Anda di halaman 1dari 290

M.

Ghozali

KONTROVERSI REINTERPRETASI KITAB


UQUD AL-LUJJAYN KARYA SYAIKH
MUHAMMAD NAWAWI AL-BANTANI
Tentang Relasi Suami Istri

Kasus Perdebatan Antara FK3, PP Sidogiri, dan PP Lirboyo

i
Kontroversi Reinterpretasi Kitab Uqud Al-Lujjayn Karya
Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani
M. Ghozali

xiii + 276 halaman; 14 x 21 cm


ISBN:

Penulis: M. Ghozali
Tata Letak: Sam Sija
Perancang Sampul: Ali Adhim

Cetakan Pertama, Oktober 2019

Diterbitkan oleh:
PENERBIT ARAHBACA
(Kelompok Penerbit Galiung)
Malang - Indonesia
Telp: +6282244848787
Email: arahbaca@gmail.com

Copyright 2019
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip atau
memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun tanpa
izin tertulis dari penerbit.

ii
KATA PENGANTAR

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di


antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan
beberapa derajat. (al-Mujadilah: 11)
“al-Muhafadhatul ala Qadimi as-Shalih , Wa al-Akhdzu bi al-
Jadidi al-ashlah”

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Alhamdulillah, segala puji dan syukur hanya kepada Allah
Swt. Tuhan semesta alam, yang telah telah memberikan rahmat,
hidayah dan dan karunia-Nya. Setelah melalui berbagai rintangan
dan bimbingan akhirnya kami dapat menyelesaikan tugas akhir
dan Studi Islam Nusantara di Universitas Nahdlatul Ulama
Jakarta. Shalawat dan Salam senantiasa tercurahkan kepada
penghulu alam, Nabi Muhammad Saw. serta keluarganya,
sahabatnya dan para pengikutnya yang setia sampai akhir zaman.
Ada pepatah. “Tak kenal maka tak sayang”, jika pepatah
ini dikaitkan dengan keilmuan Nusantara maka pepatah ini
menghantarkan kita supaya mengenal para ulama-ulama
Nusantara dan karya-karyanya, yang tentunya belum banyak kita
ketahui dengan maksimal. Mengetahui para ulama Nusantara
dengan berbagai karya-karya mereka akan menyadarkan kita pada
khazanah keilmuan Nusantara yang begitu banyak dan beragam
sekaligus masih banyak yang belum dikaji ataupun diungkap ke

iii
tengah-tengah masyarakat, khususnya dunia akademisi di
Nusantara.
Hal tersebut menjadi landasan bagi penulis untuk
mempelajari sekaligus mengetahui karya mereka dan tanggapan
para cendekiawan, akademisi dan para ilmuan terhadap karya-
karya mereka. Sebuah karya adalah anak kandung zamannya, dan
lingkungan dimana mereka hidup mempengaruhi cara pandang
mereka, hal inilah yang menjadikan manusia begitu kaya akan cara
pandangnya dan bermacam dalam merespon apa yang ada pada
zamannya, bahkan hal ini pulalah yang juga menjadikan mereka
berbeda dalam merespon dan memahami ajaran-ajaran agamanya.
Secara sederhana dapat dilihat, bahwa seseorang berbeda dalam
merespons teks yang disajikan kepadanya. Hingga dua kutub
muncul dari satu sumber yang sama, tekstualis dan kontekstualis.
Pembelahan ini bukan berarti membenarkan yang satu dan
menyalahkan yang lainnya. Namun yang perlu kita fahami, bahwa
mereka sama berpijak pada satu konsep kebenaran yang dari satu
pijakan tersebut muncul berbagai pemahaman yang memperkaya
khazanah keilmuan.
Inilah yang menarik penulis untuk mempelajari dan
mengkaji dari salah satu karya ulama nusantara yang mendunia,
yang memiliki karya yang banyak namun masih sedikit yang dapat
kita pelajari, kita ungkap dan kita kembangkan dari pemikiran dan
karya mereka. Imam nawawi al-Bantani yang menjadi salah satu
guru besar di negeri Hijaz pada masanya, memiliki karya yang
hingga saat ini masih dan terus dibaca, dipelajari dan dijadikan

iv
rujukan dalam keilmuan Islam Nusantara atau di dunia Islam
lainnya. Salah satu karyanya yang menjadi bahan ajar dan rujukan
di pondok-pondok pesantren dalam relasi rumah tangga adalah
kitab Uqud al-Lujjayn.
Dari karya beliau ini, banyak mendapat respon bahkan
reinterpretasi salah satunya dari FK3, yang kemudian hasil
reinterpretasi tersebut mendatang tanggapan (counter), sehingga
muncul kontroversi. Hal ini menarik untuk ditelaah dan dikaji
sehingga dapat disajikan secara komprehensip. Maka dengan
segala keterbatasan dan kelemahan penulis ingin mengkaji dan
mendalami hal tersebut, sehingga melalui buku ini penulis
melakukan kajian dengan judul, “Kontroversi Reinterpretasi Kitab
Uqud Al-Lujjayn Karya Syaikh Muhammad Nawawi Al-
Bantani” Tentang Relasi Suami Istri Kasus Perdebatan Antara
FK3, PP Sidogiri, dan PP Lirboyo.
Dalam proses penelitian dan penyusunan buku ini, tidak
mungkin penulis dapat menyelesaikan tanpa bantuan, masukan,
diskusi dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu
penulis ucapakan rasa syukur dan ucapan terima kasih yang sangat
tulus dari hati sanubari yang paling dalam kepada :
 Allah Swt. yang telah memberikan kekuatan dan keteguhan
 Universitas Nahdlatul Ulama sebagai almamater tempat
menimba ilmu pengetahuan
 Para Dosen, Dr. Adib Misbachul Islam, M.Hum dan Dr.
KH. Abdul Moqsith Ghazali, MA. Yang penuh kesabaran
dan ketekunan telah memberikan bimbingan

v
 Seluruh Dosen dan Civitas Akademika UNUSIA Jakarta
 Istri dan keluarga yang telah memberi support
 Para sahabat-sahabat Mahasiswa Pascasarjana UNUSIA,
Mas Bashori, ajengan Syamsudin, Ajengan Saep Haedar,
Cak ramdhani, Cak Khoiron. Mas Mufid, Mas Kam
Taufik, Mas Syamsul, Kang Farid, Mas Muhtarom, Mas
Zamroni dan khusushon seluruh kelas C yang telah
berdiskusi dan bertukar pikiran bersama.
 Dan seluruh pihak yang telah membantu terwujudnya tesis
ini
Semoga Allah membalas semua usaha dan amal baik kita
dan semoga UNUSIA terus berjaya dan menjadi kekuatan besar
dalam mewujudkan Islam rahmatan lil ‘Alamin.
Penulis, dengan segala keterbatannya telah berusaha sebaik
mungkin dan semaksimal mungkin namun tentunya tidak ada
yang sempurna hanya Allah Swt. Yang Maha Sempurna. Ada
pepatah yang mengatakan “Tak ada gading yang tak retak”.
Oleh karena itu kritik, saran, nasehat dan masukan yang
konstruktif, positif dan kondusif dari semua kalangan sangat
penulis harapkan.
Akhir kalam, penulis ucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu dan berperan dalam penyusunan
buku ini dari awal sampai akhir. Penulis juga (sekalipun
asasasasasasasas

vi
tidak sempurna) berharap buku ini bermanfaat bagi semua
kalangan lebih-lebih bagi penulis sendiri.

Wallahul Muwaffiq ila Aqwamit Thariq


Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Penulis

vii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .................................................................. iii


Daftar Isi ............................................................................ viii
Daftar Transliterasi .......................................................... x

BAB I PENDAHULUAN ................................................. 1


Latar Belakang Masalah ............................................................. 1

BAB II KITAB UQUD AL-LUJJAYN FI HUQUUQI AL-


ZAUJAYN KARYA SYAIKH NAWAWI
AL-BANTANI .................................................................. 8
A. Biografi Pengarang Kitab Uqud al-Lujjayn ........................ 8
a. Riwayat Hidup Syaikh Nawawi al-Bantani ................... 8
b. Riwayat Pendidikan Syaikh Nawawi al-Bantani ........... 9
c. Karya-Karya Syaikh Nawawi al-Bantani ........................ 14
B. Kitab Uqud al-Lujjayn dalam Tradisi Pesantren ................ 16
C. Isi Kitab Uqud al-Lujjayn Tentang Relasi Suami Istri ....... 19
a. Kewajiban seorang suami terhadap istri ......................... 19
b. Kewajiban seorang istri terhadap suami ......................... 40

BAB III REINTERPRETASI FORUM KAJIAN KITAB


KUNING (FK3) TERHADAP KITAB UQUD AL-
LUJJAYN ........................................................................... 74
A. Profil Forum Kajian Kitab Kuning (FK3) ........................... 74
B. Latar Belakang Munculnya Reinterpretasi atas Kitab Uqud al-
Lujjayn .................................................................................. 78
a. Gerakan Keadilan ............................................................ 78
b. Kesetaraan Gender .......................................................... 79

viii
c. Problem Teks .................................................................. 80
d. Kontekstualisasi Fiqih Perempuan ................................ 83
C. Reinterpretasi Relasi Suami Istri dalam Kitab
Uqud al-Lujjayn ................................................................... 86
a. Kewajiban Suami Terhadap Istri ................................... 86
b. Kewajiban Istri Terhadap Suami ................................... 95

BAB IV ANALISIS FK3, PP SIDOGIRI DAN PP


LIRBOYO TERHADAP KITAB UQUD
AL-LUJJAYN .................................................................... 126
A. Tanggapan PP Sidogiri atas Hasil Reinterpretasi FK3 ....... 128
a. Kewajiban Suami Terhadap Istri ................................... 128
b. Kewajiban Istri Terhadap Suami ................................... 144
B. Tanggapan PP Lirboyo atas Hasil Reinterpretasi FK3 ...... 163
a. Kewajiban Suami Terhadap Istri ................................... 163
b. Kewajiban Istri Terhadap Suami ................................... 190
C. Sintesa atas kajian FK3, PP Sidogiri dan PP Lirboyo ......... 261

BAB V PENUTUP ............................................................ 266


A. Kesimpulan ........................................................................... 266
B. Saran ..................................................................................... 270

DAFTAR PUSTAKA ....................................................... 272

ix
DAFTAR TRANSLITERASI
Di dalam naskah tesis ini dijumpai nama dan istilah teknis
yang berasal dari bahasa Arab ditulis dengan huruf latin. Dalam
penulisan tesis di Pascasarjana Program Magister Universitas
Nahdlatul Ulama (UNISIA) Jakarta, mengacu sebagaimana
ketentuan berikut:
Fonem Konsonan Arab
ARAB LATIN
Kons Nama Konsonan Nama
Alif A Aa
Ba B Be
Ta T Te
Tsa Ts Es (dengan titik di atas)
Jim J Je
Ha H Ha (dengan garis di
bawah)
Kha Kh Ka dan Ha
Dal D De
Zal Z Zet
Ra R Er
Zai Z Zet
Sin S Es
Syin Sy Es dan Ye
Sad Sh Es dan Ha
Dad Dh De dan Ha
Tha Th Te dan Ha
Za Zh Zet dan Ha
Ain -‘ Koma terbalik (di atas)
Ghain Gh Ge dan Ha

x
Fa F Ef
Qaf Q Ki
Kaf K Ka
Lam L El
Mim M Em
Nun N En
Wau W We
Ha H Ha
Hamzah ‘ Apostrof
Ya y Ya

Vocal
Tunggal atau monoftong
Bahasa Arab yang lambangnya hanya berupa tanda atau
harakat, transliterasinya dalam tulisan latin yang lain
dilambangkan dengan huruf sebagai berikut:
Tanda fathah dilambangkan dengan huruf - a
Tanda kasrah dilambangkan dengan huruf - i
Tanda dhammah dilambangkan dengan huruf – u
Vocal Panjang
Bahasa Arab yang lambangnya hanya berupa harakat dan
huruf, transliterasinya dilambangkan dengan huruf dan
tanda macron sebagai berikut:
Huruf - dilambangkan dengan huruf -a
Huruf - dilambangkan dengan huruf -i
Huruf - dilambangkan dengan huruf –u

xi
Vocal rangkap atau diftong
Bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara
harakat dengan huruf, transliterasinya dengan tulisan latin
dilambangkan dengan gabungan huruf sebagai berikut:
Vocal rangkap - dilambangkan dengan gabungan huruf -au,
misalnya syauma
Vocal rangkap - dilambangkan dengan gabungan huruf -ai,
misalnya laila
Kata Sandang
Kata sandang dengan huruf alif-lam qamariyah dan syamsiyah
Bahasa Arab transliterasinya dengan tulisan latin
dilambangkan dengan gabungan huruf yang sesuai dengan
bunyi dan ditulis terpisah dari kata yang mengikuti dan
diberi tanda samping sebagai penghubung misalnya, ar-
ridha dan al-fatawa, as-syams.
Syaddah dan tasydid
Huruf Arab yang dilambangkan dengan tanda syaddah dan
tasydid, transliterasinya dalam tulisan latin dilambangkan
dengan huruf yang sam dengan huruf yang bertanda
syaddah tersebut. Di akhir kata ataupun yang terletak
setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyah.
Contoh: Amantu billahi, inna al-ladzina kafaruu.
Ta’ marbuthah
Apabila berdiri sendiri, waqaf atau diikuti kata sifat maka
huruf tersebut dengan huruf “h”, contoh: al-Af’idah,

xii
sedangkan ta’ marbuthah yang dilambangkan dengan
huruf “t”, misalnya, al-Hayah al-Islamiyah atau al-
Hayatul Islamiyah
Huruf Kapital
Sistem penulisan huruf Arab tidak mengenal huruf kapital,
akan tetapi apabila sudah dialih aksarakan maka berlaku
ketentuan ejaan yang disempurnakan (EYD) bahasa
Indonesia, Seperti penulisan awal kalimat, huruf awal nama
tempat, nama bulan, nama diri dan lain-lain. Ketentuan
yang berlaku pada EYD berlaku pula dalam alih aksara ini,
seperti cetak miring atau cetak tebal atau ketentuan lainnya.
Adapun nam diri yang diawali dengan kata sandang, maka
huruf yang ditulis kapital adalah awal nama diri, bukan kata
sandangnya. Contoh: ‘Ali Hasan al-‘Aridh, al-Asqalani,
al-farmawi, dan lain-lain. Khusus untuk penulisan kata al-
Qur’an dan nama-nama surahnya menggunakan huruf
kapital. Contoh: al-Qur’an, al-Baqarah, al-fatihah dan
lain-lain.

xiii
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah


Di Nusantara muncul para ulama yang memiliki karakter
dan wawasan keilmuan yang mumpuni dan mendunia, mereka
menjadi tokoh-tokoh sentral dalam pergolakan pemikiran dan
perkembangan ilmu Islam, tidak saja hanya di Hijaz, namun juga
di seantero jagad raya. Sebut saja diantaranya, Syaikh Ahmad
Khatib bin Abdul Lathif al-Minangkabawi al-Makki, Syaikh
Muhammad Mahfudz bin Abdullah al-Termasi al-Makki, Syaikh
Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani al-Makki, Syaikh Junaid al-
Batawi al-Makki, Syaikh Abdul Karim al-Bantani al-Makki,
Syaikh Ali bin Abdullah al-Banjari al-Makki, Syaikh Ahmad
Nakhrowi al-Banyumasi al-Makki, syaikh Muhammad Zainuddin
al-Baweani al-Makki dan syaikh Muhammad Nawawi bin Umar
al-Bantani al-Makki dan lain-lainnya.
Kiprah mereka di jagad ilmu keislaman diakui oleh ulama-
ulama besar dunia pada masanya. Bukan hanya dalam aktifitas
menulis karya-karya besar dalam berbagai disiplin keilmuan Islam,
namun mereka juga menjadi pengajar di pusat ilmu, yakni
Haramain. Dari tangan-tangan mereka muncul karya-karya
gemilang yang menjadi kitab panduan dan rujukan dalam literatur
keislaman. Dalam tradisi pesantren karya-karya ulama tersebut
dikenal dengan sebutan kitab kuning. Dinamakan demikian
menurut Azyumardi Azra karena memiliki format yang khas dan

1
warna kertas kekuning-kuningan. Salah satu penamaan kitab
klasik dengan kitab kuning karena dilihat dari sisi warnanya,
walaupun pada masa sekarang kitab kuning tersebut telah
mengalami pergeseran seiring dengan perkembangan teknologi
percetakan. Kini kitab kuning telah banyak di cetak dengan
menggunakan kertas putih dan telah dikemas secara modern.
Bahkan kini kitab kuning yang juga di kenal dengan kitab gundul
(tanpa harakat/syakl) kini telah diberi harakat/syakal. Namun
secara umum kitab kuning memiliki ciri yang khas. Pertama,
selalu didahului dengan definisi-difinisi secara etimologi dan
terminologi dari setiap tema yang disajikannya. Kedua, setiap
tema dan sub tema yang disajikan diiringi dengan syarat-syarat
yang berkaitan dengan obyek pembahasan. Ketiga, pada tingkat
syarah (ulasan atau komentar) dijelaskan argumentasi penulisnya
dan rujukannya.
Salah satu ulama yang memiliki puluhan karya dalam
berbagai disiplin keilmuan adalah Syaikh Muhammad Nawawi
bin Umar al-Bantani al-Makki. Lahir di Tanara, Serang,
Karesidenan Banten pada tahun 1230H/1813M. Ulama ini
merupakan ulama yang sangat produktif baik kalam maupun
tulisan. Beliau adalah ulama yang mendedikasikan hidupnya
dalam ranah keilmuan, kesibukan beliau berrotasi pada mengajar,
menulis dan beribadah. Tidak diketahui secara pasti berapa
jumlah karya beliau, ada yang mengatakan 99 kitab dan bahkan
155 kitab, namun dari karya-karya beliau hanya sedikit yang dapat
terdeteksi oleh kita.

2
Diantara karya beliau yang menjadi bahan ajar dan kajian di
Nusantara-Indonesia terutama dunia pesantren sampai saat ini
adalah kitab Uqud al-Lujjayn Fi Bayani Huquqiz Zaujayn kitab
yang dijadikan sumber pengajaran dalam kehidupan rumah
tangga. Kitab ini adalah sebuah kitab kecil yang disusun oleh
Syaikh Nawawi dalam menjelaskan tata cara pergaulan suami-istri
menyangkut hak dan kewajiban mereka, berdasarkan al-Qur’an,
Hadis Nabi dan kisah dan beberapa pendapat pribadi.
Seiring dengan perkembangan zaman dan canggihnya
teknologi informasi maka terjadi perubahan dalam pranata
kehidupan masyarakat. Relasi antara laki-laki dan perempuan pun
mengalami perubahan dan pergeseran. Dulu wanita yang hanya
diasumsikan sebagai pelengkap dalam strata sosial, perannya
hanya berada di ranah domestik (rumah tangga) kini justru
sebaliknya banyak wanita berkiprah di ranah publik sampai
politik. Tidak sedikit para wanita justru mengambil peran laki-laki
dalam berbagai aspek kehidupan, sehingga tatanan kehidupan
dalam keluarga pun mengalami pergeseran.
Munculnya gerakan feminisme di barat maupun di
berbagai negara-negara Muslim merupakan bentuk respon atau
ketidakpuasan atas dominasi laki-laki dalam berbagai aspek
kehidupan, dari gerakan feminisme yang bersifat radikal, moderat
sampai gerakan feminisme Muslim. Faktor kemajuan dunia
pendidikan juga membawa dampak perubahan relasi antara laki-
laki dan perempuan, bahkan dalam relasi rumah tangga. Para
wanita telah memahami secara luas pola hubungan yang

3
berkeadilan, kesetaraan, kesamaan dan kesempatan di ruang
publik.
Maka dengan berkembangnya wacana relasi tersebut
muncul istilah gender dan sek (jenis kelamin), yang pertama
merupakan jenis kelamin sosial dan yang kedua adalah jenis
kelamin biologis. Perbedaan jenis kelamin biologis merupakan
sesuatu yang given (kodrati), bahwa wanita itu berbeda secara
biologis dengan laki-laki. Wanita memiliki payudara, vagina,
mengandung, menyusui dan melahirkan. Sedangkan laki-laki
berbeda, ia memilki penis, memproduksi sperma berjanggut dan
berkumis. Sedangkan gender adalah, sifat yang melekat pada laki-
laki maupun wanita yang dibangun secara sosial, politik, budaya
dan kultural.
Dengan semakin masifnya gerakan feminisme, maka
muncul gerakan-gerakan feminisme yang menggelorakan keadilan
dan kesetaraan gender. Apapun yang dianggapnya tidak
mendukung kesetaraan harus ditinjau ulang dan dilakukan
perubahan, baik itu politik, budaya, tradisi, bahkan ajaran agama
(Islam-Fiqih). Dengan semakin berkembangnya peradaban,
kebudayaan, pendidikan, ekonomi, politik, komunikasi dan strata
sosial maka muncul problem-problem kehidupan yang yang pada
masa sebelumnya tak terpikirkan dan terdeteksi yang muncul
pada saat sekarang. Maka dari sinilah terjadi pergeseran relasi
antara manusia, tak terkecuali relasi suami istri dalam rumah
tangga.

4
Perubahan-perubahan yang terjadi tidak saja di ranah
budaya dan tradisi tapi juga merambah dalam pemahaman
keagamaan (Islam). Maka bermunculan penafsiran-penafsiran
baru (reinterpretasi) dari teks-teks agama. Menurut Farha Ciciek
(terutama pemahaman keagamaan yang berkaitan dengan
perempuan) dapat dikelompokkan dalam lima bentuk. Pertama,
kelompok perempuan yang meninggalkan agama “tradisional”
dan memilih pemaknaan hidup dengan ideologi profan. Kedua,
kelompok yang menciptakan agama baru baik dengan khazanah
lama atau perspektif baru. Ketiga, tetap berpegang pada agama
tradisional (lama) namun bersikap kritis dengan melakukan
reinterpretasi. Keempat, Tetap mengikuti alur mainstream agama
tradisional sekalipun mendiskriminasi kaum hawa. Kelima,
“Konservatisasi” ajaran agama “tradisional” dengan intensitas
yang beragam.
Terjadinya diskursus dan penafsiran ulang atau
reinterpretasi dari satu karya Ulama Nusantara tentunya
membuat khazanah keilmuan Nusantara menjadi semakin ramai
dan berkembang, bahkan perkembangan tersebut mengundang
para intektual muslim dan non muslim untuk melakukan kajian
dan penafsiran ulang (reinterpretasi) terhadap karya-karya ulama
masa lalu agar dapat dibaca dan difahami generasi sekarang.
Diperlukan penafsiran ulang atas karya-karya masa lalu atas relasi-
relasi yang terjadi di masyarakat dan dalam rumah tangga terhadap
karya-karya yang menjadi acuan pada masanya untuk masa kini.
Kitab Uqud al-Lujjayn karya Imam Nawawi al-Bantani adalah
salah satu Ulama Nusantara yang sangat dikenal di penjuru negeri

5
Islam terutama Haramain dan Jawi (Nusantara), yang mayoritas
karyanya dihasilkan di sana dan menggunakan bahasa Arab.
Dalam tesis ini, penulis akan melakukan kajian terhadap
reinterpretasi atas kitab tersebut yang berkaitan dengan relasi
suami istri yang dilakukan oleh Forum Kajian Kitab Kuning
(FK3) yang kemudian mengundang reaksi atau sanggahan atas
kajian tersebut dari Pesantren Sidogiri dan Pesantren Lirboyo.
Sejauh pengetahuan penulis, kajian reinterpretasi terhadap kitab
tersebut masih jarang dilakukan.
Melakukan kajian reinterpretasi hasil karya ulama-ulama
masa lalu tentunya sangat menarik terutama jika dikaitkan dengan
wilayah Nusantara dikarenakan, Pertama, Nusantara memiliki
tradisi, budaya, norma dan peradaban yang beragam termasuk
dalam relasi rumah tangga. Kedua, terjadinya perubahan dan
perkembangan kehidupan, sosial, dan budaya yang ada di
Nusantara. Ketiga, penafsiran terus berkembang mengikuti
perkembangan itu sendiri yang terus terjadi di tengah-tengah
kehidupan. Keempat, melakukan kajian reinterpretasi Kitab Uqud
al-Lujjyan karya Imam Nawawi al-Bantani tentunya diperlukan
terus agar dapat dicerna masyarakat abad modern terutama di
Nusantara yang tentunya tidak membuang esensinya.
Berangkat dari pemikiran tersebut maka penulis akan
melakukan kajian kitab Uqud al-Lujjayn karya ulama besar Islam
Nusantara Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani al-Makki
dalam kerangka dialektika intelektual Islam Nusantara,
Pembacaan ulang FK3 dan kritik-kritik yang dilontarkan kepada

6
FK3 atas kajiaannya, dalam hal ini kritik tersebut dilakukan oleh
Team dari Pesantren Sidogiri dan Pesantren Lirboyo.
Hemat penulis penelitian ini penting karena merupakan
salah satu usaha untuk melihat relevansi dan eksistensi karya-karya
ulama masa lalu untuk melakukan kontekstualisasi pada masa
modern ini, oleh karena itu pada penelitian ini akan melihat,
Pertama, Kenapa muncul reinterpretasi terhadap Kitab Uqud al-
Lujjayn?. Kedua, Bagaimana reinterpretasi FK3 terhadap Kitab
Uqud al-Lujjayn karya Imama Nawawi al-Bantani dan Ketiga,
Bagaimana respon yang dilakukan oleh Team Pesantren Sidogiri
dan Lirboyo terhadap reinterpretasi yang dilakukan oleh FK3.

7
BAB II
KITAB UQUD AL-LUJJAYN FI HUQUUQI AL-
ZAUJAYN KARYA SYAIKH NAWAWI AL-
BANTANI

A. Biografi Syaikh Nawawi Al-Bantani


a. Riwayat Hidup Syaikh Nawawi al-Bantani
Beliau adalah salah satu tokoh yang sangat masyhur di
Nusantara terutama di Jawa, beliau banyak memberikan
kontribusi bagi perkembangan Islam di Jawa. Hal ini karena
beliau belajar dan banyak berjuang secara kalam, dan pengajaran
di negeri Hijaz yang menjadi pusat ilmu Agama Islam pada abad
19 sampai beliau wafat. Kemasyhuran beliau di Jawa bukan saja
menguasai Ilmu-Ilmu keislaman namun karena beliau
memberikan kontribusi yang besar bagi perjuangan rakyat
Indonesia dalam melawan penjajah. Imam Nawawi lahir di
Tanara, Serang, Karesidenan Banten tahun 1230 H/1813 M.
Belum di dapat data yang pasti tentang tanggal dan bulan
kelahiran beliau, karena kemungkinan saat itu belum ada data
kependudukan yang berlaku, sedangkan tahun kelahirannya
berdasarkan data-data sejarah atau peristiwa yang terjadi.
Nama lengkap Imam Nawawi adalah Muhammad Nawawi
bin Umar bin Arbi al-Jawi al-Bantani, Julukan al-Jawi adalah
sebagai bentuk penjelasan bahwa beliau berkebangsaan Jawa,
Walaupun Jawa lebih dikenal sebagai sebuah bangsa hal ini karena

8
saat itu Indonesia belum terbentuk sebagai sebuah bangsa.Jawi
yang secara harfiah berarti Jawa dikalangan Ulama yang berada di
Haramain berarti para ulama yang ketika itu berasal dari
Nusantara walaupun mereka bukan dari Jawa, seperti Palembang,
Sumatra, Aceh dan lainnya. Sedangkan kata al-Bantani sebagai
nisbat yang digunakan untuk membedakan dari tokoh Islam yaitu
Syekh Nawawi dari Nawa Damaskus yang hidup sekitar abad 13
H. Adapun Bapaknya adalah Umar bin Arbi, merupakan salah
satu tokoh agama yang diangkat oleh belanda menjadi seorang
penghulu dan pemangku Masjid serta pengasuh pesantren. Dari
Kyai Umar inilah muncul seorang ulama besar yang namanya
sangat harum di Nusantara maupun manca Negara, karena sangat
masyhurnya sampai namanya terukir dalam salah satu Kamus
Besar Arab Al-Munjid.

b. Riwayat Pendidikan Imam Nawawi


Imam Nawawi terlahir dari keluarga yang agamis yang cinta
terhadap ilmu, ayahnya Haji Umar merupakan salah satu tokoh
yang menjadi panutan dan rujukan pengetahuan agama di
lingkungannnya dan ibunya Zubaidah adalah salah satu
keturunan yang nasabnya bersambung sampai ke Muhammad
Singaraja, yaitu Imam Nawawi bin Zubaidah bin Muhammad
Singaraja. Masa kecil Imam Nawawi sebelum menimba ilmu di
Hijaz di habiskan waktunya untuk mencari ilmu beserta kedua
saudaranya Tamim dan Ahmad dari orang tuanya langsung yaitu
Haji Umar, kemudian mereka juga berguru kepada salah satu

9
ulama di banten yaitu Haji Sahal, Dan kemudian juga menimba
ilmu dari salah satu ulama di Purwakarta, Karawang Jawa Barat,
yang bernama Raden Haji Yusuf. Banyak ilmu-ilmu yang telah
dipelajari oleh Imam Nawawi sebelum melamjutkan studinya ke
Haramain, yaitu ilmu, Nahwu, Shorof, Fikih, Tauhid dan Tafsir.
Seusai mondok di Pesantren Haji Yusuf Imam Nawawi
tidak langsung pulang, hal ini karena imam Nawawi dan kedua
adiknya teringat dengan pesan ibunya, yang melarangnya pulang
kerumah sebelum pohon kelapa yang ditanam berbuah. Maka
ketiga kaka beradik tersebut melanjutkan pengembaraan ilmunya
ke wilayah Cikampek. Di pesantren tersebut mereka diuji terlebih
dahulu untuk mengetahui tingkatan keilmuan kakak beradik
tersebut, karena pesantren tersebut terkenal dengan ilmu alatnya
(Nahwu dan Shorof). Dan melalui tes tersebut ternyata mereka
dinyatakan lulus dan tidak perlu berlama-lama menimba ilmu di
pesantren tersebut.
Dikisahkan bahwa suatu hari imam Nawawi dan kedua
adiknya dipanggil kerumah gurunya, mereka diperintahkan untuk
pulang karena pohon kelapa yang ditanam dirumahnya telah
berbuah. Maka kepulangan mereka disambut dengan suka cita
oleh keluarganya, terutama bapaknya yang mengharapkan anak-
anaknya dapat membantu menyebarkan ilmu dan mengajar di
pesantren dan masjid yang dipegangnya. Maka dengan tampilnya
Nawawi muda majlis dan pesantren menjadi semakin ramai dan
banyak yang berdatangan menimba ilmu darinya, walaupun
Imam Nawawi masih relatif muda namun karena kecerdasannya

10
menjadikan para penuntut ilmu berbondong-bondong datang
untuk belajar kepadanya.
Pada saat Imam Nawawi berusia 13 tahun tepatnya pada
tahun 1826 orang tuanya Haji Umar wafat. Maka pengasuhan
pesantren diserahkan kepadanya karena beliau anak sulung dari
tujuh bersaudara. Pada saat itu situasi politik sedang dalam
keadaan genting, dimana pada saat itu masih terjadi perang Jawa
atau perang Diponegoro yang terjadi antara tahun 1825 – 1830.
Ketika itu situasi politik sedang panas sehingga para kyai yang
berada diwilayah jawa tidak dapat menjalankan dakwah dan
pengajaran ilmu agama di pesantren karena para santri dan kyai
pondok pesantren terlibat dalam peperangan tersebut.
Pada usia 15 tahun dengan berbekal ilmu yang
dipelajarinya amam Nawawi berangkat ke Makkah, sebenarnya
tujuan utamanya adalah untuk menunaikan ibadah haji, namun
selepas itu beliau mukim sekitar tiga tahun dan mendalami ilmu-
ilmu agama Islam disana. Ada beberapa factor yang menyebabkan
Imam Nawawi berkeinginan untuk berangkat ke Haramain,
diantaranya adalah
Pertama, Menunaikan Ibadah Haji, Keinginan untuk
menjalankan rukun Islam yang kelima ini begitu kuat, walaupun
peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintahan Hindia Belanda
begitu ketat, bukan hanya pembatasan pasport keluar negeri
namun biaya haji begitu mahal dan memberatkan. Namun hal
tersebut tidak menyurutkan keinginan Imam Nawawi.

11
Kedua, Menimba ilmu Agama Islam, sebagaimana
difahami bahwa beliau terlahir dari keluarga agamis dan
berpendidikan, sejak kecil imam Nawawi dididik langsung oleh
orang tuanya untuk belajar dan mencari ilmu. Maka atas didikan
orang tuanya dan kecerdasannya Imam Nawawi menjadi pecinta
ilmu, Karena ia merasa masih muda dan belum puas dengan ilmu
yang selama ini ditimbanya. Hal ini juga tentunya menjadi
imajinasi Nawawi muda dimana pada saat itu Haramain sebagai
tempat turunnya wahyu dan berkembangnya agama Islam yang
tentunya banyak para ulama-ulama yang berada disana. Konon
Imam Nawawi juga termotifasi dari ungkapan Imam Syafi’i yang
berbunyi “Tidak sepantasnya bagi orang yang berakal dan
berilmu berhenti belajar. Tinggalkanlah negerimu, pergilah
mengembara, kelak engkau akan memperoleh pengganti orang-
orang yang engkau tinggalkan. Bersusah payahlah, karena
sesungguhnya tiada kebahagiaan dan kenikmatan hidup setelah
bersusah payah dan menderita”.
Ketiga, Situasi dan kondisi tanah air yang tidak kondusif
untuk perkembangan dan menjalan dakwah dan pendidikan
keagamaan. Berbagai ordonansi Kolonial Belanda sangat
mempersulit masyarakat. Berbagai aktifitas masyarakat diawasi
dan diperketat, Kebijakan untuk menjalankan ibadah haji
dipersulit, bukan hanya membatasi jumlah pasport tapi juga
melangitkan ongkos ibadah haji. Sehingga banyak yang tidak
mampu untuk menunaikannya. Belum lagi pengawasan kepada
para Haji yang telah kembali ke tanah air.

12
Ketika tiba di Hijaz Imam Nawawi tinggal dikoloni Jawa
yang merupakan tempat persinggaham bagi para penuntut ilmu
dari Nusantara. Selama di sana beliau berguru bukan hanya
kepada ulama-ulama Haramain, namu njuga berguru kepada para
ulama dari Nusantara yang telah berdakwah dan mengajar di sana.
Setelah menjalani masa belajar selama tiga tahun pada tahun 1830
Imam Nawawi pulang ke Jawa, sebelum mengajar beliau
menyempatkan diri untuk berguru kepada salah seorang ulama di
Karawang. Setelah itu baru beliau pulang ke kampong halaman
dan mulai melakukan ktifitas dakwah dang pengajaran. Namun
Imam Nawawi tidak dapat leluasa melakukan ktifitasnya karena
masih sangat kuatnya pengawasan dari pihak colonial. Terutama
kepada para ulama para haji yang telah kembali dari Ibadah haji.
Melihat hal tersebut membuat Imam Nawawi berkeinginan
kembali untuk kembali ke Hijaz.
Keinginan kembali ke Hijaz dikarenakan Imam Nawawi
tidak mau berkompromi kepada Kolonial Belanda yang
merupakan penguasa yang dholim, walaupun ayahnya dan
adiknya menjabat penghulu atas titah kolonial. Puncaknya pada
tahun1855 M. beliau berangkat kembali ke Haramain dan tinggal
di perkampungan Jawa dan menimba ilmu kembali kepada para
ulama di sana, baik dari Nusantara, diantaranya, Syekh Khatib
Sambas, Syekh Abdul Ghani, beliau juga berguru kepada para
ulama-ulama besar lainnya, seperti Ahmad Zaini Dahlan, Ahmad
Dimyathi, Yusuf Sumbulaweni, Abdul Hamid Daghastani,
Nahrawi dan Muhammad Khatib Hambali.

13
Pada saat kembali ke Haramain usia beliau sekitar 42 tahun,
pada saat menimba ilmu di haramain, beliau sempat mengembara
dalam mencari ilmu ke Mesir dan Syam. Kemudian beliau
kembali lagi ke Haramain. Hampir tiga puluh tahun menimba
ilmu Imam Nawawi memperoleh perbendaharan ilmu yang
memadai dari para ulama-ulama di sana maka beliau cukup
memadai untuk menjadi ulama dan mengajar di Haramain. Maka
pada tahun 1860 M. Imam Nawawi setiap harinya mulai aktif
mengajar di Masjidil Haram. Selama mengajar beliau dikenal
sebagai guru yang bersahaja, kharismatik dan komunikatif
sehingga para muridnya semakin banyak terutama dari Nusantara.

c. Karya-Karya Imam Nawawi al-Bantani


Beliau adalah sosok yang sangat produktif dalam menulis,
disamping altifitas beliau yang sangat padat dalam dakwah bil
kalam dan bil hal (uswah) beliau juga sangat produktif dalam hal
menulis kitab-kitab dalam berbagai disipiln ilmu agama. Tidak
kurang dari 99 kitab beliau tulis bahkan ada yang mengatakan 115
kitab yang telah beliau tulis namun sebagain besar karya belum
sampai kepada kita. Karya yang beliau menyangkut berbagai
disiplin ilu keislaman baik akidah, hukum (fikih), akhlak
(tasawuf), gramatika arab dan juga tafsir. Sebagian besar karya-
karya beliau di tulis dengan menggunakan bahasa Arab.
Diantara karya-karya beliau adalah, dalam bidang fikih,
yaitu : Fathul Mujid, Kasyifatus Saja, Mirqotul Shu’udl Tashdiq,
Nihayatul Zaien, At-Taustikh, al-Aqdul Samin, Uqudul Lujain,

14
Sullamul Munajat, dan Stimarul Yani’ah. Karya-karya beliau
dalam bidang Teologi dan Akhlak diantaranya yaitu : Bahjatul
wasaail, Fathul Majid, Tijanud Durori, Al-Najah al-Jadidah,
Dzari’ah al-Yakin ala Ummul Barohin, Qomigut Thugyan,
Salalimul Fudholaa, Nashoihul Ibad, dan al-Maroqiul ubudiyyah.
Karya-karya beliau dalam bidang gramatika dan sastra diantaranya
yaitu : Fathul Ghofiril Khottiyyah fi Syarhil Kawakibil Jaliyyah,
Nadzom al-Jurumiyyah li an-Nabrawasi, Lubabul Bayab, al-
Fhusuul Yaqutiyyah alal Raudhol Mahiyyah fi Abwabil
Tashrihiyyah.
Dalam bidang sejarah karya-karya beliau diantaranya yaitu:
Targhibul Mustaqim, al-ibris al-Dani, Madarijul Shu’ud, dan
Fathus Shomad. Diantara karya-karya beliau ada karya yang
dianggap monumental, yaitu Kitab Tafsir al_munir li Ma’alim al-
Tanzil yang memperoleh pengakuan dan penghargaan dari para
ulama Makkah dan Mesir. Pada naskah kitab ini tertulis tahun
penyelesaiannya pada tahun 1866 M. tepatnya pada tanggal 5
Robi’ul awwal tahun 1305 H. Sebelum di cetak di Mesir kitab
tersebut disodorkanj terlebih dahulu kepada para ulama Mesir
untuk diteliti.
Menurut para peneliti keistimewaan karangan Imam
Nawawi adalah, karya-karya mempergunakan bahasa yang lugas
dan mudah sehingga mampu menjelaskan kalimat-kalimat yang
sulit serta gaya bahasanya yang mampu membangkitkan jiwa
pembacanya di sisi lain keluasn isi karangannya. Melalui karya-
karyanya dan karya para murid-muridnya menjadikan Imam

15
Nawawi ulama yang masyhur dan disegani sampai ke Mesir dan
Syiria. Sehingga beliau banyak mendapat gelar yang sangat
mengagumkan pada masanya, seperti Sayyid Ulama al-Hijaz,
Imam Ulama Al- Haramain, Fuqoha, dan Hukama al-
Muta’akhirin.

B. Kitab Uqud al-Lujjayn dalam Tradisi Pesantren


Kiprah Imam Nawawi al-Bantani di jagad ilmu keislaman
diakui oleh ulama-ulam besar dunia pada masanya. Bukan hanya
dalam aktifitas menulis karya-karya besar dalam berbagai disiplin
keilmuan Islam, namun beliau juga menjadi pengajar dipusat ilmu
yakni Haramain. Dari tangannya muncul karya-karya gemilang
yang menjadi kitab panduan dan rujukan dalam literatur
keislaman. Dalam tradisi pesantren karya-karya ulama tersebut
dikenal dengan sebutan kitab kuning. Pengajaran yang sangat
khas dalam dunia pesantren adalah bergantungnya pada kitab
kuning, kitab kuning menjadi bahan ajar yang paling utama dan
pokok dalam literatur pendidikan dunia pesantren. Kitab kuning
yang merupakan karya para ulama menjadi rujukan utama dan
bahkan posisinya sangat sentraldalam lingkungan pesantren,
bahkan dianggap sebagai “kitab suci” yang kebenarannya absolud.
Gusdur (Abdurrahman wahid) dalam salah satu tulisannya
menyatakan, bahwa ada tiga elemen dasar yang dapat
menciptakan pesantren sebagai subkultur. Pertama, Sistem
kepemimpinan yang mandiri yang tidak terkontaminasi oleh
kekuasaan negara, Kedua, kitab-kitab rujukan yang selalu

16
digunakan ndari berbagai abad, dan Ketiga, system nilai yang
digunakan adalah bagian dari system masyarakat. Dalam
pernyataannya tersebut jelas, bahwa Gusdur menjadikan kitab
kuning sebagai salah satu pilar pokok dalam keeksistensian
pesantren.
Manusia adalah makhluk yang memiliki perkembangan
yang mengagumkan dalam proses berfikir, perkembangan
pemikiran manusia bukan hanya pada ranah teknologi dan sosial
namun juga pada masalah pemikiran keagamaan. Pada masa awal
Islam istilah fikih meliputi pengertian disiplin ilmu agama baik
aqidah, ibadah maupun etika. Itulah kenapa kitab karya Imam
Hanafi yang mengupas masalah aqidah disebut dengan al-fikhul
Akbar. Namun seiring dengan perkembangan kehidupan manusia
maka ilmu pun mengalami perkembangan dan kanalisasi atau
karakteristik tertentu sesuai kajian masing-masing.
Perkembangan pemikiran Islam sangat mengagumkan
hingga melahirkan tokoh-tokoh yang fenomenal dalam ilmu
pengetahuan terutama abad pertama hingga ketujuh Hijriah.
Perkembangan pemikiran ini adalah keniscayaan dan keharusan
seiring dengan berkembangnya zaman. Perkembangan pemikiran
Islam pada dasarnya merupakan respon terhadap pemikiran
sebelumnya, sebagaimana perkembangan pemikirin Islam awal
pun tidak dapat dipisahkan dari perkembangan pemikiran pra
Islam, baik dari tradisi pemikiran agama-agama pra-Islam, Arab
pra-Islam atau masa Yunani. Bahwa munculnya para pemikir
Islam pada masa kejayaan Islam tidak lepas dari penterjemahan

17
karya-karya pemikir Yunani kuno pada masa Dinasti Abbasiyyah.
Begitupun munculnya abad pencerahan di daratan Eropa tidak
terlepas dari warisan dan adopsi dan adaptasi dari kejayaan Islam.
Munculnya aliran-aliran pemikiran dalam Islam, baik yang
bernada keras, moderat, modern dan liberal merupakan
ketersinggungan dari kondisi sosial, politik, budaya dan lain-lain.
Menurut al-Syahrastani yang dikutip oleh Sa’dullah Afandi
dalam bukunya Status Agama-Agama pra-Islam, Kajian Tafsir
al-Qur’an atas keabsahan Agama Yahudi dan Nasrani Setelah
Kedatangan Islam. selain mentradisikan ajaran-ajaran agama pra-
islam, ajaran-ajaran yang dibawa Nabi Muhammad juga
mengadopsi tradisi Arab pra-Islam, seperti, Pertama, larangan
seorang lelaki menikahi anak perempuan dengan ibu kandungnya,
saudara laki-laki dengan saudara perempuannya yang senasab,
pernikahan keponakan dengan bibinya. Kedua, Kewajiban mandi
junub setelah melakukan hubungan seksual, Ketiga,
Memandikan, mengkafani, dan menguburkan jenazah. Keempat,
hukuman potong tangan bagi pencuri. Kelima, Menghormati
tanah Haram, dengan tidak melakukan kriminalitas di sekitar
Ka’bah.
Karya-karya Ulama tersebut merupakam hasil olah fikir
yang mendalam yang tentunya mereka jabarkan dari kitab babon
(al-Qur’an dan Hadis). Dari karya-karya mereka muncul syarah,
yaitu mengupas secara lebih jelas dan rinci dari karya induk, dari
syarah muncul lagi Hasyiyah yang memperjelas dan memperinci
dari kitab syarah.

18
C. Relasi Suami Istri Dalam Kitab Uqud al-Lujjayn
a. Kewajiban seorang suami terhadap istri.
Salah satu tanda kekuasaan Allah adalah, diciptakannya
makhluk secara berpasang-pasangan, diantaranya adalah
diciptakannya laki-laki dan perempuan. Penciptaan berpasang-
pasangan tersebut tentunya untuk keseimbangan kehidupan
manusia, karena keseimbangan merupakan kata adil secara
umum. Dalam hal ini suami istri memiliki kelebihan dan
kekurangan dalam rangka harmonisasi kehidupan antara
keduanya. Salah satu keseimbangan adalah adanya kewajiban hak
antara suami istri dalam kehidupan.
Islam merupakan agama yang menekankan keadilan dan
keadilan merupakan ajaran Islam yang paling asasi, esensial dan
universal. Pentingnya keseimbangan tersebut maka Islam
memerintahkan penganutnya selalu bersikap moderat, adil dan
seimbang. Penekanan pada dua poros yang berbeda akan
memunculkan gejolak dan disharmoni. Isyarat dan pernyataan
secara verbal perintah berlaku adil banyak dijumpai dalam al-
Qur’an maupun al-Hadis. Bahkan alam ini diciptakan dalam
keseimbangan dan keteraturan. Dalam kehidupan berrumah
tangga pun Islam memerintahkan agar setiap pasangan berlaku
adil, yaitu menunaikan kewajiban dan mendapatkan haknya.
Munculnya problematika rumah tangga disebabkan tidak
seimbangnya antara penunaian kewajiban dan penuntutan hak.
Jika setiap masing-masing memenuhi kewajibannya dan
memberikan hak kepada pasangngannya maka keadilan akan

19
muncul serta harmoni, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup akan
mengiringi.
Proses hidup berrumah tangga dari mulai mencari dan
menentukan pasangan, cara membina rumah tangga sampai cara
mendidik anak-anak dan keturunan telah di beri panduan dalam
agama Islam, bahkan telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad
SAW. Bahkan para Ulama telah memberikan arahan dan panduan
melalui karya-karyanya, guna menjadi guiden dalam membina
bahtera rumah tangga sehingga menjadi keluarga yang sakinah,
mawaddah dan rohmah, yang pada akhirnya akan memunculkan
generasi Islam yang Khoiru Ummah. Diantaranya yang telah di
tulis oleh Imam Nawawi al-Bantani dalam Kitabnya Uqud al-
Lujjayn.
Dalam karyanya Imam Nawawi menjelaskan kewajiban
suami terhadap istrinya, berikut ini keterangannya dalam kitab
Uqud al-Lujjayn fi Bayani Huquqi az-Zaujayn sebagia berikut:
Allah telah berfirman dalam Surat an-Nisa ayat 19:

)91 :‫وعاشروهن باملعروف (النساء‬


Yang artinya: “Dan bergaullah dengan mereka (wanita)
secara ma’ruf (patut)”
Dalam Surat al-Baqoroh ayat 228, Allah juga berfirman:

)222 :‫ (البقرة‬.‫ولهن مثل الذي عليهن باملعروف وللرجال عليهن درجة‬


Yang artinya: “Dan mereka mempunyai hak yang seimbang
dengan kewajiban menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi kaum

20
laki-laki (suami) mempunyai satu tingkat (kelebihan) daripada
mereka”
Yang di maksud patut dalam ayat yang pertama adalah
bijaksana. Laki-laki harus bijaksana mengatur waktu untuk sang
istri. Begitu pun dalam hal nafkah yang menjadi hak istri. Hal lain
yang terkait dengan kepatutan di sini adalah kehalusan dalam
berkomunikasi. Adapun mengenai relasi keduanya dalam ayat
yang kedua menunjukkan bahwa laki-laki dan wanita mempunyai
hak yang sama dalam menuntut kewajiban terhadap yang lain
sebagai suami istri, bukan dalam hal kelamin. Dalam hal ini relasi
mereka berbeda, karena laki-laki memiliki hak berpoligami.
Adapun yang dimaksud dengan cara yang ma’ruf adalah cara yang
baik menurut agama, seperti sopan santun, tidak melakukan
tindakan yang melukai perasaan, baik bagi suami maupun istri,
bahkan sampai pada batas berdandan. Sebab hal itu merupakan
suatu cara yang ma’ruf.
Oleh karena itu masing-masing berkewajiban untuk
melakukannya, mengingat hal tersebut merupak bagian dari apa
yang dimaksud dalam ayat tersebut. Sebagaimana Ibn Abbas
berkata:
ّ ‫معنى ذلك ّأنى‬
ّ ‫أحبأتزين المرأتى كما‬
‫تحب أن تتزين لى‬
Artinya: “Maksud dari cara yang ma’ruf itu adalah,
bahwa saya suka berdandan demi istri saya, sementara dia pun
berdandan demi diri saya”.

21
Selain itu ada hal lain yang disebutkan disini yaitu maksud
ayat yang menyatakan bahwa laki-laki, yakni suami mempunyai
kelebihan derajat daripada istri. Hal ini terkait dengan hak suami
yang didapatnya dari tanggung jawab suami dalam nafkah dan
maskawin, dengan demikian suami berhak atas ketaatan istri.
Maka istri wajib taat kepada suami sehubungan dengan tanggung
jawabnya dalam mewujudkan dan memelihara kemaslahatan istri,
disamping kesejahteraan hidupnya ditanggung suami.
Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Nabi Muhammad
ketika melakukan Haji Wada’ yang terjadi pada hari Jum’at
berkhotbah dengan narasi sebagai berikut:

‫هن عوان عندكم ليس تملكون‬ ّ


ّ ‫فانما‬ , ‫أال واستوصوا بالنساء خيرا‬
ّ
‫فاهجروهن‬ ّ ‫منهن شيئاغير ذلك الا أن يأتين بفاحشة‬
‫فان فعلن‬, ‫مبينة‬ ّ
ّ
‫عليهن‬ ّ
‫ فان أطعنكم فال تبغوا‬, ‫واضربوهن ضرباغير مبرح‬ ‫فى املضاجع‬
ّ
‫يوطئن‬ ّ
‫عليهن ان ال‬ ّ ‫حقا‬
‫فحقكم‬ ّ ‫ان لكم على نسائكم‬ ّ ‫ أال‬, ‫سبيال‬
‫فراشكم من تكرهون وال يأذن فى بيوتكم ملن تكرهون الا و حقهن‬
‫عليكم ان تحسنوا اليهن فى كسوتهن و طعامهن (رواه الترمزي وابن‬
)‫ماجه‬
Artinya: “Ketahuilah olehmu bahwa kalian hendaknya
melaksanakan wasiatku, yaitu melakukan hal yang terbaik bagi
wanita. Mereka itu tertahan di sisimu. Bagimu tidak ada pilihan
lain dalam menghadapi mereka selain apa yang telah aku
wasiatkan itu, kecuali mereka melakukan fakhisyah secara jelas.
Apanila mereka melakukannya, maka kamu sekalian hendaknya

22
menghindar dari mereka di tempat peraduan dan berikanlah
pukulan yang tidak memberatkan. Akan tetapi kalau mereka taat
kepadamu, maka kamu sekalian tidak boleh mencari jalan untuk
memukul mereka. Ketahuilah bahwa kamu sekalian mempunyai
hak atas istrimu dan mereka pun mempunyai hak atas dirimu.
Adapun hak kalian terhadap mereka adalah bahwa mereka itu
tidak memeperkenankan tilam milikmu tersentuh oleh orang lain
yang tidak kamu sukai, dan tidak menijinkan rumahmu
dimasuki orang lain yang tidak kamu sukai pula. Dan ingatlah
bahwa kamu harus menunjukkan kebaikan terhadap mereka baik
dalam memberikan sandang maupun pangan”. (HR. Tirmidzi
dan Ibn Majah)
Dalam riwayat tersebut Nabi ingin memberikan perhatian
kepada kaum muslimin agar mereka mendengarkan dengan baik
dan melaksanakan wasiatnya. Dalam hal ini Nabi menganjurkan
agar para suami berhati lembut kepada para istri serta
menunjukkan perilaku yang baik dalam pergaulan. Itulah yang
dimaksud, melakukan hal yang terbaik kepada wanita. Sebab
wasiat Nabi tersebut tentunya muncul karena faktor lemahnya
wanita termasuk di dalmnya kebutuhan wanita itu sendiri
terhadap keluhuran budi suami sebagai seorang yang mampu
menyediakan hal-hal yang menjadi keperluan mereka.
Selanjutnya Nabi menggambarkan istri sebagai “wanita
yang tertahan”. Di sini beliau memandang insan yang lemah itu
sebagai tawanan, karena mereka itu pada dasarnya ditahan oleh
suami kendatipun itu berlangsung di tempat kediamannya. Akan

23
tetapi tawanan yang satu ini tidak identik dengan tawanan pada
umumnya. Karena dalam riwayat yang lain Nabi memberikan
perhatian bahwa istri adalah amanah Allah yang menuntut
tanggung jawab yang sangat besar dari suami. Apabila laki-laki
menerima titipan/amanah yang amat mulia ini, berarti mereka
telah menerimanya sebagai amanah dari Allah SWT.
Berkaitan dengan hal di atas maka laki-laki dituntut untuk
bersikap sebaik mungkin dalam bergaul dengan pasangannya
sesuai wasiat Nabi yang luhur. Jika suami melihat istri melakukan
nusyuz secara nyata maka suami harus menjauhi tempat tidurnya.
Pola ini dilakukan dalam waktu yang tak terbatas karena yang
dikehendaki adalah kembalinya keadaan yang positif. Maka jika
istri masih dalam masa nusyuznya maka suami mengambil sikap
menjauh selama rentang waktu yang panjang sekalipun sampai
waktu dua tahun. Jika si istri telah menyadari kesalahannya dan
kembali berlaku positif maka sang suami dapat kembali
kepadanya.
Selain itu, ada ulama yang berpendapat bahwa rentang
waktu menjauhi istri yang nusyuz adalah selama satu bulan. Jika
istri tidak berubah padahal suami telah melakukan cara yang
bijaksana seperti yang tersebut di atas, maka suami diperkenankan
memberikan sanksi dengan memukulnya yang tidak
membahayakan istri. Hal ini dimaksudkan bahwa istri
memperoleh pelajaran lain berupa pukulan ringan yang tidak
memberi bekas di tubuh. Jangan sampai pukulan tersebut terlalu
keras sehingga berbekas pada anggota tubuh, lebih-lebih

24
mengakibatkan cacat. Itulah maksud dari sabda rasul berkaitan
dengan dengan member pelajaran pukulan kepada istri. Dan
sanksi ini dapat terwujud manakala sang istri tidak berubah sikap.
Kendati pun suami telah melakukan upaya di atas, akan tetapi jika
istri telah menyadari kesalahannya dan kembali pada
kewajibannya kepada suami maka sanksi tersebut tidak boleh
terus diterapkan. Sebagaimana Nabi sampaikan, “Janganlah
kamu mencari jalan untuk memukulnya” dan hal itu tentunya
setelah istri menunjukkan ketaatannya kepada suami.
Dengan demikian suami harus mampu menahan diri
menghadapi. Sebab anjuran ini terkait dengan ketentuan beliau
sebelumnya, yang pelaksanaannya terkait dengan sikap istri yang
tak kunjung membaik setelah beberapa waktu yang cukup lama.
Jika terjadi suami memukul istri yang telah berubah sikap, yakni
kembali taat kepada suami, maka hal itu merupakan kedholiman.
Oleh karenanya suami harus mengubur peristiwa yang telah
berlalu. Anggaplah hal itu tak pernah terjadi. Sebab istri yang
telah bertaubat dari dosa-dosanya kepada suami laksana orang
yang tak pernah berbuat dosa.
Dalam riwayat yang lain berkaitan apa yang telah
disabdakan Nabi dalam hadis di atas. Dalam riwayat tersebut
Nabi menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak istri
menyangkut sandang dan pangan, dan hal-hal yang berkaitan
dengan sikap nusyuznya. Beliau bersabda,

25
ّ
‫حق املرأة على الزوج ان يطعمها اذا طعم و يكسوها اذا اكتس ى‬
‫واليضرب الوجه وال يقبح وال يهجر الا فى البيت (رواه الطرمزى‬
)‫والحاكم عن معاوية بن هيدة‬
Artinya: “Hak wanita atas suaminya adalah, suami
memberikan pangan kepada istrinya mengkonsumsi bahan
pangan. Di samping itu, memberi sandang padanya apabila dia
berpakaian. Dan janganlah suami memukul bagian wajah istri,
mengumpatnya serta menghindarinya kecuali di dalam rumah”.
(HR. Thabrani dan Hakim dari Mu’awiyah ibn Haidah)
Dalam kasus tertentu ketika istri melakukan nusyuz, suami
boleh memukul selain wajahnya. Sebab hal itu merupakan hak
istri manakala ia melakukan kesalahan. Dan hal tersebut dilakukan
setelah ada upaya menghindar sebelumnya dan istri belum
berubah ke arah positif. Hal lain yang harus diperhatikan suami
adalah adanya hak istri yang tidak dihinakan oleh suami. Karena
Nabi melarang dengan tegas mengumpat istri dengan
melontarkan kalimat yang tidak disukainya, seperti kalimat
“dasar wanita jelek’.
Kemudian masalah menghindar sebagaiman telah
dimaklumi, Nabi melarang suami menghindari istri kecuali di
dalam rumah. Inilah ketentuan yang boleh dilakukan oleh suami
ketika istri nusyuz. Adapun menghindar dalam konteks tidak
melakukan komunikasi verbal tidak diisyaratkan dalam hadis.
Dengan demikian suami masih tetap melakukan komunikasi
secara lisan. Jika hal tersebut dilakukan maka suami telah

26
melakukan perbuatan dosa, karena tindakan itu haram kecuali
karena udzur. Sebagai seorang suami wajib memperhatikan ajaran-
ajaran agama yang terkait dengan segala hal yang dilakukan sang
istri. Nabi juga memberikan perhatian khusus mengenai
kewajibannya dalam merealisasikan hak-hak wanita yang menjadi
pasangannya. Untuk menjelaskan hal tersebut, di sini akan
dikutip suatu riwayat yang telah disampaikan oleh Iman
Thabrani, yaitu sebuah hadis yang berbunyi:

‫ ايما رجل تزوج امرأة على ما قل من املهر‬: ‫وقال صلى هللا عليه و سلم‬
‫او كثرليس فى نفسه ان يأدى اليها حقها خدعها فمات و لم يؤد اليها‬
(‫لقي هللا يوم القيامة و هو زان) رواه الطبرانى‬
Artinta: “Rasullah bersabda, Jika seorang laki-laki
memperistri seorang wanita dengan memberikan maskawin baik
dalam jumlah besar atau kecil, sedangkan dalam dirinya tidak
ada kehendak untuk memberikan hak wanita itu, maka dia telah
mengkhianatinya. Apabila laki-laki itu mati padahal belum
memberikan hak-hak tersebut, maka dia akan menghadap Allah
SWT. di hari kiamat dengan menanggung dosa”.
(HR.Thabrani)
Maksudnya adalah bahwa laki-laki tersebut masuk
golongan pelaku zina, dan di hari kiamat akan menanggung dosa
besar.
Dalam riwayat yang lain Nabi memberikan petunjuk yang
harus dilakukan oleh seorang laki-laki dalam memberikan segala

27
sesuatu yang menjadi hak istri. Sebagaiman termaktub dalam
hadis yang berbunyi:

‫ ان من اكمل املؤمنين ايمانا احسنهم‬: ‫و قال صلى هللا عليه و سلم‬


(‫خلقا و الطفهم بأهله) رواه الترمزى عن عائسة رض ى هللا عنها‬
Artinya: “Rasullah bersabda, “Sesungguhnya orang-orang
mukmin yang paling sempurna imannya adalah mereka yang
paling baik akhlaknya dan paling lembut sikapnya kepada
keluarganya”. (HR. Tirmidzi dan Hakim dari Aisyah r.a)
Akhlak dalam hadis tersebut adalah budi pekerti yang
luhur. Hal itu semua adalah pengejawantahan dari kewajiban
suami dalam merealisasikan hak-hak istri sekalipun hal tersebut
merupakan konsep yang lebih khusus. Dengan demikian,
walaupun kata “keluarga” di sini memberikan pengertian yang
luas karena melibatkan banyak unsur termasuk didalamnya anak-
anak, suami, dan kerabat dekatnya, dan istri tentunya
mendapatkan prioritas dalam relasi suami istri. Sebab istri
merupakan penopang utama dalam kehidupan rumah tangga.
Oleh sebab itu, kondisi etik yang positif yang telah dinyatakan
hadis di atas perlu mendapat penekanan khusus dalam
pembicaraan mengenai kewajiban suami untuk mewujudkan hak-
hak istri sehubungan dengan fungsi itu sendiri seperi tersebut di
atas.
Hadis yang senada dengan hadis di atas yaitu hadis yang
diriwayatkan oleh ibnu Hibban yang berbunyi:

28
‫ خيركم خيركم ألهله و أنا خيركم ألهلى‬: ‫و قال صلى هللا عليه و سلم‬
(‫)رواه ابن حبان‬
Artinya: “Rasullah bersabda, “Orang yang terbaik di
antara kamu sekalian adalah orang yang paling baik terhadap
keluarganya. Sedangkan diriku sendiri lebih baik daripada kamu
sekalian karena (kebaikanku) terhadap keluargaku,” (HR. Ibnu
Hibban)
Dalam hadis yang lain Nabi cukup tegas dalam
menganjurkan kewajiban etik seorang suami kepad istri,

.‫خيركم خيركم لنسائه و انا خيركم لنسائى‬


Artinya: “Orang yang terbaik di antara kamu sekalian
adalah mereka yang paling baik terhadap istri, dan aku sendiri
lebih baik daripada kamu sekalian atas (kebaikanku) terhadap
istriku.”
Dalam menerapkan norma dan akhlak dalam kehidupan
rumah tangga, suami harus memiliki pedoman moral yang baik.
Untuk itulah Nabi memberikan petunjuk agar seorang suami
bersabar dalam menghadapi perilaku istri. Dengan demikian
suami dapat melaksanakan kewajibannya secara baik sesuai
dengan aturan agama untuk memahami cobaan yang datang dari
istri.
Ada sebuah hadis yang mengatakan:

29
‫ من صبر على سوء‬: ‫و روى عن النبي صلى هللا عليه و سلم انه قال‬
‫خلق امرأته اعطاه هللا من ألاجر مثل ما اعطى ّايوب عليه السالم على‬
.‫بالئه‬
Artinya: “Diriwayatkan dari Nabi bahwa beliau
bersabda.”Siapa yang sabar menghadapi kerendahan akhlak
istrinya, maka Allah SWT. akan memberikan pahala sebesar apa
yang Allah berikan kepada Nabi ayyub AS. sehubungan cobaan
beliau.”
Dalam hadis di atas disebutkan sesuai dengan pahala Nabi
ayyub AS, hal ini karena Nabi Ayyub tekenal sabar dalam
menghadapi cobaan bahkan cobaan yang datang dari istrinya.
Selama diterpa penyakit bertahun-tahun Nabi Ayyub tetap dalam
kesabaran dan rasa syukur yang tak henti-henti dan bahkan tetap
beribadah. Demikian juga cobaan yang datang dari pasangannya.
Dalam sebuah riwayat, Nabi ayyub memiliki seorang istri yang
memiliki rambut yang panjang terurai indah, dan ia menyukai
rambutnya yang terurai tersebut. Suatu hari istrinya hendak
memotong rambutnya tersebut tanpa sepengetahuan dan seijin
Nabi Ayyub AS, melihat perbuatan istrinya tersebut yang
memotong rambutnya tanpa seijinnya. Nabi Ayyub menahan
amarah dalam hatinya. Dalam kondisi tersebut Nabi Ayyub
sangat kecewa dan menekan amarahnya dengan penuh kesabaran.
Allah memberikan empat ujian kepada Nabi Ayyub,
Pertama, dihabiskan hartanya. Kedua, dimatikan anak-anaknya.
Ketiga, diberi penyakit pada badannya. Keempat, dijauhi seluruh

30
manusia kecuali istrinya. Iblis adalah makhluk yang tidak suka
melihat hamba-hamba Allah yang sholeh, ketika Iblis mengetahui
bahwa para malaikat senantiasa berdoa memohonkan ampunan
untuk Nabi Ayyub maka Iblis bermunajat kepada Allah.
Dalam munajatnya iblis berkata, “Wahai Tuhanku, aku
melihat hamba-Mu Ayyub senantiasa bersyukur kepada-Mu dan
memuji-Mu. Andaikan engkau menimpakan bencana kepadanya
niscaya dia tidak akan bersyukur dan taat lagi kepada-Mu”
Allah menjawab munajat iblis, ”Pergilah kamu kepada Ayyub,
Aku ijinkan kamu mengganggu harta kekayaannya.”
Dalam riwayat tersebut seluruh milik Nabi Ayyub hancur
dan lenyap darinya, kecuali istrinya yang bernama Rahmah yang
masih terus mengurusnya di sebuah gubuk jauh dari
perkampungan, karena penyakit kulitnya yang parah yang
mengakibatkan Nabi ayyub dijauhi oleh masyarakat, namun apa
yang dilakukan oleh Nabi Ayyub, tiada lain Ia bersabar dan terus
bersyukur sambil memuji Allah SWT. Sehingga Nabi Ayyub
menjadi hamba yang sangat sabar dan memperoleh ganjaran yang
besar dari Tuhannya.
Diriwayatkan ada seorang laki-laki datang kepada Umar bin
Khattab. Laki-Laki tersebut bermaksud meminta saran dan solusi
atas buruknya perilaku istrinya. Ketika menunggu Umar di luar
rumahnya, lelaki tersebut mendengar bahwa Umar sedang
dimarahi oleh istrinya dan Umar hanya diam saja tidak menjawab.
Lelaki itu hendak pulang, namun Umar memanggilnya, seraya
bertanya tentang keperluannya datang menemuinya.

31
Umar berkata, “Apa keperluanmu?” Jawabnya, “Wahai
Amirul Mukminin, saya datang kepadamu untuk mengadu
kejelekan istriku yang sangat menyakitkan hatiku, tapi saya lihat
istri engkau juga begitu, apalagi keadaanku.” Umar pun
menjawab,“Wahai saudaraku aku ini butuh ucapan jelek istriku
karena hak-hak istriku yang harus aku cukupi. Istriku memasak,
mencuci, menyusui, hatiku terhindar dari perbuatan haram
karena pelayanan istriku. Maka dialah sebagai jaminannya.”
Lalu lelaki itu menjawab, “Andai didiamkan wahai saudaraku,
itu hanya sebentar dan mudah.”
Disebutkan dalam hadis,

‫و من صبرت على سوء خلق زوجها اعطاها هللا من ألاجر مثل ثواب‬
.‫اسية امرأة فرعون‬
Artinya: “Siapa yang bersabar atas kejelekan suaminya,
maka Allah akan memberikan pahala seperti pahala Asiyah istri
Fir’aun.”
Ketika istrinya beriman kepada Nabi Musa, Fir’aun
mengikat istrinya di tiang-tiang kayu yang dibuatnya dan
dipanaskan dengan sinar matahari, ketika Fir’aun dan para
pengawalnya berpaling maka para malaikat menaungi Asiyah dari
terik matahari. Ketika para pengawal Fir’aun menindihkan batu
pada tubuh Asiyah. Maka ia bermunajat kepada Allah,
“Wahai Tuhanku, semoga Engkau berkenan
membangunkan untukku sebuah rumah di sisiMu dalam surga,

32
dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya.” Ini
disebutkan didalam al-Qur’an.
ّ ‫وصبرهللا مثال للذين أمنوا امرأة فرعون اذ قالت‬
‫رب ابن لى عندك بيت‬
ّ ‫ونجنى من فرعون و عمله و‬
.‫نجنى من القوم الظاملين‬ ّ ‫فى الجنة‬

)99 :‫(التحريم‬
Ketika itu Asiyah melihat surga, sebelum batu besar
ditimpakan kepadanya, ruhnya dicabut oleh Allah sehingga ia
tidak merasakan sakit dengan ditimpakannya batu besar ke
tubuhnya.
Hikayat I, Seorang Laki-Laki Yang Sholeh
Diriwayatkan ada seorang laki-laki yang shaleh yang
memiliki saudara yang shaleh pula. Tiap tahun saudaranya
tersebut mengunjungi rumahnya. Suatu hari ia mengunjungi
saudaranya, sesampainya di rumahnya ia pun mengetuk pintu
rumahnya. Maka terdengar suara wanita dibalik pintu
rumah.“Siapa.?” Dijawabnya, “Saudara suamimu, karena
Allah aku berkunjung.” Wanita tersebut menjawab, Suamiku
sedang mencari kayu bakar, semoga Allah tidak
mengembalikannya lagi ke sini” lalu wanita tersebut mencaci
maki suaminya.
Tak lama berselang saudaranya yang shaleh tersebut
kembali ke rumahnya dan bersamanya seekor macan yang
membawa seikat kayu bakar. Sesampainya di rumah
diturunkannya kayu bakar tersebut seraya berkata kepada macan,
“kembalilah kamu, semoga Allah memberkahimu.” Maka ia

33
mempersilahkan saudaranya masuk kerumahnya dan
menunjukkan kebahagian kepada saudaranya seraya menjamunya,
dan ia tidak sedikitpun membalas cacian istrinya.
Pada tahun berikutnya, saudaranya mengunjunginya
kembali, Maka ia pun mengetuk pintu rumahnya, terdengar suara
dari dalam rumah lelaki yang shaleh tersebut. “Siapa?”
Sahutnya, “Aku saudara suamimu datang untuk
berkunjung.”
Jawab wanita terszebu, “Baiklah, selamat datang, silahkan
masuk.”
Wanita tersebut menjamunya, menghormatinya serta
mempersilahkan menunggu kedatangan suaminya. Ketika itu
saudaranya yang shaleh tersebut pulang dengan memanggul seikat
kayu bakar. Ketika hendak pulang saudarnya menanyakan perihal
istrinya yang sekarang, wanita yang tahun lalu dan seekor macan.
Maka dia pun menjawabnya, “Saudaraku, wanita yang
dulu adalah istriku, ia telah mati, karena keburukan akhlaknya
kepadaku maka Allah menundukkan macan untukku atas
kesabaranku. Lalu aku menikah lagi dengan wanita yang
sholehah ini, karena keshalehannya aku merasa tentram dan
nikmat sehingga macan itu terputus dariku, sehingga aku kembali
memanggul kayu bakar karena aku merasa bahagia dan enak
beserta istri yang sholehah ini.”

34
Faedah-Faedah
Ada beberapa hal dimana suami diperbolehkan memukul
istri:
a. Menolak perintah suami untuk berhias, menolak diajak ke
tempat tidur
b. Istri keluar rumah tanpa seizing suami, memukul anak karena
menangis, merusak pakaian suami, memegang janggut suami
seraya berkata, “Hai keledai, hai goblok. Walaupun suami
mekakinya terlebih dahulu.
c. Membuka mukanya di depan laki-laki yang bukan muhrim,
bercaka-cakap, mengeraskan suara agar di dengar laki-laki lain,
memberikan sesuatu yang tidak wajar dari rumah suami, dan
tidak mandi haidh.
Hal-hal yang harus diperhatikan oleh suami:
a. Memberi nasehat, memerintah, mengingatkan dan
menyenangkan hati istri
b. Memberi nafkah sesuai kemampuannya
c. Tidak mudah marah jika istri menyakitinya
d. Menyenangkan hati istri dan menurutinya dalam kebaikan
karena pada umumnya wanita itu kurang sempurna akalnya
dan agamanya.
e. Menyuruhnya melakukan kebaikan
f. Mengajarinya yang berkaitan dengan agamanya dan hokum-
hukum agamanya, seperti cara mandi haidh, janabah,wudhu,
tayammum dan selainnya

35
g. Mengajarkannya tentang hukum-hukum fardhu dan Sunnah
seperti sholat, zakat, haji dal lain-lain.
h. Mengajarinya budi pekerti yang baik kepada keluarga. Karena
siksa yang berat adalah seseorang yang tidak mengajarkan
agama pada keluarganya.
Dalam sebuah hadis Nabi telah bersabda:
ّ ‫ّكلكم راع و مسئول عن‬
ّ ‫رعيته فاالمام راع و مسئول عن‬
‫رعيته والرجل‬
ّ ‫رعيته واملرأة ر‬
‫اعية فى بيت زوجها ومسئول‬ ّ ‫راع فى أهله و مسئول عن‬
ّ ّ ‫رعيته والرجل راع فى مال أبيه و مسئول عن‬
ّ ‫عن‬
‫رعيته فكلكم راع و‬
ّ ‫كل مسئول عن‬
.‫رعيته‬ ّ

Artinya: “Setiap kamu adalah pemimpin dan akan di


tanya tentang kepemimpinannya. Seseorang Imam adalah
pemimpin dan akan dipertanyakan tentang kepemimpinannya.
Seorang suami menjadi pemimpin keluarganya dan akan
dipertanyakan kepemimpinannya. Seorang istri menjadi
pemimpin di rumah suaminya dan akan dipertanyakan
kepeminpinannya. Seorang pelayan adalah pemimpin harta
tuannya dan akan dimintakan pertanggung jawabannya.
Seorang anak menjadi pemimpin harta orang tuanya dan akan
dipertanyakan kepemimpinannya. Dan setiap kalian adalah
pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban
kepemimpinnannya.
Maksudnya, setiap orang adalah orang yang dapat di
percaya untuk berlaku baik pada apa yang diamanatkan

36
kepadanya. Maka setiap orang dituntut untuk berlaku adil dan
mengerjakan apa yang diamanatkan kepadanya. Dimintakan
pertanggung jawabkan dari kepemimpinannya, bahwa kelak di
akhirat akan ditanyakan dan dipertanggung jawabkan atas apa
yang dipimpinnya. Jika ia dapat mempertanggung jawabkan apa
yang dipimpinnya dengan baik maka ia mendapat bagian yang
sempurna. Namun jika ia khianat maka ia akan memperoleh
balasannya di akhirat. Seorang penguasa atau yang mewakilinya
adalah orang yang menguasai rakyatnya. Ia kelak akan
mempertanggung jawabkan dalam memimpin rakyatnya, apakah
telah memenuhi hak-hak rakyatnya atau belum.
Seorang suami menjadi pemimpin dalam keluarganya, istri
dan anak-anaknya, Ia akan dimintakan pertanggung jawaban atas
keluarganya, apakah ia telah memenuhi hak-haknya atau belum.
Seperti, memberi pakaian, melindungi, mengasuh, mendidik dan
lain-lainnya. Bergaul dengan baik atau tidak. Seorang istri menjadi
pemimpin di rumah suaminya. Ia harus dapat mengatur rumah
tangga dengan baik, bersikap baik kepada suami, dan menjaga
harta suami dan anak-anaknya. Ia akan dimintai pertanggung
jawaban atas kepemimpinannya, apakah ia telah melasanakannya
dengan baik atau tidak. Seorang pelayan harus menjaga milik
tuannya dan menatanya dengan baik. Pelayan juga akan dimintai
pertanggung jawaban atas apa yang menjadi tanggung jawabnya.
Apakah ia telah memenuhi amanahnya atau belum.
Walhasil, setiap kalian adalah pemimpin, dan akan dimintai
pertanggung jawaban kepemimpinannya. “Fa” pada kalimat

37
“Fakulukum” menjadi jawab syarat yang terbuang. Kata ini
berlaku umum untuk setiap individu, sendirian, belum beristri
dan tidak punya pelayan. Sebab orang seperti itu dapat terkategori
sebagai pemimpin. Maksudnya adalah setiap orang yang mampu
menjaga tubuhnya dari segala kewajiban dan meninggalkan segala
larangan.
Rasulullah juga bersabda:
ّ
‫هللا هللا فى النساء فانه أمانات عندكم فمن لم يأمر امرأته بالصالة‬
ّ
.‫ولم يعلمها فقد خان هللا و رسوله‬
Artinya: “Takutlah kamu semua kepada Allah, Takutlah
kepada Allah dalam urusan kaum wanita, karena mereka
adalah amanah Allah pada kekuasaanmu. Maka siapa yang
tidak memerintahkan sholat istrinya dan tidak mengajarkan
agama kepadanya, ia benar-benar berkhianat kepada Allah dan
Rasulnya.”
Ada tiga wasiat Rasul kepada umatnya sebelum beliau
meninggal. Tiga wasiat tersebut beliau ucapkan ketika akan
meninggalkan dunia fana ini hingga lidah beliau terasa kelu
hingga terdengan samar dan kurang jelas. yaitu :
ّ
‫هللا هللا فى‬. ‫الصالة الصالة وما ملكت أيمانكم ال تكلفوهم ماال يطيقون‬
ّ
‫أخذتموهن بأمانة هللا‬ ‫هن عوان أى أسراء فى أيديكم‬ ّ ‫النساء‬
ّ ‫فان‬
ّ
.‫فروجهن بكلمة هللا‬ ‫واستحللتم‬
Artinya: “Jagalah solat, sholat, juga hamba sahayamu,
janganlah membebani mereka apa yang mereka tidak mampu

38
melakukannya. Takutlah kepada Allah, takulah kepada Allah
dalam urusan wanita, karena mereka bagai tawanan yang ada
pada kekuasaanmu. Kamu menguasai mereka dengan amanah
Allah dan kamu menghalalkan farji mereka dengan kalimat
Allah.”
Allah telah berfirman dalam Surat Thoha tentang perintah
sholat lima waktu kepada keluarga dan para pengikut kita.

)932 :‫وأمر أهلك بالصالة (طه‬


Artinya: “Dan perintahkanlah kepada keluargamu
mendirikan sholat”
Nabi bersabda,

. ‫ال يلقى هللا سبحانه و تعالى أحد بذنب أعظم من جهالة أهله‬
Artinya: “Tak seorang pun menghadap Allah dengan
membawa dosa yang lebih besar daripada kejahilan keluarganya”
Para ulama berpendapat bahwa kelak di akhirat orang-
orang yang pertama menghalanginya adalah keluarganya dan
anak-anaknya, mereka berkata, “Wahai Tuhan ambilkanlah hak
kami dari orang ini, karena ia tak mengajarkan kami dari yang
haram, sedangkan kami tidak tahu.” Orang itu lalu di pukul
karena usahanya yang haram, hingga tubuhnya hancur dan
kulitnya terkelupas, kemudian dibawa ke neraka. Inilah yang
termaktub dalam Kitab al-Jawahir karya Abu Laits as-
Samarqandi.

39
b. Kewajiban seorang istri terhadap suami
Pada bab ini akan diulah tentang hak suami atas itrinya,
pada permulaan pembahasannya Imam Nawawi mengutip QS.
An-Nisa: 34.

‫فضل هللا بعضهم على بعض ّو بما‬ ّ ‫قومون على النساء بما‬ ّ ‫الرجال‬
ّ
ّ ّ
‫فالصالحت قنتت حفظت للغيت بما حفظ هللا و‬ ‫أنفقوا من أموالهم‬
ّ ‫واهجروهن فى املضاجع واضر‬
ّ ّ ّ ّ
‫بوهن‬ ‫فعظوهن‬ ‫نشوزهن‬ ‫التى تخافون‬
ّ ‫علبهن سبيال‬
ّ ‫إن هللا كان‬
:‫عليا كبيىرا (النساء‬ ّ ‫فإن أطعنكم فال تبغوا‬
)33
Artinya: “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum
wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas
sebagian yang lain, dank arena mereka telah menafkahkan
sebagian harta mereka. Sebab itu, wanita yang shaleh adalah
yang taat kepada Allah lagi memelihara diri di balik
pembelakangan suaminya oleh karena Allah telah memelihara
mereka. Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya,
maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah diri dari tempat
tidurnya, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka
mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha
Besar” (QS. An-Nisa’: 34).
Kaum laki-laki sebagai pemimpin kaum wanita maksudnya
bahwa suami harus dapat menguasai, mengurus wanita serta
mendidik akhlaknya. Allah melebihkan laki-laki atas wanita

40
karena mereka memberikan mahar dan nafkah dalam
kehidupannya.
Para ulama tafsir mengatakan bahwa kelebihan laki-laki atas
wanita karena banyak faktor baik dari sisi hakiki dan sisi syar’i.
Pertama, dari sisi hakiki atau realitas sebagai berikut:
1. Kecerdikan dan intelektual laki-laki di atas wanita
2. Laki-laki lebih kuat menghadapi problem kehidupan
3. Kekuatan laki-laki di atas wanita
4. Karya ilmiah laki-laki lebih banyak
5. Kepiawaian laki-laki dalam mengendarai kuda
6. Laki-laki banyak yang menjadi Ilmuan/ulama
7. Laki-laki banyak menjadi Imam utama atau kecil
8. Kelebihan dalam peperangan
9. Kelebihan dalam adzan. Iqomah dan jumatan
10. Kelebihan dalam iktikaf
11. Kelebihan dalam saksi hudud dan qishos
12. Kelebihan dalam hak waris
13. Kelebihan dalam hak waris ashobah
14. Kelebihan dalam wali nikah
15. Memiliki hak dalam menjatuhkan talak
16. Memiliki hak rujuk
17. Memiliki hak berpoligami
18. Memiliki han dalam sandaran nasab/keturunan
Kedua, dari sisi syari’, yaitu menjalankan dan memenuhi
haknya sejalan dengan hukum syara’, seperi memberikan

41
maskawin dan nafkah kepada istri, inilah yang telah disebutkan
dalam kitab az-Zawajir karya Ibnu Hajar.
Wanita-wanita yang shalehah dalam ayat di atas, adalah
para wanita yang taat kepada Allah dan suaminya. Mereka
memelihara hak suaminya, menjaga kehormatannya, serta
menjaga rahasia suaminya dan hartanya, sebab Allah telah
menjadikan mereka. Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa
Rasullah telah bersabda,
ّ
ّ ‫النساء امرأة إذا نظرت إليها‬
‫سرتك و إن أمرتها أطاعتك وإن غبت‬ ‫خير‬
‫عنها حفظتك فى مالك و نفسها‬
Artinya: “Sebaik-baik wanita adalah jika kamu
memandangnya ia membahagiakanmu jika kamu
memerintahnya ia menaatimu, Jika kamu pergi ia menjaga
hartamu dan kehormatannya.”
Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya maka
berilah nasehat. Maksudnya para wanita yang diperkirakan
meninggalkan kewajibannya dalam bersuami istri, seperti
meninggalkan rumah tanpa seijin suaminya, dan melawan dengan
kesombongan, maka nasihatilah dengan ancaman dari Allah.
Memberi nasehat kepada istrinya hukumnya sunnah. Seperti
suami berkata kepada istrinya,“Takutlah kamu kepada Allah
atas hak yang kewajiban kamu yang harus kamu penuhi
kepadaku, dan takutlah siksa Allah.” Suami juga perlu
menjelaskan kepada istri, bahwa perbuatan nusyuz itu dapat
menggugurkan nafkah dan giliran. Nasehat tersebut dilarang

42
disertai mendiamkan dan memukul. Kalau istri menampakkan
uzurnya atau bertaubat dari apa yang telah diperbuatnya tanpa
uzur, maka suami harus memperingatkannya, sebagaimana
tersebut di dalam hadis Imam Bukhori dan Muslim berikut:
ّ ‫إذا باتت املرأة هاجرة فراش زوجها لعنتها املالئكة‬
‫حتى تصبح‬
Artinya: “Jika istri bermalam meninggalkan tempat tidur
suaminya, maka para malaikat mengutuknya sampai pagi hari.”
Dan hadis yang diriwatkan Imam Tirmidzi bahwa Rasul
bersabda,
ّ ‫ّأيما امرأة باتت و زوجها اض دخلت‬
‫الجنة‬ ‫ر‬
Artinya: “Wanita yang bermalam sedangkan suaminya
ridho kepadanya maka ia masuk surga.” Demikian yang telah
dijelaskan dalam Syarah Nihayah ‘alal Ghoyah.
“Dan pisahlah dari tempat tidur mereka”, adalah bahwa
suami diperintah meninggalkan istri dari tempat tidurnya, bukan
mendiamkannya tau memukulnya. Karena meninggalkanya di
tempat tidurnya sendiri memberikan dampak yang jelas dalam
mendidik istri.
Dan pukullah mereka”, bahwa wanita yang berbuat
nusyuz boleh di pukul dengan pukulan yang tidak menyakitkan
dan membahayakan tubuhnya. Hal ini jika membawa faedah, jika
memukul bukan pada wajahnya atau anggota tubuh yang fital
yang membahayakan tetapi pukulan yang wajar. Namun yang
lebih baik, suami memaafkannya. Berbeda dengan wali anak kecil,
ia lebih baik tidak memaafkannya. Karena wali anak kecil yang

43
memukul anaknya yang masih kecil membawa kemaslahatan
untuk mendidiknya. Menurut Imam Rofi’I, istri boleh di pukul
jika berkali-kali nusyuz. Tetapi menurut Imam Nawawi, istri
boleh di pukul walau hanya sekali nusyuz jika pukulan itu
berfaedah. Tafsir ayat tersebut menurut Imam Nawawi
adalah,“Wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka jika
terbukti nusyuz, pisahkanlah diri dari tempat tidur mereka, dan
pukullah mereka.”
Maksud,“Takhoofuuna” (yang kamu khawatirkan) yang
dimaksud adalah “Ta’lamuuna” (yang kamu ketahui), yaitu
kamu melihat istrimu nusyuz, mengecualikan jika terdapat tanda-
tanda nusyuz dengan perkataan. Seperti istri menjawab perkataan
suami dengan kasar setelah berbicara secara halus. Atau dengan
sebab perbuatan, seperti istri cemberut dan berpaling dari suami
yang sebelumnya bermuka manis. Jika hal tersebut adalah tanda-
tanda nusyuz maka suami menasehatinya dan jangan
meninggalkannya dan memukulnya. “Jika mereka mentaatimu,
maka janganlah kamu mencari-cari cara untuk
menyusahkannya.”
Maksudnya untuk memberikan pengajaran kepada istri
yang ditakutkan pembangkangannya, pertama diberikan nasehat,
jika tidak berhasil, maka jauhilah tempat tidurnya, jika yang
pertama berhasil maka tidak boleh menjalankan cara selanjutnya.
Maka jika istri telah mematuhi hak suaminya maka suami dilarang
mencari-cari jalan untuk memukulnya. Seperti memperolok-olok

44
istri terhadap peristiwa yang telah berlalu, yang akhirnya
memukul istri.

‫من صبر على خلق زوجته أعطى هللا تعالى مثل ما أعطاه ّأيوب عليه‬
ّ
‫و من صبرت على خلق زوجها أعطاها هللا‬, ‫السالم من ألاجر و الثواب‬
ّ
‫و من ظلمت زوجها و كلفته ماال‬, ‫تعالى أجر من فتل فى سبيل هللا تعالى‬
‫و من صبرت على‬, ‫يطيق واذته لعنتها مالئكة الرحمة و مالئكة العذاب‬
ّ
‫أذية زوجها أعطاها هللا تعالى ثواب أسية و مريم بنت عمران‬
Artinya: “Siapa yang bersabar menghadapi perilaku
suaminya, maka Allah akan memberinya paha sebagaimana
pahala yang diberikan pada Nabi Ayub AS. Siapa yang sabar
menghadapi akhlak istrinya Maka Allah akan memberinya
pahala seperti pahala orang-orang yang mati di jalan Allah.
Siapa yang menyakiti dan membebani suami diluar
kemampunnya maka istri yang demikian akan dikutuk para
malaikat rahmat dan malaikat azab. Siapa yang sabar ketika
suami menyakitinya, maka Allah akan memberikan pahala
seperti pahala Asiyah dan Maryam putri Imran.”
ّ
‫إذا صلت املرأة خمسها و صامت شهرها و حفظت فرجها و أطاعت‬
ّ ‫الجنة من أبواب‬
‫الجنة شئت‬ ّ ‫زوجها قيل لها أدخلى‬

Nabi Bersabda, “Apabila seorang istri sholat lima waktu,


Puasa Ramadhan, menjaga kehormatannya, taat pada
suaminya, Maka dikatakan kepadanya, “Masuklah surge dari
salah satu pintu yang kamu kehendaki.”(HR. Imam Ahmad)

45
Ada seorang wanita datang kepada Nabi dan berkata,
“Wahai Rasulallah, aku adalah utusan para wanita menghadap
engkau untuk menanyakan tentang bagian wanita dari jihad”
Nabi menjawab, “Allah telah menetapkan kewajiban jihad
kepada laki-laki, Jika mereka terluka atau mati maka bagi
mereka pahala yang besar, dan mereka hidup di sisi Tuhannya
dan diberi rizki dari buah-buahan surga.”
Diriwayatkan bahwa Allah melihat ahli surga seraya
berkata, “Mohonlah kamu semua kepada-Ku apa saja yang
kalian perlukan!,” Mereka menjawab, “Wahai Tuhan kami,
semoga Engkau berkenan mengembalikan ruh kami kedalam
raga kami di dunia, agar kami bunuh orang-orang kafir dalam
keadaan mentaati semua perintahmu.”
Hal demikian itu karena mereka melihat kenikmatan ahli
surga, yaitu kaum lelaki yang terbunuh sebagai syuhada yang
mendapat rizki buah-buahan surga.
Ibnu Abbas meriwayatkan, Nabi bersabda,
ّ ‫أرواح شهداء فى أجواف طيور حضر ترد أنهار‬
‫الجنة و تأكل من ثمارها‬
ّ
ّ ‫معلقة فى‬
.‫ظل العرش‬ ‫و تأوى إلى قناديل‬
Artinya: “Ruh-ruh para syuhada berada di tempat
makanan burung-burung hijau yang berkeliaran di sungai-
sungai surga, makanan buah-buahan surga, dan tinggal lampu-
lampu yang digantungkan pada naungan Arasy.”

46
ّ ّ
:‫للرجال نصيب ّم ّما اكتسبوا و للنساء نصيب ّم ّما اكتسبن) النساء‬
ّ
)32
Allah telah berfirman, “Bagi laki-laki ada bagian dari apa
yang mereka usahakan dan bagi perempuan ada bagian yang
mereka usahakan.” (QS. An-Nisa’: 32)
Jadi laki-laki memperoleh paha dari usahanya, dan
begitupun para wanita memperoleh pahala dari usahanya, yaitu
menjaga kehormatannya, serta taat kepada Allah. Menurut Syaikh
Sarbini dalam tafsirnya, dikatakan bahwa, Laki-laki dan
perempuan memperoleh pahala di akhirat dengan hak sama. Hal
ini karena satu kebaikan dibalas sepuluh kali, ini berlaku bagi laki-
laki dan perempuan, adapun kelebihan laki-laki mengalahkan
wanita hanya di dunia.
Ali RA, berkata, “Seburuk-buruk perbuatan laki-laki
adalah sebaik-baik perbuatan wanita, yaitu bakhil, tidak
memberi pengemis dan bermurah hati.”
Karena wanita yang mengagumi dirinya tidak akan
berbicara dengan setiap laki-laki dengan suara yang halus yang
menimbulkan kecurigaan. Sedangkan bila ia bakhil pandai
menjaga hartanya dan harta suaminya. Sedangkan wanita yang
penakut, merasa khawatir hingga tidak berani keluar rumahnya
dan menjauh dari tempat yang dapat menimbulkan kecurigaan
karena takut kepada suaminya.
Nabi Dawud berkata,

47
ّ ّ ّ ‫املرأة‬
‫و املرأة‬, ‫السوء على بعلها كالحمل الثقيل على الشيخ الكبير‬
ّ ‫بالذهب ّكلما رأها‬
.‫قرت عينه برؤيتها‬
ّ ّ
‫املرصع‬ ّ ‫الصالحة‬
‫كالتاج‬ ّ

Artinya: “Wanita yang jelek terhadap suaminya seperti


beban yang berat bagi orang yang sangat tua, dan wanita yang
baik bagai mahkota yang bertabur emas, jika suami
memandangnya sangat menyenangkan pandangannya karena
istrinya.”
Para wanita hendaknya tahu bahwa dirinya seperti sahaya
yang dimiliki suami dan tawanan yang lemah tak berdaya dalam
kekuasaan suami. Maka ia tidak boleh membelanjakan hartanya
kecuali atas ijin suaminya. Bahkan mayoritas ulama berpendapat,
bahwa istri itu dapat ijin dari suaminya karena istri itu seperti
orang yang tertahan perbelanjaannya karena suami.
Istri harus malu kepada suami, jangan menentang,
menundukkan wajahnya dan pandangannya di hahadap suami,
taat atas perintahnya selama bukan kemaksiatan, diam ketika
suami berbicara, mengantar kepergian suami jika keluar rumah,
menampakkan rasa cintanya kepada suami bila di dekatinya,
membahagiakan suami jika di akan tidur, memakai wangi-
wangian, membersihkan pakaian, berhias untuk suami, dan tidak
bersolek jika ditinggal suami.
Syaikh Asmu’i berkata,“Di pelosok desa, saya melihat
seorang wanita memakai baju kurung merah dan tangannya
dipacar dengan tasbih, Aku bertanya, “Alangkah jauhnya ini dan
itu.”

48
Maka wanita itu menjawab,
ّ ‫و ّللهو‬, ‫منى جانب ال أضيعه‬
.‫منى ولبطالة جانب‬ ّ ‫و هلل‬

Artinya: “Untuk Allah aku punya waktu, dan aku tidak


menyia-nyiakannya. Untuk bermain-main dan bersenang-
senang, aku pun punya waktu”
Rasulullah bersabda,
ّ ّ ‫إال بإذنه ّإال‬
ّ ّ ‫ال‬
‫الرطب من الطعام الذى‬ ‫يحل لها أن تطعم من بيته‬
‫يخاف فساده فإن أطعمت عن رضاه كان لها مصل أجره و إن أطعمت‬
.‫بغير إذنه كان له ألاج وعليها الوزر‬
Artinya: “Istri dilarang memberi makan orang lain dari
rumah suaminya tanpa seijinnya, kecuali makan basah yang
cepat basi. Jika ia memberi makan karena ijin suaminya maka ia
mendapat pahala seperti pahala suaminya, jika ia member
makan tanpa seijin suaminya, maka suaminya mendapat
pahala, sedangkan istri mendapat dosa.”
Istri hendaknya memuliakan keluarga suami dan
keluarganya sekalipun hanya berupa perkataan-perkataan. Harus
juga memandang pemberian suami yang sedikit sebagai sesuatu
yang banyak, menerima perbuatannya, memandang utama dan
bersyukur atas sikap suami, serta dilarang menolak kemauan
suami sekalipun di punggung onta. Menurut Imam Syafi’i, jika
seorang istri dalam keadaan suci jika sedang haid maka dilarang.
Ibnu Abbas berkata bahwa ia telah mendengar Nabi
bersabda:

49
ّ ‫لو‬
‫أن امرأة جعلت لياتها قياما و نهارها وصياما و دعاها زوجها إلى‬
ّ
‫فراشها وتأخرت عنه ساعة واحدة جاءت يوم القيامة تسحب‬
ّ
‫بالسالسل و ألاغالل مع الشياطين إلى أسفل سافلين‬
Artinya: “Jika seorang wanita menjadikan malamnya
untuk sholat, siangnya untuk puasa, lalu suaminya
memanggilnya ke tempat tidur lalu istri menundanya satu jam,
maka kelak hari kiamat ia akan diseret dengan rantai dan
belenggu, dikumpulkan dengan para syaitan hingga berada di
tempat yang paling rendah.”
Etika bagi suami istri dalam berjima’
Dilarang bagi suami menggauli istrinya di hadapan laki-laki
atau wanita lain. Jika akan bergaul dengan istrinya maka
disunnahkan bagi suami membaca basmalah, surat al-ikhlas,
takbir, dan tahlil serta membaca doa,
ّ ‫ذرّية‬
‫طيبة‬ ّ . ‫العلي العظيم‬
ّ ‫اللهم اجعل النطفة‬ ّ ‫بسم هللا‬
Artinya: “Dengan menyebut Nama Allah yang Maha
tinggi lagi Maha Mulia, ya Allah jadikanlah sperma ini
keturunan yang baik.”
Nabi juga bersabda,

‫جنبنى الشيطان و ج ّنب‬


ّ ‫اللهم‬
ّ ‫أن أحدكم إذا أتى أهله قال‬ ّ ‫لو‬
ّ ‫الشيطان ما رزقتنا فإن كان بينهما ولد لم‬
‫يضره الشيطان‬
Artinya: “Sesungguhnya jika kalian mendatangi istrinya,
hendaklah ia membaca, Allahumma jannibnisy syaithaan

50
wa jannibisy staithaan maa razaqtanaa, (Ya Allah,
jauhkanlah diriku dari setan, dan jauhkanlah setan dari apa
yang telah engkau rizkikan kepada kami).
Jika seseorang mencapai klimaks maka membaca doa dalam
hati dengan mengisyaratkan dengan lidahnya doa sebagai berikut:
“Segala puji bagi Allah yang menciptakan manusia dari air, lalu
dijadikannya manusia itu punya keturunan dan mushoharoh,
dan Tuhanmu Maha Esa.” Adab berduan dengan istri
diantaranya adalah: dilarang menghadap kiblat, karena
memuliakannya sebagai arah ibadah sholat. Menutupi tubuhnya
dan pasangannya, dilarang telanjang bulat.
Istri tidak boleh puasa sunnah jika tidak dapat ijin dari
suami, jika ia puasa juga maka tidak berpahala, hanya letih dan
dahaga, kecuali puasa Sunnah Arofah dan Asyura’. Istri tidak
boleh pergi tanpa seijin suami, jika ia pergi tanpa seijinnya maka
Malaikat Rahmat dan Azab akan mengutuknya sekalipun
suaminya dholim.
Hikayat pertama, Seorang wanita yang bernadzar tidak
akan bicara kecuali dengan bahasa al-Qur’an.
Abdullah bin al-Wasithi berkata, “Saya melihat seorang
wanita di Arofah mengatakan, “Man yahdillahu fala
mudhillalah, wa man yudhlilhu fala hadhiyalah.” (Siapa
yang diberi petunjuk Allah, maka tidak ada yang dapat
menyesatkannya, dan siapa yang disesatkan Allah maka tidak
ada yang dapat memberinya petunjuk), saya tau kalau wanita itu
sedang tersesat.

51
Lalu saya bertanya, hai wanita anda darimana?, ia
menjawab, “Subhanal ladzi asra bi ‘ibadihi lailan minal
masjidil haram ila masjidil aqsha,(Maha Suci Allah yang
telah memperlajankan hambanya dari masjidil haram sampai
masjidil aqsha), “saya pun tau kalau ia dari negeri Syam.”
Saya bertanya lagi, “Apa kepentingan anda datang ke sini?’
Dia menjawab, “Walillahi Alan naasi hijjul baiti manias
tatha’a ilahi sabilaa, (Melaksanakan haji adalah keajiban
manusia kepada Allah, yaitu bagi yang mampu melaksanakan
perjalanan ke Baitullah). Saya tahu kalau ia hendak berhaji.
Saya bertanya lagi, “Apakah engkau bersuami?,
Jawabnya,”walaa taqfu maa laisa laka bihii ilmun
,(Janganlah kamu mengikuti apa yang tidak kamu mengetahui
tentangnya).”
Tanyaku kembali, “Maukah kamu naik onta?. Ia
menjawab,”Wamaa taf’alu min khairin ya’lamuhullah,
(Dan apapun kebaikan yang kamu lakukan, Pasti Allah
mengetahuinya).
Ketika hendak naik onta ia pun berkata, “Qul lil
mu’miniina yaghudhu min abshorihim” (Katakanlah
kepada laki-laki yang beriman, hendaknya mereka
menundukkan pandangannya)
“Janganlah memandangku,” maka aku berpaling
darinya.

52
Setelah itu aku bertanya, Siapa namamu?, Jawabnya,
“Wadzkur fil kitaabi maryam.”(dan ceritakanlah kisah
maryam dalam al-qur’an) akuu tau namanya Maryam.
Saya bertanya lagi, “Apakah kamu punya anak?,
Jawabnya, “Wa washsha biha ibraahiimu baniihi wa
Ya’kub.” (Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada
anak-anaknya, demikian juga Ya’kub). Saya pun tahu kalau dia
memiliki anak.
Aku bertanya lagi, “siapa nama mereka?. Dai pun
menjawab, “Wa kallamahullah muusa taklimaa, wat
takhodzahullah ibrohiima khalilaa, ya Daawuuda inna
ja’alnaaka khaliifatan fil ard.“ (Dan Allah telah berbicara
dengan Musa secara langsung, Dan allah mengambil Ibrohim
menjadi kesayangannya, Hai Dawud, sesungguhnya kami
menjadikanmu khalifah di muka bumi).
Tanyaku, “Dimana mereka tinggal, akan aku cari.”
Jawabnya, “Wa ‘aalamat, wa bin najmi hum yahtaduun.
(Dan Dia menciptakan tanda-tanda, dan dengan bintang-
bintang itulah mereka mendapat petunjuk jalan).
Tanyaku, “Wahai Maryam, apakah kamu hendak
makan?. Jawabnya, “Inni nadzartu lirrohmaani saumaa”
(Sesungguhnya akau telah berjanji kepada Tuhanku untuk
puasa). Saya pun tau kalau ia sedang berpuasa.
Sesampainya di tempat anak-anaknya, lalu mereka
menangis, Wanitia itu berkata, “Fab’atsu ahadakum
biwariqikum haadzihi ilal madiinah, (Maka suruhlah

53
salah seorang diantara kamu pergi ke kota dengan membawa
uang perakmu ini).
Kemudian saya bertanya kepada anak-anaknya perihal
ibunya, Maka mereka mengatakan, “sesungguhnya ibu mereka
telah tersesat selama tiga hari dan tidak akan berbicara kecuali
dengan al-Qur’an.” Kemudian anak-anaknya menangis.
Saya bertanya kepada mereka, “Mengapa kalian
menangis?, Mereka menjawab bahwa ibunya sedang sakaratul
maut. Maka saya masuk dan bertanga kepada wanitu itu perihal
keadaannya, Ia menjawab, “Wajaa-at sakaratul maut bil
haqq,” (dan telah datang kematian dengan sebenarnya).
Setelah dia mati saya melihatnya dalam mimpi, saya
bertanya, “Anda berada dimana?. Dia menjawab, “Innal
muttaqiina fii jannatiw wanahar, fii maq’adi shiddiqin
‘inda maliikin muqtadir” (Sesungguhnya orang-orang yang
bertaqwa di dalam taman-taman dan saung-saung di tempat
yang sebenarnya).
Diriwayatkan dari Nabi bahwa beliau bersabda,

‫ليستغفر للمرأة املطيعة لزوجها الطير فى الهواء و الحيتان فى املاء و‬


‫املالئكة فى السماء مادامت فى رضا زوجها‬
Artinya: “Burung-burung di udara, ikan-ikan di laut, dan
para malaikat di langit memohonkan ampun kepada wanita
yang mentaati suaminya, selama wanita itu dalam keridhoan
suaminya.”

54
Hikayat Kedua, Seorang laki-laki yang poligami tanpa
sepengetahuan istrinya.
Di Bagdad, ada seorang laki-laki menikah dengan anak
pamannya, dan ia berjanji tikad berpoligami. Pada suatu hari ada
seorang wanita datang ke tokonya dan memintanya untuk
mengawininya. Lelaki itu pun menyampaikan bahwa ia telah
berjanji untuk tidak berpoligami. Wanita itu mengatakan jika ia
menjadi istri keduanya, ia rela digilir seminggu sekali tiap hari
jumat. Akhirnya laki-laki itu mengawininya hingga berlalu
delapan bulan, istri pertamanya lalu ingkar kepadanya, dan
menyuruh pembantunya untuk mengawasi suaminya kemana
pun ia pergi. Tiba-tiba suami majikannya masuk ke sebuah
rumah., pembantu itu pun bertanya perihal tersebut kepada para
tetangganya. Mereka mengatakan bahwa lelaki itu telah menikah.
Pembantu itu pun memberi tahu perihal suaminya, kalau
suaminya telah menikah lagi, maka majikannya berkata, “Kamu
jangan memberitahukan perihal ini pada siapa pun.” Setelah
laki-laki itu meninggal, maka istri pertamanya memerintahkan
pembantunya untuk menyerahkan uang 500 dinar kepada istri
kedua suaminya. Pembantunya mengatakan, “semoga Allah
memberikan paha yang besar kepadamu sehubungan dengan
kematian suaminya. Suamimu telah meninggal dan meninggalkan
harta 8.000 dinar. Yang 7.000 untuk putranya, dan 500 dinar
untuk istri pertama dan 500 dinar untuk istri keduanya.
Setelah pembantunya menyampaikan hal tersebut, istri
kedua tersebut berkirim surat pada istri pertama suaminya, ia

55
berkata, “Tolong sampaikan surat ini pada majikanmu.”
Ternyata surat itu berisi pembebasan mas kawin bagi suaminya,
dan wanita itu tidak mengambil apa-apa. Nabi bersabda,
ّ
‫وأيما امرأة عصت زوجها فعليه لعنة هللا و املالئكة و الناس أجمعين‬
Artinya: “Wanita yang durhaka kepada suaminya, maka
ia mendapat kutukan Allah, malaikat, dan semua manusia.”
Para wanita yang masuk surga dan yang masuk neraka.
Abdullah ibnu Mas’ud mendengar Rasullah bersabda,
ّ ‫فسوفت به‬
‫حتى ينام فهي ملعونة‬ ّ ‫ّأيما امرأة دعاها زوجها إلى فراشه‬

Artinya: “Wanita yang diajak suaminya ke tempat tidur


lalu ia menunda-nunda sampai suaminya tertidur maka ia
dilaknat oleh Allah.”
Wanita yang cemberut di hadapan suaminya, maka Allah
murka kepadanya, sampai ia membuat suaminya tersenyum dan
meminta ridhonya. ”Abdurrahman bin Khauf mendengar Rasul
bersabda,

‫و ّأيما امرأة كلحت فى وجه زوجها فهي فى سخط هللا إلى أن تضاحكه و‬
‫تسترضيه‬
Artinya: “Wanita yang durhaka di hadapan suaminya,
tidaklah ia bertdiri dari kuburnya mukanya menjadi hitam.
Dan wanita yang keluar rumah tanpa ijin suaminya, mala
malaikat melaknatnya sampai ia pulang.”
Usman bin Affan mendengar Rasul bersabda,

56
ّ ‫ما خرجت إمرأة من بيت زوجها بغيرإذنه ّإال لعنتها‬
‫كل ش يء طلعت‬
ّ ‫عليه الشمس‬
‫حتى الحيتان فى البحر‬
Artinya: “Tidaklah istri keluar rumah tanpa seijin
suaminya melainkan seluruh yang tersinari matahari sampai
ikan di laut melaknatnya.”
Rasul juga bersabda,
ّ ‫الناس أعظم‬
ّ : ‫قلت‬. ‫ زوجها‬: ‫حقا على املرأة ؟ قال‬
‫فأي الناس‬ ّ ‫أي‬
ّ
ّ ‫أعظم‬
.‫ ّأمه‬: ‫حقا على الرجل؟ قال‬
Artinya: “Siapakah manusia yang lebih besar haknya bagi
istrinya? Rasul berkata, “Suaminya.” Dan siapakah yang paling
besar haknya bagi seorang laki-laki ?. Rasul menjawab, “Ibunya.”
Rasullah bersabda,
ّ
‫ فقد حبط عملها‬. ‫ ما رأيت منك خيرا قط‬: ‫إذا قالت املرأة لزوجها‬
Artinya: “Jika seorang istri berkata kepada suaminya,
“Tidak pernah saya lihat kebaikanmu, maka seluruh amalnya
terhapus.”
Thalhah bin Ubaidillah mendengar, bahwa Rasul bersabda,
ّ ّ
‫ ما رأيت منك خيرا قط إال أيسها هللا تعاالى‬: ‫ّأيما امرأة قالت لزوجها‬
‫من رحمته يوم القايامة‬
Artinya: “Wanita yang berkata kepada suaminya, aku
tidak pernah melihat kebaikanmu sama sekali, melaikan allah
memutus rahmatnya pada hari kiamat.”

57
Rasul juga bersabda,
ّ
‫ّأيما امرأة يألت زوجها الطالق من غير ما بأس فحرام عليها رائحة‬
ّ
‫الجنة‬
Artinya: “Wanita yang meminta talak suaminya tanpa
alasan yang benar, maka haram baginya bau surga.” (HR. Imam
Ahmad. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan
al-Hakim dari Tsaubah budak Rasullah)
Abu Bakar Siddiq mendengar Rasul bersabda,
ّ
‫ طلفنى جاءت بوم القيامة ووجهها ال لحم فيه‬: ‫إذ قالت امرأة لزوجها‬
ّ ‫و لسانها خارج من قفاها و تهوى إلى قهر‬
ّ ‫جهنم و إن كانت تصوم‬
‫النهار‬
‫و تقوم الليل دائما‬
Artinya: “Apabila seorang wanita berkata kepada
suaminya, Ceraikanlah aku!, Maka ia datang pada hari kiamat
muka tak berdaging, lidahnya menjulur, dan terjatuh ke dasar
neraka, sekalipun berpuasa dan selalu sholat malam”
Sabdanya yang lain,

‫ال ينظر هللا تبارك و تعالى إلى امرأة ال تشكر لزوجها و هي ال تستغنى‬
‫عنه‬
Sabdanya yang lain, “Sesungguhnya Allah tidak
memandang wanita yang tidak bersyukur pada suaminya,
sedangkan dia tidak dapat mencukupi suaminya.”
Sabdanya yang lain,

58
ّ ‫لو‬
‫أن للمرأة من املال مثل ملك سليمان بن داود عليهما السالم و أكله‬
ّ ّ ‫زوجها‬
‫ثم قالت له أين مالى إال أحبط هللا عملها أربعين سنة‬
Artinya: “Andaikan seorang wanita memiliki harta
kekayaan seperti Nabi Sulaiman dan suaminya memakan harta
tersebut, lalu ia berkata kepada suaminya, “dimana hartaku?,
Allah akan melebur amalnya selama empat puluh tahun.”
Usman bin Affan mendengar Rasul berkata,
ّ ‫لو‬
ّ ‫أن املرأة ملكت الدنيا بحذافيرها و أنفقت الجميع على زوجها‬
‫ثم‬
ّ ّ
‫منت عليه بعد إال أحبط هللا عملها و حشرها مع قارون‬
Artinya: “Andaikan seorang wanita memiliki dunia dan
membelanjakannya semua harta kekayaan untuk suaminya,
kemudian mengungkit kepada suaminya, Allah menghapus
amalnya dan disatukan dengan Qorun.”
Rasul bersabda,

‫ّأول ما نسأل املرأة يوم القيامة عن صالتها و عن بعلها‬


Artinya: “Pertama-tama yang ditanyakan kepada wanita
adalah perihal suaminya dan sholatnya”
Rasulullah juga bersabda,
ّ ‫الرجل على صالته‬
‫ثم عن نسائه و ما ملكت يمينه إن‬ ّ
ّ ‫ألول ما يحاسب‬
‫ و ّأول ما‬, ‫أحسن عشرته معهم و أحسن إليهم أحسن هللا إليه‬
ّ ‫ثم عن‬
‫حق زوجها‬ ّ ‫تحاسب املرأة على صالتها‬

59
Artinya: “Pertama-tama yang ditanyakan kepada suami
adalah perihal sholatnya dan istrinya, budak yang dimiliki, jika
mempergaulinya dengan baik maka Allah berbuat baik
kepadanya.Dan perkara yang pertama kali diteliti bagi istri
adalah sholatnya dan hak suaminya.”
Rasulullah bersabda kepada seorang wanita,
ّ
‫فأين أنت منه قالت ما ألوه أى ما أقصر فى خدمته إال ما عجزت عنه‬
ّ
ّ ‫فإنه‬
‫جنتك و نارك‬ ‫قال فكيف أنت له‬
Artinya: “Bagaimana sikapmu terhadapa suamimu?,
Jawabnya, “Saya tidak menyulitkan dan tidak sembarangan
dalam berkhidmat kepadanya, kecuali jika saya tidak mampu
melakukannya, rasul berkata, “Bagaimana kedudukanmu
kepadanya, maka ia adalah surga dan nerakamu.”
Empat golongan wanita penghuni surga dan empat
golongan wanita penghuni neraka.
Dari Nabi beliau bersabda,
ّ ‫النار و ذكر من ألاربعين‬
‫اللواتى‬ ّ ‫الجنة و أربعة فى‬
ّ ‫أربعة من النساء فى‬
ّ ‫فى‬
‫الجنة امرأة عفيفة طائعة هلل و لزوجها ولودا صابرة قانعة باليسير‬
‫مع زوجها ذات حياء وإن غاب عنها زوجها حفظت نفسها و ماله و إن‬
‫إمرأة مات زوجها و لها أوالد صغار‬. ‫حضر أمسكت لسانها عنه‬
ّ ‫فحبست نفسها على أوالدها و ربتهم وأحسنت إليهم و لم‬
‫تتزوج خشية‬
‫بذية اللسان‬ ّ ‫اللواتى فى‬
ّ ‫النار فامرأة‬ ّ ‫ و ّأما ألاربعة‬: ‫ثم قال‬
ّ . ‫يضيعوا‬
ّ ‫أن‬

60
‫على زوجها إن غاب عنها زوجها لم تصن نفسها و إن حضر أذته‬
ّ
‫ وامرأة التستر نفسها من‬, ‫بلسانها وامرأة تكلف زوجها ما ال يطيق‬
ّ ّ ّ ‫ا ّلرجال و تخرج من بيتها‬
‫هم إال ألاكل و‬ ‫وامرأة ليس لها‬, ‫متبرجة‬
ّ ‫الشرب و‬
‫النوم و ايس لها رغبة فى صالة وال فى طاعة هللا و ال فى طاعة‬
‫ فاملرأة إذا كانت بهذه الصفات كانت‬, ‫رسوله وال فى طاعة زوجها‬
ّ ّ
‫النار إال أن تتوب‬ ‫ملعونة من أهل‬
Artinya: “Ada empat wanita di surga dan empat wanita di
neraka. Adapun yang empat wanita di surga adalah, wanita
yang menjaga dirinya, taat kepada Allah dan suaminya, banyak
anaknya, dan sabar dalam menerima apa yang ada walaupun
sedikit bersama suaminya, dan pemalu. Jika suaminya pergi ia
menjada diri dan harta suaminya, jika suaminya dirumah ia
menjaga lisannya. Di antara empat wanita itu adalah wanita
yang ditinggal mati suaminya memiliki anak-anak kecil dan ia
menjaga dirinya dan medidik nak-anaknya. Berbuat baik apada
mereka dan tidak menikah lagi karena takut menelantarkan
mereka.
Kemudian Nabi bersabda, “Adapun empat wanita yang di
neraka adalah, wanita yang buruk ucapannya kepada suaminya,
jika suamninya pergi ia tidak menjaga kehormatannya, jika
suaminya berada di rumah ia menyakiti dengan lisannya.
Kedua, wanita yang membebani suaminya di luar
kemampuannya. Ketiga, Wanita yang tak menutup auratnya
dan keluar berhias. Keempata, Wanita yang keinginannya hanya

61
melakukan pekerjaan makan, minum dan tidur. Tidak sholat,
tidak taat kepada Allah, rasul-Nya dan suaminya. Wanita-
wanita tersebut adalah orang-orang yang terkutuk dan ahli
neraka, kecuali mereka yang bertaubat.”
Wanita-wanita yang dilaknat karena perbuatannya.
Sa’ad bin Abi Waqqas mendengar Rasul bersabda,
ّ
ّ ‫إن املرأة إذا لم ت‬
‫فرح زوجها فى ضيقه لعنها هللا تعالى و غضب هللا تعالى‬
‫و لعنتها املالئكة أجمعين‬
Artinya: “Wanita yang enggan menghilangkan kesempitan
suaminya maka Allah murka kepadanya dan malaikat
melaknatnya.”
Salman Al-farisi mendengar Rasul bersabda,
ّ ‫ما نظرت إمرأة إلى غير زوجها بشهوة ّإال‬
‫سمرت عيناها يوم القيامة‬
Artinya: “Tidaklah seorang wanita memandang laki-laki
lain yang bukan suaminya dengan syahwat, melainkan kedua
matanya akan di paku pada hari kiamat.”
Abu Ayub al-Anshori mendengar Rasul bersabda,
ّ ‫خلق هللا فى سماء الدنيا سبعين ألف ملك يلعنون‬
‫كل امرأة يخون‬
‫زوجها فى ماله وكانت يوم القيامة مع السحرة و الكهنة وإن أفنت‬
‫عمرها فى خدمة زوجها‬
Artinya: “Allah menciptakan tujuh puluh ribu malaikat di
langit dunia, mengutuk setiap wanita yang menghianati harta

62
suaminya. Dan mereka pada hari kiamat akan berkumpul
bersama tukang sihir, peramal, sekalipun ia menghabiskan
umurnya untuk berkhidmat pada suaminya.”
Mu’awiyah telah mendengar Rasul bersabda,
ّ
‫ّأيما امرأة أخذت من مال زوجها بغير إذنه إال كان عليها وزر سبعين‬
‫ألف سارق‬
Artinya: “Wanita yang mengambil harta suaminya tanpa
seijinnya, ia akan memikul dosa tujuh puluh dosa pencuri.”
Berkaitan dengan hal ini Rasul bersabda,
ّ ّ ‫أدمي‬
ّ ‫كل‬ ّ ‫حرم هللا على‬
ّ
, ‫الجنة أن يدخلها قلبى غير أنى أنظر عن يميى‬
ّ ‫فإذا امرأة تبادرنى إلى باب‬
‫الجنة فأقول مالهذه تبادرنى فيقال لى يا‬
‫محمد هذه امرأة كانت حسنا جميلة و كان عند ها يتامى لها فصبرت‬ّ
ّ
‫أمرهن الذى بلغ فشكر هللا لها ذلك‬ ّ ‫عليهن‬
‫حتى بلغ أمرها‬ ّ

Artinya: “Semua manusia diharamkan masuk surga


sebelum aku, melaikan aku melihat sebelah kananku, tiba-tiba
seorang wanita mendahuluiku ke pintu surga. Kataku,“Apa
kelebihannya dapat mendahuluiku? Maka dikatakan
kepadaku,“Hai Muhammad, dialah wanita cantik dan baik.
Dia memiliki anak-anak yatim dan dia sabar mendidiknya
sampai mereka dewasa, akhirnya Allah membalas kebaikan
wanita tersebut.”

63
Wanita yang bersolek, menyusahkan suaminya dan beramal
tanpa seijinya.
Umar bin Khattab mendengar Nabi bersabda,
ّ ‫ّأيما امرأة رفعت صوتها على زوجها ّإال لعنها هللا‬
‫كل شيئ طلعت عليه‬
‫الشمس‬
Artinya: “Wanita yang meninggikan suaranya dihadapan
suaminya, maka apa pun yg terkana sinar matahari
melaknatnya.”
Abu Dzar mendengar Rasul bersabda,

‫ثم أدخلت علي زوجها‬ ّ ‫إن امرأة عبدت عبادة أهل لبسماوات و ألارض‬ ّ
ّ ّ
‫الغم من جهة النفقة إال جاءت يوم القيامة و يدها مغلولة إلى عنقها‬
ّ ّ ‫ورجلها‬
‫مقيدة وسترها مهتوك ووجهها كالح وتعلق بها مالئكة غالظ‬
ّ
‫شداد يهوون بها فى النر‬
Artinya: “Jika wanita beribadah seperti ibadahnya
penduduk langit dan bumi, lalu ia menyusahkan suaminya dari
sisi nafkah, melainkan ia datang hari kiamat tangannya
terbelenggu ke lehernya, kakinya di ikat, mukanya hancur, dan
digantungi malaikat yang kasar, mereka melemparkannya ke
neraka.”
Salman al-Farisi mendengar Rasul bersabda,
ّ ‫وتطيبت وخرجت من بيت زوجها بغير إذنه‬
‫فإنها‬ ّ ‫تزينت‬ ّ ‫ّأيما امرأة‬
ّ ‫تمش ى فى سخط هللا وغضبه‬
‫حتى ترجع‬

64
Artinya: “Wanita yang bersolek dan memakai parfum lalu
keluar rumah tanpa seijin suaminya, ia telah mendapat murka
Allah sampai ia pulang.”
Rasulullah juga bersabda,
ّ
‫ّأيما امرأة نزعت ثيابها فى غير بيتها أى تكشفت لألجانب خرق هللا‬
ّ
(‫عزوجل عنها ستره) رواه إلامام أحمد والطبرانى والحاكم والبيهقى‬
Artinya: “Wanita yang melepas pakaiannya di luar runah,
agar dilihat para lelaki, maka Allah akan menyobek tubuhnya.”
Pengabdian seorang istri kepada suaminya.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan al-Hakim, ada
seorang wanita berkata kepada Nabi.
ّ ‫حقه أن لو سال منخراه دما وقيحا فلحسته بلسانها ما ّأدت‬
‫حقه‬ ّ ‫من‬

‫لو كان ينبغى لبشر أن يسجد لبشر ألمرت املرأة أن تسجد لزوجها‬
Artinya: “Anak paman saya akan menikahi saya, maka
berilah aku nasehat mengenai hak suami yang harus dipenuhi
oleh istrinya. Maka jika hak-hak itu aku mampu
menanggungnya maka akau akan menikah.”
Rasul berkata, “Diantara haknya adalah jika hidung
suami mengalir darah atau nanah lalu istrinya menjilatnya, ia
belum memenuhi haknya. Kalau manusia boleh bersujud kepada
manusia, niscaya aku perintahkan istri bersujud pada
suaminya.”

65
‘Aisyah mendengar seorang wanita bertanya kepada Nabi,
Wahai Rasullah saya seorang gadis yang telah di pinang, tetapi
say tidak ingin menikah, maka apa hak suami atas istrinya?”
Rasul menjawab, “Jika terdapat nanah di sekujur badan suami,
lalu istri menjilatinya, maka belum dapat memenuhi rasa
terimakasihnya kepada suaminya.” kata gadis tersebut, Apakah
saya tidak perlu menikah? Nabi menjawab, Kawinlah kamu,
karena kawin itu lebih baik.”
At-Thabrani meriwayatkan dengan sanad yang baik bahwa
wanita itu tidak memenuhi hak Allah sebelum memenuhi hak
suaminya. Seandainya suami meminta haknya sekalipun istri
diatas punggung onta, maka istri tidak boleh menolaknya.
Ibnu Abbas berkata, Ada seorang wanita dari desa
khats’am datang kepada rasullah dan berkata,”Saya adalah
wanita yang tidak memiliki suami, sedangkan saya akan
menikah, lalu hak apa suami atas istrinya? Rasullah menjawab,
bahwa diantara hak-hak suami adalah:
 Jika suami menghendakinya, sedangkan istri berada di atas
punggung onta maka ia tidak boleh menolaknya
 Istri dilarang memberikan sesuatu dari rumag suaminya tanpa
seijinnya, jika memberikan sesuatu maka ia berdosa dan suami
mendapat pahala.
 Istri dilarang berpuasa sunah jika suami tak mengijinkannya,
jika ia puasa juga maka tiada pahala kecuali lapar dan dahaga.
 Jika istri keluar rumah tanpa seijin suami maka akan dilaknat
malaikat sampai ia kembali pulang.

66
Ketika Isra’ Mi’raj Nabi diperlihat para wanita yang disiksa
di neraka.
Ali datang kepada Nabi bersama Fatimah, ternyata beliau
sedang menangis tersedu-sedu. Maka Ali bertanya kepadanya,
Ayah dan ibuku menjadi tebusanmu ya Rasullah, Apa yang
membuatmu menangis?.
Rasullah menjawab, Wahai Ali, ketika aku mi’roj, aku
melihat banyak wanita dari umatku di siksa di neraka
jahannam dengan bermacam-macam siksaan. Saya menangis
karena melihat dasyatnya siksaan mereka.”
Kemudian Nabi menjelaskan secara jelas dengan sabdanya:
 Aku melihat ada wanita yang di siksa dengan digantung
melalui rambutnya dan kepalanya mendidih.
 Aku melihat ada wanita yang di siksa dengan digantung
lidahnya, dan air panas mendidh dituangkan ke mulutnya.
 Aku melihat ada wanita yang di siksa kedua kakinya sampai
payudaranya, dan kedua tangannya diikta pada kepalanya, lalu
Allah menguasakan ular-ular dan kala jengking untuk
memangsanya.
 Aku melihat ada wanita yang di siksa digantung dengan
payudaranya
 Aku melihat ada wanita kepalanya seperti babi, dan tubuhnya
seperti keledai, dan disiksa berkali-kali.
 Aku melihat ada wanita yang seperti anjing, dan api masuk
lewat mulutnya dan keluar dari duburnya, lalu malaikat
memukulnya dari palu-palu api.

67
Fatimah berdiri seraya berkata, Wahai kekasihku,
kesenangan dan kesejukan pandanganku, Apakah yang diperbuat
wanita-wanita itu sehingga mengalami siksaan yang berat?”
Rasulullah bersabda, Wahai putriku, Adapun wanita yang
digantung dengan rambutnya, karena ia tidak menutup rambut
kepalanya dari laki-laki lain. Sedangkan wanita yang di gantung
dengan lidahnya karena lisannya selalu menyakiti hati
suaminya. Adapun wanita yang digantung dengan putting
payudaranya karena ia mengajak tidur laki-laki lain. Adapun
wanita yang kedua kakinya di ikat sampai payudaranya dan
tangannya sampai ubun-ubunnya lalu di pantik ular dan
kalajengking karena tidak mandi junub, mandi haidh dan
mengabaikan sholat. Adapun wanita yang kepalanya seperti babi
dan tubuhnya seperti keledai karena ia suka mengadu domba dan
dusta. Sedangkan wanita yang kepalanya mirip anjing dan api
masuk darimulutnya dan tembuh sampai duburnya karena ia
mengungkit-ungkit pemberian dan pendengki. Wahai putriku,
kecelakaan besarlah bagi wanita yang durhaka kepada suaminya.
Kedatangan Nabi dan wasiatnya terhadap Fatimah
Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa pada suatu hari
Rasulullah datang ke rumah Fatimah. Nabi melihat Fatimah
sedang menumbuk gandum sambil menangis.
Rasul pun bertanya padanya, Kenapa kamu menangis
Fatimah, semoga Allah tidak menangiskan matamu.”

68
Jawab Fatimah, “Wahai ayahku, yang membuatku
menangis adalah gilingan gandum ini dan kesibukan pekerjaan
rumah”
Rasulullah menghampirinya dan duduk, lalu Fatimah
berkata,”Wahai ayahku, dari kumulyaanmu semoga engkau
berbicara kepada Ali untuk membelikan jariyah kepadaku agar
jariyah dapat membantu menggiling gandum dan mengerjakan
pekerjaan rumah.”
Setelah mendengarkan Fatimah, Nabi menghampirinya lalu
mengambil sedikit gandum dengan tangannya yang mulia sambil
meletakkan tangannya pada gilingan dan membaca
Bismillahirrahmannirrahiim”. Seketika itu gilingan berputar
sendiri atas ijin Allah. Lalu beliau mengambil gandum yang telah
tergiling dengan tangannya, sedanggkan gilingan gandum terus
berputar sambil membaca tasbih dengan bermacam-macam
bahasa sampai selesai menggiling.
Kemudian Nabi berkata kepada gilingan, “Berhentilah
dengan seijin Allah.” Gilingan itu pun berhenti seketika dan
berkata dengan ijin Allah menggunakan bahasa Arab yang fasih,
“Wahai Rasullah, demi Dzat yang mengutusmu menjadi Nabi
dan Rasul pembawa kebenaran, andaikan engkau menyuruhku
menggiling di daratan timur dan barat, aku akan menggiling
seluruhnya. Dan aku telah mendengar Allah telah berfirman.
ّ ‫يأيها الذين أمنوا قوا أنفسكم وأهليكم نا ا وقودها‬
‫الناس والحجارة‬ ‫ر‬
‫عليها ملئكة غالظ شداد ال يعصون هللا ما أمرهم ويفعلون ما تؤمرون‬

69
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah
dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya
adalah manusia dan batu, penjaganya para malaikat yang
ganas, keras tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkannya, dan selalu melaksanakan apa yang
diperintahkannya.” (QS.At-Tahrim: 6) Jadi aku takut kalau aku
termasuk salah satu batu yang masuk neraka.”
Rasullah bersabda, Bergembiralah kamu, karena kamu
termasuk batu rumahnya Fatimah di surga.” Maka batu itu
merasa bahagia dan berhenti. Kemudian Nabi bersabda kepada
Fatimah, “Wahai Fatimah, jika Allah menghendaki, maka
gilingan itu pasti menggiling sendiri, tetapi Allah menetapkan
amal baikmu, melebur kejelekanmu, dan meninggikan
derajatmu.”
Lalu Rasul meneruskan wasiatnya:
 Wahai Fatimah, setiap wanita yang membuat tepung untuk
suaminya dan anak-anaknya, Allah akan menetapkan kebaikan
setiap biji gandum, melebur kejelekannya, dan meninggikan
derajatnya.
 Wahai Fatimah, setiap wanita yang berkeringan ketika
menumbuk tepung untuk suaminya, niscaya Allah
menjadikan antar dirinya dan neraka tujuh tabir.
 Wahai Fatimah, setiap wanita yang meminyaki rambut anak-
anaknya lalu menyisirnya dan mencucikan pakaiannya, maka
Allah menetapkan pahala memberi makan dan pakaian seribu
orang kelaparan dan telanjang.

70
 Wahai Fatimah, setiap wanita yang menahan kebutuhan
tetangganya, melaikan Allah menahannya dari minum telaga
Kautsar pada hari kiamat.
 Wahai Fatimah, yang lebih utama dari keutamaan di atas
adalah keridhoan suami terhadap istrinya. Jika ia tidak ridho
kepadamu maka aku tidak akan mendoakanmu. Ketahuilah
bahwa keridhoan suami membuat ridhonya Allah.
 Wahai Fatimah, setiap wanita yang mengandung anaknya
diperutnya, maka para malaikat memohinkan ampun
kepadanya. Dan Allah menetapkan baginya setiap hari seribu
kebaiakan, dan melebur seribu keburukan, ketika sakit akan
melahirkan maka Allah menetapkan pahala pejuang di jalan
Allah. Jika ia melahirkan maka dosa-dosanya di ampuni seperti
orang yang baru lahir, dan dikuburnya mendapat taman-
taman surga, Allah menetapkan seribu pahala ibadah haji dan
umrah. Dan seribu malaikat memohonkan ampun kepadanya
sampai hari kiamat.
 Wahai Fatimah, setiap wanita yang berkhidmat untuk
suaminya sehari semalam dengan keikhlasan, maka Allah
mengampuni dosa-dosanya, dan Allah akan memberinya
pakaian warna hijau, dan menetapkannya baginya setiap
rambut seribu kebaiakan dan seribu ibadah haji dan umroh.
 Wahai Fatimah, setiap wanita yang senyum untuk suaminya,
melainkan Allah akan memandangnya dengan rahmat
 Wahai Fatimah, setiap wanita yang membentangkan alas tidur
untuk suaminya, maka para malaikat menyerunya untuk

71
melihat amalnya, dan dosa-dosanya diampuni yang lalu dan
akan datang.
 Wahai Fatimah, setiap wanita yang meminyaki kepala dan
janggut suami, mencukur kumis dan memotong kukunya,
melainkan Allah memberinya minuman arak yang di ambil
dari sungai-sungai surga. Allah mempermudah sakaratul
mautnya, kuburnya bagai taman-taman surga, Allah
membebaskannya dari api neraka dan dapat selamat dari shirat.
Pengertian Rahiq Makhtum (arak yang di lak) adalah arak
yang sangat jernih dan masih tertutup, belum di buka oleh
siapapun. Dan arak yang di lak itu lebih baik dari yang mengalir.
Perbuatan-perbuatan wanita yang dapat menghapus dosa-
dosanya.
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dari Nabi, bahwasannya
beliau bersabda,

‫إذا غسلت املرأة ثياب زوحهاكتب هللا لها ألف حسنة وغفر لها ألف‬
ّ ‫سيئة ورفع لها ألف درجة واستغفر لها‬
‫كل شيئ طلعت عليه الشمس‬ ّ

Artinya: “Bila seorang istri mencuci pakaian suaminya,


maka alalh memberinya seriu kebaiakan, mengampuni seribu
kesalahan, mengangkat seribu kebaikan, dan apa saja yang
terkena sinar matahari memohonkan ampun untuknya.”
Aisyah berkata, “Suara pintalan tenun wanita dapat
mengimbangi takbir di jalan Allah, dan wanita yang member
pakaian pada suaminya dari hasil tenunannya, maka setiap
lubang memperoleh seratus derajat.”

72
Nabi bersabda,
ّ ّ ‫من اشترى لعياله شيأ‬
‫ثم حمله بيده إليهم حط هللا عنه ذنوب سبعين‬
‫سنة‬
Artinya: “Siapa yang belanja untuk keluarganya dan
dibawanya sendiri untuk diberikan kepada keluarganya, maka
allah menghapus dosanya tujuh puluh tahun.”
Nabi bersabda,
ّ ّ ‫من‬
‫فرح أنثى فكأنما بكى من خشية هللا ومن بكى من خشية هللا تعالى‬
ّ ‫حرم هللا جسده على‬
‫النار‬ ّ
Artinya: “Siapa yang membahagiakan anak perempuan
maka seperti menangis karena Allah SWT. Maka Allah
mengharamkan jasadnya masuk neraka.”
Dan juga sabda Nabi,
ّ ‫البيت الذي فيه البنات ينزل هللا فيه‬
‫كل يوم إثنتى عشر رحمة و ال‬
‫كل يوم وليلة‬ ّ
ّ ‫ألبويهن‬ ‫تنقطع زيارة املالئكة من ذلك البيت ويكتبون‬
‫عبادة سبعين سنة‬
Artinya: “Rumah yang ditempati anak perempuan, maka
setiap hari Allah menurunkan dua belas rahmat, para malaikat
tidak putus-putus mengunjungi rumah tersebut, dan para
malaikat mencatat untuk kedua orang tuanya setiap hari dan
malamnya paha ibadah tujuh puluh tahun.”

73
BAB III
REINTERPRETASI FK3 PADA RELASI SUAMI
ISTRI DALAM KITAB UQUD AL-LUJJAYN

A. Profil Forum Kajian Kitab Kuning (FK3)


Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan pemikiran
Islam mengalami kemajuan yang signifikan dan urgen dalam
peradaban kemanusiaan. Sejak kemunculannya di Hijaz lima belas
abad silam, Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad merubah
pranata sosial, hukum, tradisi dan budaya yang berlaku pra Islam,
sehingga menimbulkan gejolak yang begitu dasyat. Goncangan ini
mengakibatkan munculnya perlawanan dan counter yang begitu
besar dari para pembesar dan bangsawan Arab hingga mengancam
nyawa nabi dan para pengikutnya. Namun perlawanan tersebut
dapat ditaklukkan dengan semangat dan kesabaran Nabi dalam
mengemban visi dan misi dari diutusnya beliau sebagai pendobrak
dan perubah peradaban dan tradisi yang berakar.
Perubahan tersebut terutama juga menyasar pola pikir,
paradigma, wacana dalam kihidupan mereka. Dalam bahas Fazlur
Rahman dinyatakan bahwa keberakhiran kenabian pada Nabi
Muhammad, karena kondisi manusia sudah mencapai
kedewasaan rasional, sehingga wahyu-wahyu baru Tuhan tidak
lagi dibutuhkan.
Perkembangan pimikiran ini terus berlanjut secara
mutawatir dari masa Nabi ke para sahabat yang disebut dengan

74
masa tafsir dan takmil, yang berlangsung selama 90 tahun
terhitung sejak masa wafatnya Rasulullah 11 H. hingga akhir abad
pertama Hijriyah 101 H. Dari masa sahabat ke masa tabi’in dan
tabi’in tabi’in yang disebut dengan masa tadwin dan munculnya
para imam mujtahid serta zaman perkembangan serta kedewasaan
hukum, yang berlangsung selama 250 tahun, sejak abad pertama
hijriyah 101 H. sampai 350 H. (720-961 M.). Perkembangan
pemikiran tersebut hingga memunculkan aliran dalam hukum
Islam (fikih) antara aliran tradisional (ahlu al-hadis) dan aliran
rasional (ahlu ar-ra’yu).
Pada abad-abad selanjutnya muncul pemikir-pemikir Islam
dalam berbagai bidang keilmuan, hingga pada ranah filsafat yang
memunculkan tokoh-tokoh filsafat termashur dan terkemuka,
para filosof tersebut menjadi mata rantai filosof Yunani dan
sekaligus melahirkan filosof muslim yang dapat menyajikan
pemikiran-pemikiran yang sesuai dengan Islam. Kelahiran ini
diawali dari penterjemahan buku-buku filsafat Yunani ke dalam
bahasa Arab yang dilakukan sejak masa klasik Iskam. Mereka tidak
hanya mengkritisi namun juga melahirkan pemikiran-pemikiran
baru dan segar sehingga pemikiran mereka menjadi rujukan
generasi-generasi berikutnya. Ibn Rusy, Ibn Sina, al-Ghazali
adalah diantara sosok filosof muslim yang mendunia.
Perkembangan pemikiran ini suatu keniscayaan yang tidak
dapat dinafikan mengingat persoalan dan problem yang dihadapi
selalu muncul dalam kehidupan umat manusia, peradaban juga
berkembang seiring perkembangan pendidikan, indusri,

75
kebudayaan, ekonomi dan politik. Pada masa selanjutnya,
perkembangan ini juga akan diuji oleh waktu, seiring
perkembangan peradaban, ilmu pengetahuan. Maka menjadi
relevan suatu pemikiran pada masanya, namun pada masa
berikutnya tidak relevan lagi, atau mengalami pergeseran dari
bentuk awalnya. Hal ini suatu keniscayaan yang dalam bahasa
sosiolog Ibn Khaldun disebut dengan siklus spiral, ia naik dan
memutar.
Perkembangan pemikiran dalam Islam juga menyentuh
aspek-aspek pokok dasar sumber hukum Islam (al-Qur’an dan
hadis), tentunya dengan munculnya kitab-kitab tafsir
kontemporer dan kitab-kitab syarah hadis yang muncul
belakangan, muncul juga reinterpretasi atas karya-karya ulama
dahulu dengan konteks pemahaman yang dimaknai sesuai dengan
zaman sekarang sehingga lebih membumi dan mudah difahami.
Hal ini menurut Ibu Dra. Hj Sinta Abdurrahman Wahid didasari
pada pemahanan bahwa setiap pemikiran memiliki kebenaran
relatif sesuai dengan realitas dan konteks zamannya.
Salah satu gagasan melakukan reinterpretasi pemikiran
adalah Forum Kajian Kitab Kuning (FK3) yang diketuai oleh Dra.
Hj. Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, M.Hum yang ingin
menyajikan gagasan yang segar sesuai dengan konteks zaman yang
dihadapi saat ini, hal ini merupakan suatu gagasan yang
merupakan kelanjutan dari perkembangan pemikiran pada masa-
masa sebelumnya. Dengan menyajikan reinterpretasi maka akan
merubah paradigma dan wacana pemikiran umat manusia (Islam)

76
kepada pemikiran yang egaliter, inklusif dan modern. Karena
kebenaran suatu pemikiran akan diperoleh jika senantiasa
dibenturkan dengan realitas kehidupan masa kini dan mampu
eksis di tengah kehidupan masyarakat yang semakin komplek.
Tanpa dibenturkan dengan realitas kehidupan maka kita tidak
akan tahu apakah pemikiran tersebut masih relevan dengan
kondisi sekarang atau hanya relevan dengan masa pemikiran itu
dimunculkan.
Diantara misi dari FK3 adalah melakukan kajian terhadap
kitab-kitab kuning yang menjadi pembelajaran di pesantren,
dengan misi melakukan reinterpretasi agar terjadi keadilan dan
keberimbangan dalam melihat kompleksitas kehidupan dan
keberagamaan. Kaitan dengan kitab Uqud al-Lujjayn agar tercipta
relasi wajah baru dalam rumah tangga yang berkeadilan dan saling
menghormati, melengkapi dan tolong menolong antara suami
istri. Disamping itu juga melakukan kajian pada kitab kuning
secara kritis dan mendalam sesuai dengan konteks kekinian
karena karya-karya ulama muncul tidak pada ruang kososng dan
tidak bersifat qoth’i. Dalam rinterpretasi yang dilakukan bukan
pada dalil-dalil qoth’i dan mutawatir namun pada dalil-dalil yang
bersifat dzonni, kalimat-kalimat yang memiliki makna debatable
dan pendapat para ulama pada masanya.

77
B. Latar Belakang Munculnya Reinterpretasi Terhadap
Kitab Uqud al-Lujjayn
a. Gerakan Keadilan
Keadilan merupakan salah satu asas pokok dalam ajaran
Islam yang bersifat universal. Keadilan berasal dari kata adil yang
merupakan kata serapan dari bahasa Arab yaitu Adl (adlun) yang
secara etimologi bermakna kesetaraan, kesamaan dan berimbang.
Bahkan berlaku adil merupakan indikasi ketaqwaan seseorang,
bahkan kebencian kepada suatu kaum tidak boleh mengorbankan
keadilan, al-Qur’an telah mengungkap hal tersebut dalam Surah
al-Maidah ayat delapan. yang maknanya, “Wahai orang-orang
yang beriman, Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena
Allah (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah
kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk
berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat
kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah
Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan”.
Doktrin dan gerakan keagamaan selama ini dianggap
kurang memberi ruang yang setara dan adil antara laki-laki dan
perempuan. Pada dasarnya perbedaan gender (biologis) selama
tidak menimbulkan diskriminasi terhadap kaum perempuan tidak
menimbulkan problem gender, namun pada realitanya perbedaan
itu menimbulkan ketidakadilan. Pengejawantahan ketidakadilan
tersebut terrekam dalam semua aspek kehidupan, anggapan tidak
pentingnya wanita mengambil keputusan politik, tidak layak
menjadi pemimpin, label negatif terhadap kaum perempuan,

78
beban kerja yang sama dengan laki-laki namun upah lebih murah ,
kurang pentingnya pendidikan tinggi bagi perempuan merupak
penyakit yang masih akut di masyarakat terutama pedesaan.
Sebagaiman yang dikatan oleh Mansour Fakih, bahwa
ketidakadilan gender dan perbedaan gender secara dialektis saling
mempengaruhi.
b. Kesetaraan Gender
Seiring dengan perkembangan zaman dan canggihnya
teknologi dan informasi, maka terjadi perubahan dalam pranata
kehidupan masyarakat. Relasi (hubungan) antara laki-laki dan
perempuan pun mengalami perubahan dan pergerseran, dulu
wanita yang hanya diasumsikan sebagai pelengkap dalam strata
sosial, perannya hanya berada di ranah domestik (rumah tangga)
kini justru sebaliknya wanita banyak berkiprah di ranah publik.
Tidak sedikit para wanita justru mengambil alih peran laki-laki
dalam berbagai aspek kehidupan. Sehingga tatanan kehidupan
dalam keluarga pun mengalami pergeseran dan perubahan, lebih-
lebih di wilayah publik. Faktor kemajuan dunia pendidikan juga
membawa dampak perubahan relasi antara laki-laki dan
perempuan sampai dalam relasi rumah tangga. Wanita telah
memahami secara luas pola hubungan yang berkeadilan dan
kesetaraan serta kesamaan kesempatan di ruang publik.
Munculnya gerakan feminisme dibarat maupun di berbagia
negara-negara Muslim merupakan bentuk respon atau
ketidakpuasan atas dominasi laki-laki dalam berbagai aspek

79
kehidupan, muncul gerakan feminisme yang bersifat radikal
sampai gerakan feminisme Muslim.
Maka dengan berkembangnya wacana relasi tersebut
memunculkan istilah gender dan sex (jenis kelamin), yang
pertama merupakan jenis kelamin sosial dan yang kedua adalah
jenis kelamin biologis. Perbedaan jenis kelamin biologis
merupakan sesuatu yang given, bahwa wanita itu berbeda secara
biologis dengan laki-laki. Wanita memiliki payudara, vagina,
mengandung, menyusui dan melahirkan. Sedangkan laki-laki
berbeda, ia memilki penis, memproduksi sperma, berjanggut dan
berkumis. Sedangkan gender adalah, sifat yang melekat pada laki-
laki maupun wanita yang dibangun secara sosial, politik, budaya
dan kultural.
Dengan semakin masifnya gerakan feminisme maka
muncul gerakan-gerakan feminisme yang menggelorakan keadilan
dan kesetaraan gender. Apapun yang dianggapnya tidak
mendukung kesetaraan harus ditinjau ulang dan dilakukan
perubahan, baik itu politik, budaya, atau ajaran agama. Maka
perlu dilakukan kajian ulang tentang karya-karya ulama yang
dianggapnya tidak mendukung kesetaraan gender dan keadilan.
Baik dalam ranah domestik (rumah tangga) maupun dalam ranah
publik.
c. Problem Teks
Fazlur Rahman pemikir dari Pakistan menyatakan teorinya,
bahwa setiap ayat (teks) dalam al-Qur’an memiliki dua dimensi,
lokalitas dan universalitas. Ali Ashgar Engineer, menyebutnya

80
Muhkamat dan Mutasyabihat.Bahkan dalam kajiannya Syaiful
Arif, sebagaimana disinyalir beberapa pemikir Muslim seperti, al-
Jabiri, Abu Zayd, Hasan Hanafi, mendasari munculnya sikap
radikalisme salah satu faktornya adalah merujuk nalar hukum
yang menempatkan Islam sebagai politik.
Sedangkan Islam Emansipatoris mendudukkan teks sebagai
bagian dari realitas yang memiliki keterbatasan. Hal ini bukan
merendahkan dan mereduksi teks, namun memberikan ruang
yang cukup leluasa bagi manusia untuk berdialog dengan teks, di
satu sisi harus mengambil jarak dan melakukan diskoneksitas
epistemology dengan teks, disisi lain ia harus melakukan
kontekstualisasi. Dapat disederhanakan dalam jargon yang
melekat dalam Kultur NU dengan istilah, “al-Muhaafadzotu
‘ala Qodiimis Sholeh wal ahdzu bil Jadidil Ashlah” (Menjaga
keberlangsungan atas sesuatu yang lama yang baik dan mengambil
sesuatu yang baru yang lebih baik), bahkan menurut Rais ‘Am
PBNU KH. Ma’ruf Amin, harus lebih progresif lagi dengan
istilah “al-Ishlah ili maa huwal Ashlah fal ashlah” (Melakukan
inovasi kepada inovasi selanjutnya sehingga terjadi kontinuitas
improvement)
Dengan demikian titik tolak Islam Emansipatoris bukan
dari teks kitab suci sebagaimana Islam tekstualis-revivalis,
ideologis dan modern, namun berangkat dari problem
kemanusiaan secara ril. Kitab suci tidak lagi dianggap sebagai
undang-undang namun sebagai media spirit perjuangan, inspirasi
untuk pembebasan, bukan berarti hal ini merendahkan teks

81
agama namun justru menempatkannya sebagai landasan dalam
arti yang luas, disamping memberikan penghargaan kepada
manusia untuk melakukan perubahan yang lebih baik bagi
tatanan kehidupan. Dengan kata lain Islam Emansipatori
melakukan dekonstruksi pemikiran untuk melakukan
pembebasan.
Hal ini dikarenakan problem yang ada adalah realitas sosial
bukan pada teksnya, karena teks secara sadar tidak akan
melegitimasi krisis sosial yang penuh diskriminasi, penindasan,
eksploitasi. Telah menjadi Nalar Islam ketika ijtihad para ulama
klasik telah dianggap final yang relevan dengan situasi waktu dan
tempat pada semua zaman. Hal inilah yang menurut Harun
Nasution, yang menjadikan dogmatis ketat, ketertutupan,
pandangan sempit dan penolakan terhadap hal-hal baru.
Adapun yang cukup menjadi sorotan bagi kalangan Islam
Emansipatoris adalah penyikapan terhadap teks. Kenapa teks?
Karena cara pandang terhadap teks yang berbeda akan melahirkan
sikap yang berbeda, maka cara pandang yang salah terhadap teks
memunculkan Islam eksklusif, destruktif atau sebaliknya.
Bagaimana anda memandang dan memberlakukan teks maka
disitulah anda berpijak dan menjadi. Dalam kajian ilmu Ulumul
al-Qur’an, kajian terhadap teks sangat serius dan intens. Teks
tidak berdiri sendiri, tidak wujud diruang kosong, ia terkait oleh
aspek-aspek audiens yang disapanya. Ada asbab (sebab-sebab)
turunnya wahyu ada nuzul (turun) sebagai jawaban dan respons
dari atas. Sebab naik ke atas, nuzul turun ke bawah sebagai

82
jawaban dari sebab-sebab yang terjadi di bawah, walaupun tidak
semua wahyu dilatarbelakangi oleh asbab. Dalam kajian ilmu
Ushul Fikih teks menjadi sangat penting dari aspek kemutlakan
dan kemuqoyyadannya, kemujmalan dan kemubhamannya,
kemanthuqan dan kemabhumannya, nasakh dan mansukhnya.
Kajian tentang teks ini juga menyasar Kitab suci al-Qur’an yang
membelah menjadi dua kutub, antara kalam tuahn yang bersifat
qadim dan Kalam Tuhan yang bersifat baharu, pemahaman ini
berlanjut pada perbedaan penafsiran yang bersifat harfiah-tekstual
dan siyaqiyah-kontekstual.Berarti Kajian teks akan memunculkan
sikap penafsiran yang berbeda, hal ini disebabkan teks tidak
berdiri sendiri, ia selalu terkait dengan sosio-kultural dan politik.
d. Kontekstualisasi Figh Perempuan
Wacana tentang perempuan dalam tradisi agama-agama
tidak habis diperbincangkan. Dalam tradisi agama-agama pra
Islam maupun pasca Islam kaum perempuan terus menjadi bahan
perbincangan. Hal ini terus menjadi wacana publik karena
meningkatnya peran perempuan dalam semua aspek kehidupan
sosial, budaya, ekonomi dan politik. Bahkan bukan hanya pada
peran dalam ranah publik juga dalam ranah domestik (rumah
tangga). Dalam agama-agama pra Islam wanita telah mengambil
berbagai peran dalam kehidupan masyarakatnya namun hal ini
bukan berarti perempuan telah mendapat perlakuan yang
seimbang dengan kaum laki-laki.
Dalam sejarah agama-agama pra Islam terdapat para
perempuan yang menjadi poros sejarah. Contoh yang disinggung

83
dalam al-Qur’an, pada masa Nabi Sulaiman, ada negeri yang
diabadikan sebagai salah satu nama surah dalam al-Qur’an yaitu
negeri Saba’. Yang masyhur dengan kalimat, “Baldatun
Thayyibatun Warrabbun Ghafur”. Yang dipimpin oleh seorang
ratu yaitu, Ratu Bilqis. Ia adalah sosok perempuan yang menjadi
pemimpin dan memiliki kekuasaan yang besar. Dalam tradisi
Arab pra Islam pun muncul konglomerat wanita bernama
Khadijah yang menjadi istri Nabi Muhammad dan akhirnya
menyokong dakwah beliau.
Namun jika dilihat dan diamati para perempuan Arab pra
Islam masih jauh dari keadilan dan keadaban, wanita masih
menjadi “komoditi” kaum laki-laki dalam kehidupan. Mereka
masih dikategorikan setengah manusia. Dimana wanita tidak
didudukkan sebagaimana mestinya misal, mereka bisa di nikahi
tanpa batas, ditalak tanpa alasan yang benar, di bunuh hidup-
hidup, bahkan diwariskan. Tradisi ini menjadikan perempuan
sangat dibatasi perannya dalam kehidupan sehingga mewariskan
paradigma yang negatif terhadap perempuan.
Islam datang merubah dan menghilangkan tradisi tersebut
namun tentunya stereotip terhadap perempuan belum
sepenuhnya hilang. Salah satu yang banyak mendapat sorotan
adalah adanya penafsiran yang tidak memihak kepada kaum
perempuan. Sebagaimana dikatakan, bahwa Kitab suci al-Qur’an
menempatkan laki-laki dan wanita pada derajat yang seimbang.
Al-Qur’an mengangkat derajat mereka yang berilmu baik laki-laki
maupun perempuan. Tidak ada satu teks agama yang membatasi

84
pekerjaan kaum perempuan. Bahkan hak-hak politik diberikan
pada mereka yaitu kebebasan untuk berpendapat. Ibn Jarir al-
Thabari mengatakan, bahwa kepemimpinan perempuan
bukanlah sebuah maani’ (penghalang) dalam perspektif hukum
Islam. Dengan demikian pemaham yang membatasi peran
perempuan dalam berbagai aspek kehidupan adalah pemaknaan
teks-teks secara, riqid, tekstual dan stagnan.
Wacana ini tidak pernah kering, bahkan terus mengalami
diskursus dalam ranah kehidupan. Ada beberapa hal yang
membuat diskursus tentang perempuan akan terus berlanjut
seperti, meningkatnya kesadaran para perempuan tentang
posisinya dalam kehidupan social, meningkatnya strata
pendidikan kaum perempuan sehingga meningkatkan
kesadarannya dalam ranah public, meningkatnya para pekerja
ekonomi dari para perempuan dalam bidang ekonomi, masifnya
teknologi informasi yang berimbas pada munculnya kesadaran
dalam aspek kehidupan munculnya organisasi-organisasi
feminisme. Namun perekembangan tersebut menurut Siti
Ruhaini Dzuhayati jika tidak dibarengi dengan perubahan
ideologi gender tetap akan berdampak pada subordinasi kaum
perempuan.

85
C. Reinterpretasi FK3 Tentang Relasi Suami Istri dalam
Kitab Uqud al-Lujjayn
a. Kewajiban Suami Terhadap Istri
Pada bab ini menjelaskan relasi suami istri dalam kehidupan
rumah tangga, dalam Kitab Uqud al-Lujjayn bahwa suami harus
mempergauli istri dengan cara ma’ruf dan suami adalah sosok
yang memiliki kelebihan dari para istri. Sebagaimana disinyalir
dari QS.An-Nisaa’: 19 dan QS. Al-Baqarah: 223.
Yang dimaksud patut dalam ayat yang pertama adalah
bijaksana. Laki-laki harus bijaksana mengatur waktu untuk sang
istri. Begitu pun dalam hal nafkah, yang menjadi hak istri. Hal lain
yang terkait dengan kepatutan di sini adalah kehalusan dalam
berkomunikasi. Adapun mengenai relasi keduanya dalam ayat
yang kedua menunjukkan bahwa laki-laki dan wanita mempunyai
hak yang sama dalam menuntut kewajiban terhadap yang lain
sebagai suami istri, bukan dalam hal kelamin. Dalam hal ini relasi
mereka berbeda karena laki-laki memiliki hak berpoligami.
Adapun yang dimaksud dengan cara yang ma’ruf adalah cara yang
baik menurut agama, seperti sopan santun, tidak melakukan
tindakan yang melukai perasaan, baik bagi suami maupun istri,
bahkan sampai pada batas berdandan. Sebab hal itu merupakan
suatu cara yang ma’ruf. Selain itu ada hal lain yang disebutkan
disini yaitu maksud ayat yang menyatakan bahwa laki-laki, yakni
suami mempunyai kelebihan derajat daripada istri. Hal ini terkait
dengan hak suami yang didapatnya dari tanggung jawab suami
dalam nafkah dan maskawin, dengan demikian suami berhak atas

86
ketaatan istri. Maka istri wajib taat kepada suami sehubungan
dengan tanggung jawabnya dalam mewujudkan dan memelihara
kemaslahatan istri, disamping kesejahteraan hidupnya ditanggung
suami.
Dalam kaitan ini yang menjadi titik tolak reinterpretasi FK3
adalah, mempergauli istri secara ma’ruf dan suami memiliki
derajat diatas para istri karena faktor nafkah. Dalam kacamata
FK3 mempergauli istri dengan cara yamg ma’ruf adalah
hubungan yang seimbang, harmonis dan saling menghormati
bukan hubungan dominasi, hal mana suami mendominasi dalam
relasi rumah tangga. Yang kedua, berkaca pada kondisi saat ini
dimana zaman telah mengalami proses perubahan, dulu laki-laki
menjadi sumber pengghidupan dalam rumah tangganya dan para
istri menjadi sosok yang hanya berkutat pada pekerjaan rumah
tangga. Namun faktanya saat ini para wanita telah banyak
berkiprah di luar rumah, bahkan mereka menjadi tulang
punggung keluarga. Maka menurut FK3 kelebihan laki-laki dalam
faktor nafkah sudah tidak relevan lagi. Oleh karena itu
perempuanlah yang mengambil peran utama. Maka kelebihan
yang disinyalir tersebut sudah tidak relevan lagi.
Pada hadis Nabi yang beliau sampaikan ketika haji Wada’
adalah pesan tentang pentingnya menjaga para istri, berperilaku
baik kepada istri hal ini karena faktor kelemahan wanita dan
kebutuhan mereka terhadap suami serta istri ibarat tawanan bagi
suami. Dalam hal ini FK3 memberikan interpretasi yang
menyangkut kata tawanan, bahwa kata ‘awanin bentuk plural

87
dari ‘aniyah yang salah satu maknanya adalah kal asra, seperti
tawanan sementara Imam Nawawi memaknai tawahan atau
tahanan, jadi istri adalah tawanan atau tahanan suami. Maka istri
adalah tawanan atau tahanan suami adalah tidak benar, karena hal
itu tidak selaras dengan nafas al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 187
yang menjelaskan bahwa suami istri ibarat pakaian yang saling
melindungi dan al-Qur’an Surat ar-Rum ayat 21 yang
menjelaskan tujuan pernikahan adalah membentuk rumah tangga
yang SAMARA (sakinah, mawaddah dan rahmah).
Perlakukan Istrimu Dengan Baik
Pada hadis tersebut menjelaskan tentang bagaimana
seharusnya sikap suami terhadap pasangannya, yaitu memberikan
sandang, pangan dan papan serta tidak berlaku kasar terhadap istri
dan suami diperbolehkan memukul istri jika ia melakukan
nusyuz. Dalam kesimpulannya, FK3 menjelaskan bahwa suami
tidak boleh menyakiti pasangannya baik fisik maupun psikis.
Pada hadis berikutnya mengenai mahar yang diberikan
kepada istrinya ketika menikahinya di jelaskan bahwa jika suami
tidak melunasi maharnya dan berniat tidak mau melunasi maka ia
telah berkhianat pada istrinya dan jika mati ia membawa dosa
besar. Hadis tersebut berderajat dha’if. FK3 juga mengutip tulisan
Quraish Shihab tentang mahar, bahwa tujuan mahar adalah
simbol bagi seorang suami atas kesediaannya memberikan nafkah
lahir dan batin serta pernikahan bukan akad jual beli maka jumlah
mahar tidak ditentukan besarannya.

88
Pada hadis selanjutnya, menjelaskan tentang akhlak yang
terbaik bagi suami adalah berbuat baik kepada pasangannya dan
keluarganya. Dan Sebaik-baik ahlak suami adalah jika ia berbuat
baik kepada keluarganya dan hendaknya suami bersabar dengan
akhlak istrinya. Adapun hadis yang menjelaskan kesabaran istri
atas perilaku buruk suaminya berikut ini: “Siapa yang bersabar
atas kejelekan suaminya, maka Allah akan memberikan pahala
seperti pahala Asiyah istri Fir’aun.” Hadis tersebut sebagai
tuntunan dan anjuran bagi seorang suami berbuat baik kepada
pasangannya dan itu merupakan salah satu misi yang diemban
oleh Nabi, yaitu penyempurnaan akhlak. Adapun hadis yang
menjelaskan kesabaran istri atas perilaku buruk suaminya.
Menurut FK3 belum ditemukan perawi hadis tersebut sehingga
dihukumi Hadis Maudhu (palsu).
Hikayat Nabi Ayyub A.S
Mengenai hikayat Nabi Ayyub as, bahwa Allah akan
memberi pahala yang besar kepada suami yang bersabar atas
perilaku buruk istrinya sebagaimana besarnya pahala Nabi Ayyub
as berkaitan dengan cobaan beliau. FK3 hanya menyatakan bahwa
perlunya kesabaran dalam menghadapi ujian yang diberikan oleh
Allah SWT. Kesabaran sangat dibutuhkan karena dalam proses
kehidupan manuasia senantiasa dihadapkan pada ujian dan
cobaan, baik cobaan itu mengenai hartanya, anak-anaknya,
pasangannya ataupun masyarakatnya.

89
Hikayat Umar bin Khattab dan Penghargaannya pada Istri
Dalam riwayat tersebut bahwa Umar Ibn Khattab sedang
dimarahi oleh istrinya namun Umar tidak membalasnya hanya
terdiam saja sehingga mendatangkan keheranan dari salah seorang
yang mengetahuinya dan mendengarnya, yang sebelumnya orang
tersebut akan meminta nasehat kepada Umar tentang perilaku
buruk istrinya. FK3, bahwa rumah tangga harus dibangun
berdasarkan keseimbangan dan saling melengkapi bukan saling
mendominasi dan mengalahkan. Justru dalam riwayat tersebut
bahwa pekerjaan memasak, mencuci, mengasuh anak dan lain-lain
adalah bukan mutlak pekerjaan perempuan, image yang ada pada
saat ini adalah sebuah kontruksi sosial, yang menurut Mansour
Fakih adalah gender sosial, bukan berdasarkan perintah-perintah
agama.
Hikayat ‘Asiyah istri Fir’aun
Kisah tentang keimanan Asiyah kepada dakwah Nabi Musa
as, yang kemudian diketahui oleh Fir’aun yang akhirnya Asiyah
disiksa hingga meninggal. FK3, kisah ini memberi pesan bahwa
menjalankan kewajiban lebih ditekankan dari pada menuntut hak,
hal ini juga berlaku dalam relasi suami istri. Dalam komentarnya
FK3 mengatakan, bahwa kisah-kisah yang dicantumkan merujuk
kepada Habib al-Haddad adalah tidak jelas sumbernya.
Hikayat Suami Yang Sabar dan Imbalannya
Hikayat ini menceritakan seorang suami yang shaleh dan
sabar atas perilaku kasar dan buruk dari istrinya. Karena
kesabarannya Allah memberikan kelebihan dengan cara ia dapat

90
menundukkan binatang buas. Komentar FK3 dalam cerita
tersebut disubutkan oleh adz-Dzahabi dalam kitab al-Kaba’ir dan
al-Haytami dalam kitab az-Zawajir. Cerita tersebut lebih
memberikan contoh menekankan adanya balasan bagi orang-
orang yang berbuat baik dan mereka yang berbuat buruk.
Siapapun mereka, bahkan suami dan istri akan memperoleh dari
amalnya secara fair. Amal baik akan dibalas kebaikan amal buruk
akan dibalas keburukan sesuai dengan al-Qur’an Surat al-Ghafir
ayat 40.
Kekerasan Domestik
Ada beberapa hal dimana suami diperbolehkan memukul
istri, pertama, istri menolak perintah suami untuk berhias dan
menolak diajak ke tempat tidur. Kedua, istri keluar rumah tanpa
seizing suami, memukul anak karena menangis, merusak pakaian
suami, memegang janggut suami seraya berkata, “Hai keledai”,
“Hai goblok”. Walaupun suami mekakinya terlebih dahulu.
Ketiga, membuka mukanya di depan laki-laki yang bukan
muhrim, bercaka-cakap, mengeraskan suara agar di dengar laki-
laki lain, memberikan sesuatu yang tidak wajar dari rumah suami,
dan tidak mandi haidh.
Dalam pembahasan ini FK3 mengutip berdasarkan
pengakuan Umahatul Mukminin, pelayan Rasul, bahwa Rasul
tidak pernah memukul istri-istrinya, bahkan beliau melarangnya.
Maka apa yang disampaikan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya
tersebut adalah pendapat pribadi. Dengan alasan bila

91
dibandingkan dengan riwayat-riwayat hadis yang shaheh maupun
yang hasan akan bertolak belakang.
Perempuan Kurang Akalnya
Mengenai pembahasan kekurangan akal perempuan. FK3
memberikan kritik pada beberapa point. Point pertama yang
menjadi sorotan adalah, bahwa Imamn Nawawi dianggap
berasumsi bahwa para istri pada umumnya kurang akal dan
agamanya. Menurut FK3 yang merujuk pada sebagiam ulama
salah satunya adalah pendapat Abdul Halim Muhammad Abu
Syuqqah, bahwa kekurangan wanita itu tidak bersifat abadi, tapi
temporari, seperti siklus menstruasi, nifas dan kehamilan. Oleh
karena itu hal-hal tersebut tidak mengurangi kecakapan untuk
melakukan hal-hal yang dilakukan oleh laki-laki. Pendapat ini juga
disertai argument beberapa tokoh wanita pada masa-masa Islam
ataupun masa-masa sebelum Islam. Seperti Aisyah sebagai perawi
hadis, Rabiah Adawiyah sebagai tokoh sufi dan Ratu Balqis pada
masa Nabi Sulaiman.
Pada point lainnya yaitu, seorang lak-laki (suami) harus
mengajarkan urusan agama kepada istrinya. Dalam hal ini FK3
mengatakan bahwa pada masa-masa lalu mungkin hal dapat
dimaklumi, mengingat pada waktu itu perempuan belum leluasa
dapat melakukan aktifitas di luar rumah, serta pada masa itu
teknologi dan kesempatan belum memadai. Namun pada masa
kini hal itu tidak menjadi tanggung jawab yang krusial lagi bagi
suami, mengingat masa kini para wanita sudah dapat mengakses
dunia pendidikan dengan mudah, teknologi telah tersedia dan

92
peran perempuan dalam dunia pendidikan juga telah memadai.
Jadi tanggung jawab di atas secara otomatis sudah tidak relevan
lagi dipikul suami.
Perempuan dan Rasa Malu
“Seandainya Allah tidak menutupi wanita dengan sifat
malu, niscaya tidak dapat menyamai segenggam tanah”.
Mengomentari hadis ini, menurut FK3 hadis tersebut tidak
ditemukan dalam kitab-kitab hadis yang masyhur, maka FK3
menghukuminya sebagai hadis Maudhu’. Rasa malu menurut
FK3 tidak hanya diharuskan bagi wanita saja, laki-laki pun harus
memiliki rasa malu. Sebagaimana di kutip dari Umar, bahwa
Rasulullah pernah bersabda, “Malu merupakan sebagian dari
iman.”
Peran Ilmu Pengetahuan
“Orang yang paling berat siksanya pada hari kiamat
adalah orang yang membiarkan keluarganya bodoh”.
Menurut FK3 peran ilmu pengetahuan sangat penting bagi
manusia, sebagaimana yang telah disinyalir oleh QS. Al-
Mujadalah: 11. Karena itu untuk membuat manusia
berpengetahuan menjadi kewajiban bersama, tidak bisa
dibebankan pada seorang saja yaitu suami sebagai kepala rumah
tangga. Baik ilmu agama maupun umum yang dengan keduanya
membawa kemaslahatan duniawi dan ukhrawi.
Manusia dan Tanggung Jawabnya
Hadis yang menjelaskan bahwa setiap manusia adalah
pemimpin, “Setiap kamu adalah pemimpin dan akan ditanya

93
tentang kepemimpinannya. Seseorang Imam adalah pemimpin
dan akan dipertanyakan tentang kepemimpinannya. Seorang
suami menjadi pemimpin keluarganya dan akan dipertanyakan
kepemimpinannya. Seorang istri menjadi pemimpin di rumah
suaminya dan akan dipertanyakan kepeminpinannya. Seorang
pelayan adalah pemimpin harta tuannya dan akan dimintakan
pertanggung jawabannya. Seorang anak menjadi pemimpin
harta orang tuanya dan akan dipertanyakan kepemimpinannya.
Dan setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimitai
pertanggungjawaban kepemimpinnannya”.
Menurut FK3, adalah hadis yng mengingatkan manusia
bahwa hidup adalah tanggung jawab. Siapa pun orang akan
mengemban tanggung jawabnya sendiri-sendiri. Tanpa tanggung
jawab tidak ada artinya kehidupan dan tiadanya tanggung jawab
akan merusak harmoni kehidupan.
Perempuan dan shalat
Rasulullah dalam sabdanya mengatakan bahwa hendaknya
seseorang takut kepada Allah dalam urusan wanita karena mereka
adalah amanah Allah, maka siapa yang tidak memerintahkan
shalat dan tidak mengajarinya agama maka ia telah berkhianat
kepada Allah dan Rasul-Nya.
Komentar yang disampaikan FK3 tentang hadis tersebut
adalah, bahwa perintah Nabi untuk menjaga perempuan
sebagaimana menjaga sholat memberikan petunjuk betapa
tingginya derajat perempuan dan tingginya nilai perempuan di
mata Sang Pencipta. Adapun hadis “Tak seorang pun yang

94
menghadap Allah dengan membawa dosa yang lebih besar
daripada kebodohan keluarganya“, seraya merujuk pada
pendapat al-Iraqi dalam Kitab Tadzkirah al-Maudhu’at hadis ini
di nilai Maudhu.’

b. Kewajiban Istri Terhadap Suami


Kepemimpinan Perempuan
Menanggapi tentang kepemimpinan laki-laki atas
perempuan berdasarkan Surat an-Nisa’ ayat 34 yang artinya,
“Kaum Laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita,
karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian
yang lain, dank arena mereka telah menafkahkan sebagian harta
mereka. Sebab itu, wanita yang shaleh adalah yang taat kepada
Allah lagi memelihara diri di balik pembelakangan suaminya
oleh karena Allah telah memelihara mereka. Wanita-wanita
yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka
dan pisahkanlah diri dari tempat tidurnya, dan pukullah
mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah
kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya
Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. An-Nisa’: 34).
Para ulama tafsir mengatakan bahwa kelebihan laki-laki atas
wanita karena banyak sisi, baik dari sisi hakiki dan sisi syar’i.
FK3 menyatakan bahwa ayat tersebut berbicara beberapa
pokok permasalahan namun Imam Nawawi hanya memfokuskan
pada masalah kepemimpinan lak-laki. Kepemimpinan dimaksud
adalah kepemimpinan dalam rumah tangga, karena hal tersebut

95
dibutuhkan, namun tidak dimaksudkan kepemimpinan secara
umum. Para ulama berbeda pandangan tentang status wanita
menjabat jabatan publik: Pertama, menganggap wanita tidak
cakap memangku jabatan publik, Kedua wanita mampu
memangku jabatan publik sampai level hakim, Ketiga, semua
jabatan publik boleh dijabat wanita kecuali kekhalifahan.
Yang juga menjadi sorotan FK3 adalah, ayat di atas
menggunakan redaksi “Bimaa Fadhdhola Allahu Ba’dhohum
“ala Ba’dhin.” (Allah telah memberikan keutamaan pada
sebagian laki-laki atas perempuan) bukan dengan redaksi “Bima
Fadhdholahum “alaihinna” (sebab Allah telah memberikan
keutamaan laki-laki di atas perempuan, atau dengan redaksi
“Bitafdhilihim “alaihinna” (Sebab keutamaan laki-laki yang
mengalahkan perempuan). Dengan redaksi di atas dapat difahami
bahwa tidak semua laki-laki memiliki kelebihan atas perempuan,
namun hanya sebagian saja. Pendapat FK3 ini di perkuat dengan
realitas zaman sekarang, hal mana sudah banyak para wanita yang
berkiprah dalam berbagai bidang dan mereka mengambil peran
yang strategis. Jadi kelebihan yang di maksud dalam ayat tersebut
bukan berarti wanita kurang memiliki kemampuan, namun
karena faktor pembagian tugas dan tradisi dan budaya yang
berlaku.
Mengenai keutamaan laki-laki ditinjau dari dua segi, yaitu
segi hakiki dan syar’i, FK3 berkomentar, bahwa pada
kenyataannya sekarang kelebihan laki-laki atas perempuan
sebagaimana pendapat penulis di atas tidak seluruhnya benar.

96
Dalam dunia pendidikan banyak para wanita lebih berprestasi
dari laki-laki, ini bukti bahwa tingkat kecerdasan tidak terbatas
pada laki-laki, begitupun bidang lainnya hanya persoalan
kesempatan saja yang belum simbang. Demikian juga dengan
kekuatan fisik dan mental juga bersifat relatif. Di beberapa daerah
justru para wanita bekerja lebih berat daripada laki-laki seperti di
Bali. Adapun larangan bagi wanita melakukan adzan, imam
sholat, khutbah jum’at dan lain-lain dasarnya bukan wanita tidak
mampu tapi memang agama melarangnya.
Perempuan Shalehah
Wanita-wanita yang shalehah dalam ayat di atas adalah para
wanita yang taat kepada Allah dan suaminya. Mereka memelihara
hak suaminya, menjaga kehormatannya, Serta menjaga rahasia
suaminya dan hartanya, sebab Allah telah menjada mereka.
FK3 berpendapat bahwa cermin wanita yang shalehah
bukan hanya taat kepada suami, tapi lebih luas dari itu, yaitu taat
pada Allah, rasul-Nya dan penguasa, berdasarkan QS.an-Nisa ayat
59. Hal lain yang menjadi dasar adalah ketidak bolehan taat
kepada makhluk yang bertujuan maksiat kepada Khalik. Jadi
ketaatan istri sejauh kerangka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Jika
perempuan dituntut untuk melakukan yang baik begitu pun laki-
laki, perempuan dituntut menjaga rahasia dan kehormatan begitu
pun laki-laki dan seterusnya.
Adapun Hadis tentang “wanita yang baik adalah jika
dipandang suami menyenangkan” harus di fahami secara logis,
maksudnya bahwa kehidupan keluarga akan tercipta secara

97
harmonis dan sakinah tercermin dari seluruh berwajah
penghuninya. Adanya saling tolong menolong, membantu,
menghormati, menghargai dan mengasihi.
Nusyuz
Ketika istri nusyuz maka akan mendapat laknat, Wanita-
wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka berilah nasehat.
Maksudnya para wanita yang diperkirakan meninggalkan
kewajibannya dalam bersuami istri, seperti meninggalkan rumah
tanpa ijin suaminya, dan melawan dengan kesombongan, maka
nasihatilah dengan ancaman dari Allah. Memberi nasehat ini
hukumnya sunnah. Seperti suami berkata kepada istrinya,
“Takutlah kamu kepada Allah atas hak yang wajib kamu penuhi
kepadaku, dan takutlah siksa Allah.”. Suami juga perlu
menjelaskan bahwa perbuatan nusyuz itu dapat menggugurkan
nafkah dan giliran. Nasehat tersebut dilarang disertai
mendiamkan dan memukul. Kalau istri menampakkan uzurnya
atau bertaubat dari apa yang telah diperbuatnya tanpa uzur, maka
suami harus memperingatkannya.
Menurut FK3 laknat adalah dihindarkan dan dijauhkan
dari kebaikan. Laknat yang datang dari makhluk berarti hinaan
dan mendoakan keburukan. Ketika Allah melaknat makhluknya
berarti Allah menjauhkannya dari kebaikan. Laknat dalam
konteks sosial bermakna lenyapnya kebaikan, kasih sayang dan
kedamaian dalam kehidupan. Maka hadis di atas jika difahami
secara tekstual maka yang menjadi sasaran hanya para perempuan.
Maka harus difahami secara kontekstual, berdasar keadilan, maka

98
hadis tersebut tidak hanya ditujukan kepada kaum perempuan
saja tapi juga ditujukan kepada laki-laki.
Diperbolehkannya laki-laki memukul istri juga menjadi
kritik FK3, FK3 mengatakan, bahwa kata memukul harus
ditafsirkan secara luas. Karena jika memukul difahami apa adanya,
dampaknya akan menjadi alat legitimasi bagi suami melakukan
KDRT. Pemukulan sekalipun jika dilakukan mengandung
faedah, di mata FK3 tetap tidak dibolekan karena akan
menimbulkan dampak psekis bagi istri apalagi jika diketahui anak-
anak maka dampak buruknya lebih besar lagi. Munculnya
pemukulan adalah tradisi arab kuno yang berlaku pada masa itu.
Islam memberikan solusi dengan cara tidak memukul, tapi
menasehati istri yang nusyuz tersebut. Kalaupun memukul
tentunya tidak membawa bahaya, bahkan memaafkan lebih baik.
Hadis yang menjelaskan kesabaran istri atau suami terhadap
buruknya akhlak pasangannya dianggap sebagai Hadis Maudhu’
karena tidak memiliki sanad yang tsiqah.
“Dan pisahlah dari tempat tidur mereka”, adalah bahwa
suami diperintah meninggalkan istri dari tempat tidurnya, bukan
mendiamkannya tau memukulnya. Karena meninggalkanya di
tempat tidurnya sendiri memberikan dampak yang jelas dalam
mendidi istri. “Dan pukullah mereka”, Bahwa wanita yang
berbuat nusyuz boleh di pukul dengan pukulan yang tidak
menyakitkan dan membahayakan tubuhnya. Hal ini jika
membawa faedah, jika memukul bukan pada wajahnya atau
anggota tubuh yang fital yang membahayakan. Tetapi pukulan

99
yang wajar. Namun yang lebih baik suami memaafkannya.
Berbeda dengan wali anak kecil, ia lebih baik tidak
memaafkannya. Karena wali anak kecil yang memukul anaknya
yang masih kecil membawa kemaslahatan untuk mendidiknya.
Menurut Imam Rofi’I, istri boleh di pukul jika berkali-kali
nusyuz. Tapi menurut Imam Nawawi, istri boleh dipukul walau
hanya sekali nusyuz jika pukulan itu berfaedah.
Kata pemukulan harus diuraikan secara jelas, karena sering
sekali kata tersebut dijadikan sebagai alasan bagi suami untuk
melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga. Menurut
pendapat kami melakukan pemukulan boleh jika pukulan itu
berfaedah dan tidak berbahaya. Sebaiknya tidak dilkukan
pemukulan karena akan membawa dampak psikolosi apalagi
dilihat oleh anak-anak, lebih baik sumi memafkan.
Surga Bagi Perempuan
Nabi Bersabda, “Apabila seorang istri sholat lima waktu,
Puasa Ramadhan, menjaga kehormatannya, taat pada
suaminya, Maka dikatakan kepadanya, “Masuklah surga dari
salah satu pintu yang kamu kehendaki.”(HR. Imam Ahmad)
Dalam mengomentari hadis ini FK3 memandangnya
sebagai hadis dhaif, namun karena banyak riwayat yang semakna
maka derajatnya naik menjadi hadis hasan li ghairih. Dalam
pandangan FK3 ketaatan seorang istri terhadap suaminya
bukanlah penentu masuknya kedalam surga. Namun ketaatan itu
tetap merupakan amal shaleh yang baik dan mendapatkan
imbalan pahala.. Rasulullah bersabda, “Seorang istri yang

100
meninggal sedangkan suaminya ridha kepadanya maka ia
masuk surga”
FK3, Hadis ini sama dengan hadis ketiga sebelumnya
(maudhu’)
Nabi Bersabda, “Apabila seorang istri sholat lima waktu,
Puasa Ramadhan, menjaga kehormatannya, taat pada
suaminya, Maka dikatakan kepadanya, “Masuklah surga dari
salah satu pintu yang kamu kehendaki.”(HR. Imam Ahmad)
FK3, Pada dasarnya hadis ini dha’if, karena semua semua
jalur hadis tidak terlepas dari kelemahan pada sanadnya, namun
smua jalur saling menguatkan, maka derajatnya naik menjadi
hasan lighairih.
Jihad Perempuan
Ada seorang wanita datang kepada Nabi dan berkata,
“Wahai Rasulallah, aku adalah utusan para wanita menghadap
engkau untuk menanyakan tentang bagian wanita dari jihad?”.
Nabi menjawab, “Allah telah menetapkan kewajiban jihad
kepada laki-laki, jika mereka terluka atau mati maka bagi
mereka pahala yang besar, dan mereka hidup di sisi Tuhannya
dan diberi rizki dari buah-buahan surga.”
FK3 menganggap hadis ini dhaif berdasarkan pendapat
para ulama ahli hadis. Dalam komentarnya FK3 menyatakan
bahwa pada masa Rasulullah banyak para wanita ikut terjun di
medan perang, ada yang berperan mengobati yang terluka,
menyediakan minum para pejuang dan bahkan ada yang
membawakan senjata. Komentar As-Sarbini terhadap Surat an-

101
Nisa’ ayat 32 yang memisahkan pahala lak-laki karena jihadnya
dan pahala perempuan dengan menjaga kehormatannya dan taat
kepada Allah dan suaminya merupakan pendapat pribadi. Karena
dalam al-Qur’an tidak membeda-bedakan perbuatan laki-laki
maupun perempuan.
Ibnu Abbas meriwayatkan, Nabi bersabda, “Ruh-ruh para
syuhada berada di tempat makanan burung-burung hijau yang
berkeliaran di sungai-sungai surga, makanan buah-buahan
surga, dan tinggal lampu-lampu yang digantungkan pada
naungan Arasy.”
FK3, menurut Imam at-Turmadzi hadis ini hasan shaheh.
Allah telah berfirman, “Bagi laki-laki ada bagian dari apa
yang mereka usahakan dan bagi perempuan ada bagian yang
mereka usahakan.” (QS. An-Nisa’: 32)
Komentar Syaikh Sarbini dalam tafsirnya dikatakan, bahwa
laki-laki dan perempuan memperoleh pahala di akhirat dengan
hak sama. Hal ini karena satu kebaikan dibalas sepuluh kali,ini
berlaku bagi laki-laki dan perempuan, adapun kelebihan laki-laki
dan mengalahkan wanita hanya di dunia adalah pendapat pribadi.
Karena dalam ayat-ayat al-Qur’an laki-laki dan wanita akan
memperoleh balasan yang sama dari amal-amal mereka tanpa ada
perbedaan. Maka laki-laki akan mendapat pahala jika menjaga
kemaluannya dan perempuan akan mendapatkan pahala dari
jihadnya. Suami mendapat pahala jika bersikap baik pada istrinya
dan sebaliknya. Dalam QS.At-Taubah ayat 71 Allah telah
berfirman yang artinya, “Orang mukmin laki-laki dan orang

102
mukmin perempuan sebagian mereka merupakan penolong bagi
sebagian yang lain”, dari ayat tersebut jelaslah bahwa laki-laki dan
wanita harus saling tolong-menolong dan membantu bukan
saling mendomonasi dan menguasai
Bakhil, Sombong dan Penakut bagi Wanita
Ali RA, berkata, “Seburuk-buruk perbuatan laki-laki
adalah sebaik-baik perbuatan wanita, yaitu bakhil, tidak
memberi pengemis dan bermurah hati.”
Karena wanita yang mengagumi dirinya tidak berbicara
dengan setiap laki-laki dengan suara yang halus yang
menimbulkan kecurigaan. Sedangkan bila ia bakhil pandai
menjaga hartanya dan harta suaminya. Sedangkan wanita yang
penakut merasa khawatir, hingga tidak berani keluar rumahnya
dan menjauh dari tempat yang dapat menimbulkan kecurigaan
karena takut kepada suaminya.
Nabi Dawud berkata, “Wanita yang jelek terhadap
suaminya seperti beban yang berat bagi orang yang sangat tua,
dan wanita yang baik bagai mahkota yang bertabur emas, jika
suami memandangnya sangat menyenangkan pandangannya
karena istrinya.”
Perkataan Ali tentang ketiga sifat di atas tidak dapat
diterima begitu saja, karena pada dasarnya sifat-sifat tersebut tidak
baik bagi laki-laki maupun perempuan. Bahkan setiap manusia
dianjurkan untuk berdoa agar dihindarkan dari sifat-sifat tersebut.
Adapun untuk menjaga harta sendiri dan harta suami tidaklah
harus seorang istri bersifat bakhil terlebih dahulu, karena menjaga

103
harta itu wajib bagi istri terhadap hartanya atau harta suaminya.
Mengenai bersedekah, pada zaman Nabi para wanita biasa
bersedekah dari hasil usahanya, bahkan sebagian wanita
bersedekah dengan perhiasannya tanpa kehadiran suaminya,
karena mereka dermawan.
Istri Budak Suami
Para wanita hendaknya tahu, bahwa dirinya seperti sahaya
yang dimiliki suami dan tawanan yang lemah tak berdaya dalam
kekuasaan suami. Maka tidak boleh membelanjakan hartanya
kecuali atas ijin suaminya. Bahkan mayoritas ulama berpendapat
bahwa istri itu dapat ijin dari suami karena istri itu seperti orang
yang tertahan perbelanjaannya karena suami. Istri harus malu
kepada suami, jangan menentang, menundukkan wajahnya dan
pandangannya di hahadap suami, taat atas perintahnya selama
bukan kemaksiatan, diam ketika suami berbicara, mengantar
kepergian suami jika keluar rumah, menampakkan rasa cintanya
kepada suami bila di dekatinya, membahagiakan suami jika di
akan tidur, memakai wangi-wangian, membersihkan pakaian,
berhias untuk suami, dan tidak bersolek jika ditinggal suami.
Dalam tanggapannya FK3 mengutip dari al-Ghazali
tentang tujuan pernikahan, secara umum adalah menegakkan
tanggung jawab sosial. Secara rinci manfaat perkawinan menurut
Imam al-Ghazali adalah, Mempunyai keturunan, melindungi
agama dan membatasi nafsu, menjadi dekat dengan kaum wanita,
memiliki patner dalam mengurus rumah tangga, dan melatih diri
mengembangkan karakter yang positif. Maka jelas tidak terdapat

104
satu pun dari tujuan pernikahan menjadikan istri sebagai budak.
Suami istri adalah patner dalam membangun rumah tangga
sehingga saling melengkapi untuk menggapai rumah tangga yang
sakinah dan harmonis.. Adapun riwayat yang bersumber dari al-
Ashmu’i tentang wanita yang tidak boleh berkhianat pada suami
dan menyelewengkan harta suami, FK3 mengomentarinya
dengan, Bahwa bukan hanya wanita saja yang tidak boleh
berkhiatan terhadap pasangannya, begitu pun seorang suami tidak
boleh berkhiatan terhadap istrinya dan dalam hal harta pun
demikian.
Nilai Sedekah Perempuan
Rasulullah bersabda, “Istri dilarang memberi makan
orang lain dari rumah suaminya tanpa seijinnya, kecuali makan
basah yang cepat basi. Jika ia memberi makan karena ijin
suaminya maka ia mendapat pahala seperti pahala suaminya,
jika ia memberi makan tanpa seijin suaminya, maka suaminya
mendapat pahala, sedangkan istri mendapat dosa.”
Mengenai sedekahnya seorang istri dari harta suami FK3
mengatakan, terdapat beberapa hadis yang menjelaskan tentang
sedekahnya istri dari harta suaminya, dalam hadis tersebut seorang
istri tidak berdosa bahkan tetap memperoleh pahala. Adanya teks
hadis yang terlihat kontradiktif tersebut FK3 lebih memilih yang
mengatakan bahwa istri tidak berdosa dan tetap berpahala karena
hadis tersebut lebih memenuhi unsur keadilan dan kebaikan dari
amal-amal tersebut.

105
Hubungan Seksual Hak Siapa
Istri hendaknya memuliakan keluarga suami dan
keluarganya sekalipun hanya berupa perkataan-perkataan. Harus
juga harus memandang pemberian suami yang sedikit sebagai
sesuatu yang banyak, menerima perbuatannya, memandang
utama dan bersyukur atas sikap suami, serta dilarang menolak
kemauan suami sekalipun di punggung onta. Menurut Imam
Syafi’i jika seorang istri dalam keadaan suci, jika sedang haid maka
dilarang.
Ibnu abbas berkata bahwa ia telah mendengar Nabi
bersabda: “Jika seorang wanita menjadikan malamnya untuk
sholat, siangnya untuk puasa, lalu suaminya memanggilnya ke
tempat tidur lalu istri menundanya satu jam, maka kelak hari
kiamat ia akan diseret dengan rantai dan belenggu,
dikumpulkan dengan para syaitan hingga berada di tempat yang
paling rendah.”
Mengenai hadis yang berkaitan dengan hal tersebut, FK3
mengatakan bahwa tidak ditemukan sanad/perowi hadis tersebut,
dan tidak menemukannya di kita-kitab hadis mu’tabar maka hadis
tersebut dihukumi Maudhu’. Mengutip dari pendapat Wahbah
Az-Zuhaili FK3 mengatakan bahwa istri tidak boleh menolak
ajakan suami sekalipun kondisinya sedang di atas punggung onta
dengan catatan bahwa istri tidak sedang disibukkan dengan
kewajiban, atau kemungkinan suami menyakitinya, karena
menyakiti bukan pergaulan yang ma’ruf.. Bahkan Ulama Mazhab
Hanifi berpendapat, istri boleh menuntut kepada suami dalam

106
berhubungan karena jika suami halal bagi istri maka sah
menuntutnya untuk melakukan hubungan tanpa menunggu
ajakan suami. Sedangkan Mazhab Maliki mengatakan, bahwa
hubungan sex adalah kewajiban suami istri. Maka kesimpulan
FK3, bahwa hubungan sex adalah kewajiban suami istri disertai
dengan memperhatikan unsur-unsur kesehatan terutama bagi
istri.
Etika dan Tatacara Hubungan Seksual yang Baik
Dilarang bagi suami menggauli istrinya di hadapan laki-laki
atau wanita lain. Jika akan bergaul dengan istrinya maka
disunnahkan bagi suami membaca basmalah, surat al-ikhlas,
takbir, dan tahlil serta membaca doa, “Dengan menyebut nama
Allah yang Maha tinggi lagi Maha Mulia, ya Allah jadikanlah
sperma ini keturunan yang baik.” Beserta tuntunan doa-doa yang
lainnya yang diajarkan oleh Nabi,
Dalam komentarnya FK3 menyimpulkan bahwa hadis-
hadis di atas adalah tata cara dan etika hubungan suami istri yang
harus diperhatiakn demi keberlangsungan hubungan yang baik,
menyangkut aspek tempat, waktu atau tata caranya. Sehingga
memunculkan hubungan yang beretika sehingga memunculkan
rasa kasih sayang antar pasangan. Maka sejauh apapun perubahan
zaman etika dan tata cara ini harus tetap dipertahankan.
Istri di Hadapan Suami yang Dzalim
Istri tidak boleh puasa sunah jika tidak dapat ijin dari suami
jika ia puasa juga maka tidak berpahala, hanya letih dan dahaga,
kecuali puasa sunah arofah dan Asyura’. Istri tidak boleh pergi

107
tanpa seijin suami, jika ia pergi tanpa seijinnya maka malaikat
rahmat dan azab akan mengutuknya sekalipun suaminya dhalim.
Perbuatan dhalim adalah perbuatan yang wajib di hindari
oleh siapapun, jika istri mengetahui suami berlaku dhalim
hendaklah menasehatinya dengan baik. Dan janganlah istri
mematuhi suami yang dhalim agar tidak terbiasa berlaku dhalim.
Istri hendaknya menunjukkan jalan yang benar. Sedangkan segala
larangan yang harus di patuhi istri, istri tetap harus memelihara
keridhoan suami, menjauhi murkanya, menurut FK3 hal tersebut
bertentangan dengan firman Allah, QS.al-Baqarah: 187.
Hikayat Perempuan yang Bernadzar Hanya Bicara dengan
Bahasa al-Qur’an
Hikayat perempuan yang bernadzar hanya bicara dengan
bahasa al-Qur’an, karena tersesat selama tiga hari..
FK3, hikayat tersebut tidak ada kaitannya dengan
hubungan hak dan kewajiban suami istri. Cerita itu hanya
selingan yang dapat di ambil hikmahnya tentang pentingnya
bersabar, tawakkal dan lain-lainnya. Kami tidak menemukan
perawi hadis tersebut, walaupun adz-Dzahabi menyebutnya
dalam kitab al-Kaba’ir dan al-Haytami dalam Kitab az-Zawajir,
namun menurut FK3 hadis ini maudhu’.
Keridhaan Suami
Diriwayatkan dari Nabi bahwa beliau bersabda, “Burung-
burung di udara, ikan-ikan di laut, dan para malaikat di langit
memohonkan ampun kepada wanita yang mentaati suaminya,
selama wanita itu dalam keridhoan suaminya.”

108
FK3 menghukumi hadis di atas Maudhu’. Mengenai
keridhaan suami menurut FK3 bukanlah jaminan bagi istri untuk
mendapatkan ampunan dari Allah. Orang-orang yang
mendapatkan ampunan dari Allah adalah orang-orang yang
termaktub dalam QS.al-Ahzab ayat 35. Jika keridhaan suami
jaminan memperoleh ampuan dari Allah, bagaiaman istri-istri
yang berbuat lacur karena demi mendapatkan uang yang mereka
dibiarkan oleh para suaminya? Maka kepatuhan istri sejauh suami
taat kepada Allah.
Hikayat Istri yang Penuh Ketulusan
Di Bagdad ada seorang laki-laki menikah dengan anak
pamannya, dan berjanji tidak berpoligami. Pada suatu hari, ada
seorang wanita datang ke tokonya dan meminta untuk
mengawininya. Dia pun menyampaikan bahwa dia telah berjanji
untuk tidak berpoligami.
Cerita ini mengisahkan seorang suami yang berkhianat
terhadap istrinya, namun istrinya justru membalasnya dengan
kebaikan yang besar. Tapi menurut FK3 pengarang tidak
menjelaskan balasan yang diberikan suami dengan kebaikan
istrinya dan pengorbanan istrinya yang begitu besar..
Adapun hadis “Wanita yang durhaka kepada suaminya,
maka ia mendapat kutukan Allah, para malaikat dan seluruh
manusia.” Menurut FK3 hadis ini maudhu’. Dari sudut isi, hadis
tersebut tidak mencerminkan keadilan, karena perbuatan durhaka
tidak hanya bias dilakukan oleh istri. Banyak laki-laki yang

109
melakukan perbuatan jahat dan keji kepada istrinya, secara fisik
maupun mental, dan hal tersebut merupakan tindakan durhaka.
Hadis yang disampaikan oleh Ali bin Abi Thalib, dalam
kaca mata FK3 adalah hadis yang berderajat maudhu’. Dari sisi
matan, FK3 menilai hadis tersebut telah memberikan keleluasaan
kepada suami untuk bertindak sewenang-wenang. Apalagi
keridhoan suami tidak memiliki dasar yang jelas, hanya
bergantung pada kondisi suami saja, dimana hal tersebut tidak
mencerminkan kesetaraan, padahal suami istri adalah patner yang
seimbang.
Hubungan Seksual Kewajiban Siapa
Abdullah bin Mas’ud mendengar Rasul bersabda, “Siapa
saja perempuan yang diajak suaminya ke tempat tidur, lalu ia
menunda-nunda hingga suami tertidur, maka ia dilaknat oleh
Allah”
Berdasarkan kajian FK3 hadis ini dinilai maudhu’. Dari sisi
matan kandungan hadis tersebut sering dijadikan argument
tentang hak seksual adalah hak suami dan istri harus mealyani
sebagai suatu kewajiban. Padahal asbabun nuzul ayat tersebut
berkaiatan dengan perilaku sodomi yang terjadi pada masyarakat
pada saat itu. Penafsiran tersebut mengakibatkan wanita tidak
dapat mengatur hak-hak reproduksinya. Akibat bias gender
tersebut mengakibatkan laki-laki tidak peduli dengan kesehatan
perempuan.

110
Perempuan yang Cemberut Terhadap Suami dan Keluar
Rumah
Wanita yang cemberut di hadapan suaminya, maka Allah
murka kepadanya, sampai ia membuat suaminya tersenyum dan
meminta ridhonya.
Abdurrahman bin Khauf mendengar Rasul bersabda,
“Wanita yang durhaka di hadapan suaminya, tidaklah ia
bertdiri dari kuburnya mukanya menjadi hitam. Dan wanita
yang keluar rumah tanpa ijin suaminya, mala malaikat
melaknatnya sampai ia pulang.”
Tentang dua hadis yang menjelaskan sikap istri yang
cemberut kepada suaminya, dalam penilaian FK3 hadis tersebut
dinilai maudhu’, dan menilainya sebagai hadis yang misoginis
yang menyudutkan dan menunjukkan kebencian kepada para
perempuan. Sedangkan hadis yang pertama yang menjelaskan
para perempuan yang keluar rumah tanpa seijin suaminya dinilai
hasan, sedangkan hadis yang kedua yang bersumber dari Usman
bin Affan dinilainya maudhu’.
FK3 menjelaskan bahwa rumah tangga harus dibangun
berdasarkan pondasi saling percaya dan menghargai, bukan saling
curiga. Maka jika keluar untuk sesuatu yang mendesak istri cukup
memberitahukan saja keapada suami, lebih-lebih aktifitas masa
kini membutuhkan kecepatan waktu seiring dengan tunbuhnya
berbagai media dan alat transportasi. Maka hadis-hadis yang
melarang para wanita keluar rumah tanpa mahramnya harus
difahami sebagai proteksi pada perempuan yang pada masa lalu

111
memang kurang aman jika wanita keluar sendirian, berbeda
dengan saat ini.
Beratkah Tanggung Jawab Istri
Rasul juga bersabda,“Siapakah manusia yang lebih besar
haknya bagi istrinya? Rasul berkata,“Suaminya.” Dan siapakah
yang paling besar haknya bagi seorang laki-laki? Rasul
menjawab,“Ibunya.”
Hadis dari ‘Aisyah yang menjelaskan kewajiban istri kepada
suami untuk membersihkan debu dengan wajahnya istri dinilai
oleh FK3 sebagai hadis maudhu’. Adapun kandungannya
menurut FK3 tidak adil bagi para wanita. Sejak meninggalnya
Rasul banyak bermunculan hadis-hadis palsu yang memiliki motif
pribadi maupun golongan, kekuasaan dan politik, sehingga
bermunculan hadis-hadis yang tidak manusiawi bahkan
cenderung merendahkan derajat wanita, diantaranya hadis di atas.
Hadis dari Ummul Mukminin yang menjelaskan, siapa manusia
yang lebih berhak bagi istrinya adalah suaminya dalam pandangan
FK3 adalah hadis dha’if. Memang suami punya hak atas istri
namun demikian istri juga punya hak atas suaminya, maka
keduanya saling memiliki.
Amal Kebajikan Perempuan
Rasulullah bersabda, Jika seorang istri berkata kepada
suaminya, “Tidak pernah saya lihat kebaikanmu, maka seluruh
amalnya terhapus.”
Hadis “Jika istri berkata kepada suaminya“ Aku tidak
pernah melihat kebaikanmu sedikitpun maka amalnya terhapus

112
semua. Maksudnya perempuan itu mengingkari kebaikan
suaminya. Hadis ini dinilai mursal dari penelusuran FK3. Dalam
rumah tangga sumi istri punya hak untuk saling mengingatkan
dan menasehati agar tercipta rumah tangga yang sehat. Ucapan
istri tersebut kemungkinan bukan dimaksudkan untuk
menghilangkan kebaikan suami.
Talak/Cerai
Rasul juga bersabda, “wanita yang meminta talak
suaminya tanpa alasan yang benar, maka haram baginya bau
surga”
Tanpa alasan yang mendesak menurut Ibn Ruslan adalah
perempuan yang takut tidak dapat melasanakan aturan-aturan
Allah, seperti pergaulan yang baik karena istri membenci
suaminya atau suami menyakitinya. Perceraian adalah tindakan
yang sah namun dibenci oleh Allah, kasus perceraian yang terjadi
dengan sebelah pihak meninggalkan kesedihan psikis dan biasanya
laki-lakilah yang banyak berinisiatif dalam kasus percerain. Maka
seharusnya hadis tersebut juga diberlakukan kepada para suami
agar tidak bertindak gegabah.. Sedangkan hadis dari Abu Bakar
yang senada dalam pandangan FK3 adalah hadis yang maudhu’.
Sedangkan dari sisi matan hadis tersebut tidak rasional. Hak talak
dan hak khulu’ yang dimiliki suami istri merupakan jalan terakhir
dalam perceraian. Pada masa nabi Nabi membolehkan wanita
untuk minta cerai jika tidak cocok dengan pasangannya
berdasarkan hadis Shahih Imam Bukhari nomor 4971-4973.

113
Berdasarkan hadis tersebut seorang istri juga memiliki hak cerai
dan menentukan pasangan hidupnya.
Suami-istri Bersyukurlah
Sabdanya yang lain, “Sesungguhnya Allah tidak
memandang wanita yang tidak bersyukur pada suaminya.”
Sabdanya yang lain, “Sesungguhnya Allah tidak
memandang wanita yang tidak bersyukur pada suaminya,
sedangkan dia tidak dapat mencukupi suaminya.”
Dalam kedua hadis ini, Islam memerintahkan istri
bersyukur atas suaminya, memang bersyukur adalah perintah
agama dan yang bersyukur mendapatkan tambahan nikmat dari
Allah. Oleh karena, suami istri harus bersyukur atas apa-apa yang
dianugerahkan kepada mereka dan pondasi dan syukur
merupakan pondasi kebahagian dalam rumah tangga.
Nilai Harta Kekayaan Perempuan
Sabdanya yang lain, “Andaikan seorang wanita memiliki
harta kekayaan seperti Nabi Sulaiman dan suaminya memakan
harta tersebut, lalu ia berkata kepada suaminya, “dimana
hartaku?, Allah akan melebur amalnya selama empat puluh
tahun.”
Usman bin Affan mendengar Rasul berkata, “Andaikan
seorang wanita memiliki dunia dan membelanjakannya semua
harta kekayaan untuk suaminya, kemudian mengungkit kepada
suaminya, Allah menghapus amalnya dan disatukan dengan
Qorun.”

114
Dua hadis yang menjelaskan tentang harta istri yang
keluarkan untuk suaminya kemudian ia mengungkitnya maka
istri akan dikumpulkan bersama Qarun menurut pengamatan
FK3 adalah hadis maudhu’. Kedua hadis tersebut secara isi (matan
hadis) sama, dimana menempatkan laki-laki seperti dewa yang
tidak boleh disalahkan, bahkan harus diberikan persembahan
harta yang tidak boleh bagi istri mempermasahkannya.
Subtansinya hadis ini tidak sejalan dengan al-Qur’an Surat Al-
Baqaroh: 187 yang menjelaskan, bahwa dalam rumah tangga tidak
ada dominasi apalagi diskriminasi, subordinasi, superrioritas dan
lain-lain. Demikian juga dalam kepemilikan kekayaan, bagi
pemilik diberi kebebasan untuk mengolah hartanya baik suami
ataupun istri, apalagi istri memang menjadi tulang punggung
keluarga selama dalam koridor yang diperbolehkan hukum, baik
hukum negara maupun hukum agama Islam yang telah
menempatkan kesejajaran dalam ranah amal shaleh dan kekayaan.
Perempuan, Hari Kiamat Surga dan Neraka
Hadis “Pertama kali yang akan ditanyakan kepada
perempuan pada hari kiamat adalah shalat dan ketaatan istri
pada suami”.
Dalam kajian dan penelusuran hadis ini FK3 mengatakan
bahwa hadis ini adalah hadis maudhu’. Dan hadis yang
selanjutnya dengan redaksi yang hampir sama pada akhir hadis,
dinilai oleh FK3 sebagai hadis yang maudhu’ juga. Matan hadis di
atas hanya sebagai nasehat bahwa seseorang harus bertanggung
jawab atas kewajibannya, seperti shalat.

115
Rasullah bersabda kepada seorang wanita, “Bagaimana
sikapmu terhadapa suamimu? Jawabnya, “Saya tidak
menyulitkan dan tidak sembarangan dalam berkhidmat
kepadanya, kecuali jika saya tidak mampu melakukannya, rasul
berkata, “Bagaimana kedudukanmu kepadanya, maka ia adalah
surga dan nerakamu.”
Hadis yang menjelaskan bahwa suami dapat menjadi surga
atau neraka bagi istrinya difahami oleh FK3 bahwa kehidupan
rumah tangga akan harmonis, sakinah, mawaddah dan rahmah
jika pasangan suami istri saling tolong menolong, membantu satu
dengan yang lainnya dan adanya keterbukaan, bukan dimaknai
bahwa tiket surga itu bergantung suami.
Hadis yang menjelaskan 4 golongan wanita yang masuk
surga dan empat golongan wanita yang masuk neraka.
Nabi beliau bersabda, “Ada empat wanita di surga dan
empat wanita di neraka. Adapun yang empat wanita di surga
adalah, wanita yang menjaga dirinya, taat kepada Allah dan
suaminya, banyak anaknya, dan sabar dalam menerima apa
yang ada walaupun sedikit bersama suaminya, dan pemalu. Jika
suaminya pergi ia menjada diri dan harta suaminya, jika
suaminya dirumah ia menjaga lisannya. Di antara empat
wanita itu adalah wanita yang ditinggal mati suaminya
memiliki anak-anak kecil dan ia menjaga dirinya dan medidik
nak-anaknya. Berbuat baik apada mereka dan tidak menikah
lagi karena takut menelantarkan mereka.

116
Kemudian Nabi bersabda, “Adapun empat wanita yang di
neraka adalah, wanita yang buruk ucapannya kepada suaminya,
jika suamninya pergi ia tidak menjaga kehormatannya, jika
suaminya berada di rumah ia menyakiti dengan lisannya.
Kedua, wanita yang membebani suaminya di luar
kemampuannya. Ketiga, wanita yang tak menutup auratnya dan
keluar berhias. Keempat, wanita yang keinginannya hanya
melakukan pekerjaan makan, minum dan tidur. Tidak sholat,
tidak taat kepada Allah, rasul-Nya dan suaminya. Wanita-
wanita tersebut adalah orang-orang yang terkutuk dan ahli
neraka, kecuali mereka yang bertaubat.”
Dalam kajian FK3 dianggap sebagai hadis maudhu’. Dari
sisi matan, hadis tersebut terasa aneh, karena dari kriteria-kriterian
yang disampaikan tidak sejelas apa yang disampaikan al-Qur’an.
Dan dalam al-Qur’an tidak ada syarat masuk surga karena
“ketaatan pada suami.”
Sedangkan salah satu wanita yang masuk surga adalah
faktor banyak anaknya. Bagaimana dengan wanita yang baik yang
sedikit anaknya atau bahkan tidak memiliki keturunan? apakah
mereka tidak dapat masuk surga?
Hadis selanjutnya dari Sa’ad bin Abi Waqqas, “Wanita
yang enggan menghilangkan kesempitan suaminya maka Allah
murka kepadanya dan malaikat melaknatnya.”
Salman Al-farisi mendengar Rasul bersabda, “Tidaklah
seorang wanita memandang laki-laki lain yang bukan suaminya

117
dengan syahwat, melaikan kedua matanya akan di paku pada
hari kiamat.”
Hadis tersebut dihukumi sebagai hadis maudhu’ karena
tidak memenuhi unsur keabsahan sebagai hadis shaheh. Adapun
dari sisi matan hadis ini dianggap janggal, karena keluarga adalah
tempat berbagi kebahagiaan dan kesulitan, jika seorang istri
mengalami kesulitan maka tentunya pasangannya tempat
berkonsultasi, begitupun sebaliknya, maka jika istri tidak
menghilangkan kesulitan suami di laknat maka menjadi
kontradiktif, hal mana suami adalah kepala rumah tangga di sisi
lain istri yang harus menghilangkan kesulitan suaminya.
Adapun hadis yang bersumber dari Salman al-Farisi, Rasul
bersabda, “Tidaklah seorang wanita memandang laki-laki lain
yang bukan suaminya dengan syahwat, melaikan kedua matanya
akan di paku pada hari kiamat.”
Hadis tersebut dihukumi sebagai hadis maudhu’ karena
tidak terdapat para perawi hadis dan tidak disebut dalam kitab-
kitab hadis mu’tabar.
Istri dan Harta Suami
Abu Ayub al-Anshori mendengar Rasul bersabda,“Allah
menciptakan tujuh puluh ribu malaikat di langit dunia,
mengutuk setiap wanita yang menghianati harta suaminya. Dan
mereka pada hari kiamat akan berkumpul bersama tukang sihir,
peramal, sekalipun ia menghabiskan umurnya untuk berkhidmat
pada suaminya.”

118
Dari Abu Ayyub al-Anshari, bahwa hadis tersebut
dihukumi sebagai hadis maudhu’ karena tidak terdapat para
perawi hadis dan tidak disebut dalam kitab-kitab hadis mu’tabar.
Secara matan hadis ini tidak fair, karena penyalahgunaan harta
bukan hanya saja terjadi dari pihak istri, pihak suami pun bias saja
melakukannya, bahka banyak para suami yang tidak bertanggung
jawab dengan menghabiskan hasil usaha dari istrinya.
Mu’awiyah telah mendengar Rasul bersabda, “Wanita
yang mengambil harta suaminya tanpa seijinnya, ia akan
memikul dosa tujuh puluh dosa pencuri.”
Hadis ini dihukumi sebagai Hadis Maudhu, karena dengan
alasan yang sama sebagaimana di atas. Secara matan hadis ini
janggal, karena membandingkan kesalahan istri dengan tujuh
puluh pencuri, pembandingan ini berlebihan karena
memandingkan kesalahan istri dengan satu pencuri saja sudah
tidak pantas apalagi dengan tujuh puluh pencuri.
Hadis yang menjelaskan bahwa wanita yang ditinggal mati
suaminya dan memiliki anak-anak yatim yang diasuh dan
didiknya kemudian tidak menikah karena takut menelantarkan
anak-anaknya akan dijamin surga merupakan perbuatan yang
sangat mulia.
Rasul bersabda, “Semua manusia diharamkan masuk
surga sebelum aku, melaikan aku melihat sebelah kananku, tiba-
tiba seorang wanita mendahuluiku ke pintu surga. Kataku, “Apa
kelebihannya dapat mendahuluiku?. Maka dikatakan kepadaku,
“Hai Muhammad, dialah wanita cantik dan baik. Dia

119
memiliki anak-anak yatim dan dia sabar mendidiknya sampai
mereka dewasa, akhirnya Allah membalas kebaiakn wanita
tersebut.”
FK3, Maka pantas hal ini didapatkan karena mulia dan
baiknya tanggung jawab wanita tersebut. Hadis dari Umar bin
Khattab yang mengatakan bahwa wanita yang meninggikan
suaranya dihadapan suaminya maka terlakanat apa saja yang
disinari matahari. Umar bin Khattab mendengar Nabi bersabda,
“Wanita yang meninggikan suaranya dihadapan suaminya, apa
pun yg terkana sinar matahari melaknatnya.”
Hadis ini dihukumi sebagai hadis maudhu’. Hadis ini
muncul karena danya kepentingan golongan sehingga redaksinya
pun sampai menggunakan kalimat ancaman. Seorang istri yang
membebani suami diluar kesanggupannya maka ia masuk neraka,
kemudian dikutip dari Abu Darda’ dihukumi sebagai hadis
maudhu’. Hadis ini juga seirama dengan hadis-hadis sebelumnya.
Parfum bagi Perempuan
Hadis dari Salman yang telah meriwayatkannya hadis dari
Rasulullah “Wanita yang berhias dan memakai wangi-wangian
lalu keluar dari rumah tanpa ijin suaminya, maka ia benar-
benar berjalan dalam kemarahan dan kemurkaan Allah hingga
kembali.”
Hadis ini dihukumi sebagai hadis Maudhu’ karena tidak
memenuhi persyaratan hadis Shaheh. Adapun secara matan (isi
hadis) hadis ini masih senada dengan hadis-hadis sebelumnya yang
yang merugikan para wanita, menonjolkan kesewenang-wenangan

120
kaum laki-laki, serta penuh ancaman yang ditujukan kepada
perempuan yang dianggap melakukan hal-hal yang merugikan
mereka. Pada masa kini, dimana sudah banyak para wanita
meakukan aktifitas di luar rumah baik sebagai pelajar, pencari
nafkah, pekerja sosial dan lain-lain, tentunya mereka banyak
berinteraksi dengan banyak orang, maka hal ini memerlukan
penampilan yang baik, dari sisi berpakaian maupun berwangi-
wangian agar tidak menimbulkan kesan jorok dan kotor.
Keseimbangan Hak dan Kewajiban suami-Istri
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan al-Hakim
disebutkan, seorang wanita berkata kepada Nabi. “Anak paman
saya akan menikahi saya, maka berilah aku nasehat mengenai
hak suami yang harus dipenuhi oleh istrinya. Maka jika hak-hak
itu aku mampu menanggungnya maka akau akan menikah.”
Dalam kajian FK3 hadis ini dinilai dha’if. Dari sisi matan
hadis ini tidak berprikemanusiaan, sekalipun hadis merupakan
analog/perumpamaan, namun yang disampaikan sangat tidak
elegan. Karena perumpamaan tersebut sangat menjijikkan yaitu
menjilati darah dan nanah, yang merupakan sumber penyakit dan
dapat menular dengan mudah.
Adapun hadis yang bersumber dari ‘Aisyah, Aisyah
mendengar seorang wanita bertanya kepada Nabi, “Wahai
Rasullah saya seorang gadis yang telah di pinang, tetapi say tidak
ingin menikah. Maka apa hak suami atas istrinya?.”
FK3 menilai sebagai hadis shaheh, namun dari sisi matan
kandungan hadis ini identik dengan hadis sebelumnya, atas nama

121
keharmonisan dan pengabdian harus rela mengorbankan nyawa.
Hadis ini juga merendahkan derajat wanita, yang seolah-olah jika
ada laki-laki yang mengawininya maka mendapat kebahagiaan
lahir dan batin dunia dan akhirat. Maka apapun harus
dikorbankan bahkan nyawa sekalipun kepada laki-laki yang
menikahinya sebagai wujud rasa syukur. Jika dilihat dengan
cermat Islam tidaklah begitu ekstrim, karena Islam adalah agaman
Rahmatan Lil ‘Alamin, oleh karenanya analogi seperti itu sudah
tidak relevan lagi pada zaman ini.
Macam-Macam Hak Suami
Ath-Thabrani meriwayatkan dengan sanad yang baik, Istri
tidak di anggap memenuhi hak Allah sebelum memenuhi hak
suaminya. Menurut FK3 ada dua hal yang disampaikan hadis ini.
Pertama, tentang hak, dalam Islam ada beberapa hak. Hak Allah,
hak kerabat, hak tetangga, hak orang yang lewat dan lain-lain. Hak
kepada Allah bersifat verikal, yang menyangkut ibadah langsung
kepada Allah, sedangkan hubungan suami istri merupakan hak
horizontal. Dan hak suami istri adalah seimbang sebagaimana
terekam dalam QS. Al-Baqarah: 223. Kedua, hubungan seksual
masalah ini telah dijelaskan secara jelas termasuk doa-doa dan
tatacara behubungan seksual yang tentunya sangat baik dan sakral
yang harus dijaga dan difahami dengan baik oleh suami istri yang
memiliki hak dan kewajiban seimbang.
Ibn Abbas berkata, Ada seorang wanita dari desa Khats’am
bertanya kepada Rasul, “Saya adalah wanita yang belum

122
menikah, dan saya akan menikah, apakah hak suami atas
istrinya?”
Rasul bersabda di antara hak suami yang menjadi
kewajiban istrinya adalah:
 Tidak boleh menolak ajakan suami dalam kondisi apapun
 Tidak boleh memberi sesuatu dari rumah suaminya tanpa
seijinnya
 Tidak boleh puasa sunnah tanpa seijin suaminya
 Jika pergi tanpa ijin suaminya akan dilaknat malaikat sampai ia
pulang dan bertaubat
Kesimpulan FK3, hadis ini dha’if. Mengenai larangan istri
dilarang bersedekah dari harta suaminya, hal ini bertentangan
dengan beberapa hadis shaheh Bukhari dan Muslim, diantaranya
Nabi pernah memerintah kepada Asma untuk bersedekah dari
harta yang didapat dari suaminya.
Siksa bagi Perempuan
Tentang hadis yang menggambarkan banyaknya para
perempuan yang di siksa di neraka ketika Nabi melakukan Isra’
dan Mi’raj dan beraneka macam bentuk siksaan yang dialami para
wanita, “Wahai Ali, ketika aku mi’roj, aku melihat banyak
wanita dari umatku di siksa di neraka jahannam dengan
bermacam-macam siksaan. Saya menangis karena melihat
dasyatnya siksaan mereka.”
Dalam kajian FK3 hadis tersebut berderajat dha’if jiddan.
Dari sisi matan hadis tersebut menggambarkan ancaman dan
siksaan yang begitu dasyat untuk para perempuan. Padahal

123
gambaran siksaan tersebut dapat pula dilakukan laki-laki,
semestinya gambaran siksa tersebut juga diberlakukan bagi laki-
laki yang memiliki potensi yang sama dalam melanggar aturan-
aturan agama.
Harkat dan Martabat Perempuan
Hadis yang diriwayatkan dari Abu Harairah, yang
menggambarkan dialog antara Nabi dengan putrinya Fatimah,
ketika Nabi mengunjungunya ia dalam keadaan menangis sedang
menggiling gandum di atas gilingan batu.
Dalam kajian FK3 hadis ini dihukumi hadis dha’if munkat
tau dha’if jiddan. Adapun kandungan hadis tersebut dalam
kajiannya, FK3 menjelaskan bahwa salah satu misi nabi
Muhammad adalah “memerdekakan” wanita dari belenggu
ketertindasan dan ketidakadilan. Pada masa Arab Jahiliyyah para
wanita diperlakukan seperti barang dan binatang, Nabi datang
membebaskan perlakuan tersebut dan mengangkat derajat para
wanita sejajar dengan kaum laki-laki. Maka mustahil jika Nabi
memberi nasehat kepada putrinya yang tercinta dengan nasehat
seperti yang terdapat dalam hadis tersebut, maka jelaslah bahwa
hadis tersebut tidak benar alias dha’if munkar.
Hadis tentang pahala bagi istri jika memcucikan pakaian
suaminya, Hadis dari ‘Aisyah bahwa suara pintalan benang dapat
mengimbangi takbir dijalan Allah.
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dari Nabi, bahwasannya
beliau bersabda, “Bila seorang istri mencuci pakaian suaminya,
maka alalh memberinya seriu kebaiakan, mengampuni seribu

124
kesalahan, mengangkat seribu kebaikan, dan apa saja yang
terkena sinar matahari memohonkan ampun untuknya.”. Aisyah
berkata, “Suara pintalan tenun wanita dapat mengimbangi
takbir di jalan Allah, dan wanita yang member pakaian pada
suaminya dari hasil tenunannya, maka setiap lubang
memperoleh seratus derajat.”
FK3, adalah Hadis Maudhu’.
Nabi bersabda, “Siapa yang belanja untuk keluarganya
dan dibawanya sendiri untuk diberikan kepada keluarganya,
maka Allah menghapus dosanya tujuh puluh tahun.”
Nabi bersabda, “Siapa yang membahagiakan anak
perempuan maka seperti menangis karena Allah SWT. maka
Allah mengharamkan jasadnya masuk neraka.”
Dan Juga sabda Nabi, “Rumah yang ditempati anak
perempuan, maka setiap hari Allah menurunkan dua belas
rahmat, para malaikat tidak putus-putus mengunjungi rumah
tersebut, dan para malaikat mencatat untuk kedua orang tuanya
setiap hari dan malamnya paha ibadah tujuh puluh tahun.”
FK3, hadis yang menjelaskan tentang oleh-oleh untuk
keluarganya yang dapat melebur dosa tujuh puluh tahun juga
maudhu’. Dan dua hadis terakhir yang menjelaskan bahwa anak
perempuan harus diistimewakan, diperlakukan dengan baik, anak
perempuan membawa rahmat, meringankan bebannya, dan lain-
lainnya, namun dari matan hadis tersebut janggal, sebab dengan
dasar amal yang sedikit memperoleh balasan yang begitu besar.

125
BAB IV
ANALISIS FK3, PP SIDOGIRI DAN PP
LIRBOYO TERHADAP KITAB UQUD AL-
LUJJAYN

Keluarga merupakan lembaga sosial terkecil dan sekaligus


yang paling fundamental di masyarakat. Banyak definisi tentang
keluarga, seperti, pertama, satu komunitas yang memiliki nenek
moyang yang sama. Kedua, suatu kelomok kekerabatan yang
diikat oleh darah dan pernikahan. Ketiga, pasangan pernikahan
dengan atau tanpa anak. Keempat, Satu pasangan dengan
beberapa anak, dan kelima, suatu kelompok kekerabatan yang
menyelenggarakan pemeliharaan anak dan kebutuhan tertentu
manusia lainnya.
Setiap manusia mendambakan kehidupan yang harmonis
dan bahagia, yang dalam bahasa agama sering disebut dengan
keluarga samara (sakinah, mawaddah dan rahmah). Namun untuk
mewujudkan hal trsebut tidaklah mudah, memerlukan kesabaran
dan saling pengertian menyangkut kewajiban dan hak suami istri.
Jika pasangan mengetahui dengan baik dan jelas hak dan
kewajiban masing-masing maka mereka dapat menjalankan
peranya masing-masing. Keluarga samara adalah sosok keluarga
ideal yang disebut dengan keluarga harmoni. Menurut Nurhayati
Djamas, relasi perkawinan untuk mewujudkan keluarga harmoni
dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti, aspek kultural yang

126
berkaitan dengan kepercayaan yang membentuk cara pandang
pasangan tentang lembaga perkawinan serta nilai-nilai yang
dianut oleh pasangan dalm memelihara relasi perkawinan.
Menurut Olson dan DeFrain ada tika faktor yang yang menjadi
basis dalam relasi perkawinan, yaitu, komitmen dan kedekatan
pasangan, komunikasi yang efektif serta fleksibilitas dalam
menghadapi masalah dan menemukan solusinya.
Sepasang suami istri dalam relasi sehari-hari hendaknya
dilandasi dengan semangat keseimbangan, keadilan, kasih sayang,
dan mendahulukan menunaikan kewajibannya daripada
menuntut hak. Ibn Katsir dalam tafsirnya mengatakan bahwa
kalimat “Muasyarah bil Ma’ruf dengan makna”, “perbaikilah
ucapan, perbuatan, penampilan sesuai dengan kemampuan
sebagaimana kita menginginkan dari pasangannya, maka
lakukanlah untuk mereka”. Dalam Hadis Nabi perihal memilih
pasangan minimal memiliki empat kriteria, keturunan,
kecantikan, harta dan agama. Faktor agamalah yang paling
dominan membawa kebahagiaan pasangan, hal ini jika mereka
memahami kewajiban dan haknya masing-masing, dan
mendahulukan kewajibannya dari pada menuntut haknya.
Dibawah ini diuraikan kandungan Kitab Uqud al-Lujjyan karya
ulama besar Nusantara tentang hak dan kewajiban istri yang
kemudian mendatangkan polemik dari berbagai pihak.

127
A. Tanggapan PP Sidogiri Terhadap Hasil Reinterpretasi
Forum Kajian Kitab Kuning (FK3) Atas Kitab Uqud Al-
Lujjayn
a. Kewajiban Suami Terhadap Istri
Allah telah berfirman dalam Surat an-Nisa ayat 19

)91 :‫وعاشروهن باملعروف) النساء‬


Yang artinya: “Dan bergaullah dengan mereka (wanita)
secara ma’ruf (patut)”
Dalam Surat al-Baqoroh ayat 228, Allah juga berfirman:
ّ
)222 :‫عليهن درجة (البقرة‬ ‫وللرجال‬ ّ
ّ ‫عليهن باملعروف‬ ‫ولهم مثل الذى‬
Yang artinya: “Dan mereka mempunyai hak yang seimbang
dengan kewajiban menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi kaum
laki-laki (suami) mempunyai satu tingkat (kelebihan) daripada
mereka”
Yang di maksud “secara patut” dalam ayat yang pertama,
adalah bijaksana. Laki-laki harus beralaku adil dan bijaksana
mengatur waktu untuk para istri. Begitu pun dalam hal nafkah
yang menjadi hak istri. Hal lain yang terkait dengan kepatutan di
sini adalah kehalusan dalam berkomunikasi. Adapun mengenai
relasi keduanya dalam ayat yang kedua menunjukkan bahwa laki-
laki dan wanita mempunyai hak yang sama dalam menuntut
kewajiban terhadap yang lain sebagai suami istri, bukan dalam hal
kelamin. Dalam hal ini relasi mereka berbeda, karena laki-laki
memiliki hak berpoligami. Adapun yang dimaksud dengan cara
yang ma’ruf adalah cara yang baik menurut agama, seperti sopan

128
santun, tidak melakukan tindakan yang melukai perasaan, baik
bagi suami maupun istri, bahkan sampai pada batas berdandan.
Sebab hal itu merupakan suatu cara yang ma’ruf. Oleh karena itu
masing-masing berkewajiban untuk melakukannya, mengingat
hal tersebut merupak bagian dari apa yang dimaksud dalam ayat
tersebut.
Sebagaimana Ibn Abbas berkata, “Maksud dari cara yang
ma’ruf itu adalah, bahwa saya suka berdandan demi istri saya,
sementara dia pun berdandan demi diri saya”. Akan tetapi,
suami mempunyai kelebihan derajat daripada istri. Hal ini terkait
dengan hak suami yang didapatnya dari tanggung jawab suami
dalam nafkah dan maskawin, dengan demikian suami berhak atas
ketaatan istri. Maka istri wajib taat kepada suami sehubungan
dengan tanggung jawabnya dalam mewujudkan dan memelihara
kemaslahatan istri, disamping kesejahteraan hidupnya ditanggung
suami.
FK3, QS. Al-Baqarah ayat 228 tersebut sering dijadikan
alasan untuk menganggap perempuan lebih rendah dari laki-laki
secara mutlak. Padahal menurut Muhammad Abduh, kelebihan
tersebut tidak dapat dilepaskan dari tugas dan tanggung jawab
dalam memberikan perlindungan dan kesejahteraan keluarga. Jadi
jika suami tak dapat menjalankan kewajibannya dan justru istri
yang menjadi tulang punggung keluarganya maka secara otomatis
kelebihan itu menjadi milik istri. Dengan demikian kelebihan
yang dimaksud dalam ayat diatas tidak ada kaitannya dengan jenis
kelamin seseorang.

129
PP Sidogiri menanggapi sebagai berikut, Suami memiliki
kelebihan atau derajat dibanding istri, kelebihan yang tidak dapat
dilepaskan dari dua hal:
1. Penciptaan laki-laki yang relatif lebih pandai dan lebih
seimbang dalam berfikir, dan kesiapan menanggung beban
dalam memenuhi kebutuhan keluarga
2. Kewajiban dalam menaggung nafkah, dan memenuhihi
kebutuhan keluarga baik sandang, pangan dan papan. Dengan
demikian derajat tersebut merupakan pengejawantahan dari
tanggung jawab laki-laki yang lebih banyak daripada istri.
Demikian penafsiran mayoritas ulama tanpa kecuali
Muhammad Abduh dalam Tafsir al-Manarnya, kata kunci yang
menjadi kajian Abduh adalah, “Kelebihan (derajat) dalam ayat ini
adalah kelebihan, yang disebabkan kepemimpinan dan yanggung
jawab atas kesejahteraan mereka. Yang juga diperkuat dengan
kalimat Abduh yang berikutnya, “Laki-laki yang lebih berhak
menjadi pemimpin, karena ia lebih mengetahui tentang
kemaslahatan dan lebih mampu melaksanakan tugas
kepemimpinan dengan kekuatan”. Dengan demikian bahwa
kelebihan laki-laki terhadap istri tidak mutlak, sehingga jika suami
tidak dapat menunaikan tanggung jawabnya dan menjadi tulang
punggung keluarga maka kelebihan tersebut menjadi milik istri
sebagaimana kajian FK3 merupakan penyimpangan makna, yang
menurut PP Sidogiri melenceng dari pehamaman yang benar,
demi kesetaraan dan pemaksaan gender FK3 telah melakukan
argument sofistik yang merupakan penyimpangan dan lari dari

130
kejujuran ilmiah serta kebohongan yang disematkan kepada
Muhammad Abduh.
Mengenai komentar FK3 tentang pemahaman Imam
Nawawi, bahwa wanita itu tawanan atau tahanan sehingga istri
dianggap oleh Imam Nawawi sebagai tawanan suami (laki-laki).
Bahwa kata “Awanin” yang diartikan tawanan oleh Imam
Nawawi, adalah “seperti tawanan” hal ini memang bahasa majaz
atau metafor, sebagaimana Imam Ghazali menafsirkan kata
“Awanin” yaitu tawanan yang kemudian disyarah oleh al-Zabidi
yang menjelaskannya lebih terang, “maksudnya seperti tawanan”.
Bahkan Imam Nawawi menjelaskan,“Wanita dikatakan Aniyah
dalam kontek ini, karena ia terpenjara seperti tawanan di sisi
suaminya”. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa istri
bersetatus seperti budak. Budak disini posisinya sama dengan
tahanan. Al-Zabidi mengartikan perbudakan dengan “berstatus
sebagai budak”. Hal ini karena seorang istri apabila melakukan
pernikahan maka tidak dapat melepaskan diri dari pernikahan
tersebut. Berbeda dengan suami yang mampu melepaskan diri
dari ikatan pernikahan tersebut. Jadi status budak adalah suatu
worning bagi para wali agar memilihkan pasangan seorang suami
bagi anaknya yang terbaik. Jadi bukan mendiskreditkan seorang
wanita.
Adapun kutipan yang ditulis FK3 yang dinukil dari
perkataan Ibn Sidah dianggap tidak tepat sebagaimana yang
diasumsikan FK3, PP Sidogiri mengkritiknya dari beberapa sisi,
Pertama, bahwa Kitab Lisanul Arab bukanlah karangan Ibn

131
Sidah, tapi karangan Ibn Mansur al-Ifriqi. Kedua, Kalimat
Awanin, yang dimaksud adalah “ka al-asra” adalah perkatanan
Ibn Mansur al-Ifriqi pengarang Lisanul Arab. Ketiga, kesalahan
dalam menterjemahkan, atau salah memahami makna kalimat
yang sebenarnya, yaitu, karena dalam konteks sosial saat itu
wanita/istri selalu didholimi, tanpa memiliki kemampuan untuk
menghindar dan tidak bisa banyak menolong diri mereka atau
mendapatkan pertolongan orang lain.
Kesalahan FK3 adalah, menambahkan kalimat “konteks
sosial saat itu” yang dianggap sebagia tambahan atau
penyimpangan dalam penterjemahkan kalimat yang sebenarnya.
Sebab redaksi yang sebenarnya, “li-annahunna yudzlamna wala
yantashirna”, menggunakan kata kerja mudharek yang bermakna
peristiwa yang terus terjadi dari waktu ke waktu, bukan merujuk
pada kontek sosial saat itu. Jadi wanita/istri dari waktu ke waktu
akan menjadi korban penganiayaan laki-laki/suami dan jika itu
terjadi mereka tidak dapat melakukan pembelaan diri. Ketidak
mampuan ini karena kondisi wanita yang lemah bukan karena
diskriminasi.
Menanggapi kajian FK3 tentang takhrij yang dilakukannya
mengenai hadis, “Kewajiban suami atas istrinya adalah
memberikan sandang dan pangan seperti yang ia peroleh, selain
itu ia dilarang memukul wajah, menjelek-jelekkannya dan
dilarang menghindarinya kecuali di rumah”. Takhrij yang
dilakukan FK3, adalah takhrij yang telah dilakukan al-Iraqi dalam
al-Mughni artinya FK3 hanya melakukan plagiasi saja. Kesalahan

132
kedua bahwa hadis tersebut diriwayatkan melalui jalur
Mu’awiyah Ibn Haidah yang tertera dalam Abu Dawud dan Ibn
Majah yang ditambah nomornya oleh FK3 dan penjelasan al-Iraqi
dalam al-Mughni, Jadi Mu’awiyah yang benar adalah mu’awiyah
bin Haidah bukan Mu’awiyah bin Qurrah, karena yang pertama
adalah adalah perawi yang sebenarnya perawi hadis golongan
sahabat dan Mu’awiyah kedua adalah golongan tabi’in.
Hadis-hadis yang dimaudhu’kan oleh FK3
Dalam mengomentari (mengoreksi) hadis-hadis yang
dimaudhu’kan oleh FK3 pada bukunya tersebut terhadap hadis-
hadis yang terdapat pada halaman 19, 22, 65, 76, 77, 82, 83, 86,
89, 90, 91, 92 dan 93. PP Sidogiri mengumpulkannya dalam satu
rangkaian pembahasan, walaupun hadis-hadis tersebut terdapat
dalam bab-bab yang lain, namun dirangkum dalam bab ini,
dengan alasan karena lebih ringkas dan jelas mana saja hadis-hadis
yang dianggap maudhu’ oleh FK3. Alasan kedua karena ketika
hadis tersebut dianggap maudhu’, dengan alasan yang
dikemukakan tidak jauh berbeda.
Hadis ini disebut oleh al-Hafidz al-Dzahabi dalam al-
Kaba’ir dan disebut bersama hadis berikut ini. Kedua hadis
tersebut disampaikan oleh Imam Ghazali dalam kitab Ihya
Ulumuddin
Berikut adalah hadis-hadis yang lain yang dimaudhu’kan
oleh FK3
Tanggapan PP Sidogiri atas kajian hadis FK3 sebagai
berikut:

133
1. Mengutip beberapa pendapat para ulama, diantaranya al-
Suyuthi dalam Tahdzir al-Khawash, bahwa yang berhak dan
menilai hadis adalah para ulama-ulama ahli hadis yang
memiliki kwalitas, kapabilitas dan integritas dalam ilmu hadis
yaitu mereka yang mendapat predikat al-naqid al-mujtahid fi
al-hadis. Dengan demikian FK3 secara personal maupun
kolektif tidak memiliki kriteria tersebut.
2. Hadis-hadis yang tidak ditemukan oleh FK3 dalam kitab-kitab
hadis mu’tabar pada hakekatnya belum ditemukan oleh FK3,
karena masih banyak kitab-kitab hadis mu’tabar yang tidak
dirujuk oleh FK3.
3. Hadis-hadis yng dimaudhu’kan oleh FK3 kebanyakan adalah
hadis-hadis yang banyak disampaikan oleh huffazh seperti al-
hafidz Ibn al-Jauzi dalam Ahkam al-Nisa’ dan al-hafidz al-
Dzahabi dalam al-Kabir. Kedua imam ini telah diakui
keilmuannya dan kapabilitasnya dan ketelitiannya dalam
mentakhrij hadis, bahkan sangat ketat dan selektif, walaupun
tidak menyebutkan sanad hadis tersebut, hadis-hadis tersebut
masih bisa dipakai dalam hal targhib dan tarhib.
4. FK3 dalam mentakhrij sebuah hadis tidak berpedoman dengan
metode mentakhrij hadis yang distandarisasi oleh ulama hadis.
Salah satunya dengan menggunakan metode al-Mutsbit
muqaddamun ‘ala al-Nafi. (Yang mengatakan ada
didahulukan atas yang mengatakan tidak ada) karena ia
memiliki kelebihan informasi.
5. FK3 tidak memiliki kecakapan dalam peristilahan ilmu-ilmu
hadis, sehingga cara memaudhu’kan hadis dikarenakan tidak

134
memahami istilah-istilah tersebut. Berikut dua istilah yang
dipakai oleh FK3 dalam memaudhu’kan hadis:
FK3 sering mengutip istilah hadis seperti: Lam Aqif lahu
‘ala ashlin (Kami belum menemukan asal bagi hadis ini), atau
perkataan-perkataan serupa dengan berdsarkan istilah tersebut
FK3 menghukuminya sebagai hadis maudhu’. Padahal maksud
dari kalimat tersebut adalah belum ditemukannya sumber, tidak
dihukumi sebagai hadis maudhu’. Karena sandaran dalam
menghukumi suatu hadis adalah dari sisi sanad hadis tersebut
yaitu para perawi hadis yang terkategori sebagai perawi lemah,
pendusta atau pemalsu.
Alasan kedua dari kajian ini adalah, bagaimana dengan
kajian dalam ilmu ushul fikih yang mengatakan, “Diantara tanda-
tanda hadis palsu dari sisi matan hadis adalah jika setelah dikaji
tidak ditemukan dikalangan ahlinya”. Maka untuk menjawab
persoalan ini FK3 mengutip pernyataan al-Iman Ibn ‘Arraq al-
Kinani, yang dapat disimpulkan dengan, memberikan penilaian
maudhu’ suatu hadis karena alasan belum ditemukan asalnya
memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Dilakukan oleh penghafal hadis terkemuka
2. Hafalannya meliputi seluruh atau sebagian besar hadis
3. Melakukan perjalanan ke berbagai negeri-negeri yang
berjauhan
4. Melakukan penyelidikan keberbagai hafalan para perawi dan
catatan-catatan kitab-kitab hadis yang sudah dibukukan

135
5. Hal ini hanya dapat dilakukan oleh orang-orang seperti, Imam
ad-Daraquthni dan al-Nasa’i.
Hal ini sulit dilakukan oleh para ulama ahli hadis abad-abad
akhir (muta’akhirin), apalagi masa-masa sekarang. Maka
menyikapi suatu hadis yang belum ditemukan asalnya dengan
tidak memaudhu’kannya sebagaimana banyak dilakukan oleh
para ulama ahli hadis abad modern (muta’akhirin).
Kritik yang selanjutnya mengenai penerjemahan yang
dilakukan FK3 dalam kalimat,“ Shoohibul at-Thariqoh al-
Masyhurah wa al-Asrar al-Katsirah” Yang diterjemahkan oleh
FK3 dengan redaksi, “Sayyid al-habib Abdullah al-Haddad
adalah pendiri tarekat yang popular dengan nana Ratib al-
Hadda”, menurut PP Sidogiri FK3 telah melakukan
penyederhanaan dalam penerjemahan yang mengakibatkan
kekeliruan fatal. Harusnya diterjemahkan dengan, “Pemilik
tharekat terkenal dan al-asrar yang banyak”. Kata al-asrar tidak
bisa diterjemahkan dengan makna keistimewaan atau rahasia, kata
tersebut harus merujuk pada definisi ilmu tasawuf yang memiliki
makna yang telah disepakati, diantaranya kata al-asrar adalah, asrar
jamak dari kata sir, sir adalah sesuatu yang halus yang diletakkan
dalam hati seperti arwah. Ia tempatnya musyahadah, sebagaimana
arwah tempatnya mahabbah, sedangkan al-qulub tempatnya
ma’rifah. Sedangkan tarekat yang dianut oleh beliau adalah
tarekat al-‘Alawiyyah dan Ratib al-Haddad adalah salah satu
bacaan wiridan dari beberapa wiridan yang beliau susun bukan
nama tarekat.

136
Tanggapan PP Sidogiri tentang sebelas hal yang membuat
seorang suami diperbolehkan memukul istri, yang dalam
pendapat FK3 dianggap sebagai pendapat pribadi Imam Nawawi
yang tidak sesuai dengan perbuatan Nabi, hal mana Nabi tidak
pernah memukul istri-istrinya.
Menurut PP Sidogiri FK3 menyembunyikan fakta, karena
diperbolehkannya memukul istri jika terjadi nusyuz yang terekam
dalam Surat an-Nisa’: 34. Dijelaskan dalam ayat bahwa jika suami
mengkhawatirkan istrinya nusyuz maka suami harus
mendidiknya, lalu memisahnya dari tempat tidur jika belum benar
diperbolehkan memukulnya. Nusyuz adalah kedurhakaan dan
penentangan istri terhadap suami, yaitu menolak untuk
melaksanakan kewajibannya yang menjadi hak suami.
Menurut PP Sidogiri Imam Nawawi menjelaskan empat
belas hal yang membolehkan suami memukul istri, namun hanya
sebelas hal yang diterjemahkan FK3. Pendapat di atas bukan
semata-mata pendapat Imam Nawawi pribadi, namun hasil dari
menyimpulkan pendapat-pendapat para ulama sebelumnya yang
terdapat dalam al-Qur’an dan hadis-hadis.
Pendapat FK3 yang diperkuat beberapa hadis yang
berkaitan dengan tidak boleh bagi suami memukul istri karena
Nabi tidak melakukannya adalah benar adanya. Namun menurut
PP Sidogiri sesuatu yang tidak dilakukan tidaklah secara otomatis
dilarang. Nabi tidak melakukannya bukan berarti Nabi
mengharamkannya, jika tidak terdapat larangan maka pada
dasarnya segala sesuatu berhukum mubah. Selanjutnya hadis yang

137
dikemukakan FK3 tidak sesuai asbabul wurud atau konteks
munculnya hadis, hadis yang dijadikan dalil larangan
menempeleng istri dalam konteks tradisi jahiliyah, yaitu mereka
meratapi mayit dan menempeleng dirinya sendiri dalam rangka
berkabung, jadi bukan dalam konteks hubungan suami istri.
Adapun anjuran suami untuk memberi nasehat istri,
memberi nafkah, berlaku lemah lembut kepada istri, selalu
bersabar, dan hadis yang memerintahkan seseorang agar
menasehati keluarganya, agar menajaga shalat, puasa, memberi
makan orang miskin, menjaga anak yatim menurut kajian FK3
adalah berderajat maudhu’, dengan alasan tidak ditemukan
sumbernya.
Menurut PP Sidogiri hadis tersebut disampaikan oleh al-
Zamakhsyari dalam tafsir al-Manar, al-Kasysyaf ‘an-Haqa’iq
Ghawamidh al-Tanzil, juz IV, h. 116. Al-Hafidz ibn Hajar dalam
takhrijnya berkata, ”Kami tidak menemukannya”. Maksudnya
adalah, tidak ditemukan sanadnya bukan menghukuminya
maudhu’ sebagaimana kajian sebelumnya. Mengenai hadis yang
mengatakan kekurangan akal dan agama bagi perempuan
sebagaiamana dalam kajian yang disampaikan oleh FK3 bahwa
kekurangan tersebut bukan sesuatu yang primordial tapi
kekurangan yang bersifat relatif. Dalam penjelasan selanjutnya
FK3 juga mengatakan bahwa kekurangan tersebut dalam literatur
Islam sebagai hal yang yang bersifat “sebagian besar”. Artinya
bukan sesuatu yang alamiah.

138
Hal ini dibantah oleh PP Sidogiri yang justru mengatakan
sebaliknya, bahwa kekurangan akal pada wanita adalah bersifat
alamiah. Adapun pengutipan FK3 terhadap pendapat Abu
Suqqah bahwa kekurangan tersebut bersifat relatif bukan fitri
dalam pandangan PP Sidogiri terdapat distorsi kutipan yang
dilakukan oleh FK3. Distorsi tersebut diantaranya sebagai berikut:
Pertama, pendapat Abu Syuqqah berkaitan dengan kekurangan
akal saja, namun dalam kutipan FK3 ditambah dengan
kekurangan agama. Kedua, kutipan yang dilakukan FK3 tidak
sempurna. Ketiga, mengabaikan sebagian makna yang dikutip.
Adapun pendapat Abu Syuqqah mengenai kekurangan akal
sebagaimana dimaksud adalah, tingkat kecerdasan menengah saja,
kekurangan dalam jenis tertentu, kekurangan yang bersifat
insidental dan kekurangan insidental dalam bidang tertentu yang
berjangka panjang.
Komentar PP Sidogiri dalam menanggapi bahwa
perempuan dapat melebihi laki-laki dengan memberi contoh
‘Aisyah dalam periwayatan hadis, bukan berarti menafikan
adanya sistem penciptaan laki-laki lebih sempurna dari
perempuan. Maksud dari sistem tersebut juga tidak mentiadakan
adanya kelebihan para wanita dalam bidang-bidang tertentu,
dimana wanita lebih unggul dari pada laki-laki. Sistem penciptaan
laki-laki lebih sempurna adalah sistem mayoritas bukan sistem
totalitas. Sehingga tidak membuat wanita setara dengan laki-laki,
walaupun bisa jadi dalam bidang tertentu wanita lebih unggul,
sebagai contoh dalam daya hafal. Dalam literatur fikih, bahwa

139
kekuatan daya hafal bukanlah syarat untuk menempati jabatan
publik.
Argumen yang dibangun FK3 dengan memberikan contoh
Aisyah sebagai panglima pasukan Perang Jamal juga tak lepas dari
kritik. Menurut PP Sidogiri, argument yang dibangun FK3 rapuh,
karena beberapa alasan, diantaranya: Pertama, Tujuan Aisyah ke
Bashrah bukan untuk memerangi Ali dan memimpin tentara tapi
keluarnya beliau dari Makkah untuk menunaikan haji dan
menghindari fitnah. Kedua, Nabi pernah bersabda kepada Ali,
“Sesungguhnya akan terjadi sesuatu antara kamu dengan Aisyah,
Ali bertanya “Saya ya Rasulallah” beliau menjawab Ia. Ali
bertanya lagi, Saya?”Beliau menjawab, Ia. Lalu Ali bertanya,
Apakah aku yang paling celaka ya Rasulallah?”Beliau menjawab.
Tidak! Akan tetapi jika hal itu terjadi, maka kembalikanlah ia ke
tempatnya yang aman. Kalimat Akan tetapi jika hal itu terjadi,
maka kembalikanlah ia ke tempatnya yang aman menunjukkan
bahwa Nabi tidak merestui keluarnya Aisyah dan peperangannya
dengan Ali.
Ketiga, Ketika tiba di Hawaib, ‘Aisyah mendengar
gonggongan anjing, teringat dengan pesan Rasullah, ‘Aisyah
hendak kembali, namun beberapa orang menahannya dan
mengatakan, bahwa “Kaum muslimin akan melihatmu,
barangkali Allah mendamaikan antar manusia dengan adanya
dirimu”(Aisyah). Jadi kehadiran Aisyah adalah untuk
mendamaikan kalangan umat muslim. Keempat, Diriwayatkan
bahwa ‘Aisyah mengaku kepada Abdullah Ibn Umar. “Hai Aba

140
abdirrahman, apa yang menghalangi kamu untuk mencegah
kepergianku (ke Bashrah)?. Ibn Umar menjawab,“Aku melihat
ada seorang laki-laki yang benar-benar menguasaimu”.
Maksudnya yaitu Abdullah bin az-Zubair keponakannya. Disini
ada isyarat ‘Aisyah menyesali kepergiannya. Kelima, Dalam
literatur sejarah ‘Aisyah berwasiat agar tidak dikubur bersama
Rasulallah dan ayahnya, tapi dikubur di Baqi’ bersama istri-istri
Rasul yang lain karena ia telah membuat kesalahan. Dan beberapa
alasan lain yang penulis tidak cantumkan dalam tulisan ini.
Sedangkan argument FK3 yang menyatakan bahwa wanita sejajar
dengan laki-laki adalah sebagaimana perbuatan Umar Ibn Khattab
yang mengangkat seorang wanita yang bernama as-syifa untuk
menjadi pejabat akuntan pasar Madinah.
Dibantah oleh PP Sidogiri dengan beberapa alasan,
diantaranya. Pertama, Pengangkatan as-Syifa sebagai pegawai
hisbah di pasar merupakan riwayat yang tidak shahih, berdasarkan
perkataan al-Iman al-hafidz Abu Bakar Ibn al-A’Arabi al-Maliki,
serta diriwayatkan tanpa sanad sehingga sulit diverifikasi. Kedua,
jika pun riwayatnya shahih, maka pengangkatan as-syifa sebagai
al-hisbah tidak bisa dijadikan argument, karena jabatan tersebut
boleh dijabat oleh anak kecil, perempuan dan orang fasik. Ketiga,
jika riwayat itu benar maka tugas yang diemban as-Syifa hanya
sekedar pengawasan timbangan saja, karena Umar orang yang
sangat ketat dalam hal ikhthilat. Keempat, pemaknaan yang
disampaikan dengan redaksi “akuntan pasar” tidak benar, karena
masa Umar belum diterapkan profesi tersebut. Sedangkan hisbah

141
as-Suq adalah pengawasan pasar dengan beramar ma’ruf nahi
munkar sebagaimana dalam literatur-literatur fikih.
Argumen FK3 selanjutnya tentang bolehnya seorang
wanita memangku jabatan publik adalah kisah Ratu Balqis di
negeri Saba’ yang terekam dalam al-Qur’an Surat an-Naml: 32.
Kritik yang dilontarkan PP Sidogiri tentang argument
tersebut diantaranya sebagai berikut. Pertama, sejarah Ratu Balqis
adalah masa dimana belum adanya agama Islam yang diajarkan
oleh Nabi Muhammad, Ia musyrik, menyembah matahari dan
dan tidak berpegang dengan agama Allah. Sedangkan Nabi
mengatakan “Tidak akan bahagia suatu kaum yang
menyerahkan urusannya kepada perempuan”. Jelas dalil ini
menjadi argument yang kuat. Kedua, Bahasa burung Hud-Hud
tidak mengakui kepemimpinan Ratu Balqis yang tidak beriman
kepada Allah, dan tindakan Nabi Sulaiman yang yang langsung
berkirim surat kepada Balqis untuk menyerahkan diri dan
beriman kepada Allah. Ketiga, Ketika Ratu Balqis mendapat surat
dari nabi sulaiman, ia menjadi panik dan ketakutan,
mengumpulkan para pembesar kerajaan untuk mencari solusi.
Maka orang yang mudah panik dan memiliki rasa takut tidak
layak menjadi pemimpin. Keempat, tindakan Nabi Sulaiman
memindahkan kerajaan Ratu Balqis sebelum kedatangannya
untuk menyerah.
Menanggapi penafsiran FK3 tentang menuntun istrinya
kepada jalan kebaikan dalam kitab Umdat al-Rabih karya imam
ar-Ramli bahwa suami tidak boleh memukul istrinya karena

142
meninggalkan sholat, namun cukup memerintahkannya saja, yang
menurut FK3 hal tersebut juga dikatakan oleh Athiyyah.
Menurut pendapat PP Sidogiri suatu kesalahan dalam memahami
redaksi dari apa yang disampaikan oleh Imam Nawawi. Makna
sebenarnya dalam kacamata PP Sidogiri adalah bahwa suami
diperbolehkan pada sebatas menyuruh istrinya yang
meninggalkan shalat sebagaimana dikatakan Athiyyah. Jadi
pendapat Athiyyah yang dikutip oleh Imam Nawawi dalam
konteks menafsirkan redaksi ar-Ramli.
Dengan argumen, jika Athiyyah yang menafsiran redaksi
Imam ar-Ramli maka keduanya harus sezaman, namun pada
kenyataannya keduanya tidak sezaman, Athiyyah wafat tahun 408
H. dan Ar-Ramli wafat pada tahun 1004 H. Bagaimana mungkin
yang wafat terlebih dahulu menafsirkan pendapat orang yang jauh
setelah kewafatannya. Alasan selanjutnya Athiyyah adalah seorang
Muhaddis dan Sufi dalam kutipan FK3, maka tidak ada kaitannya
dengan Fikih Syafi’i baik dalam bermazhab maupun karyanya.
Adapun Athiyyah yang dikutip oleh FK3 pada dasarnya bukan
Athiyyah yang disebutkan Namun beliau adalah Athiyyah al-
Ujhuri al-Burhani as-Syafi’I wafat pada tahun 1190 H. dengan
demikian athiyyah yang dimaksud bukan Athiyyah seorang
Muhaddis dan Sufi yang wafat pada tahun 408 H.
Mengenai penafsiran Ibn Abbas tentang QS: at-Tahrim
ayat: 6, “Berilah pelajaran pada keluargamu tentang syari’at
Allah dan didiklah mereka dengan akhlak yang sempurna”. yang

143
dikutip oleh Imam Nawawi memiliki dasar kebenaran, sekalipun
dengan riwayat yang berbeda.

b. Kewajibab Istri Terhadap Suami


Dalam kajian QS.An-Nisa: 34, yang menjelaskan bahwa
kaum laki-laki menjadi pemimpin bagi kaum wanita adalah suami
memiliki kekuasaan untuk mendidik istri. Serta Allah melebihkan
kaum laki-laki atas wanita. Dalam kajian FK3 dengan kutipan
“Mayoritas ulama fikih dan tafsir berpendapat bahwa qiwamah
hanyalah terbatas pada laki-laki dan bukan pada perempuan”.
Hal ini menurut PP Sidogiri merupakan argument sofistik,
berupa pemalsuan adanya pendapat. Dalam ayat tersebut laki-laki
menjadi pemimpin bagi wanita adalah pendapat seluruh ulama.
Akan tetapi FK3 menggunakan kata mayoritas sebagai argumen
seakan-akan ada pendapat lain dari beberapa ulama, yang
bermakna terjadi perbedaan dikalangan ulama, padahal faktanya
tidak ditemukan. Bahwa laki-laki menjadi pemimpin bagi
perempuan dalam ranah domestik menunjukkan bahwa larangan
tersebut juga tidak adanya ruang bagi wanita menjadi pemimpin
dalam ranah yang lebih besar dan luas, yaitu ranah publik yang
tentunya memiliki beban dan tanggung jawab yang berat dan
besar. Adapun adanya kasus Ratu Balqis, tidak dapat dijadikan
sebagai hujjah karena dalam ranah kecil saja dilarang apalagi dalam
ranah yang lebih besar. Justru banyak kajian yang melarang
seorang wanita memangku jabatan publik.

144
Kutipan FK3 dengan redaksi. “Sehingga para ulama
menganggap keunggulan ini bersifat mutlak”, PP Sidogiri, kritik
tersebut bukan pada tempatnya, karena keutamaan laki-laki atas
wanita sudah menjadi kehendak Allah, serta memang tidak
dinafikan terdapat satuan wanita yang memiliki kelebihan atas
laki-laki namun ini tidak dapat diajdikan dalil, sebagaimana
pendapat Ibn Asyur, “Kelebihan jenis betina merupakan sesuatu
yang langka. Maka yang berlaku dalam hukum syariat adalah
hukum alam yang mayoritas, karena pencipta kedua jenis tersebut
satu”.
Yang dimaksud dengan kalimat,“tidak mampu
mengatur”, bukanlah karena larangan dari syariat atau
ketidakmampuan secara empiris, tapi larangan seorang wanita
menjadi pemimpin adalah adanya larangan dari dalil-dalil syara’
yang kuat. Harusnya FK3 menjelaskan apa maksud dari frasa
diatas bukan menggenalisir sehingga tidak terjadi bias dalam
maksudnya. Pendapat para ulama yang melarang wanita menjabat
pemimpin publik adalah para ulama terkemuka. Larangan wanita
menjadi pemimpin dalam rumah tangga juga menjadi dasar dari
larangan wanita menjadi peminpin dalam ranah publik
berdasarkan dalil Qiyas.
Mengenai pendapat para ulama tentang posisi wanita
menduduki jabatan publiK. Pertama, mengatakan tidak layak.
Kedua, boleh asal bukan jabatan khalifah. Ketiga, hanya sampai
jabatan hakim.

145
Kritik dari PP Sidogiri, Pertama, FK3 tidak menjelaskan
masing-masing kelompok yang menyatakan pendapatnya
sehingga tidak dapat diketahui secara jelas mana saja kelompok
mayoritas dan minoritas sehingga dapat diambil natijah. Kedua,
penggunaan kata “layak” dalam penjelasan FK3 mengesankan
suatu perkara yang tidak urgen, padahal ini menyangkut hukum
yang tegas dan jelas. Karena layak tidak layak akan memiliki
stressing yang berbeda pada satu masa ke masa berikutnya,
Padahal hal ini menyangkut hukum haram dan halal. Ketiga,
wanita memangku jabatan itu diperolehkan namun mengangkat
wanita memangku jabatan tersebut adalah haram berdasarkan
hadis, “Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan
urusannya kepada perempuan”.
Pada penjabaran ayat yang menyatakan “sebab Allah telah
memberikan keutamaan pada sebagian mereka, atas sebagian
yang lain”. Yang diartikan oleh FK3, “sebab Allah telah
memberikan keutamaan pada sebagian laki-laki, atas sebagian
perempuan” dengan redaksi tersebut keutamaan laki-laki menjadi
tidak mutlak jadi tidak setiap individu laki-laki lebih utama dari
semua individu perempuan.
Pendapat tersebut adalah tidak benar, karena menurut para
mufassir kata ganti “mereka” (dhomir hum) kembali kepada laki-
laki dan perempuan. Sebagaimana penafsiran para ahli tafsir klasik
maupun modern, seperti Abu Hayyan yang menyatakan, “Kata
ganti “mereka” dalam kalimat “ba’dhuhum” kembali kepada
laki-laki dan perempuan, dhomir tersebut disampaikan dalam

146
bentuk mudzakar (laki-laki) sebagai bentuk pemenangan laki-
laki atas perempuan”. Juga apa yang disampaikan Muhammad
Abduh dalam al-Manar, walaupun hal ini tidak menafikan
adanya satuan wanita yang memiliki keunggulan dari laki-laki
sebagaimana telah dikutip sebelumnya.
Pada pembahasan selanjutnya, FK3 mengutarakan
argumentasinya dengan mengatakan bahwa kondisi saat ini
dimana dalam berbagai bidang kehidupan diantaranya bidang
ekonomi dan sosial telah banyak wanita yang lebih unggul dari
laki-laki.
Hal ini menjadi kritik selanjutnya yang dilontarkan oleh PP
Sidogiri, bahwa keunggulan beberapa wanita tidak hanya terjadi
pada zaman modern ini saja, sejak dulu sudah ada, bahkan mereka
sama-sama mengenyam pendidikan. Pada masa Jahiliyah juga
telah muncul wanita-wanita yang memiliki keunggulan
sebagaimana laki-laki, seperti Khadijah yang pernah
mempekerjakan Nabi pada masa mudanya. Maka masa lalu tidak
dapat dijadikan argumen terhadap kelemahan wanita secara
individual.
Mengenai kelemahan wanita bukanlah bersifat kodrati
namun faktor pembagian tugas dan kondisi sosial, tradisi serta
hukum Tuhan dapat berubah. PP Sidogiri mengkritik sebagai
berikut, Pertama, bahwa kelebihan laki-laki atas wanita
merupakan pemberian Allah SWT. dan karena faktor nafkah yang
diberikan kepada istrinya. Kedua, Allah memberikan daya akal
laki-laki lebih kuat dari daya akal wanita dengan bukti dalam

147
kesaksian. Ketiga, para mufasir sepakat bahwa keutamaan laki-laki
atas wanita adalah secara kodrati dan alami, dimana secara fisik
laki-laki lebih kuat dari wanita dan hal ini adalah suatu aksioma
yang tidak membutuhkan dalil. Mengenai hukum Allah dapat
berubah sesuai kondisi dan situasi masyarakat tidaklah berdasar,
karena hukum Allah, yaitu sunnatullah tidak berubah seperti
keunggulan laki-laki atas wanita.
Dalam kajian FK3 bahwa keshalehan seorang wanita tidak
hanya diukur dari ketaatannya kepada suami saja, juga kepada
Allah dan Rasulnya. Dan ayat yang menyatakan bahwa orang-
orang yang beriman taatilah kepada Allah dan rasunya dan ulil
amri di antara kalian berlaku secara umum, tidak saja untuk para
istri tapi juga para suami.
PP Sidogiri menanggapi dengan beberapa argument.
Pertama, redaksi ayat sebelumnya berbicara tentang relasi suami
istri maka redaksi berikutnya diletakkan pada konteks tersebut.
Kedua, dalam hadis riwayat Imam Bukhari jelas bahwa wanita
yang shalehah adalah wanita yang menuruti perintah suaminya.
Adapun QS: An-Nisa ayat 59 berbicara konteks yang berbeda,
bukan konteks relasi suami istri.
Mengenai dua hadis yang berkaitan dengan sikap seorang
istri yang meninggalkan tempat tidur suami menimbulkan laknat
para malaikat dan sebaliknya seorang wanita yang menghabiskan
malamnya dengan suaminya akan masuk surga, dalam pandangan
FK3 hadis ini sasaran tembaknya adalah para istri, padahal banyak
para suami justru tidak mendampingi istri karena berbagai

148
alasan.Oleh karenanya hadis ini harus difahami secara kontekstual
tidak secara tekstual yang berimbas pada ketidakadilan.
Menanggapi hal ini PP Sidogiri mengatakan, bahwa kedua
hadis tersebut berkaitan dengan kewajiban istri terhadap suami,
sebagaimana yang telah diuraikan, Kedua hadis tersebut berkaitan
dengan hukuman terhadap seorang istri yang meninggalkan
kewajibannya bukan tentang diskriminasi terhadap wanita.
Sebagaimana yang telah terekam dalam QS: al-Baqarah ayat 228.
Bahwa para istri memiliki hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Dengan mengutip
pendapat dari Imam ar-Rafi’i, PP Sidogiri menegaskan bahwa
seorang istri yang menunggu suaminya pulang sampai ketiduran
hingga pagi hari tidaklah mendatangkan laknat bagi sang suami,
dan hal itu jika dilakukan secara sengaja oleh suami merupakan
mu’asyarah yang tidak ma’ruf. Jadi hadis diatas tidak
membutuhkan kontekstualisasi.
Menaggapi pendhaifan hadis yang dilakukan FK3 tentang
jihadnya seorang wanita dengan mentaati suami dengan alasan
terdapat seorang perawi hadis yang bernama Rusydain bin Kuraib
dan melemahkan hadis yang dilakukan oleh al-Mundziri. PP
Sidogiri mengatakan bahwa Imam al-Haitsami dan al-Mundziri
tidak medhaifkan hadis, hanya mengatakan bahwa dalam hadis
tersebut terdapat perawi yang lemah, dan al-Mundziri
mentadh’ifkan bukan mengatakan hadis tersebut dhaif. Karena
dalam kajian Ilmu Mushthalahul Hadis, jika terdapat perawi hadis
yang lemah maka kalimat yang benar bahwa hadis tersebut dari

149
jalur perawi itu lemah, karena bisa jadi dari jalur yang lain hadis
tersebut kuat, tidak langsung menghukumi mutlak dha’if tanpa
menganalisanya secara keseluruhan.
Mengenai pernyataan FK3 pada masa Rasululah para
wanita yang ikut aktif berjihad dan mengobati para pasukan yang
terluka. PP Sidogiri menjelaskan, bahwa kewajiban berjihad hanya
untuk para laki-laki tanpa menutup kebolehan wanita untuk
berjihad, bagi para wanita jihad tidak dihukumi wajib namun
hanya sunnah saja, karena sesuai kodratnya ia harus menjaga jarak
dalam pergaulan dengan laki-laki dan menutup diri.Selanjutnya
menurut al-Suyuthi bahwa banyak hukum-hukum yang berbeda
antara laki-laki dan perempuan diantaranya adalah berjihad.
Dalam pembahasan para penghuni surga yang meminta
dikembalikan ruhnya ke dalam jasadnya, untuk kemudian
kembali ke dunia agar dapat terbunuh di tangan orang-orang kafir
dalam keadaan mentaati perintah Allah, FK3 mengatakan bahwa
pengarang mengutip dengan kutipan yang tidak jelas karena
periwayatan yang sebenarnya adalah penafsiaran Ibn Abbas dalam
menafsirkan QS.Ali Imron ayat 169. Hal ini mendapat tanggapan
dari PP Sidogiri sebagai berikut:
1. Harusnya terjemahan “melihat ahli surga”, diterjemahkan
dengan “melihat mereka yang terbunuh dalam peperangan di
surga” sehingga tidak general sebagaiman konteks sebelumnya
2. Kalimat, “pengarang mengutip hadis dengan isyarat-isyarat
yang tidak jelas”, semestinya diterjemahkan “pengarang kitab

150
mengutip hadis ini dengan kalimat yang melemahkan” (sighat
tamridh)
Lalu dalam komentar FK3, ada beberapa kesalahan yaitu:
1. Dalam komentarnya FK3 mengatakan bahwa periwayatan
yang sebenarnya adalah penafsiaran Ibn Abbas dalam
menafsirkan QS. Ali Imron ayat 169. Yang sebenarnya adalah
penafsiran Rasullah terhadap ayat tersebut.
2. Yang dimaksud Abdullah dalam Said bin Manshur adalah
Abdullah bin mas’ud bukan Ibn Abbas
3. Hadis yang tersebut di atas juga terdapat dalam periwayatan
Imam Muslim, seharusnya FK3 mengambil dari periwayat
Imam Muslim yang dalam thabaqat kitab hadis memeliki
derajat yang lebih tinggi daripada periwayatan dari Sa’id bin
Manshur.
FK3 dalam mentakhrij hadis “Ruh-Ruh para syuhada
berada di ronggga burung-burung hijau yang mendatangi sungai-
sungai di surga, memakan buah-buahan di surga, dan hinggap di
lampu-lampu yang digantungkan di nangan Arsy.”
PP sidogiri, FK3 tidak mengikuti metode yang benar
sehingga hadis yang diriwayatkan dari Ibn Abbas yang dikutip
oleh Imam Nawawi ditakhrij dengan hadis yang diriwayatkan dari
Ka’ab bin Malik dengan redaksi yang berbeda.
Kutipan QS.An-Nisa’:32 bahwa laki-laki ada bagian dari
apa yang mereka usahakan dan sebaliknya juga para wanita, dalam
kitab Uqud al-Lujjayn yang kemudian dikutip pendapat dari
Imam al-Syirbini dalam tafsirnya. FK3 menanggapi bahwa apa

151
yang menjadi penjelasan imam al-Syirbini bahwa laki-laki akan
memperoleh pahala dari jihadnya dan wanita memperoleh pahala
dari menjaga kemaluannya, taat kepada Allah dan suaminya
adalah pendapat pribadi.
Sanggahan PP Sidogiri dengan penjelasan sebagai berikut,
bahwa kajian yang dilakukan FK3 tidak ilmiah, karena kajian yang
ilmiah mensyaratkan penelaahan yang mendalam dengan
melakukan studi komparasi dari berbagai pendapat yang
kemudian menghasilkan natijah yang benar, yaitu mengambil
pendapat yang kuat berdasarkan dalil-dalil yang ada, bukan
dengan kalimat “pendapat pribadi” seolah-olah mengesankan
pendapat Imam al-Syirbini tidak memiliki kwalitas dan kekuatan.
FK3, demikian pula komentar yang mengatakan bahwa di
dunia laki-laki menguasai dan memiliki kelebihan atas perempuan
adalah pendapat pribadi al-Syirbini karena Allah telah berfirman
dalam QS. at-Taubah: 71, yang artinya, “Orang mukmin laki-laki
dan orang mukmin wanita sebagian mereka merupakan penolong
dari sebagian yang lain”. Jelaslah bahwa dalam ayat tersebut laki-
laki dan wanita saling tolong menolong bukan saling menguasai.
PP Sidogiri, Mengenai kelebihan laki-laki atas perempuan
telah di bahas pada bagian sebelumnya, dan pendapat tentang hal
itu bukan pendapat pribadi al-Syirbini namun telah menjadi
kesepakatan para ulama, mengenai surat at-Taubah ayat 71 satu
adalah konteknya dalam amal ma’ruf dan nahi munkar, hal mana
dalam wilayah tersebut menjadi kewajiban setiap individu, baik ia
laki-laki maupun perempuan.

152
Mengenai perkataan Imam Ali, tentang sifat yang tercela
bagi laki-laki merupak sifat yang baik bagi wanita, seperti bakhil,
menahan pemberian, mengagumi diri sendiri dan penakut. Dalam
pandangan FK3, sifat-sifat tersebut diatas bukan hanya menjadi
sifat bagi perempuan tapi juga bagi laki-laki. Baik laki-laki
maupun perempuan tidak baik memiliki sifat-sifat tersebut.
Dalam tanggapan PP Sidogiri, apa yang disampaikan oleh FK3
bersifat ambigu.Apa yang disampaikan Imam Ali memiliki alasan
yang kuat seperti:
1. Sifat bakhil bagi istri mendorongnya untuk menjaga hartanya
dan harta suaminya, karena wanita yang bersedekah dengan
harta suaminya tanpa ijinya maka dihukumi haram
2. Wanita yang mengagumi diri sendiri (sombong) biasanya
menghindari becakap-cakap dengan laki-laki yang bukan
mahramnya
3. Wanita yang penakut kemungkinan besar tidak akan keluar
rumah dan menjaga dirinya dari tempat yang menimbulkan
kecurigaan suaminya
Dalam Kitab karya Imam Nawawi bahwa seorang istri
harus merasa malu kepada suami, tidak boleh menentang,
menundukkan pandangannya, menjaga pandanganya
dihadapannya, taat kepada suami ketika diperintah selama bukan
maksiat, diam ketika suami berbicara, berdiri ketika suami dan
pergi, menampakkan cintanya kepada suami ketika suami
mendekatinya, menampakkan kebahagiaan ketika suami
memandangnya, menyenangkan apabila akan tidur, memakai

153
harum-haruman, merawat mulutnya, memakai parfum,
membersihkan pakaian, selalu berhias jika ada suami dan tidak
berhias jika suami tidak ada.
FK3 menanggapi dengan perkataannya, bahwa tujuan
pernikahan sebagaimana menurut Imam Ghazali memiliki tujuan
yaitu, tujuan perkawinan jika ditinjau dari segi syariat dan ajaran
agama yang umum adalah menegakkan tanggung jawab sosial.
Lima manfaat perkawinan menurut Imam Ghazali adalah
mempunyai anak, melindungi agama dan membatasi nafsu,
menjadi dekat dengan perempuan, memiliki partner yang dapat
mengurus rumah tangga dan melatih diri untuk mengembangkan
watak yang baik. Dalam penjelasan tersebut tidak ada satu kata
pun menyatakan bahwa dalam perkawinan perempuan
diposisikan sebagai budak.
Tanggapan PP Sidogiri atas penjelasan FK3 sebagai berikut:
1. Kesalahan dalam terjemah, kata “mayoritas Ulama” harusnya
diterjemahkan dengan “sekelompok ulama” karena dari kata
“jama’ah min al-ulama”.
2. “Orang yang banyak hutang”, harusnya diterjemahkan dengan
“yang dilarang membelanjakan hartanya”, dari kata “mahjur
‘alaih”
3. Kesalahan substansi, Perkataan Imam Nawawi dalam konteks
suami istri, sedangkan kutipan Imam Ghazali berkaitan
dengan tujuan pernikahan, maka perbedaan konteks
menjadikan tidak ilmiah, harusnya yang dikuti adalah

154
kewajiban istri terhadap suami dalam kitab an-Nikah yang
dikarang oleh Imam Ghazali
4. Dalam redaksi yang dikutip dari Imam Ghazali tidak terdapat
kalimat, “tujuan perkawinan jika ditinjau dari segi syariat
dan ajaran agama yang umum adalah menegakkan tanggung
jawab social”.
5. Banyak melakukan penyederhanaan kalimat sehingga keluar
dari esensinya, seperti kalimat “menjadi dekat dengan
perempuan” yang seharusnya, “memperbanyak golongan”.
6. Pada poin keempat yang dikutip FK3, yaitu memiliki partner
dalam rumah tangga sudah jelas bahwa tugas istri adalah
mengurus rumah tangga
7. Karena tugas istri adalah sebagai pengurus rumah tangga maka
tidak dapat dipungkiri mereka harus berada dalam rumah
8. “Dalam penjelasan tersebut tidak ada satu katapun
menyatakan bahwa dalam perkawinan perempuan
diposisikan sebagai budak” yang dikutip dari Imam Ghazali,
justru dalam Kitab Ihya Ulum ad-Din, juz II halaman 58,
justru secara tegas bahwa istri berposisi sebagai budak di sisi
suami.
FK3, dalam hal pergaulan suami istri bukan hanya istri yang
dituntut untuk tidak berkhianat pada suami, tapi juga sebaliknya.
PP Sidogiri, terjemahan FK3 tidak benar “istri harus
(bukan hendaknya) tidak berkhianat ketika suami pergi dalam
hal tempat tidur dan hartanya”, Yang disampaikan Imam
Nawawi adalah dalam kontek kewajiabn istri terhadap suami

155
bukan dalam hal sebaliknya. Dalam kontek apa suami tidak boleh
khianat, jika dalam hal harta istri itu dibenarkan namun jika
dalam kontek berpologami itu tidak benar.
PP Sidogiri, dari kutipan-kutipan hadis dan takhrij hadis
yang dilakukan FK3 dalam kontek tidak bolehnya istri
memberikan makan orang lain di rumah suaminya tanpa
seijinnya, kecuali makan yang basah yang dikhawatirkan basi. PP
Sidogiri tidak menanggapinya dikarenakan versi Arab dan
terjemahan yang dilakukan FK3 terdapat banyak kesalahan,
karena lemahnya penguasaan bahasa Arab.
FK3, “Hendaknya istri tidak mematuhi perintah suami
yang dzalim agar suami tidak terbiasa melakukan itu”. PP Sidogiri,
Istri harus mematuhi suaminya selama bukan perintah untuk
melakukan kemaksiatan, termasuk keharusan mentaati perintah
larangan suami keluar rumah sekalipun suaminya dhalim dalam
larangan itu, sebagaimana yang telah termaktub dalam hadis
tentang kewajiban istri terhadap suami.
Hadis yang menyatakan,“Siapa saja wanita yang diajak
suaminya ke tempat tidur lalu menunda-nunda hingga suaminya
tertidur, maka ia dilaknat oleh Allah”. Dalam mengomentari
hadis ini FK3 mengatakan, “Kami tidak menemukan riwayat Ibn
Mas’ud, namun ada hadis yang lain yang diriwatkan oleh al-
Thabrani dalam al-Awsath, (dengan makna yang hampir sama).
Baik hadis yang di dalam kitab Uqud al-Lujjayn maupun hadis
yang di kutip FK3. FK3 menyatakan hadis pertama tidak

156
ditemukan dalam riwayat Ibn Mas’ud dan hadis kedua dinyatakan
sebagai hadis maudhu’.
Mengenai hal tersebut PP Sidogiri mengatakan bahwa
hadis yang pertama berdasarkan penilaian al-Suyuthi sebagai hadis
shahih dalam kitab Jami’ al-Shaghir. Hadis yang dikutip oleh
FK3 yang dinyatakan sebagai hadis maudhu’ pada prinsipnya
tidak sampai pada derajat maudhu’, hanya bernilai dha’if, andai
hadis tersebut maudhu’ al-Munawi tidak akan memasukkannya
ke dalam Jami’ al-shaghir, sebagaimana kebiasaan beliau.
PP sidogiri, hadis yang dimaudhu’kan FK3 tentang
“Wanita yang cemberut dihadapan suaminya maka dimurkai
Allah ssampai ia tersenyum kepadanya dan meminta keridhaan
suaminya.” Sebenarnya disebut dalam kitab al-Kabair oleh
Imam al-Dzahabi dan dalam kitab al-zawaajir oleh Imam Ibn
Hajar al-Haitami. Hadis tentang keluarnya istri tanpa seijin suami
dan akan dilaknat oleh apapun yang tersinari matahari dan bulan
juga terdapat dalam kitab Jami’ al-shaghir oleh Imam as-Suyuthi,
dan dapat dijadikan dalil dalam kontek targhib dan tarhib.
Hadis dari ‘Aisyah tentang orang yang paling berhak atas
istrinya, yaitu suaminya, dan orang yang paling berhak atas laki-
laki, yaitu ibunya, dalam penilaian hadis ini FK3 menyimpulkan
bahwa hadis tersebut cenderung dhaif. Kemudian dikutip QS.At-
Taubah ayat 71 tentang bahwa laki-laki dan wanita sebagiannya
menjadi penolong sebagian yang lainnya, dikomentari oleh PP
Sidogiri memiliki dua kesalahan, pertama, dalam mengomentari
hadis dengan kalimat “cenderung dhaif” yang tidak ilmiah

157
ditambah bahwa hadis tersebut memiliki syawahid (penguat) yang
tidak dikuti oleh FK3. Kedua, dalam mengutip QS.At-Taubah
ayat 71 bahwa ayat tersebut tidak sesuai dengan yang dibahas,
seharusnya yang dikutip QS.An-Nisa’: 34.
Hadis tentang seorang wanita yang mengatakan kepada
suaminya,“Aku tidak pernah melihat kebaikanmu sama
sekali”.Dinilai oleh FK3 sebagai hadis maudhu’. PP Sidogiri, pada
dasarnya tidak sampai maudhu’ hanya berderajat dha’if saja dan
hadis ini disebut oleh Ibn Jauzi dalam kitab Ahkam an-Nisa’.
Pada hadis selanjutnya tentang perkara yang pertama kali
akan ditanyakan pada seorang suami dan seorang istri, dinilai
maudhu’ oleh FK3. Menurut PP Sidogiri hanya berderajat dhaif
dan dapat dipakai dalam hal Targhib dan Tarhib.
Hadis dari sahabat Salman al-Farisi, tentang wanita yang
berhias dan berwangi-wangian dan keluar rumah tanpa sijin
suaminya maka ia berada dalam kemurkaan Allah sampai ia
kembali juga dinilai maudhu’ berdasarkan juga pendapat dari al-
Munawi. PP Sidogiri, sebenarnya hadis yang dimaudhu’kan al-
Munawi berbeda dengan hadis yang disampaikan dalam kitab
Uqud al-Lujjayn ada perbedaan secara substansi maupun matan.
Hadis yang terdapat di Uqud al-Lujjayn sebabnya hanya keluar
rumah tanpa ijin suami, sementara hadis yang rawinya dari
Salaman al-Farisi karena dua hal, berhias memakai wangi-wangian
dan keluar rumah tanpa ijin suami.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh al-Hakim ada
seorang wanita bertanya kepada Nabi tentang hak-hak suami atas

158
istrinya, dalam hadis tersebut dinyatakan, jika suami mimisan dan
istri menjilatinya maka belum memenuhi hak suaminya, jika
manusia boleh sujud kepada manusia maka Nabi akan
memerintahkan wanita sujud kepada suaminya. Dari kajian FK3
hadis tersebut dha’if. Mengenai hal ini maka PP Sidogiri
memberikan bantahan atas pendha’ifan hadis tersebut sebagai
sesuatu yang gegabah dengan alasan bahwa banyak periwatan
tentang hadis tersebut yang dinilai shaheh menurut al-Albani
dalam Shaheh Jami’ al-Shaghir. Dinilai jayyid dari dari
periwayatan al-Bazzar, para perawinya tsiqah. Dan dari al-
Baihaqi dalam Sunan al-Qubra.
‘Aisyah menceritakan kedatangan seorang wanita yang
bertanya kepada Nabi, “Wahai Rasullah saya seorang pemudi
yang sudah dilamar laki-laki, tetapi saya tidak mau menikah.
Maka apakah hak laki-laki atas wanita?” Nabi menjawab
“Andaka saja dari kepala sampai kaki suami terdapat nanah,
lalu istri menjilatinya, ia belum memenuhi rasa syukur atas
suaminya.” Wanita itu lantas bergumam“Kalau begitu saya tidak
perlu menikah”, Nabi bersabda, “Bukan begitu, nikahlah kamu,
karena nikah itu lebih baik.”
Ada dua hal yang dikritisi oleh FK3, pertama, bahwa hadis
ini dikutip oleh Imam Nawawi dari kitab Ihya’ Ulumuddin karya
Imam Ghazali, dan riwayatnta bukan dari ‘Aisyah tapi dari Abu
Hurairah. Kedua, secara sanad hadis ini shaheh, namun secara
matan hadis ini bertentangan dengan HAM dan norma-norma
kesehatan.

159
Tanggapan PP Sidogiri atas komentar FK3, takhrij yang
disampaikan oleh FK3 adalah kutipan dari al-Iraqi, namun FK3
salah dalam memahami penjelasan al-Iraqi, dalam pernyataannya
al-Iraqi tidak menafikan periwayatan dari ‘Aisyah, hanya belum
pernah menemukan riwayat dari ‘Aisyah. Kedua, bahwa hadis
tersebut menjelaskan tentang besarnya hak suami atas istrinya.
Begitu besarnya ditamsilkan dengan hadis tersebut, Islam tidak
menganjurkan, apalagi memerintah wanita menjilati nanah di
tubuh suaminya, dan suaminya pun tidak diperbolehkan
menyuruhnya. Bahkan Islam memerintahkan menggauli istri
secara ma’ruf yang menurut Imam Syafi’i adalah, menahan diri
dari perbuatan yang tidak disukai pasangannya dan menyebabkan
pasangannya terbebani, tapi penuh penuh rasa suka cita dan
wajah sumringah. Begitupun perumpamaan dengan gambaran
sujudnya istri kepada suami, tentunya tidak dianjurkan apalagi
diperintahkan, karena hal ini bertentangan dengan hukum syara’.
At-Thabari meriwayatkan dengan sanad yang baik,
“Bahwasannya wanita itu tidak dapat memenuhi hak Allah
sebelum memenuhi hak-hak suami. Seumpama suami meminta
pada istrinya sementara istrinya sedang berada di punggung onta,
maka ia tidak boleh menolaknya.”
Kajian FK3 menyatakan hadis ini dan hadis-hadis yang
semakna berderajat hasan. Hadis ini dan yang sejenis dimaknai
oleh banyak ulama sebagai bentuk ketaan istri secara mutlak
dalam menunaikan kebutuhan seks suami. Hadis yang semakna
yang banyak di kutip dalam kitab fikih, seperti “sekali pun ia

160
sedang di dapur”. Jika hadis-hadis tersebut tidak dijadikan dasar
dalam totalitas ketaatan istri kepada suami dalam masalah seks
maka tidak akan muncul di kitab fikih.
Tanggapan PP Sidogiri, ada dua hal yang perlu ditanggapi,
pertama, dalam takhrij hadis dan kedua dalam komentar tentang
hukum fikih. Yang pertama bahwa hadis tersebut adalah hadis
jayyid, dalam ilmu musthalahul hadis istilah jayyid sama dengan
shaheh, sebagaimana pendapat al-Hafizh Ibnu Hajar, maka jika ia
jayyid tidak dibutuhkan syahid (penguat) dan tidak dihukumi
hasan, karena iya jayyid (shaheh). Kedua, dalam hadis di atas ada
yang menggunakan redaksi “falta’tihi” (datangilah suaminya) dan
“falya’tiha” (datangilah istrinya) tidak membawa perbedaan yang
berarti secara hukum fikih seperti yang di kalim FK3, maka
pernyataan FK3 seolah-olah tidak menghargai para fuqaha.
Ibnu Abbas berkata, “Ada seorang wanita dari desa (suku)
khats’am datang kepada rasullah dan berkata,”Saya adalah
wanita yang tidak memiliki suami, sedangkan saya akan
menikah, lalu apa hal suami atas istrinya?
Rasullah menjawab, bahwa diantara hak-hak suami adalah:
Jika suami menghendakinya, sedangkan istri berada di atas
punggung onta maka ia tidak boleh menolaknya
Istri dilarang memberikan sesuatu dari rumah suaminya
tanpa seijinnya. Jika ia memberikan sesuatu maka ia berdosa dan
suami mendapat pahala.

161
Istri dilarang berpuasa sunah, jika suami tak
mengijinkannya, jika ia puasa juga maka tiada pahala kecuali lapar
dan dahaga.
Jika istri keluar rumah tanpa seijin suami maka ia akan
dilaknat malaikat sampai ia kembali pulang atau bertaubat.
Kajian FK3 bahwa hadis di atas dinilai dha’if, kedua bahwa
kalimat “Istri dilarang memberikan sesuatu dari rumah
suaminya tanpa seijinnya.Jika ia memberikan sesuatu maka ia
berdosa dan suami mendapat pahala”. FK3 berpendapat, bahwa
hal tersebut bertentangan dengan beberapa hadis shahih. Seperti
riwayat Bukhari dan Muslim dimana Nabi memerintahkan Asma’
bersedekah dari harta yang diberikan suami.
Tanggapan PP Sidogiri, pertama, dalam kitab al-Targhib,
hadis tersebut selengkapnya tidak sama dengan hadis yang ada di
kitab Uqud al-Lujjyan, yaitu pada point kedua. Kedua, Dari sisi
sanad hadis tersebut memang dha’if, namun dari sisi matan (isi
hadis) baik yang tiga masalah di kitab at-targhib maupun empat
masalah di Uqud al-Lujjyan memiliki syahid dari hadis-hadis
shaheh. Ketiga, teks hadis yang terdapat dalam kitab Uqud al-
lujjayn semakna dengan hadis yang terdapat dalam kitab Ihya’
Ulumuddin, dan ditakhrij oleh al-Iraqi, kemudian al-Zabidi
dalam komentarnya tentang takhrij al-Iraqi menyatakan bahwa
hadis tersebut memiliki syahid. Keempat, FK3 tidak menyatakan
adanya perbedaan antara redaksi hadis yang terdapat dalam kitab
Uqul al-Lujjayn dengan yang terdapat dalam kitab al-Targhib,
yaitu tidak tercantumnya masalah yang kedua Agar terkesan

162
bahwa perbuatan istri bersedekah tanpa seijin dari harta suaminya
adalah lemah dan tidak berdalil.
Dalam redaksi Uqud-al-Lujjayn bahwa larangan bagi istri
bersedekah dengan harta suami jika tidak mendapat ijin dari
suami, dimana istri harus menjaga harta suami. Sedangkan dari
hadis-hadis yang dikutip FK3 seperti hadis Asma’ adalah dalam
kontek harta miliknya si istri, Maka tidak ada kontradiksi antara
hadis di kitab Uqud al-Lujjayn dengan hadis lain yang di kutip
FK3. Dalam masalah istri bersedekah dengan hartanya sendiri pun
terdapat beberapa pendapat ulama fikih, seperti Imam al-Laits
tidak membolehkan secara mutlak kecuali yang sepele, Imam
Malik melarangnya tanpa seijin suami kecuali sepertiga dari
hartanya, Imam Thawus melarangnya secara mutlak tanpa seijin
suaminya, dan dalam istri bersedekah dari harta suami tidak
diperbolehkan, kecuali istri mengetahui keridhaan suami.

B. Tanggapan PP Lirboyo Terhadap Hasil Reinterpretasi


Forum Kajian Kitab Kuning (FK3) Atas Kitab Uqud al-
Lujjayn
a. Kewajiban Suami Terhadap Istri
Allah telah berfirman dalam Surat an-Nisa’ ayat 19

)91 :‫وعاشروهن باملعروف (النساء‬


Yang artinya: “Dan bergaullah dengan mereka (wanita)
secara ma’ruf (patut)”
Dalam Surat al-Baqoroh ayat 228, Allah juga berfirman:

163
ّ
)222 :‫عليهن درجة (البقرة‬ ‫وللرجال‬ ّ
ّ ‫عليهن باملعروف‬ ‫ولهم مثل الذى‬
Yang artinya: “Dan mereka mempunyai hak yang seimbang
dengan kewajiban menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi kaum
laki-laki (suami) mempunyai satu tingkat (kelebihan) daripada
mereka”
Yang di maksud “secara patut” dalam ayat yang pertama
adalah bijaksana. Laki-laki harus beralaku adil dan bijaksana
mengatur waktu untuk para istri. Begitu pun dalam hal nafkah
yang menjadi hak istri. Hal lain yang terkait dengan kepatutan di
sini adalah kehalusan dalam berkomunikasi. Adapun mengenai
relasi keduanya dalam ayat yang kedua menunjukkan bahwa laki-
laki dan wanita mempunyai hak yang sama dalam menuntut
kewajiban terhadap yang lain sebagai suami istri, bukan dalam hal
kelamin. Dalam hal ini relasi mereka berbeda, Karena laki-laki
memiliki hak berpoligami.
Adapun yang dimaksud dengan cara yang ma’ruf adalah
cara yang baik menurut agama, seperti sopan santun, tidak
melakukan tindakan yang melukai perasaan, baik bagi suami
maupun istri, bahkan sampai pada batas berdandan. Sebab hal itu
merupakan suatu cara yang ma’ruf. Oleh karena itu masing-
masing berkewajiban untuk melakukannya, mengingat hal
tersebut merupak bagian dari apa yang dimaksud dalam ayat
tersebut. Sebagaimana Ibn Abbas berkata, “Maksud dari cara
yang ma’ruf itu adalah, bahwa saya suka berdandan demi istri
saya, sementara dia pun berdandan demi diri saya”. Akan tetapi,
suami mempunyai kelebihan derajat daripada istri. Hal ini terkait

164
dengan hak suami yang didapatnya dari tanggung jawab suami
dalam nafkah dan maskawin, dengan demikian suami berhak atas
ketaatan istri. Maka istri wajib taat kepada suami sehubungan
dengan tanggung jawabnya dalam mewujudkan dan memelihara
kemaslahatan istri, disamping kesejahteraan hidupnya ditanggung
suami.
FK3, QS. Al-Baqarah ayat 228 tersebut sering dijadikan
alasan untuk menganggap perempuan lebih rendah dari laki-laki
secara mutlak. Padahal menurut Muhammad Abduh, kelebihan
tersebut tidak dapat dilepaskan dari tugas dan tanggung jawab
dalam memberikan perlindungan dan kesejahteraan keluarga. Jadi
jika suami tak dapat menjalankan kewajibannya dan justru istri
yang menjadi tulang punggung keluarganya maka secara otomatis
kelebihan itu menjadi milik istri. Dengan demikian kelebihan
yang dimaksud dalam ayat diatas tidak ada kaitannya dengan jenis
kelamin seseorang.
Tanggapan PP Lirboyo, penterjemahan ayat di atas perlu
dicermati, karena kurang tepatnya penterjemahan membuat
kajian kurang obyektif dan valid. Mengacu pada penterjemahan di
atas terlihat kurang seimbang dalam hak dan kewajiban suami
istri, karena yang mempunyai keseimbangan hak dan kewajiban
hanya tertentu pada istri saja.Jika diteliti dalam ayat tersebut
tersimapan sastra arab yang disebut dengan Badi’ Ihtibak, yakni
penyebutan dua jumlah (rangkaian kalimat) sebanding, diikuti
pembuangan komponen masing-masing yang menjadi lawan
komponen dari jumlah yang telah disebut. Jika diartikan secara

165
utuh maka berbunyi, “Dan hak (yang dimiliki) mereka (para istri)
yang diwajibkan pada mereka (para suami) seimbang dengan hak
suami yang diwajibkan pada istri”. Artinya, keseimbangan yang
dimaksud adalah keseimbangan hak dan kewajiban suami istri,
hanya saja jenis hak dan kewajiban masing-masing tidak sama.
Kalimat “kecuali dalam hubungan seksual” yang
diterjemahkan dari kata “la fil jinsi” tidak tepat, berdasarkan
literature yang lain adalah “tidak sama” dalam segi jenis kewajiban
dan hak yang dimiliki masing-masing suami istri. Karena substansi
ayat tersebut sama sekali tidak berkaitan dengan persoalan
hubungan seksual. Pengalihan derajat lebih dari suami kepada istri
karena istri memperoleh kewajiban suami dan menjadi tulang
punggung keluarga sebagaimana komentar FK3 tidak dapat
dibenarkan. Konsep pemindahan tersebut menggunakan metode
mafhum mukholafah, metode ini tidak dapat diterapkan karena
bertentengan dengan dalil khusus dan dengan dalil yang lebih
kuat. Istri tidak dapat menggantikan posisi suami karena dua hal,
Pertama, bertentangan dengan kodrat yang telah diberikan Allah.
Kedua, atas nafkah yang ditanggung suami. Maka jika suami
tidak mampu menanggung beban kewajibannya maka suami tidak
dapat lagi disebut sebagai pemimpin wanita maka
konsekwensinya istri boleh mengajukan fasakh. Konsekwensi
tugas menjadi pemimpin dan tulang punggung keluarga bagi laki-
laki adalah pertanggungjawaban di akhirat. Maka penunaian
amanat adalah kewajiban yang harus dipenuhi, begitu pun
wanita/istri keikhlasan dalam menjalankan kewajibannya
merupakan amanah dari Allah yang harus dijalankan dengan baik.

166
Pada hadis Nabi yang beliau sampaikan ketika haji Wada’
adalah pesan tentang pentingnya menjaga para istri, dalam hal ini
FK3 memberikan interpretasi yang menyangkut kata tawanan,
bahwa kata ‘awanin bentuk plural dari ‘aniyah yang salah satu
maknanya adalah kal asra, seperti tawanan sementara Imam
Nawawi memaknai tawahan atau tahanan, jadi istri adalah
tawanan atau tahanan suami. Maka istri adalah tawanan atau
tahanan suami adalah tidak benar, karena hal itu tidak selaras
dengan nafas al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 187 yang
menjelaskan bahwa suami istri ibarat pakaian yang saling
melindungi dan al-Qur’an Surat ar-Rum ayat 21 yang
menjelaskan tujuan pernikahan adalah membentuk rumah tangga
yang SAMARA (sakinah, mawaddah dan rahmah).
Tanggapan LBM PPL, pertama, dalam terjemahan FK3
ada kalimat yang tidak diterjemahkan yaitu kata “sabiila” dan
waj’aluu maa kaana minhunna kaana lam yakun” padahal hal
itu masih dalam rangkaian tafsiran Imam Nawawi. Terjemahan
yang lengkapnya versi kami (LBM PPL) adalah “Apabila mereka
kembali patuh pada kehendakmu (suami), maka janganlah
kamu mencari berbagai alasan untuk memukul mereka secara
dzalim. Dan anggaplah kesalahan yang pernah mereka lakukan
seperti tidak pernah terjadi, karena sesungguhnya orang yang
bertaubat itu laksana orang yang tidak pernah berbuat dosa”.
Kedua, mengenai istri sebagai tawanan, dalam komentar
Imam Nawawi tidak ada kesan sedikitpun menganggap
perempuan adalah tawanan/tahanan secara hakiki. Walaupun ada

167
beberapa ulama seperti al-Mundziri dan at-Turmudzi memaknai
secara hakiki namun tetap dalam hal ini ditafsirkan secara majazi,
Dalam kalimat tersebut menggunakan tasybih muakkad yaitu
tasybih tanpa menggunakan adatut tyasbih, agar lebih baligh
(sempurna).
Ketiga, terjemahan FK3 tertulis bahwa lafat “Khoiron”
nashobnya sebagai khobar dari kata yakun yang dibuang.
Pemanaan ini tidak sesuai dengan maksud Imam Nawawi yang
menjadikan lafadz Khoiron pada ayat di atas sebagai perbandingan
dari Khoiron yang terdapat dalam hadis “alaa wastaushuu”
dimana masing-masing dinashobkan fi’il yang berupa “wa ‘tuu”
yang terbuang.
Nabi Muhammad bersabda,“Hak wanita atas suaminya
adalah, suami memberikan pangan kepada istrinya
mengkonsumsi bahan pangan. Di samping itu, memberi sandang
padanya apabila dia berpakaian. Dan janganlah suami
memukul bagian wajah istri, mengumpatnya serta
menghindarinya kecuali di dalam rumah”. (HR. Thabrani dan
Hakim dari Mu’awiyah ibn Haidah)
Diantara kewajiban suami terhadap istri adalah:
1. Memberikan sandang dan pangan
2. Tidak memukul wajah jika terjadi nusyuz
3. Tidak mengolok-olok atau menjelek-jelekkan
4. Tidak menjauhi istri kecuali di dalam rumah, adapun
menghindari berbicara hukumnya haram.

168
FK3, hadis di atas menjelaskan kewajiban suami terhadap
istri, juga sikap dan perlakuan yang baik kepada istri. Suami tidak
boleh menyakiti istrinya, lahir dan batin, fisik dan psikis.
LBM PPL, dalam kewajiban keempat diungkapkan dengan
redaksi “wala yahjur illa fi al-mabit” diterjemahkan dengan
kalimat “dan dilarang menghindarinya kecuali di rumah”.
Menurut kami (LBM PPL) terjemahan yang benar, “Dan jangan
menghindarinya kecuali ketika di tempat tidur” karena konteks
hadisnya berbicara ketiak istri nusyuz yang terkait dengan konteks
ayat QS. an-Nisa’: 34.
Sedangkan menghindari istri dalam ayat surat an-Nisa’: 34
ulama berbeda pendapat dalam memahaminya, ada yang
berpendapat pisah ranjang, tetap menggaulinya selain hubungan
intim, tetap seranjang namun menghindari percakapan dan
memalingkan badan tapi tetap boleh berhubungan intim dan
tetap berbicara namun tidak menemaninya tidur. Karena hal
tersebut terkait nusyuz (ketidak patuhan) istri, maka segala
konsekwensi hukum syariat tidak dapat dimaknai suami tidak
berbuat ma’ruf atau menyakiti istri. Karena nusyuznya istri
menjadi konsekwensi adanya hukuman yang dirasakan istri.
Rasullah bersabda, “Jika seorang laki-laki memperistri
seorang wanita dengan memberikan maskawin baik dalam
jumlah besar atau kecil, sedangkan dalam dirinya tidak ada
kehendak untuk memberikan hak wanita itu, maka dia telah
mengkhianatinya. Apabila laki-laki itu mati padahal belum
memberikan hak-hak tersebut, maka dia akan menghadap Allah

169
SWT. di hari kiamat dengan menanggung dosa”.
(HR.Thabrani)
FK3 menilai dha’if hadis tersebut dalam kajiannya
berdasarkan sumber-sumber yang disampaikan. FK3 mengutip
tulisan Quraish Syihab tentang mahar, bahwa tujuan mahar
adalah simbol bagi seorang suami atas kesediaannya memberikan
nafkah lahir dan batin serta pernikahan bukan akad jaul beli maka
jumlah mahar tidak ditentukan besarannya. Namun menurut
LBM PPL, pendha’ifan hadis tersebut terlalu terburu-buru
sebelum mengkaji dari pendapat ulama yang lain, seperti
komentar al-Haytsami dalam Majmu’ az-Zawaid, beliau
mengatakan, hadis tersebut diriwayatkan oleh at-Thabrani dalam
Majmu’ al-Aushat dan al-Majmu’ as-Shagir dengan para perawi
yang tsiqah, apalagi melewati jalur Abd Sa’id dari Maymun al-
Kurdi, Jadi jika dikompromikan menurut ilmu mustholahul hadis
berderajat hasan li ghairihi. Dalam Islam maskawin diistilahkan
dengan beberapa istilah, seperti Shadaq, Nihlah, Ajrun, Mahar
dan haba’. Istilah ini bermakna maskawin adalah simbol atau
lambang kecintaan dan kesungguhan calon suami. Maka dari sini
ulama fikih menyeimbangkan maskawin dengan tsaman (harga)
hanya sebagai informasi bahwa standarisasi maskawin yang di atur
oleh Islam persis seperti yang tercantum dalam tsaman. Yakni
keduanya harus bernilai, tanpa menyamakan antara jual beli dan
mahar apa adanya.
Dalam riwayat yang lain Nabi bersabda “Rasulullah
bersabda, “Sesungguhnya orang-orang mukmin yang paling

170
sempurna imannya adalah mereka yang paling baik akhlaknya
dan paling lembut sikapnya kepada keluarganya”.
Sabda Rasulallah, “Rasulullah bersabda, “Orang yang
terbaik di antara kamu sekalian adalah orang yang paling baik
terhadap keluarganya. Sedangkan diriku sendiri lebih baik
daripada kamu sekalian karena (kebaikanku) terhadap
keluargaku,” (HR. Ibnu Hibban)
Dalam hadis lain Nabi cukup tegas dalam menganjurkan
kewajiban etik seorang suami kepad istri, “Orang yang terbaik di
antara kamu sekalian adalah mereka yang paling baik terhadap
istri, dan aku sendiri lebih baik daripada kamu sekalian atas
(kebaikanku) terhadap istriku.”
FK3, menilai hadis pertama berdasarkan kajiannya
berderajat shaheh dan hasan, sementara hadis kedua hasan gharib
shaheh dan hadis ketiga hasan shaheh. Dalam komentarnya FK3
mengatakan bahwa hadis pertama dan kedua sangat jelas
bagaimana seharusnya seorang suami perlakukan istrinya dengan
sebaik-baiknya, lahir dan batin moral dan materil. Itulah yang
diajarkan Rasul dalam pergaulan suami istri.
LBM PPL, Maksud hadis-hadis di atas menurut al-Munawi
adalah sebagai anjuran bagi suami untuk memberikan perhatian
dan tanggungjawab kepada istri. Pengertian dan memaklumi atas
akhlak yang kurang baik dari istri dengan tetap bersabar dan
bermuka manis dan menjauhi hal-hal yang dapat menyakiti istri.
Dan pada dasarnya keduanya harus menunjukkan sikap saling
pengertian dan saling menjaga perasaan masing-masing.

171
Diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad saw. bersabda,
“Diriwayatkan dari Nabi bahwa beliau bersabda.”Siapa yang
sabar menghadapi kerendahan akhlak istrinya, maka Allah
SWT. Akan memberikan pahala sebesar yang Allah berikan
kepada Nabi ayyub as.sehubungan cobaan beliau.
FK3, Kami belum menemukan perawi hadis ini dan kitab-
kitab masyhur juga tidak menyebutkannya. Dengan demikian
hadis tersebut adalah maudhu’.
LBM PPL, hadis di atas tidak layak divonis sebagai hadis
maudhu’ karena hadis tersebut banyak didapati dari kitab-kitab
hadis yang masyhur, diantaranya oleh Ibn Hajar dalam al-
Zawajir, juz II halaman 63-64. Klaim kemaudhu’an hadis hanya
dapat dilakukan oleh komentar para ulama.
Hikayat Nabi ayyub as dan hikayat Umar ra. Dalam kitab
Uqud al-Lujjayn dikisahkan tentang penderitaan nabi Ayyub as,
dan kesabaran umar Ibn Khattab terhadap istrinya.
FK3, Kisah di atas diriwayatkan oleh adz-Dzahabi dalam
kitab al-Kaba’ir dan al-Haytami dalam kitab az-Zawajir. Kisah
tersebut sebuah gambaran rumah tangga yang dibangun di atas
pondasi saling pengertian dan saling menghargai sehingga tidak
mudah goyah.
LBM PPL, dalam redaksi terjemah FK3 banyak kalimat-
kalimat asli Uqud al-Lujjayn yang dihilangkan, seperti:
1. Dalam terjemahan tentang kisah Nabi ayyub terdapat kata
“fahasadahu” yang seharusnya diartikan, “kemudian iblis
dengki/iri pada Nabi ayyub”.

172
2. Setelah itu iblis menemui Ayub, ternyata sedang mendirikan
sholat. Lalu ia berkata kepadanya, “Api telah membakar
untamu dan para pengembalanya”. Dalam dialog ada kalimat
yang tidak diterjemahkan yaitu kalimat, “Qoola Ayyub al-
hamdulillah huya a’thoniihaa wa huwa akhodzaha”.
Seharusnya diterjemahkan, “Ayyub berkata, segala puji bagi
Allah. Dia telah memberi unta kepadaku dan Dia pula telah
mengambilnya”.
3. Ada kalimat yang juga tidak diterjemahkan yaitu, “Wa
rofa’a fiihi hikkah” seharusnya diartikan, “Dan setelah
peniupan Nabi Ayyub merasa gatal”.
4. Sehingga menggaruk dengan kuku-kukunya, dari kata, “Hatta
saqotho kulluhaa” seharusnya diartikan, “Sehingga kuku-
kukunya lepas”. Juga, “semua penduduk menjauhi Nabi
ayyub kecuali Rahmah”. Kalimat yang terlewat, “Illa
haujatahu al-musammah rahmah” dengan terjemahan,
“kecuali istrinya Rahmah”.
Cerita diatas menjadi dasar beberapa kalangan (ulama)
dalam berpendapat, bahwa istri memiliki standar kelayakan yang
disesuaikan dengan status, ekonomi dan keadaan keluarga. Secara
mendasar istri harus diperlakukan sebagaimana layaknya, sesuai
dengan kelayakan pada umumnya pada suatu daerah. Hal ini
berkaca pada istri-istri Nabi, serta istri para sahabat Nabi yang
selalu memasak, membuat kue serta menyiapkan kebutuhan
rumah tangga. Namun demikian suami tidak boleh memberatkan
dan suami mampu bertanggung jawab sehingga terjadi
keseimbangan dan harmoni.

173
Disebutkan dalam hadis, “Siapa yang bersabar atas
kejelekan suaminya, maka Allah akan memberikan pahala
seperti pahala Asiyah istri Fir’aun”.
FK3, Berdasarkan isyarat-isyarat dari para ulama maka kami
nyatakan hadis ini tidak memiliki sumber dengan demikian hadis
ini maudhu’. Namun anehnya hadis ini disebut oleh adz-Dzahabi
dalam kitab al-Kaba’ir dan al-Haytami dalam kitab az-Zawajir
LBM PPL, Justru karena disebut oleh adz-Dzahabi dan al-
Haytami bahkan disebut oleh al-Ghazali dalam Ihya’ maka
seharusnya berhati-hati dalam memberikan pernyataan suatu
hadis. Dan harus memahami setiap bahasa yang diungkapkan
dalam setiap takhrij dari kalangan ahli hadis.
Hikayat Asiyah, kisah tentang penyiksaan Fir’aun terhadap
Asiyah yang telah beriman dan mengikuti dakwah Nabi Musa as.
FK3, Kisah ini memberi pesan, bahwa pihak yang
terdzalimi pada akhirnya mendapat pertolongan Allah dan yang
mendhalimi akan mendapat kerugian. Disamping hal itu bahwa
melakukan kewajiban harus ditekankan dari pada menuntut hak-
haknya. Dalam komentarnya FK3 mengatakan bahwa kisah-kisah
yang dicantumkan merujuk pada Habib al-Haddad tidak jelas
sumbernya.
LBM PPL, Kecintaan dan ketaatan dalam konteks apapun
tidak diperkenankan bersebrangan dengan ketaatan kepada sang
pencipta. Ketika seseorang diperintah untuk melakukan
kemaksiatan kepada Allah, tidak ada satu alasan bagi orang untuk
melakukannya. Bahkan para ulama dulu lebih mementingkan dan

174
berlawanan dengan penguasa dari pada bertentangan dengan
perintah Allah.
Hikayat Orang Shaleh
Hikayat yang menceritakan kesabaran seorang laki-laki
terhadap perilaku yang buruk istrinya sehingga Allah memberikan
kelebihan pada laki-laki tersebut dapat menundukkan binatang
buas.
FK3, Hikayat ini disebutkan oleh adz-dzahabi dalam kitab
al-Kaba’ir dan al-Haytami dalam kitab az-Zawajir.
LBM PPL, Dapan diambil hikmah dari cerita tersebut,
bahwa kesabaran merupakan pondasi dan kendaraan dalam
rumah tangga. Suami yang penyabar akan mudah menyelaisakan
persoalan rumah tangganya. Perlakuan istri yang kurang
menyenangkannya sepantasnya dibalas dengan kesabaran.
Sebagaimana yang di contohkan Umar ra. ketika ada seseorang
yang berkonsultasi kepadanya.
Ada beberapa hal dimana suami diperbolehkan memukul
istri:
1. Menolak perintah suami untuk berhias
2. Menolak diajak ke tempat tidur
3. Istri keluar rumah tanpa seizing suami
4. Memukul anak karena menangis
5. Merusak pakaian suami
6. Memegang janggut suami seraya berkata, “Hai keledai, hai
goblok”. Walaupun suami mekakinya terlebih dahulu.
7. Membuka mukanya di depan laki-laki yang bukan muhri

175
8. Mengeraskan suara agar di dengar laki-laki lain
9. Memberikan sesuatu yang tidak wajar dari rumah suami dan
tidak mandi haidh
10. Menolak hubungan kekeluargaan dengan keluarga suam
11. Mencaci maki orang lain
Dalam memukul istri karena meninggalkan shalat terdapat
dua pendapat, pendapat yang lebih tepat, jika istri sudah
diperingatkan kemudian istri tidak mengindahkan maka suami
boleh memukul.
FK3, Sebelas catatan di atas adalah pendapat pribadi
pengarang. Jika pendapat tersebut dikaitkan dengan perilaku
Nabi atau hadis-hadis shaheh maupun hasan maka tentunya
bertolak belakang. Nabi tidak pernah memukul istrinya, seorang
suami seperti yang dicontohkan Nabi selalu memperlakukan
istrinya dengan baik.
LBM PPL, Sebelah formulasi bolehnya suami memukul
istri di atas merupakan formulasi pengarang berdasarkan dua
konseptual hukum syariat dari hasil istimbat al-qur’an dan al-
hadis.
Konsep pertama, pemukulan dalam rangka mendapatkan
hak suami. Hal ini ketika istri nusyuz yang digambarkan oleh
pengarang dengan beberapa contoh, seperti istri menolak ajakan
tidur. Dan pemukulan tersebut memiliki aturan dan etika dengan
melalui beberapa tahapan. Pertama, memberi nasehat. Kedua
menjauhinya. Ketiga memukulnya, memukul pun dengan syarat,
pertama, untuk menata tata karama. Kedua, pukulan yang tidak

176
membahayakan atau membuat cacat. Hal ini telah terrekam
dalam al-Qur’an Surat 4 ayat 34. Adapun Nabi tidak tidak pernah
memukul istrinya bukan berarti langsung bertolak belakang,
karena setidaknya terdapat dua alasan, pertama, bahwa sesuatu
yang tidak dilakukan Nabi bukan berarti hal itu menunjukkan
perbuatan yang dilarang (haram), bisa jadi karena itu hanya
bersifat kesunnahan, boleh atau mubah. Apalagi ada ucapan Nabi
yang membolehkannya, sekalipun Nabi tidak melakukan, maka
dalam istinbat hukum perkataan Nabi lebih kuat dari pada
perbuatannya.
Kedua, Ketika Nabi tidak pernah memukul kepada istri
dapat dimaklumi dan difahami dari dua sudut pandang, Pertama,
tidak ada alas an Nabi memukul istrinya, Kedua, Nabi telah
menyelesaikan urusannya tanpa harus melakukan pemukulan,
Dan jika pun berkaitan dengan haknya sebagai suami Nabi lebih
memilih memaafkannya dari pada menuntutnya. Konsep kedua,
pemukulan dalam rangka amar ma’ruf nahi munkar. Pada point
kedua ini Imam Nawawi memberikan contoh seperti, memukul
anak kecil, berbicara dengan laki-laki bukan mahramnya, mencaci
maki orang lain. Maka konsepnya jelas berangkat dari amar
ma’ruf nahi munkar. Ketika melihat kemungkaran lebih-lebih
orang yang paling dekat dengannya, maka dilakukan pemukulan
jika langkah sebelumnya diabaikan.
Hal-hal yang harus diperhatikan oleh suami:
Memberi nasehat, memerintah, mengingatkan dan
menyenangkan hati istri dalam sebuah hadis disebutkan,

177
Allah mengasihi seseorang yang berkata, “Wahai
keluargaku jagalah sholatmu, puasamu, zakatmu, orang-
orang miskinmu, anak yatimmu, tetanggamu. Semoga
Allah mengumpulkan kamu dengan mereka di surga”.
FK3, Kami tidak menemukan perawi hadis tersebut dalam
kitab-kitab mu’tabar. Hadis ini tidak ada sumbernya, dengan
demikian hadis ini maudhu’.
LBM PPL, Penilain hadis tersebut sebagai hadis mudhu’
merupakan tindakan yang terburu-buru, karena kami
menemukan hadis tersebut dalam kitab Tafsir ats Tsu’laby. Dan
secara makna kami juga menemukan hadis-hadis yang semakna
dengan hadis tersebut yang berstatus shaheh. Jadi penilain hadis
tersebut sebagai hadis maudhu’ tidak bertanggung jawab. Apalagi
hanya dengan beralasan kami tidak menemukannya.
Memberi nafkah sesuai kemampuannya
Selalu sabar dan tidak mudah marah jika istri menyakitinya
Bersikap lemah lembut dan berbuat baik kepada mereka
karena pada umumnya mereka kurang sempurna akal dan
agamanya.
FK3, pertama, sebagian besar dalam literatur Islam
menganggap kekurangan itu sebagai sesuatu yang melekat secara
alamiah pada perempuan. Kedua, Menurut FK3 yang merujuk
pada sebagiam ulama salah satunya adalah pendapat Abdul Halim
Muhammad Abu Syuqqah, bahwa kekurangan wanita itu tidak
bersifat abadi, tapi temporari, seperti siklus menstruasi, nifas dan
kehamilan. Oleh karena itu hal-hal tersebut tidak mengurangi

178
kecakapan untuk melakukan hal-hal yang dilakukan oleh laki-laki.
Pendapat ini juga disertai argument beberapa tokoh wanita pada
masa-masa Islam ataupun masa-masa sebelum Islam. Seperti
Aisyah sebagai perawi hadis, Rabiah Adawiyah sebagai tokoh Sufi
dan Ratu Balqis pada masa Nabi Sulaiman. Umar Ibn Khattab
mengangkat seorang wanita yang bernama as-Syifa yang menjadi
akuntan pasar di Madinah. Dengan demikian kekurangan akal
dan agama tidak tergantung pada jenis kelamin tetapi pada
kemampuan sesorang.
LBM PPL, Para ulama tidak menganggap bahwa
keunggulan laki-laki atas wanita tidak bersifat mutlak perindividu.
Melainkan jenis laki-laki lebih mengungguli jenis perempuan. Jadi
dalam keadaan tertentu perempuan dapat lebih unggul dari laki-
laki. Menurut al-Munawi kesempurnaan seseorang dapat diukur
dengan beberapa barometer seperti, intelektualitas, jatidiri,
keadilan, ketajaman analisa, kejujuran dan etika hidup. Makanya
dalam sejarah Nabi dan Rasul adalah laki-laki karena dengan
kesempurnaan akalnya, mereka mampu mewujudkan sosok yang
ideal sebagai sosok manusia dan pemimpin umat. Momentum
perang jamal sebagai bentuk kegagalan perempuan menjadi
seorang pemimpin, seperti halnya Ratu Balqis. Menurut al-
Qurthubi kisah diangkatnya as-Syifa oleh khalifah Umar tidak
benar adanya. Sementara kisah Ratu Balqis tidak sesingkat dan
sesederhana yang diuraikan dalam kajian FK3.

179
Rasullah bersabda yang artinya, “Seandainya Allah tidak
menutupi wanita dengan sifat malu, niscaya ia tidak dapat
menyamai harga segenggam tanah”
FK3, kami tidak menemukan perawi hadis tersebut dalam
kitab-kitab mu’tabar, hadis ini tidak ada sumbernya, dengan
demikian hadis ini maudhu’. Dalam Islam, rasa malu merupakan
akhlak yang terpuji, setiap orang diperintahkan untuk berhias
dengan sifat teresebut. Sifat tersebut tidak hanya diperintahkan
untuk wanita saja tapi juga untuk laki-laki.
LBM PPL, rasa malu yang dimaksud bagi seorang istri
adalah, dimana istri tidak mengabaiakn perintah suami dan
bersoleknya istri memamerkan kecantikannya diluar rumah
merupakan telah menipisnya rasa malu. Mengenai hadis diatas
kami belum menemukan tanda-tanda kemaudhuan hadis
tersebut.
Menuntun istrinya kepada jalan kebaikan. Dalam kitab
‘Umdat ar-Rabih Imam ar-Ramli berkata, “Suami tidak
diperbolehkan memukul istrinya karena meninggalkan shalat,
akan tetapi ia cukup memerintahkannya”. Hal ini senada yang
dikatakan ‘Atiyah.
FK3, kitab yang dimaksud adalah “Umdat ar-Rabih fi
Ma’rifah at-Thariq al-Wadhih”. sedang yang disebut ‘Athiyah
adalah ‘Athiyah bin Sa’id al-Andalusi.
LBM PPL, Dalam memukul istri para ulama
memperbolehkan dalam rangka ta’zir, namun dibatasai dalam hak
suami bukan hak Allah. Sehingga dalam versi ini memukul istri

180
karena meninggalkan shalat tidak diperbolehkan. Menurut Ibnu
al-Bazari, memerintahkan istri untuk shalat merupakan
kewajiban, maka memukul istri ketika meninggalakan shalat juga
kewajiban.
Mengenai urusan agama yang terdiri dari:
Yang berkaitan dengan agamanya dan hukum-hukum
agamanya, seperti cara mandi haidh, janabah, wudhu, tayamum
dan selainnya
Mengajarkannya tentang hukum-hukum fardhu dan
Sunnah seperti sholat, zakat, haji dan lain-lain.
FK3, masa sekarang sudah banyak perempuan yang pandai,
karena kesempatan yang terbuka bagi wanita untuk mencari ilmu,
sejalan dengan hadis Nabi, “Mencari ilmu itu wajib hukumnya
bagi setiap Muslim”. Selain itu proses modernisasi dan sibuknya
seseorang dengan berbagai aktifitas, sehingga wanita tidak dapat
lagi mengandalakan kepada suaminya. Apalagi justru banyak juga
para suami yang tidak mengerti ajaran agamanya. Bahkan pada
zaman Nabi sendiri banyak para wanita aktif dalam berbagai
bidang pekerjaan, bahkan istri Nabi, Khadijah sebagai seorang
pedagang.
LBM PPL, Modernisasi tidak menjadikan hambatan dan
mengkambing hitamkan ilmu agama. Dan kesibukan para suam,I
juga bukan menjadi penghambat dan menggugurkan
kewajibannya sebagai kepala rumah tangga. Justru para suami
zaman sekarang harus diarahkan untuk memahami dan
mempelajari ilmu agamanya. Ilmu agamajuga sangat penting bagi

181
wanita, dalam kontek “wajib mencari ilmu” adalah bukan semua
fan ilmu, karena ilmu ada yang wajib, haram, sunnah, makruh dan
mubah. Dalam kewajiban mencari ilmu pada awalnya bersifat
individual, namun ketika seorang wanita telah menjadi seorang
istri maka beban mendidik menjadi tanggung jawab suami.
Abdullah Ibn Mas’ud memberi penafsiran atas Surat at-
Tahrim ayat 6 sebagai beikut, “Berilah pelajaran kepada
keluargamu tentang syariat Allah dan didiklah mereka dengan
akhlak yang sempurna”. Ada suatu riwayat yang mengatakan:
“Orang yang paling berat siksanya pada hari kiamat adalah
orang yang membiarkan keluarganya bodoh”
FK3, Kami tidak menemukan sumber dari periwayatan
tersebut, Ibn Abbas menafsirkan dalam kitab tafsir Ibn Jarir dan
Ibn Katsir yang redaksinya, “Taatlah kepada Allah, dan
hindarilah bermaksiat kepada-Nya dan perintahkanlah
keluargamu untuk mengingat Allah, maka Allah akan
menyelamatkanmu dari apai neraka”. Komentar Ibn Abbas
menunjukkkan betapa pentingnya ilmu pengetahuan dalam
kehidupan sehingga Allah sampai berfirman dalam QS.Al-
Mujadalah: 11, yang artinya “Allah akan mengangkat orang-
orang yang beriman dan orang-orang yang berilmu diantara
kalian”. Oleh karena itu mencerdaskan keluarga merupakan
tanggung jawab setiap orang. Ilmu agama membawa kebahagiaan
akhirat dan ilmu dunia membawa kebahagiaan dunia. Majunya
suatu bangsa juga tergantung pada ilmu pengetahuan, oleh karena
itu ilmu pengetahuan menjadi sangat urgen dalam agama.

182
LBM PPL, Tafsiran Ibn Abbas ini, “Berilah pelajaran
kepada keluargamu tentang syariat Allah dan didiklah mereka
dengan akhlak yang sempurna”. dapat dilihat dengan jelas dalam
kitab tafsinya Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibn Abbas, hal. 360.
Adapun tujuan dan orientasi ilmu dalam Islam bukan saja untuk
meraih kecerdasan, namun membentuk kepribadian seorang
Muslim, berakhlak baik dan bertaqwa kepada Allah. Karena ilmu
pengetahuan dalam Islam bukan hanya berdasar kualitas
intelektual, namun juga sejauh mana ilmu diaplikasikan dalam
pranata kehidupan individual dan sosial. Begitu pun suatu negara,
maju dan tidaknya bukan hanya saja sebatas penguasaan ilmu
pengetahuan tapi juga harus dibarengi dengan ketaqwaan dan
akhlak yang tinggi.
Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Umar bahwa Nabi
bersabda:
ّ ‫ فاالمام راع و مسئول عن‬, ‫رعيته‬
‫رعيته و‬ ّ ‫ّكلكم راع و مسئول عن‬
ّ ‫ واملرأة ر‬, ‫رعيته‬
‫اعية فى بيت زوجها و‬ ّ ‫الرجل راع فى أهله و مسئول عن‬
ّ ‫ والرجل راع فى مال أبيه و مسئول عن‬,‫رعيته‬
, ‫رعيته‬ ّ ‫مسئول عن‬
ّ ‫كل مسئول عن‬ ّ
ّ ‫فكلكم راع و‬
.‫رعيته‬
Artinya: “Setiap kamu adalah pemimpin dan akan
ditanya tentang kepemimpinannya. Seseorang Imam adalah
pemimpin dan akan dipertanyakan tentang kepemimpinannya.
Seorang suami menjadi pemimpin keluarganya dan akan
dipertanyakan kepemimpinannya. Seorang istri menjadi

183
pemimpin di rumah suaminya dan akan dipertanyakan
kepeminpinannya. Seorang pelayan adalah pemimpin harta
tuannya dan akan dimintakan pertanggung jawabannya.
Seorang anak menjadi pemimpin harta orang tuanya dan akan
dipertanyakan kepemimpinannya. Dan setiap kalian adalah
pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban
kepemimpinnannya.
Maksudnya, Setiap orang adalah orang yang dapat di
percaya untuk berlaku baik pada yang diamanatkan kepadanya.
Maka setiap orang dituntut untuk berlaku adil dan mengerjakan
apa yang diamanatkan kepadanya. Dimintakan pertanggung
jawaban dari kepemimpinannya, bahwa kelak di akhirat akan
ditanyakan dan dipertanggungjawabkan atas apa yang
dipimpinnya. Jika dapat mempertanggung jawabkan apa yang
dipimpinnya dengan baik maka ia mendapat bagian yang
sempurna. Namun jika ia khianat maka ia akan memperoleh
balasannya di akhirat. Seorang penguasa atau yang mewakilinya
adalah orang yang menguasai rakyatnya. Kelak akan
mempertanggung jawabkan dalam memimpin rakyatnya, apakah
telah memenuhi hak-hak rakyatnya atau belum. Seorang suami
menjadi pemimpin dalam keluarganya, istri dan anak-anaknya, Ia
akan dimintakan pertanggung jawaban atas keluarganya, apakah
ia telah memenuhi hak-haknya atau belum, seperti memberi
pakaian, melindungi, mengasuh, mendidik dan lain-lainnya,
bergaul dengan baik atau tidak. Seorang istri menjadi pemimpin
di rumah suaminya, Ia harus dapat mengatur rumah tangga
dengan baik, bersikap baik kepada suami, dan menjaga harta

184
suami dan anak-anaknya. Ia akan dimintai pertanggung jawaban
atas kepemimpinannya, apakah ia telah melasanakannya dengan
baik atau tidak. Seorang pelayan harus menjaga milik tuannya dan
menatanya dengan baik. Pelayan juga akan dimintai pertanggung
jawaban atas apa yang menjadi tanggung jawabnya. Apakah ia
telah memenuhi amanahnya atau belum.
Walhasil, setiap kalian adalah pemimpin, dan akan dimintai
pertanggung jawaban kepemimpinannya. “Fa”pada kalimat
“Fakulukum” menjadi jawab syarat yang terbuang. Kata ini
berlaku umum untuk setiap individu, sendirian, belum beristri
dan tidak punya pelayan. Sebab orang seperti itu dapat terkategori
sebagai pemimpin. Maksudnya adalah setiap orang yang mampu
menjaga tubuhnya dari segala kewajiban dan meninggalkan segala
larangan.
FK3, Hadis diatas adalah Muttafaq ‘alaih, riwayat
Syaikhaan, maka hadis ini shaheh. Hadis tersebut mengingatkan
kita bahwa hidup adalah tanggung jawab. Setiap orang
mengemban tanggung jawab, jika tidak ada tanggung jawab maka
kehidupan tidak akan berjalan harmonis. Kerusakan dan
disharmoni dalam kehidupan akibat mengabaikan tanggung
jawab, terkadang sampai pada menghilangkan nyawa orang.
LBM PPL, Jika kita kaitkan hadis tersebut diatas dalam
lingkungan keluarga, maka hadis tersebut erat kaitannya dengan
beberapa ayat al-Qur’an diantaranya surat at-Tahrim ayat 6 yang
artinya, “Wahai orang-orang yang beriman jagalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka”, Ayat ini ditafsirkan oleh surat

185
Thaha ayat 132, yang artinya, “Dan perintahkanlah kepada
keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam
mengerjakannya”. Imam as-Syafi’i mengatakan, “Orang tua
wajib mengajarkan adab, sopan santun, mengajarkan cara
bersuci, shalat (sejak usia 7 tahun) dan memukulnya (pukulan
ringan) bila sudah cukup berakal (sekitar 10 tahun)”.
Ash’hab menambahkan, seorang wali dianjurkan
memerintahkan anak shalat berjamaah, bersiwak, larangan
berzina, minum khamar, berbohong, sodomi, ghibah, namimah
dan lain-lain. Dan jika pendidikan agama diajarkan kepada kelurga
secara istiqamah amak akan menciptakan generasi penerus yang
memiliki tanggung jawab moral.
Rasulullah juga bersabda:
ّ
‫هللا هللا فى النساء فانه أمانات عندكم فمن لم يأمر امرأته بالصالة ولم‬
ّ
.‫يعلمها فقد خان هللا و رسوله‬
Artinya: “Takutlah kamu semua kepada Allah, Takutlah
kepada Allah dalam urusan kaum awnita, karena mereka
adalah amanah allah pada kekuasaanmu. Maka siapa yang
tidak memerintahkan sholat istrinya dan tidak mengajarkan
agama kepadanya, ia benar-benar berkhianat kepada Allah dan
Rasulnya.”
Ada tiga wasiat Rasulullah kepada umatnya sebelum beliau
meninggal. Tiga wasiat tersebut beliau ucapkan ketika akan
meninggalkan dunia fana ini hingga lidah beliau terasa kelu
hingga terdengan samar dan kurang jelas yaitu:

186
ّ
‫هللا هللا فى‬. ‫الصالة الصالة وما ملكت أيمانكم ال تكلفوهم ماال يطيقون‬
ّ
‫أخذتموهن بأمانة هللا‬ ‫هن عوان أى أسراء فى أيديكم‬ ّ ‫النساء‬
ّ ‫فان‬
ّ
.‫فروجهن بكلمة هللا‬ ‫واستحللتم‬
Artinya: “Jagalah sholat, sholat, juga hamba sahayamu,
janganlah membebani mereka apa yang mereka tidak mampu
melakukannya. Takutlah kepada Allah, takulah kepada Allah
dalam urusan wanita, karena mereka bagai tawanan yang ada
pada kekuasaanmu. Kamu menguasai mereka dengan amanah
Allah dan kamu menghalalkan farji mereka dengan kalimat
Allah.”
FK3, kami belum menemukan perawi hadis pertama dan
kitab-kitab yang masyhur yang menjelaskannya. Hadis kedua
terdapat dalam Kitab Ihya ‘Ulumuddin. Imam Nawawi
mengutip hadis tersebut dengan keyakinannya bahwa hadis ini
merupakan bagian dari hadis sebelumnya. Sedangkan al-Iraqi
mentakhrij hadis tersebut terdiri dari dua hadis. HR. Ahmad, juz
VI. H. 290, 311, dan 321. Dan Ibn Majah hadis nomor 1625 dan
hadis Ibn Salamah.
Adapun hadis Nabi,
ّ
‫أخذتموهن‬ ‫هن عوان أى أسراء فى أيديكم‬ ّ ‫هللا هللا فى النساء‬.
ّ ‫فان‬
ّ
.‫فروجهن بكلمة هللا‬ ‫بأمانة هللا واستحللتم‬
Artinya: “Takutlah kepada Allah, takulah kepada Allah
dalam urusan wanita, karena mereka bagai tawanan yang ada
pada kekuasaanmu. Kamu menguasai mereka dengan amanah

187
Allah dan kamu menghalalkan farji mereka dengan kalimat
Allah.” Hadis ini merupakan khutbah Nabi ketika melakukan haji
wada’. Imam at-Turmudzi berpendapat hadis ini hasan shaheh.
FK3. Kami berpendapat, bahwa perintah Nabi untuk
menjaga perempuan sebagaimana perintah menjaga shalat
merupakan bukti bahwa derajat wanita begitu tinggi dimata
Tuhan. Maka kata “awanin” dengan demikian istri bukanlah
tawanan bagi suami, namun istri bagaikan tawanan karena kondisi
zaman pada saat itu rentan terhadap segala bentuk kazaliman.
LBM PPL, Secara umum pesan Nabi di atas tercantum
dalam hadis shaheh, termasuk hadis dalam shaheh Muslim, hadis
nomor 1218, shaheh Ibn Hibban nomor hadis 1457 dan masih
banyak yang semakna.
Dari pesan-pesan Nabi telah jelas bahwa kajian kitab ini
sangat memperhatikan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan gender
yang secara histori memang Islam memperjuangkan dan
memperhatikan derajat wanita pada masa tradisi jahiliyah yang
memperbudak kaum wanita. Dan dari kajian kitab ini serta pesan-
pesan Nabi tampak jelas bahwa kata awanin bukanlah makna
hakiki tapi majazi.
Allah telah berfirman dalam Surat Thoha tentang perintah
sholat lima waktu kepada keluarga dan para pengikut kita.

)932 :‫وامر أهلك بالصالة (طه‬


Artinya: “Dan perintahkanlah kepada keluargamu
mendirikan sholat”

188
Nabi bersabda,

.‫ال يلقى هللا سبحانه و تعالى أحد بذنب أعظم من جهالة أهله‬
Artinya: “Tak seorang pun menghadap Allah dengan
membawa dosa yang lebih besar daripada kejahilan keluarganya”
Menurut kajian FK3, hadis ini adalah hadis maudhu’
karena “la ashla lahu” tidak ada sumbernya.
LBM PPL, Sebagaiman pada pembahasan sebelumnya,
bahwa ketika dikatakan “la ashla lahu” bukan diklaim hadis
tersebut maudhu’ hanya saja hadis itu tidak terdapat sanad yang
meriwayatkan atau muharrij (pentahrij) tidak mengetahui
sanadnya. Apalagi tanda-tanda kemaudhuan hadis tersebut tidak
ditemukan. Atau maksud dari kalimat “la ashla lahu” adalah “la
ashla fis shaheh” (tidak ditemukan dasar keshahehhannya).
Dalam kitab al-Jawahir karya Abu al-Laits as-Samarqandi,
disebutkan bahwa kelak di akhirat orang-orang yang pertama
menghalanginya adalah keluarganya dan anak-anaknya, mereka
berkata,
“Wahai Tuhan ambilkanlah hak kami dari orang ini,
karena ia tak mengajarkan kami dari yang haram, sedangkan
kami tidak tahu.”
Orang itu lalu di pukul karena usahanya yang haram,
hingga tubuhnya hancur dan kulitnya terkelupas, kemudian
dibawa ke neraka.

189
FK3, nama lengkap Abu al-Laits as-Samarqandi adalah Abu
al-Laits an-Nasr Muhammad bin Ahmad bin Ibrahim as-
Samarqandi (w.393 H) pengarang kitab Tanbih al-Ghofilin.
LBM PPL, Dalam Islam seseorang dapat pahala dan
manfaat dari kebajikan dan do’a anaknya, karena anak-anak
mereka adalah hasil dari ikhtiarnya. Namun orang tua bebas dari
perbuatan jelek mereka, karena orang yang berdosa tidak akan
menaggung dosa orange lain.

b. Kewajiban Istri Terhadap Suami


Allah telah berfirman dalam QS.an-Nisa’: 34 yang artinya,
“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena
Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain,
dan karena mereka telah menafkahkan sebagian harta mereka.
Sebab itu, wanita yang shalehah adalah yang taat kepada Allah
lagi memelihara diri di balik pembelakangan suaminya oleh
karena Allah telah memelihara mereka. Wanita-wanita yang
kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan
pisahkanlah diri dari tempat tidurnya, dan pukullah mereka.
Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu
mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah
Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (An-Nisa’: 34). Yang dimaksud
laki-laki sebagai pemimpin kaum wanita adalah suami
mempunyai kekuasaan untuk mendidik istri. Allah melebihkan
laki-laki atas wanita sebab mereka memberikan harta kepada
istrinya dalam pernikahan seperti maskawin dan nafkah.

190
Menanggapi tentang kepemimpinan laki-laki atas
perempuan berdasarkan Surat an-Nisa’: 34 FK3 menyatakan,
bahwa ayat tersebut berbicara beberapa pokok permasalahan,
namun Imam Nawawi hanya memfokuskan pada masalah
kepemimpinan lak-laki. Kepemimpinan yang dimaksud adalah,
kepemimpinan dalam rumah tangga, karena hal tersebut
dibutuhkan, namun tidak dimaksudkan kepemimpinan secara
umum. Para ulama berbeda pandangan tentang status wanita
menjabat jabatan publik, pertama, menganggap wanita tidak
cakap memangku jabatan publik. Kedua wanita mampu
memangku jabatan publik sampai level hakim. Ketiga, semua
jabatan publik boleh dijabat wanita kecuali kekhalifahan.
Yang juga menjadi sorotan FK3 adalah, ayat di atas
menggunakan redaksi “Bimaa Fadhdhola Allahu Ba’dhohum
“ala Ba’dhin.” (Allah telah memberikan keutamaan pada sebagian
laki-laki atas perempuan) bukan dengan redaksi “Bima
Fadhdholahum “alaihinna” (sebab Allah telah memberikan
keutamaan laki-laki di atas perempuan, atau dengan redaksi
“Bitafdhilihim “alaihinna” (Sebab keutamaan laki-laki yang
mengalahkan perempuan). Dengan redaksi di atas dapat difahami
bahwa tidak semua laki-laki memiliki kelebihan atas perempuan,
namun hanya sebagian saja. Pendapat FK3 ini di perkuat dengan
realitas zaman sekarang, hal mana sudah banyak para wanita yang
berkiprah dalam berbagai bidang dan mereka mengambil peran
yang strategis. Jadi kelebihan yang di maksud dalam ayat tersebut
bukan berarti wanita kurang memiliki kemampuan, namun

191
karena faktor pembagian tugas dan tradisi serta budaya yang
berlaku.
LMB PPL, Para ulama tidak mengklaim bahwa keunggulan
laki-laki atas wanita bersifat mutlak, namun yang dimaksud
adalah jenis laki-laki mengungguli jenis perempuan, jadi bisa
terjadi ada wanita mengungguli laki-laki secara individual.
Menurut Ali as-Shobuni, bahwa kata “ba’dhu” adalah sebuah
hikmah bahwa jenis laki-laki mengungguli jenis perempuan tanpa
menafikan kelebihan individual.
Mengenai kepemimpinan dalam rumah tangga ulama
sepakat bahwa hanya laki-laki, dan jika yang dimaksud adalah
kememimpinan dalam ranah publik, maka bukan hanya ayat
tersebut yang melarang seorang wanita menjadi pemimpin tapi
masih banyak ayat-ayat yang lainnya. Juga terdapat hadis yang
artinya “Tidak akan beruntung, kaum yang dipimpin seorang
perempuan.”
Meskipun ada kalangan yang memberikan kelonggaran
seorang wanita menjadi Qodhi sebagai realisasi amar ma’ruf nahi
munkar yang tidak membedakan jenis kelamin, namun melihat
realitas yang terjadi dari cerita Abi Bakrah dan pertimbangan yang
disampaikian Imam Sya’rani, sulit rasanya mempercayai
kepemimpinan wanita dapat sukses, contohnya adalah kasus
‘Aisyah meskipun semua ulama mengakui kepemimpinannya.
Para ulama tafsir mengatakan bahwa kelebihan laki-laki atas
wanita karena beberapa sisi, baik dari sisi hakiki dan sisi syar’i.
Pertama, dari sisi hakiki atau realitas sebagai berikut, kecerdikan

192
dan intelektual laki-laki di atas wanita, laki-laki lebih kuat
menghadapi problem kehidupan. kekuatan laki-laki di atas
wanita, karya ilmiah laki-laki lebih banyak, kepiawaian laki-laki
dalam mengendarai kuda, laki-laki banyak yang menjadi
ilmuan/ulama, laki-laki banyak menjadi imam utama atau kecil,
kelebihan dalam peperangan, kelebihan dalam adzan, iqomah dan
jum’atan, kelebihan dalam iktikaf, kelebihan dalam saksi hudud
dan qishos, kelebihan dalam hak waris, kelebihan dalam hak waris
ashobah, kelebihan dalam wali nikah, memiliki hak dalam
menjatuhkan talak, memiliki hak rujuk, memiliki hak
berpoligami, memiliki hak dalam sandaran nasab/keturunan.
Kedua, dari sisi syari’, yaitu menjalankan dan memenuhi
haknya sejalan dengan hukum syara’, seperti memberikan
maskawin dan nafkah kepada istri, inilah yang telah disebutkan
dalam kitab az-Zawajir karya Ibnu Hajar.
FK3, mengenai keutamaan laki-laki ditinjau dari dua segi,
yaitu segi hakiki dan syar’i, bahwa pada kenyataannya sekarang
kelebihan laki-laki atas perempuan sebagaiamana pendapat
penulis di atas tidak seluruhnya benar. Dalam dunia pendidikan
banyak para wanita lebih berprestasi dari laki-laki ini bukti bahwa
tingkat kecerdasan tidak terbatas pada laki-laki, begitupun bidang
lainnya, hanya persoalan kesempatan saja yang belum seimbang.
Demikian juga dengan kekuatan fisik dan mental juga bersifat
relatif. Di beberapa daerah justru para wanita bekerja lebih berat
daripada laki-laki seperti di Bali. Adapun larangan bagi wanita
melakukan adzan, imam sholat, khutbah jum’at dan lain-lain

193
dasarnya bukan wanita tidak mampu tapi memang agama
melarangnya.
LBM PPL, pertama, dalam kaitan ayat di atas (an-Nisa: 34)
harus dilihat kontek turunnya (asbabun nuzul), ayat ini turun
berkaitan dengan qishos atas penamparan Sa’ad bin ar-Rabi ‘ pada
istrinya Habibah bin Zaid. Kedua, pemahan kalimat “tidak
seluruhnya benar” jika ditujukan untuk persoalan ini secara
mutlak maka tidak dibenarkan. Maka jika konteksnya adalah
mendudukkan antara laki-laki dan wanita di hadapan Allah, maka
bisa dibenarkan. Dan perlu difahami bahwa keunggulan yang
dimaksud adalah dalam jenis bukan dalam individual.
Wanita-wanita yang shalehah dalam ayat di atas adalah para
wanita yang taat kepada Allah dan suaminya. Mereka memelihara
hak suaminya, menjaga kehormatannya, serta menjaga rahasia
suaminya dan hartanya, sebab Allah telah menjaga mereka.
FK3, cermin wanita yang shalehah bukan hanya taat kepada
suami, tapi lebih luas dari itu, yaitu taat pada Allah, Rasul-Nya
dan penguasa, berdasarkan QS.an-Nisa’: 59. Hal lain yang
menjadi dasar adalah ketidak bolehan taat kepada makhluk yang
bertujuan maksiat kepada Khalik. Jadi ketaan istri sejauh dalam
kerangka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Jika perempuan
dituntut untuk melakukan yang baik begitu pun laki-laki,
perempuan dituntut menjaga rahasia dan kehormatan begitu pun
laki-laki dan seterusnya.
LBM PPL, pemaparan Imam Nawawi adalah penafsiran
dari ayat an-Nisa ayat 34 di atas, yakni dalam cuplikan ayat yang

194
artinya, “Wanita yang shalehah adalah yang taat pada Allah dan
suaminya dan memelihara diri ketika suami tidak berada di
rumah, oleh karena Allah telah memelihara mereka” (QS, 4 : 4 )
dan mayoritas mufassir sama dengan penukilan Imam Nawawi.
Ketaatan dalam Islam harus dilaksanakan secara total, tidak
dikatakan taat jika hanya taat kepada Allah tanpa mentaati
suaminya, atau sebaliknya. Pemahaman ayat di atas juga saling
terkait, jadi ketaatan seorang istri pada suaminya juga sebagai
wujud ketaatan kepada Allah, karena dalam ruang keluarga suami
adalah ulil amri. Ar-razi berkata, makna “qonitaat” adalah
perempuan yang taat pada Allah, dan makna “Haafidzootun
lilghoibi” adalah menjaga hak-hak suaminya. Bahkan menurut al-
Wahidi, makna “Qonitaat” dengan akar kata “Qunuut” bermakna
umum untuk ketaatan kepada Allah juga kepada suami.
Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa Rasulullah telah
bersabda, “Sebaik-baik wanita adalah jika kamu
memandangnya ia membahagiakanmu, jika kamu
memerintahnya ia mentaatimu, Jika kamu pergi ia menjaga
hartamu dan kehormatannya.”
FK3, hadis di atas hendaklah diartikan dan dimaknai secara
logis. Maksudnya kebahagiaan rumah tangga tercermin dari
wajah-wajah anggota keluarga. Suami, istri dan anak-anaknya
memperlihatkan wajah yang bahagia dan ceria sehingga membawa
efek positif dari orang yang melihatnya. Demikian juga suami istri
saling pengertian, membantu, mengasihi dan menghormati
sebagaimana tercermin dalam QS.Al-Baqaroh: 187.

195
LBM PPL, apa yang disampaikan Imam Nawawi terkait
kewajiban istri terhadap suami dengan mungutip hadis yang
menjelaskan criteria wanita shalehah sudah sangat tepat dan jelas,
namun memunculkan tanggapan yang tidak terkait dengan
konteks dan tujuan walaupun secara makna bisa jadi ada
keterkaitan. Hadis tersebut menjelaskan ciri-ciri wanita shalehah
namun dikembangkan kearah keluarga bahagia. Mengembangkan
wacana dari kandungan yang sebenarnya dapat mengaburkan
tujuan dan maksud awalnya dan hal ini tidak logis. Dapat kita
lihat bahwa hadis tersebut adalah kreteria wanita shalehah.
Hadis tersebut adalah dalil yang selalu dipakai untuk
menta’wil ayat-ayat al-Qur’an tentang kriteria wanita shalehah
termasuk surat an-Nisa’ ayat 34. Ini pulalah yang dikatakan oleh
at-Thabari dalam kitab tafsirnya.
Hadis tersebut juga digunakan sebagai dalil dalam
penjabaran hadis lain yang juga menjelaskan kriteria wanita
shalehah.
Asbab al-wurud dari hadis Abu Hurairah, sebagaimana
diriwayatkan Ibn Abbas adalah setelah turunnya Surat at-Taubah
ayat 34. Ketika ayat ini turun para sahabat merasa berat,
kemudian Umar minta penjelasan kepada Nabi tentang maksud
ayat tersebut, setelah mendapat penjelasan Umar pun merasa
bahagia. Kemudian Nabi berkata kepada Umar, “Maukah kamu
saya beritahu sebaik-baik simpanan bagi seseorang?, yaitu wanita
shalehah yang jika suami memandangnya,ia menyenangkan

196
suaminya jika suami memerintahkannya ia mentaatinya, dan
jika suaminya pergi ia menjaganya”.
Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka
berilah nasehat. Maksudnya para wanita yang diperkirakan
meninggalkan kewajibannya dalam bersuami istri, seperti
meninggalkan rumah tanpa ijin suaminya, dan melawan dengan
kesombongan, maka nasehatilah dengan ancaman dari Allah.
Memberi nasehat ini hukumnya sunnah. Seperti suami berkata
kepada istrinya, “Takutlah kamu kepada Allah atas hak yang
wajib kamu penuhi kepadaku, dan takutlah siksa Allah.” Suami
juga perlu menjelaskan bahwa perbuatan nusyuz itu dapat
menggugurkan nafkah dan giliran. Nasehat tersebut dilarang
disertai mendiamkan dan memukul. Kalau istri menampakkan
uzurnya atau bertaubat dari apa yang telah diperbuatnya tanpa
uzur, maka suami harus memperingatkannya hadis Imam Bukhori
dan Muslim berikut: “Jika istri bermalam meninggalkan tempat
tidur suaminya, maka para malaikat mengutuknya sampai pagi
hari.” Hadis yang diriwatkan Imam Tirmidzi bahwa Rasul
bersabda, “Wanita yang bermalam sedangkan suaminya ridho
kepadanya maka ia masuk surga.” demikian yang telah dijelaskan
dalam Syarah Nihayah ‘alal Ghoyah.
FK3, Ketika istri nusyuz maka akan mendapat laknat,
menurut FK3 laknat adalah dihindarkan dan dijauhkan dari
kebaikan. Laknat yang datang dari makhluk berarti hinaan dan
mendoakan keburukan. Ketika Allah melaknat makhluknya
berarti Allah menjauhkannya dari kebaikan. Laknat dalam

197
konteks sosial bermakna lenyapnya kebaikan, kasih sayang dan
kedamaian dalam kehidupan. Maka hadis di atas jika difahami
secara tekstual maka yang menjadi sasaran hanya para perempuan.
Maka harus difahami secara kontekstual, berdasar keadilan, maka
hadis tersebut tidak hanya ditujukan kepada kaum perempuan
saja tapi juga ditujukan kepada laki-laki.
Diperbolehkannya laki-laki memukul istri juga menjadi
kritik FK3, FK3 mengatakan, bahwa kata memukul harus
ditafsirkan secara luas. Karena jika memukul difahami apa adanya,
dampaknya akan menjadi alat legitimasi bagi suami melakukan
KDRT. Pemukulan sekalipun jika dilakukan mengandung
faedah, di mata FK3 tetap tidak dibolekan karena akan
menimbulkan dampak psekis bagi istri apalagi jika diketahui anak-
anak maka dampak buruknya lebih besar lagi. Munculnya
pemukulan adalah tradisi Arab kuno yang berlaku pada masa itu.
Islam memberikan solusi dengan cara tidak memukul, tapi
menasehati istri yang nusyuz tersebut. Kalaupun memukul
tentunya tidak membawa bahaya, bahkan memaafkan lebih baik.
Hadis yang menjelaskan kesabaran istri atau suami terhadap
buruknya akhlak pasangannya dianggap sebagai Hadis Maudhu’
karena tidak memiliki sanad yang tsiqah.
LBM PPL, Konteks hadis di atas adalah ketaatan istri
kepada suami ketika suami membutuhkannya, bukan sekadar hak
biologis, Jiak suami mengajak berhubungan intim kemudian istri
menolaknya atau meninggalkannya sehingga suami marah dan
tidak senang. Namun jika suami tidak marah karena terjadi saling

198
pengertian atau suami tidak membutuhkannya maka tidak
menimbulkan hukuman laknat bagi istri. Begitupun kebutuhan
biologis tidak dapat dikenakan kepada suami. Jika nafkah adalah
kewajiban suami maka sebagai perimbangannya adalah kewajiban
istri memenuhi nafkah batin. Sebagaimana hubungan biologis
kewajiban istri bukan hak istri, begitu pun nafkah menjadi
kewajiban suami bukan hak istri. Demikian ini adalah prinsip
kalangan as-syafi’iyah, sedangkan kalangan Malikiyah, sebagian
Hanafiyah dan Hambaliyah, istri mempunyai hak yang sama
dengan suami. Artinya suami wajib memenuhi kebutuhan
biologis istrinya dalam jangka waktu tertentu. Minimal empat
bulan sekali menurut kalangan Hanafiyah dan Hambaliyah.
Laknat jika datangnya dari Allah maka ia adalah siksa dan
jika datangnya dari manusia maka ia adalah penolakan. Sebagian
yang lain memahami laknat yang datang dari Allah adalah
dijauhkan dari rahmat dan yang datangnya dari hamba adalah
mendoakan keburukan. Adapun dalam konteks hadis di atas
adalah laknat atas orang-orang yang melakukan kemaksiatan. Dan
laknat ini adalah pada sikapnya bukan pada manusianya, karena
melaknat manusianya tidak dibolehkan sekalipun pada orang kafir
kecuali yang telah disebut oleh nash. Tidak ada satu pun pendapat
yang mengatakan bahwa laknat adalah hilangnya kebaikan apalagi
diilustrasikan dalam konteks sosial dan rumah tangga. Jika
kemaksiatan dilakukan suami istri maka laknat bagi mereka adalah
siksa di akhirat atau minimal dijauhkan dari derajat orang-orang
shaleh.

199
Kalimat “Dan pisahlah dari tempat tidur mereka”, adalah
bahwa suami diperintah meninggalkan istri dari tempat tidurnya,
bukan mendiamkannya atau memukulnya. Karena
meninggalkanya di tempat tidurnya sendiri memberikan dampak
yang jelas dalam mendidik istri.
Kalimat “Dan pukullah mereka”, Bahwa wanita yang
berbuat nusyuz boleh di pukul dengan pukulan yang tidak
menyakitkan dan membahayakan tubuhnya. Hal ini jika
membawa faedah, jika memukul bukan pada wajahnya atau
anggota tubuh yang vital yang membahayakan. Tetapi pukulan
yang wajar. Namun yang lebih baik suami memaafkannya.
Berbeda dengan wali anak kecil, ia lebih baik tidak
memaafkannya. Karena wali anak kecil yang memukul anaknya
yang masih kecil membawa kemaslahatan untuk mendidiknya.
Menurut Imam Rofi’I, istri boleh dipukul jika berkali-kali
nusyuz. Tapi menurut Imam Nawawi, istri boleh dipukul walau
hanya sekali nusyuz jika pukulan itu berfaedah.
FK3, Makna pemukulan harus diuraikan secara jelas,
karena dibolehkannya memukul menjadi alasan bagi laki-laki
untuk melakukan kekerasan pada perempuan. Menurut Imam
Nawawi pemukulan dibolehkan selama berfaedah dan tidak
membahayakan. Namun bagaimanapun juga pemukulan akan
membahayakan psikologis apalagi hal tersebut diketahui oleh
anak-anak dampaknya akan lebih kronis. Sebaiknya hal itu
ditinggalkan apalagi pengarang menganjurkan untuk memaafkan,
dan inilah yang dimaksud mu’asyarah bil ma’ruf.

200
LBM PPL, Pemukulan kepada istri menurut pandangan
agama Islam harus melalui beberapa prosedur dan pertimbangan,
diantaranya:
1. Pemukulan dengan tujuan memberi nasehat sehingga
dihindari pemukulan yang membahayakan bagi tubuh.
2. Dilakukan setelah melalui nasehat dan menjauhi tempat
tidurnya
3. Pemukulan adalah jalan terakhir
4. Pemukulan jika berfaedah, atau bernilai positif
Ada beberapa hikmah penting dalam masalah pemukulan
kepada istri yang harus difahami, diantaranya:
1. Esensi nasehat bertujuan agar istri kembali taat dan sebagai
media memperbaiki rumah tangga. Oleh karena itu hindari
memukul di depan orang lain atau anak-anak untuk menjaga
dampak psikologis.
2. Teguran yang boleh dilakukan disertai unsur beban psikologis
3. Ketentuan tersebut dalam koridor pengajaran etika kepada istri
Menurut Imam Nawawi Maksud,“Takhoofuuna” (yang
kamu khawatirkan) yang dimaksud adalah “Ta’lamuuna” (yang
kamu ketahui), yaitu kamu melihat istrimu nusyuz,
mengecualikan jika terdapat tanda-tanda nusyuz dengan
perkataan. Seperti istri menjawab perkataan suami dengan kasar
setelah berbicara secara halus. Atau dengan sebab perbuatan,
seperti istri cemberut dan berpaling dari suami yang sebelumnya
bermuka manis. Jika hal tersebut adalah tanda-tanda nusyuz maka
suami menasehatinya dan jangan meninggalkannya dan

201
memukulnya. Dan “Jika mereka mentaatimu, maka janganlah
kamu mencari-cari cara untuk menyusahkannya”. Maksudnya
untuk memberikan pengajaran kepada istri yang ditakutkan
pembangkangannya, pertama, diberikan nasehat, jika tidak
berhasil. Kedua, jauhilah tempat tidurnya, jika yang pertama
berhasil maka tidak boleh menjalankan cara selanjutnya. Maka
jika istri telah mematuhi hak suaminya maka suami dilarang
mencari-cari jalan untuk memukulnya. Seperti memperolok-olok
istri terhadap peristiwa yang telah berlalu, yang akhirnya
memukul istri.
Disebutkan dalam hadis bahwa Rasullah telah bersabda
yang artinya, “Siapa yang bersabar menghadapi perilaku
suaminya, maka Allah akan memberinya pahala sebagaimana
pahala yang diberikan pada Nabi Ayub as. Siapa yang sabar
menghadapi akhlak istrinya Maka Allah akan memberinya
pahala seperti pahala orang-orang yang mati di jalan Allah.
Siapa yang menyakiti dan membebani suami diluar
kemampunnya maka istri yang demikian akan dikutuk para
malaikat rahmat dan malaikat azab. Siapa yang sabar ketika
suami menyakitinya, maka Allah akan memberikan pahala
seperti pahala Asiyah dan Maryam putri Imran.” Demikian
disebutkan dalam kitab al-Jawahir karya al-Samarqandi.
FK3, Hadis ini setelah dikaji maka berderajat maudhu’.
Penjelasan di atas harus dibaca secara cermat, karena suami istri
merupakan dua makhul yang memiliki karakter yang berbeda,
untuk itu keduanya harus bersabar dan saling pengertian,

202
menghormati dan menahan diri. Oleh karena itu segala rintangan
dan ujian tidak menjadi pemicu pertikaian. Karena keutuhan
rumah tangga harus diutamakan sebagaimana maksud dari
kalimat “Mitsaqan ghalidza” perjanjian yang kokoh yang tidak
mudah goyah.
LBM PPL, Untuk kesekian kalinya FK3 dengan gegabah
memaudhu’kan hadis, tanpa mengkajinya dengan teliti, ini
merupakan kesalahan yang berat. Karena hadis tersebut dapat
ditemukan melalui riwayat al-Haris dan al-Hafidz Nur ad-Din
dari sahabat Ali ibn Abi Thalib. Disebutkan oleh Ibnu Hajar
dalam al-Zawajir, bahkan oleh Imam Ghazali dalam Ihya
Ulumuddin. Mengenai kalimat “Mitsaqan ghalidza” Imam al-
Qurthubi mengatakan ada tiga versi dalam menjelaskan kalimat
tersebut.
Ikrimah dan ar-Rabi’ menafsirkan ayat ini dengan
kandungan hadis Nabi, “Maka takutlah kalian dalam urusan
wanita, karena kalian semua mengambilnya atas amanat Allah
dan kamu mengusahakan halalnya farji-farji mereka dengan
kalimat Allah”.
Al-Hasan, Ibn Sirin, Qatadah, ad-Dzahak dan as-Sadiy
menafsirkannya dengan kandungan QS. Al-Baqarah: 229
Mujahid dan Ibn Zaid menafsirkannya dengan akad nikah.
Dan ada sebagian yang memahami kalimat tersebut dengan arti
anak.
Rasullah bersabda: “Seorang istri yang meninggal
sedangkan suaminya ridho kepadanya, maka ia masuk surga”.

203
Nabi juga bersabda,“Apabila seorang istri sholat lima
waktu, Puasa Ramadhan, menjaga kehormatannya, taat pada
suaminya, Maka dikatakan kepadanya, “Masuklah surga dari
salah satu pintu yang kamu kehendaki.”(HR. Imam Ahmad)
FK3, menurut kami pada dasarnya hadis itu dha’if, karena
terdapat kelemahan pada sanadnya. Namun banyak jalan
periwayatan tentang makna dan maksud hadis itu, saling
menguatkan satu sama lain, sehingga naiklah derajat hadis
tersebut menjadi hasan li ghairih.
LBM PPL, Menurur al-Mundziri hadis riwayat Ahmad
adalah hasan dalam rangkaian mutaba’ah. Maksud hadis di atas
menurut al-Munawi adalah pengajaran ghalib (umum), artinya
shalat lima waktu, puasa, zakat, menjaga kemaluan serta menjaga
amanah, mentaati suami adalah hal-hal yang biasanya disepelekan
oleh istri. Bukan berarti tidak ada kewajiban lain namun dalam hal
tersebut di atas perempuan harus lebih berhati-hati.
Ada seorang wanita datang kepada Nabi dan berkata,
“Wahai Rasulallah, aku adalah utusan para wanita menghadap
engkau untuk menanyakan tentang bagian wanita dari jihad”
Nabi menjawab, “Allah telah menetapkan kewajiban jihad
kepada laki-laki, Jika mereka terluka atau mati maka bagi
mereka pahala yang besar, dan mereka hidup di sisi Tuhannya
dan diberi rizki buah-buahan surga”.Sedangkan kami para
wanita tetap melayani mereka lalu apa yang kami dapatkan dari
itu semua?” Nabi bersabda,“Sampaikan salamku ini kepada para
wanita yang kamu jumpai, bahwa ketaatan kepada suami dan

204
menunaikan haknya adalah sebanding dengan pahala jihad
tetapi sedikit wanita yang mau melaksanakannya”.
FK3, berdasarkan pendapat para ulama, kami
berkesimpulan, bahwa hadis ini dha’if. Pada masa Rasulullah ada
beberapa wanita yang ikut berjihad bersama Rasulullah,
diantaranya adalah Ummu Athiyah al-Anshariyah yang ikut
perang sampai tujuh kali. Mereka ada yang membawakan alat
perang, mengobati yang terluka, menyiapkan minum dan lain-
lain. Juga Ummu Sulaim dan para wanita yang lain. Bahkan,
Nusaibah binti Ka’ab memanggul senjata dalam perang Uhud
bersama Rasulullah.
LBM PPL, Hadis yang di dha’ifkan oleh FK3, diriwayatkan
dari Ibn Abbas dalam al-Firdaus dan kami juga melihat beberapa
periwayatan yang semakna dengan hadis tersebut. Melihat
banyaknya periwayatan maka tidak obyektif menilainya sebagai
hadis dhaif, karena hadis dhaif yang memiliki periwayatan lebih
dari satu jalur maka dia naik menjadi hadis hasan li ghairih, selama
perawinya tidak fasik dan dusta. Diriwayatkan pada suatu hari
Asma binti Yazid al-Anshariyah datang kepada Nabi untuk
menyampaikan aspirasi para wanita, singkatnya mereka ingin
mendapat kelebihan sebagaimana laki-laki dalam sisi beberapa
ibadah dan jihad. Sementara mereka dirumah mengurus keluarga
dan anak-anak. Apa yang mereka dapatkan dari itu semua.? Nabi
bersabda kepada Asma’. “Sampaikan kepada para wanita bahwa
kebaikan berbakti kepada suami, mencari keridha’an suami
usaha mencari keharmonisan bersama suami adalah sebading

205
dengan semua kebaikan yang telah engkau sebutkan”. Maka
‘Asma bertakbir, bertahlil dalam kebahagian dan ia
menyampaikannya kepada para wanita.
Hadis-hadis yang menjelaskan para wanita ikut serta dalam
perang Uhud menurut Imam Nawawi dalam Syarah Shaheh
Muslim, terjadi sebelum turunnya ayat-ayat tentang hijab dan
menahan pandangan. Masih ada kemungkinan terjadi setelah
turunnya ayat tenyang hijab dab menahan pandangan namun
mereka ikut mengobati para suami atau saudara semahram yang
terluka. Kalupun orang lain yang bukan mahramnya hanya dalam
keadaan darurat dan seperlunya saja.
Diriwayatkan bahwa Allah melihat ahli surga seraya
berkata, “Mohonlah kamu semua kepada-Ku apa saja yang
kalian perlukan,” Mereka menjawab, “Wahai Tuhan kami,
semoga Engkau berkenan mengembalikan ruh kami kedalam
raga kami di dunia, agar kami dibunuh orang-orang kafir
dalam keadaan mentaati semua perintahmu” . Hal demikian itu
karena mereka melihat kenikmatan ahli surga, yaitu kaum lelaki
yang terbunuh sebagai syuhada yang mendapat rizki buah-buahan
surga.
FK3, pengarang mengutip hadis di atas dengan isyarat-
isyarat yang tidak jelas. Hadis diatas adalah penafsiran Ibn Abbas
dari QS.Ali Imran ayat 169. Ini disebutkan Sa’ad ibn Manshur
dalam kitab sunannya dengan sanad shaheh.
LBM PPL, Hadis shaheh ini banyak didapati dalam kitab-
kitab hadis terkenal. Salah satunya adalah dalam Shaheh Muslim

206
yang sekaligus menjelaskan siap kah Abdullah yang diamksud oleh
Sa’id bin Manshur. Imam Muslim dalam penjelasannya
memberikan keterangan bahwa maksud Masruq meriwayatkan
hadis dari Abdullah adalah Abdullah bin Mas’ud, bukan
Abdullah bin Abbas. Jadi, anggapan bahwa riwayat di atas adalah
penafsiran Ibn Abbas adalah kebohongan. Dalam Islam
pembagian peran antara laki-laki dan wanita karena memiliki
karakter dan ciri dasar yang berbeda, sehingga wilayah tanggung
jawab pun berbeda, maka ironi jika masing-masing keluar dari
relnya yang telah ditetapkan.
Allah telah berfirman,
ّ ّ
:‫للرجال نصيب ّم ّما اكتسبوا و للنساء نصيب ّم ّما اكتسبن (النساء‬
ّ
)32
Artinya: “Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka
usahakan dan bagi perempuan ada bagian yang mereka
usahakan” (QS. An-Nisa’: 32).
Jadi laki-laki memperoleh pahala jihadnya, dan begitupun
para wanita memperoleh pahala dari usahanya, yaitu menjaga
kehormatannya, serta taat kepada Allah. Menurut Syaikh Sarbini
dalam tafsirnya dikatakan, bahwa laki-laki dan perempuan
memperoleh pahala di akhirat dengan hak sama. Hal ini karena
satu kebaikan dibalas sepuluh kali, ini berlaku bagi laki-laki dan
perempuan, adapun kelebihan laki-laki dan mengalahkan wanita
hanya di dunia.

207
FK3, Komentar Syaikh Sarbini dalam tafsirnya dikatakan,
bahwa laki-laki dan perempuan memperoleh pahala di akhirat
dengan hak sama. Hal ini karena satu kebaikan dibalas sepuluh
kali, ini berlaku bagi laki-laki dan perempuan, adapun kelebihan
laki-laki dan mengalahkan wanita hanya di dunia adalah pendapat
pribadi. Karena dalam ayat-ayat al-Qur’an laki-laki dan wanita
akan memperoleh balasan yang sama dari amal-amal mereka tanpa
ada perbedaan. Maka laki-laki akan mendapat pahala jika menjaga
kemaluannya dan perempuan akan mendapatkan pahala dari
jihadnya. Suami akan mendapat pahala jika bersikap baik pada
istrinya dan sebaliknya.
Allah telah berfirman yang artinya, “Orang mukmin laki-
laki dan orang mukmin perempuan sebagian mereka merupakan
penolong bagi sebagian yang lain”, (QS.At-Taubah: 71) dari ayat
tersebut jelaslah bahwa laki-laki dan wanita harus saling tolong-
menolong dan membantu bukan saling mendomonasi dan
menguasai.
LBM PPL, Asbabun nuzul QS.An-Nisa’ ayat 32 ini,
sebagaimana dijelaskan oleh Ibn Arabi dalam tafsirnya, riwayat
Ummu Salamah, beliau berkata kepada Rasullah, “Ya Rasullah,
kaum laki-laki berperang sedangkan kami tidak. Laki-laki
banyak disebut dalam al-Qur’an sedangkan kami tidak. Dan
kami hanya mendapat separo dari garta warisan”.
Kemudian Allah menurunkan ayat di atas, yang melarang
seseorang untuk berangan –angan terhadap apa yang telah
dianugrahkan atau digariskan ketentuannya oleh Allah. Adapun

208
asbabun nuzul dari QS. An-Nisa’: 32 tersebut, dari Sa’id dari
qatadah sebagaimana dikutip al-Jashshash, bahwa dulu pada
zaman jahiliyah para wanita dan anak-anak tidak mendapat harta
waris, ketika Islam datang maka diturunkan al-Qur’an untuk
memberikan waris kepada wanita dan anak-anak. Para wanita
berangan-angan,“andai saja bagian mereka seperti bagian laki-
laki”. Dan para laiki-laki pun berangan-angan. “andai saja Allah
memberikan kelebihan pahala di akhirat dalam amal
sebagaimana bagian waris mereka”.Akhirnya Allah menurunkan
QS.an-Nisa ayat 34 di atas.
Ali ra berkata, “Seburuk-buruk perbuatan laki-laki adalah
sebaik-baik perbuatan wanita, yaitu bakhil, tidak memberi
pengemis dan bermurah hati.”
Karena wanita yang mengagumi dirinya tidak berbicara
dengan setiap laki-laki dengan suara yang halus yang
menimbulkan kecurigaan. Sedangkan bila ia bakhil pandai
menjaga hartanya dan harta suaminya. Sedangkan wanita yang
penakut merasa khawatir hingga tidak berani keluar rumahnya
dan menjauh dari tempat yang dapat menimbulkan kecurigaan
karena takut kepada suaminya.
Nabi Dawud berkata, “Wanita yang jelek terhadap
suaminya seperti beban yang berat bagi orang yang sangat tua,
dan wanita yang baik bagai mahkota yang bertabur emas, jika
suami memandangnya sangat menyenangkan pandangannya
karena istrinya”.

209
FK3, Perkataan Ali tidak bersifat umum, namun
dikhususkan pada saat situasi dan kondisi tertentu, karena sifat
bakhil, sombong dan penakut adalah akhlak yang tercela. Setiap
orang tidak pantas memiliki sifat-sifat tersebut. Bahkan nabi
dalam hadis shaheh telah bersabda, “Ya Allah, sesungguhnya aku
berlindung kepadamu dari kebingungan dan kesusahan, sifat
lemah, malas, kikir, penakut, belenggu hutang dan paksaan oleh
orang lain” (HR. Bukhori Muslim)
Jika dikatakan bahwa istri yang bakhil akan menjaga harta
suaminya, maka menurut kami menjaga harta suami dan hartanya
sendiri adalah wajib bagi istri tanpa harus terlebih dulu bersifat
bakhil. Istri harus mampu memenej harta, tidak boros, pelit atau
bakhil. Zainab, istri Nabi bekerja dan menafkahkan hartanya dari
hasil kerjanya. Para wanita pada zaman Rasul juga bersedekah
dengan sebagian perhiasannya tanpa kehadiran suami. Karena
mereka perempuan-perempuan yang tidak bakhil. Sifat takut
boleh ada pada seseorang ketika ia dihadapkan pada sesuatu yang
diharamkan dan dilarang. Setiap Muslim tidak boleh takut untuk
menegakkan kebenaran dan mengerjakan hal-hal yang wajib.
Bahkan tidak boleh takut untuk mengubah kemungkaran. Sifat
sombong bukanlah akhlak yang terpuji, sombong boleh kepada
orang yang sombong atau yang akan mengambil hak-hak kita.
Kesimpulannya, karena sifat bakhil, sombong dan penakut adalah
akhlak yang tercela maka setiap orang baik laki-laki maupun
perempuan tidak pantas memiliki sifat-sifat tersebut, karena itu
semua akhlak yang tercela.

210
LBM PPL, perkataan Imam Ali tersebut terdapat dalam
kitab Ihya’ Ulum ad-din, juz II hal, 39. Pada penjelasan kitab
Ihya’ telah jelas bahwa yang dimaksud bakhil bukan bersifat
umum namun khusus, yang berkaitan dengan menjaga harta
suami. Hal ni dapa dilihat secara jelas dala kitab Ihya’ yang
menggunakan Fa’ Tafri’ yang fungisnya membatasi kata bakhil
yang bersifat umum menjadi khusus pada keadaan menjaga harta
suami. Sifat bakhil memang dicela oleh ulama, dan bagi orang-
orang kaya yang telah berkecukupan dan enggan membelanjakan
hartanya dijalan Allah maka ia orang bakhil. Namun maksud dari
penjelasan Imam Nawawi adalah dalam konteks rumah tangga.
Ulama telah sepakat bahwa haram bagi istri membelanjakan harta
suami tanpa seijinnya.
Sedangkan perkataan sombong atau membanggakan diri
yang diterjemahkan dari kata “az-Zahwu” adalah kurang tepat.
Makna yang lebih tepat dari arti kata tersebut adalah
menyombongkan diri ketika berjalan. Hal ini lebih baik bagi
seorang istri yang berjalan didepan laki-laki lain karena hal itu
lebih menjaga martabatnya, lebih-lebih pada zaman sekarang.
Para wanita hendaknya tahu, bahwa dirinya seperti sahaya
yang dimiliki suami dan tawanan yang lemah tak berdaya dalam
kekuasaan suami. Maka ia tidak boleh membelanjakan hartanya
kecuali atas ijin suaminya. Bahkan mayoritas ulama berpendapat,
bahwa istri itu dapat ijin dari suami karena istri itu seperti orang
yang tertahan perbelanjaannya karena suami. Istri harus malu
kepada suami, jangan menentang, menundukkan wajahnya dan

211
pandangannya di hadadap suami, taat atas perintahnya selama
bukan kemaksiatan, diam ketika suami berbicara, mengantar
kepergian suami jika keluar rumah, menampakkan rasa cintanya
kepada suami bila didekatinya, membahagiakan suami jika dia
akan tidur, memakai wangi-wangian, membersihkan pakaian,
berhias untuk suami, dan tidak bersolek jika ditinggal suami.
FK3, Penjelasan di atas mendorong kami untuk
menjelaskan kembali apa tujuan pernikahan, Menurut Imam
Ghazali bahwa tujuan pernikahan / perkawinan jika ditinjau dari
segi syariat dan ajaran agama yang umum adalah menegakkan
tanggung jawab sosial. Lima manfaat perkawinan menurut Imam
Ghazali adalah:
1. Mempunyai anak
2. Melindungi agama dan membatasi nafsu
3. Menjadi dekat dengan perempuan
4. Memiliki partner yang dapat mengurus rumah tangga
5. Melatih diri untuk mengembangkan watak yang baik.
Dalam penjelasan tersebut tidak ada satu kata pun
menyatakan bahwa dalam perkawinan perempuan diposisikan
sebagai budak. Bahkan menurut Quraisy Shihab akad nikah
adalah penyerahan kewajiban perkawinan, sekaligus penerimaan
mereka selaku suami istri untuk hidup bersama, mitra
pendamping, menyatu dalam suka dan duka. Menurut Thalhah
Hasan, hubungan suami istri dalam keluarga Muslim bukanlah
hubungan dominasi antara satu pihak dengan pihak yang lain,
tapi hubungan yang harmonis dan saling menghormati. Jadi

212
bukan hubungan sebagaimana telah disebutkan oleh pengarang di
atas.
LBM PPL, disini akan ditampilkan komentar Imam
Ghazali dalam Ihya’ Ulum ad-Din juz II hal.24, disebutkan lima
manfaat perkawinan:
1. Mempunyai anak
2. Memecah syahwat atau nafsu seksual
3. Mempunyai seseorang yang dapat mengurus rumah tangga
4. Memperbanyak keluarga
5. Melatih diri dalam mengembangkan watak yang baik sekaligus
menekan nafsu amarah.
Namun sebelum memaparkan konsep ini Imam Ghazali
dalam bagian setelahnya menjelaskan pernikahan adalah salah satu
jenis dari perbudakan. Identik dengan bahasa “Awanin” atau
seperti tawanan yang tersebut dalam hadis shaheh riwayat Imam
Tirmidzi dan Ibn Majah. Namun jangan pernah menganggap
bahwa istri tawanan secara hakiki, tetap hanya sekadar tasybih
(penyerupaan). Keterikatan istri pada aturan suami sebagai
bentuk konsekwensi kepemimpinan suami yang merupakan
tuntutan hukum islam, yang mampu menciptakan iklim rumah
tangga yang kondusif dan harmonis.
Syaikh Asmu’i berkata, “Di pelosok desa saya melihat
seorang wanita memakai baju kurung merah dan tangannya
dipacar dengan tasbih, Aku bertanya, “Alangkah jauhnya ini dan
itu” Maka wanita itu menjawab, “Untuk Allah aku punya waktu

213
dan aku tidak menyia-nyiakannya. “Untuk bermain-main dan
bersenang-senang aku pun punya waktu”.
Maka aku tahu kalau dia adalah wanita shalehah, dan dia
berhias untuk suaminya. Istri hendaknya tidak berkhianat di
tempat tidur ketika suami sedang pergi. Istri tidak boleh
menyelewengkan harta suami.
FK3, dalam relasi suami istri, bukan hanya istri saja yang
dituntut untuk tidak berkhianat kepada suami. Suami juga
berkewajiban memperlakukan istri dengan lembut dan tidak
menyakiti hatinya. Ia juga harus menghargai keluarga istri serta
bersikap yang mendatangkan kedamaian, ketentraman dan cinta.
LBM PPL, Sudah menjadi maklum bagi siapa pun bahwa
larangan mengkhianati keluarga adalah tidak hanya bagi wanita
saja. Karena dalam Islam pergaulan suami istri dengan penuh rasa
tanggung jawab dan saling percaya merupakan kewajiban
keduanya. Namun apa yang disampaikan Imam Nawawi
konteksnya adalah tentang wanita yang shalehah sekaligus sebagai
perwujudan dari istri shalehah sebagaimana yang telah digariskan
oleh al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 34.
Rasulullah bersabda,
ّ ّ ‫إال بإذنه ّإال‬
ّ ّ ‫ال‬
‫الرطب من الطعام الذى‬ ‫يحل لها أن تطعم من بيته‬
‫يخاف فساده فإن أطعمت عن رضاه كان لها مصل أجره و إن أطعمت‬
.‫بغير إذنه كان له ألاجر و عليها الوزر‬

214
Artinya: “Istri dilarang memberi makan orang lain dari
rumah suaminya tanpa seijinnya, kecuali makan basah yang
cepat basi. Jika ia memberi makan karena ijin suaminya mak ia
mendapat pahala seperti pahala suaminya, jika ia memberi
makan tanpa seijin suaminya, maka suaminya mendapat
pahala, sedangkan istri mendapat dosa.”
FK3, Ada beberapa hadis, istri yang memberikan sedekah
dari harta suaminya, hadis pertama istri tidak berdosa jika
melakukannya, bahkan ia memperoleh pahala. Hadis yang kedua
istri berdosa jika memberi makan tanpa ijin suami, dan suami
mendapat pahala. Sebagaimana hadis di atas, kedua hadis di atas
secara jelas bertentangan, namun jika ditinjau dari sisi keadilan
dan kemanusiaan dan merujuk kepada al-Qur’an yang tidak
membedakan pahala bagi laki-laki dan perempuan maka hadis
pertamalah yang dijadikan pegangan, yaitu riwayat Bukhari
Muslim yang menegaskan adanya pahala bagi istri.
LBM PPL, Keterbatasan dalam memahami syariat Islam
mengakibatkan salah dalam mengambil kesimpulan. Mereka
beranggapan, beberapa hadis bertentangan yang pada akhirnya
menafikan hadis yang shaheh dan mengatakan hadis yang pertama
lah yang bisa dijadikan pegangan. Hadis riwayat Bukhari
menyatakan “’an ridhohu” (atas kerelaan), yang berarti istri yang
menyedekahkan harta suami atas ijin suami maka mendapat
pahala sebagaimana suami. Hadis riwayat Muslim mencantumkan
kata “ghair mafsadah” (tanpa mengakibatkan kerusakan) yang

215
difahami para ulama ahli hadis bahwa “tidak ada kerusakan”
adalah karena sudah ada ijin dari suami.
Sedangkan hadis kedua yang diriwayatkan al-Bayhaqi tidak
tercantum cacatan “kerelaan” atau “tidak adanya kerusakan” yang
dapat difahami hadis tersebut bersifat umum. Jika kita lihat
seolah-olah hadis di atas terjadi kontradiktif, namun sebenarnya
tidak. Hadis pertama istri bersedekah atas ijin suami dan hadis
kedua tanpa seijin suami. Dengan demikian keumuman kedua
ditakhshis oleh hadis pertama. Sedangkan ijin suami bisa berupa
ijin shareh dan ijin urfi, Menurut Imam Nawawi pengarang kitab
Majmu’, pemberian istri pada barang-barang yang biasanya
mendapat kerelaan suami diperbolehkan meskipun tidak
mendapat ijin melalui ucapan, seperti halnya member makanan
yang umum kepada tetangga atau para peminta-minta. Namun
istri juga harus melihat karakter dan kedermawan suami. Istri
hendaknya memuliakan suami dan keluarganya, sekalipun hanya
berupa perkataan-perkataan, juga memandang pemberian suami
yang sedikit sebagai sesuatu yang banyak, menerima
perbuatannya, memandang utama dan bersyukur atas sikap
suami, serta dilarang menolak kemauan suami sekalipun di
punggung onta. Menurut Imam Syafi’i jika seorang istri dalam
keadaan suci, jika sedang haid maka dilarang.
Ibnu Abbas berkata bahwa ia telah mendengar Nabi
bersabda: “Jika seorang wanita menjadikan malamnya untuk
shalat, siangnya untuk puasa, lalu suaminya memanggilnya ke
tempat tidur lalu istri menundanya satu jam, maka kelak hari

216
kiamat ia akan diseret dengan rantai dan belenggu,
dikumpulkan dengan para syaitan hingga berada di tempat yang
paling rendah.”
FK3, kami tidak menemukan perawi hadis ini dan kitab-
kita mu’tabar tidak menyebutkannya dengan demikian hadis ini
maudhu’. Wahbah az-Zuhaili mengatakan bahwa istri wajib
patuh pada suaminya jika suaminya mengajak ke tempat tidur
sekalipun ia sedang berada atas punggung unta, sebagaimana yang
tertera dalam hadis riwayat Imam Ahmad dan lainnya, selama ia
tidak disibukkan dengan kewajiban atau ada kemungkinan suami
menyakitinya, karena menyakiti pasangan bukan termasuk
pergaulan secara ma’ruf. Ulama Mazhab Hanafi berpendapat istri
boleh menuntut suami untuk melakukan hubungan intim, karena
kehalalan suami merupakan hak istri begitu pun sebaliknya.
Ulama Mazhab Maliki, melakukan hubungan intim adalah
kewajiban suami terhadap istri jika tidak ada udzur.
LBM PPL, Klaim yang tidak benar memaudhu’kan hadis
hanya berdasarkan karena periwayatan yang tidak ditemukan.
Yang berhak melakukan penilain hadis adalah para pakar hadis
yang telah diakui keilmuannya, seperti Imam Ahmad, Imam
Bukhari, Imam Nasai, Iman Abi Hatim dan lain-lain, apalagi
matan hadis yang dimaudhu’kan selaras dengan hadis-hadis
shaheh.
Mengenai kandungan hadis di atas para ulama telah sepakat
bahwa istri wajib mentaati segala perintah suami, selama bukan
ajakan untuk melakukan kemaksiatan, termasuk dalam hal ini

217
adalah ajakan berhubungan intim. Sebagai kewajiban
memberikan nafkah lahir kepada istri sebagai perimbangannya
istri wajib memberikan nafkah batin kepada suami. Adapun
penukilan pendapat dari para fuqaha di atas seharusnya dikutip
secara lengkap, menurut kalangan Hanafiyah dan Hambaliyah,
suami wajib memberikan nafkah batin kepada istri secara hukum
hanya wajib empat bulan sekali, sekalipun istri memiliki hak
biologis atas suami.Hal ini merupakan perwujudan dari
mu’asyarah bil ma’ruf dan mempertimbangkan kekuatan
biologis wanita yang biasanya bertahan sampai empat bulan.
Adapun Mazhab Malikiyah, istri berhak menuntut hak biologis
kepada suami jika sudah sampai pada batas tadharrur (sulit
menahan nafsunya) karena dikhawatirkan terjerumus dalam
perzinaan. Imam al-Qurthubi, hukum menolak ajakan istri adalah
haram jika penolakannya dapat membuat kemudharatan istri.
Dilarang bagi suami menggauli istrinya di hadapan laki-laki
atau wanita lain. Jika akan bergaul dengan istrinya maka
disunnahkan bagi suami membaca basmalah, surat al-ikhlas,
takbir, dan tahlil serta membaca doa,
ّ ‫ذرّية‬
‫طيبة‬ ّ . ‫العلي العظيم‬
ّ ‫اللهم اجعل النطفة‬ ّ ‫بسم هللا‬
Artinya: “Dengan menyebut Nama Allah yang Maha
tinggi lagi Maha Mulia, ya Allah jadikanlah sperma ini
keturunan yang baik.”
Rasulullah bersabda,

218
ّ ‫جنبنى الشيطان و‬
‫جنب‬ ّ ‫اللهم‬
ّ ‫أن أحدكم إذا أتى أهله قال‬ ّ ‫لو‬
ّ ‫الشيطان ما رزقتنا فإن كان بينهما ولد لم‬
‫يضره الشيطان‬
Artinya: “Sesungguhnya jika kalian mendatangi istrinya,
hendaklah membaca, Allahumma jannibnisy syaithaan wa
jannibisy staithaan maa razaqtanaa, (Ya Allah, jauhkanlah
diriku dari setan, dan jauhkanlah setan dari apa yang telah
engkau rizkikan kepada kami).
Jika seseorang mencapai klimaks maka membaca do’a
dalam hati dengan mengisyaratkan dengan lidahnya do’a sebagai
berikut:

‫الحمد هلل الذى خلق من املاء بشرا فجعله نسبا و صهرا و كان ّربك‬
‫قديرا‬
Artinya: “Segala puji bagi Allah yang menciptakan
manusia dari air, lalu dijadikannya manusia itu punya
keturunan dan mushoharoh, dan Tuhanmu Maha Esa.”
FK3, hadis di atas adalah Muttafaq ‘alaih, hadis ini adalah
shaheh.
LBM PPL, dalam ajaran Islam, adab bersetubuh juga
dianjurkan untuk memilih waktu-waktu yang dianjurkan
danmenghindari waktu-waktu yang tidak dianjurkan serta
tuntunan doa serta adabnya. Waktu-waktu yang tidak dianjurkan
seperti awal, pertengahan dan akhir bulan, Karena pada waktu-
waktu tersebut setan hadisr ditengah-tengah pergaulan. Lebih-
lebih adalah melakukan hubungan pada saat istri sedang haidh ini

219
diharamkan oleh al-Qur’an. Imam Nawawi menyebutkan tata
cara atau adab dalam bersetubuh, membaca basmalah, surat al-
ikhlas di awwal dan bertakbir tidak boleh bertahlil. Imam Ghazali
sedikit berbeda, membaca Surat al-ikhlas, bertakbir dan bertahlil.
Dan jika mendekati orgasme menurut Imam Nawawi membaca
doa di atas dalam hati dan menggerak-gerakakn bibir. Ada yang
berpendapat cukup dalam hati tanpa menggerakkan bibir. Semua
tuntunan ini adalah menghasilkan keturunan yang shaleh,
sehingga anak tidak mudah diganggu setan atau setan tak mampu
menyesatkannya
Adab berduaan dengan istri dilarang menghadap kiblat
karena memuliakannya sebagai arah ibadah sholat, menutupi
tubuhnya dan pasangannya. Istri tidak boleh puasa sunah jika
tidak dapat ijin dari suami jika ia puasa juga maka tidak berpahala,
hanya letih dan dahaga, kecuali puasa sunnah Arafah dan Asyura’.
Istri tidak boleh pergi tanpa seijin suami, jika pergi tanpa seijinnya
maka malaikat rahmat dan azab akan mengutuknya sekalipun
suaminya dholim.
FK3, kedzaliman adalah sesuatu yang diharamkan, dan
setiap orang wajib menghilangkannya karena itu merupakan dosa
besar. Jika istri melihat suaminya melakukan kedzaliman maka
istri wajib menasehatinya dengan lemah lembut karena agama
merupakan nasehat. Istri tidak wajib mematuhi perintah
suaminya yang dzalim agar suami tidak terus melakukannya.
Sebagaimana dalam sabda Nabi yang artinya, “Seorang
muslim adalah saudaranya sesama muslim, tidak boleh

220
mendzalimi dan tidak boleh membiarkan terjadinya
kedzaliman” (HR. Bukhari dan Muslim)
LBM PPL, apa yang disampaikan Imam Nawawi
merupakan kutipan apa yang telah diriwayatkan al-Bayhaqi, at-
Thayalisi Abu Dawud dan Assakir. Seorang wanita bertanya
kepada Nabi tentang hak suami.
Salah satu jawaban Nabi, “Dan istri tidak boleh keluar
rumah kecuali atas ijin suami. Jika tetap melakukannya maka
malaikat melaknatnya Malaikat al-Ghadhob dan Malaikat
Rahmat sampai bertaubat atau kembali ke rumah. Dan
kemudian ditanyakan, “Meskipun ia dzalim? Nabi menjawab,”
Ya” (meskipun ia dzalim).
Sebagaimana penjelasan al-Munawi kalimat “meskipun
suami dzalim” sebagai ungkapan dari kata “sangat dilarang” bagi
istri melanggar perintah suami. Karena dalam keluarga ketaatan
istri kepada suami merupakan hal yang paling pokok/utama,
sehingga kewajiban itu hanya bisa ditolerir dengan sesuatu yang
sebanding. Sedangkan perkataan, “Istri tidak wajib mematuhi
perintah suaminya yang dzalim agar suami tidak terus
melakukannya”. Adalah keliru, karena kedzaliman selain hak istri
juga hak Allah, sehingga istri hanya berkewajiban menasehati.
Hikayat pertama, Nadzar seorang wanita yang hanya akan
berbicara dengan bahasa Al-Qur’an
Tentang seorang wanita yang yang tersesat di perjalanan
dan ia bernadzar tidak akan bicara kecuali dengan menggunakan
ayat- ayat al-Qur’an.

221
Abdullah bin al-Wasithi berkata, “Saya melihat seorang
wanita di Arofah mengatakan, “Man yahdillahu fala
mudhillalah, wa man yudhlilhu fala hadhiyalah.” (Siapa
yang diberi petunjuk Allah, maka tidak ada yang dapat
menyesatkannya, dan siapa yang disesatkan Allah maka tidak
ada yang dapat memberinya petunjuk), “saya tau kalau wanita
itu sedang tersesat.”
Lalu saya bertanya, hai wanita anda darimana?, ia
menjawab, “Subhanal ladzi asra bi ‘ibadihi lailan minal
masjidil haram ila masjidil aqsha,(Maha Suci Allah yang
telah memperlajankan hambanya dari masjidil haram sampai
masjidil aqsha), “saya pun tau kalau ia dari negeri Syam.”
Saya bertanya lagi, “Apa kepentingan anda datang ke sini?’
Dia menjawab, “Walillahi alan naasi hijjul baiti manias
tatha’a ilahi sabilaa, (Melaksanakan haji adalah keajiban
manusia kepada Allah, yaitu bagi yang mampu melaksanakan
perjalanan ke Baitullah). “Saya tau kalau ia hendak berhaji.”
Saya bertanya lagi, “Apakah engkau bersuami?,
Jawabnya,”walaa taqfu maa laisa laka bihii ilmun
,(Janganlah kamu mengikuti apa yang tidak kamu mengetahui
tentangnya).”
Tanyaku kembali, “Maukah kamu naik onta?” Ia
menjawab,”Wamaa taf’alu min khairin ya’lamuhullah,
(Dan apapun kebaikan yang kamu lakukan, Pasti Allah
mengetahuinya).

222
Ketika hendak naik onta ia pun berkata, “Qul lil
mu’miniina yaghudhu min abshorihim” (Katakanlah
kepada laki-laki yang beriman, hendaknya mereka
menundukkan pandangannya)
“Janganlah memandangku,” maka aku berpaling darinya.
Setelah itu aku bertanya, Siapa namamu?, Jawabnya,
“Wadzkur fil kitaabi maryam.”(dan ceritakanlah kisah
maryam dalam al-qur’an) Aku tahu namanya Maryam.
Saya bertanya lagi, “Apakah kamu punya anak?,
Jawabnya, “Wa washsha biha ibraahiimu baniihi wa
Ya’kub.” (Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada
anak-anaknya, demikian juga Ya’kub). Saya pun tahu kalau dia
memiliki anak.
Aku bertanya lagi, “siapa nama mereka?. Dia pun
menjawab, “Wa kallamahullah muusa taklimaa, wat
takhodzahullah ibrohiima khalilaa, ya Daawuuda inna
ja’alnaaka khaliifatan fil ard.“ (Dan Allah telah berbicara
dengan Musa secara langsung, Dan Allah mengambil Ibrohim
menjadi kesayangannya, Hai Dawud, sesungguhnya kami
menjadikanmu khalifah di muka bumi).
Tanyaku, “Dimana mereka tinggal, akan aku cari.”
Jawabnya, “Wa ‘aalamat, wa bin najmi hum yahtaduun.
(Dan Dia menciptakan tanda-tanda, dan dengan bintang-
bintang itulah mereka mendapat petunjuk jalan).
Tanyaku, “Wahai Maryam, apakah kamu hendak
makan?. Jawabnya, “Inni nadzartu lirrohmaani saumaa”

223
(Sesungguhnya akau telah berjanji kepada Tuhanku untuk
puasa). Saya pun tau kalau ia sedang berpuasa.
Sesampainya di tempat anak-anaknya, lalu mereka
menangis, Wanitia itu berkata, “Fab’atsu ahadakum
biwariqikum haadzihi ilal madiinah, (Maka suruhlah
salah seorang diantara kamu pergi ke kota dengan membawa
uang perakmu ini).
Kemudian saya bertanya kepada anak-anaknya perihal
ibunya, Maka mereka mengatakan, “sesungguhnya ibu mereka
telah tersesat selama tiga hari dan tidak akan berbicara kecuali
dengan al-Qur’an.” Kemudian anak-anaknya menangis.
Saya bertanya kepada mereka, “Mengapa kalian
menangis?, Mereka menjawab bahwa ibunya sedang sakaratul
maut. Maka saya masuk dan bertanya kepada wanitu itu perihal
keadaannya, Ia menjawab, “Wajaa-at sakaratul maut bil
haqq,” (dan telah datang kematian dengan sebenarnya).
Setelah dia mati saya melihatnya dalam mimpi, saya
bertanya, “Anda berada dimana?. Dia menjawab, “Innal
muttaqiina fii jannatiw wanahar, fii maq’adi shiddiqin
‘inda maliikin muqtadir” (Sesungguhnya orang-orang yang
bertaqwa di dalam taman-taman dan saung-saung di tempat
yang sebenarnya).
Diriwayatkan dari Nabi bahwa beliau bersabda, “Burung-
burung di udara, ikan-ikan di laut, dan para malaikat di langit
memohonkan ampun kepada wanita yang mentaati suaminya,
selama wanita itu dalam keridhoan suaminya.”

224
FK3, Abdullah al-Wasithi yang disebut dalam hikayat ini
kemungkinan adalah Imam az-zabidi Abdullah ibn Mubarak yang
sangat masyhur (w. 181 H) sebagaimana disebutkan oleh Syaikh
Muhammad Abu Yusr Abidin dalam kitabnya Hikayat as-
Shufiyyah. Kami tidak menemukan perawi hadis tersebut. Adz-
Dzahabi menyebutkan hadis tersebut dalam kitab al-Kaba’ir dan
al-Haytami dalam kitab az-Zawajir. Menurut pendapat kami
hadis tersebut maudhu’.
LBM PPL, Justru karena Adz-Dzahabi menyebutkan hadis
tersebut dalam kitab al-Kaba’ir dan al-Haytami dalam kitab az-
Zawajir. Maka tidak dapat diklaim hadis tersebut maudhu’.
Apalagi tidak ada klaim maudhu’ dari para ulama ahli hadis. Oleh
Karena itu yang pantas bagi kita mengikuti para ulama, yang tidak
memaudhu’kannya. Cukup dikatakan “belum ditemukan’ perawi
hadis tersebut. Sehingga dapat dimaklumi hadis tersebut boleh
disebutkan seperti hadis-hadis dhaif.
Hikayat Kedua, Tentang seorang wanita yang dimadu oleh
suaminya dan ia ridha dengan perbuatan suaminya tersebut.
Tentang seorang wanita yang dimadu oleh suaminya dan ia
ridha dengan suaminya tersebut, ketika suaminya meninggal ia
membagi harta warisnya kepada madunya. Di Bagdad, ada
seorang laki-laki menikah dengan anak pamannya, dan ia berjanji
tidak berpoligami. Pada suatu hari ada seorang wanita datang ke
tokonya dan memintanya untuk mengawininya. Lelaki itu pun
menyampaikan bahwa ia telah berjanji untuk tidak berpoligami.
Wanita itu mengatakan jika ia menjadi istri keduanya, ia rela

225
digilir seminggu sekali tiap hari jumat, akhirnya laki-laki itu
mengawininya hingga berlalu delapan bulan. Istri pertamanya lalu
ingkar kepadanya dan menyuruh pembantunya untuk mengawasi
suaminya kemana pun ia pergi. Tiba-tiba suami majikannya
masuk ke sebuah rumah. Pembantu itu pun bertanya perihal
tersebut kepada para tetangganya. Mereka mengatakan bahwa
lelaki itu telah menikah. Pembantu itu pun memberitahu perihal
suaminya, kalau suaminya telah menikah lagi, maka majikannya
berkata, “Kamu jangan memberitahukan perihal ini pada siapa
pun.”
Setelah laki-laki itu meninggal, maka istri pertamanya
memerintahkan pembantunya untuk menyerahkan uang 500
dinar kepada istri kedua suaminya. Pembantunya mengatakan,
“Semoga Allah memberikan pahala yang besar kepadamu
sehubungan dengan kematian suaminya. Suamimu telah
meninggal dan meninggalkan harta 8.000 dinar. Yang 7.000
untuk putranya, dan 500 dinar untuk istri pertama dan 500
dinar untuk istri keduanya”. Setelah pembantunya
menyampaikan hal tersebut, istri kedua tersebut berkirim surat
pada istri pertama suaminya, ia berkata, “Tolong sampaikan surat
ini pada majikanmu.” Ternyata surat itu berisi pembebasan mas
kawin bagi suaminya, dan wanita itu tidak mengambil apa-apa.
FK3, kisah di atas menggambarkan tentang seorang suami
yang melanggar janjinya terhadap istrinya. Tetapi istrinya
membalas dengan ketulusan dan kebaikan yang tiada tara.

226
Sayangnya pengarang tidak menyebutkan apa balasan bagi
seorang istri yang tulus tersebut dari Allah swt.
LBM PPL, Kesimpulan yang ditarik tidak benar, karena
suami memilki hak untuk berpoligami, dan tidak ada ketentuan
syariat suami wajib minta ijin kepada istrinya. Meskipun secara
etis, suami seperti cerita di atas meminta ijin kepada istri. Dan
kalaupun suami berjanji untuk tidak berpoligami atau suami
tidak menggunakan hak poligaminya hal ini hanyalah wa’du yang
sunnah dipenuhi. Sehingga sosok suami sebagaiaman cerita di atas
tidak dapat dikatakan berkhianat, karena dalam hal ini ia hanya
menggunakan hak dan meninggalkan kesunahan untuk menepati
janji. Kesimpulan yang bijak adalah, contoh seorang istri yang
memahami hak suami, serta dapat memilah antara hak dan
kewajiban bagi dirinya.
Nabi bersabda,
ّ ‫أ الناس و املالئكة و هللا لعنة فعليه زوجها عصت امرأة‬
‫وأيما‬
Artinya: “Wanita yang durhaka kepada suaminya, maka
ia mendapat kutukan Allah, malaikat, dan semua manusia.”
FK3, Kami tidak menemukan perawi hadis ini dan kitab-
kitab mu’ tabar tidak menyebutkannya, dengan demikian hadis
ini maudhu’.
LBM PPL. Tidak benar hadis ini disebut hadis maudhu’
Karen al-Haytami menyebutkannya dari sebagian ulama dalam
kitab az-Zawajir juz II hal. 63. Imam at-Tirmidzi meriwayatkan
yang semakna dalam kitab sunannya. Hadis nomor 359.

227
Ali bin Abi Thalib pernah mendengar Rasulullah Saw
bersabda:
ّ ‫لو‬
ّ ‫أن امرأة جعلت إحدى يديها‬
‫شواء وألاخرى طبيخا ووضعتها لزوجها‬
‫ولم يرض ى عنها كانت يوم القيامة مع اليهود و النصارى‬
Artinya: “Andaikata seorang wanita membawa daging
bakar pada salah satu tangannya, dan tangan satunya membawa
daging rebus, lalu diletakkan dihadapan suaminya sedangkan
suaminya tidak ridha kepadanya, maka kelak pada hari kiamat
ia akan berkumpul dengan orang Yahudi dan Nasrani”.
FK3, Kami tidak menemukan perawi hadis ini dan kitab-
kitab mu’tabar tidak menyebutkannya. Kami menemukan hadis
dengan redaksi yang hampir sama dalam kitab Makarim al-
Akhlaq karya at-Thabrasi asy-Syafi’i tanpa menyebut perawi dan
sanadnya. Dengan demikian hadis ini maudhu’.
LBM PPL, at-Thabrasi asy-Syafi’i menyebutkan dari
Salman al-Farisi dalam Makarim al-Akhlak hal. 76. Dikuatkan
dengan hadis shahih yang diriwayatkan oleh at-Turmudzi, Ibn
Majah dan al-Hakim dari Ummu Salamah. “Wanita-wanita yang
menghabiskan malam dalam keridhaan suaminya maka ia
masuk surga”.
Abdullah Ibnu Mas’ud mendengar Rasulullah bersabda:
ّ ‫فسوفت به‬
‫حتى ينام فهي ملعونة‬ ّ ‫ّأيما امرأة دعاها زوجها إلى فراشه‬

228
Artinya: “Wanita yang diajak suaminya ke tempat tidur
lalu ia menunda-nunda sampai suaminya tertidur maka ia
dilaknat oleh Allah.”
FK3, dari kajian yang dilakukan, FK3 menyimpulkan hadis
tersebut maudhu. Laknat dalam kehidupan rumah tangga berarti
hilangnya sikap saling pengertian, memahami, percaya antara
suami dan istri. Maka laknat bisa disebabkan dari pihak istri atau
pihak suami.
LBM PPL, Terlalu berani mengatakan hadis tersebut hadis
maudhu, at-Thabrasi meriwayatkan hadis ini dalam Makarim al-
Akhlak, hal. 83. Hadis kedua dari Maysyarah juga diriwayatkan
at-Thabrani dalam Mu’jam al-Ausath dan ad-Daylami dari
beberapa yang dinukil dari al-Munawi dan al-Jauzy hadis ini
hanya dha’if.

‫و ّأيما امرأة كلحت فى وجه زوجها فهي فى سخط هللا إلى أن تضاحكه و‬
‫تسترضيه‬
Artinya: “Wanita yang cemberut di hadapan suaminya,
maka Allah murka kepadanya sampai ia membuat suaminya
tersenyum dan meminta ridhonya”.
Abdurrahman bin Khauf mendengar Rasul bersabda:
ّ ّ
.‫مسودة الوجه‬ ‫ّأيما امرأة عصت فى وجه زوجها إال قامت من قبرها‬
Artinya: “Wanita yang durhaka di hadapan suaminya,
tidaklah ia bertdiri dari kuburnya mukanya menjadi hitam.

229
Dan wanita yang keluar rumah tanpa ijin suaminya, mala
malaikat melaknatnya sampai ia pulang.”
FK3, kami tidak menemukan perawi hadis ini, dan kitab-
kitab mu’tabar juga tidak menyebutkannya. Dengan demikian
hadis ini maudhu’.
LBM PPL, Hadis pertama kami dapati dalam riwayat al-
Khubawi dari Thalhah bin Abdillah (Durratun Nashihin, hal.
48). Hadis tersebut disebutkan oleh al-Haytami beliau
meriwayatkan dari sebagian ulama dalam az-Zawajir. Adapun
hadis kedua juga belum dapat diklaim sebagai maudhu’, sebab
belum dijumpainya periwayatannya. Mungkin saja
penelusurannya belum maksimal karena ketebatasan yang ada.
Usman bin Affan mendengar Rasul bersabda,
ّ ‫و ّأيما امرأة خرجت من دارها بغير إذن زوجها لعنتها املالئكة‬
‫حتى‬
‫ترجع‬
Artinya: “Tidaklah istri keluar rumah tanpa seijin
suaminya melainkan seluruh yang tersinari matahari sampai
ikan di laut melaknatnya.”
FK3, menurut Imam as-suyuthi hadis ini hasan.
LBM PPL, berpuluh-puluh hadis yang telah diungkapkan,
baik yang shaheh, hasan maupun yang dhaif mengetengahkan
kewajiban istri taat kepada suami, dan peran suami dalam
memberikan ijin kepada istri jika hendak keluar rumah. Sehingga
tidak relevan mentakwilkan dan membelokkan makna yang
sebenarnya dari bentuk ketaatan istri pada suami demi untuk

230
mencari pembenaran pemikiran berdasarkan asas kesetaraan dan
keadilan.
Usman bin Affan mendengar Rasul bersabda,
ّ ‫ما خرجت إمرأة من بيت زوجها بغيرإذنه ّإال لعنتها‬
‫كل ش يء طلعت‬
ّ ‫عليه الشمس‬
‫حتى الحيتان فى البحر‬
Artinya: “Seorang istri keluar rumah tanpa seijin suaminya
melainkan akan dilaknat oleh seluruh yang tersinari matahari
sampai ikan-ikan di laut.”
FK3, Kami tidak menemukan perawi hadis ini dan kitab-
kitab mu’tabar juga tidak menyebutkannya. Dengan demikian
hadis ini maudhu’.
LBM PPL, al-Khubawi meriwayatkan hadis di atas dari Ibn
Abbas (Durratun Nashihin hal. 48), Adapun hadis ini banyak
dijelaskan oleh banyak hadis shaheh dan hasan dalam
pembahansan sebelumnya. Maka tidak dapat diklaim sebagai
maudhu’ disebabkan belum dijumpainya periwayatannya.
Ummul Mukminin, ‘Aisyah bertanya kepada Rasul,
ّ : ‫قلت‬. ‫ زوجها‬: ‫حقا على املرأة ؟ قال‬
‫فأي الناس‬ ّ ‫الناس أعظم‬ ّ ‫أي‬
ّ
ّ ‫أعظم‬
.‫ ّأمه‬: ‫حقا على الرجل ؟ قال‬
Artinya: “Siapakah manusia yang lebih besar haknya bagi
istrinya?” Rasul berkata, “Suaminya.” dan siapakah yang paling
besar haknya bagi seorang laki-laki? Rasul menjawab,“Ibunya.”

231
FK3, Hadis ini diriwayatkan oleh al-Hakim dari ‘Aisyah
secara marfu’. Dalam sanadnya terdapat Abu Uqbah yang hanya
memiliki guru yaitu Mus’ir. Sedangkan perawi yang lain adalah
perawi hadis shaheh. Kesimpulan kami hadis ini cenderung dha’if.
LBM PPL, Klaim hadis di atas dha’if adalah klaim sepihak.
Al-Mundzri mengatakan hadis diatas riwayat al-Hakim dan al-
Bazzar Untuk riwayat al-Bazzar menurut Al-Mundzri
menggunakan sanad hasan. Dengan demikian berdasar disiplin
ilmu Musthalahul Hadis, hadis riwayat al-Hakim dapat naik
kederajat hasan li ghairih.
Rasulullah bersabda,

‫ العبد‬: ‫ثالثة ال يقبل هللا لهم صالة وال ترفع لهم إلى السماء حسنة‬
ّ ‫الساخط عليها زوجها‬
‫حتى يرض ى و‬ ّ ‫سيده‬
ّ ‫حتى يرجع و املرأة‬ ّ ‫ألابق من‬
ّ ‫السكران‬
.‫حتى يصحو‬
Artinya: “Tiga golongan yang tidak diterima shalatnya
dan tidak diangkat amal baiknya ke langit, yaitu; budak yang
lari dari tuannya hingga kembali, wanita yang dimurkai
suaminya hingga suaminya ridha, dan pemabuk hingga ia
sadar”.
FK3, Hadis ini diriwayatkan oleh Ibn Khuzaimah dan Ibn
Hibban dengan dua sanad, dari al-Hasan mursal dan dari Qatadah
marfu’, namun kedua sanad tersebut dhaif. Sebagaimana
dikatakan al-Bayhaqi, Al-Munawi juga mengisyaratkan
kedhaifannya. Namun as-Suyuthi tidak mengomentarinya, jadi
kesimpulan kami hadis ini dhaif.

232
LBM PPL, al-Munawi mengutip pertama kali dari adz-
Dzahabi dan mengatakan sanad hadis tersebut shaheh. Dengan
demikian beliau sependapat dengan Ibn Hibban dan Ibn
Khuzaimah. Pendapat al-Bayhaqi bahwa Zubair merupakan
perawi satu-satunya mengisyaratkan kedhaifannya, namun dalam
ilmu Musthalahul Hadis riwayat Zubair disebut hadis gharib.
Hadis gharib jika memenuhi syarat shaheh menjadi hadis shaheh,
begitupun sebaliknya. Sehingga hadis ini tetap dalam status
shaheh.
Rasulullah bersabda:
ّ
‫ فقد حبط عملها‬. ‫ ما رأيت منك خيرا قط‬: ‫إذا قالت املرأة لزوجها‬
Artinya: Jika seorang istrii berkata kepada suaminya,
“Tidak pernah saya lihat kebaikanmu, maka seluruh amalnya
terhapus.”
Thalhah bin Ubaidillah mendengar, bahwa Rasul bersabda:
ّ ّ
‫ ما رأيت منك خيرا قط إال أيسها هللا تعاالى‬: ‫ّأيما امرأة قالت لزوجها‬
‫من رحمته يوم القايامة‬
Wanita yang berkata kepada suaminya“aku tidak pernah
melihat kebaikanmu sama sekali” melainkan Allah memutus
rahmatnya pada hari kiamat.”
Dalam kajian FK3 dihukumi hadis tersebut sebagai hadis
dhaif, seraya menguatkan pendapatnya untuk melihat komentar
para ulama tentang hukum hadis diatas dalam kitab Jami’ ash-
Shaghir.

233
Menurut FK3 ditinjau dari sisi matan, bahwa rasa saling
memahami harus muncul dari kedua belah pihak. Demikian juga
rasa syukur dan menghargai pasangan, suami wajib mensyukuri
istri dan begitu sebaliknya, Rasulullah melarang suami membenci
istrinya. Kami tidak menemukan perawi hadis kedua tersebut dan
tidak disebut dalam kitab-kitab hadis yang mu’tabar, kesimpulan
kami hadis kedua adalah maudhu’
LBM PPL, menganggap mursal sebagai hadis dha’if adalah
pendapat sebagian ulama, sedangkan menurut Abu Hanifah dan
Imam Malik, hadis mursal yang berasal dari orang yang tsiqah
dapat dijadikan hujjah. Memahami hadis seharusnya sesuai
dengan kontek pembicaraan, hadis-hadis di atas adalah berkaitan
dengan persoalan ketaatan istri kepada suamninya, maka apa yang
disampaikan oleh Imam Nawawi sudah benar.
Rasulullah bersabda:
ّ
‫ّأيما امرأة يألت زوجها الطالق من غير ما بأس فحرام عليها رائحة‬
‫الجن‬
Artinya: “Wanita yang meminta talak suaminya tanpa
alasan yang benar, maka haram baginya bau surga.”
FK3, Hadis ini sejalan dengan hadis shaheh yang lain yang
mengatakan bahwa perbuatan yang dihalalkan namun dibenci
oleh Allah adalah cerai. Cerai adalah talak dari pihak suami.
Demikian juga istri dapat mencerai suaminya yang dinamakan
khulu’, namun Allah juga tidak menyukainya.

234
LBM PPL, al-Munawi menjelaskan bahwa maksud hadis di
atas adalah sebagai dalil hukum makruh meminta talak (khulu’)
tanpa alasan yang jelas. Kalimat “haram baginya bau surga”
bukannya masuk neraka atau tidak mencium bau surga sama
sekali, Cuma ia tidak mencium bau surga sebagaimana para
wanita yang bertaqwa. Menurut Ibn Hajar kalimat “tanpa alas an
yang jelasa” jika tidak ditemukan alasan yang tepat dan benar bagi
istri.
Abu Bakar Siddiq mendengar Rasul bersabda
ّ
‫ طلفنى جاءت بوم القيامة ووجهها ال لحم فيه و‬: ‫إذ قالت امرأة لزوجها‬
ّ ‫جهنم و إن كانت تصوم‬
‫النهار و‬ ّ ‫لسانها خارج من قفاها و تهوى إلى قهر‬

‫تقوم الليل دائما‬


Artinya: “Apabila seorang wanita berkata kepada
suaminya, Ceraikanlah aku!, Maka ia datang pada hari kiamat
muka tak berdaging, lidahnya menjulur, dan terjatuh ke dasar
neraka, sekalipun berpuasa dan selalu sholat malam”
FK3, kami tidak menemukan perawi hadis ini dan kitab-
kitab mu’tabar juga tidak menyebutkannya. Dengan demikian
hadis ini maudhu’. Dibolehkannya suami mentalak istri dan
bolehnya istri mentalak suami -meminta cerai- (khulu’)
merupakan pintu darurat yang menjadi solusi jika perkawinan
menimbulkan penderitaan bagi salah satu kedua belah pihak.
Pada masa Nabi ada wanita mengadukan rumah tangganya
kepada Nabi yang mereka tidak cocok atas pasangannya. Demi
kebahagian keduanya Nabi mengijinkan mereka berpisah.

235
LBM PPL, Klaim yang tidak benar memaudhu’kan hadis
hanya berdasarkan karena periwayatan yang tidak ditemukan.
Yang berhak melakukan penilain hadis adalah para pakar hadis
yang telah diakui keilmuannya, seperti Imam Ahmad, Imam
Bukhari, Imam Nasai, Iman Abi Hatim dal lain-lain. Apalagi
matan hadis yang dimaudhu’kan selaras dengan hadis-hadis
shaheh. Sedangkan dari sisi matan, ancaman yang terdapat dihadis
tersebut dapat difahami bahwa hukum khulu’ adalah haram.
Bahkan al-Mundzir bahwa hukum asal khulu’ adalah haram baik
ada pertengkaran ataupun tidak. Islam bersifat seimbang dalam
hukum bagi suami dan istri dalam hal perkawinan, masing-masig
diberikan solusi, baik berupa talak bagi pihak suami ataupun
faskh dan khulu’ bagi pihak istri. Sebagaimana pada dasarnya talak
maupun khulu’ berhukum asal mubah, namun para ulama
mengatakan bahwa keduanya bisa menjadi haram, wajib, makruh
dan sunah tergantung dari sebab ya.
Rasulullah bersabda:
ّ
‫إن هللا ال ينظر إلى امرأة ال تشكر زوجها‬
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak memandang wanita
yang tidak bersyukur pada suaminya”

‫ال ينظر هللا تبارك و تعالى إلى امرأة ال تشكر لزوجها و هي ال تستغنى‬
‫عنه‬
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak memandang wanita
yang tidak bersyukur pada suaminya, sedangkan dia tidak dapat
mencukupi suaminya.”

236
FK3, Dalam kajiannya FK3 mengatakan bahwa hadis ini
shaheh berdasarkan pendapat al-Hikam dan bahkan adz-Dzahabi
menyepakatinya. Adapun dalam matannya FK3 berpendapat,
saling mensyukuri antara suami dan istri merupakan pondasi
dalam rumah tangga yang sakinah, karena dengan mensyukuri
akan mendatangkan kebahagiaan dan kebaikan bagi keduanya.
Karena Islam mengajarkan agar setiap hamba mensyukuri nikmat
Allah agar Allah menambahkan nikmat-Nya.
LBM PPL, Penjelasan di atas walaupun kelihatan masih
berkaitan namun sebenarnya sudah melenceng dari makna hadis
yang disebutkan oleh Imam Nawawi, sekaligus sudah tidak selaras
dengan konteks kajian bab ini. Sebenarnya hadis di atas
memberikan pengajaran agar istri selalu bersyukur atas apa yang
diberikan oleh suaminya dan dilarang kufur nikmat atas
pemberian suaminya. Memang Islam menganjurkan setiap
Muslim bersyukur atas anugrah yang Allah berikan, namun jika
ditarik ke ranah keluarga, maka anjuran istri bersyukur kepada
suami diprioritaskan. Ini karena beberapa alasan. Pertama,
kecenderungan istri mengingkari pemberian suami merupakan hal
yang dominan terjadi. Kedua, bersyukur kepada suami sama juga
mensyukuri nikmat kepada Allah.
Rasulullah dalam Sabdanya yang lain:
ّ ‫لو‬
‫أن للمرأة من املال مثل ملك سليمان بن داود عليهما السالم و أكله‬
ّ ّ ‫زوجها‬
‫ثم قالت له أين مالى إال أحبط هللا عملها أربعين سنة‬

237
Artinya: “Andaikan seorang wanita memiliki harta
kekayaan seperti Nabi Sulaiman dan suaminya memakan harta
tersebut, lalu ia berkata kepada suaminya, “dimana hartaku?,
Allah akan melebur amalnya selama empat puluh tahun.”
Usman bin affan mendengar Rasul berkata:
ّ ‫لو‬
ّ ‫أن املرأة ملكت الدنيا بحذافيرها و أنفقت الجميع على زوجها‬
‫ثم‬
ّ ّ
‫منت عليه بعد حين إال أحبط هللا عملها و حشرها مع قارون‬
Artinya: “Andaikan seorang wanita memiliki dunia dan
membelanjakannya semua harta kekayaan untuk suaminya,
kemudian mengungkit kepada suaminya, Allah menghapus
amalnya dan disatukan dengan Qorun.”
FK3, kami tidak menemukan perawi hadis ini dan kitab-
kitab mu’tabar juga tidak menyebutkannya. Dengan demikian
kedua hadis di atas maudhu’. Lebih-lebih hadis yang pertama
tanda-tanda kemaudhuannya begitu jelas, yaitu memberikan
sanksi yang berat kepada istri dari suatu kesalahan yang kecil.
LBM PPL, dapat dilihat at-Thabrasi meriwayatkan kedua
hadis tersebut dalam Makarim al-Akhlak hal.76 dan kedua
riwayat secara marfu’ oleh Salam al-Farisi. Jika dicermati kedua
hadis ini kemungkinan ancaman ditujukan kepada istri yang
congkak kepada suami dan tidak mau mengerti keadaan suami.
Atau istri yang sengaja menyakiti suami. Hingga enggan minta
maaf kepada suami atau suami tidak meridhainya.
Rasulullah bersabda:

238
‫ّأول ما نسأل املرأة يوم القيامة عن صالتها و عن بعلها‬
Artinya: “Pertama-tama yang ditanyakan kepada wanita
adalah perihal suaminya dan sholatnya”
FK3, Syaikh Zaglul Muhaqqiq (peneliti) Musnad ad-
Daylami, mengatakan bahwa sanad hadis ini adalah dha’if.
LBM PPL, Menganggap mursal sebagai hadis daif adalah
pendapat sebagian ulama. Menurut Abu Hanifah dan Imam
Malik, hadis mursal jika datang dari orang yang tsiqah shaheh dan
bisa dipakai hujjah.
Rasulullah juga bersabda:

‫ثم عن نسائه و ما ملكت يمينه إن‬ ّ ‫الرجل على صالته‬ ّ


ّ ‫ألول ما يحاسب‬
‫ و ّأول ما تحاسب‬, ‫أحسن عشرته معهم و أحسن إليهم أحسن هللا إليه‬
ّ ‫ثم عن‬
‫حق زوجها‬ ّ ‫املرأة على صالتها‬

Artinya: “Pertama-tama yang ditanyakan kepada suami


adalah perihal sholatnya dan istrinya, budak yang dimiliki, jika
mempergaulinya dengan baik maka Allah berbuat baik
kepadanya. Dan perkara yang pertamakali diteliti bagi istri
adalaha sholatnya dan hak suaminya”
FK3, Imam as-Samarqandhi menyebutkan hadis ini dalam
kitab Uqubat Ahl al-Kaba’ir secara marfu’ namun tidak
menyebutkan sanadnya. Kesimpulan kami hadis ini maudhu’.
LBM PPL, Klaim yang tidak benar memaudhu’kan hadis
hanya berdasarkan karena periwayatan yang tidak ditemukan.
Yang berhak melakukan penilain hadis adalah para pakar hadis

239
yang telah diakui keilmuannya, seperti Imam Ahmad, Imam
Bukhari, Imam Nasai, Iman Abi Hatim dal lain-lain. Apalagi
matan hadis yang dimaudhu’kan selaras dengan hadis-hadis
shaheh. Sedangkan dari sisi matan, yang pertama kali dihisab di
hari kiamat adalah shalatnya.
Rasullah bersabda kepada seorang wanita,
ّ
‫فأين أنت منه قالت ما ألوه أى ما أقصر فى خدمته إال ما عجزت عنه‬
ّ
ّ ‫فإنه‬
‫جنتك و نارك‬ ‫قال فكيف أنت له‬
Artinya: “Bagaimana sikapmu terhadapa suamimu?,
Jawabnya, “Saya tidak menyulitkan dan tidak sembarangan
dalam berkhidmat kepadanya, kecuali jika saya tidak mampu
melakukannya, rasul berkata, “Bagaimana kedudukanmu
kepadanya, maka ia adalah surga dan nerakamu.”
FK3, al-Hakim menghukumi hadis ini shaheh dan adz-
Dzahabi menyepakatinya. Rumah tangga akan menjadi taman
surga jika di isi dengan rasa mawaddah dan rahmah. Mawaddah
adalah cinta kasih dan rahmah adalah kasih sayang. Keduanya
memunculkan sakinah. Dengan demikian hadis tersebut tidak
dimaksudkan bahwa surga dan neraka istri mengikuti suaminya.
LBM PPL, Justru apa yang diungkapkan adalah bukti
bahwa dakwah para wali songo dan ulama-ulama nusantara
sangat bijaksana, menyelipkan syariat ditengah-tengah budaya dan
tradisi masyarakat. Istilah, “Surga nunut neraka katut”
merupakan bukti keberhasilan dakwah, menyelipkan syariat
ditengah-tengah budaya Nusantara. Maksud suami bisa menjadi

240
‫‪surga dan neraka bagi istri, menurut al-Munawi bahwa dengan‬‬
‫‪keridhoan suami menjadi sebab masuknya istri ke surga, dan‬‬
‫‪kemurkaan suami menjadi sebab masuknya istri ke neraka. Hal ini‬‬
‫‪bukan berarti mentiadakan ketaatan kepada Allah, Rasulnya dan‬‬
‫‪ulil amr.‬‬
‫‪Rasulullah bersabda,‬‬
‫الجنة و أربعة فى ّ‬
‫النار و ذكر من ألاربعين ّ‬
‫اللواتى فى‬ ‫أربعة من النساء فى ّ‬
‫ّ‬
‫الجنة امرأة عفيفة طائعة هلل و لزوجها ولودا صابرة قانعة باليسير مع‬
‫زوجها ذات حياء و إن غاب عنها زوجها حفظت نفسها و ماله و إن‬
‫حضر أمسكت لسانها عنه ‪.‬إمرأة مات زوجها و لها أوالد صغار‬
‫فحبست نفسها على أوالدها و ربتهم وأحسنت إليهم و لم ّ‬
‫تتزوج خشية‬
‫بذية اللسان‬ ‫اللواتى فى ّ‬
‫النار فامرأة ّ‬ ‫ثم قال ‪ :‬و ّأما ألاربعة ّ‬
‫يضيعوا ‪ّ .‬‬
‫أن ّ‬

‫على زوجها إن غاب عنها زوجها لم تصن نفسها و إن حضر أذته‬


‫ّ‬
‫بلسانها وامرأة تكلف زوجها ما ال يطيق ‪ ,‬وامرأة التستر نفسها من‬
‫ّ ّ‬ ‫الرجال و تخرج من بيتها ّ‬
‫ّ‬
‫هم إال ألاكل و الشرب‬ ‫متبرجة ‪,‬وامرأة ليس لها‬
‫و ّ‬
‫النوم و ايس لها رغبة فى صالة و ال فى طاعة هللا و ال فى طاعة رسوله‬
‫وال فى طاعة زوجها ‪ ,‬فاملرأة إذا كانت بهذه الصفات كانت ملعونة من‬
‫ّ ّ‬
‫النار إال أن تتوب‬ ‫أهل‬
‫‪Artinya: “Ada empat wanita di surga dan empat wanita di‬‬
‫‪neraka. Adapun yang empat wanita di surga adalah, wanita‬‬
‫‪yang menjaga dirinya, taat kepada Allah dan suaminya, banyak‬‬

‫‪241‬‬
anaknya, dan sabar dalam menerima apa yang ada walaupun
sedikit bersama suaminya, dan pemalu. Jika suaminya pergi ia
menjada diri dan harta suaminya, jika suaminya dirumah ia
menjaga lisannya. Di antara empat wanita itu adalah wanita
yang ditinggal mati suaminya memiliki anak-anak kecil dan ia
menjaga dirinya dan medidik nak-anaknya. Berbuat baik apada
mereka dan tidak menikah lagi karena takut menelantarkan
mereka.
FK3, Hadis ini disebut oleh adz-Dzahabi dalam al-Kaba’ir
dan al-Haytamy dalam az-zawajir tanpa menyebutkan
perawinya. Kesimpulan kami hadis ini maudhu’
LBM PPL, Dalam beberapa riwayat dapat di jumpai
periwayatan yang semakna dengan hadis di atas. Hadis riwayat ad-
Daylami no. 2878. “Sebaik-baik wanita adalah yang dapat
memelihara dirinya dan bergairah terhadap suaminya”. Al-
Bayhaqi, Sunan al-Bayhaqi, juz, VII hal. 82. Abu Dawud dan
Abu Hurairah, hadis no. 1664, an-Nasa’I dan Ibn Abbas, hadis
no. 3229. Dan masaih banyak lagi yang secara makna hampir
sama. Buakn Islam melarang seseorang untuk menikah lagi kedua
kalinya, namun menikah dalam kondisi tertentu memerlukan
pertimbangan yang matang. Apalagi jika wanita tersebut memiliki
anak-anak yang perlu perhatian. Hingga ia lebih mementingkan
anak-anaknya daripada memenuhi hasratnya. Maka layak wanita
seperti ini mendapat derajat yang tinggi.
Sa’ad Ibn Abi Waqqash mendengar Nabi Muhammad
bersabda,

242
ّ
ّ ‫إن املرأة إذا لم‬
‫تفرح زوجها فى ضيقه لعنها هللا تعالى و غضب هللا تعالى‬
‫و لعنتها املالئكة أجمعين‬
Artinya: “Wanita yang enggan menghilangkan kesempitan
suaminya maka Allah murka kepadanya dan malaikat
melaknatnya.”
FK3, Kami tidak menemukan orang yang meriwayatkan
hadis ini dan tapa ragu lagi kesimpulan kami hadis ini maudhu’
LBM PPL, at-Thabrasi meriwayatkan sebuah hadis dalam
kitab Makarim al-Akhlak, hal. 82 dengan redaksi, artinya, Siapa
pun wanita yang tidak bersikap asih kepada suaminya dan
memaksa melakukan yang tidak kuat dilakukan dan tidak
mampu, Allah akan menerima amal baik dan akan menghadap
Allah dengan keadaan Allah memurkainya”.
Salman al-Farisi mendengar Rasul bersabda,
ّ ‫ما نظرت إمرأة إلى غير زوجها بشهوة ّإال‬
‫سمرت عيناها يوم القيامة‬
Artinya: “Tidaklah seorang wanita memandang laki-laki
lain yang bukan suaminya dengan syahwat, melaikan kedua
matanya akan di paku pada hari kiamat.”
Abu Ayub al-Anshori mendengar Rasul bersabda,
ّ ‫خلق هللا فى سماء الدنيا سبعين ألف ملك يلعنون‬
‫كل امرأة يخون‬
‫زوجها فى ماله و كانت يوم القيامة مع السحرة و الكهنة وإن أفنت‬
‫عمرها فى خدمة زوجها‬

243
Artinya: “Allah menciptakan tujuh puluh ribu malaikat di
langit dunia, mengutuk setiap wanita yang menghianati harta
suaminya. Dan mereka pada hari kiamat berkumpul bersama
tukang sihir, peramal, sekalipun ia menghabiskan umurnya
untuk berkhidmat pada suaminya.”
Mu’awiyah telah mendengar Rasul bersabda,
ّ
‫ّأيما امرأة أخذت من مال زوجها بغير إذنه إال كان عليها وزر سبعين‬
‫ألف سارق‬
Artinya: “Wanita yang mengambil harta suaminya tanpa
seijinnya, ia akan memikul dosa tujuh puluh dosa pencuri.”
FK3, Kami tidak menemukan perawi hadis ini dan kitab-
kitab mu’tabar juga tidak menyebutkannya. Dengan demikian
kedua hadis di atas maudhu’.
LBM PPL, Ketiga hadis di atas memang secara obyektif
kami juga belum menemukannya, tapi kami tidak sepakat kalau
dikatakan sebagai hadis maudhu’. Masih banyak hadis-hadis yang
belum terjangkau oleh kita. Namun secara makna hadis tersebut
dapat dijumpai dalam beberapa periwayatan.
Berkaitan dengan hal ini Rasul bersabda,
ّ ّ ‫أدمي‬
ّ ‫كل‬ّ ‫حرم هللا على‬ّ
, ‫الجنة أن يدخلها قلبى غير أنى أنظر عن يميى‬
ّ ‫فإذا امرأة تبادرنى إلى باب‬
‫الجنة فأقول مالهذه تبادرنى فيقال لى يا‬
‫محمد هذه امرأة كانت حسناء جميلة و كان عند ها يتامى لها فصبرت‬ّ
ّ
‫أمرهن الذى بلغ فشكر هللا لها ذلك‬ ّ ‫عليهن‬
‫حتى بلغ أمرها‬ ّ

244
Artinya: “Semua manusia diharamkan masuk surga
sebelum aku, melaikan aku melihat sebelah kananku, tiba-tiba
seorang wanita mendahuluiku ke pintu surga. Kataku,“Apa
kelebihannya dapat mendahuluiku?Maka dikatakan kepadaku,
Hai Muhammad inilah wanita yang cantik lagi baik. Dia
mempunyai anak-anak yatim, ia sangat sabar sehingga hidup
anak-anak yatim itu dengan sempurna. Akhirnya Allah
memulyakannya karena perbuatannya itu”.
FK3, Sebagaimana yang dikatan oleh al-Iraqi dalam kitab
al-Mughni bahwa hadis ini sanadnya dhaif.
LBM PPL, Hadis ini banyak diriwayatkan dengan berbagai
redaksi dalam beberapa kitab, diantaranya, al-Mundzir, at-
Targhib wa at-Tahdzib hadis no. 3839. Al-Haytami, Majma’ al-
Zawaid juz VIII hal. 162, Abi Ya’la, Musnad Abi Ya’la hadis no.
6651 dan lain-lain.
Diantara salah satu wanita yang masuk neraka adalah
wanita yang lancang mulutnya terhadap suaminya, jika suaminya
pergi ia tidak menjaga dirinya jika suaminya di rumah ia menyakiti
hatinya. Maka Umar berkata bahwa Nabi telah bersabda,
ّ ‫ّأيما امرأة رفعت صوتها على زوجها ّإال لعنها هللا‬
‫كل شيئ طلعت عليه‬
‫الشمس‬
Artinya: “Wanita yang meninggikan suaranya dihadapan
suaminya, maka apa pun yang terkana sinar matahari
melaknatnya.”

245
FK3, Kami tidak menemukan perawi hadis ini dan kitab-
kitab mu’tabar juga tidak menyebutkannya. Dengan demikian
kedua hadis di atas maudhu’.
LBM PPL, Dapat dijumpai hadis semakna dengan hadis di
atas seperti yang diriwayatkan oleh al-Haytamy dalam Musnad al-
Haris, hadis,no. 313 dan al-Kubawai dalam kitab Durratun
Nashihin hal. 47.
Wanita lainnya yang masuk neraka adalah wanita yang
membebani suaminya di luar batas kemampuannya. Abu Dzar
mendengar Rasul bersabda,

‫ثم أدخلت علي زوجها‬ ّ ‫إن امرأة عبدت عبادة أهل لبسماوات و ألارض‬ ّ
ّ ّ
‫الغم من جهة النفقة إال جاءت يوم القيامة و يدها مغلولة إلى عنقها‬
ّ ّ ‫ورجلها‬
‫مقيدة وسترها مهتوك ووجهها كالح وتعلق بها مالئكة غالظ‬
ّ
‫شداد يهوون بها فى النر‬
Artinya: “Jika wanita beribadah seperti ibadahnya
penduduk langit dan bumi, lalu ia menyusahkan suaminya dari
sisi nafkah, melainkan ia datang hari kiamat tangannya
terbelenggu ke lehernya, kakinya di ikat, mukanya hancur, dan
digantungi malaikat yang kasar, mereka melemparkannya ke
neraka.”
FK3, Kami tidak menemukan perawi hadis ini dan kitab-
kitab mu’tabar juga tidak menyebutkannya. Dengan demikian
kedua hadis di atas maudhu’.

246
LBM PPL, Tidak layak mengatakan hadis ini maudhu’
dengan alasan yang tidak akademis yaitu, “kami tidak
menemukan periwayatannya”. Dapat dijumpai hadis semakna
dengan hadis di atas seperti yang diriwayatkan oleh al-Thabrasi
dan dan al-Kubawai dalam kitab Durratun Nashihin hal. 48.
Yang ketiga, wanita yang tidak menutupi dirinya dari laki-
laki lain dan keluar rumah dengan bersolek dan menampakkan
kecantikannya kepada laki-laki lain. Salman Al-farisi mendengar
Rasul bersabda,
ّ ‫وتطيبت وخرجت من بيت زوجها بغير إذنه‬
‫فإنها‬ ّ ‫تزينت‬ ّ ‫ّأيما امرأة‬
ّ ‫تمش ى فى سخط هللا وغضبه‬
‫حتى ترجع‬
Artinya: “Wanita yang bersolek dan memakai parfum lalu
keluar rumah tanpa seijin suaminya, ia telah mendapat murka
Allah sampai ia pulang.”
FK3, dari pendapat- pendapat yang ada, kami sepakat
dengan al-Munawi bahwa hadis ini dhaif. as-Suyuthi telah
menghukumi hadis ini shahih dan Imam at-Turmudzi
menghukuminya hasan.
BM PPL, al-Munawi tidak menyatakan hadis ini maudhu’
hanya dikatakan bahwa Ibrahim bin Hudbah dituduh berdusta
dan tidak ada ketegasan hadis ini maudhu’. Dan dalam pengantar
diawal buku ini bahwa indikasi dusta pada seorang perawi belum
dapat dikatakan hukum maudhu’nya suatu hadis. Menurut al-
Munawi, hadis ini merupakan larangan bagi para wanita untuk
menampakkan tubuhnya dengan membuka penutup auratnya di

247
depan laki-laki lain. Sehingga mendatang syahwat yang
mengakibatkan perbuatan zina.
Rasulullah juga bersabda,
ّ
‫ّأيما امرأة نزعت ثيابها فى غير بيتها أى تكشفت لألجانب خرق هللا‬
ّ
(‫عزوجل عنها ستره) رواه إلامام أحمد والطبرانى والحاكم والبيهقى‬
Artinya: “Wanita yang melepas pakaiannya di luar
rumah, agar dilihat para lelaki, maka Allah akan menyobek
tubuhnya.”. Wanita-wanita yang memiliki sifat-sifat seperti di atas
adalah wanita yang dilaknat dan menjadi penghuni surga, kecuali
ia bertaubat.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan al-Hakim
disebutkan, ada sorang wanita berkata kepada Nabi. “Anak
paman saya akan menikahi saya, maka berilah aku nasehat
mengenai hak suami yang harus dipenuhi oleh istrinya. Maka
jika hak-hak itu aku mampu menanggungnmya maka aku akan
menikah.”
Rasulullah bersabda:
ّ ‫حقه أن لو سال منخراه دما وقيحا فلحسته بلسانها ما ّأدت‬
‫حقه‬ ّ ‫من‬

‫لو كان ينبغى لبشر أن يسجد لبشر ألمرت املرأة أن تسجد لزوجها‬
Artinya: “Diantara haknya adalah jika hidung suami
mengalir darah atau nanah lalu istrinya menjilatnya, ia belum
memenuhi haknya. Kalau manusia boleh bersujud kepada
manusia, niscaya aku perintahkan istri bersujud pada suaminya.”

248
FK3, Hadis ini dari sisi periwayatan al-Hakim dihukumi
hadis shaheh, Namun adz-Dzahabi mengatakan hadis ini dalam
sanadnya terdapat Sulayman bin Dawud yang berstatus dhaif.
Kesimpulan kami hadis ini dhaif.
LBM PPL, Klaim yang tidak benar memaudhu’kan hadis
hanya berdasarkan karena periwayatan yang tidak ditemukan.
Yang berhak melakukan penilain hadis adalah para pakar hadis
yang telah diakui keilmuannya, seperti Imam Ahmad, Imam
Bukhari, Imam Nasai, Iman Abi Hatim dal lain-lain. Apalagi
matan hadis yang dimaudhu’kan selaras dengan hadis-hadis
shaheh.
Aisyah mendengar seorang wanita bertanya kepada Nabi,
“Wahai Rasullah saya seorang gadis yang telah di pinang, tetapi
saya tidak ingin menikah. Maka apa hak suami atas istrinya?.”
Rasul menjawab, “Jika terdapat nanah di sekujur badan
suami, lalu istri menjilatinya, maka belum dapat memenuhi rasa
trimakasihnya kepada suaminya.” Kata gadis tersebut, “Apakah
saya tidak perlu menikah? Nabi menjawab, “Kawinlah kamu,
karena kawin itu lebih baik.”
FK3, Dari segi sanad hadis ini dinilai shaheh, namun dari
sisi matannya hadis ini sangat bertentangan dengan hak azazi
manusia dan norma-norma kesehatan. Hadis ini juga tidak
mencerminkan hubungan suami istri yang dibingkai dengan rasa
mawaddah dan rahmah.
LBM PPL, Kesalahan dalam memahami redaksi dan
gramatika bahasa arab mengakibatkan kesalahan dalam

249
pemahaman dan bahkan menyesatkan. Jelas dalam hadis diatas
atau hadis-hadis sebelumnya menggunakan kata “lau” yang
fungsinya mengandaikan sesuatu yang tidak terjadi pada masa
lampau. Seperti kalimat, “Andai saja kemarin saya belajar serius
nilai saya bisa sepuluh” pada kenyataannya kemarin tidak belajar
serius dan nyatanya hari ini tidak ada nilai sepuluh. Jadi sudah
jelas maksud hadis di atas tidak perlu lagi membawa-bawa dalil-
dalil, apalagi dalil HAM. Dan kalimat di atas juga memberikan
suatu perumpamaan betapa besarnya hak suami.
At-Thabrani meriwayatkan dengan sanad yang baik,
“Bahwasannya wanita itu tidak memenuhi hak Allah, sebelum
memenuhi hak suaminya. Seandainya suami meminta haknya
sekalipun istri diatas punggung onta, maka ia tidak boleh
menolaknya.”
FK3, Hadis ini dan hadis-hadis sejenis lainnya difahami
oleh banyak ulama sebagai bentuk ketaatan istri secara mutlak
kepada suami dalam hal pemenuhan kebutuhan biologis suami.
Penukilah hadis-hadis ini tidak obyektif ketika ada hadis-hadis
yang lain yang semakna namun tidak mengisyaratkan pada
pemenuhan kebutuhan biologis suami. Dalam beberapa redaksi
hadis, bahwa istri harus melayani suami sekalipun sedang berada
di atas punggung onta. Jika redaksi ini yang dijadikan dasar,
totalitas ketaan istri kepada suami untuk memenuhi kebutuhan
biologis tidak muncul dalam kitab-kitab fikih.
LBM PPL, Sudah sering terulang premis dan kesimpulan
yang salah karena didasari kepentingan dan gagal faham tentang

250
hadis-hadis tersebut. Sebenarnya redaksi yang benar dalam
terjemahan hadis Imam Ahmad di atas adalah, “Apabila seorang
suami mengajak istrinya untuk memenuhi kebutuhan biologisnya,
maka istri harus mendatanginya (memenuhi ajakannya)
sekalipun ia sedang di dapur”. Dalam hadis di atas ada yang
menggunakan redaksi “falta’tihi” (datangilah suaminya) dan
“falya’tiha” (datangilah istrinya) tidak membawa perbedaan yang
berarti secara hukum fikih seperti yang di kalim FK3. Maka
pernyataan FK3 seolah-olah tidak menghargai para fuqaha.
Ibnu Abbas berkata, “Ada seorang wanita dari desa
khats’am datang kepada Rasulullah dan berkata,”Saya adalah
wanita yang tidak memiliki suami, sedangkan saya akan
menikah, lalu apa hak suami atas istrinya?
Rasulullah menjawab, bahwa diantara hak-hak suami
adalah:
1. Jika suami menghendakinya, sedangkan istri berada di atas
punggung onta maka ia tidak boleh menolaknya
2. Istri dilarang memberikan sesuatu dari rumag suaminya tanpa
seijinnya.Jika ia memberikan sesuatu maka ia berdosa dan
suami mendapat pahala.
3. Istri dilarang berpuasa sunah jika suami tak mengijinkannya,
jika ia puasa juga maka tiada pahala kecuali lapar dan dahaga.
4. Jika istri keluar rumah tanpa seijin suami maka ia akan dilaknat
malaikat sampai ia kembali pulang.
FK3, dari beberapa kajian yang disampaikan, kesimpulan
kami bahwa hadis di atas adalah dhaif.

251
LBM PPL, Imam Ghazali menyebutkannya dalam Kitab
Ihya’ juz II, hal.56-57. Az-Zabidi mengutip al-Iraqi bahawa hadis
ini sebagian teksnya diriwayatkan oleh al- Bayhaqi dan secara
lengkap melalui jalur Umar, hanya saja dari jalur ini ada sisi
kelemahannya. Menurut al-Haytami hadis ini diriwayatkan oleh
al-Bazzar yang di dalamnya ada seorang perawi yang lemah yaitu
Husain bin Qays namun pendapat Hushain bin Numair dia
adalah tsiqah. Jadi dari beberapa jalur periwayatan yang ada hadis
ini tidak dapat diklaim sebagai hadis dhaif.
Ali Ibn Abi Thalib datang kepada Nabi bersama Fatimah,
ternyata beliau sedang menangis tersedu-sedu. Maka Ali bertanya
kepadanya,”Ayah dan ibuku menjadi tebusanmu ya Rasullah,
Apa yang membuatmu menangis?. Rasulullah menjawab,“Wahai
Ali, ketika aku mi’raj, aku melihat banyak wanita dari umatku
di siksa di neraka jahannam dengan bermacam-macam siksaan.
“Saya menangis karena melihat dasyatnya siksaan mereka.”
Kemudian Nabi menjelaskan secara jelas dengan sabdanya:
1. Aku melihat ada wanita yang di siksa dengan digantung
melalui rambutnya dan kepalanya mendidih.
2. Aku melihat ada wanita yang di siksa dengan digantung
lidahnya, dan air panas mendidh dituangkan ke mulutnya.
3. Aku melihat ada wanita yang di siksa kedua kakinya sampai
payudaranya, dan kedua tangannya diikta pada kepalanya, lalu
Allah menguasakan ular-ular dan kala jengking untuk
memangsanya.

252
4. Aku melihat ada wanita yang di siksa digantung dengan
payudaranya
5. Aku melihat ada wanita kepalanya seperti babi, dan tubuhnya
seperti keledai, dan disiksa berkali-kali.
6. Aku melihat ada wanita yang seperti anjing, dan api masuk
lewat mulutnya dan keluar dari duburnya, lalu malaikat
memukulnya dari palu-palu api.
Fatimah berdiri seraya berkata, “Wahai kekasihku,
kesenangan dan kesejukan pandanganku, Apakah yang diperbuat
wanita-wanita itu sehingga mengalami siksaan yang berat?”
Rasullah bersabda, “Wahai putriku, Ada pun wanita yang
digantung dengan rambutnya, karena ia tidak menutup rambut
kepalanya dari laki-laki lain. Sedangkan wanita yang digantung
dengan lidahnya karena lisannya selalu menyakiti hati
suaminya. Adapun wanita yang digantung dengan puting
payudaranya karena ia mengajak tidur laki-laki lain. Adapun
wanita yang kedua kakinya diikat sampai payudaranya dan
tangannya sampai ubun-ubunnya lalu di pantik ular dan
kalajengking karena tidak mandi junub, mandi haidh dan
mengabaikan sholat. Adapun wanita yang kepalanya seperti babi
dan tubuhnya seperti keledai karena ia suka mengadu domba dan
dusta. Sedangkan wanita yang kepalanya mirip anjing dan api
masuk dari mulutnya dan tembuh sampai duburnya karena ia
mengungkit-ungkit pemberian dan pendengki. Wahai putriku
kecelakaan besarlah bagi wanita yang durhaka kepada suaminya.

253
FK3, Dari beberapa pemaparan yang ditulisnya FK3
menyimpulkan, Dengan demikian hadis ini tidak dapat dijadikan
pegangan karena para ahli hadis sepakat menolak penggunaan
hadis dhaif munkar dan semua hadis yang termasuk kelompok
dha’if jiddan (sangat lemah)
LBM PPL, al-Haytami menyebukan hadis ini dalam kitab
az-Zawajir bukan tanpa dasar. Jadi hadis di atas belum sampai
derajat dha’if jiddan, dengan menyodorkan periwayatan yang
lainnya. Dan jika dikaji mendalam, konteks hadis di atas disebut
oleh Imam Nawawi dalam kajian “kewajiban istri kepada suami”
sehingga tidak perlu lagi mengada-ada dengan mengatakan adanya
diskriminasi terhadap kaum perempuan.
Kedatangan Nabi dan wasiatnya terhadap Fatimah
Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa pada suatu hari
Rasulullah datang ke rumah Fatimah, Nabi melihat Fatimah
sedang menumbuk gandum sambil menangis.
Rasul pun bertanya padanya, “Kenapa kamu menangis
Fatimah? Semoga Allah tidak menangiskan matamu.” Jawab
Fatimah, “Wahai ayahku, yang membuatku menangis adalah
gilingan gandum ini dan kesibukan pekerjaan rumah”
Rasullah menghampirinya dan duduk, lalu Fatimah
berkata,”Wahai ayahku, dari kumulyaanmu semoga engkau
berbicara kepada Ali untuk membelikan jariyah kepadaku agar
jariyah dapat membantu menggiling gandum dan mengerjakan
pekerjaan rumah.”

254
Setelah mendengarkan Fatimah, abi menghampirinya lalu
mengambil sedikit gandum dengan tangannya yang mulia sambil
meletakkan tangannya pada gilingan dan membaca
“Bismillahirrahmannirrahiim”. Seketika itu gilingan
berputar sendiri atas ijin Allah. Lalu beliau mengambil gandum
yang telah tergiling dengan tangannya, sedangkan gilingan
gandum terus berputar sambil membaca tasbih dengan
bermacam-macam bahasa sampai selesai menggiling.
Kemudian Nabi berkata kepada gilingan, “Berhentilah
dengan seijin Allah.” Gilingan itu pun berhenti seketika dan
berkata dengan ijin Allah menggunakan bahasa Arab yang fasih,
“Wahai Rasullah, demi Dzat yang mengutusmu menjadi Nabi
dan Rasul pembawa kebenaran, andaikan engkau menyuruhku
menggiling di daratan timur dan barat, aku akan menggiling
seluruhnya. Dan aku telah mendengar Allah telah berfirman.
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah
manusia dan batu, penjaganya para malaikat yang ganas, keras
tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkannya,
dan selalu melaksanakan apa yang diperintahkannya.” (QS.At-
Tahrim: 6) Jadi aku takut kalau aku termasuk salah satu batu
yang masuk neraka.”
Rasullah bersabda,“Bergembiralah kamu, karena kamu
termasuk batu rumahnya Fatimah di surga.” Maka batu itu
merasa bahagia dan berhenti. Kemudian Nabi bersabda kepada
Fatimah, “Wahai Fatimah, jika Allah menghendaki, maka

255
gilingan itu pasti menggiling sendiri, tetapi Allah menetapkan
amal baikmu, melebur kejelekanmu, dan meninggikan
derajatmu.”
Lalu Rasul meneruskan wasiatnya:
1. Wahai Fatimah, setiap wanita yang membuat tepung untuk
suaminya dan anak-anaknya, Allah akan menetapkan kebaikan
setiap biji gandum, melebur kejelekannya, dan meninggikan
derajatnya.
2. Wahai Fatimah, setiap wanita yang berkeringan ketika
menumbuk tepung untuk suaminya, niscaya Allah
menjadikan antar dirinya dan neraka tujuh tabir.
3. Wahai Fatimah, setiap wanita yang meminyaki rambut anak-
anaknya lalu menyisirnya dan mencucikan pakaiannya, maka
Allah menetapkan pahala memberi makan dan pakaian seribu
orang kelaparan dan telanjang.
4. Wahai Fatimah, setiap wanita yang menahan kebutuhan
tetangganya, melaikan Allah menahannya dari minum telaga
Kautsar pada hari kiamat.
5. Wahai Fatimah, yang lebih utama dari keutamaan di atas
adalah keridhoan suami terhadap istrinya. Jika ia tidak ridho
kepadamu maka aku tidak akan mendoakanmu. Ketahuilah
bahwa keridhoan suami membuat ridhonya Allah.
6. Wahai Fatimah, setiap wanita yang mengandung anaknya
diperutnya, maka para malaikat memohinkan ampun
kepadanya. Dan Allah menetapkan baginya setiap hari seribu
kebaiakan, dan melebur seribu keburukan, ketika sakit akan

256
melahirkan maka Allah menetapkan pahala pejuang di jalan
Allah. Jika ia melahirkan maka dosa-dosanya di ampuni seperti
orang yang baru lahir, dan dikuburnya mendapat taman-
taman surga, Allah menetapkan seribu pahala ibadah haji dan
umrah. Dan seribu malaikat memohonkan ampun kepadanya
sampai hari kiamat.
7. Wahai Fatimah, setiap wanita yang berkhidmat untuk
suaminya sehari semalam dengan keikhlasan, maka Allah
mengampuni dosa-dosanya, dan Allah akan memberinya
pakaian warna hijau, dan menetapkannya baginya setiap
rambut seribu kebaiakan dan seribu ibadah haji dan umroh.
8. Wahai Fatimah, setiap wanita yang senyum untuk suaminya,
melainkan Allah akan memandangnya dengan rahmat
9. Wahai Fatimah, setiap wanita yang membentangkan alas tidur
untuk suaminya, maka para malaikat menyerunya untuk
melihat amalnya, dan dosa-dosanya diampuni yang lalu dan
akan datang.
10. Wahai Fatimah, setiap wanita yang meminyaki kepala dan
janggut suami, mencukur kumis dan memotong kukunya,
melainkan Allah memberinya minuman arak yang di ambil
dari sungai-sungai surga. Allah mempermudah sakaratul
mautnya, kuburnya bagai taman-taman surga, Allah
membebaskannya dari api neraka dan dapat selamat dari shirat.
Pengertian Rahiq makhtum (arak yang dilak) adalah arak yang
sangat jernih dan masih tertutup, belum di buka oleh
siapapun. Dan arak yang dilak itu lebih baik dari yang
mengalir.

257
FK3, berdasarkan kajian yang dilakukan FK3
menyimpulkan hadis di atas derajatnya dha’if munkar, yakni
dha’if sekali. Mengenai hukum hadis ini secara rinci dapat dilihat
di kitab Durratun Nashihin hadis no. 176.
LBM PPL, Kliam hadis di atas dha’if munkar terlalu berani,
karena selain tidak memperhatikan jalur periwayatan yang lain
juga tidak dilengkapi data-data yang memadai. Kita bisa dapati
hadis seperti di atas dalam hadis Muttafaq ‘Alaih, hadis ke 2945,
5046, 5959 dan Shahih Muslim hadis ke 2727. Hadis ini dan
hadis-hadis yang lain termasuk cerita Asma’ terdapat dalam hadis
Muttafaq ‘Alaih. Semua menceritakan aktifitas kaum perempuan
pada zaman Nabi dalam rangka mengelola keluarga, mulai dari
memasak, mencuci, merawat harta suami dan lain-lain.
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dari Nabi, bahwasannya
beliau bersabda,

‫إذا غسلت املرأة ثياب زوحهاكتب هللا لها ألف حسنة وغفر لها ألف‬
‫كل شيئ طلعت عليه الشمس‬ ّ
ّ ‫سيئة ورفع لها ألف درجة واستغفر لها‬

Artinya: “Bila seorang istri mencuci pakaian suaminya,


maka Allah memberinya seribu kebaikan, mengampuni seribu
kesalahan, mengangkat seribu kebaikan, dan apa saja yang
terkena sinar matahari memohonkan ampun untuknya.”
FK3, Terdapat dalam kitab al-Fatawa al-Hadisiyyah yang
merupakan kutipan dari as-Suyuthi, bahwa hadis ini maudhu’
LBM PPL, al-Kubawi dalam kitab Durratun Nashihin,
menyebutkan hadis ini diriwayatkan Abu Manshur dan ad-

258
daylami menyebutkan hadis yang sama dengan sanad dari Ibn
Mas’ud. Dari indikasi tersebut maka hadis ini hanya dha’if tidak
sampai maudhu’, dan dalam kontek fadhailul ‘amal boleh dipakai.
Aisyah berkata, “Suara pintalan tenun wanita dapat
mengimbangi takbir di jalan Allah, dan wanita yang member
pakaian pada suaminya dari hasil tenunannya, maka setiap
lubang memperoleh seratus derajat.”
FK3, Terdapat dalam kitab Kasyfu al-Khafa’ tanpa
menyebutkan ia al-Makki yang merupakan kutipan dari as-Suythi,
bahwa hadis ini maudhu’.
LBM PPL, Hadis ini diriwayatkan Abu Manshur dan ad-
daylami dari indikasi tersebut maka hadis ini hanya dha’if tidak
sampai maudhu’, dan dalam kontek fadhailul a’mal boleh dipakai.
Nabi bersabda,
ّ ّ ‫من اشترى لعياله شيأ‬
‫ثم حمله بيده إليهم حط هللا عنه ذنوب سبعين‬
‫سنة‬
Artinya: “Siapa yang belanja untuk keluarganya dan
dibawanya sendiri untuk diberikan kepada keluarganya, maka
allah menghapus dosanya tujuh puluh tahun.”
FK3, Terdapat dalam kitab Kasyfu al-Khafa’ tanpa
menyebutkan perawinya. Hanya saja ia mengutip dari Ibn Hajar
al-Makki yang merupakan kutipan dari as-Suythi, bahwa hadis ini
maudhu’.
LBM PPL, Hadis ini disebut oleh Imam Ghazali dalam
kitab Ihya’. Menurut al-Iraqi, hadis ini diriwayatkan al-Khara’ithi

259
dengan sanad dha’if. Dari indikasi tersebut maka hadis ini hanya
dha’if tidak sampai maudhu’, dan dalam kontek fadhailul a’mal
boleh dipakai.
Nabi bersabda,
ّ ّ ‫من‬
‫فرح أنثى فكأنما بكى من خشية هللا ومن بكى من خشية هللا تعالى‬
ّ ّ
‫حرم هللا جسده على النر‬
Artinya: “Siapa yang membahagiakan anak perempuan
maka seperti menangis karena Allah SWT. Maka Allah
mengharamkan jasadnya masuk neraka.”
FK3, Terdapat dalam kitab al-Kamil fi Adh-Dhu’afa oleh
Ibn Adi dengan sanad yang di dalamnya terdapat Hammad bin
Amr an-Nasibi yang di tuduh berdusta, di nilai maudhu’.
LBM PPL, Hadis ini disebut oleh Imam Ghazali dalam
kitab Ihya’. Menurut al-Iraqi hadis ini diriwayatkan al-Khara’ithi
dengan sanad dha’if. Dari indikasi tersebut maka hadis ini hanya
dha’if tidak sampai maudhu’, dan dalam kontek fadhailul a’mal
boleh dipakai.
Dan Juga sabda Nabi,
ّ ‫البيت الذي فيه البنات ينزل هللا فيه‬
‫كل يوم إثنتى عشر رحمة و ال‬
‫كل يوم وليلة‬ ّ
ّ ‫ألبويهن‬ ‫تنقطع زيارة املالئكة من ذلك البيت ويكتبون‬
‫عبادة سبعين سنة‬
Artinya: “Rumah yang ditempati anak perempuan, maka
setiap hari Allah menurunkan dua belas rahmat, para malaikat

260
tidak putus-putus mengunjungi rumah tersebut, dan para
malaikat mencatat untuk kedua orang tuanya setiap hari dan
malamnya paha ibadah tujuh puluh tahun.”
FK3, terdapat dalam kitab Kasyfu al-Khafa’ tanpa
menyebutkan perawinya. Hanya saja ia mengutip dari Ibn Hajar
al-Makki yang merupakan kutipan dari as-Suythi, bahwa hadis ini
maudhu’.
LBM PPL, Hadis ini dikutip al-Ijluni tidak disampaikan
secara lengkap dalam penilaian di atas. Al-Ijluni menambahkan,
meskipun as-Suyuthi menilai maudhu’ namun hadis ini
diriwayatkan oleh ad-Daylamy dari Said sebagaimana dalam
takhrij yang dilakukan al-Hafidz dalam Kasyfu al-Khafa’.

C. Sintesa atas kajian FK3, PP Sidogiri dan PP Lirboyo


Mengamati perbedaan pendapat dalam memandang karya
ulama (khususnya masa lalau) merupakan suatu keniscayaan, hal
ini dikarenakan pemikiran manusia terus berkembang, apalagi
konten yang ada merupakan wilayah ijtihadiyah dan penafsiran,
bukan sesuatu yang qoth’ i atau syariah. Lebih-lebih jika yang
menjadi bahasan adalah masalah relasi manusia, baik dalam ranah
domestik atau publik. Kutub pemikiran manusia tidak mungkin
satu arah namun bercabang dan beragam, bahkan tidak sunyi dari
perbedaan dan pertentangan sampai sulit dikompromikan.
Terjadinya kanalisasi pemikiran merupakan wujud dari berbagai
faktor dan banyak hal, baik dari sisi konten yang diperdebatkan
maupun metode berfikir yang menjadi acuan dan standar dalam

261
melihat dan membedah persoalan. Dalam realitanya, karena
tingginya penghargaan terhadap teks-teks agama yang merupakan
hasil dari penafsiran dan pemikiran dianggap sebagai sesuatu yang
final.
Dalam kaidah ushul fiqih terdapat istilah-istilah yang
dianut dalam menyikapi dalil-dalil yang kontradiktif, diantaranya
terdapat istilah yang menjadi standar dalam menyikapi hal
tersebut, yaitu; Mata amkanal jam’ u fal yashiru ‘ alaihi atau Wal
jam’ u bainal adillati maa amkana huwal wajib.
Mengkompromikan dalil-dalil yang kontradiktif jika
memungkinkan maka hala tersebut suatu keharusan. Dalam
menyikapi pemikiran dan penafsiran yang berbeda jika mengacu
pada kaidah di atas tanpa menghilangkan maqhosid syariah maka
dapat diaplikasikan kedua-duanya.
Dalam kasus rumah tangga misalnya, daam beberapa
literatur penafsiran yang diperdebatkan bahwa, suami memiliki
otoritas sebagai kepala rumah tangga karena is memiliki kewajiban
memberi mahar dan nafkah kepada istri dan keluarganya , hal ini
akan memunculkan pertanyaan bagaimana jika dalam rumah
tangga justru istrilah yang menjadi tulang punggung keluarga atau
yang menanggung nafkah bagi keluarganya adalah hasil kerja dan
usaha dari seorang istri. Dalam kasus tersebut apakah suami masih
memiliki otoritas sebagai kepala rumah tangaga?. Hal semacam ini
yang menjadi perdebatan dalam penafsiran dan menjadi wacana
interpretasi atas teks yang ada.

262
Perdebatan yang terjadi antara FK3, PP Lirboyo dan PP
Sidogiri yang memiliki pandangan yang berbeda dapat
disintesakan jika menggunakan pisau analisis kebermaksudan
(maqashid syariah). Sintesa tersebut akan muncul, karena dalam
metodologi naqashid syariah yang menjadi titik final adalah
tingkat pencapaian tujuannya, maka efektivitas sistem hukum
Islam di nilai berdasarkan tingkat pencapaian maqashid syariah.
Dengan makna lain, sejauh mana tingkat problem solvingnya
terhadap problematika tetentu, apakah lebih efektif, berdaya guna
dan lebih membawa manfaat yang lebih besar bagi umat manusia.
Dalam wilayah privat (rumah tangga) dan di dalam
perkampungan (desa) yang tingkat kehidupannya masih relatif
sederhana di banding di perkotaan dan metropolitan, maka
seorang laki-laki sekalipun tidah mampu memberikan nafkah
kepada istrinya dan tidak lagi menjadi tulang punggung
keluarganya ia masih memiliki otoritas penuh sebagai kepala
rumah tangga dan pengatur mutlak rumah tangganya, dalam
keadaan demikian rumah tangga dapat berjalan dengan elatif baik
dan jarang menimbulkan konflik dan protes dari para istri.
Berbeda jika kasus tersebut terjadi di wilayah perkotaan dan
metropolitan, dimana tingkat pendidikan kaum perempuan
lebih tinggi, pergaulan lebih terbuka, tingkat akses informasi lebih
masif, maka akan menimbulkan dampak yang berbeda. Dalam
Islam wanita berhak mengatur dan mempergunakan hartanya
sendiri secara mutlak, apalagi harta tersebut dihasilkan dari jerih
payahnya sendiri, dan jika seorang istri meninggal maka suami
memiliki hak waris atas harta yang ditinggalkan istrinya. Hal ini

263
ada makna bahwa istri bebas mengatur harta miliknya. Dp sini
laki-laki masih memiliki tanggung jawab sebagai kepala rumah
tangga namun pengaturan harta istri menjadi wewenang istri
karena harta tersebut merupakan hasil usahanya dan jerih
payahnya. Istri berhak mengatur belanja yang ia keluarkan dari
hasil incomenya, walaupun suami masih memiliki tanggung jawab
nafkah.
Diantara mensintesakan pandangan FK3, PP Sidogiri dan
PP Lirboyo melihat manhaj fikriyah dan metode serta asas-asas
dalam melihat permasalahan. Jika diamati maka terdapat
perbedaan diantaranya; pertama, Manhaj fikriyah FK3 lebih
bersifat advokasi dan titik pijaknya adalah realitas yang terjadi
dalam dinamika kehidupan publik yang menyentuh aspek hukum
dan politik. Kedua, FK3 mengusuf pemikiran progresif, modernis
dalam dalam perkembangan dan dialog pemikiran Islam terutama
wilayah metropolitan. Ketiga, Fakta dilapangan menunjukkan
perubahan sosial yang cepat terutama masyarakat perkotaan yang
membutuhkan pemikiran yang segar dan kontekstual.
Di sisi lain karakteristik PP Sidogiri dan PP Lirboyo
menunjukkkan model pemikiran yang berbeda, diantaranya;
pertama, merupakan potret yang mewakili manhaj fikriyah yang
bersifat aqwalul ulama (masa lalu) yang berdasarkan pada asas-asas
hukum (istidlal). Kedua, mencirikan pemikiran tradisional.
Ketiga, Pemikiran yang bersifat lokalis.
Berdasarkan model pemikiran tersebut maka sintesa dari
dua kutub pemikiran dan pemahaman tersebut dapat menempati

264
ranah yang berbeda dalam bingkai maqashid syariah. Maqashid
syariah yang di maksud adalah inti dari tujuan berrumah tangga
dan tujuan diciptakannya manusia yang memiliki karakter yang
berbeda dan dalam ruang lingkup kehidupan sosial yang berbeda
namun, tetap berada dalam bingkai berkeadilan dan rasa tanggung
jawab bersama sehingga tujuan berrumah tangga dapat tercapai
dengan sempurna.

265
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Perkembangan pemikiran Islam berlangsung sampai ke
Nusantara, pada abad ke-19 muncul ulama-ulama Islam
Nusantara yang banyak mempengaruhi perkembangan pemikiran
di dunia dan Nusantara. Kiprah mereka di jagad ilmu keislaman
diakui oleh ulama-ulam besar dunia pada masanya. Bukan hanya
dalam aktifitas menulis karya-karya besar dalam berbagai disiplin
keilmuan Islam, namun mereka juga menjadi pengajar di
Haramain. Dari tangan-tangan mereka muncul karya-karya
gemilang yang menjadi kitab panduan dan rujukan dalam literatur
keislaman. Diantara karya ulama Nusantara adalah kitab Uqud al-
Lujjayn Fi Bayani Huquqiz Zaujain kitab yang dijadikan sumber
pengajaran dalam kehidupan rumah tangga. Kitab ini adalah
sebuah kitab kecil yang disusun oleh Syaikh Nawawi dalam
menjelaskan tata cara pergaulan suami-istri menyangkut hak dan
kewajiban mereka, berdasarkan al-Qur’ an, Hadis Nabi dan kisah
dan beberapa pendapat pribadi. Hingga kini kitab tersebut masih
dipelajari di beberapa pesantren di Nusantara sebagai acuan dalam
relasi rumah tangga.
Munculnya reinterpretasi atas karya-karya ulama masa lalu
adalah di antara satu bentuk respon agar karya-karya mereka
dapat di baca dan difahami generasi sekarang. Suatu keniscayaan
terjadi penafsiran ulang atas karya-karya masa lalu atas relasi-relasi

266
yang terjadi di ranah public (masyarakat) dan ranah domestik
(rumah tangga) antara suami istri karena kondisi zaman sudah
berubah dan semakin maju dari berbagai aspek kehidupan.
Langkah FK3 menginterpretasikan kitab Uqud al-Lujjayn
merupakan bentuk kepedulian terhadap perkembangan
kehidupan dan terhadap kehidupan sosial masyarakat, sekaligus
bentuk respon terhadap perkembangan pemikiran Islam
Nusantara. Hal ini sanagt urgen melihat perkembangan zaman
yang begitu cepat mengalami perumabahan dari berbagai aspek
kehidupan terutama wilayah perkotaan. Perkembangan tersebut
juga diiringi dengan semakin majunya kehidupan kaum
perempuan dalam ranah pendidikan dan di ranah politik. Dari
sinilah relasi laki-laki dan perempuan mengalami pergeseran dan
perkembangan yang harus di respon dengan baik.
Kitab Uqud al-Lujjay karya Imam Nawawi al-Bantani,
adalah kitab klasik yang direinterpretasi oleh FK3. FK3
melakukan reinterpretasi kitab Uqud al-Lujjayn untuk mengkaji
ulang pola hubungan suami istri pada masa sekarang agar terjadi
keselarasan dengan perkembangan zaman yang telah mengalami
kemajuan dan perubahan-perubahan dalam kehidupan
masyarakat dan pola hubungan sosial. Di antara argument
reinterpretasi tersebut adalah, pertama, gerakan keadilan, bahwa
adil merupakan asas pokok dalam segala aspek kehidupan, tanpa
kecuali dalam keluarga yang mengatur relasi suami istri. Kedua,
kesetaraan gender, gender adalah suatu cara pandang masyarakat
bagaimana seseorang harus bertindak dan berfikir dan
berinteraksi. Islam memandang sama kedudukan dan derajat

267
manusia dan yang membedakan adalah ketaqwaannya di sisi
Tuhan. Oleh karenanya kesetaraan gender harus ditegakkan demi
wujudnya keadilan. Ketiga, karya apapun pada dasarnya menjadi
anak kandung zamannya, yang tentunya setiap zaman memiliki
corak yang berbeda, mengalami pergeseran, perubahan dan
berkembang dalam seluruh aspek kehidupan , baik pendididkan,
ekonomi, budaya, peradaban pranata sosial dan politik. Maka
tidak boleh berhenti dan statis pada teks, dan meninggalkan serta
mengabaikan spirit teks itu sendiri. Atau dengan bahasa lain,
bahwa teks harus menjadi spirit perubahan bukan menjadi
penghambat perubahan. Keempat, reinterpretasi tentunya
melahirkan paradigma baru dalam memahami ajaran-ajaran yang
selama ini dianggap final dan sempurna. Reinterpretasi yang
dilakukan FK3 bukan hanya melihat konteks sosial namun juga
melihat dalil-dalil yang di tulis dalam kitab tersebut, serta
memberikan pemaknaan ulang atau memperluas makna sehingga
lebih sesuai dengan konteks sekarang. Hal lain yang tidak kalah
penting adalah kontekstualisasi fikih perempuan, fikih
merupakan produk ijtihad, produk ijtihad tentunya tidak lepas
dari konteks sosial dan budaya pada masanya. Oleh karenanya
diperlukan kontekstualisasi fikih perempuan yang memberi ruang
yang lebih berkeadilan bagi perempuan.
Dimana karya apapun pada dasarnya menjadi anak
kandung zamannya, yang tentunya setiap zaman mengalami
pergeseran, perubahan dan perkembangan dalam segala aspek
kehidupan, baik politik, ekonomi, pendidikan, budaya, peradaban
dan pranata sosial.

268
Reinterpretasi yang dilakukan FK3, mendapat tanggapan
dan sanggahan dengan munculnya buku yang berjudul Menguak
Kebatilan dan Kebohongan Sekte FK3 dalam Buku Wajah Baru
Relasi Suami-Istri Telaah Kitab Uqud al-Lujayn dalam buku
tersebut dikatakan bahwa FK3 telah menjadi agen Ghazwul fikri
dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan
menggunakan argument sofistik. Bantahan-bantahan yang
disampaikan dalam buku tersebut meliputi, pertama, kesalahan
dalam menilai hadis-hadis yang terdapat dalam kitab Uqud al-
Lujjayn dalam segi sanad dan matan hadis, sehingga mudah
menjastifikasi kedha’ ifannya dan bahkan kemaudhu’ annya.
Kedua, mengurangi dan mengubah dari teks sebenarnya sehingga
merubah esensi dan maksud dari pengarang. Ketiga,
menggunakan analogi atau qiyas yang tidak sesuai konteks
pembahasan. Keempat, merefraksi atau pembiasan makna dan
maksud teks sehingga menjadikan kaburnya pemahaman. Kelima,
pemalsuan pendapat atau pemikiran dan pemaksaan terhadap
ideologi kesetaraan gender dan keadilan.
Muncul juga tanggapan yang hampir serupa, dengan
munculnya buku dengan judul, “ Potret Ideal Hubungan Suami-
Istri, Uqud al-Lujjayn Dalam Disharmoni Modernitas Dan
Teks-Teks Religius” . Dalam buku tersebut dikatakan bahwa FK3
telah banyak melakukan kesalahan-kesalahan yang cukup fatal
diantaranya, pertama, mudah mendha’ ifkan hadis bahkan
memaudhu’ kannya tanpa melakukan kajian yang mendalam dan
komprehensif. Kedua, banyak melakukan kesalahan dalam
memahami hadis dan maksud yang dituju oleh Imam Nawawi

269
sehingga keluar dari konteks bahasan dan maksud dari ajaran yang
dituju. Ketiga, kesalahan yang tidak kalah pentingnya adalah
sering terjadi pengurangan dan pergegeseran makna dari kutipan
atau paparan yang disampaikan oleh Imam Nawawi sehingga
dengan demikian keluar dari tema pembahasan atau jauh dari
sasaran yang dimaksud.

B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis kiranya dapat
memberikan saran terkait penggunaan atau pengembangan hasil
penelitian ini.
Pertama, pengkajian karya-karya ulama Islam Nusantara
perlu terus dilakukan guna mengungkap karya-karya mereka dari
berbagai disiplin ilmu keislaman yang sampai saat ini masih
banyak belum diketahui, dikaji dan dieksplorasi secara luas dan
mendalam.
Kedua, melalui pengkajian ini penulis berharap terus
dilakukan penelitian sejenis agar kekayaan pemikiran Islam
Nusantara berkembang dan terus mengalami aktualisasi sehingga
senafas dengan perkembangan zaman.
Ketiga, saran agar perdebatan dan perbedaan pemahaman
teks-teks keagamaan dan karya Ulama Islam Nusantara bukan
sebagai pemicu perpecahan umat, justru menjadi pendorong
perkembangan khazanah pemikiran Islam yang saling melengkapi.

270
Keempat, melalui tesis ini penulis menitipkan saran agar
kekayaan khazanah pemikiran Islam Nusantara menjadi maroji
dalam membumikan Islam yang moderat.

271
Daftar Pustaka

Abdullah, Taufik, Majalah PRISMA, LP3ES, Maret 1991


Abdul Aziz Dahlan, (et.al), Suplemen Ensiklopedi Islam, Jakarta,
PT. Ikhtiar Baru
Arifin,Miftah Wujudiyah di Nusantara, Kontinuitas dan
Perubahan, STAIN Jember Press, Jember
Amirul Ulum, Ulama-Ulama Aswaja Nusantara yang
berpengaruh di Negeri Hijaz, Pustaka Ulama, Yogyakarta,
2015
Auda, Jasser Membumikan Hukum Islam Melalui Maqashid
Syariah, PT. Mizan Pustaka Bandung, 2015
Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam Tradisi dan modernisasi
Menuju Millenium Baru, Logos Wacana Ilmu, Jakarta
2002
Asyhari, Skripsi, Kesetaraan Gender Menurut Nasaruddin Umar
dan Ratna Megawangi (Studi Komparasi Pemikiran
Dua Tokoh), Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yohyakarta tahun 2009.
Azra, Azyumardi,Renaisans Islam asia Tenggara, Sejarah
Wacana& Kekuasaan, Rosda, Bandung, 2000
Budi Munawar ranchman, Rekonstruksi Figh Perempuan dalam
Peradaban masyarakat modern, Ed. M. Hajar
Dewantoro & Asmawi, Penerbit Ababil, Yogyakarta,
1996

272
Ensiklopedi Tematik Dunia Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
Jakarta, 2002
Fakih, Mansour Analisis Gender & Transformasi Sosial, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta 1996
Forum kajian kitab kuning (FK-3).Kembang Setaman
Perkawinan, Analisis Kritis Kitab Uqud al-Lujjain,
Jakarta. Kompas, 2005
Forum Kajian Islam Tradisional Pasuruan,Menguak Kebatilan
dan Kebohongan Sekte FK3 dalam Buku “ Wajah Baru
Relasi Suami-Istri Telaah Kitab Uqud al-Lujayn” Citra
Mentari Grup malang, 2004
Ghazali, Abd.Moqsid, Luthfi Assyaukanie,Ulil Abshar Abdalla,
Metodologi Studi Al-Qur’ an, PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 2009
Hasani, Ismail & Bonar tigor Naipospos (editor), Wajah Para
Pembela’ Islam, Pustaka Masyarakat Setara, Jakarta,
2011
Hidayat, Komaruddin & Ahmad Gaus AF (editor), Passing Over
melintas Batas Agama, PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 1998
Hashim, Syafiq, Hal-hal Yang Tak Terpikirkan Tentang Isu-isu
Keperempuanan dalam Islam: sebuah Dokumentasi.
Jakarta: Mizan, 2001
Huda,Nor,Sejarah sosial Intelektual Islam di Indonesia, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2015

273
Humm, Maggie, Ensiklopedi Feminisme. Yogyakarta: Fajar
Pustaka Baru, 2002
Hilmy Muhammadiyah,& Sulthon Fatoni, NU:Ientitas Islam
Indonesia, eLsas, Jakarta 2004
Hidayat, Komaruddin,Memahami Bahasa Agama, sebuah
Kajian Hermeneutik, Paramadina, Jakarta, 1996
Ismail, Dr. Achmad Satori, Antologi Membincang Feminisme:
Diskursus Gender Perspektif Islam. Surabaya: Risalah
Gusti, 2000
Islam Ahlussunnah Waljama’ ah, Sejarah pemikiran, dan
Dinamika NU di Indonesia, PP Pendidikan Ma’ arif
PBNU, 2016
Ishom M. Yusqi dkk, Mengenal Konsep Islam Nusantara,
Pustaka STAINU, Jakarta, 2015
Kiswati, Tsuroyo, Reinterpretasi Kitab Uqud al-Lujjain Ditinjau
dari Sudut Pandang Kondisi Obyektif Suami Istri di
Daerah tapal Kuda Jawa Timur” , Depag RI.
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, 2016
Lajnah Bahtsul Masa-il Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien Pondik
Pesantren Lirboyo Kota Kediri Jawa Timur. Potret Ideal
Hubungan Suami-Istri Uqud al-Lujjayn Dalam
Disharmoni Modernitas Dan Teks-Teks Religius, 2006
Megawangi, Ratna, Membiarkan Berbeda, Bandung: Mizan, 1999
Muhsin, Amina wadud, Wanita di dalam Islam,(ter) Yaziar
Radianti. Bandung: Putaka, 1991

274
Mastuki HS, M.Ag & M. Ishom El-Saha, M.Ag, Intelektualisme
Pesantren Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era
Perkembangan Pesantren, Diva Pustaka Jakarta, 2004
Mernisi, Fatima, Setara Dihadapan Allah Fatima Mernisi dan
Riffat Hasan. Yogyakarta: LSPAA Yayasan Prakarsa,
1995
Nawawi,Muhammad, Uqud Dulujain, Terjemah melayu oleh
KH. Ahmad Makki ibn H. Abdullah Mahfudz, Ponpes
Assalafiyyah al-Islamiyah, Sukabumi tanpa tahun.
Nasution, Harun, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya,
Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 1985
Pusat Kajian Strategi dan Kebijakan(PKSK), Ham dan
Pluralisme Agama, CV.Fatma, 1997
Rumadi, Post-Tradisionalisme Islam Wacana Intelektualisme
Dalam Komunitas NU, Depag RI, Jakarta, 2007
Shihab,Alwi, Antara Tasawuf Sunni & Tasawuf Falsafi, Akar
Tasawuf di Indonesia, Mizan Media, Bandung 2009
Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia, Sejarah Nasional
Indonesia, Balai Pustaka, 2011
Tholhah,Muhammad Hasan, Ahlussunnah Waljama’ ah dalam
Persepsi dan Tradisi NU, Lantabora Press, Jakarta, 2006
Tashwirul Afkar, Filologi Nusantara, Jakarta, 2014
Umar, Nazaruddin, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-
Qur’ an. Jakarta: Paramadina, 1999

275
Wijaya AksinSejarah Kenabian, Dalam perspektif Nuzuli
Muhammad Izzat Darwazah, Mizan Media Utama,
Bandung, 2016
Jurnal, Majalah, Makalah dan Surat Kabar

276

Anda mungkin juga menyukai