TINJAUAN PUSTAKA
HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus, artinya virus yang
menyebabkan berkurangnya kekebalan tubuh pada manusia, atau virus yang menyebabkan
AIDS. AIDS singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome, yang berarti kumpulan
gejala penurunan kekebalan tubuh yang didapat karena tertular.
AIDS adalah keadaan seseorang yang terinfeksi HIV yang sudah sakit. Keadaan ini baru
akan terjadi bertahun-tahun setelah HIV menginfeksi tubuh seseorang, karena perjalanan
infeksinya yang panjang. Seseorang yang terinfeksi HIV (dipastikan dengan tes darah)
disebut HIV positif. Berdasarkan hal tersebut maka penderita AIDS dimasyarakat
digolongkan kedalam 2 kategori yaitu :
1. Penderita yang mengidap HIV dan telah menunjukkan gejala klinis (penderitaAIDS
positif).
2. Penderita yang mengidap HIV, tetapi belum menunjukkan gejala klinis (penderita).
HIV dan AIDS biasa disebutkan bersama-sama agar mencakup keadaan sejak infeksi
HIV sampai keadaan AIDS. HIV merusak sistem kekebalan tubuh manusia (sistem imun),
karena virus ini memasuki sel darah putih dan berkembang biak di dalamnya, sehingga sel-
sel darah putih mati. Dengan hilangnya kekebalan tubuh seseorang, maka orang itu tidak
mampu lagi menangkal penyakit infeksi ataupun kanker yang memasuki tubuh. Muncullah
sindrom atau kumpulan gejala yang disebut AIDS.
Etiologi HIV-AIDS adalah Human Immunodefisiensi virus (HIV) yang merupakan virus
sitopatik yang diklasifikasikan dalam family retroviridae, subfamili lentiviridae, genus
lentivirus. Berdasarkan strukturnya HIV termasuk family retrovirus yang merupakan
kelompok virus RNA yang mempunyai berat molekul 0,7 kb (kilobase). Virus ini terdiri dari
2 grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Masing-masing grup mempunyai berbagai subtipe. Diantara
kedua grup tersebut, yang paling banyak menimbulkan kelainan dan lebih ganas di seluruh
dunia adalah grup HIV-1 (Owens et al., 2019).
Segitiga epidemiologi atau trias epidemiologi adalah konsep dasar epidemiologi yang
memberikan gambaran tiga faktor utama penyebab terjadinya penyakit maupun masalah
kesehatan lainnya. Tiga faktor tersebut terdiri dari host (tuan rumah penjamu), agent
(faktor penyebab) dan environment (lingkungan) dimana timbulnya suatu masalah
kesehatan dapat terjadi akibat ketidakseimbangan ketiga faktor ini (Bustan, 2012).
a. Tuan rumah (Host)
Host atau faktor penjamu HIV/AIDS adalah manusia atau makhluk hidup lainnya
yang menjadi tempat terjadinya proses alamiah perkembangan penyakit. Host
memiliki beberapa karakteristik dalam menghadapi ancaman penyakit yaitu :
Geajala penyakit HIV/AIDS tidak selalu muncul ketika terinfeksi AIDS, beberapa orang
menderita sakit mirip flu dalam waktu beberapa hari hingga beberapa minggu setelah
terpapar virus. Mereka mengeluh deman sakit kepala, kelelahan dan kelenjar getah bening
membesar di leher. Gejala HIV AIDS bias jadi salah satu/lebih dari ini semua biasanya
hilang dalam beberapa minggu. Perkembangan penyakit sangat bervariasi setiap
orangnya.Kondisi ini dapat berlangsung dari beberapa bulan sampai lebih dari 10 tahun.
Selama periode ini ,virus terus berkembang secara aktif menginfeksi dan memebunuh sel-sel
kekebalan tubuh. Sistem kekebalan memungkinkan kita untuk melawan bakteri, virus, dan
peyebab infeksi lainnya. Virus HIV menghancurkan sel-sel yang berfungsi sebagai “pejuang”
infeksi primer, yang disebut sebagai CD4 + atau sel T4. Setelah system kekebalan melemah
gejala HIV/AIDS akan muncul. Gejala AIDS adalah tahap yang paling maju dalam infeksi
HIV.Definisi AIDS termasuk semua orang yang terinfeksi HIV yang memeiliki kurang 200
CD4 + sel per mikroliter darah. Adapun tanda-tanda klinis penderita AIDS :
Masa inkubasi adalah waktu yang diperlukan sejak seseorang terpapar virus HIV
sampai dengan menunjukkan gejala- gejala AIDS. Waktu yang dibutuhkan rata-rata
cukup lama dan dapat mencapai kurang lebih 12 tahun dan semasa inkubasi penderita
tidak menunjukkan gejala-gejala sakit. Selama masa inkubasi ini penderita disebut
penderita HIV. Pada fase ini terdapat masa dimana virus HIV tidak dapat terdeteksi
dengan pemeriksaan laboratorium kurang lebih 3 bulan sejak tertular virus HIV yang
dikenal dengan “masa window periode”. Selama masa inkubasi penderita HIV sudah
berpotensi untuk menularkan virus HIV kepada orang lain dengan berbagai cara sesuai
pola transmisi virus HIV. Mengingat masa inkubasi yang relatif lama, dan penderita
HIV tidak menunjukkan gejala-gejala sakit, maka sangat besar kemungkinan penularan
terjadi pada fase inkubasi ini.
Ada 5 faktor yang perlu diperhatikan pada penularan suatu penyakit yaitu sumber
infeksi, vehikulum yang membawa agent, host yang rentan, tempat keluar kuman dan
tempat masuk kuman (port d’entrée).
1. Transmisi seksual
Yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik)
yang telah terkontaminasi, misalnya pada penyalah gunaan narkotik suntik
yang menggunakan jarum suntik yang tercemar secara bersama-sama.
Disamping dapat juga terjadi melaui jarum suntik yang dipakai oleh petugas
kesehatan tanpa disterilkan terlebih dahulu. Resiko tertular cara transmisi
parental ini kurang dari 1%.
2) Darah/Produk Darah
3. Transmisi Transplasental
Pada awal infeksi, HIV tidak segera menyebabkan kematian dari sel yang di
infeksinya tetapi terlebih dahulu mengalami replikasi (penggandaan), sehingga ada
kesempatan untuk berkembang dalam tubuh penderita tersebut, yang lambat laun akan
menghabiskan atau merusak sampai jumlah tertentu dari sel lymfosit T4. Setelah
beberapa bulan sampai beberapa tahun kemudian, barulah pada penderita akan terlihat
gejala klinis sebagai dampak dari infeksi HIV tersebut. Masa antara terinfeksinya HIV
dengan timbulnya gejala-gejala penyakit (masa inkubasi) adalah 6 bulan sampai lebih
dari 10 tahun, rata-rata 21 bulan pada anak-anak dan 60 bulan pada orang dewasa.
Infeksi oleh virus HIV menyebabkan fungsi kekebalan tubuh rusak yang
mengakibatkan daya tahan tubuh berkurang atau hilang, akibatnya mudah terkena
penyakit-penyakit lain seperti penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri, protozoa,
dan jamur dan juga mudah terkena penyakit kanker sepertis arkoma kaposi. HIV
mungkin juga secara langsung menginfeksi sel-sel syaraf, menyebabkan kerusakan
neurologis.
Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak
menunjukkan gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel setiap
hari. Bersamaan dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit CD4 yang tinggi,
untungnya tubuh masih bisa mengkompensasi dengan memproduksi limfosit CD4
sekitar 109 setiap hari.
Terdapat tiga fase perjalanan alamiah infeksi HIV (Bagan 1) sebagai berikut.
i) Fase I: masa jendela (window period) – tubuh sudah terinfeksi HIV, namun pada
pemeriksaan darahnya masih belum ditemukan antibodi anti-HIV. Pada masa
jendela yang biasanya berlangsung sekitar dua minggu sampai tiga bulan sejak
infeksi awal ini, penderita sangat mudah menularkan HIV kepada orang lain.
Sekitar 30-50% orang mengalami gejala infeksi akut berupa demam, nyeri
tenggorokan, pembesaran kelenjar getah bening, ruam kulit, nyeri sendi, sakit
kepala, bisa disertai batuk seperti gejala flu pada umumnya yang akan mereda
dan sembuh dengan atau tanpa pengobatan. Fase “flu-like syndrome” ini terjadi
akibat serokonversi dalam darah, saat replikasi virus terjadi sangat hebat pada
infeksi primer HIV.
ii) Fase II: masa laten yang bisa tanpa gejala/tanda (asimtomatik) hingga gejala
ringan. Tes darah terhadap HIV menunjukkan hasil yang positif, walaupun gejala
penyakit belum timbul. Penderita pada fase ini penderita tetap dapat menularkan
HIV kepada orang lain. Masa tanpa gejala rata-rata berlangsung selama 2-3
tahun; sedangkan masa dengan gejala ringan dapat berlangsung selama 5-8
tahun, ditandai oleh berbagai radang kulit seperti ketombe, folikulitis yang
hilangtimbul walaupun diobati.
iii) Fase III: masa AIDS merupakan fase terminal infeksi HIV dengan kekebalan
tubuh yang telah menurun drastis sehingga mengakibatkan timbulnya berbagai
infeksi oportunistik, berupa peradangan berbagai mukosa, misalnya infeksi jamur
di mulut, kerongkongan dan paru-paru. Infeksi TB banyak ditemukan di paru-
paru dan organ lain di luar paru-paru. Sering ditemukan diare kronis dan
penurunan berat badan sampai lebih dari 10% dari berat awal.
a) Pencegahan donor darah, dilakukan sekali oleh PMI. Bila positif disebut reaktif.
b) Serosurvei, untuk mengetahui prevalensi pada kelompok berisiko, dilaksanakan
dua kali pengujian dengan reagen yang berbeda.
c) Diagnosis, untuk menegakkan diagnosis dilakukan tiga kali pengujian. Metode
yang umum untuk menegakkan diagnosis HIV meliputi :
1) ELISA (Enzyme-Linked ImmunoSorbent Assay) Sensitivitasnya tinggi
yaitu sebesar 98,1-100%. Biasanya tes ini memberikan hasil positif 2-3
bulan setelah infeksi.
2) Western Blot Spesifisitasnya tinggi yaitu sebesar 99,6-100%.
Pemeriksaannya cukup sulit, mahal, dan membutuhkan waktu sekitar 24
jam.
3) Virologis PCR (Polymerase Chain Reaction) Tes ini dianjurkan untuk
mendiagnosis anak di bawah 18 bulan. Tes virologis yang
direkomendasikan adalah HIV DNA kualitatif dari darah lengkap atau
Dried Blood Spot (DBS), dan HIV RNA kuantitatif dengan menggunakan
plasma darah. Bayi yang telah terpajan HIV sejak lahir dianjurkan untuk
diskrining sedini 34 mungkin pada usia 6 minggu melalui pemeriksaan
virologis. Jika tes virologis pertama bayi positif, terapi antiretroviral harus
segera dimulai, dan sampel darah kedua harus diambil untuk tes virologi
kedua. Tes virologis meliputi:
a) HIV DNA kualitatif (EID) Tes ini mendeteksi keberadaan virus dan
tidak bergantung pada keberadaan antibodi HIV. Tes ini digunakan
untuk diagnosis pada bayi.
b) HIV RNA kuantitatif Tes ini untuk memeriksa jumlah virus di
dalam darah, dan dapat digunakan untuk pemantauan terapi ARV
pada dewasa dan diagnosis pada bayi jika HIV DNA tidak tersedia.
Ada tiga faktor risiko penularan HIV dari ibu ke anak, yaitu sebagai berikut.
1. Faktor Ibu
a. Kadar HIV dalam darah ibu (viral load): merupakan faktor yang paling utama
terjadinya penularan HIV dari ibu ke anak: semakin tinggi kadarnya, semakin besar
kemungkinan penularannya, khususnya pada saat/menjelang persalinan dan masa
menyusui bayi.
b. Kadar CD4: ibu dengan kadar CD4 yang rendah, khususnya bila jumlah sel CD4 di
bawah 350 sel/mm3, menunjukkan daya tahan tubuh yang rendah karena banyak sel
limfosit yang pecah/rusak. Kadar CD4 tidak selalu berbanding terbalik dengan viral
load. Pada fase awal keduanya bisa tinggi, sedangkan pada fase lanjut keduanya bisa
rendah kalau penderitanya mendapat terapi anti-retrovirus (ARV).
c. Status gizi selama kehamilan: berat badan yang rendah serta kekurangan zat gizi
terutama protein, vitamin dan mineral selama kehamilan meningkatkan risiko ibu
untuk mengalami penyakit infeksi yang dapat meningkatkan kadar HIV dalam darah
ibu, sehingga menambah risiko penularan ke bayi.
d. Penyakit infeksi selama kehamilan: IMS, misalnya sifilis; infeksi organ reproduksi,
malaria dan tuberkulosis berisiko meningkatkan kadar HIV pada darah ibu, sehingga
risiko penularan HIV kepada bayi semakin besar.
e. Masalah pada payudara: misalnya puting lecet, mastitis dan abses pada payudara akan
meningkatkan risiko penularan HIV melalui pemberian ASI.
2. Faktor Bayi
a. Usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir: bayi prematur atau bayi dengan berat
lahir rendah lebih rentan tertular HIV karena sistem organ dan kekebalan tubuh belum
berkembang baik.
b. Periode pemberian ASI: risiko penularan melalui pemberian ASI bila tanpa
pengobatan berkisar antara 5-20%.
c. Adanya luka di mulut bayi: risiko penularan lebih besar ketika bayi diberi ASI.
3. Faktor Tindakan Obstetrik
Risiko terbesar penularan HIV dari ibu ke anak terjadi pada saat persalinan, karena
tekanan pada plasenta meningkat sehingga bisa menyebabkan terjadinya hubungan antara
darah ibu dan darah bayi. Selain itu, bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir.
Faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke anak selama
persalinan adalah sebagai berikut:
a. Jenis persalinan: risiko penularan pada persalinan per vaginam lebih besar daripada
persalinan seksio sesaria; namun, seksio sesaria memberikan banyak risiko lainnya
untuk ibu.
b. Lama persalinan: semakin lama proses persalinan, risiko penularan HIV dari ibu ke
anak juga semakin tinggi, karena kontak antara bayi dengan darah/ lendir ibu semakin
lama.
Beberapa hal yang bisa dilakukan agar semakin sedikit orang yang terkena yaitu dengan:
BAB III
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Irwan. 2017. Epidemiologi Penyakit Menular. CV. Absolute Media Krapyak. Yogyakarta
https://repository.ung.ac.id/get/karyailmiah/1782/Irwan-Buku-Epidemiologi-
Penyakit-Menular.pdf
I Made, Putri, dan Dodiet. 2022. Epidemiologi Penyakit Menular. CV Tahta Media Group
https://www.researchgate.net/publication/
361864542_EPIDEMIOLOGI_PENYAKIT_MENULAR
Fransisca, Ardi, dan Sjaiful. 2015. Pedoman pelaksanaan pencegahan penularan HIV Dan sifilis
dari ibu ke anak bagi tenaga kesehatan. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI
https://siha.kemkes.go.id/portal/files_upload/Manlak_PPIA_2015.pdf
http://repository.poltekkes-denpasar.ac.id/7861/3/BAB%20II%20Tinjauan%20Pustaka.pdf