaga Ahlinya.
1. Impor dan atau Penyerahan BKP Tertentu dan atau JKP Tertentu
Barang Kena Pajak Tertentu yang atas impornya dibebaskan dari pengenaan
Pajak Pertambahan Nilai adalah :
1. Senjata, amunisi, alat angkutan di air, alat angkutan dibawah air, alat
angkutan di udara, alat angkutan di darat, kendaraan lapis baja, kendaraan
patroli, dan kendaraan angkutan khusus lainnya, serta suku cadangnya
yang diimpor oleh Departemen Pertahanan, Tentara Nasional Indonesia
(TNI), Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) atau pihak lain yang
ditunjuk oleh Departemen Pertahanan, TNI atau POLRI untuk melakukan
impor tersebut, dan komponen atau bahan yang belum dibuat didalam
negeri, yang diimpor oleh PT (PERSERO) PINDAD, yang digunakan dalam
pembuatan senjata dan amunisi untuk keperluan Departemen Pertahanan,
TNI atau POLRI;
2. Vaksin Polio dalam rangka pelaksanaan Program Pekan Imunisasi Nasional
(PIN);
297
PPN dan PPN BM
Khusus untuk angka 3, SKB diwajibkan apabila buku-buku pelajaran umum, kitab
suci dan buku-buku agama tersebut masih memerlukan pengesahan sebagai buku
298
PPN dan PPN BM
pelajaran agama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat(3) dan Pasal 3 ayat(3)
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 353/KMK.03/2001.
Jika dalam jangka waktu 1 (satu) bulan tersebut PPN yang dibebaskan tidak
dibayar, Direktur Jendral Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
ditambah dengan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku.
299
PPN dan PPN BM
Atas Jasa kena pajak tertentu diatas, fasilitaas PPN diberikan tanpa wajib
memiliki Surat Keterangan Bebas terlebih dahulu.
Barang Kena Pajak Tertentu terdiri beberapa jenis Barang Kena Pajak berikut
ini :
a. Barang Modal berupa mesin dan peralatan pabrik, baik dalam keadaan
terpasang maupun terlepas, tidak termasuk suku cadang;
b. Makanan ternak unggas dan ikan dan atau bahan baku untuk pembuatan
makan ternak, unggas dan ikan;
c. Barang hasil pertanian, yaitu barang yang dihasilkan dari kegiatan usaha di
bidang :
o Pertanian, perkebunan dan kehutanan;
o Perternakan, perburuan atau penangkapan, maupun penangkaran; atau
o Perikanan baik dari penangkapan atau budidaya.
o Bibit dan atau benih dari barang pertanian, perkebunan, kehutanan,
perternakan, penangkaran, atau perikanan;
d. Air bersih yang dialirkan melalui pipa oleh Perusahaan Air Minum; dan
e. Listrik, kecuali untuk perumahan dengan daya diatas 6600 watt.
seluruhnya dalam jangka waktu 5(lima) tahun sejak impor dan atau
perolehannya, maka PPN yang telah dibebaskan tetap wajib dibayar dalam
jangka waktu 1 (satu) bulan sejak barang modal tersebut dialihkan
penggunaanya atau dipindahtangankan.
Apabila dalam jangka waktu 1(satu) bulan, PPN yang dibebaskan tidak dibayar,
Direktur Jendral Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
ditambah dengan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku. PPN yang dibayar
tersebut tidak dapat dikreditkan sebagai Pajak Masukan.
Pengukuhan PKP
Orang atau badan yang melakukan penyerahan BKP tertentu yang bersifat
strategis yang dibebaskan dari pengenaan PPN, wajib melaporkan usahanya
kepada Direktur Jenderal Pajak untuk dikukuhkan sebagai PKP. Kewajiban ini
tidak berlaku untuk :
301
PPN dan PPN BM
Pengusaha Kena Pajak Wajib menerbitkan Faktur Pajak dan membubuhkan cap
“PPN DIBEBASKAN SESUAI PP NOMOR 12 TAHUN 2001 SEBAGAIMANA TELAH
DIUBAH TERAKHIR DENGAN PP NOMOR 31 TAHUN 2007”.
Pembebasan PPN atas pembelian BKP atau perolehan JKP diberikan kepada :
Khusus untuk perwakilan Negara asing, pembebasan dari pemungutan PPN dan
PPn BM tersebut hanya dapat diberikan dasar azas timbale balik. Pemberian
fasilitas BM tersebut dapat diketahui dalam surat pemberitahuan Perwakilan
Indonesia di Negara tersebut yang telah dikirim kepada Departemen Luar
Negeri dan Direktorat Jendral Pajak.
302
PPN dan PPN BM
303
PPN dan PPN BM
304
PPN dan PPN BM
Keterangan tambahan :
305
PPN dan PPN BM
PENGERTIAN
• Restitusi adalah pengembalian kelebihan pembayaran pajak kepada Wajib Pajak.
Dalam PPN, restitusi terjadi apabila jumlah pajak Masukan lebih besar dari jumlah
Pajak keluaran.
• PKP kriteria tertentu adalah Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana
dimaksud Pasal 17C undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000.
• PKP yang melakukan kegiatan tertentu yang memiliki resiko rendah adalah PKP
yang melakukan penyerahan kepada Pemungut PPN dan/atau PKP yang
melakukan kegiatan ekspor BKP, yang merupakan :
a. Produsen;
b. Perusahaan terbuka; atau
c. Perusahaan yang pemegang saham terbesarnya adalah Pemerintah pusat atau
daerah.
• PKP yang melakukan penyerahan kepada Pemungut PPN dan/atau PKP yang
melakukan kegiatan ekspor BKP, yang merupakan produsen adalah PKP yang
paling sedikit 75 % (tujuh puluh lima persen) dari jumlah penyerahan tahun
sebelumnya merupakan produksi yang dihasilkan dari mesin dan/atau peralatan
pabrik yang dimiliki sendiri.
a. Penyerahan /perolehan/ penerimaan BKP dan/atau JKP serta pemanfataan JKP dan
atau BKP tidak berwujud dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean :
1) FP Keluaran dan FP Masukan yang berkaitan dengan kelebihan pembayaran
Pajak yang dimintakan pengembalian;
2) Faktur Penjualan/Faktur Pembelian, apabila FP dibuat berbeda dengan faktur
penjualan/faktur pembelian;
3) Bukti Pengiriman/penerimaan barang; dan
4) Bukti penerimaan/pembayaran uang atas pembelian/penjualan barang/jasa.
b. Impor BKP :
1) Pemeberitahuan Impor Barang (PIB) dan Surat Setoran Pajak atau bukti
pungutan pajak oleh Direktorat Jendral Bea dan Cukai yang merupakan satu
kesatuan yang tidak terpisahkan dengan PIB tersebut;
306
PPN dan PPN BM
307
PPN dan PPN BM
Kepala KPP selanjutnya dapat menerbitkan Surat Permintaan Bukti atau Dokumen
kepada PKP. Dalam hal ini, bukti-bukti atau dokumen-dokumen yang disusulkan tetap
harus dilengkapi seluruhnya paling lambat 1(satu) bulan sejak saat diterimanya
permohonan.
Jika jangka waktu penyampaian dokumen susulan berakhir PKP tidak melengkapi
seluruh bukti-bukti atau dokumen-dokumen yang dipersyaratkan dalam permohonan
pengembalian, saat diterimanya permohonan secara lengkap adalah saat berakhirnya
jangka waktu 1(satu) bulan sejak saat permohonan diterima. Saat permohonan
diterima disesuaikan dengan jenis permohonan yang disampaikan oleh Wajib Pajak,
apakah melalui SPT Masa PPN dengan cara mengisi kolom “Dikembalikan” atau
dengan menyampaikan surat permohonan restitusi tersendiri.
Meski demikian, Kepala KPP harus menerbitkan Surat Pemberitahuan kepada PKP
paling lambat pada saat penyampaian pemberitahuan hasil pemeriksaan. Bukti-bukti
atau dokumen-dokumen yang disusulkan setelah jangka waktu satu bulan terlewati
tidak diperhitungkan pada saat pemeriksaan, pada saat keberatan, maupun pada saat
banding.
308
PPN dan PPN BM
PEMERIKSAAN/PENELITIAN
Dalam setiap permohonan restitusi, Wajib Pajak harus bersiap dengan
pemeriksaan/penelitian yang akan dilakukan. Khusus untuk Wajib Pajak yang
termasuk dalam kriteria tertentu, pemeriksaan tersebut dapat dilakukan setelah
permohonan restitusi dikabulkan. Untuk permohonan restitusi yang diajukannya,
terhadap Wajib Pajak kriteria tertentu hanya dilakukan penelitian.
Namun jika Wajib Pajak dilakukan pemeriksaan dan Direktur Jendral Pajak
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), maka jumlah kekurangan
pajak ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100 % (seratus
persen) dari jumlah kekurangan
1. PKP yang melakukan kegiatan tertentu 2 (dua) bulan sejak saat diterimanya
(ekspor BKP dan/atau penyerahan BKP permohonan secara lengkap
dan/atau JKP kepada Pemungut PPN)
yang memiliki resiko rendah
3 PKP selain PKP dengan kriteria tertentu 12 (dua belas) bulan sejak saat
dan PKP yang melakukan kegiatan diterimanya permohonan secara
tertentu sebagaimana dimaksud pada lengkap
angka 1 dan 2
309
PPN dan PPN BM
Apabila jangka waktu penerbitan SKP di atas telah lewat dan Direktur Jendral Pajak
tidak menerbitkan surat ketetapan Pajak atau surat Keputusan, maka permohonan
pengembalian yang diajukan dianggap dikabulkan. Surat ketetapan Pajak Lebih Bayar
atau Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak harus
diterbitkan paling lambat 1(satu) bulan setelah jangka waktu tersebut berakhir.
310
PPN dan PPN BM
DASAR HUKUM :
• PER 146/PJ./2006 tentang Bentuk, Isi, Dan Tata Cara Penyampaian Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN);
• Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 44/PJ/2010 Tentang Bentuk, Isi,
Dan Tata Cara Pengisian Serta Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai (Spt Masa PPN).
• yang diperkenankan seperti diskette, flashdisk atau compact diisc (CD) yang diisi
dengan menggunakan program aplikasi pengisian SPT (e-SPT) yang disediakan
oleh Ditjen Pajak.
• SPT Masa PPN secara elektronik adalah SPT Masa PPN yang disampaikan secara
on-line (e-Filing) melalui Penyedia Jasa Aplikasi (Application Service Provide/ASP)
yang telah ditunjuk oleh Ditjen Pajak.
SPT Masa PPN 1111 digunakan oleh PKP yang menggunakan mekanisme Pajak
Masukan dan Pajak Keluaran (Normal) selain PKP yang menggunakan pedoman
penghitungan pengkreditan Pajak Masukan yang terdiri dari
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengisian dan penyampaian SPT Masa
PPN 1111.
311
PPN dan PPN BM
• Formulir SPT Masa PPN 1111 dalam bentuk file PDF terlebih dahulu dicetak,
selanjutnya PKP dapat mengisi formulir SPT Masa PPN 1111 tersebut,
menandatanganinya kemudian menyampaikannya ke KPP atau KP2KP.
• Faktur Pajak yang diisikan dalam Formulir 1111 A2 – Daftar Pajak Keluaran atas
Penyerahan Dalam Negeri dengan Faktur Pajak, adalah Faktur Pajak selain
yang digunggung yang dilaporkan dalam Formulir 1111 AB – Rekapitulasi
Penyerahan dan Perolehan pada butir I huruf B angka 2.Faktur Pajak yang
dilaporkan secara gunggungan adalah Faktur Pajak yang tidak diisi dengan
identitas pembeli serta nama dan tanda tangan penjual sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (1) huruf e angka 2) Undang-Undang KUP.
Dalam hal PKP merupakan pedagang eceran, namun PKP tersebut juga
melakukan penyerahan yang Faktur Pajaknya:
dan menggunakan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak yang strukturnya mengikuti
ketentuan dalam peraturan mengenai Faktur Pajak, PKP melaporkan Faktur Pajak
dimaksud dalam Formulir 1111 A2 – Daftar Pajak Keluaran atas Penyerahan Dalam
Negeri dengan Faktur Pajak.
• Faktur Pajak Khusus yang menggunakan kode transaksi ’06′ yang diterbitkan
oleh PKP Toko Retail yang ditunjuk yang melakukan penyerahan BKP kepada
orang pribadi pemegang paspor luar negeri semula dilaporkan secara
gunggungan pada butir III – Penyerahan Dalam Negeri dengan Faktur Pajak
Sederhana dalam Lampiran 1 – Daftar Pajak Keluaran dan PPnBM Formulir 1107
A sedangkan rinciannya dilaporkan dalam lampiran SPT Masa PPN yaitu Daftar
Rincian Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) kepada Orang Pribadi Pemegang
Paspor Luar NegeriDalam SPT Masa PPN 1111, Faktur Pajak Khusus tersebut
dilaporkan dalam Formulir 1111 A2 – Daftar Pajak Keluaran atas Penyerahan
Dalam Negeri dengan Faktur Pajak dan PKP Toko Retail tersebut tidak perlu
membuat rincian penyerahan BKP kepada orang pribadi pemegang paspor luar
negeri.
312
PPN dan PPN BM
• Faktur Pajak atas perolehan BKP/JKP yang diterima oleh PKP yang melakukan
penyerahan yang terutang dan tidak terutang pajak, dilaporkan di 2 (dua)
tempat, yaitu di Formulir 1111 B2 – Daftar Pajak Masukan yang Dapat
Dikreditkan atas Perolehan BKP/JKP Dalam Negeri, sebesar jumlah yang dapat
dikreditkan dan di Formulir 1111 B3 – Daftar Pajak Masukan yang Tidak Dapat
Dikreditkan atau yang Mendapat Fasilitas, sebesar jumlah yang tidak dapat
dikreditkan. Selanjutnya sesuai ketentuan, PKP melakukan penyesuaian setiap
akhir tahun sampai dengan selesainya masa manfaat BKP/JKP terkait dalam
Formulir 1111 AB butir III huruf B angka 3 – Hasil Penghitungan Kembali Pajak
Masukan yang telah dikreditkan sebagai penambah (pengurang) Pajak
Masukan.
• Nota Retur yang dilaporkan dalam Lampiran SPT Masa PPN 1111 dikaitkan
dengan Faktur Pajaknya. Dalam hal Nota Retur tersebut terkait dengan Faktur
Pajak yang dapat dikreditkan, maka Nota Retur tersebut dilaporkan dalam
Formulir 1111 B2 – Daftar Pajak Masukan yang Dapat Dikreditkan atas
Perolehan BKP/JKP Dalam Negeri. Dalam hal PKP menerbitkan Nota Retur yang
terkait dengan Faktur Pajak yang tidak dapat dikreditkan atau mendapat
fasilitas, maka Nota Retur tersebut dilaporkan dalam Formulir 1111 B3 – Daftar
Pajak Masukan yang Tidak Dapat Dikreditkan atau yang Mendapat Fasilitas.
PKP yang telah menyampaikan SPT Masa PPN 1111 dalam bentuk data elektronik,
tidak diperbolehkan lagi untuk menyampaikan SPT Masa PPN 1111 dalam bentuk
formulir kertas (hard copy).
Sebagai contoh, PKP dalam SPT Masa PPN Masa Pajak Januari sampai dengan Mei
2011 melaporkan Faktur Pajak yang diterbitkan dan nota retur yang diterima dalam
Formulir 1111 A2 pada setiap masa tidak melebihi 25 dokumen. Pada bulan Mei, PKP
melakukan pembetulan SPT Masa PPN Masa Pajak Februari 2011 yang mengakibatkan
dokumen yang dilaporkan dalam Formulir 1111 A2 lebih dari 25.
Dalam hal demikian, PKP wajib menyampaikan pembetulan SPT Masa PPN Masa Pajak
Februari 2011 dalam bentuk data elektronik. Untuk masa pajak berikutnya yaitu Masa
Pajak Juni 2011, PKP wajib menyampaikan SPT Masa PPN 1111 dalam bentuk data
elektronik.
Dalam hal PKP melakukan pembetulan SPT Masa PPN untuk Masa Pajak sebelum Masa
Pajak Januari 2011, pembetulan dilakukan dengan menggunakan formulir SPT Masa
PPN yang sama dengan formulir SPT Masa PPN yang dibetulkan. Sebagai contoh, PKP
yang melakukan pembetulan SPT Masa PPN Masa Pajak April 2009 yang SPT
Normalnya menggunakan Formulir 1107, pembetulannya menggunakan Formulir
313
PPN dan PPN BM
1107. Namun apabila PKP pada Masa Pajak April tersebut menggunakan Formulir
1108, maka pembetulannya menggunakan Formulir 1108.
• Bagi PKP yang menerbitkan tidak lebih daru 30 (tiga puluh ) FP Standar dalam satu
masa pajak (bulan), diperbolehkan menyampaikan SPT Masa PPN dalam secara
manual atau elektronik;
• Bagi PKP yang menerbitkan lebih dari 30 (tiga puluh) FP standar dalam satu masa
pajak (bulan), wajib menyampaikan SPT Masa PPN secara elektronik.
Apabila PKP yang dalam satu masa pajak menerbitkan lebih dari 30 FP Standar namun
menyampaikan SPT Masa PPN secara manual, maka PKP yang bersangkutan dianggap
belum menyampaikan SPT Masa PPN dan dapat dikenai sanksi perpajakan yang
berlaku.
Sedangkan SPT Masa dalam bentuk elektronik yang disampaikan secara on-line atau
e-Filling harus disampaikan melalui ASP yang telah mendapat pengesahaan dari Dirjen
Pajak.
DASAR HUKUM :
o Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-05/PJ./2005 tentang Tata cara Penyampaian
Surat Pemberitahuan secara Elektronik (e-Filing) melalui Perusahaan Penyedia
Jasa Aplikasi (ASP)
PENGERTIAN
✓ Surat Pemberitahuan adalah surat Pemberitahuan Masa atau Surat Pemberitahuan
Tahunan yang berbentuk formulir elektronik dalam media computer (e-SPT).
✓ Penyampaian Surat Pemberitahuan secara elektronik (e-Filing) adalah suatu cara
penyampaian Surat Pemberitahuan yang dilakukan melalui system on-line yang real
time.
314
PPN dan PPN BM
✓ Penyedia Jasa Aplikasi atau Application Service Provider (ASP) adalah perusahaan
Penyedia Jasa Aplikasi (ASP) yang telah ditunjuk oleh Direktur Jendral Pajak sebagai
perusahaan yang dapat menyalurkan penyampaian Surat Pemberitahuan secara
elektronik di Direktorat Jendral Pajak.
✓ Electronic Filing Identification Number (Efin) adalah nomor identitas yang diberikan
oleh Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar kepada Wajib Pajak yang
mengajukan permohonan untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan secara
elektronik (e-filing).
• WP dapat menyampaikan Surat Pemberitahuan secara elektronik (e-filing)
melalui satu atau beberapa perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi (ASP) ditunjuk
oleh Direktur Jendral Pajak.
• WP yang akan menyampaikan Surat Pemberitahuan harus memiliki Electronic
Filing Identification Number (Efin) dan memperoleh Sertifikat (digital
certificate) dari Direktorat Jendral Pajak.
a. Alamat yang tercantum pada permohonan sama dengan alamat dalam database
(master file) WP di Direktorat Jendral Pajak ; dan
b. Bagi WP yang telah mempunyai kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan,
telah menyampaikan :
1) Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Orang Pribadi atau Badan
untuk tahun Pajak Terakhir;
2) Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Pasal 21 untuk Tahun Pajak
terakhir;
3) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai untuk 6 (enam) Masa Pajak
terakhir.
KEPUTUSAN PERMOHONAN
Kepala KPP harus memberikan keputusan atas permohonan yang diajukan oleh WP
untuk memperoleh eFin paling lama 2 hari kerja sejak permohonan diterima secara
lengkap. Dalam hale Fin hilang, WP dapat mengajukan permohonan pencetakan ulang
315
PPN dan PPN BM
dengan syarat menunjukan asli kartu NPWP atau surat Keterangan Terdaftar dan
dalam hal PKP, asli Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
Apabila Surat Pemberitahuan telah dinyatakan lengkap oleh Direktorat Jendral Pajak,
kepada WP diberikan Bukti Penerimaan secara elektronik yang dibubuhkan pada
bagian bawah induk Surat Pemberitahuan yang telah diterima oleh Direktorat Jendral
Pajak.
Bukti Penerimaan secara elektronik berisi informasi yang meliputi NPWP, tanggal, jam,
Nomor Transaksi Penyampaian Surat Pemberitahuan (NTPS) dan Nomor Transaksi
Pengiriman ASP (NTPA) serta nama Perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi (ASP).
PENYAMPAIAN SPT
Penyampaian Surat Pemberitahuan secara elektronik dapat dilakukan selama 24 jam
sehari dan 7 hari seminggu dengan standar Waktu Indonesia Bagian Barat. Surat
Pemberitahuan yang disampaikan secara Elektronik pada akhir batas waktu
penyampaian Surat Pemberitahuan yang jatuh pada hari libur, dianggap disampaikan
tepat waktu.
316
PPN dan PPN BM
a. 14 hari sejak batas terakhir pelaporan Surat Pemberitahuan dalam hal Surat
Pemberitahuan disampaikan sebelum batas akhir penyampaian;
b. 14 hari sejak tanggal penyampaian Surat Pemberitahuan secara elektronik dalam
hal Surat Pemberitahuan disampaikan setelah lewat batas akhir penyampaian.
Apabila kewajiban menyampaikan induk Surat Pemberitahuan beserta ssp (bila ada)
dan dokumen lainnya yang wajib dilampirkan disampaikan melalui pos secara tercatat,
tanggal penerimaan induk Surat Pemberitahuan beserta lampirannya adalah tanggal
yang tercantum pada bukti pengiriman surat.
http://www.mitrapajak.com http://www.onlinepajak.com
http://www.laporpajak.com http://www.setorpajak.com
http://www.taxreport.co.id http://www.pajakmandiri.com
http://www.layanananpajak.com http://www.spt.co.id
317
Development by
TIM PENGEMBANGAN MODUL
Follow us on @taxcenter_tazkia