Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian HIV/AIDS

HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus, artinya virus yang
menyebabkan berkurangnya kekebalan tubuh pada manusia, atau virus yang menyebabkan
AIDS. AIDS singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome, yang berarti kumpulan
gejala penurunan kekebalan tubuh yang didapat karena tertular.

AIDS adalah keadaan seseorang yang terinfeksi HIV yang sudah sakit. Keadaan ini baru
akan terjadi bertahun-tahun setelah HIV menginfeksi tubuh seseorang, karena perjalanan
infeksinya yang panjang. Seseorang yang terinfeksi HIV (dipastikan dengan tes darah)
disebut HIV positif. Berdasarkan hal tersebut maka penderita AIDS dimasyarakat
digolongkan kedalam 2 kategori yaitu :

1. Penderita yang mengidap HIV dan telah menunjukkan gejala klinis (penderitaAIDS
positif).
2. Penderita yang mengidap HIV, tetapi belum menunjukkan gejala klinis (penderita).

HIV dan AIDS biasa disebutkan bersama-sama agar mencakup keadaan sejak infeksi
HIV sampai keadaan AIDS. HIV merusak sistem kekebalan tubuh manusia (sistem imun),
karena virus ini memasuki sel darah putih dan berkembang biak di dalamnya, sehingga sel-
sel darah putih mati. Dengan hilangnya kekebalan tubuh seseorang, maka orang itu tidak
mampu lagi menangkal penyakit infeksi ataupun kanker yang memasuki tubuh. Muncullah
sindrom atau kumpulan gejala yang disebut AIDS.

2.2 Etiologi HIV/AIDS

Etiologi HIV-AIDS adalah Human Immunodefisiensi virus (HIV) yang merupakan virus
sitopatik yang diklasifikasikan dalam family retroviridae, subfamili lentiviridae, genus
lentivirus. Berdasarkan strukturnya HIV termasuk family retrovirus yang merupakan
kelompok virus RNA yang mempunyai berat molekul 0,7 kb (kilobase). Virus ini terdiri dari
2 grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Masing-masing grup mempunyai berbagai subtipe. Diantara
kedua grup tersebut, yang paling banyak menimbulkan kelainan dan lebih ganas di seluruh
dunia adalah grup HIV-1 (Owens et al., 2019).

2.3 Faktor Predisposisi HIV/AIDS

Segitiga epidemiologi atau trias epidemiologi adalah konsep dasar epidemiologi yang
memberikan gambaran tiga faktor utama penyebab terjadinya penyakit maupun masalah
kesehatan lainnya. Tiga faktor tersebut terdiri dari host (tuan rumah penjamu), agent
(faktor penyebab) dan environment (lingkungan) dimana timbulnya suatu masalah
kesehatan dapat terjadi akibat ketidakseimbangan ketiga faktor ini (Bustan, 2012).
a. Tuan rumah (Host)
Host atau faktor penjamu HIV/AIDS adalah manusia atau makhluk hidup lainnya
yang menjadi tempat terjadinya proses alamiah perkembangan penyakit. Host
memiliki beberapa karakteristik dalam menghadapi ancaman penyakit yaitu :

1. Resistensi, yaitu kemampuan host untuk bertahan dari adanya suatu


infeksi.

2. Imunitas, yaitu kesanggupan host dalam memberikan respon imunologis,


sehingga tubuh kebal terhadap. penyakit tertentu.

3. Infektif (infectiousness), yaitu potensi host untuk menularkan penyakit


kepada orang lain (Bustan, 2012).

Yang termasuk faktor penjamu dalam HIV/AIDS adalah :


a. Umur
Menurut Kamus Bahasa Indonesia, umur adalah lama waktu hidup atau
adanya seseorang sejak dilahirkan. Hasil penelitian Amelia, Hadisaputro,
Laksono, & Anies, (2016) menyebutkan umur merupakan salah satu faktor
risiko pada penyakit tertentu termasuk HIV/AIDS.
b. Jenis Kelamin
Jenis kelamin merupakan salah satu faktor risiko HIV/ AIDS Laki-laki
yang melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks perempuan (WPS)
tanpa menggunakan kondom, membuat banyaknya laki-laki mempunyai
resiko tinggi terhadap penularan HIV. Oleh karena itu, laki-laki dinilai lebih
rentan terhadap infeksi HIV dibandingkan perempuan dengan persentase
59,2% dan 40,8 % ( Fauk et al., 2018)it is known that not all men willingly
undertake an HIV test as a way to prevent HIV transmission and/or
acquisition. This study aimed to identify barriers to accessing HIV testing
services among men who are clients of FSWS.
c. Pendidikan
Menurut Green, pendidikan adalah salah satu aspek penting dalam
menunjang peningkatan pengetahuan dari seseorang. Tingkat pendidikan yang
tinggi akan sejalan dengan tingkat pengetahuan seseorang yang akhirnya akan
berujung pada perilaku kesehatan (Mindayani & Hidayat, 2018).
d. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan salah satu faktor risiko penularan HIV/AIDS
Responden dengan pengetahuan yang kurang tentang HIV/AIDS memiliki
resiko yang lebih besar untuk melakukan perilaku berisiko yang dapat
menularkan HIV/AIDS Salah satu unsur yang diperlukan dalam membentuk
tindakan seseorang adalah pengetahuan. Tidakan yang dilandasi dengan
pengetahuan yang baik akan lebih langgeng dibandingkan tindakan yang
dilakukan tanpa didasari dengan adanya pengetahuan (Nuzzillah & Sukendra,
2017)
e. Status Perkawinan.
Status perkawinan merupakan salah satu faktor risiko HIV/AIDS.
Tingginya kasus HIV/AIDS pada orang-orang yang telah menikah disebabkan
karena penularan HIV yang terjadi melalui kontak seksual dari pasangannya
(suami/istri). Penularan tersebut terjadi dari pasangan laki-laki ke pasangan
perempuan dan begitu pula sebaliknya (Yowel et al., 2016).

b. Penyebab penyakit (Agent)


Agent atau faktor penyebab merupakan suatu unsur, organisme atau kuman
infektif yang dapat menyebabkan terjadinya penyakit (Bustan, 2012). Human
Immunideficiency Virus (HIV) merupakan virus golongan RNA yang spesifik
menyerang imunitas atau sistem kekebalan tubuh yang kemudian menyebabkan
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) yaitu penyakit yang timbul akibat
menurunnya sistem kekebalan tubuh (Siregar et al., 2016).

c. Faktor lingkungan (Environment)


Faktor lingkungan adalah agregat dari seluruh kondisi luar yang mempengaruhi
kehidupan dan perkembangan suatu organisasi,seperti halnya penyakit HIV/AIDS.
Faktor lingkungan sosial yang mempengaruhi kejadian HIV/AIDS adalah : transfusi
darah (pendonor maupun penerima), penggunaan narkoba, kebiasaan konsumsi
alkohol, faktor sosial budaya dukungan keluarga, dukungan tenaga kesehatan, akses
ke pelayanan kesehatan.

2.4 Tanda Gejala Penyakit HIV/AIDS

Geajala penyakit HIV/AIDS tidak selalu muncul ketika terinfeksi AIDS, beberapa orang
menderita sakit mirip flu dalam waktu beberapa hari hingga beberapa minggu setelah
terpapar virus. Mereka mengeluh deman sakit kepala, kelelahan dan kelenjar getah bening
membesar di leher. Gejala HIV AIDS bias jadi salah satu/lebih dari ini semua biasanya
hilang dalam beberapa minggu. Perkembangan penyakit sangat bervariasi setiap
orangnya.Kondisi ini dapat berlangsung dari beberapa bulan sampai lebih dari 10 tahun.
Selama periode ini ,virus terus berkembang secara aktif menginfeksi dan memebunuh sel-sel
kekebalan tubuh. Sistem kekebalan memungkinkan kita untuk melawan bakteri, virus, dan
peyebab infeksi lainnya. Virus HIV menghancurkan sel-sel yang berfungsi sebagai “pejuang”
infeksi primer, yang disebut sebagai CD4 + atau sel T4. Setelah system kekebalan melemah
gejala HIV/AIDS akan muncul. Gejala AIDS adalah tahap yang paling maju dalam infeksi
HIV.Definisi AIDS termasuk semua orang yang terinfeksi HIV yang memeiliki kurang 200
CD4 + sel per mikroliter darah. Adapun tanda-tanda klinis penderita AIDS :

1. Berat badan menurun lebih dari 10 % dalam 1 bulan


2. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan
3. Demam berkepanjangan lebih dari1 bulan
4. Penurunan kesadaran dan gangguan-gangguan neurologis
5. Dimensia/HIV ensefalopati

2.5 Proses Perjalanan HIV/AIDS

2.5.1 Masa Inkubasi

Masa inkubasi adalah waktu yang diperlukan sejak seseorang terpapar virus HIV
sampai dengan menunjukkan gejala- gejala AIDS. Waktu yang dibutuhkan rata-rata
cukup lama dan dapat mencapai kurang lebih 12 tahun dan semasa inkubasi penderita
tidak menunjukkan gejala-gejala sakit. Selama masa inkubasi ini penderita disebut
penderita HIV. Pada fase ini terdapat masa dimana virus HIV tidak dapat terdeteksi
dengan pemeriksaan laboratorium kurang lebih 3 bulan sejak tertular virus HIV yang
dikenal dengan “masa window periode”. Selama masa inkubasi penderita HIV sudah
berpotensi untuk menularkan virus HIV kepada orang lain dengan berbagai cara sesuai
pola transmisi virus HIV. Mengingat masa inkubasi yang relatif lama, dan penderita
HIV tidak menunjukkan gejala-gejala sakit, maka sangat besar kemungkinan penularan
terjadi pada fase inkubasi ini.

Ada 5 faktor yang perlu diperhatikan pada penularan suatu penyakit yaitu sumber
infeksi, vehikulum yang membawa agent, host yang rentan, tempat keluar kuman dan
tempat masuk kuman (port d’entrée).

1. Transmisi seksual

Penularan melalui hubungan seksual baik Homoseksual maupun Heteroseksual


merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi. Penularan ini
berhubungan dengan semen dan cairan vagina atau serik. Infeksi dapat ditularkan
dari setiap pengidap infeksi HIV kepada pasangan seksnya. Resiko penularan HIV
tergantung pada pemilihan pasangan seks, jumlah pasangan seks dan jenis
hubungan seks.Pada penelitian Darrow(1985) ditemukan resiko seropositive untuk
zat anti terhadap HIV cenderungnaik pada hubungan seksual yang dilakukan pada
pasangan tidak tetap. Orang yang sering berhubungan seksual dengan berganti
pasanganmerupakan kelompok manusia yang berisiko tinggi terinfeksi virus HIV.

2. Transmisi non seksual


1) Transmisi Parenral

Yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik)
yang telah terkontaminasi, misalnya pada penyalah gunaan narkotik suntik
yang menggunakan jarum suntik yang tercemar secara bersama-sama.
Disamping dapat juga terjadi melaui jarum suntik yang dipakai oleh petugas
kesehatan tanpa disterilkan terlebih dahulu. Resiko tertular cara transmisi
parental ini kurang dari 1%.

2) Darah/Produk Darah

Transmisi melalui transfusi atau produk darah terjadi di negara-negara barat


sebelum tahun 1985. Sesudah tahun 1985 transmisi melalui jalur ini di
negara barat sangat jarang, karena darah donor telah diperiksa sebelum
ditransfusikan. Resiko tertular infeksi/HIV lewat trasfusi darah adalah lebih
dari 90%.

3. Transmisi Transplasental

Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak mempunyai


resiko sebesar 50%.Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan
sewaktu menyusui. Penularan melalui air susu ibu termasuk penularan dengan
resiko rendah.
2.5.2 Patogenesis HIV/AIDS

Dasar utama patogenesis HIV adalah kurangnya jenis limposit T helper/induser


yang mengandung marker CD 4 (sel T 4). Limfosit T 4 merupakan pusat dan sel utama
yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam menginduksi fungsi-fungsi
imunologik. Menurun atau hilangnya sistem imunitas seluler, terjadi karena HIV secara
selektif menginfeksi sel yang berperan membentuk zat anti body pada sistem kekebalan
tersebut, yaitu sel lymfosit T4. Setelah HIV mengikat diri pada molekul CD 4, virus
masuk kedalam target dan ia melepas bungkusnya kemudian dengan enzym reverse
transcryptae ia merubah bentuk RNA agar dapat bergabung dengan DNA sel target.
Selanjutnya sel yang berkembang biak akan mengundang bahan genetik virus. Infeksi
HIV dengan demikian menjadi irreversibel dan berlangsung seumur hidup.

Pada awal infeksi, HIV tidak segera menyebabkan kematian dari sel yang di
infeksinya tetapi terlebih dahulu mengalami replikasi (penggandaan), sehingga ada
kesempatan untuk berkembang dalam tubuh penderita tersebut, yang lambat laun akan
menghabiskan atau merusak sampai jumlah tertentu dari sel lymfosit T4. Setelah
beberapa bulan sampai beberapa tahun kemudian, barulah pada penderita akan terlihat
gejala klinis sebagai dampak dari infeksi HIV tersebut. Masa antara terinfeksinya HIV
dengan timbulnya gejala-gejala penyakit (masa inkubasi) adalah 6 bulan sampai lebih
dari 10 tahun, rata-rata 21 bulan pada anak-anak dan 60 bulan pada orang dewasa.
Infeksi oleh virus HIV menyebabkan fungsi kekebalan tubuh rusak yang
mengakibatkan daya tahan tubuh berkurang atau hilang, akibatnya mudah terkena
penyakit-penyakit lain seperti penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri, protozoa,
dan jamur dan juga mudah terkena penyakit kanker sepertis arkoma kaposi. HIV
mungkin juga secara langsung menginfeksi sel-sel syaraf, menyebabkan kerusakan
neurologis.

Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak
menunjukkan gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel setiap
hari. Bersamaan dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit CD4 yang tinggi,
untungnya tubuh masih bisa mengkompensasi dengan memproduksi limfosit CD4
sekitar 109 setiap hari.

2.5.3 Manifestasi Klinik 


Dalam perjalanannya,  infeksi HIV dapat melalui 3 fase klinis :
 Tahap 1 : Infeksi Akut
Dalam 2-6 minggu setelah terinfeksi HIV seseorang mungkin
mengalami penyakit seperti flu, yang dapat berlangsung selama
beberapa minggu ini adalah respon alami tubuh terhadap infeksi.
Setelah HIV menginfeksi sel target, yang terjadi adalah proses replikasi
yang menghasilkan berjuta-juta virus baru (virion), terjadi viremia yang
memicu sindrom infeksi akut dengan gejala yang mirip sindrom
semacam flu. Gejala yang terjadi dapat berupa demam, nyeri menelan,
pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, nyeri otot, dan sendi
atau batuk. 
 Tahap 2 : Infeksi Laten 
Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi asimtomatik (tanpa gejala),
yang umumnya berlangsung selama 8-10 tahun. pembentukan respon
imun spesifik HIV dan terperangkapnya virus dalam sel dendritik
folikuler di pusat germinativum kelenjar limfe menyebabkan virion
dapat dikendalikan, gejala hilang dan mulai memasuki fase laten.
Meskipun pada fase ini virion di plasma menurun, replikasi tetap terjadi
di dalam  kelenjar limfe dan jumlah limfosit T-CD4 perlahan menurun
walaupun belum menunjukkan gejala. Beberapa pasien dapat menderita
sarkoma Kaposi’s, Herpes zoster, Herpes simpleks, sinusitis bakterial,
atau pneumonia yang mungkin tidak berlangsung lama. 
 Tahap 3: Infeksi kronis 
Sekelompok kecil orang yang dapat menunjukkan perjalanan penyakit
amat cepat dalam 2 tahun, dan ada pula yang perjalanannya lambat (non
progressor). Akibat replikasi virus yang diikuti kerusakan dan kematian
sel dendritik folikuler karena banyaknya virus, fungsi kelenjar limfe
sebagai perangkap virus menurun dan virus dicurahkan ke dalam darah.
Saat ini terjadi, respon imun sudah tidak mampu meredam jumlah virion
yang berlebihan tersebut. Limfosit T-CD4 semakin tertekan oleh karena
intervensi HIV yang semakin banyak, dan jumlahnya dapat menurun
hingga di bawah 200 sel/mm³. Penurunan limfosit T ini mengakibatkan
sistem imun menurun dan pasien semakin rentan terhadap berbagai
penyakit infeksi sekunder, dan akhirnya pasien jatuh pada kondisi AIDS.
Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, ODHA mulai
menampakkan gejala akibat infeksi oportunitis seperti berat badan
menurun, demam lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar getah bening,
diare, tuberkulosis, infeksi jamur, herpes, dan lain-lain. Sekitar 50%
berkembang masuk dalam tahap AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13
tahun, hampir semua menunjukkan gejala AIDS, kemudian meninggal. 

2.5.4 Rantai Penularan 


Cara penularan HIV melalui alur sebagai berikut. 
a) Cairan genital : cairan sperma dan cairan vagina pengidap HIV memiliki jumlah
virus yang tinggi dan cukup banyak untuk memungkinkan penularan, terlebih
jika disertai IMS lainnya. Karena itu semua hubungan seksual yang berisiko
dapat menularkan HIV, baik genital, oral maupun anal. 
b) Kontaminasi darah atau jaringan: penularan HIV dapat terjadi melalui
kontaminasi darah seperti transfusi darah dan produknya (plasma, trombosit) dan
transplantasi organ yang tercemar virus HIV atau melalui penggunaan peralatan
medis yang tidak steril, seperti suntikan yang tidak aman, misalnya penggunaan
alat suntik bersama pada penasun, tatto dan tindik tidak steril 
c) Perinatal : penularan dari ibu ke janin/bayi – penularan ke janin terjadi selama
kehamilan melalui plasenta yang terinfeksi; sedangkan ke bayi melalui darah
atau cairan genital saat persalinan dan melalui ASI pada masa laktasi. 

2.5.5 Perjalanan Alamiah dan Stadium Infeksi HIV

Terdapat tiga fase perjalanan alamiah infeksi HIV (Bagan 1) sebagai berikut.

i) Fase I: masa jendela (window period) – tubuh sudah terinfeksi HIV, namun pada
pemeriksaan darahnya masih belum ditemukan antibodi anti-HIV. Pada masa
jendela yang biasanya berlangsung sekitar dua minggu sampai tiga bulan sejak
infeksi awal ini, penderita sangat mudah menularkan HIV kepada orang lain.
Sekitar 30-50% orang mengalami gejala infeksi akut berupa demam, nyeri
tenggorokan, pembesaran kelenjar getah bening, ruam kulit, nyeri sendi, sakit
kepala, bisa disertai batuk seperti gejala flu pada umumnya yang akan mereda
dan sembuh dengan atau tanpa pengobatan. Fase “flu-like syndrome” ini terjadi
akibat serokonversi dalam darah, saat replikasi virus terjadi sangat hebat pada
infeksi primer HIV.
ii) Fase II: masa laten yang bisa tanpa gejala/tanda (asimtomatik) hingga gejala
ringan. Tes darah terhadap HIV menunjukkan hasil yang positif, walaupun gejala
penyakit belum timbul. Penderita pada fase ini penderita tetap dapat menularkan
HIV kepada orang lain. Masa tanpa gejala rata-rata berlangsung selama 2-3
tahun; sedangkan masa dengan gejala ringan dapat berlangsung selama 5-8
tahun, ditandai oleh berbagai radang kulit seperti ketombe, folikulitis yang
hilangtimbul walaupun diobati.
iii) Fase III: masa AIDS merupakan fase terminal infeksi HIV dengan kekebalan
tubuh yang telah menurun drastis sehingga mengakibatkan timbulnya berbagai
infeksi oportunistik, berupa peradangan berbagai mukosa, misalnya infeksi jamur
di mulut, kerongkongan dan paru-paru. Infeksi TB banyak ditemukan di paru-
paru dan organ lain di luar paru-paru. Sering ditemukan diare kronis dan
penurunan berat badan sampai lebih dari 10% dari berat awal.

2.5.6 Diagnosis HIV/AIDS

Diagnosis HIV/AIDS Widoyono (2011) menyatakan bahwa ditemukannya


antibody HIV dengan pemeriksaan ELISA perlu dikonfirmasi dengan Western Blot.
Tes HIV Elisa (+) sebanyak tiga kali dengan reagen yang berlainan merk menunjukkan
pasien positif mengidap HIV. Pemeriksaan laboratorium ada tiga jenis, yaitu :

a) Pencegahan donor darah, dilakukan sekali oleh PMI. Bila positif disebut reaktif.
b) Serosurvei, untuk mengetahui prevalensi pada kelompok berisiko, dilaksanakan
dua kali pengujian dengan reagen yang berbeda.
c) Diagnosis, untuk menegakkan diagnosis dilakukan tiga kali pengujian. Metode
yang umum untuk menegakkan diagnosis HIV meliputi :
1) ELISA (Enzyme-Linked ImmunoSorbent Assay) Sensitivitasnya tinggi
yaitu sebesar 98,1-100%. Biasanya tes ini memberikan hasil positif 2-3
bulan setelah infeksi.
2) Western Blot Spesifisitasnya tinggi yaitu sebesar 99,6-100%.
Pemeriksaannya cukup sulit, mahal, dan membutuhkan waktu sekitar 24
jam.
3) Virologis PCR (Polymerase Chain Reaction) Tes ini dianjurkan untuk
mendiagnosis anak di bawah 18 bulan. Tes virologis yang
direkomendasikan adalah HIV DNA kualitatif dari darah lengkap atau
Dried Blood Spot (DBS), dan HIV RNA kuantitatif dengan menggunakan
plasma darah. Bayi yang telah terpajan HIV sejak lahir dianjurkan untuk
diskrining sedini 34 mungkin pada usia 6 minggu melalui pemeriksaan
virologis. Jika tes virologis pertama bayi positif, terapi antiretroviral harus
segera dimulai, dan sampel darah kedua harus diambil untuk tes virologi
kedua. Tes virologis meliputi:
a) HIV DNA kualitatif (EID) Tes ini mendeteksi keberadaan virus dan
tidak bergantung pada keberadaan antibodi HIV. Tes ini digunakan
untuk diagnosis pada bayi.
b) HIV RNA kuantitatif Tes ini untuk memeriksa jumlah virus di
dalam darah, dan dapat digunakan untuk pemantauan terapi ARV
pada dewasa dan diagnosis pada bayi jika HIV DNA tidak tersedia.

2.6 Risiko Penularan HIV dari Ibu ke Anak

Ada tiga faktor risiko penularan HIV dari ibu ke anak, yaitu sebagai berikut.

1. Faktor Ibu
a. Kadar HIV dalam darah ibu (viral load): merupakan faktor yang paling utama
terjadinya penularan HIV dari ibu ke anak: semakin tinggi kadarnya, semakin besar
kemungkinan penularannya, khususnya pada saat/menjelang persalinan dan masa
menyusui bayi.
b. Kadar CD4: ibu dengan kadar CD4 yang rendah, khususnya bila jumlah sel CD4 di
bawah 350 sel/mm3, menunjukkan daya tahan tubuh yang rendah karena banyak sel
limfosit yang pecah/rusak. Kadar CD4 tidak selalu berbanding terbalik dengan viral
load. Pada fase awal keduanya bisa tinggi, sedangkan pada fase lanjut keduanya bisa
rendah kalau penderitanya mendapat terapi anti-retrovirus (ARV).
c. Status gizi selama kehamilan: berat badan yang rendah serta kekurangan zat gizi
terutama protein, vitamin dan mineral selama kehamilan meningkatkan risiko ibu
untuk mengalami penyakit infeksi yang dapat meningkatkan kadar HIV dalam darah
ibu, sehingga menambah risiko penularan ke bayi.
d. Penyakit infeksi selama kehamilan: IMS, misalnya sifilis; infeksi organ reproduksi,
malaria dan tuberkulosis berisiko meningkatkan kadar HIV pada darah ibu, sehingga
risiko penularan HIV kepada bayi semakin besar.
e. Masalah pada payudara: misalnya puting lecet, mastitis dan abses pada payudara akan
meningkatkan risiko penularan HIV melalui pemberian ASI.
2. Faktor Bayi
a. Usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir: bayi prematur atau bayi dengan berat
lahir rendah lebih rentan tertular HIV karena sistem organ dan kekebalan tubuh belum
berkembang baik.
b. Periode pemberian ASI: risiko penularan melalui pemberian ASI bila tanpa
pengobatan berkisar antara 5-20%.
c. Adanya luka di mulut bayi: risiko penularan lebih besar ketika bayi diberi ASI.
3. Faktor Tindakan Obstetrik
Risiko terbesar penularan HIV dari ibu ke anak terjadi pada saat persalinan, karena
tekanan pada plasenta meningkat sehingga bisa menyebabkan terjadinya hubungan antara
darah ibu dan darah bayi. Selain itu, bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir.
Faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke anak selama
persalinan adalah sebagai berikut:
a. Jenis persalinan: risiko penularan pada persalinan per vaginam lebih besar daripada
persalinan seksio sesaria; namun, seksio sesaria memberikan banyak risiko lainnya
untuk ibu.
b. Lama persalinan: semakin lama proses persalinan, risiko penularan HIV dari ibu ke
anak juga semakin tinggi, karena kontak antara bayi dengan darah/ lendir ibu semakin
lama.

2.7 Pencegahan HIV/AIDS

Beberapa hal yang bisa dilakukan agar semakin sedikit orang yang terkena yaitu dengan:

1. Konsep ABCDE dalam pencegahan HIV


Kementerian Kesehatan RI telah mensosialisasikan langkah-langkah yang dapat
dilakukan untuk menghindari penularan HIV. Langkah-langkah tersebut dikenal
dengan konsep “ABCDE”.
a. A (Abstinence): yang berarti Absen. Maksudnya adalah setiap individu
kelompok usia aktif reproduksi tidak melakukan hubungan seksual sebelum
menikah
b. B (Be faithful): yang berarti Bersikap setia. Maksudnya adalah untuk individu
yang sudah menikah, sebaiknya melakukan hubungan seksual dengan
pasangan saja dan tidak berganti-ganti pasangan dalam berhubungan seksual
c. C (Condom): yang berarti Cegah dengan kondom. Maksudnya adalah
menggunakan kondom saat melakukan hubungan seksual untuk mencegah
penularan HIV
d. D (Drug no): artinya Dilarang mengkonsumsi narkoba dan menggunakan
suntik secara bergantian saat mengkonsumsi narkoba
e. E (Education): artinya Edukasi. Maksudnya adalah setiap individu memperoleh
edukasi yang tepat mengenai HIV, meliputi cara pencegahan, pengobatan, dan
penularan HIV
2. Mencegah kehamilan tidak terencana bagi ibu hamil dengan HIV
Ibu hamil berisiko menularkan HIV ke janin yang dikandungnya dan juga kondisi hamil
dengan HIV dapat membahayakan keselamatan ibu dan janin karena kondisi tubuh ibu
yang mengalami kelemahan sistem imun. Ibu dengan HIV memerlukan kondisi yang
aman baik secara fisik maupun psikologis selama masa kehamilan, persalinan, nifas,
dan menyusui (Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, 2017). Oleh
karena itu, pasangan dengan HIV perlu merencanakan kehamilan dengan sebaik-baiknya.
Tenaga kesehatan memiliki kewajiban untuk memberikan edukasi, perawatan,
pengobatan, dan monitoring kepada ibu hamil dengan HIV yang akan merencanakan
kehamilan
3. Menyusui bagi ibu dengan HIV
Air Susu Ibu (ASI) yang terkandung di dalam tubuh ibu dengan HIV/AIDS juga
dapat menularkan HIV kepada bayi, meskipun presentasenya kecil. ASI dapat
menularkan HIV ke bayi jika selama proses menyusui terjadi luka/lecet di puting ibu
yang menyebabkan ASI terkontaminasi darah yang terinfeksi HIV. Oleh karena itu, ibu
dengan HIV yang menyusui bayinya perlu memperhatikan kondisi puting dan
berkonsultasi dengan tenaga kesehatan untuk mencegah penularan HIV kepada anak
saat menyusui (Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, 2017). Ibu
dengan HIV yang menyusui anaknya secara langsung (direct breastfeeding) perlu
melakukan perawatan payudara secara rutin untuk menjaga kelembaban putting agar
tidak mudah lecet, selain itu perlu memonitor kondisi putting untuk mengetahui putting
sedang lecet/tidak, karena darah dari putting yang luka/lecet sudah terkontaminasi HIV.
Jika ibu dengan HIV memilih untuk memberikan ASI kepada anaknya melalui
botol/dot/sendok, ibu juga perlu memerhatikan kondisi putting dan menjaga
kelembaban putting agar ketika memeras ASI tidak terkontaminasi HIV ke dalam ASI.
4. Sirkumsisi bagi laki-laki
Sirkumsisi merupakan prosedur bedah untuk memotong atau menghilangkan
preputium pada penis. Preputium merupakan lipatan kulit retraktil pada gland penis yang
berisiko sebagai tempat berkumpulnya bakteri dan mikroorganisme lain serta dapat
menampung sisa urin jika tidak dibersihkan dengan benar saat buang air kecil. Sirkumsisi
sudah umu dilakukan oleh masyarakat di Indonesia terutama masyarakat laki-laki yang
beragama Islam. Laki-laki yang melakukan sirkumsisi memiliki resiko lebih rendah
untuk terkena infeksi HIV maupun infeksi menular seksual lainnya. Inflamasi yang
terjadi pada penis dapat mempengaruhi sistem imun sel-sel penis dan dapat
meningkatkan risiko infeksi HIV (Yuan et al., 2019). Selain itu, sirkumsisi dapat
menurunkan jumlah bakteri di penis (khususnya di preputium) dan membantu
mempertahankan integritas jaringan penis sebagai barrier terhadap HIV dan
mikroorganisme berbahaya lainnya (Prodger & Kaul, 2017). Berdasarkan hal
tersebut, sirkumsisi dapat menjadi salah satu strategi dalam pencegahan penularan HIV.
5. Intervensi Perilaku (Behavioral Intervention)
Perilaku seseorang akan mempengaruhi kerentanan untuk terinfeksi oleh HIV terutama
yang berhubungan dengan perilaku seksual dan perilaku konsumsi napza dengan jarum
suntik. Individu yang memiliki perilaku berganti-ganti pasangan, melakukan hubungan
seskual tanpa 76 | Epidemiologi Penyakit Menular HIV/AIDS menggunakan pelindung,
mengkonsumsi napza dengan jarum suntik yang digunakan bergantian atau jarum
suntik yang tidak steril merupakan contoh dari perilaku yang berisiko untuk terinfeksi
HIV. Berdasarkan hal tersebut terdapat salah satu intervensi yang bermanfaat untuk
mencegah infeksi HIV yaitu Behavioral Intervention. Behavioral intervention
merupakan salah satu strategi pencegahan HIV yang direkomendasikan oleh WHO.
Intervensi dapat dilakukan kepada individu maupun kelompok seperti peer group
yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan kemampuan dalam decision making
untuk mempraktikan perilaku pencegahan HIV. Fokus intervensi ini adalah untuk
memberikan informasi dan keterampilan (skill) yang bermanfaat bagi individu atau
kelompok dalam upaya mengurangi risiko dan mencegah penularan HIV. Tenaga
kesehatan berperan penting dalam intervensi ini yaitu sebagai konselor mengenai
perilaku berisiko, mempertimbangkan berbagai strategi untuk mengurangi risiko
penularan HIV, dan melakukan promosi kesehatan guna mencegah penularan HIV
(WHO, 2018).
c. Ketuban pecah lebih dari empat jam sebelum persalinan meningkatkan risiko
penularan hingga dua kali dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari empat jam.
d. Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan forsep meningkatkan risiko penularan
HIV.

BAB III
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

Irwan. 2017. Epidemiologi Penyakit Menular. CV. Absolute Media Krapyak. Yogyakarta
https://repository.ung.ac.id/get/karyailmiah/1782/Irwan-Buku-Epidemiologi-
Penyakit-Menular.pdf
I Made, Putri, dan Dodiet. 2022. Epidemiologi Penyakit Menular. CV Tahta Media Group
https://www.researchgate.net/publication/
361864542_EPIDEMIOLOGI_PENYAKIT_MENULAR
Fransisca, Ardi, dan Sjaiful. 2015. Pedoman pelaksanaan pencegahan penularan HIV Dan sifilis
dari ibu ke anak bagi tenaga kesehatan. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI
https://siha.kemkes.go.id/portal/files_upload/Manlak_PPIA_2015.pdf
http://repository.poltekkes-denpasar.ac.id/7861/3/BAB%20II%20Tinjauan%20Pustaka.pdf

Anda mungkin juga menyukai